Paseafict

Seperti yang Jihoon katakan sebelumnya, dia akan datang ke apart Hyunsuk sore ini. Selesai dari kantor, dia tidak pulang ke apartemennya sendiri. Dia membelokkan motornya dan masuk ke komplek apartemen mewah.

Jihoon mudah saja ke unit apartemen yang Hyunsuk tinggalkan. Bahkan dia bisa ke sana dengan mata tertutup sangking seringnya. Jihoon menekan bel dengan perasaan senang. Sudah seminggu mereka tidak bertemu. Dan sudah seminggu juga dia tidak melewati malam indah dan panas bersama Hyunsuk.

Jihoon menekan bel kembali setelah dia rasa sudah menunggu pintu terbuka begitu lama. Sebenarnya, dia mudah saja membuka pin pintu itu. Dia benar-benar bisa menyelinap diam-diam ketika malam seperti hantu yang akan mencekik dalam gelap. Tapi dia masih punya batas dengan siapapun, dia menghormati Hyunsuk.

Pintu terbuka pelan sebelum Jihoon menekan tombol bel sekali lagi. Dia mengembangkan senyum lebih lebar dari sebelumnya. Wajahnya memerah karena sedikit bersemangat dan bergairah tidak sabar memeluk Hyunsuk yang sudah seperti “guling” berjalan untuknya.

“Hyun—”

“Lo ngapain?” Tanya seseorang dengan suara yang sedikit marah. Itu bukan suara orang yang ingin ia temui. Suaranya amat ia kenali, tapi dia berharap tidak mendengarnya hari ini. Dia benar-benar pengganggu.

“Lo yang ngapain!” Jihoon menerobos masuk, mencari-cari orang yang seharusnya ia temui langsung ketika pintu itu terbuka.

Jihoon berdiri kaku dengan dramatis ketika melihat Hyunsuk yang membenarkan kerah kemejanya dan mengusap kasar bibirnya yang basah. Jihoon menutup mulutnya dengan salah satu telapak tangan, lip tint Hyunsuk yang berwarna merah menyala sedikit berantakan. Jihoon seperti bisa memutar ulang apa yang mereka lakukan tadi.

“Kalian ... abis ngapain?”

Seperti angin ribut di tengah laut, ucapan Jihoon benar-benar tidak ada yang menanggapi. Dia sedikit menggeram kesal ketika Junkyu, orang menyebalkan yang baru saja membukakan pintu untuknya, memeluk Hyunsuk pelan. “Maaf, ya, Ayang. Aku harus pulang. Mama minta aku temenin dia.”

Jihoon seperti disambar petir yang dikeluarkan langsung dari trisula dewa zeus. Dia benar-benar terkejut. Apa lagi melihat Hyunsuk yang justru membalas pelukan Junkyu. “Gapapa, Sayang. Aku ngerti kok. Mama kamu pasti perlu kamu banget sekarang.”

Jihoon mulai paham dengan keadaannya. Dia jadi mencibir Junkyu yang terlihat sangat manja. “Idih. Dasar anak mami!”

Junkyu sudah melepas pelukan Hyunsuk dan pergi ke depan pintu, memakai sepatunya dengan tenang. “Daripada lo! Ga punya mami sama sekali! Cih!”

Jihoon langsung pening mendengar balasan Junkyu. Dia mencari tumpuan di sekitarnya dan berdiri kaku, tapi itu ada benarnya juga. Dia langsung diam, hanya melipat tangan di dada dan memperhatikan ke-uwu-an dua orang di depannya. Bahkan mereka kembali menyatukan bibir mereka di hadapan Jihoon tanpa ragu sedikitpun.

“Aku pergi, ya, Sayang.”

“Hati-hati, Sayang.”

Jihoon berdecih keras, seperti benar-benar jijik dengan apa yang barusan dia liat. Hyunsuk tidak menanggapi, dan melewati Jihoon bergitu saja seperti orang tak kasat mata yang tak bisa dia lihat sedikitpun. Jihoon memandanginya yang bergerak membersihkan meja makan.

Oh, abis makan bareng. Jelek banget makannya sore-sore. Pacaran sama anak mamih, sih. Cibirnya dalam hati.

Matanya masih menelaah seluruh tubuh Hyunsuk dalam diam. Ralat. Dalam cemoohan diam-diam. Tiba-tiba, ada satu titik di tubuh Hyunsuk yang membuat ia kembali terkejut. Dia kembali menutup mulutnya, kali ini dengan kedua telapak tangannya, mendramatiskan apa yang dia lihat.

“Lo ... lo abis ngewe bareng Junkyu?!”

“Park Jihoon!” Hyunsuk langsung berbalik kesal. Dia menatap Jihoon marah. “Bisa ga sih lo sehari aja ga usah ngomong jorok?! Kuping gue sakit!”

Jihoon cemberut. Pura-pura lucu, meskipun nyatanya memang benar-benar lucu. “Itu ... leher lo ada tattonya. Lo beneran nge—”

“E-ENGGA!” Hyunsuk menjawab gelagapan, memotong ucapan Jihoon sebelum kembali terbentuk sempurna kata-kata kotor itu.

“Terus apa dong?!”

“Tadi pas kita lagi ciuman, mamanya telfon. Mau ditemenin ke rumah sakit katanya. Jadi, mau ga mau kita tunda dulu deh.” Jelas Hyunsuk dengan wajah tersipu malu.

Air muka Jihoon langsung berubah. Dia tertawa puas mendengar cerita Hyunsuk. “Dasar anak mami beneran! Masa lagi sange-sangenya tau-tau pulang gitu aja karna mamanya telfon.”

Hyunsuk membuang muka, kembali melanjutkan aktivitasnya tanpa merespon ledekan Jihoon. Jihoon langsung berhenti tertawa karena ternyata Hyunsuk merespon di luar ekspektasinya. Padahal menurutnya, Hyunsuk itu sangat seksi ketika dia marah dan memukul-mukul Jihoon kecil. Tapi nyatanya, sekarang Hyunsuk tidak melakukannya.

Jihoon akhirnya mengambil beberapa piring kotor yang masih tergeletak di atas meja makan. Dia meletakkannya pelan di samping Hyunsuk yang mencuci piring. “Sejak kapan lo pacaran sama Junkyu?” Tanya Jihoon yang tidak membiarkan senyap menghantui mereka.

“Satu minggu yang lalu.”

Jihoon kembali mencibir dalam hati. “Kok lo bisa pacaran sama temen sendiri, sih? Kalo lo lupa, kita temenan dari jaman SMA. Dan Junkyu tuh suka kentut sembarangan.”

Hyunsuk menatap Jihoon tajam, seperti tidak suka dengan fakta yang dia sebutkan barusan. “Ya, terus kenapa? Daripada lo, sukanya tusuk pantat orang sembarangan!”

Jihoon tertawa geli karena jawab Hyunsuk, tiba-tiba rasa kesalnya berkurang. “Bener juga, ya. Yaahh ... setiap orang punya plus minusnya masing-masing lah.”

“Sialan.”

Jihoon kembali diam. Namun, bukan berarti dia membiarkan sunyi di antara mereka. Tentu saja karena dia tenggelam dengan wajah dan tubuh cantik Hyunsuk yang bahkan terlihat sangat menawan dari samping. Rambutnya yang dipoles putih bersinar keemasan karena pantulan cahaya lampu. Dia lantas memeluk Hyunsuk pelan karena paras yang selalu membuat perutnya menghelitik, diletakkannya dagu runcing itu di bahu Hyunsuk yang tiba-tiba menegang.

Meskipun Hyunsuk terlihat terkejut, tapi dia tidak menolaknya sedikitpun. Dia berhenti dari aktivitasnya sebentar, namun kembali menyelesaikan piring terakhir yang harus ia cuci bersih. Napas Jihoon yang berhembus bisa ia rasakan di antara ceruk leher hingga telinganya.

“Tapi gue ga pernah peluk orang sembarangan kok. Gue picky kalo soal meluk orang. Gue cuma mau peluk orang yang hangat dan wanginya manis kayak bunga.”

Hyunsuk berdeham, tangannya ia genggam untuk menutup mulutnya. Dia terbatuk-batuk pelan untuk menutupi senyumnya. Jihoon tidak menyadari seyum tipis itu, jadi dia kecup pipi Hyunsuk cepat. “Dan yang hangat sama semanis bunga cuma lo.”

Hyunsuk melepas pelukan mereka dan memutar tubuhnya dengan cepat. Jihoon selalu pandai berbicara, tapi dia terlalu bodoh untuk berpikir lebih keras. Atau mungkin, Hyunsuk yang bodoh karena selama ini menerima apa pun yang Jihoon lakukan untuknya. Termasuk bagaimana dia mengendalikan hati dan perasaan Hyunsuk bergitu saja.

Setelah membalikkan badan dan menatap Jihoon lamat-lamat, Hyunsuk sebenarnya ingin mendorongnya menjauh. Tapi justru gerakannya malah tertahan di depan dadanya. Jihoon menatap Hyunsuk dengan mata yang sedalam lautan, seperti menyiratkan sebuah perasaan yang tidak pernah terungkap sebelumnya dari dasar laut yang paling dalam.

Jantung Hyunsuk berdetak lebih kencang. Bukan karena mungkin dia jatuh cintah dengan Jihoon. Mungkin bukan. Rasanya sangat aneh karena Jihoon tidak pernah menatapnya setulus ini. Jihoon tidak mengatakan apapun, itu yang membuatnya semakin bingung. Kadang, Jihoon akan berbicara panjang lebar sebelum mencumbu bibirnya kasar. Atau, cukup menarik dagunya dan mencium Hyunsuk semaunya.

Kali ini Jihoon berbeda. Dia melangkah perlahan, berdiri lebih dekat dengan tubuh Hyunsuk yang masih mematung. Hyunsuk berlonjak kaget ketika tangan kekar Jihoon pelan-pelan memeluk pinggulnya. Matanya menyiratkan permohonan yang tidak bisa Hyunsuk tolak. Semakin lama, tatapannya berubah, seperti mengintimitasi hatinya yang lemah, atau mendominasi sebagaimana yang biasanya Jihoon lakukan. Hyunsuk hanya bisa memejamkan matanya, seperti tidak mengerti cara untuk menolak atau membela diri.

Jihoon tersenyum simpul ketika melihat Hyunsuk yang tidak menolak. Dia mendekatkan bibirnya dengan bibir Hyunsuk yang semanis teh hangat pagi hari. Alih-alih membiarkan bibir mereka menyatu, Jihoon malah membiarkan hidung mereka saling bergesekan. Dia terkekeh pelan ketika tangan Hyunsuk yang sejak tadi berada di dadanya mencengkram kaos berkerahnya lebih erat.

Jihoon justru memberi jarak pada wajah mereka setelah Hyunsuk melingkari tangan di lehernya. Hyunsuk tersontak kaget, benar-benar Jihoon bajingan. Dia seenaknya saja melakukan sesuatu di luar nalar manusia. Tapi Hyunsuk jadi sedikit sedih, karena Jihoon justru menatapnya dengan tatapan sayu. Matanya yang indah, bulat sempurna, dengan warna hitam kecokelatan, seperti mutiara boba yang menggelitik, seketika berubah menjadi suram.

“Emangnya boleh?” Jihoon akhirnya bersuara dengan suara seraknya.

“Hm?”

“Emangnya boleh?” Jihoon bertanya sekali lagi sambil mengusap pipi Hyunsuk dengan satu tangannya. “Lo udah punya orang lain sekarang.” Jihoon mengusap bibir tebal Hyunsuk dengan ibu jarinya.

Hyunsuk menoleh ke arah lain, menghindari tatapan Jihoon yang seribu kali lebih mematikan. Dia ingat perjanjian mereka, tidak boleh melakukan apapun ketika satu di antara mereka memiliki kekasih. Dia menghela napas pelan, kembali menatap Jihoon yang masih menyiratkan tatapan yang sama seperti sebelumnya. Hyunsuk mengangguk samar, sampai-sampai Jihoon hampir tidak melihatnya.

“Gimana, hm?” Jihoon bukannya tidak tahu maksud Hyunsuk. Tapi sepertinya kali ini dia sungguh ingin meledek Hyunsuk.

“Gapapa. Buat malem ini aja.” Bisik Hyunsuk dan dia memejamkan matanya setelah itu.

Jihoon tersenyum penuh kemenangan. Lantas mengecup Hyunsuk yang semakin lama semakin panas. Tangan yang semula ada di pipi Hyunsuk, turun ke tengkuknya, mendorong lebih dalam lidahnya yang bermain di dalam rongga mulut Hyunsuk. Dia seperti tidak peduli dengan perjanjian yang mereka junjung tinggi sebelumnya. Toh, mereka tidak melakukan perjanjian di atas matrai, atau perjanjian dengan dewa-dewa sampai akan menimbulkan mala petaka jika diabaikan.

Di hadapan Jihoon, Hyunsuk memejamkan matanya, merasakan lumatan Jihoon dengan suka cita. Tidak ada penolakan sedikitpun. Di kepalanya terputar Junkyu yang menyatakan perasaannya minggu lalu. Dahinya mengerut tipis, pertama karena Jihoon mengigit bibir bawahnya pelan, kedua karena ia sudah mengkhianati Junkyu.

Cukup malem ini aja. Benak Hyunsuk. Iya, malem ini aja.

Hyunsuk dijemput Jihoon pagi-pagi sekali. Bahkan satu kost Hyunsuk masih sunyi, tidak ada suara alarm yang biasanya bersahutan. Meskipun ini belum memasuki minggu liburan, tapi Hyunsuk sudah tidak ada lagi jadwal praktikum dan hari-harinya tidak sepadat sebelumnya. Dia seharusnya bisa tidur lebih tenang hari ini.

Hyunsuk berdiri sambil cemberut, masih menunggu Jihoon yang sibuk mengecek ulang peralatan. Ini memang masih pagi, tapi langit di atas mereka sudah membiru, cerah. Itu bukan berarti pagi “sekali” buat Jihoon, dia terbiasa beraktivitas lebih pagi dari ini.

“Kenapa, hm?” Jihoon tertawa singkat ketika melihat Hyunsuk dengan jaket orange menyala yang kebesaran. Itu punya Jihoon yang biasa ia pakai jika pergi ke tempat yang dingin, tentu aja kebesaran di tubuh Hyunsuk yang kecil, mungil, tuing-tuing. Gemes.

“Kenapa, Sayang?” Jihoon tanya lagi karena Hyunsuk tidak menjawab pertanyaannya. Dia sisir rambut Hyunsuk lembut dengan jarinya. Menyapu rambut hitam pacarnya hingga menampakkan kening yang berkerut tipis.

“Kenapa pagi banget? Emangnya kita bakalan dihukum kalo kesiangan?” Hyunsuk masih cemberut.

Jihoon justru tertawa pelan karena pertanyaan yang Hyunsuk lontarkan. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pertanyaannya, tapi Hyunsuk benar-benar menggemaskan. Jihoon tertawa karena wajah Hyunsuk yang gemas dengan hidung kemerahan sebab udara yang dingin. Semalaman hujan deras, membuat hawa pagi ini jauh lebih dingin daripada pagi biasanya.

“Kalo siang, takutnya hujan. Kan dari kemarin hujan.” Jihoon menjelaskan singkat sambil menatap pacarnya dengan senyum yang tidak pernah lepas dari wajahnya.

Hyunsuk mengangguk pelan, dia mengerti dengan cuaca di kota yang sekarang ia tinggali ini. Mau musim kemarau, mau musim penghujan, setiap hari ada aja agenda hujan badai. Hyunsuk tiba-tiba membayangkan jika hari ini akan terjadi hujan badai di atas. Dia langsung memeluk pacarnya erat. “Kalo ujan, kita ga usah jadi ke hutan deh, Mas. Aku takut nanti kita kesesat di hutan.”

Jihoon terkekeh gemas, “He'em, kalo hujan, kita pulang lagi.” Dia mengusap lembut pucuk kepala Hyunsuk yang tersandar di dadanya.

Bukannya siap-siap berangkat, mereka justru pelukan di samping motor Jihoon yang penuh sama tenda, sleeping bag, dan alat-alat lainnya. Sangat lama, tapi mereka nyaman berada di dalam pelukan masing-masing. Jihoon akhirnya berdeham pelan untuk mengakhiri pelukan mereka, meskipun dia sendiri juga enggan untuk lepas Hyunsuk dari pelukannya. “Ini kita mau pelukan aja nih sampe besok? Ga jadi ke hutan?”

Hyunsuk mendongakkan wajahnya tanpa melepas pelukan mereka. Dia tertawa pelan, “Iya, udahan pelukannya. Tapi nanti di sana lanjut lagi, ya?”

Jihoon mengangguk cepat, “Kita pelukan selama yang kamu mau.”

Mereka akhirnya mulai mengatur posisi di motor. Tenda dan dua tas sleeping bag diletakkan di pijakan kaki motor. Tas besar Jihoon dengan matras yang menggulung di atasnya dibopong di bagian depan. Hyunsuk membantu menyatukan dua pengait di tas carriernya agar Jihoon tidak terganggu ketika menyetir. “Mas Jihoon ga keberatan emang?” Hyunsuk menatap Jihoon sedikit khawatir karena tas carrier yang dibawanya sangat besar. Isinya juga banyak barang-barang keperluan mereka, lebih tepatnya jajanan Hyunsuk untuk tengah malam nanti.

Jihoon menggeleng cepat. Dia meminta Hyunsuk naik ke motor sekarang agar mereka bisa segera berangkat. Hyunsuk susah payah naik ke motor, padahal tasnya tidak seberat yang Jihoon gendong. “Mas Jihoon beneran ga berat? Aku aja berat loh.” Hyunsuk bertanya lagi.

“Aku udah biasa kok. Kalo lagi ada acara, bawaannya lebih banyak dari ini. Tenang aja, pacarmu ini udah ahli.” Jihoon terkekeh pelan. Dia menaik-turunkan alisnya, bergaya sok keren.

Hyunsuk memukul bahu Jihoon pelan yang membuat si pemilik bahu sedikit terhuyung ke depan. Salting. “Gaya banget, sih!” Hyunsuk tertawa sinis, seakan-akan tidak setuju. Padahal dia amat sangat setuju kalau Mas Jihoon-nya itu ahli di segala hal yang dia tau, terutama ahli membuat dia semakin sayang setiap harinya.

Mereka akhirnya memulai perjalanan yang sepertinya akan sangat panjang. Setidaknya itu yang Hyunsuk bayangkan. Melewati gunung, bukit, lembah, semak belukar, dan akan sampai di tengah hutan tempat mereka membangun tenda. Empat puluh lima menit waktu mereka dihabiskan untuk melewati jalan raya perkotaan yang biasa mereka lewati ketika mau berlibur, sekedar makan jagung bakar dan sebagainya. Di sana, mereka sempat berhenti di warung untuk membeli sayur dan es teh kesukaan Hyunsuk. Kemudian baru melanjutkan perjalanan.

