Paseafict

Hyunsuk berdiri di depan gundukan tanah merah yang masih segar. Semua orang sudah kembali ke mobil masing-masing untuk pulang, tapi bagaimana dengan Hyunsuk? Rumahnya kini sudah pergi, ke mana Hyunsuk akan pulang?

“Jihoon, kemarin kamu bilang, tunggu sebentar. Aku juga bilang, aku bakalan selalu tunggu kamu,”

Hyunsuk terduduk di samping batu nisan dengan nama Jihoon yang tertulis di sana. “Jihoon, kamu capek ya punya pacar yang ngambek terus, makanya kamu pergi duluan?”

“Jihoon, aku ga pantes ya jadi suami kamu, makanya kamu pergi duluan?”

“Jihoon, aku kangen kamu. Banget. Aku kangen banget. Tapi kamu kenapa pergi?”

Hyunsuk mengigit bibir bawahnya kuat. Katanya, di depan nisan tidak boleh menangis. Konon dia yang di dalam tanah akan ikut menangis.

“Jihoon—aku tung-tunggu kamu, Jihoon.”

Hyunsuk langsung berlari menjauh. Berlari ke sembarang arah untuk menangis sepuasnya.


“Kak Hyunsuk, jangan di kamar terus dong. Ayo makan sama Doyoung.”

Hyunsuk masih diam di dalam selimut, memeluk lututnya yang kedinginan. Dia merasakan Jihoon yang kedingin pada saat kecelakaan mematikan malam itu.

Doyoung akhirnya masuk. Dia duduk di sisi ranjang Hyunsuk yang kosong. Hyunsuk yang duduk meringkung akhirnya mendongak. “Ayo, makan sama Doyoung.”

Doyoung tersenyum lebar, tapi membuat Hyunsuk semakin sedih. Kerutan wajahnya, senyumnya, suaranya, terdengar mirip dengan kakaknya. Itu membuat Hyunsuk semakin merindukan Jihoon.

Hyunsuk menggeleng pelan. “Yaudah, Kak Hyunsuk mau makan apa?”

Hyunsuk menggeleng lagi. “Kalo jalan-jalan, Kak Hyunsuk mau jalan-jalan ke mana?”

Hyunsuk menggeleng, kali ini sambil menangis. “Doyoung, kamu bener-bener mirip kakak kamu, aku—aku ga sanggup liat kamu, Doyoung.”

Doyoung terdiam. Dia kehabisan cara untuk menghibur pacar kakaknya yang sudah seperti kakaknya sendiri.

“Kak Hyunsuk, aku tau Kakak sayang banget sama Kak Jihoon. Aku tau gimana rasa kangennya Kakak ke Kak Jihoon. Tapi, makan dulu ya, Kak? Sedikiiiitt aja.”

Hyunsuk menggeleng pelan, “Jihoon kerja sampe lupa makan. Di jalan kemarin dia rela ga makan dulu biar bisa makan bareng aku. Masa aku makan duluan?”

Doyoung diam seribu kata. “Kak? Tapi, kalo Kakak bisa sakit.”

“Aku ga peduli, Doyoung. Jihoon juga sakit karena dia kerja mulu.”

Doyoung menghela napas panjang. Dia akhirnya kembali keluar, tapi tidak lama karena setelah itu dia datang dengan membawa bunga.

Hyunsuk mengusap air matanya. “Ini apa?”

Doyoung menarik napas panjang-panjang, “Aku ga mau buat Kakak sedih. Tapi aku mau kasih ini ke Kakak.”

Doyoung memberikan satu bucket bunya yang sudah layu. “Kemarin ada bunga di mobil Kak Jihoon. Dan aku rasa itu buat Kakak.”

Hyunsuk mengambilnya. Ada bercak darah di sana, hati Hyunsuk semakin nyeri. Jihoon pasti benar-benad kesakitan.

untuk calon suamiku yang paling cantik

Hyunsuk langsung menangis sejadi-jadinya. “Aku kangen, Jihoon.”

Doyoung menepuk pundak Hyunsuk pelan. “Masih ada satu lagi, Kak.”

Hyunsuk tercekat saat Doyoung mengeluarkan kotak cincin. “Aku ga tau kenapa Kak Jihoon tulis surat ini. Tapi aku temuin di paper bagnya. Aku mau Kak Hyunsuk berenti sedih. Kak Jihoon ga pergi ke mana-mana, Kak. Kak Jihoon selalu bareng kita.”

“Makanan udah aku siapin di meja, ya, Kak. Kalo Kakak mau nangis, nangis sepuasnya. Tapi Kak Jihoon udah pergi, Kak. Ga ada yang terima sama kenyataan itu, tapi aku yakin Kak Hyunsuk orang yang kuat.” Doyoung akhirnya melangkah pergi, meninggalkan Hyunsuk yang sudah menangis sambil memeluk bunga yang layu.


Hyunsuk, Sayang, aku ga tau kenapa aku nulis surat ini hahaha. Tapi kata orang-orang, surat itu bentuk perasaan paling tulus, loh!! Makanya aku tulis surat ini.

Maaf, ya, Hyunsuk. Kamu banyak nangis gara-gara aku sibuk. Kita bakalan nikah secepatnya, Hyunsuk. Tapi maafin aku kalo ternyata aku kecewain kamu lagi suatu saat nanti.

Aku beliin kamu cincin, biar kamu ga nangis terus kalo aku jarang pulang huhuhu. Kalo kamu kangen aku, liat cincin itu aja. Ada nama aku, jadi kamu ga akan kangen. Akh juga punya yang nama kamu loh, hehehe, makanya aku ga suka nangis-nangis kaya kamu wlee

Hyunsuk, pokoknya aku saaaaayaaaang banget sama kamu. Rasa sayangnya bahkan ga bisa dideskripsikan sama apapun.

I love you, and sorry for disappoint you. Aku ga akan bikin kangen lagi kok hehehe

dari calon suamimu yang paling ganteng.


Hyunsuk menangis sampai membasahi surat tulisan tangan Jihoon. Hyunsuk menangis sampai tenggorokannya penuh dengan isakan setengah berteriak. Hyunsuk menangis sampai setengah hatinya menghilang.

“Jihoon, aku nangis selalu ke kamu. Terus sekarang aku harus ke siapa, Jihoon?”

Hyunsuk kembali meringkuk di dalam selimutnya. Dia masih setia memeluk bunga layu yang Jihoon bawa sampai napas terakhirnya.

“Kalo kangen aku, panggil nama aku tiga kamu. Pasti aku dateng, ke mimpi kamu.”

Itu menjadi gurauan yang paling tidak lucu untuk Hyunsuk dulu. Tapi Hyunsuk ingin Jihoon datang ke mimpinya sekarang.

“Jihoon,”

“Jihoon,”

“Jihoon,”

Hyunsuk benar-benar merindukan Jihoon. Biarkan Hyunsuk bertemu Jihoon meskipun hanya melalui alam bawah sadarnya.

Jihoon sekarang lagi di depan toilet gedung C. Dia pijit-pijit kepalanya pelan. Sebenernya dia ga sakit kepala, dia cuma pusing sama semuanya. Dia ga abis pikir, kok bisa semuanya tuh numpuk di hari yang sama? Seminggu lagi UAS, tapi masalah ada aja yang bikin pusing.

Mau nangis juga rasanya kayak ga berguna. Jihoon sadar, yang dia perlu sekarang cuma Hyunsuk. Makanya dia ngarang banyak alasan ke kating biar pulang rapat lebih cepet.

Setelah dirasa kepalanya udah ga begitu pusing, Jihoon jalan ke arah parkiran. Lumayan jauh, tapi rasanya lebih jauh karena dia sambil chatan sama Hyunsuk yang gemes banget. Dia jadi makin ga sabar ketemu Hyunsuk.


Setelah dapet kabar dari Mas Jihoon, Hyunsuk langsung grasak-grusuk pilih baju. Cuci muka, sikat gigi, secepat kilat. Dia harus keliatan ganteng meskipun ini date dadakan.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu menandakan yang ditunggu sudah datang. Hyunsuk makin gelagapan pake bajunya. “Iya, Mas!”

Hyunsuk buka pintunya cepet. Keliatan muka Mas Jihoon yang capek banget. Dia nunduk sambil peluk Hyunsuk erat banget. “Hyunsuk.” Suara Mas Jihoon juga kedengeran sedih, bikin Hyunsuk ikut sedih.

“Mas, Mas Jihoon kenapa ... ?”

Mas Jihoon peluk Hyunsuk makin erat. “Bareng aku malam ini, ya?”

Hyunsuk angguk-angguk lucu. Bahkan sampe buat Mas Jihoon ketawa. “Tapi, laprak kamu udah selesai semua, kan?”

“Um,” Sebenernya belum selesai. Bahkan dia belum mulai ngerjain laprak lagi. Tapi Mas Jihoon kayaknya lagi butuh healing. “U-udah, udah kok.” Gapapa, masih ada hari esok.

Akhirnya, mereka keliling kota naik motor kesayangan Mas Jihoon. Hyunsuk seneng banget, keliling naik motor bareng Mas Jihoon itu momen paling spesial yang pernah dia rasain. Pembicaraan Mas Jihoon tuh ga pernah selesai, tapi Mas Jihoon juga kasih banyak waktu buat Hyunsuk ngoceh-ngoceh.

“Eh, Mas. Liat deh, Mas.”

“Hm?”

Mereka lagi berenti, nunggu lampu merah. Mas Jihoon elus lembut tangan Hyunsuk yang melingkar di perutnya.

“Kakek itu kasian, ih. Padahal udah malem, waktunya istirahat, tapi tetep harus cari nafkah.”

Mas Jihoon senyum manis. “Iya, kasian. Makanya aku harus banyak-banyak bersyukur, ya.”

Hyunsuk terkekeh, “Engga, dong. Yang banyak-banyak bersyukur seharusnya aku, sih. Aku bersyukur bisa punya pacar seganteng dan sebaik Mas Jihoon.” Hyunsuk peluk Mas Jihoon makin erat. Dia senderin dagunya di bahu lebar Mas Jihoon.

Mas Jihoon ga jadi balas ucapan Hyunsuk. Lampu merah sudah berganti hijau. Tapi semua ucapan Hyunsuk yang berhasil bikin perut Mas Jihoon muncul kupu-kupu, terbalas di alun-alun kota.

Malam itu, langit penuh sama awan. Bulan sabit keliatan redup di atas mereka, sangat mendukung suasana hati Mas Jihoon sekarang. Saat itu pencahayaan minim, tapi muka Hyunsuk yang ceria seperti menjadi lampu kota yang menerangi malam. Mereka menunggu bakso pesanannya di atas tikar yang mereka sewa.

“Hyunsuk,” Mas Jihoon usap pipi sebelah Hyunsuk. Senyumnya manis banget, tapi matanya sayu, seperti orang yang nyimpen ribuan cerita sedih. Pelan-pelan, tangan Mas Jihoon pindah ke leher Hyunsuk. Jantung Hyunsuk udah mulai berisik karena perlakuan Mas Jihoon malam ini.

“Aku bahagia punya kamu sekarang. Aku kira, buat bahagia, kita ga boleh andelin itu ke orang lain. Karena orang lain bisa bikin kita kecewa kapan aja. Tapi ternyata aku salah Hyunsuk,”

Hyunsuk natap Mas Jihoon penuh tanya. Dia sedikit khawatir sama Mas Jihoon yang aneh malam ini.

