pandaloura

New menarik nafasnya dengan kasar sebari sesekali melirik jam dinding di hadapannya “jam dua belas.” Lirihnya pelan. Lalu menengok ke arah pintu masuk, wajahnya menunjukkan ada seseorang yang ia harapkan kehadirannya dari balik pintu masuk tersebut.

Ia kemudian kembali mengambil ponselnya mencoba melakukan panggilan ke ponsel milik suaminya “no yang anda hubungi berada di luar service area” terdengar suara operator yang menjawab. Ia kembali menarik nafasnya kasar. Namun tak beberapa terdengar suara bip dari arah pintu masuk yang membuat New langsung bangkit dari duduknya dan langsung memberikan senyuman terbaik miliknya untuk menyambut sosok yang sedari tadi jadi memenuhi fikirannya, Tawan Putra Vihokratana suaminya.

“Sayang, hapenya mati ya?” Tanya New menghampiri Tay. Tay memilih tak bersuara dan langsung berjalan masuk ke dalam kamarnya. New terdiam di posisinya “masih ngambek kayaknya.” Ucapnya dalam hati, tak mau mengambil pusing ia pun kembali berjalan menyusul suaminya ke kamar.

Namun ia hanya mendapati baju kotor yang berserakan di lantai, tanpa mengeluarkan suara ia pun membereskan baju suaminya tersebut lalu dengan segera mempersiapkan pakaian baru untuk Tay dan kemudian keluar kamar untuk menyiapkan juga segelas air putih untuk suaminya.

“Tee, udah tidur?” Tanya New sesaat setelah kembali memasuki kamar “ini minum dulu air putih.” Ucapnya kepada Tay yang sudah terbaring di ranjang milik keduanya.

Tak mendapat jawaban, New berinisiatif untuk mengelus lengan suaminya “katanya capek, mau aku pijitin?” Masih tak ada jawaban.

“Aku tau kamu belum tidur.” Ucap New kembali.

Tay kini membuka kedua matanya “aku mau tidur.”

“Mau aku pijitin dulu gak?” Tanya New kembali.

“Kamu gak ngerti ya? Aku bilang aku mau tidur.” Jawab Tay ketus lalu memilih membalikkan tubuhnya memunggungi New yang masih terduduk di tepi ranjang.

New kembali menarik nafasnya dalam-dalam mencoba meredam emosinya “bodo amat! Terserah!” Ucapnya kesal di dalam hatinya.

—oura

“Abang ada kan Pak?” Tanya Chi kepada satpam yang berjaga di gerbang rumah kekasihnya. Pak Amat yang saat itu tengah bertugas mengangguk pelan “ada kok Tuan, silahkan masuk.” Mempersilahkan Chimon untuk masuk dan Chimon pun langsung bergegas masuk.

Baru akan mengetuk pintu ruang tamu, Chimon berpapasan dengan Papah New “eh, Chi sayang.. Tumben kesini?” Tanya Papah New lembut.

“Eh Papah, heheh mau ke Abang Pah.” Jawab Chimon sebari tersenyum lalu menyalami calon mertuanya tersebut.

Papah mengangguk “ada kok, lagi di kamar dia.. Masuk aja ya sayang? Papah mau keluar dulu ini.” Ujar Papah New sebari mempersilahkan Chi untuk masuk.

“Yaudah Chi masuk ya Pah, Papah hati-hati ya.” Jawab Chi sebari memasuki kediaman Vihokratana tersebut.

Begitu ia memasuki rumah tersebut, ia langsung bergegas menuju lantai dua dimana kamar Pluem berada. Dan langsung mengetuk pelan pintu kamar kekasihnya.

“Siapa?” Terdengar suara Pluem dari dalam, namun Chi memilih tak menjawab dan terus mengetuk pintu.

Tak berselang lama Chi mendengar suara gagang pintu yang terbuka “Abang.” Lirihnya pelan. Pluem menunjukkan ekspresi datarnya “ngapain kamu kesini?”

Chimon langsung menarik tangan Pluem pelan “maafin.” Namun Pluem segera melepaskan tanggannya dari genggaman Chimon dan memilih berjalan masuk kembali ke kamarnya, mau tak mau Chimon pun mengikuti dan tak lupa menutup pintu kamar Pluem.

“Maaf sayang..” Chimon mencoba kembali meraih tangan Pluem namun usahanya sia-sia karena Pluem kembali menarik tangannya.

“Aku niatnya cuman mau April Mop aja sayang.” Ucap Chimon kembali. “Maafin, ini berlebihan dan bikin kamu marah. Aku minta maaf.” Lirihnya sekali lagi, namun Pluem masih memilih diam tak bersuara.

Chimon kembali berusaha mendekati Pluem yang memunggungi dirinya “Pluem? Kamu beneran gamau maafin aku?” Suara Chi terdengar sedikit bergetar menahan tangisnya, karena baru kali ini Pluem benar-benar terlihat marah pada dirinya.

“Gausah nangis.” Akhirnya Pluem bersuara.

Chimon yang masih berdiri di posisinya langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat dan mengigit bibirnya agar tak menangis “gak.” Lirihnya sebari berusaha sekuat tenaga agar air matanya tak turun namun usahanya sia-sia, air matanya turun dengan deras membasahi wajahnya.

Pluem membalikkan tubuhnya dan mencoba mendekati Chimon yang masih berusaha menghapus air matanya, begitu mendekat Pluem pun langsung membantu Chimon untuk menghapus air matanya. “Maaf aku nangis.” Chimon berusaha bicara di tengah tangisnya.

Pluem masih memilih tak mengeluarkan suaranya namun masih tetap membantu Chimon menghapus air matanya.

“Jangan diem aja.” Chimon meminta Pluem bersuara.

Pluem kembali menjauh “aku gak suka omongan kamu.” “April Mop atau apapun itu, gak ada lucunya sama sekali.” Jawab Pluem datar.

“Iya aku salah, maaf.” Chimon mendekat dan mencoba memeluk tubuh Pluem dari belakang “maafin ya Pluem.. Gak lagi becanda gitu.” “Kamu ngomong, jangan diem aja.” Pinta Chimon sekali lagi.

Pluem kemudian melepas pelukan Chi dan memutar tubuhnya sehingga kini keduanya saling berhadapan “aku bukan gamau ngelakuin apa yang jadi permintaan kamu Chi.. Aku mau, sangat mau.. Tapi banyak pertimbangan yang harus aku fikirin, tanggung jawabnya gede Chi.”

“Iya aku tau, maaf.. Aku gak akan bahas-bahas lagi, janji. Masalah aku bawa-bawa Perth, aku juga minta maaf.” Ucap Chimon.

Pluem terdiam “gausah sebut-sebut nama itu, aku gak suka.” Lalu kembali menjauh. Chimon kembali berusaha mendekat “iya-iya, aku gak sebut lagi.. Maaf ya.. Maaf..”

“Mau di maafin?” Tanya Chimon sebari memeluk tubuh Pluem dengan erat.

Pluem akhirnya membalas pelukan Chimon lalu mengecup pucuk kepalanya “jangan becanda gitu lagi ya Chi, aku beneran gak suka.”

“Iya gak akan lagi, maafin aku ya? Maafin aku selalu maksa kamu ini itu, punya sifat kaya anak kecil, gak jelas.. Maafin aku.” Ucap Chimon dalam pelukannya.

Pluem mengangguk “maafin juga aku bikin kamu nangis.”

“Di maafin asal di cium dulu.” Ucap Chimon sebari melepas pelukannya.

Pluem tersenyum lalu mengecup pipi kanan Chimon. “Cup.”

“Mau yang ini.” Sebari menunjuk bibirnya.

Tanpa mengeluarkan suara apapun Pluem memilih untuk mengikis jarak antara dirinya dan juga Chimon yang akhirnya membuat bibir keduanya bertemu dan saling menyesap. Chimon langsung menepatkan lengannya melingkar ke leher Pluem dan Pluem menepatkan tangannya di pinggang ramping milik kekasihnya tersebut.

