naacndy

Saat ini Jeno sedang berada di rooftop, sudah setengah jam sejak Jeno dan Mark bertukar pesan—menyuruh Jeno untuk berusaha lebih agar cepat menjadikan Jaemin miliknya.

Menghela nafas kasar, Jeno menyibak rambutnya kebelakang dengan satu tangannya. Mata sipit yang tajam namun memiliki tatapan lembut itu memejam.

Angin membawa surai Jeno bergerak pelan, membelai wajah bak pahatan dewa kesukaan setiap Omega jika saja Jeno berani melihat sekitarnya. Walau begitu, bagi Jeno—Jaemin sudah lebih dari cukup meski sulit mendapatkannya.

Tidak seperti kisah cinta para mate lain, Jeno bahkan harus berusaha membuat Omega manis miliknya sadar siapa pemilik mutlak dari hati dan raga itu sendiri.

Rumit, namun Jeno harus mendapatkannya jika tidak mau hidup seperti Kakak laki – lakinya.

Suara pintu membuat Jeno membuka mata, feromon dengan scent susu dan lavender seketika terhirup samar di penciumannya.

“Mau rokok?”

Jeno menoleh, menatap Omega mungil di sampingnya yang menyerahkan sebatang rokok padanya.

“Gua udah berenti ngerokok.”

“Sesekali, gua tau lo lagi stress.” Kali ini sekalian memberi pematik.

Rokok beserta pematik itu diambil kasar, lalu batang rokok itu jeno jepit diantara bibir sebelum mematiknya sembari menghisap dalam.

Rasa mint terkecap diantara lidah, Dan saat asap itu keluar, pikiran Jeno seakan lebih tenang. Sedikitnya, Jeno tak mau berbohong jika benda yang dia hisap berkali – kali ini dapat menghilangkan penatnya.

Renjun tertawa kecil, mengambil pematik dari tangan Jeno lalu melakukan hal yang sama seperti Jeno. Tidak ada yang tau bahwa dia adalah perokok kecuali Jisung dan Jeno—oh? Atau mungkin anak yang kemarin mengintipnya.

Renjun hanya tidak tau jika Lucas membocorkan hal itu kepada ketiga temannya.

“Jaemin—,” Renjun menatap Jeno di sampingnya. “—Omega, kan?”

Hisapannya berhenti, Jeno tertegun beberapa detik namun tetap mengontrol gurat wajahnya. Demi moon goddess, dari mana Renjun tau? Bukankah Jaemin bilang padanya saat itu dia Beta? Sungguh Jeno penasaran.

“Awalnya gua ga tau, tapi pas lo dateng ke kelas, feromon Jaemin langsung kehirup samar di gua. Mungkin karna insting Omeganya ke pancing sama lo.”

Jeno mendengus. “Ga mungkin lah.”

“Gua juga mikirnya ga mungkin.” Batang Rokoknya Renjun ketuk, menjatuhkan abu rokok itu. “Ga mungkin kan insting Omega bisa kepancing selain sama Alpha nya? Kecuali lo rut.”

Kedua alis Jeno menyatu, membentuk kerutan pun dengan satu tangannya di dalam saku yang mengepal saat mendengar ucapan Renjun.

“Atau emang nyatanya, lo sama Jaemin—mate.”

Sialan, ucapan Renjun sangat tepat sasaran. Entah kenapa Jeno merasa kesal, bagaimana bisa seseorang membaca dirinya dan Jaemin sangat teliti meski Jeno sudah berusaha menutupinya dengan baik.

Renjun, Omega ini sangat peka.

Jeno membuang batang rokok yang hampir habis lalu diinjak—menghadap renjun dengan tatapan tajamnya.

“Kenapa lo tertarik banget soal Jaemin?”

Renjun menghisap batang rokoknya sembari menghadap ke Jeno—berucap bersamaan hembusan asap yang dia keluarkan ke wajah Jeno. “Ga ada alesan buat ga tertarik sama Jaemin, bahkan Alpha yang udah punya Omega sekalipun.”

Bagi Renjun, jika tidak bisa memancing ikan dengan kail kenapa tidak membuat pancingan untuk kucing itu sendiri agar datang dan menangkapnya? Meski harus tercebur, tak masalah asal dapat.

Halooo, aku naacndy. Panggil nana, na, atau candy juga boleh. Tapi jangan min ya soalnya aku bukan mimin olshop :>

Aku mutusin buat terusin AU LUNCH SELLER MATE ini dengan karakter renjun yang ga akan aku ganti. Bukan karna ga mau, tapi setelah aku liat banyak dari kalian yang bilang jangan di ganti dan juga aku pribadi yang udah mikir—rupanya karakter renjun di sini dari awal memang udah aku bangun vibes nya biar cocok sama karakter yang di mainin.

