The Reason
Jonathan melirik mobil Jepp hitam yang baru saja tiba dan terparkir tepat di sebelah mobilnya. Sama seperti dirinya, pengemudi mobil tersebut ikut menurunkan jendela mobilnya menampilkan seorang laki-laki yang kini meliriknya sinis.
Jonathan menghela nafas dalam, berusaha mengabaikan tatapan Taeyong itu. Pikirannya belakangan ini benar-benar kacau karena terlalu banyak hal yang sedang terjadi padanya secara beruntun dan mendadak, membuat Jonathan nyaris hilang akal karena bingung permasalahan mana yang harus ia selesaikan lebih dahulu.
“Gue mau langsung to the point, lo suka sama Mikaila?” suara rendah milik Taeyong terdengar begitu serius. Jonathan yakin ada perasaan kesal di dalamnya.
Jonathan menoleh pada Taeyong sambil mengangkat sudut bibirnya kemudian tertawa sinis.
“Lo udah pernah nanya itu ke gue” jawab Jonathan dengan tenang. Tepatnya berusaha untuk tenang.
“Tapi kelihatannya jawaban lo gak sesuai dengan tindakan lo” sangkal Taeyong. Laki-laki itu jelas menyindir aksi Jonathan yang menjauhi Mikaila setelah ia dan Mikaila resmi berpacaran.
“Sesuai. Cuman gue agak melenceng dikit karena kebetulan orangnya adalah lo”
Mendengar itu Taeyong dengan cepat mengernyitkan keningnya heran. Ia sama sekali nggak paham maksud perkataan Jonathan barusan. Memang kenapa dirinya?
“Gue? Gue kenapa?” tanya Taeyong tak ingin menerka-nerka.
Jonathan mengalihkan pandangannya menatap lurus ke depan. Ia menggenggam erat stir di tangannya kemudian memejamkan kedua matanya untuk beberapa detik mencoba menetralkan pikirannya agar lebih tenang.
Everything happened for a reason
Layaknya bumi yang berputar karena adanya rotasi bumi, Jonathanpun sama. Ada alasan dibalik sikapnya pada Mikaila dan Taeyong selama ini.
Alasan kenapa ia begitu ingin menjaga Mikaila dan alasan kenapa ia begitu tidak menyukai Taeyong.
“Waktu lo umur 6 Tahun, apa lo ingat kalo lo pernah ngerayain ulang tahun lo di panti asuhan?” tanya Jonathan. Matanya masih setia memandang lurus ke depan sedangkan Taeyong hanya bisa melempar tatapan semakin kebingungan atas pertanyaan Jonathan yang menurut Taeyong sangat aneh.
Merasa nggak mendapat jawaban dari lawan bicara, Jonathan menoleh pada Taeyong yang ternyata juga sedang menatapnya balik penuh rasa curiga.
Jonathan kembali terkekeh. Kekehan yang terdengar begitu pahit. “Gue ingat waktu itu kue lo gambarnya transformer. Besar, mewah, dan lo kelihatan-.” ucapannya terpotong sejenak. senyum miris samar-samar terukir pada wajah Jonathan kala dirinya terpaksa harus mengingat masa itu. “-Bahagia”
Happy 6th Birthday Taeyong Pradigta
Tulisan yang tercetak jelas diatas banner itu terpapar begitu besar di belakang keluarga kecil yang tengah bertepuk tangan bahagia bersiap untuk meniup lilin yang menyala di atas kue ulang tahun.
Semua orang yang ada di sana ikut memberikan senyum terbaik mereka sambil ikut menyanyikan lagu dan tentu tidak lupa untuk memberikan tepuk tangan kian riuh saat si bintang utama berhasil mematikan lilin dalam sekali tiup.
Semua orang, kecuali satu.
Jonathan kecil melihat semuanya dengan tatapan datar sambil diam-diam terus membayangkan dirinyalah yang ada di posisi itu.
Membayangkan jika ialah yang kini tengah memberik suapan dari potongan pertama kue itu pada sosok yang bernama ayah sambil terus mendapat kecupan singkat pada pipi dari sosok yang bernama ibu.
Tanpa Jonathan kecil sadari, tatapan datar itu perlahan berubah menjadi tatapan penuh rasa iri, dengki, dan tidak suka.
Ada perasaan marah dalam hatinya saat ia harus menonton kebahagian tidak menyenangkan itu saat dirinya baru saja merasakan betapa pahitnya dunia.
“Anak ini aneh. Dia terlalu banyak diam dan...” omongan laki-laki yang sebulan ini telah ia panggil ayah itu terhenti sesaat. Diliriknya Jonathan di seberang sofa sana yang hanya menunduk tanpa mengeluarkan reaksi apapun dan itu membuatnya semakin muak, “... aneh. Apa dia normal?”