Tapi Hyunsuk lebih khawatir waktu Mas Jihoon taro satu tangannya lagi di sisi leher Hyunsuk yang kosong. Jarak mereka semakin lama semakin menipis. Jantung Hyunsuk juga makin ribut. Dia nelan ludah susah payah. Mas Jihoon cium bibirnya pelan, diam di tempatnya beberapa detik.

Beberapa detik itu berhasil buat Hyunsuk kayak orang mabuk kepayang. Mukanya merah kayak tomat. Matanya juga melotot besar banget. Bibir Mas Jihoon masih bisa dia rasain meskipun sekarang udah jauh lagi dari pandangannya.

Fiks, Mas Jihoon aneh banget malam ini.

“Aku salah, Hyunsuk. Malam ini ngebuktiin kalo kebahagiaan aku itu tentang kamu. Malam ini aku bahagia kayak orang yang ga akan ngerasain kecewa suatu saat nanti.” Mas Jihoon peluk Hyunsuk sekarang. Pelukannya semakin lama semakin erat. Hyunsuk yang tadi udah kehabisan napas, sekarang makin ga bisa napas.

“Aku sayang kamu, Hyunsuk.”

Hyunsuk balas pelukan Mas Jihoon. Dia cium pundak Mas Jihoon yang selebar Samudar Pasifik itu. Aroma tubuh khas Mas Jihoon selalu bisa jadi healing Hyunsuk dari kejamnya laprak-laprak di semester pertama.

“Kayaknya dari awal kita bareng, tujuan utama kita itu deh, Mas.”

Mas Jihoon lepasin pelukan mereka. Dia natap Hyunsuk sambil ketawa pelan. “Iya, Mas. Tujuan utama kita emang saling bikin bahagia, kan?”

Mas Jihoon ketawa, dia peluk Hyunsuk lagi. Lebih erat dari yang tadi. “Jadi, Mas Jihoon kalo sedih dan butuh bahagia, Mas Jihoon punya aku. Kita jalan-jalan aja, atau makan martabak di kosan aku.”

“Ini, Mas, mie ayam baksonya, monggo.” Bapak tukang bakso dengan logat jawanya memotong pelukan mereka.

Hyunsuk cuma bisa nutup mukanya malu-malu. Mas Jihoon ketawa sambil ambil dua mangkoknya.

“Mas Jihoon kok cium aku di luar, sih? Aku malu kalo diliatin orang.” Bisik Hyunsuk, mukanya udah makin merah.

Mas Jihoon ketawa pelan, “Gapapa, Hyunsuk. Ga ada yang peduliin orang lagi bucin.”

Aduh, bener juga sih ... tapi jantung Hyunsuk ga aman banget kalo kayak gini.

Mas Jihoon tuang kecap sama saos dikit-dikit. Abis itu diaduk sambil senyum, ngelirik Hyunsuk yang masih salting. “Nih, udah aku adukin.”

Hyunsuk ga bisa berenti senyum, “Makasih, Mas.”

Cup!

Mas Jihoon cium pipi Hyunsuk cepet, “Sama-sama, Sayang.”

Hyunsuk udah ga bisa gambarin ke-salting-annya sekarang. Dia cuma bisa pukul-pukul Mas Jihoon. Tau ga sih rasanya pengen teriak tapi ga bisa karena di luar rame? Mas Jihoon kalo soal hati emang ga pernah pengertian!

Selesai makan bakso, mereka ngobrol banyak hal. Tapi kayaknya engga sih, ini lebih tepatnya Hyunsuk yang ngoceh sendiri.

“Tau ga, sih, Mas? Tadi kan aku ngumpul ya sama anak-anak futsal. Selesai main, kita makan di bakso UPT. Masa aku diledekin terus sama kaptennya. Katanya aku kecil banget, kalo nendang bola dia suka takut aku yang ketendang sama bolanya, gitu. Ih, nyebelin banget. Ganteng doang, tapi aneh.”

Mas Jihoon cuma ketawa pelan. Sebenernya dia juga ga merhatiin banget cerita Hyunsuk. Dia ketawa karna liat rambut Hyunsuk yang ikut goyang-goyang waktu dia ngomong.

“Tau ga orangnya siapa, Mas?”

“Siapa?”

“Mas Yoonbin! Itu, yang suka dipanggil ben, ben itu. Kagak jelas!”

Mas Jihoon ketawa, “Oalah, Yoonbin.”

“LOH?! Mas Jihoon kenal? Dia anak Farmasi, kan?”

Mas Jihoon angguk-angguk sambil ketawa. “Iya, tahun lalu kita jadi patner indies waktu ospek fakultas.”

Hyunsuk manggut-manggut, “Hmm, pantesan ga jelas, mantan indies toh! Emang mantan indies, mantan komdis yang paling keren Mas Jihoon doang, dah!”

Mas Jihoon lagi-lagi cuma ketawa. Dia natap Hyunsuk sambil senyum, ga bales ocehan random Hyunsuk kayak biasanya.

Hm, Hyunsuk sedikit curiga. Ada apa dengan Mas Jihoon malam ini?

“Kita pulang aja, yuk, Mas!”

“Loh, kenapa?”

Hyunsuk geleng-geleng, “Udah malem. Takutnya besok Mas Jihoon telat bangun, lagi!”

Mas Jihoon ketawa, “Emangnya aku kebo kayak kamu!”

“Gapapa, aku kebo lucu. Kalo Mas Jihoon jadi kebo, nanti jadi kebo jelek.”

Mas Jihoon ketawa. Dia cuma bisa cubit kecil pipi Hyunsuk. Padahal rasanya dia pengen banget cium lagi. Tapi dia takut Hyunsuk malah makin kaget.

Selama perjalanan pulang, lagi-lagi cuma Hyunsuk yang ngomong. Iya, sih, mereka emang baru pacaran beberapa bulan. Jadi ga perlu heran kalo Hyunsuk bakalan ketemu sosok lain Mas Jihoon yang kayak gini.

“Makasih, ya, Mas. Alun-alun malem ini seru pol!!” Hyunsuk acungin jempolnya.

Mas Jihoon cuma ngangguk pelan. Tangannya masih genggam tangan Hyunsuk erat, seakan-akan ga mau Hyunsuk masuk ke dalam.

“Mas Jihoon mau mampir ke dalem dulu? Temenin aku bikin tugas sebentar?”

Ga perlu nunggu lama, ga perlu pake jawab, Mas Jihoon langsung parkir motornya dan masuk ke kamar kost Hyunsuk dengan senang hati.

Di dalam kosan pun tetep sama. Mereka diem-dieman, Hyunsuk sibuk ngerjain tugas, Mas Jihoon juga sibuk liat hp.

Sebenernya tugas Hyunsuk yang ini ga susah-susah banget, sih. Dia cuma bikin PPT dari materi yang udah dia sama temen-temen kelompoknya diskusiin. Tinggal nyari templete, klik, copy, paste, beres deh.

Abis tugasnya selesai, Hyunsuk malah ngeliat Mas Jihoon yang nunduk sedih sambil genggem hpnya kenceng. Hyunsuk bener-bener ga ngerti sama Mas Jihoon malam ini.

“Mas?”

Mas Jihoon mendongak. Matanya sayu menatap dalam mata Hyunsuk.

“Mas Jihoon, kenapa?”

Mas Jihoon ga jawab. Sebagai gantinya, Mas Jihoon maju beberapa senti ke arah Hyunsuk. Hapus jarak keduanya pelan-pelan. Bibir mereka akhirnya bertautan lagi. Hyunsuk sedikit kaget, tapi setelah melihat Mas Jihoon yang menutup mata, Hyunsuk ikut tutup mata.

Hyunsuk meremas tangan Mas Jihoon yang mengusap lembut pipinya. Mas Jihoon mulai mengecup bibir Hyunsuk beberapa kali, buat jantung Hyunsuk makin berbunyi dug dug dug dug.

Mas Jihoon melepas ciuman mereka. Dia usap lembut bibir Hyunsuk yang sedikit basah karena ulahnya. Tiba-tiba Mas Jihoon gendong Hyunsuk dengan sekali langkah, terus direbahin di atas kasur.

“Mas?” Hyunsuk yang sekarang di bawah Mas Jihoon jadi kebingungan.

Mas Jihoon kembali menyatukan bibir mereka. Memberi kecupan-kecupan hangat yang rasanya bikin Hyunsuk terbang ke langit. Hyunsuk menutup matanya pelan. Dia ga bisa berbuat apa-apa selain tutup mata.

Lama-kelamaan, Hyunsuk ngerasa Mas Jihoon jadi lebih mendesak mulut Hyunsuk untuk terbuka. Karena hampir kehabisan napas, Hyunsuk akhirnya buku mulutnya. Kesempatan itu justru Mas Jihoon manfaatkan buat masukin lidahnya.

Hyunsuk dorong Mas Jihoon kenceng. “Mas, aku ... aku baru pertama kali ciuman. Ma-maaf.”

Mas Jihoon sedikit kaget. Tapi abis itu dia langsung peluk Hyunsuk kenceng. “Ma-maaf, Hyunsuk. Kamu pasti kaget. Maaf, pikiran aku lagi ga jernih hari ini. Aku kelewat batas.”

Hyunsuk balas peluk Mas Jihoon ga kalah erat, “Mas Jihoon kenapa? Malam ini Mas Jihoon keliatan ga kayak biasanya.”

Mas Jihoon diam cukup lama. Hyunsuk nunggu sabar banget, sambil usap-usap punggung Mas Jihoon pelan. “Gapapa kalo Mas Jihoon ga bisa cerita, aku ngerti. Tapi Mas Jihoon jangan sedih, ya? Kan ada Hyunsuk!”

Mas Jihoon lepas pelukan mereka. Hyunsuk sedikit kaget karena ngeliat Mas Jihoon yang udah nangis. Mas Jihoon cuma ngangguk sambil paksain senyumnya. Apa dari tadi Mas Jihoon ga banyak ngomong karena nahan nangis?

Hyunsuk akhirnya ikut senyum, “Yeay! Mas Jihoon udah nangis, berarti besok Mas Jihoon bakalan ketawa!”

Mas Jihoon ketawa pelan sambil pindah tidur di samping Hyunsuk. “Kalo besok aku ketawa, pasti yang bikin ketawa juga tetep kamu, Hyunsuk.”

Mas Jihoon narik Hyunsuk lagi buat dia peluk. “Makasih udah buat aku bahagia, kemarin, hari ini, atau besok.”

Hyunsuk tenggelemin kepalanya ke dada Mas Jihoon, “Aku juga dibuat bahagia kok sama Mas Jihoon! Jadi makasih juga, ya, Mas Ganteng!”

Mas Jihoon lepas pelukan mereka lagi. Dia ambil pipi Hyunsuk yang bulet itu terus dia cubit kecil. “Ada banyak cara Tuhan kasih kebahagiaan ke aku. Tapi aku bahagia banget ternyata cara Tuhan itu kamu, Hyunsuk.”

