Hyunsuk dijemput Jihoon pagi-pagi sekali. Bahkan satu kost Hyunsuk masih sunyi, tidak ada suara alarm yang biasanya bersahutan. Meskipun ini belum memasuki minggu liburan, tapi Hyunsuk sudah tidak ada lagi jadwal praktikum dan hari-harinya tidak sepadat sebelumnya. Dia seharusnya bisa tidur lebih tenang hari ini.
Hyunsuk berdiri sambil cemberut, masih menunggu Jihoon yang sibuk mengecek ulang peralatan. Ini memang masih pagi, tapi langit di atas mereka sudah membiru, cerah. Itu bukan berarti pagi “sekali” buat Jihoon, dia terbiasa beraktivitas lebih pagi dari ini.
“Kenapa, hm?” Jihoon tertawa singkat ketika melihat Hyunsuk dengan jaket orange menyala yang kebesaran. Itu punya Jihoon yang biasa ia pakai jika pergi ke tempat yang dingin, tentu aja kebesaran di tubuh Hyunsuk yang kecil, mungil, tuing-tuing. Gemes.
“Kenapa, Sayang?” Jihoon tanya lagi karena Hyunsuk tidak menjawab pertanyaannya. Dia sisir rambut Hyunsuk lembut dengan jarinya. Menyapu rambut hitam pacarnya hingga menampakkan kening yang berkerut tipis.
“Kenapa pagi banget? Emangnya kita bakalan dihukum kalo kesiangan?” Hyunsuk masih cemberut.
Jihoon justru tertawa pelan karena pertanyaan yang Hyunsuk lontarkan. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pertanyaannya, tapi Hyunsuk benar-benar menggemaskan. Jihoon tertawa karena wajah Hyunsuk yang gemas dengan hidung kemerahan sebab udara yang dingin. Semalaman hujan deras, membuat hawa pagi ini jauh lebih dingin daripada pagi biasanya.
“Kalo siang, takutnya hujan. Kan dari kemarin hujan.” Jihoon menjelaskan singkat sambil menatap pacarnya dengan senyum yang tidak pernah lepas dari wajahnya.
Hyunsuk mengangguk pelan, dia mengerti dengan cuaca di kota yang sekarang ia tinggali ini. Mau musim kemarau, mau musim penghujan, setiap hari ada aja agenda hujan badai. Hyunsuk tiba-tiba membayangkan jika hari ini akan terjadi hujan badai di atas. Dia langsung memeluk pacarnya erat. “Kalo ujan, kita ga usah jadi ke hutan deh, Mas. Aku takut nanti kita kesesat di hutan.”
Jihoon terkekeh gemas, “He'em, kalo hujan, kita pulang lagi.” Dia mengusap lembut pucuk kepala Hyunsuk yang tersandar di dadanya.
Bukannya siap-siap berangkat, mereka justru pelukan di samping motor Jihoon yang penuh sama tenda, sleeping bag, dan alat-alat lainnya. Sangat lama, tapi mereka nyaman berada di dalam pelukan masing-masing. Jihoon akhirnya berdeham pelan untuk mengakhiri pelukan mereka, meskipun dia sendiri juga enggan untuk lepas Hyunsuk dari pelukannya. “Ini kita mau pelukan aja nih sampe besok? Ga jadi ke hutan?”
Hyunsuk mendongakkan wajahnya tanpa melepas pelukan mereka. Dia tertawa pelan, “Iya, udahan pelukannya. Tapi nanti di sana lanjut lagi, ya?”
Jihoon mengangguk cepat, “Kita pelukan selama yang kamu mau.”
Mereka akhirnya mulai mengatur posisi di motor. Tenda dan dua tas sleeping bag diletakkan di pijakan kaki motor. Tas besar Jihoon dengan matras yang menggulung di atasnya dibopong di bagian depan. Hyunsuk membantu menyatukan dua pengait di tas carriernya agar Jihoon tidak terganggu ketika menyetir. “Mas Jihoon ga keberatan emang?” Hyunsuk menatap Jihoon sedikit khawatir karena tas carrier yang dibawanya sangat besar. Isinya juga banyak barang-barang keperluan mereka, lebih tepatnya jajanan Hyunsuk untuk tengah malam nanti.
Jihoon menggeleng cepat. Dia meminta Hyunsuk naik ke motor sekarang agar mereka bisa segera berangkat. Hyunsuk susah payah naik ke motor, padahal tasnya tidak seberat yang Jihoon gendong. “Mas Jihoon beneran ga berat? Aku aja berat loh.” Hyunsuk bertanya lagi.
“Aku udah biasa kok. Kalo lagi ada acara, bawaannya lebih banyak dari ini. Tenang aja, pacarmu ini udah ahli.” Jihoon terkekeh pelan. Dia menaik-turunkan alisnya, bergaya sok keren.
Hyunsuk memukul bahu Jihoon pelan yang membuat si pemilik bahu sedikit terhuyung ke depan. Salting. “Gaya banget, sih!” Hyunsuk tertawa sinis, seakan-akan tidak setuju. Padahal dia amat sangat setuju kalau Mas Jihoon-nya itu ahli di segala hal yang dia tau, terutama ahli membuat dia semakin sayang setiap harinya.
Mereka akhirnya memulai perjalanan yang sepertinya akan sangat panjang. Setidaknya itu yang Hyunsuk bayangkan. Melewati gunung, bukit, lembah, semak belukar, dan akan sampai di tengah hutan tempat mereka membangun tenda. Empat puluh lima menit waktu mereka dihabiskan untuk melewati jalan raya perkotaan yang biasa mereka lewati ketika mau berlibur, sekedar makan jagung bakar dan sebagainya. Di sana, mereka sempat berhenti di warung untuk membeli sayur dan es teh kesukaan Hyunsuk. Kemudian baru melanjutkan perjalanan.
Biasanya, kalau healing, mereka bakalan lurus dan memilih jalanan yang lebih besar. Tapi kali ini Jihoon membelokkan motornya ke persimpangan yang lebih kecil. Sekelilingnya masih banyak warung-warung bahkan rumah makan, tapi semakin mereka melaju, pemandangan akan berubah menjadi bukit-bukit yang menjulang tinggi.
“Uwahh!!” Hyunsuk hampir menganga karena melihat pemandangan serba hijau yang memanjakan mata. Dia yang sejak tadi memeluk Jihoon, akhirnya mendongakkan kepalanya. Bahkan mengambil beberapa video dengan satu tangan yang masih memeluk Jihoon lebih erat dari yang sebelumnya. Jihoon tersenyum tipis karena Hyunsuk terlihat sangat senang.
“Halo guys! Kita lagi otw ke hutan. Liat, pemandangannya bagus banget!” Hyunsuk bermonolog di depan ponselnya. “Oh iya, kita mau nge-camp tau. Berduaan aja. Sst, jangan bilang-bilang!” Kali ini Hyunsuk berbisik ke kamera. Jihoon jadi tertawa geli, Hyunsuk memang selalu lucu.
“Udah, disimpen hpnya. Nanti jatoh.” Ucap Jihoon karena Hyunsuk sudah merekam terlalu lama. Hyunsuk langsung diam, cemberut, padahal dia masih mau merekam. “Nanti ga bisa peluk aku juga.” Lanjut Jihoon yang bikin Hyunsuk langsung simpan lagi hpnya dan peluk Jihoon dengan kedua tangannya. Jihoon emang selalu punya cara agar Hyunsuk tidak bisa menolaknya.
“Aku udah lama banget tau, Mas, ga liat yang ijo-ijo kayak gini.”
“Hm? Masa iya? Kan kampus kita mah udah kayak taman kota. Banyak bukitnya pula.” Jawaban Jihoon sedikit meledek Hyunsuk yang sering mengeluh waktu harus naik turun di kampusnya, banyak jalur mendaki, katanya.
“Ya, kan, kalo ijo di sana ingetnya laprak. Beda.” Hyunsuk sedikit kesel. Keliatan dari cara dia balas ucapan Jihoon.
