Malam itu sebenarnya sama seperti malam lainnya. Mereka berkumpul di apart Hyunsuk yang nyaman bertiga. Dan sama seperti malam biasanya, Junkyu pulang lebih dulu dan hanya menyisakan Hyunsuk yang kadang sulit mengondisikan jantungnya ketika berdua dengan Jihoon. Mereka duduk di sofa ruang tamu. Jihoon dengan santai merebahkan kepalanya di atas pangkuan Hyunsuk.
“Suk, minta tangan lo dong.” Hyunsuk yang tengah mengatur napas, semakin terkejut karena Jihoon menarik tangannya dan meletakannya di atas rambut lembut Jihoon.
Jihoon mendongak dan menatap Hyunsuk dalam, bibirnya mengerucut. “Mau dielus-elus.” Permintaan itu membut tangan Hyunsuk bergerak dengan sendirinya. Bahkan satu tangannya yang lain juga bergerak untuk memeluk perut berotot Jihoon.
Mereka tengah menghabiskan series zombie yang mereka tonton sebelumnya. Tapi kini Hyunsuk bahkan tidak benar-benar mengerti apa yang sedang ia lihat di layar tv. Fokusnya habis oleh rambut halus Jihoon dan tangannya yang juga sedang diusap lembut oleh Jihoon.
“Suk,”
“Hm?”
Jihoon tidak mengatakan apapun lagi. Dia membiarkan Hyunsuk ribut dengan kepala dan perasaannya sendiri, menebak-nebak apa yang ingin ia katakan.
“Bikin mie, yuk?”
Hyunsuk menghela napas panjang setelah mendengar ajakan Jihoon. Entah lega, entah kecewa. Dia pikir setelah beberapa bulan ini tanpa kabar seseorang yang Jihoon pacari atau tiduri, Hyunsuk masih punya kesempatan.
Hyunsuk bergegas berdiri ketika Jihoon bangun dari tidurnya, dan cepat-cepat menutupi wajah kecewanya. Jihoon sepertinya tidak mengerti dengan tingkah Hyunsuk belakangan ini. Jihoon sepertinya tidak akan pernah mengerti bagaimana perasaan Hyunsuk.
“Ga jadi deh.” Ucap Jihoon yang melangkah mendekat. Dia menarik tangan Hyunsuk yang tengah mengambil dua bungkus mie instan dari dalam rak di atas kompornya. Dia membalikkan tubuh Hyunsuk agar menatapnya.
“Kayaknya gue mau cari kehangatan lain malem ini.” Lanjut Jihoon sebelum memeluk Hyunsuk erat. Dia menghirup seluruh aroma tubuh Hyunsuk yang menegang.
Entah apa yang Hyunsuk rasakan malam ini. Pelukan Jihoon rasanya selalu sama setiap hari, tapi ada yang berbeda kali ini. Sepertinya ... perasaan Hyunsuk yang berbeda. Pelukan Jihoon sangat nyaman, tubuhnya yang hangat membuatnya tidak ingin merasakan dinginnya malam. Aroma tubuh Jihoon selalu sama, membuatnya mabuk kepayang dan melupakan hal menyedihkan di dunia.
Namun, malam ini, hangat tubuh dan aroma memabukkan Jihoon tidak bisa membuatnya merasakan hal yang sama. Hyunsuk memejamkan mata, menutupi matanya yang memerah. Hatinya justru kesakitan merasakan hal yang selama ini membuatnya nyaman. Dia akhirnya melepas pelukan Jihoon kasar dan menggeleng cepat.
Hyunsuk bisa merasakan tatapan sedih dari Jihoon. “Kenapa?” Suaranya juga terdengar sedih.
Kalo lo peluk gue kayak gitu terus, hati gue ga akan sanggup, Ji. Batinnya. Hyunsuk hanya bisa menghela napas pelan, kenyataannya tidak bisa mengatakannya langsung.
Hyunsuk akhirnya mendongak karena Jihoon menangkup sebelah pipinya dengan tangannya yang dingin. “Lo ... marah sama gue?”
Hyunsuk tidak sanggup menjawabnya, bahkan untuk menggeleng saja rasanya berat.
“Suk, lo kenap—” Hyunsuk mengecup bibir Jihoon cepat, membuat ucapan Jihoon terputus.
