Paseafict

Hamdan bergegas ke apartemen Jion setelah mendapat pesan singkat itu.

“Jion!” Hamdan berteriak. Dia membuka pintu apartemen Jion yang ternyata masih menggunakan tanggal ulang tahunnya.

“Jion!” Hamdan berteriak lagi. Berharap Jion benar-benar datang di depan wajahnya.

Hamdan berdiri kaku di depan kamar Jion. Bukan suara Jion yang terdengar, justru tangisan bayi yang keluar dari dalam kamarnya.

Hamdan menutup mulutnya, sedikit tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Dia membuka kamar Arion perlahan. Suara tangisan bayi itu juga semakin jelas terdengar. Hamdan hampir terduduk lemas karena melihat kasur bayi yang ada di sudut kamar. Kamar yang sudah terlalu banyak melukis kisah mereka selama lima tahun ini. Banyak tangis mungkin, tapi bahagianya jauh lebih banyak.

Hamdan bahkan sudah tidak bisa menangis, memikirkan semua kemungkinan terbrengsek apa yang Jion lakukan padanya. Ini benar-benar di luar perkiraan siapapun. Dia kira selingkuh adalah hal paling brengsek yang mungkin Jion lakukan, tapi ternyata seorang anak?

Hamdan tersentak ketika mendengar pintu apartemen terbuka. Itu pasti Jion. Hamdan akhirnya bangkit, meninggalkan suara tangisan bayi yang memekakkan telinga.

“Hamdan?” Jion terkejut, sedikit panik juga.

Hamdan tersenyum sinis menghampiri Jion yang berdiri kaku di depan pintu dengan wajah pucatnya. “Lo kenapa ke sin—”

Plak! Ucapan Jion terputus karena tamparan kencang di pipi kirinya.

Kenapa lo bilang?!”

Jion terdiam. Bahkan ketika Hamdan membentaknya, dia diam, tidak membalas tatapan Hamdan.

“Gue mau minta ganti rugi sama kerugian yang udah gue rasain selama lima tahun pacaran sama lo!” Bohong. Hamdan sebenarnya khawatir karena Jion tidak ada kabar berhari-hari dan datang dengan segala kabar buruk.

“Maaf. Berapapun kerugian lo, lo tinggal kirim aja lewat chat. Gue ganti.”

“Bajingan!”

“Lo udah liat, kan?” Jion menatap Hamdan sayu. “Gue cuma bisa bikin lo kecewa.”

Hamdan memejamkan matanya dalam, menahan air matanya kuat-kuat agar tidak sembarangan membanjiri pipinya. “Itu anak siapa?”

Jion diam.

“Itu anak siapa bangsat?!”

Jion akhirnya mendongak, menatap Hamdan dalam-dalam. “Anak gue.”

Hamdan tertawa renyah, suaranya mengiris hati siapapun yang mendengarnya. “Lo bilang, lo ga suka cewe. Lo bilang, gue satu-satunya buat lo. Tapi sekarang apa?!”

Jion menghela napas panjang. “Lo emang satu-satunya, Dan. Sampe kapanpun. Tapi anak itu, bener-bener anak gue.”

Hamdan akhirnya terlepas dari semua pertahanannya. Dia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. “Siapa ibunya?” Dia terisak, “siapa orang beruntung yang ngelahirin darah daging lo, Jion?!”

Jion menggeleng pelan. Dia juga tengah menahan air matanya mati-matian.

“Siapa, Ji?” Hamdan menggoyang-goyangkan bahu Jion. “Gue ga bakalan maafin diri gue sendiri kalo cewe itu lebih baik dari gue.”

“Anak itu ga punya ibu. Ibunya ga mau anak itu lahir.” Suara Jion bergetar, “gue yang bakalan urus anak itu sendirian.”

Hamdan bernapas lebih lega. Dia berdiri tegak dan mengahapus air matanya kasar, mencoba untuk lebih tegar. “Oke. Gue ikut.”

Jion menatap Hamdan bingung. Dia meniti setiap garis wajah Hamdan yang ada di hadapannya. Wajahnya tegas. Bibirnya ranum dan tebal. Bibirnya mungil, akan mengerut ketika dia tertawa. Matanya sedikit bengkak, entah karena kurang tidur, atau menangis karena ulahnya. Tapi yang pasti, Jion benar-benar merindukan Hamdan-nya.

“Gue ikut jagain anak kita.”

“Dan,”

“Gue ga peduli itu anak lo sama siapa. Yang penting sekarang cewe itu ga ada, dan gue masih sayang sama lo.” Hamdan membetulkan kacamata yang menyangga poninya.

“Ga boleh.” Jion menolak dengan tegas.

“Boleh. Gue yang mau.”

Jion tertawa miris. Mungkin menertawakan Hamdan yang sudah hilang kewarasan.

“Ga boleh. Gue ga akan izinin lo nanggung semua masalah gue.” Jion menggeleng pelan sebelum melanjutkan ucapannya, “Jangan lagi, Dan.”

“Ji, setelah semua yang kita lakuin bareng-bareng, kabur dari rumah, hidup berdua tanpa ada yang ganggu, nunggu kesuksesan di depan sana, lo pikir gue bisa hidup tanpa lo?”

Jion bergeming.

“Engga! Ga akan bisa!”

“Tapi lo ga harus terus-terusan tersiksa gara-gara gue, Dan.”

Hamdan memukul dadanya yang sesak. Kalau boleh jujur, berhari-hari tanpa Jion jauh lebih menyiksa. Hamdan tidak bisa membayangkan hari esok tanpa Jion.

Jion refleks menarik tangan Hamdan yang memukul dadanya semakin kencang. Hamdan selalu begitu, memukul tubuhnya ketika situasi tidak menyenangkan, atau ketika dia membuat suatu kesalahan. “Gue ga mau jahatin lo lagi.”

Hamdan menggeleng pelan, “Gue ga pernah masalah sama itu, Ji. Tapi izinin gue buat bareng lo terus dan jaga anak itu.”

Jion menatap Hamdan lamat, bergantian menatap manik kanan dan manik kiri. Hamdan tidak pernah bercanda setiap kali membicarakan hidup bersama, Jion tau itu. Tapi sekarang Jion sudah berbeda, dia sekarang seorang ayah yang memiliki bayi berusia dua minggu.

Jion terkesiap. Dia tersadar dari lamunannya karena Hamdan mengecup bibir Jion singkat.

“Jion bajingan. Gue udah bilang mau jadi ayah bareng lo. Tapi lo malah jadi ayah duluan.”

Jion akhirnya tersenyum setelah entah sejak kapan ia lupa bagaimana caranya tersenyum. Dia menarik Hamdan ke pelukannya pelan-pelan. Lantas menghirup aroma tubuh Hamdan dengan rakus.

“Gue takut kehilangan lo.”

Hamdan sedikit terkejut karena Jion justru menangis sekarang.

“Gue takut putus dari lo. Gue ga mau—” Jion terisak, tidak bisa melanjutkan kalimatnya.

Hamdan menepuk-nepuk pundak Jion pelan. “Gue di sini. Dan gue juga ga mau putus dari lo.”

“Gue sayang sama lo, Dan.” Jion terisak lagi setelah kalimat itu selesai.

Hamdan terkekeh pelan, “Jion bajingan.” Umpatan kali ini dia lontarkan karena Jion yang dengan bajingan-nya membuat dia jatuh cinta hingga tidak tau jalan keluar.

Apapun alasan anak itu lahir. Apapun yang Jion lakukan di luar sana. Hamdan tidak peduli. Karena dia tidak ingin kisahnya berakhir begitu saja. Dia rela menelan bulat-bulat seluruh rasa sakitnya. Jika harus menelannya seumur hidup pun, Hamdan tidak peduli. Karena Hamdan hanya seorang manusia egois yang ingin bersama Jion selamanya.

Hyunsuk dateng bawa minuman dia sama Mas Jihoon. Dia akhirnya duduk lagi di samping Mas Jihoon yang fokus ke laptopnya sambil goyang-goyangin kepala kecil gara-gara lagu yang dia dengerin.

Tarik napas. Buang. Tarik napas. Hyunsuk rasanya gugup banget. Dia tau Mas Jihoon itu orang yang tegas, bahkan tentang hal kecil dari Hyunsuk sekalipun. Kayak yang orang-orang bilang, Mas Jihoon itu, si Paling Disiplin, si Paling Taat Aturan, si Asprak Galak, si Asprak Idealis. Ya, semuanya deh. Hyunsuk udah ga peduli sama omongan orang-orang, malah dia bersyukur banget karena punya Mas Jihoon-nya yang paling-paling. Tapi kasus kali ini beda.

Sebenernya Hyunsuk cuma tinggal tanya, dan terima semua keputusan Mas Jihoon sebagai asprak, kan? Tapi ga semudah itu sebenernya. Gimana kalau ternyata Mas Jihoon ga ngebolehin? Gimana kalau nanti Hyunsuk malah berdebat sama Mas Jihoon? Gimana kalau ujung-ujungnya mereka berantem? Atau ... gimana kalau Mas Jihoon nolak, dan Hyunsuk ga bisa berdebat, dan temen-temen angkatannya jadi makin kesel sama Mas Jihoon?

Putus dan denger Mas Jihoon yang selalu disindir atau diledekin sama aja buat Hyunsuk. Sama-sama bikin sakit.

“Mas,” Hyunsuk panggil Mas Jihoon. Suaranya kecil banget.

“Hm?” Mas Jihoon ga noleh.

“Mas Jihoon,” Hyunsuk manggil lagi, berharap Mas Jihoon bener-bener liat ke arah dia.

“Kenapa, Sayang?” Mas Jihoon akhirnya noleh.

Hyunsuk kesenengan, “Mas Jihoon ganteng banget, deh!”

Mas Jihoon ketawa, “Iya lah. Kalo ga ganteng mana mungkin bisa jadi pacar kamu.” Mas Jihoon balik natap laptop lagi.

“Mas Jihoon baik banget, deh!”

Mas Jihoon akhirnya balik natap Hyunsuk. Sekarang Mas Jihoon ga ketawa, cuma senyum tipis, hampir ga keliatan malah sama Hyunsuk. Tapi tetep ganteng, sih.

“Ada apa, Hyunsuk?”

Hyunsuk jadi gugup lagi. “Menurut Mas Jihoon, kalau tabel hasil yang ini ditulis tangan efektif, ga?”

Mas Jihoon diem. Lumayan lama, sampe bikin Hyunsuk jadi gelisah sendiri.

“Menurutku efektif. Justru karena ditulis tangan, kalian bisa paham sama hasil kalian sendiri. Kalo cuma copas belum tentu juga kalian baca.”

“Ga mungkin lah, Mas. Kan kalau mau bahas hasil juga tetep harus pahamin tabel hasilnya, pasti kita baca.” Hyunsuk kali ini ucapin tanpa takut sedikitpun.

Mas Jihoon natap Hyunsuk dalam. Matanya natap Hyunsuk tajem bikin Hyunsuk takut sendiri.

“Emang menurut kamu ga efektif?”

“Engga!” Hyunsuk semangat banget jawabnya.

“Kenapa?”

“Menurutku, kalo tabel hasil aja udah sebanyak itu, gimana nanti kita mau bahas hasilnya? Pasti udah ga kondusif deh, udah capek duluan.”

Mas Jihoon diem lagi. Hyunsuk jadi takut, dia salah ngomong ga sih?

“Kalo soal itu, kan bisa ngerjainnya dicicil. Asprak ngasih waktu panjang kok. Perhitungannya juga udah jelas. Semua lampiran di-print. Kita udah estimasi buat seminggu itu cukup.”

Hyunsuk menghela napas panjang, debat lagi deh. “Tapi seminggu juga tugas kita bukan laprak itu doang, Mas. Praktikum kita ada lima, belum lagi tugas lainnya, UTS. Kan Mas Jihoon udah pernah ngerasain jadi kita.”

“Justru karna aku udah ngerasain jadi praktikan, jadi aku tau mana yang paling baik buat kalian.”

Hyunsuk akhirnya diam. Peraturan pertama, asprak selalu benar. Peraturan kedua, Mas Jihoon selalu benar. Sekarang asprak dia Mas Jihoon, jadi Hyunsuk ga punya sanggahan lagi.

