orentciz

Manusia Kasat Rasa

Imgur

“Mau ngomong apa?” Ralia membuka suara lebih dulu saat keduanya telah menjadi satu-satunya orang yang berada di koridor sekolah sesore ini.

Tatapan bingung Ralia lemparkan pada Mark karena Mark justru sibuk menunduk dan nggak menatap Ralia sama sekali sejak awal mereka di sini.

“Mark?” tegur Ralia, “Kamu mau ngomong apa? Tadi katanya penting?”

Perlahan, Mark mengangkat wajahnya, membuat matanya dan mata Ralia bertemu dan itu semakin membuat Mark hilang keberanian.

Dalam diamnya, pikiran Mark sedang beradu riuh apakah keputusannya untuk mengakhiri hubungan hambarnya dengan Ralia sudah benar atau justru sebaliknya. Mark terlalu fokus hingga nggak sadar jika dia telah menghabiskan waktu cukup lama hingga perempuan di depannya mulai merasa jenuh.

Ralia nggak lagi sesabar dulu.

“Mark, ini udah sore kalo—”

“Ayo putus”

Dua kata.

Dua kata yang tertahan sejak lama itu akhirnya keluar dari mulut Mark sendiri. Harusnya Mark mengatakan itu dari dulu, persis seperti kata Recan. Namun, ada satu dan lain hal yang membuat Mark nggak sanggup. Terlebih tiap kali ia meyakinkan dirinya sendiri untuk segera mengakhiri semua omong kosong yang sedang ia mainkan agar gak berlalu semakin jauh dan rumit selalu ada rasa bersalah yang membelenggu hati Mark. Salah satunya binar mata Ralia yang selalu menawan tiap kali perempuan itu sedang berbicara pada Mark.

Sayangnya, binar itu nggak bisa Mark lihat kali ini. Yang ada justru sebaliknya. Tatapan datar dan...

Kecewa.

“Maaf li, tapi gue rasa—”

“Kenapa baru sekarang?” potong Ralia cepat. Meskipun mata Ralia nggak bisa Mark mengerti, namun suara bergetar Ralia sudah cukup membuat Mark memahami perasaan gadis itu.

“We're just not work, Li”

Ralia tertawa sinis. Jawaban Mark terdengar sangat nggak masuk akal untuknya.

Tiba-tiba Ralia teringat pada hari itu. Hari teraneh yang ada di hidup Ralia dimana awal dari semua omong kosong ini dimulai.

Seolah terekam dan tersimpan baik di dalam memorinya, Ralia kembali mengingat semuanya.

Bagaimana ia tengah menatap Mark yang juga sedang menunggu hujan reda.

Bagaimana ia memperhatikan Mark sambil tersenyum menerka apa yang sedang cowok itu lihat di layar ponselnya hingga jarinya menari begitu cepat di atas layarnya.

Bagaimana tiba-tiba Mark menghampiri dirinya dan mengatak sesuatu yang bahkan nggak pernah Ralia bayangkan sebelumnya akan terjadi saat itu juga.

“Lo mau jadi pacar gue?”

Aneh.

Hari itu Mark memang sangat aneh. Namun, kelihatannya Ralia jauh lebih aneh karena layaknya orang bodoh, ia justru menganggukan kepalanya menerima ajakan konyol Mark sore itu.

Ralia tertawa sinis mendengar jawaban yang Mark berikan. “Dariawal, Mark. Berbulan-bulan lamanya dan baru kamu akhiri sekarang?” Ralia menggelengkan kepalanya, menolak secara jelas alasan yang Mark berikan.

“Li—”

“Abel kan?”

Mark terdiam dan itu sudah cukup bagi Ralia. Dugaannya benar.

Abel memang mampu menjadi alasan ia putus dengan Mark.

Ralia mencoba memaksakan senyum di wajahnya. Berulang kali pula ia berbisik pada dirinya sendiri untuk nggak menumpahkan air matanya sekarang. Ia harus terlihat tegar walaupun hatinya sesak.

Mark benar-benar melukai perasaan Ralia.

“Bodoh banget ya aku? Mengira bisa ngisi hati kamu padahal dariawalpun kamu gak ngebiarin aku masuk ke sana”

Ralia mengigit bibirnya keras. Rasanya sakit, tapi hatinya jauh lebih sakit saat ini. Mungkin bila bisa dilihat, perasaannya sudah hancur nggak berbentuk.

“Kamu tau gak? Di kepalaku, masih banyak tanda tanya yang gak terjawab, Mark” suara Ralia terdengar begitu memilukan di telinga Mark, ingin rasanya ia pergi sekarang juga dan nggak mau mendengar barang satu kata pun dari bibir perempuan yang sedang mati-matian menahan air mata yang mulai terlihat menggenang di pelupuk matanya yang mungkin akan jatuh hanya karena sekali kedipan.

“Rasanya hubungan kita udah berakhir dari sebulan lalu. Waktu kamu ngajak putus lewat chat karena setelah itu kamu lebih sering sama Abel. Tau gak yang bikin aku sakit apa?”

Mark membisu. Ia hanya diam nggak menjawab pertanyaan Ralia dan akhirnya membiarkan perempuan itu menjawabnya sendiri.

“Abel gak tau kamu punya pacar. Punya aku!” Ralia sedikit berteriak hingga suaranya memenuhi koridor sekolah.

Nafas Ralia naik turun. Emosinya bercampur aduk karena Mark bahkan nggak berusaha menenangkannya atau barang kali memberi penjelasan atas semua perbuatan dan sikapnya selama ini.

“Aku benci kamu, Mark”

Ralia membalikkan badanya berjalan menjauh meninggalkan Mark di belakang sana yang bahkan nggak berniat menahannya sedikitpun. Dengan air mata yang akhirnya jatuh, Ralia memegang dadanya, memukul-mukulnya kencang berharap dapat menghilangkan sesak yang mencekiknya sedari tadi.

Sore ini, semuanya resmi berakhir.

Imgur

orentciz

heart won't let me

“Gue naik nih ya” Ralia memberi aba-aba sebelum tangannya memegang pundak Dhanu dan menaikan dirinya ke atas motor milik cowok itu segera setelah memakai helm yang Dhanu berikan padanya.

Setelah membenarkan posisi duduknya agar lebih nyaman, Ralia berpegangan pada ujung jaket Dhanu, “Udah, Nu” ucap Ralia dan Dhanu langsung menjalankan motornya.

Sudah sebulan berlalu sejak hari itu. Hari dimana Mark nyaris mengandaskan hubungannya dengan Ralia.

Ralia masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana tangannya bergetar hebat saat mengetikan kata demi kata pada layar ponselnya hanya untuk membalas pesan dari Mark yang malam itu mengajak dirinya untuk putus.

Ralia menolak. Ia bahkan langsung menelfon Mark berulang kali meski pada akhirnya nggak ada satupun panggilannya yang di angkat darisana. Mark mereject semua panggilan Ralia, mendiamkan semua pesan masuk dari perempuan yang masih menyandang status sebagai pacarnya itu selama kurang lebih 2 jam sebelum akhirnya mengiyakan untuk nggak mengakhiri hubungan keduanya.

Walaupun begitu, nggak ada yang berubah dari Mark. Dia masih menjadi orang yang sama seperti sebelumnya.

Cuek, acuh, dan dingin.

Begitu juga dengan Ralia yang masih berusaha.

Berusaha untuk terlihat baik-baik saja memaklumi sifat Mark. Bedanya, kali ini ia harus bersabar sedikit lebih banyak dari sebelumnya.

Berusaha sabar dan baik-baik saja saat berkali-kali Mark lebih mendahulukan Abel ketimbang dirinya.

Berusaha sabar dan baik-baik saja saat berkali-kali Mark menyuruhnya untuk pulang dengan Dhanu saat cewek itu meminta tolong agar Mark mengantarnya karena Mas Aan nggak bisa jemput.

Berusaha sabar dan baik-baik saja saat menanggapi gosip anak-anak di sekolahnya yang mengatakan jika ia dan Mark telah lama putus karena Mark memang lebih sering terlihat bersama Abel.

Dan,

Berusaha sabar dan baik-baik saja walaupun jauh di dalam hatinya Ralia sudah mulai lelah dengan semuanya.

“Yah, gimana nih? Kayaknya abang kue cubitnya gak lewat” celetuk Ralia tiba-tiba disela obrolannya dengan Dhanu.

Keduanya kini tengah duduk di ruang tamu rumah Ralia karena seperti biasa, menunggu gerobak kue cubit yang sudah resmi menjadi makanan kesukaan Dhanu sejak Ralia membelikan kue itu untuknya saat pertama kali ia mengantar Ralia karena suruhan Mark.

Dhanu memasang wajah sok sedihnya, “Kecewa banget. Padahal kan gue disini demi kue cubit” ia berkata dengan nada berpura-pura kecewa yang lantas mengundang tawa renyah dari Ralia.

“Lebay banget” komentar Ralia.

Dhanu pelan-pelan mengubah ekspresi sedihnya menjadi sebuah senyum tipis saat melihat kedua mata Ralia yang membentuk sabit saat cewek itu tersenyum usai meredakan tawanya tadi.