Hyunsuk bisa merasakan langkah mundur Jihoon. Tangannya yang memeluk Hyunsuk erat juga hampir terlepas. Hyunsuk jadi kembali menunduk dalam, memaki diri sendiri atas apa yang telah dia lakukan. “Kalo lo mau cari kehangatan lain, kayaknya buat malem ini ga cukup kalo cuma peluk.” Cicit Hyunsuk yang masih menunduk.
“Suk, gue ga mau bikin lo sakit.” Jihoon mengangkat dagu Hyunsuk agar mata mereka kembali bertemu.
Hyunsuk merasakan matanya yang semakin panas. Pandangannya sudah pudar karena embun air mata yang terus memenuhi pelupuk matanya. “Gue udah sakit, Ji.”
“Suk, gue ga—”
“Ga!” Hyunsuk berteriak sambil terisak. “Ga tau sejak kapan akhirnya gue ga bisa liat lo sama orang lain, Ji. Awalnya gue pikir bareng lo terus, bisa dipeluk lo terus, bisa denger ketawa lo terus, itu udah cukup. Tapi ga tau sejak kapan akhirnya gue ga bisa kayak gini terus. Gue mau egois. Gue mau—”
Hyunsuk berhenti, isakannya membuatnya sulit berbicara. Dia akhirnya mendongak, menatap Jihoon dengan mata sembab dan hidung merah. “Gue mau milikin lo.”
Wajah Jihoon semakin sedih. Dia mengusap air mata Hyunsuk yang membasahi pipi dengan tangan bergetar. Setelahnya dia tidak mengatakan apapun, dan kembali menghapus jarak antara mereka. Bibir mereka kembali menyatu dengan kecupan hangat yang terus terdengar sampai langit-langit ruangan.
Hyunsuk ikut memejamkan mata seperti yang Jihoon lakukan, membalas kecupannya, dan membiarkan hatinya kembali jatuh pada seseorang yang tidak seharusnya ia cintai lebih dari ini. Tanpa memikirkan apa yang mungkin akan dia rasakan besok dan seterusnya, Hyunsuk memeluk leher Jihoon dan menelisik rambut halusnya dengan jemari, seperti mengatakan dia sangat suka ciuman ini.
Entah bagaimana caranya, sekarang Hyunsuk sudah berada di bawah Jihoon yang bertelanjang dada dan mengukungnya dengan kedua tangan kekar seperti di dalam jeruji besi. Napas Hyunsuk tersengal. Jihoon sangat pandai menggunakan bibirnya untuk membuat Hyunsuk kewalahan.
Tangan kanan Jihoon bergerak ke bawah, meremas pelan pinggul Hyunsuk yang tersentak karena tangan dingin Jihoon mengagetkannya. Jihoon akhirnya melepas ciuman mereka, Hyunsuk meraup oksigen dengan rakus dan bernapas dengan nyaman.
“Lo pinter juga ciumannya.” Jihoon tertawa renyah. Entah meledek, entah membanggakan. Yang pasti Hyunsuk membalasnya dengan tatapan tajam.
“Lo ga tau aja, gue hampir mati kehabisan napas.” Cibir Hyunsuk, melebih-lebihkan.
Jihoon justru tertawa semakin puas. Setelahnya, tidak ada tawa lagi. Tatapannya menenggelamkan Hyunsuk yang memang sudah lama tenggelam ke dalam mata itu. Hyunsuk lagi-lagi dikagetkan dengan kulitnya yang diusap halus dengan tangan dingin Jihoon. Tangan kekar itu dengan cepat menanggalkan kaos putih oversize Hyunsuk yang membuat wajahnya langsung memerah.
Hyunsuk menutup wajahnya dengan kedua tangan. Sejak dia berbaring di kasur empuknya, separuh bajunya sudah terangkat. Dan kali ini Jihoon benar-benar mengangkat bajunya sampai rasa malu menikamnya.
“Kenapa?” Jihoon tertawa lagi.
“Malu!!” Teriakan Hyunsuk teredam di dalam tangannya.
Jihoon tidak tertawa lagi. Dia menarik satu tangan Hyunsuk untuk dia kecup. Telapak tangan Hyunsuk hangat, membuat Jihoon tersenyum simpul ketika bersentuhan dengan pipinya. Mereka tidak mengatakan apapun lagi, dan kembali menyesap manis dari bibir masing-masing. Kali ini rasanya lebih lembut sampai Hyunsuk rasa tidak ada jalan keluar dari persimpangan ini.
