Paseafict

“Jangan diliatin mulu anjir! Malu anaknya!” Jefri memukul Jio kesal.

Jio justru tertawa gemas, “Oh, salting toh. Pantes ke toilet.”

“Nanti kalo ngambek, gue yang kena!”

“Kalo ngambek bukannya lebih lucu?”

Jefri memutar mata malas. Rasanya dia mau tinju perutnya, Jio malah menikmati kegemasan Reza. Padahal yang bakalan kena amuk jelas-jelas dia, bukan Jio si buaya darat itu.

Reza kembali dari toilet. Dia berdeham pelan, membuat Jefri dan Jio yang bertengkar ringan itu terdiam. Jio kembali menatap Reza, senyumnya terus tersulam di wajah tampannya. Sesekali Reza mencuri pandang, mencari tau apa benar dia akan menjadi mangsa buaya sebentar lagi.

“Jep,”

“Ha?”

Reza melirik mereka berdua sambil menyesap cappuccinonya.

“Minggu ini spiderman terbaru keluar, kan?”

“Kaga tau dah.”

Jefri menyelidik. Ini anak aneh banget, padahal dia tau Jefri ga suka film-film begitu. Mending nongkrong semaleman atau keliling-keliling naik bus kota. Tiba-tiba dia sadar, Reza ternyata pakai case hp spiderman. Jefri mengangguk pelan, oh lagi coba caper ternyata.

“Ga demen gua film-film begitu. Nih, si Eja demen banget super hero-super hero. Bahkan admin si paling marvel aja insecure kalo ketemu dia.” Jefri membuka jalan untuk Jio berbincang dengan Reza. Bahkan Reza di depan mereka sudah mulai terlihat antusias.

“Oh, kamu ngikutin MCU juga?” Pertanyaan itu menjadi line penting dari awal perkenalan mereka.

“Pfft, aku-kamu cuk.” Jefri berbisik sambil menahan tawa.

Jio tetap menjaga senyumnya sambil menginjak kaki Jefri. Jangan ganggu dulu, anaknya bentar lagi jinak. Mungkin gitu katanya.

Reza akhirnya lebih banyak berbincang dengan Jio. Dari membicarakan film marvel, series netflix, bahkan sampai menu burger di kantin FT yang paling mereka suka.

Begitulah pertemuan mereka untuk pertama kalinya. Reza tidak pernah menyangka bahwa Jio akan membawanya kepada hal pertama kali lainnya, seperti dinner romantis pertama kali, menjadi pacarnya pertama kali, bahkan ciuman untuk yang pertama kalinya.

“Ireng!”

Selesai bimbingan belajar di luar sekolah, Hyunsuk bergegas pulang. Buru-buru ingin memeluk Ireng dengan rambut halusnya.

“Ireng!”

Tidak ada jawaban sama sekali.

Hyunsuk melirik jam dinding. Pukul sembilan malam. Apa Ireng sudah berubah menjadi Ireng Raksasa? Hyunsuk menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Biasanya Ireng akan berubah jadi raksasa pada pukul 12 malam, tepat tengah malam seperti cinderella, kan?

“Ire—AAAKK!” Hyunsuk berteriak nyaring ketika melihat seseorang yang duduk di meja makan dalam ruangan yang minim pencahayaan.

“KAMU NGAPAIN DI SINI, JIHOON?!”

“Nungguin kamu pulang.”

Amarah Hyunsuk langsung runtuh. Dia tersenyum lebar dan ikut bergabung di meja makan. Hidangan lezat sudah menunggu di sana, suara Hyunsuk jadi berubah lembut. “Ireng abis masak, ya?”

“Jihoon.”

Hyunsuk cemberut, “Padahal lucuan ireng.”

“Jihoon.”

“Iya! Iya!”

Jihoon kembali duduk sambil memberikan mangkuk berisi nasi untuk Hyunsuk. Tangannya terlipat di meja, memperhatikan Hyunsuk yang belum memanggil namanya dengan benar.

“Iya, Jihoon, iya!! Kalo kamu lagi berubah raksasa, aku panggilnya Jihoon tetep, iya.”

Jihoon akhirnya tersenyum, kembali duduk di seberang kursi Hyunsuk. Di hadapannya, Hyunsuk tersenyum lebih lebar. Bahkan dia sedikit bersenandung karena senang makan malam kali ini bersama Ireng Raksasa.

Jihoon terkekeh, “Kenapa?”

Hyunsuk mengangkat alisnya, dia mengunyah cepat sampai bibirnya sedikit mengerucut. “Aku seneng karna makan bareng Ireng!”

“Jihoon!” Jihoon kesal lagi karena Ireng masih terdengar di telinganya.

Hyunsuk tertawa sampai tersedak. Jihoon buru-buru menuangkan minum ke gelasnya dan menyodorkan Hyunsuk yang terbatuk-batuk sampai hampir sekarat itu. “Makanya, telen dulu.”

“Orang kamu yang ngajakin ngobrol.” Hyunsuk cemberut.

Jihoon justru tertawa melihatnya, “Kenapa jadi kamu yang kayak kucingnya, sih? Lucu banget.”

Hyunsuk menatap Jihoon tajam. Dia kesal, tapi wajahnya justru memerah. Pipinya terasa panas. “Ga sopan! Kamu tuh lebih muda dari aku, ya! Jangan ngegombal!”

Jihoon tertawa lagi, “Jelas-jelas kamu yang kecil, masih bocil gini. Ganti baju sekolah aja ga bisa.”

Hyunsuk melirik tubuhnya yang masih terbalut seragam sekolah. Tadi sore ia langsung pergi ke tempat lesnya, pulang malam tanpa berganti pakaian adahal hal yang normal untuknya.

“Tadi aku les tau!”

“Masa pulang sebentar doang ga bisa?”

“Ga bisa! Abis pulang sekolah, lesnya langsung mulai.” Sedikit berlebihan sih, Hyunsuk hanya malas.

“Masa, sih? Buat makan pun ga bisa gitu?”

Hyunsuk sedikit menimbang-nimbang jawabannya, “Um, ya, aku makan setelah les lah!”

Jihoon menghela napas pelan setelah makanannya berhasil ia telan. “Segitunya ya kamu males makan? Sarapan males, makan kalo makanan ada di meja doang. Kalo ga ada, ga ada tuh usaha buat nyari makan.”

Hyunsuk ikut menghela napas, “Kamu ga tau, ya? Uang jajan aku tuh abis buat beliin vitamin kamu, makanan kamu yang enak, aku beliin kamu pasir juga buat poop. Ya, mana aku tau kalo kamu ternyata poopnya di kamar mandi.”

Hyunsuk lanjut makan dengan lahap. Jihoon di depannya justru menatapnya tajam. “Hyunsuk, liat aku!” Hyunsuk kaget, dia menatap Jihoon takut-takut. “Aku itu cuma kucing! Ga seharusnya kamu mengesampingkan diri kamu sendiri buat aku yang cuma seekor kucing.”

Hyunsuk terdiam. Apa salahnya Hyunsuk merawatnya dengan baik? Maksudnya, Ireng. Kenapa jadi dia yang disalahkan? Bukannya Jihoon harusnya berterima kasih karena Hyunsuk sudah menjaganya ketika dia berubah menjadi kucing?

“Kita, para kucing, juga ga mau kalo orang yang udah bantuin kita jadi ngerasa kesusahan gara-gara kita.” Lanjut Jihoon lagi sambil bangkit dari kursi dan pergi ke tempat piring kotor.

Hyunsuk jadi terdiam. Dia memperhatikan punggung Jihoon dengan kaos putih polosnya yang tengah mencuci piring kotor dan sisa peralatan masak sebelumnya. Hyunsuk buru-buru menyelesaikan makannya dan menghampiri Jihoon.

Hyunsuk berdiri tepat di belakang Jihoon persis. Jihoon cukup tinggi, mungkin sekitar 175 cm lebih. Atau mungkin juga karena Hyunsuk sedikit lebih pendek dari orang-orang seusianya. Jadi, ketika ia berdiri tepat di belakang Jihoon, dia hanya melihat punggung hingga tengkuk Jihoon saja.

Hyunsuk menghela napas perlahan sambil menyelipkan tangannya di sela-sela lengan Jihoon yang sibuk mencuci piring. Tangannya kemudian dilingkarkan di perut Jihoon yang berotot—mungkin itu efek dari tingkahnya yang tidak bisa diam ketika menjadi Ireng.

Jihoon sedikit kaget. Dia diam dari aktivitasnya beberapa detik. Kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya, membiarkan Hyunsuk memeluknya sampai piring kotor yang terakhir.

“Kamu bukan cuma sekedar kucing, Ireng.” Hyunsuk menyenderkan kepalanya di punggung Jihoon. Suaranya sedikit teredam.

“Jihoon.”

“Hu'um, maksudnya, kamu bukan sekedar kucing setengah manusia, Jihoon.”

Hyunsuk kembali diam. Dia seperti menggantungkan ucapannya, menunggu Jihoon memutar tubuhnya dan menatapnya. Jihoon telah selesai mencuci piring, akhirnya dia balik kanan dan menemukan Hyunsuk yang tersenyum tipis.

“Kamu itu temen aku. Meskipun kamu baru dateng, tapi aku bahagia banget kamu hadir di hidup aku. Maaf kalo ucapan aku tadi malah jadi bikin kamu sedih. Tapi aku ga pernah bener-bener ngerasa dirugiin karena kamu, kok.”

Jihoon tersenyum simpul, “Iya, aku ngerti. Dari awal aku dateng ke sini sebagai kucing aku bisa ngerasain ketulusan kamu. Makasih, ya.” Dia mengusap lembut kepala Hyunsuk.

Hyunsuk tersenyum semakin lebar, dia menaik-turunkan kepalanya. Rambutnya bergoyang lucu karena gerakan kepalanya yang mengangguk cepat, membuat Jihoon juga tersenyum melihatnya.

“Mandi, gih. Ga mungkin harus aku mandiin, kan? Malu sama Ireng.” Hyunsuk memukul bahu Jihoon kencang. Dia pikir Hyunsuk bayi berusia 18 bulan, hah?

Hyunsuk akhirnya mandi. Dia melepas seragam sekolahnya asal dan masuk ke kamar mandinya cepat. Jihoon menghela napas pelan sambil mengelus dada. Jihoon memang hanya dianggap kucing. Bukannya Hyunsuk setidaknya malu karena baru saja melempar baju kotor sembarangan di depan temannya? Bahkan, piring sisa makannya pun tidak ia taro di tempat semestinya. Jihoon benar-benar curiga Hyunsuk sebenarnya berusia 18 bulan.

Hyunsuk mandi dengan cepat. Rambut basahnya dibiarkan menetes dan membasahi baju. Jihoon lagi-lagi mengehela napas panjang. Lantas dia mengambil handuk dari dalam kamar mandi dan mengeringkan rambut Hyunsuk sambil mengusap kulit kepalanya lembut.

Hyunsuk terkekeh. Dia menatap Jihoon yang sepertinya sedikit kesal karena tingkahnya yang tidak menggambarkan seperti anak berusia hampir 18 tahun. “Aku tuh dah gede tau, bisa keringin sendiri.”

Jihoon hanya diam. Masih mengusap rambut Hyunsuk telaten dengan wajah yang sedikit kesal. Hyunsuk tidak merasa bersalah sedikitpun, dia justru kembali terkekeh pelan dan tersenyum dengan menampilkan deretan gigi putihnya.

“Kita kayak pasangan suami-suami, ya. Yang baru membangun rumah tangga gitu.” Hyunsuk tertawa pelan.

Jihoon tersenyum miris. Maksudnya, dia suaminya dan Hyunsuk anaknya?

“Kayaknya kita harus bagi tugas di rumah ini, deh.” Hyunsuk mengusap dagunya, menatap ke sekeliling dengan serius.

Jihoon mengambil sisir yang tergeletak di atas meja belajar Hyunsuk—yang belum selesai ia rapikan. Dia menyisir rambut Hyunsuk pelan.

“Kamu mau tugas apa aja?” Tanya Hyunsuk.

“Um, kayaknya aku mau bagi tugas ke kamu dulu aja deh.”

Hyunsuk mendengarkan dengan antusias, “Apa? Apa?”

“Pertama, taro baju kotor sama piring kotor di tempatnya.”

Senyum Hyunsuk memudar.

“Kedua, kalo selesai ngerjain tugas, bukunya dimasukin lagi ke dalem tas. Mindahin buku kalo pas jadi kucing itu ga gampang loh.”

Hyunsuk sekarang tersenyum miris.

“Ketiga, apapun kondisinya, jangan telat bangun dan harus sarapan sebelum berangkat sekolah. Udah, itu aja tugas kamu.”

Hyunsuk cemberut. Seburuk itu kah dia di mata Ireng?

“O-oke.” Cicit Hyunsuk, sedikit menuduk karena malu.

“Yaudah. Kalo besok ga ada tugas, tidur ya sekarang. Bangunin kamu itu susah.”

Hyunsuk masih cemberut, “Orang tadi pagi aku belum telat. Kan aku masuk jam 7.”

“Tadi udah jam 6, Hyunsuk.”

“Ya, kan masih satu jam lagi. Aku ga telat dong.”

