onscent


hadiah tahun lalu dari ayahnya adalah kamera. bukan yang ini, namun kamera analog dirumahnya. awal dimana canva menyukai keabadian dalam foto.

ayahnya adalah seorang pelukis, sedangkan ibunya menekuni di bidang sastra. keduanya berfokus pada bidang seni masing-masing. membuat canva sedikit tertekan karena dia tidak ahli dalam keduanya. sampai ayahnya membelikan analog, dan jatuh cinta secepat itu canva pada film-film yang telah dia tangkap dalam memori.

ahh omong-omong tentang fano, acaranya sudah hampir selesai. dan kini tamu undangan yang memenuhi halaman belakang rumah fano—karena memang sebanyak itu yang diundang—sedang asik dengan kegiatannya sendiri seperti bernyanyi, makan, atau sekedar berbincang dengan teman lainnya.

sementara disini, canva yang tadinya mau pamit pulang harus menahan diri karena kameranya hilang. lupa dia menitipkannya pada naufal sang teledor.

“ahh bangke, abis gue dimarahin ayah.”

mulutnya daritadi komat-kamit memaki diri sendiri atas kecerobohan. raut paniknya mungkin dapat terbaca semua orang sampai menarik salah satu jiwa untuk mendekat.

“canva.” panggilan itu membuat pemilik nama menoleh ke arah sumber suara. dan detik itu pula rahangnya jatuh.

dia adalah orang yang tidak ingin lagi canva temukan dalam hidup. dan dia, memegang kameranya.

surprise madefaka! batin canva menjerit kesal.

how are you? looking for something?”

dua pertanyaan bodoh. alih-alih menjawab canva malah mengeluarkan hpnya dan mengabari naufal bahwa kameranya sudah ketemu.

setelahnya dia kembali fokus pada barang miliknya.

“itu kamera gue. thanks udah ngamanin.” baru saja mau meraih, tangannya ditahan dan dijatuhkan kembali.

“mau kameranya balik? have a deal, yuk?”

padahal tadi sejak sesi foto fano bersama teman-temannya canva berdoa sekuat tenaga agar laki-laki dihadapannya tidak ngeh kalau yang memotret adalah canva.

tau titik lemahnya, mana mungkin canva melepas kamera seharga hp ip 13 keluaran terbaru. memang tidak terlalu mahal bagi beberapa orang. namun bagi canva yang merangkak dalam freelance? susah sekali.

“tau nih gue, orang kaya lo emang selalu ada maunya, selalu. gausah basa-basi, deal apa yang lo tawarin?”

canva ingin konversasi ini cepat berakhir dan menghilang dalam radarnya.

“jadi fotografer pribadi gue.”

hell no.

“benefit apa yang gue dapet?”

“uang. lo juga bisa jadi temen gue.”

ga ada sih yang mau jadi temen lo

talk about it later. sekarang gue harus pergi.” canva menyodorkan tangannya, meminta kameranya kembali.

deal or not, canva arazean selatan?”

“vasco.”

“gue kira lo gamau nyebut nama gue kaya voldemort.”

“bisa gausah bercanda? kamera itu sumber penghasilan gue.”

that's why! pas banget kan gue nawarin kerja? buat tambahan penghasilan lo.”

benar sih, tapi dia juga najis untuk bekerja sama denga vas—

deal.” tangannya segera mengambil alih barangnya dan mengalungkannya.

“jangan lupa unblock gue.” ucap vasco pelan sambil tersenyum tipis memandang punggung canva yang mulai menjauh.

“hai canva, kita ketemu lagi.”



biasanya jika bersama zenata, skala akan memilih untuk langsung pulang ke rumah setelah futsal selesai. namun sore ini ada yang cukup berbeda. bukannya segera membersihkan diri, skala justru mampir ke street food yang jaraknya tidak jauh dari tempat futsalnya.

bukan seratus persen idenya, namun skala mengiyakan. selain lapar skala juga modus ingin berduaan lebih lama bersama lavi. kali ini dia memantapkan hatinya dan tidak ada lagi kata denial kalau skala benar sudah jatuh pada lavi.

sejujurnya dirinya sudah tidak nyaman dengan jersey yang penuh keringat. dia juga takut kalau bau tubuhnya mengganggu pernafasan lavi. oke, itu cukup lebay. namun tidak ada bedah nya dengan lavi yang juga bermandikan keringat. anehnya, sejak tadi bukan bau apek yang menyapa olfaktorinya, justru perpaduan antara deterjen miliknya—tentu karena itu jersey skala—dan bau khas lavi yang lavi abis.

dan skala suka.

mungkin terdengar cukup freak tapi masa bodo.

“udah ini aja?”

perhatian skala kembali pada laki-laki disampingnya yang sedang menenteng beberapa bungkus makanan. dari jajanan kering sampai basah, ada semua.

“udah.”

setelah mengonfirmasi, keduanya kembali berjalan menuju motor matic yang disampingnya ada bapak ojol yang masih setia menemani.

lavi menaruh semua jajannya di hook motor bagian depan. kemudian mengambil 4 cup boba medium dari tangan skala.

“pake dulu helmnya. kamu bawain dua bobanya ya, nanti tangan satunya buat pegangan ke aku.” kata lavi sambil menggantungkan dua minuman manis itu. badannya berputar untuk melihat skala setelahnya.

“iya lavi, udah aku pake. mana sisanya tadi?”

“nih. jangan sambil minum ya, nanti keselek.”

skala hanya mengangguk untuk menanggapi.

bersama lavi semuanya jadi mudah dan menyenangkan. bahkan yang biasanya dirinya akan jompo setelah futsal, kini badannya terasa lebih bugar dan ingin melakukan aktivitas lain bersama lavi tentunya.

emang kalau jatuh cinta gini ya? maunya ketemu terus sama dia?

“kamu lagi jatuh cinta?”

“hah?”

“hah?”

“tadi aku ngomong gitu?”

“iya, kamu mau ketemu terus sama.. dia? siapa?”

malu 9 keliling. skala ingin menceburkan dirinya di rawa-rawa sekarang juga.

matanya melirik ke sembarang arah asal tidak ke spion yang menunjukkan binar milik lavi yang daritadi tidak berhenti melirik kearahnya.

kebetulan sekali karena tidak sampai sepuluh menit rumahnya sudah terlihat. mesin motor mati tepat didepan rumah skala dan lavi. buru-buru skala turun dan melepas helmnya, menyerahkannya pada sang pemilik.

“makasih ya lavi udah minjemin helmnya ke skala.” lavi tersenyum tipis. ikut melepas helmnya dan menyerahkan pada ojol disampingnya.

“makasih banyak pak udah minjemin helm. udah saya bayar lewat aplikasi sekalian tipnya ya.”

“makasih banyak mas-mas sekalian, semoga banyak rejeki dan bahagia selalu mas. saya permisi.”

skala mengangguk dan mengaminkan dalam hati. pandangannya kembali pada lavi yang ternyata sedang menatapnya dalam.

ditatap seperti itu, siapa yang kuat sih? skala hampir pingsang dibuatnya.

“lavi nanti jadi mau makannya ditempatku?” secepatnya, skala ingin mengakhiri konversasi ini.

“jadi, nanti aku habis mandi kesini. mau aku bantuin bawa masuk jajannya?”

“no, aku bisa.” dibisa-bisain

“all good?”

“good.”

dengan kedua tangan penuh berbagai macam jajan dan minuman skala memundurkan dirinya,

“udah semua. aku masuk dulu ya, kamu kalau mau kesini langsung aja gedor pintu jangan chat. aku ga buka hp soalnya mau di charges.”

“oke. see you, skala.”


sore ini air dikamar mandinya lebih dingin. padahal baru saja dia banjir keringat.

skala mengambil kaos asal dari lemarinya. diliriknya jam yang menggantung pada dinding menunjukkan pukul lima sore.

tubuhnya dibawa melangkah menuju ruang tengah setelah membenarkan pakaian. diatas meja berbagai jenis jajan dari yang basah sampai kering masih tertata apik. boba ukuran medium itu juga masih disana. cupnya sudah meneteskan air, esnya mencair perlahan.

“CAKAAAA,”

“APAAN?!”

“SINI KE DEPAN TV GUE BAWA JAJAN.”