Ciuman hangat itu berlangsung beberapa menit sampai keduanya saling melepas karena paru-paru keduanya membutuhkan udara untuk bernafas.

“I love you Pluem.” Ucap Chimon tersenyum.

“Love you too.” Jawab Pluem sebari kembali menyatukan bibir miliknya dan juga kekasihnya sehingga ciuman hangat itu kembali terjadi.

—oura

Setelah keluar dari ruang kerja Ayahnya, Frank segera bergegas menuju kamar tidur milik orang tuanya untuk menemui sang Papah.

Begitu ia sampai di depan kamar tersebut ia pun mengetuk pelan namun tak ada jawaban dari pemilik kamar tersebut sehingga membuat dirinya memutuskan untuk masuk dengan pelan “Kakak masuk ya Pah..” Ucapnya.

Ia melihat sang Papah tengah terbaring di ranjangnya dan Frank pun memilih mendekat dan duduk di tepi ranjang sebari menatap Papahnya yang sepertinya sudah masuk ke dalam alam mimpinya.

“Yah, udah tidur.” Ucapnya pelan, namun ia tetap memilih duduk di tempatnya sebari menunduk menatap kakinya “maaf ya Pah.. Papah pasti kecewa banget sama Frank..” Lirihnya penuh sesal.

Frank kemudian menarik nafasnya dengan berat sebari masih menundukkan wajahnya “Frank bukannya gamau cerita, Frank cuman takut.. Tapi ternyata pilihan Frank buat gak cerita dan minta izin malah bikin Papah sama Ayah sedih, Frank emang bukan anak yang baik.. Selalu bikin kecewa Papah sama Ayah.”

“Frank anak yang baik kok.” Terdengar suara dari ranjang yang berasal dari Papah New yang membuat Frank langsung menoleh “Papah kebangun ya? Maafin Frank.”

New kemudian memilih untuk bangun dari tidurnya dan duduk menatap anak tengahnya “gak kok, Papah belum tidur.” Jawab New pelan.

“Maafin Frank ya Pap? Frank bikin Papah sedih, bikin Papah kecewa sama pilihan Frank bua bikin tato.” Ujar Frank penuh sesal.

New menggelengka kepalanya pelan dan mengelus punggung Frank dengan lembut “Papah gak kecewa atapun sedih karena Frank di tato.”

“Papah sedih, karena Papah ngerasa belum jadi orang tua yang baik buat Kakak.. Sampe-sampe Kakak gak cerita dan milih umpet-umpetan buat ngabulin keinginan Kakak.” Jawab Papah dengan nada sedih.

“Papah ngerasa harusnya Papah bisa jauh lebih baik lagi, jadi Kakak bisa utarain semua apapun ke Papah..”

Frank kini menggelengkan kepalanya dengan cepat “gak, Papah selalu kasih yang terbaik buat Kakak.. Jangan mikir Papah gak cukup baik Pap. Jangan mikir kaya gitu.”

“Maafin Kakak, harusnya Kakak cerita apapun ke Papah.. Maafin Kakak kemarin gegabah sampai gak melibatkan Papah ataupun Ayah ke pilihan hidup Kakak. Kakak nyesel.” Frank kembali berucap penuh sesal.

Frank kemudian sedikit menggeser tubuhnya sehingga kini ia dan Papahnya saling berhadapan “Kakak janji, ini pertama dan terakhirnya Kakak ambil keputusan tanpa cerita ke Ayah ataupun Papah.. Maafin Kakak ya Pap?”

“Sayang.. Gak semua hal kok yang harus Kakak ceritain ke Papah, Kakak juga pasti punya hal-hal yang emang pengen di keep sendiri ataupun emang gak bisa diceritakan ke Ayah ataupun Papah karena mungkin kami gak terlalu relate, tapi boleh gak kalau misalnya Kakak melakukan hal-hal besar untuk diri Kakak, Kakak share sama Ayah ataupun Papah? Kami cuman pengen yang terbaik buat Kakak.”

Frank mengangguk dengan cepat “iya Pap, janji.”

New tersenyum hangat lalu memilih memeluk tubuh Frank dengan lembut “makasih ya Kak.”

“Sama-sama, sekali lagi maafin Kakak.” Sesal Frank sekali lagi.

New mengelus punggung Frank dengan pelan “iya sayang.. Kita sama-sama belajar ya dari case ini, semoga komunikasi kita semakin baik kedepannya.. Papah sama Ayah akan berusaha sefair mungkin tanpa menjudge pilihan kalian kok.”

“Iya Pap, Kakak percaya.” Frank membalas dekapan sang Papah.

Keduanya pun melepas pelukannya. Lalu New mengenggam tangan Frank “kemarin sakit gak? Tato nya di tempat yang bersih kan? Jarumnya gak berbarengan sama orang kan?” Papah bertanya.

“Tenang aja Pap, aman semua kok.” Jawab Frank dengan tersenyum.

“Papah boleh liat tatonya?” Tanya New pelan.

Frank pun menggulung bajunya dan menampilkan tato barunya “ini Pap.”

“Bagus.. Sangat Kakak.. Ada sunflowernya lagi.” Jawab New lembut.

Frank tersenyum “ini kan bunga kesukaan Papah, dan arti nama Ayah juga kan matahari makanya Kakak pilih ini.”

New mengangguk lalu mengelus pucuk kepala Frank “makasih ya, udah inget.”

“Sama-sama.” “Papah udah gak sedih lagi kan?” Tanya Frank pelan.

New menggeleng “udah gak kok, udah happy malah pas tau alesan Kakak pilih gambar tatonya.” lalu tersenyum hangat.

Frank membalas tersenyum hangat.

Tak berapa lama pintu kamar itupun terbuka menampilkan Nanon “Pah jangan marah ya sama Kakak.. Kalau mau marah, marahin Adek juga..”

New dan Frank saling menatap kebingungan karena kehadiran Nanon yang tiba-tiba.

“Adek khawatir ya sama Kakaknya?” Tanya New pelan “sini..” Meminta anak bungsunya mendekat.

Nanon pun mengangguk lalu berjalan mendekat ke arah Papah dan Kakaknya “iya, tadi Adek mau ke ruangan kerja Ayah tapi gak berani makanya pas tau Kakak ke kamar Papah langsung Adek samperin, takutnya Kakak abis di omelin Ayah di omelin Papah juga.” Ujar Nanon sedih.

“Gak kok dut, aman.” Jawab Frank mencoba menenangkan adiknya.

Nanon mendekati sang Kakak lalu memeluknya dengan erat “makanya jangan aneh-aneh! Di marahin kan!” Lalu melepas pelukannya dan menatap dengan tatapan memohon kepada sang Papah “Papah jangan marahin Kakak ya? Kakak emang salah, nanti Adek kasih tau dia yah.. Papah jangan marah ya?”

New pun tak dapat menahan kekehannya “giliran Kakaknya di omelin aja gak boleh, biasanya ngadu-ngaduin biar Kakaknya di omelin.. Dasar..”

“Tenang aja.. Kakak tersayangnya gak di omelin kok cuman di ceramahin aja.” Jawab Papah lagi.

Nanon ikut terkekeh “hehehe, emang cocok di ceramahin dia mah! Pesantrenin kalo bisa Pah.” Lalu menoleh menatap Frank dengan tajam “makanya jangan aneh-aneh lagi lo!”

“Bawel ah gendut.” Jawab Frank acuh tak acuh.

“Tuhkan di belain malah di bilang gendut! Pah tuh Pah Kakak tuh.” Teriak Nanon tak terima.

New hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat kelakuan kedua anaknya “dah-dah, tadi bela-belaan! Sekarang berantem lagi! Sampe ada yang nangis liat aja.”

“Tuh yang cengeng kan si gendut.” Frank berucap.

“Aku gak gendut!!!” Teriak Nanon tak suka.

New kembali menggelangkan kepalanya “dah sana-sana, Papah mau tidur.” Usir New kepada kedua anaknya.