“Kalo ijo di sini ingetnya apa dong?”
Hyunsuk terkekeh, “Ingetnya Mas Jihoon!”
Jihoon tertawa. Semakin ke sini, skill ngegombal Hyunsuk semakin keliatan progressnya. Kira-kira kenapa bisa gitu, ya? Jihoon akhirnya cuma bisa ketawa karena tas besarnya ganggu pergerakannya. Padahal dia mau usap-usap tangan pacarnya yang gemes itu.
Sekarang mereka lebih banyak diam. Jalanan udah semakin berat. Banyak belokan tajam, tanjakan curam, dan jalanan semakin kecil. Hampir lima belas menit mereka melewati jalanan itu sebelum akhirnya masuk ke jalanan yang lebih berat. Jalanannya aspal berbatu yang sudah diselimuti tanah. Agak serem, tapi untungnya seperti yang Jihoon bilang tadi, dia udah ahli soal ini. Jadi, Hyunsuk ga takut sama sekali.
Hyunsuk justru lebih takut karena mereka berhenti di parkiran motor. Dia celingak-celinguk, memantau jalanan menanjak yang tidak terlihat ujungnya. Jihoon menggendong tas dan menenteng bawaan yang ada di motor. “Ayo!”
Jihoon berjalan mendahului Hyunsuk tanpa menyadari pacar kecilnya yang berdiri kaku menatap medan terjal di hadapannya. Hyunsuk langsung nyesel kenapa dia harus minta “hutan” yang sering Jihoon datengin. Padahal dia seharusnya paham itu berbeda dengan bumi perkemahan untuk tempat bersenang-senang.
“Loh? Kok diem aja?” Tanya Jihoon yang sudah berjarak beberapa langkah dari Hyunsuk.
“Kita jalan ke situ, Mas? Sambil bawa tas? Iya?” Hyunsuk tampak memelas.
“Iya. Kenapa emangnya?” Jihoon malah balik bertanya, seperti tidak melihat ada yang salah dari jalanan itu.
“Berat! Aku takut nanti pertumbuhanku terhambat!”
Jihoon tertawa geli. “Engga dong. Kan kamu tahun ini 20 tahun, Hyunsuk. Ga bisa tumbuh lagi juga.” Sekarang tawanya jadi terdengar seperti meledek. Hyunsuk jadi sedikit kesal. Sedikit.
“Ish! Nanti aku jadi makin pendek gimana? Udah tau aku sering diledekin karna pendek! Mas Jihoon tega kalo aku diledekin terus?!”
Jihoon lanjut ketawa, tapi tidak lama. Abis itu, dia mikir sebentar sambil menimbang-nimbang bawaan mereka yang cukup banyak untuk dua orang. “Yaudah. Tasmu aku yang bawain. Sini.”
“Terus, tasnya Mas Jihoon gimana?” Tanya Hyunsuk yang tetap melepas tasnya.
“Aku tinggal dulu.”
“Ih! Kok gitu?! Terus ga di bawa ke atas?”
Jihoon menggendong tas Hyunsuk dengan nyaman, seperti bukan apa-apa untuk badannya yang besar. “Nanti aku turun lagi.”
Hyunsuk langsung nunduk, merasa ga enak hati. “Nanti Mas Jihoon bolak-balik dong.”
“Gapapa dong. Daripada pacar aku nanti makin kecil, terus makin gemes, terus makin banyak dideketin sama orang. Kan aku juga yang repot. Bolak balik dari sana ke sini mah bukan apa-apa buat aku, ketimbang harus liat pacar aku dideketin atau digodain orang lain.”
Hyunsuk langsung senyum seneng lagi. Dia ambil tentengan yang ada di tangan kanan Jihoon yang ga seberapa ketimbang tas yang dia bopong sebelumnya. Tangan Jihoon yang kosong akhirnya dia gandeng, rasanya tangannya pas banget di dalam tangan Jihoon, seperti memang terlahir untuk saling bergandengan. “Makasih, ya, Mas Ayang.”
Perjalanan menuju pos yang mau mereka tempatin lumayan jauh. Bukan, lebih tepatnya sangat jauh. Mereka berhenti di tempat yang Hyunsuk rasa itu bukan menjadi tempat yang bagus buat bangun tenda, “Kita udah sampe, Mas?” Tanya Hyunsuk yang napasnya udah ga beraturan.
Jihoon ketawa pelan, “Kita bahkan belom masuk. Ini aku isi data dulu.” Hyunsuk nengok ke kiri dan ke kanan, mandangin jalanan yang kayaknya ga sanggup dia lewatin. Tapi Jihoon kayak ga ngeliat apa-apa dan gandeng tangan Hyunsuk lebih erat buat nanjak jalanan setapak.
Sewaktu dilewatin, ternyata jauh lebih berat. Bahkan setelah ngelewatin pos pertama aja Hyunsuk udah ngos-ngosan. Dia hampir nyerah dan minta mereka bangun tenda di pos kedua. Tapi sayang, pos kedua udah ga bisa bangun tenda lagi karena udah ada beberapa tenda di sana. Akhirnya mau ga mau Hyunsuk tetep jalan dan pergi ke pos awal yang mau mereka tuju.
“Mas! Udah ga kuat!” Hyunsuk merengek.
“Sebentar lagi, Sayang. Tuh, udah keliatan.”
“Mas Jihoon mah kan dari tadi ngomongnya kayak gitu terus.” Hyunsuk cemberut karena Jihoon sudah mengatakan kalimat yang sama selama tiga kali.
Jihoon tertawa pelan, tangannya menggenggam tangan Hyunsuk lebih erat. “Yaudah, kalo cape kita berenti dulu.”
Hyunsuk langsung duduk di batu besar yang ada di sana begitu dengar apa yang Jihoon bilang. Dia mengambil minum di samping tasnya dan meminumnya dengan rakus, seperti orang yang baru saja selesai lari maraton. Tiba-tiba ada suara daun kering yang diinjak di sampingnya. Suaranya bukan seperti langkah kaki, tapi daun kering itu bersuara semakin dekat seperti menghampirinya. Hyunsuk menoleh ke arah sumber suara, “AAKKK!!!” Hyunsuk berteriak dan langsung berlari ke belakang Jihoon.
Ada ular di sana. Berwarna cokelat solid yang menyerupai ranting pohon. Mungkin kalau Hyunsuk tidak mendengar suara daun kering, dia akan mengira itu hanya batang pohon yang jatuh. Itu juga bukan ular raksasa dengan ukuran abnormal, tapi cukup besar untuk Hyunsuk yang belum melihatnya sama sekali. Selagi Hyunsuk ketakutan, Jihoon justru semudah itu mengusir ular dari pandangan mereka.
“Itu bukan ular berbisa kok. Ga usah panik, ya.” Ucap Jihoon sambil menepuk-nepuk tangannya.
“Kok Mas Jihoon bisa tau?”
“Kan bisa diliat dari kepalanya. Hayo, biosisnya lupa, ya?” Jihoon menunjuk Hyunsuk yang sekarang menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Engga lupa. Basa-basi aja.” Hyunsuk terkekeh.
Jihoon tertawa dan mengacak-acak rambut Hyunsuk. “Yaudah. Mau lanjut lagi jalannya?”
Hyunsuk mengangguk cepat dan gandeng tangan Jihoon lagi. Dia mau cepet-cepet pergi aja sebelum ular itu dateng lagi.
Ternyata tempat mereka untuk mendirikan tenda emang ga jauh dari sana. Tempatnya ga begitu luas, tapi cukup untuk dua atau tiga tenda kecil. Di sana ada banyak pohon besar, banyak akar-akar besar yang mencuat ke permukaan tanah. Hampir setengah lahan itu akhirnya ga bisa dijadiin tempat untuk bangun tenda. Kemungkinan besar, ga ada lagi yang bangun tenda di sana. Tapi Hyunsuk ga takut sih, atau mungkin belum, karena ini masih pagi. Tapi selagi ada Mas Jihoon-nya, dia ga takut sama sekali.