“Kalo kamu bangunnya lebih telat lagi, ga bisa tuh sarapan. Udah deh, sekarang tidur cepet biar besok bisa sarapan lagi.”

Jihoon akhirnya pergi keluar kamar.

“Ih? Ireng mau ke mana?!”

Jihoon tidak menjawab. Hyunsuk menahan tangan Jihoon, “Ji-jihoon, emang kamu ga tidur?”

Jihoon menggeleng pelan. “Mau beresin dapur dulu.”

Hyunsuk menunduk lagi. Malu. Sepertinya Hyunsuk memang tidak bakat menjaga rumah sendirian.

Hyunsuk memicingkan matanya. Ada seseorang yang sangat mencurigakan berdiri di balik mannequin. Orang itu seperti bersembunyi dari Hyunsuk yang sudah mengetahui keberadaannya.

Jangan-jangan, itu Ireng Raksasa yang mengikutinya dari belakang?

“Dor!” Hyunsuk mengagetkan orang yang bersembunyi itu, berharap itu benar Ireng Raksasa dan terkejut dengan ekspresi yang menggemaskan.

“AAA!” Orang itu hampir loncat karena kaget. Hyunsuk ikut loncat, terkejut melihat siapa yang ada di sana.

“LO?! Lo ngapain di sini, Junkyu?!” Teriak Hyunsuk dengan suara melengkingnya yang hampir saja membuat mereka berdua diusir oleh karyawan di sana.

Junkyu terkekeh konyol, wajahnya sangat menyebalkan. Hyunsuk rasanya ingin menenggelamkannya di lautan segitiga bermuda. “Lo ngikutin gue?!”

“Eng-engga! Gue ... gue cuma ... umm-ya, ngeliat lo pergi sendirian—”

“Tuh, kan?! Lo ngikutin gue!” Teriak Hyunsuk lagi.

Junkyu sibuk ber-sst panjang dan memohon agar Hyunsuk menurunkan volume bicaranya. “Jangan teriak-teriak, dong! Nanti kita diusir.”

“Kalo kita diusir, ya salah lo lah! Ngapain ngikutin gue?! Kayak stalker aja!”

Junkyu menghela napas pelan, dia menunduk sedih karena tidak enak hati dengan crush-nya sendiri yang ia ikuti. Junkyu hanya tidak sadar. Ketika melihat Hyunsuk yang berlarian keluar sekolah, dia seperti anak kecil menggemaskan yang tidak sabar untuk pulang cepat ke rumah.

Tapi justru karena itu, karena Hyunsuk benar-benar menggemaskan, Junkyu jadi tidak sadar mengikutinya. Kalau tiba-tiba Hyunsuk dikasih permen oleh orang asing dan diculik, itu akan sangat bahaya. Jadi, lebih baik Junkyu mengikutinya sambil menjaganya dari belakang, kan? Hehehe.

“Nyengir aja lo! Apapun alasan lo, ga akan gue terima! Sana pulang aja lo!” Hyunsuk galak menatap Junkyu, tangannya memberi isyarat kepalan seperti akan memukul Junkyu sampai babak belur.

“Yaelah, Suk. Gue mau ikut belanja deh sama lo.”

“Ga! Ga ada ikut-ikut!” Bantah Hyunsuk dengan tegas.

“Siapa tau nanti lo butuh orang buat bawain belanjaannya, kan? Ada gue dengan tangan berotot ini.” Bujuk Junkyu lagi.

Hyunsuk diam. Dia menimbang-nimbang ucapan Junkyu. Belanjaannya hari ini memang sudah dipastikan banyak. Dia perlu menyiapkan baju, kalau-kalau Ireng tiba-tiba berubah jadi raksasa lagi. Alias berubah menjadi Jihoon.

Jihoon badannya besar. Baju Hyunsuk paling besar pun tidak cukup untuknya. Jadi, Hyunsuk harus membeli baju yang layak agar Ireng Raksasa tidak kedinginan.

“Tapi ... lo bukannya mau beliin buntelan berbulu itu baju? Kenapa ke sini?” Tanya Junkyu heran.

Hyunsuk di depannya tidak menjawabnya. Junkyu dikacangin.

“Ini kekecilan ga, ya?” Guman Hyunsuk yang masih bisa Junkyu dengar. Junkyu yang mendengarnya justru tertawa terbahak-bahak.

“Ya, jelas-jelas tenggelem lah di lo!”

Hyunsuk menatap Junkyu tajam. Seandainya dia bisa berterus terang jika baju-baju ini untuk Ireng Raksasa yang bertubuh super besar, Junkyu pasti akan terdiam. Atau, seandainya Hyunsuk bisa berterus terang jika Junkyu itu benar-benar menyebalkan, mungkin Junkyu akan diam beberapa saat.

Hyunsuk cepat memilih kaos all size, hoodie dengan ukuran paling besar, celana panjang, dan ... celana dalam uhuk. Di samping kasir, Hyunsuk menangkap setelan piyama bermotif Doremon. Di kepalanya terus terputar Ireng Raksasa yang menggemaskan, pasti akan lebih menggemaskan jika dia mengenakan piyama itu. Akhirnya Hyunsuk juga membeli dua pasang piyama dengan ukuran paling besar dan ukuran paling kecil.

“Kok beli dua ukuran?” Tanya Junkyu lagi. Sebelumnya dia tidak banyak bertanya lagi setelah Hyunsuk menjitaknya karena terus meledek tubuhnya yang akan tenggelam karena memilih baju all size. Mungkin kali ini rasa penasarannya sudah tidak terbendung dan akhirnya memilih untuk bertanya.

“Bukan urusan lo.” Jawab Hyunsuk dingin.

“Suk ... tunggu,”

“Apa?”

Junkyu membulatkan matanya, mulutnya menganga lebar sambil ia tutupi dengan satu tangannya. “Jangan-jangan, lo ... LO NYIMPEN COWO DI RUMAH YA?!”

Hyunsuk membulatkan matanya, memukul pundak Junkyu kencang dengan spontan. “SEMBARANGAN LO KALO NGOMONG! LO PIKIR GUE COWO APAAN, HAH?!”

Junkyu meng-aduh pelan sambil mengusap pundaknya. “Ya, lagian. Lo kayak pengen beliin baju buat orang lain aja tau ga? Siapa yang ga overthinking kalo gini.”

Hyunsuk berdeham canggung. Kalau dipikir-pikir sih, ada benarnya yang Junkyu ucapin. Ireng bisa berubah jadi Ireng Raksasa—yang kita kenal dengan nama Jihoon. Kalau Ireng sudah berubah jadi raksasa, tubuhnya, wajahnya, suaranya, tingkah lakunya, semuanya seperti manusia. Berarti sama saja dia menyembunyikan seseorang di rumah?!

Hyunsuk menutup wajah dengan kedua tangannya. Wajahnya memerah karena memikirkan Ireng Raksasa yang menggemaskan.

Junkyu membulatkan matanya lagi setelah melihat perilaku mencurigakan Hyunsuk. “Jangan-jangan bener?!”

“Bu-bukan!”

“Terus buat siapa?!”

“Um ... um-ini, gue beli buat,” Hyunsuk berpikir sebentar sebelum mengucapkannya dengan mantap. “BUAT PACAR GUE LAH!”

“APA?!”

Dua orang yang mengantre di belakang mereka menggeleng pelan. Kehidupan anak remaja jaman sekarang benar-benar penuh drama.

“Jadi selama ini lo udah punya pacar?” Tanya Junkyu dengan mata berkaca-kaca.

“Iya, makanya stop ngejar gue lagi.” Ucap Hyunsuk tanpa merasa bersalah karena sudah membohongi Junkyu.

Antrean di depannya sudah selesai, kini mereka berdua yang berdiri tepat di depan kasir.

“Wah, beli baju tidur couple, ya, Kak?” Tanya Mba Kasir dengan ramah.

Hyunsuk hanya tertawa malu.

“Kalian berdua cocok banget—”

“KITA GA PACARAN!” Potong Junkyu cepat sampai Mba Kasir terkejut dan mengerjapkan matanya.

Mba Kasir hanya menggeleng pelan melihat Junkyu dengan wajahnya yang menyedihkan. Semua orang bisa menebak kisah cinta Junkyu yang kandas sebelum dimulai. Orang-orang yang melihatnya tersenyum miris.


Selama perjalanan, Junkyu hanya diam. Hyunsuk jadi tidak enak hati. Dia berbohong plus menolak Junkyu mentah-mentah.

“Lo mau makan indomie dulu ga di rumah gue?” Tawar Hyunsuk setelah sampai di halaman rumahnya. Demi menghibur hati Junkyu yang merana dan cintanya yang kandas.

Junkyu yang awalnya menunduk sedih, sekarang kepalanya terangkat. Wajahnya berubah berseri. “I-ini sama kayak, 'ramyeon meogollae'?”

Hyunsuk memukul pundak Junkyu lagi, “GA USAH KEPEDEAN! MAU GA?!”

Junkyu berdecak sebal, “Galak banget, sih! Iye! Mau!”

Mereka masuk ke rumah besar Hyunsuk bersisian. Terlihat rapi, bahkan lebih rapi dari hari-hari sebelumnya. Berterima kasih kepada Ireng Raksasa yang selalu bersih-bersih ketika sedang berubah wujud menjadi manusia.

“Rumah lo rapi banget, Suk. Lo ada ART?”

Hyunsuk menggeleng pelan. Itu berkat Jihoon, dan tidak mungkin dia mengatakannya terang-terangan. Seketika dia teringat Ireng. Seharusnya sekarang Ireng sedang dalam wujud kucing, kan? Kalau tiba-tiba berubah menjadi Ireng Raksasa alias Jihoon yang tidak mengenakan sehelai kain pun, dan dilihat Junkyu dengan mulut sebesar toa masjid. Apa kata dunia?!

“Ireng!” Panggil Hyunsuk. Lagi-lagi mengabaikan Junkyu.

“Ireng!” Belum ada sahutan dari kucingnya itu.

“Ireng!” Hyunsuk pergi ke kamar mandinya. Tidak ada Jihoon di sana, tapi Ireng juga tidak muncul sejak tadi ia panggil.

“Ireng!”

“Meong.” Ireng muncul dari dapur. Hyunsuk menyambarnya dengan gemas. Mencium-cium seluruh wajahnya dan memeluknya sampai Ireng meronta-ronta minta dilepas.

Junkyu muncul dari belakang. Matanya menangkap meja makan yang penuh dengan masakan rumah. “Lo beneran ga ada ART di rumah? Kok bisa masak sebanyak ini?”

Hyunsuk akhirnya tersadar. Dia melepas Ireng yang sejak tadi sudah meraung. Hyunsuk menggaruk alisnya pelan, dia tersenyum canggung. “Iya, karna ortu gue pergi, gue jadi dipanggilin ART buat bantuin jaga rumah. Kalo gue pulang, ART-nya juga pulang.”

Junkyu mengangguk-angguk. Duduk di kursi terdekat. Hyunsuk berdeham canggung karena lagi-lagi dia berbohong. Hyunsuk jarang sekali berbohong terus-menerus seperti ini. Dia cenderung berkata jujur, atau bahkan terlalu jujur kepada orang lain.

Seketika dia menoleh ke arah Ireng yang menjilati tangannya sendiri. Tangan kecilnya berpindah ke telinga dan mengusapnya lembut. Tangannya kembali menyentuh lantai dengan posisi setengah berdiri, dia menguap lebar. Hyunsuk terkekeh pelan melihat kucing lucu itu, “Ireng ngantuk?”

“Meong.”

Hyunsuk tersenyum simpul. Dia rasa tidak masalah berbohong lebih banyak dari biasanya untuk menyembunyikan identitas asli yang bahkan sampai sekarang pun belum Hyunsuk pahami, bagaimana identitas asli Ireng yang sebenarnya.

Junkyu menatap Hyunsuk lekat. Padahal beberapa waktu lalu dia baru saja ditolak mentah-mentah. Tapi jantungnya berdegup sangat kencang karena melihat Hyunsuk tersenyum sangat tulus ke arah kucing hitam di bawah meja makan. Emosinya seperti menggebu-gebu, menolak fakta bahwa ia ditolak, juga kesal karena dia merasa sudah kalah saing dengan ... KUCING?! Ditambah lagi, dia KUCING HITAM?!

Junkyu makan dengan lahap hidangan di hadapannya. Hyunsuk sebelumnya menuangkan nasi ke atas mangkuk. Karena masakannya sangat lezat, Junkyu seketika lupa dengan amarahnya sedetik lalu. Dia justru jadi menikmati hidangan sambil menikmati pemandangan indah yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Pemandangan Hyunsuk yang tersenyum tulus.

“Jujurly, makanannya enak banget! Kayak bukan manusia yang masak!” Ucap Junkyu sambil mencuci peralatan makan yang ia gunakan sebelumnya.

Hyunsuk terkekeh pelan, sebenernya jawaban itu hampir akurat. Karena yang menghidangkannya bukan manusia seutuhnya, melainkan Ireng Raksasa. “Maksud lo, dedemit?” Tanya Hyunsuk meledek sambil melirik ke arah Ireng yang merenggangkan tubuhnya di bawah meja.

“Kalo dedemit pun yang masak, gue ga heran sih. Soalnya enak banget jujur.”

