naacndy

Setiap orang memiliki rahasia masing – masing yang tidak semuanya bisa dikatakan bahkan diungkapkan, terlebih jika rahasia itu dapat membuat keadaaan yang seharusnya baik malah menjadi memburuk.

Seperti Taeyong yang memilih untuk menyimpan rahasia besar yang ia punya, menjaganya agar tak seorang pun tau sehingga tak perlu ada pesakitan lagi yang harus dirasakan.

Jeano—rahasia besar milik Taeyong, anak berusia empat tahun yang tak tau menau tentang kebenaran dirinya sendiri. Namun siapa tau jika sesuatu yang ingin disembunyikannya seorang diri justru telah ada yang mengetahui.

Jauh sebelum putra pertamanya pergi, tak sengaja matanya melihat secarik surat terselip diantara laci lemari milik suami cantiknya, Disana tertulis apik bagaimana kebenaran yang berusaha Taeyong tutupi—Jaehyun tak marah, dirinya paham bagaimana posisi suaminya.

Semua itu di atas kendali Taeyong dan Jaehyun mengerti, oleh karna itu dirinya tetap tenang bersikap seolah tak ada yang terjadi. Jaehyun tau Taeyong menyayangi Jeno sudah seperti anaknya, suami cantiknya ingin Jeno mendapatkan kebahagiaannya. Maka Jaehyun turut serta menutupi, mendukung Taeyong untuk menuntun Jeno pada bahagianya.

Juga Jeno yang tak pernah menyinggung soal kisah hubungannya dengan Taeyong kepada Jaemin, seseorang yang dicintainya sekaligus menjadi semestanya.

Terkadang hal yang terjadi di masa lalu tak semuanya harus diingat, cukup lupakan segala yang membuat sakit—sebab waktu bekerja dengan baik, menyembuhkan serta menuntunmu untuk membuka lembaran baru entah dengan orang yang sama atau seseorang yang berbeda sekalipun.

Jalan setapak yang dilapisi kayu menjadi tempat ketiganya berhenti untuk sekedar menyenangkan Jeano, mereka saat ini sedang di kebun binatang dengan tangan ketiganya yang bertautan serta mata yang memandang setiap objek hewan di setiap sudutnya bisa mereka temui.

“Kak na? Jean mau kesana, boleh?” Tanya Jean kepada Jaemin dengan kepala nya yang mendongak keatas.

Dieratkan genggaman tangannya pada Jeano lantas Jaemin berucap, “Boleh, ayo kesana!”

Kaitan tangan Jaemin bersama Jeno terlepas ketika Jeano serta Jaemin yang sangat antusias berlari kearah yang ingin di datangi keduanya, melihat figur patung dinosaurus sebab Jean yang penasaran.

Jeno pasrah, hanya mengikuti keduanya; mengawasinya dari belakang. Bukankah ketiganya seperti keluarga dengan Jeano sebagai pelengkap diantara keduanya? Oh, Jeno harap pernikahannya nanti akan menghasilkan anak yang lucu seperti jeano.

“Kak Jen! Ikan tuh.”

Bersama senyuman khasnya Jeno membalas ucapan Jeano, “Right boy, a very small fish like you.” Diarahkan kamera untuk mengambil gambar dua orang kesayangannya.

Jaemin menghampiri Jeno lalu memberikan senyuman manis yang selalu disukai lelaki tampan itu, “Jeano lucu banget Jen, mirip banget lagi sama kamu, aku gemes.”

“Nanti kita buat,” berbisik di telinga Jaemin, “We'll make another one that looks like me.” lanjut Jeno terkekeh yang selanjutnya mendapat cubitan cinta di pinggangnya oleh Jaemin yang wajahnya sudah merah merona.

Rasanya mendebarkan bercampur rasa senang namun juga sedikit sakit ketika kalimat demi kalimat tak sekalipun terlewat; matanya membaca dengan bibirnya yang menggumamkan kata pada surat di genggamannya, perlahan matanya mulai berkaca dilanjuti turunnya air mata.

Dilipatnya kertas itu usai dirinya selesai, membawa kedua telapak tangannya untuk menutupi wajah elok yang menjadi kecintaan suami serta anaknya.

Everyting okay?” Tanya Jaehyun yang entah dari mana langsung melingkarkan tangannya di pinggul rampingnya; memeluk Taeyong dari belakang.

