Frank turun dengan langkah perlahan menuju ruang makan milik keluarganya, sejujurnya hatinya sedikit tidak tenang semenjak 'pengakuan' mengenai tato nya apalagi sang Ayah meminta Frank untuk menemuinya setelah makan.
Setenang-tenangnya Frank tetap saja ada perasaan takut saat sang Ayah marah walaupun ia tau Ayahnya tak akan melakukan tindakan kekerasan kepada dirinya.
“Bantuin Mbak ambil piring.” Ucap Pluem kepada Frank begitu Frank sampai di meja makan keluarga tersebut. Frank hanya bisa menuruti perintah sang Abang dan langsung menuju dapur untuk membantu Bi Ida menyiapkan piring dan makanan untuk keluarganya.
Setelah semuanya siap, Frank terduduk di kursinya dan menatap kosong piring yang ada di hadapannya, tak berani mengeluarkan suara apapun.
Nanon yang duduk di sampingnya sempat memberi semangat dengan mengelus punggung sang Kakak dengan pelan seolah-olah memberitahu padanya bahwa semuanya akan baik-baik saja, membuat Frank menoleh lalu mengangguk sebari tersenyum kepada adiknya tersebut.
Tak berselang lama, Ayah sebagai kepala keluarga pun ikut bergabung dan langsung duduk di kursinya “yaudah kita mulai aja ya” Ucapnya pelan.
“Gak nunggu Papah Yah?” Tanya Nanon terheran karena Ayahnya akan memulai makan malam tanpa kehadiran sang Papah.
Tay menggeleng “kita makan duluan saja, Papah sedang tidak enak badan.” Kemudian ia mengangkat wajahnya menatap lurus tepat ke mata anak tengahnya “setelah makan, nanti temui Ayah di ruang kerja Ayah.”
“Iya Ayah.” Jawab Frank sebari kembali menunduk tak berani balik menatap mata Ayahnya.
“Hanya Frank ya..”
“Jangan ada yang masuk keruang kerja Ayah selain Frank, terutama kamu Nanon..” Tawan dengan aura dominannya membuat ketiga anaknya tak dapat berkutik dan hanya bisa menundukkan wajahnya menatap masing-masing piring di hadapannya.
— Ruang kerja Ayah.
Frank mengetuk pelan pintu ruang kerja sang Ayah.
“Masuk.” Terdengar suara dari dalam ruangan tersebut, dan kemudian Frank pun mulai berjalan masuk, ia pun dapat melihat sosok Ayahnya yang tengah terduduk di sofa ruang kerjanya sebari tetap fokus menatap i-Padnya dengan tenang.
“Yah, Frank minta maaf.” Ucapnya langsung.
Tawan berhenti menatap i-Padnya lalu kini menatap Frank yang berdiri tepat di depannya “duduk..” Ucapnya tenang namun Frank bisa merasakan aura dominan dari sang Ayah yang sedikit membuat dirinya merinding dan segera melakukan perintah Ayahnya.
Hampir lima menit berlalu, Tawan masih tak mengeluarkan suara apapun membuat Frank semakin merasakan perasaan tak enak, salah tingkah “mending di marahin anjir, daripada di diemin gini.. Ah elah..” Keluh Frank dalam hatinya.
Tak lama kemudian Tawan mulai mematikan i-Padnya dan kini fokus menatap anak tengahnya yang masih terduduk sebari menunduk “coba Ayah lihat.” Ucap Tay membuat Frank sedikit terkejut “apanya Yah?” Tanya Frank sedikit bingung.
“Beberapa menit yang lalu kamu minta maaf sama Ayah karena apa? Kira-kira yang ingin Ayah lihat itu apa ya?” Ucap Tay pelan namun tetap terdengar tegas.
Frank yang tersadar langsung mengangguk pelan “iya maaf Yah.” Ia kemudian sedikit menggulung baju yang menutupi lengannya dan segera memperlihatkan tatonya kepada sang Ayah “ini Yah..”
Tawan bangun dari duduknya lalu berjalan mendekati Frank, melihat dengan teliti tato yang tertanam di lengan anaknya “cuman satu?”
“Iya, cuman satu kok Yah.” Jawab Frank pelan.
Kemudian Tay kembali duduk “terus sekarang kamu maunya apa?”
“Minta maaf?” Frank menjawab sebari sedikit meragu.
Tay kini menyilangkan kedua lengannya di dada bidang miliknya sebari terus menatap anaknya “untuk?”
“Bikin tato?” Frank mulai berani mengangkat wajahnya.
