Paseafict

Di sekolah Raja dan lainnya, kelas selalu berubah setiap semesternya. Perubahan kelasnya juga tergantung nilai akhir mereka. Kelas A hingga F diurutkan dari tertinggi hingga terendah. Sayangnya, test terakhir Raja justru mendapatkan nilai maksimal dan harus pindah ke kelas A.

Bagi mereka, kelas A dan kelas B adalah neraka. Seharian full belajar dan dikelilingi oleh orang-orang kutu buku dan postest setiap saat. Kepala Raja bahkan hampir meledak setelah sebulan di kelas A.

Sore yang cerah nan indah ini, dia akhirnya keluar dari kelas pengap penuh sesak dan akhirnya bisa menghirup udara dengan bebas. Raja berjalan di koridor yang sudah sepi. Kepalanya pening saat terpapar cahaya hangat dari luar. “Gila, udah berapa tahun gue ga keluar kelas?”

“Lebay! Lo baru sebulan di kelas A, masa kayak udah mau mati gitu, sih?” Sindir Lia, teman sekelasnya, yang menyenggol tubuhnya kencang sampai terhuyung ke depan.

“Kenapa?! Lo juga sebulan di sini udah kayak zombie! Ga usah sok kuat deh, gue tau lo juga sekarat.” Raja tidak bisa tetap santai berbicara dengan teman senasibnya itu.

Lia kesal. Dia balik kanan dan menghentakkan kakinya kencang sambil meninggalkan Raja dan teman-teman zombie-nya. Sejujurnya, tidak ada yang saling peduli di kelas itu selain Raja dan Lia. Karena sebenarnya, Raja dan Lia tidak benar-benar ingin ada di kelas itu. Jadi, seharusnya mereka tidak ribut setiap saat karena mereka hanya memiliki satu sama lain di kelas itu.

Raja menghela napas panjang. Bahkan dia tidak bisa mendapatkan susu stroberi di vending machine. “Ya gusti, kenapa kehidupan remaja Raja begini amat yak.” Dia akhirnya menekan tombol susu cokelat. Setidaknya, dari kejamnya dunia dia harus mengisi tenaga dengan mengonsumsi protein. Entah itu dari susu stroberi ataupun susu cokelat.

Raja memilih untuk duduk di bangku panjang samping vending machine itu. Dia dan teman-teman kelas C-nya biasa menghabiskan waktu istirahat di sana. Tapi sekarang Raja sendirian, hanya ditemani langit senja yang hangat dan ...

“Halo, Meong. Kamu kenapa di sana? Meow, meow, meow

... dan orang dengan suara menggemaskan yang berbincang dengan kucing. Kira-kira, siapakah gerangan?

Sekarang sudah pukul setengah enam sore. Yang menandakan kalau yang tersisa di sekolah megah nan mewah ini hanya orang-orang yang sibuk berlatih di ruang olahraganya masing-masing, dan siswa-siswa terpilih yang harus menghabiskan waktu di kelas untuk belajar.

“Dia namanya Nero.”

Laki-laki yang berjongkok di halaman sekolah jadi mendongak karena mendengar ucapan Raja. Dia memiringkan kepalanya, setengah berpikir.

“Nero?”

“Iya. Nero-chan

“Kok kamu tau? Kamu yang namain meong ini?” Laki-laki itu akhirnya berdiri. Raja agak kaget, karena ukuran tubuh anak di depannya terlampau kecil untuk anak SMA. Mungkin kepalan tangannya lebih kecil dari kepala Nero.

“He'em, itu nama cewe gue.”

Laki-laki itu hanya mengangguk sambil menatap Raja dan Nero bergantian.

“Sagara! Ayo pulang!” Seruan terdengar dari belakang mereka. Pria dengan ukuran tubuh di bawah rata-rata itu menoleh.

“Okei, Daddy!” Dia mengambil tasnya yang tergeletak di atas rumput dan berlari. Beberapa langkah dia berlari, tiba-tiba dia berhenti. “Oh iya, sampai ketemu besok Cowonya Nero-chan!” Dia melambaikan tangannya dan kembali berlari mengejar laki-laki paruh baya yang dia panggil “Daddy”.

Raja kaku, berdiri diam di tempatnya seperti patung. Satu detik. Dua detik. Tiga detik.

“MAMPUS! SAGARA LUCU BANGET SIALAN!!!!” Raja hanya bisa berguling-guling di atas rumput karena kegemasan Sagara yang baru ia lihat beberapa menit ini.

Hyunsuk memutuskan segera membersihkan diri dan mengganti pakaian setelah sampai di kamar kostnya. Begitu pula dengan Jihoon yang bergantian menggunakan kamar mandi.

“Bentar, ya, Mas! Kayaknya dulu Mas Jihoon pernah ninggalin baju, deh!” Teriak Hyunsuk agar suaranya terdengar sampai ke kamar mandi sambil tangannya terus menggeledah lemarinya. “Nah, ketemu!”