Biasanya, kalau healing, mereka bakalan lurus dan memilih jalanan yang lebih besar. Tapi kali ini Jihoon membelokkan motornya ke persimpangan yang lebih kecil. Sekelilingnya masih banyak warung-warung bahkan rumah makan, tapi semakin mereka melaju, pemandangan akan berubah menjadi bukit-bukit yang menjulang tinggi.

“Uwahh!!” Hyunsuk hampir menganga karena melihat pemandangan serba hijau yang memanjakan mata. Dia yang sejak tadi memeluk Jihoon, akhirnya mendongakkan kepalanya. Bahkan mengambil beberapa video dengan satu tangan yang masih memeluk Jihoon lebih erat dari yang sebelumnya. Jihoon tersenyum tipis karena Hyunsuk terlihat sangat senang.

“Halo guys! Kita lagi otw ke hutan. Liat, pemandangannya bagus banget!” Hyunsuk bermonolog di depan ponselnya. “Oh iya, kita mau nge-camp tau. Berduaan aja. Sst, jangan bilang-bilang!” Kali ini Hyunsuk berbisik ke kamera. Jihoon jadi tertawa geli, Hyunsuk memang selalu lucu.

“Udah, disimpen hpnya. Nanti jatoh.” Ucap Jihoon karena Hyunsuk sudah merekam terlalu lama. Hyunsuk langsung diam, cemberut, padahal dia masih mau merekam. “Nanti ga bisa peluk aku juga.” Lanjut Jihoon yang bikin Hyunsuk langsung simpan lagi hpnya dan peluk Jihoon dengan kedua tangannya. Jihoon emang selalu punya cara agar Hyunsuk tidak bisa menolaknya.

“Aku udah lama banget tau, Mas, ga liat yang ijo-ijo kayak gini.”

“Hm? Masa iya? Kan kampus kita mah udah kayak taman kota. Banyak bukitnya pula.” Jawaban Jihoon sedikit meledek Hyunsuk yang sering mengeluh waktu harus naik turun di kampusnya, banyak jalur mendaki, katanya.

“Ya, kan, kalo ijo di sana ingetnya laprak. Beda.” Hyunsuk sedikit kesel. Keliatan dari cara dia balas ucapan Jihoon.

“Kalo ijo di sini ingetnya apa dong?”

Hyunsuk terkekeh, “Ingetnya Mas Jihoon!”

Jihoon tertawa. Semakin ke sini, skill ngegombal Hyunsuk semakin keliatan progressnya. Kira-kira kenapa bisa gitu, ya? Jihoon akhirnya cuma bisa ketawa karena tas besarnya ganggu pergerakannya. Padahal dia mau usap-usap tangan pacarnya yang gemes itu.

Sekarang mereka lebih banyak diam. Jalanan udah semakin berat. Banyak belokan tajam, tanjakan curam, dan jalanan semakin kecil. Hampir lima belas menit mereka melewati jalanan itu sebelum akhirnya masuk ke jalanan yang lebih berat. Jalanannya aspal berbatu yang sudah diselimuti tanah. Agak serem, tapi untungnya seperti yang Jihoon bilang tadi, dia udah ahli soal ini. Jadi, Hyunsuk ga takut sama sekali.

Hyunsuk justru lebih takut karena mereka berhenti di parkiran motor. Dia celingak-celinguk, memantau jalanan menanjak yang tidak terlihat ujungnya. Jihoon menggendong tas dan menenteng bawaan yang ada di motor. “Ayo!”

Jihoon berjalan mendahului Hyunsuk tanpa menyadari pacar kecilnya yang berdiri kaku menatap medan terjal di hadapannya. Hyunsuk langsung nyesel kenapa dia harus minta “hutan” yang sering Jihoon datengin. Padahal dia seharusnya paham itu berbeda dengan bumi perkemahan untuk tempat bersenang-senang.

“Loh? Kok diem aja?” Tanya Jihoon yang sudah berjarak beberapa langkah dari Hyunsuk.

“Kita jalan ke situ, Mas? Sambil bawa tas? Iya?” Hyunsuk tampak memelas.

“Iya. Kenapa emangnya?” Jihoon malah balik bertanya, seperti tidak melihat ada yang salah dari jalanan itu.

“Berat! Aku takut nanti pertumbuhanku terhambat!”

Jihoon tertawa geli. “Engga dong. Kan kamu tahun ini 20 tahun, Hyunsuk. Ga bisa tumbuh lagi juga.” Sekarang tawanya jadi terdengar seperti meledek. Hyunsuk jadi sedikit kesal. Sedikit.

“Ish! Nanti aku jadi makin pendek gimana? Udah tau aku sering diledekin karna pendek! Mas Jihoon tega kalo aku diledekin terus?!”

Jihoon lanjut ketawa, tapi tidak lama. Abis itu, dia mikir sebentar sambil menimbang-nimbang bawaan mereka yang cukup banyak untuk dua orang. “Yaudah. Tasmu aku yang bawain. Sini.”

“Terus, tasnya Mas Jihoon gimana?” Tanya Hyunsuk yang tetap melepas tasnya.

“Aku tinggal dulu.”

“Ih! Kok gitu?! Terus ga di bawa ke atas?”

Jihoon menggendong tas Hyunsuk dengan nyaman, seperti bukan apa-apa untuk badannya yang besar. “Nanti aku turun lagi.”

Hyunsuk langsung nunduk, merasa ga enak hati. “Nanti Mas Jihoon bolak-balik dong.”

“Gapapa dong. Daripada pacar aku nanti makin kecil, terus makin gemes, terus makin banyak dideketin sama orang. Kan aku juga yang repot. Bolak balik dari sana ke sini mah bukan apa-apa buat aku, ketimbang harus liat pacar aku dideketin atau digodain orang lain.”

Hyunsuk langsung senyum seneng lagi. Dia ambil tentengan yang ada di tangan kanan Jihoon yang ga seberapa ketimbang tas yang dia bopong sebelumnya. Tangan Jihoon yang kosong akhirnya dia gandeng, rasanya tangannya pas banget di dalam tangan Jihoon, seperti memang terlahir untuk saling bergandengan. “Makasih, ya, Mas Ayang.”

Perjalanan menuju pos yang mau mereka tempatin lumayan jauh. Bukan, lebih tepatnya sangat jauh. Mereka berhenti di tempat yang Hyunsuk rasa itu bukan menjadi tempat yang bagus buat bangun tenda, “Kita udah sampe, Mas?” Tanya Hyunsuk yang napasnya udah ga beraturan.

Jihoon ketawa pelan, “Kita bahkan belom masuk. Ini aku isi data dulu.” Hyunsuk nengok ke kiri dan ke kanan, mandangin jalanan yang kayaknya ga sanggup dia lewatin. Tapi Jihoon kayak ga ngeliat apa-apa dan gandeng tangan Hyunsuk lebih erat buat nanjak jalanan setapak.

Sewaktu dilewatin, ternyata jauh lebih berat. Bahkan setelah ngelewatin pos pertama aja Hyunsuk udah ngos-ngosan. Dia hampir nyerah dan minta mereka bangun tenda di pos kedua. Tapi sayang, pos kedua udah ga bisa bangun tenda lagi karena udah ada beberapa tenda di sana. Akhirnya mau ga mau Hyunsuk tetep jalan dan pergi ke pos awal yang mau mereka tuju.

“Mas! Udah ga kuat!” Hyunsuk merengek.

“Sebentar lagi, Sayang. Tuh, udah keliatan.”

“Mas Jihoon mah kan dari tadi ngomongnya kayak gitu terus.” Hyunsuk cemberut karena Jihoon sudah mengatakan kalimat yang sama selama tiga kali.

Jihoon tertawa pelan, tangannya menggenggam tangan Hyunsuk lebih erat. “Yaudah, kalo cape kita berenti dulu.”

Hyunsuk langsung duduk di batu besar yang ada di sana begitu dengar apa yang Jihoon bilang. Dia mengambil minum di samping tasnya dan meminumnya dengan rakus, seperti orang yang baru saja selesai lari maraton. Tiba-tiba ada suara daun kering yang diinjak di sampingnya. Suaranya bukan seperti langkah kaki, tapi daun kering itu bersuara semakin dekat seperti menghampirinya. Hyunsuk menoleh ke arah sumber suara, “AAKKK!!!” Hyunsuk berteriak dan langsung berlari ke belakang Jihoon.

Ada ular di sana. Berwarna cokelat solid yang menyerupai ranting pohon. Mungkin kalau Hyunsuk tidak mendengar suara daun kering, dia akan mengira itu hanya batang pohon yang jatuh. Itu juga bukan ular raksasa dengan ukuran abnormal, tapi cukup besar untuk Hyunsuk yang belum melihatnya sama sekali. Selagi Hyunsuk ketakutan, Jihoon justru semudah itu mengusir ular dari pandangan mereka.

“Itu bukan ular berbisa kok. Ga usah panik, ya.” Ucap Jihoon sambil menepuk-nepuk tangannya.

“Kok Mas Jihoon bisa tau?”

“Kan bisa diliat dari kepalanya. Hayo, biosisnya lupa, ya?” Jihoon menunjuk Hyunsuk yang sekarang menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Engga lupa. Basa-basi aja.” Hyunsuk terkekeh.

Jihoon tertawa dan mengacak-acak rambut Hyunsuk. “Yaudah. Mau lanjut lagi jalannya?”

Hyunsuk mengangguk cepat dan gandeng tangan Jihoon lagi. Dia mau cepet-cepet pergi aja sebelum ular itu dateng lagi.

Ternyata tempat mereka untuk mendirikan tenda emang ga jauh dari sana. Tempatnya ga begitu luas, tapi cukup untuk dua atau tiga tenda kecil. Di sana ada banyak pohon besar, banyak akar-akar besar yang mencuat ke permukaan tanah. Hampir setengah lahan itu akhirnya ga bisa dijadiin tempat untuk bangun tenda. Kemungkinan besar, ga ada lagi yang bangun tenda di sana. Tapi Hyunsuk ga takut sih, atau mungkin belum, karena ini masih pagi. Tapi selagi ada Mas Jihoon-nya, dia ga takut sama sekali.

Mereka langsung bangun tenda begitu sampai di sana. Sebelumnya Hyunsuk udah pernah bangun tenda di kegiatan kampus waktu itu, tapi dia bareng temen-temennya. Waktu itu berdelapan, dan perlu setengah jam lebih buat mereka bangun dua tenda. Sekarang juga agak susah sih, tapi dia lebih percaya diri karena bareng Jihoon. Ternyata bener aja, mereka ga perlu susah-susah bangun tenda kayak yang Hyunsuk bayangin. Mungkin Jihoon sendiri aja bisa bangun tenda yang ga begitu besar ini.

“Mas, yang ini dipakein pasak juga?”

“Iya. Yang ada talinya, dipakein pasak aja.” Jihoon jawab dari sisi lain tenda.

Hyunsuk celingak-celinguk, mencari batu yang cukup besar buat pukul-pukul pasaknya biar tertancap dalam. Tapi sebelum ketemu, Jihoon justru datang dan mendorong pasak itu sampai terbenam sempurna. Jihoon kemudian pindah ke sisi lain dan kembali menancapkan pasak di pengait tenda, melakukan semua pekerjaan itu dengan cepat, seperti menjadi pekerjaannya sehari-hari.

Hyunsuk nyengir, Mas Jihoon-nya itu emang selalu bisa diandalkan.

“Aku ambil tas yang di parkiran dulu, ya. Kamu gapapa sendirian, kan?”

Hyunsuk menggeleng pelan sambil membongkar tasnya. “Tapi Mas Jihoon jangan lama-lama, ya!”

“Iya!”

Jihoon selalu jadi pacar yang tepatin janjinya. Karna Hyunsuk sendiri heran, kok bisa dia ambil tas secepet itu. Hyunsuk jadi sedikit ragu soal pacarnya itu manusia atau bukan, atau jangan-jangan Jihoon itu ironman, ya? Dia bisa panggil kostumnya kapanpun terus terbang.

“Mas Jihoon ambil tas di mana?”

“Ya, di tempat tadi.”

“Kok cepet banget?!” Hyunsuk keheranan.

“Masa sih?”

“Iya! Mas Jihoon itu manusia bukan sih?!”

Jihoon ketawa, “Emang kamu pikir aku apa?”

“Mas Jihoon manusia super! Mana ada manusia normal yang jalan sejauh itu bawa tas berat ga cape sama sekali!”

Jihoon nunduk sedikit biar wajah mereka sajajar, “Aku ga kepikiran cape sedikitpun. Soalnya pikiran aku udah penuh sama kamu yang sendirian di sini.”

Hyunsuk langsung merah mukanya. Dia pukul tangan Jihoon pelan, sebagai tanda kalau dia salting. “Ih, Mas Jihoon jangan gombal terus!” Hyunsuk langsung kabur ke tenda, takut digombalin lagi. Lebih milih bongkar muatan dan persediaan makannya untuk seharian ini.

“Mas, masa aku laper.” Ucap Hyunsuk yang keluar dari tenda.

Jihoon di luar lagi rapihin matras buat mereka duduk-duduk dan masak. Jihoon natap Hyunsuk kaget, “Loh? Kan tadi udah sarapan?”

“Sarapan apaan kalo cuma makan arem-arem? Itu mah baru nyampe ke tenggorokan juga langsung kecerna.”

Jihoon ketawa, “Tapi aku masih kenyang tuh.”

“YEU! Mas Jihoon makan arem-arem tiga biji! Aku tadi cuma satu, ya!” Hyunsuk protes.

Jihoon ketawa lebih keceng dari sebelumnya, “Yaudah, kan kita bawa jajanan. Makan jajanan aja.”

Hyunsuk geleng, “Maunya masak.”

“Yeuh, itu mah maunya kamu aja main masak-masakan.”

Hyunsuk tertawa geli, dia suka banget masang gas di kompor terus masak di nesting yang bertingkat-tingkat.

Karena itu permintaan dari kesayangannya, akhirnya Jihoon ngeluarin sosis, salada, roti, mentega, dan sous. Mereka bakalan bikin sandwich. “Seladanya aku cuci, ya, Mas!” Hyunsuk langsung lari-larian kecil pas Jihoon ngangguk pelan. Dia langsung ke sungai kecil yang ngalir ke arah telaga.

Tempat mereka bangun tenda ga begitu deket sih sama sungainya, Hyunsuk bahkan perlu turun biar bisa nyuci seladanya. Tapi suara air ngalir itu kedengeran sampe ke tenda mereka, bikin suasana lebih nyaman.

Mereka bikin dua porsi sandwich. Cepet sih masaknya, tapi makannya jauh lebih cepet sampe akhirnya Hyunsuk bikin satu porsi lagi. Saus dan mayonise sampe belepotan di mulut Hyunsuk, mungkin sangking lapernya.

“Kasian banget sih, pacarku kelaperan.” Jihoon usap mulut Hyunsuk yang belepotan pake tangannya yang bersih.

“Mas Jihoon ga mau lagi?” Tanya Hyunsuk dengan mulutnya yang penuh sama makanan.

Jihoon geleng pelan sambil ketawa, “Aku udah kenyang, apa lagi liat kamu lahap banget kayak gitu.”

Hyunsuk nyengir, “Abis ini kita main air, yuk, Mas?”

“Yuk! Kalo gitu aku rapihin barang bawaanku dulu, ya?”

Hyunsuk ngangguk-ngangguk sambil abisin sandwich yang ada di tangannya. Ga perlu waktu lama buat Hyunsuk abisin sandwich yang tersisa, dan ga perlu waktu lama juga buat Jihoon rapihin barang-barangnya. Mereka langsung ke sungai pas semuanya selesai.

Hyunsuk seneng banget. Dia siram-siram Jihoon pake air yang dingin. Si Mas lari kecil, menjauh dari pacar kecilnya. Ga lupa juga hp yang selalu ada di tangan Hyunsuk buat nge-vlog. Padahal di situ airnya dingin banget, meskipun masih siang dan matahari lagi panas-panasnya, tetep aja airnya bikin kaki kerasa beku. Tapi itu semua bukan penghalang buat Hyunsuk lari-larian. Dia seneng banget, semakin dingin bagi dia semakin bagus. Jarang-jarang kan, biasanya di kota, dia kepanasan dan harus pake AC di suhu paling rendah buat ilangin panas.

“Hyunsuk! Hati-hati jatuh. Hpnya juga hati-hati pegangnya.” Jihoon agak khawatir karna pacarnya yang tiba-tiba jadi hiperaktif gini. Padahal biasanya dia lebih banyak mager di kamar kostnya.

“Iya, Mas. Ga bakalan jat—BUG!”

Jihoon langsung nyamperin Hyunsuk yang kepeleset. Batu-batu di dasar sungainya emang datar, jadi ga sakit waktu diinjek. Tapi malah jadi bikin licin karena lebih gampang tumbuh lumut. Jihoon langsung angkat Hyunsuk yang duduk kaku, mungkin karena kaget.

“Hpku nyemplung.” Hyunsuk hampir nangis gara-gara mikirin hpnya.

Jihoon justru hampir nangis karena hal lain, “Kamu gapapa? Ada yang sakit ga?” Dia heboh liatin pacarnya dari atas sampe bawah.

Hyunsuk geleng-geleng, “Aku ga kenapa-kenapa, Mas. Tapi hpku kenapa-kenapa. Kalo mati gimana? HUAAA!”

Jihoon langsung peluk Hyunsuk meskipun yang dipeluk basah kuyup. “Aduh, kamu jangan lari-larian lagi, ya. Nanti aku jantungan kalo kamu jatoh terus.”

Hyunsuk jadi ketawa pelan, “Iya, Mas. Maaf ya.” Dia balas pelukan Jihoon sambil senyum lebar. Takutnya karna hp yang barusan tenggelem langsung ilang gitu aja.

Gara-gara Hyunsuk jatoh, mereka langsung balik ke tenda. Hyunsuk ganti baju dan sedikit cuci muka di kamar mandi yang ada di toilet pos dua. Balik-balik dia ngoceh pas mereka lagi duduk santai di matras. “Ya ampun, cape banget! ke toilet aja harus naik turun. Nanti aku kurus beneran ini!”

Jihoon ketawa, dia pamerin otot tangannya. “Engga dong, jadinya sehat kayak gini.”

Hyunsuk pukul tangan Jihoon yang lagi dipamerin itu. Dia natap tajem banget, “Ga usah pamer! Badan aku emang ga kayak Mas Jihoon, tapi aku lebih lucu, ya!” Tapi akhirnya Hyunsuk cuma bisa ngeliatin Mas Jihoon-nya itu dari kepala sampe ujung kaki. Emang bukan tanpa alasan badan Jihoon bagus kayak gini. Tapi sebenernya, tanpa dia pamerin pun Hyunsuk bangga punya pacar ganteng, pinter, dan baik hati kayak gini. Jadi yang Jihoon lakuin itu ga efisien sama sekali.