Hyunsuk mengangkat bahu tidak peduli. Dia menghampiri Ireng yang duduk di atas sofa di dalam kamar Hyunsuk. Mata Ireng yang berwarna kuning kehijauan menatap tajam ke arah Junkyu. Sayangnya, yang ditatap justru tidak merasakan tatapan maut itu. Ketika ia hendak duduk di sisi kasur Hyunsuk, Ireng dengan gesit menghampirinya dan mencakar tangan Junkyu brutal.

Junkyu heboh karena dia tidak bisa berbohong jika kucing hitam di hadapannya benar-benar seperti dedemit sungguhan. “Buset! Lo ada dendam apa sama gue?!”

Ireng menjawabnya dengan geraman. Taringnya yang tajam itu terlihat jelas ketika mulutnya membuka. Jangan macam-macam kamu di daerah teritorialku!, begitu kata tatapannya.

Junkyu bergidik ngeri. Ternyata selain wakil kepala sekolah bidang kesiswaan di sekolahnya, dan emak-emak yang main hp di lampu merah, kucing hitam di hadapannya ini punya tingkat bahaya yang lebih tinggi. Menjadi urutan pertama hal yang harus Junkyu hindari.

Hyunsuk justru tertawa terbahak-bahak. Dia menarik Ireng masuk ke dalam gendongannya. “Gapapa, Ireng. Kalo kamu kesel, gigit dia aja. Oke?”

“Sialan.”

Hyunsuk semakin kencang tertawa, “Tempat yang mau lo tidurin tadi tempat biasanya dia tidur.”

“Ya, gue juga ga bakalan di sini sampe malem dia tidur kali!” Junkyu makin sewot karena Hyunsuk membelas kucing hitam itu.

Hyunsuk menghiraukan Junkyu yang terus mengomel. Dia justru menyejajarkan wajahnya dengan Ireng yang sekarang sudah bergelung di atas kasur. “Ireng kenapa, hm? Mau bobo, iya? Perlu aku usir ga Junkyu jelek itu?”

“Meong.” Ireng merebahkan kepalanya dan kembali tertidur. Terserah.

Terserah artinya iya buat Hyunsuk. “Dah deh, Jun. Lo balik aja sana. Ireng ga demen sama lo.”

Junkyu tersenyum miris. Lebih miris lagi ketika melihat Hyunsuk mengecup kucing hitam yang hampir menggigitnya beberapa menit lalu dengan sayang. Sangat berbanding terbalik perbuatan Hyunsuk kepada Junkyu.


Sudah hampir lima jam berlalu setelah Hyunsuk mengantar Junkyu hingga ke depan halaman rumahnya. Hyunsuk menguap lebar. Mengantuk karena dia baru saja selesai mengerjakan tugas-tugasnya.

Hyunsuk tiba-tiba tersadar karena Ireng tidak berada di tempatnya sebelumnya. Tidak salah lagi, Ireng sudah berubah menjadi raksasa sekarang.

“Ji-jihoon?” Hyunsuk manggil takut-takut. Ada suara air dari dalam kamar mandi. Pintunya terbuka pelan ketika Hyunsuk memanggilnya dari luar.

“STOP! Jangan dibuka!”

Hyunsuk mengambil kaos putih polos dan celana panjang hitam yang baru ia beli tadi sore. “I-ini!”

“A-aku udah beliin kamu baju! Jadi kalo kamu berubah jadi raksasa, harus pake baju!”

Jihoon menyambar baju itu bingung. Dia mengenakannya dengan cepat dan keluar dengan penampilan lebih baik.

Sekarang Hyunsuk dan Jihoon berhadapan. Hyunsuk tersenyum bangga karena pakaian yang ia beli tadi sore sangat pas di tubuh Jihoon. “Um, tapi celananya kayaknya agak sempit, ya? Besok coba aku tuker ke ujuran yang lebih gede.”

“Ngapain sih pake beliin baju segala?! Ngerepotin aja!” Bukannya ucapan terima kasih, Hyunsuk justru mendapat gerutuan dari Jihoon.

Hyunsuk tidak marah sedikitpun, dia justru tertawa pelan. “Gapapa, dong. Ireng kan sekarang udah jadi adek aku!”

“Tapi gue Jihoon, bukan Ireng!”

“Sama aja.”

Jihoon menatap Hyunsuk tajam, “Ya, karna sama aja! Ngapain harus ribet-ribet beliin baju buat kucing?! Gue cuma kucing!”

Hyunsuk memeluk Jihoon erat. Kepalanya bersandar di dada Jihoon, dia bisa mendengar suara detak jantung yang seirama dengan detak jantungnya. “Kamu bukan sekedar kucing. Kamu kucing kesayangan aku!”

Jihoon awalnya terkejut karena Hyunsuk memeluknya cepat. Tapi lama kelamaan tangannya balas memeluk Hyunsuk, tidak seerat Hyunsuk memeluknya, tapi tetap membuat Hyunsuk hangat di dalam dekapannya.

“Meskipun kamu gede! Kamu harus tetep anget! Jadi, jangan tolak baju yang aku beliin.”

Tubuh Hyunsuk sebenarnya jauh lebih kecil dari tubuh Ireng Raksasa, tapi dia berusaha sekuat yang ia bisa untuk memeluk seluruh tubuh Jihoon erat. Ia ingin memberikan rasa hangat kepada teman barunya yang akan menemani selama satu bulan. Satu bulan yang berharga.

Kini mereka sudah saling berpelukan di atas kasur empuk Hyunsuk. Itu semua berkat rengekan Hyunsuk yang memohon ingin memeluknya ketika tidur. Mengancam akan menangis semalaman dan mengganggunya tidur jika tidak tidur bersamanya.

Diam-diam Jihoon menatap Hyunsuk yang terlelap. Sebenarnya beberapa menit lalu matanya sudah terasa berat karena rambutnya terus diusap lembut oleh Hyunsuk. Namun, tangan Hyunsuk tiba-tiba berenti karena empunya justru tertidur lebih dulu. Jihoon menjadi segar kembali dan tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Hyunsuk.

Wajah Hyunsuk terlihat tenang, sepertinya mimpi indah. Jihoon tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Sekarang Jihoon juga ikut mempertanyakan identitas asli manusia di depannya. Jadi, siapa sebenarnya manusia konyol yang membelikan baju untuknya?

“Sayang! Ayo berangkat!” Teriak Papa Jihoon dari bawah.

Haruto berlarian menuruni tangga. Dia menggeleng cepat ketika bibi yang biasa memasak di rumah menawarkan sarapan di meja makan. Tapi akhirnya Haruto mengambil roti lapis dan memakannya sambil berlari kecil ke halaman.

Papa Jihoon akhirnya menepati keinginan Haruto yang ingin berangkat bersama di hari yang normal. Haruto rasanya tidak sabar ingin menyapa semua teman sekolahnya yang akan ia temui di depan gerbang nanti sambil memamerkan Papa Jihoon yang selalu keren itu.

Sayangnya, ternyata hari itu bukan hari yang normal. Haruto justru mendengar percakapan yang dia harap tidak pernah mendengarnya sama sekali.

Daddy Hyunsuk yang kemarin bilang akan pulang telat dari pamerannya di Paris justru datang pagi ini tanpa Haruto harapkan. Seharusnya Haruto senang, tapi kehadiran Daddy Hyunsuk pagi ini justru membuat keadaan Haruto 180 derajat berubah.

“Kenapa kamu ga pernah bilang setiap kali ke Paris, Hyunsuk?”

“Aku ga perlu bilang karna kamu pasti mikir yang engga-engga. Kamu tau Yoshi sekarang menetap di sana, makanya kamu selalu sensi kan setiap aku ungkit-ungkit Paris?”

Haruto terdiam. Dia mendengar suara tawa dingin Papa Jihoon. Membuatnya bergidik ngeri.

“Bulan lalu kamu ke Paris tanpa bilang-bilang. Ternyata lima bulan lalu kamu juga terus bolak-balik ke sana. Ternyata bener? Buat ketemu mantan kamu?”

Hyunsuk terlihat marah. “Kamu nyelidikin semua penerbangan aku?”

“Kenapa kamu marah? Bener ternyata kalo kamu nyamperin mantan kamu?”

“Aku kerja, Jihoon! Aku sama Yoshi kerja!”

Papa Jihoon tertawa dingin. Jantung Haruto berdebar sangat kencang ketika melihat Daddynya meringis karena Papa Jihoon mencengkram tangannya kuat.

“Kalo kamu kerja, seharusnya kamu bilang sama aku! Bukannya justru diem-diem kayak gini! Kamu ga percaya sama suami sendiri, hah?!”

“Kamu yang justru ga percaya sama aku, Ji! Percuma aku bilang atau izin sama kamu, karna kamu pasti ga akan pernah izinin aku! Sifat kamu yang kayak gini udah bikin aku sesek napas tau! Aku capek sama kamu!”

“Kalau kamu kerja sama mantanmu itu, jelas aku ga izinin!”

Hyunsuk menggeleng cepat, dia sudah menangis karena Jihoon tidak mengurangi sedikitpun cengkeraman tangannya.

“Buat apa kamu kerja sama mantan kamu kalo aku di sini masih bisa ngehidupin kamu lahir batin, Hyunsuk?! Buat apa?!”

Hyunsuk menggeleng dan menangis semakin kencang, “Engga sama sekali! Aku udah bilang, Ji. Aku udah ga sanggup sama kamu!”

Jihoon mendengus kasar dan melepas cengkeramannya. “Jadi kamu udah nyerah sama kita? Kamu nyerah dan milih buat ajuin gugatan? Iya?”

Hyunsuk tercekat. Air matanya tiba-tiba berhenti menetes. Dia menatap Jihoon dalam. Memperhatikan gurat wajah yang sudah lama tidak membentuk senyuman manis ke arahnya.

“Iya, surat sidangnya udah keluar. Lucu banget, ya. Setelah kamu berduaan sama mantan kamu itu, kamu justru ngajuin gugatan.” Jihoon tersenyum miris. Hatinya hancur lebur ketika mendapati surat dari pengadilan agama ada di meja kantornya.

Hyunsuk menunduk. Dia bernapas lebih lega karena Jihoon sudah melepas cengkeraman di bahunya, tapi bukan berarti sesaknya sudah hilang. Jihoon tidak hancur sendiri. Dia juga hancur ketika siang-malam memikirkan ajuan gugatan itu. Hampir dua puluh tahun dia mengenal Jihoon, rasanya mencintai Jihoon sudah menjadi bagian dari dirinya.

“Tapi,” Jihoon bersuara dengan suaranya yang serak. Hyunsuk mendongak, menatap mata Jihoon sekali lagi yang kini sudah penuh dengan embun di pelupuk matanya.

“Aku emang harus nyerah sama kamu, kan?”

Jihoon akhirnya menangis, seperti anak kecil yang kehilangan sebatang cokelat. “Aku ga boleh bikin kamu sakit lebih lama lagi, kan?”

Hyunsuk ikut menangis. Sudah lama ia tidak melihat Jihoon menangis setelah beberapa tahun lalu Jihoon kehilangan kedua orang tuanya. Hati Hyunsuk semakin hancur karena dia lah yang membuat Jihoon menangis.

“Ji, maafin aku.” Hyunsuk hanya bisa mengucapkan kalimat itu sebelum berlari keluar dari pekarangan rumah. Pergi jauh dari hadapan Jihoon yang hanya membuat sakit satu sama lain.

Jihoon mengusap pipinya dengan punggung tangannya kasar. Dia juga pergi ke mobilnya dan melaju menyusuri jalanan yang lengang.

Hati keduanya hancur. Merasa kecawa dengan diri sendiri karena harus merasakan patah hati lagi setelah perjalanan panjangnya. Namun mereka lupa, ada yang jauh lebih hancur hatinya. Haruto. Dia ikut menangis ketika mendengar pertengkaran hebat kedua orang tuanya.

Ketika Papa dan Daddynya pergi entah ke mana. Haruto juga kembali lari ke kamarnya. Ada banyak lego yang terpajang di sana. Action figure anime dengan bentuk yang bervariasi juga bersisian dengan acrion figure superhero terkenal. Padahal kamar Haruto terlihat mewah, tapi tidak ada satu pun hal yang ia suka dari kamar itu selain bingkai foto yang berisi fotonya dengan kedua orang tuanya.

Haruto menangis di balik selimut. Tubuhnya masih dihiasi seragam batik sekolahnya. Selama ini, yang dia tau, seorang anak harus menuruti semua permintaan orang tuanya. Seoarang anak tidak boleh menuntut banyak hal atas keputusan orang tuanya. Terutama tentang tidak bisa mengantar atau menjemputnya sekolah, atau tentang makan malam bersama ketika ia ulang tahun.

Haruto selama ini berpikir, seorang anak harus menerima semua keadaan orang tuanya dalam kondisi apapun. Tapi Haruto tidak ingin melakukan peran anak yang seperti itu lagi sekarang. Dia tidak ingin kehilangan keluarganya yang nyatanya tidak bahagia sejak awal.

Haruto mengambil bingkai foto di atas meja kecil samping ranjangnya. Foto itu diambil ketika Haruto kecil sedang bermain di taman hiburan terkenal di Jepang. Ketiganya tampak tersenyum bahagia, terlebih Haruto yang berada di punggung Papa Jihoon kala itu.

