#BabyinLove
“Raksa?”
Namanya dipanggil oleh suara yang ia kenal. Kepalanya yang sedari tadi ia sembunyikan di kedua lututnya terangkat. Matanya yang sedari tadi berair dan berkunang-kunang kini menatap ke arah datangnya suara tersebut.
“Lo kenapa, gila?” tanya Arsena panik. Pasalnya, kondisi Raksa benar-benar mengenaskan. Pakaiannya setengah basah, pun rambutnya. Bibirnya membiru, matanya tak fokus dan bengkak karena menangis.
“Lo dari tadi nangis?” Arsena lagi-lagi bertanya. “Lo tadi ujan-ujanan dan nggak ganti baju?” lagi, Arsena bertanya dan memasangkan jaket kulitnya ke tubuh Raksa.
“Sena, gue putus sama Pak Wana,” adu Raksa dengan suaranya bergetar.
Arsena mengajak Raksa berdiri dan merangkulnya. **“Kita nginep di sini aja dulu. Nggak mungkin gue bawa lo balik ke kota dengan keadaan lo kayak gini,” ujar Arsena melihat ke pintu masuk resort. Raksa menggeleng.
“Pulang, Na. Gue mau pulang,” pinta Raksa lemah.
“Sa, lo....”
“Pulang!”
“Ok. Tapi ganti baju dulu. Lo mandi air anget dulu. Badan lo mau demam ini,” Raksa menggeleng. Dia menepis tangan Arsena yang sedari tadi berada di kedua bahunya, menjaganya agar tak jatuh.
Dengan badan yang terhuyung dan air mata yang masih mengalir cukup deras, Raksa menatap Arsena. “Gue. Cuman. Mau. Pulang. Please, anterin gue pulang,” tukasnya sebelum ia pingsan di dekapan Arsena.
Arsena dengan amat sangat terpaksa membawa Raksa masuk ke mobil yang ia pinjam dari Friston. Dia bersyukur, keputusannya meminjam mobil Friston ketimbang memakai motornya untuk menjemput Raksa tadi adalah pilihan yang tepat.
“What's wrong with you, man?” gumam Arsena memandang Raksa yang entah pingsan atau tidur di kursi penumpang. Arsena lalu menyalakan mobilnya dan melaju meninggalkan area resort.
Arsena kebingungan kenapa malam ini Raksa dan Buwana putus. Ada apa dengan mereka? Semalam saja, Raksa memamerkan kamar resort tempatnya menginap dengan Buwana dan Javi. Semalam, Raksa mengiriminya pesan betapa bahagianya anak itu akan tidur sekasur bersama Buwana dan Javi. Tentang betapa bahagianya Raksa merasakan “keluarga kecil cemara” impiannya dengan keberadaan Buwana dan Javi. Bahkan tadi pagi, Raksa masih memamerkan foto-foto Javi yang tengah bermain di pantai. Jangan lupakan foto Buwana dari setiap angle yang ia ambil juga dipamerkan terus menurus di dalam bubble chat mereka berdua.
Sementara itu, di tempat lain, ada Buwana yang tengah memeluk Javi di atas tempat tidur. Javi saat ini tengah kebingungan dengan perginya Om Sasa dan ekspresi Papinya yang tiba-tiba menjadi sendu.
“Papi, are you okay?” tanyanya. Kepalanya mendongak, mata bulatnya menatap Buwana penuh perhatian.
“Papi, ok,” jawab Buwana menahan tangis. Sebelah tangannya mengusap pipi gembul Javi. “Papi is ok, Sayang. Javi tidur, ya, Nak?”
“Om Sasa kemana? Nggak bobo sama kita kayak kemarin?”
Sebelum air mata benar-benar lolos dari pelupuk matanya, Buwana dengan sigap menyusapnya dan menatap Javi dengan matanya yang berkaca-kaca menahan tangis.
“Om Sasa pergi, Sayang. Om Sasa nggak bisa bobo sama kita kayak kemarin lagi. Kita bobo berdua aja, nggak papa kan?” Javi mengangguk lalu kembali ke dalam dekapan Buwana, anak kecil itu membenamkan wajahnya di dada Buwana dan berujar, “Papi, no cry cry please, Javi sedih.”
Damn it!, Buwana memaki dalam hati.
“Javi tidur ya, Sayang,” pintanya lemah sembari mengusap punggung Javi.
Anak itu menurut dan memejamkan matanya meski dia tak mengantuk sama sekali. Dia baru saja bangun ketika Papi-nya tiba-tiba memeluknya tadi.