Seruan Hyunsuk bertepatan dengan Jihoon yang keluar dari kamar mandi. Hyunsuk membalikkan tubuhnya, hendak memberikan kaos hitam yang sangat Hyunsuk suka ketika tersemat di tubuh Jihoon. Tapi Hyunsuk kaget, dia langsung putar balik memunggungi Jihoon.

“Ih, Mas Jihoon! Kenapa keluar ga pake baju gitu sih?!”

Jihoon justru tertawa dan mengambil bajunya sendiri dari tangan Hyunsuk, “Maaf kalo buat kamu malu. Baju aku basah kuyup, ga bisa dipake sama sekali.”

Muka Hyunsuk makin merah. “Ya, lagian siapa yang ga malu pacarnya ga pake baju di depan kita?! Huh! Nyebelin!”

Jihoon tertawa pelan. Dia memutar tubuh Hyunsuk yang masih memunggunginya. “Emangnya pacar kamu siapa?” Terdengar suara meledek dari pertanyaan Jihoon. Hyunsuk tau Jihoon hanya bercanda, dia ingin merubah suasana. Tapi sayangnya Hyunsuk tidak bisa menerima candaan itu.

Hyunsuk terdiam. Dia duduk di pojok kasur sampai punggungnya bersandar di dinding kamar. “Hyunsuk?” Hyunsuk masih diam. Dia memeluk lututnya dan menatap kosong ke depan.

“Aku ga tau harus jawab apa.”

Jihoon menghela napas panjang. Mungkin mereka belum bisa bercanda seperti dulu, masih ada yang perlu mereka selesain sekarang. Jihoon akhirnya duduk di samping Hyunsuk. Dia menghela napas panjang, “Sebulan ini tanpa kamu, rasanya berat banget, Hyunsuk. Tanpa kamu sadari, aku sebenernya udah jatuh terlalu dalam sama kamu. Pertanyaan tadi, aku serahin ke kamu. Aku bakalan jadi jihoon yang lebih baik buat dapetin kamu lagi, kalo ternyata malem ini kita ga bisa balik lagi. Aku ga akan maksa kamu buat bareng aku lagi, tapi aku bakalan dapetin kamu dengan versi jihoon yang lebih baik.”

Hyunsuk akhirnya menatap mata Jihoon. Pandangannya terhalangi air mata yang penuh di pelupuk matanya. Perlahan-lahan air mata turun membasahi pipinya. “Aku sayang Mas Jihoon. Aku pengen bareng Mas Jihoon lagi—” Ucapan Hyunsuk terpotong karena isakannya. Dia membiarkan air matanya terus membasahi pundak Jihoon yang kini memeluknya erat.

“Tapi ... aku ga tau, apa aku masih hyunsuk yang pantes buat Mas Jihoon?” Hyunsuk akhirnya melanjutkan ucapannya.

Jihoon melepas pelukan mereka. Dia tersenyum getir sambil mengangguk pelan. “Hyunsuk versi manapun selalu pantes buat aku, Hyunsuk.” Dia mengusap air mata yang membasahi pipi Hyunsuk dengan ibu jari, “Kita coba kesempatan kedua ini dengan kasih yang terbaik buat kita, ya?”

Tangisan Hyunsuk justru semakin kencang. Dia menenggelamkan wajahnya di bahu lebar Jihoon agar suara tangisannya teredam. Hyunsuk hanya berharap, kali kedua ia bersama Jihoon memang benar sama indahnya.

Hyunsuk melepas pelukannya saat tangisnya sudah reda. Dia menatap wajah Jihoon yang masih tetap tersenyum meskipun matanya berkaca-kaca. Tangannya mengusap pipi Jihoon perlahan. Tanpa sadar dia tersenyum lebar, Hyunsuk tidak pernah menyangka dia bisa mengusap pipi hangat Jihoon lagi. Hyunsuk kini memejamkan matanya, dia menyatukan bibirnya dan bibir Jihoon perlahan.

Hyunsuk bisa merasakan Jihoon yang membalas kecupannya. Pelan-pelan tangan Jihoon naik dan mengusap lembut tengkuk Hyunsuk yang membuatnya mendesah pelan. Ciuman mereka berubah sedikit panas ketika Hyunsuk dengan sengaja mendorong Jihoon hingga tertidur.

Jihoon hendak menghentikan Hyunsuk yang sekarang berada di atasnya, tapi kecupannya semakin panas bahkan lidahnya mulai bermain di dalam mulut Jihoon.

Jihoon lagi-lagi dibuat kaget Hyunsuk ketika kecupannya berpindah ke lehernya. Hyunsuk bahkan tidak hanya mengecup, tapi juga menghisapnya hingga terasa menggilitik di seluruh tubuh Jihoon. Dia benar-benar tidak bisa menahan desahan dari bibirnya.

Hyunsuk menatap Jihoon sayu. Keduanya bertatapan dengan napas yang menderu. “Hyun—” Lagi-lagi ucapan Jihoon terpotong. Hyunsuk dengan cepat melepas kaos Jihoon yang baru beberapa saat lalu tersemat di sana. Hyunsuk tidak menghiraukan Jihoon yang terus memanggil namanya. Mungkin juga dia mengartikan itu sebagai persetujuan bahwa Jihoon menikmatinya.