Jonathan bisa merasakan badan kecilnya mendadak ditarik dalam rengkuhan bunda pantinya. “Maksud bapak apa?! Tentu saja Jonathan normal! Kalau bapak tidak bisa mengatakan hal baik tolong jangan bicara sembarangan!” tegur Bunda terdengar marah
Jonathan sama sekali nggak paham dengan apa yang tengah terjadi. Tapi ia ingat sebelum dibawa kembali ke sini, ayahnya mengatakan sesuatu yang siapa sangka akan menjadi kata-kata menyakitkan tidak terlupakan.
“Kamu nggak sesuai ekspetasi saya. Rasanya saya telah melakukan kesalahan karena mau repot-repot mengangkat kamu sebagai anak di keluarga saya”
dan setelahnya ia tidak lagi pernah melihat orang tua barunya itu. Butuh beberapa waktu untuk Jonathan pahami kalau ia saja dikembalikan ke panti.
Tentu Jonathan bukan anak aneh atau tidak normal seperti yang ayah angkatnya bilang. Ia hanya sedikit pendiam dan bagaimanapun ia hanyak anak 6 tahun yang tentu perlu waktu untuk beradaptasi dengan kehidupan barunya, tetapi sangat disayangkan orang tua angkatnya tidak bisa bersabar sedikit lebih lama lagi dan memutuskan mengembalikan Jonathan.
Hati Taeyong mencelos mendengar cerita Jonathan barusan. Ada sedikit rasa tidak percaya di hatinya, namun ia hanya bisa terdiam tanpa kata karena semua yang ia dengar itu nyata.
“Sorry. Gue gatau kalo kejadiannya begitu” ujar Taeyong penuh rasa bersalah.
Kini perlahan-lahan ia mulai bisa mengerti kenapa Jonathan bersikap begitu menyebalkan padanya jika sudah berkaitan dengan Mikaila.
Sejujurnya selama di perjalanan menuju kemari, sudah banyak kata dan kalimat umpatan yang berniat Taeyong lontarkan pada Jonathan saat mereka bertemu nanti mengingat Taeyong rasanya sudah nggak lagi bisa menahan rasa kesal pada laki-laki itu. Bayangan tentang Jonathan yang menyimpan perasaan khusus pada Mikaila semakin membuat Taeyong membawa mobilnya menggebu membelah jalanan Jakarta malam itu.
“Lo nanya apa gue suka sama Mikaila?” Jonathan menarik sudut bibirnya, “Siapa yang gak suka? Semua orang yang kenal dia pasti bakal suka. Dia baik, ramah, pintar lagi.” Jonathan berkata dengan begitu tulus karena memang begitu adanya. “Tapi suka gue ke dia benar-benar cuman sebagai kakak. Gak lebih dan gak kurang” ujar Jonathan kemudian.
Jonathan tidak pernah berbohong tentang fakta itu. Bagi siapapun yang nggak tahu tentang apa yang telah keduanya lalui sejak dulu mungkin itu terdengar seperti omong kosong belaka saja.
Semua perhatian yang Jonathan beri pada Mikaila hanyalah bentuk wujud kasih sayang pada seorang kakak mengingat Mikaila lah yang juga selalu membantu dirinya sejak masih kecil sebelum akhirnya Jonathan diadopsi oleh keluarganya sekarang.
Mikaila begitu berarti bagi Jonathan dan Jonathan begitu menyayangi gadis itu. Keadaan masa lalu yang terpaksa membuat baik Mikaila maupun Jonathan punya tempat dan arti masing-masing yang membedakan siapapun yang pernah hadir di hidup keduanya.
“Tapi, Jo, gue masih bingung sama satu hal”
Jonathan melemparkan pandangannya pada Taeyong dengan sebelah alis terangkat, “Apa?”
“Jadi, sebenarnya lo gak suka sama gue bukan karena gue dulu brengsek, tapi karena kejadian ulang tahun itu kan?” Raut wajah Taeyong kelihatan begitu serius dan bingung secara bersamaan. “Tapi gimana caranya lo masih ingat kalo itu adalah gue?” tanya Taeyong lagi karena setelah ia pikirkan lagi, dirinya sendiri bahkan nggak ingat pernah merayakan ulang tahun di panti asuhan.
Berbeda dengan Taeyong yang memperlihatkan ekspresi serius, Jonathan justru terlihat sedikit lebih rileks. Mungkin merasa lega karena akhirnya ia bisa menceritakan cerita ini pada seseorang walau nggak pernah sedikitpun terlintas di benak Jonathan jika ia akan bercerita pada Taeyong yang merupakan salah satu sumbu utama masalahnya.
Taeyong melipat keningnya kala Jonathan menunjuk pada bagian kanan matanya yang membuat Taeyong dengan segera mendekatkam wajahnya pada kaca spion.
“BERCANDA LO ANJIR?!” pekiknya tak percaya saat paham apa yang dimaksud oleh Jonathan.
Gila.
Bagaimana bisa Jonathan masih mengingat dirinya hanya karena sebuah bekas lukas pada wajahnya? Taeyong benar-benar tidak habis pikir.