—oura

Frank turun dengan langkah perlahan menuju ruang makan milik keluarganya, sejujurnya hatinya sedikit tidak tenang semenjak 'pengakuan' mengenai tato nya apalagi sang Ayah meminta Frank untuk menemuinya setelah makan.

Setenang-tenangnya Frank tetap saja ada perasaan takut saat sang Ayah marah walaupun ia tau Ayahnya tak akan melakukan tindakan kekerasan kepada dirinya.

“Bantuin Mbak ambil piring.” Ucap Pluem kepada Frank begitu Frank sampai di meja makan keluarga tersebut. Frank hanya bisa menuruti perintah sang Abang dan langsung menuju dapur untuk membantu Bi Ida menyiapkan piring dan makanan untuk keluarganya.

Setelah semuanya siap, Frank terduduk di kursinya dan menatap kosong piring yang ada di hadapannya, tak berani mengeluarkan suara apapun.

Nanon yang duduk di sampingnya sempat memberi semangat dengan mengelus punggung sang Kakak dengan pelan seolah-olah memberitahu padanya bahwa semuanya akan baik-baik saja, membuat Frank menoleh lalu mengangguk sebari tersenyum kepada adiknya tersebut.

Tak berselang lama, Ayah sebagai kepala keluarga pun ikut bergabung dan langsung duduk di kursinya “yaudah kita mulai aja ya” Ucapnya pelan.

“Gak nunggu Papah Yah?” Tanya Nanon terheran karena Ayahnya akan memulai makan malam tanpa kehadiran sang Papah.

Tay menggeleng “kita makan duluan saja, Papah sedang tidak enak badan.” Kemudian ia mengangkat wajahnya menatap lurus tepat ke mata anak tengahnya “setelah makan, nanti temui Ayah di ruang kerja Ayah.”

“Iya Ayah.” Jawab Frank sebari kembali menunduk tak berani balik menatap mata Ayahnya.

“Hanya Frank ya..” “Jangan ada yang masuk keruang kerja Ayah selain Frank, terutama kamu Nanon..” Tawan dengan aura dominannya membuat ketiga anaknya tak dapat berkutik dan hanya bisa menundukkan wajahnya menatap masing-masing piring di hadapannya.

— Ruang kerja Ayah.

Frank mengetuk pelan pintu ruang kerja sang Ayah. “Masuk.” Terdengar suara dari dalam ruangan tersebut, dan kemudian Frank pun mulai berjalan masuk, ia pun dapat melihat sosok Ayahnya yang tengah terduduk di sofa ruang kerjanya sebari tetap fokus menatap i-Padnya dengan tenang.

“Yah, Frank minta maaf.” Ucapnya langsung.

Tawan berhenti menatap i-Padnya lalu kini menatap Frank yang berdiri tepat di depannya “duduk..” Ucapnya tenang namun Frank bisa merasakan aura dominan dari sang Ayah yang sedikit membuat dirinya merinding dan segera melakukan perintah Ayahnya.

Hampir lima menit berlalu, Tawan masih tak mengeluarkan suara apapun membuat Frank semakin merasakan perasaan tak enak, salah tingkah “mending di marahin anjir, daripada di diemin gini.. Ah elah..” Keluh Frank dalam hatinya.

Tak lama kemudian Tawan mulai mematikan i-Padnya dan kini fokus menatap anak tengahnya yang masih terduduk sebari menunduk “coba Ayah lihat.” Ucap Tay membuat Frank sedikit terkejut “apanya Yah?” Tanya Frank sedikit bingung.

“Beberapa menit yang lalu kamu minta maaf sama Ayah karena apa? Kira-kira yang ingin Ayah lihat itu apa ya?” Ucap Tay pelan namun tetap terdengar tegas.

Frank yang tersadar langsung mengangguk pelan “iya maaf Yah.” Ia kemudian sedikit menggulung baju yang menutupi lengannya dan segera memperlihatkan tatonya kepada sang Ayah “ini Yah..”

Tawan bangun dari duduknya lalu berjalan mendekati Frank, melihat dengan teliti tato yang tertanam di lengan anaknya “cuman satu?”

“Iya, cuman satu kok Yah.” Jawab Frank pelan.

Kemudian Tay kembali duduk “terus sekarang kamu maunya apa?”

“Minta maaf?” Frank menjawab sebari sedikit meragu.

Tay kini menyilangkan kedua lengannya di dada bidang miliknya sebari terus menatap anaknya “untuk?”

“Bikin tato?” Frank mulai berani mengangkat wajahnya.

“Kenapa harus minta maaf? Kan itu tubuh kamu, sepenuhnya tanggung jawab kamu kan? Kenapa kamu harus minta maaf? Ayah sama Papah gak punya hak kan akan tubuh kamu? Terus kenapa kamu mau minta maaf? Coba jelaskan sama Ayah.” Ini bukan yang di harapkan oleh Frank, ia jauh lebih berharap Ayahnya akan marah dan meneriaki dirinya lalu ia minta maaf dan selesai.

Frank kembali menunduk bingung menjawab pertanyaan Ayahnya.

“Usia kamu tahun ini sudah mau dua puluh dua tahun kan?” Tanya Tawan dan langsung di jawab anggukan oleh Frank. “Kamu sudah bisa tau dong apa yang terbaik untuk hidup kamu? Dengan kamu memilih mentato tubuh kamu, Ayah tafsirkan bahwa kamu tau itu adalah hal yang terbaik untuk diri kamu.. Terus sekarang kenapa kamu minta maaf? Apa karena kamu sadar bahwa tato itu bukan pilihan terbaik makanya kamu minta maaf? Tapi kalaupun kamu berfikiran begitu harusnya kamu bukan minta maaf sama Ayah, tapi sama diri kamu.”

Frank semakin tertunduk, tak berani mengeluarkan sepatah katapun dari mulutnya.

“Kenapa gak jawab?” Tanya Tawan kepada anaknya. “Ayah tanya lagi, alasan kamu minta maaf itu apakah karena kamu mentato tubuh kamu atau kamu minta maaf karena gak izin dulu sebelum kamu mentato diri kamu?” Tay kembali berucap.

Frank mulai menarik nafasnya dalam-dalam, mencoba menjawab pertanyaan Ayahnya “dua-duanya.” “Maaf Frank gak izin dulu ke Ayah ataupun Papah perihal tato dan langsung main tato aja.” Akhirnya Frank bisa bersuara.

Hening. Keduanya memilih untuk tak mnegeluarkan suara apapun.

“Harusnya Kakak izin dulu, walaupun tubuh ini punya Kakak tapi tetep aja harusnya Kakak izin sama Ayah sama Papah sebagai orang tua Frank.. Frank minta maaf.” Frank kembali bersuara.

Ayah menganggukkan kepalanya “Kak, Ayah tau.. Anak di usia kamu banyak rasa penasarannya, banyak ingin tau banyak hal. Ayah juga pernah ada di fase itu.”

“Apakah di tato salah? Gak, Ayah sendiri berfikiran bahwa tato itu adalah sebuah art, cara orang mengekspresikan diri tapi gak mungkin semua orang punya pemikiran yang sama seperti Ayah. Selalu ada pro & contra, dan itu memang tidak bisa di hindari.”

Tawan masih menatap anaknya yang masih memilih tertunduk. “Walaupun Ayah punya pemikiran seperti itu tapi tetap saja ketika anak Ayah memilih untuk mentato tubuhnya ada perasaan tidak suka yang tidak bisa Ayah hindari tapi.. Ayah mikir lagi, kenapa Ayah harus tidak suka? Toh kamu nya udah di tato.. Gak akan ada yang berubah kan dengan timbulnya perasaan marah Ayah?”

“Maafin Frank Yah..” Ucap Frank sekali lagi.

Tawan memilih bangkit dari duduknya memilih duduk di samping Frank “tapi jujur, Ayah sama Papah kecewa.. Kecewanya bukan karena kamu di tato Kak, tapi kita kecewa karena kamu gak cerita, setidaknya kami ingin di ceritakan keinginan kamu akan hal itu, faktor apa yang mendorong kamu memilih hal itu.”