“IYE BENTARR,”

rumahnya sepi. maminya sedang arisan di luar dan caka daritadi hanya mendekam di kamar. bahkan skala belum melihat bocah itu setelah dari lapangan.

baru mendudukkan diri di sofa, bel rumah berbunyi. tanpa pikir panjang skala segere berjalan cepat menuju pintu. kehadiran sosok dibalik pintu ini yang skala tungu-tunggu.

lavi. dia datang dengan menenteng buah-buahan.

“ngapain bawa buah?”

“ya gapapa. masa aku ke rumah kamu gapernah bawa apa-apa?”

skala memutar bola matanya malas. tangannya menarik pintu agar semakin terbuka lebar, kemudian menyuruh lavi masuk.

sudah beberapa kali lavi menjejaki rumah ini, tidak ada yang berubah sama sekali. suasananya selal tenang dan hangat. benar-benar seperti rumah.

lavi bahkan sudah hafal denah rumah laki-laki berlesung pipi ini.

namun ada satu yang berbeda, ternyata. matanya melirik ke arah pintu jati—yang biasanya tertutup, kini terbuka—dan sosok yang sedang duduk memakan siomay secara bergantian.

terakhir kalinya dia kesini adalah satu minggu lalu sebelum ujian, saat belajar bersama. belum ada makhluk itu. lalu, dia siapa?

“woy anjir ga elegan banget sih malu-maluin gue aja lo. eh lavi, sini duduk.” skala menarik lavi untuk segera mengambil tempat disampingnya.

caka mengernyit memandang sosok asing yang dibawa saudaranya.

“cak, ini lavi, tetangga depan rumah. lavi, ini caka, sepupuku.”

oh. ohh.

pertemuan ketiganya berlangsung lama. skala pikir mereka akan canggung. tapi tidak, keduanya membangun obrolan dengan sangat baik. bahkan akrab. saking akrabnya skala bingung siapa yang kenal lebih lama. tapi waktu juga tidak menjamin, kan?

“oh lo tadi main bareng skala? gue tadi balik duluan soalnya ada orang bego yang muterin kran wastafel malah jadi nyemprot ke baju gue.”

“iya itu first time gue main futsal disini.”

“loh, lo tadinya ga disini berarti?”

“gak. gue pindahan dari luar jawa.”

“anjir? seriuss??? gila pantes gue ngerasa gak asing liat muka lo. jangan-jangan dulu kita tetangga?”

“gue setaun doang sih disana soalnya asalnya sebenernya emang dari sini.”

“lahh gimana maksudnya? jelasin coba.”

“jadi, gue tuh dulu...”

dan skala merasa benar-benar out of place. harusnya dia bisa saja ikut nimbrung atas topik menarik yang sama sekali belum pernah skala tanyakan kepada tetangganya ini. namun entah kenapa tenaganya habis hanya untuk sekedar bersuara. jadi dia hanya dia, makan jajan, sambil mendengarkan kanan-kirinya saling bersahut.



tangan nanon menjadi bantalan pawat sejak sepuluh menit lalu. begitu sampai di apartemen nanon, pawat segera masuk ke kamar bersembunyi dalam selimut sambil memeluk nanon. baru tiga hari tidak bertemu, rasanya sudah sekangen ini. rasanya pawat ingin cepat cepat menyatukan tempat tinggal agar dia bisa selalu pulang.

sama-sama disibukkan oleh skripsi membuat intensitas pertemuan keduanya semakin menjarang. padahal jarak kost pawat ke milik nanon tidak sampai 10 menit. kalau kangen bisa saja dia langsung meluncur. tapi nanon yang melarangnya. katanya pawat adalah distraksi. dia tidak bisa fokus ke skripsinya jika ada pawat. makanya pawat memilih untuk mengalah. daripada skripsinya tertunda? tidak jadi tinggal bersama dong.

iya, mereka memutuskan untuk tinggal bersama ketika sudah lulus nanti. entah dimana tempatnya, yang jelas akan dicari tempat yang murah untuk ditinggali dua orang fresh graduate.

“kaya udah lama banget kita ga kaya gini ya.” tangan pawat mengelus pelan perut nanon. wajahnya sesekali ditenggelamkan dalam dada nanon.

sejak pacaran pawat semakin manja dan manja, berbanding terbalik dengan nanon yang semakin tsundere parah.

kepala laki-laki aries ini diangkat, netranya terkunci pada milik nanon yang sayu. sudah mengantuk.

“besok kita jadi ke pameran lukis non?”

“ayo kalo mau.”

“mau. gila apa ya gue nolak.”

kemudian hening.

menenangkan.

“hadiahnya apa? katanya tadi kamu mau ngasih aku hadiah? mumpung boyfriend day nih.”

sebenarnya nanon cuma omdo sih untuk hadiah. dia juga tidak menyiapkan apa-apa.

tapi daripada pawat semakin mendesaknya, nanon memilih jalan pintas untuk mencium pelipis pawat.

“tuh, udah.”

lagi. pawat ingin serakah.

pelukannya di pinggang nanon semakin erat. membuat jarak keduanya terkikis dan kini menempel.

“sayang.”

suara rendah pawat membuat nanon bergerak tak nyaman. bukan apa-apa. dia hanya salting.

lalu diikuti tawa mengejek.

“kamu tuh ya kenapa sih, selalu aja merah kalo aku pegang terus manggil sayang. tapi aku selalu suka ngeliatnya. gimana tiap harinya kamu selalu jatuh cinta ke aku.”

jelas.

ohm pawat adalah crushnya. bagaimana bisa dia tidak salting ketika crushnya ternyata juga jatuh kepadanya?

“bodo amat. aku ke kamar mandi dulu.”

segera nanon menyibak selimut dan berlari ke kamar mandi.

“KOK KABUR SIH ANJIR.”

“GUE KEBELET PIPIS BANGSAT.”

benar kok, mana ada nanon bohong soal hal begini.

setelah melakukan eksresi, kembali lagi pada kasur tercintanya yang kini sudah merebah sosok yang dia cinta juga dengan senyum sinisnya.

entah apa yang dipikirkan pacarnya. yang jelas nanon sekarang sangat sangat ngantuk dan butuh istirahat. mengingat kemarin dia ngebut di pembahasan sampai selesai jam sebelas malam tadi.

“kiw, cowo.”

“gausah macem-macem, gue ngantuk.” matanya terpejam. berniat menjemput mimpi. sebelum benda kenyal menabrak pada bibir berisinya.

hanya kecupan ringan. dia tidak keberatan dengan itu. namun hembusan ringan yang menabrak wajahnya membuat nanon kembali membuka matanya. menatap malas kepada pawat yang mengukung dirinya.

“paw...”

tidak dijawab dengan kata, melainkan aksi. wajah pawat semakin mendekat, hembusan keduanya terasa. yang selanjutnya terjadi, pawat akan meciumnya. jadi, nanon kembali menutup matanya.

salah.

maksudnya benar. pawat memang kembali menciumnya, namun bukan di bibir. melainkan di... mata.

“kok, bau freshcare non?” katanya setelah menjauhkan diri sambil mengernyit bingung.

“gue habis pake freshcare.”

sedetik dua detik tiga detik empat detik

“BANGSAT LO NGAPAIN PAKE FRESHCARE DI MATA ANJING BIBIR GUE PANAS!!!!!”

secepat kilat pawat berlari menuju kamar mandi. meninggalkan nanon yang tertawa puas.

“kan gue udah bilang, gue ngantuk, mau tidur. makanya pake freshcare biar cepet tidur.”

“YA TAPI GA DIMATA JUGA KALI AH ELAHHH,”

teriakkan kesal pawat dari kamar mandi membuat nanon tertawa semakin keras. jujur dia juga tidak menyangka pawat akan menciumnya di mata. jadi, bukan salah nanon juga kan?