Dirinya berbalik, membalas pelukan Jaehyun bersamaan wajahnya yang ia tenggelamkan di dada bidang sang suami.

“Jae? Jeno—,”

I know, he's grown up. he'll be getting married soon.

Diusapnya lembut punggung sempit orang kecintaannya, bibirnya tak berhenti mengecupi rambut Taeyong sesekali menggumamkan kata cinta.

Ya, anaknya sudah besar, waktu merubah Jeno menjadi pribadi yang membuat Jaehyun sangat amat bangga pada anak pertamanya.

ia berharap hanya akan ada kebahagiaan yang menyertai setiap perjalanan serta langkah kaki anaknya.

Jeno, your parents are proud of you.

Jeno lupa kapan tepatnya dirinya bertemu cintanya untuk kedua kalinya. Kira – kira saat itu tepatnya pada saat musim semi di inggris, ia yang sedang berbicara dengan jean lewat telfon panggilan tersentak ketika seorang lelaki manis menyeletukan namanya.

“Um.. Jeno, right?”

Alis itu dibawa bertaut, matanya bergulir menatap iris jernih dengan bulu mata yang melentik cantik, perpaduan yang indah membentuk kata sempurna—namun dirinya masih buta untuk menyadarinya.

“Nanti kak jen telfon lagi ya? dadah Jean.” Ucap Jeno lalu mengakhiri panggilan telfonnya.

Kembali dirinya fokus kehadapan orang di depannya kemudian berucap, “Stay away from me, I already have children.” Kemudian melangkah pergi meninggalkan si lelaki cantik dengan menjatuhkan rahangnya tak percaya.

Bukan salah Jeno jika dia berkata begitu tanpa membiarkan sosok itu menjelaskan maksud menghampirinya, sebab selama Jeno berkuliah disana tak sedikit perempuan maupun lelaki sub yang tak segan menghampirinya dan langsung mengajaknya untuk menghabiskan malam bersama—gila pikirnya.

Seminggu setelahnya dengan lelaki manis itu yang mengikutinya kemanapun, Jeno baru tau jika sosok itu berasal dari negara yang sama sepertinya dan saat itu dirinya mengikuti kelas yang sama dengan Jeno—memiliki tugas bersama lelaki tampan dengan hidung bangir itu.

Mereka menjadi dekat, menghapus sekat pada status pertemanan keduanya, seperti kebanyakan orang—cinta muncul karna terbiasa.

Saat itu musim dingin, entah keberanian dari mana Jeno mulai mengutarakan isi hatinya, menyampaikan perasaannya kepada lelaki cantik di hadapannya. Bukan sesuatu seperti ‘I love you, please be mine.’ Tidak, bukan seperti itu, namun seperti ini nyatanya,

—“It feels like home here, with you. Stay with me, please?..

Bahkan ketika salju pertama turun, diantara keduanya hanya ada perasaan tulus yang melingkupi. Mereka jatuh cinta pada satu sama lain, terpikat di setiap detik kebersamaan, merasa beruntung karna saling memiliki sebelum keduanya memilih untuk melangkah lebih jauh dalam kata—terikat.

Ada rasa canggung setelah empat tahun lamanya tidak bertemu membuat Jeno harus beradaptasi lagi bahkan dengan orang sekitarnya.

Digenggamnya tangan dengan jari yang lentik sosok disampingnya erat juga sebelah tangannya yang memegang punggung Jeano agar tak terjatuh dari pangkuan.

Daddy serta papa nya tampak menatapnya penasaran sebab Jeno yang meminta mereka untuk bicara serius di ruang tamu.

Taeyong yang pertama kali bersuara, memanggil dengan nada bertanya, “Jeno..?”

Dad, paps, i want to marry him.

Ketika ketiganya telah menunggu setidaknya setengah jam, akhirnya sosok yang ditunggu pun mulai terlihat diantara keramaian yang melingkupi.

Lengkungan senyum tak bisa ditahan ketika jarak yang tadinya sangat susah di gapai mulai kembali mendekat.

Namun lelaki tampan itu tidak sendiri, ia membawa seseorang di belakangnya yang tertutup oleh tubuh tegap miliknya.

Taeyong tarkejut, sebab tanpa diduga Jeano berteriak sambil berlari menghampiri sosok yang empat tahun tak pernah ditemuinya.