Hyunsuk senyum. Pipinya udah merah luar biasa. Mas Jihoon emang selalu pinter bikin pipinya merah karena ucapan-ucapan manisnya, “Ada banyak juga cara Tuhan buat nunjukin kalo aku disayang banyak orang. Dan aku seneeeeeng banget, ternyata cara Tuhan itu, Mas Jihoon!” Balas Hyunsuk yang kayak copy-paste ucapan Mas Jihoon.

Mas Jihoon ketawa sambil peluk Hyunsuk lagi. Dia cium pucuk kepala Hyunsuk cepet dan bersandar di sana sambil nutup mata. Rasanya lega banget nangis dan ketawa bareng Hyunsuk.

Malam ini mungkin emang ga secerah malam biasanya, bulannya juga ga seterang biasanya. Tapi buat Mas Jihoon itu ga masalah, karena malam ini dia bareng Hyunsuk.

Tapi ga juga, deng. Mas Jihoon ga lama abis itu pulang. Nanti Hyunsuk jadi bahan omongan tetangga, kasian lucu-lucu masa digibahin sama ibu-ibu waktu beli sayur.

Hyunsuk ga bisa tidur setelah Mas Jihoon pulang. Dia overthinking sama Mas Jihoon yang sampe nangis banget malam ini. Hyunsuk sampe guling-gulingan, acak-acakin rambut karena frustrasi mikirin Mas Jihoon. Apa lagi ... mikirin waktu Mas Jihoon cium bibirnya, terus elus-elus lehernya, terus—“AAAAA MAMA! HYUNSUK UDAH GILA, MAMA!”

Selesai baca bubble chat Mas Jihoon yang terakhir, Hyunsuk yang awalnya rebahan di kasur sambil charge hp, langsung lompat. Seneng banget, dia emang lagi perlu sesuatu buat dipeluk.

Hyunsuk buka pintu kenceng-kenceng. “Aduh!” Mas Jihoon kejedot pintu gara-gara Hyunsuk ga sabaran. Tapi Hyunsuk ga mengindahkan aduhan Mas Jihoon sedikitpun. Dia peluk Mas Jihoon erat-erat.

“MAS! Aku kangen tau!”

Mas Jihoon ga jadi kesakitan, sekarang justru ketawa ganteng. Pacarnya gemes banget, padahal mereka cuma ga bisa makan bareng seminggu. “Iya, aku juga kangen.” Mas Jihoon usap-usap kepala Hyunsuk pelan.

Hyunsuk umpetin kepalanya di dada Mas Jihoon. “Ga mau belajar!” Rengek Hyunsuk. “Mau jalan-jalan aja!”

Mas Jihoon geleng sambil lepas pelukan Hyunsuk, “Engga boleh. Jalan-jalannya abis uas, ya!”

Hyunsuk ngerengek lagi, peluk Mas Jihoon lebih kenceng. “Mas,” Hyunsuk pura-pura nangis. “Aku pusing banget! Pusing sepusing-pusingnya! Mau jalan-jalan!”

“Yaudah. Aku tanya beberapa soal, kalo bisa jawab semua, kita jalan-jalan.”

Hyunsuk kesenengan. Dia percaya Mas Jihoon bakalan kasih pertanyaan yang memihak ke dia. Hyunsuk langsung narik Mas Jihoon masuk terus siap buat dikasih pertanyaan.

“Ayo, nomor satu!”

Mas Jihoon cuma ketawa-ketawa. Hyunsuk ini pede banget bakalan dikasih soal gampang. “Um, Eutropis sp. punya lapisan kulit yang bentuknya squama dermalis, bener atau salah?”

Hyunsuk diem. Awalnya mikir, tapi lama kelamaan malah natap Mas Jihoon tajem banget. Mas Jihoon cuma bisa tahan tawa. Padahal itu salah satu soal buat responsi besok, loh.

Hyunsuk buang muka, dia ambil jurnal praktikumnya kesel. “Aku aja lupa Eutropis itu apa! Udah, deh, Mas Jihoon mah emang sengaja biar aku ga jalan-jalan!”

Mas Jihoon ketawa kenceng. “Yaudah, belajar dulu, abis itu janji deh jalan-jalan.”

Hyunsuk cemberut. Dia udah pindah ke atas kasur, belajar sambil tengkurep. “Iyain!”

Mas Jihoon ketawa. “Beneran loh ini!”

“Iya!!!”

“Gitu dong. Nih, belajar sambil makan martabak.”

Mata Hyunsuk langsung berbinar. Dia suka banget martabak cokelat keju yang biasa Mas Jihoon beli. Kebahagiaan dia ada dua, martabak sama Mas Jihoon. Tapi walaupun sekarang Hyusnuk lagi bareng dua-duanya, dia ga bahagia-bahagia banget. Soalnya sambil belajar.

“Ck!” Mas Jihoon tiba-tiba tahan tangan Hyunsuk.

Hyunsuk kebingungan. Tangannya diambil terus baju lengan panjangnya digulung sama Mas Jihoon. “Kamu pake baju yang sampe tutupin setengah telapak tangan kamu gini. Gulung dulu, dong! Nanti kotor, susah loh dicucinya.”

Hyunsuk cuma bisa nyengir, “Gapapa, kan aku laundry.”

Mas Jihoon natap Hyunsuk tajem. Abis itu dia cubit pipinya. “Tetep aja! Masa mau kotor setiap makan?”

Hyunsuk ketawa. Aduh, pipinya sampe merah tapi bukannya sakit malah baper rasanya.

Mas Jihoon yang lagi ngeluarin laptop nge-notice Hyunsuk yang masih ketawa-ketawa. “Ih, kenapa, tuh?”

“Hehehe, engga. Mas Jihoon udah cocok deh jadi suami aku.”

Mas Jihoon cuma ketawa, terus buka laptopnya. Tapi Hyunsuk masih natap Mas Jihoon penuh harap. Hyunsuk makin maju karena Mas Jihoon ga natap dia lagi. Sekarang makin maju, udah bener-bener di samping banget ini. Aduh, kok Mas Jihoon ga nengok-nengok, sih?

Cup

Hyunsuk cium pipi kanan Mas Jihoon cepet. Abis itu, dia salting sendiri sambil tutup mukanya pake buku.

Mas Jihoon ketawa, “Kenapa, sih? Kok tiba-tiba?”

Hyunsuk natap Mas Jihoon sekarang, “Lagian! Mas Jihoon ga mau bilang juga kalo aku udah cocok jadi suaminya Mas Jihoon?”

Mas Jihoon masih ketawa, “Engga.”

“Ih?!”

“Kan, kalo kamu responsinya inhal, kita ga jadi nikah. Jadi liat besok.”

“MASA BENERAN?!”

“Ya, masa boongan?”

Hyunsuk cemberut, “Kriteria suaminya Mas Jihoon tuh yang pinter berarti, ya?”

“Iya, dong.”

“Ck, yaudah aku nyerah deh jadi suaminya Mas Jihoon.”

“Kok gitu?” Mas Jihoon sampe alihin pandangannya dari laptop.

“Aku kan ga pinter.” Jawab Hyunsuk dengan santainya.

Mas Jihoon taro laptopnya di atas karpet bulu yang lagi mereka dudukin. Dia benerin posisi duduk sambil pegang pundak Hyunsuk. “Hyunsuk, dengerin aku. Kamu tuh selalu ngerendahin kemampuan kamu. Semua orang itu semua sama, yang bedain cara belajar mereka. Fokus atau engga, berkualitas atau engga, cocok atau engga di kamu. Jangan bilang kamu ga pinter atau semacamnya lagi, aku ga suka.”

Hyunsuk langsung kicep. Padahal Mas Jihoon bukannya yang marah-marah, tapi rasanya serem banget. Hyunsuk langsung nunduk, pura-pura baca jurnalnya. Kalo dipikir-pikir, dia emang lagi ngerasa kecil banget tentang nilai dan kawan-kawannya.

Hyunsuk senyum kecil. Tapi sekarang dia udah berambisi buat pinter lagi. Soalnya dia mau memantaskan diri buat jadi suaminya Mas Jihoon, hihihi.

Semesta

Hyunsuk berlarian kecil di lorong apartemen. Hari ini bertepatan dengan ulang tahun pacarnya, dia sedikit buru-buru karena harus menyiapkan kejuatan ulang tahun sebelum wanita itu datang.

Dia menjinjing plastik berisikan kotak kue di tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya, dia pakai untuk menjinjing paper bag baju baru.

Hyunsuk sedikit terengah-engah saat sampai di apart. Dia berdecak kesal sambil melirik ke jam tangannya. “Ini gara-gara Jihoon, nih. Rese dasar!”

Tangan Hyunsuk cekatan merapikan dan menyusun meja makannya. Dia mengeluarkan makanan yang sudah ia beli sebelumnya.

“Selesai!” Hyunsuk tersenyum senang saat melihat meja makan yang sudah penuh dengan makanan.

Senyum Hyunsuk masih setia mengembang di wajahnya. Dia mencari kontak pacarnya cepat. Suara dering panggilan cukup lama terdengar. Tapi Hyunsuk tetap tersenyum senang.

“Halo?”

“Sana! Kamu kapan pulangnya? Aku udah di apart, nih!”

Tidak ada jawaban di seberang sana. Senyuman Hyunsuk perlahan memudar.

“Halo, Sana? Kamu kenapa?”

“Hyunsuk—” terdengar isakan dari balik ponsel Hyunsuk.

“Sana, kenapa?” Hati Hyunsuk ikut teriris rasanya saat mendengar isakan di sana.

Tidak ada jawaban. Hyunsuk menghela napas panjang. “Kamu masih di kantor, kan, San? Yaudah. Aku jemput kamu di sana. Tunggu, ya. i love you.”

Hyunsuk kembali berlarian di lorong apart. Dia menyalakan mobilnya dengan cepat. Lantas segera membelah langit malam.

Hyunsuk berlarian lagi saat sampai di tempat yang dia tuju. Tidak ada orang yang dia cari di sana. Dia menghela napas berat, semakin was-was.

Hyunsuk akhirnya mengendarai mobilnya pelan. Menyisir pinggiran kota yang cukup ramai. Ketemu! batin Hyunsuk saat melihat wanita dengan surai hitam panjangnya menunduk dalam di kursi panjang.

Hyunsuk buru-buru memarkirkan mobilnya di ruko terdekat. Berlarian lagi menuju wanita yang amat berharga untuknya.

“Sana,” panggil Hyunsuk dengan napas yang terengah-engah.

Wanita itu mengangkat wajahnya. Matanya sembab karena terlalu banyak memproduksi air mata. Melihat kehadiran Hyunsuk, semakin membuatnya terisak. Tidak kuasa berbicara.

Hyunsuk tidak melanjutkan kalimatnya. Dia hanya duduk diam di sampingnya dan memeluknya erat.

“Gapapa. Nangis aja, Sana. Ada aku.” Bisik Hyunsuk sambil menepuk-nepuk punggung kesayangannya.

Cukup lama mereka berpelukan. Tidak ada percakapan antara mereka berdua. Tapi Hyunsuk terus mentransfer kehangatannya melalui pelulannya.

“Hyunsuk,”

“Iya?”

“Aku ga ngerti salah aku apa sama semesta. Aku kira, aku mungkin dapet bahagia dari semesta karena hari ini ulang tahun aku. Tapi aku salah, Hyunsuk. Semesta sama sekali ga peduli. Selalu aku kasih aku sedih. Aku bener-bener cape.”