“Walaupun Ayah tau kamu sudah dewasa dan sudah bisa menentukkan pilihan hidup kamu tapi sebagai orang tua Ayah dan Papah juga senang apabila di libatkan dalam apapun pilihan hidup kamu.. Kami ingin di anggap ada Kak..” Ucapan Ayah benar-benar membuat dada Frank berdenyit karena menyesal.

Frank mengangkat wajahnya membalas tatapan sang Ayah “maafin Yah, Frank gak ada niat gak nganggep Ayah ataupun Papah. Frank cuman takut Ayah sama Papah gak ngizinin.”

“Terus kalau Ayah sama Papah gak ngizinin apakah itu akan bikin Kakak gak pergi tato?” Tanya Tawan.

Frank menggelengkan kepalanya “maaf.”

“Ayah seneng Kakak mau jujur, walaupun sedikit terlambat.. Tapi nextnya alangkah baiknya di ceritakan dulu ya Kak kemauan Kakak.”

Tawan mengelus pelan tangan anaknya “Ayah sama Papah cuman mau yang terbaik buat kalian semua.”

“Iya, Frank tau.. Sekali lagi maafin Frank ya Yah?” Ujar Frank pelan.

Tay kini mengelus pucuk kepala anak tengahnya “yaudah, sekarang mau gimana juga tangan kamu udah di tato kan? Di hapus juga udah gak bisa, jadi yaudah..”

“Cuman ini jadi pembelajaran buat kita semua, buat Kakak.. Buat Ayah buat Papah, buat Abang sama Adek juga.”

Frank menoleh menatap Ayahnya tak mengerti.

“Iya pelajaran kalau apapun harusnya tetap di komunikasikan, Ayah sama Papah juga jadi belajar bahwa kalian juga punya permintaan atau keinginan dalam pilihan hidup kalian dan kami sebagai orang tua juga harus bisa mengerti dan memandang keinginan kalian dari sudut pandang yang berbeda.” Jelas Tay pelan.

“Kaya Kakak pengen di tato, mungkin awalnya Ayah sama Papah akan mandang hal itu negatif aja.. Tapi kalau dilihat dari perspektif berbeda, oh mungkin itu salah satu cara Kakak untuk mengekspresikan diri Kakak?”

Frank mengangguk pelan “makasih ya Yah, aku kira Ayah bakal marah banget.” Lirih Frank.

Tawan menoleh menatap wajah anaknya kembali “kaya yang tadi Ayah bilang, Ayah cuman sedih aja karena Kakak gak cerita.. Selebihnya yasudah, Kakak juga pasti keinginan dan Ayah juga harus menghargai keinginan Kakak.. Bukan masalah tato nya tapi Ayah lebih khawatir tempat tato kamu apa sudah profesional? Apakah higienis? Kalau Kakak cerita dari awal mungkin Ayah sama Papah bakal gak ngizinin tapi kalau Kakak sebegitu maunya Ayah sama Papah bisa apa? Paling Ayah sama Papah cuman bisa mencarikan tempat yang paling baik biar gak ada hal-hal yang gak di inginkan di masa depan.”

“Kakak tau kan kalau tato sembarangan bisa menularkan HIV, hepatitis, tetanus?” Tanya Ayah yang langsung di berikan anggukan oleh Frank “tau, tapi Ayah tenang aja.. Tempat yang Frank pilih terbaik kok, higienis dan aman banget.”

Tawan sekali lagi mengelus pucuk kepala anak tengahnya “syukurlah.. Tapi next time kalau Kakak mau apapun jangan sampe gak cerita sama Ayah atupun Papah. Oke?”

“Iya Ayah.. Sekali lagi maaf.” Lirih Frank kembali.

Tawan menoleh menatap hangat Frank “sekali lagi walaupun terlambat tapi Ayah seneng Kakak mau jujur.. Ayah sama Papah bukan orang tua yang sempurna, kita sama-sama masih belajar buat jadi orang tua yang baik tapi kita akan selalu mencoba dan berusaha mengerti apapun yang terbaik buat anak-anak kami. Jadi, tolong libatkan kami dalam apapun pilihan hidup kamu ya nak.”

“Apapun kuncinya adalah komunikasi, Ayah sama Papah akan selalu mencoba fair sama apapun pilihan kalian.. Kalaupun ada perbedaan pendapat kan nantinya kita bisa diskusi buat dapet pilihan yang paling tepat. Iya gak?” Tawan kembali mengusap pucuk kepala anaknya.

Frank mengangguk “makasih ya Yah.. Sekali lagi maaf.”

“Iya, nanti temuin Papah ya? Papah sedih banget tuh waktu tau Kakak gak cerita apa-apa sama Papah.” Pinta Tay pada Frank.

Frank mengangguk “Papah sakit karena aku ya?”

“Gak, cuman sedih tapi kalau Kakak samperin pasti langsung happy lagi.” Tawan mencoba menenangkan.

“Maafin ya Yah..” Ucap Frank penuh sesal.

Tay mengangguk kembali “udah, jangan minta maaf terus.. Tapi tanamkan hal-hal seperti ini jangan sampai terjadi lagi, lebih baik di marahin di awal kan daripada di diemin di akhir?”

“Iya nih.” jawab Frank menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

“Yaudah, Ayah masih ada yang harus di cek. Kakak samperin Papah ya?” Pinta Tay kepada Frank.

Frank mengangguk lalu dengan cepat memeluk tubuh Ayahnya “makasih Yah.” Tay sedikit terkejut namun hanya bisa tersenyum hangat sebari mengelus punggung anaknya dengan penuh sayang “sama-sama, anak Ayah udah bukan anak kecil lagi.” Lirihnya pelan.

—oura

“Tee lepas dulu deh..” Pinta New kepada Tay yang sedari tadi melingkarkan tubuhnya memeluk erat New.

Tay menggelengkan kepalanya “gamau, aku mau puas-puasin dulu. Lusa kamu ninggalin aku..” New menarik nafasnya kasar “yaelah aku nginep di Ibu sehari doang, lebay deh..”

“Aku gak bisa tidur tau kalau gak ada kamu..” Tay kembali merengek, New mengelus pucuk kepala sang suami pelan “semalem aja sayang, kalau kamu ngerengek gini terus aku jadi kefikiran nih.”

Tay akhirnya melepaskan pelukannya lalu menatap wajah New yang berada di atasnya “iya, iya aku stop ngerengek, kamu tetep nginep aja di Ibu.. Ngobrol sepuasnya tuh sama Fah sama Gigi, lagian kalau kamu gak jadi nginep bisa-bisa aku di labrak sama mereka berdua karena gak ngijinin kamu.”

“Tuh tau.” Ucap New lalu terkekeh. “Tee, Tee.. Btw, ambilin i-Pad deh tuh di samping.. Aku mau liatin beberapa design buat di rumah kita.” Pinta New kepada Tay.

Tay pun mengambil i-Pad tersebut lalu memberikan kepada New lalu memilih duduk di sebelah New “jadi pake design interior kan Cha?”

“Jadi, cuman kan emang kitanya juga harus punya konsep dulu gituloooh Tee.” Jawab New sebari mulai membuka i-Padnya dan menunjukkan beberapa referensi design untuk di lihat suaminya “suka gak? Ini buat kamar kita, simple aja tapi tetep elegant gitu.”

Tay mengangguk sebari menatap benda pipih tersebut “bagus kok, warnanya monochrome mix coklat atau abu bagus Cha.”

“Iya, tone warnanya kita nanti konsul dulu aja ya? Terus ini buat dapur, sama ruang tamu oke gak?” Tanya New sekali lagi.

Tay kembali mengangguk “konsepnya aku ngikut kamu deh yang, selera kamu pasti bagus.. Aku percaya.” Lalu mengecup pelan pipi suaminya.

“Ih, fokus duluuuu.. Ini masih ada lagi yang mau aku liatin.” Ucap New lagi sebari mendorong wajah Tay yang mulai nakal karena mulai mengecupi wajahnya. “Yaudah apa lagi?” Tanya Tay.