“Kenapa harus minta maaf? Kan itu tubuh kamu, sepenuhnya tanggung jawab kamu kan? Kenapa kamu harus minta maaf? Ayah sama Papah gak punya hak kan akan tubuh kamu? Terus kenapa kamu mau minta maaf? Coba jelaskan sama Ayah.” Ini bukan yang di harapkan oleh Frank, ia jauh lebih berharap Ayahnya akan marah dan meneriaki dirinya lalu ia minta maaf dan selesai.
Frank kembali menunduk bingung menjawab pertanyaan Ayahnya.
“Usia kamu tahun ini sudah mau dua puluh dua tahun kan?” Tanya Tawan dan langsung di jawab anggukan oleh Frank. “Kamu sudah bisa tau dong apa yang terbaik untuk hidup kamu? Dengan kamu memilih mentato tubuh kamu, Ayah tafsirkan bahwa kamu tau itu adalah hal yang terbaik untuk diri kamu.. Terus sekarang kenapa kamu minta maaf? Apa karena kamu sadar bahwa tato itu bukan pilihan terbaik makanya kamu minta maaf? Tapi kalaupun kamu berfikiran begitu harusnya kamu bukan minta maaf sama Ayah, tapi sama diri kamu.”
Frank semakin tertunduk, tak berani mengeluarkan sepatah katapun dari mulutnya.
“Kenapa gak jawab?” Tanya Tawan kepada anaknya.
“Ayah tanya lagi, alasan kamu minta maaf itu apakah karena kamu mentato tubuh kamu atau kamu minta maaf karena gak izin dulu sebelum kamu mentato diri kamu?” Tay kembali berucap.
Frank mulai menarik nafasnya dalam-dalam, mencoba menjawab pertanyaan Ayahnya “dua-duanya.”
“Maaf Frank gak izin dulu ke Ayah ataupun Papah perihal tato dan langsung main tato aja.” Akhirnya Frank bisa bersuara.
Hening.
Keduanya memilih untuk tak mnegeluarkan suara apapun.
“Harusnya Kakak izin dulu, walaupun tubuh ini punya Kakak tapi tetep aja harusnya Kakak izin sama Ayah sama Papah sebagai orang tua Frank.. Frank minta maaf.” Frank kembali bersuara.
Ayah menganggukkan kepalanya “Kak, Ayah tau.. Anak di usia kamu banyak rasa penasarannya, banyak ingin tau banyak hal. Ayah juga pernah ada di fase itu.”
“Apakah di tato salah? Gak, Ayah sendiri berfikiran bahwa tato itu adalah sebuah art, cara orang mengekspresikan diri tapi gak mungkin semua orang punya pemikiran yang sama seperti Ayah. Selalu ada pro & contra, dan itu memang tidak bisa di hindari.”
Tawan masih menatap anaknya yang masih memilih tertunduk.
“Walaupun Ayah punya pemikiran seperti itu tapi tetap saja ketika anak Ayah memilih untuk mentato tubuhnya ada perasaan tidak suka yang tidak bisa Ayah hindari tapi.. Ayah mikir lagi, kenapa Ayah harus tidak suka? Toh kamu nya udah di tato.. Gak akan ada yang berubah kan dengan timbulnya perasaan marah Ayah?”
“Maafin Frank Yah..” Ucap Frank sekali lagi.
Tawan memilih bangkit dari duduknya memilih duduk di samping Frank “tapi jujur, Ayah sama Papah kecewa.. Kecewanya bukan karena kamu di tato Kak, tapi kita kecewa karena kamu gak cerita, setidaknya kami ingin di ceritakan keinginan kamu akan hal itu, faktor apa yang mendorong kamu memilih hal itu.”
“Walaupun Ayah tau kamu sudah dewasa dan sudah bisa menentukkan pilihan hidup kamu tapi sebagai orang tua Ayah dan Papah juga senang apabila di libatkan dalam apapun pilihan hidup kamu.. Kami ingin di anggap ada Kak..” Ucapan Ayah benar-benar membuat dada Frank berdenyit karena menyesal.
Frank mengangkat wajahnya membalas tatapan sang Ayah “maafin Yah, Frank gak ada niat gak nganggep Ayah ataupun Papah. Frank cuman takut Ayah sama Papah gak ngizinin.”
“Terus kalau Ayah sama Papah gak ngizinin apakah itu akan bikin Kakak gak pergi tato?” Tanya Tawan.
Frank menggelengkan kepalanya “maaf.”
“Ayah seneng Kakak mau jujur, walaupun sedikit terlambat.. Tapi nextnya alangkah baiknya di ceritakan dulu ya Kak kemauan Kakak.”
Tawan mengelus pelan tangan anaknya “Ayah sama Papah cuman mau yang terbaik buat kalian semua.”