Jihoon tidak bisa berhenti mendesah karena Hyunsuk terus mengecup tubuh bagian atasnya yang terbebas dari kain. Jihoon tidak bisa berbohong, ini memang kenikmatan yang berbeda. Rasanya dia ingin tinggal di kenikmatan ini selamanya.

“Hyunsuk!” Jihoon merebahkan tubuh Hyunsuk cepat dan merubah posisi mereka. Kini Jihoon di atas, mengukung Hyunsuk yang entah makhluh apa yang merasukinya malam ini.

Hyunsuk masih menatap Jihoon sayu. Bahkan, tangannya masih memeluk leher Jihoon dan berusaha menggapai bibir Jihoon yang sudah hampir ia habiskan tadi. Jihoon yang melihat tingkah Hyunsuk malam ini justru tertawa pelan. “Kamu kenapa, hm?”

Hyunsuk terdiam. Bibirnya melengkung ke bawah. “Aku cuma mau kasih Mas Jihoon semua yang aku punya.” Dia sedikit merengek, “Cium aku lagi, Mas.”

Jihoon tertawa lagi. Dia mengecup kening Hyunsuk setelahnya. “Maksud kamu apa? Aku ga perlu semua yang kamu punya. Aku cuma perlu kamu di samping aku.” Hyunsuk masih menatapnya penuh harap.

Jihoon menghela napas panjang, “Hyunsuk, aku ga mau kamu nyesel kalo kamu lakuin itu sekarang.”

Hyunsuk menggeleng cepat, “Aku ga akan nyesel kasih itu ke Mas Jihoon sekarang. Beneran!”

Jihoon terkekeh. Dia merebahkan tubuhnya di samping Hyunsuk dan memeluknya dari belakang. Masih menghiraukan permintaan Hyunsuk.

“Mas, aku ga bercanda!”

Hyunsuk memutar tubuhnya. Dia menatap Jihoon kesal. “Aku cuma mau tunjukin Mas Jihoon kalo aku cuma punya Mas Jihoon!”

Jihoon tersenyum, dia mengangguk pelan. “Tapi ada banyak cara buat kamu tunjukin itu, Hyunsuk. Mungkin cara itu salah satunya, tapi ga sekarang, ya?”

Kening Hyunsuk mengerut, menandakan ia masih kesal. “Hei, kenapa masih kesel?” Jihoon kembali tertawa.

“Aku ngerti, Hyunsuk, aku ngerti kamu sayang aku. Dan kamu bisa tunjukin itu dengan cara lain. Oke?”

Hyunsuk kembali cemberut. “Yaudah. Tapi Mas Jihoon tidur sini.”

Jihoon tertawa sambil mengangguk.

“Janji?”

Jihoon tertawa lagi, malam ini dia memang tidak bisa menahan bahagianya hingga membuatnya terus tertawa. “Iya, janji.”

“Ish, tapi Mas Jihoon mah seringnya tau-tau pulang pas aku udah tidur!”

“Engga. Janji, deh!”

Hyunsuk terkekeh, “Seneng deh akhirnya Mas Jihoon bobo sini. Nemenin Suk semaleman, terus pukpuk-in Suk sampe tidur.”

“Dulu tiap malem minggu juga gitu, kan?”

“Engga! Orang abis itu Mas Jihoon pulang!”

Jihoon tertawa puas. Benar-benar puas karena dia bisa melihat Hyunsuk yang kesal dengan cara menggemaskan ini lagi.

“Mas,”

“Hm?”

Hyunsuk masih di dalam pelukan Jihoon yang bertelanjang dada. Dia menatap Jihoon dalam.

“Makasih, ya. Mas Jihoon udah percaya sama aku lagi dan mau kasih kesempatan kedua buat aku.”

Jihoon tersenyum simpul. Dia mengangguk pelan, “Makasih juga, ya, Hyunsuk. Makasih karena kamu udah mau terima kesempatan itu.”

Hyunsuk tersenyum. Jihoon tidak pernah menyangka senyuman manis Hyunsuk bisa ia lihat lagi. Tanpa ia sadari, air mata yang ia tahan selama ini justru membanjiri wajahnya sekarang. Dia tidak pernah berhenti bersyukur karena bertemu Hyunsuk dan kembali bersama Hyunsuk malam ini.

“Mas Jihoon jangan nangis. Hyunsuk di sini.” Bisik Hyunsuk sambil memeluknya.

Mereka kembali berpelukan di atas kasur Hyunsuk beralaskan sprei logo club bola kesukaannya. Membiarkan awan gelap yang mendatangkan hujan sore hingga malam ini terbang terbawa angin. Sekarang langit sudah cerah, begitu pula dengan hati mereka yang sudah lama mendung dan gelap. Mereka akhirnya kembali bertemu dengan mataharinya masing-masing.