Cantik

Imgur

Melihat Dhanu yang sedang menatapnya seperti itu membuat Ralia salah tingkah entah karena apa. Ia bahkan mampu merasakan panas yang perlahan menjalar di pipinya membuat Ralia merasa panas sendiri.

Menyadari hal ini, Dhanu segera mengalihkan pandangannya ke arah lain dan berusaha terlihat biasa saja walaupun diam-diam dalam hatinya ia sibuk merutuki perbuatannya sendiri.

Ralia berdehem pelan, berusaha menghilangkan kecanggungan yang sedang terjadi di antara keduanya.

“Nu”

“Li”

Ada ekspresi terkejut tergambar di wajah mereka saat secara kebetulan keduanga memanggil satu sama lain di waktu yang bersamaan.

Lalu mereka berdua tertawa.

“Drama banget” protes Ralia yang mendapat anggukan setuju dari Dhanu.

“Lo dulu, Li” Dhanu mempersilahkan.

“Besok-besok gausah gini lagi, ya?”

Alis Dhanu reflek tertaut saat mendengar ucapan Ralia, “Gini gimana?”

“Anterin gue kayak gini cuman karena disuruh Mark. Gue gaenak banget sama lo, kesannya kayak lo tuh... Apa, ya?” Ralia menjeda ucapannya sebentar, ia terlihat berpikir kalimat apa yang tepat untuk menjelaskan maksudnya, “Lo tuh jadi kayak ojek gue beneran anjir! Anter jemput kalo gue lagi butuh”

Dhanu hanya tersenyum. Cowok itu nggak menanggapi ucapan Ralia barusan. “Li” panggilnya saat dirasa Ralia nggak lagi melanjutkan ucapannya. “Lo gak capek?”

Ralia mengernyit bingung. Nggak mengerti konteks pembicaraan Dhanu saat ini. “Capek? Capek apa?” tanyanya.

“Mark” jawab Dhanu yang langsung mendapati tatapan nggak suka dari Ralia.

“Bukan urusan lo” Ralia menjawab ketus. Menurutnya, ini bukanlah sesuatu yang harus dibicarakan dengan Dhanu terlepas dari fakta jika waktu itu Ralia pernah me nelfon Dhanu hanya untuk menangis. Melampiaskan rasa sedihnya setelah melihat foto Mark dan Abel yang ada di base sekolah. Ia nggak mau berbohong jika ia benar-benar kecewa pada Mark saat itu.

“Li, sesuatu yang dipaksakan itu nggak akan berakhir baik. Lepas kalau memang harus dilepas. Pertahanin kalau memang pantas dipertahanin.”

Ralia diam. Ia membuang wajahnya ke arah lain enggan menatap Dhanu.

“Bukannya capek pura-pura gapapa?” tanya Dhanu lagi yang masih nggak mendapat jawaban atau respon dari perempuan di hadapannya.

Capek

“Bukannya sakit kalo lo tahan terus-terusan?”

Sakit

Dhanu berdiri dari kursinya, kemudian menenteng helm dan jaketnya berniat pergi dari sana. Sekali lagi, ia menatap Ralia yang masih setia mengabaikan dirinya seolah nggak mendengar apa yang sedang Dhanu katakan.

“Tanya hati lo. Kasih satu aja alasan kenapa lo masih bertahan sampe segininya. Gue pulang dulu, Li” pamit Dhanu kemudian pergi darisana.

Ralia masih diam, nggak beranjak sedikitpun dari tempatnya. Kini ia bahkan bisa mendengar motor Dhanu yang menyala lalu pergi meninggalkan halaman rumahnya.

Beberapa saat kemudian, tangis Ralia pecah begitu saja.

Gue capek. Sakit, Nu. Sakit banget. Tapi gue sayang. Gue sayang sama Mark. Rasa sakit dan capek gue bahkan kayak gak ada artinya, Nu. Tapi gue takut kalo gue akan lebih menyesal udahan sama Mark cuma karena gue gak mau sabar sedikit lebih lama lagi

Ralia menutupi wajahnya. Ia bersyukur rumahnya kosong saat ini hingga ia lebih leluasa melepaskan tangisannya yang semakin lama semakin deras.

Ralia percaya dan akan selalu percaya Mark akan melihat ke arahnya suatu saat nanti dan semua pasti akan berakhir bahagia juga pada saatnya.

Pasti.

orentciz

Si Absurd, Yuta

“Dicariin tuh”

Rey melirik malas pada Ecan yang justru mendudukan dirinya pada kursi depan meja Rey yang kosong.

“Siapa?” tanya Rey kelihatan gak berminat dan gak penasaran. Moodnya sedang nggak bagus saat ini karena kejadian ketika pelajaran Bahasa Inggris tadi.

Yang pertama, ia nyaris kena lempar spidol oleh sir Wawan yang terkenal menyandangi gelar guru killerest karena emang beliau segalak itu gak peduli mau ke siswa atau siswi. Selama menurutnya menyebalkan, pasti akan kena lemparan spidol legend miliknya.

Dan alasan kedua adalah si penyebab masalah diatas alias Yuta.

Cowok itu sukses membuat Rey mengerjap panik saat tiba-tiba Yuta menelfonnya, membuat ponselnya yang nggak lagi di silent berbunyi saat posisi kelas sedang hening ketika pelajaran berlangsung dan otomatis membuat sisi kelas menatap Rey horror.

“Tuh, liat aja di depan” jawab Ecan menganggukan dagunya ke ambang pintu.

Rey melotot. Di sana ada Yuta yang berdiri dengan kaos olahraga tergulung pada lengan dan kakinya memperlihatkan betis dan lengan berotot yang masih basah karena keringat hingga membuat cowok itu menjadi tontonan teman sekelas Rey yang terganggu karena menghalangi jalan masuk.

Rey menutup-nutupi wajahnya malu kala Yuta tiba-tiba berteriak memanggil namanya agar menghampiri cowok itu dan mengambil seplastik penuh es krim di tangannya. Demi apapun, Rey yang malu.

“Can astaga, usir kek” desis Rey masih berusaha menutupi wajahnya sendiri. Nggak mau melihat kelakuan aneh Yuta lebih lanjut.

Ecan sibuk tertawa sambil sesekali menggeleng melihat Yuta yang justru menampilkan gesture kebingungan melihat Rey dari ujung pintu sana. “Demen tuh dia sama lo” ujar Ecan memasang wajah senyum jahil.

“Demen sih demen, tapi—” Rey menghela nafasnya sebentar, sekali lagi ia melirik ke arah lalu memutuskan untuk berdiri dari kursinya dan menghampiri Yuta yang semakin lama semakin bertingkah gak jelas.

Saat keduanya berhadapan, Rey langsung menarik tangan Yuta pergi darisana.

“Urat malu lo putus atau gimana, sih?” omel Rey kemudian menarik turun lengan baju dan celana olahraga yang sebelumnya Yuta gulung tinggi-tinggi dengan kasar.

Imgur

Yuta membiarkan Rey menurunkan lengan dan celananya meskipun Rey melakukannya sambil mengoceh kesal, “Selo, gue ganteng” jawab Yuta enteng lalu memberikan plastik berisi es krim tadi. “Sorry” katanya pelan setelah Rey kembali menatap dirinya.

“Sorry apaan?” tanya Rey berpura-pura nggak tahu.

“Yang tadi...”

“Yang mana?”

“Nelfon”

Cukup lama tangan Yuta tergantung di udara karena Rey nggak kunjung mengambil plastiknya.

“Es krim mochi 5, tadi berebutan sama Jackson tuh, demi lo” ujar Yuta lagi berharap Rey mau mengambil plastik tersebut.

“Pamer? Ga ikhlas?”

Yuta melongo lalu menggeleng cepat, “Ambil, anying. Pegel tangan gua” tukas Yuta sambil menggoyang-goyangkan plastik yang masih di tangannya.

Rey diam. Sebenarnya ia masih kesal karena bukan sekali duakali Yuta isengnya keterlaluan seperti ini. Tapi entah kenapa cowok itu selalu punya cara absurd untuk mengajak Rey berbaikan dan membuat Rey menyerah pada pendirianya yang berniat marah dan mendiamkan Yuta.

Setelah menghela nafas pelan, Rey akhirnya meraih plastik berisi es krim itu. “Awas lo iseng lagi, gue marah—”

Ucapan Rey terpotong karena Yuta tiba-tiba mengacak rambut cewek itu gemas. “Iya iya nanti lo mau marah beneran terus gamau ngomong sama gue, gamau bales chat gue, gamau kenal lagi sama gue. Iya Reyisa, iya” Yuta tersenyum lebar.

Imgur

Dia sudah tau apa yang akan dikatakan oleh Rey selanjutnya karena cewek itu selalu mengatakan hal yang sama tiap kali mereka berdua akan berdamai setelah meributkan hal-hal sepele.

Yang awalnya Rey selalu malas menanggapi chat dari Yuta karena cowok itu selalu bertanya apakah ia masuk atau enggak besok karena takut tidak bisa nyontek saat UTS nanti, tiba-tiba berubah menjadi obrolan panjang setiap malam yang berakhir membuat keduanya dekat seperti sekarang.

Bukan lagi sekedar chat atau pulang bareng, tapi Yuta juga nggak segan untuk mengajak Rey jalan entah untuk sekadar menonton atau makan di angkringan kesukaan cowok itu.