Mereka langsung bangun tenda begitu sampai di sana. Sebelumnya Hyunsuk udah pernah bangun tenda di kegiatan kampus waktu itu, tapi dia bareng temen-temennya. Waktu itu berdelapan, dan perlu setengah jam lebih buat mereka bangun dua tenda. Sekarang juga agak susah sih, tapi dia lebih percaya diri karena bareng Jihoon. Ternyata bener aja, mereka ga perlu susah-susah bangun tenda kayak yang Hyunsuk bayangin. Mungkin Jihoon sendiri aja bisa bangun tenda yang ga begitu besar ini.
“Mas, yang ini dipakein pasak juga?”
“Iya. Yang ada talinya, dipakein pasak aja.” Jihoon jawab dari sisi lain tenda.
Hyunsuk celingak-celinguk, mencari batu yang cukup besar buat pukul-pukul pasaknya biar tertancap dalam. Tapi sebelum ketemu, Jihoon justru datang dan mendorong pasak itu sampai terbenam sempurna. Jihoon kemudian pindah ke sisi lain dan kembali menancapkan pasak di pengait tenda, melakukan semua pekerjaan itu dengan cepat, seperti menjadi pekerjaannya sehari-hari.
Hyunsuk nyengir, Mas Jihoon-nya itu emang selalu bisa diandalkan.
“Aku ambil tas yang di parkiran dulu, ya. Kamu gapapa sendirian, kan?”
Hyunsuk menggeleng pelan sambil membongkar tasnya. “Tapi Mas Jihoon jangan lama-lama, ya!”
“Iya!”
Jihoon selalu jadi pacar yang tepatin janjinya. Karna Hyunsuk sendiri heran, kok bisa dia ambil tas secepet itu. Hyunsuk jadi sedikit ragu soal pacarnya itu manusia atau bukan, atau jangan-jangan Jihoon itu ironman, ya? Dia bisa panggil kostumnya kapanpun terus terbang.
“Mas Jihoon ambil tas di mana?”
“Ya, di tempat tadi.”
“Kok cepet banget?!” Hyunsuk keheranan.
“Masa sih?”
“Iya! Mas Jihoon itu manusia bukan sih?!”
Jihoon ketawa, “Emang kamu pikir aku apa?”
“Mas Jihoon manusia super! Mana ada manusia normal yang jalan sejauh itu bawa tas berat ga cape sama sekali!”
Jihoon nunduk sedikit biar wajah mereka sajajar, “Aku ga kepikiran cape sedikitpun. Soalnya pikiran aku udah penuh sama kamu yang sendirian di sini.”
Hyunsuk langsung merah mukanya. Dia pukul tangan Jihoon pelan, sebagai tanda kalau dia salting. “Ih, Mas Jihoon jangan gombal terus!” Hyunsuk langsung kabur ke tenda, takut digombalin lagi. Lebih milih bongkar muatan dan persediaan makannya untuk seharian ini.
“Mas, masa aku laper.” Ucap Hyunsuk yang keluar dari tenda.
Jihoon di luar lagi rapihin matras buat mereka duduk-duduk dan masak. Jihoon natap Hyunsuk kaget, “Loh? Kan tadi udah sarapan?”
“Sarapan apaan kalo cuma makan arem-arem? Itu mah baru nyampe ke tenggorokan juga langsung kecerna.”
Jihoon ketawa, “Tapi aku masih kenyang tuh.”
“YEU! Mas Jihoon makan arem-arem tiga biji! Aku tadi cuma satu, ya!” Hyunsuk protes.
Jihoon ketawa lebih keceng dari sebelumnya, “Yaudah, kan kita bawa jajanan. Makan jajanan aja.”
Hyunsuk geleng, “Maunya masak.”
“Yeuh, itu mah maunya kamu aja main masak-masakan.”
Hyunsuk tertawa geli, dia suka banget masang gas di kompor terus masak di nesting yang bertingkat-tingkat.
Karena itu permintaan dari kesayangannya, akhirnya Jihoon ngeluarin sosis, salada, roti, mentega, dan sous. Mereka bakalan bikin sandwich. “Seladanya aku cuci, ya, Mas!” Hyunsuk langsung lari-larian kecil pas Jihoon ngangguk pelan. Dia langsung ke sungai kecil yang ngalir ke arah telaga.
Tempat mereka bangun tenda ga begitu deket sih sama sungainya, Hyunsuk bahkan perlu turun biar bisa nyuci seladanya. Tapi suara air ngalir itu kedengeran sampe ke tenda mereka, bikin suasana lebih nyaman.
Mereka bikin dua porsi sandwich. Cepet sih masaknya, tapi makannya jauh lebih cepet sampe akhirnya Hyunsuk bikin satu porsi lagi. Saus dan mayonise sampe belepotan di mulut Hyunsuk, mungkin sangking lapernya.
“Kasian banget sih, pacarku kelaperan.” Jihoon usap mulut Hyunsuk yang belepotan pake tangannya yang bersih.
“Mas Jihoon ga mau lagi?” Tanya Hyunsuk dengan mulutnya yang penuh sama makanan.
Jihoon geleng pelan sambil ketawa, “Aku udah kenyang, apa lagi liat kamu lahap banget kayak gitu.”
Hyunsuk nyengir, “Abis ini kita main air, yuk, Mas?”
“Yuk! Kalo gitu aku rapihin barang bawaanku dulu, ya?”
Hyunsuk ngangguk-ngangguk sambil abisin sandwich yang ada di tangannya. Ga perlu waktu lama buat Hyunsuk abisin sandwich yang tersisa, dan ga perlu waktu lama juga buat Jihoon rapihin barang-barangnya. Mereka langsung ke sungai pas semuanya selesai.
Hyunsuk seneng banget. Dia siram-siram Jihoon pake air yang dingin. Si Mas lari kecil, menjauh dari pacar kecilnya. Ga lupa juga hp yang selalu ada di tangan Hyunsuk buat nge-vlog. Padahal di situ airnya dingin banget, meskipun masih siang dan matahari lagi panas-panasnya, tetep aja airnya bikin kaki kerasa beku. Tapi itu semua bukan penghalang buat Hyunsuk lari-larian. Dia seneng banget, semakin dingin bagi dia semakin bagus. Jarang-jarang kan, biasanya di kota, dia kepanasan dan harus pake AC di suhu paling rendah buat ilangin panas.
“Hyunsuk! Hati-hati jatuh. Hpnya juga hati-hati pegangnya.” Jihoon agak khawatir karna pacarnya yang tiba-tiba jadi hiperaktif gini. Padahal biasanya dia lebih banyak mager di kamar kostnya.
“Iya, Mas. Ga bakalan jat—BUG!”
Jihoon langsung nyamperin Hyunsuk yang kepeleset. Batu-batu di dasar sungainya emang datar, jadi ga sakit waktu diinjek. Tapi malah jadi bikin licin karena lebih gampang tumbuh lumut. Jihoon langsung angkat Hyunsuk yang duduk kaku, mungkin karena kaget.
“Hpku nyemplung.” Hyunsuk hampir nangis gara-gara mikirin hpnya.
Jihoon justru hampir nangis karena hal lain, “Kamu gapapa? Ada yang sakit ga?” Dia heboh liatin pacarnya dari atas sampe bawah.
Hyunsuk geleng-geleng, “Aku ga kenapa-kenapa, Mas. Tapi hpku kenapa-kenapa. Kalo mati gimana? HUAAA!”
Jihoon langsung peluk Hyunsuk meskipun yang dipeluk basah kuyup. “Aduh, kamu jangan lari-larian lagi, ya. Nanti aku jantungan kalo kamu jatoh terus.”