“Tapi ga baik buat aku.” Hyunsuk akhirnya balas lagi. Suaranya lebih kecil dari sebelumnya, tapi Mas Jihoon bisa dengar dia dengan jelas.

“Kenapa? Apa yang bikin kamu beda dari praktikan yang lain?”

“Karna aku pacarnya Mas Jihoon!” Suara Hyunsuk agak lebih keras. Bahkan intonasinya sedikit tinggi, bikin Mas Jihoon sedikit kaget.

“Karna aku pacarnya Mas Jihoon, makanya aku kesel kalau liat Mas Jihoon dibenci praktikan yang lain.” Hyunsuk nunduk lagi.

Mas Jihoon ikut diem, tapi kali ini sambil tarik dagu Hyunsuk biar bisa tatap matanya.

“Karna aku pacarnya Mas Jihoon, makanya aku ga bisa diem aja kalo Mas Jihoon dibilang jahat.”

Mas Jihoon keliatan sedih, “Emang aku jahat?”

“Kalo Mas Jihoon tanya aku, ya ga mungkin jahat lah. Tapi kalo tanya yang lain, ga tau deh.”

Mereka lama di posisi itu. Hyunsuk natap mata Mas Jihoon lamat-lamat. Apa ga seharusnya ya dia bilang-bilang soal itu? Kayaknya Mas Jihoon keliatan sedih banget.

Hyunsuk kaget banget. Hyunsuk kaget waktu Mas Jihoon justru peluk dia. Sangking kagetnya, Hyunsuk sampe ga bisa balas pelukannya.

“Maafin aku, ya, Sayang.”

Hyunsuk langsung nangis dengernya. Emang ini salahnya Mas Jihoon? “Kenapa Mas Jihoon malah minta maaf, sih?”

“Kamu pasti cape banget harus denger omongan ga baik tentang aku. Maaf, ya, aku jadi asprak dan pacar yang jahat.”

Hyunsuk langsung lepas pelukan Mas Jihoon biar dia bisa pukul dadanya kenceng. “Kenapa Mas Jihoon minta maaf, sih? Mas Jihoon ga salah kalo sedikit tegas. Mas Jihoon juga ga salah kalo sedikit idealis. Semua itu baik kok buat praktikan. Terus kenapa Mas Jihoon minta maaf?!”

Mas Jihoon jadi ketawa denger itu, “Kan aku minta maafnya karna udah jahat.”

“Mas Jihoon ga jahat!” Hyunsuk teriak. Suaranya udah hampir ngalahin keributan yang ada di luar.

“Iya, iya. Jangan teriak-teriak, dong. Nanti dikira aku KDRT lagi.”

“Ga mau. Sebelum cium.”

Mas Jihoon ketawa, “Perasaan tadi kamu yang mau cium.”

“Ish, orang Mas Jihoon udah bikin aku nangis.”

“Iya, iya.” Mas Jihoon nengok ke belakang, ke kiri, ke kanan, ke atas, ke bawah. Ga ada siapa-siapa yang ngeliatin mereka. Aman.

Cup!

Hyunsuk kesenengan, meskipun ciumannya ga ada sedetik, tapi bisa bikin Hyunsuk semangat lagi melanjutkan hidup yang makin berat karena ada perhitungan itu.

Mas Jihoon usap-usap pipi Hyunsuk lembut. Mereka sama-sama senyum, kayak ga peduli padahal tadi mereka hampir berantem karena ngomongin soal “jahat”, “idealis”, dan sebagainya.

“Kalian lanjutin perhitungannya aja dulu. Buat tabel hasilnya coba kita pertimbangin lagi, ya?”

Hyunsuk angguk cepet. Dia ikut usap-usap tangan Mas Jihoon yang masih ada di pipinya. “Apapun keputusan asprak, Mas Jihoon ga pernah jahat buat aku.”

Hyunsuk keluar dari tempat lesnya. Jalanan sudah kosong melompong. Sudah pukul 20.35 jika dia liat dari jam tangannya.

“Hyunsuk, pulang naik apa?” Tanya teman satu kelas lesnya.

Hyunsuk menggeleng, “Aku jalan aja. Rumahku deket.”

“Oke. Hati-hati, ya!”

Hyunsuk menghela napas panjang. Tuh kan! Bener-bener ga ada yang tau hari ini, hari apa? Hyunsuk kecewa berat.

Satu persatu teman satu kelasnya pulang. Tapi Hyunsuk masih berdiri kaku di depan tempat lesnya.

“Hyunsuk, ga pulang?” Itu pertanyaan terakhir, dari kakak pengajarnya.

Hyunsuk menggeleng.

“Oh, dijemput, ya?”

Hyunsuk menggeleng lagi.

Kakak pengajarnya justru tertawa. “Hari ini kamu lemes banget, Hyunsuk. Biasanya semangat banget jawabin pertanyaan, apa lagi hari ini lagi kelas Kimia sama Biologi.”

Hyunsuk terus menggeleng, “Aku lagi ga bersemangat, Kak.”

“Yaudah. Abis ini pulang, langsung istirahat, ya. Jangan sampe stres terus ga efektif belajarnya. Semangat berprogres!”

Hyunsuk tersenyum miris. Dia tidak bersemangat. Akhirnya melangkahkan kaki ke taman bermain yang tidak jauh dari tempat lesnya. Ini masih di dalam perumahannya, jadi dia bisa lihat seluruh rumah yang terkunci rapat dan jalanan sepi seperti tidak berpenghuni. Hyunsuk sendirian di sana, hanya ditemani suara ayunan berdenyit yang ia naiki.

Hyunsuk mendongak, menghitung bintang yang ada di langit. Dia menghela napas panjang sebelum akhirnya menunduk dalam. “Kenapa ga ada yang inget ulang tahun Sukkie?”

“Nih!” Tiba-tiba ada sebungkus es krim jagung di hadapannya.

“Es krim!” Hyunsuk mendongak, ternyata itu pemberian Ireng! Ireng Raksasa lebih tepatnya.

Jihoon akhirnya ikut duduk di ayunan yang kosong. Membuka bungkusan es krim untuk Hyunsuk. “Kenapa ga langsung pulang?”

Hyunsuk sedikit mengernyit, takut karena Jihoon terdengar galak. “Orang abis les.”

“Iya. Kenapa ga langsung pulang?”

Hyunsuk menunduk takut, Jihoon semakin galak. “Aku lagi sedih tau.”

Hyunsuk masih menunduk. Dia menunggu Jihoon bertanya kenapa?

Hyunsuk mendongak, siap-siap marah karena Jihoon tidak kunjung bertanya. Tapi ...

“Selamat ulang tahun.” Jihoon tersenyum tipis sambil mengusap rambut Hyunsuk pelan.

Hyunsuk kaget bukan main. Jadi ... Ireng inget ulang tahunnya? Hyunsuk bahkan hampir nangis karena Ireng ucapin ulang tahun buat dia.

“Maaf, ya. Aku ucapinnya hampir ganti hari.” Jihoon mengusap sekitar bibir Hyunsuk yang belepotan karena es krim jagung.

Hyunsuk geleng-geleng. Dia langsung berdiri dan peluk Jihoon erat banget, ga peduli sama es krimnya yang cair dan jatuh ke mana-mana.

“Makasih, Ireng! Ireng emang sahabat terbaik aku!”

Jihoon jadi ketawa gara-gara Hyunsuk peluk dia sambil goyang-goyang pelan. “Abisin es krimnya. Abis itu kita pulang. Aku udah masak di rumah.”

“Seriusan?! Oke, aku abisin cepet!”

Jihoon ketawa lagi, “Tapi jangan sampe blepotan gini dong. Tuh, kena baju sekolah.” Dia bersihin lagi sekitar bibir Hyunsuk yang berantakan sama es krim.

Hyunsuk nyengir, “Gapapa, nanti kan bajunya dicuci.”

Jihoon ketawa, dia colek pipi Hyunsuk. “Iya, aku yang nyuci.”

Hyunsuk cuma haha-hehe doang. Fokus abisin es krimnya biar bisa cepet-cepet ketemu makanan enak yang dimasak Ireng Raksasa.

Jihoon tatap Hyunsuk dari atas sampe bawah. Dari ujung rambut sampai ujung kaki. Seharian ini dia belum pulang ke rumah. Padahal ini hari ulang tahunnya, tapi dia bahkan ga dapet hadiah apapun buat dirinya sendiri.

“Kamu mau apa buat hadiah ulang tahun kamu?”

Mata Hyunsuk membulat, “Ireng mau kabulin semua permintaan aku?!”

“Jihoon.”

Hyunsuk jadi kesel. Apa salahnya sih dia panggil Ireng waktu Ireng lagi berubah jadi raksasa? “Iya, maksudku, Jihoon.”

“Iya, aku turutin semua.”

Hyunsuk mikir-mikir. Sebenernya ga ada barang yang lagi dia pengenin. Apa lagi makanan, cuma ada masakan Jihoon yang super enak yang ada di kepalanya.

“Hmm,” Hyunsuk berpikir keras. “OH IYA! Aku punya satu permintaan.”

Jihoon tersenyum lebar, “Apa?” Dia penuh percaya diri, ingin mengabulkan permintaan itu.

“Aku mau panggil kamu Ireng! Selama seminggu!”

“Ga.” Jihoon buru-buru tolak. Jelas dia ga mau. Nama dia, Jihoon. Ga ada yang lain.

Hyunsuk cemberut, “Tadi katanya mau diturutin semua.”

“Semua, selain itu.”

Hyunsuk mikir-mikir lagi. “Aku ada lagi!”

“Selain manggil Ireng,” Jihoon natap Hyunsuk galak. “Sama mengeong!” Lanjutnya lagi.

Hyunsuk tertawa jahat, “Bukan kok, bukan. Aku cuma minta kamu gendong aku sampe rumah.”

Jihoon langsung terima tanpa berpikir panjang. Dia bahkan langsung berjongkok di depan Hyunsuk dan menyodorkan punggungnya. “Yaudah. Udah habiskan es krimnya?”

Hyunsuk langsung buang sampah es krimnya dan peluk Jihoon dari belakang. “Yeay!! Digendong Ireng!”

“Jihoon!”

Hyunsuk ga mau berdebat. Dia lebih memilih menikmati momen langka digendong Jihoon kayak gini.

“Yeay!! Terbang!” Hyunsuk mengepalkan tangannya ke atas. “Lari, Jihoon! Lari!”

Jihoon menuruti permintaan Hyunsuk. Dia sedikit berlari dan berputar-putar, membuat Hyunsuk tertawa geli. Umur-umur segitu emang lagi butuh banget main terbang-terbangan.

“Udah. Udah, Jihoon!” Hyunsuk minta berenti, padahal dia lagi seru-serunya ketawa. “Udahan, nanti kamu cape.”

Jihoon sedikit ngos-ngosan, “Engga. Aku ga cape. Mau lari lagi?”

“Engga! Engga! Kamu jalan aja, biar gendongnya lebih lama!” Hyunsuk cekikikan.

Jihoon tidak menanggapi. Dia diam-diam tersenyum lebar, apa lagi waktu Hyunsuk mengeratkan pelukannya dan merabahkan kepala di pundaknya.

Jihoon tidak sadar, sudah berapa lama dia tersenyum dalam diam dan membiarkan Hyunsuk tidak bersuara? Jangan-jangan Hyunsuk tertidur di dalam gendongannya.

“Kamu ... tidur?” Pertanyaan Jihoon dijawab sama dengkuran Hyunsuk di belakang.

Jihoon ketawa pelan, takut malah membangunkan Hyunsuk. Jihoon akhirnya berjalan sedikit lebih cepat, agar mereka sampai ke rumah lebih cepat.

Hyunsuk berkali-kali mengelus dada, berkali-kali juga menghela napas panjang. Mas Jihoon yang dari tadi fokus natap layar akhirnya notice. Dia ketawa pelan sebelum tanya, “Kenapa?”

Hyunsuk menatap ruangan diskusi yang lengang. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada orang lain di sini. “AKU KESEL!” Teriak Hyunsuk tiba-tiba.

Mas Jihoon buru-buru tutup mulut Hyunsuk, dan ber-sst panjang. “Ini ruangan diskusi, ga boleh teriak-teriak, Sayang.”