Aku udah nyoba nyari karakter ulzzang lain tapi tetep ga cocok dan ga masuk aja feelnya untuk karakter yang aku buat. Jadi ga akan aku ganti ya, mohon maaf jadinya tetep renjun 🙇🏻‍♀️🙇🏻‍♀️🙇🏻‍♀️

Biar ga ada salah paham lagi, karakter renjun disini ga aku buat negatif. Dia ga akan aku jadiin peran antagonis kok :D

Cuma mau ingetin, tolong dibaca disclaimer au nya di awal ya. AU nya fiksi guys ga nyata, karna yang nyata cuma cinta aku pada jeno dan taeyong 😔🙏🏻

Tempat biasa untuk bercuci tangan yang tersedia di samping hampir berposisi di belakang kantin itu tampak sepi, hanya ada Lucas yang sibuk mencuci tangannya lalu rambutnya sedikit ia basahkan dengan air sembari bercermin.

Setelah selesai dia matikan keran air itu, baru akan berbalik telinganya mendengar suara. Karna cukup penasaran, Lucas mengikuti asal suara hingga berhenti pada ujung dinding dan mengintip sedikit.

Disana tanpak Renjun yang sedang berbicara dengan seseorang. Lucas tidak kenal, namun sedikit tau dia salah satu pembeli setia Lunch Jaemin.

Sungguh, bahkan Lucas tidak dapat mendengar apapun dan hampir meninggalkan kedua orang itu jika saja Renjun tidak dengan tiba – tiba menghisap sesuatu yang terapit di jarinya.

Sebuah rokok.

Mata Lucas melebar, sembari menggumam memperhatikan Renjun yang mengeluarkan asap rokok dari bibirnya. “Anjir, sexy.” Dan langsung menampar pipinya sendiri.

Saat sedang asik memperhatikan, Renjun melirik lalu memberikan senyum manis ke arah Lucas—membuat dia memundurkan tubuhnya; bersembunyi.

Sepuluh detik berniat kembali mengintip—namun sayangnya kedua orang itu sudah tidak ada. Lucas celingukan, setelahnya mendengus dan berbalik pergi saat tetap tak menemukan keduanya.

Disisi lain, Jeno yang baru saja dari kelas Jaemin bertemu Omega manis itu di koridor menuju kantin.

Jaemin yang tidak menemukan Jeno di kantin berniat menghampiri lelaki itu di kelasnya, namun rupanya dia bertemu Jeno lebih dulu.

Lunch nya.” Ucap Jaemin sambil memberikan Box Lunch ke Jeno.

Jeno tersenyum, mengambil Box Lunch yang diberikan Jaemin sembari menyodorkan uang pas.

“Makasih, Jaemin.”

Jaemin mengangguk, saat akan melangkah—dari arah belakang seseorang menabrak tubuh Jaemin, membuat Omega itu jatuh tepat ke dada bidang Jeno yang secara spontan melingkarkan satu lengannya di pinggang ramping Jaemin.

Keduanya terkejut, tak menyangka akan berada dalam posisi seintim ini. Jaemin menolehkan kepalanya kesamping; menatap Renjun yang menabraknya.

“Hehe maaf Jaemin, gua ga sengaja. Buru – buru mau ke toilet. Bye!” Lalu Renjun pergi meninggalkan Jaemin yang mengerjap.

Jeno menundukan kepalanya, tidak melepaskan rangkulannya di pinggang Jaemin karna Omega manis di pelukannya yang tampak masih memproses keadaan.

“Jaemin?”

Hampir saja Jeno terjatuh kebelakang jika saja tidak bisa menyeimbangkan diri. Jaemin langsung mendorong Jeno ketika dia memanggil nama Jaemin.

Sorry gua ga bermaksud, lo tau kan gua kedorong.” Jelas Jaemin sembari meringis tak enak.

Jeno terkekeh pelan, merasa lucu dengan Jaemin yang panik. “Gapapa, gua paham.”

“Yaudah, gua ke kelas dulu.”

“Oke.” Balas Jeno lalu memperhatikan Jaemin yang pergi dengan canggung dan menepuk – nepuk kepalanya sendiri entah karna apa, mungkin karna malu(?)

Haechan berdehem pelan, membuat dua orang yang masih asik itu menolehkan pandangannya. Jaemin mengangkat satu alisnya sedang renjun menatap Haechan tak mengerti.

“Gua makan siang sama Mark ya?”

Jaemin ber-oh ria, lalu mengangguk.

“Mark siapa?” Tanya Renjun penasaran.

“Mate gua, jun.” Haechan merapihkan rambutnya sebelum berdiri. “Duluan ya, guys.” Melangkah pergi menghampiri Mark yang sudah menunggunya.

Tak lama kemudian Jeno datang, menghampiri keduanya, berhasil membuat Jaemin mengerutkan kening bingung.

Jeno duduk di hadapan Jaemin beserta nampan makanannya yang di letakan di meja.

“Gua duduk sini ya?”

Jaemin tidak mengerti, jadi hanya mengangguk mengiyakan. Tidak mungkin dirinya mengusir Jeno kan?

Suasana mulai terasa canggung—Renjun yang mengetahui itu langsung membuka suara. “Jaem, emang tadi bener kata Haechan?”