Hyunsuk jadi ketawa pelan, “Iya, Mas. Maaf ya.” Dia balas pelukan Jihoon sambil senyum lebar. Takutnya karna hp yang barusan tenggelem langsung ilang gitu aja.
Gara-gara Hyunsuk jatoh, mereka langsung balik ke tenda. Hyunsuk ganti baju dan sedikit cuci muka di kamar mandi yang ada di toilet pos dua. Balik-balik dia ngoceh pas mereka lagi duduk santai di matras. “Ya ampun, cape banget! ke toilet aja harus naik turun. Nanti aku kurus beneran ini!”
Jihoon ketawa, dia pamerin otot tangannya. “Engga dong, jadinya sehat kayak gini.”
Hyunsuk pukul tangan Jihoon yang lagi dipamerin itu. Dia natap tajem banget, “Ga usah pamer! Badan aku emang ga kayak Mas Jihoon, tapi aku lebih lucu, ya!” Tapi akhirnya Hyunsuk cuma bisa ngeliatin Mas Jihoon-nya itu dari kepala sampe ujung kaki. Emang bukan tanpa alasan badan Jihoon bagus kayak gini. Tapi sebenernya, tanpa dia pamerin pun Hyunsuk bangga punya pacar ganteng, pinter, dan baik hati kayak gini. Jadi yang Jihoon lakuin itu ga efisien sama sekali.
Jihoon akhirnya tiduran di atas matras. Tangan kanannya dia lipet buat jadi bantalnya. Terus tangan kirinya dia bentangin biar Hyunsuk bisa jadiin itu sebagai bantal. Ini salah satu kegunaan tangan berotot Jihoon, buat dia jadiin bantal sehari-hari. Hyunsuk langsung tidur di atasnya dengan suka cita. Meskipun mereka cuma tiduran di atas matras, tapi rasanya nyaman banget. Apa lagi sambil bareng Mas Jihoon-nya kayak gini.
Mereka ga ngobrol lagi, sibuk mandang langit yang udah ga begitu terik dan sedikit tertutup sama pohon-pohon rindang. Beberapa kali Hyunsuk teriak, “Ih! Ada bajing!” Jihoon ketawa, “Jangan ditambahin 'an', ya.”
“Ih! Ada bajing!” Teriak Hyunsuk lagi. Dia noleh ke arah Jihoon yang ga jawab lagi kayak tadi. “... an.”
“Heh!” Jihoon berseru galak, dia noleh ke arah Hyunsuk sambil ketawa pelan. Yang digalakin justru kesenengan karna bisa ambil perhatian pacarnya yang lagi bengong entah mikirin apa. Hyunsuk ikut ketawa dan peluk Jihoon sambil senderin kepala di dadanya.
Hyunsuk menghidup udara dalam-dalam. Matanya terpejam dan membiarkan seluruh aroma yang ada memabukkan penciumannya. Dia bisa merasakan aroma tubuh Jihoon yang selalu menjadi favoritnya. Sekarang aromanya bersatu padu dengan aroma rumput yang basah dan aroma matahari yang bersih dari hiruk pikuk kota. Hyunsuk tidak melebih-lebihkan, tapi rasanya seperti berada di surga dunia.
Hyunsuk membiarkan aroma familiar Jihoon dan aroma asing hutan benar-benar membuatnya mabuk hingga terlelap. Terik matahari tertutup kanopi hutan, angin bertiup pelan meniupkan udara dingin, Hyunsuk tidak punya alasan lain untuk tetap terjaga di posisi senyaman ini. Dia akhirnya benar-benar tertidur dan membiarkan Jihoon terus berbicara sendiri.
“Kayaknya beberapa minggu lalu, waktu kita putus, ga pernah sedikitpun aku ngebayangin bisa berdua bareng kamu kayak gini. Sekarang, rasanya cuma ada aku sama kamu, dan ga ada rasa sedih lagi di antara kita. Kalo kamu? Kamu bahagia ga, Suk?” Jihoon terus berbicara sambil mendongak ke arah dedaunan yang menari karena musik yang angin mainkan. Dunia terasa begitu indah sewaktu mereka berdua.
“Hyunsuk?” Jihoon akhirnya menoleh ke arah Hyunsuk karena ucapannya tak kunjung dapat balasan. Dia tertawa geli hingga dadanya naik turun dengan cepat. Itu mungkin membuat Hyunsuk sedikit terguncang di dalam mimpinya dan akhirnya terbangun.
“Hm? Kenapa?” Hyunsuk tersentak dan berusaha membuka matanya lebih lebar meskipun rasanya tidak bisa.
“Kok kamu tidur?”
Hyunsuk menguap lebar, dan kembali memeluk Jihoon dengan jauh lebih erat daripada yang sebelumnya. “Aku ngantuk.” Dan Hyunsuk kembali dengan air mukanya yang tenang, terpejam anggun, dan tertidur.
Jihoon menahan tawanya sekuat tenaga, takut-takut kalau gerakan dadanya membuat Hyunsuk kembali tersentak. Dia mengecup pucuk kepala Hyunsuk setelah selesai tertawa. Kemudian, kembali menatap ke arah langit yang tertutup pohon rindang, dan menepuk-nepuk pundak Hyunsuk pelan, membuatnya tidur lebih nyenyak. Berselang beberapa menit, matanya ikut terpejam, dan tertidur.
Karena udara semakin dingin, mereka akhirnya terbangun. Awalnya Hyunsuk, ternyata di sana jauh lebih dingin dari yang dia bayangkan. Disusul Jihoon yang terbangun karena Hyunsuk melepas pelukannya. Jihoon masih menyipitkan matanya, menatap Hyunsuk yang merenggangkan tangan ke atas.
“Segeeerrr banget! Abis bobo.” Hyunsuk ketawa pelan sambil noleh ke arah Jihoon yang masih ada di posisi sebelumnya. Tiba-tiba dia bergidik, “Uh! Dingin banget!” sambil peluk badannya sendiri. Kedinginan.
Jihoon ikut duduk, sedikit merenggangkan tangannya karena berada di posisi yang sama dalam waktu lama. Kemudian, dia peluk Hyunsuk yang masih terus usap-usap tangannya sendiri karena dingin. Hyunsuk jadi diam. Duduk kaku, dan merasakan mukanya yang menghangat. Pelan-pelan, senyumnya semakin lebar, dia balas pelukan Jihoon agar pacarnya juga merasa hangat.
Mereka berpelukan hampir lebih dari lima belas menit. Seperti sedang balas dendam akibat beberapa momen yang hilang karena mereka sempat putus kemarin itu. Keduanya sama-sama bahagia, bahkan saking bahagianya, mereka sampai sulit mendeskripsikan apa yang mereka rasakan sekarang.
“Mau jalan-jalan, ga?” Tanya Jihoon yang belum lepas pelukan mereka sedikitpun. Hyunsuk ga jawab, mungkin karena sedikit enggan buat lepas pelukan itu.
“Mumpung belum sore banget. Langitnya juga pasti bagus, deh.”
Hyunsuk akhirnya mengangguk dan bikin Jihoon ketawa seneng. Mereka ga perlu siap lama-lama, dan langsung pergi setelah barang-barang udah mereka masukin ke tenda dengan rapi. Hyunsuk jalan di belakang Jihoon yang langkahnya bahkan bisa menyeberangi sungai amazon.
Hyunsuk rasa, dia udah ga sanggup lagi buat ngejar langkah Jihoon yang cepet dan besar itu. Akhirnya dia berhenti di tempatnya sambil ngelipet tangan di depan dada. Dia merhatiin Jihoon galak karena pacarnya itu ternyata masih jalan dan ga sadar kalau dia ketinggalan di belakang.
Tiba-tiba Jihoon berhenti di bawah pohon mati. Pohon itu besar, tapi tidak berdaun, sepertinya ada sesuatu di sana. Dia akhirnya mengeluarkan kamera yang daritadi menggantung di pundak kirinya. Hyunsuk noleh ke objek yang pacarnya foto. Dia manggut-manggut, ternyata ada alasan lain kenapa Hyunsuk bisa ketinggalan sama langkah besarnya itu.