“Mas,”

“Ya?”

Hyunsuk menelan ludahnya lamat-lamat, “Mas Jihoon ga mau pake baju dulu? Nanti kalo aku malu lagi gimana?”

Jihoon tertawa, “Kan kamu yang buka. Kenapa kamu yang malu?”

“Ish, pake dulu sana, Mas! Aku udah mulai malu, nih!”

Jihoon akhirnya bangun dari tidurnya dan mengambil kaosnya yang tergeletak di atas karpet kamar Hyunsuk. “Cari makan, yuk?”

Hyunsuk merengek, “Ga mau, nanti Mas Jihoon pulang!”

“Sambil jalan-jalan?”

“Ga mau! Pasti Mas Jihoon lagi nyari jalan buat pulang!”

“Abis itu cium, deh!”

Hyunsuk terkekeh, “Setuju!”

Hyunsuk akhirnya memutuskan untuk “menjenguk” spesimen mini project kelompoknya sendiri. Sebenarnya ada empat kelompok lain yang seharusnya cek spesimen hari ini, tapi kayaknya Hyunsuk ketinggalan.

“HYUNSUK MA BITJ!”

Hyunsuk bergidik. Gila, Asahi kalo udah mode hilang kewarasan emang serem banget, rasanya bikin merinding. “Lo ngapain sih teriakin nama gue dengan kata tidak senonoh itu?!”

Asahi hanya tertawa konyol. Hyunsuk memutar bola matanya malas, kek orang bloon. “Nyebelin.”

“Jangan marah, dong. Kan jadwal gue hari Senin.” Asahi masih tersenyum dengan wajahnya yang konyol itu. Lebih tepatnya wajah yang dibuat-buat seperti orang konyol.

Hyunsuk menggeleng pelan. Heran sih dia, kok bisa nih ada manusia gantengnya tuh ganteng banget tapi ga pernah nyadar gitu. Alias, Asahi apa ga bisa menyempurnakan parasnya dengan berperilaku seperti bentuk rupa wajahnya sebentar aja?

“Yaudah, sana jalan aja sama Mas Jae.”

Asahi tertawa lagi, sama konyolnya seperti sebelumnya. “Gue pen balik malem ini. Bukan pen jalan.”

Hyunsuk tersenyum miris, dia mengangguk pelan. Rumah Asahi memang hanya berjarak tiga jam dari kampus, setiap Jumat dia emang sering pulang buat isi ulang amunisi kulkas di kost.

“Yaudah, sana. Jangan lupa isiin kulkas gue juga besok.” Jawab Hyunsuk akhirnya sambil berlalu.

Asahi lagi-lagi manggil Hyunsuk dengan sebutan sebelumnya. “Ape lagi si?!”

Asahi terkekeh, kali ini jauh lebih konyol dari sebelumnya. “Tolong buka blockiran gue. Gue stres soalnya cuma lu yang tahan chatan sama typing jamet gue.”

Hyunsuk tersenyum simpul sebelum akhirnya tertawa. “Iya. Udah pulang sana! Gue mo ambil kunci lab dulu.”

Hyunsuk menghela napas, menahan kesabarannya sewaktu Asahi kembali meneriaki nama yang sama seperti sebelumnya. “APA LAGI SAT?!”

Kekehan Asahi bisa Hyunsuk denger meskipun mereka sudah berjarak sepuluh langkah, “Titi dijey-nya mana?!”

Hyunsuk hanya menggeleng pelan, lalu balik kanan dan kembali melanjutkan langkahnya. Sudah tidak peduli dengan Asahi yang masih meneriakinya dengan sebutan aneh itu sampai beberapa langkah. Dia akhirnya sampai ke gedung utama fakultasnya, meskipun melewati banyak cobaan dari Asahi.

Di lobby utama, ada seorang Pak Satpam yang selalu stand by di sana sampai larut malam. Semua akses lab dan kelas yang sudah melewati jadwal perkuliahan harus minta perizinan terlebih dahulu, atau membawa Kartu Tanda Mahasiswa sebagai tanda kalau kamu merupakan mahasiswa di sana.

“Sore, Pak. Saya mau pinjam kunci lab ekologi yang ada di belakang Gedung C, boleh, Pak?” Hyunsuk tersenyum ramah. Pak Satpam juga membalas dengan senyum tak kalah ramah.

“Oh, boleh, Mas. Tapi kayaknya tadi sudah ada yang pinjam.”

Hyunsuk mengangguk-angguk. Berarti dia seharusnya tinggal ke lab aja, pasti udah dibuka.

“Oh, ya, ini yang pinjam Mas ... Jihoon!”

Dor! Hyunsuk rasanya dikagetin sama uang kaget yang bikin dia kanget sekaget-kagetnya. Ya, masa dia harus di lab berduaan sama Mas Jihoon? Masalahnya, ketemu Mas Jihoon di kantin atau di koridor aja paniknya bukan main, dia bisa-bisa pingsan kalo berduaan. Di lab pula!