“Yang mana?” Tanya Jaemin kebingungan.

“Yang katanya lo beta.”

Renjun menatap Jaemin sesekali sambil menyuapkan Lunch yang Jisung belikan untuknya.

Diam – diam Jeno memasang pendengarannya, merasa sedikit aneh ketika Renjun menanyakan status Jaemin. Maksudnya—berarti Haechan sudah mengatakan kebenarannya, lantas kenapa Renjun bertanya lagi?

“Oh, itu.” Jeno dapat mendengar nada kurang nyaman dari Jaemin. “Iya, gua beneran Beta.”

Renjun mengangguk – anggukan kepalanya mengerti sambil terkekeh main – main. “Gua kira lo Omega.”

Pegangan di sendok Jaemin mengerat, tanpa sadar tubuhnya menegang. Langsung Jaemin menghembuskan nafasnya secara perlahan agar feromonnya tidak keluar dan tercium Jeno.

Jaemin harus bisa mengontrol dirinya sendiri.

Mata rusa itu beralih menatap Jeno yang masih sibuk memakan makan siangnya. “Jeno, lo kan alpha. Menurut lo feromon yang paling enak itu wangi apa?”

Jeno menelan kunyahannya lalu menjawab. “Bluberry Vanilla.” Melirik Jaemin yang menampilkan gurat datar.

“Wah, itu si wangi banget. Siapa emang yang punya feromon manis gitu?” Tanya Renjun kepada Jeno yang hanya mengangkat bahunya seakan tidak tahu.

“Kalo gua suka sama feromon Haechan, wangi bunga mawar campur bedak bayi. En—,”

“Bukan.” Celetuk Jaemin tiba – tiba.

Renjun mengerjap lalu menatap Jaemin tidak mengerti.

“Bukan mawar, tapi bunga matahari.” Lanjut Jaemin.

Jeno menatap Jaemin dengan pandangan yang tidak bisa Jaemin artikan. Sadar akan ucapannya Jaemin mengumpat dalam hati.

Ketiganya diam, beberapa saat setelahnya Renjun bersuara. “Lo dikasih tau Haechan ya?”

Jaemin melirik kesegala arah, sedikit panik. Seperti pengetahuan umum, seorang Beta tidak bisa mencium feromon apapun.

“I-iya, Haechan ngasih tau gua.”

Renjun tersenyum kecil sembari mengangguk, kemudian matanya menatap Jeno dan Jaemin bergantian. “Gua ke toilet dulu ya Jaem.” Lalu Renjun berdiri dan mulai berjalan meninggalkan kantin beserta dua orang yang dilanda kecanggungan.

jaemin kembali sibuk dengan makan siang di atas mejanya sedang Jeno menatap Jaemin penuh makna.

Kapan waktu yang tepat untuk bilang bahwa Jaemin adalah matenya? Jeno membayangkan bagaimana harinya di penuhi oleh kebersamaan dia dan Jaemin. Jeno sungguh berharap hari itu cepat datang.


Koridor lantai satu menggemakan suara siulan yang berasal dari toilet. Tepatnya Lucas yang sedang bersiul di depan pintu masuk toilet Beta—menunggu Hyunjin yang tengah melakukan panggilan alam.

Asik bersiul matanya ikut memperhatikan siswa – siswi yang berlalu lalang. Saat seseorang yang Lucas kenali jalan melewatinya mata Alpha itu menyipit lalu membola setelahnya.

“Woi, ayok.”

Tepukan di bahu menyadarkan Lucas, membuat dia menoleh ke arah Hyunjin kemudian dengan heboh memukul – mukul bahu hyunjin.

“Bangsat, kenapa si?” Celetuk Hyunjin kesal.

“Anak baru cok, tadi masuk ke toilet.”

Hyunjin arahkan tangannya memukul belakang kepala Lucas. “Ya biarin anjir, lo kira anak baru ga punya organ reproduksi?”

Lucas berdecak lantas telunjuknya mengarah ke lambang masuk toilet. “Lu liat noh.”

Mata sipit itu melirik ke arah yang di tunjuk Lucas, mulutnya bergumamkan lambang status yang di pasang menggantung.

Omega

“Bener kan gua.” Lucas menyeringai sembari menaik turunkan alisnya. Bolehkah haje meninjunya? Sungguh kesal melihat ekspresi wajah Lucas.

“Bacot lu, ayok ke kelas.” Bales Hyunjin lalu berbalik yang diikuti Lucas.

Langkah kakinya Jeno bawa berlari, sedikit kesal karna harus menuruni tangga untuk sampai ke kelas Jaemin padahal urutan mereka hanya satu longkap huruf saja. Jika Jeno kelas A, maka Jaemin kelas B. Namun bukannya berposisi di samping—kelas itu berada di lantai dua gedung sekolah.

Ketika sampai di depan kelas Jaemin—Jeno menetralkan nafasnya, sekedar merapihkan rambut agar terlihat baik di hadapan Jaemin.