Setelah itu keduanya mendadak diam.
Baik Jonathan maupun Taeyong sama-sama larut dalam pikiran masing-masing yang tentunya bermuara pada satu hal; Mikaila.
“Gue lusa bakal balik ke Amerika” Jonathan kembali membuka suara.
“Amerika?” ulang Taeyong yang dibalas deheman mengiyakan dari Jonathan.
Hal lain yang membuat Jonathan menghindar dari Mikaila selain karena permasalahan dengan Taeyong adalah ia harus kembali ke Amerika dalam jangka waktu dekat ini.
“Lo ngapain ke Amerika?”
Jonathan melirik Taeyong kemudian berdecih pelan. “Gue emang udah cerita tentang masa lalu gue, tapi itu gak bikin kita jadi deket dan faktanya adalah gue bakal tetep gak suka sama lo”
Mendengar itu, Taeyong memutar matanya jengah. Siapa juga yang berniat mendekatkan diri dengan Jonathan?
“Mikaila udah tau?” tanya Taeyong lagi tidak menanggapi kata-kata Jonathan barusan.
Jonathan menggeleng.
Ia serius saat bilang jika dirinya tengah sibuk karena ia memang benar-benar sibuk mengurus semuanya sampai tidak sempat memikirkan cara bagaimana ia akan memberi tahu Mikaila periha kepergiannya yang mendadak ini.
Jonathan tentu berat untuk pergi, terlebih keadaannya dengan Mikaila juga tidak sedang baik, meskipun ia tidak mengelak jika semua memang salah dirinya sendiri yang mungkin terlalu berlebihan pada Mikaila.
Taeyong baru hendak membuka mulutnya untuk bertanya lebih lanjut lagi pada Jonathan, tapi sayangnya ia lebih dulu dihadiahi lemparan buku yang mendarat tepat mengenai wajahnya.
“Brengsek” umpat Taeyong kesal sebelum meraih buku yang kelihatan begitu usang itu.
“Apaan-”
“Dia sayang sama lo. Beneran sayang. Gue tau dan bisa lihat, cuman gue selalu menolak fakta itu.” Jonathan menatap Taeyong lurus. Matanya seolah mengatakan jika kali ini laki-laki itu tengah serius dan tidak berminat untuk bercanda. “Gue mohon, tolong jangan bikin dia sedih ataupun kecewa karena lo yang pertama buat dia dan gue... Gak akan ngehalangin kalian lagi” Jonathan memelankan suaranya saat mengucapkan kalimatnya yang terakhir.
Taeyong diam. Tentu ia tidak mau munafik karena jauh di lubuk hatinya ia senang mendengar jika Jonathan nggak akan lagi menjadi halangan, namun setelah mendengar cerita tadi, justru kini Taeyong merasa sedikit khawatir tanpa alasan.
“Lo kapan balik ke Indonesia?”
Alih-alih menjawab pertanyaan yang diberikan oleh Taeyong, Jonathan justru hanya tersenyum sebelum menyala mobilnya dan pergi darisana.

“Kamu nggak ikut acara ulang tahunnya?”
Anak kecil itu berbalik. Ia menatap bingung seorang perempuan yang tengah berdiri di ujung pintu kemudian memberi gelengan sebagai jawaban.
“Kenapa? Padahal om badutnya bisa sulap loh” ujar anak perempuan itu lagi.
Kali ini ia berjalan menghampiri, lalu ikut melemparkan pandangan keluar dari balik jendela.
“Kamu bisa baca?” tanya nya sambil menatap orang di sebelahnya dengan sedikit menunduk karena tinggi anak laki-laki itu yang hanya sebatas dada.
Lagi-lagi yang ditanya hanya menggeleng sebagai jawaban.
“Itu tulisan disana Happy birthday. Artinya Selamat Ulang tahun” jelas perempuan itu tak lupa membubuhkan senyum manis di akhir kalimat.
“Kamu mau permen?” tanya perempuan itu lagi.
Yang ditanya hanya mengangguk pelan, kelihatan sedikit ragu-ragu. Tiba-tiba tangannya ditarik perlahan kemudian perempuan itu memberikan sebungkus permen cokelat.
“Aku cuman ada satu, tadi anak yang lagi ulang tahun itu yang kasih. Tapi aku gak suka cokelat, bunda bilang nanti gigi cepat rusak”
Untuk beberapa saat anak laki-laki itu terdiam sambil menatap permen yang sudah ditangannya, kemudian pandangannya ia alihkan dan kini tertuju pada seorang anak lain di luar yang tengah berulang tahun itu.
“Kakak namanya siapa?” tanya laki-laki kecil itu tanpa melepaskan pandangannya darisana.
Perempuan itu menoleh, kemudian menyunggingkan senyum lebar sebelum menjawab pertanyaan tersebut.
“Aku? Aku Yerisha”
orentciz