“Oh, ternyata ngajakin jalan-jalan sore tuh ini. Pengen nyari burung? Iya? Oh, pantes pacarnya ditinggalin.”
Jihoon langsung nyengir. Dia tunjukin hasil fotonya ke Hyunsuk yang masih natap dia tajam. “Waktu terakhir aku ke sini, aku ketemu dia. Ternyata dia masih berumah tangga di sini.”
Hyunsuk menyipitkan matanya, berusaha melihat lebih jelas apa yang ada di layar kamera Jihoon. Waktu Jihoon besarin gambarnya, Hyunsuk akhirnya bisa lihat lebih jelas. Itu seperti burung hantu, matanya menyipit karena sekitarnya masih terang. “Ih, lucu banget! Burung hantu!”
Jihoon ketawa pelan, sedikit bangga bisa menunjukkan spesies andalannya di hutan ini. “Namanya celepuk reban, Otus lempiji.”
“Otus lempiji” Hyunsuk mengulangi yang Jihoon ucapkan.
“Jam segini dia emang udah mulai cari makan. Jadi bisa keliatan dari luar sarangnya.”
Hyunsuk jinjit-jinjit, mau lihat lebih jelas. Jihoon ketawa pelan, karena kegemesan sama pacarnya yang keliatan makin kecil kalau dia jinjit-jinjit kayak gitu. Sebagai pacar yang luar biasa, akhirnya Jihoon berinitiatif membantu pacar gemasnya, dia berdiri di belakang Hyunsuk dan mengarahkan kamera ke arah celah pohon.
Hyunsuk bisa liat burung hantu itu dari kamera yang terus Jihoon perbesar. Kedua lengan Jihoon mengukungnya, dan napas Jihoon bisa ia rasakan di samping telinganya. Awalnya Hyunsuk bersemangat sampai jantungnya berdetak kencang karena melihat burung itu lebih jelas, tapi ternyata jantungnya justru berdetak lebih kencang karena hal lain.
Hyunsuk melirik ke arah Jihoon, dia bisa melihat pipinya yang membulat karena tersenyum. Ternyata ada yang kesenengan bukan main karena bisa cari burung bareng kesayangannya. Hyunsuk ikut bahagia liat Mas Jihoon-nya bahagia.
Mereka tidak berlama-lama di pohon itu. Masih banyak spesies yang mau Jihoon tunjukin ke Hyunsuk. Mereka akhirnya berkeliling, beberapa kali Hyunsuk emang hampir nyerah karena capek, tapi akhirnya jalan lagi sambil bergandengan sama tangan kekar pacarnya.
Langit sudah hampir gelap. Awannya kemerahan karena langit sore yang melebur. Tangan mereka belum terlepas sedikitpun. Karena harus melewati semak-semak, Jihoon tidak mau melepas tangan Hyunsuk. Takut-takut kalau jatuh atau semacamnya.
“Mau aku gendong, ga?” Tanya Jihoon sewaktu mereka sudah kembali menemukan jalan setapak.
“Jangan lah, nanti Mas Jihoon cape.”
Jihoon justru berjongkok setelah mendengar penolakan Hyunsuk. Dia menoleh ke belakang karena Hyunsuk tidak kunjung memeluk punggungnya. “Gapapa. Kan jalannya udah normal, ga nanjak-nanjak kayak tadi.”
Hyunsuk akhirnya naik ke punggung Jihoon dan memeluknya erat. Sedikit tertawa geli sewaktu Jihoon mulai melangkah. “Makasih, ya, Mas.”
Jihoon terkekeh mendengar ucapan pacar mungilnya. “Makasih karna apa?”
Hyunsuk diam. Dia belum jawab pertanyaan itu. Sebagai pengganti jawabannya, Hyunsuk senderin kepalanya di pundak Jihoon. Hyunsuk menghela napas panjang sebelum jawab pertanyaan Jihoon, “Makasih karna udah jadi pacar aku. Makasih karna udah jadi orang paling keren buat aku. Makasih karna,”
Jihoon ga bisa berhenti senyum denger jawaban Hyunsuk, “Karna apa?” Jihoon ga sabar karena Hyunsuk justru berhenti.
Cup
Bukannya lanjutin omongannya, Hyunsuk justru kecup pipi Jihoon. Yang dikecup jadi diam sesaat. “Aku sayang Mas Jihoon.”
Jihoon cuma bisa ketawa. Dia tidak bisa berkata-kata sama serangan mendadak ini. Dia cuma mau cepet-cepet balik ke tenda, biar bisa cium pacarnya juga. Tapi nyatanya tenda mereka tidak kunjung terlihat.
“Mas,”
“Hm?”
Hyunsuk mulai merasa bosan. “Aku berat, ya?”
“Siapa bilang? Aku gendong kamu sampe pulang juga kuat.”
Hyunsuk mendengus. Agak kesel denger jawaban Jihoon yang justru kedengeran lagi ngeledek dia. “Aku turun aja deh.”
“Loh, kenapa? Aku ga kecapean kok!”
“Mas Jihoon kan selalu gitu. Bohong demi bikin aku seneng doang. Aku ga mau Mas Jihoon cape.” Hyunsuk menghela napas panjang karena Jihoon tidak menjawabnya.
Hyunsuk menghela napas lebih panjang karena Jihoon tidak berhenti menggendongnya juga. Sepertinya dia salah bicara. Hyunsuk menghela napas lagi, memilih memeluk Jihoon lebih erat. Mukanya ditenggelamkan di bahu lebar Jihoon.
Tidak lama mereka saling diam, setelah itu Hyunsuk turun karena tendanya sudah terlihat. Jihoon tersenyum tipis, dia menahan langkah Hyunsuk yang berlari kecil masuk ke tenda. Jihoon sedikit menunduk, menyejajarkan wajahnya dengan Hyunsuk yang menundukan kepala.
“Kamu kan belum terbiasa naik-turun di sini. Aku ga mau kamu malah cape dan kapok ga mau ikut lagi.” Jihoon ketawa pelan.
Hyunsuk akhirnya mendongak. Dia usap muka Jihoon yang penuh sama keringat, “Tapi aku berat, Mas Jihoon jadi kecapean.”
“Aku lebih kuat dari yang kamu kira, Sayang.”
Hyunsuk diam sebentar, “Tapi sekarang aku lebih berat dari yang dulu, Mas.”
“Sekarang aku juga udah lebih kuat dari yang dulu.” Hyunsuk mau bales lagi, tapi Jihoon tahan, “Ga peduli kamu mau seberat apapun, aku bakalan selalu lebih kuat dari itu.” Cup, Jihoon kecup kepala Hyunsuk, “Aku juga sayang kamu.”
Hyunsuk jadi tersenyum karena kecupan itu. Dia mendongak dan melompat untuk memeluk Jihoon erat.
“Udah mau gelap, nih. Beres-beres, yuk?”
Hyunsuk ngangguk-ngangguk cepet. Mereka harus cepet-cepet nyalain senter sebelum Hyunsuk ga bisa lihat apapun, selain apa yang ga mau dia lihat.
Ternyata gelap datang lebih cepat. Hyunsuk ga bisa lepas pelukannya dari tangan Jihoon yang masih sibuk nyiapin kompor buat masak makan malam. Bukannya kesel, Jihoon malah kegemesan karena Hyunsuk yang ga pernah lepas pelukannya sedikitpun.
“Mas, kalo Mba Kun—”
“Jangan disebut. Nanti dateng loh!”
“AAA! Mas Jihoon, aku takut!”
Hyunsuk jadi peluk Jihoon makin erat. Jihoon itu iseng banget deh, masa harus nakut-nakutin pacarnya biar bisa dipeluk erat kayak gini sama pacarnya.
“Mas,”
Jihoon lirik Hyunsuk yang masih takut.