Pintu kelas itu diketuk sebelum Jeno membukanya. Yang Jeno lihat adalah suasana kelas yang ribut namun tidak sampai terdengar keluar.

Jeno masuk ke dalam kelas Jaemin dan menghampiri Omega manis itu. Sedikitnya Jeno bingung melihat siluet seseorang yang asing duduk di sebelah Jaemin.

“Jaemin.” Panggil Jeno.

Jaemin menoleh lalu memberikan senyuman kecil, terlihat lucu di mata Jeno.

“Si paling susah dibilangin.” Dengusan kasar yang tertuju untuk Jeno. Jaemin sedikit kesal, namun banyak senangnya. Jaemin pikir dia harus menghargai Jeno yang rela mengantarkan susu ke kelasnya.

Sayangnya, alasan kuat Jeno lebih ingin bertemu denganmu Jaemin..

Tangan kekar itu mengusap rambut Jaemin lembut, tak ayal Jaemin sedikit terkejut tetapi detik berikutnya dapat mengontrol ekspresi. “Habisin, Jaemin.”

“Iya.” Gumam si manis pelan.

“Gua kepikiran ngasih lu susu pisang sekardus.”

Spontan tangan Jaemin memberi sedikit pukulan di lengan Jeno. “Ga perlu, satu – satu kaya gini aja.” Kemudian di balas Jeno dengan anggukan.

Dunia terasa milik berdua, untung saja Jaemin cepat sadar. Tangan itu menepuk bahu renjun yang sedang memperhatikan dia dan Jeno sejak tadi.

“Jun, kenalin ini Jeno. Temen gua.”

Renjun menatap Jeno dengan tatapan yang sulit diartikan, sedangkan Jeno menatapnya dengan datar namun tetap berusaha terlihat ramah walau nyatanya tidak.

Telapak tangan yang lebih mungil itu terulur. “Gua Renjun.”

“Jeno.”

Sepasang mata berbulu lentik itu bergerak memperhatikan setiap sudut jajaran rak bumbu. Mengabsen satu persatu nama merk itu dalam hati, mencari yang biasa dia gunakan.

“Oh, ini dia.”

Jaemin ambil catatan di sakunya lalu dia baca, disana ada daftar belanjaan yang sudah dia tulis untuk jualannya esok hari.

Mulut Jaemin bergumam membacakan deretan tulisan yang sudah di masukan kedalam keranjang, sekarang hanya tinggal roti. Dan untuk ke rak roti Jaemin melewati beberapa rak makanan salah satunya coklat.

Lelaki dengan hidung bangir bersama sosok anak kecil berjalan keluar dari rak coklat bertepatan dengan Jaemin yang ingin melewatinya.

Troli belanjaan itu berhenti bergerak, mempersilakan kedua lelaki berbeda umur untuk lewat sembari memberikan senyum kecil.

Jeno bawa David kegendongannya, lalu membalas senyuman Jaemin.

“Hai.”

“Hai, itu Adek?”

Jeno melirik David yang memeluk coklat di tangan mungilnya. “Bukan, ini ponakan.”

Jaemin membulatkan mulutnya tanpa bersuara seraya mengangguk mengerti. Mata bulatnya menatap David sembari tersenyum. “Namanya siapa?”

David tersenyum malu – malu. “David..” Sungguh sangat menggemaskan, membuat Jaemin tak tahan untuk tidak mengusap kepala si kecil.

“Udah selesai belanjanya, Jaem?” Tanya Jeno basa – basi. Well, dia tidak boleh menyianyiakan kesempatan.

Bagi Jeno bertemu Jaemin sekarang bukan sebuah kebetulan, tapi takdir. Memang jika sudah jodoh ada saja kesempatan bertemu walau tak sengaja.

Jaemin menggeleng. “Belum, sisa roti aja.”

Jeno ber-oh ria, kemudian menawarkan diri walau ditolak sekali oleh Jaemin, namun tetap memaksa membuat Jaemin pasrah lalu mengangguk.

Saat sudah memilih roti dan dimasukan kedalam keranjang belanjaan, ketiganya berjalan ke arah kasir dengan sejajar. Sudah cukup membuat orang – orang di sekitar mengira mereka sepasang keluarga.

David tertidur di pundak Jeno dengan coklat yang telah Jeno bayar sebelum keluar dari swalayan bersama Jaemin yang menggandeng kantung belanjaan di tangan kirinya.

Jeno menghadap ke Jaemin. “Beneran gapapa pulang sendiri?”

Jaemin menggangguk. “Gapapa, Jen.” Lalu tersenyum dengan mata yang menatap David.

Wajah David... mengingatkannya dengan sang Kakak.

Jeno menghela nafas, menatap Jaemin dengan tatapan tidak enak. Dia baru ingat bahwa dia harus memulangkan David segera atau Kakaknya akan mengomel.

Padahal Jeno bisa mengantar Jaemin pulang, karna jika Jaemin mau dia dengan senang hati mengambil mobilnya dan kembali untuk mengantar Omega manis itu pulang.