Hyunsuk terkekeh. “Sana, semesta emang ga akan pernah semudah itu kasih kebahagiaan. Karena itu, orang kuat harus tetep kuat. Gapapa sesekali nangis. Karna gimanapun juga, orang kuat pasti selalu kuat.”

Hyunsuk melepas pelukannya. Dia menangkup pipi Sana dengan tangannya yang hangat. “Semesta mungkin emang ga peduli sama kebahagiaan kamu, Sana. Tapi kamu punya aku sebagai semesta kamu. Ga usah cape-cape cari bahagia. Aku semesta kamu yang sebenernya. Aku yang bertanggung jawab bahagiain kamu.

“Selamat ulang tahun, Sayang. Terima kasih udah kuat selama ini, ya. Jangan peduli sama orang yang benci kamu. Jangan peduli sama pikiran buruk kamu. Ada aku, loh! Ada aku yang selalu berdoa buat kebaikan kamu setiap saat.”

Perlahan-lahan senyum mengembang di wajah Sana. Dia kembali memeluk Hyunsuk yang selalu hangat dan selalu pandai menenangkannya.

“Sekali lagi, selamat ulang tahun, Sana. Kamu berhak bahagia. Aku, semesta kamu, bakalan buat kamu bahagia. Di ulang tahun yang ke-22. Yang ke-23. Yang ke-24. Atau yang ke-100 sekalipun.”


KA SANAAAA SENGIL CHUKAE EUYYYY

Ehehehe. Maapin ga panjang2 banget ceritanya. Aku mepet bgt buatnya wkwkwk

pokoknya wish you all the best ka sanaa. Aku ga pinter merangkai kata2 sebenernya. Jadi aku buat dalam bentuk cerita aja yaa wkwk

kayak yg hyunsuk bilang di atas. Orang kuat harus selalu kuat. Karena ka sana orang kuat, jadi harus selalu kuat ya ka sanaaa. Semoga semesta berteman baik ya sama ka sana. Semangat terus pokonyaaa!!!

Aku sayang Jihoon mwahh<3

Haruto berlari kecil menuju tangga. Dia menuruni tangga sedikit bersenandung, menghampiri pintu utama karena bel terus berbunyi.

“Sabarr!! Et dah!” Teriaknya sebelum membuka pintu.

“Toto!!” Teriak Jeongwoo senang. Dia hendak memeluk Haruto, tapi Haruto tahan.

“Ayo, Wan, masuk!” Ucap Haruto ramah mengabaikan Jeongwoo yang kesal.

Mata Junghwan berbinar, dia melihat ke sekeliling rumah Haruto dengan mulut terbuka. “Wah! To! Rumah kamu bagus banget!”

Haruto terkekeh pelan, “Biasa aja, sih. Gua juga apa-apa di kamar terus. Jadi ga kerasa bagusnya.”

Junghwan dan Jeongwoo meletakkan tas di sofa. Junghwan mengeluarkan laptopnya pelan, mulai mengerjakan tugas kelompoknya. Sedangkan Jeongwoo sudah entah ke mana, berkeliling di rumah Haruto yang luas.

“Materinya udah dibagi-bagi tiap kelompok, kita kebagian—” ucapan Junghwan terhenti karena teriakan Jeongwoo.

“To! Gua mau donatnya, ya!” Teriak Jeongwoo heboh.

Haruto diam sejenak, mengingat-ingat donat mana yang Jeongwoo maksud. Ah, Haruto hampir lupa, semalam papanya membawa donat. Haruto sampai lupa karena tidak keluar kamar seharian. Dia hanya membawa air putih dari dapur, dan melakukan aktivitas di kamar seharian.

“Bawa sini aja donatnya, Wo!” Balas Haruto juga berteriak.

Jeongwoo terlihat sangat bersemangat membawa kotak besar berisi donat itu. Sepertinya Junghwan juga bersemangat dengan donatnya.

“Jangan banyak-banyak makannya, gua dah pesen sushi.” Ucap Haruto sambil tertawa pelan.

“Kalo tau lo beli donat, mending donat aja, To.” Ucap Jeongwoo dengan mulut penuh donat.

“Ye! Lo yang minta ya kampret!” Seru Haruto sambil berancang-ancang menjitak kepala Jeongwoo.

“Kayaknya donatnya udah dari semalem, ya, To?” Tanya Junghwan yang sudah menghabiskan satu donat sendiri.

Haruto tersentak, Junghwan benar, dia tidak menyentuhnya sama sekali, dan sudah hampir semalaman donat itu di meja makan. “Iya, udah ga enak, ya?”

Junghwan gelagapan, “Engga, engga! Masih enak, sedikit keras doang.”

Jeongwoo menatap Haruto lekat. “Iya, ya. Kalo dari semalem kok ga lo makan, To?” Tanyanya heran.

Haruto mengangkat bahu. Dia hanya bosan, hampir setiap lembur papanya selalu membawa donat sebanyak itu. Yang awalnya terasa manis, lama kelamaan jadi hambar. Sama seperti suasana rumah yang tidak ada manis-manisnya.

“Iya, sih. Lo pasti sering banget dibeliin donat sama papa lo. Ayah gua ga pernah dibolehin beli ginian sama Papi Ajun. Parah banget, deh. Katanya, 'Harus hemat! Makan gituan mulu ga sehat!' Gitu.” Jelas Jeongwoo sambil mengikuti gaya papinya marah.

Junghwan tertawa puas melihat Jeongwoo. Haruto melihatnya dengan tersenyum miris.

“Kalo aku, bukan ga dibolehin tapi papa selalu minta dibikinin donat sama papi, jadi aku makannya buatan papi, deh.” Balas Junghwan sambil ikut tertawa.

Jeongwoo berdecak, “Masih mending, deh, Wan. Papi Ajun kerjaannya bikin bakwan mulu tiap hari. Padahal kali-kali gitu donat, atau rainbow cake.”

Haruto masih terus tersenyum miris sambil menyimak pembicaraan mereka. Bagaimana dengannya? Apa ada hal yang bisa ia pamerkan pada teman-temannya?

“Iya, tiap malem gua ditinggal sendirian.”

“Gua ketemu sama papi seminggu sekali, bahkan sebulan sekali.”

“Di rumah gede gini, gua cuma main game doang sampe pagi.”

Haruto menghela napas pelan. Papi dan papanya bercerai sejak dia umur tujuh tahun. Haruto tidak mengerti tentang perceraian saat itu. Dia hanya mengerti jika papinya harus bekerja jauh sampai harus jauh dari rumah. Tapi sejak saat itu, rumah terasa sangat sepi. Bahkan kakaknya, Mashiho, yang selalu menemaninya bermain jadi selalu sibuk belajar.

“To!” Panggil Jeongwoo kencang. “Et dah, dia malah bengong.”

Haruto menatap Jeongwoo galak. “Apa?!”

“Kakak lo di mana, dah? Waktu terakhir gua ke rumah lo, ada kakak lo, kan?” Tanya Jeongwoo sambil menatap Haruto.

“Kepo!” Jawab Haruto meledek.

Junghwan tertawa puas melihat Jeongwoo yang kesal.

“Trus, papa sama papi lo sibuk banget ya sampe hampir ga pernah di rumah?” Tanya dia lagi.

Haruto diam, dia tidak menjawab. Junghwan menghela napas panjang, sebenarnya dia menahan untuk tidak melontarkan pertanyaan itu. Jeongwoo memang tidak bisa diharapkan.

“Eh, udah dong ngobrolnya. Ayo kerjain!” Seru Junghwan memecang suasana yang canggung.

Cukup lama mereka berdiskusi tentang materinya, sushi yang mereka pesan datang. Haruto kembali bersemangat, bersama teman-temannya memang membantunya melupakan masalah di rumah.

Ponsel Jeongwoo tiba-tiba berbunyi. “Halo, Pi?”

“Uwo! Coba liat sekarang udah jam berapa?! Ayo pulang! Jangan lupa waktu!”

Jeongwoo menghela napas. “Iya, Pi, iya. Uwo pulang ini.”

“Sekarang!”

“Iya, Pi. Iya. Sekarang, ini Uwo udah siap-siap.”

Junghwan juga sudah sibuk membalas pesan singkat dari papanya. Mereka akhirnya pamit pulang. Rumah Jeongwoo tidak jauh dari sini, sedangkan Junghwan sudah ditunggu papanya di depan.

“Makasih, ya, To. Kapan-kapan traktir sushi lagi.”

“Iya, makasih, ya, To. Kapan-kapan main lagi, ya?”

Haruto tersenyum, mengantar mereka ke depan pintu dengan ramah.

Saat pintu tertutup, suasana kembali lenggang dan kosong. Haruto menatap sofa tempat mereka berkumpul tadi. Ini malasnya dia mengajak seseorang ke rumah, pasti setelah orang-orang pergi, rasa kesepian kembali lagi. Bahkan lebih menyesakkan dari sebelumnya.

Rasa kesepian memang bisa dibunuh dengan seseorang yang menemani. Tapi sepertinya sudah tidak berlaku untuk Haruto. Dia sudah muak dengan rasa menyenangkan sebelumnya, namun langsung mendatangkan rasa kesepian setelahnya.

Haruto duduk, menatap satu potong donat yang masih tersisa. Dia mengambilnya cepat dan melahapnya juga cepat. Seketika perutnya terasa mual.

Haruto berlari ke kamar mandi terdekat dan memuntahkan isi perutnya.

Bahkan, rasa kesepiannya sudah sampai membuatnya mual. Haruto memang memiliki semuanya. Rumah mewah, ponsel mewah, motor mewah. Juga rasa kesepian yang mewah.

Haruto berlari kecil menuju tangga. Dia menuruni tangga sedikit bersenandung, menghampiri pintu utama karena bel terus berbunyi.

“Sabarr!! Et dah!” Teriaknya sebelum membuka pintu.

“Toto!!” Teriak Jeongwoo senang. Dia hendak memeluk Haruto, tapi Haruto tahan.

“Ayo, Wan, masuk!” Ucap Haruto ramah mengabaikan Jeongwoo yang kesal.

Mata Junghwan berbinar, dia melihat ke sekeliling rumah Haruto dengan mulut terbuka. “Wah! To! Rumah kamu bagus banget!”

Haruto terkekeh pelan, “Biasa aja, sih. Gua juga apa-apa di kamar terus. Jadi ga kerasa bagusnya.”

Junghwan dan Jeongwoo meletakkan tas di sofa. Junghwan mengeluarkan laptopnya pelan, mulai mengerjakan tugas kelompoknya. Sedangkan Jeongwoo sudah entah ke mana, berkeliling di rumah Haruto yang luas.

“Materinya udah dibagi-bagi tiap kelompok, kita kebagian—” ucapan Junghwan terhenti karena teriakan Jeongwoo.

“To! Gua mau donatnya, ya!” Teriak Jeongwoo heboh.

Haruto diam sejenak, mengingat-ingat donat mana yang Jeongwoo maksud. Ah, Haruto hampir lupa, semalam papanya membawa donat. Haruto sampai lupa karena tidak keluar kamar seharian. Dia hanya membawa air putih dari dapur, dan melakukan aktivitas di kamar seharian.