“pawat bego. mending gue tidur sekarang daripada kena ganggu dia lagi.”



semilir angin masuk melalui jendela yang dibuka dengan sengaja. beruntungnya terik matahari tidak menembus ke dalam rumah. halauan dari morning glory dan allamanda ternyata cukup efektif. tidak sia-sia jevais membeli banyak bibit.

jam menunjukkan pukul dua siang. niatnya untuk bermain playstation menjadi wacana semata karena sedari tadi ketiga remaja itu beralih memakan cemilan sambil bermain kartu. kejadiannya selesai tepat limabelas menit lalu. saat jevais tiba-tiba ditelepon oleh zenata dan moodnya mendadak berubah.

bungkus makanan tercecer ditiap sudut ruang. biarlah nanti memanggil jasa cleaning service karena sungguh, badmood adalah kata yang cukup mendeskripsikan tiga remaja galau.

jevais duduk di sofa sambil bermain handphone. entah bertukar pesan dengan siapa, namun jemarinya tidak berhenti mengetik.

novan sendiri tengkurap diatas kasur dengan handphone ditangannya ada dalam posisi landscape dan chitato bungkus kedua yang tinggal setengah. mulutnya sibuk mengunyah sambil memaki kala musuh menembus benteng tahannya.

sedang lavi hanya duduk disebelah novan bersandar headboard. matanya terpejam. entah untuk alasan apa hatinya risau.

sejujurnya apa-apa yang sedang mereka lakukan kini adalah distraksi atas sakit yang tak mau dirasa.

“lo gajadi malmingan sama skala?”

suara jevais memecah hening. bahkan suara defeat milik novan terdengar jelas.

lavi membuka matanya sambil menatap sahabatnya bingung.

“jadi, kok.” novan yang menjawab. “lo gak liat postingan gue semalem?” lanjutnya sambil membenarkan posisi tidur menjadi telentang menghadap jevais.

yang diajak bicara berdecak malas. sasarannya kan bukan pada novan.

“bukan lo anjir. sohib kita yang satu lagi.” jevais melangkah, turut bergabung diatas kasur. tangannya tanpa ragu menjitak kepala novan yang hanya dibalas lirikan tajam.

“oh jadi lo yang udah janjian sama skala? soalnya kemaren waktu gue ajakin di grup dia bilangnya udah ada janji kan nah terus kemaren dia malah nemuin gue mana dateng mukanya cemberut gue tanya kenapa katanya gajadi malmingan soalnya orang yang janjian sama dia ada jadwal dadakan jadi lo lav orangnya? emang semalem lo ada jadwal apa dah?”

setelah menyelesaikan kata demi kata, bukannya menjawab tangan lavi mengikuti jejak jevais untuk menjitak novan,

“lo bisa gak kalo ngomong pake titik koma? pusing gue dengernya!”

“ya intinya gitu dah sampe gue sama zenata kaya nanya-nanya kenapa emang gajadi malming, dia diem aja.” lanjut novan. kakinya dia tumpukan diatas punggung jevais yang mengambil posisi tengkurap diantara novan dan lavi.

“zenata? lo bertiga?”

“lav, lo kok ketinggalan banget sih? udah jelas kalo ada skala sama novan, udah pasti bareng zenata. sekarang mereka udah kaya 3 serangkai anjir barengan mulu kalo curhat, kita kayanya bentar lagi dilupain lav.”

drama. bahkan jevais berucap sambil memeluk lengan lavi dan berpura-pura menangis tersedu.

oke, jadi lavi mendapat informasi yang membuat hatinya sedikit tenang. paling tidak mereka tidak menghabiskan malam minggu berdua. namun kenapa juga lavi berpikir seperti itu.

“lebay lu.”

“ehh guys, gue mau curhat deh haha. dah lama kita gak saling tuker cerita gak si?”

benar yang dikatan jevais. sudah lama, entah terakhir bulan lalu atau dua bulan lalu. mengingat mereka disibukkan dengan kegiatan ekskul maisng-masing atau memang karena hadirnya skala menjadi variabel lain yang membentuk mereka menjadi lebih sering bermain ketimbang tukar cerita. toh, bukan hal buruk juga sebenarnya.

“kenapa jev? cerita aja, gue sama novan bakal dengerin kok.”

dan ucapan welcome dari lavi membuat jev menarik nafas dalam sebelum memulai kisahnya.

“lo pada tau kan daridulu yang mancing buat pacaran itu zenata. bahkan beberapa kali kita sempet cekcok dan marah gajelas gara-gara ngomongin komitmen. terus beberapa hari lalu waktu kita lagi minum boba di mall gue ngajak dia pacaran tapi tiba-tiba dia malah kabur, bahkan waktu gue chat ke dia kalo gapapa misal dia masih mau mikirin eh cuma di read anjing. sampe gue tadi di telfon katanya mau tenangin diri dulu dan minta jangan nyariin. gue bingung mau dia tuh apa sih, apa dia sebenernya udah ga sayang sama gue?”

terlihat jelas dari nada dan raut jev yang sangat frustasi. lavi dan novan tahu bahwa hubungan jev dengan zenata masih stuck di 'TTM' atau 'HTS'? intinya seperti itu. Dan ini sudah setahun lamanya sejak kali pertama mereka kenal.

“dia cuma minta lo buat gak nyariin sementara waktu karena mau nenangin diri, jev. lo jangan kebanyakan asumsi.”

lavi berusaha menenangkan, walau sadar sebenarnya tidak bermakna banyak untuk jevais.

sebenarnya jevais tadi juga sudah konsultasi dengan sahabat dekat zenata, skala. katanya, zenata cuma butuh waktu. tapi sampai kapan? haruskah jevais yang selalu mengerti zenata?

“gue capek. gatau lagi deh bakal gimana, pasrah aja gue.” finalnya. jevais lalu duduk disamping lavi, menyenderkan kepalanya di bahu lavi.

“anying jev, jauhin gak pala lo dari lavi?! dia punya gue njirr,”

kembali pada aksi BIM, malas juga meladeni novan yang sinting, akhirnya jev mengalah. entah sejak kapan segalanya tentang lavi menjadi nomor satunya novan. alias novan adalah fans nomor satunya lavi.

sementara yang sedang diributi hanya diam sambil menatap novan. haruskah?

“van, lo kalo ada masalah bisa cerita ke kita.”

bacotan novan yang sama sekali tidak masuk ditelinga lavi terhenti. dia menoleh ke arah lawan bicaranya, lavi.

alasan novan tidak bercerita adalah, menurutnya ceritanya lebay. bahkan melihat lavi yang santai saja ayahnya menikah lagi membuatnya iri, begitu mudahnya lavi menerima orang baru.

tapi memang kasus mereka disini cukup berbeda. dan apa yang novan rasakan bukan suatu kesalahan.

“yaa masih sama lav, bokap gue mau nikah lagi, semalem dia ngajak buat meet up sama calonnya, tapi gue kabur.”

dari pernyataan novan, dipastikan dia tidak tau siapa calon ayahnya. lalu bagaimana cara memberi tau? akankah novan setuju? karena lavi setuju setuju saja, asal bundanya bahagia.

“kalo misal calonnya bokap lo dari orang yang lo kenal, gimana van?” tanya lavi. atensinya tidak melepas gerak novan. berusaha membaca setiap mimik wajahnya.

“emm, ya gimana ya, sebenernya gue gapapa kalo bokap nikah lagi. gue pasti pelan-pelan bakal terima asal bokap gasalah pilih. masalahnya gue masih inget nyokap, gue ngerasa bokap selingkuh padahal faktanya gak gitu. gue cuma belum terima kalo nyokap udah gak ada.”

penjelasan novan membuat lavi berhembus pelan. setidaknya kalaupun nanti mereka benar jadi saudara tiri, novan tidak akan membenci bundanya.

“jadi, lo belum ikhlas van?”

“ya mana ada yang rela ortunya ninggalin lo sih jev?”

“tapi kalau lo kaya gini terus, nyokap lo bakal sedih van. lo juga nyakitin diri lo dan bokap lo.”

novan tau! tapi dia tidak bisa! ikhlas adalah hal berat yang bisa dilakukan. sosok wanita kesayangan novan, yang paling dia sayang. mana bisa dia melupakan kalau taun lalu mereka masih merayakan ulang tahun bersama.

“kemarin lo cerita kan sama zenata dan skala? mereka ngasih lo advice?” novan mengangguk.

“apa kata mereka?” tidak susa untuk menjawab pertanyaan jevais. namun butuh waktu beberapa menit sebelum novan menjawab. pandangannya beralih dari jevais, ke lavi, kemudian ke langit kamar.

“katanya... gue disuruh coba kenalan dulu. karena mungkin, bisa aja calonnya bokap punya obat yang bisa ngebantu ngurangin kangen gue ke nyokap.”

tepukan tangan membuat dua laki-laki yang sedang saling bercengkerama menoleh menuju sumber suara.

lavi tersenyum merangkul keduanya.