Jihoon akhirnya tiduran di atas matras. Tangan kanannya dia lipet buat jadi bantalnya. Terus tangan kirinya dia bentangin biar Hyunsuk bisa jadiin itu sebagai bantal. Ini salah satu kegunaan tangan berotot Jihoon, buat dia jadiin bantal sehari-hari. Hyunsuk langsung tidur di atasnya dengan suka cita. Meskipun mereka cuma tiduran di atas matras, tapi rasanya nyaman banget. Apa lagi sambil bareng Mas Jihoon-nya kayak gini.

Mereka ga ngobrol lagi, sibuk mandang langit yang udah ga begitu terik dan sedikit tertutup sama pohon-pohon rindang. Beberapa kali Hyunsuk teriak, “Ih! Ada bajing!” Jihoon ketawa, “Jangan ditambahin 'an', ya.”

“Ih! Ada bajing!” Teriak Hyunsuk lagi. Dia noleh ke arah Jihoon yang ga jawab lagi kayak tadi. “... an.”

“Heh!” Jihoon berseru galak, dia noleh ke arah Hyunsuk sambil ketawa pelan. Yang digalakin justru kesenengan karna bisa ambil perhatian pacarnya yang lagi bengong entah mikirin apa. Hyunsuk ikut ketawa dan peluk Jihoon sambil senderin kepala di dadanya.

Hyunsuk menghidup udara dalam-dalam. Matanya terpejam dan membiarkan seluruh aroma yang ada memabukkan penciumannya. Dia bisa merasakan aroma tubuh Jihoon yang selalu menjadi favoritnya. Sekarang aromanya bersatu padu dengan aroma rumput yang basah dan aroma matahari yang bersih dari hiruk pikuk kota. Hyunsuk tidak melebih-lebihkan, tapi rasanya seperti berada di surga dunia.

Hyunsuk membiarkan aroma familiar Jihoon dan aroma asing hutan benar-benar membuatnya mabuk hingga terlelap. Terik matahari tertutup kanopi hutan, angin bertiup pelan meniupkan udara dingin, Hyunsuk tidak punya alasan lain untuk tetap terjaga di posisi senyaman ini. Dia akhirnya benar-benar tertidur dan membiarkan Jihoon terus berbicara sendiri.

“Kayaknya beberapa minggu lalu, waktu kita putus, ga pernah sedikitpun aku ngebayangin bisa berdua bareng kamu kayak gini. Sekarang, rasanya cuma ada aku sama kamu, dan ga ada rasa sedih lagi di antara kita. Kalo kamu? Kamu bahagia ga, Suk?” Jihoon terus berbicara sambil mendongak ke arah dedaunan yang menari karena musik yang angin mainkan. Dunia terasa begitu indah sewaktu mereka berdua.

“Hyunsuk?” Jihoon akhirnya menoleh ke arah Hyunsuk karena ucapannya tak kunjung dapat balasan. Dia tertawa geli hingga dadanya naik turun dengan cepat. Itu mungkin membuat Hyunsuk sedikit terguncang di dalam mimpinya dan akhirnya terbangun.

“Hm? Kenapa?” Hyunsuk tersentak dan berusaha membuka matanya lebih lebar meskipun rasanya tidak bisa.

“Kok kamu tidur?”

Hyunsuk menguap lebar, dan kembali memeluk Jihoon dengan jauh lebih erat daripada yang sebelumnya. “Aku ngantuk.” Dan Hyunsuk kembali dengan air mukanya yang tenang, terpejam anggun, dan tertidur.

Jihoon menahan tawanya sekuat tenaga, takut-takut kalau gerakan dadanya membuat Hyunsuk kembali tersentak. Dia mengecup pucuk kepala Hyunsuk setelah selesai tertawa. Kemudian, kembali menatap ke arah langit yang tertutup pohon rindang, dan menepuk-nepuk pundak Hyunsuk pelan, membuatnya tidur lebih nyenyak. Berselang beberapa menit, matanya ikut terpejam, dan tertidur.

Karena udara semakin dingin, mereka akhirnya terbangun. Awalnya Hyunsuk, ternyata di sana jauh lebih dingin dari yang dia bayangkan. Disusul Jihoon yang terbangun karena Hyunsuk melepas pelukannya. Jihoon masih menyipitkan matanya, menatap Hyunsuk yang merenggangkan tangan ke atas.

“Segeeerrr banget! Abis bobo.” Hyunsuk ketawa pelan sambil noleh ke arah Jihoon yang masih ada di posisi sebelumnya. Tiba-tiba dia bergidik, “Uh! Dingin banget!” sambil peluk badannya sendiri. Kedinginan.

Jihoon ikut duduk, sedikit merenggangkan tangannya karena berada di posisi yang sama dalam waktu lama. Kemudian, dia peluk Hyunsuk yang masih terus usap-usap tangannya sendiri karena dingin. Hyunsuk jadi diam. Duduk kaku, dan merasakan mukanya yang menghangat. Pelan-pelan, senyumnya semakin lebar, dia balas pelukan Jihoon agar pacarnya juga merasa hangat.

Mereka berpelukan hampir lebih dari lima belas menit. Seperti sedang balas dendam akibat beberapa momen yang hilang karena mereka sempat putus kemarin itu. Keduanya sama-sama bahagia, bahkan saking bahagianya, mereka sampai sulit mendeskripsikan apa yang mereka rasakan sekarang.

“Mau jalan-jalan, ga?” Tanya Jihoon yang belum lepas pelukan mereka sedikitpun. Hyunsuk ga jawab, mungkin karena sedikit enggan buat lepas pelukan itu.

“Mumpung belum sore banget. Langitnya juga pasti bagus, deh.”

Hyunsuk akhirnya mengangguk dan bikin Jihoon ketawa seneng. Mereka ga perlu siap lama-lama, dan langsung pergi setelah barang-barang udah mereka masukin ke tenda dengan rapi. Hyunsuk jalan di belakang Jihoon yang langkahnya bahkan bisa menyeberangi sungai amazon.

Hyunsuk rasa, dia udah ga sanggup lagi buat ngejar langkah Jihoon yang cepet dan besar itu. Akhirnya dia berhenti di tempatnya sambil ngelipet tangan di depan dada. Dia merhatiin Jihoon galak karena pacarnya itu ternyata masih jalan dan ga sadar kalau dia ketinggalan di belakang.

Tiba-tiba Jihoon berhenti di bawah pohon mati. Pohon itu besar, tapi tidak berdaun, sepertinya ada sesuatu di sana. Dia akhirnya mengeluarkan kamera yang daritadi menggantung di pundak kirinya. Hyunsuk noleh ke objek yang pacarnya foto. Dia manggut-manggut, ternyata ada alasan lain kenapa Hyunsuk bisa ketinggalan sama langkah besarnya itu.

“Oh, ternyata ngajakin jalan-jalan sore tuh ini. Pengen nyari burung? Iya? Oh, pantes pacarnya ditinggalin.”

Jihoon langsung nyengir. Dia tunjukin hasil fotonya ke Hyunsuk yang masih natap dia tajam. “Waktu terakhir aku ke sini, aku ketemu dia. Ternyata dia masih berumah tangga di sini.”

Hyunsuk menyipitkan matanya, berusaha melihat lebih jelas apa yang ada di layar kamera Jihoon. Waktu Jihoon besarin gambarnya, Hyunsuk akhirnya bisa lihat lebih jelas. Itu seperti burung hantu, matanya menyipit karena sekitarnya masih terang. “Ih, lucu banget! Burung hantu!”

Jihoon ketawa pelan, sedikit bangga bisa menunjukkan spesies andalannya di hutan ini. “Namanya celepuk reban, Otus lempiji.”

Otus lempiji” Hyunsuk mengulangi yang Jihoon ucapkan.

“Jam segini dia emang udah mulai cari makan. Jadi bisa keliatan dari luar sarangnya.”

Hyunsuk jinjit-jinjit, mau lihat lebih jelas. Jihoon ketawa pelan, karena kegemesan sama pacarnya yang keliatan makin kecil kalau dia jinjit-jinjit kayak gitu. Sebagai pacar yang luar biasa, akhirnya Jihoon berinitiatif membantu pacar gemasnya, dia berdiri di belakang Hyunsuk dan mengarahkan kamera ke arah celah pohon.

Hyunsuk bisa liat burung hantu itu dari kamera yang terus Jihoon perbesar. Kedua lengan Jihoon mengukungnya, dan napas Jihoon bisa ia rasakan di samping telinganya. Awalnya Hyunsuk bersemangat sampai jantungnya berdetak kencang karena melihat burung itu lebih jelas, tapi ternyata jantungnya justru berdetak lebih kencang karena hal lain.

Hyunsuk melirik ke arah Jihoon, dia bisa melihat pipinya yang membulat karena tersenyum. Ternyata ada yang kesenengan bukan main karena bisa cari burung bareng kesayangannya. Hyunsuk ikut bahagia liat Mas Jihoon-nya bahagia.

Mereka tidak berlama-lama di pohon itu. Masih banyak spesies yang mau Jihoon tunjukin ke Hyunsuk. Mereka akhirnya berkeliling, beberapa kali Hyunsuk emang hampir nyerah karena capek, tapi akhirnya jalan lagi sambil bergandengan sama tangan kekar pacarnya.

Langit sudah hampir gelap. Awannya kemerahan karena langit sore yang melebur. Tangan mereka belum terlepas sedikitpun. Karena harus melewati semak-semak, Jihoon tidak mau melepas tangan Hyunsuk. Takut-takut kalau jatuh atau semacamnya.

“Mau aku gendong, ga?” Tanya Jihoon sewaktu mereka sudah kembali menemukan jalan setapak.

“Jangan lah, nanti Mas Jihoon cape.”

Jihoon justru berjongkok setelah mendengar penolakan Hyunsuk. Dia menoleh ke belakang karena Hyunsuk tidak kunjung memeluk punggungnya. “Gapapa. Kan jalannya udah normal, ga nanjak-nanjak kayak tadi.”

Hyunsuk akhirnya naik ke punggung Jihoon dan memeluknya erat. Sedikit tertawa geli sewaktu Jihoon mulai melangkah. “Makasih, ya, Mas.”

Jihoon terkekeh mendengar ucapan pacar mungilnya. “Makasih karna apa?”

Hyunsuk diam. Dia belum jawab pertanyaan itu. Sebagai pengganti jawabannya, Hyunsuk senderin kepalanya di pundak Jihoon. Hyunsuk menghela napas panjang sebelum jawab pertanyaan Jihoon, “Makasih karna udah jadi pacar aku. Makasih karna udah jadi orang paling keren buat aku. Makasih karna,”

Jihoon ga bisa berhenti senyum denger jawaban Hyunsuk, “Karna apa?” Jihoon ga sabar karena Hyunsuk justru berhenti.

Cup

Bukannya lanjutin omongannya, Hyunsuk justru kecup pipi Jihoon. Yang dikecup jadi diam sesaat. “Aku sayang Mas Jihoon.”

Jihoon cuma bisa ketawa. Dia tidak bisa berkata-kata sama serangan mendadak ini. Dia cuma mau cepet-cepet balik ke tenda, biar bisa cium pacarnya juga. Tapi nyatanya tenda mereka tidak kunjung terlihat.

“Mas,”

“Hm?”

Hyunsuk mulai merasa bosan. “Aku berat, ya?”

“Siapa bilang? Aku gendong kamu sampe pulang juga kuat.”

Hyunsuk mendengus. Agak kesel denger jawaban Jihoon yang justru kedengeran lagi ngeledek dia. “Aku turun aja deh.”

“Loh, kenapa? Aku ga kecapean kok!”

“Mas Jihoon kan selalu gitu. Bohong demi bikin aku seneng doang. Aku ga mau Mas Jihoon cape.” Hyunsuk menghela napas panjang karena Jihoon tidak menjawabnya.

Hyunsuk menghela napas lebih panjang karena Jihoon tidak berhenti menggendongnya juga. Sepertinya dia salah bicara. Hyunsuk menghela napas lagi, memilih memeluk Jihoon lebih erat. Mukanya ditenggelamkan di bahu lebar Jihoon.

Tidak lama mereka saling diam, setelah itu Hyunsuk turun karena tendanya sudah terlihat. Jihoon tersenyum tipis, dia menahan langkah Hyunsuk yang berlari kecil masuk ke tenda. Jihoon sedikit menunduk, menyejajarkan wajahnya dengan Hyunsuk yang menundukan kepala.

“Kamu kan belum terbiasa naik-turun di sini. Aku ga mau kamu malah cape dan kapok ga mau ikut lagi.” Jihoon ketawa pelan.

Hyunsuk akhirnya mendongak. Dia usap muka Jihoon yang penuh sama keringat, “Tapi aku berat, Mas Jihoon jadi kecapean.”

“Aku lebih kuat dari yang kamu kira, Sayang.”

Hyunsuk diam sebentar, “Tapi sekarang aku lebih berat dari yang dulu, Mas.”

“Sekarang aku juga udah lebih kuat dari yang dulu.” Hyunsuk mau bales lagi, tapi Jihoon tahan, “Ga peduli kamu mau seberat apapun, aku bakalan selalu lebih kuat dari itu.” Cup, Jihoon kecup kepala Hyunsuk, “Aku juga sayang kamu.”

Hyunsuk jadi tersenyum karena kecupan itu. Dia mendongak dan melompat untuk memeluk Jihoon erat.

“Udah mau gelap, nih. Beres-beres, yuk?”

Hyunsuk ngangguk-ngangguk cepet. Mereka harus cepet-cepet nyalain senter sebelum Hyunsuk ga bisa lihat apapun, selain apa yang ga mau dia lihat.

Ternyata gelap datang lebih cepat. Hyunsuk ga bisa lepas pelukannya dari tangan Jihoon yang masih sibuk nyiapin kompor buat masak makan malam. Bukannya kesel, Jihoon malah kegemesan karena Hyunsuk yang ga pernah lepas pelukannya sedikitpun.

“Mas, kalo Mba Kun—”

“Jangan disebut. Nanti dateng loh!”

“AAA! Mas Jihoon, aku takut!”

Hyunsuk jadi peluk Jihoon makin erat. Jihoon itu iseng banget deh, masa harus nakut-nakutin pacarnya biar bisa dipeluk erat kayak gini sama pacarnya.

“Mas,”

Jihoon lirik Hyunsuk yang masih takut.

“Kita kapan bikin api unggunnya? Aku takut,” Hyunsuk lanjut lagi. Suaranya makin kecil, mungkin karena dia bener-bener takut.

Jihoon ga jawab pertanyaan Hyunsuk. Tapi dia bangun dari tempatnya. Awalnya Hyunsuk mau protes, tapi Jihoon ternyata ga jauh. Dia ambil beberapa ranting pohon yang tadi udah dia siapin waktu Hyunsuk juga lagi siapin bahan-bahan buat dimasak.

Dari cahaya senter di sampingnya, Hyunsuk bisa liat Jihoon yang telaten rapihin ranting-ranting itu. Dari api kecil yang dia bakar dari daun-daun, lama kelamaan besar dan bikin sekitar lebih terang. Hyunsuk jadi bisa liat muka ganteng Jihoon lebih jelas.

“Makasih, Mas!” Hyunsuk dateng peluk Jihoon yang masih berdiri di samping api unggun.

“Sekarang jangan takut lagi, ya?” Jihoon usap kepala Hyunsuk yang ngangguk cepet.

Mereka lanjut masak buat makan malam. Ada sarden, tumis sayur, sosis, dan yang paling keren, nasi yang Jihoon masak tanpa rice cooker. “Mas! Ini mah Mas Jihoon bisa bikin rumah makan di sini! Enak banget!”

Mereka makan malam tanpa banyak ngobrol. Mungkin isinya cuma Hyunsuk yang beberapa kali muji masakan Jihoon, terutama nasinya. “Beneran, Mas! Rasanya kayak nasi uduk, enak banget! Ibu pasti bangga banget punya anak kayak Mas Jihoon.”

Jihoon ketawa, “Kalo kamu?”

“Kalo aku apa?”

“Bangga ga punya aku?”

Hyunsuk hampir keselek. “YA KALO ITU JANGAN DITANYA!”

“Sst! Jangan teriak-teriak di hutan.”

Hyunsuk langsung diem. Tiba-tiba keinget sama yang Sahimet kasih tau kemarin.

Mereka akhirnya memutuskan buat abisin makanan tanpa ngobrol. Makanan banyak mereka udah habis, ga bersisa. Bahkan piring kotornya pun bersih, udah mereka selesai cuci di sungai. Tentu aja berdua. Hyunsuk dari tadi heboh ga mau ditinggal sendiri karena udah malam.

“Dingin ga, Suk?”

Hyunsuk menggeleng pelan. Bagi dia, dingin di sini masih bisa dia tahan. Tapi Jihoon malah cemberut karena gelengan Hyunsuk. Kekehan Hyunsuk nunjukin kalo dia paham raut wajah pacarnya itu.

“Ga jadi deh. Aku kedinginan, mau dipeluk Mas Jihoon!”

Jihoon ketawa pelan, senang karena pacarnya tau kalo dia mau minta peluk. Jihoon akhirnya peluk Hyunsuk dari belakang, bikin Hyunsuk ngerasa lebih hangat. Jihoon cium pucuk kepala Hyunsuk.

“Mas Jihoon udah berapa kali coba cium aku di sini.”

“Berapa kali emangnya?”

“Ga tau. Kayaknya kalo diitungin juga jari aku ga cukup.”

Jihoon malah pindah mencium pipi Hyunsuk. Yang dicium cuma bisa melotot kaget. “Mas, kata Mas Jihoon kemarin kalo cium-cium, Miss K bisa marah. Kok Mas Jihoon cium-cium terus?”

“Kalo sama aku mah Miss K-nya takut.”

“Beneran loh, Mas! Ga takut nanti didatengin beneran?”

Jihoon justru membalikkan tubuh Hyunsuk agar mereka berhadapan. Hyunsuk sekarang berpangku di atas kaki Jihoon yang terlipat. Jihoon tidak mengatakan apapun, dia hanya mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Hyunsuk singkat. Benar-benar singkat bahkan saampai rasanya Hyunsuk hampir gila.

Hyunsuk mengerucutkan bibirnya, berharap Jihoon memberikannya kecupan lagi yang jauh lebih lama. Jihoon terkekeh, dia memeluk Hyunsuk lebih erat dan merebahkan diri di atas tanah yang hanya dilapisi selapis matras. Hyunsuk akhirnya mengambil langkah inisiatif sendiri dan mengecup Jihoon lebih lama. Napas mereka saling bertemu, memecah udara dingin di sekitarnya.

Hyunsuk membuka matanya perlahan ketika tautan mereka sudah terlepas. Dia bisa melihat wajah tampan Jihoon dengan hidung yang memerah karena kedinginan. Hyunsuk mengecup bibir Jihoon lagi sebelum ia bangun dan berdiri.

“Aku mau bikin kopi!”