“Nah kamar yang ini kan udah pasti jadi kamar tamu ya Tee? Takutnya ada Ibu atau keluarga kita yang nginep.” Ujar New yang langsung di berikan anggukan setuju oleh Tay.

New sempat berhenti beberapa detik sebelum melanjutkan 'presentasinya' “hmm, kalau kamar yang satu ini.. Aku rencananya mau design buat kamar anak kita.. Tapi masih belum tau sih konsepnya gimana, mungkin di bikin basic dulu aja karena kita kan belum tau anaknya cewek atau cowok.” Jelas New pelan.

“Oke, di bikin kamar tamu lagi aja dulu Cha.. Lagian, kita masih belum ada rencana punya anak kan?” Ujar Tay santai.

New menelan ludahnya, ingin rasanya menjawab namun hanya anggukan yang muncul dari dirinya “iya.” Jawabnya pelan.

—oura

Setelah hampir empat jam puas berpesta keempat pemuda yang melabeli circlenya dengan sebutan dangerous law itu memilih kamar kost milik Tay sebagai tempat peristirahatannya.

“Nih ganti baju.” Tay memberikan baju dan celana tidur miliknya kepada Krist yang terduduk lesu di karpet milik Tay. Krist menoleh dan mengambil baju tersebut sebari mengangguk “thanks Tay.” Lirihnya.

Tay yang sudah berganti baju memilih ikut duduk di samping Krist dan mengelus bahu sahabat yang baru ia kenal saat di bangku kuliah tersebut “kalau mau sedih gapapa kok, jangan di paksa.”

“Gue gak sedih, marah Tay.. Kok bisa gue pacaran sama orang gila kaya Singtot begitu.” Ujar Krist tak suka. “Lo bayangin, dari tadi dia beneran gak ada ngehubungim gue?! Emang gila gue rasa tuh orang.” Krist terdengar emosi.

Tay kembali mengelus bahu Krist “udah mending tidur, besok kita ada kelas jam sebelas.. Tuh, sana tidur di kasur, Off nya lu geserin aja dikit.. Gue sama Arm di sini aja.” Tay menunjuk Arm yang sudah terlelap di kasur tambahan milik Tay yang sengaja ia gelar apabila ada teman atau keluarganya menginap di kamar kosnya.

“Bentar, gue mau chat si Thi dulu.. Biar tersalurkan nih amarah gue.” Krist pun mengambil ponselnya dan mulai mengetik kata-kata di ponsel pintarnya tersebut.

Tay terkekeh “jangan terlalu keras, inget.. Dia sepupu Singto ntar kalau lu balikan sama Singto malu lu ketemu keluarganya.” Krist yang masih fokus menatap ponselnya berkomentar “gak akan gue balikan, liat aja ya.. Abis ni si Singtot sama si Thit jink.”

“Yaudah, abis chat ganti baju langsung tidur luuu.” Ujar Tay mengingatkan sekali lagi namun di hiraukan oleh Krist.

Tay pun memilih mengambil posisi untuk tidur di sebelah Arm namun saat ia baru saja merebahkan tubuhnya ia merasakan ada barang yang mengganjal di punggungnya, ia pun merubah posisinya dan mengambil benda yang mengganjal tubuhnya “oh komik.” lirihnya pelan, ia pun kembali membuka lembar demi lembar dan sempat termenung saat sampai di lembaran terakhir “honeybun?” Ucapnya saat membaca tulisan kecil di ujung lembaran terakhir tersebut.

—oura,

Di hari Rabu siang, Thi yang baru saja menyelesaikan mata kuliah Pengantar Kearsipan langsung bergegas membereskan tas nya agar ia bisa langsung pergi menuju toko buku untuk membeli komik yang sudah ia tunggu-tunggu perilisannya sejak lama.

“Thi, mau ikut kita makan seblak di depan gak?” Tanya teman perempuan Thi yang Thi yakini bernama Sari. Thi langsung menoleh lalu tersenyum canggung “gak deh Sari, gue mau ada urusan.” Tolak New halus.

Sari tak dapat menunjukkan wajah kecewanya “yah, sayang banget.” Ucapnya. Kemudian tubuh Sari di tarik oleh temannya dan Thi bisa mendengar ucapan ketus dari temannya tersebut “ngapain sih lo ngajak-ngajak dia? Sok eksklusif tau, gak mau temenan sama siapa-siapa. Dah yu ah.” Lalu Sari dan beberapa temannya pun berjalan menjauh meninggalkan Thi yang masih terduduk di posisinya sendirian.

Thi bukannya bertindak sok eksklusif ataupun tidak mau bersosialisasi. Namun, ia pernah mengalami hal yang tak mengenakkan di masa lalu sehingga dirinya lebih memilih untuk menutup diri. “Dah yuk mending langsung ke beli komik terus makan ice cream” monolognya sebari mengambil tas miliknya, tak mau mengambil pusing ucapan temannya.

Ia pun berjalan keluar dan memilih berjalan menuju toko buku tersebut karena jarak yang di perlu di tempuhnya hanya sepuluh menit dengan berjalan kaki.

Begitu sesampainya di toko buku, ia pun langsung berjalan ke rak-rak yang menyediakan komik-komik. “Ah! Pas banget tinggal satu! Yaampun gue beruntung banget.” Ucapnya senang, tanpa menunggu lama ia pun langsung bergegas menuju kasir untuk membayar komik tersebut.

Setelah ia menyelesaikan pembayaran, Thi pun memilih langsung menuju Cafe yang menyediakan ice cream kesukaannya yang berada tak jauh dari toko tersebut.

Sepanjang jalan ia tak dapat menutupi senyuman yang merekah di wajahnya, ia membayangkan membaca komik favoritenya sebari di temani oleh ice cream segar favoritenya. Ah, hari yang indah fikirnya.

— Sweet Escape Cafe.

Begitu sesampainya di cafe tersebut, Thi langsung memesan dan memilih tempat duduknya “ah, ini aja deket jendela.” Monolognya.

Ia pun duduk dan mulai mengeluarkan komik yang ia beli sebari menunggu pesananya tiba. “Eh, gue namain dulu ah..” Thi memang memiliki kebiasaan menamai barang-barang miliknya, ia menuliskan tulisan kecil di belakang komik tersebut @honeybun.

Tak berselang lama pesanannya pun tiba dan ia mulai menyantap dengan semangat semangkuk ice cream dan beberapa topping yang memenuhi mangkuk tersebut.

Saking semangatnya ia memakan ice cream sebari membaca komik ia tak dapat menghindari ice cream yang ada di sendoknya terjatuh dan mengenai kemeja yang ia kenakkan.

“Yah elahhhhhh..” Keluhnya kesal. Ia kemudian mengambil tissue di hadapannya dan mulai membersihkan noda tersebut namun bukannya terhapus noda tersebut malah semakin melebar. “Ah ini mah harus ke toilet.” Ucapnya pelan.

Ia pun menoleh ke sekitarnya untuk menitipkan tas miliknya namun tidak ada orang di dekatnya karena wanita yang duduk di meja sebelahnya baru saja berjalan menjauh dari mejanya menuju toilet sepertinya. “Ah bawa aja deh, ada dompet soalnya.. Hmm, gue simpen komik aja disini ya, jadi orang mikirnya pasti masih ada yang duduk disini.” Ia pun kemudian berjalan dan meninggalkan komiknya di meja dan segera bergegas menuju toilet untuk membersihkan noda di kemejanya.

Berbarengan dengan Thi yang meninggalkan mejanya, pintu cafe tersebut terbuka dan di masuki oleh sosok lelaki berkulit tan.

Lelaki berkulit tan tersebut meraih ponselnya yang berada di kantung celananya dan sepertinya langsung memeriksa isi pesan yang tertuju untuk dirinya.

Tay, gue ke toilet sebentar.. Mejanya samping jendela ya.. Gue simpen buku di mejanya.” Begitulah isi pesan tersebut dan lelaki tan bernama Tay itupun langsung menuju meja samping jendela sesuai dengan arahan pesan dari temannya.