Prang!

Haruto melempar bingkai foto itu keras hingga terpecah belah. Haruto muak melihatnya. Itu hanya sebuah foto yang nyatanya tidak akan membuatnya kembali ke momen bahagia itu.

Jika Papa dan Daddynya sudah menyerah. Apa itu artinya Haruto juga harus menyerah dengan hidupnya?

Hyunsuk mengatur napasnya susah payah karena melihat penampakan tidak terduga di kamar mandinya. Di sana ada manusia tanpa dibalut sehelai pun kain bergelung di lantai. Tampaknya masih terlelap.

Hyunsuk takut-takut menyolek “orang” itu. Sejujurnya Hyunsuk sangat takut dengan dedemit, hantu, setan, dan kawan-kawannya. Tapi apa iya hantu bisa setampan ini? Hantu yang ada di pikirannya punya wajah hancur lebur dengan suara yang menyeramkan. Masa iya “orang” ini hantu?

Mata yang terpejam akhirnya mengerjap, membuka perlahan. Bola matanya bulat, manik matanya mengkilap karena pantulan cahaya lampu, wajahnya yang sayu seperti tidak asing di mata Hyunsuk.

“AAAAA!!!!” Orang yang bergelung di bawah lantai kamar mandi berteriak histeris, sibuk menutupi tubuhnya yang bertelanjang bulat. Hyunsuk ikut berteriak, tidak kalah histeris karena ternyata itu manusia sungguhan.

“LO SIAPA?! NGAPAIN LO DI SINI?! LO SETAN BENERAN??” Semua pertanyaan itu bisa menunggu. Yang pasti, orang—manusia atau bukan—yang ada di depannya perlu pakaian segera.

Hyunsuk heboh mengacak-acak lemarinya. Mencari baju yang pas untuk makhluk asing yang tiba-tiha muncul di kamar mandinya.

“Duh, yang ini kekecilan.” Keluh orang itu setelah mencoba baju ketiga yang Hyunsuk kasih.

“Ah elah! Lagian badan lo gede banget sih!”

“Lah? Salah gue?! Lo yang kasih gue makan mulu!”

Hyunsuk mendelik, “Orang gila lo ya? Sejak kapan gue kasih makan paus terdampar di kamar mandi gue, hah?!”

Orang itu menatap Hyunsuk julid, “Heh! Dari kemarin lo kasih makan gue delapan kali! Baru juga gue makan satu jam yang lalu, lo udah manggil-manggil gue. Udah gitu namanya jelek pula.”

Hyunsuk mengerutkan keningnya. Masih bingung. Lebih bingung lagi ketika orang itu duduk di tepi kasurnya sambil membenarkan posisi selimut yang menutupi tubuhnya.

“Gue Jihoon. Orang yang kalo jadi kucing lo panggil Ireng.”

Orang bernama Jihoon itu menghela napas panjang, “Kenapa dari sekian banyak nama yang bisa lo kasih, lo milih nama jelek kek gitu? Gue tau bulu gue item, tapi kan bisa Si Hitam kek? Atau kerenan dikit, Blackie kek? KENAPA HARUS IRENG?!”

Hyunsuk terdiam cukup lama. Mereka bersitatap. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Hyunsuk lompat ke atas Jihoon. Berseru riang, “IRENG?! INI IRENG?! IRENG BAKALAN TEMENIN AKU SEBULAN INI?! Aaaa Ireng, lucu banget!”

Hyunsuk memeluk Jihoon erat. Wajah Jihoon sudah tidak berbentuk karena Hyunsuk terlalu gemas dengannya. Ini aneh sebenarnya, Hyunsuk seharusnya takut, tapi karena dia tau orang di depannya itu Ireng, kucing kesayangannya, dia jadi senang dan jauh lebih gemas dari sebelumnya.

Jihoon mendorong Hyunsuk kuat, “Sekarang gue Jihoon! Ireng-ireng itu besok pagi!”

Hyunsuk cemberut. Ternyata Ireng versi manusia tidak semenggemaskan yang ia pikirkan.

“Lagian, kenapa harus berubah-ubah, manusia-kucing-manusia-kucing sih?”

Jihoon mendengus, dia merebahkan dirinya di atas kasur. Masih menutupi tubuhnya yang hanya dibalut celana training Hyunsuk yang kebesaran dengan selimut.

Hyunsuk tersenyum lebar lagi. Walaupun ga segemes Ireng versi kucing, tapi Ireng versi manusia tetep gemes. Dia ikut merebahkan diri di samping Jihoon. Mengusap kepalanya lembut seperti dia mengusap rambut-rambut lembut Ireng.

“Ck!” Jihoon berdecak kesal, menepis tangan Hyunsuk.

Hyunsuk cemberut, “Ireng suka loh dielus gini.”

Jihoon akhirnya mengalah, membiarkan Hyunsuk mengusap kepalanya lembut. Naluriah kucing yang terjebak di dalam dirinya tidak bisa berbohong, sebenarnya dia juga suka diusap lembut seperti ini. Jihoon akhirnya tertidur sambil tersenyum karena nyaman diusap dan dicium Hyunsuk.

Hyunsuk yang menatap bangga karena Jihoon tertidur pulas akhirnya memeluk Jihoon erat. “Seneeeenggg! Ireng jadi raksasa!”

Lima belas menit Hyunsuk nunggu dengan perasaan campur aduk. Dia rasanya gugup, panik, semuanya. Rasanya dia ga pernah sedikitpun hilang semangat waktu mau ketemu Masnya. Hyunsuk cuma bisa guling-guling di karpet berbulunya sambil teriak-teriak di dalam bantal.

Suara ketukan pintu akhirnya kedengeran juga. Hyunsuk berteriak lagi di dalam bantalnya. Belum sanggup menghadapi ciuman Jihoon bertubi-tubi.

Hyunsuk buka pintu takut-takut. Jihoon dengan wajah kesalnya terpampang jelas setelah ia buka pintunya. Ada tulisan “semangat responsi” yang tertulis pada sticky notes dan ditempel di keningnya. Hyunsuk ketawa kesenengan karena Mas Pacarnya rela jauh-jauh ke kostnya buat kasih semangat responsi.

“Sekarang baikan siapa?”

Hyunsuk mengigit bibir bawahnya, menahan tawanya. “Mas Cheol tuh ajarin aku biomol yang super duper susah itu, ya! Bahkan kemarin kita sekelompok dikasih review tambahan sama spill soal responsi!”

Jihoon cemberut, “Aku juga sering ajarin kamu! Aku juga asprak kamu loh!”

Hyunsuk menahan senyumnya, “Tapi tetep baikan Mas Ch—”

Cup! Leher Hyunsuk ditarik Jihoon cepat. Dia tidak diizinkan mengucapkan nama terlarang itu lagi. Bibirnya dibungkam dengan kecupan Jihoon.

Hyunsuk tertawa pelan, “Tapi Mas Ch—” Cup! Bibirnya lagi-lagi dibungkam. Kali ini lebih “brutal” sampai mereka berdua terduduk di karpet berbulu.

“Ih, Mas! Aku mau ngomong dulu!”

Jihoon masih cemberut. Dia bersusah payah ingin mengecup bibir Hyunsuk yang menghindari kecupannya. Bibirnya monyong-monyong, minta dicium.

“Mas Cheol tuh beneran baik! Ga ke aku doang. Kemaren aja, Sahimet ngajak satu kelompoknya ikut review, diizinin sama Mas Cheol. Akhirnya kita review di kelas, udah kayak belajar tambahan 3 SKS.”

Jihoon akhirnya duduk tenang di karpet berbulu. Dia sekarang manyun. “Justru itu! Karna Mas Cheol baik banget, aku takut kamu berpaling dari aku!”

Hyunsuk terkekeh. “Terus ya, waktu itu aku lupa tulis satu dafpus. Mas Cheol ingetin aku, baik banget, kan?”

Jihoon buang muka. Hyunsuk malah ketawa kesenengan karena liat pacarnya cemburu.

“Diem deh! Aku cemburu!” Hyunsuk ketawa lagi. Dia peluk lengan Jihoon, menyenderkan kepala di bahu lebar pacarnya. “Tapi Mas Jihoon tetep pacar terbaik. Aku sayang Mas Jihoon!” Hyunsuk mencium pipi Jihoon cepat.

Muka Jihoon yang sebelumnya ditekuk, sekarang langsung sumringah. Hyunsuk pinter banget bikin hati dia meleleh karena tingkah lucunya. Jihoon bahkan ga bisa sembunyiin senyumnya waktu liat senyum Hyunsuk yang gemes banget.

“Aku juga sayang kamu, Hyunsuk.” Bibir Hyunsuk dicium tepat setelah kalimat Jihoon selesai.

Senyum Hyunsuk lebar banget. Jihoon peluk Hyunsuk erat sampai mereka berdua jatuh terlentang di atas karpet berbulu Hyunsuk. Jihoon cium pucuk kepala Hyunsuk yang sekarang ketawa-ketawa. Badan Hyunsuk yang kecil, jadi tenggelam karena Jihoon meluk terlalu kenceng.

“Mas!! Aku ga bisa napas!!” Protes Hyunsuk yang masih terus ketawa.

Kekehan kecil Jihoon bikin Hyunsuk akhirnya ga bisa protes lagi. Tapi Jihoon langsung pindahin Hyunsuk ke atasnya tanpa sedikitpun kurangin pelukannya. Kalau Jihoon boleh ngelunjak, dia mau pelukan sama Hyunsuk kayak gini sampai pagi.

Hyunsuk nyenderin kepalanya sebentar di dada bidang Jihoon. Detak jantung Jihoon bikin dia ketawa pelan. Bahkan suara detak jantung Jihoon bisa ngalahin lagu terbaru idol favoritenya. Kacau.

Hyunsuk akhirnya bangun. Dia duduk di atas perut Jihoon yang naik turun dengan stabil. Mereka berdua masih bertatapan sambil ga berhenti tunjukin senyum terbaik mereka.

Tiba-tiba tangan Jihoon ambil tangan Hyunsuk yang ada di dadanya. Jihoon cium punggung tangan Hyunsuk sampai empunya tersenyum malu-malu.

Dari situ akhirnya Hyunsuk sadar posisi mereka ga normal. Hyunsuk akhirnya buru-buru bangun dan ambil tumpukan laprak buat nutupin mukanya yang merah. Jelas Jihoon paham sama keadaan pacarnya sekarang, makanya dia cuma bisa ketawa kegemesan.

Jihoon tarik kertas yang ada di tangan Hyunsuk pelan. Hyunsuk buru-buru tarik lagi, “A-aku mau belajar tau!”

Jihoon ketawa, “Iya, maksudnya aku mau tanya-jawabin kamu.”

Hyunsuk akhirnya ngebiarin Jihoon ambil kertas tebel itu dan mulai kasih dia satu dua pertanyaan. Setengah jam ke depan, mereka sibuk tanya-jawab. Meskipun ga full tanya-jawab sih, malah lebih banyak bercandanya.

“Kayaknya kamu lebih paham acara yang terakhir daripada acara yang lain ga sih?”

Hyunsuk naik-turunin kepalanya. Rambutnya yang udah panjang jadi ikut naik-turun.

“Yaudah, acara yang terakhir kita eliminasi. Terus, acara mana lagi yang lebih kamu pahamin?”

“Acara ketiga sama kelima deh, materinya ga banyak.”

“Kalo acara yang paling susah?”

“Acara keempat. Gene cloning. Huek.” Hyunsuk sampai mual karena menyebut kalimat terlarang.

Jihoon ketawa pelan, “Yaudah, berarti belajarnya dari acara keempat, acara kedua karna materinya banyak, acara pertama, acara ketiga, kelima, baru keenam. Jangan terpaku belajar berurutan mentang-mentang soal responsinya berurutan.”

Hyunsuk naik-turunin kepalanya lagi. Mulai belajar ulang tentang materi yang paling mual menurutnya. Kali ini Hyunsuk beneran serius, bibirnya manyun-manyun sambil ulang-ulang materi. Matanya sesekali melirik ke atas sembari mengingat yang dia baca sebelumnya. Bener-bener serius bahkan dia ga sadar kalau Jihoon dari tadi senyum manis karena lihat dia yang cantik luar biasa.

Jihoon usap kepala Hyunsuk lembut. Hyunsuk akhirnya nengok ke arah Jihoon yang dari tadi ga bisa berhenti senyum. Jihoon rapihin rambut Hyunsuk yang sedikit berantakan, terus dia tarik ke belakang telinganya biar ga mengganggu pemandangannya buat belajar. Sebenernya biar ga ganggu pemandangan Jihoon buat lihat wajah cantiknya Hyunsuk juga. sih.

Mata Hyunsuk yang bulat kedip-kedip. Bingung sama kelakuan mas pacar yang bisa bikin jantungnya berisik dengan cuma natap dan usap kepalanya kayak gitu. Tiba-tiba Hyunsuk ingat sesuatu.

“Oh iya, Mas!”

Jihoon masih usap kepala Hyunsuk pelan, “Hm? Kenapa?”

“Liburan semester ini aku dah izin mama, aku ga pulang ke Jakarta!” Hyunsuk berseru senang. Berharap Jihoon juga sama senangnya seperti dia.