Rey kira kedekatannya dengan Yuta hanya akan bertahan beberapa minggu. Tetapi, setelah ia ingat-ingat lagi, ini sudah nyaris 3 bulan berlalu dan sepertinya Rey tau alasannya.

“Kak!” panggilan Rey membuat Yuta yang tadinya sudah berjalan beberapa langkah hendak kembali ke kelasnya berhenti. Cowok itu berbalik, ia diam menunggu apa yang akan Rey katakan selanjutnya.

“Lo suka sama gue, ya?”

orentciz

Namanya, Mark.

Mata Ralia nggak bisa berhenti melemparkan tatapan berbinar pada laki-laki yang terlihat tengah duduk diam di tempatnya sambil telinganya yang terpasang earphone berhasil membuat dia terkunci ke dalam dunianya sendiri.

Ralia masih dengan seulas senyum tipis diam-diam ikut menerka lagu apa yang kiranya tengah laki-laki itu dengarkan sampai kakinya yang ada di bawah meja menghentak-hentak pelan seolah mengikuti tempo musik.

“Woi!”

Ralia menoleh, mendapati Recan yang kelihatannya baru saja balik ganti baju selepas pelajaran olahraga tadi.

“Ngapain ke sini? Tanya Recan sambil menyeka keringat yang masih membasahi keningnya.

Ralia mengigit bibir bawahnya. Rasa ragu kembali menghampiri hati gadis itu apakah ia harus melakukan seperti rencana awalnya atau justru berbelok pada rencana lain yang semalaman suntuk telah ia pikirkan.

“Heh! Malah bengong!” tegur Recan saat Ralia justru mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Ngapain ke kelas gue?” tanya laki-laki itu sekali lagi.

“Ini...” Ralia mengangkat sebuah paper bag yang tengah ia pegang. Melihat itu Recan mengangkat sebelah alisnya.

“Apaan tuh? Buat gue?” Recan hendak meraih paper bag tersebut, namun Ralia dengan cepat menepisnya kemudian menarik paper bag itu kedalam pelukannya seolah-olah ada benda penting di dalamnya.

“Bukan buat lo!”

“Terus?”

Ralia kembali melirik ke dalam kelas Recan. Laki-laki itu masih di sana, di kursinya dan duduk dengan tenang mengerjakan sesuatu yang Ralia tebak sepertinya adalah tugas.

“Gue mau nitip ini, buat dia”

Recan ikut memandang ke arah yang Ralia tunjuk, “Siapa? Mark?”

Oh, jadi namanya Mark?

Ralia kembali mengulum senyum. Akhirnya ia tau siapa nama orang itu.

“Iyaa. Yang lagi pake earphone di sana” jawab Ralia

“Mark? Lo kenal Mark? Darimana? Ini isinya apaan?” tanya Recan saat akhirnya Ralia memberikan paper bag tersebut pada Recan.

Bukannya memberi jawaban, Ralia justru tersenyum sambil memegang kedua pipinya yang terasa hangat, ia tersipu malu saat harus kembali mengingat bagaimana kejadian seminggu lalu yang benar-benar membuat Ralia nggak berhenti bertanya-tanya pada pada bantal di kamarnya setiap malam.

Namanya siapa, ya? Dia kenal gue gak, ya? Aduh, kenapa dia baik banget gitu ke gue? Ah, gimana dong? Kayaknya gue baper!

“Udah ih gak usah tanya-tanya!” ujar Ralia kemudian membalikan badannya lalu pergi darisana.

Tiba-tiba, tepat saat langkah kelima, gadis itu memutar kembali badanya dan berjalin menghampiri Recan yang masih terlihat bingung dengan apa yang sedang terjadi saat ini.

“Gue titip ini. Kasih ke dia. Bilangin makasih gitu” ujar Ralia cepat setelah itu ia berlari dari sana dengan cepat.

Recan hanya menggedikan bahunya. Lalu masuk ke dalam kelas dan berjalan ke tempat duduknya yang berada di sebelah Mark.

“Ini apa?” tanya Mark saat Recan meletakan paper bag titipan Ralia tadi di atas meja Mark.

“Dari temen gue” jawab Recan, ia meraih salah satu buku Mark kemudian mengibas-ngibasnya sebagai kipas.

Mark melepas kedua earphonye, tangannya mulai bergerak membuka isi paper bag tersebut.

“Apaan isinya?” tanya Recan yang ternyata diam-diam ikut memperhatikan.

“Jaket gue” jawab Mark acuh lalu menutup kembali paper bag itu dan menaruhnya di bawa meja.

“Kok bisa jaket lo ada sama Ralia?”

“Oh, dia namanya Ralia.” Mark nggak menjawab pertanya Recan tadi, ia justru membenarkan posisi kursinya, kemudian kembali pada aktivitasnya yang tadi sempat ia jeda.

“Can, menurut lo kalo gue nembak Abel pake surat kayak gini alay nggak sih?”

Recan menggeser badannya, melihat apa yang sebenarnya sedang Mark kerjakan. “Surat cinta? Pffttt” Recan menahan tawanya saat mengetahui hal itu dan Mark buru-buru meraih kembali surat yang tadi ia tunjukan pada Recan.

“Jangan ketawa!” kesal Mark karena merasa diejek oleh Recan yang tawanya meledak juga pada akhirnya.

“Sorry sorry,” kata Recan setelah berhasil menghentikan tawanya yang terasa menggelitik tadi. “Tapi emang lo yakin bakal di terima sama Ka Abel? Yaa secara lo sama dia kan udah kenal lama, manatau lo cuman dianggep adek-adekan doang”

Mark mendelik. Salahnya memang bertanya pada Recan padahal ia tau jika Recan nggak akan memberi jawaban membantu atas semua masalah yang Mark tanyakan pada anak itu.

“Diterima. Pasti” Mark menjawab yakin. Sekali lagi, Mark menatap surat cinta yang telah ia buat. Senyumnya tak tertahan kala ia membayangkan bagaimana Abel akan menjawab iya saat Mark mengutarakan perasaannya pada gadis itu besok.

18.00, di rumah

Imgur

orentciz

Can't Help Falling in Love

5 years later

Mikaila kembali mengedarkan pandangannya. Berusaha mencari seseorang yang daritadi tidak lagi bisa ia temukan keberadaannya.

Sambil terus berjalan, Mikaila kembali mengecek ponsel yang ada di tangannya, barangkali ada pesan atau telfon masuk yang ia lewatkan, tapi ternyata hasilnya nihil.

Pesan terakhir dikirim 2 jam lalu. Hanya pesan singkat agar Mikaila tidak lupa dengan acara yang akan diadakan malam ini. Padahal tanpa harus diingatkan, Mikaila tentu nggak akan lupa juga, tetapi sekarang justru orang yang punya acaralah yang menghilang entah kemana.

drrt...drrrt

Di tengah-tengah perasaan kesal yang mulai terasa, ponsel Mikaila bergetar. Melihat nama yang tertera di layar membuat Mikaila buru-buru menggeser tombol hijau yang ada disana dan membuat panggilan mereka terhubung.

“Kamu di mana, sih?!” gerutu Mikaila begitu saja saat orang di seberang sana bahkan belum sempat mengucapkan barang sepatah kata sapaan.

”...”

Raut wajah Mikaila mendadak berubah kebingungan. “Taman? Ngapain di taman? Ini semua orang tuh nyari kamu! Gimana, sih? Ini sebenarnya acara kamu atau-”

”...”

“Nggak, tunggu- Halo??? HALO?!”

Mikaila membuang nafas gusar saat panggilan itu terputus padahal Mikaila belum menyelesaikan kata-katanya.

Pada akhrinya, Mikaila memilih untuk menyusul ke tempat itu. Langkah kakinya sedikit menghentak, ia berjalan dengan wajah tertekuk yang jelas menggambarkan jika ia sudah benar-benar kesal sekarang.

Belum selesai sampai di situ, Mikaila seolah kembali di uji kesabarannya saat ia tiba dan justru mendapati taman belakang yang kosong dan gelap tanpa ada seorangpun di sana.

Gadis itu langsung membuka kembali ponselnya lalu menelfon orang yang patut ia mintai penjelasan. Kakinya mengetuk-ngetuk tanah tidak sabar karena panggilan itu belum juga di angkat dan akhirnya hanya terdengar suara operator yang menjawab. Telepon nya nggak diangkat

Mikaila berbalik, hendak meninggalkan tempat itu. Namun, langkahnya terhenti saat tiba-tiba sebuah cahaya terang menyala dari belakangnya.

Sebuah layar entah bagaimana menyala begitu saja. Mikaila yang melihat itu reflek berjalan mendekat. Sayangnya, langkah kakinya harus kembali terhenti saat sebuah video terputar di layar tersebut.

Mikaila terdiam.

Ia bisa merasakan jantungnya yang berdegup kencang saat video itu menampilkan ia dan Taeyong ketika berada di disneyland 5 tahun lalu.

Entah bagaimana caranya itu bisa ada di sana. Mikaila saat ini benar-benar nggak ingin memikirkan apapun dan mungkin nggak bisa memikirkan hal lain.