Jihoon langsung bangun, bergegas memasak air hangat untuk membuat kopi. Tapi langkahnya Hyunsuk tahan, “EH!! Aku aja! Aku buatin buat Mas Jihoon juga!”

“Beneran?”

Hyunsuk justru tatap Jihoon dengan tajam, “Ga percaya banget sama pacar sendiri. Aku tuh di rumah spesialis bikin kopi tau!”

Jihoon tertawa panjang, “Oke. Buatin aku juga, ya.”

“He'em. Airnya ga banyak-banyak, gulanya sedikit, diaduknya 33 kali.” Hyunsuk mengulang ucapan Jihoon setiap kali dia membuat kopi.

Jihoon terkekeh, menghampiri Hyunsuk yang sedang sibuk membongkar kompor dari dalam tasnya untuk mengecup pucuk kepalanya, lagi. “Pacar aku pinter.”

“Tuh kan! Mau berapa kali lagi Mas Jihoon cium aku?!”

“Mmm,” Jihoon berpikir panjang, “Pokoknya selagi kamu selalu bikin gemes, aku bakalan cium terus.”

Hyunsuk akhirnya buang muka, melanjutkan aktivitasnya. Dia menghiraukan Jihoon yang terus memperhatikannya. Entah karena Hyunsuk memang gemas atau ...

“Sayang, masukin gasnya jangan kayak gitu. Nanti bocor.”

“Iya, iya, aku tau, Mas. Ini cuma gladi resik.”

Atau karena ...

“Aduh, Sayang. Pegangnya pake dua tangan, nanti airnya tumpah ke kaki kamu.”

“Ih! Aku kuat kok!”

Bisa jadi juga karena ...

“Aduh! Jangan gitu, Sayang.”

Hyunsuk sampe menggeram kesal. “Mas, aku bisa! Udah, Mas Jihoon duduk aja!” Jihoon akhirnya duduk karena sang pacar udah marah.

Jihoon memutuskan untuk membuka kameranya yang berisi hasil jepretan Hyunsuk tadi sore. Dia tersenyum tipis karena Hyunsuk ternyata sangat mahir dengan kamera. Dia juga bisa mengingat bagaimana wajah Hyunsuk yang memerah karena bersemangat.

“Ih, itu apa?” Hyunsuk ternyata sudah selesai berkutat dengan kompor dan gasnya. Dia kembali melirik layar kamera yang ada di tangan Jihoon dan memberikan cup plastik berisi kopi ke tangan Jihoon.

“Serak jawa, “barn owl*.” Jihoon memberikan kameranya agar Hyunsuk melihat layar kamera lebih jelas.

“Lucu banget! Matanya besar! Mukanya bentuk love!”

“Lucu banget, kan? Meskipun dia statusnya Least Concern, tapi dia burung pemalu, jadi susah banget ketemunya. Aku aja ketemu dia harus ngorbanin kehokianku buat satu tahun kemudian.”

Hyunsuk melirik Jihoon jauh lebih tajam dari sebelumnya, “Lebay banget!”

“Ga lebay aku tuh! Beneran 270 persen! Setelah ketemu dia, aku ga pernah ketemu spesies baru, bahkan elang pun engga. Bahkan waktu itu kita sempet berantem dan akhirnya ....”

“Putus.” Hyunsuk melanjutkan ucapan Jihoon yang terhenti. Kata itu menjadi penutup pembicaraan mereka beberapa saat.

Mereka hanya menyisakan suara air sungai yang mengalir di belakang mereka dan api unggun yang semakin hangat ketika Jihoon menambahkan beberapa ranting.

“Mas,”

“Hm?”

Alih-alih melanjutkan ucapannya, Hyunsuk justru menatap Jihoon lekat seperti mengajaknya tenggelam di dalam lautan matanya.

“Kenapa, Sayang?”

Hyunsuk menunduk, kata 'sayang' itu membuatnya jadi sedikit lebih lega. “Jangan putus lagi, ya?”

Jihoon menarik Hyunsuk ke dalam pelukannya. Dia mengangguk cepat, “Iya, engga putus lagi.”

“Aku takut banget. Bahkan pernah satu hari aku ga bisa ke mana-mana, ga bisa ngapa-ngapain karena inget kita udah putus.” Suara Hyunsuk tenggelam di dalam pelukan Jihoon.

Jihoon sedikit tercekat, seperti kembali merasakan sesak beberapa waktu lalu. Dia mengusap lembut rambut hitam Hyunsuk yang sudah menangis di dalam pelukannya.

“Aku ga mau lebay, tapi Mas Jihoon beneran segala-galanya buat aku. Selama ini cuma dari Mas Jihoon aku bisa ngerasain perhatian segitu banyaknya. Mama sama papa selalu sibuk kerja. Abang juga sibuk ngejar spesialisnya. Keadaan aku yang ngerantau ini bikin kita makin ga ada komunikasi sama sekali. Kadang aku ngerasa, aku cuma punya Mas Jihoon. Jadi aku ga mau kehilangan Mas Jihoon lagi.” Hyunsuk bercerita panjang lebar dengan hidung yang tersendat karena menangis. Dia tidak berbohong, waktu-waktu mereka putus adalah waktu paling berat untuknya.

“Mama sama papa emang ga pernah marah. Mama sama papa emang ga pernah nunjukin kecewa, bahkan waktu aku gagal masuk FK. Tapi mama sama papa juga ga pernah terang-terangan bilang kalo mereka bangga. Aku jadi selalu ngerasa kalo ga ada alesan buat kata-kata itu keluar dari mulut mereka.” Hyunsuk menunduk dalam, “Mungkin aku emang selalu bikin mereka kecewa dan ga pernah bikin mereka bangga.” Lanjut Hyunsuk dengan suara yang semakin mengecil.

Jihoon tidak bisa membalas satu kata pun. Dia terdiam karena baru kali ini Hyunsuk menceritakan tentang perasaan terhadap keluarganya. Selama ini dia tau, mama dan papanya dokter, begitu juga dengan kakaknya yang akan menjadi dokter. Jihoon hanya tau, ketika Hyunsuk mengejar sekolah kedokteran dulu dia tidak benar-benar menginginkannya. Jihoon hanya tau selama ini Hyunsuk bahagia.

Hyunsuk melepas pelukan mereka. Matanya terlihat sembab dari cahaya api unggun yang meremang. Dia menatap Jihoon lebih dalam dari sebelumnya, “Mas Jihoon tau ga apa yang bikin aku sedih waktu kita putus?”

Lidah Jihoon yang masih kelu, membuatnya hanya bisa menggelengkan kepala pelan.

“Aku sedih karena kehilangan Mas Jihoon. Dan yang lebih bikin aku sedih lagi karena aku bikin Mas Jihoon kecewa. Kenapa ... kenapa aku selalu bikin orang lain kecewa—” Hyunsuk menangis lagi.

Jihoon kembali menarik Hyunsuk ke dalam pelukannya. Dia mengusap tengkuk Hyunsuk lembut. “Sayang, aku ga pernah kecewa sama kamu.” Jihoon berbisik tepat di samping telinga Hyunsuk, membisikannya kalimat-kalimat menenangkan.

Hyunsuk melepas pelukan mereka. Dia mengusap air matanya yang masih terus keluar. “Kenapa aku ga pernah bikin orang lain bangga? Kenapa—”

Sstt,” Jihoon meletakkan telunjuknya di bibir Hyunsuk agar dia berhenti mencemooh dirinya sendiri. “Hyunsuk, sayangnya aku, ga ada orang lain yang bisa bikin aku bangga cuma dengan ngeliat senyumnya tiap hari. Ga ada orang lain yang bisa bikin aku bangga cuma dengan bikin aku bahagia setiap hari. Cuma kamu yang bisa itu, Hyunsuk.”

Jihoon kembali menarik Hyunsuk masuk ke dalam dekapannya. Kali ini sedikit lebih erat karena udara dingin baru saja berhembus membelokkan hangatnya api unggun. “Mama, papa, sama abang ga pernah bilang kayak gitu bukan berarti mereka kecewa sama kamu, Sayang. Mungkin mereka cuma ga tau cara ungkapin itu. Ungkapin perasaan ga selalu gampang buat sebagian orang.”

Jihoon menangkup pipi Hyunsuk dengan tangannya yang tetap hangat meskipun mereka berada di tengah dinginnya malam. Dia mengecup hidung merah Hyunsuk pelan, dan tersenyum sangat lebar untuk menghibur kesayangannya. “Dan, aku bangga banget. Kamu beda dari mama, papa, sama abang kamu. Kamu selalu bisa kasih orang lain semangat dari kata-kata kamu. Kamu selalu bisa ungkapin perasaan kamu, ga kayak mereka. Aku bener-bener bangga dan bersyukur jadi milik kamu lagi.”

Hyunsuk akhirnya tersenyum meskipun tipis. Dia memeluk Jihoon erat, “Itu semua berkat Mas Jihoon.”

“Kok berkat aku?” Jihoon tertawa pelan.

“Iya, kalo bukan karena aku ga pacaran sama Mas Jihoon, mungkin aku ga akan pernah bilang 'aku sayang kamu', kayak yang selalu Mas Jihoon ucapin kemarin-kemarin ke aku.”

Jihoon tertawa panjang. Dia tidak bisa menghitung sudah berapa kali “aku sayang kamu” terucap untuk Hyunsuk selama ini. Karena dia tidak pernah bisa menahan lidahnya untuk tidak mengutarakan perasaannya pada Hyunsuk. Dia serius, rasa sayangnya pada Hyunsuk bahkan tidak bisa hanya diutarakan dari “aku sayang kamu”.

“Iya. Aku bersyukur punya ibu.”

“Heung?” Hyunsuk menelengkan kepalanya.

Jihoon tertawa, kegemasan. “Dari kecil ibu ga pernah gengsi buat ngomong kayak gitu, ke aku ataupun ke Jeongwoo. Jadi kita ga pernah malu buat ngeutarain perasaan ataupun keinginan kita.”

Hyunsuk ber-ohh panjang. Ibu itu emang luar biasa banget. Hyunsuk bahkan jadi lebih tenang dengan cukup inget-inget wajahnya.

“Ibu sama bapak itu sering berantem,” Jihoon lanjut lagi. Hyunsuk sedikit mengernyit mendengar kalimat Jihoon. Dia tahu sedikit cerita tentang ini. Bapaknya Jihoon itu orang kedinasan yang keras banget. Hyunsuk tau Jihoon ga begitu deket sama bapaknya karena masalah ini.

“Bapak selalu marah karena hal kecil. Bapak sering keluar kota, dan seharusnya buat menjalin hubungan yang baik, mereka tetep jaga komunikasi kan. Tapi dulu mereka ga sedeket itu. Bahkan aku sendiri ga tau mereka menikah atas dasar cinta atau engga.” Jihoon tertawa sebentar senelum melanjutkan ucapannya. “Mungkin karena komunikasi mereka jelek, mereka jadi sering berantem. Dan aku ... kadang aku berselisih paham sama bapak, karena aku ga pernah sanggup liat ibu yang dibentak-bentak bapak.”

Hyunsuk bersandar di pundak lebar Jihoon sambil tangannya memeluk lutut erat. Dia bisa merasakan helaan napas Jihoon yang berat.

“Bahkan, buat sekarang ini aku belum pernah ngobrol serius sama bapak meskipun bapak udah ga pernah berantem sama ibu lagi. Sebagai anak aku sering kepikiran buat minta maaf, ngakuin kalo selama ini aku salah karena selalu ngelawan bapak. Tapi ternyata ga semudah itu buat bilang maaf ke bapak.” Jihoon menoleh ke arah Hyunsuk dan tersenyum tipis.

“Tapi Mas Jihoon tetep keren.” Hyunsuk tersenyum kuda, menampilkan wajah konyol dengan gigi berderet rapi. Tapi Jihoon menyukai senyum itu, Hyunsuk terlihat sangat cantik.

“Kenapa? Masa ngelawan orang tua keren?” Jihoon tersenyum jahil. Padahal dia tau bukan itu maksud Hyunsuk.

“Ih!” Hyunsuk memukul lengan Jihoon pelan karena tau gelagat pacarnya. “Maksud aku, Mas Jihoon keren karena mau mengakui kesalahan. Ngerti ga sih?!”

Jihoon cekikikan karena Hyunsuk kesal.

“Waktu itu, aku juga beberapa kali ketemu bapak, rasanya takut banget kayak lagi responsi lisan, Mas.” Hyunsuk ikut cekikikan karena ucapannya sendiri.

“Galak banget, ya?” Tanya Jihoon yang sudah berhenti tertawa.

“Engga juga, sih. Setelah waktu itu ngobrol jadi ga serem. Biasa aja, sereman mamaku kalo aku dapet nilai di bawah kkm.” Hyunsuk tersenyum kuda lagi.

Jihoon terkekeh, “Emang waktu itu kamu ngobrol apa?”

“Kepo!”

“Ih, yaudah. Aku ngambek.”

“Ih! Aku ngomongin Mas Jihoon tau!”

Jihoon menatap Hyunsuk serius, beneran? gitu kata tatapannya.

“Ril! Mas Jihoon kepo beneran emang?”

Mata Jihoon berkaca-kaca, banget, matanya seperti memohon untuk memanjakan rasa penasarannya.

“Waktu itu, bapak nanya kenapa aku mau sama Mas Jihoon.”

“Terus kamu jawab apa?”

“Soalnya Mas Jihoon baik, gitu.”

“Terus?”

“Terus Mas Jihoon ganteng juga, gitu.”

“Terus?”

“Um, udah sih itu doang.”

Jihoon mengernyitkan keningnya, Hyunsuk jadi tertawa melihatnya. Akhirnya dia melanjutnya ceritanya. “Waktu itu bapak juga pernah nanya Mas Jihoon suka marah ga ke aku, gitu.”

Jihoon menghela napas panjang, dia menunduk. Hyunsuk tersenyum lebar, menangkup pipi Jihoon. “Terus ... aku jawab kalo Mas Jihoon emang suka cemburu. Tapi Mas Jihoon baik, ga suka marah, makanya aku sayang Mas Jihoon, gitu.”

Jihoon menatap Hyunsuk sangat lama. Dia seperti meragukan jawaban Hyunsuk yang sebenarnya. Dia tau tidak jarang bagaimana dia memberikan Hyunsuk silent treatment karena marah. Bahkan kadang dia tidak sengaja mengucapkan kalimat dingin yang membuat Hyunsuk sedih. Tapi Hyunsuk masih tersenyum, menenangkan Jihoon. “Bapak juga minta maaf waktu itu. Kata bapak, sifat pemarahnya Mas Jihoon mungkin niru dari bapak. Karena bapak selalu keras sama Mas Jihoon dari kecil dan marah untuk setiap kesalahan yang udah Mas Jihoon lakuin.”

Setelah mendengar ucapan Hyunsuk, bukan tenang yang ia rasakan. Dia justru semakin resah. Keresahan yang selalu ia rasakan saat mereka bertengkar hingga mereka putus. Dia resah bagaimana ibu yang sempat tersiksa karena bapak yang selalu membentaknya. Dia takut apa yang ibu rasakan juga Hyunsuk rasakan karena perbuatannya nanti. Dia takut, setiap kali amarah membungkusnya, bayang-bayang bapak yang ada di kepalanya. Dia tidak mau Hyunsuk merasakan itu.

“Hyunsuk, aku takut kayak bapak.”

Hyunsuk menggeleng cepat, “No, no! Mas Jihoon emang kayak bapaknya Mas Jihoon! Keren, pinter, selalu bisa ngapain aja, tapi Mas Jihoon juga kayak ibu, baik, penyayang, dan perhatian. Mas Jihoon itu sempurna banget buat aku.”

Jihoon masih belum tersenyum. Apa iya? Begitu tatapannya.

“He'em!”

“Kalo aku kayak bapak—”

“Mas, Mas Jihoon aja mau terima aku yang ga pernah ngebanggain siapa-siapa ini. Soal sifat Mas Jihoon mirip ibu atau mirip bapak itu masalah kecil buat aku. Itu ga bakalan bikin rasa sayang aku berkurang sedikitpun.”

Mata Jihoon lebih bercahaya dari sebelumnya. Dia jauh lebih tenang mendengar kalimat terakhir Hyunsuk. Dia akhirnya menghapus jarak dari wajah keduanya. Pipinya masih diusap lembut oleh Hyunsuk yang ikut memejamkan mata. Bibir mereka saling menyatu dan memberikan kecupan hangat di malam yang dingin.

Di bawah langit berbintang, mereka seperti enggan melepas apa yang sudah tertoreh di bibir masing-masing. Mereka membiarkan kehangatan ini mengalir seperti desiran air sungai yang terus mengalir di belakang mereka. Hangatnya api unggun perlahan-lahan tergantikan oleh hangat tubuh mereka yang saling berpelukan di bawah daun-daun yang menari.

Jihoon menahan kepala Hyunsuk dengan tangannya agar tidak langsung mengenai matras yang keras. Dia sedikit kesulitan untuk berkonsentrasi dalam membuat Hyunsuk melayang di bawahnya. Akhirnya dia memutuskan menarik Hyunsuk ka atas tubuhnya dan berganti posisi tanpa melepas bibir mereka sedetik pun. Napas mereka hampir tersengal karena permainan lidah yang nampaknya semakin dalam. Meskipun begitu, tidak ada yang berinisiatif untuk melepas tautan itu sedikitpun. Mereka justru saling tersenyum di antara lumatan masing-masing, sampai ...

CTAK!

“AAkk!” Hyunsuk berteriak tertahan karena mendengar suara ranting patah. Dia langsung bersembunyi di dalam dada Jihoon dan menghentikan aktivitas sebelumnya.

Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Mereka akhirnya tertawa. Mungkin menertawakan betapa konyolnya mereka yang hampir lupa di mana mereka berada sekarang.

Mereka akhirnya kembali duduk dan menyeruput kopinya yang sudah dingin. Api unggun mereka hampir padam, tapi kantuk rasanya belum kunjung menyapa mata mereka. Mungkin pengarus kafein yang mereka minum. Mungkin juga karena mereka terlalu bersemangat untuk bercerita banyak hal.

“Kita pelukan di dalem sleeping bag, iya, kan?” Karena pertanyaan itu, Hyunsuk akhirnya mau menyudahi obrolan mereka dan tidur.

Tentu aja, setelah di dalam tenda pun mereka tidak langsung memejamkan mata dan menyapa mimpi indah. Tenda mereka masih penuh dengan keributan Hyunsuk karena takut kalau Jihoon tidur lebih dulu dan meninggalkannya sendiri di tengah hutan. Akhirnya Hyunsuk tertidur saat Jihoon menepuk-nepuk pundaknya pelan. Dan saling tersenyum ketika tidur karena mimpi indah yang mereka lihat.

Hyunsuk siap-siap setelah selesai chatan sama Jihoon. Dia langsung mandi, dan ga lupa pake parfum biar wangi. Hari ini dia mau ketemu ibu mertua dan adik ipar. Ekhem.