“Iya, Frank tau.. Sekali lagi maafin Frank ya Yah?” Ujar Frank pelan.
Tay kini mengelus pucuk kepala anak tengahnya “yaudah, sekarang mau gimana juga tangan kamu udah di tato kan? Di hapus juga udah gak bisa, jadi yaudah..”
“Cuman ini jadi pembelajaran buat kita semua, buat Kakak.. Buat Ayah buat Papah, buat Abang sama Adek juga.”
Frank menoleh menatap Ayahnya tak mengerti.
“Iya pelajaran kalau apapun harusnya tetap di komunikasikan, Ayah sama Papah juga jadi belajar bahwa kalian juga punya permintaan atau keinginan dalam pilihan hidup kalian dan kami sebagai orang tua juga harus bisa mengerti dan memandang keinginan kalian dari sudut pandang yang berbeda.” Jelas Tay pelan.
“Kaya Kakak pengen di tato, mungkin awalnya Ayah sama Papah akan mandang hal itu negatif aja.. Tapi kalau dilihat dari perspektif berbeda, oh mungkin itu salah satu cara Kakak untuk mengekspresikan diri Kakak?”
Frank mengangguk pelan “makasih ya Yah, aku kira Ayah bakal marah banget.” Lirih Frank.
Tawan menoleh menatap wajah anaknya kembali “kaya yang tadi Ayah bilang, Ayah cuman sedih aja karena Kakak gak cerita.. Selebihnya yasudah, Kakak juga pasti keinginan dan Ayah juga harus menghargai keinginan Kakak.. Bukan masalah tato nya tapi Ayah lebih khawatir tempat tato kamu apa sudah profesional? Apakah higienis? Kalau Kakak cerita dari awal mungkin Ayah sama Papah bakal gak ngizinin tapi kalau Kakak sebegitu maunya Ayah sama Papah bisa apa? Paling Ayah sama Papah cuman bisa mencarikan tempat yang paling baik biar gak ada hal-hal yang gak di inginkan di masa depan.”
“Kakak tau kan kalau tato sembarangan bisa menularkan HIV, hepatitis, tetanus?” Tanya Ayah yang langsung di berikan anggukan oleh Frank “tau, tapi Ayah tenang aja.. Tempat yang Frank pilih terbaik kok, higienis dan aman banget.”
Tawan sekali lagi mengelus pucuk kepala anak tengahnya “syukurlah.. Tapi next time kalau Kakak mau apapun jangan sampe gak cerita sama Ayah atupun Papah. Oke?”
“Iya Ayah.. Sekali lagi maaf.” Lirih Frank kembali.
Tawan menoleh menatap hangat Frank “sekali lagi walaupun terlambat tapi Ayah seneng Kakak mau jujur.. Ayah sama Papah bukan orang tua yang sempurna, kita sama-sama masih belajar buat jadi orang tua yang baik tapi kita akan selalu mencoba dan berusaha mengerti apapun yang terbaik buat anak-anak kami. Jadi, tolong libatkan kami dalam apapun pilihan hidup kamu ya nak.”
“Apapun kuncinya adalah komunikasi, Ayah sama Papah akan selalu mencoba fair sama apapun pilihan kalian.. Kalaupun ada perbedaan pendapat kan nantinya kita bisa diskusi buat dapet pilihan yang paling tepat. Iya gak?” Tawan kembali mengusap pucuk kepala anaknya.
Frank mengangguk “makasih ya Yah.. Sekali lagi maaf.”
“Iya, nanti temuin Papah ya? Papah sedih banget tuh waktu tau Kakak gak cerita apa-apa sama Papah.” Pinta Tay pada Frank.
Frank mengangguk “Papah sakit karena aku ya?”
“Gak, cuman sedih tapi kalau Kakak samperin pasti langsung happy lagi.” Tawan mencoba menenangkan.
“Maafin ya Yah..” Ucap Frank penuh sesal.
Tay mengangguk kembali “udah, jangan minta maaf terus.. Tapi tanamkan hal-hal seperti ini jangan sampai terjadi lagi, lebih baik di marahin di awal kan daripada di diemin di akhir?”
“Iya nih.” jawab Frank menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
“Yaudah, Ayah masih ada yang harus di cek. Kakak samperin Papah ya?” Pinta Tay kepada Frank.
Frank mengangguk lalu dengan cepat memeluk tubuh Ayahnya “makasih Yah.” Tay sedikit terkejut namun hanya bisa tersenyum hangat sebari mengelus punggung anaknya dengan penuh sayang “sama-sama, anak Ayah udah bukan anak kecil lagi.” Lirihnya pelan.
—oura