Ia langsung tersenyum begitu terduduk “Kanya suka komik juga? Mana makan ice creamnya gede banget, apa gak diabetes tuh.” Kekeh Tay begitu melihat komik dan mangkuk ice cream yang sudah hilang setengah isinya.

Sebari menunggu Tay pun memilih untuk membuka perlahan komik yang ada di hadapannya dan mulai membaca isinya.

Berbeda dengan Tay yang tengah menikmati waktunya membaca, Thi yang baru saja menyelesaikan urusannya di toilet sedikit terperangah saat tahu mejanya di duduki oleh orang asing dan orang asing tersebut kini tengah membaca komik yang baru saja ia beli beberapa waktu lalu “anjir, itu siapa.. Ngapain di meja gue? Duh, gimana nih? Lagian aneh banget malah asal duduk di tempat orang, baca-baca punya orang lagi.. Aduhhh, apa gue usir ya? Tapi gaenak juga, tapi komik gue gimana? Ah elaaaahh sebel banget mana ice cream gue masih banyak..” Beberapa saat Thi berperang dengan dirinya sendiri antara menghampiri lelaki aneh tersebut atau merelakan komik dan juga ice creamnya hilang begitu saja, namun setelah perdebatan panjang Thi memilih untuk merelakan komik dan juga ice cream miliknya daripada harus berurusan dengan orang asing tersebut.

“Dahlah, gue beli lagi aja komiknya. Daripada ngomong sama orang aneh.” Ucapnya pelan lalu memilih berjalan keluar lewat pintu samping cafe tersebut.

Saat Thi memutar tubuhnya ia sempat berpapasan dengan wanita yang menduduki meja di sampingnya “eh, sorry.” Ucap Thi saat tak sengaja menabrak pelan tubuh wanita tersebut, wanita tersebut tersenyum lalu mengangguk “santai.” Kemudian Thi segera berjalan menuju pintu samping untuk keluar dan wanita itu memilih berjalan kembali menuju meja miliknya.

“Tay lo ngapain duduk disitu?” Tay yang tengah asyik membaca menoleh ke sumber suara, Kanya teman wanitanya tengah berdiri sebari kebingungan.

Tay menoleh lalu tersenyum “Nya, gue baca komik lo ya? Gemes juga.”

Kanya kembali menunjukkan wajah kebingungan “itu bukan komik gue, dan meja gue bukan yang ini tapi yang itu..” Kanya menunjuk meja lain yang berada tepat di samping meja yang Tay tempati.

“Lah, terus ini punya siapa?” Tanya Tay ikut kebingungan.

Kanya mengangkat bahu nya “gue gak tau, tapi kayaknya tadi cowok yang duduk disini keluar lewat pintu pinggir.”

“Lah komiknya?” Tanya Tay kembali.

“Yaudah pegang dulu aja, ntar baru kasihin kalau dia balik lagi.. Atau gak ntar titip ke kasir..” Usul Kanya. “sini pindah ke meja gue.” Ajak Kanya yang di balas anggukan oleh Tay.

“Yaudah, gue pegang dulu deh nih komik.” Ujar Tay dalam hati.

—oura

Suasana canggung begitu terasa di Mobil BMW berwarna hitam yang di kendarai oleh Joss.

Joss maupun Thi masih memilih saling diam dan sibuk dengan fikirannya masing-masing. Sampai akhirnya Joss berdeham dan yang pertama memiliki inisiatif untuk bersuara “gue dengerin lagu ya? Mau request gak?”

Thi yang duduk di samping kursi pengemudi sedikit terkejut namun langsung mencoba menenangkan dirinya “eh, boleh.. Gak ada request kok.. Lo bebas milih lagu apapun.”

“Okedeh..” Jawab Joss kemudian mulai menyalakan audio di mobilnya dan kini perjalanan keduanya pun di iringi dengan alunan lagu dari Rihanna. “Eh btw, gak ada yang marah lo gue ajak jalan?”

Thi menggelengkan kepalanya “tadi kan udah izin nyokap, jadi gak ada.”

“Oh, pacar gitu.. Gak ada juga?” Tanya Joss sekali lagi.

Thi kembali menggelengkan kepalanya “gak ada, gue gak pernah pacaran.” Jawabnya lagi.

“Oh.. Oke oke..” Ucap Joss menanggapi jawaban dari Thi.

Thi menarik nafasnya dalam-dalam saat mencoba mengumpulkan keberaniannya untuk berbicara “huuuu, Josss..”

“Ya?” Jawab Joss sebari sedikit melirik ke arah Thi yang duduk di sampingnya.

“Gue gatau apa yang di bilang sama Adek gue sampe dia ngenalin lo ke gue.. Karena gue beneran kaget yang di kenalin ke gue adalah lo dan notabene lo adalah cowok.. Gue minta maaf kalau misalnya adek gak jujur yang di kenalin ke lo cowok juga. Duh, gimana ya? Maksudnya.. Maksudnya kan..” Ucap Thi terbata-bata bingung saat merangkai kata.

Joss tertawa pelan “hahahaha, tenang.. Tenang.. Adek lo gak nipu gue kok, dia emang bilang kalau yang mau di kenalin ke gue adalah kakak cowoknya dan kebetulan gue emang bisex.. Lo tau kan? Suka sama cewek ataupun cowok, nah kebetulan gue lagi jomblo juga jadi yaudah pas di kenalin gue mau gitu.”

“Oh..” Jawab Thi lega, sedari tadi ia sedikit kebingungan karena di fikirannya ia akan di kenalkan ke seorang perempuan bukan lelaki.

“Lo tenang aman kok.. Gue juga anaknya emang gasuka basa basi, pas Guns nanya gue jomblo apa engga dan kalau jomblo mau ngenalin ke cowok yaudah gue gas.. Apalagi pas di liatin foto lo, yaudah gue mau ngeiyain ajakan Guns sama adek lo buat ngedeketin lo” Jelas Joss panjang lebar.

Thi mengigit kembali bibirnya, Joss begitu terang-terangan akan niatnya namun Thi takut tidak bisa membalas niat baiknya “hmm Joss, sebelumnya gue mau minta maaf.”

“Buat? Jangan bilang lo udah punya pacar ya? Tapi lo backstreet dari adek lo?” Joss menerka-nerka karena terlihat wajah Thi sedikit ragu saat ingin menyampaikan ucapannya.

Thi langsung menggelengkan kepalanya cepat “gak kok, gak.. Bukan gitu..” Thi menggaruk lehernya yang tak gatal.

“Kenapa Thi? Gapapa, ngomong aja.” Ucap Joss lembut.

Thi menarik nafasnya dalam-dalam lalu mulai bersuara “gue, mau minta maaf.. Tadi kan lo bilang lo mau ngedeketin gue, tapi kayanya gue gak bisa.”

“Lah gue udah di tolak nih di pertemuan pertama?” Joss bertanya sebari sedikit terkekeh.

Thi menggelengkan kepalanya “gue gak nolak lo, tapi gamau ngasih harapan palsu sama lo.. Ini ide adek gue buat cariin gue pacar tapi sebenernya gue masih belum mau pacaran tapi adek gue tetep aja nyariin pasangan, cuman yang sebelumnya itu gak blak-blakan kayak lo.. Jadi sebelum jauh, gue gamau kasih lo harapan kosong.” Ia kemudian menutup matanya takut Joss tersinggung akan ucapannya.

Namun bukan tersinggung Joss malah tertawa “hahahahaha, lo juga gabisa basa basi ya anaknya? Oh oke oke, jadi acara pdkt nya gagal nih? Gue balikin lo kerumah aja?”

“Gak, kita tetep jalan aja.. Biar gue yang teraktir.. Ganti rugi lo karena udah buang-buang waktu sama gue.” Ujar Thi.

Joss menggelengkan kepalanya “gue gak ngerasa rugi Thi, aman.. Ya anggap aja nambah temen ya walaupun niatnya mau di jadiin gebetan.”