Hyunsuk berkaca di depan cermin yang ada di sudut kamar. Kacanya tinggi, jadi bisa nampakin penampilannya dari atas sampe bawah. Hyunsuk hari ini pake jaket denim, rambutnya juga lagi biasa aja ga dia apa-apain. Dia ga mau keliatan aneh di depan ibu.

Tiba-tiba ponselnya bunyi. Hyunsuk jadi selesain kegiatan foto ootd-nya di kaca. Langsung ambil tasnya dan keluar buat samper Jihoon yang pasti udah sampe di depan kostnya.

“Mas Jihoon!” Hyunsuk langsung peluk Jihoon erat banget. Padahal baru kemarin mereka ketemu dan makan bareng di kantin. Tapi Hyunsuk kangen banget rasanya peluk Mas Ayangnya kayak gitu.

Jihoon cuma ketawa gemes. Dia usap-usap kepala pacarnya yang amat sangat menggemaskan itu. “Udah siap, Sayang?”

Hyunsuk ngangguk cepet. Bikin rambut yang belum dia potong itu jadi gerak-gerak naik turun. Ya ampun, kalo Hyunsuk itu yupi, pasti Jihoon udah gigit Hyunsuk karna pacarnya beneran segemes itu.

“Helmnya kok belum dipake?”

“Oh iya!” Hyunsuk nepuk jidatnya pelan. Dia lupa pake helm. Lagi-lagi Jihoon cuma bisa gigit bibir bawahnya kenceng karna nahan kegemasannya Hyunsuk.

Rumah Jihoon lumayan jauh, untungnya ga perlu ngelewatin banyak lampu merah. Jadi mereka ga begitu banyak ngabisin waktu buat nunggu lampu merah.

Selama perjalanan, Hyunsuk cuma diem aja. Jihoon tau ada yang ganggu pikiran pacar gemesnya sekarang. Akhirnya, waktu lampu merah terakhir sebelum belok ke jalanan yang lebih sempit, dia usap lembut kaki Hyunsuk yang ada di belakangnya. Terus dia tuntun tangan mungil pacarnya buat dilingkarin di perutnya.

“Kamu kenapa, hm?”

Hyunsuk yang udah menduga kalo Jihoon bakalan tau, cuma bisa senderin kepalanya di bahu lebar mas ayang. Dia menghela napas panjang. Meskipun agak susah senderan sama Jihoon karena ada helm di kepalanya, tapi rasanya tetep nyaman peluk Jihoon kayak gini.

“Kenapa, Hyunsuk?”

Hyunsuk geleng pelan. “Aku ga enak sama ibu.”

“Kenapa?”

Lampu merah udah berganti hijau. Jihoon masih nunggu lanjutan cerita Hyunsuk sambil lanjutin perjalanan.

“Waktu itu aku kan bikin Mas Jihoon sama ibu kecewa. Tapi ... ibu ga pernah nolak kehadiranku sama sekali.” Hyunsuk akhirnya lanjutin ceritanya. Dia masih peluk Jihoon erat, jadi Jihoon masih bisa denger suara Hyunsuk yang kecil meskipun kanan dan kirinya penuh suara bising kendaraan.

“Siapa bilang?”

“Huh?”

“Siapa yang bilang kalo ibu kecewa?”

Hyunsuk cemberut, “Ga ada sih.”

“Ibu ga pernah kecewa sama kamu, begitu juga aku.” Hyunsuk masih cemberut. Jihoon ngelirik sedikit lewat spion. Dia akhirnya usap tangan Hyunsuk singkat sebelum lanjutin ucapannya lagi.

“Yang dulu biarin jadi cerita dan pelajaran buat kita. Kenyataannya, kita udah sama-sama lagi. Dan ga ada hal lain yang lebih aku syukuri daripada itu sekarang.”

Hyunsuk jadi sedikit lebih tenang. Dia ngangguk dan benerin posisinya biar lebih nyaman peluk Jihoon. Sisa perjalanan mereka kembali dipenuhin sama suara kendaraan. Tapi perasaan Hyunsuk dan Jihoon udah lebih baik. Hyunsuk ga penuh sama overthinking lagi, dan Jihoon juga ga penuh sama kekhawatiran lagi setiap ngelirik Hyunsuk lewat spion.

Sekarang motor Jihoon udah terparkir rapi di halaman rumahnya. Hyunsuk masih nunduk karena takut. Dia gugup banget ketemu Jeongwoo, ibu, dan bapaknya Jihoon sekarang. Rasanya kayak waktu pertama kali mau ketemu.

Jihoon buka helm Hyunsuk hati-hati. Rambut Hyunsuk sedikit berantakan, dia akhirnya sisir lembut rambut Hyunsuk pakai jari-jari tangannya. “Ga usah takut. Jeongwoo sama ibu pasti seneng deh ketemu kamu.”

“Semoga.” Hyunsuk mencicit gugup.

“Kak Hyunsuk!!!” Jeongwoo berteriak heboh dari dalam rumah. Bukan cuma Hyunsuk yang kaget, Jihoon yang masih usap-usap kepala Hyunsuk ikut kaget.

“Berisik!” Jihoon berseru galak, bikin Jeongwoo pelanin suaranya. Dia telen ludah takut-takut.

“Kak Hyunsuk! Aku kangen banget!” Jeongwoo teriak lagi, tapi ga seheboh sebelumnya. Hyunsuk langsung peluk Jeongwoo erat banget sampe masnya Jeongwoo ngeliatin mereka kesel.

“Kakak juga kangen!” Hyunsuk bahkan senderin kepalanya nyaman banget di bahu lebar Jeongwoo.

Ekhem! Uhuk-uhuk!” Jihoon pura-pura batuk dan tarik Jeongwoo jauh-jauh dari Hyunsuk.

“Ayo ketemu ibu dulu, Sayang.” Jihoon menekankan kata “sayang” sambil menatap Jeongwoo.

Jeongwoo yang paham sama tingkah aneh masnya itu cuma bisa balas menatap julid. Dia juga paham kalo Kak Hyunsuk itu cuma punya Mas Jihoon seorang, yaudah sih Adek cuma peluk, begitu kata tatapannya.

Hyunsuk disambut dengan hangat sewaktu masuk ke rumah keluarga pacarnya yang sejuk itu. Ibu tersenyum manis sambil memeluk Hyunsuk singkat. “Hyunsuk apa kabar, Nak?”

Senyum tipis terpulas di wajah Hyunsuk, dia keliatan lagi tahan air matanya biar ga jatuh bikin pipinya basah. “Hyunsuk kangen banget sama Ibu—” Hyunsuk akhirnya nangis waktu kalimat itu selesai dia ucapin.

Ibu langsung peluk Hyunsuk erat karena ternyata Hyunsuk nangis kejer secepat itu. Jihoon tersenyum simpul, hatinya ikut tersayat, tapi ada perasaan lega karena kehadiran Hyunsuk akan selalu diterima oleh keluarganya. Jihoon bergegas memeluk kedua orang paling berharga di hidupnya ke dalam dekapannya yang lebar.

“HUAAA!!! Jeongwoo juga kangen Kak Hyunsuk!!” Jeongwoo yang lebih banyak diam tadi akhirnya ikut menangis dan memeluk Hyunsuk lebih erat dari sebelumnya.

Kali ini Jihoon cuma bisa ketawa receh waktu liat Jeongwoo ternyata beneran nangis. Dia ga nyangka, Hyunsuk selain bisa bikin orang lain terima dia dengan mudah, ternyata bisa bikin orang yang sok kuat jadi orang paling cengeng sedunia.

Jeongwoo bahkan ga pernah nangis waktu jatah makannya diambil Jihoon, padahal Jihoon tau 270% kalo Jeongwoo kesel digituin sampe bikin dia mau nangis. Ujung-ujungnya, dia cuma ngambek sambil nangis diem-diem di kamarnya. Tapi kali ini, dia bahkan terang-terangan nangis dan bilang dia kangen Hyunsuk.

Hyunsuk emang selalu bisa dibanggakan.

Setelah agenda nangis-nangisan selesai, mereka makan rame-rame di meja makan. Kepala Hyunsuk celingak-celinguk, seperti lagi nyari seseorang.

“Kak Hyunsuk cari siapa?” Jeongwoo yang pertama kali sadar dan langsung nanya Hyunsuk tanpa mikir dua kali.

Hyunsuk agak ketawa canggung, “Bapak ga ada, ya?”

“Bapak lagi ada dinas ke luar kota.” Jeongwoo jawab singkat dengan mulut penuh makanan.

Ibu ketawa renyah, “Telen dulu, Dek.”

Hyunsuk ikut nyengir waktu liat Jeongwoo yang mulutnya penuh gitu. Lucu juga ya punya adek. Hyunsuk langsung nengok ke arah Jihoon yang justru natap Jeongwoo galak.

“Bukannya ditelen dulu. Biar apa sih? Biar Kak Hyunsuk kegemesan? Engga! Ga akan!”

Hyunsuk ketawa pelan, “Ih, Mas! Galak banget dah sama adek sendiri.”

Jeongwoo ngangguk-ngangguk, “Tau Mas! Jangan galak-galak sama Adek!”

Jihoon justru melotot, bikin Jeongwoo makin takut. Ini fakta 100 persen kalo ga ada yang berani sama Jihoon di rumah ini kecuali bapak. Bahkan bapak sendiri pun udah cuma bisa geleng-geleng kepala kalo Jihoon mulai marah dan melotot galak kayak gitu.

“Mas Jihoon jangan galak-galak sama Jeongwoo. Abang aku di rumah aja ga pernah marah tau sama aku!” Entah Hyunsuk belain Jeongwoo atau justru pamer ke Jeongwoo kalo dia punya kakak yang lebih baik.

“Ya, soalnya adeknya kamu. Kalo adek aku kayak kamu juga aku ga akan galak.”

Hyunsuk ketawa lebih kenceng. Dia jadi ga punya kata-kata lain buat belain Jeongwoo.

“Udah, Mas. Adeknya jangan digangguin dulu. Ini air galon abis.” Ibu melerai, bikin Jeongwoo tersenyum bangga. Dia lagi makan, jadi yang pasti disuruh beli air masnya yang cuma lagi mandangin pacarnya doang.

Jihoon keluar bawa beberapa galon dan masukin ke bagasi mobil. Ga lama dia balik lagi ke ruang makan, “Aku keluar sebentar ya, Sayang.” Jihoon kecup kecil kepala Hyunsuk. Yang dikecup batuk-batuk hampir keselek karena kelakuan pacarnya itu.

“Yaelah, kek mau beli air di Korut aja yang mempertaruhkan nyawa. Ga bakal—” Jeongwoo langsung tutup mulutnya rapat-rapat waktu Jihoon natap dia galak beberapa detik. “Iya. Siap, salah.”

Hyunsuk minum banyak-banyak. Takut beneran keselek. Dia tatap punggung Jihoon yang udah menjauh lamat-lamat. Kalo lagi ga di depan ibu, dia pasti udah gebuk Jihoon dikit. Lagian, kenapa harus cium di depan adeknya sama ibu, sih? Apa dia ga malu? Hyunsuk bahkan mau menghilang waktu ibu ngeliatin dia sambil senyum kayak gitu.

“Hyun-hyunsuk nambah, ya, Bu?” Hyunsuk berusaha bertingkah normal.

Hyunsuk akhirnya sendokin lagi nasi dan beberapa lauk. Lanjut makan sambil dengerin Jeongwoo yang ga berenti cerita meskipun udah berkali-kali ibu ingetin, “Telen dulu, Dek.” Tapi Hyunsuk ga bisa ikut marah, karena menurut dia Jeongwoo justru lucu kayak gini. Kalo boleh, dia mau bawa Jeongwoo pulang ke rumah buat diajak main seharian penuh.

Selesai makan, Hyunsuk bantu ibu beres-beres di dapur. Ibu udah sering bilang, “Ga usah, Nak. Temenin Jeongwoo main basket aja, gih.” Tapi Hyunsuk tetep geleng sopan, dia mau bantuin ibu. Di samping itu, Hyunsuk juga suka cuci piring. Itu pekerjaan suka relanya di rumah.

Hyunsuk fokus banget sama pekerjaannya sampe ga nyadar kalau ibu ngeliatin dia dari tadi. “Nak,” Tiba-tiba ibu manggil Hyunsuk dengan serua lembutnya.

“I-iya, Bu?” Hyunsuk jawab takut-takut. Takut ada yang salah dari dia cuci piring.

“Ibu boleh nanya sesuatu sama Hyunsuk?”

Hyunsuk bilas piring terakhir. Dia buru-buru berdiri tegak, dan liat ibu dengan benar. “Kenapa, Ibu?”

“Selama ini ... apa Hyunsuk cukup bahagia bareng Mas?”

Hyunsuk agak kaget sama pertanyaan ibu. Hyunsuk juga agak takut. Dia takut jika ibu merasa Jihoon ga bahagia waktu bareng dia selama ini.

“Eng-engga, Bu.” Hyunsuk diam setelahnya. Bikin ibu natap Hyunsuk kaget. Tapi waktu lagi kaget-kagetnya, Hyunsuk justru lanjutin ucapannya. “Hyunsuk ... Hyunsuk bahagia banget bareng Mas Jihoon.

“Waktu kita sempet putus, Hyunsuk sadar kalo ga ada yang bisa bikin Hyunsuk bahagia kayak Mas Jihoon selama ini.”

Mata Hyunsuk udah penuh sama air mata, “Maafin Hyunsuk, ya, Bu. Selama ini Hyunsuk ga bisa bikin Mas Jihoon bahagia.”

Ibu justru geleng pelan. “Mas bahagia banget bareng Hyunsuk. Mas sendiri yang bilang ke Ibu. Mas bilang, dia ga pernah sayang orang lain kayak dia sayang sama Hyunsuk. Ibu seneng kalo Hyunsuk juga bahagia bareng Mas.”

Hyunsuk akhirnya nangis. Dia peluk ibu erat karena dia udah ga bisa lagi tanggepin ucapan ibu.

Sekarang Hyunsuk ngobrol lebih santai di ruang tamu. Tv nyala dari tadi, tapi ga bener-bener ditonton karena Hyunsuk sibuk cerita-cerita sama ibu.

“Iya, papanya Hyunsuk mah suka marah-marah di rumah. Tapi tetep bakalan takut sama mama.” Hyunsuk cengengesan. “Terus, karena mama sama papa kadang suka berantem karna hal-hal kecil, abang malah jadi dewasa banget. Makanya abang ga pernah marah sama Hyunsuk.”

Ibu ngangguk pelan, memperhatikan Hyunsuk waktu Hyunsuk cerita dengan serius. Sebenernya ga tau juga sejak kapan pembicaraan dari makanan favoritenya tiba-tiba berubah jadi pembicaraan serius kayak gini. Dan ini bikin suasana jadi canggung.

Ibu akhirnya usap kepala Hyunsuk. “Kalo Mas suka marah-marah sama Hyunsuk, Ibu minta maaf, ya.”

Hyunsuk cuma bisa diem. Padahal ibu ga harus sampe kayak gini.

“Dari kecil, Mas udah dididik keras sama bapaknya. Bahkan dari umur tiga tahun pun dia ga dibolehin nangis sama bapak. Akhirnya cuma bisa memendam apa yang dia rasain. Dia selalu turutin permintaan bapak, kecuali satu, masuk kedinasan. Dari awal dia selalu nolak, mas mau jadi dokter, katanya. Tapi pas itu mas gagal. Mas bener-bener jadi orang yang beda.”

Hyunsuk sedikit tahan napas waktu ibu udah mulai nangis. Hyunsuk rangkul ibu dan usap punggungnya pelan.

“Mas jarang pulang. Lebih sering camping, muncak, atau nginep di kost temennya. Ibu ga pernah liat Mas bener-bener bahagia.” Ibu menangkup wajah Hyunsuk, menatapnya penuh sayang sebelum melanjutkan kalimatnya, “Dan Ibu bener-bener bersyukur, waktu mas bilang dia bahagia selama bareng Hyunsuk.”

Ibu peluk Hyunsuk pelan. Hyunsuk balas pelukan ibu sambil tutup matanya. Dia tersenyum tipis, merasa nyaman waktu ibu tepuk-tepuk punggungnya pelan.

“Makasih udah bikin mas bahagia, ya, Hyunsuk.”

Hyunsuk ngangguk pelan. Senyumnya makin lebar. Dia bisa liat Jihoon yang senyum bahagia, dan denger suara ketawa Jihoon waktu dia tutup mata. Dia juga sangat-sangat berterima kasih sama Jihoon karena udah bawa keluarga kedua buat dia. Hyunsuk jadi manusia paling bahagia hari ini.

Hyunsuk datang ke apart lama mereka dengan perasaan kesal. Dia membuka pin di pintu sambil mengatupkan rahangnya. Sungguh, jika dia bisa menampar Jihoon saat ini, dia pasti menamparnya.

“Jihoon?!”

Hyunsuk mendapatkan Jihoon yang berdiri menghadap jendela besar di ruang tamu apartemen lamanya. Emosi Hyunsuk memang sudah memuncak, tapi rasanya ada kenangan lama yang tiba-tiba hadir di kepalanya.

Tempat ini, tempat ketika mereka selalu berdebat tentang club bola mana yang akan menang. Tempat ini, tempat ketika mereka melakukan banyak hal bahagia berdua tanpa memikirkan dunia. Tempat ini, menjadi tempat penuh kenangan bahagia untuk mereka.

Jihoon memutar tubuhnya. Meskipun cahaya dari jendela besar membuat wajah Jihoon gelap, Hyunsuk masih bisa melihat Jihoon yang tersenyum di antara pipinya yang basah karena air mata. Di depan jendela besar ini, mereka menatap dunia yang terkadang kejam untuk mereka. Di depan jendela besar ini, mereka kerap kali menyatukan bibir dan membiarkan kecupan masing-masing memabukkan mereka hingga lupa dengan kejamnya dunia.

Jihoon memutar musik klasik dari speaker kecil yang ada di atas meja bundar ruang tamu. Itu musik yang mereka putar ketika mereka ingin berdansa. Jihoon tersenyum simpul dan menarik Hyunsuk untuk mengalungkan tangan di lehernya.

Anehnya, amarah yang menguasai Hyunsuk tadi hilang begitu saja. Dia terbuai dengan alunan musik dan usapan lembut Jihoon di pinggul serta lehernya. Jihoon memejamkan matanya, menyatukan kening mereka dan bergerak mengikuti irama.

Hyunsuk ikut memejam matanya dan menikmati gerakan Jihoon yang membawanya berdansa seirama. Bayangan mereka terbentuk dari balik jendela besar. Terlihat seperti benar-benar kembali ke masa lalu.

Alunan musik selesai tanpa mereka sadari. Keheningan tiba-tiba kembali menyelimuti mereka yang masih berada di posisi yang sama.

“Hyunsuk,” Jihoon akhirnya bersuara, memecah hening.