“KAK JENNN!!”

Langkah Jeno terhenti, tubuhnya sedikit terdorong kebelakang bila mana Jeano langsung menubruk kakinya untuk di peluk.

Jeno tersenyum, mengusap rambut anak dibawahnya, “Jeano?”

Kepala Jeano terdongak, mata dengan iris yang sama itu bertukar pandang untuk menyalurkan rasa rindu, “Kak Jen? Kata papa you always miss me. Sama kok, aku juga miss you so matcha, hehe..”

Tawa itu mengalun, membuat dirinya tak kuasa untuk tidak memeluk sosok kecil di bawahnya; direngkuhnya tubuh mungil itu lalu diangkat; menggendongnya.

Akhirnya dirinya kembali setelah menempuh pendidikan yang amat sangat menyita waktu, terkadang membuatnya stress, hingga rasanya seperti seseorang yang tidak ada semangat hidup. Namun tak apa, Jeno tak menyesal sebab ini merupakan awal jalan hidupnya.

Dad, paps, jean.. i’m finally home.

Ketika pesawat yang akan ditumpanginya telah siap untuk penerbangan, suara panggilan terdengar—menyuruh Jeno untuk segera melangkah, siap meninggalkan keluarganya dalam kurun waktu cukup lama. Jeno berbalik, memeluk Jaehyun, “Aku pergi, jaga diri daddy baik – baik.”

Ditepuk bahu tegap putra kebanggannya serta menyalurkan usapan semangat, “Selamat berjuang di negara orang.”

Tak segan – segan setelah mengangguki ucapan Jaehyun dirinya langsung membawa Taeyong kepelukannya dengan Jean di antara mereka; mencium sekilas bahu Taeyong kemudian turun mengecup dahi Jeano yang saat ini tengah merentangkan kedua tangannya kearah Jeno—meminta untuk digendongnya.

“Shh.. Jean, inget pesen kakak semalem ya? Dadah anak baik.”

Kembali dirinya memeluk papa kesayangannya kemudian berbisik pelan, “Jaga diri, jangan sakit. Thank you for being my world, papa.. setelahnya semoga aku bisa ketemu semestaku.”

Dengan begitu dirinya mulai berbalik, berjalan menjauh diiringi suara tangisan Jeano yang sudah sesegukan meminta daddy nya untuk kembali kepadanya, bersamanya, memeluknya.

Selesai dengan mengolesi wajahnya dengan skincare Taeyong membawa tubuhnya berbaring setengah duduk diatas kasur kemudian diambilnya ponsel miliknya diatas nakas.

Pintu kamar mandi terbuka menampilkan Jaehyun yang tenga mengusap rambut basahnya, dirasa rambutnya telah setengah kering dirinya langsung menyusul Taeyong di kasur—berbaring disisinya.

“Tae? Jean masih ga mau lepas dari Jeno?” Tanya Jaehyun dengan sebelah tangannya yang menggapai pinggang Taeyong agar mendekat kearahnya.

Diletakannya ponsel di atas nakas lalu dibawanya tubuh ramping miliknya mendekat ke arah Jaehyun, “Iya, gapapa ya? Kayanya Jeano tau kakaknya mau pergi lama jadi kangen – kangenan dulu.”

“Jaehyun terkekeh, “Jean mirip banget ya sama Jeno? Aku jadi berasa punya anak kembar,” Wajahnya ia tenggelamkan di perpotongan leher Taeyong, menghirup aroma khas dari suami cantiknya.

“Namanya juga kakak adek, aku gemes tau sama mereka.”

“Iya, yang satu kecil yang satunya lagi besar, kalo orang ga tau udah disangka ayah anak haha..”

Mendengar ucapan Jaehyun membuat Taeyong hanya bisa mengulum senyumnya, ah.. bahkan orang lain lebih tau di banding orang terdekat.

Malam ini untuk kedua kalinya Jeano terlelap di ranjang berukuran king size milik remaja yang besok akan pergi dengan membawa harapan.

Bayi mungil itu tampak tak terusik sedikit pun dengan suara serta gerakan pelan yang Jeno lakukan.

Sedari tadi Jeno yang berada tepat di sisi Jeano tak bosan – bosan memandang wajah lucu dari adiknya.

