skala membenarkan tas selempangnya. duduknya sesekali mundur saat menemui polisi tidur. matanya sesekali melirik spion, mengagumi bagaimana lavi mengendarai motor dengan lembut. bahkan tidak jarang lavi untuk sedikit menoleh ke belakang, memastikan apa skala baik-baik saja dan tidak kesempitan? atau ketika skala melepas pegangannya, lavi akan segera menepi dan bertanya kenapa, membuat skala mau tidak mau tidak melepaskan pegangannya pada pundak lavi.
tujuan mereka yaitu toko musik yang letaknya tidak jauh lagi, hanya dua lampu merah dan keduanya sampai.
setelah turun dari motor, skala membenarkan tas selempangnya lagi. ah mengingat tadi dia izin untuk pergi bersama lavi, maminya jadi histeris. katanya, ini adalah masa kejayaan karena akhirnya skala punya teman selain nata, hey!
maka, ala ibu-ibu rempong pada umumnya, skala dibekali banyak uang, botol minum mini, powerbank, beberapa macam kukis, dan parfum—yang entah kenapa dia hanya iya-iya saja menuruti. alhasil tasnya jadi berat dan pundaknya pegal.
maminya memang tidak pernah memaksa skala untuk bergaul dengan siapa saja. tapi paling tidak mami berharap skala mau mencoba untuk kenal dengan orang lain. mungkin ini salah satu bentuk apresiasi dan perhatian setelah sekian lama akhirnya skala memiliki teman baru. agak lebay memang.
“hey,” sentuhan dipundak skala membuat empunya berjengit, menoleh untuk kemudian mengerjap dan menatap lavi,
“kenapa melamun?” skala hanya menggeleng, bingung juga menjawab apa.
“yaudah, yuk masuk.”
seumur hidup belum pernah dia merasa diperlakukan luar biasa istimewa seperti ini oleh seorang laki-laki.
tangan lavi dengan sigap membukakan pintu toko lalu mempersilahkannya masuk dan dia mengekor dibelakang.
oke, ini mungkin skala saja yang norak mengingat sahabat dekatnya hanya zenata.
“sebentar ya, gue mau ngomong sama pemilik tokonya. lo liat-liat dulu, gue gak lama kok.”
kata lavi lima menit lalu.
dan dia belum kembali sampai sekarang.
skala memilih untuk melihat jejeran gitar yang terpajang di sudut ruangan. ada juga alat musik lain seperti biola, piano, bahkan drum sekalipun. diajaknya skala kesini membuatnya tau kalau lavi menyukai musik.
omong-omong, soal ajakan, skala juga tidak tau mengapa mengiyakan ini semalam.
jadi, setelah insiden lavi yang mengambil pesanan bundanya, lavi dengan tiba-tiba memintanya untuk menemani ke toko musik. awalnya skala hanya diam dan enggan menjawab, namun perkataan lavi selanjutnya membuat skala mau tidak mau setuju dengan ajakan lavi. kalau dipikir-pikir, laki-laki itu ada benarnya. kita tidak bisa hidup sendiri. karena pada dasarnya manusia juga makhluk sosial yang membutuhkan satu sama lain.
“skala, nyokap kita aja temenan, masa kita cuma sekedar tau nama? apalagi kita tetangga depan-depanan. manusia itu hidup bersosialisasi ska, kita gabisa untuk tutup mata soal hal itu. gue disini pengen punya hubungan yang baik sama lo. tolong ya, kerja sama bareng gue buat wujudin hal itu?”
sentuhan pelan dipipinya membuat skala kembali memijak bumi. kepalanya menoleh malas melihat pemilik tangan yang menyentuhnya terkekeh pelan.
“gue liat-liat sekarang hobinya skala melamun, bener apa bener?”
“apaan sih. udah selesai urusan lo?”
lavi menggeleng tidak percaya melihat sosok yang lebih kecil beberapa senti ini mengalihkan pembicaraan.
“selain melamun juga hobi ngubah topik.”
“apa sih, lavi.”
seperkian detik lavi terpaku. dengan sisa kewarasannya, dia kembali mendominasi percakapan.
“iya udah selesai kok urusannya. eh em, skala haus? cari minum yuk? sekalian kita ngobrol?”
tidak ada alasan lagi kan untuk skala menolak?
cappuccino dan vanila late sudah tinggal setengah. kentang goreng dan siomay yang dipesan juga sudah ludes.
keduanya tertawa tanpa henti sejak satu jam lalu. arah bahasan mereka mengalir deras tanpa henti. ini bermula dari lavi yang gencar-gencarnya membangun topik sampai skala nyaman dan lebih santai dalam menanggapi lavi.
tidak ada yang menyangka juga humor mereka ada di frekuensi yang sama.
lelah tertawa, skala menyeruput minumannya. senyumnya tidak pernah redup, lesung pipinya terpatri dalam. kemudian terkekeh pelan sambil mengangkat dagu kala lavi tertawa melihatnya.
“apaan sih,” tanya skala sambil membenarkan duduknya. tangannya bergerak menata ulang rambut yang sudah tak beraturan dan lepek. terlalu banyak tertawa sampai berkeringat
“ga nyangka aja kita nyambung banget ska.” skala mengangguk menyetujui ucapan laki-laki didepannya.
benar, siapa juga yang akan menyangka seperti ini? dirinya saja kaget bisa seterbuka ini dengan lavi yang notabene baru dia kenal.