“Kita kapan bikin api unggunnya? Aku takut,” Hyunsuk lanjut lagi. Suaranya makin kecil, mungkin karena dia bener-bener takut.
Jihoon ga jawab pertanyaan Hyunsuk. Tapi dia bangun dari tempatnya. Awalnya Hyunsuk mau protes, tapi Jihoon ternyata ga jauh. Dia ambil beberapa ranting pohon yang tadi udah dia siapin waktu Hyunsuk juga lagi siapin bahan-bahan buat dimasak.
Dari cahaya senter di sampingnya, Hyunsuk bisa liat Jihoon yang telaten rapihin ranting-ranting itu. Dari api kecil yang dia bakar dari daun-daun, lama kelamaan besar dan bikin sekitar lebih terang. Hyunsuk jadi bisa liat muka ganteng Jihoon lebih jelas.
“Makasih, Mas!” Hyunsuk dateng peluk Jihoon yang masih berdiri di samping api unggun.
“Sekarang jangan takut lagi, ya?” Jihoon usap kepala Hyunsuk yang ngangguk cepet.
Mereka lanjut masak buat makan malam. Ada sarden, tumis sayur, sosis, dan yang paling keren, nasi yang Jihoon masak tanpa rice cooker. “Mas! Ini mah Mas Jihoon bisa bikin rumah makan di sini! Enak banget!”
Mereka makan malam tanpa banyak ngobrol. Mungkin isinya cuma Hyunsuk yang beberapa kali muji masakan Jihoon, terutama nasinya. “Beneran, Mas! Rasanya kayak nasi uduk, enak banget! Ibu pasti bangga banget punya anak kayak Mas Jihoon.”
Jihoon ketawa, “Kalo kamu?”
“Kalo aku apa?”
“Bangga ga punya aku?”
Hyunsuk hampir keselek. “YA KALO ITU JANGAN DITANYA!”
“Sst! Jangan teriak-teriak di hutan.”
Hyunsuk langsung diem. Tiba-tiba keinget sama yang Sahimet kasih tau kemarin.
Mereka akhirnya memutuskan buat abisin makanan tanpa ngobrol. Makanan banyak mereka udah habis, ga bersisa. Bahkan piring kotornya pun bersih, udah mereka selesai cuci di sungai. Tentu aja berdua. Hyunsuk dari tadi heboh ga mau ditinggal sendiri karena udah malam.
“Dingin ga, Suk?”
Hyunsuk menggeleng pelan. Bagi dia, dingin di sini masih bisa dia tahan. Tapi Jihoon malah cemberut karena gelengan Hyunsuk. Kekehan Hyunsuk nunjukin kalo dia paham raut wajah pacarnya itu.
“Ga jadi deh. Aku kedinginan, mau dipeluk Mas Jihoon!”
Jihoon ketawa pelan, senang karena pacarnya tau kalo dia mau minta peluk. Jihoon akhirnya peluk Hyunsuk dari belakang, bikin Hyunsuk ngerasa lebih hangat. Jihoon cium pucuk kepala Hyunsuk.
“Mas Jihoon udah berapa kali coba cium aku di sini.”
“Berapa kali emangnya?”
“Ga tau. Kayaknya kalo diitungin juga jari aku ga cukup.”
Jihoon malah pindah mencium pipi Hyunsuk. Yang dicium cuma bisa melotot kaget. “Mas, kata Mas Jihoon kemarin kalo cium-cium, Miss K bisa marah. Kok Mas Jihoon cium-cium terus?”
“Kalo sama aku mah Miss K-nya takut.”
“Beneran loh, Mas! Ga takut nanti didatengin beneran?”
Jihoon justru membalikkan tubuh Hyunsuk agar mereka berhadapan. Hyunsuk sekarang berpangku di atas kaki Jihoon yang terlipat. Jihoon tidak mengatakan apapun, dia hanya mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Hyunsuk singkat. Benar-benar singkat bahkan saampai rasanya Hyunsuk hampir gila.
Hyunsuk mengerucutkan bibirnya, berharap Jihoon memberikannya kecupan lagi yang jauh lebih lama. Jihoon terkekeh, dia memeluk Hyunsuk lebih erat dan merebahkan diri di atas tanah yang hanya dilapisi selapis matras. Hyunsuk akhirnya mengambil langkah inisiatif sendiri dan mengecup Jihoon lebih lama. Napas mereka saling bertemu, memecah udara dingin di sekitarnya.
Hyunsuk membuka matanya perlahan ketika tautan mereka sudah terlepas. Dia bisa melihat wajah tampan Jihoon dengan hidung yang memerah karena kedinginan. Hyunsuk mengecup bibir Jihoon lagi sebelum ia bangun dan berdiri.
“Aku mau bikin kopi!”
Jihoon langsung bangun, bergegas memasak air hangat untuk membuat kopi. Tapi langkahnya Hyunsuk tahan, “EH!! Aku aja! Aku buatin buat Mas Jihoon juga!”
“Beneran?”
Hyunsuk justru tatap Jihoon dengan tajam, “Ga percaya banget sama pacar sendiri. Aku tuh di rumah spesialis bikin kopi tau!”
Jihoon tertawa panjang, “Oke. Buatin aku juga, ya.”
“He'em. Airnya ga banyak-banyak, gulanya sedikit, diaduknya 33 kali.” Hyunsuk mengulang ucapan Jihoon setiap kali dia membuat kopi.
Jihoon terkekeh, menghampiri Hyunsuk yang sedang sibuk membongkar kompor dari dalam tasnya untuk mengecup pucuk kepalanya, lagi. “Pacar aku pinter.”
“Tuh kan! Mau berapa kali lagi Mas Jihoon cium aku?!”
“Mmm,” Jihoon berpikir panjang, “Pokoknya selagi kamu selalu bikin gemes, aku bakalan cium terus.”
Hyunsuk akhirnya buang muka, melanjutkan aktivitasnya. Dia menghiraukan Jihoon yang terus memperhatikannya. Entah karena Hyunsuk memang gemas atau ...
“Sayang, masukin gasnya jangan kayak gitu. Nanti bocor.”
“Iya, iya, aku tau, Mas. Ini cuma gladi resik.”
Atau karena ...
“Aduh, Sayang. Pegangnya pake dua tangan, nanti airnya tumpah ke kaki kamu.”
“Ih! Aku kuat kok!”
Bisa jadi juga karena ...
“Aduh! Jangan gitu, Sayang.”
Hyunsuk sampe menggeram kesal. “Mas, aku bisa! Udah, Mas Jihoon duduk aja!” Jihoon akhirnya duduk karena sang pacar udah marah.
Jihoon memutuskan untuk membuka kameranya yang berisi hasil jepretan Hyunsuk tadi sore. Dia tersenyum tipis karena Hyunsuk ternyata sangat mahir dengan kamera. Dia juga bisa mengingat bagaimana wajah Hyunsuk yang memerah karena bersemangat.
“Ih, itu apa?” Hyunsuk ternyata sudah selesai berkutat dengan kompor dan gasnya. Dia kembali melirik layar kamera yang ada di tangan Jihoon dan memberikan cup plastik berisi kopi ke tangan Jihoon.
“Serak jawa, “barn owl*.” Jihoon memberikan kameranya agar Hyunsuk melihat layar kamera lebih jelas.
“Lucu banget! Matanya besar! Mukanya bentuk love!”
“Lucu banget, kan? Meskipun dia statusnya Least Concern, tapi dia burung pemalu, jadi susah banget ketemunya. Aku aja ketemu dia harus ngorbanin kehokianku buat satu tahun kemudian.”
Hyunsuk melirik Jihoon jauh lebih tajam dari sebelumnya, “Lebay banget!”
“Ga lebay aku tuh! Beneran 270 persen! Setelah ketemu dia, aku ga pernah ketemu spesies baru, bahkan elang pun engga. Bahkan waktu itu kita sempet berantem dan akhirnya ....”