“Bawa sini aja donatnya, Wo!” Balas teriak Haruto.

Jeongwoo terlihat sangat bersemangat membawa kotak besar berisi donat itu. Sepertinya Junghwan juga bersemangat dengan donatnya.

“Jangan banyak-banyak makannya, gua dah pesen sushi.” Ucap Haruto sambil tertawa pelan.

“Kalo tau lo beli donat, mending donat aja, To.” Ucap Jeongwoo dengan mulut penuh donat.

“Ye! Lo yang minta ya kampret!” Seru Haruto sambil berancang-ancang menjitak kepala Jeongwoo.

“Kayaknya donatnya udah dari semalem, ya, To?” Tanya Junghwan yang sudah menghabiskan satu donat sendiri.

Haruto tersentak, Junghwan benar, dia tidak menyentuhnya sama sekali, dan sudah hampir semalaman donat itu di meja makan. “Iya, udah ga enak, ya?”

Junghwan gelagapan, “Engga, engga! Masih enak, sedikit keras doang.”

Jeongwoo menatap Haruto lekat. “Iya, ya. Kalo dari semalem kok ga lo makan, To?” Tanyanya heran.

Haruto mengangkat bahu. Dia hanya bosan, hampir setiap lembur papanya selalu membawa donat sebanyak itu. Yang awalnya terasa manis, lama kelamaan jadi hambar. Sama seperti suasana rumah yang tidak ada manis-manisnya.

“Iya, sih. Lo pasti sering banget dibeliin donat sama papa lo. Ayah gua ga pernah dibolehin beli ginian sama Papi Ajun. Parah banget, deh. Katanya, 'Harus hemat! Makan gituan mulu ga sehat!' Gitu.” Jelas Jeongwoo sambil mengikuti gaya papinya marah.

Junghwan tertawa puas melihat Jeongwoo. Haruto melihatnya dengan tersenyum miris.

“Kalo aku, bukan ga dibolehin tapi papa selalu minta dibikinin donat sama papi, jadi aku makannya buatan papi, deh.” Balas Junghwan sambil ikut tertawa.

Jeongwoo berdecak, “Masih mending, deh, Wan. Papi Ajun kerjaannya bikin bakwan mulu tiap hari. Padahal kali-kali gitu donat, atau rainbow cake.”

Haruto masih terus tersenyum miris sambil menyimak pembicaraan mereka. Bagaimana dengannya? Apa ada hal yang bisa ia pamerkan pada teman-temannya?

“Iya, tiap malem gua ditinggal sendirian.”

“Gua ketemu sama papi seminggu sekali, bahkan sebulan sekali.”

“Di rumah gede gini, gua cuma main game doang sampe pagi.”

Haruto menghela napas pelan. Papi dan papanya bercerai sejak dia umur tujuh tahun. Haruto tidak mengerti tentang perceraian saat itu. Dia hanya mengerti jika papinya harus bekerja jauh sampai harus jauh dari rumah. Tapi sejak saat itu, rumah terasa sangat sepi. Bahkan kakaknya, Mashiho, yang selalu menemaninya bermain jadi selalu sibuk belajar.

“To!” Panggil Jeongwoo kencang. “Et dah, dia malah bengong.”

Haruto menatap Jeongwoo galak. “Apa?!”

“Kakak lo di mana, dah? Waktu terakhir gua ke rumah lo, ada kakak lo, kan?” Tanya Jeongwoo sambil menatap Haruto.

“Kepo!” Jawab Haruto meledek.

Junghwan tertawa puas melihat Jeongwoo yang kesal.

“Trus, papa sama papi lo sibuk banget ya sampe hampir ga pernah di rumah?” Tanya dia lagi.

Haruto diam, dia tidak menjawab. Junghwan menghela napas panjang, sebenarnya dia menahan untuk tidak melontarkan pertanyaan itu. Jeongwoo memang tidak bisa diharapkan.

“Eh, udah dong ngobrolnya. Ayo kerjain!” Seru Junghwan memecang suasana yang canggung.

Cukup lama mereka berdiskusi tentang materinya. Sushi yang mereka pesan datang. Haruto kembali bersemangat, bersama teman-temannya memang membantunya melupakan masalah di rumah.

Ponsel Jeongwoo tiba-tiba berbunyi. “Halo, Pi?”

“Uwo! Coba liat sekarang udah jam berapa?! Ayo pulang! Jangan lupa waktu!”

Jeongwoo menghela napas. “Iya, Pi, iya. Uwo pulang ini.”

“Sekarang!”

“Iya, Pi. Iya. Sekarang, ini Uwo udah siap-siap.”

Junghwan juga sudah sibuk membalas pesan singkat dari papanya. Mereka akhirnya pamit pulang. Rumah Jeongwoo tidak jauh dari sini, sedangkan Junghwan sudah papanya di depan.

“Makasih, ya, To. Kapan-kapan traktir sushi lagi.”

“Iya, makasih, ya, To. Kapan-kapan main lagi, ya?”

Haruto tersenyum, mengantar mereka ke depan pintu dengan ramah.

Saat pintu tertutup, suasana kembali lenggang dan kosong. Haruto menatap sofa tempat mereka berkumpul tadi. Ini malasnya dia mengajak seseorang ke rumah, pasti setelah orang-orang pergi, rasa kesepian kembali lagi. Bahkan lebih menyesakkan dari sebelumnya.

Rasa kesepian memang bisa dibunuh dengan seseorang yang menemani. Tapi sepertinya sudah tidak berlaku untuk Haruto. Dia sudah muak dengan rasa menyenangkan sebelumnya, namun langsung mendatangkan rasa kesepian setelahnya.

Haruto duduk, menatap satu potong donat yang masih tersisa. Dia mengambilnya cepat dan melahapnya juga cepat. Seketika perutnya terasa mual.

Haruto berlari ke kamar mandi terdekat dan memuntahkan isi perutnya.

Bahkan, rasa kesepiannya sudah sampai membuatnya mual. Haruto memang memiliki semuanya. Rumah mewah, ponsel mewah, motor mewah. Tapi Haruto juga punya rasa kesepian yang mewah.

Jihoon dan Junkyu saling terdiam, tenggelam dengan pikirannya sendiri. Mereka menatap langit senja dengan hikmat, entah karena indah atau karena terlalu bahagia menghabiskan waktu berdua.

Jihoon sangat tau jika orang yang disampingnya gelisah karena malam ini. Junkyu pun tau jika Jihoon jauh lebih gelisah darinya. Namun senyum tetap tersimpul di wajah mereka masing-masing. Membiarkan semua yang akan terjadi nanti dan menghabiskan waktu yang singkat ini.

“Kyu,” panggil Jihoon membuyarkan lamunan Junkyu.

“Kenapa?” tanya Junkyu yang menampilkan senyuman manisnya. Ini adalah hal langka untuk Jihoon, Bagaimanapun juga Jihoon orang yang sangat menyebalkan untuk Junkyu. Tidak mudah melihat senyuman manis yang tidak dibuat-buat yang dilontarkan untuknya.

“Ini pasti aneh banget buat lo, kita udah hampir tujuh tahun bareng, dan ...”

“Besok tepat tujuh tahun, Ji,” potong Junkyu.

“Umm, ya, tujuh tahun kurang sehari kita udah bareng, Kyu. Semua misi dari yang ecek-ecek, sampe yang kayak gini,” Jihoon menggantungkan ucapannya, meraih tangan Junkyu.

“Berawal dari kolega yang satu frekuensi, trus jadi tempat saling tukar cerita, semua perasaan yang awalnya kesel sama sifat lo yang aneh, pelan-pelan kayak berubah, Kyu. Rasa yang gua rasain, lebih dari seorang rekan, sahabat, atau saudara,” Jihoon melepas genggamannya, meraba sesuatu di dalam saku.

“Gua tau, gua ga seromantis orang-orang di luar sana. but, will you marry me?” tanya Jihoon sambil menunjukkan cincin permata dari dalam kotak merah.

Junkyu tidak menjawab, dia hanya mengecup bibir Jihoon sekilas. Mereka berdua bertatapan, sangat lama, membiarkan masing-masing tenggelam ke dalam manik mata di hadapannya.

“Gue jawab setalah misi malam ini,” ucapnya sambil melangkah pergi, meninggalkan Jihoon yang tak bisa berkata-kata. Dia tidak ditolak, kan?

10.30 p.m

Setengah jam lagi misi terakhir mereka di negara kincir angin ini dimulai. Mereka mengenakan setelan jas rapi, bersiap masuk ke mobil yang disewakan untuk mereka.

Seharusnya, tugas mereka tidak serumit ini. Jika saja perjanjian dua hari lalu berhasil mereka taklukan, mungkin mereka sudah liburan dengan tenang di Hawaii. Hanya saja, saat perundingan selesai, dan kepala militer pihak kedua menolak untuk bekerja sama, semua rencana dirombak.

Bukan kembali ke rencana B, C, ataupun D. Mereka seharian suntuk mengatur rencana F dengan sematang mungkin sampai bisa mereka katakan sebagai rencana A. Junkyu memang pintarnya dalam hal menyusun rencana.

Mereka mengatur mikrofon tanpa kabel ke jam tangan canggih yang melekat di tangannya masing-masing. Cukup lima menit mereka menyiapkan peralatan, dan ...

Mental.

Seratus kali pun misi yang mereka terima, tetap tidak bisa menghilangkan rasa takut. Takut kehilangan satu sama lain.

“Inget janji kita ya, Kyu!” Ucap Jihoon sebelum menancapkan gas.

“Jangan ada yang mati,” jawab Junkyu sambil mengepalkan tangannya, tos yang biasa mereka lakukan sebelum menjalankan misi.

Jihoon tersenyum, dia menurunkan kepalan tangan Junkyu. Menarik leher Junkyu pelan, dan mempertemukan bibir mereka. Jihoon sedikit melumat dan mengisap bibir Junkyu lembut. Mereka tertawa canggung saat Jihoon melepas ciumannya.

“Iya, jangan ada yang mati,” ucap Jihoon sebelum akhirnya menjalankan mobil dan membelah jalanan yang lenggang.

Tak lama, mereka sampai di sebuah gedung mewah. Terdengar suara musik pesta yang glamour dan megah dari dalam.

Mereka menatap petugas yang ada di depan pintu masuk, dan saling mengangguk. Mereka berjalan dengan percaya diri meski dilengkapi senjata api dalam jasnya.

Mereka masuk ke dalam ruangan yang berisi 850 orang. Mereka berpencar ke arah yang berlawanan.

Jihoon melewati kerumunan dengan cepat, menuju pintu dengan bertulisan staff only di ujung ruangan. Belum sedetik dia membuka pintu tersebut, suara bom terdengar di ruangan utama.

Suara teriakan dan suara sirene bersahutan. Semua orang panik bukan kepalang. Berlarian ke sana kemari, menyelamatkan diri.

“Sial! Lebih cepet semenit detik!” gumam Jihoon sambil berlari masuk ke ruangan dengan cepat.

“Langsung ke titik utama, Kyu. Jangan sampe ketauan!” teriak Jihoon melalui mikrofon yang mereka berdua pasang.

Di dalam gedung yang mewah ini, terdapat permata sebesar 600 gram yang merupakan sebuah kunci dokumen rahasia. Dia harus mengambil kunci itu secara paksa, karena perjanjian apapun tidak akan berhasil untuk mendapatkannya.