Hyunsuk mendongak, membenarkan posisi tangannya yang masih menggantung di leher Jihoon.

“Aku bahagia bisa kenal kamu sampai detik ini. Aku bahagia ditemenin kamu selama ini. Aku bahagia karena bareng kamu meskipun harus berakhir kayak gini.” Jihoon kembali menangis.

Hyunsuk tersenyum tipis meskipun dia sudah menangis sejak tadi. Diusapnya lembut air mata Jihoon, “Gapapa, kita harus bersyukur karna pernah bahagia.”

Jihoon beralih memeluk Hyunsuk erat. Isakannya semakin kencang, seperti tidak berdaya di dalam pelukan Hyunsuk.

“Jihoon, kalau diinget-inget, kayaknya kamu ga pernah nangis kayak gini selain waktu mama sama papa meninggal, ya? Bahkan, waktu kamu main futsal sampe kaki kamu patah, malah aku yang nangis. Kamu? Kamu malah ketawa-ketawa aja ngeledekin aku.” Hyunsuk tertawa pelan.

“Maafin aku.” Ucap Jihoon di sela-sela isakannya. “Maafin aku udah bikin kamu kecewa. Maafin aku karena aku udah gagal.”

Hyunsuk menepuk punggung Jihoon pelan. “Engga, Jihoon. Ini bukan sepenuhnya salah kamu. Ada salahku juga di sini. Aku seharusnya bisa bikin kamu tetep bareng aku. Aku seharusnya bisa tahan kebahagiaan kita lebih lama lagi.”

Diam lagi-lagi menyelimuti mereka. Terbuai dengan lamunannya masing-masing. Entah mengenang masa lalu. Atau justru kembali menyalahkan diri atas apa yang terjadi dengan keluarga mereka.

Enam tahun yang lalu, kedua orang tua Jihoon meninggal karena kecelakaan tunggal ketika pergi berlibur. Saat itu perusahaan rintisan Jihoon sudah masuk masa kejayaannya. Itu menjadi masa-masa paling bahagia untuknya, serta untuk Hyunsuk dan Haruto yang selalu mendampinginya.

Jihoon benar-benar terpukul. Orang tuanya meninggal, dan dia juga harus meninggalkan impiannya demi menyelamatkan apa yang sudah orang tuanya bangun. Perusahaan rintisannya itu diakuisisi dan berdiri berdampingan dengan perusahaan orang tuanya.

Tapi sayangnya, itu membuat Jihoon hilang arah. Itu membuat Jihoon seakan-akan lupa siapa dirinya dan apa kebahagiaannya. Dia seperti orang gila yang terus tenggelam di dalam dunia yang dulu sangat dia benci. Dia bahkan lupa bahwa kebahagiaannya ada bersama Hyunsuk dan Haruto.

Pernah suatu malam, ketika Jihoon benar-benar kehilangan dirinya, Hyunsuk datang untuk memeluknya dari belakang. Tapi, tidak ada balasan lain dari Jihoon selain tatapan tajam. Bahkan senyumnya hilang, seperti tidak ada lagi tatapan penuh sayang seperti dulu. Mulai saat itu, Hyunsuk sadar, dia tidak bisa lagi berbagi kebahagiaan dengan Jihoon.

Mereka akhirnya mulai sibuk dengan dunianya masing-masing. Mereka mengejar dunia yang sebelumnya telah didahului oleh bahagia. Mereka bahkan lupa, sebenarnya ada kebahagiaan lain untuk mereka di rumah. Mereka sibuk menyalahkan satu sama lain dengan apa yang sudah terjadi. Bahkan mereka sampai lupa, Haruto juga perlu bahagia.

Hyunsuk sadar lebih dulu. Sadar bahwa mereka sudah tidak bisa lagi bersama dan menyelimuti Haruto dengan rumah palsu ini. Dia akhirnya kerap kali “pergi” dari rumah untuk tetap menjaga kepalsuan rumah itu.

Berbeda dengan Jihoon yang merasa bahwa kepalsuan itu adalah bentuk nyata dari rumah tangga mereka. Karena sudah berpura-pura lebih lama, dia akhirnya tidak menyadarinya lebih awal.

Seharusnya, Jihoon menerima pelukan Hyunsuk hari itu. Seharusnya, Hyunsuk memeluk Jihoon yang membutuhkannya lebih lama. Seharusnya, persidangan yang menyesakkan ini tidak ada untuk kisah mereka yang bahagia.

Tapi kisah mereka, seperti sebuah bunga indah di pekarangan yang sudah mati dan busuk. Meskipun cantik, tapi yang mati harus dipotong dan digantikan dengan yang baru agar bunga yang lain bisa bermekaran. Kisah mereka ... mungkin harus diselesaikan seperti bunga itu. Agar kebahagiaan lain untuk mereka dan Haruto bisa bermekaran.

Sidang putusan selesai, palu sudah diketuk tiga kali. Mereka resmi bercerai pada sore hari dengan senja yang indah. Dan Hyunsuk mendapatkan hak asuh tetap Haruto. Sedangkan Jihoon, dia terisak, bibirnya digigit kuat agar isakannya tidak didengar siapapun.

Hyunsuk mendengarnya. Dia akhirnya datang kepada Jihoon yang lagi-lagi kehilangan arah. Namun, kali ini Jihoon balas pelukannya. Saat sudah selesai, dia baru tersadar bahwa kebahagiaannya tidak bisa bertahan selamanya.

“Jihoon, bagaimanapun juga, kamu pernah jadi kebahagiaan terbesar aku. Dan Ruto, akan selalu jadi anak kita. Aku mau kamu bahagia dan mulai peluk diri kamu sendiri. Aku yakin, selalu ada kebahagiaan buat kamu. Ga harus selalu dari aku, Jihoon.”

Hyunsuk tersenyum simpul, mengajak Jihoon untuk berdamai dengan dirinya sendiri. “Jihoon, aku bakalan selalu berdoa untuk kebahagiaan kamu. Terima kasih buat semuanya, ya.”

Dinner mereka akhirnya benar-benar terwujud. Meskipun harus berlangsung di private restorant kantor karena Jihoon masih harus mengurus beberapa pekerjaan di sana. Haruto selalu senang berkunjung ke kantor Papanya, rasanya seperti di rumah kakek sendiri—meskipun kenyataannya memang itu kantor kakeknya.

Haruto memesan menu sesuka hatinya. Tentu saja, makanannya gratis. Rasa senang Haruto langsung bertambah berkali-kali lipat.

“Seharusnya Jeongwoo ikutan makan di sini, nih!” Haruto menyeringai, tiba-tiba membicarakan pacarnya.

Jihoon tertawa renyah. Hyunsuk bahkan sampai terkejut karena setelah sekian lama tawa itu tidak pernah ia dengar lagi, malam ini dia bisa mendengarnya tepat di hadapannya. “Ruto beneran udah jadian sama Jeongwoo?” Tanya Jihoon, mencairkan suasana.

Haruto terkekeh pelan. Wajahnya memerah, dia melirik Daddynya takut-takut. Papanya memang sudah beberapa kali memergokinya jalan dengan Jeongwoo. Hanya dari Daddy Hyunsuk yang selalu berhasil ia sembunyikan.

“Maaf, ya, Daddy. Tadinya Ruto sama Jeongwoo ga pacaran, suer. Tapi Jeongwoo lucu banget sih, Ruto jadi pengen pacarin deh.” Haruto terkekeh, menampakkan giginya karena tertawa. Tawanya mirip Jihoon, jelas Hyunsuk tidak akan marah jika melihat senyum dan tawa semanis itu.

Hyunsuk ikut tertawa, terbawa suasana. “Kenapa Ruto ga bilang? Padahal Daddy seneng banget sama Jeongwoo. Jeongwoo tuh pinter ngelawak, kan? Aduh, Daddy dukung 100 persen!”

Mereka tertawa bersamaan. Makanan datang, memotong tawa mereka. Tapi rasa bahagianya justru semakin besar karena makanan lezat yang membuat suasana ruang makan lebih hangat. Mereka makan dengan hikmat. Sampai akhirnya Haruto kembali membuka suara.

“Papa sama Daddy, inget waktu ulang tahun aku yang ke-9, ga? Yang main ke Universal Studio itu, loh!”

Hyunsuk dan Jihoon saling pandang. Mata mereka akhirnya bertemu setelah sejak tadi saling menghindari kontak mata. Tentu saja mereka berdua ingat. Tawa Jihoon yang manis, tidak pernah lepas dari kepala Hyunsuk. Wajah Hyunsuk yang bersinar ketika tersenyum, selalu berhasil membuat Jihoon tersenyum dalam diam.

“I-inget, dong!” Jihoon buru-buru berpaling dan menjawab pertanyaan Haruto.

“Um, Ruto cuma mau tanya sesuatu. Waktu itu, Papa sama Daddy ... beneran bahagia atau engga?”

Hyunsuk menjatuhkan sendok dari tangannya. Langit-langit ruangan langsung hening. Tidak ada suara dentingan piring yang saling sahut. Hanya ada suara lantunan musik romantis yang terputar pelan dari speaker kecil di dalam ruangan.

“Papa, sama Daddy, bahagia ga punya Ruto?” Haruto bertanya lagi sambil menggigit bibirnya kuat, menahan tangis.

“Ruto,” Jihoon yang akhirnya bersuara. Dia bangkit dari duduknya dan bersimpuh dengan satu lututnya di hadapan Haruto. “Papa sama Daddy selalu bahagia dengan kehadiran kamu di dunia ini, Sayang. Ruto ga perlu mempertanyakan itu. Bahkan kita jauh lebih sayang Ruto dari diri kita sendiri.”

“Kalo Papa sama Daddy sayang Ruto lebih dari diri kalian sendiri, kenapa Papa sama Daddy mau pergi ninggalin Ruto?”

Senyum manis Jihoon akhirnya pudar. Dia mengambil tangan Haruto untuk dia genggam. “Ruto, Papa minta maaf, ya, sama Ruto. Maaf karna Papa ga bisa bikin Daddy bertahan sama Papa. Maaf karena Papa ga bisa jaga keluarga kita. Maaf karena Papa bukan papa yang baik buat Ruto. Maaf karena Papa bukan kepala rumah tangga yang baik buat kita. Maaf—” Jihoon menunduk, dia terdiam cukup lama karena menahan air matanya.

“Maaf karna Papa udah nyerah sama Daddy.” Jihoon kembali mendongak dan menatap Haruto sambil tersenyum tipis.

Tapi ternyata bukan air mata Jihoon yang jatuh, justru air mata Hyunsuk yang jatuh lebih dulu. Hyunsuk keluar dari ruangan itu dan berlari entah ke mana. Pergi sejauh-jauhnya dari ruangan ini agar Haruto tidak mendengar isakannya yang menyesakkan.

“Ruto, maaf karna Papa egois, tapi Papa minta tolong sekali lagi, ya? Papa sayang sama Daddy, sayang juga sama Ruto. Dan keputusan Papa sudah bulat, Papa mau selesain keputusan ini demi Daddy dan Ruto. Papa ga mau Daddy sedih lebih lama lagi. Papa juga ga mau Ruto harus terus-terusan liat Daddy nangis. Ruto mau kan tolongin Papa? Tolong ngertiin Papa sama Daddy sekali lagi, ya?” Jihoon tidak pernah melepaskan senyumnya sedetik pun.

Haruto sejak tadi hanya meremas celana jeansnya, menunduk dalam karena sudah menangis sejak awal. Jihoon berdiri dan menariknya ke dalam pelukan. Jihoon kepala keluarga di sini, jelas dia harus lebih tangguh dari siapapun. Dia tersenyum tipis meskipun rasanya sangat hancur. Suami dan anaknya sakit, tapi dia yakin keputusannya benar. Suatu saat mereka semua akan melihat hal lain dari proses menyakitkan ini.

“Ruto tunggu sini, ya? Biar Papa panggilin Daddy.”

Haruto mengangguk pelan dan disusul suara sepatu Jihoon yang menggema di ruangan. Jihoon berjalan santai keluar ruangan dengan nuansa eropa kuno itu. Namun, sedetik setelahnya, dia berlarian di lorong yang lengang. Hanya ada beberapa pelayan yang berlalu-lalang di antara private room yang lain.

Jihoon mencari Hyunsuk dengan perasaan berkecamuk. Hyunsuk ... di mana dia akan berada ketika keadaan seperti ini? Makan malam bersama Haruto tidak boleh hancur karena perasaan mereka yang sudah hancur sejak lama.

Jihoon mengambil ponselnya cepat. Dia menekan tombol angka 1 cukup lama sebelum terlihat panggilan Hyunsuk di ponselnya. Suara dering panggilan membuat jantungnya berdetak hebat. Hyunsuk tidak boleh pergi sekarang.

Langkahnya berhenti ketika melihat Hyunsuk di halaman parkir. Dia terduduk lemas di depan mobilnya. Jihoon mematikan panggilannya dan berjalan selangkah demi selangkah, demi mendengar isakan Hyunsuk yang menyesakkan dada.

“Hyunsuk,”

Hyunsuk mengangkat tangannya, seperti memberi isyarat, sebentar, jangan sekarang. Langkah Jihoon akhirnya terhenti, membiarkan Hyunsuk menenangkan diri untuk waktu yang cukup lama.

Hyunsuk bangun dari duduknya. Dia masih meremas kerah di dadanya untuk mengurangi sesak. “Maaf, Jihoon. Aku ga bisa berdebat sekarang.”

Jihoon tersenyum simpul, menggeleng pelan, bukan debat yang ingin dia lakukan. Jihoon lantas menarik Hyunsuk ke dalam pelukannya. Dia ingin memeluk Hyunsuk agar sesaknya hilang. “Aku juga ga akan memperdebatkan apa-apa lagi sekarang, Hyunsuk. Tolong kuat sedikit lagi, ya? Tolong lanjutin pura-pura kamu sedikit lebih lama, ya? Buat Ruto.”

Jihoon melepas pelukannya. Senyum masih terpulas di wajah tampannya. Mereka bersitatap cukup lama, tenggelam di dalam lautan netra di hadapan masing-masing.

Senyum itu ... hal yang paling Hyunsuk suka dari Jihoon. Pelan-pelan Hyunsuk ikut tersenyum tipis, dia mengangguk pelan. Senyumnya semakin lebar ketika Jihoon mengusap pipinya yang basah.

Mereka akhirnya bersisian masuk ke dalam ruangan yang sama. Haruto menunggu dengan sabar, senyumnya mengembang ketika Papa kembali datang bersama Daddynya.

“Ruto—”

“Gapapa, Daddy! Ayo kita makan lagi!” Haruto tersenyum simpul. Memberi Hyunsuk rasa tenang karena Haruto tidak marah sedikitpun meski Hyunsuk hampir menghancurkan makan malam mereka.

Makan malam kembali berlangsung seperti makan malam pada umumnya. Mereka tertawa ringan ketika Jihoon melontarkan lawakan. Haruto selalu bilang Papa Jihoon itu papa terkeren, salah satunya karena Papa Jihoon punya selera humor yang baik, bukan seperti lawakan bapak-bapak yang mungkin membuat anaknya kesal.

Daddy Hyunsuk mengusap kepala Haruto pelan. Haruto juga selalu bilang Daddy Hyunsuk adalah daddy terhebat. Karena Daddy Hyunsuk mengajarkannya banyak hal, terutama untuk tersenyum dan memberikan kebahagiaan untuk orang yang kita sayangi dengan cara apapun.

Haruto menatap papa dan daddynya bergantian.

Namun, ada kalanya Papa Jihoon yang keren harus menunduk sedih demi menutupi wajahnya yang mungkin menangis semalaman tanpa melontarkan satupun lelucon yang selalu bisa mencairkan suasana. Ada kalanya Daddy Hyunsuk juga tidak tersenyum selebar biasanya dan tidak mampu membagi kebahagiaan untuk orang yang dia sayang.

Haruto sekarang paham, yang mereka perlukan kini hanya dukungannya. Haruto sayang keduanya, jadi dia dukung keputusan keduanya. Sebagai seoarang anak, Haruto ingin mereka bahagia, meskipun itu artinya mereka harus melepas ikatan mereka masing-masing.

Kini Haruto berjalan bersisian di antara Papa Jihoon dan Daddy Hyunsuk. Haruto terdiam di depan pintu mobil. Dia balik kanan dan kembali menatap kedua orang tuanya. “Pa, Dad, Ruto bakalan terima semua keputusan Papa sama Daddy. Tapi Ruto mau, semua keputusan itu bikin Papa sama Daddy bahagia, jangan nangis lagi, ya?”

Lagi-lagi hanya Jihoon yang mampu menjawabnya. Hyunsuk hanya terdiam kaku sampai suara Jihoon menyadarkannya.

“Hyunsuk?”

Hyunsuk menggeleng cepat dan berlari kecil menuju pintu kemudi. Jihoon menahan langkahnya sebelum Hyunsuk berjalan lebih jauh. “Hyunsuk,”

Hyunsuk tidak menjawab, dia hanya diam membelakangi Jihoon.

“Makasih buat malam ini. Maaf karna aku kasih malam berharga ini di detik-detik terakhir kita.”

Hyunsuk menggeleng pelan. Melanjutkan langkahnya dan melajukan mobilnya cepat, meninggalkan Jihoon yang masih menatap kosong ke depan.

Hari Kamis tiba. Mediasi pertama mereka sedang berlangsung. Mediasi berlangsung cepat, karena kedua belah pihak memiliki keinginan yang sama. Namun, ada satu pertanyaan dari mediator yang mencuri pikiran mereka. Tentang ...

“Apa kebahagiaan kalian selama hidup berdua?”

Pertanyaan itu jadi pertanyaan terakhir dan pertanyaan yang paling sulit untuk mereka jawab. Sebenarnya, bukan. Sebenarnya bukan karena mereka tidak bahagia. Justru karena meraka sangat bahagia, mereka jadi begitu sesak mengingatnya. Pertanyaan itu akhirnya menjadi pertanyaan yang tidak dijawab oleh Jihoon ataupun Hyunsuk.

Mereka keluar dari gedung pengadilan bersamaan. Tidak bersisian, tapi Jihoon berdiri tepat di belakang Hyunsuk. Dia memandangi kepala Hyunsuk dari belakang. Kembali menginat waktu pertama kali dia melihat Hyunsuk dengan wajah yang bersinar.

Mereka saling kenal sejak masa kuliah. Hyunsuk merupakan mahasiswa yang aktif berorganisasi dan menjadi primadona di kampusnya. Siapapun pasti menyukai Hyunsuk, tidak terkecuali Jihoon.

Jika Jihoon harus menyebutkan kebahagiaan apa yang dia rasakan ketika bersama Hyunsuk, mungkin seharian penuh sekalipun tidak akan cukup untuknya. Kebahagiaannya bersama Hyunsuk, sesederhana mereka tertawa bersama di dalam mobil sambil menunggu lampu hijau. Kebahagiaan bersama Hyunsuk, sesederhana mereka masak mie instan bersama. Meskipun terlalu banyak perdebatan antara rasa asin dan kadar penyedap rasanya, tapi itu membuat salah satu dari mereka akhirnya mengalah. Hal paling indah yang pernah ia rasakan.