Hyunsuk bisa merasakan tangan Jihoon yang bergerak mengusap lehernya lembut, menari di atas perutnya, sebelum sampai di bagian yang belum pernah terjamah sedikitpun. Hyunsuk mendesah pelan di sela ciuman mereka. Napasnya menderu. Jantungnya berdetak lebih kencang. Entah karena terlalu bersemangat atau ...
“Ji!” Hyunsuk melepas lumatan Jihoon kuat. “Gue ... takut.”
Jihoon sedikit mengernyit. Dia terdiam beberapa saat, “Jangan bilang ...?”
Hyunsuk mengangguk, “Gue belom pernah sama sekali. Sama cewe ataupun sama cowo.” Ucap Hyunsuk setengah berbisik. Dia sedikit malu mengakui bahwa dia sudah terlalu dalam jatuh padanya.
Jihoon hendak bangkit, menghentikan apa yang seharusnya tidak ia lakukan. Dia benar-benar tidak ingin menyakiti Hyunsuk atau membuatnya semakin sakit.
“Tapi ...” Hyunsuk menghentikan gerakan Jihoon. “Gue ga keberatan kalo lo jadi yang pertama.”
Jihoon tersenyum hangat. Hyunsuk tidak bisa menebak apa yang Jihoon rasakan sekarang. Tidak sampai Jihoon mulai meninggalkan beberapa jejak di leher dan dada Hyunsuk. Beberapa kali dia menggigit kecil kulit putih Hyunsuk karena gemas. Hyunsuk bisa merasakan sengatan kebahagiaan itu hingga tertawa kecil.
Jihoon kembali menatap Hyunsuk. Senyumnya masih mengembang di sana. Hyunsuk bisa melihat matahari di balik sana sangking cerahnya. Hyunsuk jadi menerka-nerka, apa Jihoon juga punya perasaan kayak gue? atau apa Jihoon juga sayang gue?.
Karena tatapan itu, Hyunsuk akhirnya tidak bisa berbuat apapun selain mendesah ketika Jihoon memasukkan jarinya ke dalam bagian yang bahkan tidak Hyunsuk kenali sedikitpun. Hyunsuk mengernyit dan mengerang ketika dirasa Jihoon masuk terlalu dalam. Rasanya aneh.
Hyunsuk sangat yakin sekujur tubuhnya berkeringat dingin karena sakit dan tidak nyaman dengan apa yang ia rasakan. Namun, Jihoon juga memanjakan bagian lain di bawah sana yang membuat Hyunsuk benar-benar tidak mengerti dengan apa yang ia rasakan sekarang. Semuanya membingungkan ketika dia harus merasakan sakit dan nikmat sekaligus.
“Ji—” Hyunsuk hampir menangis karena dua jari besar Jihoon sedikit membuka dan membuat di bawah sana semakin sakit.
“Hm?” Jihoon membalas erangan itu dengan kecupan di dada Hyunsuk. “Ga mau lanjut, hm?”
Hyunsuk bisa melihat tatapan lain dari mata Jihoon. Dia bisa melihat tatapan mengintimidasi yang membuatnya semakin tidak bisa menolak. Hyunsuk akhirnya menggeleng pelan dan—
“ARGH!” Hyunsuk mencengkram lengan Jihoon sangat kuat. Dia bisa merasakan gelombang panas di seluruh tubuhnya yang berpindah ke satu titik sebelum akhirnya meledak bersama erangannya.
Jihoon tersenyum puas karena wajah merah padam seperti tomat orang di bawahnya. Hyunsuk belum sadar sepenuhnya ketika Jihoon menyatukan bibir mereka kembali dan mendesak sesuatu di bawah sana. Rasanya benar-benar menyakitkan, Hyunsuk bahkan beberapa kali berteriak kesakitan. Tapi dia bersyukur karena Jihoon tidak berhenti, dan terus mendesak hingga mereka menyatu sepenuhnya.
Sekujur tubuh Hyunsuk seperti mati rasa. Dia hanya bisa merasakan Jihoon yang mengusap tengkuknya lembut. Jihoon belum bergerak dari sana sedikitpun. Dia terus menatap Hyunsuk di bawahnya yang masih menangis. Akhirnya dia sedikit menunduk dan berbisik di samping telinga Hyunsuk, “Gue bakalan gerak kalo lo berenti nangis. Kalo lo ga bisa berenti, gue yang bakalan berenti sekarang.”