“that's it! kenalan dulu! baru kalau lo mau nolak it's oke. pikirin juga bahagianya bokap lo, van.”

“lo juga, jev. jangan salah ambil keputusan. lo sayang sama zenata kan? perjuangin! sampai dia nyuruh lo mundur, baru lo mundur, yang mana itu gabakal kejadian. kalian bucin banget.”

sidestory, from pawat & nanon seven days<3


temaram apartemen tidak menyurutkan nanon yang kini masih berkutat dengan laptopnya. kata demi kata tersalurkan dengan baik dalam lembar putih. sedikit lagi, dan laporannya akan selesai.

nanon adalah tipikal mahasiswa yang malas dan suka menunda. namun untuk yang satu ini, dia tidak bisa mengabaikannya. jika garapan laporan praktikum ditunda, maka jadwal weekend akan berkurang. dan dia tidak bisa rebahan dengan tenang. maka dari itu, hari ini dia berambisi untuk menyelesaikannya sekarang juga. walaupun deadline masih di minggu depan.

pukul satu. tubuhnya diregangkan. badmood rasanya mengetahui matanya sudah ingin terpejam, badanya remuk, dan pikirannya lelah. namun jika berhenti disini akan sangat tanggung. tinggal menulis kesimpulan dan laporannya beres.

sebelum jari lentiknya kembali pada keyboard lingkaran tangan dipinggangnya membuat nanon berjengit kaget.

kepalanya menoleh, mendapati sosok yang kini menenggelamkan kepalanya diceruk lehernya. wanginya dihirup seakan tidak ada kata besok.

tangan nanon terangkat untuk mengusak pelan surai pawat. badannya diputar agar bisa saling menghadap.

“kenapa? kebangun?”

“udah jam 1, ayo tidur. ngantuk.” bukannya menjawab, pawat menarik nanon agar bangkit dari duduknya.

“bentar lagi, tinggal kesimpulan kok ini.”

“gak, beneran non gue marah kalo lo masih lanjut.”

“paw, tenang aja gabakal sampe—”

“yaudah, terserah. semangat ngelembur. gue keluar ya.”

oke, pawat marah.

rengkuhan dipinggangnya terlepas. dingin tiba-tiba menguasai perut nanon kala tangan besar pawat menghilang. bibir bawahnya dia gigit kala punggung pawat semakin menjauh.

nanon menghela nafas pelan. laptopnya segera dimatikan setelah data laporan dia simpan.

dengan segera dia menyusul pawat. sedang berdiri di dekat televisi sambil memegang handphone dan kunci mobil.

benar mau keluar

dan kali ini giliran nanon yang melingkarkan tangannya dipinggang pawat.

“paw, ayo tidur.”

pawat mendengus kasar. dikosongkan tangannya untuk menggendong nanon menuju kamar.

tubuh nanon diletakkan pelan diatas kasur. matanya tidak lepas dari milik pawat yang berada diatasnya.

kelopaknya menurun saat pawat mengelus mata pandanya, lalu turun menuju pipi dan rahang.

“you look so tired...” ucapnya pelan.

nyaman. itu yang nanon rasakan. beberapa minggu terakhir memang jadwalnya agak berantakan. menempati divisi media ini artinya otak kreatif nanon harus bekerja lebih ekstra dibanding biasanya. belum lagi laporan dan tugas kuliah yang tak ada habisnya.

rasanya jika tidak ada pawat, hidupnya sudah kacau.

sebagai mahasiswa kura-kura, kuliah rapat-kuliah rapat, sebagian besar hidupnya nanon habiskan di kampus. berbeda dengan pawat yang setelah kuliah langsung pulang sehingga masih banyak waktu tersisa untuk mengerjakan tugas kuliah dan segala tetek bengeknya.

mata nanon terbuka ketika merasakan hembusan hangat menyapu pipinya.

dilihatnya laki-laki aries sedang mengendus pipinya manja. kadang tidak habis pikir dengan apa yang pawat lakukan, namun dia pun paham kenapa sosok diatasnya ini melakukan ini.

“paw.”

“hmm?”

tidak ada kata lagi setelahnya. agak susah payah nanon menarik pawat untuk merebah disebelahnya. ditindihnya dada pawat dengan tubuh kecilnya yang tidak bisa dibilang kecil.

nanon meminta afeksi. dan pawat paham.

elusan di kepala nanon membuat nanon berharap pagi tidak cepat datang. ya, mana mungkin itu terjadi, sekarang saja sudah pagi.

“jangan lagi.”

bisikan pawat membawa nanon pada dirinya sendiri. jangan lagi.

sedikit banyak tau. sisi lemah pawat, tidak ada yang tau, tak terkecuali nanon yang hanya diceritakan dalam kata seimplisit mungkin.

“maaf.”

lagi. nanon mendongak, mendapati pawat memejamkan mata. elusan di kepalanya belum berhenti, satu tangan pawat melingkar manis dipinggangnya. nanon suka.

“nanon.”

“pawat, hey, lagi mikirin apa?”

sebagai sahabat, saudara, soulmate, nanon mau pawat tau kalau nanon selalu ada disampingnya. seluruh takutnya valid, namun nanon selalu ada disisinya. nanon mau pawat tidak lupa akan hal itu.

keduanya sama-sama rapuh.

bukan hanya pawat yang mau agar nanon selalu bahagia, doa yang sama juga nanon panjatkan agar dimanapun, kapanpun, dan bersama siapa pawat, bahagia selalu menjadi akhirnya.

matanya bersiborok dengan manik gelap pawat. hening tercipta beberapa detik.

“nanon, jangan gitu lagi. gue gak suka. gue gak mau lo kenapa-kenapa. gue minta maaf kalau terlalu posesif, maaf. tapi jangan lagi ya, non.”

bibirnya bergetar, matanya berkaca dengan tangan yang semakin erat memeluk nanon.

ada kenangan buruk tentang nanon dan tengah malam. pawat disana, menyaksikan semua. trauma masa lalu memang hal terburuk yang pernah ada.

“enggak paw, gue minta maaf. gue gabakal ulangin lagi, pokoknya sekarang gue tidurnya bareng lo terus, jadi lo gaperlu khawatir tentang apapun, oke?”

“jangan sakit, jangan tinggalin gue. gue gamau ditinggal lagi.”

“gabakal paw, percaya sama gue.”

malam itu, hanya ada temaram dan dua insan yang sama-sama memendam rasa. sembunyi dibalik selimut. merengkuh satu sama lain. untuk takutnya yang nyata, untuk cintanya yang lama, untuk segalanya, jam satu pagi. pawat dan nanon saling berbagi afeksi.



setelah menyelesaikan event tahunan english public speaking, lavi mengevaluasi kerja panitia yang patut diberi acungan jempol karena semuanya berjalan lancar sesuai dengan yang lavi harapkan.

melupakan segala lelahnya, lavi ingin menghabiskan waktu dengan kedua sahabatnya. maka dia mengagendakan barbeque party di basecamp tak lupa mengajak skala dan zenata sebagai teman baru.

kancing baju perlahan dilepas. guyuran shower mendinginkan kepalanya. selama kurang lebih satu bulan menyiapkan event, lavi tidak percaya pada akhirnya hari sudah terlewati. jabatannya sebagai ketua osis dan ketua ekskul eps sebentar lagi akan beralih. sudah cukup selama satu tahun dirinya mengabdi pada sekolah. kini saatnya dia pensiun dan lebih memfokuskan diri dengan belajar.

notifikasi yang muncul di layar hp membuat lavi buru-buru menyelesaikan ritualnya dan segera mengenakan baju.

senyumnya terpatri kala membaca pesan yang masuk. jarinya segera mengetik pesan pada grup dan personal chat yang masuk.

tangannya menyambar kunci motor dan dompet. kakinya melangkah lebar keluar rumah, tidak sabar untuk bertemu dengan seseorang di seberang rumah yang sepertinya sudah merindukannya. alah dangdut banget

pintu rumah skala terbuka lebar ketika lavi selangkah menginjakkan kakinya masuk ke pekarangan rumah gaya klasik modern tersebut.

disana empunya terlihat memanyunkan bibir sambil menatap lavi malas. sementara yang ditatap hanya tertawa pelan.