Napas Hyunsuk menderu, matanya berapi-api, amarahnya sudah tidak terbendung. Dia mau teriak lagi. “A—” Teriakannya ditahan sama kecupan singkat dari Mas Jihoon. Bukannya berenti dan tobat, suara Hyunsuk justru semakin kenceng. “Kenapa Mas Jihoon cium-cium aku pas aku lagi marah, sih?! Kenapa Mas Jihoon juga cium aku di kampus?!”

Mas Jihoon justru tertawa, entah meledek, atau memang meledek. Hyunsuk sampai hentak-hentakin kaki sangking keselnya. “Aku nangis nih.” Hyunsuk merengek.

“Kenapa, Sayang?”

Hyunsuk menjelaskan dengan suara yang tidak jelas. Suaranya tercampur dengan isakan yang dibuat-buatnya.

“Hey, kenapa?” Mas Jihoon usap pelan kedua bahu Hyunsuk, malah jadi keheranan.

“Kenapa ... Mas Jihoon malah kasih toleransi buat mereka? Giliran sama aku waktu itu Mas Jihoon marah besar.” Hyunsuk menunduk, ga bisa tatap Mas Jihoon lagi. “Waktu itu kan aku emang ada rapat besar, ga bisa aku lewatin. Iya sih, abis itu bukannya langsung ngerjain aku malah makan dulu. Tapi kan aku ngumpulin juga ga ada sampe telat lima belas menit. Ini bahkan udah hampir lewat 30 menit, tapi tetep diterima!”

Mas Jihoon angkat wajah Hyunsuk biar mata mereka bertemu. “Maaf ya karena yang dulu jadi membekas di kamu. Kamu pastinya beda dari temen-temen kamu, karena aku sayang sama kamu.” Hyunsuk bisa liat senyum manis Mas Jihoon dengan jarak sedekat ini, tapi Hyunsuk juga bisa liat matanya yang sedih.

Sebenernya Hyunsuk masih mau protes, tapi ada orang yang masuk ke ruang diskusi. Ternyata itu Yuqi, anak BEM Universitas yang sibuknya minta ampun. Mukanya kelihatan panik karena terburu-buru dikejar sama deadline. “Ma-maaf, Mas, aku baru ngumpulin. Semalem aku selesai rapat jam setengah dua, baru bisa lanjut ngerjain setelah itu.”

Hyunsuk menoleh ke arah lain. Tidak ingin melihat laprak orang lain yang diterima begitu saja, sedangkan dia semester lalu perlu melewati perdebatan yang panjang.

“Tapi kamu tetep telat satu jam pertama, ya. Aku minus 10 nilainya.” Mas Jihoon mencoret buku kerja Yuqi.

Hyunsuk masih kesel, bahkan setelah Mas Jihoon selesai merapikan laptop dan buku-buku kerja punya praktikan, Hyunsuk belum menoleh ke arahnya sedikitpun. “Abis ini kamu kelas?” Tanya Mas Jihoon. Karena masih kesel, Hyunsuk akhirnya hanya berdeham singkat.

“Aku mau ke kosnya Karina dulu, ya.”

Hyunsuk langsung melotot. “Ih ngapain?!” Dia memukul meja sangking kagetnya.

Mas Jihoon justru tertawa geli, “Aku cuma mau kasih setengah buku kerja doang. Kan yang ngoreksi PJ acara, jadi ini berdua ngoreksinya.”

Hyunsuk cuma ber-oh panjang, abis itu fokus lagi ke layar ponselnya.

“Siang ini kamu ada praktikum, kan?”

“Heem.”

“Nanti siang aku juga udah janjian mau ngelab. Pulangnya aku antar, ya?”

“Hm.”

Mas Jihoon berhenti dari aktivitasnya. Dia menatap Hyunsuk yang masih cemberut, “Hyunsuk,” dia ketawa pelan. “Kamu masih kesel, ya?”

“Hm.”

Mas Jihoon cuma bisa menghela napas pelan, akhirnya dia duduk di samping Hyunsuk lagi. “Sayang, aku minta maaf karena dari dulu ga pernah jadi yang terbaik buat kamu.”

“Mas Jihoon kenapa ngomongnya kayak gitu, sih?!” Hyunsuk protes, matanya sudah berkaca-kaca. Bukannya kesel, dia malah jadi sedih karena Mas Jihoon ngomong kayak gitu.

“Dulu aku marah besar karena aku ga mau kamu jadinya kebiasaan kayak gitu. Kamu harus paham yang mana prioritas kamu, Hyunsuk.” Mas Jihoon usap rambut hitam Hyunsuk yang menutupi setengah keningnya. “Maaf, ternyata cara aku salah. Aku malah bikin kamu sedih.” Lanjut Mas Jihoon lagi.

Hyunsuk menatap kedua mata Mas Jihoon bergantian. Dia bisa liat kesedihan dan penyesalan di sana. Hyunsuk akhirnya peluk Mas Jihoon-nya erat. “Engga, Mas. Makasih ya, karena masalah itu, aku udah ga pernah lagi ngerjain mepet deadline. Aku emang sedih, tapi sekarang udah ga lagi.”

Mas Jihoon balas pelukan Hyunsuk dan menyandarkan dagunya di pundak pacar kecilnya. Hyunsuk bisa merasakan pipi Mas Jihoon yang membulat di antara bahu dan lehernya, dia jadi ikut tersenyum karena itu.

“Sekarang aku mau coba lebih ngertiin praktikan lagi. Aku ngerti asisten sibuk, praktikum juga sibuk. Jadi semua jadwal praktikum ataupun pengumpulan laporannya udah asisten atur sebaik mungkin. Kalo ternyata dari praktikan justru masih ngerasa berat, atas nama asisten, aku minta maaf, ya, Sayang.”

Hyunsuk mau nangis rasanya karena denger ucapan pacarnya itu. Kenapa harus Mas Jihoon yang minta maaf? Padahal kan, itu bukan salah Mas Jihoon atau asisten yang lain. “Mas Jihoon ga perlu minta maaf. Mas Jihoon sama asisten yang lain ga—”

BRAK!! “MAS! AKU MAU NGUMPULIN LAPRAK!” Wooyoung dengan segala kekuatannya itu membanting pintu ruang diskusi. Hyunsuk melepas pelukannya panik. Dia menepuk dahinya pelan, dasar perusak sesuasa.

Wooyoung mengatur napasnya yang tersenggal-senggal. “Untung pacaran dulu, jadi belom balik.”

Mas Jihoon terkekeh pelan, “Tapi ini udah jam 09.25, ya. Aku itung satu jam kedua, jadi diminus 20.” Wooyoung hanya bisa mengangguk miris. Setidaknya apa yang dia kejar tadi membuahkan hasil.

“Yaudah, aku duluan, ya.” Mas Jihoon pergi setelah mencoret buku kerja Wooyoung dan memasukkannya ke tas.

Hyunsuk menatap Wooyoung galak. Padahal tadi dia lagi asik-asik pelukan sama Mas Jihoon, eh malah digangguin. Dasar. Tiba-tiba pintu ruang diskusi dibuka, ternyata Mas Jihoon balik lagi ke sana.

“Maaf, ada yang ketinggalan.” Cup! Mas Jihoon kecup pucuk kepala Hyunsuk yang masih kebingungan. “Nanti sore aku tunggu di depan lab mikro, ya, Sayang.”

Mas Jihoon keluar begitu saja, tidak menyadari tubuh Hyunsuk yang kaki akibat ulahnya. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Hening. Tampaknya Wooyoung yang menyaksikan itu juga tidak bisa berkata-kata.

Hyunsuk masuk ke rumah dengan satu tangan menggendong Ireng dan satu lagi menenteng cilok. Dia benar-benar pergi ke SD-nya dulu hanya untuk membeli sebungkus cilok.

“Cilok~ cilok~” Hyunsuk bersenandung sangking senangnya karena berhasil membeli cilok. Dia bahkan beli sepuluh ribu yang kayaknya cukup sampai besok pagi.

“Meong!” Ireng tiba-tiba mengeong marah dan turun dari gendongan Hyunsuk dengan cepat. Ekornya terangkat dan terdengar suara geraman yang mengarah pada sebungkus cilok yang Hyunsuk pegang.

“L-loh? Ireng kenapa?” Tanya Hyunsuk takut-takut.

“Meong!!!” Ireng langsung berlari ke kamar mandi. Dia menggeram, menyeramkan. Tapi itu cukup menggemaskan untuk membuat Hyunsuk tertawa geli.

“Si Ireng alergi cilok kali yak.”

Akhirnya Hyunsuk tidak memperdulikan Ireng yang bertingkah aneh. Dia duduk di sofa dengan nyaman, dan menyalakan televisi. Waktunya sangat pas, hari Senin sore selalu ada kartun Upin Ipin di tv.

Baru beberapa gigitan Hyunsuk makan ciloknya, tiba-tiba ada yang datang sambil melipat tangannya di dada. Badannya besar, tidak seperti Ireng yang tadi berlarian dari gendongannya. Hyunsuk melongo melihat Jihoon yang memasang wajah marah.

“Ke-kenapa?”

“Jangan dimakan.”

Hyunsuk merinding. Suara Jihoon tidak ada lucu-lucunya. Berbandi terbalik dengan suara menggemaskan Ireng.

“Ke-kenapa, sih?!” Hyunsuk menyembunyikan ciloknya di samping agar jauh dari pandangan Jihoon.

“Ga boleh dimakan!” Jihoon berseru lebih galak.

“Ga boleh, ih! Ini cilok aku!” Hyunsuk balas tidak kalah galak ketika Jihoon ingin mengambil cilok dari genggamannya. Enak aja dia harus menyerahkan ciloknya. Untuk mendapatkan cilok berharga ini, dia harus menempuh jarak belasan kilo meter. Mana sudi.

“Itu ga sehat. Banyak pengawetnya. Saosnya juga entah terbuat dari apa. Nanti kamu sakit perut.” Jihoon masih menjulurkan tangannya sambil menatap Hyunsuk galak.

Hyunsuk hampir nangis. Dia takut kalau Ireng Raksasa udah marah, tapi dia juga ga terima kalau cilok kesayangannya harus dia ikhlaskan begitu saja. Hyunsuk menggeleng pelan, “Ga mau.”

“Hyunsuk,”

Hyunsuk akhirnya mendongak, “Tapi ... aku suka banget sama cilok, Ji ... kamu tega?” Hyunsuk cemberut.

“Aku ga mau ya kalo nanti kamu malah rewel karena sakit perut!” Jihoon masih berseru galak.

“Ga akan! Aku ga akan sakit perut. Coba kamu rasain, pasti ga akan kenapa-kenapa! Beneran!” Hyunsuk menyodorkan satu potong cilok ke mulut Jihoon.

Jihoon susah payah menolaknya, tapi Hyunsuk tetap berusaha memasukkan satu bulatan cilok itu ke mulut Jihoon. Hyunsuk terkekeh pelan ketika cilok itu akhirnya masuk ke mulut Jihoon. Awalnya Hyunsuk hampir protes karena Jihoon mau melepehnya, tapi tiba-tiba wajah Jihoon berubah.

“Ji?”

Jihoon masih terdiam kaku. Dia yang sebelumnya mengunyah cilok, tiba-tiba diam seketika. Tatapannya kosong ke depan.

“Ji-jihoon kenapa?” Tanya Hyunsuk panik. “Ireng?! Ireng?! Jawab aku!”

Jihoon akhirnya menelan ciloknya pelan-pelan. Dia menutup mulutnya dengan telapak tangan sambil berdeham dan mengecap sisa saus ciloknya sembunyi-sembunyi. “Not bad.

Hyunsuk terdiam beberapa saat sebelum dia tertawa puas. “Tuh kan! Apa aku bilang! Cilok itu enak!”

Jihoon berdeham lagi, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Kayaknya aku harus nyobain satu lagi biar tau kalo itu bener-bener sehat.”

Hyunsuk dengan senang hati menyuapi Jihoon satu bulatan cilok lagi. Dan menunggu bagaimana ekspresinya ketika merasakan cilok lezat itu lagi. Hyunsuk bisa melihat ekspresi bahagia dari wajah Jihoon. Bibir tipisnya tersenyum tipis serta mulutnya yang menguyah dengan tergesa-gesa seperti menunjukkan jati diri Jihoon yang sebenarnya.