Raut wajah kesal nggak lagi terukir di wajah gadis itu. Dengan mata yang tak lepas menatap lurus pada layar, Mikaila mulai menarik kedua bibirnya tak dapat menahan senyumannya saat ia tersadar lagu apa yang kini tengah ia dengar.

Selanjutnya, ada video sekitar 1 tahun lalu saat dirinya dan Taeyong yang tengah membuka sebuah box berisi foto-foto lama Mikaila yang dikirim oleh Jonathan. Laki-laki itu akhirnya kembali ke Indonesia 3 tahun kemudian setelah pergi secara mendadak ke Amerika tanpa mengatakan apapun pada Mikaila.

Bahkan hingga detik ini, Mikaila masih berusaha menerka-nerka karena Jonathan seolah enggan untuk membertitahu alasannya pada Mikaila dan akhirnya Mikaila memilih menyerah dan nggak lagi bertanya pada Jonathan daripada laki-laki itu harus menghilang lagi dari hidupnya.

Mata Mikaila memanas. Ia masih ingat jelas bagaimana semua ini di mulai hingga akhirnya waktu tanpa terasa telah lama berlalu dan semua yang ada di dalam video itu membuat Mikaila menyadari jika ternyata 5 tahun ini ia dan Taeyong telah melewati berbagai hal bersama-sama.

Mikaila berusaha menahan perasaannya yang terasa mulai tidak karuan. Rasanya ia ingin sekali segera menemukan Taeyong dan memeluk laki-laki itu saat ini juga.

Layaknya orang bodoh yang nggak tahu harus melakukan apa, Mikaila hanya diam sambil terus menatap layar dengan begitu fokus hingga video tersebut selesai dan semua layar kembali gelap.

Mikaila kira itu hanya sampai di sana, namun dugaannya salah besar.

Beberapa detik setelah layar tersebut menjadi gelap, lampu-lampu taman menyala secara bersamaan membuat taman yang awalnya hanya bermodalkan cahaya bulan kini telah menjadi begitu terang.

Suara derap kaki terdengar mendekat dari belakang. Mikaila yang menyadari itu segera memutar badannya dan berhasil menemukan sosok yang sedari tadi ia cari tengah tersenyum ke arahnya.

Perlahan laki-laki itu mulai mendekat. Mikaila nggak lagi bisa menahan air matanya dan kemudian ia biarkan turun begitu saja. Perasaannya terasa begitu tidak karuan saat ini.

Saat keduanya telah berhadapan dalam jarak yang begitu dekat, laki-laki itu meraih kedua tangan Mikaila dengan tangannya lalu menggenggamnya lembut.

“Aku mau nagih janji kamu” ucap laki-laki itu sambil matanya tak lepas menatap Mikaila yang juga berbalik menatapnya dengan sisa-sisa air mata.

Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah dari sakunya dan berhasil membuat mata Mikaila membulat menatap orang di depannya seolah tak percaya dengan apa yang kini tengah ia lihat.

“taeyong...” suara Mikaila bergetar. Jantungnya semakin berdegup kencang hingga rasanya ingin meledak.

“Inget kan janji kamu 5 tahun lalu?”

“I-ingat” jawab Mikaila buru-buru menggengam erat bajunya sendiri, berusaha mengendalikan dirinya yang benar-benar gugup saat ini.

Tentu dia ingat.

“Wise men say, Only fools rush in. Gak usah ngomongin nikah dulu, Taeyong. Kamu selesaiin dulu kuliah kamu baik-baik. Minta lagi jawaban aku kalo kamu udah berhasil nanti”

Itu adalah jawaban yang Mikaila berikan saat secara random Taeyong menanyakan pendapat Mikaila tentang menikah.

Taeyong membuka kotak yang ada di tangannya, menampilkan sebuah cincin yang terlihat sangat indah.

“Aku, kamu, kita berdua sama-sama udah nunggu buat ini dan sekarang aku udah nepatin janji aku sama kamu. Aku udah berhasil, jadi sekarang giliran kamu nepatin janji kamu sama aku”

Taeyong terlihat menarik nafasnya sebelum mengucapkan kalimat berikutnya. Kalimat yang telah siap ia ucapkan sejak jauh-jauh hari dan malam ini akan ia katakan untuk orang yang telah menjadi kekasihnya selama 5 tahun ini.

Taeyong kembali menujukan senyumnya terbaiknya,

“Mikaila Yerisha, Will you marry me?”

Tidak perlu waktu lama, Mikaila segera mengangguk mengiyakan. Melihat jawaban yang diberikan oleh perempuan di hadapannya, Taeyong kembali meraih tangan mikaila lalu menyematkan cincin indah tadi pada jari manis Mikaila kemudian menarik perempuan itu kedalam dekapannya dan memeluknya erat, berusaha menunjukan betapa lega hatinya karena 5 tahunnya berakhir baik.

Dari balik pelukan itu, Mikaila tersenyum. Ia bahagia. Sangat. Rasa bahagianya itu membuat air mata kembali menetes membasahi pipinya yang bahkan belum kering akibat air mata sebelumnya.

Mikaila memejamkan kedua matanya. Ia berharap Taeyong dapat merasakan bagaimana detak jantung Mikaila yang perlahan mulai kembali stabil seiring perasaan bahagian yang menyelimuti hatinya.

Mungkin malam ini dia adalah manusia paling bahagia di muka bumi dan kalau saja bisa, ia ingin seluruh dunia tau akan hal itu.

Wise men say Only fools rush in But I can't help falling in love with you Shall I stay? Would it be a sin If I can't help falling in love with you?

orentciz

make you mine

5 years later

Mikaila kembali mengedarkan pandangannya. Berusaha mencari seseorang yang daritadi tidak lagi bisa ia temukan keberadaannya.

Sambil terus berjalan, Mikaila kembali mengecek ponsel yang ada di tangannya, barangkali ada pesan atau telfon masuk yang ia lewatkan, tapi ternyata hasilnya nihil.

Pesan terakhir dikirim 2 jam lalu. Hanya pesan singkat agar Mikaila tidak lupa dengan acara yang akan diadakan malam ini. Padahal tanpa harus diingatkan, Mikaila tentu nggak akan lupa juga, tetapi sekarang justru orang yang punya acaralah yang menghilang entah kemana.

drrt...drrrt

Di tengah-tengah perasaan kesal yang mulai terasa, ponsel Mikaila bergetar. Melihat nama yang tertera di layar membuat Mikaila buru-buru menggeser tombol hijau yang ada disana dan membuat panggilan mereka terhubung.

“Kamu di mana, sih?!” gerutu Mikaila begitu saja saat orang di seberang sana bahkan belum sempat mengucapkan barang sepatah kata sapaan.

”...”

Raut wajah Mikaila mendadak berubah kebingungan. “Taman? Ngapain di taman? Ini semua orang tuh nyari kamu! Gimana, sih? Ini sebenarnya acara kamu atau-”

”...”

“Nggak, tunggu- Halo??? HALO?!”

Mikaila membuang nafas gusar saat panggilan itu terputus padahal Mikaila belum menyelesaikan kata-katanya.

Pada akhrinya, Mikaila memilih untuk menyusul ke tempat itu. Langkah kakinya sedikit menghentak, ia berjalan dengan wajah tertekuk yang jelas menggambarkan jika ia sudah benar-benar kesal sekarang.

Belum selesai sampai di situ, Mikaila seolah kembali di uji kesabarannya saat ia tiba dan justru mendapati taman belakang yang kosong dan gelap tanpa ada seorangpun di sana.

Gadis itu langsung membuka kembali ponselnya lalu menelfon orang yang patut ia mintai penjelasan. Kakinya mengetuk-ngetuk tanah tidak sabar karena panggilan itu belum juga di angkat dan akhirnya hanya terdengar suara operator yang menjawab. Telepon nya nggak diangkat

Mikaila berbalik, hendak meninggalkan tempat itu. Namun, langkahnya terhenti saat tiba-tiba sebuah cahaya terang menyala dari belakangnya.

Sebuah layar entah bagaimana menyala begitu saja. Mikaila yang melihat itu reflek berjalan mendekat. Sayangnya, langkah kakinya harus kembali terhenti saat sebuah video terputar di layar tersebut.

Mikaila terdiam.

Ia bisa merasakan jantungnya yang berdegup kencang saat video itu menampilkan ia dan Taeyong ketika berada di disneyland 5 tahun lalu.

Entah bagaimana caranya itu bisa ada di sana. Mikaila saat ini benar-benar nggak ingin memikirkan apapun dan mungkin nggak bisa memikirkan hal lain.

Raut wajah kesal nggak lagi terukir di wajah gadis itu. Dengan mata yang tak lepas menatap lurus pada layar, Mikaila mulai menarik kedua bibirnya tak dapat menahan senyumannya saat ia tersadar lagu apa yang kini tengah ia dengar.

Selanjutnya, ada video sekitar 1 tahun lalu saat dirinya dan Taeyong yang tengah membuka sebuah box berisi foto-foto lama Mikaila yang dikirim oleh Jonathan. Laki-laki itu akhirnya kembali ke Indonesia 3 tahun kemudian setelah pergi secara mendadak ke Amerika tanpa mengatakan apapun pada Mikaila.