“Loh? Kenapa?” Ternyata Jihoon justru berekspresi tidak sesuai sama ekspektasi Hyunsuk.

“Kan aku mau liburan bareng Mas Jihoon di sini. Kemaren pas putus, kita jadi kehilangan banyak momen. Mas Jihoon ga seneng ya kalo aku liburan bareng Mas Jihoon?” Hyunsuk cemberut.

“Se-seneng, sih. Tapi—”

“Kok ada tapinya?!”

“Um, bulan depan aku magang. Mungkin sampe Februari ... di Sumatra.”

Hyunsuk natap Jihoon bingung. “Berarti ... sebulan lebih ini kita bakalan LDR-an? Aku di sini, Mas Jihoon di pulau tetangga?”

Jihoon naik-turunin kepalanya pelan. Mereka cukup lama diem-dieman. Sebenernya Jihoon udah lama mau ngomong ini ke Hyunsuk. Pengumuman magangnya satu minggu yang lalu, tapi dia rasa kayaknya Hyunsuk ga perlu cepet-cepet tau. Toh, Hyunsuk bakalan pulang ke rumah pas liburan, begitu pikirnya.

Hyunsuk liat Jihoon lagi, bibirnya lebih manyun daripada yang sebelumnya. Matanya udah penuh sama air mata. “Hua!!! Masa kita LDR-an?!!” Hyunsuk nangis dengan dramatis, langsung lompat ke pelukannya Jihoon.

Jihoon ketawa pelan, ga tau ini pacarnya nangis betulan atau nangis dibuat-buat. Tapi yang pasti pacarnya itu betulan gemes. “Kan cuma sebentar. Kayak liburan tahun lalu aja, kamu di Jakarta, aku di sini.”

“TAPI TETEP BEDA!”

“Kan sebulan doang, Sayang.”

Hyunsuk natap Jihoon tajam, “Mas Jihoon ga tau?! Waktu kita putus sebulan itu udah berapa kali aku nangis?”

“Emang berapa kali?” Jihoon justru ngeledek.

“Tiga kali sehari! Bahkan jadwal makanku kalah sama jadwal nangisin Mas Jihoon!”

Jihoon masih setia senyum ke pacar manisnya itu. “Maaf, ya, Sayang.”

Hyunsuk menunduk. Jadi sedih kalo keinget masa-masa kelam kemarin itu. “Seharusnya aku yang minta maaf.”

“Udah, jangan sedih, dong. Aku masih dua minggu lagi kok perginya. Kamu mau ke mana selama aku masih di sini? Kita pergi ke semua tempat yang kamu pengenin.”

Hyunsuk cukup pama berpikir. “Um, ada satu tempat yang aku pengen kunjungin bareng Mas Jihoon.”

Jihoon angkat alisnya, “Apa?”

“Hutan yang sering Mas Jihoon kunjungin.”

“Hutan?”

“Hu'um! Aku mau ikut ngecamp di sana. Berdua aja!”

Jihoon ngeledekin Hyunsuk lagi, “Yakin? Berani nih berdua doang?”

“Yakin! Berani! Kan ada Mas Jihoon, hantu pasti takut.”

Jihoon ketawa ganteng, itu yang Hyunsuk liat setiap Jihoon ketawa. Kegantengan. “Yaudah. Nanti kita atur rencana, ya.”

Hyunsuk ngangguk-ngangguk seneng. Dia akhirnya balik belajar lagi sambil kepalanya dielus-elus manja sama Jihoon. Tiba-tiba keinget lagi gimana mereka putus kemarin itu. Semua karena dia egois.

Hyunsuk akhirnya tatap mata Jihoon yang dari tadi setia natap Hyunsuk. “Um, Mas,”

“Kenapa?” Jihoon ketawa kegemesan. Hyunsuk emang selalu gemes gimanapun keadaannya.

“Kalo Mas Jihoon, mau ke mana?”

“Hm? Maksudnya?”

“Iya, kan Mas Jihoon tanya, aku mau ke mana. Sekarang aku juga tanya Mas Jihoon. Mas Jihoon mau ke mana? Ke manapun aku bakalan temenin.”

Jihoon lepasin tangannya dari kepala Hyunsuk. Bukan karena dia udah ga mau usap-usap lagi, tapi karena dia berpikir keras. “Kalo ... makan di rumahku, kamu mau?”

Hyunsuk langsung nangis. Kali ini beneran, Hyunsuk sedih karena keinget gimana mereka akhirnya putus. Hyunsuk ngangguk lagi dan peluk Jihoon erat. “Maafin aku, ya, Mas.”

Jihoon senyum tipis, “Gapapa, Hyunsuk. Nyatanya sekarang kita udah baik-baik aja. Itu udah lebih dari cukup.”

Jihoon lepas pelukan mereka, dan lap pipi Hyunsuk yang basah karena nangis. “Udah, jangan nangis. Nanti materinya ilang semua.” Jihoon ketawa pelan gara-gara liat Hyunsuk yang cemberut lucu karena nangis.

“Mas-hiks-Jihoon mah, ja-hiks-hat. Ma-hiks-sa pacarnya na-hiks-ngis diketa-hiks-wain!” Hyunsuk protes sambil natap Jihoon tajam.

Jihoon bukannya takut dan tobat, dia malah makin ketawa kenceng. Hyunsuk terlalu gemes buat ga diketawain.

Tiba-tiba Hyunsuk punya ide cemerlang buat ngajak Asahi sama Mas Jae makan bareng. Ini sama persis kayak waktu mereka berdua comblangin dia sama Mas Jihoon sebelumnya.

“Met,” Hyunsuk goyang-goyangin badan Asahi biar dia bangun.

“Gue mau nginep.”

“Bukan. Temenin gue makan yuk.”

Asahi ngelirik Hyunsuk, “Lo abis makan tadi sore, ndut.”

Hyunsuk cemberut, kesel setiap Asahi bilang dia gendut kalo minta makan lagi. “Tapi sekarang bareng Mas Jihoon!”

“Cinta bukan cuma bikin lo buta, tapi bikin lo makin gendut juga.”

“MET!!!”

“Berisik ah! Gue pen tidur!”

Hyunsuk menarik napas dalam, “Bangun atau gue teriak?”

Asahi masih diam pada posisinya.

“BANGUNNN!!!” Hyunsuk teriak dengan suara super dupernya itu di samping telinga Asahi. Lumayan lah, cuma bikin Asahi pengang 15 menit.

Asahi akhirnya berhasil duduk di meja yang biasa Hyunsuk dan Mas Jihoon tempatin. Di sana dia cuma bisa menghela napas panjang dalam-dalam karena harus ngeliat Mas Jihoon dan Hyunsuk yang saling gombalin satu sama lain.

“Aku udah liat update-an di ig hima. Mas Jihoon lucu banget deh.”

Mas Jihoon keliatan malu, “Ah, masa sih?”

Hyunsuk nunjukin foto di HP-nya, “Liat noh giginya kyk bayi.” Hyunsuk cekikikan.

“Kalo bayi harus dicium terus ga sih?” Bisik Mas Jihoon, tapi Asahi masih bisa denger mereka.

Hyunsuk akhirnya cium pipi Mas Jihoon cepet. Emang cepet banget sih, bahkan ga ada satu detik. Tapi Asahi panas banget ngeliatnya. Padahal mereka bisa ngelakuin itu di kamar pas berduaan aja. KENAPA HARUS DI DEPAN DIA YANG LAGI GALAU?!

“Aduh, gue alergi ngeliat kalian uwu-uwuan. Gue mau ke kamar mandi dulu deh, ya.”

Hyunsuk cuma ketawa-ketawa. Agak seneng karena biasanya dia yang liat Asahi sama Mas Jae uwu-uwuan.

Baru beberapa detik Asahi ke toilet, Mas Jae dateng. Langsung tos-tosan sama Mas Jihoon dan Hyunsuk. Matanya ke sana ke mari cari keberadaan Pacarmeng kesayangannya.

“Asahi lagi ke toilet.” Jawab Mas Jihoon tanpa perlu ditanya.

Mas Jae keliatan murung, ngerasa ada yang ga beres antara dia sama pacarnya. “Kenapa dia ga jawab chat gue, ya?”

“Itu bisa lo omongin aja Jae sama dia. Gue juga ga tau pasti.”

Mas Jae natap Hyunsuk, berharap dia ngasih clue atau ceritain semuanya. Hyunsuk geleng pelan, “Ini cuma salah paham aja kok, Mas. Lebih baik Mas denger dari Asahi langsung.”

Mereka akhirnya saling diem. Hyunsuk sama Mas Jihoon juga jadi ga bisa ngomong apa-apa lagi. Suasana berubah jadi canggung. Apa lagi pas Asahi dateng, berdiri di depan mereka, dan ga mau duduk di bangku kosong, samping Mas Jae.

Asahi angkat salah satu sudut bibirnya, “Oh, pantes lo ngajak gue ya, Suk.” Terus pergi ninggalin mereka gitu aja.

“Asahi!” Hyunsuk langsung ngejar Asahi.

“Sa, lo harus ngobrol sama Mas Jae!”

Asahi ngelepas tangan Hyunsuk yang coba tarik tangannya, “Gue ga mau!”

“Kenapa? Apa lo ga kasian sama Mas Jae yang ga tau sama masalah lo?”

Asahi diem. Dia ga tau mau jawab apa.

“Lo harus bilang, Sa. Belom tentu yang lo pikirin, emang yang Mas Jae lakuin. Mungkin ada cerita lain yang ga lo tau. Ngobrol, ya?”

“Gue ga bisa sekarang,”

Hyunsuk menghela napas, “Kenapa, sih?”

“Ya, gue ga bisa ngadepin dia sekarang! Lo paham ga sih?”

“Kenapa ga bisa?” Mas Jae yang ikut ngejar Asahi tadi akhirnya angkat suara.

Asahi balik kanan. Dia agak kaget karena Mas Jaehyuk sama Mas Jihoon berdiri di belakangnya udah lumayan lama. “Aku lagi marah. Ga mau ngobrol dulu.”

“Yaudah, marahin aku sekarang. Terserah kamu mau apain aku, marahin aku kayak gimana. Pokoknya harus ke aku, jangan ke orang lain.”

Hyunsuk akhirnya mundur, mempersilakan Mas Jae maju buat ngeraih tangan Asahi.

“Sa, aku ga tau apa yang buat kamu diemin aku kayak gini. Tapi aku ga mau kayak si Jihoon yang tau-tau marah, tau-tau minta putus sama Hyunsuk.”

Mas Jihoon garuk-garuk kepala, kenapa jadi gue. Gitu mikirnya. Yaudahlah, ya, yang penting mereka ga sampe berantem aja.

“Sa, kamu tau kan aku sayang kamu?” Mas Jae akhirnya tarik Asahi ke pelukannya. Tanpa Asahi sadari, dia justru nangis di bahu Mas Jae. Perasaannya campur aduk, rasanya sedih banget, tapi dia juga bahagia dan lega karena kata-kata yang Mas Jae keluarin.

Sekarang mereka ada di parkiran. Beberapa orang yang lalu lalang ngeliatin momen mengharukan ini. Di belakangnya, Hyunsuk sama Mas Jihoon sibuk nutup-nutupin momen premium ini, seharusnya ga boleh ada yang liat. Jarang-jarang ya mereka pelukan sayang sambil nangis-nangisan di depan banyak orang.

Mereka dengan cepat memutuskan buat pergi dari sana. Ninggalin Hyunsuk yang kebingungan karena motor Asahi yang masih terparkir di sini. Juga Mas Jihoon yang kebingungan sama makanan yang mereka pesen. Tapi gapapa. Sekali lagi, yang penting mereka baikan.

Kalau Mas Jihoon dan Hyunsuk punya kamar Hyunsuk dengan lampu ungu kelap-kelipnya, Mas Jae dan Asahi punya balkon kost Mas Jae yang langsung mengarah ke tower kampus. Mereka masih diem-dieman di sana. Cuma ada satu-dua suara kendaraan lewat, tower kampusnya yang menyala warna biru waktu malam hari, ga lupa dengan logo kampusnya super besar yang menghiasi pucuk tower, juga asap tipis dari batang rokok kedua yang Mas Jae isap.

“Aku coba nyari apa yang salah dari aku. Tapi aku ga nemu. Kalo kamu dapet kabar aku main sama cowo atau cewe lain, itu boong, Sa. Aku ga pernah main sama yang lain, jujur.”

Asahi geleng pelan, “Yang salah bukan Mas Jae. Yang salah aku.”

“Kamu kenapa? Aku ga pernah ngerasa kamu salah?”

Asahi nunduk, bibirnya cemberut. “Salah aku karena aku jamet. Mas Jae pasti malu punya pacar jamet kayak aku.”

Mas Jae coba inget-inget kapan dia pernah ungkit soal kejametan Asahi. Seingetnya ga pernah sama sekali.

“Makanya Mas Jae ga bisa belain aku di depan yang lainnya.”

Mas Jae lagi mencerna ucapan Asahi.

“Kalo dipikir-pikir, kenapa juga Mas Jae mau pacaran sama aku yang jamet? Padahal, jelas-jelas Mas Jae bisa dapetin yang lebih baik. Kayak yang orang-orang bilang.”

Mas Jae mau angkat suara. Tapi lagi-lagi Asahi potong.