Namun Jaemin menolak.

“Yaudah hati – hati Jaem. Kalo ada apa – apa telfon gua ya?”

“Iyaa. Btw rumah lo deket sini kah?” Tanya Jaemin penasaran.

Jeno berdehem, mengiyakan ucapan Jaemin sebelum menunjuk gapura komplek perumahannya. “Masuk perumahan itu.”

Mata Jaemin melirik kearah yang Jeno tunjuk, seketika wajahnya berubah muram dan datar.

Sial, ingatan itu lagi...

Sepulang sekolah dengan orang yang sama, entah apa yang merasuki Jaemin hingga mengizinkan Jeno masuk kedalam rumahnya yang tidak bisa di bilang besar itu. Sederhana namun rapih, tampak kecil namun nyaman.

Jeno yakin, dia hanya memerlukan waktu beberapa menit untuk menyamankan diri dan tidak ingin beranjak dari sana.

“Jen, mau makan apa?”

Alpha itu menoleh, menatap Jaemin dan kembali bertanya. “Adanya apa?”

“Mie.” Begitu singkat jawaban Jaemin.

Sebenarnya tampak aneh jika seorang penjual Lunch tidak memiliki bahan makanan di dapurnya, namun mie? Tidak buruk asalkan bikinan Jaemin.

“Boleh, yaudah buat itu aja.”

Jaemin mengangguk, tubuhnya berbalik kembali berkutat di dapur; membuat mie untuk keduanya.

Sembari menunggu jaemin memasak, Jeno berjalan mengitari ruang tamu Jaemin. Melirik ke mana saja seperti mencari sesuatu yang menarik.

Diujung ruangan, pandangan Jeno berhenti. Terdapat figura yang terbalik; menyembunyikan foto di dalamnya.

Jeno melangkah ke sana, mengambil figura yang membuatnya penasaran lalu di balik hingga dia dapat melihat dua orang anak kecil bergaya di foto itu.

Yang Jeno tau pasti, dua anak yang terdapat di figura itu Jaemin dan Kakaknya.

Beberapa menit Jeno terdiap menatap figura di depannya, tak sadar Jaemin telah selesai dengan masakannya. “Jen?”

Panggilan itu membuat Jeno menoleh, lalu menghampiri Jaemin yang telah selesai membuat mie.

Uap dari mie itu mengepul membentuk asap yang menandakan mie itu baru saja di matang. Makanan Jaemin walau sederhana sekalipun tampak lezat di mata Jeno.

Jeno mengerutkan dahinya. “Ga ada mangkuk?”

“Enakan makan langsung dari pancinya.” Celetuk Jaemin yang sedang mengaduk mie dan mengambilnya dengan sumpit.

“Nih” Jaemin menggeser piring kecil untuk Jeno. “Buat tatakannya.”

Dengan ragu – ragu Jeno mengambil mie dengan sumpit di dalam panci dan memakannya tanpa menggunakan piring kecil.

Entahlah, Jeno merasa ucapan Jaemin ada benarnya, memakan mie dengan panci rupanya dapat menambah cita rasa mie menjadi lebih enak.

Jeno Jadi semangat memakannya, sudah tak memperdulikan bibirnya yang terdapat kuah mie. Jaemin melihat itu, betapa lahapnya Jeno seperti seseorang yang tidak pernah makan mie. Cukup menghibur, sedikitnya Jaemin tertawa pelan.

Semakin lama mie dalam panci semakin sedikit, seperti tak mau kalah keduanya menyedot mie itu dengan cepat.

Jeno sedikit menaikan tubuhnya agar condong ke arah panci, terus menyedot mie yang anehnya tidak putus – putus.

Keduanya mendongak, berhenti menyedot mie itu ketika jarak wajah keduanya hanya terpaut sejengkal, membuat mie itu menggantung di kedua bibir mereka.

Pantas saja tidak putus – putus, rupanya tersambung sangat panjang. Jaemin mengerjap melihat Jeno mulai kembali mendekat, mata Jaemin tertutup namun sesaat kemudia tidak merasakan apapun.

Jaemin spontan membuka matanya, tepat memandang Jeno yang sedang mengusap tisu ke bibirnya.

Tanpa sadar pipi Omega manis itu memerah. Memangnya apa yang dia pikirkan? Berharap sesuatu terjadi? Tidak mungkin. Jaemin tak mau mempunyai hubungan lebih dari sekedar teman.

Kemudian Jaemin lanjut mengunyah mie yang masih berada di mulutnya.

Waktu yang telah memasuki pelajaran itu membuat kelas hening sejak lima belas menit yang lalu.

Hanya suara Guru yang terdengar di telinga sedang menjelaskan pelajaran. Mark menguap, tampak bosan menggelutinya. Pelajaran ini bukan termasuk kedalam daftar favorite nya, sehingga Mark tak terlalu fokus dan malah mengantuk.

Iris coklat milik Mark melirik kesana – kemari, berhenti tepat pada kaca di sampingnya. Pandangannya mengarah keluar; lapangan.