“Em.. um.. itu, kira-kira Mas Jihoon sendirian atau rame-rame, ya, Pak?”

Pak Satpam langsung jawab tanpa mikir-mikir, “Mas Jihoon ini emang lagi ada projek dari Pak Joko, jadi sering di lab itu lamaaa banget. Masnya sendiri yang cerita.”

Hyunsuk keliatan sedih. Pak Satpam tanya lagi, “Kok Masnya sedih? Mas Jihoon kalo di lab suka marah-marah kah?”

Hyunsuk maksain senyumnya, “Engga, Pak. Ini sayanya aja yang emang takut sama beliau.”

Pak Satpam jadi kasian sama Hyunsuk, “Kalo ada apa-apa, nanti langsung ke sini aja, ya, Mas.”

Hyunsuk tersenyum miris. Dia cuma bisa angguk-angguk kepala. Tapi tetep aja, ga lucu kalo dia nangis terus ngadu ke Pak Satpam, pas ditanya “kenapa?”, ternyata Hyunsuk nangis karna kangen Mas Mantan. Kan ga lucu!!!

Hyunsuk buka lab yang dia tuju. Ternyata bener, ga dikunci. Tapi kalo diliat dari rak sepatu, cuma ada satu orang di dalam. Ini justru malapetaka buat Hyunsuk. Gimana bisa dia berduaan di lab sama Mas Jihoon?! Coba kasih tau, GIMANA CARANYA?!?!?!

Hyunsuk lama di depan lab, mikir-mikir dulu sebelum masuk. Apa tunggu Mas Jihoon selesai terus ambil kuncinya sendiri di lobby utama? Atau Hyunsuk kabur aja? Ga usah jenguk spesimennya sama sekali. Engga, engga, yang ada dia abis sama aspraknya yang galak itu. Kayaknya lebih baik opsi yang pertama.

Belum sempet Hyunsuk pergi dari sana, tiba-tiba pintu lab kebuka pelan. Dia berdiri kaku waktu liat Mas Jihoon juga berdiri di depan pintu cukup lama. Sama-sama kaget karena ngeliat satu sama lain di tempat tidak terduga ini.

“Ada apa, Hyunsuk?” Mas Jihoon akhirnya mulai omongan duluan. kalo Hyunsuk yang mulai duluan, mungkin mulainya pas musim buah naga.

Hyunsuk geleng-geleng, “Itu ... aku mau masuk.”

Hyunsuk bisa liat Mas Jihoon yang tersenyum, meskipun senyumnya tipis banget. “Masuk aja, aku tungguin kuncinya.”

Hyunsuk masuk dengan cepat. Di dalem sana Hyunsuk senyum-senyum sendiri. Dia ga nyangka ternyata ketemu mantan atau berduaan sama mantan sebenernya ga seserem itu. Tapi ... ya, tetep kerasa aja kangennya.

Sebenernya Hyunsuk cuma bener-bener ngecek dan bersihin lab. Ga perlu waktu lama, sebenernya. Tapi dia di dalem lama, mikirin kata-kata yang harus dia sampein ke Mas Jihoon. Kayaknya kesempatan ini ga mungkin dateng lagi. Dia cuma kangen Mas Jihoon, beneran. Tapi dia ga tau gimana bilangnya?!?!

Dengan restu mamah papah, Hyunsuk akhirnya keluar. Berharap mulutnya ga tiba-tiba gagu pas mau ngomong. Di luar, Mas Jihoon senderan di samping pintu lab. Ternyata di luar mendung, bahkan petir udah nyamber sana-sini. Mas Jihoon ngeliat ke arah Hyunsuk tepat setelah Hyunsuk keluar.

“Yeay, ujan!” Seru Hyunsuk pelan karena tiba-tiba hujan turun. Mas Jihoon ngeliat dia heran, “kok bisa seneng?” kayak gitulah tatapannya.

Hyunsuk langsung gelagapan, “Yah, ujan ... maksudnya.” Hyunsuk ngeralat seruannya yang sebelumnya.

Hyunsuk kira, mereka bakalan dilanda kondisi kecanggungan setelah Hyunsuk salah berekspresi karena tiba-tiba hujan ini. Tapi ternyata, Mas Jihoon justru tertawa sambil usap kepala Hyunsuk. Jelas dong, Hyunsuk kaget banget. Untung jantungnya beneran ga jatoh ke lantai.

“Kamu ga pernah berubah, ya.” Mas Jihoon lagi-lagi bikin Hyunsuk jantungan.

“Ga berubah gimana?” Hyunsuk gigit bibir bawahnya biar senyum lebarnya itu ga begitu keliatan.

“Selalu lucu. Lucunya kamu tuh effortless banget, tau ga?”

Hyunsuk mau bales ucapan Mas Jihoon. Tapi beneran ga boong, sekarang Hyunsuk kayak gagu yang bahkan bersuara aja ga bisa. Woi, gila lah, Hyunsuk beneran kayak bayi yang lupa cara ngomong. Mereka akhirnya saling diem karena Hyunsuk tiba-tiba lupa cara ngomong.