”Sorry..” Thi kembali merasa bersalah.

Joss kembali tertawa “santai elah.. Tapi gue boleh nanya gak?”

“Boleh.” Jawab Thi pelan.

Jari tangan Joss mengetuk-ngetuk setir pelan “lo nolak gue apa karena gue bukan tipe lo?”

“Gak! Bukan gitu Joss.” Jawab Thi panik.

Joss tersenyum “jadi gue masih tipe lo?”

“Gak juga! Duh gimana ya..” Wajah Thi sedikit panik membuat Joss kembali tertawa pelan “gimana deh gimana?”

Thi menutup wajahnya malu mencoba menenangkan dirinya terlebih dahulu, setelah sedikit tenang ia pun kembali menunjukkan wajahnya “gue sebenernya gak punya tipe ideal gitu, gue masih gatau rasanya suka sama orang tuh gimana.”

“Bentar deh, Perth bilang sih lo tuh ke cewek gak respon makanya dia mikir kalo lo tuh Gay.. Makanya dia mau ngenalin lo sama gue.” Ujar Joss pelan “jadi sebenernya lo juga masih gatau lo suka sama cewek atau cowok?” Tanya Joss.

Thi menggelengkan kepalanya “gue sejujurnya gatau dan buat sekarang emang gak pernah kefikiran ke arah sana, seksualitas menurut gue gak begitu penting.. Gue bisa aja suka cewek ataupun cowok kayaknya.”

“Oh, iyasih bener juga.” “Tapi emang lo gamau nyoba deket aja dulu gitu sama gue? Kali aja berubah fikiran lo.” Joss kembali mencoba peruntungannya.

Thi menarik nafasnya dalam-dalam ”sorry.. Joss.. Tapi gue beneran pengen jatuh cinta secara tiba-tiba aja, gamau yang sengaja terencana begini.”

“Oh paham-paham, tapi kita bisa jadi temen kan?” Tanya Joss pelan.

Thi mengangguk “iya.”

“Okedeh, yaudah.. Untung adek lo ketemu nya sama gue, coba sama cowok lain.. Di cap php bisa-bisa.” Jawabnya sebari tertawa.

Thi hanya bisa terdiam menanggapi ucapan terakhir Joss, sejujurnya sepertinya Joss pribadi yang baik dan menyenangkan namun entah mengapa hatinya masih tak terasa nyaman.

Mungkin benar, dirinya memang harus jatuh cinta secara tak sengaja.

— oura,

Suasana canggung begitu terasa di Mobil BMW berwarna hitam yang di kendarai oleh Joss.

Joss maupun Thi masih memilih saling diam dan sibuk dengan fikirannya masing-masing. Sampai akhirnya Joss berdeham dan yang pertama memiliki inisiatif untuk bersuara “gue dengerin lagu ya? Mau request gak?”

Thi yang duduk di samping kursi pengemudi sedikit terkejut namun langsung mencoba menenangkan dirinya “eh, boleh.. Gak ada request kok.. Lo bebas milih lagu apapun.”

“Okedeh..” Jawab Joss kemudian mulai menyalakan audio di mobilnya dan kini perjalanan keduanya pun di iringi dengan alunan lagu dari Rihanna. “Eh btw, gak ada yang marah lo gue ajak jalan?”

New menggelengkan kepalanya “tadi kan udah izin nyokap, jadi gak ada.”

“Oh, pacar gitu.. Gak ada juga?” Tanya Joss sekali lagi.

New kembali menggelengkan kepalanya “gak ada, gue gak pernah pacaran.” Jawabnya lagi.

“Oh.. Oke oke..” Ucap Joss menanggapi jawaban dari Thi.

New menarik nafasnya dalam-dalam saat mencoba mengumpulkan keberaniannya untuk berbicara “huuuu, Josss..”

“Ya?” Jawab Joss sebari sedikit melirik ke arah Thi yang duduk di sampingnya.

“Gue gatau apa yang di bilang sama Adek gue sampe dia ngenalin lo ke gue.. Karena gue beneran kaget yang di kenalin ke gue adalah lo dan notabene lo adalah cowok.. Gue minta maaf kalau misalnya adek gak jujur yang di kenalin ke lo cowok juga. Duh, gimana ya? Maksudnya.. Maksudnya kan..” Ucap Thi terbata-bata bingung saat merangkai kata.

Joss tertawa pelan “hahahaha, tenang.. Tenang.. Adek lo gak nipu gue kok, dia emang bilang kalau yang mau di kenalin ke gue adalah kakak cowoknya dan kebetulan gue emang bisex.. Lo tau kan? Suka sama cewek ataupun cowok, nah kebetulan gue lagi jomblo juga jadi yaudah pas di kenalin gue mau gitu.”

“Oh..” Jawab New lega, sedari tadi ia sedikit kebingungan karena di fikirannya ia akan di kenalkan ke seorang perempuan bukan lelaki.

“Lo tenang aman kok.. Gue juga anaknya emang gasuka basa basi, pas Guns nanya gue jomblo apa engga dan kalau jomblo mau ngenalin ke cowok yaudah gue gas.. Apalagi pas di liatin foto lo, yaudah gue mau ngeiyain ajakan Guns sama adek lo buat ngedeketin lo” Jelas Joss panjang lebar.

New mengigit kembali bibirnya, Joss begitu terang-terangan akan niatnya namun Thi takut tidak bisa membalas niat baiknya “hmm Joss, sebelumnya gue mau minta maaf.”

“Buat? Jangan bilang lo udah punya pacar ya? Tapi lo backstreet dari adek lo?” Joss menerka-nerka karena terlihat wajah Thi sedikit ragu saat ingin menyampaikan ucapannya.

Thi langsung menggelengkan kepalanya cepat “gak kok, gak.. Bukan gitu..” Thi menggaruk lehernya yang tak gatal.

“Kenapa Thi? Gapapa, ngomong aja.” Ucap Joss lembut.

Thi menarik nafasnya dalam-dalam lalu mulai bersuara “gue, mau minta maaf.. Tadi kan lo bilang lo mau ngedeketin gue, tapi kayanya gue gak bisa.”

“Lah gue udah di tolak nih di pertemuan pertama?” Joss bertanya sebari sedikit terkekeh.

Thi menggelengkan kepalanya “gue gak nolak lo, tapi gamau ngasih harapan palsu sama lo.. Ini ide adek gue buat cariin gue pacar tapi sebenernya gue masih belum mau pacaran tapi adek gue tetep aja nyariin pasangan, cuman yang sebelumnya itu gak blak-blakan kayak lo.. Jadi sebelum jauh, gue gamau kasih lo harapan kosong.” Ia kemudian menutup matanya takut Joss tersinggung akan ucapannya.

Namun bukan tersinggung Joss malah tertawa “hahahahaha, lo juga gabisa basa basi ya anaknya? Oh oke oke, jadi acara pdkt nya gagal nih? Gue balikin lo kerumah aja?”

“Gak, kita tetep jalan aja.. Biar gue yang teraktir.. Ganti rugi lo karena udah buang-buang waktu sama gue.” Ujar New.

Joss menggelengkan kepalanya “gue gak ngerasa rugi Thi, aman.. Ya anggap aja nambah temen ya walaupun niatnya mau di jadiin gebetan.”

”Sorry..” Thi kembali merasa bersalah.

Joss kembali tertawa “santai elah.. Tapi gue boleh nanya gak?”

“Boleh.” Jawab Thi pelan.

Jari tangan Joss mengetuk-ngetuk setir pelan “lo nolak gue apa karena gue bukan tipe lo?”

“Gak! Bukan gitu Joss.” Jawab Thi panik.

Joss tersenyum “jadi gue masih tipe lo?”

“Gak juga! Duh gimana ya..” Wajah Thi sedikit panik membuat Joss kembali tertawa pelan “gimana deh gimana?”

New menutup wajahnya malu mencoba menenangkan dirinya terlebih dahulu, setelah sedikit tenang ia pun kembali menunjukkan wajahnya “gue sebenernya gak punya tipe ideal gitu, gue masih gatau rasanya suka sama orang tuh gimana.”

