orentciz

Boys will be boys

“dia gaada”

Ten mengernyit heran saat tiba-tiba Taeyong bicara seperti itu seolah tau apa yang tengah ia pikirkan sekarang.

“Kemana emang?” tanya Yuta yang duduk di meja makan dengan satu kaki terangkat ke atas kursi.

Preman.

Taeyong hanya menggedikan bahu sebagai jawaban. Bukan karena nggak mau kasih tau, tetapi ia memang benar-benar nggak tahu.

“Jadi, Kenapa dah lo?” Ten yang sejak awal sampai sebenarnya tau jika temannya yang satu ini sedang nggak dalam mood yang bagus, terbukti dari tingkahnya Taeyong yang nggak terlalu banyak bicara padahal Yuta daritadi sibuk berceloteh hal kelewat nggak penting.

Taeyong hanya merespon seperlunya dan sisanya ia sibuk menghela nafas berulang kali sampai Ten mulai merasa sedikit kesal mendengarnya karena cowok itu nggak kunjung membuka mulut bercerita.

Pada akhirnya, semua minuman yang sengaja Taeyong beli nggak ada yang dibuka barang satupun.

Ketiganya lebih memilih mengisi mulut mereka dengan makanan ringan dan soda kaleng yang sempat dibeli oleh Ten dan Yuta sebelum pergi ke apartement Mikaila.

Gak lucu kalo yuta mabok terus teriak-teriak dangdut di rumah orang kira-kira itu yang ada di otak Ten sebelum ia tau jika ternyata hanya ada Taeyong sendirian di sana.

Taeyong menatap lurus pada layar tv menyala. Nggak seperti Yuta yang sangat asik memberi komentar dan beberapa umpatan geregetan saat tim andalannya kembali kehilangan bola padahal gawang ada di depan mata, Taeyong terlalu sibuk tenggelam dengan pikirannya sendiri.

Sekeras apapun dirinya mencoba untuk nggak peduli dengan chat yang dikirim Jonathan padanya, namun akhirnya kembali gagal karena hal tersebut terus-terusan mengusiknya.

gue gak berniat lanjut

gak masalah kasih kesempatan ke dia

bullshit

“AH ANJING!”

Ten dan Yuta terlonjak. Kaget dan bingung secara bersamaan melihat Taeyong yang tiba-tiba mengumpat entah pada siapa.

“Iya, Barca emang anjing, yong” celoteh Yuta yang langsung mendapat lemparan kulit kacang dari Ten.

“Apaan???” Yuta bertanya tanpa suara, melayangkan protes atas tindakan Ten barusan yang hanya dibalas oleh Ten dengan gestur tubuh menyuruh Yuta agar diam.

“Kenapa sih?!” Ten kembali bertanya, kali ini nada nya sedikit meninggi, memaksa agar Taeyong berkenan untuk membagikan sesuatu yang sedang menganggu cowok itu.

“Kesel gua” balas Taeyong. Alisnya menukik semakin memperjelas gambaran jika ia memang benar-benar tengah kesal.

“Ya ngapa jing. Gua juga kesel liat lu lama-lama jadinya”

Taeyong menarik nafas dalam, kemudian memejamkan matanya untuk beberapa detik sebelum akhirnya menceritakan semua kejadian. Mulai dari Jovanka hingga perihal chat Jonathan dan Mikaila yang merupakan alasan utama mengapa dirinya begitu kesal hari ini.

“Menurut lu, apa gua emang ga bisa dapet kesempatan?” Taeyong mengakhiri rentetan keluh kesahnya dengan meremas kaleng kosong minumannya kemudian menaruhnya ke atas meja dengan sedikit kencang.

Yuta dan Ten diam.

Masing-masing dari mereka sibuk melirik satu sama lain bingung harus merespon seperti apa karena seorang Taeyong Pradigta yang mereka kenal nggak pernah seperti ini sebelumnya selama mereka bertiga memutuskan untuk berteman.

Galau? Karena perempuan?

Bukan Taeyong banget rasanya.

“Sebenarnya lo gimana sih ke Mba Mika? Demen? Apa gimana?”

Taeyong terkekeh pelan mendengar pertanyaan Yuta. “Emang gua tuh sebajingan apa sih sampe kayaknya gaada yang bisa liat kalo gua suka sama dia?”

“Gua-”

“Serba salah gua jadinya. Pura pura ga nunjukin, dibilangnya ga serius. Giliran gua tunjukin, dibilangnya ga pantes... HAHAHA” Taeyong tertawa miris sambil kembali mengingat semua ucapan yang Jonathan lemparkan padanya dan membuat Taeyong berpikir apa yang sebenarnya harusnya dia lakukan?

Kalau Jonathan menyebut dirinya bajingan, Taeyong bukannya nggak bisa atau nggak mau menepis julukan yang telah melekat pada dirinya itu, namun ia sama sekali nggak tahu harus bagaimana saat semua yang ia lakukan selalu mendapat pertentangan dan pojokan dari Jonathan hingga membuat Taeyong menerka-nerka mengapa pria satu itu sebegitunya pada Mikaila jika keduanya memang hanya sebatas teman.

Menurut Taeyong, Jonathan kelihatan jauh lebih protektif daripada kedua orang tua Mikaila sendiri.

“Tapi kalo gua jadi Mikaila, mungkin gua bakal lakuin hal yang sama” Ten akhirnya membuka suara, memberikan pendapatnya tentang masalah ini.

Taeyong menaikan sebelah alisnya, “Kenapa?”

“Pikirlah, selama ini dia liat lu hidup seneng-seneng doang kaga ada beban hidup, kaga ada peduli-pedulinya, bahkan lu bilang dia tau kalo lu punya temen” ten mengutip kata teman dengan kedua jarinya. Tentu bukan teman normal seperti yang kebanyakan orang punya.

“Tapi kan gua berhenti dari lama. Gua gak gitu lagi”

“Ya emang dia tau? Lu ngasih tau? Kagak kan? Terus si Jovanka-jovanka itu, lu jelasin lah, kenapa coba gabisa lu jelasin?”

“Gua takut dia ngira gua masih punya perasaan sama Jovanka karena mau repot-repot nganter dia balik”

“Beginian aja takut, giliran zinah kaga ada takut-takutnya lu” Yuta menyahut ditengah-tengah percakapan.

“Apa? Bener kan gua?” katanya enteng tanpa beban saat Ten dan Taeyong mrndelik padanya bersamaan.

Taeyong mengacak rambutnya gusar. Rasanya ia akan benar-benar bersyukur jika Mikaila punya kemampuan membaca pikiran orang, jadi Taeyong nggak perlu susah payah untuk menjelaskan tentang semuanya termasuk perasaannya untuk gadis itu.

“Terus gua harus gimana sekarang? Dia udah ga percaya lagi kayaknya sama gua” nada bicara Taeyong terdengar begitu lesu.

Apa dirinya memang harus menyerah dan berhenti seperti apa kata Jonathan?

Talkless do more lah brother! Jangan cuman mulut lu doang ngaku udah berubah. Lu tunjukin juga ke dia. ACT BRO! ACT!Lu siapa dah? Taeyong yang gua kenal nggak menye anjir” tangkas Ten sambil tersenyum mencoba menghibur Taeyong yang begitu murung.

“Lu dapetin dulu dah gih hatinya si Jonathan, biar lancar jaya urusan”

“Anjing lu, Yut”

“Yaallah, salah mulu gua. Bodoamat dah”

“Baper dah baper” ejek Ten saat Yuta hendak berdiri beranjak darisana

“Apandah, orang gua mau ngambil bantal” jawab Yuta santai, “Minggir lu su!”

“ANJING GAUSAH MUKUL KEPALA GUA JINGAN, ITU JALANAN LEGA!”

Taeyong menggeleng heran melihat Ten dan Yuta yang kini tengah sibuk melempar kacang satu sama lain nggak mau kalah.