“Kamu perlu satu lagi ga, buat mastiin kalo cilok ga bakalan bikin perut aku sakit?” Tanya Hyunsuk. Jihoon mengangguk samar. Akhirnya Hyunsuk menuntun Jihoon untuk duduk di sebelahnya.

“Kalo gitu, kamu harus minta. Sambil ngeong.” Ledek Hyunsuk sambil cekikikan.

Jihoon melotot. Apa?! Dia harus mengeang di depan Hyunsuk demi sepotong cilok?! Apa kata dunia?!

“Ga mau!”

“Yaudah. Ciloknya aku abisin.” Ledek Hyunsuk lagi. Dia sengaja mengecap makanannya agar Jihoon tergoda, “Umm! Enyak banget!”

Jihoon menelan ludahnya dalam-dalam. Dia mengigit bibir bawahnya kuat, menjaga imannya agar tidak mengeong. Tapi dia benar-benar ingin merasakan cilok itu lagi.

“Aduh, udah tinggal lima nih. Abisin ah!” Hyunsuk masih terus meledek. Tapi kali ini dia lebih fokus menatap layar tv, sampai-sampai satu bulatan cilok masih di salah satu sisi pipi dalamnya.

Meong

Hyunsuk melotot. Dia hampir tersedak satu bulatan cilok penuh karena mendengar Jihoon mengeong. Jihoon berdeham, “Meong.” Dia mengong lagi.

Hyunsuk buru-buru menelan ciloknya agar tidak tersedak. “Apa? Aku ga denger.”

Jihoon berdeham lagi. Dia sudah memutuskan untuk membiarkan image-nya tercampur aduk dengan image kucing garong itu. Demi cilok berharga. Dia akhirnya menatap Hyunsuk penuh harap, “Jiun mau ciloknya boleh ga? Meong.”

Hyunsuk berteriak kegirangan setelah mendengar Jihoon mengeong dengan amat sangat jelas. “Lucu banget! Kalo kamu kayak gitu, jangan kan cilok, duniaku pun bakalan aku kasih, Ireng!”

“Jihoon.” Jihoon duduk tegak lagi, menatap Hyunsuk galak.

“Iya, iya. Jihoon mau mam cilok. Sini buka dulu mulutnya, ada pesawat mau masuk. Aaa!

Jihoon menyantap cilok yang tersisa dengan lahap. Hyunsuk menyuapi dengan gembira. Dia sudah menduga, Ireng ataupun Ireng Raksasa memang menggemaskan.

“Udah abis. Besok kita beli lagi yah, Reng.”

Jihoon.” Jihoon meralat ucapan Hyunsuk dengan mulut yang penuh dengan cilok.

Hyunsuk hampir aja menggeram. Lagian, apa bedanya Ireng sama Jihoon, sih? Toh yang Hyunsuk maksud itu dia.

“Iya!” Hyunsuk membalas galak.

Jihoon bangkit dari duduknya ketika ciloknya sudah habis. Dia kembali dengan segelas air dan tisu. “Nih, minum.” Titah Jihoon pada Hyunsuk yang sudah kembali sibuk menatap layar tv. Hyunsuk meneguk minumnya hingga habis tanpa melirik Jihoon sedikitpun.

Jihoon berdecak pelan, menarik dagu Hyunsuk untuk mendekat. Dilapnya sisi bibir Hyunsuk yang belepotan karena saus cilok.

Hyunsuk bisa melihat wajah Jihoon dengan jelas dari jarak sedekat ini. Tiba-tiba dia menyadari sesuatu. “Kenapa sih,”

“Apa lagi?”

“Ireng tuh kalo jadi kucing pasti mukanya lucuuuu banget. Kayak gemes banget pengen dicubit-cubit terus.” Hyunsuk cemberut. “Tapi giliran jadi Ireng Raksasa mukanya galak, selalu kayak gini, nih.” Hyunsuk memperagakan wajah marah Jihoon.

Jihoon tidak tersinggung sedikitpun. Dia justru tertawa pelan. “Emang kamu ga sadar, sebenernya selama ini Ireng tuh natap kamu juga galak.”

Hyunsuk protes, “Halah. Itu mah kamu ngibul doang!”

Jihoon hanya tertawa, kemudian tersenyum tipis setelahnya. Cup! Tiba-tiba, tidak ada angin atau hujan badai, Hyunsuk tiba-tiba mengecup hidup Jihoon yang kini memerah.

“Ireng Raksasa harus banyak-banyak senyum. Ireng sama Ireng Raksasa sama-sama lucu kok kalo senyum!” Hyunsuk tertawa senang karena melihat Jihoon banyak tersenyum hari ini.

Jihoon tidak mengucapkan apapun dan berdiri tanpa kata-kata. Dia meninggalkan Hyunsuk yang masih tersenyum senang. Hyunsuk tidak sadar, sepertinya besok dia akan lebih sulit melihat Jihoon tersenyum.

Hyunsuk sudah berkacak pinggang di teras rumahnya, menunggu kepulangan dua bocil yang menghilang setelah memporak porandakan kamarnya. Tidak perlu waktu lama untuk menunggu kedatangan bocil kehancuran itu. Dia ketakutan karena membayangkan Jihoon yang akan marah-marah menunggunya di depan rumah.

Jeongwoo yang menangis datang sambil membawa Dochi di dalam gendongannya. “Kak—hiks—Jihoon, ja—hiks—ngan marahin a—hiks—ku.”

Hyunsuk tidak memperdulikan tangisan adik sepupunya itu. Dia menyambar Dochi dan menciumnya bertubi-tubi. “Utututu. Cayangnya Kak Hyunsuk, utututu.”

“Masuk sana. Jihoon lagi bikin sarapan.” Hyunsuk menunjuk pintu rumah yang terbuka pada Jeongwoo yang masih menangis.

Jeongwoo menggeleng samar. Tapi dia tidak punya pilihan lain selain melangkahkan kaki dan menghadapi amarah kucing garong yang menyeramkan itu.

“Kak Ireng—” Jeongwoo menggeleng cepat. “Kak Jihoon?” Jeongwoo masuk ke dapur dan memanggil Jihoon lirih.

Jeongwoo berdiri kaku, terdiam, dan tidak bergerak selama beberapa detik. Dia seperti sedang melihat keajaiban dunia yang kesepuluh. “Udah selesai jalan-jalannya?” Tanya Jihoon yang tidak menoleh ke arahnya. Jeongwoo tidak mendengar amarah sedikitpun. Rasa takutnya tiba-tiba berubah jadi bingung.

Jihoon tertawa pelan, “Duduk gih. Mau sarapan ga?”

Jeongwoo menarik kursi perlahan. Dia menatap Jihoon yang meletakkan hidangan hangat di atas meja dengan takut-takut. Apa benar manusia ini Jihoon alias Ireng? Atau jangan-jangan jiwa kucing garong di dalam tubuh Jihoon sudah pergi?

“Kak—Kak Jihoon ga marah?”

Jihoon menelengkan kepalanya, “Marah kenapa?”

“Aku kan, aku kan berantakin kamar.”

Jihoon tertawa pelan, “Bukan ga marah. Tapi belum. Kalo kamu ga rapihin kamarnya, ya aku marah. Tapi sekarang makan dulu, baru nanti pas aku sama Hyunsuk ke pasar kamu rapihin kamar, oke?”

Mata Jeongwoo berbinar. Ireng atau Jihoon ternyata tidak seburuk itu. Mereka ternyata lebih berhati nurani daripada orang yang baru aja masuk sambil tidak berhenti mencium Dochi.

“Dochi makan ini dulu aja, ya? Nanti di pasar Kakak beliin melon lagi.” Cup Hyunsuk mencium pucuk kepala Dochi yang besarnya tidak melebihi kepalan tangannya. Setelah itu, dia bergabung dengan dua orang yang menatapnya tajam.

“Kenapa?!” Tanya Hyunsuk galak pada Jeongwoo. Tentu aja hanya Jeongwoo. Yang digalakin akhirnya hanya bisa bergidik ngeri, takut kalo tiba-tiba jiwa kucing garong Ireng pindah ke tubuh kakak sepupunya itu.

“Kak Hyunsuk mau ke pasar? Ngapain, sih? Beli apa? Jeongwoo ikut dong!” Jeongwoo tiba-tiba teringat pesan singkat Hyunsuk tadi.

“Rapihin kamar!” Seru Jihoon dan Hyunsuk bersamaan.

“Aku udah janji ga akan marah asal kamu rapihin kamar beneran!” Tegas Jihoon.

“Betul!” Balas Hyunsuk. “Gue ga mau waktu jalan gue sama Ireng diganggu!” Tegas Hyunsuk lagi.

“Bet—eh, apa?”

Hyunsuk tersenyum kuda, “Waktu jalan bareng kamu. Kan ini weekend pertama kita, jadi kita harus nikmatin berdua.”

Sebenarnya Jihoon senang luar biasa mendengarnya. Tapi senyumnya tidak bisa terukir di wajahnya, justru tatapan tajam yang keluar. “Ga boleh! Kita cuma ke pasar, beli bahan-bahan makanan buat seminggu ini.”

Hyunsuk cemberut, “Yah, kenapa?!!”

“Kamu lupa udah jajan berapa banyak minggu ini? Kamu harus hemat, Hyunsuk. Kamu masih ada tiga minggu lagi sendirian di rumah.” Dahi Jihoon mengerut, memarahi Hyunsuk yang justru memasang wajah lucu.

“Makan es krim aja deh. Satuuu aja. Pwis pwis pwis

Jihoon menghela napas panjang. Dia mengangguk samar dan membiarkan Hyunsuk berseru riang seperti anak-anak. Tapi senyumnya justru mengembang begitu saja ketika Hyunsuk menari kecil di hadapannya. Kadang Jihoon sedikit keheranan, sebenarnya yang kucing itu siapa? Dia atau Hyunsuk?

Mereka akhirnya berangkat setelah sarapannya habis—dan setelah mereka sudah memastikan Jeongwoo benar-benar merapikan kamarnya. Mereka meninggalkan rumah dengan tangan yang bergandengan. Sekarang Jihoon benar-benar seperti sedang menuntun adiknya yang masih SD.

“Kamu kenapa gede banget sih?” Tanya Hyunsuk waktu mereka menunggu kendaraan umum.

Jihoon tertawa miris, “Seharusnya aku yang tanya. Kenapa kamu kecil banget?!”

Hyunsuk melotot, “Enak aja! Ukuran anak SMA sekarang tuh emang segini!” Dia protes, tidak terima jika tubuhnya yang sebenarnya tidak besar dibilang kecil banget sama Jihoon yang kalau berubah jadi Ireng bakalan lebih kecil dari dia.

“Ireng juga kecil, ya! Ga usah ngeledek!” Hyunsuk menunjuk Jihoon dengan telunjuk sangking kesalnya.

Jihoon hampir tersedak dengan ludahnya sendiri, “Ya, masa disamainnya sama kucing?!”

Hyunsuk jadi cemberut. Wajahnya akan tertekuk lucu ketika dirinya sudah terpojok atau argumennya sudah tidak bisa diperjuangkan. “Tapi kan, itu ... maksud aku, artinya aku ga kecil banget, gitu.”

Jihoon hampir tertawa, tapi mengurungkan tawanya karena wajah sedih Hyunsuk. “Iya, deh. Ga kecil banget. Kecil aja, gimana?”

Obrolan mereka terpotong karena kendaraan umum yang mereka tunggu tiba dan membuat mereka untuk cepat-cepat masuk untuk segera menempati kursi yang kosong. Karena ini minggu pagi, di luar sana tidak sepadat hari biasanya. Sebenarnya sekarang adalah waktu yang tepat untuk pergi berkeliling ke taman sambil bergandengan tangan. Hyunsuk bahkan tidak bisa berhenti tersenyum memikirkannya.

Wajah Hyunsuk langsung berubah drastis ketika melirik ke arah Jihoon yang justru membaca daftar belanjaan yang ingin mereka beli nanti. Hyunsuk menghela napas panjang, “Kenapa, sih? Perlu banget di-list kayak gitu?”