“Putus.” Hyunsuk melanjutkan ucapan Jihoon yang terhenti. Kata itu menjadi penutup pembicaraan mereka beberapa saat.
Mereka hanya menyisakan suara air sungai yang mengalir di belakang mereka dan api unggun yang semakin hangat ketika Jihoon menambahkan beberapa ranting.
“Mas,”
“Hm?”
Alih-alih melanjutkan ucapannya, Hyunsuk justru menatap Jihoon lekat seperti mengajaknya tenggelam di dalam lautan matanya.
“Kenapa, Sayang?”
Hyunsuk menunduk, kata 'sayang' itu membuatnya jadi sedikit lebih lega. “Jangan putus lagi, ya?”
Jihoon menarik Hyunsuk ke dalam pelukannya. Dia mengangguk cepat, “Iya, engga putus lagi.”
“Aku takut banget. Bahkan pernah satu hari aku ga bisa ke mana-mana, ga bisa ngapa-ngapain karena inget kita udah putus.” Suara Hyunsuk tenggelam di dalam pelukan Jihoon.
Jihoon sedikit tercekat, seperti kembali merasakan sesak beberapa waktu lalu. Dia mengusap lembut rambut hitam Hyunsuk yang sudah menangis di dalam pelukannya.
“Aku ga mau lebay, tapi Mas Jihoon beneran segala-galanya buat aku. Selama ini cuma dari Mas Jihoon aku bisa ngerasain perhatian segitu banyaknya. Mama sama papa selalu sibuk kerja. Abang juga sibuk ngejar spesialisnya. Keadaan aku yang ngerantau ini bikin kita makin ga ada komunikasi sama sekali. Kadang aku ngerasa, aku cuma punya Mas Jihoon. Jadi aku ga mau kehilangan Mas Jihoon lagi.” Hyunsuk bercerita panjang lebar dengan hidung yang tersendat karena menangis. Dia tidak berbohong, waktu-waktu mereka putus adalah waktu paling berat untuknya.
“Mama sama papa emang ga pernah marah. Mama sama papa emang ga pernah nunjukin kecewa, bahkan waktu aku gagal masuk FK. Tapi mama sama papa juga ga pernah terang-terangan bilang kalo mereka bangga. Aku jadi selalu ngerasa kalo ga ada alesan buat kata-kata itu keluar dari mulut mereka.” Hyunsuk menunduk dalam, “Mungkin aku emang selalu bikin mereka kecewa dan ga pernah bikin mereka bangga.” Lanjut Hyunsuk dengan suara yang semakin mengecil.
Jihoon tidak bisa membalas satu kata pun. Dia terdiam karena baru kali ini Hyunsuk menceritakan tentang perasaan terhadap keluarganya. Selama ini dia tau, mama dan papanya dokter, begitu juga dengan kakaknya yang akan menjadi dokter. Jihoon hanya tau, ketika Hyunsuk mengejar sekolah kedokteran dulu dia tidak benar-benar menginginkannya. Jihoon hanya tau selama ini Hyunsuk bahagia.
Hyunsuk melepas pelukan mereka. Matanya terlihat sembab dari cahaya api unggun yang meremang. Dia menatap Jihoon lebih dalam dari sebelumnya, “Mas Jihoon tau ga apa yang bikin aku sedih waktu kita putus?”
Lidah Jihoon yang masih kelu, membuatnya hanya bisa menggelengkan kepala pelan.
“Aku sedih karena kehilangan Mas Jihoon. Dan yang lebih bikin aku sedih lagi karena aku bikin Mas Jihoon kecewa. Kenapa ... kenapa aku selalu bikin orang lain kecewa—” Hyunsuk menangis lagi.
Jihoon kembali menarik Hyunsuk ke dalam pelukannya. Dia mengusap tengkuk Hyunsuk lembut. “Sayang, aku ga pernah kecewa sama kamu.” Jihoon berbisik tepat di samping telinga Hyunsuk, membisikannya kalimat-kalimat menenangkan.
Hyunsuk melepas pelukan mereka. Dia mengusap air matanya yang masih terus keluar. “Kenapa aku ga pernah bikin orang lain bangga? Kenapa—”
“Sstt,” Jihoon meletakkan telunjuknya di bibir Hyunsuk agar dia berhenti mencemooh dirinya sendiri. “Hyunsuk, sayangnya aku, ga ada orang lain yang bisa bikin aku bangga cuma dengan ngeliat senyumnya tiap hari. Ga ada orang lain yang bisa bikin aku bangga cuma dengan bikin aku bahagia setiap hari. Cuma kamu yang bisa itu, Hyunsuk.”
Jihoon kembali menarik Hyunsuk masuk ke dalam dekapannya. Kali ini sedikit lebih erat karena udara dingin baru saja berhembus membelokkan hangatnya api unggun. “Mama, papa, sama abang ga pernah bilang kayak gitu bukan berarti mereka kecewa sama kamu, Sayang. Mungkin mereka cuma ga tau cara ungkapin itu. Ungkapin perasaan ga selalu gampang buat sebagian orang.”
Jihoon menangkup pipi Hyunsuk dengan tangannya yang tetap hangat meskipun mereka berada di tengah dinginnya malam. Dia mengecup hidung merah Hyunsuk pelan, dan tersenyum sangat lebar untuk menghibur kesayangannya. “Dan, aku bangga banget. Kamu beda dari mama, papa, sama abang kamu. Kamu selalu bisa kasih orang lain semangat dari kata-kata kamu. Kamu selalu bisa ungkapin perasaan kamu, ga kayak mereka. Aku bener-bener bangga dan bersyukur jadi milik kamu lagi.”
Hyunsuk akhirnya tersenyum meskipun tipis. Dia memeluk Jihoon erat, “Itu semua berkat Mas Jihoon.”
“Kok berkat aku?” Jihoon tertawa pelan.
“Iya, kalo bukan karena aku ga pacaran sama Mas Jihoon, mungkin aku ga akan pernah bilang 'aku sayang kamu', kayak yang selalu Mas Jihoon ucapin kemarin-kemarin ke aku.”
Jihoon tertawa panjang. Dia tidak bisa menghitung sudah berapa kali “aku sayang kamu” terucap untuk Hyunsuk selama ini. Karena dia tidak pernah bisa menahan lidahnya untuk tidak mengutarakan perasaannya pada Hyunsuk. Dia serius, rasa sayangnya pada Hyunsuk bahkan tidak bisa hanya diutarakan dari “aku sayang kamu”.
“Iya. Aku bersyukur punya ibu.”
“Heung?” Hyunsuk menelengkan kepalanya.
Jihoon tertawa, kegemasan. “Dari kecil ibu ga pernah gengsi buat ngomong kayak gitu, ke aku ataupun ke Jeongwoo. Jadi kita ga pernah malu buat ngeutarain perasaan ataupun keinginan kita.”
Hyunsuk ber-ohh panjang. Ibu itu emang luar biasa banget. Hyunsuk bahkan jadi lebih tenang dengan cukup inget-inget wajahnya.
“Ibu sama bapak itu sering berantem,” Jihoon lanjut lagi. Hyunsuk sedikit mengernyit mendengar kalimat Jihoon. Dia tahu sedikit cerita tentang ini. Bapaknya Jihoon itu orang kedinasan yang keras banget. Hyunsuk tau Jihoon ga begitu deket sama bapaknya karena masalah ini.
“Bapak selalu marah karena hal kecil. Bapak sering keluar kota, dan seharusnya buat menjalin hubungan yang baik, mereka tetep jaga komunikasi kan. Tapi dulu mereka ga sedeket itu. Bahkan aku sendiri ga tau mereka menikah atas dasar cinta atau engga.” Jihoon tertawa sebentar senelum melanjutkan ucapannya. “Mungkin karena komunikasi mereka jelek, mereka jadi sering berantem. Dan aku ... kadang aku berselisih paham sama bapak, karena aku ga pernah sanggup liat ibu yang dibentak-bentak bapak.”