Hyunsuk masih terisak. Dia menatap Jihoon yang tidak menunjukkan ancaman sedikitpun. Dia justru melihat tatapan khawatir di atasnya. Hyunsuk menggeleng pelan, “Ga-ga mau. Gue ... gue ga mau berenti.”
Jihoon tertawa renyah. Dia mengecup kening Hyunsuk singkat, “Yaudah, tapi jangan nangis.”
Hyunsuk mengusap matanya kasar, dan mengangguk cepat. “Tapi, mau cium. Cium di bibir.”
Jihoon tersenyum simpul dan kembali menyatukan bibir mereka. Hyunsuk tidak merasakan sakit sedikitpun meskipun Jihoon terus bergerak di atasnya, dan memporak-porandakan isi tubuhnya. Hyunsuk justru mendesah dan terus memanggil nama Jihoon karena nikmat yang menenggelamkannya.
Hyunsuk membuka mata perlahan ketika ia rasakan hangat telah menjauh dari bibirnya. Pemandangan paling indah yang pernah ia lihat selama hidupnya terlihat sesaat setelah matanya terbuka sempurna. Wajah Jihoon setengah merah dengan mata yang menatapnya sayu, di sudut bibirnya terbentuk guratan manis, Hyunsuk seperti mampu melakukan apapun demi melihat pemandangan ini. Hyunsuk seperti bisa merasakan jika apa yang ia rasakan juga dirasakan oleh orang di atasnya.
“Ji—” Hyunsuk mengerang. Tubuhnya seperti akan meledak untuk kedua kalinya.
Jihoon masih terus bergerak bahkan ketika tanpa sadar Hyunsuk mencakar punggungnya sampai hampir terluka. Jihoon tidak keberatan. Dia justru mempercepat gerakannya dan terkekeh pelan. Dia benar-benar puas melihat Hyunsuk yang hancur di bawahnya.
Hyunsuk memeluk Jihoon setengah menangis karena sisa permainan Jihoon yang menghancurkannya. “Gue sayang sama lo, Ji. Gue sayang banget. Lo bahkan bisa ambil hidup gue, karna gue emang sesayang itu sama lo.”
Jihoon tidak menjawab ucapannya. Tapi itu tidak mengurangi kebahagiaan Hyunsuk sedikitpun. Hyunsuk masih bisa tertidur dengan senyum yang terpulas di bibirnya karena malam ini adalah malam yang berbeda. Malam ini dia tidur di atas dada Jihoon dan membiarkan panas tubuh mereka saling menyatu di atas kasurnya yang sudah tidak berbentuk.
Hyunsuk tau apa yang mungkin akan dia rasakan besok. Sakit adalah kemungkinan terbesarnya. Tapi terlepas dari itu, dia benar-benar bahagia malam ini. Bahkan rasa bahagianya mengalahkan akumulasi kebahagiaannya selama dia hidup.
Hyunsuk berharap pagi tidak pernah datang untuk malam itu. Tapi sayangnya Jihoon membuka tirai kamarnya hingga cahaya matahari membangunkannya.
“Selamat pagi!”
Hyunsuk tersenyum tipis karena mendengar seruan Jihoon. Hyunsuk hanya bergumam pelan dan bangun dari tidurnya. Sekujur tubuhnya terasa sakit, terlebih lagi di pinggulnya. Tapi rasa sakitnya hilang begitu dia melihat Jihoon yang berlarian kecil membawakan sepiring nasi goreng.
“Cobain. Gue bikin sarapan.”
Hyunsuk tertawa pelan, “Yakin nih lo yang buat?”
“Gue liat Youtube, tenang aja. Rasanya ga gila-gila banget kok.”
Hyunsuk akhirnya melahap nasi yang sudah disendok Jihoon. Ternyata rasanya tidak seburuk itu. “Enak!”
Jihoon tertawa pelan, “Enak beneran, atau emang karna lo bucin gue?”
Hyunsuk memukul tangan Jihoon pelan, “Enak beneran, dih!”
Hyunsuk jadi teringat apa yang mereka lakukan semalam, dan apa yang ia katanya semalam. Hyunsuk tidak pernah menyesalinya, bahkan dia benar-benar bersyukur kesempatan untuk mengatakan itu terjadi, tapi dia sedikit kecewa dengan respon yang bahkan tidak Jihoon berikan sedikitpun.
“Ji,”
“Hm?”
Hyunsuk menunduk, tidak sanggup menatap Jihoon yang tersenyum semanis itu.
“Setelah apa yang kita lakuin semalem, apa yang bakalan terjadi buat ke depannya?” Tanya Hyunsuk yang masih menunduk.