Bahkan hingga detik ini, Mikaila masih berusaha menerka-nerka karena Jonathan seolah enggan untuk membertitahu alasannya pada Mikaila dan akhirnya Mikaila memilih menyerah dan nggak lagi bertanya pada Jonathan daripada laki-laki itu harus menghilang lagi dari hidupnya.

Mata Mikaila memanas. Ia masih ingat jelas bagaimana semua ini di mulai hingga akhirnya waktu tanpa terasa telah lama berlalu dan semua yang ada di dalam video itu membuat Mikaila menyadari jika ternyata 5 tahun ini ia dan Taeyong telah melewati berbagai hal bersama-sama.

Mikaila berusaha menahan perasaannya yang terasa mulai tidak karuan. Rasanya ia ingin sekali segera menemukan Taeyong dan memeluk laki-laki itu saat ini juga.

Layaknya orang bodoh, Mikaila hanya diam dan terus menatap layar begitu fokusnya hingga video itu selesai dan semua layar kembali gelap.

Mikaila kira itu hanya sampai di sana, namun ternyata ia salah besar.

Tepat saat layar tersebut menjadi gelap, lampu-lampu taman menyala secara bersamaan membuat taman yang awalnya hanya bermodalkan cahaya bulan kini telah menjadi begitu terang.

Suara derap kaki terdengar mendekat dari belakang. Mikaila yang menyadari itu segera memutar badannya dan berhasil menemukan sosok yang sedari tadi ia cari tengah tersenyum ke arahnya.

Saat laki-laki itu mulai mendekat, Mikaila nggak lagi bisa menahan air matanya dan kemudian ia biarkan turun begitu saja. Perasaannya terasa begitu tidak karuan saat ini.

Saat keduanya telah berhadapan dalam jarak yang begitu dekat, laki-laki itu meraih kedua tangan Mikaila dengan tangannya lalu menggenggamnya lembut.

“Aku mau nagih janji kamu” ucap laki-laki itu sambil matanya tak lepas menatap Mikaila yang juga berbalik menatapnya dengan sisa-sisa air mata.

Laki-laki itu mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah dari sakunya dan berhasil membuat mata Mikaila membulat saat melihat itu.

“taeyong...” suara Mikaila bergetar. Jantungnya semakin berdegup kencang hingga rasanya ingin meledak.

“Inget kan janji kamu 5 tahun lalu?”

“I-ingat” jawab Mikaila buru-buru menggengam erat bajunya sendiri, berusaha mengendalikan dirinya yang benar-benar gugup saat ini.

Tentu dia ingat.

“Gak usah ngomongin nikah dulu, Taeyong. Kamu selesaiin dulu kuliah kamu baik-baik. Minta lagi jawaban aku kalo kamu udah berhasil nanti”

Taeyong membuka kotak yang ada di tangannya, menampilkan sebuah cincin yang terlihat sangat indah.

“Aku, kamu, kita berdua sama-sama udah nunggu buat ini dan sekarang aku udah nepatin janji aku sama kamu. Aku udah berhasil, jadi sekarang giliran kamu nepatin janji kamu sama aku”

Taeyong terlihat menarik nafasnya sebelum mengucapkan kalimat berikutnya. Kalimat yang telah siap ia ucapkan sejak jauh-jauh hari dan malam ini akan ia katakan untuk orang yang telah menjadi kekasihnya selama 5 tahun ini.

Taeyong kembali menujukan senyumnya terbaiknya,

“Mikaila Yerisha, Will you marry me?”

Tidak perlu waktu lama, Mikaila segera mengangguk mengiyakan. Melihat jawaban yang diberikan oleh perempuan di hadapannya, Taeyong segera menarik memasukan cincin tadi pada jari manis Mikaila kemudian menarik perempuan itu kedalam dekapannya.

Mikaila bahagia. Sangat. Rasa bahagianya itu membuat air mata kembali menetes membasahi pelupuk matanya. Mungkin malam ini dia adalah manusia paling bahagia di muka bumi dan ingin rasanya seluruh dunia tau akan hal itu.

orentciz

make you mine

5 years later

Mikaila kembali mengedarkan pandangannya. Berusaha mencari seseorang yang daritadi tidak lagi bisa ia temukan keberadaannya.

Sambil terus berjalan, Mikaila kembali mengecek ponsel yang ada di tangannya, barangkali ada pesan atau telfon masuk yang ia lewatkan, tapi ternyata hasilnya nihil.

Pesan terakhir dikirim 2 jam lalu. Hanya pesan singkat agar Mikaila tidak lupa dengan acara yang akan diadakan malam ini. Padahal tanpa harus diingatkan, Mikaila tentu nggak akan lupa juga, tetapi sekarang justru orang yang punya acaralah yang menghilang entah kemana.

drrt...drrrt

Di tengah-tengah perasaan kesal yang mulai terasa, ponsel Mikaila bergetar. Melihat nama yang tertera di layar membuat Mikaila buru-buru menggeser tombol hijau yang ada disana dan membuat panggilan mereka terhubung.

“Kamu di mana, sih?!” gerutu Mikaila begitu saja saat orang di seberang sana bahkan belum sempat mengucapkan barang sepatah kata sapaan.

”...”

Raut wajah Mikaila mendadak berubah kebingungan. “Taman? Ngapain di taman? Ini semua orang tuh nyari kamu! Gimana, sih? Ini sebenarnya acara kamu atau-”

”...”

“Nggak, tunggu- Halo??? HALO?!”

Mikaila membuang nafas gusar saat panggilan itu terputus padahal Mikaila belum menyelesaikan kata-katanya.

Pada akhrinya, Mikaila memilih untuk menyusul ke tempat itu. Langkah kakinya sedikit menghentak, ia berjalan dengan wajah tertekuk yang jelas menggambarkan jika ia sudah benar-benar kesal sekarang.

Belum selesai sampai di situ, Mikaila seolah kembali di uji kesabarannya saat ia tiba dan justru mendapati taman belakang yang kosong dan gelap tanpa ada seorangpun di sana.

Gadis itu langsung membuka kembali ponselnya lalu menelfon orang yang patut ia mintai penjelasan. Kakinya mengetuk-ngetuk tanah tidak sabar karena panggilan itu belum juga di angkat dan akhirnya hanya terdengar suara operator yang terhubung.

Mikaila berbalik, hendak meninggalkan tempat itu. Namun, langkahnya terhenti saat tiba-tiba sebuah cahaya terang menyala dari belakangnya.

Sebuah layar entah bagaimana menyala begitu saja. Mikaila yang melihat itu reflek berjalan mendekat. Sayangnya, langkah kakinya harus kembali terhenti saat sebuah video terputar di layar tersebut.

Mikaila terdiam.

Ia bisa merasakan jantungnya yang berdegup kencang saat video itu menampilkan ia dan Taeyong ketika berada di disneyland 5 tahun lalu.

Entah bagaimana caranya itu bisa ada di sana. Mikaila saat ini benar-benar nggak ingin memikirkan apapun dan mungkin nggak bisa memikirkan hal lain.

Raut wajah kesal nggak lagi terukir di wajah gadis itu. Dengan mata yang tak lepas menatap lurus pada layar, Mikaila mulai menarik kedua bibirnya tak dapat menahan senyumannya saat ia tersadar lagu apa yang kini tengah ia dengar.

Selanjutnya, ada video sekitar 1 tahun lalu saat dirinya dan Taeyong yang tengah membuka sebuah box berisi foto-foto lama Mikaila yang dikirim oleh Jonathan. Laki-laki itu akhirnya kembali ke Indonesia 3 tahun kemudian setelah pergi secara mendadak ke Amerika tanpa mengatakan apapun pada Mikaila.

Bahkan hingga detik ini, Mikaila masih berusaha menerka-nerka karena Jonathan seolah enggan untuk membertitahu alasannya pada Mikaila dan akhirnya Mikaila memilih menyerah dan nggak lagi bertanya pada Jonathan daripada laki-laki itu harus menghilang lagi dari hidupnya.

Mata Mikaila memanas. Ia masih ingat jelas bagaimana semua ini di mulai hingga akhirnya waktu tanpa terasa telah lama berlalu dan semua yang ada di dalam video itu membuat Mikaila menyadari jika ternyata 5 tahun ini ia dan Taeyong telah melewati berbagai hal bersama-sama.

Mikaila berusaha menahan perasaannya yang terasa mulai tidak karuan. Rasanya ia ingin sekali segera menemukan Taeyong dan memeluk laki-laki itu saat ini juga.

Layaknya orang bodoh, Mikaila hanya diam dan terus menatap layar begitu fokusnya hingga video itu selesai dan semua layar kembali gelap.

Mikaila kira itu hanya sampai di sana, namun ternyata ia salah besar.

Tepat saat layar tersebut menjadi gelap, lampu-lampu taman menyala secara bersamaan membuat taman yang awalnya hanya bermodalkan cahaya bulan kini telah menjadi begitu terang.

Suara derap kaki terdengar mendekat dari belakang. Mikaila yang menyadari itu segera memutar badannya dan berhasil menemukan sosok yang sedari tadi ia cari tengah tersenyum ke arahnya.

Saat laki-laki itu mulai mendekat, Mikaila nggak lagi bisa menahan air matanya dan kemudian ia biarkan turun begitu saja. Perasaannya terasa begitu tidak karuan saat ini.