Mark mengerutkan keningnya, siluetnya yang sangat dikenali membuat Mark dapat menebak siapa seseorang yang tengah berdiri sendirian di lapangan bersama cuaca yang terik.

“Jen.” Bisik Mark pelan menyenggol tangan Jeno di sebelahnya.

Jeno mengangkat satu alisnya seakan bertanya.

Dengan gerakan matanya Mark bermaksud memberi tau Jeno bahwa Jaemin tampak sedang di hukum di lapangan.

Jeno sedikit mendekatkan dirinya ke arah kaca jendela, sesekali menoleh ke depan takut – takut Guru nya berbalik menghadap murid.

Setelah benar melihat siluet Jaemin, Jeno menatap Mark—bermaksud meminta bantuan temannya.

“Ada – ada aja, lu.” Celetuk Mark namun tampak setuju membantu Jeno.

Mark mengangkat satu tangannya ke atas. “Permisi, Bu?”

Guru itu berbalik, Jeno hanya diam membiarkan Mark melakukan sesuatu.

“Kenapa, Mark?”

Mark melirik, membuat Jeno mengerti dan langsung pura – pura meringis memegangi kepalanya.

“Jeno sakit, Bu.”

Guru itu mengalihkan pandangannya ke Jeno. “Jeno, kamu boleh ke UKS.”

“Saya nganter Jeno ya, Bu.”

“Tidak boleh. Mark, tetap di bangku kamu.”

Mark mendengus, dalam hati merutuki karna sumpah dia sungguh bosan.

Pundak lesu itu di tepuk, Membuat Mark menoleh dan mendapati Jeno yang mengedipkan satu matanya.

Saat akan berjalan—lagi, Jeno pura – pura tersandung seakan tubuhnya sangat lemas. Ah.. jadi ini maksud Jeno. Mark menghampiri, menopang tubuh yang sama besarnya dan menatap guru di depan meminta izin yang langsung diiyakan.

Keduanya berjalan keluar kelas, tepat di ujung koridor—Mark melepaskan topangannya. Kepalan sebelah tangan mereka bertemu dengan kompak.

“Gua ke kelas Haje sama Lucas.” Ya, Mark berniat mengajak keduanya bolos.

Jeno mengangguk dan langsung berjalan ke arah yang berbeda dengan Mark; menuju lapangan menghampiri Jaemin.


Jaemin mendongak ketika terik matahari tak lagi menyorot kearahnya. Tubuh tegap dengan paras tampan yang langsung di kenalinya.

“Kok disini?” Tanya Jaemin dengan alis yang bertaut bingung.

“Pura – pura sakit.”

“Jangan panas – panasan, Jeno.” Mencoba menggeser tubuh Jeno walau tak ada efek apapun.

“Jangan panas – panasan, Jaemin.” Goda Jeno meniru ucapan Omega manis di depannya.

Hembusan nafas kasar itu keluar dari Jaemin, lalu berdecak kesal. “Terserah lo aja deh.”

Beberapa menit berlalu tubuh keduanya telah penuh dengan keringat. Nafas Jaemin sudah memburu karna terlalu lama berdiri. Jeno yang melihat itu langsung mengusap keringat di dahi si manis, membuat Jaemin terkejut dan mendongak menatap Jeno.

Lidah Jaemin kelu, tak bisa bersuara karna terlalu tidak paham dengan situasi. Terlebih secara spontan Jaemin pun juga mengusap keringat yang mengalir di pipi Jeno.

Jangan tanya bagaimana bisa Jaemin melakukan itu karna dirinya pun tidak tau, hanya mengikuti respon tubuhnya yang bergerak sendiri.

Mark yang sejak lima menit sudah berdiri di ujung lapangan hanya melihat kedua pasangan mate itu dengan bosan. Ditangannya sudah ada dua botol air untuk keduanya—meninggalkan Hyunjin dan Lucas di kantin.

Merasa sudah cukup menunggu, Mark menghampiri dua orang itu dan langsung menyodorkan botol air ke arah mereka.

Jaemin menjauhkan tangannya dengan cepat, tersenyum kikuk kepada Mark sebelum mengambil air yang diberikan.

“Thanks, Mark.” Ucap Jeno sembari meminum botol air ditangannya dan dibalas deheman oleh Mark.

Sekilas Mark dapat menghirup feromon Jeno di tubuh Jaemin, membuat dia mengerutkan hidungnya sedikit. Mungkin nanti dia akan tanyakan ke Jeno, setelah ini Mark ingin meminta traktiran dulu kepada teman Alphanya itu.

Kelopak dengan bulu mata lentik itu mengerjap, perlahan menegakan kepalanya, sedikit terkejut ketika tau selama perjalanan dia menyandar di bahu Jeno.

Jeno menatap Jaemin yang menguap seraya menutup mulut. “Udah puas tidurnya?”

“Kenapa ga bangunin gua?” Balas Jaemin, keningnya mengernyit terlihat kesal.