Ji! seruan Junkyu terdengar di sebrang sana.

Posisinya diganti! Perkiraan kita salah, JI!

“Sial!” tepat setelah Junkyu mengatakannya, ada dua orang petugas yang menghadangnya.

Dua petugas itu meringsek maju, mengeroyok Jihoon. Jihoon dengan lihai menangkis serangan atau memberi serangan. Tidak sampai sepuluh menit, dua penjaga itu tersungkur tidak berdaya.

Ji! Gua udah tau posisi terbarunya, simpangan kedua, titik keempat! Gua tunggu di sana!

Jihoon mengangguk lalu berlari meninggalkan ruangan staff only. Bergegas ke titik terbaru. Menuju jalan pintas yang sudah dia hapal di luar kepala.

JI! Lima orang dateng dari selatan! Tiga orang dari timur! Lo bisa dateng dari barat! Cepet atau kita ga akan berhasil!

Jihoon menggeram, dia bertemu tiga petugas sekarang. Dengan bersenjata pisau, tidak mungkin harus Jihoon balas dengan senjata api. Mungkin akan banyak lagi yang datang jika suara pintol terdengar.

Jihoon berhasil menendang perut salah satu petugas yang langsung tersungkur dan menggeram kesakitan. Pisaunya terpelanting jauh. Jihoon bergegas ingin mengambil pisau yang terpelanting.

Saat Jihoon lengah, salah satu petugas dengan sigap mengambil ancang-ancang untuk menusuk Jihoon dari belakang. Dengan julukan si Burung Hantu, Jihoon dengan cepat menghindar dan melumpuhkan lawan. Dia memelintir tangan petugas dengan kuat dan menendang perutnya dengan lutut.

Dorr! terdengar suara pistol dari atas sana. Tidak salah lagi, itu pasti Junkyu. Jihoon sedikit gelisah. Sisa satu petugas yang menyadari kegelisahan Jihoon, akhirnya maju bersiap menusuk Jihoon.

Jihoon tidak cepat menghindar, perutnya tertusuk. Beruntung penjaga itu hanya menggunakan pisau lipat yang tidak menusuk kulit Jihoon terlalu dalam.

Jihoon dengan kuat menahan tangan petugas itu, menghitung kecepatan dan kekuatannya, lalu menendang leher petugas terakhir sampai kaki berototnya menjulang tinggi. Itu jurus Jihoon yang paling mematikan.

Jam tangan Jihoon berubah jadi merah, bertanda evakuasi akan dilakukan lima belas menit lagi. Jika dalam waktu lima belas menit kunci belum ada di tangan mereka, tandanya mereka gagal.

Ji! Jalan selatan udah gua alihin! Lebih cepet lewat sana. Di barat ada dua puluh tiga orang, biar gue yang tahan,

Jihoon berlari ke arah selatan, suara tembakan semakin terdengar jelas. Dia bergegas menuju ke ruangan dengan pengamanan tingkat tinggi. Ruangan kosong. Tapi Jihoon tidak akan tertipu dengan perangkap di dalamnya. Dia memasukkan cip yang ada di jam tangannya.

Lampu di dalam ruangan seketika mati. Dia lalu menendang pintu kaca sampai pecah berkeping-keping. Bergegas ke kotak kaca dan juga memecahkannya. Kali ini sedikit lebih hati-hati—dari menendang petugas atau pintu kaca.

Jihoon ber-yes pelan saat sudah menggapai permata dari kotaknya.

Suara helikopter terdengar di atas sana. Tim evakuasi telah datang. Suara-suara kaki yang melangkah dengan gerakan berpola terdengar. Bersamaan dengan suara tembakan yang semakin banyak.

Red team telah tiba! Evakuasi akan berakhir lima menit lagi! Segera menuju atap! terdengar suara kepala tim evakuasi dari mikrofon Jihoon. Dia memberi permata yang ada di tangannya kepada tim evakuasi.

Red code! Red code! Evakuasi korban! Cepat! Sial! Itu salah satu intel! Cepat!

Jihoon terkejut mendengar ucapan kepala tim evakuasi dari mikrofonnya. Dia semakin tidak percaya saat melihat siapa yang digotong dengan darah yang bercucuran.

“Junkyu—!” Jihoon teriak tertahan.

Junkyu dan Jihoon ditarik ke helikopter evakuasi. Junkyu terkulai lemas, begitu juga Jihoon yang tak kuasa melihat Junkyu. Rasa sakit di hatinya kini mengalahkan rasa sakit luka tusuknya.

“Kyu! Inget janji kita, Kyu!” Jihoon menggenggam tangan Junkyu erat.

“Gua mau jawab sekarang, Ji.” Ucap Junkyu pelan. Jihoon menggeleng kuat, menahan air matanya.

“Gua bersedia, Ji. Gua mau. Kita harus liburan di Hawai dua bulan tanpa misi,”

Jihoon sudah tak kuat menahan air matanya.

“Ji, please, kiss me. I promise, that's not for the last time,” ucap Junkyu sambil memejamkan matanya.

Jihoon mencium bibir Junkyu pelan. Mulai melumat dan di balas Junkyu. Cukup lama mereka berciuman, sampai Junkyu tidak lagi membalas ciumannya. Junkyu sudah tidak sadarkan diri.

Jihoon menangis sejadi-jadinya. Tidak berhenti mencium kening Junkyu.

“Lu udah janji, Kyu. Lu harus hidup! Lu ga boleh egois ninggalin gua!” Ucap Jihoon sambil tersedu.

Junkyu memang tidak akan pernah pergi. Junkyu selamanya akan berada di kenangan Jihoon. Selamanya. Bahkan pada cincin yang belum sama sekali dia sentuh.


Desiran angin menghempas anak rambut Jihoon. Matanya memicing menatap matahari yang tenggelam di ujung horizon laut. Suara ombak selalu mengingatkannya pada seseorang yang tepat tiga bulan yang lalu dengan egois meninggalkannya.

Jihoon mendudukkan dirinya di pasir putih yang halus. Memejamkan matanya, merasakan terpaan angin sore Hawaii. Ya, dia mendapatkan cuti dan liburan ke Hawaii persis seperti yang Junkyu inginkan.

Jihoon menatap kotak merah yang sejak tadi ia genggam. Cincin untuk Junkyu.

“Ini kan yang lo mau, Kyu?” ucapnya bermonolog.

“Lo jahat banget deh, asli. Lo ngebiarin gua ke Hawaii sendirian. Padahal gua maunya ke Jepang! Iya lah gua tetep ke Hawaii, ini kan kemauan lo!” Sekarang dia justru menggerutu.

Jihoon terdiam lagi. Mendongak, tidak menginginkan air mata lagi.

“Kyu,”

“Lo dari dulu emang selalu egois, ya. Dulu, pas kita masih junior, lo pergi main sama Yoshi tanpa ajak gua, katanya gua kalo makan abisin jatah makan lo juga.”

“Padahal gua tau lo mau berduaan sama Yoshi,”

Jihoon menarik napas dalam, “Sekarang. Lo pergi lagi. Jauh banget lagi. Lama banget pula. Sendirian juga, tanpa gua atau Yoshi yang nemenin lo. Malah ninggalin junior-junior lo yang sama ga becusnya kayak lo!”

“Yoshi juga mutusin buat berenti, dia mau jadi orang yang nyuruh-nyuruh gua, Kyu. Atasan kita, Kyu. Jahat banget kan. Semuanya ninggalin gua,” Jihoon tertawa miris.

Jihoon menghela napas berat, “Gimana, Kyu? Hawaii sesuai ekspektasi lo? Seneng ga ke Hawaii?”

Jihoon menggeram, “Kalo orang ngomong tuh dijawab, Kyu! Lo kenapa sih suka banget bikin gua kesel, hah?!” ucapnya sambil mengacak-acak rambutnya kesal.

“Lo udah janji, Kyu! Lo udah janji buat ga mati! Lo udah janji itu bukan ciuman terakhir kita!” teriak Jihoon sambil menenggelamkan wajahnya ke lututnya.

Bahu Jihoon bergetar. Dia menangis lagi. Menangisi seseorang yang tidak akan mungkin datang lagi.

Jihoon menghapus air matanya, menarik napas dalam-dalam. Dia meletakkan kotak merah di pasir.

Kotak merah itu sudah basah terkena ombak. Jihoon hanya memandangi kotak merah itu lekat, sampai ombak yang semula kecil, berubah menjadi ombak yang cukup besar yang mampu menghanyutkan kotak itu.

Jihoon bangun dari duduknya, menatap ombak sebentar. “Akhirnya, semuanya bakalan sampai pada ucapan selamat tinggal, Kyu. Tapi gua ga akan bilang itu. Lo bilang ga akan mati. Lo bilang gua terima gua.”

“Gua bakalan nunggu lo, Kyu. Gua bakalan nunggu lo. Di kehidupan selanjutnya pun bakalan gua tunggu, Kyu.”

Jihoon balik badan, melangkah meninggalkan kotak merah yang sudah tidak diketahui lagi keberadaannya.

Bukan tidak ikhlas. Bukan juga membenci takdir. Jihoon hanya tidak ingin mengatakan selamat tinggal.

“Papa! Papa! Bangun, ayo! Nanti kita kesiangan!” ucap Doy sambil mengguncangkan badan Jihoon.

5.23 a.m

Jihoon mendesah kasar. Dia mengusap wajahnya pelan.

“Ayah! Papa udah bangun, tuh! Ayo Ayah mandi!” teriak Doy yang membuat Jihoon tertawa pelan.

“Emang dasar anak, kalo uda soal jalan-jalan paling pinter,” gumam Jihoon pelan sambil turun dari kasur. Mencuci muka dan sikat gigi.

Jihoon turun dari tangga, melihat anak bungsunya berlarian kesana kemari karena kelewat senang. Jihoon tersenyum simpul, mereka memang tidak biasa pergi full team seperti ini. Dia selalu sibuk bekerja atau ke luar negeri.

“Ayah! Dimana baju Doy yang baru itu? Ko ga ada di lemari Doy?” tanya Doy berteriak lagi dari kamarnya.

“Ada, Doy! Cari lagi di lemari!” jawab Hyunsuk sambil setengah berteriak agar suaranya terdengar.

Jihoon menundukkan wajahnya, minta dicium. Hyunsuk menoleh, menolak mencium. “Belom sikat gigi, ah! Sana!” ucap Hyunsuk sedikit sebal. “Udah, ih! Jangan suujon mulu dong sama suami,” balas Jihoon sambil cemberut.

“Engga ada. Yah! Suer! Doy ga boong!” teriak Doy lagi dari dalam kamar.

“Ada ko—”

Jihoon memotong ucapan Hyunsuk dengan mengecup pucuk kepala Hyunsuk cepat. Dia mengambil pisau yang ada di tangan Hyunsuk, “Udah, sana, samperin dulu Doynya, aku yang lanjutin,” ucap Jihoon sambil mengambil alih pekerjaan.

Tentu saja muka Hyunsuk berubah jadi merah seperti tomat, namun segera hilang karena Doy yang kembali berteriak.

Sejak kemarin, setelah mereka memutuskan untuk pergi piknik keluarga, Doy jadi sedikit cerewet. Mereka semua tahu, karena dia senang.