Entah hanya perasaan Jeno saja atau mungkin karna Jeano yang sedang manja padanya—perasaan itu muncul, perasaan tak rela meninggalkan bayi yang tengan tertidur pulas itu. Namun Jeno segera menepisnya, dirinya tidak mau karna Jeano menjadi alasannya untuk tidak pergi dan menggantungkan harapan daddy nya.

Jeano hadir bertepatan satu bulan ketika ia serta daddy nya yang meniduri papanya, bukankah berarti Jeano ada karna hasil dari kegiatan gila mereka? Dari situlah sebuah pikiran bahwa dia juga merupakan daddy Jean timbul, membuat dirinya sesekali menyebut dirinya sendiri daddy Jen ketika hanya berdua dengan Jeano seperti sekarang.

Diarahkan jari telunjuknya mengelus pipi gembil itu dengan sayang, “Jeano, mulai besok pas daddy Jen udah ga tinggal disini lagi Jean ga boleh nakal ya?” Kedua sudut bibir itu tertarik membentuk senyum, “Jangan nyusahin papa sama daddy Jean, ok son.” Lanjutnya.

Setelahnya Jeno terkekeh pelan saat Jeano hanya merespon ucapannya dengan mengerucutkan bibir mungilnya.

Membenarkan letak berbaringnya Jeno kemudian mengusap punggung Jeano bersamaan kelopak matanya yang perlahan menutup—menyusul bayi disisinya ke dalam mimpi.

Bukankah Taeyong sudah bilang bahwa dua bulan merupakan waktu yang sangat cepat dan singkat.

Lusa nanti anaknya Jeno akan pergi dengan harapan yang besar, membawa teguh pendiriannya agar bisa menjadi orang yang membanggakan keluarganya.

Teknologi semakin berkembang, dirinya tau jika ia bisa mengabari Jeno kapan saja jika ingin, namun berbeda rasanya ketika seseorang itu disampingmu.

Sekarang mereka berempat sedang mengadakan family time untuk sekedar menikmati waktu bersama.

Jaehyun sedang pergi sebentar membeli vinyl, tadinya Taeyong ingin ikut namun Jaehyun menyuruhnya untuk duduk beristirahat bersama Jeano dan Jeno.

Ah, dirinya tidak bisa memalingkan wajahnya dari Jeno yang saat ini tengah menimang Jeano di sebrang mejanya. Bayi mungil itu seperti tau siapa daddy kandungnya, sebab dirinya tidak pernah rewel ketika Jeno memeluknya atau mengajaknya mengobrol.

Ikatan batin yang lumayan kuat.

“Jen, kalo capek Jeanonya siniin, kasih ke papa aja.”

Jeno yang sedang membenarkan letak kain bedong Jean menoleh kearah Taeyong sekilas, “Its ok papa, aku malah seneng Jeano ga rewel kalo sama aku.”

Ya kamukan daddy nya jenoooo.’ Batin Taeyong berteriak.

“Bagus deh, kalo rewel nanti kamu ribet Jen.” Ucap Taeyong dengan senyum simpul.

Tak berselang lama Jaehyun datang kemudian mengajak Taeyong, Jeno serta Jeano untuk mampir membeli kesukaan Taeyong, ice cream gelato.

Terus mampir dari toko lain ke toko berikutnya, membeli apapun yang bisa di makan dan diinginkan serta dibutuhkan.

Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk duduk berempat di taman kota, tempat yang cukup nyaman untuk sekedar bersantai menikmati surya yang kian tenggelam disertai warnanya yang memancarkan keindahan sepanjang mata memandang.

Kepala Jaehyun dan Jeno yang bersandar di pundak Taeyong serta Jeano yang ikut serta bersandar di dada papanya dengan lelaki cantik itu sendiri yang bersandar pada sebuah pohon.

Ketiganya menikmati setiap waktu yang terlewati—bercengkrama, bersenda gurau serta saling menghibur satu sama lain. Tak perlu tanya sedang apa bayi mungil itu, nyatanya dia hanya tertidur dan hanya sebentar terbangun kemudian kembali menangis kehausan.

Jika dilihat keempatnya tampak seperti keluarga pada umumnya, sangat bahagia. Namun dibalik itu seseorang tak pernah tau apa yang sesungguhnya disembunyikan dibalik senyuman dan tawa.