Di hadapan mereka, jutaan air turun menghantam bumi. Bersyukur hujan, karena berkatnya dua manusia yang tiba-tiba sulit berbicara itu tidak dilanda canggung yang mencekam. Terlebih, mereka berada di lab yang cukup jauh dari akses manapun. Parkiran bahkan berjarak dua gedung dari sini, kantin apa lagi. Karena letaknya di belakang dan ukurannya ga begitu besar, lab ini jarang digunakan. Mereka terjebak, berkat hujan.

“UAS kamu gimana?” Tanya Mas Jihoon tiba-tiba.

“Udah selesai, Mas.”

Mas Jihoon ngangguk-angguk, “Tinggal project ekologi doang berarti, ya?”

Hyunsuk cuma bales pake anggukan. Bikin suasana makin canggung.

“Responsinya gimana? Udah semua?”

Hyunsuk ngangguk lagi, “Tinggal Ekologi, setelah mini project.”

“Ga ada yang inhal, kan?” Mas Jihoon tanya lagi sambil tertawa pelan.

“Mas,” Hyunsuk justru motong tawa Mas Jihoon. Dia natap Mas Jihoon sedih, bikin Mas Jihoon ga bisa tatap dia balik.

“Apa Mas Jihoon ga bisa tanya hal lain selain soal nilai-nilai atau soal perkuliahan? Ada banyak hal yang bisa Mas Jihoon tanyain ke aku setelah lebih dari sebulan ini kita ga ngobrol. Kayak, apa aku kangen sama Mas Jihoon, atau apa selama ini aku sedih karna ga bareng Mas Jihoon?” Hyunsuk ga percaya kata-kata itu keluar dari mulutnya. Tapi daripada kata-kata panjang nan ruwet itu, kenapa dia ga bisa milih kata-kata lain yang lebih simpel kayak, “aku kangen Mas Jihoon”???

Mas Jihoon keliatan menghela napas panjang. Dia mendongak, melihat hujan yang kayaknya ga akan berenti dalam waktu dekat. Berarti dia emang ga bisa keluar dari situasi ini.

“Aku ... ga siap denger jawaban dari kamu kalo aku tanya itu sekarang.” Mas Jihoon akhirnya jawab pertanyaan Hyunsuk.

Hyunsuk diam. Dia lagi mencerna arti ucapan Mas Jihoon yang udah kayak soal analisis dengan poin 20 di responsi siang tadi. Dia mungkin ga sempurna jawab soal analisis tadi siang, tapi dia pasti jawab soal analisis kali ini jauh lebih sempurna.

Hyunsuk tersenyum lebar. Dia langsung masuk ke dalam pelukan Mas Jihoon yang masih menghindari kontak mata dengannya. Dia merebahkan kepalanya di bahu Mas Jihoon yang amat sangat dia rindukan.

“Aku kangen sama Mas Jihoon. Kangeeeennn banget. Bahkan aku hampir mati karna kangen sama Mas Jihoon. Beneran kangen sekangen-kangennya.”

Mas Jihoon diem, bahkan ga bales pelukannya. Hyunsuk yang ngerasa Mas Jihoon kayaknya ga nyaman, akhirnya lepas pelukannya. Aduh, rasanya dia pengen kabur dan ga balik-balik lagi. Apa dia pura-pura pingsan aja, ya? Kok bisa-bisanya ada orang yang dengan pedenya meluk mantan! Di kampus pula!

Hyunsuk takut-takut natap Mas Jihoon yang masih diem di depannya. Tepat setelah Hyunsuk natap Mas Jihoon, bibirnya sekarang justru dikecup sama Mas Jihoon. Hyunsuk melotot. Kaget bukan main. Apa lagi waktu Mas Jihoon ga berenti ngecup bibir Hyunsuk. Badan Hyunsuk kaku kayak batu.

Mas Jihoon akhirnya jauhin bibirnya dari bibir Hyunsuk. Dari tatapannya, keliatan banget kalo dia menderita karena keputusan dia buat akhirin hubungannya sama Hyunsuk waktu itu.

Jujur, Hyunsuk ga tau apa yang lagi dia rasain sekarang. Seneng? Iya, seneng karena Mas Jihoon ternyata masih sayang dia. Sedih? Jelas Hyunsuk sedih, ngeliat Mas Jihoon kayak gini bikin Hyunsuk sakit banget. Dia juga ga ngerti, kenapa dia tega banget bikin Mas Jihoon sampe sesedih ini.

“Hyunsuk, maafin aku. Aku ga akan pernah bisa ngelupain kamu.” Suara Mas Jihoon kedengeran gemeter. Hyunsuk langsung peluk Mas Jihoon, biar Mas Jihoon berhenti ngomong dan ga bikin mereka berdua nangis di sini.

Hyunsuk menggeleng, “Engga, Mas. Mas Jihoon ga perlu minta maaf.”