Hyunsuk bersandar di pundak lebar Jihoon sambil tangannya memeluk lutut erat. Dia bisa merasakan helaan napas Jihoon yang berat.
“Bahkan, buat sekarang ini aku belum pernah ngobrol serius sama bapak meskipun bapak udah ga pernah berantem sama ibu lagi. Sebagai anak aku sering kepikiran buat minta maaf, ngakuin kalo selama ini aku salah karena selalu ngelawan bapak. Tapi ternyata ga semudah itu buat bilang maaf ke bapak.” Jihoon menoleh ke arah Hyunsuk dan tersenyum tipis.
“Tapi Mas Jihoon tetep keren.” Hyunsuk tersenyum kuda, menampilkan wajah konyol dengan gigi berderet rapi. Tapi Jihoon menyukai senyum itu, Hyunsuk terlihat sangat cantik.
“Kenapa? Masa ngelawan orang tua keren?” Jihoon tersenyum jahil. Padahal dia tau bukan itu maksud Hyunsuk.
“Ih!” Hyunsuk memukul lengan Jihoon pelan karena tau gelagat pacarnya. “Maksud aku, Mas Jihoon keren karena mau mengakui kesalahan. Ngerti ga sih?!”
Jihoon cekikikan karena Hyunsuk kesal.
“Waktu itu, aku juga beberapa kali ketemu bapak, rasanya takut banget kayak lagi responsi lisan, Mas.” Hyunsuk ikut cekikikan karena ucapannya sendiri.
“Galak banget, ya?” Tanya Jihoon yang sudah berhenti tertawa.
“Engga juga, sih. Setelah waktu itu ngobrol jadi ga serem. Biasa aja, sereman mamaku kalo aku dapet nilai di bawah kkm.” Hyunsuk tersenyum kuda lagi.
Jihoon terkekeh, “Emang waktu itu kamu ngobrol apa?”
“Kepo!”
“Ih, yaudah. Aku ngambek.”
“Ih! Aku ngomongin Mas Jihoon tau!”
Jihoon menatap Hyunsuk serius, beneran? gitu kata tatapannya.
“Ril! Mas Jihoon kepo beneran emang?”
Mata Jihoon berkaca-kaca, banget, matanya seperti memohon untuk memanjakan rasa penasarannya.
“Waktu itu, bapak nanya kenapa aku mau sama Mas Jihoon.”
“Terus kamu jawab apa?”
“Soalnya Mas Jihoon baik, gitu.”
“Terus?”
“Terus Mas Jihoon ganteng juga, gitu.”
“Terus?”
“Um, udah sih itu doang.”
Jihoon mengernyitkan keningnya, Hyunsuk jadi tertawa melihatnya. Akhirnya dia melanjutnya ceritanya. “Waktu itu bapak juga pernah nanya Mas Jihoon suka marah ga ke aku, gitu.”
Jihoon menghela napas panjang, dia menunduk. Hyunsuk tersenyum lebar, menangkup pipi Jihoon. “Terus ... aku jawab kalo Mas Jihoon emang suka cemburu. Tapi Mas Jihoon baik, ga suka marah, makanya aku sayang Mas Jihoon, gitu.”
Jihoon menatap Hyunsuk sangat lama. Dia seperti meragukan jawaban Hyunsuk yang sebenarnya. Dia tau tidak jarang bagaimana dia memberikan Hyunsuk silent treatment karena marah. Bahkan kadang dia tidak sengaja mengucapkan kalimat dingin yang membuat Hyunsuk sedih. Tapi Hyunsuk masih tersenyum, menenangkan Jihoon. “Bapak juga minta maaf waktu itu. Kata bapak, sifat pemarahnya Mas Jihoon mungkin niru dari bapak. Karena bapak selalu keras sama Mas Jihoon dari kecil dan marah untuk setiap kesalahan yang udah Mas Jihoon lakuin.”
Setelah mendengar ucapan Hyunsuk, bukan tenang yang ia rasakan. Dia justru semakin resah. Keresahan yang selalu ia rasakan saat mereka bertengkar hingga mereka putus. Dia resah bagaimana ibu yang sempat tersiksa karena bapak yang selalu membentaknya. Dia takut apa yang ibu rasakan juga Hyunsuk rasakan karena perbuatannya nanti. Dia takut, setiap kali amarah membungkusnya, bayang-bayang bapak yang ada di kepalanya. Dia tidak mau Hyunsuk merasakan itu.
“Hyunsuk, aku takut kayak bapak.”
Hyunsuk menggeleng cepat, “No, no! Mas Jihoon emang kayak bapaknya Mas Jihoon! Keren, pinter, selalu bisa ngapain aja, tapi Mas Jihoon juga kayak ibu, baik, penyayang, dan perhatian. Mas Jihoon itu sempurna banget buat aku.”
Jihoon masih belum tersenyum. Apa iya? Begitu tatapannya.
“He'em!”
“Kalo aku kayak bapak—”
“Mas, Mas Jihoon aja mau terima aku yang ga pernah ngebanggain siapa-siapa ini. Soal sifat Mas Jihoon mirip ibu atau mirip bapak itu masalah kecil buat aku. Itu ga bakalan bikin rasa sayang aku berkurang sedikitpun.”
Mata Jihoon lebih bercahaya dari sebelumnya. Dia jauh lebih tenang mendengar kalimat terakhir Hyunsuk. Dia akhirnya menghapus jarak dari wajah keduanya. Pipinya masih diusap lembut oleh Hyunsuk yang ikut memejamkan mata. Bibir mereka saling menyatu dan memberikan kecupan hangat di malam yang dingin.
Di bawah langit berbintang, mereka seperti enggan melepas apa yang sudah tertoreh di bibir masing-masing. Mereka membiarkan kehangatan ini mengalir seperti desiran air sungai yang terus mengalir di belakang mereka. Hangatnya api unggun perlahan-lahan tergantikan oleh hangat tubuh mereka yang saling berpelukan di bawah daun-daun yang menari.
Jihoon menahan kepala Hyunsuk dengan tangannya agar tidak langsung mengenai matras yang keras. Dia sedikit kesulitan untuk berkonsentrasi dalam membuat Hyunsuk melayang di bawahnya. Akhirnya dia memutuskan menarik Hyunsuk ka atas tubuhnya dan berganti posisi tanpa melepas bibir mereka sedetik pun. Napas mereka hampir tersengal karena permainan lidah yang nampaknya semakin dalam. Meskipun begitu, tidak ada yang berinisiatif untuk melepas tautan itu sedikitpun. Mereka justru saling tersenyum di antara lumatan masing-masing, sampai ...
CTAK!
“AAkk!” Hyunsuk berteriak tertahan karena mendengar suara ranting patah. Dia langsung bersembunyi di dalam dada Jihoon dan menghentikan aktivitas sebelumnya.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Mereka akhirnya tertawa. Mungkin menertawakan betapa konyolnya mereka yang hampir lupa di mana mereka berada sekarang.
Mereka akhirnya kembali duduk dan menyeruput kopinya yang sudah dingin. Api unggun mereka hampir padam, tapi kantuk rasanya belum kunjung menyapa mata mereka. Mungkin pengarus kafein yang mereka minum. Mungkin juga karena mereka terlalu bersemangat untuk bercerita banyak hal.
“Kita pelukan di dalem sleeping bag, iya, kan?” Karena pertanyaan itu, Hyunsuk akhirnya mau menyudahi obrolan mereka dan tidur.
Tentu aja, setelah di dalam tenda pun mereka tidak langsung memejamkan mata dan menyapa mimpi indah. Tenda mereka masih penuh dengan keributan Hyunsuk karena takut kalau Jihoon tidur lebih dulu dan meninggalkannya sendiri di tengah hutan. Akhirnya Hyunsuk tertidur saat Jihoon menepuk-nepuk pundaknya pelan. Dan saling tersenyum ketika tidur karena mimpi indah yang mereka lihat.