“hai, skala.” tangan lavi terangkat untuk mengusak rambut yang lebih kecil.

skala tidak membalas, namun segera menarik tangan lavi untuk mengikutinya masuk.

dibawanya lavi ke ruang makan. disana terlihat satu totebag ukuran besar yang didalamnya sudah bisa lavi tebak berisi container lasagna.

skala mengajak lavi untuk duduk. kemudian mengambil kotak berwarna biru dan menyerahkannya pada laki-laki yang malam ini menggunakan hoodie berwarna hitam dengan gambar golden retriever ditengah.

“coba dulu, takut ga enak.”

lavi mengerutkan kening tak setuju, siapapun juga tau tangan skala adalah tangan dewa. apapun yang dihasilkan skala pasti hasilnya diluar ekspektasi.

namun lavi tak banyak berkata, hanya menuruti apa yang skala suruh.

satu suapan masuk dalam mulutnya, matanya melirik skala yang terus menatapnya dengan alis terangkat, penasaran dengan reaksi lavi.

“enak, skala.”

skala melenguh pelan. kemudian mengangguk. bukan itu reaksi yang diharapkan, tapi begitu saja sudah lebih dari cukup. lesung pipinya tampak kala skala tersenyum manis.

“okayy, kalo gitu kita otw sekarang!”

“wait—mami kamu mana?” lavi menahan lengan skala untuk duduk kembali. namun empunya hanya menatap dan melepas tangan lavi dari miliknya.

“udah tidur. tadi aku udah pamit mau pergi sama kamu—” skala mengambil kunci yang disana terdapat gantungan bertuliskan 'amore'

“—i've got the key. jadi mau pulang jam berapapun it's okay hahaha. ayok, lav!” seru skala.

kembali pemilik rumah menyiapkan totebagnya. tidak lupa kotak lasagna milik lavi dimasukkan dalam totebag.

lavi hanya mengangguk pelan dan membantu skala dalam menyiapkan beberapa hal.

selanjutnya keduanya berjalan menuju rumah lavi untuk mengambil motor, tentunya setelah skala mengunci rapat gerbang rumahnya.

“tante rana udah tidur juga lav?” tanya skala. helm sudah terpasang apik. kini dirinya menaiki vario keluaran terbaru milik lavi.

“belum. bunda lagi keluar. katanya sih belanja.”

“loh, kok kamu gak nemenin?”

“bunda langsung otw dari kantornya. udah siap belum?”

“oh gitu. kamu udah izin mau bbq-an? udah siap!!”

entah skala yang luar biasa enerjik atau perasaan lavi saja karena malam ini skala terdengar sangat sangat ceria.

lavi tersenyum dibalik kaca helm,

“udah izin, skala. aku otw ya, kamu pegangan.”

dengan cekatan skala menaruh tangannya dipundak lavi. deja vu ingatannya terbang dan bermuara pada saat dimana untuk pertama kalinya skala dan lavi pergi bersama untuk menjalin pertemanan.

“udah, bawel.”

“kamu ga sih yang bawel.”

“ahh berisik, udah cepetan tarik gasnya.”

“siapp!”



skala membenarkan tas selempangnya. duduknya sesekali mundur saat menemui polisi tidur. matanya sesekali melirik spion, mengagumi bagaimana lavi mengendarai motor dengan lembut. bahkan tidak jarang lavi untuk sedikit menoleh ke belakang, memastikan apa skala baik-baik saja dan tidak kesempitan? atau ketika skala melepas pegangannya, lavi akan segera menepi dan bertanya kenapa, membuat skala mau tidak mau tidak melepaskan pegangannya pada pundak lavi.

tujuan mereka yaitu toko musik yang letaknya tidak jauh lagi, hanya dua lampu merah dan keduanya sampai.

setelah turun dari motor, skala membenarkan tas selempangnya lagi. ah mengingat tadi dia izin untuk pergi bersama lavi, maminya jadi histeris. katanya, ini adalah masa kejayaan karena akhirnya skala punya teman selain nata, hey!

maka, ala ibu-ibu rempong pada umumnya, skala dibekali banyak uang, botol minum mini, powerbank, beberapa macam kukis, dan parfum—yang entah kenapa dia hanya iya-iya saja menuruti. alhasil tasnya jadi berat dan pundaknya pegal.

maminya memang tidak pernah memaksa skala untuk bergaul dengan siapa saja. tapi paling tidak mami berharap skala mau mencoba untuk kenal dengan orang lain. mungkin ini salah satu bentuk apresiasi dan perhatian setelah sekian lama akhirnya skala memiliki teman baru. agak lebay memang.

“hey,” sentuhan dipundak skala membuat empunya berjengit, menoleh untuk kemudian mengerjap dan menatap lavi,

“kenapa melamun?” skala hanya menggeleng, bingung juga menjawab apa.

“yaudah, yuk masuk.”

seumur hidup belum pernah dia merasa diperlakukan luar biasa istimewa seperti ini oleh seorang laki-laki.

tangan lavi dengan sigap membukakan pintu toko lalu mempersilahkannya masuk dan dia mengekor dibelakang.

oke, ini mungkin skala saja yang norak mengingat sahabat dekatnya hanya zenata.

“sebentar ya, gue mau ngomong sama pemilik tokonya. lo liat-liat dulu, gue gak lama kok.”

kata lavi lima menit lalu.

dan dia belum kembali sampai sekarang.

skala memilih untuk melihat jejeran gitar yang terpajang di sudut ruangan. ada juga alat musik lain seperti biola, piano, bahkan drum sekalipun. diajaknya skala kesini membuatnya tau kalau lavi menyukai musik.

omong-omong, soal ajakan, skala juga tidak tau mengapa mengiyakan ini semalam.

jadi, setelah insiden lavi yang mengambil pesanan bundanya, lavi dengan tiba-tiba memintanya untuk menemani ke toko musik. awalnya skala hanya diam dan enggan menjawab, namun perkataan lavi selanjutnya membuat skala mau tidak mau setuju dengan ajakan lavi. kalau dipikir-pikir, laki-laki itu ada benarnya. kita tidak bisa hidup sendiri. karena pada dasarnya manusia juga makhluk sosial yang membutuhkan satu sama lain.

“skala, nyokap kita aja temenan, masa kita cuma sekedar tau nama? apalagi kita tetangga depan-depanan. manusia itu hidup bersosialisasi ska, kita gabisa untuk tutup mata soal hal itu. gue disini pengen punya hubungan yang baik sama lo. tolong ya, kerja sama bareng gue buat wujudin hal itu?”

sentuhan pelan dipipinya membuat skala kembali memijak bumi. kepalanya menoleh malas melihat pemilik tangan yang menyentuhnya terkekeh pelan.

“gue liat-liat sekarang hobinya skala melamun, bener apa bener?”

“apaan sih. udah selesai urusan lo?”

lavi menggeleng tidak percaya melihat sosok yang lebih kecil beberapa senti ini mengalihkan pembicaraan.

“selain melamun juga hobi ngubah topik.”

“apa sih, lavi.”

seperkian detik lavi terpaku. dengan sisa kewarasannya, dia kembali mendominasi percakapan.

“iya udah selesai kok urusannya. eh em, skala haus? cari minum yuk? sekalian kita ngobrol?”

tidak ada alasan lagi kan untuk skala menolak?


cappuccino dan vanila late sudah tinggal setengah. kentang goreng dan siomay yang dipesan juga sudah ludes.

keduanya tertawa tanpa henti sejak satu jam lalu. arah bahasan mereka mengalir deras tanpa henti. ini bermula dari lavi yang gencar-gencarnya membangun topik sampai skala nyaman dan lebih santai dalam menanggapi lavi.

tidak ada yang menyangka juga humor mereka ada di frekuensi yang sama.

lelah tertawa, skala menyeruput minumannya. senyumnya tidak pernah redup, lesung pipinya terpatri dalam. kemudian terkekeh pelan sambil mengangkat dagu kala lavi tertawa melihatnya.

“apaan sih,” tanya skala sambil membenarkan duduknya. tangannya bergerak menata ulang rambut yang sudah tak beraturan dan lepek. terlalu banyak tertawa sampai berkeringat

“ga nyangka aja kita nyambung banget ska.” skala mengangguk menyetujui ucapan laki-laki didepannya.

benar, siapa juga yang akan menyangka seperti ini? dirinya saja kaget bisa seterbuka ini dengan lavi yang notabene baru dia kenal.