Mas Jihoon cium pucuk kepala Hyunsuk. Bikin Hyunsuk jadi orang paling beruntung sedunia. Ya ampun, Hyunsuk pengen nangis sekarang. Beneran, Hyunsuk bahagia banget karena ternyata dia ga kehilangan Mas Jihoon. Tapi dia juga ngerasa bersalah karena keegoisan dia, Mas Jihoon sampe kayak gini.

“Seharusnya aku yang minta maaf, Mas. Aku yang bikin Mas Jihoon sedih. Aku yang egois selama ini, sampe bikin aku kehilangan Mas Jihoon. Padahal aku sendiri tau, orang yang aku sayang itu Mas Jihoon. Ga ada orang lain lagi.”

Mas Jihoon diam. Tidak bisa berkata-kata lebih tepatnya. Perasaannya juga campur aduk seperti Hyunsuk. Dia menangkup kedua pipi Hyunsuk dengan tangannya yang tetap hangat meskipun udara sedang dingin. Senyumnya manis banget. Sampai Hyunsuk menangis karena terlalu bahagia melihat senyum manisnya lagi.

“Aku sayang Mas Jihoon—” ucapan Hyunsuk terpotong karena dia akhirnya menangis.

“Hei, Sayang. Jangan nangis, ya? Aku juga sayang kamu.” Mas Jihoon usap pipi Hyunsuk yang basah karena air matanya. Dia kembali peluk Hyunsuk dengan tubuhnya yang hangat.

Tangisan Hyunsuk berenti dengan cepat. Tapi dia juga sadar dengan cepat. Mereka bahkan pelukan dan ciuman di kampus.

Ya ampun, untung mereka ada di daerah paling pelosok di fakultasnya. Semoga ga ada orang yang mergokin mereka kayak gini.

“Mas, kayaknya kalo ada orang lain yang liat kita kayak gini, kita bakalan langsung malu deh.”

Mas Jihoon ketawa. “Gimana kalo kita lanjut pelukan di kamar kamu?” Bisik Mas Jihoon yang ga lepas pelukan mereka.

“Setuju! Berarti sekarang yang harus kita lakuin adalah ... terobos ujan!” Hyunsuk ketawa puas. Hujan-hujanan adalah hal favoritnya.

Mas Jihoon ikut ketawa, “Salah! Yang pertama, aku harus balikin kunci dulu.”

Oh iya, Hyunsuk hampir lupa soal kunci lab sangking bahagianya. Tapi kira-kira Pak Satpam bakalan kaget ga ya kalo Hyunsuk justru balik ke sana sambil gandengan sama Mas Jihoon? Gapapa deh, yang penting sekarang hal yang paling Hyunsuk syukuri adalah dia bisa gandeng tangan Mas Jihoon lagi.

Jihoon mendongak ke arah pagar yang berdenyit. Di hadapannya ada Hyunsuk yang menunduk, enggan menatap matanya. Jihoon menghela napas panjang saat Hyunsuk mengajaknya masuk tanpa sepatah kata pun. Apakah ini akhir dari kisah mereka?

“Suk,”

Mereka sudah di dalam kamar. Hyunsuk yang masih menunduk, tetap enggan menoleh ke arah Jihoon.

“Hyunsuk, tolong liat aku.”

Hyunsuk akhirnya mendongak. Air mata sudah memenuhi pelupuk matanya, siap membasahi pipinya yang memerah. Jihoon segera menarik Hyunsuk ke dalam pelukannya, dan membiarkan Hyunsuk menangis sejadi-jadinya.

Tidak ada kata-kata yang menghiasi keduanya, hanya ada suara tangisan Hyunsuk yang memenuhi langit-langit ruangan. Rasanya benar-benar aneh karena kali ini dada Jihoon bukan dipenuhi kupu-kupu ketika berpelukan dengan Hyunsuk. Dadanya penuh dengan sesak karena mendengar tangisan Hyunsuk yang sayangnya memang dia yang membuatnya begitu.

“Hyunsuk, maafin—”

“ENGGA MAS!” Hyunsuk memotong ucapan Jihoon sambil berteriak. “Aku ga mau kita putus!”

Jihoon menatap Hyunsuk sayu. Sepertinya Hyunsuk salah. Dia menggeleng pelan, “Aku juga ga pernah mau kayak gitu, Suk. Tapi—”

“Tapi apa? Tapi Mas Jihoon udah cape sama aku? Iya?”

Jihoon mengatur napasnya, juga menjaga intonasi bicara. “Aku minta maaf soal tadi pagi. Ga seharusnya aku marah-marah kayak gitu ke kamu.”

“Bener, kan? Mas Jihoon udah cape sama aku?” Hyunsuk lagi-lagi menangis.

Lagi-lagi, mereka membiarkan tangisan Hyunsuk yang mendominasi.

“Kayaknya bukan cuma aku yang cape di sini.” Ucap Jihoon setelah lama terdiam.