Siapa yang sangka jika perkara dihukum senior saat masa ospek dulu karena mereka berdua membawa mobil dihari pertama akan membuat mereka bertemu dengan Yuta yang saat itu ikut dihukum karena ketahuan cabut kegiatan ospek dan memilih untuk makan soto ayam di depan kampus tanpa rasa bersalah hingga akhirnya menjadi tiga orang sahabat seperti sekarang ini?

“Guys...” panggil Taeyong berhasil menghentikan acara lempar melempar Ten dan Yuta.

“Love you guys”

“NAJIS ASTAGFIRULLAH”

orentciz

in my head

Satu helaan nafas panjang lolos dari mulut Taeyong setibanya dia disana dan mendapati Jovanka tengah terpejam sambil berulang kali meracaukan namanya.

“Lo apain sih? Desperate bgt kayanya nih cewek” komentar Kun yang berdiri tepat di sebelah Taeyong.

Taeyong gak menjawab, ia langsung meraih badan Jovanka kemudian membawanya dengan hati-hati keluar darisana menuju ke dalam mobilnya yang sengaja ia parkir tepat di depan pintu masuk.

Dilihat dari bau yang nggak begitu menyengat dari tubuh Jovanka, Taeyong bisa menebak jika gadis itu hanya minum beberapa teguk saja.

“Biasa minum susu strawberry kok mau sok nyicip vodka” batin Taeyong menggerutu.

Selama perjalanan, fokus Taeyong sedikit terbagi antara terus menatap lurus jalanan yang malam itu lumayan lenggang dan sosok disebelahnya yang terus-terusan bergerak gelisah menunjukkan jika dia sama sekali jauh dari kata nyaman.

Taeyong tau jelas penyebabnya.

Rasa gerah yang tak mengeluarkan keringat serta kepala yang terasa begitu berputar namun juga berat disaat bersamaan.

Melihat itu Taeyong segera mematikan ac mobilnya kemudian membuka kaca jendela membiarkan angin alami masuk begitu saja.

Apartemen Ncity lantai 4 nomor. 13

Taeyong menatap ragu-ragu pintu tertutup yang ada di depannya saat ini.

“Jov, kode nya apa?” tanya Taeyong sedikit menengokan wajahnya pada Jovanka yang terpaksa harus ia gendong di punggungnya.

Namun, bukan jawaban yang Taeyong dapat melainkan hembusan nafas pelan yang hangat pada ceruk lehernya.

Sebenarnya sempat terpikir oleh Taeyong untuk membawa perempuan itu ke hotel tempatnya menginap 4 hari terakhir ini.

Tapi sayangnya, Taeyong nggak bisa melakukan hal itu mengingat perempuan ini adalah Jovanka Aluna.

Orang yang pernah menjadi alasannya begitu bahagia menjalani hari-hari.

Taeyong mencoba merogoh tas Jovanka yang tergantung di lehernya, mencari apapun yang mungkin bisa menjadi alternatif untuk membuka pintu apartement ini.

Tetapi nggak ada yang bisa Taeyong temukan.

tututut

“Anjing!” maki Taeyong yang akhirnya kehilangan kesabaran karena sekali lagi ia memasukan kode yang salah.

“Apaansih anjir ini kodenya” laki-laki itu sibuk mengoceh, nggak mempedulikan tatapan aneh dari seorang perempuan yang saat itu hendak masuk ke unit miliknya.

Dan setelahnya Taeyong hanya bisa melongo menyadari betapa bodoh dirinya karena nggak memikirkan cara yang barusan dilakukan perempuan tadi.

Sidik jari.

“Berat juga ya lo” Taeyong merenggangkan badanya yang terasa begitu kaku setelah membaringkan Jovanka di atas sofa begitu mereka berhasil masuk ke dalam.

Taeyong menjatuhkan dirinya ke sisi kosong yang lain. Matanya sibuk mengamati sekitar, melihat-lihat seisi ruangan yang masih sangat kosong itu.

Tatapan Taeyong beralih pada Jovanka ketika gadis itu kembali melenguh pelan.

Saat ini Taeyong hanya bisa diam memikirkan jika gadis itu saat ini benar-benar kembali muncul dalam hidupnya setelah nyaris 2 tahun berhasil meninggalkan sakit yang begitu mendalam untuk Taeyong.

Taeyong nggak ingin membohongi dirinya sendiri jika diam-diam ada bagian dalam hati terdalamnya yang begitu bersyukur melihat Jovanka kembali dengan keadaan yang baik-baik saja.

Bahkan sangat baik, sepertinya.

Secara reflek, Taeyong melepaskan jaket yang ia kenakan, kemudian menutupi badan Jovanka sebagai selimut sebelum akhirnya ia pergi darisana.

Taeyong terdiam di mobilnya. Memandang kosong pada stir dan sibuk berkecamuk dengan pikirannya sendiri.

Ia kembali teringat pada saat dirinya tengah asik melempar candaan dengan Yuta lalu kemudian tawa lebarnya berhenti seketika saat Taeyong menoleh pada suara yang memanggil dirinya.

Perempuan itu kelihatan sedikit berbeda dari segi penampilan, namun Taeyong tentunya masih bisa mengenali wajahnya dengan sangat baik.

Belum sempat dirinya memproses apapun, Jovanka lebih dulu berlari dan memeluk Taeyong begitu eratnya hingga membuat Taeyong nyaris terhuyung ke belakang karena sama sekali nggak menduga hal itu terjadi.

Ditengah-tengah kebingungannya itu, tiba-tiba Taeyong merasa badannya ditarik secara kasar sebelum akhirnya sebuah tonjokan keras menghujam pipinya.

Penerangan saat itu memang nggak begitu terang, namun masih sangat cukup untuk membuat Taeyong tau siapa sosok yang kini tengah duduk diatasnya dengan rahang yang mengeras, memberikan tatapan penuh kilatan rasa kesal sebelum akhirnya memberi pukulan bertubi lagi pada Taeyong yang nggak bisa mengelak hingga akhirnya kericuhan terjadi.

Siapa yang menyangka jika Taeyong akan mendapat dua kejutan seperti itu disaat yang nyaris bersamaan?

Taeyong menggeleng, buru-buru menarik kembali kesadarannya yang sempat hilang. Ia kemudian menyalakan mobilnya dan membawanya pergi, membiarkan suara peter manos menemani perjalanan pulangnya kembali ke apartement Mikaila karena laki-laki itu sepertinya nggak bisa menunggu lebih lama lagi menahan dirinya untuk nggak melihat senyum manis gadis itu.

Atau...

Untuk kembali meyakinkan perasaannya yang mulai terasa sedikit membingungkan lagi setelah Jovanka kembali hadir?

you're in my head And I keep on forgetting Ooh-oh, you're here instead And it seems never ending

peter manos – In my head

orentciz

in my head

Satu helaan nafas panjang lolos dari mulut Taeyong setibanya dia disana dan mendapati Jovanka tengah terpejam sambil berulang kali meracaukan namanya.

“Lo apain sih? Desperate bgt kayanya nih cewek” komentar Kun yang berdiri tepat di sebelah Taeyong.

Taeyong gak menjawab, ia langsung meraih badan Jovanka kemudian membawanya dengan hati-hati keluar darisana menuju ke dalam mobilnya yang sengaja ia parkir tepat di depan pintu masuk.

Dilihat dari bau yang nggak begitu menyengat dari tubuh Jovanka, Taeyong bisa menebak jika gadis itu hanya minum beberapa teguk saja.

“Biasa minum susu strawberry kok mau sok nyicip vodka” batin Taeyong menggerutu.

Selama perjalanan, fokus Taeyong sedikit terbagi antara terus menatap lurus jalanan yang malam itu lumayan lenggang dan sosok disebelahnya yang terus-terusan bergerak gelisah menunjukkan jika dia sama sekali jauh dari kata nyaman.