Jihoon hanya melirik singkat dan kembali meniti daftar belanjaan, “Perlu. Biar kamu ga beli-beli yang lain.”

Hyunsuk menggerutu, “Yaudah, sih. Aku paham kali apa yang ga harus aku beli. Idih.”

Jihoon tidak menanggapi. Dia sekarang meniti jalanan dari balik jendela.

“Tapi,” Hyunsuk memotong ucapannya, membiarkan Jihoon menatapnya dulu. “Aku boleh minta satu lagi, ga? Satuuuuu lagi.”

Jihoon sudah menatap setengah galak, “Apa?”

“Um, aku mau beli makanan yang kamu suka.”

Jihoon menelengkan kepalanya. Bingung.

“Kamu suka apa?”

Hyunsuk menatap Jihoon lamat-lamat. Berharap bisa menebak apa yang sebenarnya Jihoon mau. Tapi sayangnya wajah Jihoon terlalu datar untuk dia baca. Seseorang cenderung mengernyit ketika ia ingin cokelat. Atau akan sedikit mengendus atau mengusap hidungnya ketika ingin jajanan pedas di depan SD. Tapi sekarang Jihoon diam tidak berekspresi.

“Kalo kamu lagi mau apa?” Tanya Jihoon setelah Hyunsuk pusing-pusing membaca raut wajahnya.

“ES KRIM!”

Jihoon tertawa pelan, “Yaudah, kita beli es krim. Aku juga suka es krim.”

“Yeay!! Hari ini aku lagi suka banget es krim, jadi aku harus makan es krim. Kebetulan banget deh kesukaan kita sama. Kayaknya kita emang jodoh.” Hyunsuk cekikikan sendiri.

Jihoon tidak bisa marah sedikitpun. Dia justru tertawa renyah mendengar ucapan Hyunsuk yang sedikit konyol. Tapi .... dia memang berharap, semoga pertemuan mereka bukan hanya kebetulan.

Karena perubahan sikap, sifat, dan perilaku ayangnya itu, Jihoon akhirnya buru-buru ke kamar Hyunsuk setelah pulang kerja. Hari ini ada rekaman, jadi Jihoon belum ketemu ayangnya sama sekali. Sedih.

“AYANK!” Jihoon teriak dari depan pintu.

Sewaktu dia masuk ke dorm, ada manusia dengan rambut pirang yang mengacak-acak dapur. Jihoon menelisik manusia itu dari atas sampai bawah. Yoshi? “Ngapain di dapur malem-malem?” Tanya Jihoon yang keheranan.

“Bikin mie. Laper.”

Jihoon tertawa terpingkal-pingkal. “Terus itu lu ngapain ngetok-ngetok telor pake gunting?”

“Pengen dimasak. Emang salah?”

Jihoon mengusap perutnya. Sedikit sakit karena tawanya tidak terkendali. “Bukan gitu caranya elah. Sini gue ajarin. Ini tengahnya, diketok aja pake pinggiran meja.” Jihoon mengetuk telurnya pelan. “Nah, ini dah retak sedikit, tinggal dibuka biasa pake tangan.”

“Jiun,” suara Hyunsuk terdengar di belakang mereka ketika Yoshi sibuk memuja dan memuji Jihoon.

“Tau ga sih, Yang. Masa ni bocil satu, mecahin telor pake—” Jihoon langsung berhenti berbicara ketika melihat kondisi ayangnya itu.

“YANG?!” Jihoon tertawa puas ketika akhirnya mengerti dengan perubahan perilaku ayangnya.

Hyunsuk di depannya hanya menunduk. Baju hitam panjangnya membuatnya terlihat semakin kecil. Rambut hitam legam dengan sedikit highlight putih di depan membuatnya terlihat seperti bayi. Jihoon tidak berhenti unyel-unyel rambut ayangnya yang menggemaskan.

“Ayang aku kenapa ga bilang kalo kamu ganti rambut? Ayang aku kenapa gemes banget. Ayang aku! Ayang aku!”

Hyunsuk masih menunduk sedih. Apa Jihoon tidak mengerti? Hidup dengan style seperti orang pada umumnya membuat dia kehilangan banyak tenaga. Seharian ini dia tidak ada tenaga untuk berbuat apapun.

“Aku sedih,”

“KENAPA SEDIH?! Ayang aku lucu. Ayang aku paling gemes. Ayang aku paling cantik sejagat raya!”

Hyunsuk justru semakin menunduk sedih. Jihoon akhirnya menangkup kedua pipinya sebelum mengecup kening Hyunsuk yang sedikit tertutup karena poni panjangnya.

Seriously?!” Yoshi tampak protes. “Gue lagi makan!”

Jihoon tidak menanggapi. Dia menggendong Hyunsuk di depan dadanya dan membiarkan Yoshi makan dengan tenang. Jihoon melangkah menuju kamar dengan seribu cerita tentang mereka sambil bersenandung.

“Ayang aku ganti rambut! Ayang aku makin tuing-tuing! Ayang aku gemesshh banget!”

Hyunsuk justru menghela napas mendengar ucapan Jihoon. Dia masih melihat senyum berseri Jihoon setelah mereka duduk berhadapan di kasur. Namun, pelan-pelan senyum pacarnya memudar.

“Ayang kenapa?” Jihoon ikut cemberut karena cemberut di wajah ayangnya tidak kunjung hilang.

“Aku ga suka rambutku item.”

“Kenapa?” Jihoon masih cemberut.

“Jelek. Udah gitu panjang gini, kan aku jadi chubby banget!” Hyunsuk kesal. Dia hampir mengeluarkan air mata sangking kesalnya.

“Terus kenapa kamu malah ganti rambut ke style yang ga kamu suka?” Jihoon makin cemberut.

Hyunsuk menghela napas berat, “Kamu tau kan fans pada suka. Terus rambut ini juga cocok buat comeback kali ini. Jadi waktu manager hyung saranin model ini, aku setuju.”

“Padahal kamu ga perlu ngelakuin itu semua buat bikin fans kamu seneng loh. Kamu juga ga perlu ngelakuin apa yang kamu ga suka demi cocok atau engganya buat lagu yang bakalan kamu rilis. Aku tau, lagu sama comeback kamu pasti bakalan tetep kereeen banget!” Jihoon tersenyum simpul, menenangkan pacarnya yang terkadang terlalu sibuk memikirkan style-nya.

Hyunsuk menghela napas lagi, belum tenang meskipun senyum Jihoon sangat manis. “Menurut kamu, rambutku yang sekarang cocok ga?”

“YAH! Itu mah jangan ditanya! Rasanya pengen aku makan tiap hari! Kamu kayak sushi kalo rambutnya item.” Jihoon terkekeh karena mendengar gerutuan Hyunsuk.

“Serius, Jihoon!” Hyunsuk protes. Pacarnya itu emang hobi banget ngeledekin dia.

“Kak Hyunsuk, sayangnya aku, yang paling gemes dan paling cantik. Kamu itu keren dengan cara kamu sendiri. Ga peduli kayak gimana kamu, daya tarik kamu ada di sini.” Jihoon menunjuk dada Hyunsuk dengan jari telunjuknya. Jihoon sudah tersenyum begitu lebarnya, tapi tidak ada sedikitpun senyum dari wajah Hyunsuk.

“Beneran?” Hyunsuk masih cemberut.

“Ya ampun, Yang. Beneran! Aku ga pernah peduli mau rambut kamu item kek! Rambut kamu kayak pelangi kek! Pink kayak babi kek! Atau oren kayak mas-mas Shopeefood kek! Semua sama aja di mata aku!”

“Aku serius, Jihoon.”

Jihoon terkekeh, “Serius, Sayang. Emangnya aku pernah bercanda mencintai kamu selama ini?” Jihoon menaik-turunkan alisnya, kembali meledek.

Hyunsuk masih dengan wajah sedihnya. Jihoon seperti sudah kehabisan kata-kata untuk menghibur ayangnya itu. Eits, tapi tenang, dia tidak pernah kehabisan cara untuk membuat ayangnya tersenyum.

Cup! Jihoon memberi kecupan hangat di bibir Hyunsuk yang melengkung ke bawah. Cara itu benar-benar membuat wajah yang dikecupnya dihiasi dengan senyuman indah. Jihoon mengusap lembut bibir lembab Hyunsuk dan berpindah ke dagunya yang pasti akan mencuat lucu jika cemberut. Ceruk di dagunya perlahan-lahan hilang karena senyum semakin mengembang di sana.

“Gitu dong. Kan kalo senyum makin gemes.” Jihoon tertawa renyah sebelum menyatukan bibir mereka dan sedikit merasakan napas hangat masing-masing.

“Jihoon, aku sayang banget sama kamu.”

Jihoon tertawa renyah, “He'em.”

“Ih, kok? Aku sayang kamu?”

“Iya, aku tau.” Jihoon tertawa lagi.

“Ish?! Aku sayang kamu loh?!”

Jihoon tertawa puas, “Iya, aku tau kok kamu sayang aku.” Dia menekankan kalimatnya. Benar-benar terdengar sangat meledek di telinga Hyunsuk.

Hyunsuk buang muka dan langsung tidur di kasur sambil memunggungi Jihoon. “Terserah!”

Jihoon tertawa terpingkal-pingkal, “Ayang aku gemes banget sih kalo marah!”

“BIARIN! Biarin aja! Ga gue kasih kalo lo minta-minta cium!”

Jihoon langsung takut. Dia peluk Hyunsuk dari belakang, “Ih, ayang, mah! Bercanda doang atuhlah.”

“Ga ada! Sana pulang!”

“Ga mau. Mau peluk ayang.”

“Ga ada. PULANG!!!”

Malam itu sebenarnya sama seperti malam lainnya. Mereka berkumpul di apart Hyunsuk yang nyaman bertiga. Dan sama seperti malam biasanya, Junkyu pulang lebih dulu dan hanya menyisakan Hyunsuk yang kadang sulit mengondisikan jantungnya ketika berdua dengan Jihoon. Mereka duduk di sofa ruang tamu. Jihoon dengan santai merebahkan kepalanya di atas pangkuan Hyunsuk.

“Suk, minta tangan lo dong.” Hyunsuk yang tengah mengatur napas, semakin terkejut karena Jihoon menarik tangannya dan meletakannya di atas rambut lembut Jihoon.

Jihoon mendongak dan menatap Hyunsuk dalam, bibirnya mengerucut. “Mau dielus-elus.” Permintaan itu membut tangan Hyunsuk bergerak dengan sendirinya. Bahkan satu tangannya yang lain juga bergerak untuk memeluk perut berotot Jihoon.

Mereka tengah menghabiskan series zombie yang mereka tonton sebelumnya. Tapi kini Hyunsuk bahkan tidak benar-benar mengerti apa yang sedang ia lihat di layar tv. Fokusnya habis oleh rambut halus Jihoon dan tangannya yang juga sedang diusap lembut oleh Jihoon.

“Suk,”

“Hm?”

Jihoon tidak mengatakan apapun lagi. Dia membiarkan Hyunsuk ribut dengan kepala dan perasaannya sendiri, menebak-nebak apa yang ingin ia katakan.

“Bikin mie, yuk?”

Hyunsuk menghela napas panjang setelah mendengar ajakan Jihoon. Entah lega, entah kecewa. Dia pikir setelah beberapa bulan ini tanpa kabar seseorang yang Jihoon pacari atau tiduri, Hyunsuk masih punya kesempatan.

Hyunsuk bergegas berdiri ketika Jihoon bangun dari tidurnya, dan cepat-cepat menutupi wajah kecewanya. Jihoon sepertinya tidak mengerti dengan tingkah Hyunsuk belakangan ini. Jihoon sepertinya tidak akan pernah mengerti bagaimana perasaan Hyunsuk.

“Ga jadi deh.” Ucap Jihoon yang melangkah mendekat. Dia menarik tangan Hyunsuk yang tengah mengambil dua bungkus mie instan dari dalam rak di atas kompornya. Dia membalikkan tubuh Hyunsuk agar menatapnya.

“Kayaknya gue mau cari kehangatan lain malem ini.” Lanjut Jihoon sebelum memeluk Hyunsuk erat. Dia menghirup seluruh aroma tubuh Hyunsuk yang menegang.