“Bentar deh, Perth bilang sih lo tuh ke cewek gak respon makanya dia mikir kalo lo tuh Gay.. Makanya dia mau ngenalin lo sama gue.” Ujar Joss pelan “jadi sebenernya lo juga masih gatau lo suka sama cewek atau cowok?” Tanya Joss.

Thi menggelengkan kepalanya “gue sejujurnya gatau dan buat sekarang emang gak pernah kefikiran ke arah sana, seksualitas menurut gue gak begitu penting.. Gue bisa aja suka cewek ataupun cowok kayaknya.”

“Oh, iyasih bener juga.” “Tapi emang lo gamau nyoba deket aja dulu gitu sama gue? Kali aja berubah fikiran lo.” Joss kembali mencoba peruntungannya.

Thi menarik nafasnya dalam-dalam ”sorry.. Joss.. Tapi gue beneran pengen jatuh cinta secara tiba-tiba aja, gamau yang sengaja terencana begini.”

“Oh paham-paham, tapi kita bisa jadi temen kan?” Tanya Joss pelan.

New mengangguk “iya.”

“Okedeh, yaudah.. Untung adek lo ketemu nya sama gue, coba sama cowok lain.. Di cap php bisa-bisa.” Jawabnya sebari tertawa.

Thi hanya bisa terdiam menanggapi ucapan terakhir Joss, sejujurnya sepertinya Joss pribadi yang baik dan menyenangkan namun entah mengapa hatinya masih tak terasa nyaman.

Mungkin benar, dirinya memang harus jatuh cinta secara tak sengaja.

— oura,

Sabtu, pagi yang harusnya tenang berubah menjadi sibuk karena Perth adik Thi sedari dari sudah menganggu waktu tenang Thi.

“Kakak pake yang ini apa yang ini ya?” Tanya Perth sebari tangannya masing-masing memegang kemeja berwarna hitam dan satunya warna terracotta.

Thi yang baru saja memakai baju santainya setelah melakukan ritual mandi hanya bisa menarik nafasnya kasar “udah lah Dek, Kakak siap-siap sendiri aja.” Pinta Thi.

“Bagus yang terracotta deh, lebih bagus ke warna kulit kamu.” Perth sudah menentukkan pilihan untuk Kakaknya. Lalu menoleh dan ikut duduk di samping Thi “nanti banyak ngobrol ya Kak? Anaknya baik kok.”

Thi mengangguk lemah “iya.” “Ini terakhir ya Dek?” Kini Perth yang mengangguk “iya iya.. Semoga cocok deh.. Yaudah kamu siap-siap deh.”

“Janjiannya masih jam sebelas Dek, ini baru jam sembilan.” Jawab New malas.

Perth bangun dari duduknya dan mencoba menarik tubuh Thi yang baru saja merebahkan tubuhnya di kasur. “Gak-gak, sini rambut kamu aku keringin.” Thi pun mau tak mau bangkit dari tidurnya lalu mengikuti apapun yang adiknya lakukan pada dirinya.

Jam menunjukkan pukul 10.30, dan kini Thi sudah memakai kemeja pilihan adiknya dan rambutnya di styling natural oleh adiknya. “Nah cakep banget Kakak aku.” Thi pun hanya bisa tersenyum terpaksa “makasih Adek bawel.. Jadi sekarang mau di kenalin sama siapa lagi? Vannya? Atau siapa?”

“Gak bukan bukan.. Hari ini bakal ketemu sama..” Belum selesai Perth menyelesaikan ucapannya, keduanya terinterupsi oleh kehadiran sang Mommy.

“Yaampun anak Mommy cakep sekali, mau kencan lagi ya?” Ucapnya begitu memasuki kamar anak sulungnya.

Thi maupun Perth hanya bisa tersenyum “yakan Mom? Cakep banget kan?” Perth berkomentar pertama.

“Anak Mommy semuanya cakep-cakep dong, hari ini mau kemana sayang?” Mommy bertanya lembut.

Thi mengangkat bahunya mengisyaratkan ketidak tahuannya “tau tuh Adek.”

Mom berganti menatap anak bungsunya “Kakaknya mau di bawa siapa dan kemana Dek?”

Belum sempat Perth menjawab kini ketiga nya di interupsi oleh Mbak yang memberi tahu bahwa tamu untuk Thi sudah datang untuk menjemput Thi.

“Yuk? Aku kenalin di bawah aja” Jawab Perth lalu mengajak Mommy dan Kakaknya untuk turun lalu ketiganya pun mengangguk dan segera turun.

Di ruang tamu minimalis tersebut kini tengah duduk seorang lelaki dengan perawakan gagah dan tampan. “Kak Joss!” Sapa Perth begitu sampai di ruang tamu tersebut.

Lelaki yang di namai ‘Kak Joss’ tersebut bangun dari duduknya lalu menyapa Perth “hi, Perth.. Halo Tante.. And hai, Thi?”

Mom dan Thi tidak dapat menutupi keterkejutannya namun akhirnya tetap membalas sapaan dari Joss “hai Joss?” Mommy yang pertama membalas jabat tangan Joss.

Thi masih terdiam di posisinya namun segera tersadar begitu Perth menyenggol tubuhnya pelan “Kak itu..” mengisyaratkan Thi untuk membalas jabat tangan Joss.

“Ehiya.. Thitipoom Rai Techaapaikhun..” Ucap New sebari menjabat tangan Joss yang langsung di balas anggukan dan senyuman.

Perth kembali tersenyum sumringah “nah jadi ini Kak Joss, dia ini temennya Gun.. Sama-sama anak hukum juga ya Kak?” Joss mengangguk sebari tersenyum.

“Jadi Joss yang mau ngajak Thi? Mau kemana?” Tanya Mommy.

“Mungkin mau cari makan dulu sih Tante, terus paling nanti jalan-jalan sebentar.. Izin ya Tan? Nanti Thi aku anter lagi.” Jelas Joss kepada Mommy.

Mommy mengangguk “yaudah kalau gitu, mau jalan sekarang?” Tanya Mom.

“Boleh, ayok Thi..” Ajak Joss kepada Thi. Thi hanya bisa mengangguk “Kakak jalan ya?” Ucapnya pasrah.

Perth masih tersenyum lebar “hati-hati Kak Joss Kak Thi..” Mengantarkan sang Kakak dan temannya keluar.

Begitu kembali memasuki kembali ke dalam rumah, ia sudah di sambut oleh Mommy yang tengah melipatkan tangannya tepat di dadanya seolah meminta penjelasan mengenai teman yang Perth kenalkan kepada Kakaknya “jadi kenapa Joss?”

“Hehehe, tenang dulu Mom..” “Jadi.. Kemarin kan aku sempet kenalin Kakak ke temenku Chikka.. Terus respon Kakak jelek banget, terus temen-temenku tuh bilang kalau Kakak gitu terus gak akan pernah bisa punya pacar.. Terus, aku jadi overthinking kan..” Jelas Perth pelan.

Mommy masih memandang tajam ”and then?”

“Aku sempet ngobrol sama Gun, terus Gun sama aku diskusi kalau Kak Thi sebenernya suka sama cowok gimana? Karena kan kalau sama cewek gak ada respon. Nah, di cariin deh sama Gun dan kemaren aku udah ketemu juga sama Kak Joss dan dia baik bangetttt.” Perth mencoba menjelaskan. “Mommy sempet bilang kan, Mommy gak pernah mempermasalahkan kesukaan anak-anak Mommy?”

Mommy mengangguk lalu menarik nafasnya dalam-dalam “tapi Kakak tadi kayak yang shock, emang Kakak udah setuju di kenalin sama Joss?”

“Tenang, aman kok.” “Yuk.. Yuk.. Mending kita masak yuk Mom, kan Mommy janji mau ajarin aku masak.” Ajak Perth kepada sang Ibu.

Lalu keduanya pun berjalan masuk menuju dapur untuk memasak.