Hyunsuk mencari di lemari Doy dengan teliti. “Tuh kan, Yah. Ga ada,” ucap Doy sedikit sedih. Baju itu baru saja selesai di cuci setelah dua hari lalu sampai. Pasalnya, Doy sudah menunggu PO baju itu selama dua minggu, dia berniat memakainya saat acara keluarga seperti sekarang ini.

Hyunsuk mengeluarkan salah satu baju dari laci ketiga milik Doy, “Ini ada. Makanya, Sayang. Cari dulu,” ucap Hyunsuk lembut.

Doy cengengesan, “Hehe, Ayah kan emang keren. Barang yang ilang pasti kalo Ayah yang nyari langsung ketemu.”

“Ayah!” Panggil Jae dari gudang atas.

“Kenapa lagi ini yang satu,” gumam Hyunsuk yang baru saja keluar dari kamar Doy.

“Tiker yang lama ga ada di gudang!” ucap Jae sedikit kencang.

“Yang bener ga ada?” Tanya Hyunsuk ketika sudah sampai di ambang pintu. Hyunsuk mencari tiker cukup lama, kali ini memang benar ga ada.

Hampir dua puluh menit Hyunsuk mengaduk-aduk seisi gudang, mencari tiker. Jihoon kembali meneriaki Hyunsuk.

“Yang! Sayang! Kamu dimana sih?!” Teriak Jihoon dari kamar mereka.

Hyunsuk bergegas menghampiri suaminya terlebih dahulu. Ternyata Jihoon sedang ada di kamar mandi. “Kenapa lagi?!” tanya Hyunsuk sedikit kesal.

Kepala Jihoon keluar dari celah pintu yang terbuka. “Tolong ambilin anduk dong, Sayang.” ucap Jihoon sambil menunjukkan senyuman paling manisnya agar Hyunsuk tidak kesal. Tapi cara itu tidak berhasil sedikit pun.

“Lagian! Kamu gimana, sih?! Masa mandi lupa bawa anduk!” ucap Hyunsuk sambil berlalu pergi, tidak ingin mengambilkan Jihoon handuk. Dia masih kesal karena tiker belum ketemu.

Jihoon cemberut.

“Ih, Yang! Masa kamu tega aku ga keringin badan?”

“Biarin!”

“Ih, yaudah! Aku ambil sendiri aja anduknya!” ucap Jihoon sambil membuka pintu lebar-lebar.

Hyunsuk berseru kaget, “Eh!! Sana, ih! Kamu aneh-aneh aja, ah! Yaudah aku ambil bentar!”

Hyunsuk kembali lagi dengan membawa handuk. Jihoon mengaitkan handuknya untuk menutupi bagian bawah tubuhnya.

“Kenapa sih bete gitu?” tanya Jihoon setelah keluar dari kamar mandi.

“Tikernya belum ketemu,” jawab Hyunsuk sambil berlalu meninggalkan Jihoon.

“Loh? Tiker yang ada di gudang?” Tanya Jihoon yang membuat Hyunsuk akhirnya balik kanan, kembali menatap Jihoon.

“Iya! Kamu tau dimana?” Tanya Hyunsuk penuh pengharapan.

“Aku buang.” ucap Jihoon sambil memakai kaos putih polos.

“Loh?! Kok dibuang?! Trus kita pake apa dong?! Kamu mah aneh, ih! Sebel banget deh aku! Udah deh, kita ga jadi aja,” Hyunsuk menggerutu, mukanya semakin merah padam karena marah.

Ada seruan menolak dari luar kamar, Doy sibuk berteriak jangan.

Jihoon justru tertawa puas melihat Hyunsuk berseru kesal, “Aduh! Gemes banget sayangnya aku. Yang lama tuh aku buang, soalnya udah jelek gitu. Aku udah beli yang baru. Tuh, ada di mobil.” ucap Jihoon sambil mencubit pipi Hyunsuk gemas.


“Udah siap semua? Ga ada yang ketinggalan, kan?” Tanya Jihoon di meja kemudi. Semua mengangguk, mengiyakan.

“Ga mau Jae aja yang nyetir, Pa?” Tanya Jae saat Jihoon memasang sit belt.

“Ga usah, kamu liat pemandangan aja noh, dari kemaren kan kerjaan kamu liat buku mulu. Papa udah lama juga ga nyetirin ayah kamu,” ucap Jihoon sambil tersenyum genit pada Hyunsuk.

Mereka berangkat pukul sembilan lewat dua puluh tiga menit. Cukup pagi, membuat jalanan lenggang, lancar jaya.

Perjalanan cukup jauh. Hyunsuk, Doy, dan Jae sibuk menatap jalanan yang hijau dan asri, sangat jauh dari hiruk pikuk kota. Jihoon, sebagai pengemudi, sibuk menatap jalanan yang lenggang. Sesekali dia menatap Hyunsuk dan kedua anaknya melalui kaca. Dia tersenyum simpul, bahagia memang sederhana.

Jihoon menggapai tangan Hyunsuk. “Kenapa?” Tanya Hyunsuk pelan.

Jihoon menggeleng, “Gapapa, pegangin aja tangannya, dari pada nganggur,” dari kursi belakang terdengar dehaman serta seruan kesal karena tingkah papanya yang bucin itu.

“Ga usah sirik deh yang abis putus.” ucap Jihoon sambil menatap Jae jahil.

“Ih? Beneran? Putus sama Ka Asa? Sriusan? Yang couple goals banget itu?” tanya Doy tidak percaya.

“Papa, ih!” Jae manyun, kesal pada papanya.

Jihoon tertawa renyah, menatap Hyunsuk sekilas yang juga menatapnya lekat. Pandangan Jihoon kembali ke arah jalanan lenggang, lantas mencium punggung tangan Hyunsuk yang ia genggam tanpa menoleh.

cup

“Aih! Dunia serasa milik berdua!” ucap Jae sambil melipat tangannya. “Udah tua, masih aja bucin!” ucap Jae lagi yang dibalas tawa puas oleh Jihoon.

“Ji, ih! Malu, ah! Ada, Doy!” seru Hyunsuk sambil melepas genggamannya.

“Gapapa, Yah. Aku juga sering gitu kok,” ucap Doy dengan santainya. Hyunsuk ber-hah kaget.

“Eh? Aku sering gitu ke pacar aku, Yah.” Doy memperjelas ucapannya. Jae dan Jihoon menutup mulutnya rapat-rapat, tidak ingin ikut dalam obrolan.

“Maksud kamu apa pacar?” tanya Hyunsuk lebih kaget dari tadi.

“Eh? ya, pacar, Yah. Kata papa, gapapa pacaran, kan aku udah SMA. Kak Jae juga bantuin aku PDKT, kok. Lancar jaya pokoknya, Yah.” jelas Doy dengan polosnya. Jihoon dan Jae beraduh pelan.

“Ji?!” Hyunsuk kini menatap Jihoon tajam. “Ya, gapapa lah, Suk. Kan dulu juga kita pacaran pas SMA.” ucap Jihoon sambil sesekali melirik ke arah jalan.

Hyunsuk langsung bad mood. Sejak pagi mood-nya naik turun, ga tau deh, mungkin lagi PMS. Ujung-ujungnya, Jihoon lagi yang kena.


Mereka sudah sampai di taman kota. Ada danau kecil juga di sana. Ada banyak jenis perahu yang mengapung di sana, tentu saja untuk di sewa. Perahu dayung lah, perahu goes yang bentuknya kayak bebek lah, perahu yang bentuknya bulet(?) kayak bola-bola hamster juga ada. Di sana juga ada sewa sepeda yang sendiri, berdua, bertiga, berempat. Pokoknya, benar-benar seperti suanan liburan yang sangat Jihoon rindukan.

Mereka memilih tempat teduh di bawah pohon rindang. Doy dan Jae sudah menghilang entah kemana. Sepuluh menit kemudian, mereka datang membawa gelembung balon.

Doy lari-larian ke sana kemari. Memang sedikit ramai pengunjung, namun tamannya sangat luas, jadi mereka puas berlarian.

“Ayo balapan, Bang! Yang kalah minta nomer mba-mba itu!” ucap Doy yang disetujui Jae.

Jihoon tiduran, menjadikan paha Hyunsuk sebagai bantalnya. Matanya yang semula tertutup, kini membuka menatap Hyunsuk yang sedang sibuk menata makan siang mereka.

Jihoon memposisikan tangannya di leher Hyunsuk. Hyunsuk tidak menoleh ke arahnya, dia justru menaikkan alisnya sambil berdeham. Jihoon dengan cepat menarik leher Hyunsuk, dan mempertemukan kedua bibir mereka.

Hyunsuk berseru kaget, sedangkan Jihoon, tentu saja dengan wajah tidak berdosa dia tertawa puas. “Ih! Kamu apaan sih?! Ga malu apa?!” gerutu Hyunsuk.

Jihoon bangun dari tidurnya, duduk di samping Hyunsuk yang masih menatapnya kesal. Jihoon kembali mengecup bibir Hyunsuk cepat. Hyunsuk ingin kembali protes sambil mendorong Jihoon menjauh. Namun Jihoon justru kembali mengecup bibir Hyunsuk, kali ini cukup lama.

“Kamu! Bener-bener, ya! Ga malu apa?! Ih! Ini tempat umum Park Jihoon Gelo!” gerutu Hyunsuk yang bangun dari duduknya berpindah tempat menyebrangi Jihoon, tidak ingin kejadian tadi terulang lagi.

“Ga ada juga yang ngeliatin Park Hyunsuk manis,” jawab Jihoon sambil tertawa puas.

“AYAHHH!! BANG JAENYA CURANG!” teriak Doy dari kejauhan. “Masa kalah tapi ga mau ngikutin hukumannya!” ucap Doy lagi saat sudah berada di hadapan ayahnya.

“Orang kamu yang curang! Masa lari duluan! Curang!” ucap Jae lagi sambil duduk di sebelah Jihoon.

“Udah, sini makan dulu. Nih buatan papa,” ucap Hyunsuk sambil menarik Doy ke sampingnya.

Semua wahana mungkin sudah mereka coba. Bahkan Doy memaksa Jihoon dan Hyunsuk untuk ikut main bola-bola hamster. Enggalah! Ga mungkin mereka mau dan dibolehin juga naik itu. Doy cemberut, akhirnya memaksa untuk naik perahu goes.

Hari menjelang sore. Matahari turun ke garis cakrawala. Awan membiaskan cahaya matahari sehingga langit berubah menjadi jingga.

Doy menatap langit yang indah sambil tidur di kaki ayahnya. Jihoon yang berada di tengah, menjadi senderan untuk Hyunsuk dan anak silungnya.

“Makasih ya,” ucap Jihoon pelan, semua orang kebingungan.

Jihoon tertawa pelan, “Duh, jadi lebay gini Papa. Makasih aja, kita jarang banget kayak gini.” Semua mengangguk pelan.

“Iya, kita udah lama banget ga kayak gini, sibuk sama sekolah atau kerjaan masing-masing. Sama-sama, Pa,” jawab Jae.

Mereka diam sejenak. Jae akhirnya membuka suara, “Pa, Yah.” Jihoon dan Hyunsuk berdeham bersamaan.

“Aku dapet student exchange,” lanjut Jae dengan suara yang lemas.