Taeyong tau jelas penyebabnya.

Rasa gerah yang tak mengeluarkan keringat serta kepala yang terasa begitu berputar namun juga berat disaat bersamaan.

Melihat itu Taeyong segera mematikan ac mobilnya kemudian membuka kaca jendela membiarkan angin alami masuk begitu saja.

Apartemen Ncity lantai 4 nomor. 13

Taeyong menatap ragu-ragu pintu tertutup yang ada di depannya saat ini.

“Jov, kode nya apa?” tanya Taeyong sedikit menengokan wajahnya pada Jovanka yang terpaksa harus ia gendong di punggungnya.

Namun, bukan jawaban yang Taeyong dapat melainkan hembusan nafas pelan yang hangat pada ceruk lehernya.

Sebenarnya sempat terpikir oleh Taeyong untuk membawa perempuan itu ke hotel tempatnya menginap 4 hari terakhir ini.

Tapi sayangnya, Taeyong nggak bisa melakukan hal itu mengingat perempuan ini adalah Jovanka Aluna.

Orang yang pernah menjadi alasannya begitu bahagia menjalani hari-hari.

Taeyong mencoba merogoh tas Jovanka yang tergantung di lehernya, mencari apapun yang mungkin bisa menjadi alternatif untuk membuka pintu apartement ini.

Tetapi nggak ada yang bisa Taeyong temukan.

tututut

“Anjing!” maki Taeyong yang akhirnya kehilangan kesabaran karena sekali lagi ia memasukan kode yang salah.

“Apaansih anjir ini kodenya” laki-laki itu sibuk mengoceh, nggak mempedulikan tatapan aneh dari seorang perempuan yang saat itu hendak masuk ke unit miliknya.

Dan setelahnya Taeyong hanya bisa melongo menyadari betapa bodoh dirinya karena nggak memikirkan cara yang barusan dilakukan perempuan tadi.

Sidik jari.

“Berat juga ya lo” Taeyong merenggangkan badanya yang terasa begitu kaku setelah membaringkan Jovanka di atas sofa begitu mereka berhasil masuk ke dalam.

Taeyong menjatuhkan dirinya ke sisi kosong yang lain. Matanya sibuk mengamati sekitar, melihat-lihat seisi ruangan yang masih sangat kosong itu.

Tatapan Taeyong beralih pada Jovanka ketika gadis itu kembali melenguh pelan.

Saat ini Taeyong hanya bisa diam memikirkan jika gadis itu saat ini benar-benar kembali muncul dalam hidupnya setelah nyaris 2 tahun berhasil meninggalkan sakit yang begitu mendalam untuk Taeyong.

Taeyong nggak ingin membohongi dirinya sendiri jika diam-diam ada bagian dalam hati terdalamnya yang begitu bersyukur melihat Jovanka kembali dengan keadaan yang baik-baik saja.

Bahkan sangat baik, sepertinya.

Secara reflek, Taeyong melepaskan jaket yang ia kenakan, kemudian menutupi badan Jovanka sebagai selimut sebelum akhirnya ia pergi darisana.

Taeyong terdiam di mobilnya. Memandang kosong pada stir dan sibuk berkecamuk dengan pikirannya sendiri.

Ia kembali teringat pada saat dirinya tengah asik melempar candaan dengan Yuta lalu kemudian tawa lebarnya berhenti seketika saat Taeyong menoleh pada suara yang memanggil dirinya.

Perempuan itu kelihatan sedikit berbeda dari segi penampilan, namun Taeyong tentunya masih bisa mengenali wajahnya dengan sangat baik.

Belum sempat dirinya memproses apapun, Jovanka lebih dulu berlari dan memeluk Taeyong begitu eratnya hingga membuat Taeyong nyaris terhuyung ke belakang karena sama sekali nggak menduga hal itu terjadi.

Ditengah-tengah kebingungannya itu, tiba-tiba Taeyong merasa badannya ditarik secara kasar sebelum akhirnya sebuah tonjokan keras menghujam pipinya.

Penerangan saat itu memang nggak begitu terang, namun masih sangat cukup untuk membuat Taeyong tau siapa sosok yang kini tengah duduk diatasnya dengan rahang yang mengeras, memberikan tatapan penuh kilatan rasa kesal sebelum akhirnya memberi pukulan bertubi lagi pada Taeyong yang nggak bisa mengelak hingga akhirnya kericuhan terjadi.

Siapa yang menyangka jika Taeyong akan mendapat dua kejutan seperti itu disaat yang nyaris bersamaan?

Taeyong menggeleng, buru-buru menarik kembali kesadarannya yang sempat hilang. Ia kemudian menyalakan mobilnya dan membawanya pergi, membiarkan suara peter manos menemani perjalanan pulangnya kembali ke apartement Mikaila karena laki-laki itu sepertinya nggak bisa menunggu lebih lama lagi menahan dirinya untuk nggak melihat senyum manis gadis itu.

Atau...

Untuk kembali meyakinkan perasaannya yang mulai terasa sedikit membingungkan lagi setelah Jovanka kembali hadir?

you're in my head And I keep on forgetting Ooh-oh, you're here instead And it seems never ending

peter manos – In my head

orentciz

semoga yang diharap tersemogakan.

Jaehyun melangkahkan kakinya perlahan mendekati sebuah tempat yang rasanya sudah sangat lama tidak pernah lagi ia kunjungi.

Laki-laki itu ikut diam dalam hening sesampainya disana, membiarkan kesunyian sore itu berlalu bersamaan dengan angin yang berhembus tenang menerpa wajahnya pelan seolah tengah menyambut kehadiran dirinya sore ini.

“Apa kabar?” tanya Jaehyun mencoba memaksa sebuah senyum pada wajahnya.

“Sudah 2 tahun ternyata”

ia memandang kosong pada suatu titik. Sekali lagi berusaha keras menguatkan dirinya agar bisa menerima semua kenyataan yang benar terjadi.

Jaehyun mendudukan dirinya, dikeluarkannya setangkai bunga kemudian diletakan tepat diatas tanah bergunduk itu.

“Anyelir merah, artinya cinta dan kasih sayang mendalam-” Jaehyun menarik nafas pelan sebelum kembali melanjutkan ucapannya. “-yang abadi”

Lalu hening.

“Saya akan menikah 2 bulan lagi.”

Tangan Jaehyun terjulur, menyingkirkan beberapa dedaunan kering yang berguguran diatasnya.

Sekali lagi untuk yang kesekian kalinya, Jaehyun berusaha memberi tahu dirinya sendiri jika apa yang telah terjadi saat itu dan saat ini adalah nyata. Bukan lagi bunga mimpi yang bisa dia hindari seperti saat-saat lalu.

“Kalau ada kesempatan dilain waktu, saya akan bawa dia kesini, ya? Setelah saya ingat-ingat lagi, sepertinya saya belum pernah memperkenalkan dia dengan kamu, padahal saya selalu punya kesempatan untuk bercerita tentang dia, tapi saya malah sibuk menangisi takdir”

Jaehyun bangkit berdiri darisana. Ia tidak lagi bisa berlama-lama disini mungkin untuk seterusnya entah sampai kapan.

“Saya pamit ya?” tanya nya entah pada siapa karena nyatanya tidak akan pernah ada jawab dari setiap tanya yang ia lontarkan.

Dengan berat hati, Jaehyun berbalik. Berjalan menjauh meninggalkan tempat itu hingga akhirnya tiba di mobil.

Laki-laki itu masuk. Duduk terdiam memikirkan banyak hal yang seolah tengah berseru begitu riuh di kepalanya meminta untuk lebih dahulu diperhatikan.

Faktanya, ia tak pernah benar-benar baik-baik saja melewati 2 tahun terakhir ini. Ada banyak air mata juga tangis yang telah tumpah untuk hal yang sama;penyesalan.