Jihoon rasa, kali ini jauh lebih rumit dari mengalah tentang selera mie instan. Mungkin bukan karena permasalahannya yang berbeda, mungkin karena mereka akhirnya sudah berada di batas sabar masing-masing.

Sejak pertama kali kenal Hyunsuk, Jihoon sangat kagum dengan kegigihannya. Dia tidak pernah kalah dalam memperjuangkan pendapatnya. Memang kadang terkesan egois dan keras kepala, tapi orang-orang jatuh cinta karena kharismanya. Begitu juga Jihoon yang jatuh karena alasan yang sama.

Selama ini, melihat Hyunsuk yang terus mengoceh dengan bibir cemberut sangat menggemaskan bagi Jihoon. Dia kadang tidak sanggup untuk membantah apa yang Hyunsuk ocehkan. Tapi terlepas dari itu, ada yang lebih menggemaskan. Yaitu, ketika Hyunsuk akhirnya mengalah dan membiarkan Jihoon tersenyum penuh kemenangan sambil mencium pipinya bertubi-tubi.

Semua kebahagiaan itu ... mungkin akhirnya hilang karena Jihoon membuat kesalahan yang fatal. Jihoon sudah membuat Hyunsuk kecewa.

“Hyunsuk,” Jihoon akhirnya memanggil Hyunsuk yang hendak membuka pintu mobilnya.

Hyunsuk tidak menoleh, tapi gerakannya berhenti. Menandakan dia ingin mendengar ucapan Jihoon yang selanjutnya.

“Malam ini, kamu tidur di mana?”

Maaf, aku udah bikin kamu kecewa.

“Aku udah janji sama Ruto mau tidur bareng dia malam ini.” Jawab Hyunsuk yang masih belum menoleh ke arahnya.

“Oke. Kalo gitu, aku tidur di kantor malam ini.”

Aku bahagia bisa hidup bareng kamu.

Hyunsuk hanya mengangguk singkat dan masuk ke dalam mobil. Jihoon masih berdiri di tempatnya bahkan setelah mobil Hyunsuk menghilang di persimpangan jalan.

Hyunsuk, bahkan sampai detik ini aku masih sayang kamu.


Sudah setengah jam Hyunsuk berada di dalam mobil dan menangis. Dia memukul dadanya kuat untuk meredakan rasa nyeri yang menusuk ulu hatinya. Hidungnya merah karena terus menangis. Matanya bahkan sudah hampir tertutup karena sembab. Hyunsuk tidak berbohong, keputusannya untuk berpisah dengan Jihoon sangat berat untuknya.

Seperti yang sudah ia katakan, mencintai Jihoon adalah hal yang sudah melekat pada dirinya. Semua kebahagiaan bisa dia rasakan ketika melihat senyum Jihoon. Senyum yang ada ketika amarahnya sedang memuncak. Senyum yang akhirnya bisa membuat Hyunsuk memiliki hati yang lebih hangat sekarang. Hyunsuk baru menyadari, ternyata kebahagiaan terbesarnya bisa membuat dadanya begitu sesak sekarang. Mengingat senyum manis Jihoon, membuat dadanya sesak.

Haruto datang mengetuk kaca mobil. Hyunsuk sudah berjanji akan menjemput Haruto di sekolah hari ini. Dia buru-buru menghapus air mata yang membasahi pipinya. Dia memaksakan senyum meskipun dari wajahnya sangat terlihat isakan yang sebelumnya.

“Hari ini kita makan apa, Daddy?” Tanya Haruto senang. Senyumnya perlahan pudar ketika melihat Hyunsuk dengan wajah yang hancur.

“Ruto mau apa?” Hyunsuk masih memaksakan senyumnya. “Um, waktu itu Ruto ngajakin makan sushi, kan? Mau sushi?”

Haruto menggeleng pelan. Dia tidak pernah melihat Daddynya menangis selain bertengkar dengan Papa Jihoon kemarin itu. Melihatnya sehancur ini membuat pipi Haruto dibasahi air mata.

“Daddy, Ruto sayang Daddy sama Papa.” Haruto lantas memeluk Daddynya erat, menangis di dalam pelukannya.

Hyunsuk tercekat. Pada akhirnya Haruto akan tau bagaimana dia dan Jihoon hancur. Hyunsuk tidak pernah menangis di hadapan Haruto. Bukan karena Hyunsuk selalu tegar, tapi karena dia tidak ingin Haruto melihat sisi dunia yang menyakitkan. Tanpa ia sadari, ternyata Haruto sudah lama sakit karena perlakuannya.

“Ruto—Ruto janji. Ruto janji ga akan minta-minta Daddy buat jemput, atau minta-minta Papa buat anter Ruto. Ruto ga akan nangis-nangis minta makan bareng di rumah meskipun Papa sama Daddy sibuk. Ruto janji, Daddy! Tapi Daddy sama Papa jangan cerai!”

Hyunsuk akhirnya kembali menangis sambil memeluk anaknya erat. Dia tidak kuasa menjawab permintaan Haruto. Dia membiarkan Haruto terus memohon permintaan yang sama.

Hyunsuk melepas pelukannya pelan. Dia mengusap kepala Haruto. Dipandangnya wajah Haruto yang sudah penuh dengan air mata. “Ruto Sayang, Papa sama Daddy pisah bukan karena kita ga sayang Ruto. Kita pisah bukan karena kita ga bahagia punya anak seperti Ruto. Dan, yang paling penting kita pisah bukan karena Ruto.”

Hyunsuk sudah berhenti menangis. Dia tersenyum tulus kali ini, tidak ada paksaan sedikitpun. Dia tersenyum agar Haruto lebih tenang, dan agar dia bisa menunjukkan arti tegar yang sebenarnya.

“Saat kita pisah sekalipun, Ruto berhak kok minta itu semua. Minta dijemput Daddy, atau minta dianterin Papa. Bahkan, minta makan bareng di rumah. Ruto boleh minta itu semua. Karna meskipun Daddy sama Papa udah ga sama-sama lagi, Ruto tetep anak kesayangan kita berdua. Kalo kita pisah, Papa bakalan jadi mantan suami Daddy. Tapi Daddy ga akan pernah jadi mantan Daddynya Ruto, kan?” Hyunsuk terkekeh pelan sebagai penutupan kalimatnya yang panjang.

Haruto ikut tersenyum simpul. Dia mengangguk pelan, “Ruto sayang Daddy sama Papa. Ruto cuma mau Daddy bahagia.”

“Tapi, Dad.” Haruto menggantungkan ucapannya. “Boleh ga Ruto minta sesuatu?”

“Apa, Sayang?”

“Ruto mau dinner sama Daddy sama Papa. Ini mungkin bukan yang terakhir kalinya buat kita, tapi Ruto mau dinner. Di mana aja.”

Hyunsuk diam cukup lama. Bahkan untuk melihat Jihoon saja rasanya berat. Apa dia akan sanggup makan bersama Jihoon untuk saat ini? Hyunsuk akhirnya mengangguk dan tersenyum simpul demi melihat Haruto yang berseru senang.

Jihoon heboh memasuki dorm yang sekarang ini sedang ditempati Hyunsuk bersama Yoshi dan Junkyu. Dia melihat Junkyu yang berdiri kaku di depan kulkas. Tampaknya ingin mengambil air dingin.

“Kak Hyunsuk mana? Kak Hyunsuk? Ga kabur lagi kan? Di mana sekarang?”

Junkyu menunjuk ke arah kamar Hyunsuk. Jihoon langsung berlari kecil menuju pintu di sudut ruangan. Sebelum Jihoon akhirnya membuka pintu itu, dia kembali menghampiri Junkyu.

“Ga boleh minum es malem-malem.” Dia mengambil botol minum yang sedang Junkyu pegang dan menurup kulkas rapat-rapat.

Jihoon langsung buru-buru kembali ke depan pintu kamar ayank-nya. Dia menelan ludah lamat-lamat. Takut ayang marah.

Tok! Tok! Tok!

Pintu terbuka perlahan. Hyunsuk akhirnya terlihat dari balik pintu dengan wajah kusutnya. Sepertinya menahan kantuk karena ternyata pacarnya sampai lebih lama dari estimasi.

“Mana? Katanya lima belas menit.” Hyunsuk duduk di kasurnya, melipat tangan di dada. Buang muka sewaktu Jihoon menatapnya sambil tersenyum riang.

Jihoon terkekeh, “Macet, Yang.”

Hyunsuk buang muka lagi karena Jihoon terus menatapnya.

“Maap, ih. Masa karna secuil doang marah.” Jihoon akhirnya ikut cemberut karena ayangnya cemberut.

“Aku cium, ya?” Jihoon memohon. Hyunsuk masih membuang muka. Dia tidak berbohong soal moodnya sudah hilang sejak tadi.

Dia bad mood abis karena pacarnya ga pulang-pulang dari sore dia tungguin.

Jihoon menangkup wajah mungil pacarnya. Hyunsuk memang tidak mengangguk, tapi dia juga tidak menolak. Bahkan ketika bibirnya menyatu dengan bibir Jihoon, matanya ikut terpejam dan menikmati setiap kecupan hangat yang Jihoon berikan.

Cukup lama bibir mereka bertaut. Jihoon akhirnya menjauhkan wajahnya agar bisa memandangi dunianya. Dia tersenyum lebar. Rasa lelah setelah seharian ini penuh dengan aktivitas tanpa ayang di sampingnya langsung runtuh seketika.

“Udah, kan? Sekarang keluar dari kamarku.”

Kupu-kupu yang berterbangan, burung-burung yang berkicau, bunga-bunga yang bermekaran di sekitar Jihoon langsung hilang. Dia ikut mengerutkan keningnya, seperti pacarnya sejak sedetik dia menjauhkan bibir mereka.

“Ih?! Kenapa lagi, sih? Kan aku udah cium?”

Hyunsuk melepas tangan Jihoon yang masih setia mengusap pipinya lembut. Dia membuang muka, kembali melipat tangan di depan dada.

“Ayang jangan marah, nanti sayangnya kamu sedih.” Jihoon memasang wajah seperti bayi yang ingin menangis.

“Udah tau aku kangen!” Hyunsuk bergumam pelan. Sangat pelan. Tapi Jihoon masih bisa mendengarnya dengan jelas.

Senyum manis akhirnya tersulam lagi di wajah Jihoon. Dia menarik Hyunsuk ke dalam pelukannya. Yang dipeluk tidak bisa melakukan apa-apa selain bersandar di bahu lebar Jihoon.

“Hari ini rasanya capeeee banget. Solo schedule aku penuh dari pagi, belom lagi tadi siang harus kelas offline. Padahal aku kangen banget sama ayang aku. Boleh ga sih, ayang aku berubah jadi secuil beneran biar bisa aku bawa ke mana-mana?”

Hyunsuk hanya memukul punggung Jihoon pelan. Tapi akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa lagi karena dia juga berharap begitu. Seandainya dia kura-kura, pasti akan menyenangkan bisa membawa studionya ke manapun dia pergi. Pasti menyenangkan bisa terus bersama kesayangannya tanpa harus meninggalkan pekerjaan.

Jihoon melepas pelukan mereka. Hyunsuk mendongak, menatap orang yang sebenarnya lebih muda darinya satu tahun. “Kenapa ga peluk aku lagi?”

Jihoon menatap pacarnya yang seharusnya dia panggil “kakak” setiap di depan kamera. “Kakak, cape ga sih?”

Hyunsuk mengangkat alisnya, “Cape kenapa?”

Jihoon menghela napas panjang, “Aku cape banget. Rasanya mau pindah ke planet yang isinya cuma aku sama Kakak.”

“Kenapa tiba-tiba manggil 'kakak', sih?”

Jihoon tidak menanggapi pertanyaan “kakak”-nya itu. “Aku sayang banget sama Kak Hyunsuk.”

“Hei, kenapa, Sayang?” Hyunsuk akhirnya menangkup wajah Jihoon dengan kedua tangannya.

Jihoon menggeleng pelan, tapi bibirnya cemberut lucu. Dia bertingkah seperti anak kecil yang tidak diizinkan beli mainan baru.

Hyunsuk ketawa gemes, Jihoon itu meskipun badannya besar, kerjaannya teriak-teriak, suaranya gede, ditakutin sama adek-adeknya yang lain, tetep aja sifatnya kayak anak bungsu yang super gemes.

“Kenapa? Jiun mau dicium lagi? Hu'um?”

Jihoon ngangguk, “Mau cium lagi. Boleh ga aku cium Kak Hyunsuk lagi?”

Hyunsuk gigit bibir bawahnya karena gemes sama Jihoon. Tanpa Jihoon tanya, dia pasti izinin.

Hyunsuk akhirnya sedikit bangun dari duduknya dan mencium Jihoon cepat. Jihoon langsung memejamkan matanya dan tersenyum di sela-sela ciuman mereka. Tangan kakaknya yang mungil itu dia tuntun untuk melingkar di lehernya. Sedangkan tangannya, dia gunakan juga untuk mengusap lembut tengkuk Hyunsuk.

Hyunsuk melenguh panjang ketika Jihoon berhasil membuka kedua belah bibir kakaknya itu dengan lidahnya. Mereka cukup lama bermain lidah di dalam sana. Dunia serasa milik berdua. Keduanya terlentang dengan Jihoon yang mengukung Hyunsuk di bawahnya.

Seperti tidak ada habis-habisnya, Hyunsuk memutar posisi mereka. Kini Hyunsuk yang berada di atas si adik. Dia tersenyum penuh kemenangan ketika akhirnya Jihoon hanya bisa melanjutkan lumatannya sambil mengusap tengkuk hingga rambut Hyunsuk.

Hyunsuk menjauhkan wajahnya perlahan. Dia bisa lihat bibir Jihoon yang masih mengerucut setelah ia membuka mata.

“Kenapa lagi?” Hyunsuk ikutan cemberut. Agak cape ya, punya pacar kayak bayi yang apa-apa cemberut mulu. Jihoon makin cemberut pas Hyunsuk tanya itu.

“Mau tidur sama ayang aku.”

Hyunsuk langsung berdiri kesel. “Bangun!”

Jihoon akhirnya bangun, dia duduk di pinggir kasur. “Mau tidur sini!”

“Ga boleh!”

“Mau tidur sini!”

“Ga boleh, Jihoon!”

Jihoon hampir nangis, “Kenapa, sih? Gitu banget sama pacar. Giliran Yoshi aja, biasa aja tuh. Giliran Doyoung juga, malah diajakin tidur sini!”

“Mereka beda.”

Jihoon akhirnya berdiri, “Seharusnya yang beda itu aku!”

“Iya! Kamu emang lebih beda! Pasti kalo udah tidur sini ga bakalan tidur. Adaaaa aja yang kamu lakuin.”

“Engga! Janji! Aku cuma pel—”

“Alah! Udah sana pulang ke kamar!”

Jihoon cemberut lagi. Berlagak kayak bayi lucu yang berharap bisa meluluhkan hati kakak pacar. Sayangnya jurus itu ga bisa dipake dua kali. Hyunsuk justru dorong Jihoon susah payah sampe keluar kamar.

“AYANGGG!!!!”

Reza menunggu di depan rumahnya sejak lima menit yang lalu. Jam masih menunjukkan pukul 6 kurang 13 menit. Ini rekornya di semester ini, belum pernah dia berangkat sepagi ini untuk hari yang sebenarnya tidak sesibuk itu.

Reza berdiri gugup. Dia mencoba mengatur napasnya pelan-pelan. “ARRGHH! Kenapa deg-degan gini, sih?” Reza berseru frustrasi.

“Gapapa, Eja. Gapapa. Anggep aja kayak jalan biasa, sarapan biasa bareng temen-temen lo yang lain.”

Reza membulatkan matanya lagi. “TAPI LO BELOM PERNAH JALAN SAMA SIAPA-SIAPA BERDUAAN DOANG!”

Reza menghela napas panjang, menghembuskannya perlahan. Melakukan itu berulang kali sampai terasa lebih tenang. “Ini cuma sarapan biasa kok, Eja ga ngeharepin apa-apa. Iya.”

Tin! Reza hampir loncat karena suara klakson di depan rumahnya. Dia buru-buru mengunci pintu dan menemui Jio.

“Nunggu dari tadi, ya?”

Reza menggeleng pelan. Dia naik ke atas motor Jio yang tinggi dengan susah payah. “Tadi sambil ada yang dikerjain juga.” Bohongnya.

Jio ber-oh panjang. “Sering berangkat pagi, ya?”

“Ya, gitu deh. Takut telat juga kan, lumayan jauh juga ke kampus.” Bohongnya lagi.

Reza memukul kepalanya pelan. Bisa-bisanya dia bohong di depan Jio?! Maksudnya biar apa coba? Dia mau cari muka di depan Jio? Mau keliatan jadi yang paling rajin?

Jio justru tertawa pelan, “Lucu, deh.”

Reza hampir membulatkan matanya. Tiba-tiba?!

“Kenapa tiba-tiba mukul kepala gitu?”

Reza memalingkan wajahnya. Jio ini punya mata di belakang kepalanya atau gimana, sih? Dia merhatiin Reza dari spion, ya?

“Nyetir yang bener, Jio! Jangan liatin aku!”

Jio terkekeh. Kali ini, dia justru menoleh ke belakang karena sedang lampu merah. Dia tersenyum lebar hingga giginya telihat. “Iya, Ejaaa!”

Reza membuang muka. Dia tidak bisa menahan senyumnya. Meskipun ada kaca helm yang menghalangi wajahnya, tapi dia yakin 100 persen Jio bisa lihat wajahnya yang memerah.

Lampu kembali hijau. Selama perjalanan Reza akhirnya lebih banyak diam. Tidak ingin bersuara lagi atau dia akan ketauan salting. Akhirnya, dia membiarkan suara kendaraan yang mendominasi di sana hingga mereka sampai di tujuan.

“Bu, soto betawinya dua, ya. Minumnya teh anget dua.”

Reza melirik ke kiri dan ke kanan saat Jio memesan makanan. Dia baru tau kalau sepagi ini trotoar di depan kampusnya berubah ramai. Seperti di pasar kuliner. Dia selalu berangkat mepet, paling jam 7 lewat baru berangkat. Jam segitu pasti ga serame ini.

Jio menarik Reza yang tampak bingung. Mereka akhirnya duduk di tikar paling ujung yang kosong. Beberapa yang makan di sana juga teman-teman kampusnya—bisa diliat dari logo kampus yang ada di jaket yang mereka pake.

“Kamu belum pernah makan di sini, Ja?” Tanya Jio. Dia makan sate kulit yang barusan dia beli di tukang bubur.