“tapi gue heran deh, kenapa ya dari awal lo kaya nolak gue buat deket? i mean, we are strangers but you always look at me like i am the antagonist back then. kenapa skala? is there something wrong with me?

skala diam. pandangannya beradu dengan milik lavi.

semakin lama menatap, semakin lama pula ingin menetap. binar gelap yang memabukkan, tajam, dan teduh. skala tenggelam.

otaknya mendadak malfungsi ketika skala sedang merangkai kalimat yang pas untuk disampaikan pada pemilik mata galak didepannya.

semua kosakata hilang, kalimat yang sudah disusun buyar dalam satu hela nafas.

dia tidak tau apa yang salah, tapi eksistensi lavi sungguh berbahaya bagi dirinya.

“skala!” teriakan dan tepukan keras lavi membuat jiwanya kembali. ah, benar, kenapa hari ini skala banyak melamun?

“lo kenapa? gue panggilin daritadi gak nyaut? lo gak nyaman sama pembahasan kita? it's ok, gue minta maaf, kita bisa ganti topik kok, maaf ya skala.” ucap lavi sambil menatapnya cemas.

sedang skala hanya menatap diam sosoknya. yang mampu membuat perutnya bergejolak mual dan kepalanya tiba-tiba pusing.

“gak—gak papa kok, lavi. gue cuma emhh, sedikit pusing.”

“huft, maaf sekali lagi. mau pulang kah?”

lavi menghabiskan minumannya, membereskan bekas makan dan minum mereka kemudian dikumpulkan menjadi satu ditengah.

skala benar iri dengan sikap lavi yang menurutnya sangat gentle. dari awal berangkat sampai kini duduk berhadapan, tidak pernah ada satupun sikap lavi yang tidak membuat skala berdecak kagum. dia mana bisa menimbulkan kesan seperti itu.

“daydreaming again, huh?” kembali skala berjengit.

“ini lo bosen sama gue ya, ska?”

“engga kok!”

“yaudah jadi, kenapa skala? mau pulang atau masih mau disini?”

“disini dulu, sebentar. gue mau jawab pertanyaan lo tadi.”

lavi bergeming di kursinya. dia kembali memusatkan seluruh atensinya dan diam menunggu skala sendiri yang berbicara.

dilihat laki-laki sagitarius itu menarik nafas pelan sebelum membalas tatapan lavi dan berbicara.

“gue.. enggak tau kenapa takut buat kenalan sama lo—bukan, oke jadi gini gue ceritain dari awal sebenernya ini agak embarrassing buat gue tapi yaudah lah ya udah sampe sini juga kan—”

lavi tersenyum mempersilahkan skala kembali bicara.

“gapapa skala, kalau lo gak nyaman gausah cerita gapapa, gue enggak mau maksa.”

“tapi gue mau! lo dengerin baik-baik ya, lavi. jadi, waktu itu di awal kepindahan lo, mami seneng banget karena akhirnya punya tetangga yang anaknya seumuran sama gue, cowok lagi. karena itu, berakhir lah mami nyuruh gue terus buat kenalan sama lo, padahal disitu posisinya gue males banget buat ngobrol sama orang baru. tapi karena diliat-liat mami udah super excited dan tiba-tiba udah deket aja sama tante rana, akhirnya gue mutusin buat kenalan sama lo tepat di sore hari waktu lo baru sampai rumah.”

skala menyedot cappuccinonya sebelum kembali melanjutkan,

“gue mutusin buat kenalan sama lo, karena kebetulan disana lo lagi sendiri dan gerbang dibuka lebar, akhirnya gue keluar rumah dan mau nyamperin lo. tapi belom ada sejengkal dari gerbang, lo noleh dan natap gue dalem banget, tatapan lo udah kaya mau makan orang! karena itu akhirnya gue males dan mutusin buat gamau interaksi sama lo. end of the story!”

skala kembali menyedot cappuccinonya sampai habis setelah menyelesaikan ceritanya. kemudian ditatapnya lavi yang hanya diam sambil menganga. mungkin dia kaget atau semacamnya?

“lav, udah jam 1, mau balik?”

“wait-WAIT, sebentar, gue boleh nanya?” anggukan dari skala membuat lavi membenarkan duduknya, badannya dicondongkan ke depan.

“tatapan gue kaya mau makan orang?”

skala mengangguk,

“tapi waktu itu gue lagi ada di mood yang bagus. gue inget banget skala waktu lo keluar gerbang, gue kaget tiba-tiba gerbang depan kebuka, terus pas liat lo gue udah seneng banget lho, tapi gak lama lo malah kabur ke indomaret point.”

“lah, lo tau gue ke ipoint?”

“jelas lo bawa minuman disitu jelas banget sih ada tulisan warna ijo.”

“hahaha ya habis lo galak tau gak!”

“kata jevais lo bilang kalau gue creepy, senyeremin itu gue dimata lo ska? sakit banget nih hati gue.”

skala tertawa mendapati lavi yang mendramatisir keadaan.

“sumpah jevais bilang apa aja sih ke lavi? nyebelin banget deh. lagian lo bukan yang creepy gitu, cuma lo pernah nemu orang yang sekali liat terus dalem hati gini 'oh shit, we should stay away from them' or something like that. itu yang gue rasain ke lo, lavi. maaf ya hehe, habis gue ngerasa ada yang beda dari lo dan orang lain. ada yang lo punya sementara orang lain enggak.”

“kegantengan gue?”

“OH WOW, GUE BARU TAU KALAU LAVI NARSIS BANGET!”

keduanya kembali tertawa. atau hanya skala yang benar-benar tertawa, karena lavi kini hanya tersenyum memandang sosok dengan lesung pipi manis itu telah mengalihkan dunian sesaat.

lavi iri dengan bagaimana Tuhan memahat skala sebegitu indahnya.

ingin lavi rekan momen ini selamanya agar dia selalu bersyukur mengingat bahwa manusia terindah yang pernah lavi kenal kini sedang tertawa manis sambil memandangnya.


angst; 800+ words


ohm pawat lahir dari keluarga yang menuntut. hidupnya sudah tertata rapi ke depan. sukses jelas di depan mata. diberkati otak cerdas dan wajah tampan siapa saja mau dan sukarela terpikat dengan laki-laki berumur dua puluh lima tahun ini.

sayangnya, otak cerdasnya tidak mampu bekerja bahkan saat dihadapannya kini ada seorang gadis cantik nan anggun. ohm tahu masanya akan tiba, tapi dia tidak mengira akan secepat ini. hidupnya sudah diatur, pikirnya. dia tidak mampu merubahnya. orang tuanya telah memilih. takdir telah berkata.

dan mungkin ini yang terbaik.

maka malam itu pukul delapan ohm menetapkan pilihannya. hatinya ditangguhkan. ohm pikir berpisah adalah jalan satu-satunya.

dan untuk pertama kalinya, ohm menyesali pilihannya.

bodohnya dia melepas belahan jiwanya demi seseorang yang bahkan mau jungkir balik seperti apa tidak bisa ohm rasa cintanya.

lima tahun tidak lah sebentar untuk menjalin sebuah hubungan. peringatan awal dari ohm sudah ia sampaikan, seperti, ’hey, kamu tahu kan keluargaku seperti apa? aku tidak tahu bisa menolaknya atau tidak saat dihadapkan pada kenyataannya. tapi apapun pilihannya, semoga kamu sanggup untuk menerima.’

dan jawaban belahan jiwanya kala itu membuat ohm mantap untuk menjalin kasih, ’aku terima konsekuensinya, ohm. aku mau jatuh cinta sama kamu.’

nyatanya, kini ohm lah yang tidak sanggup.

dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa cintanya telah pergi.

dua bulan awal perpisahan hidupnya masih bisa dibilang mudah. pertunangan berjalan dengan lancar. pendekatannya dengan calon pilihan orang tuanya pun berjalan sesuai harapan. namun ada di suatu malam hatinya kosong. batinnya sesak saat untuk pertama kalinya pelukan yang dia terima dari calon istrinya berbeda dari yang biasa dia dapatkan.

ohm menangis dalam sunyi.

hari lahirnya bahkan sudah tidak seistimewa dulu. perayaan megah ulang tahun sekaligus pengumuman acara pernikahannya membuat ohm muak. pilihannya, dia meninggalkan acara sedetik setelah acara selesai.

ternyata hidupnya berantakan tanpa cinta pertamanya. orang yang pertama kali membuat hatinya berdebar. dia memaki dirinya sendiri di tiap langkah menuju tempat pertama kali mereka berkencan.

disana hanya ada daun kering yang berguguran. taman yang biasanya ramai kini sepi pengunjung. hanya ada beberapa orang yang bahkan mereka sepertinya akan pulang. mungkin karena cuaca yang tidak mendukung dan gemuruh yang—sejak ohm datang sudah—bersahutan.

ohm meneguk salivanya. sudah lama dia tidak kesini. kenangan terakhirnya sangat pahit. ditempat ini semua dimulai, di tempat ini juga saksi tragisnya kisah cinta ohm pawat.

badannya berjengit saat seseorang menepuk pundaknya. dia menoleh lalu tak sadar netranya tenggelam dalam binar yang ia rindu. masih sama cantiknya. bedanya binar itu kini meredup. ohm menatapnya dalam-dalam dan penuh asa.