2 tahun lalu terasa bagai mimpi ketika Jaehyun membuka mata dan menemukan dirinya tengah terbaring di suatu tempat yang memiliki bau kelewat familiar pada indera penciumannya.

Rumah sakit

Siapa yang mengira jika keputusannya untuk berpamitan pada Tamara malam itu benar-benar akan mengubah segalanya menjadi sesuatu yang sangat tidak terduga.

Jaehyun koma 3 minggu akibat kecelakaan berat yang menimpa dirinya kemudian terbangun dengan sebuah kabar yang sangat tidak masuk akal baginya.

“Adiknya Risa kritis. Benar-benar gak ada banyak waktu lagi untuk nunggu calon donor lainnya. Dan akhirnya ... Risa yang jadi donor”

Lalu detik itu juga, dunia terasa berhenti bagi Jaehyun.

Ada jutaan kata kenapa di kepala Jaehyun sejak saat itu.

Kenapa dirinya harus pergi ke bandara malam itu

Kenapa dirinya harus menjadi korban malam itu

dan...

Kenapa gadis yang sangat dicintainya harus pergi begitu saja akibat keputusannya saat itu

Jaehyun membenci semua.

Johnny, Tamara, Nana, bahkan Risa ikut menjadi bagian dari hal yang Jaehyun benci.

Namun, akhirnya ia sadar.

Ini bukan salah siapapun.

Bukan salah Tamara yang harus kembali ke Amerika saat itu.

Bukan salah Johnny yang meminta agar dirinya menyusul Tamara malam itu.

Bukan salah Nana yang membutuhkan donor sesegera mungkin kala itu.

Bukan juga salah Risa yang memilih berkorban untuk adik kesayangannya itu.

Semua hanya masalah takdir yang telah dibuat oleh Sang Pencipta dan Jaehyun sebagai salah satu ciptaannya hanya bisa memainkan perannya dan mengikuti alur yang telah dibuat.

Termasuk memilih menerima semuanya yang terasa begitu pahit, pelik, dan rumit.

Jaehyun masih hidup dan ia harus terus hidup. Mungkin itu yang Tuhan rencanakan.

Perihal Risa, Jaehyun anggap jika gadis itu kelewat berharga untuk berada lebih lama lagi di dunia hingga Tuhan memilih membawanya dan menjaganya di surga sana. Tempat paling aman, nyaman, dan penuh sukacita.

Jaehyun meraih sebuah undangan yang sepertinya terjatuh dari paperbag diatas jok.

Jaehyun Jung – Tamara Kim

Jaehyun menarik nafas dalam, mengisi rongga dadanya yang terasa kosong sebanyak mungkin.

Tamara kembali menjadi sosok yang sama seperti yang lalu-lalu.

Menjadi sosok yang merengkuh Jaehyun dengan begitu eratnya ketika merasa pada tahap betapa kosong dan hampa hidupnya.

Menjadi sosok yang kembali menuntun dan membawa Jaehyun yang tengah tersesat kehilangan arah agar segera menemukan jalan keluar.

Menjadi sosok yang membuat Jaehyun tersadar jika dunia akan terus berputar dan kehidupan akan terus berjalan tak peduli seletih apa dirinya menangis.

Mungkin tidak mudah, namun Jaehyun terus berusaha menerima eksistensi perempuan itu hingga akhirnya ia berani mengambil keputusan luar biasa besar ini.

Hatinya selalu punya ruang sendiri untuk Risa.

Untuk orang yang semasa putih abu-abunya menjadi teman pertama, cinta pertama, juga patah hati pertamanya.

Namun, sekali lagi.

Semua yang hidup harus tetap hidup. Dan mungkin, Tamara adalah sosok malaikat tanpa sayap yang sengaja Tuhan kirim untuk menyembuhkan lukanya.

Risa, semoga kamu bahagia di atas sana. Ayo sama-sama kita saling mendoakan satu sama lain.

Semoga kamu tenang di atas sama dan semoga saya bisa terus bahagia di bawah sini

orentciz

semoga yang berharap tersemogakan.

Jaehyun melangkahkan kakinya perlahan mendekati sebuah tempat yang rasanya sudah sangat lama tidak pernah lagi ia kunjungi.

Laki-laki itu ikut diam dalam hening sesampainya disana, membiarkan kesunyian sore itu berlalu bersamaan dengan angin yang berhembus tenang menerpa wajahnya pelan seolah tengah menyambut kehadiran dirinya sore ini.

“Apa kabar?” tanya Jaehyun mencoba memaksa sebuah senyum pada wajahnya.

“Sudah 2 tahun ternyata”

ia memandang kosong pada suatu titik. Sekali lagi berusaha keras menguatkan dirinya agar bisa menerima semua kenyataan yang benar terjadi.

Jaehyun mendudukan dirinya, dikeluarkannya setangkai bunga kemudian diletakan tepat diatas tanah bergunduk itu.

“Anyelir merah, artinya cinta dan kasih sayang mendalam-” Jaehyun menarik nafas pelan sebelum kembali melanjutkan ucapannya. “-yang abadi”

Lalu hening.

“Saya akan menikah 2 bulan lagi.”

Tangan Jaehyun terjulur, menyingkirkan beberapa dedaunan kering yang berguguran diatasnya.

Sekali lagi untuk yang kesekian kalinya, Jaehyun berusaha memberi tahu dirinya sendiri jika apa yang telah terjadi saat itu dan saat ini adalah nyata. Bukan lagi bunga mimpi yang bisa dia hindari seperti saat-saat lalu.

“Kalau ada kesempatan dilain waktu, saya akan bawa dia kesini, ya? Setelah saya ingat-ingat lagi, sepertinya saya belum pernah memperkenalkan dia dengan kamu, padahal saya selalu punya kesempatan untuk bercerita tentang dia, tapi saya malah sibuk menangisi takdir”

Jaehyun bangkit berdiri darisana. Ia tidak lagi bisa berlama-lama disini mungkin untuk seterusnya entah sampai kapan.

“Saya pamit ya?” tanya nya entah pada siapa karena nyatanya tidak akan pernah ada jawab dari setiap tanya yang ia lontarkan.

Dengan berat hati, Jaehyun berbalik. Berjalan menjauh meninggalkan tempat itu hingga akhirnya tiba di mobil.

Laki-laki itu masuk. Duduk terdiam memikirkan banyak hal yang seolah tengah berseru begitu riuh di kepalanya meminta untuk lebih dahulu diperhatikan.

Faktanya, ia tak pernah benar-benar baik-baik saja melewati 2 tahun terakhir ini. Ada banyak air mata juga tangis yang telah tumpah untuk hal yang sama;penyesalan.

2 tahun lalu terasa bagai mimpi ketika Jaehyun membuka mata dan menemukan dirinya tengah terbaring di suatu tempat yang memiliki bau kelewat familiar pada indera penciumannya.

Rumah sakit

Siapa yang mengira jika keputusannya untuk berpamitan pada Tamara malam itu benar-benar akan mengubah segalanya menjadi sesuatu yang sangat tidak terduga.

Jaehyun koma 3 minggu akibat kecelakaan berat yang menimpa dirinya kemudian terbangun dengan sebuah kabar yang sangat tidak masuk akal baginya.

“Adiknya Risa kritis. Benar-benar gak ada banyak waktu lagi untuk nunggu calon donor lainnya. Dan akhirnya ... Risa yang jadi donor”

Lalu detik itu juga, dunia terasa berhenti bagi Jaehyun.

Ada jutaan kata kenapa di kepala Jaehyun sejak saat itu.

Kenapa dirinya harus pergi ke bandara malam itu

Kenapa dirinya harus menjadi korban malam itu

dan...

Kenapa gadis yang sangat dicintainya harus pergi begitu saja akibat keputusannya saat itu

Jaehyun membenci semua.