“Maksudnya?”
Hyunsuk akhirnya mendongak demi melihat wajah Jihoon yang kebingungan. Rasa sakit yang sebelumnya ia rasakan perlahan menjalar lagi. Bahagianya seperti hilang begitu saja. Jadi, yang semalam itu bukan apa-apa ya buat Jihoon? Begitu pikirnya.
“Semalem gue udah bilang, gue sayang sama lo. Terus apa respon lo?”
Jihoon lagi-lagi tersenyum simpul, “Gue sayang juga lah sama lo.”
Hyunsuk menghela napas panjang. Bukan itu maksud dia. “Terus setelah ini apa?”
Jihoon terdiam. Sudah mengerti arah pembicaraan Hyunsuk.
“Suk,” Jihoon mengangkat dagu Hyunsuk, mengusapnya lembut sambil mengembangkan senyum. “Lo udah tau, kan? Gue ga akan pernah bisa punya hubungan yang serius. Gue ga bisa punya hubungan lebih dari ini.”
Hyunsuk merasakan panas di matanya. Wajahnya merah padam karena emosi yang menghantuinya. “Terus mau lo hubungan kayak apa, Ji?”
“Suk, gue udah bilang, gue juga sayang sama lo. Tapi bukan berarti gue juga bisa kasih hidup gue kayak yang lo lakuin. Gue cuma mau punya hubungan yang nyaman tanpa harus bergantung sama orang lain,” Jihoon mengusap pipi Hyunsuk lembut. “Gue cuma ... ga mau lo bergantung sama gue.”
“Ji,” hidung Hyunsuk tersendat, dia terisak tak lama setelahnya. “Apa lo ga pernah mikir setelah apa yang kita lewatin selama ini, gue bisa ga bergantung sama lo? Gue cuma bisa bareng lo. Gue cuma bisa tenang kalo dipeluk lo. Gue cuma sayang sama lo!”
Jihoon menunduk dalam. Hyunsuk tidak bisa membaca apa yang ada di kepala Jihoon sekarang. Akhirnya dia memaksakan mulutnya untuk bersuara, “Sekarang gue tanya lagi, lo sayang sama gue?”
“Gue sayang, Suk. Gue sayang sama lo. Tapi—”
“Yaudah. Lo pulang aja sekarang.”
“Suk?”
“Kalo ujung-ujungnya ga ada yang berubah sama kita, lebih baik lo pulang aja.”
“Jangan gini, Suk.”
Hyunsuk bangun dari kasurnya, berjalan tertatih-tatih menuju pintu. Dia membuka pintu lebar-lebah dan menunjuknya, “Tolong pulang sekarang. Gue mau sendirian.”
“Suk—”
“Pulang!!!”
Jihoon terdiam di hadapan Hyunsuk yang terisak. Hyunsuk meremas baju tidurnya yang Jihoon sematkan semalam. Rasanya sangat sesak sampai dia lupa bagaimana caranya bernapas.
“Yaudah, gue pulang dulu, ya. Jangan lupa dimakan sarapannya.” Jihoon mengusap bahu Hyunsuk pelan yang hanya membuat suara isakannya semakin pilu.
Hyunsuk bersimpuh di lantai sedetik setelah Jihoon melangkah keluar. Kunci apartemennya berbunyi yang menandakan Jihoon benar-benar pergi. Hyunsuk tidak pernah mengerti dengan apa yang ia rasakan jika itu semua menyangkut tentang Jihoon. Dia kecewa atas apa yang Jihoon katakan, tapi dia tidak bisa berbohong bahwa takutlah yang kini menghantuinya.
Dia takut dengan bayang-bayang beberapa tahun atau bahkan selamanya tanpa dekapan hangat Jihoon. Dia takut jika dia akan kehilangan Jihoon. Dia takut tidak ada tawa Jihoon untuk menemani hari-harinya. Dia benar-benar takut, apa yang akan terjadi jika dirinya tanpa Jihoon.
Akhirnya setelah seharian penuh menangisi perasaan bodohnya, dia memutuskan untuk meneruskan apa yang sudah ia mulai. Dia pikir menjadi “teman” tidur Jihoon tidak seburuk itu. Setidaknya dia masih bisa merasakan hangatnya pelukan Jihoon dan tidak kehilangan tawa yang selama ini menemaninya.
Hyunsuk rasa itu keputusan yang terbaik. Untuk saat ini.