“ohm?” panggilnya, membuat ohm kembali pada pijakan dan tersenyum tipis.

“selamat ulang tahun ohm, doa baikku selalu ada di tiap langkahmu. panjang umur dan sehat selalu!” cerianya masih sama. atau dia hanya berpura-pura ceria? ohm harap begitu.

“terima kasih nanon. kamu selalu jadi yang terbaik untuk urusan mendoakanku.” nanon tertawa. tawa itu yang ingin ohm dengar tiap masanya. dia rindu.

“udah lama ya, enam bulan. acara kamu… gimana? udah siap berapa persen?” tanya nanon. ohm menipiskin bibirnya mendengar pertanyaan nanon. suaranya mengalun indah bagai melodi. tidak ada getar disana. mungkin nanon sudah menemukan bahagianya.

“d-dua bulan lagi.”

“wow! cepet banget ya. orang tua kamu beneran nggak ngebiarin kamu jadi perjaka tua, hahaha.” ohm meringis. kenapa orang didepannya seperti tidak ada beban mengucapkan itu semua.

“haha, nggak tau deh mereka. ehm, kamu mau tahu? dua bulan lalu dia meluk aku, itu pelukan kami yang pertama. tapi kenapa ya, rasanya kosong? aku langsung keinget kamu.” nanon tersenyum mendengarnya. ohm ingin menghilang saat itu juga. kenapa juga dia jujur tentang hal itu pada seseorang dihadapannya.

“lama ya, ohm. butuh waktu empat bulan buat kamu sadar kalau kamu sayang sama aku.” kata nanon sambil merapatkan cardigan yang dipakai. ohm memandangnya atentif. berdosa tidak kalau ohm ingin merengkuh nanon saat ini juga?

“maaf.”

“gapapa ohm, itu kan pilihan kamu. lagian udah lama juga kan? dan we are on good terms now, jadi it's okay.”

ada hening sementara tatapan keduanya masih terpaku. hingga salah satunya memutus dan kembali berbicara,

“ehh btw, udah mendung banget nih, aku duluan ya? semoga pernikahan kamu sukses.” sebelum nanon beranjak, ohm menahannya.

nanon menaikkan sebelah alisnya sambil menatap pergelangan yang ohm genggam.

“kalau aku bilang aku mau merjuangin kamu gimana, non?” nanon menegakkan tubuhnya seketika. tak lama dilepasnya genggaman ohm dari tangan miliknya. nanon tersenyum kecut sambil menatap laki-laki yang lebih tinggi.

“ohm, sejak enam bulan lalu kamu bilang mau dijodohin dan mutusin aku, aku tahu aku udah kalah. kamu udah berhenti berjuang buat aku, buat kita. jadi, udah ya, ohm? jangan jadi brengsek dengan ninggalin tunangan kamu juga.”

ohm menatap nanon nanar. bibirnya kelu. ditatapnya mata indah yang selalu dia puja tiap detiknya. ada sedih disana. harusnya dia sadar telah melukai cintanya begitu dalam. ohm merasa seperti laki-laki bajingan.

“tapi non, aku nggak bisa.”

“kalau gitu kenapa kamu ninggalin aku?”

dan untuk pertanyaan ini tidak bisa dia jawab. karena sesungguhnya dia hanya takut untuk menolak pada orang tuanya. sejak kecil tidak pernah ada bantahan dan menurut satu-satunya yang bisa dilakukan. makanya saat kejadian itu, ohm tidak tahu bagaimana cara untuk menolak sesuatu yang tidak dia sukai.

“non, kamu masih sayang sama aku?”

“enggak pernah enggak, ohm.”

setidaknya ohm tau, walau masanya sudah habis, tapi cinta keduanya masih sama konstannya. entah untuk berapa lama lagi, tapi kini hatinya cukup tenang mendengar bahwa nanonnya masih mencintainya.


finished.


sesuai janji, cookies pesanan nata jadi di senin siang. membuat skala mau tidak mau segera mengantarnya setelah kembali dari sekolah. totebag yang cukup untuk menampung satu box cookies dan chiffon cake ditaruh pada meja ruang tamu nata. sedang pemilik rumah mengambil piring.

ayah nata bekerja di bagian properti sedangkan ibunya freelance fotografer. membuat rumah nata sangat apik dilihat dan siapapun yang mampir akan betah berada disini. tak terkecuali skala yang sering beberapa kali menginap jika maminya lembur di toko.

nata kembali dengan dua piring lebar dan pisau kue. dibukanya bungkus cookies dan chiffon, ditaruh pada masing-masing piring.

“nahh sekarang tinggal nunggu mas crush dateng deh.”

wait,

“mas crush? katanya lo mau mabar stumble sama gue, kok mas crush?” tanya skala sambil mengambil totebagnya.

ah, ngomong-ngomong dia jadi teringat mini totebagnya masih tertinggal di rumah depannya.

“ya iya, kita mabar bertiga. tenang aja, bentar lagi jev dateng kok.”

jawaban nata membuat skala merengut malas. masa dia harus melihat pasangan bucin untuk kesekian kalinya? ogah.

“ah males deh kalau tau gini. gue balik aja deh nat.”

“ihh bentar jangan dulu kal, temenin gue yaa plis. gue tuh suka degdegan kalo ada—”

“nata.”

suara ketukan di pintu dan panggilan nama membuat nata dan skala menoleh cepat.

“hai, skala. lagi main juga?” tanya jev menaruh helmnya di samping pintu. “boleh masuk nat?” anggukan dari nata membuat jev tersenyum dan melangkah masuk.

“hai jev, karena lo udah dateng, gue pulang dulu ya. kalau gitu see u jev, bye nata, have fun!”

“SKALA!!!!!!!”

lebih baik skala berlari sekarang daripada harus melihat pasangan saling mesra didepan matanya. ah, skala sungguh malas. menurutnya nata itu suka sekali menjailinya dengan melakukan hal seperti itu. dengan kata lain, secara implisit nata menyuruh skala untuk segera mencari pasangan. dia sangat tau itu. tapi skala terlalu malas untuk hal yang seperti itu. menggelikan.

skala bergidik sendiri kala membayangkan dirinya melakukan apa yang nata dan jev sering lakukan. seperti bergandengan tangan atau berpelukan sambil menggoda satu sama lain? huft, membayangkannya saja sudah tidak sanggup.

disadari sudah keluar dari komplek perumahan nata, skala menggembungkan pipinya. tadi dia kesini menggunakan ojek online karena motornya dibawa maminya ke toko. dan karena sudah terlanjur seperempat jalan, dia mau tidak mau melanjutkan jalan kaki menuju rumahnya.

jaraknya sebenarnya tidak jauh, hanya dua kilometer. tentu bukan jarak yang bisa skala komplain karena dia juga sudah terbiasa berolahraga. tapi jujur, yang namanya capek tidak bisa dihindari kan? dia juga belum istirahat sejak pulang sekolah. dan beberapa hari terakhir ototnya juga jarang diregangkan.

dumelan dan sumpah serapah skala lontarkan atas nata yang tiba-tiba mengundang 'crush'-nya untuk turut serta dalam per-mabar-an mereka. memang, orang yang sedang jatuh cinta apa-apa maunya selalu berdua. skala tidak habis fikir.

suara klakson motor revo mengembalikan skala pada realita. senyumnya terpatri kala melihat tukang pentol langganannya mengangguk padanya dan berlalu, “duluan mas kala,” katanya.

bayangannya kembali pada tahun sebelum dia masuk sma, ketika pulang sekolah belum sesore ini dan habis dzuhur skala biasa menikmati pentol di depan toko mami. rasa senang dan rindu menyeruak bersama. tapi sadar waktu bergerak maju, tidak bisa terubah. kecuali ada variabel yang—entahlah, skala sendiri kurang mengerti bagaimana konsep dimensi waktu.

tanpa sadar kakinya menendang kerikil kecil dan menabrak gerbang rumah berwarna krem yang berjarak tiga meter didepan. suara paduannya nyaring dan selanjutnya padangan skala tidak bisa lepas dari binar teduh milik seseorang pengguna seragam osis kala netra keduanya bertemu.

lavi dan seragam osis yang berantakan

niat ancang-ancangnya untuk kabur gagal sudah saat inderanya menangkap suara lavi yang merdu dan tenang untuk pertama kali. sekali lagi, untuk pertama kali! dan skala rasanya ingin meleleh detik itu juga.