“Ga tega, lu pules banget.”

Jaemin memutar bola matanya malas sebelum melirik ke kaca jendela. Mereka belum sampai, perjalanan menuju rumah Jaemin memang sedikit jauh sehingga menghabiskan waktu setengah jam.

“Masih ngantuk ga? Kalo masih ngantuk bahu gua siap buat disenderin lagi.” Sedikit menggoda Jaemin tidak masalah kan?

Mata Jaemin membola, spontan menoleh ke arah Jeno lalu memberikan pukulan di lengan Alpha itu.

“Diem ga?!”

Kalau Jeno boleh jujur, pukulan Jaemin terasa seperti angin baginya.

Jeno terkekeh pelan sembari menatap wajah Jaemin yang memerah, entah karna kesal atau malu(?) entahlah, namun itu tampak manis dimatanya.

Beberapa saat kemudian Bus mulai berhenti, keduanya berdiri dan bersiap untuk turun. Jaemin menatap Jeno aneh, menahan lengan Jeno yang membuat Alpha itu berbalik menoleh ke arahnya.

“Kenapa?”

“Ngapain ikut turun?”

Dengan wajah polosnya Jeno membalas ucapan Jaemin. “Ngaterin lu pulang.”

Jaemin mengerjab. “Gua bisa pulang sendiri, Jeno.”

“Tau, tapi gua mau nganterin lu.”

“Ga perlu—,”

“Udah ayo.”

Ucapan Jaemin terpotong begitu saja bersamaan lengannya yang tertarik ke depan; mengikuti langkah Jeno menuruni Bus.

Jaemin berjalan seraya menghentakan kaki kesal, Apa – apaan lelaki berstatus Alpha ini? Ayolah, Jaemin bisa menjaga dirinya sendiri. Bahkan sudah biasa pulang sendiri, tidak perlu diantar seperti ini.

Melihat wajah Jaemin yang tampak kesal, Jeno memutar otaknya; mencari cara agar menghilangkan kekesalan Jaemin.

Ketika melirik kesana kemari, mata Jeno menangkap supermarket tempat dia membeli roti waktu itu. Senyumnya mengembang saat mendapat sebuah ide.

Jeno melepas pegangannya di tangan Jaemin seraya berbalik. “Tunggu sini sebentar, ok? Sebentar aja.”

Jaemin mengerutkan keningnya melihat Jeno memasuki supermarket, dia mendengus lalu melirik ke arah lain sembari menunggu Jeno.

“Kakak manis, ini.”

Suara anak kecil menarik perhatian Jaemin. Matanya melirik ke tangan anak perempuan di bawahnya; susu pisang. “Buat aku?”

“Iya kak.”

Bibirnya tertarik membentuk senyum. “Makasih, yaa.” Jaemin usap kepala yang lebih kecil lantas berjongkok. “Susu pisang nya dari siapa?”

Anak perempuan itu menunjuk ke arah supermarket—ah tidak, lebih tepatnya kearah Jeno yang tengah berdiri sambil memberikan gestur gerakan membentuk senyum di wajah untuk Jaemin.

Hampir Jaemin tertawa, untung dia bisa menahannya. Tak ingin terlihat mudah jika nyatanya Jeno berhasil membuat dia tidak kesal kembali.

“Kata Kakak itu, cheer up! Kalo Kakak kesel manisnya nambah loh.”

Jaemin menggigit pipi bagian dalamnya, lantas mengangguk. “Iya, makasih lagi ya.”

Anak kecil itu kemudian pergi “Dadah, Kak.” melambaikan tangannya yang dibalas Jaemin.

Jeno tersenyum melihat itu, lalu menghampiri Jaemin dan mendapatkan pukulan lagi di lengan atasnya. “Lo tuh.. dasar!”

“Udahan kan keselnya?”

“Ga tau.” Dengan iseng menginjak kaki Jeno.

“Aduh, Jaemin.”

Jeno berjalan tertatih sembari meringis, terus memanggil nama Jaemin agar menunggunya. Namun, seperti tuli Jaemin terus berjalan dan mangabaikan Jeno. Sebenarnya rasa kesalnya sudah hilang, hanya saja sekarang Jaemin tidak bisa menahan senyumnya sampai pipinya merasa pegal.

Tidak hanya Jaemin, Jeno pun tersenyum geli melihat Jaemin yang sedang ngambek, sangat menggemaskan.

Berniat menyusul Jaemin di depannya kaki jenjang itu melangkah cepat sebelum kembali memelan karna perasaan was – was. Aura Alpha disekitarnya sedikit mengintimidasi membuat Jeno melirik ke sekelilingnya. Benar saja, beberapa orang yang Jeno yakini adalah Alpha beberapa kali melirik ke arah Jaemin.

Ini pasti karna feromon Jaemin yang tiba – tiba menyengat. Jeno sebenarnya sudah merasakannya, hanya saja kali ini dia bisa menahan. Tak ingin dia perdulikan karna takut memancing insting serigalanya.