“Javi bobo, oh Javi bobo,” Buwana bernyanyi meski pikirannya kembali mengulang kejadian tadi pagi.
Tadi pagi, ia terbangun dengan Raksa yang tersenyum memandang penuh cinta ke arahnya.
“_Good morning,” sapa Raksa tadi pagi.
“Morning,” balas Buwana.
Di tengah mereka ada Javi yang sedang menggeliatkan tubuhnya.
“Molning!” sapa Javi juga.
Buwana dan Raksa menciumi pipi Javi yang baru bangun. Balita berumur tiga tahun itu tertawa karena ciuman dari orang tuanya dan Om Sasa kesayangannya.
Setelah puas menciumi Javi, Raksa dan Buwana bangun. Raksa pergi mandi terlebih dahulu bersama Javi. Setelahnya, Buwana yang mandi. Keluar dari kamar mandi, Buwana disambut dengan sarapan yang sudah tersedia.
Mereka bertiga makan dengan penuh canda tawa kebahagiaan.
“So today our date is going to be visiting the beach and watching the sunset, correct? Buwana bertanya. Raksa memgangguk.
Setelah sarapan mereka bermain di sekitaran resort, mengambil banyak foto dengan kamera analog Raksa dan juga ponselnya, membuat vlog, video Tiktok, dan memperhatikan Javi yang bermain di taman bermain resort tempat mereka menginap.
Siangnya mereka kembali ke kamar, Raksa menonton 9-1-1 sementara Buwana menidurkan Javi. Setelahnya, Buwana bergabung bersama Raksa di sofa untuk menonton. Raksa mendekap Buwana dari belakang, dan Buwana tidur dengan lengan sang kekasih menjadi bantalnya, tangan Raksa yang satunya ia peluk.
“Eddie sama Buck kapan sadar ya kalau mereka harusnya nikah aja?” komentar Buwana. Raksa tak menjawab, ia malah menciumi pipi Buwana.
“Sa, geli ah!” ujar Buwana yang terganggu.
Raksa lantas berhenti.
“Pak,...”
“Please deh, Pak mulu,” Buwana menggerutu. Dia membalik badannya menghadap Raksa dan mengecup bibir sang kekasih. “Aku mau denger kamu manggil aku sayang, nggak pak pak mulu,” ujarnya. Raksa tersenyum dan mengangguk.
“Sayang, makasih ya udah mau nurutin kemauan aku. Pakai segala dikasih surprise kemarin diajak ke sini,” ujar Raksa.
Buwana mengusap pipi Raksa, saat ini dirinya benar-benar bahagia. He feels so full, so happy, so content. “_I'll do everything for my little boy, Raksa,” ujar Buwana dan sekali lagi mengecup bibir Raksa.
“Pak, saya meleyot,” pekiknya rendah lalu keduanya tertawa.
Sorenya, setelah bangun dari tidur siang, Raksa, Buwana dan Javi bermain di pantai. Raksa dan Javi membangun kastil pasir sementara Buwana berbaring di kursi santai memperhatikan kedua bayinya.
Saat matahari hampir mulai terbenam, Javi dan Raksa menghampirinya. Javi meminta untuk kembali ke kamar, anak itu mengaku mengantuk lagi. Mau tak mau Buwana membawa Javi kembali ke kamar hotel untuk menidurkannya. Sementara Raksa menunggunya di pantai untuk melihat matahari terbenam nanti.
Sepeninggalnya Buwana, Raksa berbaring di kursi Buwana tadi. Matanya menatap hamparan air laut yang menyerbu pantai dengan gelombang rendahnya.
Otaknya kembali teringat pesan masuk kemarin, mengingatkan waktunya yang tak lebih dari dua minggu. Rencananya, dia akan memutuskan Buwana nanti, setelah magangnya berakhir. Tapi, sepertinya sekarang lebih tepat untuk putus. Sebelum keduanya makin dalam mencintai satu sama lain, meski nyatanya sudah.
Ralat, sebelum Raksa tak berani mengambil keputusan ini, sebelum Raksa tak berani memutuskan Buwana dan malah makin melukainya nanti.
“I'm sorry, but this is for you, Sayang,” gumamnya dan memejamkan mata.
Buwana kembali tepat matahari mulai terbenam, tepat matahari berada beberapa meter dari permukaan air laut di ufuk Barat sana.