Saat keduanya telah berhadapan dalam jarak yang begitu dekat, laki-laki itu meraih kedua tangan Mikaila dengan tangannya lalu menggenggamnya lembut.

“Aku mau nagih janji kamu” ucap laki-laki itu sambil matanya tak lepas menatap Mikaila yang juga berbalik menatapnya dengan sisa-sisa air mata.

Laki-laki itu mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah dari sakunya dan berhasil membuat mata Mikaila membulat saat melihat itu.

“taeyong...” suara Mikaila bergetar. Jantungnya semakin berdegup kencang hingga rasanya ingin meledak.

“Inget kan janji kamu 5 tahun lalu?”

“I-ingat” jawab Mikaila buru-buru menggengam erat bajunya sendiri, berusaha mengendalikan dirinya yang benar-benar gugup saat ini.

Tentu dia ingat.

“Gak usah ngomongin nikah dulu, Taeyong. Kamu selesaiin dulu kuliah kamu baik-baik. Minta lagi jawaban aku kalo kamu udah berhasil nanti”

Taeyong membuka kotak yang ada di tangannya, menampilkan sebuah cincin yang terlihat sangat indah.

“Aku, kamu, kita berdua sama-sama udah nunggu buat ini dan sekarang aku udah nepatin janji aku sama kamu. Aku udah berhasil, jadi sekarang giliran kamu nepatin janji kamu sama aku”

Taeyong terlihat menarik nafasnya sebelum mengucapkan kalimat berikutnya. Kalimat yang telah siap ia ucapkan sejak jauh-jauh hari dan malam ini akan ia katakan untuk orang yang telah menjadi kekasihnya selama 5 tahun ini.

Taeyong kembali menujukan senyumnya terbaiknya,

“Mikaila Yerisha, Will you marry me?”

Tidak perlu waktu lama, Mikaila segera mengangguk mengiyakan. Melihat jawaban yang diberikan oleh perempuan di hadapannya, Taeyong segera menarik memasukan cincin tadi pada jari manis Mikaila kemudian menarik perempuan itu kedalam dekapannya.

Mikaila bahagia. Sangat. Rasa bahagianya itu membuat air mata kembali menetes membasahi pelupuk matanya. Mungkin malam ini dia adalah manusia paling bahagia di muka bumi dan ingin rasanya seluruh dunia tau akan hal itu.

orentciz

The Reason

Jonathan melirik mobil Jepp hitam yang baru saja tiba dan terparkir tepat di sebelah mobilnya. Sama seperti dirinya, pengemudi mobil tersebut ikut menurunkan jendela mobilnya menampilkan seorang laki-laki yang kini meliriknya sinis.

Jonathan menghela nafas dalam, berusaha mengabaikan tatapan Taeyong itu. Pikirannya belakangan ini benar-benar kacau karena terlalu banyak hal yang sedang terjadi padanya secara beruntun dan mendadak, membuat Jonathan nyaris hilang akal karena bingung permasalahan mana yang harus ia selesaikan lebih dahulu.

“Gue mau langsung to the point, lo suka sama Mikaila?” suara rendah milik Taeyong terdengar begitu serius. Jonathan yakin ada perasaan kesal di dalamnya.

Jonathan menoleh pada Taeyong sambil mengangkat sudut bibirnya kemudian tertawa sinis.

“Lo udah pernah nanya itu ke gue” jawab Jonathan dengan tenang. Tepatnya berusaha untuk tenang.

“Tapi kelihatannya jawaban lo gak sesuai dengan tindakan lo” sangkal Taeyong. Laki-laki itu jelas menyindir aksi Jonathan yang menjauhi Mikaila setelah ia dan Mikaila resmi berpacaran.

“Sesuai. Cuman gue agak melenceng dikit karena kebetulan orangnya adalah lo”

Mendengar itu Taeyong dengan cepat mengernyitkan keningnya heran. Ia sama sekali nggak paham maksud perkataan Jonathan barusan. Memang kenapa dirinya?

“Gue? Gue kenapa?” tanya Taeyong tak ingin menerka-nerka.

Jonathan mengalihkan pandangannya menatap lurus ke depan. Ia menggenggam erat stir di tangannya kemudian memejamkan kedua matanya untuk beberapa detik mencoba menetralkan pikirannya agar lebih tenang.

Everything happened for a reason

Layaknya bumi yang berputar karena adanya rotasi bumi, Jonathanpun sama. Ada alasan dibalik sikapnya pada Mikaila dan Taeyong selama ini.

Alasan kenapa ia begitu ingin menjaga Mikaila dan alasan kenapa ia begitu tidak menyukai Taeyong.

“Waktu lo umur 6 Tahun, apa lo ingat kalo lo pernah ngerayain ulang tahun lo di panti asuhan?” tanya Jonathan. Matanya masih setia memandang lurus ke depan sedangkan Taeyong hanya bisa melempar tatapan semakin kebingungan atas pertanyaan Jonathan yang menurut Taeyong sangat aneh.

Merasa nggak mendapat jawaban dari lawan bicara, Jonathan menoleh pada Taeyong yang ternyata juga sedang menatapnya balik penuh rasa curiga.

Jonathan kembali terkekeh. Kekehan yang terdengar begitu pahit. “Gue ingat waktu itu kue lo gambarnya transformer. Besar, mewah, dan lo kelihatan-.” ucapannya terpotong sejenak. senyum miris samar-samar terukir pada wajah Jonathan kala dirinya terpaksa harus mengingat masa itu. “-Bahagia”

Happy 6th Birthday Taeyong Pradigta

Tulisan yang tercetak jelas diatas banner itu terpapar begitu besar di belakang keluarga kecil yang tengah bertepuk tangan bahagia bersiap untuk meniup lilin yang menyala di atas kue ulang tahun.

Semua orang yang ada di sana ikut memberikan senyum terbaik mereka sambil ikut menyanyikan lagu dan tentu tidak lupa untuk memberikan tepuk tangan kian riuh saat si bintang utama berhasil mematikan lilin dalam sekali tiup.

Semua orang, kecuali satu.

Jonathan kecil melihat semuanya dengan tatapan datar sambil diam-diam terus membayangkan dirinyalah yang ada di posisi itu.

Membayangkan jika ialah yang kini tengah memberik suapan dari potongan pertama kue itu pada sosok yang bernama ayah sambil terus mendapat kecupan singkat pada pipi dari sosok yang bernama ibu.

Tanpa Jonathan kecil sadari, tatapan datar itu perlahan berubah menjadi tatapan penuh rasa iri, dengki, dan tidak suka.

Ada perasaan marah dalam hatinya saat ia harus menonton kebahagian tidak menyenangkan itu saat dirinya baru saja merasakan betapa pahitnya dunia.

“Anak ini aneh. Dia terlalu banyak diam dan...” omongan laki-laki yang sebulan ini telah ia panggil ayah itu terhenti sesaat. Diliriknya Jonathan di seberang sofa sana yang hanya menunduk tanpa mengeluarkan reaksi apapun dan itu membuatnya semakin muak, “... aneh. Apa dia normal?”

Jonathan bisa merasakan badan kecilnya mendadak ditarik dalam rengkuhan bunda pantinya. “Maksud bapak apa?! Tentu saja Jonathan normal! Kalau bapak tidak bisa mengatakan hal baik tolong jangan bicara sembarangan!” tegur Bunda terdengar marah

Jonathan sama sekali nggak paham dengan apa yang tengah terjadi. Tapi ia ingat sebelum dibawa kembali ke sini, ayahnya mengatakan sesuatu yang siapa sangka akan menjadi kata-kata menyakitkan tidak terlupakan.

“Kamu nggak sesuai ekspetasi saya. Rasanya saya telah melakukan kesalahan karena mau repot-repot mengangkat kamu sebagai anak di keluarga saya”

dan setelahnya ia tidak lagi pernah melihat orang tua barunya itu. Butuh beberapa waktu untuk Jonathan pahami kalau ia saja dikembalikan ke panti.

Tentu Jonathan bukan anak aneh atau tidak normal seperti yang ayah angkatnya bilang. Ia hanya sedikit pendiam dan bagaimanapun ia hanyak anak 6 tahun yang tentu perlu waktu untuk beradaptasi dengan kehidupan barunya, tetapi sangat disayangkan orang tua angkatnya tidak bisa bersabar sedikit lebih lama lagi dan memutuskan mengembalikan Jonathan.

Hati Taeyong mencelos mendengar cerita Jonathan barusan. Ada sedikit rasa tidak percaya di hatinya, namun ia hanya bisa terdiam tanpa kata karena semua yang ia dengar itu nyata.

“Sorry. Gue gatau kalo kejadiannya begitu” ujar Taeyong penuh rasa bersalah.

Kini perlahan-lahan ia mulai bisa mengerti kenapa Jonathan bersikap begitu menyebalkan padanya jika sudah berkaitan dengan Mikaila.

Sejujurnya selama di perjalanan menuju kemari, sudah banyak kata dan kalimat umpatan yang berniat Taeyong lontarkan pada Jonathan saat mereka bertemu nanti mengingat Taeyong rasanya sudah nggak lagi bisa menahan rasa kesal pada laki-laki itu. Bayangan tentang Jonathan yang menyimpan perasaan khusus pada Mikaila semakin membuat Taeyong membawa mobilnya menggebu membelah jalanan Jakarta malam itu.