Johnny, Tamara, Nana, bahkan Risa ikut menjadi bagian dari hal yang Jaehyun benci.

Namun, akhirnya ia sadar.

Ini bukan salah siapapun.

Bukan salah Tamara yang harus kembali ke Amerika saat itu.

Bukan salah Johnny yang meminta agar dirinya menyusul Tamara malam itu.

Bukan salah Nana yang membutuhkan donor sesegera mungkin kala itu.

Bukan juga salah Risa yang memilih berkorban untuk adik kesayangannya itu.

Semua hanya masalah takdir yang telah dibuat oleh Sang Pencipta dan Jaehyun sebagai salah satu ciptaannya hanya bisa memainkan perannya dan mengikuti alur yang telah dibuat.

Termasuk memilih menerima semuanya yang terasa begitu pahit, pelik, dan rumit.

Jaehyun masih hidup dan ia harus terus hidup. Mungkin itu yang Tuhan rencanakan.

Perihal Risa, Jaehyun anggap jika gadis itu kelewat berharga untuk berada lebih lama lagi di dunia hingga Tuhan memilih membawanya dan menjaganya di surga sana. Tempat paling aman, nyaman, dan penuh sukacita.

Jaehyun meraih sebuah undangan yang sepertinya terjatuh dari paperbag diatas jok.

Jaehyun Jung – Tamara Kim

Jaehyun menarik nafas dalam, mengisi rongga dadanya yang terasa kosong sebanyak mungkin.

Tamara kembali menjadi sosok yang sama seperti yang lalu-lalu.

Menjadi sosok yang merengkuh Jaehyun dengan begitu eratnya ketika merasa pada tahap betapa kosong dan hampa hidupnya.

Menjadi sosok yang kembali menuntun dan membawa Jaehyun yang tengah tersesat kehilangan arah agar segera menemukan jalan keluar.

Menjadi sosok yang membuat Jaehyun tersadar jika dunia akan terus berputar dan kehidupan akan terus berjalan tak peduli seletih apa dirinya menangis.

Mungkin tidak mudah, namun Jaehyun terus berusaha menerima eksistensi perempuan itu hingga akhirnya ia berani mengambil keputusan luar biasa besar ini.

Hatinya selalu punya ruang sendiri untuk Risa.

Untuk orang yang semasa putih abu-abunya menjadi teman pertama, cinta pertama, juga patah hati pertamanya.

Namun, sekali lagi.

Semua yang hidup harus tetap hidup. Dan mungkin, Tamara adalah sosok malaikat tanpa sayap yang sengaja Tuhan kirim untuk menyembuhkan lukanya.

Risa, semoga kamu bahagia di atas sana. Ayo sama-sama kita saling mendoakan satu sama lain.

Semoga kamu tenang di atas sama dan semoga saya bisa terus bahagia di bawah sini

orentciz

semoga yang berharap tersemogakan.

Jaehyun melangkahkan kakinya perlahan mendekati sebuah tempat yang rasanya sudah sangat lama tidak pernah lagi ia kunjungi.

Laki-laki itu ikut diam dalam hening sesampainya disana, membiarkan kesunyian sore itu berlalu bersamaan dengan angin yang berhembus tenang menerpa wajahnya pelan seolah tengah menyambut kehadiran dirinya sore ini.

“Apa kabar?” tanya Jaehyun mencoba memaksa sebuah senyum pada wajahnya.

“Sudah 2 tahun ternyata”

ia memandang kosong pada suatu titik. Sekali lagi berusaha keras menguatkan dirinya agar bisa menerima semua kenyataan yang benar terjadi.

Jaehyun mendudukan dirinya, dikeluarkannya setangkai bunga kemudian diletakan tepat diatas tanah bergunduk itu.

“Anyelir merah, artinya cinta dan kasih sayang mendalam-” Jaehyun menarik nafas pelan sebelum kembali melanjutkan ucapannya. “-yang abadi”

Lalu hening.

“Saya akan menikah 2 bulan lagi.”

Tangan Jaehyun terjulur, menyingkirkan beberapa dedaunan kering yang berguguran diatasnya.

Sekali lagi untuk yang kesekian kalinya, Jaehyun berusaha memberi tahu dirinya sendiri jika apa yang telah terjadi saat itu dan saat ini adalah nyata. Bukan lagi bunga mimpi yang bisa dia hindari seperti saat-saat lalu.

“Kalau ada kesempatan dilain waktu, saya akan bawa dia kesini, ya? Setelah saya ingat-ingat lagi, sepertinya saya belum pernah memperkenalkan dia dengan kamu, padahal saya selalu punya kesempatan untuk bercerita tentang dia, tapi saya malah sibuk menangisi takdir”

Jaehyun bangkit berdiri darisana. Ia tidak lagi bisa berlama-lama disini mungkin untuk seterusnya entah sampai kapan.

“Saya pamit ya?” tanya nya entah pada siapa karena nyatanya tidak akan pernah ada jawab dari setiap tanya yang ia lontarkan.

Dengan berat hati, Jaehyun berbalik. Berjalan menjauh meninggalkan tempat itu hingga akhirnya tiba di mobil.

Laki-laki itu masuk. Duduk terdiam memikirkan banyak hal yang seolah tengah berseru begitu riuh di kepalanya meminta untuk lebih dahulu diperhatikan.

Faktanya, ia tak pernah benar-benar baik-baik saja melewati 2 tahun terakhir ini. Ada banyak air mata juga tangis yang telah tumpah untuk hal yang sama;penyesalan.

2 tahun lalu terasa bagai mimpi ketika Jaehyun membuka mata dan menemukan dirinya tengah terbaring di suatu tempat yang memiliki bau kelewat familiar pada indera penciumannya.

Rumah sakit

Siapa yang mengira jika keputusannya untuk berpamitan pada Tamara malam itu benar-benar akan mengubah segalanya menjadi sesuatu yang sangat tidak terduga.

Jaehyun koma 3 minggu akibat kecelakaan berat yang menimpa dirinya kemudian terbangun dengan sebuah kabar yang sangat tidak masuk akal baginya.

“Adiknya Risa kritis. Benar-benar gak ada banyak waktu lagi untuk nunggu calon donor lainnya. Dan akhirnya ... Risa yang jadi donor”

Lalu detik itu juga, dunia terasa berhenti bagi Jaehyun.

Ada jutaan kata kenapa di kepala Jaehyun sejak saat itu.

Kenapa dirinya harus pergi ke bandara malam itu

Kenapa dirinya harus menjadi korban malam itu

dan...

Kenapa gadis yang sangat dicintainya harus pergi begitu saja akibat keputusannya saat itu

Jaehyun membenci semua.

Johnny, Tamara, Nana, bahkan Risa ikut menjadi bagian dari hal yang Jaehyun benci.

Namun, akhirnya ia sadar.

Ini bukan salah siapapun.

Bukan salah Tamara yang harus kembali ke Amerika saat itu.

Bukan salah Johnny yang meminta agar dirinya menyusul Tamara malam itu.

Bukan salah Nana yang membutuhkan donor sesegera mungkin kala itu.

Bukan juga salah Risa yang memilih berkorban untuk adik kesayangannya itu.

Semua hanya masalah takdir yang telah dibuat oleh Sang Pencipta dan Jaehyun sebagai salah satu ciptaannya hanya bisa memainkan perannya dan mengikuti alur yang telah dibuat.

Termasuk memilih menerima semuanya yang terasa begitu pahit, pelik, dan rumit.

Jaehyun masih hidup dan ia harus terus hidup. Mungkin itu yang Tuhan rencanakan.

Perihal Risa, Jaehyun anggap jika gadis itu kelewat berharga untuk berada lebih lama lagi di dunia hingga Tuhan memilih membawanya dan menjaganya di surga sana. Tempat paling aman, nyaman, dan penuh sukacita.