“tapi gue heran deh, kenapa ya dari awal lo kaya nolak gue buat deket? i mean, we are strangers but you always look at me like i am the antagonist back then. kenapa skala? is there something wrong with me?“
skala diam. pandangannya beradu dengan milik lavi.
semakin lama menatap, semakin lama pula ingin menetap. binar gelap yang memabukkan, tajam, dan teduh. skala tenggelam.
otaknya mendadak malfungsi ketika skala sedang merangkai kalimat yang pas untuk disampaikan pada pemilik mata galak didepannya.
semua kosakata hilang, kalimat yang sudah disusun buyar dalam satu hela nafas.
dia tidak tau apa yang salah, tapi eksistensi lavi sungguh berbahaya bagi dirinya.
“skala!” teriakan dan tepukan keras lavi membuat jiwanya kembali. ah, benar, kenapa hari ini skala banyak melamun?
“lo kenapa? gue panggilin daritadi gak nyaut? lo gak nyaman sama pembahasan kita? it's ok, gue minta maaf, kita bisa ganti topik kok, maaf ya skala.” ucap lavi sambil menatapnya cemas.
sedang skala hanya menatap diam sosoknya. yang mampu membuat perutnya bergejolak mual dan kepalanya tiba-tiba pusing.
“gak—gak papa kok, lavi. gue cuma emhh, sedikit pusing.”
“huft, maaf sekali lagi. mau pulang kah?”
lavi menghabiskan minumannya, membereskan bekas makan dan minum mereka kemudian dikumpulkan menjadi satu ditengah.
skala benar iri dengan sikap lavi yang menurutnya sangat gentle. dari awal berangkat sampai kini duduk berhadapan, tidak pernah ada satupun sikap lavi yang tidak membuat skala berdecak kagum. dia mana bisa menimbulkan kesan seperti itu.
“daydreaming again, huh?” kembali skala berjengit.
“ini lo bosen sama gue ya, ska?”
“engga kok!”
“yaudah jadi, kenapa skala? mau pulang atau masih mau disini?”
“disini dulu, sebentar. gue mau jawab pertanyaan lo tadi.”
lavi bergeming di kursinya. dia kembali memusatkan seluruh atensinya dan diam menunggu skala sendiri yang berbicara.
dilihat laki-laki sagitarius itu menarik nafas pelan sebelum membalas tatapan lavi dan berbicara.
“gue.. enggak tau kenapa takut buat kenalan sama lo—bukan, oke jadi gini gue ceritain dari awal sebenernya ini agak embarrassing buat gue tapi yaudah lah ya udah sampe sini juga kan—”
lavi tersenyum mempersilahkan skala kembali bicara.
“gapapa skala, kalau lo gak nyaman gausah cerita gapapa, gue enggak mau maksa.”
“tapi gue mau! lo dengerin baik-baik ya, lavi. jadi, waktu itu di awal kepindahan lo, mami seneng banget karena akhirnya punya tetangga yang anaknya seumuran sama gue, cowok lagi. karena itu, berakhir lah mami nyuruh gue terus buat kenalan sama lo, padahal disitu posisinya gue males banget buat ngobrol sama orang baru. tapi karena diliat-liat mami udah super excited dan tiba-tiba udah deket aja sama tante rana, akhirnya gue mutusin buat kenalan sama lo tepat di sore hari waktu lo baru sampai rumah.”
skala menyedot cappuccinonya sebelum kembali melanjutkan,
“gue mutusin buat kenalan sama lo, karena kebetulan disana lo lagi sendiri dan gerbang dibuka lebar, akhirnya gue keluar rumah dan mau nyamperin lo. tapi belom ada sejengkal dari gerbang, lo noleh dan natap gue dalem banget, tatapan lo udah kaya mau makan orang! karena itu akhirnya gue males dan mutusin buat gamau interaksi sama lo. end of the story!”
skala kembali menyedot cappuccinonya sampai habis setelah menyelesaikan ceritanya. kemudian ditatapnya lavi yang hanya diam sambil menganga. mungkin dia kaget atau semacamnya?
“lav, udah jam 1, mau balik?”
“wait-WAIT, sebentar, gue boleh nanya?” anggukan dari skala membuat lavi membenarkan duduknya, badannya dicondongkan ke depan.
“tatapan gue kaya mau makan orang?”
skala mengangguk,
“tapi waktu itu gue lagi ada di mood yang bagus. gue inget banget skala waktu lo keluar gerbang, gue kaget tiba-tiba gerbang depan kebuka, terus pas liat lo gue udah seneng banget lho, tapi gak lama lo malah kabur ke indomaret point.”
“lah, lo tau gue ke ipoint?”
“jelas lo bawa minuman disitu jelas banget sih ada tulisan warna ijo.”
“hahaha ya habis lo galak tau gak!”
“kata jevais lo bilang kalau gue creepy, senyeremin itu gue dimata lo ska? sakit banget nih hati gue.”
skala tertawa mendapati lavi yang mendramatisir keadaan.
“sumpah jevais bilang apa aja sih ke lavi? nyebelin banget deh. lagian lo bukan yang creepy gitu, cuma lo pernah nemu orang yang sekali liat terus dalem hati gini 'oh shit, we should stay away from them' or something like that. itu yang gue rasain ke lo, lavi. maaf ya hehe, habis gue ngerasa ada yang beda dari lo dan orang lain. ada yang lo punya sementara orang lain enggak.”
“kegantengan gue?”
“OH WOW, GUE BARU TAU KALAU LAVI NARSIS BANGET!”
keduanya kembali tertawa. atau hanya skala yang benar-benar tertawa, karena lavi kini hanya tersenyum memandang sosok dengan lesung pipi manis itu telah mengalihkan dunian sesaat.
lavi iri dengan bagaimana Tuhan memahat skala sebegitu indahnya.
ingin lavi rekan momen ini selamanya agar dia selalu bersyukur mengingat bahwa manusia terindah yang pernah lavi kenal kini sedang tertawa manis sambil memandangnya.