“Itu juga yang Mas Jae pikirin, kan? Aku rasa, aku ga cocok sama Mas Jae. Kadang juga aku terlalu cuek. Aku kayak ga peduli kalo Mas Jae lagi main sama orang lain. Aku ga pantes kan buat Mas?”

Mas Jae ketawa pelan. Asahi kalo udah marah emang ga bisa bentak-bentak atau malah mukul-mukul. Tapi dia bakalan ngomong panjang lebar, nanya a sampe z yang beneran lucu banget menurutnya.

“Ih? Kok malah ketawa, sih?! Bener, ya? Yang aku omongin tadi bener, kan?!”

Mas Jae taro kedua tangannya di pipi Asahi. Bibir Asahi jadi sedikit manyun karena beradu sama pipi yang Mas Jae mainin. “Pacarmeng aku lutu anet!”

Alis Asahi menyatu karena keningnya mengerut. Dia bete, tapi dia masih diem di posisi pipi yang diunyel-unyel sama Mas Jae.

“Sejak kapan kamu mikir kayak gitu, Sayang?”

Asahi cuma diem. Males rasanya nanggepin Mas Jae yang anggep ini ga serius.

“Siapa yang bilang aku ga pantes buat kamu, hm?”

Asahi jauhin mukanya. Tangan Mas Jae yang dari tadi masih di pipi Asahi akhirnya terlepas.

“Sa, cuma kamu yang bisa bikin aku ketawa selepas itu kapanpun dan di manapun kamu. Serius, deh. Meskipun aku keliatan selalu ketawa bareng orang lain, tapi ga ada orang lain yang kayak kamu. Kejametan yang sebagian orang ga suka, justru hal yang bikin aku bahagia. Kamu selalu pantes buat aku, Sayang.”

Asahi akhirnya tatap Mas Jae lagi. Matanya udah berkaca-kaca, bentar lagi dia mau nangis. Mas Jae ketawa pelan ngeliatnya, bahkan Asahi selalu lucu gimanapun kondisinya.

Asahi gagal nangis waktu pipinya lagi-lagi di usap sama Mas Jae. Ditambah lagi, sekarang bibirnya juga diusap sama ibu jari Mas Jae dengan lembut.

“Dan ... ga ada yang lebih pinter bales ciuman aku daripada bibir ini. Jelas-jelas kamu lah yang paling pantes buat aku!” Asahi ketawa tepat setelah Mas Jae selesain ucapannya. Matanya menyipit, lesung pipinya dan gigi putihnya terlihat, wajah manis yang selalu jadi favoritenya Mas Jae akhirnya muncul juga.

Mas Jae akhirnya menyatukan bibir mereka. Kecupan demi kecupan Asahi balas. Dia bisa merasakan bibir rasa menthol milik pacarnya sambil memejamkan mata. Rokok yang baru aja Mas Jae habis isapkan itu membuat kecupannya memiliki sensasi yang berbeda. Dan Asahi tidak bisa berbohong, dia menyukainya.

Mas Jae mengangkat Asahi pelan dan merebahkannya di atas kasur empuk minimalis di kamar kostnya. Asahi tersenyum di sela-sela kecupan mereka karena Mas Jae yang tidak pernah berhenti mengusap tengkuknya. Asahi bisa merasakan jutaan kupu-kupu beterbangan hingga dadanya terasa mau meledak.

Kemarin sore, tanpa Asahi ketahui. Mas Jae sebenernya ga bener-bener cuma ketawain pertanyaan konyol itu. Sewaktu Asahi pergi karena kesel, dia ga denger jawaban Mas Jae. Padahal jelas Mas Jae kesel banget sampe bersumpah ga bakalan ngumpul bareng paguyuban itu. Setelah keliatan cengengesan, Mas Jae pergi dan ngomong, “Orang yang kalian omongin itu, orang yang paling ngertiin gue dan yang paling bikin gue bahagia. Jangan macem-macem sama Asahi, karna lo yang bakalan gue macem-macemin!”

Mungkin bener apa kata Hyunsuk. Omongan orang lain ga penting, karena nyatanya Asahi bahagia bareng Mas Jae, begitu juga sebaliknya. Selama ini Asahi cuma jadi diri sendiri dan Mas Jae ga pernah mempermasalahkan itu. Mas Jae yang selalu bikin orang lain ketawa, ternyata juga perlu seseorang yang selalu bikin dia ketawa. Ya, orang itu Asahi.

Rencana Hyunsuk malam itu berjalan lancar. Tapi buat agenda Mas Jae dan Asahi selanjutnya cukup mereka aja yang tau.

“Jadi, lo kenapa?” Tanya Hyunsuk waktu Asahi udah di kamarnya. Martabak, dua bungkus cilor, dan dua gelas es teh jumbo dihidangin di depannya.

Asahi keliatan murung banget. Bahkan es teh yang dia pegang belom sedikitpun dia minum, cuma sedotannya yang jadi lebih pipih karena sibuk digigit-gigitin.

“Woi! Kenapa?!” Hyunsuk sedikit ngegas.

Asahi menghela napas panjang. Dia akhirnya lepas sedotan es teh jumbo dari mulutnya. Dia natap Hyunsuk sedih, “Kayaknya gue ga pantes deh buat Mas Jae.”

Hyunsuk sedikit kaget. Ga biasanya Asahi galau sampe ngomong kayak gini. Sejauh ini, pertengkaran yang terjadi di hubungan mereka karena Mas Jae salah pesen level gacoan. Tapi masalahnya, ya, cuma sekedar mereka kesel satu sama lain dan selesai. Kenapa Asahi bilang kayak gitu?

“Gue kayaknya terlalu jamet buat Mas Jae yang keren.” Asahi nunduk sedih.

Hyunsuk menahan tawanya. Yang lucu di sini bukan karena Asahi berantem sama Mas Jae, tapi karena pengakuan jametnya. Padahal dari dulu Asahi selalu percaya diri dan bangga dengan kejametan yang dia punya. Bahkan mengada-ada jika jametnya itu membawa banyak berkah, salah satunya mendapatkan pacar baik hati seperti Mas Jae.

“Bukannya lo sendiri yang bilang kalo, jamet bisa bawa keberuntungan?” Tanya Hyunsuk setengah bercanda sambil menyantap martabak manis di depannya.

Asahi menggeleng, “Itu cuma bercanda, Suk. Yang sekarang gue serius.”

Hyunsuk jadi ikut diam. Asahi ga pernah seserius ini. Kayaknya dia beneran sedih kali ini. Padahal kalau Hyunsuk boleh jujur, Asahi cuma jadi dirinya sendiri. Dan Hyunsuk ga pernah masalah sama itu, karena yang dia tau temannya Asahi akan selalu jadi Asahi.

“Kalo gue bilang lo tetep keren dengan kejametan lo, lo anggep gue bercanda ga?” Tanya Hyunsuk lagi. Kali ini dia lebih serius.

“Iyalah! Mana ada yang bilang jamet itu keren.”

“Gue. Dan yang punya jamet keren cuma lo!”

Asahi masih menatap kosong ke depan. Hyunsuk menghela napas panjang. Kayaknya ucapan dia ga banyak membantu.

“Jadi kenapa Mas Jae?”

Asahi berdecak kesal, “Masalahnya bukan ada di Mas Jae!”

“Yaudah! Lo kenapa njing! Jangan kayak bocil SMP ngapa!”

Hampir aja mereka terjebak di dalam perseteruan yang tidak akan pernah selesai. Untungnya Asahi buru-buru memasang wajah sedih lagi. Dan suasana kembali seperti semula.

“Kemaren sore gue liat Mas Jae bareng Mas Yuta dkk.”

“O, anjing. Komplotan penggibah itu lagi?”

“Denger dulu!”

“Makanya lo jangan setengah-setengah napa kalo cerita! Cape nih gue nahan emosi!”

“Sabar kek! Orang lagi sedih tuh cerita pelan-pelan! Mana ada orang sedih cerita kek ngerap, anyonghaseyo anyonghaseyo!”

“Langsung intinya aja bisa ga sih?! Emosi gue denger lo lama-lama!”

Kembali ke laptop. Asahi serius lagi, dia berdeham pelan. “Ini berawal dari orang yang nanyain tentang gue. Sebenernya gue ga begitu ngeh mereka ngomongin apa, tapi karna denger nama gue, jadinya gue ngeh kalo di sana ada Mas Jae juga.”

Hyunsuk ngangguk-ngangguk. Mendengarkan dengan seksama. Tidak lupa dengan martabak manis yang masih dia santap dengan lahap.

“Gue pengen samperin mereka padahal, tapi tiba-tiba ada yang nyeletuk 'kok lo ga malu sih pacaran sama yang jamet kek modelan Asahi'. Gue ga paham banget sih, langsung bawaannya ilfeel setengah mati, akhirnya pergi dari sana.”

Hyunsuk menghela napas panjang. Dia bisa ngerasain perasaan “gondok” yang Asahi rasain sih. Dia masing ngangguk-ngangguk dengerin omongan Asahi.

“Gue ga begitu yakin sih Mas Jae nanggepin apa. Tapi lu tau ga, dia malah cengengesan gitu. Ngeselin banget tau ga? Maksudnya, gue beneran jamet gitu?” Asahi emosi sendiri karena inget waktu kejadian.

“Ya, emang.”

“Bangsat.”

Hyunsuk tertawa terpingkal-pingkal.

“Met, sini ya gue kasih tau.”

“Ga.”

“Jamet ga jamet, itu ga penting. Yang penting di sini, gimana lo sama Mas Jae pacaran. Emangnya dari kalian ada yang masalahin itu? Toh, Mas Jae malah terhibur sama kejametan lo. Yaelah, omongan orang mah ga usah didengerin. Mereka cuma ngeliat luarnya doang, ga liat Mas Jae sebahagia apa sama lo.”

Asahi masih kesel, keliatan dari mukanya. “Ya, tapi, Suk. Apa susahnya bilang kayak gitu ke orang yang ngejelekin pacarnya? Dia tau hal itu tuh bikin gue kesel banget, tapi kenapa bukannya belain gue, dia malah kayak ngedukung? Kenapa dia ga bisa kayak Mas Ji yang kapanpun dan di manapun selalu belain lu di depan temen-temennya? Kalo emang gue jamet dan ga cocok pacaran sama dia, ya bilang! Sesakit ini kah terlahir jamet?”

Hyunsuk terkekeh, merasa bangga karena pacarnya dipuji. “Jangan bandingin pacar lo sama pacar gue lah!”

Asahi berdecak kesal. Kadang cerita sama bestienya itu justru bikin tambah kesel, bukannya malah berbagi kekesalan.

“Maksud gue, setiap pacar punya plus minusnya masing-masing ga sih. Mas Ji yang lo liat itu, belom tentu bisa bikin lo bahagia kayak lo yang bahagia bareng Mas Jae. Sekarang gue tanya, apa hal yang bikin lo bahagia bareng Mas Jae?”

Asahi diam cukup lama. Bukan karena tidak ada hal yang membuatnya bahagia, hanya saja terlalu banyak hal yang perlu dia sebutkan sampai bingung sendiri. “Mas Jae itu ... selalu keren. Cara dia ngehargain gue, ga pernah beda dengan dia ngehargain orang lain. Itu bukan berarti Mas Jae play boy, dia justru jadi orang yang care banget dan bikin gue ngerasa beruntung punya dia yang ga bisa dimilikin orang lain. Mas Jae selalu keren karena percaya sama semua hal yang gue lakuin, padahal beberapa kali juga gue boong. Mas Jae juga selalu keren kalo ngehibur gue yang moody-an.”

Asahi diam lagi cukup lama. Ternyata banyak banget kebahagiaan yang udah dia rasain selama bareng Mas Jae. “Mas Jae selalu keren waktu peluk gue pas gue lagi sedih. Apa lagi waktu Mas Jae udah mulai cium kening gue. Mas Jae juga selalu keren waktu cium bibir gue, such a good kisser, apa lagi pas pindah ke—”

“Oke. Oke. Jawaban lo sudah sangat menjawab pertanyaan gue, jadi ga usah dilanjut sampe nanti Mas Jae sama lo ke kasur, ya.”

Asahi diam lagi. Tapi kali ini matanya berkaca-kaca. Tiba-tiba dia kangen Mas Jae-nya yang keren itu. Asahi ga pernah nyangka dia bisa sesayang ini sama orang lain kecuali orang tuanya.

“Yah, Met, jangan nangis dong.” Hyunsuk cemberut, dia menarik Asahi ke dalam pelukannya.

“Sekarang, gu-gue kangen Mas Jae. HUAAAA!!!”

Hyunsuk menepuk pundak Asahi pelan sambil memeluknya, mencoba menenangkan Asahi.

“Met, gue boleh kasih saran?”

Asahi mengusap matanya, “Apa?”

“Mungkin, lo bisa ngomong langsung ke Mas Jae. Sama semua perasaan lo, kesel, sedih, sayang, apapun itu. Jangan dipendem kelamaan, itu malah bikin hubungan kalian jadi ga baik. Setelah itu, baru kalian sendiri yang bisa nemuin jalan keluarnya.”

Asahi menatap Hyunsuk dengan mata berkaca-kaca. “Suk, gue terharu. Soalnya lu bijak banget.”