Jihoon terkejut, “Loh? Kenapa kamu sedih? Bagus dong?!”

Jae ikut terkejut, “Loh? Emang dibolehin?” Tanya Jae heran.

Kini Hyunsuk yang menjawab, “Ya boleh lah!!”

Doy bangun dari tidurnya, bersorak kegirangan. “Wah!! Bang Jae keren! Yeay! Doy jalan-jalan keluar negri!”

Jae tertawa mendengar seruan Doy. Mereka berempat saling berpelukan. Jihoon dan Hyunsuk tidak bisa menahan rasa bangganya pada kedua anaknya yang pintar, baik, dan berprestasi.

Jihoon menatap Hyunsuk, Doy, dan Jae bergantian. Tersenyum melihat ketiga orang yang paling berharga untuknya saling tertawa, membagi kebahagiaan masing-masing.

Rasa syukur selalu merebak di dalam hatinya. Bersyukur ada orang-orang yang dapat ia jadikan rumah, sandaran, dan support system. Bukan. Mereka bukan sekedar itu. Mereka adalah segalanya untuk Jihoon. Mereka adalah keluarga.


Writer note: Syukuri apa yang kalian punya, ya. Jangan bandingkan dengan apa yang orang lain punya. Kita ga akan bisa mencapai kebahagiaan kalo membandingkan terus dengan apa yang orang lain punya.

Sehat-sehat terus kalian dan keluarga. Bahagia selalu. Dan semangat terus pokonyaa!! Makasih!

—sea.

Jihoon keluar dari kamar, berpapasan dengan Hyunsuk yang juga muncul dari ujung lorong. Hyunsuk fokus menatap buku yang ada di tangannya.

Jihoon memperhatikan Hyunsuk sambil melipat tangan di dada. Hyunsuk berjalan sambil mulutnya komat-kamit membaca yang ada di buku.

Jarak mereka samakin dekat, Hyunsuk yang tidak menyadarai keberadaan Jihoon terus berjalan maju. Begitupun Jihoon yang tidak berpindah meskipun menyadari keberadaan Hyunsuk.

“Aaaa!” Hyunsuk berteriak kaget. Hyunsuk mendongak menatap Jihoon yang lebih tinggi darinya.

Jihoon tersenyum, ga ngerti senyum gemes atau senyum ngetawain, pokoknya senyum ganteng deh. Jihoon sedikit menunduk menghilangkan jarak di antara mereka. “Makanya, jalan liat depan, bukan liat buku.”

Hyunsuk samakin terkejut melihat tingkah Jihoon. Hah?! Itu anak kenapa? Kok tiba-tiba soft gitu? gerutu Hyunsuk dalam hati. Dia masih menatap punggung Jihoon yang berjalan membelakanginya.

Eh?! Ini kenapa jantung gua jedug-jedug? Eh?! Iya dong! Tandanya idup! Ya ampun, ga salah ko jedug-jedug,

Hyunsuk menatap Jihoon yang menggunakan kaos putih oblong yang sedang minum air dingin dari kulkas. Dia bergegas menoleh ke arah lain saat Jihoon juga menoleh ke arahnya.

“Emang ga pusing belajar terus?” Hyunsuk hampir tersedak mendengar Jihoon bertanya. Hyunsuk menggeleng cepat. Jihoon balik kanan ingin meninggalkan Hyunsuk.

“Iya! Pusing!” Teriak Hyunsuk tiba-tiba. Jihoon terkejut, kembali balik badan menatap Hyunsuk bingung.

Hyunsuk oon ngomong apa sih oon?!

“Trus?” Tanya Jihoon sedikit ketus. Hyunsuk menunduk, terus mengumpat pada diri sendiri. “Mau gua ajak jalan-jalan?” Lanjut Jihoon lagi.

Udah gila sekarang Hyunsuk. Udah bukan jedug-jedug lagi jantungnya. Mau meledak. Ga ngerti alesannya apa. Yang pasti dia seneng, seneng banget akhirnya Jihoon sedikit bersikap hangat. Hyunsuk mengangguk cepat. Tersenyum lebar sampai matanya menyipit hampir hilang.

“Yaudah, siap-siap, lima belas menit, gua tunggu di depan,” ucap Jihoon sambil berlalu.


Langit malam cerah. Bulan purnama bersinar terang sekali di atas. Hyunsuk tersenyum sangat lebar. Pipinya mungkin kebas karena tersenyum.

Jika boleh jujur, Hyunsuk saat ini benar-benar senang tidak tertolong. Dia ingin teriak pada bintang, pada bulan, atau pada daun yang bergoyang. Ini kali pertamanya dia naik motor bersama Jihoon.

Hyunsuk ingat sekali. Dulu, saat hari pertama Hyunsuk pindah ke rumah Jihoon, dia pertama kali dibonceng naik sepeda. Jihoon dengan dingin mengayuh sepeda sangat cepat, sampai mereka terjatuh. Lutut Hyunsuk luka, tapi tangan Jihoon lebih banyak mengeluarkan darah.

Jihoon tidak menangis sama sekali, dia hanya mengerutkan alis saat Papa membentaknya. Sejak saat itu, Jihoon selalu menatap Hyunsuk tajam—lebih tajam dari tatapan pertama kali mereka bertemu.

Motor Jihoon melambat. Membuyarkan lamunan Hyunsuk. Mereka sampai di depan toko kue beras langganan Jihoon. Pemiliknya adalah ibu tua yang hidup seorang diri.

“Eh? Jihoon? Malem-malem gini masih mau nyemil?” Tanya pemilik toko ramah sambil tangannya sibuk mengadon.

“Iya, Nek. Gabut aja di rumah, mau nyari udara segar sambil makan kue Nenek,” ucap Jihoon dengan sangat ramah dan lembut. Senyuman manis sempurna tercipta di wajahnya. Ini benar-benar pemandangan yang langka untuk Hyunsuk.

“Sebentar, ya, Ji. Nenek siapin dulu,” ucap Nenek sambil bangkit dengan susah payah.

Jihoon langsung menahan gerakan Nenek, “Ga usah, Nek. Jihoon aja yang siapin,” ucap Jihoon sambil menuju kumpulan kue-kue beras.

Hyunsuk merasa sangat hangat di hatinya. Jihoon, ternyata sangat hangat. Dia seperti melihat sisi lain Jihoon yang tersembunyi.

Hyunsuk tidak bergeming berdiri melihat Jihoon yang demi Tuhan dia tidak bisa berbohong jika Jihoon benar-benar tampan dengan senyumnya itu.

“Eh, Ji. Itu Hyunsuk? Yang pernah kamu ceritain itu?” Tanya Nenek yang menyadarkan Hyunsuk.

“Eh, iya. Dia Hyunsuk, Nek. Kakak ...,” ucapan Jihoon menggantung. “Aku kakak tirinya Jihoon, Nek.” Ucap Hyunsuk sambil mencium tangan nenek.

Nenek mengusap lembut pucuk kepala Jihoon. Menatap Hyunsuk dan Jihoon bergantian. Tersenyum manis. “Kalian harus akur, ya. Papa sama mama pasti seneng, termasuk Kak Jimin.” Jihoon tersenyum, mengangguk pelan.

Selama di perjalan pulang, Hyunsuk semakin tidak bergeming. Dia terus menatap Jihoon dari spion motor. Wajahnya tertutupi helm full facenya. Tapi wajah tersenyumnya tadi, masih teringat jelas di kepala Hyunsuk.

Hyunsuk sebenarnya sangat mengerti kenapa dia bersikap dingin di rumah. Hyunsuk hanya terkejut. Melihat Jihoon yang begitu manis dengan nenek pemilik toko kue beras itu. Bahkan dengan kakaknya atau papanya sendiri dia tidak pernah semanis dan sehangat itu.

Oke, dua hari lagi dia harus UAS. Tapi sekarang dia justru hanya menatap kue beras sambil overthinking. Bahkan sampe Kak Jimin datang mengambil beberapa kue beras dan bertanya, Hyunsuk hanya membalas dengan anggukan.

Oknum Park Jihoon emang selalu berhasil bikin overthinking malem-malem. Setuju apa setuju?

Jaehyuk menunduk saat Pak Jhonny dengan lantang memberikannya nasihat.

“Jaehyuk! Kamu, tuh! Hampir setiap hari terlambat. Liat, nih!” Pak Jhonny menunjuk buku pelanggaran dan Jaehyuk menatap dengan takut-takut. “Udah ga bisa bapa tulis lagi pelanggaran kamu sangking seringnya telat!” ucap Pak Jhonny lagi.

Dari kejauhan terdengar sayup-sayup suara lagu Indonesia Raya dari lapangan sekolah. Total yang terlambat di hari Senin yang bertepatan dengan Ulangan Akhir Semester ada 14 orang. Sekarang genap 15 orang karena ada seseorang siswa yang baru saja masuk ke halaman sekolah dengan tergesa-gesa.

Pak Jhonny menoleh ke arah siswa itu. Menggeleng-geleng, “Kamu yang baru datang. Maju! Berdiri di samping Jaehyuk!” titah Pak Jhonny.

Pak Jhonny membuka kembali buku pelanggaran, “Siapa nama kamu?” tanya Pak Jhonny.

“Asa—”

“Oh! Kamu yang langganan telat juga, ya? Astaga! Ini kotaknya udah mau penuh!” Potong Pak Jhonny.

“Kalian semua, segera baris di lapangan. Jaehyuk sama Asahi tetep di sini.” seru Pak Jhonny lagi pada barisan yang ada di belakang Jaehyuk dan Asahi.

Tiga belas siswa berlarian menuju lapangan. Jaehyuk dan Asahi mendesah pelan.

“Bapak cuma mau bilang sama kalian. Bapak dulu juga pernah terlambat. Ga ada angkutan umum, rantai sepeda lepas, dan lainnya. Tapi, dengan terlambat hampir setiap hari ga bisa ditoleransi, Jae, Sa,” ucap Pak Jhonny sedikit lebih lembut dari sebelumnya.

“Bapak tanya, alasan kalian terlambat apa?” tanya Pak Jhonny sambil menatap keduanya.

“Saya bangun kesiangan, Pak. Maaf,” ucap Asahi pelan.

Pak Jhonny menutup mata sambil memijat kepalanya ringan. “Yaudah, kalian baris! Tapi bapak mau ini terakhir kalinya kalian terlambat. Hukuman kalian, harus berangkat bareng dan sampai di sekolah lima belas menit sebelum bel!”

Jaehyuk dan Asahi mendongak tak mengerti, “Eh? Gimana, Pak?”

“Kamu, Jaehyuk, jemput Asahi setiap pagi, rumah dia ada di belakang sekolah. Jadi kamu harus berangkat lebih pagi buat jemput Asahi. Dan Asahi harus bangun lebi pagi juga, biar Jaehyuk ga nungguin kamu yang kesiangan, paham kan?” Jelas Pak Jhonny lagi.

Jaehyuk dan Asahi saling bertatapan. Ya ampun, cobaan apa lagi ini?! gerutu Asahi dalam hati.

Apa bentar lagi gue mau dapet pacar? Ya ampun! Can, Jen, Ji, bentar lagi gue nyusul kalian, ucap Jaehyuk dalam hati sambil tersenyum genit ke arah Asahi.