Entah apa yang Hyunsuk rasakan malam ini. Pelukan Jihoon rasanya selalu sama setiap hari, tapi ada yang berbeda kali ini. Sepertinya ... perasaan Hyunsuk yang berbeda. Pelukan Jihoon sangat nyaman, tubuhnya yang hangat membuatnya tidak ingin merasakan dinginnya malam. Aroma tubuh Jihoon selalu sama, membuatnya mabuk kepayang dan melupakan hal menyedihkan di dunia.

Namun, malam ini, hangat tubuh dan aroma memabukkan Jihoon tidak bisa membuatnya merasakan hal yang sama. Hyunsuk memejamkan mata, menutupi matanya yang memerah. Hatinya justru kesakitan merasakan hal yang selama ini membuatnya nyaman. Dia akhirnya melepas pelukan Jihoon kasar dan menggeleng cepat.

Hyunsuk bisa merasakan tatapan sedih dari Jihoon. “Kenapa?” Suaranya juga terdengar sedih.

Kalo lo peluk gue kayak gitu terus, hati gue ga akan sanggup, Ji. Batinnya. Hyunsuk hanya bisa menghela napas pelan, kenyataannya tidak bisa mengatakannya langsung.

Hyunsuk akhirnya mendongak karena Jihoon menangkup sebelah pipinya dengan tangannya yang dingin. “Lo ... marah sama gue?”

Hyunsuk tidak sanggup menjawabnya, bahkan untuk menggeleng saja rasanya berat.

“Suk, lo kenap—” Hyunsuk mengecup bibir Jihoon cepat, membuat ucapan Jihoon terputus.

Hyunsuk bisa merasakan langkah mundur Jihoon. Tangannya yang memeluk Hyunsuk erat juga hampir terlepas. Hyunsuk jadi kembali menunduk dalam, memaki diri sendiri atas apa yang telah dia lakukan. “Kalo lo mau cari kehangatan lain, kayaknya buat malem ini ga cukup kalo cuma peluk.” Cicit Hyunsuk yang masih menunduk.

“Suk, gue ga mau bikin lo sakit.” Jihoon mengangkat dagu Hyunsuk agar mata mereka kembali bertemu.

Hyunsuk merasakan matanya yang semakin panas. Pandangannya sudah pudar karena embun air mata yang terus memenuhi pelupuk matanya. “Gue udah sakit, Ji.”

“Suk, gue ga—”

“Ga!” Hyunsuk berteriak sambil terisak. “Ga tau sejak kapan akhirnya gue ga bisa liat lo sama orang lain, Ji. Awalnya gue pikir bareng lo terus, bisa dipeluk lo terus, bisa denger ketawa lo terus, itu udah cukup. Tapi ga tau sejak kapan akhirnya gue ga bisa kayak gini terus. Gue mau egois. Gue mau—”

Hyunsuk berhenti, isakannya membuatnya sulit berbicara. Dia akhirnya mendongak, menatap Jihoon dengan mata sembab dan hidung merah. “Gue mau milikin lo.”

Wajah Jihoon semakin sedih. Dia mengusap air mata Hyunsuk yang membasahi pipi dengan tangan bergetar. Setelahnya dia tidak mengatakan apapun, dan kembali menghapus jarak antara mereka. Bibir mereka kembali menyatu dengan kecupan hangat yang terus terdengar sampai langit-langit ruangan.

Hyunsuk ikut memejamkan mata seperti yang Jihoon lakukan, membalas kecupannya, dan membiarkan hatinya kembali jatuh pada seseorang yang tidak seharusnya ia cintai lebih dari ini. Tanpa memikirkan apa yang mungkin akan dia rasakan besok dan seterusnya, Hyunsuk memeluk leher Jihoon dan menelisik rambut halusnya dengan jemari, seperti mengatakan dia sangat suka ciuman ini.

Entah bagaimana caranya, sekarang Hyunsuk sudah berada di bawah Jihoon yang bertelanjang dada dan mengukungnya dengan kedua tangan kekar seperti di dalam jeruji besi. Napas Hyunsuk tersengal. Jihoon sangat pandai menggunakan bibirnya untuk membuat Hyunsuk kewalahan.

Tangan kanan Jihoon bergerak ke bawah, meremas pelan pinggul Hyunsuk yang tersentak karena tangan dingin Jihoon mengagetkannya. Jihoon akhirnya melepas ciuman mereka, Hyunsuk meraup oksigen dengan rakus dan bernapas dengan nyaman.

“Lo pinter juga ciumannya.” Jihoon tertawa renyah. Entah meledek, entah membanggakan. Yang pasti Hyunsuk membalasnya dengan tatapan tajam.

“Lo ga tau aja, gue hampir mati kehabisan napas.” Cibir Hyunsuk, melebih-lebihkan.

Jihoon justru tertawa semakin puas. Setelahnya, tidak ada tawa lagi. Tatapannya menenggelamkan Hyunsuk yang memang sudah lama tenggelam ke dalam mata itu. Hyunsuk lagi-lagi dikagetkan dengan kulitnya yang diusap halus dengan tangan dingin Jihoon. Tangan kekar itu dengan cepat menanggalkan kaos putih oversize Hyunsuk yang membuat wajahnya langsung memerah.

Hyunsuk menutup wajahnya dengan kedua tangan. Sejak dia berbaring di kasur empuknya, separuh bajunya sudah terangkat. Dan kali ini Jihoon benar-benar mengangkat bajunya sampai rasa malu menikamnya.

“Kenapa?” Jihoon tertawa lagi.

Malu!!” Teriakan Hyunsuk teredam di dalam tangannya.

Jihoon tidak tertawa lagi. Dia menarik satu tangan Hyunsuk untuk dia kecup. Telapak tangan Hyunsuk hangat, membuat Jihoon tersenyum simpul ketika bersentuhan dengan pipinya. Mereka tidak mengatakan apapun lagi, dan kembali menyesap manis dari bibir masing-masing. Kali ini rasanya lebih lembut sampai Hyunsuk rasa tidak ada jalan keluar dari persimpangan ini.

Hyunsuk bisa merasakan tangan Jihoon yang bergerak mengusap lehernya lembut, menari di atas perutnya, sebelum sampai di bagian yang belum pernah terjamah sedikitpun. Hyunsuk mendesah pelan di sela ciuman mereka. Napasnya menderu. Jantungnya berdetak lebih kencang. Entah karena terlalu bersemangat atau ...

“Ji!” Hyunsuk melepas lumatan Jihoon kuat. “Gue ... takut.”

Jihoon sedikit mengernyit. Dia terdiam beberapa saat, “Jangan bilang ...?”

Hyunsuk mengangguk, “Gue belom pernah sama sekali. Sama cewe ataupun sama cowo.” Ucap Hyunsuk setengah berbisik. Dia sedikit malu mengakui bahwa dia sudah terlalu dalam jatuh padanya.

Jihoon hendak bangkit, menghentikan apa yang seharusnya tidak ia lakukan. Dia benar-benar tidak ingin menyakiti Hyunsuk atau membuatnya semakin sakit.

“Tapi ...” Hyunsuk menghentikan gerakan Jihoon. “Gue ga keberatan kalo lo jadi yang pertama.”

Jihoon tersenyum hangat. Hyunsuk tidak bisa menebak apa yang Jihoon rasakan sekarang. Tidak sampai Jihoon mulai meninggalkan beberapa jejak di leher dan dada Hyunsuk. Beberapa kali dia menggigit kecil kulit putih Hyunsuk karena gemas. Hyunsuk bisa merasakan sengatan kebahagiaan itu hingga tertawa kecil.

Jihoon kembali menatap Hyunsuk. Senyumnya masih mengembang di sana. Hyunsuk bisa melihat matahari di balik sana sangking cerahnya. Hyunsuk jadi menerka-nerka, apa Jihoon juga punya perasaan kayak gue? atau apa Jihoon juga sayang gue?.

Karena tatapan itu, Hyunsuk akhirnya tidak bisa berbuat apapun selain mendesah ketika Jihoon memasukkan jarinya ke dalam bagian yang bahkan tidak Hyunsuk kenali sedikitpun. Hyunsuk mengernyit dan mengerang ketika dirasa Jihoon masuk terlalu dalam. Rasanya aneh.

Hyunsuk sangat yakin sekujur tubuhnya berkeringat dingin karena sakit dan tidak nyaman dengan apa yang ia rasakan. Namun, Jihoon juga memanjakan bagian lain di bawah sana yang membuat Hyunsuk benar-benar tidak mengerti dengan apa yang ia rasakan sekarang. Semuanya membingungkan ketika dia harus merasakan sakit dan nikmat sekaligus.

“Ji—” Hyunsuk hampir menangis karena dua jari besar Jihoon sedikit membuka dan membuat di bawah sana semakin sakit.

“Hm?” Jihoon membalas erangan itu dengan kecupan di dada Hyunsuk. “Ga mau lanjut, hm?”

Hyunsuk bisa melihat tatapan lain dari mata Jihoon. Dia bisa melihat tatapan mengintimidasi yang membuatnya semakin tidak bisa menolak. Hyunsuk akhirnya menggeleng pelan dan—

ARGH!” Hyunsuk mencengkram lengan Jihoon sangat kuat. Dia bisa merasakan gelombang panas di seluruh tubuhnya yang berpindah ke satu titik sebelum akhirnya meledak bersama erangannya.

Jihoon tersenyum puas karena wajah merah padam seperti tomat orang di bawahnya. Hyunsuk belum sadar sepenuhnya ketika Jihoon menyatukan bibir mereka kembali dan mendesak sesuatu di bawah sana. Rasanya benar-benar menyakitkan, Hyunsuk bahkan beberapa kali berteriak kesakitan. Tapi dia bersyukur karena Jihoon tidak berhenti, dan terus mendesak hingga mereka menyatu sepenuhnya.

Sekujur tubuh Hyunsuk seperti mati rasa. Dia hanya bisa merasakan Jihoon yang mengusap tengkuknya lembut. Jihoon belum bergerak dari sana sedikitpun. Dia terus menatap Hyunsuk di bawahnya yang masih menangis. Akhirnya dia sedikit menunduk dan berbisik di samping telinga Hyunsuk, “Gue bakalan gerak kalo lo berenti nangis. Kalo lo ga bisa berenti, gue yang bakalan berenti sekarang.”

Hyunsuk masih terisak. Dia menatap Jihoon yang tidak menunjukkan ancaman sedikitpun. Dia justru melihat tatapan khawatir di atasnya. Hyunsuk menggeleng pelan, “Ga-ga mau. Gue ... gue ga mau berenti.”

Jihoon tertawa renyah. Dia mengecup kening Hyunsuk singkat, “Yaudah, tapi jangan nangis.”

Hyunsuk mengusap matanya kasar, dan mengangguk cepat. “Tapi, mau cium. Cium di bibir.”

Jihoon tersenyum simpul dan kembali menyatukan bibir mereka. Hyunsuk tidak merasakan sakit sedikitpun meskipun Jihoon terus bergerak di atasnya, dan memporak-porandakan isi tubuhnya. Hyunsuk justru mendesah dan terus memanggil nama Jihoon karena nikmat yang menenggelamkannya.

Hyunsuk membuka mata perlahan ketika ia rasakan hangat telah menjauh dari bibirnya. Pemandangan paling indah yang pernah ia lihat selama hidupnya terlihat sesaat setelah matanya terbuka sempurna. Wajah Jihoon setengah merah dengan mata yang menatapnya sayu, di sudut bibirnya terbentuk guratan manis, Hyunsuk seperti mampu melakukan apapun demi melihat pemandangan ini. Hyunsuk seperti bisa merasakan jika apa yang ia rasakan juga dirasakan oleh orang di atasnya.

“Ji—” Hyunsuk mengerang. Tubuhnya seperti akan meledak untuk kedua kalinya.

Jihoon masih terus bergerak bahkan ketika tanpa sadar Hyunsuk mencakar punggungnya sampai hampir terluka. Jihoon tidak keberatan. Dia justru mempercepat gerakannya dan terkekeh pelan. Dia benar-benar puas melihat Hyunsuk yang hancur di bawahnya.

Hyunsuk memeluk Jihoon setengah menangis karena sisa permainan Jihoon yang menghancurkannya. “Gue sayang sama lo, Ji. Gue sayang banget. Lo bahkan bisa ambil hidup gue, karna gue emang sesayang itu sama lo.”