Jaehyun meraih sebuah undangan yang sepertinya terjatuh dari paperbag diatas jok.

Jaehyun Jung – Tamara Kim

Jaehyun menarik nafas dalam, mengisi rongga dadanya yang terasa kosong sebanyak mungkin.

Tamara kembali menjadi sosok yang sama seperti yang lalu-lalu.

Menjadi sosok yang merengkuh Jaehyun dengan begitu eratnya ketika merasa pada tahap betapa kosong dan hampa hidupnya.

Menjadi sosok yang membuat Jaehyun tersadar jika dunia akan terus berputar dan kehidupan akan terus berjalan tak peduli seletih apa dirinya menangis.

Menjadi sosok yang kembali menuntun dan membawa Jaehyun yang tengah tersesat kehilangan arah.

Mungkin tidak mudah, namun Jaehyun terus berusaha menerima eksistensi perempuan itu hingga akhirnya ia berani mengambil keputusan luar biasa besar ini.

Hatinya selalu punya ruang sendiri untuk Risa.

Untuk orang yang semasa putih abu-abunya menjadi teman pertama, cinta pertama, juga patah hati pertamanya.

Namun, sekali lagi.

Semua yang hidup harus tetap hidup. Dan mungkin, Tamara adalah sosok malaikat tanpa sayap yang sengaja Tuhan kirim untuk menyembuhkan lukanya.

Risa, semoga kamu bahagia di atas sana. Ayo sama-sama kita saling mendoakan satu sama lain.

Semoga kamu tenang di atas sama dan semoga saya bisa terus bahagia di bawah sini

orentciz

semoga yang berharap tersemogakan.

Jaehyun melangkahkan kakinya perlahan mendekati sebuah tempat yang rasanya sudah sangat lama tidak pernah lagi ia kunjungi.

Laki-laki itu ikut diam dalam hening sesampainya disana, membiarkan kesunyian sore itu berlalu bersamaan dengan angin yang berhembus tenang menerpa wajahnya pelan seolah tengah menyambut kehadiran dirinya sore ini.

“Apa kabar?” tanya Jaehyun mencoba memaksa sebuah senyum pada wajahnya.

“Sudah 2 tahun ternyata”

ia memandang kosong pada suatu titik. Sekali lagi berusaha keras menguatkan dirinya agar bisa menerima semua kenyataan yang benar terjadi.

Jaehyun mendudukan dirinya, dikeluarkannya setangkai bunga kemudian diletakan tepat diatas tanah bergunduk itu.

“Anyelir merah, artinya cinta dan kasih sayang mendalam-” Jaehyun menarik nafas pelan sebelum kembali melanjutkan ucapannya. “-yang abadi”

Lalu hening.

“Saya akan menikah 2 bulan lagi.”

Tangan Jaehyun terjulur, menyingkirkan beberapa dedaunan kering yang berguguran diatasnya.

Sekali lagi untuk yang kesekian kalinya, Jaehyun berusaha memberi tahu dirinya sendiri jika apa yang telah terjadi saat itu dan saat ini adalah nyata. Bukan lagi bunga mimpi yang bisa dia hindari seperti saat-saat lalu.

“Kalau ada kesempatan dilain waktu, saya akan bawa dia kesini, ya? Setelah saya ingat-ingat lagi, sepertinya saya belum pernah memperkenalkan dia dengan kamu, padahal saya selalu punya kesempatan untuk bercerita tentang dia, tapi saya malah sibuk menangisi takdir”

Jaehyun bangkit berdiri darisana. Ia tidak lagi bisa berlama-lama disini mungkin untuk seterusnya entah sampai kapan.

“Saya pamit ya?” tanya nya entah pada siapa karena nyatanya tidak akan pernah ada jawab dari setiap tanya yang ia lontarkan.

Dengan berat hati, Jaehyun berbalik. Berjalan menjauh meninggalkan tempat itu hingga akhirnya tiba di mobil.

Laki-laki itu masuk. Duduk terdiam memikirkan banyak hal yang seolah tengah berseru begitu riuh di kepalanya meminta untuk lebih dahulu diperhatikan.

Faktanya, ia tak pernah benar-benar baik-baik saja melewati 2 tahun terakhir ini. Ada banyak air mata juga tangis yang telah tumpah untuk hal yang sama;penyesalan.

2 tahun lalu terasa bagai mimpi ketika Jaehyun membuka mata dan menemukan dirinya tengah terbaring di suatu tempat yang memiliki bau kelewat familiar pada indera penciumannya.

Rumah sakit

Siapa yang mengira jika keputusannya untuk berpamitan pada Tamara malam itu benar-benar akan mengubah segalanya menjadi sesuatu yang sangat tidak terduga.

Jaehyun koma 3 minggu akibat kecelakaan berat yang menimpa dirinya kemudian terbangun dengan sebuah kabar yang sangat tidak masuk akal baginya.

“Adiknya Risa kritis. Benar-benar gak ada banyak waktu lagi untuk nunggu calon donor lainnya. Dan akhirnya ... Risa yang jadi donor”

Lalu detik itu juga, dunia terasa berhenti bagi Jaehyun.

Ada jutaan kata kenapa di kepala Jaehyun sejak saat itu.

Kenapa dirinya harus pergi ke bandara malam itu

Kenapa dirinya harus menjadi korban malam itu

dan...

Kenapa gadis yang sangat dicintainya harus pergi begitu saja akibat keputusannya saat itu

Jaehyun membenci semua.

Johnny, Tamara, Nana, bahkan Risa ikut menjadi bagian dari hal yang Jaehyun benci.

Namun, akhirnya ia sadar.

Ini bukan salah siapapun.

Bukan salah Tamara yang harus kembali ke Amerika saat itu.

Bukan salah Johnny yang meminta agar dirinya menyusul Tamara malam itu.

Bukan salah Nana yang membutuhkan donor sesegera mungkin kala itu.

Bukan juga salah Risa yang memilih berkorban untuk adik kesayangannya itu.

Semua hanya masalah takdir yang telah dibuat oleh Sang Pencipta dan Jaehyun sebagai salah satu ciptaannya hanya bisa memainkan perannya dan mengikuti alur yang telah dibuat.

Termasuk memilih menerima semuanya yang terasa begitu pahit, pelik, dan rumit.

Jaehyun masih hidup dan ia harus terus hidup. Mungkin itu yang Tuhan rencanakan.

Perihal Risa, Jaehyun anggap jika gadis itu kelewat berharga untuk berada lebih lama lagi di dunia hingga Tuhan memilih membawanya dan menjaganya di surga sana. Tempat paling aman, nyaman, dan penuh sukacita.

Jaehyun meraih sebuah undangan yang terselip dibawah sana.

Jaehyun Jung – Tamara Kim

Jaehyun menarik nafas dalam, mengisi rongga dadanya yang terasa kosong sebanyak mungkin.

Tamara kembali menjadi sosok yang sama seperti yang lalu-lalu.

Menjadi sosok yang merengkuh Jaehyun dengan begitu eratnya ketika Jaehyun merasa pada tahap betapa kosong dan hampa hidupnya.

Menjadi sosok yang membuat Jaehyun tersadar jika dunia akan terus berputar dan kehidupan akan terus berjalan tak peduli seletih apa dirinya menangis.

Menjadi sosok yang kembali menuntun dan membawa Jaehyun yang tengah tersesat kehilangan arah.

Mungkin tidak mudah, namun Jaehyun terus berusaha menerima eksistensi perempuan itu hingga akhirnya ia berani mengambil keputusan luar biasa besar ini.

Hatinya selalu punya ruang sendiri untuk Risa.

Untuk orang yang semasa putih abu-abunya menjadi teman pertama, cinta pertama, juga patah hati pertamanya.

Namun, sekali lagi.