“skala, can you come over here?”

matanya berkedip sebelum melangkah pelan menghampiri lavi yang berdiri dibelakang gerbangnya.

baru lah dia sadar ternyata daritadi sibuk dengan pikirannya, tidak terasa juga berjalan sejauh dua kilometer.

“ada apa, k-kak?”

where have you been? i saw you babbling all the way home, by the way.

skala mengerjap. antara malu dan bingung menjawab apa. okay, jadi tadi sepanjang dia mengoceh apa dia menyuarakannya? kalau benar begitu skala ingin mengubur dirinya sendiri.

“hah?”

hanya jawaban itu yang terlintas dipikirannya saat ini. benar bingung melanda.

“sorry, tapi gue liat lo ngomong sendiri sambil manyun. gue gak denger sih lo ngomong apa, tapi are you okay? where have you been this afternoon?”

“o-oh, i am okay k-kak.”

dilihatnya lavi mengangguk pelan.

jujur, ternyata lavi tidak se-intimidating yang dia kira. matanya tidak galak setelah dia observasi lebih lanjut. teduh, jernih, dan dalam. kalau bisa tenggelam, skala mungkin sudah tenggelam sekarang.

tidak mau membuat tetangganya kurang nyaman, skala mengangguk tipis berniat untuk melangkah pergi. sebelum lavi kembali berbicara.

so, skala dari mana? pertanyaan gue belom lo jawab daritadi.”

skala mengulum bibirnya sebelum tersenyum,

“habis antar cookies ke rumah temen, kak.”

lavi mengerutkan keningnya. lalu maju selangkah mempersempit jaraknya dengan skala. dibuat mati kutu dan enggan mengalihkan pandang saat lavi menatap skala sedemikian rupa. hingga alisnya terlihat terangkat satu,

cookies or ku kiss?”

dan skala terdiam mencerna kalimat lelaki didepannya. masih dengan tatapan yang mengunci skala dan alis yang terangkat satu. sebelum skala benar-benar menangkap apa maksud lavi, dia segera membulatkan mata dan mengerjap beberapa kali. mulutnya terbuka kemudian tertutup lagi ketika dia juga tidak tau apa yang akan dikatakan.

dengan gerakan cepat skala undur diri. dan berlari masuk teritorinya.

“maaf kak, skala lupa belum kerjain tugas. permisi.”

lavi tertawa pelan menatap skala yang buru-buru masuk rumah. dia tidak habis pikir akan tingkah laku tetangga depan rumahnya yang bisa selucu itu.


skala melirik jam dinding di kamarnya lalu menghembuskan nafas pasrah. agenda makan mie instan sudah sengaja dia lama-lama kan, berharap maminya dapat sampai rumah sebelum skala menghabiskan tanpa sisa makanannya. namun yang didapat hanya kosong, tak ada tanda kemunculan maminya bahkan untuk beberapa jam kedepan. memang ibu-ibu jika sudah berkumpul akan melupakan segala hal.

dengan berat hati langkahnya bergerak menuju lemari es. mengambil klepon cake buatan maminya dan segera membungkusnya dengan totebag miliknya.

yakali ngasihin pake tupperware doang. batinnya beberapa detik lalu.

matanya mengunci bangunan klasik modern yang berada tepat didepannya. enggan sekali rasanya masuk dalam pekarangan. sejak lima bulan lalu saat kepindahan lavi ke kompleksnya, tidak pernah satu haripun dia mencuri lirik ke rumah tersebut—kecuali hari dimana pertama kali maminya menyuruh skala untuk berkenalan dengan sosok baru tersebut.

baru keluar gerbang rumahnya, yang didapat skala malah tatapan tajam dan dalam milik lavi. membuat skala mengurungkan niatnya dan beralih menuju indomaret point.

bahkan nama lavi dia ketahui dari maminya yang sering membicarakan sosok galak tersebut.

dan sore ini tidak ada dalam bayangan skala sebelumnya bahwa dia berdiri didepan pintu tetangganya. sambil menenteng mini totebag miliknya.

belum sempat mengetuk, skala dikejutkan dengan pintu yang tiba-tiba terbuka. sama halnya dengan pemilik rumah yang mengerjap pelan sebelum tersenyum manis.

“skala, tumben banget kamu kesini. ada apa?”

tante rana.

dan skala mengucap syukur yang teramat karena dia tidak harus berhadapan langsung dengan anaknya.

“sore tante. skala denger tante sakit? udah mendingan belum, tan?”

“iya nih pusing dari kemarin. udah lumayan berkurang kok ini. ayo masuk kak.”

sejujurnya malas skala melangkah masuk. bukan karena apa, hanya dia takut jika bertemu lavi. tatapan lavi kepadanya itu, menyeramkan.

namun tau juga skala tentang sopan santun, maka dia hanya mengangguk pelan dan mengikuti pemilik rumah.

“minggu lalu tuh tante kena tipes kak, mana lavi lagi sibuknya sama acara osis, terus bantu ngurus pernikahan ayahnya. waktu tau tante harus opname lavi juga ikutan drop. akhirnya tante suruh ayahnya buat jagain lavi sementara tante opname sendiri tiga hari, untungnya tante bisa cepat recovery. haduh, pusing tante tuh kak.”

mendengar penjelasan tante rana membuat skala berdecak kagum. status single parent menurut skala merupakan salah satu yang terkeren, karena tidak semua orang bisa menanganinya dengan baik.

entah seperti apa keadaan rumah dan segala tetek bengeknya milik tante rana—yang jelas berbeda dengan miliknya—skala tetap menyerukan kata hebat dan keren dalam hatinya.

“duduk dulu kak, tante buatin minum ya.”

lamunannya buyar, skala langsung menggeleng cepat. dia enggan berlama disini. pasalnya rumahnya tidak dikunci dan maminya entah sudah pulang atau belum.

“ehh, gak usah tante. skala kesini cuma mau antar klepon cake dari mami buat tante. maaf juga mami belum bisa jenguk soalnya lagi banyak kerjaan yang gak bisa ditinggal. padahal rumahnya depan-depanan ya, mami tuhh overworked banget emang.” tangannya menyerahkan mini totebag yang diterima hangat oleh pemilik rumah.

tante rana tersenyum manis sambil tertawa pelan.

“aduhh repot banget sih mami kamu. makasih banyak ya kak skala. sayang banget nih kamu kesini lavinya lagi gak dirumah. padahal lavi pengen banget ketemu kamu, tapi kamu sibuk jadi susah ya buat main bareng.”

skala mengerjap seketika. hah?

“e-eh-hehe.. iya nanti skala sampaikan makasihnya ke mami. kalau gitu skala pamit dulu ya tan, udah mau hujan juga.”

“iya, sering-sering main kesini, kak!”

skala hanya mengangguk pelan mendengar ajakan tersebut. bertepatan dengan dirinya merebahkan tubuh di kasur, hujan turun dengan lebat. tangannya merogoh kantong celana guna bertanya kapan mami akan pulang yang diberi balasan sebentar lagi. kita semua tau, sebentar laginya ibu-ibu pasti dua jam kedepan. maka skala memutuskan untuk lelap dalam mimpi di sore harinya.

sebelum perkataan tante rana kembali berputar dalam pikiran. matanya terbuka pelan, alisnya bertaut.

lavi, pengen ketemu gue? kok bisa...