Jihoon tidak menjawab ucapannya. Tapi itu tidak mengurangi kebahagiaan Hyunsuk sedikitpun. Hyunsuk masih bisa tertidur dengan senyum yang terpulas di bibirnya karena malam ini adalah malam yang berbeda. Malam ini dia tidur di atas dada Jihoon dan membiarkan panas tubuh mereka saling menyatu di atas kasurnya yang sudah tidak berbentuk.

Hyunsuk tau apa yang mungkin akan dia rasakan besok. Sakit adalah kemungkinan terbesarnya. Tapi terlepas dari itu, dia benar-benar bahagia malam ini. Bahkan rasa bahagianya mengalahkan akumulasi kebahagiaannya selama dia hidup.

Hyunsuk berharap pagi tidak pernah datang untuk malam itu. Tapi sayangnya Jihoon membuka tirai kamarnya hingga cahaya matahari membangunkannya.

“Selamat pagi!”

Hyunsuk tersenyum tipis karena mendengar seruan Jihoon. Hyunsuk hanya bergumam pelan dan bangun dari tidurnya. Sekujur tubuhnya terasa sakit, terlebih lagi di pinggulnya. Tapi rasa sakitnya hilang begitu dia melihat Jihoon yang berlarian kecil membawakan sepiring nasi goreng.

“Cobain. Gue bikin sarapan.”

Hyunsuk tertawa pelan, “Yakin nih lo yang buat?”

“Gue liat Youtube, tenang aja. Rasanya ga gila-gila banget kok.”

Hyunsuk akhirnya melahap nasi yang sudah disendok Jihoon. Ternyata rasanya tidak seburuk itu. “Enak!”

Jihoon tertawa pelan, “Enak beneran, atau emang karna lo bucin gue?”

Hyunsuk memukul tangan Jihoon pelan, “Enak beneran, dih!”

Hyunsuk jadi teringat apa yang mereka lakukan semalam, dan apa yang ia katanya semalam. Hyunsuk tidak pernah menyesalinya, bahkan dia benar-benar bersyukur kesempatan untuk mengatakan itu terjadi, tapi dia sedikit kecewa dengan respon yang bahkan tidak Jihoon berikan sedikitpun.

“Ji,”

“Hm?”

Hyunsuk menunduk, tidak sanggup menatap Jihoon yang tersenyum semanis itu.

“Setelah apa yang kita lakuin semalem, apa yang bakalan terjadi buat ke depannya?” Tanya Hyunsuk yang masih menunduk.

“Maksudnya?”

Hyunsuk akhirnya mendongak demi melihat wajah Jihoon yang kebingungan. Rasa sakit yang sebelumnya ia rasakan perlahan menjalar lagi. Bahagianya seperti hilang begitu saja. Jadi, yang semalam itu bukan apa-apa ya buat Jihoon? Begitu pikirnya.

“Semalem gue udah bilang, gue sayang sama lo. Terus apa respon lo?”

Jihoon lagi-lagi tersenyum simpul, “Gue sayang juga lah sama lo.”

Hyunsuk menghela napas panjang. Bukan itu maksud dia. “Terus setelah ini apa?”

Jihoon terdiam. Sudah mengerti arah pembicaraan Hyunsuk.

“Suk,” Jihoon mengangkat dagu Hyunsuk, mengusapnya lembut sambil mengembangkan senyum. “Lo udah tau, kan? Gue ga akan pernah bisa punya hubungan yang serius. Gue ga bisa punya hubungan lebih dari ini.”

Hyunsuk merasakan panas di matanya. Wajahnya merah padam karena emosi yang menghantuinya. “Terus mau lo hubungan kayak apa, Ji?”

“Suk, gue udah bilang, gue juga sayang sama lo. Tapi bukan berarti gue juga bisa kasih hidup gue kayak yang lo lakuin. Gue cuma mau punya hubungan yang nyaman tanpa harus bergantung sama orang lain,” Jihoon mengusap pipi Hyunsuk lembut. “Gue cuma ... ga mau lo bergantung sama gue.”

“Ji,” hidung Hyunsuk tersendat, dia terisak tak lama setelahnya. “Apa lo ga pernah mikir setelah apa yang kita lewatin selama ini, gue bisa ga bergantung sama lo? Gue cuma bisa bareng lo. Gue cuma bisa tenang kalo dipeluk lo. Gue cuma sayang sama lo!”

Jihoon menunduk dalam. Hyunsuk tidak bisa membaca apa yang ada di kepala Jihoon sekarang. Akhirnya dia memaksakan mulutnya untuk bersuara, “Sekarang gue tanya lagi, lo sayang sama gue?”

“Gue sayang, Suk. Gue sayang sama lo. Tapi—”

“Yaudah. Lo pulang aja sekarang.”

“Suk?”

“Kalo ujung-ujungnya ga ada yang berubah sama kita, lebih baik lo pulang aja.”

“Jangan gini, Suk.”

Hyunsuk bangun dari kasurnya, berjalan tertatih-tatih menuju pintu. Dia membuka pintu lebar-lebah dan menunjuknya, “Tolong pulang sekarang. Gue mau sendirian.”

“Suk—”

“Pulang!!!”

Jihoon terdiam di hadapan Hyunsuk yang terisak. Hyunsuk meremas baju tidurnya yang Jihoon sematkan semalam. Rasanya sangat sesak sampai dia lupa bagaimana caranya bernapas.

“Yaudah, gue pulang dulu, ya. Jangan lupa dimakan sarapannya.” Jihoon mengusap bahu Hyunsuk pelan yang hanya membuat suara isakannya semakin pilu.

Hyunsuk bersimpuh di lantai sedetik setelah Jihoon melangkah keluar. Kunci apartemennya berbunyi yang menandakan Jihoon benar-benar pergi. Hyunsuk tidak pernah mengerti dengan apa yang ia rasakan jika itu semua menyangkut tentang Jihoon. Dia kecewa atas apa yang Jihoon katakan, tapi dia tidak bisa berbohong bahwa takutlah yang kini menghantuinya.

Dia takut dengan bayang-bayang beberapa tahun atau bahkan selamanya tanpa dekapan hangat Jihoon. Dia takut jika dia akan kehilangan Jihoon. Dia takut tidak ada tawa Jihoon untuk menemani hari-harinya. Dia benar-benar takut, apa yang akan terjadi jika dirinya tanpa Jihoon.

Akhirnya setelah seharian penuh menangisi perasaan bodohnya, dia memutuskan untuk meneruskan apa yang sudah ia mulai. Dia pikir menjadi “teman” tidur Jihoon tidak seburuk itu. Setidaknya dia masih bisa merasakan hangatnya pelukan Jihoon dan tidak kehilangan tawa yang selama ini menemaninya.

Hyunsuk rasa itu keputusan yang terbaik. Untuk saat ini.

Hyunsuk berteman baik dengan Jihoon sejak kuliah. Mereka saling kenal sewaktu SMA, tapi hanya sebatas saling tau, tidak lebih. Dia bahkan jauh lebih dekat dengan Junkyu ketika SMA.

“Suk, kenalin, ini Jihoon. Temen SMA kita, anak IPS 1.” Bahkan waktu itu Junkyu yang paling semangat memperkenalkan.

“Ah, udah tau gue mah kalo Hyunsuk.” Jawab Jihoon waktu itu. “Cowo paling gemes di sekolah kita masa ga kenal.” Bicaranya memang paling pintar di antara mereka bertiga. “Dan yang paling cool juga.” Lanjut Jihoon karena Hyunsuk tidak menanggapinya.

Kalau Hyunsuk? Jelas dia kenal siapa Jihoon. Orang berisik yang bahkan bisa dikenal oleh kakak kelas lima tahun di atas mereka. Omongannya selalu paling besar, rayuannya selalu tepat sasaran meskipun Hyunsuk benci. Seburuk itu Jihoon di matanya. Jadi sewaktu mereka berkenalan, Hyunsuk tidak tertarik sama sekali.

Minggu ke minggu, bulan akhirnya terbentuk. Satu bulan, dua bulan, tiga bulan. Tidak terasa pertemanan mereka berjalan lebih lama dari yang mereka bayangkan. Ternyata Jihoon tidak seburuk itu, kata Hyunsuk.

Jihoon memang orang yang menyebalkan. Suka meledeknya, bahkan terkadang Hyunsuk rasa itu sedikit berlebihan. Tapi Hyunsuk tidak mengerti kenapa dia tidak pernah marah. Mungkin karena Jihoon selalu menjaga batasnya, setiap kali Hyunsuk kesal, dia akan benar-benar berhenti. Bahkan kadang membuat hatinya jadi sedikit ... berbunga.

Mereka sering pergi bertiga. Junkyu emang bukan orang yang suka bepergian. Tapi dia tetap orang yang menyenangkan bagi Hyunsuk. Karena Jihoon yang selalu meledeknya, pertemanan mereka jadi lebih berisik.

“Ah anjing! Males gue Ji, lo mah nyebelin banget.”

Nye nye nye nye

“JIHOON ANJENG!”

Ya, begitulah. Kadang Junkyu akan membalas Jihoon, tapi tidak setiap hari dia punya tenaga untuk itu. Dan semua keributan itu menjadi hiburan buat Hyunsuk. Menyenangkan ketika melihat Jihoon kalah karena Junkyu membalasnya, tapi jauh lebih menyenangkan ketika Jihoon tertawa puas karena kemenangannya.

Pertemanan mereka seharusnya baik-baik saja. Seharusnya. Sampai akhirnya Hyunsuk merasakan ada yang berbeda dengan bagaimana rasanya menatap Jihoon sedekat ini. Merasakan bagaimana napas Jihoon membasuh kulitnya dengan hangat. Merasakan dekapan Jihoon yang seakan-akan membawanya pergi dari dunia yang menyeramkan ini.

“Suk, gapapa. Ada gue.” Bisiknya waktu dia tidak sengaja melihat Hyunsuk yang sedang hancur.

Sejak itu, mereka sering menghabiskan waktu berdua. Pembicaraan mereka juga lebih serius, membahas tentang apa yang mereka rasakan saat itu, dan apa saja yang terjadi dengan mereka. Hyunsuk tidak menyangka, Jihoon yang selama ini menyebalkan ternyata juga hidup di dunia yang jauh lebih menyebalkan.

Butuh waktu empat tahun untuk Hyunsuk tau siapa Jihoon sebenarnya. Apa yang dia lakukan selama ini. Dan bagaimana dia bisa sampai di titik ini.

“Ya, gue cuma mencontoh nyokap gue. Orang dia aja lonte, masa gue ga boleh nyobain lonte-lonte di luar sana?”

Sejak Hyunsuk mengetahui fakta itu, dia menjadi jurnal tentang malam yang sudah Jihoon habiskan bersama wanita atau pria yang ia temui. Awalnya Hyunsuk tidak begitu mempermasalahkan itu. Tapi lama kelamaan dia merasa muak dan akhirnya tersadar, perasaannya pada Jihoon sudah berbeda.

Seperti yang Jihoon katakan sebelumnya, dia akan datang ke apart Hyunsuk sore ini. Jadi, setelah pulang dari kantor, dia langsung memasuki kawasan apartemen mewah dengan sekantong kue kesukaan Hyunsuk.

Jihoon mudah saja ke apartemen yang sekarang Hyunsuk tinggali. Bahkan dia bisa ke sana dengan mata tertutup sangking seringnya. Jihoon menekan bel dengan perasaan senang. Sudah lebih dari dua minggu mereka tidak bertemu. Dan sudah selama itu juga dia tidak melewati malam indah dan panas bersama Hyunsuk.

Jihoon menekan bel kembali setelah dia rasa sudah menunggu begitu lama. Sebenarnya, dia mudah saja membuka pin pintu itu. Dia benar-benar bisa menyelinap diam-diam ketika malam seperti hantu yang akan ada di film horror. Tapi dia masih punya batas dengan siapapun, termasuk Hyunsuk.

Pintu terbuka pelan sebelum Jihoon menekan tombol bel untuk ketiga kalinya. Dia mengembangkan senyum lebih lebar dari sebelumnya. Wajahnya memerah karena sedikit bersemangat dan bergairah tidak sabar memeluk Hyunsuk yang sudah seperti “guling” berjalan untuknya.