Hyunsuk membusungkan dada, tersenyum bangga. “Ya, dong! Pacarnya Mas Jihoon gitu loh!”

Asahi kembali memasang wajah datar, “Tapi kalian ga keren. Bucin doang, mantap-mantap engga.”

Hyunsuk menjitak kepala Asahi, “Lo pikir mantap-mantap tiap hari juga keren?! Engga kali!”

Asahi mengusap kepalanya, “Gue sama Mas Jae juga sebulan sekali elah!”

Hyunsuk menggeleng pelan, “Itu mantap-mantap apa datang bulan anjir.”

Asahi tertawa puas. Lucu juga jika dipikir-pikir. Bukan setiap bulan itu yang dia maksud sebenarnya. Tapi baiklah, ga masalah Hyunsuk anggapnya begitu.

“Tapi, Suk,”

“Apaan?”

“Makasih, ya. Waktu lo sedih soal Mas Ji, gue selalu bikin lo kesel. Tapi pas gue kayak gini, lo selalu mau denger cerita gue.”

Hyunsuk mengangguk-angguk, mulutnya penuh dengan cilor. “Gue cuma ga mau kalian sampe putus juga. Ribet.”

“Kayak waktu lo akhirnya putus sama Mas Ji?”

Hyunsuk ngangguk lagi. Cilor seharga lima ribu itu ternyata begitu cepat habis. Sekarang Hyunsuk sudah tidak ada lagi cemilan.

Sorry, ya. Dulu gue selalu anggep enteng sama curhatan lu soal Mas Ji. Gue rasa ini cuma cinta monyet kayak bocil SMP yang ga seharusnya dibawa ribet dan drama-dramaan. Tapi ternyata kita ga pernah tau perasaan kita, ya.”

Hyunsuk terkekeh, “Itu wajar kok. Sebelum gue berantem sama Mas Ji juga gue ngerasa hubungan kita sekedar itu. Padahal Mas Ji jelas-jelas bukan cuma pacar gue. Dia juga jadi sosok paling penting di kehidupan gue. Peluk kita pas lagi sedih, nemenin kita pas kangen rumah, jadi orang yang paling semangat buat menuhin wish list-wish list kita.”

Asahi ngangguk-ngangguk, “Tanpa perlu ngelewatin konflik kayak kalian gue juga udah paham, sih. Mas Jae selalu jadi orang pertama yang temenin gue kalo sendirian. Mas Jae selalu jadi orang pertama yang peluk gue kalo sedih. Tapi,” Asahi diam sebentar. “Tapi kenapa gue harus jamet?!” Asahi setengah teriak karena frustrasi.

Hyunsuk menahan sekuat tenaga biar ga ketawa. “Met, sumpah dah. Ini cuma salah paham. Mas Jae juga ga pernah bilang kalo dia ga suka sama lo yang jamet, kan? Maksud gue nih, kejametan lo tuh ga pernah lepas dari diri lo, itu udah kayak jati diri lo yang sesungguhnya. Kalo Mas Jae ga suka yang jamet, dia juga ga bakalan deketin lo dan segini bucinnya sampe sekarang. Udah putus dari lama paling.”

Muka Asahi masih lemah, letih, lesu. Hyunsuk jadi kasian sih sama temennya yang biasanya ga berekspresi itu, justru keliatan jadi manusia paling tersakiti sekarang. “Lo pasti selalu kepikiran sama omongan orang-orang, ya?”

Asahi diem aja. Ga geleng, ga jawab, pokoknya cuma diem sambil menghela napas.

“Emang susah sih buat terbiasa ga nerima omongan orang kayak gitu. Tapi lo harus percaya kalo gue masih temenan sama lo sampe detik ini bukan karna tanpa alasan. Begitupun sama Mas Jae. Lo harus inget, yang pacaran itu lo sama Mas Jae! Bukan omongan orang. Oke?”

Asahi mengangguk pelan. Omongan-omongan orang bahkan bikin dia hampir ngebenci pacar sendiri. Padahal dia tau banget kalo Mas Jae-nya itu sayang sama dia.

“Abis ini, ngobrol ya sama Mas Jae?”

Asahi mengangguk.

“Ceritain semua yang lo rasain, ya?”

Asahi mengangguk lagi.

“Kalo masih kenapa-kenapa, tetep cerita sama gue, ya?”

Asahi ga naik-turunin kepalanya sekarang. Dia natap Hyunsuk sedih. “Maaf, ya, Suk. Gue ga bisa ada buat lu pas lu putus sama Mas Ji.”

Hyunsuk tersenyum kecil, “Gapapa, Met. Itu juga bikin gue mikir, kok.”

“Maaf. Padahal gue bisa dengerin cerita lu ketimbang bikin lu mikir kek gitu.”

Hyunsuk ketawa, “Lo maap doang, tapi jajanin gue kagak.”

Asahi berdecak kesal, “Ayo, dah, sini! Mo jajan apa? Gue jajanin semua!”

“Gue mau es krim, mau ramen, mau cilok, mau bilor megalodon juga! Sushi ga sih, Met? Dah lama kepengen sushi.” Hyunsuk mengusap-usap perutnya yang kayaknya laper lagi.

“Buset, dah. Ngelunjak dia.”

Raja sudah siap dengan baju olahraganya sekarang. PJOK pelajaran terakhir hari ini, dan itu menjadi pelajaran paling menyenangkan untuk seluruh kelas C, tapi tidak untuk para penghuni kelas A. Raja dan Lia adalah satu-satunya penghuni yang bersemangat.

“Akhirnya gue bisa ketemu sama Januari!” Seru Lia senang, terlihat ada pelangi di matanya sangking senangnya.

“Cuih. Juju ga demen cewe. Apa lagi yang modelannya kek lo.”

Lia menatap Raja kesal, “Liat aja! Gue bakalan bikin Januari jadi pacar gue!”

Raja memutar bola matanya malas. Tidak peduli dengan kehaluan teman sekelasnya itu dan pergi dari kelas. Ahhh, rasanya bahagia banget bisa ketemu Sagara lagi. Bahkan rasanya koridor yang dia lewati penuh dengan bunga-bunga cantik yang bermekaran, seperti hatinya yang berbunga-bunga mengingat suara lucu dan wajah imutnya Sagara.

“Sagara! Raja-mu datang!”

Raja terdiam. Dia tidak bisa menerima fakta ini dengan cepat. Di pinggir lapangan basket hanya ada Yossa, Angga, dan teman-teman kelas C-nya. Kemana Sagara yang lucu, imut, dengan wajah yang enak dipandang itu?

“Sagara ke mana?” Raja bertanya tanpa ba-bi-bu.

Teman-teman kelas lamanya menoleh dengan tatapan tajam. “Eh, maksud gue ... itu-anu-si Juju.” Aduh, hampir aja keceplosan lagi.

“Di UKS. Dia abis makan ayam geprek cabe 10. Terus terkapar sebelum PJOK.” Jawab Yossa dengan tenang.

“Aduh! Seharusnya gue aja yang makan ayam geprek cabe 10! Kan jadi ditemenin Sagara!”

“Kayaknya Juju boongan ga sih? Itu biar ditemenin Sagara doang!”

“Lagian, kenapa harus ditemenin sih?”

“Sagara tuh ga dibolehin ikut PJOK sama orang tuanya. Jadi, daripada dia gabut, dia lebih milih temenin Juju.”

“Beruntung banget si Juju. Pasti sekarang lagi diusep-usep kepalanya sama Sagara!”

“WOI?! Bisa ga sih kalian ga usah ngomongin kemungkinan yang bikin kita sakit hati?!” Bentak Angga dengan dramatis. Matanya berkaca-kaca karena membayangkan Januari yang menang banyak.

Raja mendengarkan ocehan teman-teman kelas C. Dia perlahan mengusap perutnya, “Aduh! Perut gue sakit! Kayaknya gue harus ke toilet. Bentar ya, ges! Kalo ada Pak Bayu bilang gue ke toilet. Okei?”

Teman-temannya bingung. Raja justru berlari ke arah UKS dan menjauhi toilet terdekat.

Raja berlarian seperti orang ditagih hutang. Mengintip ke ruang UKS yang ternyata kosong, hanya ada dokter sekolah di sana. “Eh, Raja? Kenapa?” Dokter itu sudah kenal dekat dengan Raja yang sebulan ini bolak-balik UKS karena stres akibat terlalu lama di kelas.

“Anu, Bu. Kok Januari ga ada ya di sini?”

“Oh, Januari lagi ke toilet.”

“Ka-kalo yang nemenin Januari? Yang gemes, kecil, tuing-tuing itu loh, Bu.”

Ibu Dokternya tertawa pelan, “Oh, Sagara? Sagara tadi bilang mau jalan-jalan keliling sekolah. Kamu mau ambil obat, Ja?”

Raja menggeleng cepat, “Engga jadi, Bu. Obatnya lagi keliling sekolah, jadi aku cari aja, ya, Bu! Assalamualaikum!” Dia langsung berlari cepat mencari Sagara di sekolah sebesar stadion tempat piala dunia berlangsung. Pokoknya Raja cuma harus lari sekuat tenaga dan menemukan Sagara sebelum keduluan yang lain.

Raja berhenti di depan ruangan seni. Pintunya terbuka lebar. Tidak ada siapa-siapa di sana. Tapi dia bisa mendengar suara senandung dari sini. Kira-kira siapa yang bersenandung di ruangan seni? Seharusnya tidak ada yang menggunakan ruangan ini di jam terakhir. Ruangan ini selalu kosong di siang hari. Dan rumornya, setiap jam terakhir memang selalu ada senandung di sini. Itu arwah-arwah dari penghuni ruangan seni yang mati karena hilang inspirasi puluhan tahun lalu.

Raja tidak takut. Dia tidak takut. Sebuah pensil jatuh. Dia menoleh ke belakang. Oke, Raja takut. Senandungnya berhenti. Raja tidak bisa berhenti merapalkan doa dalam hati. Ayat kursi dan semua ayat-ayat yang dia hapal sudah dia lafalkan dalam hati. Tiba-tiba muncul sosok laki-laki dengan baju seragam putih dari balik bingkai kanvas.

“AMPUN! JANGAN MAKAN SAYA SETAN!” Raja teriak heboh, berlari keluar ruangan.

“Loh? Cowonya Nero-chan?”

Raja terdiam. Suaranya tidak asing. Bukan seperti hantu-hantu menyeramkan yang ada di kepalanya. Dia justru mendengar suara menggemaskan.

“Sa-sagara?”

Sagara tertawa lucu, “Kok kamu takut lihat aku?”

Raja menelan ludah lamat-lamat. Mampus. Hilang sudah image baik di depan mata Sagara. Kalau gini caranya, seminggu rasanya ga cukup untuk memiliki Sagara seutuhnya.

“Um, aku ga takut. Cuma ... um, ah, kamu ngapain di sini? Kan jadwalnya olahraga?”

Sagara tersenyum. Giginya terlihat manis, matanya menyipit lucu, dan hati Raja hancur lebur bercampur aduk seperti gado-gado. Sagara memang lucu di luar nalar. Dia tidak sanggup melihat Sagara lebih lama. Selain hatinya jadi gado-gado, seluruh tubuhnya bisa jadi selai stroberi karena Sagara benar-benar segemas itu.

“Tadi ruang seni kebuka, jadi aku masuk, deh. Terus aku ketemu lukisan ini. Jadi bikin aku mau nyanyi karena kupu-kupunya lucu banget! Maaf, ya, bikin kamu takut.”

Raja menggigit bibir bawahnya kencang. Dia takut menangis karena melihat kelucuan di depannya. Sagara ga perlu minta maaf akan hal itu, karna seharusnya dia minta maaf untuk hal lain. Seperti sudah membuat Raja kehilangan kewarasan contohnya.

Raja akhirnya menoleh ke arah lukisan yang Sagara tunjuk. Sagara tidak bisa melepas pandangannya dari lukisan itu. Ada tiga ekor kupu-kupu yang terbang dikejar kucing hitam di dalam lukisan itu. Raja menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Padahal itu lukisan yang sangat jelek.

“Eh, itu lukisan aku. Emang sebenernya belum selesai, makanya masih jelek.”

Sagara menatap Raja heboh. “Jadi kucing yang di dalem lukisan kamu beneran Nero?!”

Raja mengangguk sambil menyeringai.

“Wah! Bagus banget! Kupu-kupu di sini artinya apa?” Mata Sagara tampak berbinar.

“Um, ga ada artinya sih. Aku cuma ngebayangin Nero yang ngejar-ngejar kupu-kupu.” Raja tertawa canggung.

Sagara menatap lukisan itu lebih dalam. Sepertinya kupu-kupu dan Nero memiliki arti tersendiri untuknya.

“Kamu suka kupu-kupu, ya?” Tanya Raja yang masih menatap Sagara lamat-lamat.

Sagara mengangguk cepat.

“Kalo aku sukanya kamu hehehe.” Raja bergumam, tapi kegemesan sendiri.

Sagara mendengarnya, dia tertawa senang. “Aku juga suka kamu!”

Raja melotot. Buset, ini mah ga ada seminggu juga Sagara udah bisa dimilikin seutuhnya.

“Apa lagi Nero! Kamu Cowonya Nero-chan, kan?”