Semua yang hidup harus tetap hidup. Dan mungkin, Tamara adalah sosok malaikat tanpa sayap yang sengaja Tuhan kirim untuk menyembuhkan lukanya.

Risa, semoga kamu bahagia di atas sana. Ayo sama-sama kita saling mendoakan satu sama lain.

Semoga kamu tenang di atas sama dan semoga saya bisa terus bahagia di bawah sini

orentciz

semoga yang berharap tersemogakan.

Jaehyun melangkahkan kakinya perlahan mendekati sebuah tempat yang rasanya sudah sangat lama tidak pernah lagi ia kunjungi.

Laki-laki itu ikut diam dalam hening sesampainya disana, membiarkan kesunyian sore itu berlalu bersamaan dengan angin yang berhembus tenang menerpa wajahnya pelan seolah tengah menyambut kehadiran dirinya sore ini.

“Apa kabar?” tanya Jaehyun mencoba memaksa sebuah senyum pada wajahnya.

“Sudah 2 tahun ternyata”

ia memandang kosong pada suatu titik. Sekali lagi berusaha keras menguatkan dirinya agar bisa menerima semua kenyataan yang benar terjadi.

Jaehyun mendudukan dirinya, dikeluarkannya setangkai bunga kemudian diletakan tepat diatas tanah bergunduk itu.

“Anyelir merah, artinya cinta dan kasih sayang mendalam-” Jaehyun menarik nafas pelan sebelum kembali melanjutkan ucapannya. “-yang abadi”

Lalu hening.

“Saya akan menikah 2 bulan lagi.”

Tangan Jaehyun terjulur, menyingkirkan beberapa dedaunan kering yang berguguran diatasnya.

Sekali lagi untuk yang kesekian kalinya, Jaehyun berusaha memberi tahu dirinya sendiri jika apa yang telah terjadi saat itu dan saat ini adalah nyata. Bukan lagi bunga mimpi yang bisa dia hindari seperti saat-saat lalu.

“Kalau ada kesempatan dilain waktu, saya akan bawa dia kesini, ya? Setelah saya ingat-ingat lagi, sepertinya saya belum pernah memperkenalkan dia dengan kamu, padahal saya selalu punya kesempatan untuk bercerita tentang dia, tapi saya malah sibuk menangisi takdir”

Jaehyun bangkit berdiri darisana. Ia tidak lagi bisa berlama-lama disini mungkin untuk seterusnya entah sampai kapan.

“Saya pamit ya?” tanya nya entah pada siapa karena nyatanya tidak akan pernah ada jawab dari setiap tanya yang ia lontarkan.

Dengan berat hati, Jaehyun berbalik. Berjalan menjauh meninggalkan tempat itu hingga akhirnya tiba di mobil.

Laki-laki itu masuk. Duduk terdiam memikirkan banyak hal yang seolah tengah berseru begitu riuh di kepalanya meminta untuk lebih dahulu diperhatikan.

Faktanya, ia tak pernah benar-benar baik-baik saja melewati 2 tahun terakhir ini. Ada banyak air mata juga tangis yang telah tumpah untuk hal yang sama;penyesalan.

2 tahun lalu terasa bagai mimpi ketika Jaehyun membuka mata dan menemukan dirinya tengah terbaring di suatu tempat yang memiliki bau kelewat familiar pada indera penciumannya.

Rumah sakit

Siapa yang mengira jika keputusannya untuk berpamitan pada Tamara malam itu benar-benar akan mengubah segalanya menjadi sesuatu yang sangat tidak terduga.

Jaehyun koma 3 minggu akibat kecelakaan berat yang menimpa dirinya kemudian terbangun dengan sebuah kabar yang sangat tidak masuk akal baginya.

“Adiknya Risa kritis. Benar-benar gak ada banyak waktu lagi untuk nunggu calon donor lainnya. Dan akhirnya ... Risa yang jadi donor”

Lalu detik itu juga, dunia terasa berhenti bagi Jaehyun.

Ada jutaan kata kenapa di kepala Jaehyun sejak saat itu.

Kenapa dirinya harus pergi ke bandara malam itu

Kenapa dirinya harus menjadi korban malam itu

dan...

Kenapa gadis yang sangat dicintainya harus pergi begitu saja akibat keputusannya saat itu

Jaehyun membenci semua.

Johnny, Tamara, Nana, bahkan Risa ikut menjadi bagian dari hal yang Jaehyun benci.

Namun, akhirnya ia sadar.

Ini bukan salah siapapun.

Bukan salah Tamara yang harus kembali ke Amerika saat itu.

Bukan salah Johnny yang meminta agar dirinya menyusul Tamara malam itu.

Bukan salah Nana yang membutuhkan donor sesegera mungkin kala itu.

Bukan juga salah Risa yang memilih berkorban untuk adik kesayangannya itu.

Semua hanya masalah takdir yang telah dibuat oleh Sang Pencipta dan Jaehyun sebagai salah satu ciptaannya hanya bisa memainkan perannya dan mengikuti alur yang telah dibuat.

Termasuk memilih menerima semuanya yang terasa begitu pahit, pelik, dan rumit.

Jaehyun masih hidup dan ia harus terus hidup. Mungkin itu yang Tuhan rencanakan.

Perihal Risa, Jaehyun anggap jika gadis itu kelewat berharga untuk berada lebih lama lagi di dunia hingga Tuhan memilih membawamya dan menjaganya di surga sana. Tempat paling aman, nyaman, dan penuh sukacita.

Jaehyun meraih sebuah undangan yang terselip dibawah sana.

Jaehyun Jung – Tamara Kim

Jaehyun menarik nafas dalam, mengisi rongga dadanya yang terasa kosong sebanyak mungkin.

Tamara kembali menjadi sosok yang sama seperti yang lalu-lalu.

Menjadi sosok yang merengkuh Jaehyun dengan begitu eratnya ketika Jaehyun merasa pada tahap betapa kosong dan hampa hidupnya.

Menjadi sosok yang membuat Jaehyun tersadar jika dunia akan terus berputar dan kehidupan akan terus berjalan tak peduli seletih apa dirinya menangis.

Menjadi sosok yang kembali menuntun dan membawa Jaehyun yang tengah tersesat kehilangan arah.

Mungkin tidak mudah, namun Jaehyun terus berusaha menerima eksistensi perempuan itu hingga akhirnya ia berani mengambil keputusan luar biasa besar ini.

Hatinya selalu punya ruang sendiri untuk Risa.

Untuk orang yang semasa putih abu-abunya menjadi teman pertama, cinta pertama, juga patah hati pertamanya.

Namun, sekali lagi.

Semua yang hidup harus tetap hidup. Dan mungkin, Tamara adalah sosok malaikat tanpa sayap yang sengaja Tuhan kirim untuk menyembuhkan lukanya.

Risa, semoga kamu bahagia di atas sana. Ayo sama-sama kita saling mendoakan satu sama lain.

Semoga kamu tenang di atas sama dan semoga saya bisa terus bahagia di bawah sini

orentciz

2109

“Hati-hati jangan ngebut yaa”

Taeyong menjalankan mobilnya usai melambaikan tangan berpamitan pada mama Mikaila.

Pukul 7 malam.

Mikaila yang duduk di sebelah Taeyong hanya diam dengan tangan kirinya yang dipakai sebagai tumpuan.

Hari ini gadis itu banyak diam. Beberapa kali Taeyong sempat coba untuk membuat basa-basi kecil, namun hanya dijawab sekenanya oleh Mikaila.

“Lagi bete?” tanya Taeyong. Mata nya tetap fokus pada jalan berhubung dialah yang kali ini menyetir.

Mikaila menoleh dengan ekspresi datar, “Nggak tuh”

“Terus kenapa diem aja? Naber lo? Ngomong kek, apa kek”

“Lagi males aja ngomong”

“Ya kenapa?”

“ya gapapa, emang gaboleh?”