“Hyun—”

“Lo ngapain?” Tanya seseorang dengan suara yang sedikit marah. Itu bukan suara orang yang ingin ia temui. Suaranya amat ia kenali, tapi dia berharap tidak mendengarnya hari ini. Orang itu benar-benar pengganggu.

“Lo yang ngapain!” Jihoon menerobos masuk, mencari-cari orang yang seharusnya ia temui langsung ketika pintu itu terbuka.

Jihoon berdiri kaku dengan dramatis ketika melihat Hyunsuk yang membenarkan kerah kemejanya dan mengusap kasar bibirnya yang basah. Jihoon menutup mulutnya dengan salah satu telapak tangan, lip tint Hyunsuk yang berwarna merah sedikit berantakan. Jihoon seperti bisa merekam ulang apa yang mereka lakukan tadi.

“Kalian ... abis ngapain?”

Seperti angin ribut di tengah laut, ucapan Jihoon benar-benar tidak ditanggapi. Dia sedikit menggeram kesal ketika Junkyu, orang menyebalkan yang baru saja membukakan pintu untuknya, memeluk Hyunsuk pelan. “Maaf, ya, Ayang. Aku harus pulang. Mama minta aku temenin.”

Jihoon seperti disambar petir yang dikeluarkan langsung dari awas di atasnya. Dia benar-benar terkejut. Apa lagi melihat Hyunsuk yang justru membalas pelukan Junkyu. “Gapapa, Sayang. Aku ngerti kok. Mama kamu pasti perlu kamu banget sekarang.”

Jihoon mulai paham dengan keadaannya. Dia jadi mencibir Junkyu yang terlihat sangat manja. “Idih. Dasar anak mami!”

Junkyu sudah melepas pelukan Hyunsuk dan pergi ke depan pintu, memakai sepatunya dengan tenang. “Daripada lo! Ga punya mami sama sekali! Cih!”

Jihoon langsung pening mendengar balasan Junkyu. Dia mencari tumpuan di sekitarnya dan berdiri kaku, tapi itu ada benarnya juga. Dia langsung diam, hanya melipat tangan di dada dan memperhatikan ke-uwu-an dua orang di depannya. Bahkan mereka kembali menyatukan bibir mereka di hadapan Jihoon tanpa ragu sedikitpun.

“Aku pergi, ya, Sayang.”

“Hati-hati, Sayang.”

Jihoon berdecih keras, seperti benar-benar jijik dengan apa yang barusan dia liat. Hyunsuk tidak menanggapi, dan melewati Jihoon bergitu saja seperti orang tak kasat mata yang tak bisa dia lihat sedikitpun. Jihoon memandanginya yang bergerak membersihkan meja makan.

Oh, abis makan bareng. Jelek banget makannya sore-sore. Pacaran sama anak mamih, sih. Cibirnya dalam hati.

Matanya masih menelaah seluruh tubuh Hyunsuk dalam diam. Ralat. Dalam cemoohan diam-diam. Tiba-tiba, ada satu titik di tubuh Hyunsuk yang membuat ia kembali terkejut. Dia kembali menutup mulutnya, kali ini dengan kedua telapak tangannya, mendramatiskan apa yang dia lihat.

“Lo ... lo abis ngewe bareng Junkyu?!”

“Park Jihoon!” Hyunsuk langsung berbalik kesal. Dia menatap Jihoon marah. “Bisa ga sih lo sehari aja ga usah ngomong jorok?! Kuping gue sakit!”

Jihoon cemberut. Pura-pura lucu, meskipun nyatanya memang benar-benar lucu. “Itu ... leher lo ada tattonya. Lo beneran nge—”

“E-ENGGA!” Hyunsuk menjawab gelagapan, memotong ucapan Jihoon sebelum kembali terbentuk sempurna kata-kata kotor itu.

“Terus apa dong?!”

“Tadi pas kita lagi ciuman, mamanya telfon. Mau ditemenin ke rumah sakit katanya. Jadi, mau ga mau kita tunda dulu deh.” Jelas Hyunsuk dengan wajah tersipu malu.

Air muka Jihoon langsung berubah. Dia tertawa puas mendengar cerita Hyunsuk. “Dasar anak mami beneran! Masa lagi sange-sangenya tau-tau pulang gitu aja karna mamanya telfon.”

Hyunsuk membuang muka, kembali melanjutkan aktivitasnya tanpa merespon ledekan Jihoon. Dia langsung berhenti tertawa karena ternyata Hyunsuk merespon di luar ekspektasinya. Padahal menurutnya, Hyunsuk itu sangat seksi ketika dia marah dan memukul-mukul Jihoon kecil. Tapi nyatanya, sekarang Hyunsuk tidak melakukannya.

Jihoon akhirnya mengambil beberapa piring kotor yang masih tergeletak di atas meja makan. Dia meletakkannya pelan di samping Hyunsuk yang mencuci piring. “Sejak kapan lo pacaran sama Junkyu?” Tanya Jihoon yang tidak membiarkan senyap menghantui mereka.

“Satu minggu yang lalu.”

Jihoon kembali mencibir dalam hati. “Kok lo bisa pacaran sama temen sendiri, sih? Kalo lo lupa, kita temenan dari jaman SMA. Dan Junkyu tuh suka kentut sembarangan.”

Hyunsuk menatap Jihoon tajam, seperti tidak suka dengan fakta yang dia sebutkan barusan. “Ya, terus kenapa? Daripada lo, sukanya tusuk pantat orang sembarangan!”

Jihoon tertawa geli karena jawaban Hyunsuk, tiba-tiba rasa kesalnya berkurang. “Bener juga, ya. Yaahh ... setiap orang punya plus minusnya masing-masing lah.”

“Sialan.”

Jihoon kembali diam. Namun, bukan berarti dia membiarkan sunyi menguasai mereka. Tentu saja karena dia tenggelam dengan wajah dan tubuh cantik Hyunsuk yang bahkan terlihat sangat menawan dari samping. Rambutnya yang dipoles putih bersinar keemasan karena pantulan cahaya lampu. Dia lantas memeluk Hyunsuk pelan karena paras yang selalu membuat perutnya menggelitik, diletakkannya dagu runcing itu di bahu Hyunsuk yang tiba-tiba menegang.

Meskipun Hyunsuk terlihat terkejut, tapi dia tidak menolaknya sedikitpun. Dia berhenti dari aktivitasnya sebentar, namun kembali menyelesaikan piring terakhir yang harus ia cuci bersih. Napas Jihoon yang berhembus bisa ia rasakan di antara ceruk leher hingga telinganya, membuatnya sedikit kesulitan untuk menjaga jantungnya tetap tenang.

“Tapi gue ga pernah peluk orang sembarangan kok. Gue picky kalo soal meluk orang. Gue cuma mau peluk orang yang hangat dan wanginya manis kayak bunga.”

Hyunsuk berdeham, tangannya ia genggam untuk menutup mulutnya. Dia terbatuk-batuk pelan untuk menutupi senyumnya. Jihoon tidak menyadari seyum tipis itu, jadi dia kecup pipi Hyunsuk cepat. “Dan yang hangat sama semanis bunga cuma lo.”

Hyunsuk melepas pelukan mereka dan memutar tubuhnya dengan cepat. Jihoon selalu pandai berbicara, tapi dia terlalu bodoh untuk berpikir lebih keras. Atau mungkin, Hyunsuk yang bodoh karena selama ini menerima apa pun yang Jihoon lakukan untuknya. Termasuk bagaimana dia mengendalikan hati dan perasaan Hyunsuk bergitu saja.

Setelah membalikkan badan dan menatap Jihoon lamat-lamat, Hyunsuk sebenarnya ingin mendorongnya menjauh. Tapi justru gerakannya malah tertahan di depan dadanya. Jihoon menatap Hyunsuk dengan mata sedalam lautan, seperti menyiratkan sebuah perasaan yang tidak pernah terungkap sebelumnya dari dasar laut yang paling dalam.

Jantung Hyunsuk berdetak lebih kencang. Bukan karena dia jatuh cintah dengan Jihoon. Mungkin bukan. Rasanya sangat aneh karena Jihoon tidak pernah menatapnya setulus ini. Jihoon tidak mengatakan apapun, itu yang membuatnya semakin bingung. Kadang, Jihoon akan berbicara panjang lebar sebelum mencumbu bibirnya kasar. Atau, cukup menarik dagunya dan mencium Hyunsuk semaunya.

Kali ini Jihoon berbeda. Dia melangkah perlahan, berdiri lebih dekat dengan tubuh Hyunsuk yang masih mematung. Hyunsuk berlonjak kaget ketika tangan kekar Jihoon pelan-pelan memeluk pinggulnya. Matanya menyiratkan permohonan yang tidak bisa Hyunsuk tolak. Semakin lama, tatapannya berubah, seperti mengintimitasi hatinya yang lemah, atau mendominasi sebagaimana yang biasanya Jihoon lakukan. Hyunsuk hanya bisa memejamkan matanya, seperti tidak mengerti cara untuk menolak atau membela diri.

Jihoon tersenyum simpul ketika melihat Hyunsuk yang tidak menolak. Dia mendekatkan bibirnya dengan bibir Hyunsuk yang semanis teh hangat pagi hari. Alih-alih membiarkan bibir mereka menyatu, Jihoon malah membiarkan hidung mereka saling bergesekan. Dia terkekeh pelan ketika tangan Hyunsuk yang sejak tadi berada di dadanya mencengkram kaos berkerahnya lebih erat.

Jihoon justru memberi jarak pada wajah mereka setelah Hyunsuk melingkari tangan di lehernya. Hyunsuk tersontak kaget, benar-benar Jihoon bajingan. Dia seenaknya saja melakukan sesuatu di luar nalar manusia. Tapi Hyunsuk jadi sedikit sedih, karena Jihoon justru menatapnya dengan tatapan sayu. Matanya yang indah, bulat sempurna, dengan warna hitam kecokelatan, seperti mutiara yang menggelitik, seketika berubah menjadi suram.

“Emangnya boleh?” Jihoon akhirnya bersuara dengan suaranya yang memelas.

“Hm?”

“Emangnya boleh?” Jihoon bertanya sekali lagi sambil mengusap pipi Hyunsuk dengan satu tangannya. “Lo udah punya orang lain sekarang.” Jihoon mengusap bibir tebal Hyunsuk dengan ibu jarinya.

Hyunsuk menoleh ke arah lain, menghindari tatapan Jihoon yang seribu kali lebih mematikan. Dia ingat perjanjian mereka, tidak boleh melakukan apapun ketika satu di antara mereka memiliki kekasih. Dia menghela napas pelan, kembali menatap Jihoon yang masih menyiratkan tatapan yang sama seperti sebelumnya. Hyunsuk mengangguk samar, sampai-sampai Jihoon hampir tidak melihatnya.

“Gimana, hm?” Jihoon bukannya tidak tahu maksud Hyunsuk. Tapi sepertinya kali ini dia sungguh ingin meledek Hyunsuk.

“Gapapa. Buat malem ini aja.” Bisik Hyunsuk sebelum ia memejamkan mata.

Jihoon tersenyum penuh kemenangan. Lantas mengecup Hyunsuk yang semakin lama semakin panas. Tangan yang semula ada di pipi Hyunsuk, turun ke tengkuknya, mendorong lebih dalam lidahnya yang bermain di dalam rongga mulut Hyunsuk. Dia seperti tidak peduli dengan perjanjian yang mereka junjung tinggi sebelumnya. Toh, mereka tidak melakukan perjanjian di atas matrai, atau perjanjian dengan dewa-dewa sampai akan menimbulkan mala petaka jika diabaikan.

Di hadapan Jihoon, Hyunsuk memejamkan matanya, merasakan lumatan Jihoon dengan suka cita. Tidak ada penolakan sedikitpun. Di kepalanya terputar Junkyu yang menyatakan perasaannya seminggu lalu. Dahinya mengerut tipis, pertama karena Jihoon mengigit bibir bawahnya pelan, kedua karena ia sudah mengkhianati Junkyu.

Cukup malem ini aja. Benak Hyunsuk. Iya, malem ini aja.