Jaemin berhenti, bingung karna tak mendapati suara kaki di belakangnya. Lantas Jaemin menoleh, matanya langsung tertuju kepada Jeno yang tengah melepas Hoodie nya.

Sembari melanjutkan langkah, Jeno melirik tajam Alpha disekitarnya. Memberi peringatan untuk berhenti menatap Jaemin-nya. Para Alpha itu seperti mendapat sinyal, membuat mereka langsung menjauh dan hilang ketertarikan.

Hoodie itu Jeno pakaikan ke Jaemin tanpa mengatakan apapun, membuat Jaemin hanya bisa mengerjap—memproses apa yang di lakukan Jeno.

“Ngapain?” Tanya Jaemin penasaran.

“Anginnya ga bagus. Lagian lu ga pake jaket.”

Mata tajam Jeno menatap tubuh atas Jaemin yang tenggelam di balik Hoodie miliknya.

Tampak lucu, Jeno gemas setengah mati.

Jaemin berniat melepaskan Hoodie yang dia pakai. “Ga usah, udah deket kok.”

Jeno menahannya “Pake aja, besok baru balikin.”

Mata Jaemin menatap Jeno tak mengerti, tapi Jeno tak perduli. Setidaknya scent dia yang ada di Hoodie itu akan menjaga Jaemin.

Rasanya jam istirahat kali ini adalah jam yang paling ditunggu oleh Jeno. Dia tidak tau mengapa rasa tak sabar itu muncul. Jeno berspekulasi bahwa dia mungkin lapar sehingga tak sabar agar cepat keluar dari kelas dan mendapatkan makanan dari Jaemin, atau mungkin tidak—Jeno tidak sabar untuk bertemu Jaemin.

Maka ketika bel sekolah berbunyi, pelajaran selesai, semua siswa dan siswi keluar kelas bersamaan tak terkecuali Jeno.

Sebelumnya tadi pagi Jeno sempat kekantin untuk membeli minum, namun setelah melihat Jaemin yang mengechatnya, berakhir Jeno membeli dua minuman; satu kaleng soda untuknya dan satu susu pisang untuk si manis Jaemin.

Kakinya melangkah hingga sampai pada pintu paling atas gedung sekolahnya. Jeno bisa melihat siluet Jaemin yang duduk di kursi panjang—sudut yang mengarah langsung ke lapangan sekolah.

Jeno menghembuskan nafas pelan, mengontrol dirinya agar tidak hilang kendali jika saja feromon Jaemin menguar nanti, lalu menghampiri Jaemin.

Susu pisang itu Jeno letakan di samping Jaemin yang sedang menikmati bekalnya lalu menoleh memperhatikan Jeno.

“Buat siapa?” Tanya Jaemin memulai obrolan.

Jeno mendudukan dirinya di samping Jaemin. “Buat lu.”

Jaemin menggangguk, setidaknya dia sedang mengontrol feromon nya agar tidak tercium oleh Jeno.

“Nih, Lunch nya. Abisin.”

Diambil kotak makan itu oleh Jeno sambil berucap terima kasih, lalu dibuka yang langsung menampakan makanan sesuai foto yang Jaemin kasih.

Terlihat sangat enak hingga membuat Jeno tersenyum menampilkan mata bulan sabitnya.

“Jaemin?”

Yang dipanggil menoleh. “Hm?”

“Kenapa jualan?” Tanya Jeno setelah menelan kunyahan pertamanya.

Jaemin terdiam sebentar lalu menjawab. “Kalo ga jualan, gua ga bisa makan. Semua itu perlu duit.”

“Lo tinggal sendiri? Keluarga?”

Sadar dengan pertanyaannya yang cukup sensitif Jeno merutuki dirinya sendiri. Mata sipit itu menoleh ke arah Jaemin yang juga menatapnya. “Sorry, gua ga ber—,”

“Gua hidup sendiri, keluarga gua udah meninggal.”

“Jaemin, maaf..”

Jaemin menggeleng, matanya seperti berucap bahwa pembahasan itu bagi dia tidak apa – apa.

Jeno tersenyum kecil, merasa bangga kepada Jaemin yang memiliki semangat hidup yang cukup tinggi. Hidup sendiri, mandiri, jauh dari kata menyusahkan.

Hanya saja, Jeno masih belum tau mengapa Jaemin merahasiakan status omeganya.

“Lu punya Kakak? Atau Adek?”

“Punya, gua punya Kakak.”

“Kalo boleh tau, siapa namanya?”

Entah hanya perasaan Jeno saja, namun gurat wajah Jaemin sempat berubah sendu sebelum kembali datar.

“Na—,”

KRINGGGG!

Jaemin menghentikan ucapannya ketika bel masuk telah berbunyi, dengan cepat menutup kotak makannya lalu mengambil susu pisang dari Jeno.

Lunch nya gratis. Makasih susu pisangnya, gua duluan.”

Celetuk Jaemin lalu pergi meninggalkan Jeno yang menatapnya hingga menghilang di balik pintu.