“Hey!” sapa Buwana. Raksa bangkit dan membawa Buwana ke ujung bibir pantai. Mereka berdua duduk di atas pasir, air laut tak sampai menjangkau keduanya, tapi cukup dekat dari mereka berdua.
“The sunset is beautiful, isn't it?” Raksa tersenyum menatap matahari terbenam di hadapannya. Buwana yang duduk di sebelahnya mengangguk, sepaham akan betapa indahnya matahari yang perlahan tenggelam seolah ditelan air laut. Kepalanya bersandar di bahu Raksa.
“Iya, can....” tenggorokan Buwana tercekat ketika dirinya ingat makna ucapan Raksa sebelumnya. Buwana duduk tegak dan menoleh ke arah Raksa dengan tatapan penuh ketakutan.
Raksa juga menoleh, air mata sudah menetes membasahi pipinya.
Buwana menggeleng-gelengkan kepalanya, “no! Nggak, Sa. Kamu udah janji nggak ninggalin aku!” suara Buwana hampir tak keluar. Napasnya sedikit tersengal menahan tangis.
“I'm sorry. Saya baru sadar, Saya nggak secinta itu sama Bapak. Saya cinta Bapak, tapi nggak secinta itu, Pak. Maaf, saya nggak bisa boong lebih lama lagi, Pak,” ujar Raksa.
Buwana tertunduk dan menangis. Tak percaya akan ucapan kekasihnya. Apalagi dengan sikap Raksa dari kemarin.
Raksa berdiri, bersiap meninggalkan Buwana.
“Pak, terima kasih untuk segalanya. Terima kasih sudah mewujudkan dream dates Saya,” ujar Raksa. Tanpa menunggu balasan Buwana, Raksa melangkah pergi.
Kepergiannya diiringi air hujan yang mulai berjatuhan. Air hujan yang membuat semua orang yang ada di pantai berlarian pergi menghindarinya.
“Tunggu!” tahan Buwana. Ia berdiri dan menghadap ke arah Raksa dan menghampirinya.
Di tengah hujan yang mulai bertambah deras, Buwana mengajak Raksa berdansa, “aku belum ngabulin satu dream date kamu, dancing in the rain,” ujar Buwana.
Raksa terkekeh, “Pak, kita udah putus. Bapak nggak perlu ngelakuin itu lagi,” ujar Raksa setengah berteriak. Deburan ombak serta hujan membuat suara Raksa hampir tak terdengar.
“But you have to! Saya sudah nurutin semua mau kamu, giliran kamu nurutin Saya!”
Raksa memgangguk, pasrah, mengiyakan permintaan Buwana.
Keduanya lalu berdansa di tengah hujan yang mereka berdua syukuri kehadirannya. Hujan yang menyembunyikan tangis keduanya.
Raksa bersyukur dia tak perlu melihat air mata Buwana atau perasaan bersalahnya makin besar. Pun Buwana yang bersyukur air matanya tak perlu dilihat Raksa.
Buwana menyenderkan kepalanya di bahu Raksa, merapatkan tubuhnya ketubuh Raksa, menyelami kehangatan yang masih tersisa di tubuh orang yang ia cintai ini. Pun Raksa. Otaknya ia suruh merekam moment terakhir ini.
Sembari berdansa dengan musik dari hujan dan ombak, Buwana menahan dirinya untuk bertanya mengapa, menahan dirinya untuk menahan Raksa tidak pergi. Dia belajar dari orang tuanya, ketika seseorang ingin pergi, meski ditahan sedemikian rupa, pada akhirnya orang itu akan pergi. Jadi, Buwana membiarkan Raksa pergi. Yang bisa dia lakukan sekarang hanya menikmati momen terakhir ini.
Remasan di baju Raksa makin kencang, sekencang dan sekeras keinginan Buwana untuk menahan Raksa pergi. Karena itu, Buwana mengigit bibirnya sekeras mungkin agar suara tangisnya tak pecah meski tubuhnya bergetar. Juga agar apapun yang ingin ia ucapkan untuk menahan Raksa pergi tak terucap.
Sementara itu, Raksa makin erat mendekap Buwana. Makin erat sejalan dengan makin enggan dirinya pergi meski dia harus pergi.
Beberapa menit kemudian, Buwana memisahkan tubuh keduanya dan pergi meninggalkan Raksa setelah berpesan pada Raksa untuk mengambil barang-barangnya di resepsionis.
“Maaf, Pak. Maaf,” gumam Raksa menatap punggung Buwana yang perlahan menjauh darinya.