Reza hanya menggeleng pelan. Soal dia ga pernah sarapan itu jujur 100 persen. Dia ga pernah sarapan, kecuali memang harus. Seperti sedang dirawat di rumah sakit contohnya.

Jio menggeleng pelan, “Sama sekali?” Mulutnya kini penuh sama kerupuk.

Reza ketawa, “Perasaan makanan aslinya belom dateng, tapi kenapa kamu makan terus dari tadi?”

Jio terkekeh, “Ya, laper, Ja.”

“Eh, jangan alihin topik dong. Kamu jawab dulu, beneran ga pernah sarapan? Kenapa, deh?”

Reza tertawa canggung, “Mama ga pernah masak buat sarapan. Biasanya buat makan malem doang. Jadi aku selalu sarapan sekalian makan siang aja di kampus.”

Jio mengangguk-angguk, “Berarti, mulai besok kamu harus sarapan bareng aku.”

“Loh? Aku?”

“Iya, kamu. Kenapa emang?”

Reza menunduk, memikirkan alasan agar dia tidak harus sarapan bersama Jio lagi. Ini bukan perihal Reza diet atau apapun. Bukan juga tentang bangun lebih pagi dari kelas pada umumnya. Tapi ... gimana kalo Reza akhirnya beneran suka sama Jio?!

“Um, kayaknya ga bisa, deh.”

Jio mengangguk pelan, dia tampak sedih tapi berusaha menutupinya. Sayangnya Reza bisa melihat wajah sedihnya itu. “Padahal aku seneng kalo ada yang nemenin sarapan.”

“Emang ... kamu ga ada yang nemenin gitu? Temen? Ortu? Atau ... pacar?”

Jio menggeleng dengan wajahnya yang polos. “Temen kos mah ga ada yang udah bangun jam segini. Ortu ... ya aku ada, tapi kan lagi ngekos. Pacar ... um, saat ini belum ada, sih.”

Reza tampak terkejut. Masa sih Jio belum ada pacar? Jio ini beneran buaya ga sih?

“Kenapa kamu kaget, gitu?”

“Gapapa. Agak kaget aja ternyata kamu ga punya pacar.”

Jio tertawa pelan, “Oooh. Aku emang belum berniat pacaran sih. Ya, pokoknya belum mau terikat sama sesuatu aja.”

Reza ber-oh panjang. Sangat panjang, sepanjang pikirannya saat ini. Tiba-tiba ada segelintir perasaan kecewa. Reza jadi bingung gimana deskripsiin perasaannya sekarang. Kalo dibilang dia mau pacaran sama Jio, ya engga. Tapi kalo dibilang dia ga mau deket sama Jio, ya engga juga.

“Tapi tergantung juga.” Jio melanjutkan ucapannya.

“Tergantung?”

Jio terkekeh pelan, “Kan kita ga tau perasaan orang kayak gimana. Bisa jadi ada yang bikin aku nyaman dan bikin aku sayang sama orang itu.”

Reza masih diam. Tetep aja, Reza merasa ada harapan palsu di sini.

“Kalo kamu?”

“Ya, sama sih. Kalo ada yang bikin aku nyaman. Mungkin aku bakalan deketin orang itu.”

Jio menatap Reza lamat-lamat. Sampai Reza merasa wajahnya berubah menjadi kepiting rebus. Merah padam.

“Kalo yang bikin nyaman ternyata aku gimana?”

Reza buru-buru buang muka, “Kalo kamu ngeliatin aku kayak gitu terus kayaknya ga akan pernah bikin aku nyaman!”

Jio tertawa lagi. Makanan mereka sudah datang. Akhirnya berhenti dari perbincangan tentang per-nyaman-an ini.

“Tumben bawa temen, Mas. Biasanya makan sendirian.” Ibu-ibu soto betawi yang datang itu sedikit berbasa-basi.

“Pacarnya, ya, Mas?”

Reza buru-buru merevisi. “Engga, Bu. Temen doang kok.” Dia tertawa, diikuti tawa Jio juga.

Reza memaki dirinya sendiri. Sepertinya dia salah ngomong kali ini.

“Eh, btw, kelas kamu mulai jam berapa?” Tanya Jio. Tidak membiarkan kekosongan antara mereka bertahan lebih lama.

“Mulai jam pertama, sih. Jam 7.30.”

Jio liat jam tangannya. Ternyata udah hampir mau jam 7. “Wah, kita harus makan cepet-cepet nih. Nanti kamu telat.”

“Aku doang? Emang kamu masuk jam berapa?”

“Hari ini aku cuma ada praktikum, kloter kedua. Jam 2 nanti.”

Reza terdiam. “Loh?! Terus ngapain kamu sarapan pagi-pagi, pake jemput aku dulu lagi?”

Jio tertawa. Dia mengelap pipi Reza yang terkena kuah soto. “Kan mau sarapan. Kalo aku jemputnya siang, namanya makan siang dong.”

Reza menunduk. Sedikit menggerutu. Ngapain coba harus repot-repot jemput dia kalo mau sarapan doang. Reza mengusap pipinya pelan yang baru saja diusap Jio. Ngapain juga dia harus ngelap pipinya gitu?! Reza bisa sendiri! Dia jadi kesel. Udah tau hatinya setipis tisu. Perlakuan manis sekecil apapun bisa bikin hatinya langsung rembes. Jio rese!

Hyunsuk buru-buru pulang ke rumah karena kehebohan yang dibuat Jeongwoo. Dia bahkan belum sempat beli ikan teri kesukaan Ireng Raksasa.

Hyunsuk mengatur napasnya setelah sampai di rumah. Dia sudah melihat Jihoon yang terduduk di sofa dengan Jeongwoo yang bersimpuh setengah bersujud di hadapannya.

“Hua!! Kak Suk! Ireng kalo jadi orang serem banget! Lebih garong daripada kucing garongnya, hua!!” Jeongwoo merengek. Nangis buaya. Cuih. Hyunsuk muak melihatnya.

“Kenapa dia, Ireng?”

“Jihoon.”

“Kenapa dia, Jihoon?”

“Dia loncat-loncat di atas kasur. Udah tau aku anti ngeliat rumah berantakan!”

Jeongwoo bersembunyi di balik Hyunsuk, “Bohong! Uwo cuma loncat-loncat doang! Tuh buktinya kasurnya udah rapih lagi!”

Jihoon menjitak kepala Jeongwoo, “Itu gue yang rapihin!”

Jeongwoo menangis tanpa air mata lagi. Nangis buaya. “Hua!! Kak Suk! Irengnya!”

Hyunsuk menatap Jeongwoo tajam, “Dibilang! Ireng kalo jadi orang tuh galak! Sekarang, minta maap sama Kak Ireng—”

“Jihoon!”

“Minta maap sama Kak Jihoon!”

Jeongwoo takut-takut menghampiri Jihoon. Sedikit menunduk, “Maaf, Kak Ir—”

“Jihoon!” Jihoon menjitak Jeongwoo lagi.

“Maaf, Kak Jihoon.”

“Kalo kamu mau main di sini sampe besok, kuncinya ga boleh berantakin rumah. Harus ikutin aturan yang ada di rumah ini.”

Jeongwoo menggerutu, “Perasaan ini rumah Om Daddy, ga ada—”

“Dengerin, Jeongwoo!” Jihoon dan Hyunsuk teriak hampir bersamaan.

“Iya! Iya!”

Di antara keributan di rumah itu, Dochi si kelinci datang. Meredam seluruh amarah yang meletup-letup dari masing-masing kepala. Dochi yang melompat-lompat membuat ketiga orang tersebut langsung mengalihkan fokus mereka.

“Aaaa, lucu banget, Dochi!” Hyunsuk menarik Dochi ke dalam pelukannya. Mencium Dochi bertubi-tubi.

Jeongwoo menatap Hyunsuk tajam. Dia menarik Dochi dari gendongan Hyunsuk. “Kak Suk bau jigong. Jangan cium-cium.”

“Dasar bocil titisan setan!”

Di sisi lain, ada yang menatap Dochi dan Hyunsuk jauh lebih tajam. Jihoon. Jihoon menyelidik Hyunsuk, menge-scan dari atas hingga bawah. Dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kalau diingat-ingat, hari ini dia belum mendapatkan ciuman seperti Dochi sebelumnya. Ralat, maksudnya, Ireng belum dicium seperti Hyunsuk mencium Dochi barusan.

“Kamu abis dari mana?” Tanya Jihoon pada Hyunsuk.

Hyunsuk tergagap, seperti dipergok pacarnya yang cemburuan. “Aku abis beli wortel buat Dochi.”

Jihoon membuang muka, “Dochi bilang ke aku, dia ga suka wortel. Dia maunya makan melon.”

“Kok kamu tau?” Hyunsuk kebingungan.

“Aku ngobrol sama dia pas tadi makan berdua.”

Jeongwoo menatap Jihoon takjub. Waw, seekor kucing ternyata bisa berkomunikasi sama kelinci seperti Dochi? Hyunsuk justru menatapnya tidak percaya. Masa sih? Paling Jihoon hanya sengaja mau meledeknya.

“BENERAN! Tanya aja langsung!” Jihoon ngegas. Sedikit tersinggung karena dicurigai.

“Baiklah. Karena Kak Suk juga udah tau tentang Dochi. Bakalan aku tunjukin sulap terhebat yang aku punya.”

Jeongwoo berlarian ke arah dapur. Kembali dengan semangkuk air. Dia mengambil sedikit air dan sedikit merapalkan doa ke dalamnya. Hyunsuk dan Jihoon bertatapan bingung. Ini jadi lebih ke arah ritual persembahan ketimbang sulap. Hyunsuk jadi takut sendiri.

“Keciprat! Keciprut!” Cipratan airnya sampai membuat Hyunsuk dan Jihoon ikut mengusap wajahnya kasar.

Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Sampai setengah menit pun mereka menunggu, Dochi belum berubah juga. Tapi waktu Hyunsuk sudah berancang-ancang ingin protes, seketika Dochi berubah menjadi laki-laki yang mungkin seumuran dengan Jeongwoo dengan pakaian serba putihnya.

Jeongwoo dan Hyunsuk berseru heboh, melihat pertunjukan spektakuler. Hanya Jihoon yang mengangkat bahu malas.

“Halo, Kak Hyunsuk! Halo, Kak Jihoon! Dan halo, Kak Jeongwoo! Aku Dochi, Doyoung Kelinci! Salam kenal!” Laki-laki bernama Doyoung itu melambaikan tangan ramah.

“Dochi! Dochi! Emang bener kamu ga mau wortel? Kamu maunya melon?”

Doyoung terkekeh pelan, dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Iya, aku ga suka wortel. Tapi karena Kak Jeongwoo kasih aku wortel terus, aku mau ga mau harus makan.”

Jihoon menatap Jeongwoo, ngeledek. Tuh kan dibilangin ngeyel sih. Gitu kata tatapannya.

Jeongwoo langsung sedih, “Maafin aku, ya, Dochi. Besok kita makan melon yang banyak, ya?”

Hyunsuk ikut sedih. Dia menatap punggung Jihoon yang pergi ke arah dapur. Kalau dipikir-pikir, Hyunsuk ga pernah benar-benar bertanya apa yang Jihoon mau. Kalau Ireng atau kucing yang lain, mungkin dia emang ga punya pilihan lain selain makan apa yang ada, atau kalau mereka ga suka mereka cukup ga makan apa yang udah disedian. Tapi kali ini kasusnya beda, seharusnya Hyunsuk bisa lebih baik merawat Ireng.

“Jihoon, kamu suka apa?”

Jihoon diam. Dia merapikan meja makan yang penuh dengan piring kotor.

Doyoung berlarian kecil, menghampiri Hyunsuk. “Tenang aja, Kak! Kak Jihoon bilang, kalo dia suka semua makanan. Asal makan bareng—”

“Ini piring rapihin! Kenapa berantakan banget, sih?! Doyoung! Kamu juga rapihin makanan yang berantakan di ruang tamu!”

Hyunsuk kaget karena teriakan Jihoon. Dia langsung ikut beresin rumah yang baru aja ditempatin beberapa jam sama Jeongwoo tapi udah berubah jadi setengah kapal pecah.

#AU IRENG

Hyunsuk buru-buru pulang ke rumah karena kehebohan yang dibuat Jeongwoo. Dia bahkan belum sempat beli ikan teri kesukaan Ireng Raksasa.

Hyunsuk mengatur napasnya setelah sampai di rumah. Dia sudah melihat Jihoon yang terduduk di sofa dengan Jeongwoo yang bersimpuh setengah bersujud di hadapannya.

“Hua!! Kak Suk! Ireng kalo jadi orang serem banget! Lebih garong daripada kucing garongnya, hua!!” Jeongwoo merengek. Nangis buaya. Cuih. Hyunsuk muak melihatnya.

“Kenapa dia, Ireng?”

“Jihoon.”

“Kenapa dia, Jihoon?”

“Dia loncat-loncat di atas kasur. Udah tau aku anti ngeliat rumah berantakan!”

Jeongwoo bersembunyi di balik Hyunsuk, “Bohong! Uwo cuma loncat-loncat doang! Tuh buktinya kasurnya udah rapih lagi!”

Jihoon menjitak kepala Jeongwoo, “Itu gue yang rapihin!”

Jeongwoo menangis tanpa air mata lagi. Nangis buaya. “Hua!! Kak Suk! Irengnya!”

Hyunsuk menatap Jeongwoo tajam, “Dibilang! Ireng kalo jadi orang tuh galak! Sekarang, minta maap sama Kak Ireng—”

“Jihoon!”

“Minta maap sama Kak Jihoon!”

Jeongwoo takut-takut menghampiri Jihoon. Sedikit menunduk, “Maaf, Kak Ir—”

“Jihoon!” Jihoon menjitak Jeongwoo lagi.

“Maaf, Kak Jihoon.”

“Kalo kamu mau main di sini sampe besok, kuncinya ga boleh berantakin rumah. Harus ikutin aturan yang ada di rumah ini.”

Jeongwoo menggerutu, “Perasaan ini rumah Om Daddy, ga ada—”

“Dengerin, Jeongwoo!” Jihoon dan Hyunsuk teriak hampir bersamaan.

“Iya! Iya!”

Di antara keributan di rumah itu, Dochi si kelinci datang. Meredam seluruh amarah yang meletup-letup dari masing-masing kepala. Dochi yang melompat-lompat membuat ketiga orang tersebut langsung mengalihkan fokus mereka.

“Aaaa, lucu banget, Dochi!” Hyunsuk menarik Dochi ke dalam pelukannya. Mencium Dochi bertubi-tubi.

Jeongwoo menatap Hyunsuk tajam. Dia menarik Dochi dari gendongan Hyunsuk. “Kak Suk bau jigong. Jangan cium-cium.”

“Dasar bocil titisan setan!”

Di sisi lain, ada yang menatap Dochi dan Hyunsuk jauh lebih tajam. Jihoon. Jihoon menyelidik Hyunsuk, menge-scan dari atas hingga bawah. Dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kalau diingat-ingat, hari ini dia belum mendapatkan ciuman seperti Dochi sebelumnya. Ralat, maksudnya, Ireng belum dicium seperti Hyunsuk mencium Dochi barusan.

“Kamu abis dari mana?” Tanya Jihoon pada Hyunsuk.

Hyunsuk tergagap, seperti dipergok pacarnya yang cemburuan. “Aku abis beli wortel buat Dochi.”

Jihoon membuang muka, “Dochi bilang ke aku, dia ga suka wortel. Dia maunya makan melon.”

“Kok kamu tau?” Hyunsuk kebingungan.

“Aku ngobrol sama dia pas tadi makan berdua.”

Jeongwoo menatap Jihoon takjub. Waw, seekor kucing ternyata bisa berkomunikasi sama kelinci seperti Dochi? Hyunsuk justru menatapnya tidak percaya. Masa sih? Paling Jihoon hanya sengaja mau meledeknya.

“BENERAN! Tanya aja langsung!” Jihoon ngegas. Sedikit tersinggung karena dicurigai.

“Baiklah. Karena Kak Suk juga udah tau tentang Dochi. Bakalan aku tunjukin sulap terhebat yang aku punya.”

Jeongwoo berlarian ke arah dapur. Kembali dengan semangkuk air. Dia mengambil sedikit air dan sedikit merapalkan doa ke dalamnya. Hyunsuk dan Jihoon bertatapan bingung. Ini jadi lebih ke arah ritual persembahan ketimbang sulap. Hyunsuk jadi takut sendiri.

“Keciprat! Keciprut!” Cipratan airnya sampai membuat Hyunsuk dan Jihoon ikut mengusap wajahnya kasar.

Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Sampai setengah menit pun mereka menunggu, Dochi belum berubah juga. Tapi waktu Hyunsuk sudah berancang-ancang ingin protes, seketika Dochi berubah menjadi laki-laki yang mungkin seumuran dengan Jeongwoo dengan pakaian serba putihnya.

Jeongwoo dan Hyunsuk berseru heboh, melihat pertunjukan spektakuler. Hanya Jihoon yang mengangkat bahu malas.

“Halo, Kak Hyunsuk! Halo, Kak Jihoon! Dan halo, Kak Jeongwoo! Aku Dochi, Doyoung Kelinci! Salam kenal!” Laki-laki bernama Doyoung itu melambaikan tangan ramah.

“Dochi! Dochi! Emang bener kamu ga mau wortel? Kamu maunya melon?”

Doyoung terkekeh pelan, dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Iya, aku ga suka wortel. Tapi karena Kak Jeongwoo kasih aku wortel terus, aku mau ga mau harus makan.”

Jihoon menatap Jeongwoo, ngeledek. Tuh kan dibilangin ngeyel sih. Gitu kata tatapannya.

Jeongwoo langsung sedih, “Maafin aku, ya, Dochi. Besok kita makan melon yang banyak, ya?”

Hyunsuk ikut sedih. Dia menatap punggung Jihoon yang pergi ke arah dapur. Kalau dipikir-pikir, Hyunsuk ga pernah benar-benar bertanya apa yang Jihoon mau. Kalau Ireng atau kucing yang lain, mungkin dia emang ga punya pilihan lain selain makan apa yang ada, atau kalau mereka ga suka mereka cukup ga makan apa yang udah disedian. Tapi kali ini kasusnya beda, seharusnya Hyunsuk bisa lebih baik merawat Ireng.

“Jihoon, kamu suka apa?”

Jihoon diam. Dia merapikan meja makan yang penuh dengan piring kotor.

Doyoung berlarian kecil, menghampiri Hyunsuk. “Tenang aja, Kak! Kak Jihoon bilang, kalo dia suka semua makanan. Asal makan bareng—”

“Ini piring rapihin! Kenapa berantakan banget, sih?! Doyoung! Kamu juga rapihin makanan yang berantakan di ruang tamu!”

Hyunsuk kaget karena teriakan Jihoon. Dia langsung ikut beresin rumah yang baru aja ditempatin beberapa jam sama Jeongwoo tapi udah berubah jadi setengah kapal pecah.