Raja kembali tersenyum miris. Ternyata bukan “suka” itu yang dia artikan.

“Raja. Nama aku, Raja.”

Sagara memiringkan kepalanya, mulutnya membulat. “Oo, Raja! Salam kenal Raja, aku Sagara.”

Raja terkekeh, “Nama kamu lucu banget. Sama kayak orangnya.” pret

Sagara ikut terkekeh, “Sagara itu diambil dari nama pohon saga. Bijinya kecil, tapi keraaass banget. Jadinya aku terlahir kecil kayak gini, deh!”

Raja menahan senyumnya, “Tapi tetep lucu, kok!”

“Makasih udah bilang aku lucu dua kali, Raja!”

Raja tertawa pelan. Aduh, kayaknya kupu-kupu yang ada di kanvas itu pindah ke perutnya deh. Masalahnya, Sagara itu benar-benar selucu itu. Bahkan sampai bikin tubuhnya lemas tidak berdaya sewaktu lihat dia tersenyum.

“Kalian ngapain berduaan di sini?”

Mampus. Raja langsung balik badan. Itu suara Januari.

“Lo ngapain di sini, Ja?”

“Gue abis dari toilet! Terus ketemu dia di sini.”

Januari menatapnya dengan penuh selidik, “Jangan ngibul, ya! Lo tuh kan ada PJOK hari ini! Sengaja kan lo biar ketemu Sagara! Ngaku lo demen Sagara, kan?!”

Raja menggeleng-geleng. “Gu-gue cuma mau ngecek lukisan gue tadi!”

Januari masih menatapnya dengan tatapan yang sama. “Halah! Tadi lo alesannya mau ke toilet! Apaan dah!”

“Udah, Januari. Raja beneran ga sengaja ke sini, kok! Jangan marahin Raja terus.” Bela Sagara. Dia menarik tangan Januari yang menunjuk-nunjuk Raja.

Seketika Januari langsung luluh. Dia tersenyum manis. Mukanya yang penuh dengan kejulidan akhirnya hilang, tergantikan senyum manis yang hanya tertuju pada Sagara.

“Januari mau aku antar ke UKS lagi?”

Januari langsung mengelus perutnya, pura-pura tidak kuat berjalan. Sagara yang baik hati akhirnya menuntun Januari dengan memeluk tangannya. “Gapapa, pelan-pelan aku tuntun ke UKS, ya.”

Raja mengepalkan tangannya. Rasanya ada naga di dalam tubuhnya. Alias dia bener-bener mau marah! “JANUARI!!! GUE SUMPAHIN LO KUALAT BENERAN ABIS MAKAN GEPREK CABE 10!!!”

Raja sudah siap dengan baju olahraganya sekarang. PJOK pelajaran terakhir hari ini, dan itu menjadi pelajaran paling menyenangkan untuk seluruh kelas C, tapi tidak untuk para penghuni kelas A. Raja dan Lia adalah satu-satunya penghuni yang bersemangat.

“Akhirnya gue bisa ketemu sama Januari!” Seru Lia senang, terlihat ada pelangi di matanya sangking senangnya.

“Cuih. Juju ga demen cewe. Apa lagi yang modelannya kek lo.”

Lia menatap Raja kesal, “Liat aja! Gue bakalan bikin Januari jadi pacar gue!”

Raja memutar bola matanya malas. Tidak peduli dengan kehaluan teman sekelasnya itu dan pergi dari kelas. Ahhh, rasanya bahagia banget bisa ketemu Sagara lagi. Bahkan rasanya koridor yang dia lewati penuh dengan bunga-bunga cantik yang bermekaran, seperti hatinya yang berbunga-bunga mengingat suara lucu dan wajah imutnya Sagara.

“Sagara! Raja-mu datang!”

Raja terdiam. Dia tidak bisa menerima fakta ini dengan cepat. Di pinggir lapangan basket hanya ada Yossa, Angga, dan teman-teman kelas C-nya. Kemana Sagara yang lucu, imut, dengan wajah yang enak dipandang itu?

“Sagara ke mana?” Raja bertanya tanpa ba-bi-bu.

Teman-teman kelas lamanya menoleh dengan tatapan tajam. “Eh, maksud gue ... itu-anu-si Juju.” Aduh, hampir aja keceplosan lagi.

“Di UKS. Dia abis makan ayam geprek cabe 10. Terus terkapar sebelum PJOK.” Jawab Yossa dengan tenang.

“Aduh! Seharusnya gue aja yang makan ayam geprek cabe 10! Kan jadi ditemenin Sagara!”

“Kayaknya Juju boongan ga sih? Itu biar ditemenin Sagara doang!”

“Lagian, kenapa harus ditemenin sih?”

“Sagara tuh ga dibolehin ikut PJOK sama orang tuanya. Jadi, daripada dia gabut, dia lebih milih temenin Juju.”

“Beruntung banget si Juju. Pasti sekarang lagi diusep-usep kepalanya sama Sagara!”

“WOI?! Bisa ga sih kalian ga usah ngomongin kemungkinan yang bikin kita sakit hati?!” Bentak Angga dengan dramatis. Matanya berkaca-kaca karena membayangkan Januari yang menang banyak.

Raja mendengarkan ocehan teman-teman kelas C. Dia perlahan mengusap perutnya, “Aduh! Perut gue sakit! Kayaknya gue harus ke toilet. Bentar ya, ges! Kalo ada Pak Bayu bilang gue ke toilet. Okei?”

Teman-temannya bingung. Raja justru berlari ke arah UKS dan menjauhi toilet terdekat.

Raja berlarian seperti orang ditagih hutang. Mengintip ke ruang UKS yang ternyata kosong, hanya ada dokter sekolah di sana. “Eh, Raja? Kenapa?” Dokter itu sudah kenal dekat dengan Raja yang sebulan ini bolak-balik UKS karena stres akibat terlalu lama di kelas.

“Anu, Bu. Kok Januari ga ada ya di sini?”

“Oh, Januari lagi ke toilet.”

“Ka-kalo yang nemenin Januari? Yang gemes, kecil, tuing-tuing itu loh, Bu.”

Ibu Dokternya tertawa pelan, “Oh, Sagara? Sagara tadi bilang mau jalan-jalan keliling sekolah. Kamu mau ambil obat, Ja?”

Raja menggeleng cepat, “Engga jadi, Bu. Obatnya lagi keliling sekolah, jadi aku cari aja, ya, Bu! Assalamualaikum!” Dia langsung berlari cepat mencari Sagara di sekolah sebesar stadion tempat piala dunia berlangsung. Pokoknya Raja cuma harus lari sekuat tenaga dan menemukan Sagara sebelum keduluan yang lain.

Raja berhenti di depan ruangan seni. Pintunya terbuka lebar. Tidak ada siapa-siapa di sana. Tapi dia bisa mendengar suara senandung dari sini. Kira-kira siapa yang bersenandung di ruangan seni? Seharusnya tidak ada yang menggunakan ruangan ini di jam terakhir. Ruangan ini selalu kosong di siang hari. Dan rumornya, setiap jam terakhir memang selalu ada senandung di sini. Itu arwah-arwah dari penghuni ruangan seni yang mati karena hilang inspirasi puluhan tahun lalu.

Raja tidak takut. Dia tidak takut. Sebuah pensil jatuh. Dia menoleh ke belakang. Oke, Raja takut. Senandungnya berhenti. Raja tidak bisa berhenti merapalkan doa dalam hati. Ayat kursi dan semua ayat-ayat yang dia hapal sudah dia lafalkan dalam hati. Tiba-tiba muncul sosok laki-laki dengan baju seragam putih dari balik bingkai kanvas.

“AMPUN! JANGAN MAKAN SAYA SETAN!” Raja teriak heboh, berlari keluar ruangan.

“Loh? Cowonya Nero-chan?”

Raja terdiam. Suaranya tidak asing. Bukan seperti hantu-hantu menyeramkan yang ada di kepalanya. Dia justru mendengar suara menggemaskan.

“Sa-sagara?”

Sagara tertawa lucu, “Kok kamu takut lihat aku?”

Raja menelan ludah lamat-lamat. Mampus. Hilang sudah image baik di depan mata Sagara. Kalau gini caranya, seminggu rasanya ga cukup untuk memiliki Sagara seutuhnya.

“Um, aku ga takut. Cuma ... um, ah, kamu ngapain di sini? Kan jadwalnya olahraga?”

Sagara tersenyum. Giginya terlihat manis, matanya menyipit lucu, dan hati Raja hancur lebur bercampur aduk seperti gado-gado. Sagara memang lucu di luar nalar. Dia tidak sanggup melihat Sagara lebih lama. Selain hatinya jadi gado-gado, seluruh tubuhnya bisa jadi selai stroberi karena Sagara benar-benar segemas itu.

“Tadi ruang seni kebuka, jadi aku masuk, deh. Terus aku ketemu lukisan ini. Jadi bikin aku mau nyanyi karena kupu-kupunya lucu banget! Maaf, ya, bikin kamu takut.”

Raja menggigit bibir bawahnya kencang. Dia takut menangis karena melihat kelucuan di depannya. Sagara ga perlu minta maaf akan hal itu, karna seharusnya dia minta maaf untuk hal lain. Seperti sudah membuat Raja kehilangan kewarasan contohnya.

Raja akhirnya menoleh ke arah lukisan yang Sagara tunjuk. Sagara tidak bisa melepas pandangannya dari lukisan itu. Ada tiga ekor kupu-kupu yang terbang dikejar kucing hitam di dalam lukisan itu. Raja menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Padahal itu lukisan yang sangat jelek.

“Eh, itu lukisan aku. Emang sebenernya belum selesai, makanya masih jelek.”

Sagara menatap Raja heboh. “Jadi kucing yang di dalem lukisan kamu beneran Nero?!”

Raja mengangguk sambil menyeringai.

“Wah! Bagus banget! Kupu-kupu di sini artinya apa?” Mata Sagara tampak berbinar.

“Um, ga ada artinya sih. Aku cuma ngebayangin Nero yang ngejar-ngejar kupu-kupu.” Raja tertawa canggung.

Sagara menatap lukisan itu lebih dalam. Sepertinya kupu-kupu dan Nero memiliki arti tersendiri untuknya.

“Kamu suka kupu-kupu, ya?” Tanya Raja yang masih menatap Sagara lamat-lamat.

Sagara mengangguk cepat.

“Kalo aku sukanya kamu hehehe.” Raja bergumam, tapi kegemesan sendiri.

Sagara mendengarnya, dia tertawa senang. “Aku juga suka kamu!”

Raja melotot. Buset, ini mah ga ada seminggu juga Sagara udah bisa dimilikin seutuhnya.

“Apa lagi Nero! Kamu Cowonya Nero-chan, kan?”

Raja kembali tersenyum miris. Ternyata bukan “suka” itu yang dia artikan.

“Raja. Nama aku, Raja.”

Sagara memiringkan kepalanya, mulutnya membulat. “Oo, Raja! Salam kenal Raja, aku Sagara.”

Raja terkekeh, “Nama kamu lucu banget. Sama kayak orangnya.” pret

Sagara ikut terkekeh, “Sagara itu diambil dari nama pohon saga. Biji pohon saga itu kecil, tapi keras banget! Jadinya aku terlahir dengan tubuh kecil kayak gini deh!”

Raja menahan senyumnya, “Tapi tetep lucu, kok!”

“Makasih udah bilang aku lucu dua kali, Raja!”

Raja tertawa pelan. Aduh, kayaknya kupu-kupu yang ada di kanvas itu pindah ke perutnya deh. Masalahnya, Sagara itu benar-benar selucu itu. Bahkan sampai bikin tubuhnya lemas tidak berdaya ketika melihatnya tersenyum.

“Kalian ngapain berduaan di sini?”

Mampus. Raja langsung balik badan. Itu suara Januari.

“Lo ngapain di sini, Ja?”

“Gue abis dari toilet! Terus ketemu dia di sini.”

Januari menatapnya dengan penuh selidik, “Jangan ngibul, ya! Lo tuh kan ada PJOK hari ini! Sengaja kan lo biar ketemu Sagara! Ngaku lo demen Sagara, kan?!”

Raja menggeleng-geleng. “Gu-gue cuma mau ngecek lukisan gue tadi!”

Januari masih menatapnya dengan tatapan yang sama. “Halah! Tadi lo alesannya mau ke toilet! Apaan dah!”

“Udah, Januari. Raja beneran ga sengaja ke sini, kok! Jangan marahin Raja terus.” Bela Sagara. Dia menarik tangan Januari yang menunjuk-nunjuk Raja.

Seketika Januari langsung luluh. Dia tersenyum manis. Mukanya yang penuh dengan kejulidan akhirnya hilang, tergantikan senyum manis yang hanya tertuju pada Sagara.

“Januari mau aku antar ke UKS lagi?”

Januari langsung mengelus perutnya, pura-pura tidak kuat berjalan. Sagara yang baik hati akhirnya menuntun Januari dengan memeluk tangannya. “Gapapa, pelan-pelan aku tuntun ke UKS, ya.”

Raja mengepalkan tangannya. Rasanya ada naga di dalam tubuhnya. Alias dia bener-bener mau marah! “JANUARI!!! GUE SUMPAHIN LO KUALAT BENERAN ABIS MAKAN GEPREK CABE 10!!!”