Taeyong mendelik.

Selain lebih banyak diam, Mikaila juga jadi lebih menyebalkan hari ini menurutnya.

Akhirnya suasana mobil menjadi sangat hening.

Merasa nggak nyaman dengan keheningan tersebut, Taeyong menjulurkan ponselnya pada Mikaila, membuat gadis itu mengernyit bingung menerimanya.

Connectin spotify nya” ujar Taeyong memberi penjelasan.

“Passwordnya?”

“Lah perasaan udah gue kasih tau waktu itu”

“Lupa”

“2109, Mikaila”

Mikaila menoleh pada Taeyong dengan sebalah alis terangkat membuat Taeyong yang merasa di perhatikan ikut melihatnya balik.

“Kenapa?”

Mikaila nggak menggubris, setelah berhasil membuka ponsel Taeyong, ia segera membuka aplikasi pemutar musik itu dan menekan tombol shuffle.

orentciz

sweet dreams.

Malam ini ada yang berbeda dari malam-malam biasanya.

Tidak ada hal lain selain kecanggungan antara dua orang yang seharian ini sama sekali nggak bertatap muka atau mengobrol secara langsung.

Gak ada yang berniat untuk buka suara lebih dulu untuk memulai obrolan.

Gak ada suara lain selain dentingan sendok dan piring dari Taeyong yang tengah memakan sepiring nasi goreng dengan tenang.

Lebih tepatnya mencoba terlihat tenang karena sebenarnya jantung cowok itu daritadi terus-terusan berdegup gak stabil sejak berhadapan dengan Mikaila.

Sedangkan Mikaila hanya diam, sibuk dengan ponselnya sendiri.

“Ekhem” Taeyong berdehem pelan sukses membuat Mikaila melirik padanya.

“Nasi gorengnya enak” katanya kemudian meneguk segelas air, menghilangkan dahaganya yang begitu menganggu

Mikaila hanya tersenyum tipis hingga akhirnya suasana kembali diam.

Mata Mikaila terus menatap layar ponsel, padahal pikiran gadis itu melayang-layang kesana kemari, mencoba mencari kata yang tepat untuk menanyakan hal yang sejak kemarin menganggu pikirannya.

Sebuah polaroid.

Itu memang cuman sebuah foto biasa saat Mikaila lihat sekilas.

Hanya sebuah foto yang memotret Taeyong tengah mencium pipi seorang gadis yang menyembunyikan ekspresi malu dibalik tangannya.

Bukan hal yang mengejutkan sebenarnya.

Namun, saat Mikaila lihat lebih jelas lagi, pada latar foto mereka berdua terdapat tulisan yang jelas terbaca, Happy Anniversary

Entah kenapa, tiba-tiba hati Mikaila terasa seolah tercubit.

Ada sesuatu yang terasa menyakiti hatinya saat otaknya mulai paham jika gadis di foto ini nggak sama seperti perempuan lain yang hadir di hidup Taeyong.

Perempuan ini... Berbeda.

Dan fakta jika Taeyong masih menyimpan polaroid itu membuat Mikaila tau satu hal,

Hati laki-laki yang kini tengah sibuk memainkan sisa acar di piringnya itu ternyata masih menyimpan nama orang lain.

Marah, kecewa, sedih.

Mikaila bukan nggak tau jika dia telah jatuh hati pada Taeyong. Ia tau, bahkan sangat tau jika ia telah lama jatuh hati. Mungkin sejak awal mereka bertemu seperti apa yang Jonathan bilang.

Mikaila kembali menyipitkan matanya ketika melihat sebuah tulisan samar pada sudut foto itu.

210919

“Apa artinya?” tanya Mikaila dalam hati.

Dengan helaan nafas gusar dan hati yang mendadak berantakan, Mikaila keluar dari kamar Taeyong, memilih menghindari cowok itu karena sadar mungkin hanya dia sendiri yang jatuh cinta disini, kemudian menangis semalaman di dalam kamar dan memutuskan pergi ke tempat Jonathan paginya agar Taeyong nggak melihat betapa menyeramkannya mata dan wajah bengkak Mikaila hari ini.

“Taeyong” panggil Mikaila pelan, ia membuka suara setelah hening yang lama.

Yang dipanggil mengangkat kepalanya, menatap lurus pada sang gadis.

“Udah sebulan” tukas Mikaila.

Taeyong mengernyit, belum paham dengan maksud dari ucapan Mikaila.

“Apanya yang- oh”

Lalu kembali hening sejenak sampai tiba-tiba terdengar kekehan pelan dari Taeyong yang masih sibuk menggumpal-gumpal tissue dengan tangannya. “Cepet banget dah sebulan” ujar cowok itu membuat suasana mendadak sendu.

“Perasan baru kemaren gue masih pake neck belt terus bawa-bawa koper ke sini” sambungnya sambil kembali mengingat pada hari dimana ia dengan sangat nggak ikhlas datang ke tempat ini karena merasa sangat bosan di rumah sendiri dan gak bisa kemana-mana selama masa penyembuhan.

“Beneran udah sebulan nih?” laki-laki itu menatap lurus pada Mikaila yang membalas dengan anggukan kecil.

“Terus gimana?”

Mikaila menautkan alisnya.

“Apanya gimana?”

“Ya gue. Gue harus balik nih ke rumah gue?”

”... emang mau gimana lagi??”

“manatau lo mau nyuruh gue biar tinggal di sini aja” jawabnya asal. Dalam beberapa detik kemudian, Taeyong sibuk merutuki betapa bodoh kata-katanya barusan.

Mikaila nggak akan mau repot-repot nyuruh lo tinggal disini. Untuk apa? Gak mungkin. Kecuali dia suka sama lo! pikir Taeyong.

Laki-laki itu berdiri, memutuskan untuk kembali ke dalam kamarnya. Mungkin malam ini ia harus bergadang untuk mulai merapikan barang-barangnya.

Dengan langkah yang terasa sedikit berat, Taeyong berjalan meninggalkan meja.

“Aku suka sama kamu!”

Taeyong tertawa miris.

Apa dirinya sangat mengharapkan Mikaila bilang seperti itu sampai suara dalam otaknya terdengar begitu nyata.

“Taeyong!”

Melihat Taeyong yang tak berniat berhenti melangkah membuat Mikaila dengan tergesa mengejar cowok itu, menahan tangannya hingga membuat Taeyong berbalik dan menatap Mikaila terkejut.

“Eh? Kenapa?” tanya Taeyong.

“Tinggal disini aja”

“hah?”

“Kamu tinggal disini aja?”

“K-kenapa?”

Dan jawaban dari Mikaila selanjutnya bukan seperti apa yang Taeyong bayangkan.

Tubuh Taeyong terasa seperti tersengat listrik. Kaku dan tegang.

“Mik?”

Belum sempat Taeyong menanyakan maksud kecupan singkat pada bibirnya tadi, namun gadis itu lebih dulu berlari kecil masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu dengan sedikit keras.

Taeyong hanya melongo.

Lidahnya kelu.

Otaknya beku.

Mungkin ikan mas kecil peliharaan Mikaila di sudut meja sana sama terkejutnya dengan dirinya yang masih belum bisa mencerna hal apa yang baru saja terjadi.

Tangan Taeyong sibuk meraba bibirnya sendiri. Meyakinkan dirinya bahwa itu bukanlah khayalannya.

Basah.

Berarti yang tadi itu nyata.

Mikaila barusan benar-benar menciumnya dan menyuruhnya agar tetap di sini.

Laki-laki itu nggak bisa menahan senyuman yang merekah lebar di wajah dan jantungnya yang berpacu sama heboh dengan dirinya yang tengah meloncat kegirangan tanpa alasan jelas.

Ia hanya merasa sangat senang.

Mungkin malam ini ia benar-benar akan bergadang seharian.

orentciz