“Lo nanya apa gue suka sama Mikaila?” Jonathan menarik sudut bibirnya, “Siapa yang gak suka? Semua orang yang kenal dia pasti bakal suka. Dia baik, ramah, pintar lagi.” Jonathan berkata dengan begitu tulus karena memang begitu adanya. “Tapi suka gue ke dia benar-benar cuman sebagai kakak. Gak lebih dan gak kurang” ujar Jonathan kemudian.

Jonathan tidak pernah berbohong tentang fakta itu. Bagi siapapun yang nggak tahu tentang apa yang telah keduanya lalui sejak dulu mungkin itu terdengar seperti omong kosong belaka saja.

Semua perhatian yang Jonathan beri pada Mikaila hanyalah bentuk wujud kasih sayang pada seorang kakak mengingat Mikaila lah yang juga selalu membantu dirinya sejak masih kecil sebelum akhirnya Jonathan diadopsi oleh keluarganya sekarang.

Mikaila begitu berarti bagi Jonathan dan Jonathan begitu menyayangi gadis itu. Keadaan masa lalu yang terpaksa membuat baik Mikaila maupun Jonathan punya tempat dan arti masing-masing yang membedakan siapapun yang pernah hadir di hidup keduanya.

“Tapi, Jo, gue masih bingung sama satu hal”

Jonathan melemparkan pandangannya pada Taeyong dengan sebelah alis terangkat, “Apa?”

“Jadi, sebenarnya lo gak suka sama gue bukan karena gue dulu brengsek, tapi karena kejadian ulang tahun itu kan?” Raut wajah Taeyong kelihatan begitu serius dan bingung secara bersamaan. “Tapi gimana caranya lo masih ingat kalo itu adalah gue?” tanya Taeyong lagi karena setelah ia pikirkan lagi, dirinya sendiri bahkan nggak ingat pernah merayakan ulang tahun di panti asuhan.

Berbeda dengan Taeyong yang memperlihatkan ekspresi serius, Jonathan justru terlihat sedikit lebih rileks. Mungkin merasa lega karena akhirnya ia bisa menceritakan cerita ini pada seseorang walau nggak pernah sedikitpun terlintas di benak Jonathan jika ia akan bercerita pada Taeyong yang merupakan salah satu sumbu utama masalahnya.

Taeyong melipat keningnya kala Jonathan menunjuk pada bagian kanan matanya yang membuat Taeyong dengan segera mendekatkam wajahnya pada kaca spion.

“BERCANDA LO ANJIR?!” pekiknya tak percaya saat paham apa yang dimaksud oleh Jonathan.

Gila.

Bagaimana bisa Jonathan masih mengingat dirinya hanya karena sebuah bekas lukas pada wajahnya? Taeyong benar-benar tidak habis pikir.

Setelah itu keduanya mendadak diam.

Baik Jonathan maupun Taeyong sama-sama larut dalam pikiran masing-masing yang tentunya bermuara pada satu hal; Mikaila.

“Gue lusa bakal balik ke Amerika” Jonathan kembali membuka suara.

“Amerika?” ulang Taeyong yang dibalas deheman mengiyakan dari Jonathan.

Hal lain yang membuat Jonathan menghindar dari Mikaila selain karena permasalahan dengan Taeyong adalah ia harus kembali ke Amerika dalam jangka waktu dekat ini.

“Lo ngapain ke Amerika?”

Jonathan melirik Taeyong kemudian berdecih pelan. “Gue emang udah cerita tentang masa lalu gue, tapi itu gak bikin kita jadi deket dan faktanya adalah gue bakal tetep gak suka sama lo”

Mendengar itu, Taeyong memutar matanya jengah. Siapa juga yang berniat mendekatkan diri dengan Jonathan?

“Mikaila udah tau?” tanya Taeyong lagi tidak menanggapi kata-kata Jonathan barusan.

Jonathan menggeleng.

Ia serius saat bilang jika dirinya tengah sibuk karena ia memang benar-benar sibuk mengurus semuanya sampai tidak sempat memikirkan cara bagaimana ia akan memberi tahu Mikaila periha kepergiannya yang mendadak ini.

Jonathan tentu berat untuk pergi, terlebih keadaannya dengan Mikaila juga tidak sedang baik, meskipun ia tidak mengelak jika semua memang salah dirinya sendiri yang mungkin terlalu berlebihan pada Mikaila.

Taeyong baru hendak membuka mulutnya untuk bertanya lebih lanjut lagi pada Jonathan, tapi sayangnya ia lebih dulu dihadiahi lemparan buku yang mendarat tepat mengenai wajahnya.

“Brengsek” umpat Taeyong kesal sebelum meraih buku yang kelihatan begitu usang itu.

“Apaan-”

“Dia sayang sama lo. Beneran sayang. Gue tau dan bisa lihat, cuman gue selalu menolak fakta itu.” Jonathan menatap Taeyong lurus. Matanya seolah mengatakan jika kali ini laki-laki itu tengah serius dan tidak berminat untuk bercanda. “Gue mohon, tolong jangan bikin dia sedih ataupun kecewa karena lo yang pertama buat dia dan gue... Gak akan ngehalangin kalian lagi” Jonathan memelankan suaranya saat mengucapkan kalimatnya yang terakhir.

Taeyong diam. Tentu ia tidak mau munafik karena jauh di lubuk hatinya ia senang mendengar jika Jonathan nggak akan lagi menjadi halangan, namun setelah mendengar cerita tadi, justru kini Taeyong merasa sedikit khawatir tanpa alasan.

“Lo kapan balik ke Indonesia?”

Alih-alih menjawab pertanyaan yang diberikan oleh Taeyong, Jonathan justru hanya tersenyum sebelum menyala mobilnya dan pergi darisana.


“Kamu nggak ikut acara ulang tahunnya?”

Anak kecil itu berbalik. Ia menatap bingung seorang perempuan yang tengah berdiri di ujung pintu kemudian memberi gelengan sebagai jawaban.

“Kenapa? Padahal om badutnya bisa sulap loh” ujar anak perempuan itu lagi.

Kali ini ia berjalan menghampiri, lalu ikut melemparkan pandangan keluar dari balik jendela.

“Kamu bisa baca?” tanya nya sambil menatap orang di sebelahnya dengan sedikit menunduk karena tinggi anak laki-laki itu yang hanya sebatas dada.

Lagi-lagi yang ditanya hanya menggeleng sebagai jawaban.

“Itu tulisan disana Happy birthday. Artinya Selamat Ulang tahun” jelas perempuan itu tak lupa membubuhkan senyum manis di akhir kalimat.

“Kamu mau permen?” tanya perempuan itu lagi.

Yang ditanya hanya mengangguk pelan, kelihatan sedikit ragu-ragu. Tiba-tiba tangannya ditarik perlahan kemudian perempuan itu memberikan sebungkus permen cokelat.

“Aku cuman ada satu, tadi anak yang lagi ulang tahun itu yang kasih. Tapi aku gak suka cokelat, bunda bilang nanti gigi cepat rusak”

Untuk beberapa saat anak laki-laki itu terdiam sambil menatap permen yang sudah ditangannya, kemudian pandangannya ia alihkan dan kini tertuju pada seorang anak lain di luar yang tengah berulang tahun itu.

“Kakak namanya siapa?” tanya laki-laki kecil itu tanpa melepaskan pandangannya darisana.

Perempuan itu menoleh, kemudian menyunggingkan senyum lebar sebelum menjawab pertanyaan tersebut. “Aku? Aku Yerisha”

orentciz

The past and The Future

Mata Taeyong gak berhenti bergerak gelisah melirik pada jam dinding setiap beberapa menit sekali.

Entah sudah berapa lami dirinya bolak-balik mengecek pintu untuk memastikan jika Mikaila nggak harus menunggu lama untuk dibukakan pintu padahal sekitar 15 menit lalu gadis itu baru memberi kabar pada Taeyong jika ia baru keluar dari rumah.

Taeyong mengeluarkan ponselnya, jarinya dengan lincah bergerak membuka ruang obrolan dirinya dengan Ten dan Yuta.

Taeyong gugup. Sangat.

Dari semalam ia terus-terusan memikirkan apa yang kiranya akan Mikaila katakan padanya hari ini.

Baru saja ingin bertanya posisi Mikaila saat ini, namun bunyi bel dari luar langsung membuat Taeyong reflek berdiri kemudian berlari dengan cepat menghampiri pintu.

Taeyong menarik nafas dalam sambil memegang jantungnya yang justru berpacu semakin cepat hingga terasa ingin meledak.

nafas, nafas. Jangan alay dan lo harus tetep keren, gumamnya untuk dirinya sendiri.

Seulas senyum lebar di wajah Taeyong berubah begitu saja ketika cowok itu membuka pintu.

Binar matanya mendadak hilang berhanti dengan alis yang mengernyit bingung saat netranya mengenali sosok perempuan yang kini telah berdiri menatapnya dengan mata menyipit karena tersenyum.

“Jovanka?”

“Hai” sapanya masih setia menunjukan senyum terbaik yang dia miliki

“Lo ngapain?” tanya Taeyong. Nadanya terdengar tidak suka. “Kenapa lo bisa tau-”

Ucapan Taeyong terhenti. Ia tiba-tiba teringat jika Ten pernah memberi informasi tentang apartement ini saat mereka bertemu.

Setengah menghela nafas gusar, Taeyong menatap Jovanka dengan tatapan datar. “Lo mau apa?”

“Kenapa gak pernah balas chat aku? Kamu ngeblokir aku ya?”

Taeyong baru saja ingin menjawab tidak karena faktanya ia memang nggak memblokir kontak Jovanka. Ia tau jika Jovanka selalu mengirimnya pesan, tetapi Taeyong lebih memilih untuk mengabaikan itu karena ia merasa jika nggak ada lagi alasan untuk tetap menjalin komunikasi dengan Jovanka.

“Iya” jawab Taeyong singkat.

Tatapan Jovanka berubah sendu. Senyum gadis itu memudar seiring dengan kepalanya yang menunduk.

“Gue gak ada urusan sama lo, bisa gak lo pergi-”

“Kenapa?”

Alis Taeyong terangkat sebelah. Bisa Taeyong lihat jika kedua mata Jovanka mulai memerah dan ia tengah menahan tangis.

“Apalagi? Lo dan gue, Kita udah gak ada alasan buat kontak-kontakan”

“Bohong.” sekali lagi Jovanka memaksakan senyum nya.

“Buat apa gue bohong?”

“Kamu cuman masih marah kan sama aku karena dulu aku pergi gitu aja?”

Taeyong tertawa pahit dan itu membuat Jovanka balik menatap Taeyong bingung.

“Terserah lo mau mikir apa” ujar Taeyong kemudian berbalik masuk. Ia nggak ingin dan sama sekali nggak berminat untuk membahas hal itu lebih lanjut lagi.

Menurutnya, itu hanya akan jadi hal percuma karena Taeyong tau jika Jovanka hanya ingin mendengar apa yang gadis itu ingin dengar.

Sayangnya, hal yang ingin Jovanka dengar bukanlah apa yang sebenarnya Taeyong rasakan lagi.

Taeyong telah benar-benar memastikan jika kini nggak ada lagi tempat untuk Jovanka di hatinya. Terlebih mengingat betapa menyedihkan nya dulu saat ia dicampakkan begitu saja oleh gadis ini.

“Kenapa lo mutusin gue waktu lo udah gak di Indonesia?”suara Taeyong terdengar begitu emosi

Bagaimana tidak? Bisa-bisanya ia bangun dan mendapati ajakan putus dari orang yang sejak kemarin ia tunggu kabarnya

Ada dengusan nafas pelan dari ujung telfon sana. “Maaf tapi kayaknya emang kita gak bisa lanjut, yong”

Taeyong tertawa miris. Jawaban itu terdengar begitu klasik dan nggak masuk akal.

“Tiba-tiba?”

“Maaf”

Lalu sejak saat itu. Jovanka benar-benar nggak pernah lagi memberi kabar untuk Taeyong, bahkan dengan begitu tega memblokir semua sosial media Taeyong entah supaya apa.

“Taeyong”

Yang dipanggil menoleh.

Belum sempat Taeyong berbalik, namun Jovanka telah lebih dulu menariknya. Kemudian mencium Taeyong tepat pada bibir laki-laki itu.

Taeyong mengerjap. Otaknya berhenti bekerja untuk beberapa saat, namun ia dengan cepat bisa mengendalikan dirinya dan buru-buru mendorong Jovanka menjauh.

“GILA LO?!”

“Taeyong-”

BRAKKK

Jovanka dan Taeyong menoleh bersamaan.

Sedangkan Mikaila buru-buru ikut meringkuk, membantu petugas kebersihan yang tidak sengaja ia tabrak saat hendak berbalik berlalu darisana.

orentciz

jco

Tin ... TIN...

“Anjrit, ngajak ribut banget ya lo!” pekik Ralia kesal karena Dhanu terus-terusan membunyikan klakson mobilnya padahal cowok itu tinggal langsung turun dari mobilnya.

Dhanu tertawa renyah, kemudian mengunci mobilnya sebelum berjalan menghampiri Ralia yang kelihatannya lagi nungguin sesutau makanya cewek itu belum masuk ke dalam.

“Ngapain di luar? Nyambi jadi tukang parkir?” tanya Dhanu yang langsung dihadiahi pukulan kecil oleh Ralia.

“Yakali cantik gini tukang parkir. Kurang ajar lo!” omel Ralia

Dhanu mengelus lengannya. Ralia benar-benar memukul dirinya kencang. Bukan pukul-pukul gemas ala drakor.

“Masuk duluan aja sana, gua nungguin bebeb”

“jadi berangkat sama Mark?”

Ralia mengangguk sembari mengulum bibirnya malu-malu.

Melihat itu Dhanu mendelik, “Jiji banget lo” katanya kemudian berlalu darisana dan masuk ke dalam lebih dulu meninggalkan Ralia yang masih sibuk melemparkan pandangan kesana kemari mencari sosok Mark yang belum juga ada tanda-tanda untuk muncul.

10 menit menunggu, tiba-tiba ponsel Ralia berbunyi, menampilkan satu notification dari Sabina yang menyuruhnya untuk segera masuk agar mereka bisa memulai kerja kelompoknya lebih cepat.

Ralia menoleh ke dalam, mendapati Sabina yang tengah mengayunkan tangannya memanggil Ralia.

“Kemana sih emang Mark?” tanya Dhanu penasaran karena Ralia justru balik mengisyaratkan agar mereka menunggu sebentar lagi.

“Gatau, gua dateng cuman ada Ralia doang” jawab Sabina sambil mengaduk green tea lattenya.

Dhanu berohria, ia menoleh pada Arjuna yang tengah bermain games begitu seriusnya. Bahkan sampai mengernyitkan alis.

“Jun, temen lu kemana sih? Lama anjir ga mulai-mulai ini kerkel” tanya Dhanu namun hanya mendapat gedikan bahu tanpa suara oleh Arjuna.

Dhanu kembali melemparkan pandangannya ke luar. Baru saja hendak berdiri menghampiri Ralia disana, tetapi gadis itu udah lebih dulu masuk dengan Mark tepat di belakangnya.

“Sorry lama” Ralia menyapa kemudian duduk di kursi sebelah Dhanu sedangkan Mark tanpa perlu repot-repot berbasa-basi langsung duduk di sebelah Arjuna.

“Lah?” tanya Arjuna bingung, “Ngapain masnya?”

Mark hanya melirik, nggak berniat menjawab pertanyaan Arjuna dan lebih memilih untuk memainkan ponselnya.

“Kamu mau mesen apa Mark?” tanya Ralia

“Gausah”

“Minum gitu?”

“Gausah”

“Es krim?”

“Nggak”

“Yoghurt? Donat? Atau-”

“Gue bilang gausah.” Mark berbicara dengan nada rendah sambil menatap Ralia dengan sedikit kesal. Kenapa gadis itu sulit sekali mengerti kata Gausah?

Imgur

“Santai aja kali. Ngegas banget lo, mau balapan sama Rossi?” sahut Dhanu tanpa menoleh. Cowok itu kelihatan tetap santai mengetik pada laptop di hadapannya.

“Yaudah iya. Aku mesen dulu kalo gitu” ucap Ralia kemudian pergi.

Mark menghela nafas, beberapa menit setelah Ralia pergi, cowok itu ikut beranjak dari kursinya.

“Kemana?” tanya Arjuna

Mark menoleh, “Kamar mandi”

Ralia kembali dengan dua minuman.

Strawberries Yoghurt untuknya dan Iced Cappuccino latte untuk Mark yang nggak terlihat di tempatnya.

“Mark kemana?” tanya Ralia penasaran.

“Kamar mandi” jawab Sabina.

Ralia mengangguk mengerti, kemudian mendekatkan dirinya pada Dhanu, penasaran dengan apa yang tengah dikerjakan oleh cowok itu saat ini.

“Ih salah anjir. Harusnya lo bikin table nya dulu baru data wilayah” ujar Ralia

“Yaelah sama aja udah”

“Nanti kalo salah diomelin sama Pak Yayan”

“Yayan doang. Gak takut gua”

Ralia mendengus, menggeser paksa laptop itu kemudian membenarkan letak salahnya.

“Iniloh, tinggal benerin aja males banget lo tuh”

“Bukan males. Mager”

“SAMA AJA NYET”

“Bin, gua ganteng gini dipanggil monyet bin” Dhanu mengadu ga terima.

“Gantengan babeh daripada lo” ujar Sabina.

“Ah, apa iya?” goda Dhanu sambil tersenyum jahil.

Yakali dia dibandingkan dengan satpam sekolah mereka.

Keempatnya sibuk dengan jobdesc masing-masing.

Sabina yang tengah mengisi soal essay dibantu dengan Arjuna yang mencari jawaban dan Ralia dengan materi sedangkan Dhanu, entahlah apa cowok itu bisa dibilang membantu karena hanya memberikan komentar tiap kali Ralia salah ketik.

“Nu, liatin buku cetak deh ini bener ga” pinta Ralia.

Dhanu menurut, cowok itu langsung mengecek buku cetaknya.

“Eh tapi li, cowok lo beser apa gimana? Kok ga balik-balik anjir?”

orentciz