Tangisan Hyunsuk berhenti seketika. Dia mengusap pipinya kasar sebelum mendongak dan menatap mata Jihoon. Matanya sembab, hidungnya merah, bibirnya tertekuk ke bawah. Bahkan sampai detik ini pun, Hyunsuk selalu menjadi manusia paling lucu yang pernah ia temui.

“Hyunsuk, awalnya aku marah karena kamu bohongin aku. Aku bertanya-tanya soal alesan kamu bohong. Aku rasa ga ada yang salah sama kita. Tapi kayaknya aku yang salah di sini. Ga tau apa yang udah aku lakuin sampe aku kehilangan kepercayaan kamu.”

Hyunsuk kembali menunduk, “Aku juga salah. Aku yang udah dapet kepercayaan Mas Jihoon malah berusaha buat ancurin itu. Mas Jihoon pasti udah ga percaya aku lagi sekarang.”

Jihoon tidak bisa berbohong, jawabannya memang iya.

“Mungkin kita cuma perlu waktu sendiri buat saling percaya, Suk.” Jihoon berusaha menangkup pipi Hyunsuk. Namun, tangannya ditepis.

“Dari semua jalan keluar, kayaknya emang Mas Jihoon lebih milih kita selesai, ya?”

Jihoon menggeleng, “Aku cuma ga mau buat kamu nangis lagi, Hyunsuk.”

Hyunsuk bangkit dari duduknya. Dia membuka pintu kencang, “Sekarang juga udah bikin aku nangis. Kalo kita ngobrol lama-lama akhirnya cuma selesai yang bisa Mas Jihoon kasih, yaudah. Kita selesain sekarang aja.”

Jihoon ikut bangkit. Kakinya berjalan pergi meskipun hatinya terus berteriak untuk tinggal. Jihoon menahan pintu yang akan Hyunsuk tutup. “Mau kayak gimanapun kita setelah putus, kamu harus tau kalo sampe sekarang pun aku sayang sama kamu, Suk. Kalo kamu sakit, kamu harus bilang aku, ya. Kamu ga pernah sendirian di sini.”

“Itu masalah nanti, sekarang pergi aja. Aku udah ga mau liat Mas Jihoon di sini.” Jawab Hyunsuk dingin.

Jihoon akhirnya benar-benar melangkah pergi, meninggalkan suara tangis Hyunsuk yang masih terdengar sampai lima belas langkah ia meninggalkan kamar Hyunsuk.

Di dalam sana, Hyunsuk terduduk di depan pintu dan menangis lebih kencang dari sebelumnya. Entah apa yang ia rasakan. Dia hanya tidak siap untuk kehilangan Jihoon.

Di luar sini, Jihoon memutar pedal gas motornya tanpa ampun. Suara motornya yang berisik menghiasi langit tanpa bintang. Juga untuk menutupi suara isakannya di balik kaca helm.

Keduanya tidak pernah siap untuk kehilangan satu sama lain. Tapi ... apa ada jalan keluar lain yang lebih baik dari ini?

“Cara menghitungnya, kita bisa pakai cara manual seperti yang saya jabarkan tadi, atau bisa cara yang lebih mudah menggunakan tan alpha.”

“Iya, betul. Alphanya sudut yang ini. Berarti de-sa, depan-samping, empat per empat akar tiga. Kita rasionalkan─”

“Yoshinori!” Pak guru berteriak lantang menyebut namaku.

“Hadir, Pak!” Karena gelagapan, aku tidak sengaja berdiri dan menjatuhkan satu kotak pensil warna yang selalu aku bawa ke sekolah. Teman-teman menertawakanku.

“Kamu dengerin yang saya sampaikan tadi?” Tanyanya sambil berkacak pinggang.

“Cos alpha?” Jawabku setengah berbisik.

Pak guru menghela napas panjang. “Yoshinori, kamu bisa tunggu di luar sampai bel berbunyi, ya!”

Aku menunduk malu. Masa bodo dengan teman-teman yang menatapku. Pak guru bahkan menggelengkan kepala karena tingkahku. Ah, apa pak guru akan marah?

Kak Jihoon itu ... ─ah, maksudku, Pak Jihoon itu sangat menyeramkan di sekolah. Padahal sangat menyenangkan jika kita belajar di rumah.

Iya, dia sebenarnya tidak setua itu untuk dipanggil pak. Maksudku, dia bahkan masih sangat terlihat muda dan tampan. Usia kita juga tidak berbeda jauh, hanya enam tahun. Hei?! Enam tahun itu tidak jauh!

Sekarang aku masih di sekolah, aku harus memanggilnya dengan embel-embel pak. Sejujurnya aku lebih suka memangilnya Kak Jihoon. Tapi ini semua permintaannya.

Pak Jihoon itu guru privatku sejak aku SMP. Sejak dua tahun yang lalu, saat Pak Jihoon juga masih menjadi mahasiswa jurusan Matematika. Pertemuan kita bermula di perpustaan nasional, tepatnya pada tanggal 16 November dua tahun lalu. Hari itu hujan, dan itu sebenarnya penghantarku menemuinya.


Aku berlarian ke gedung terdekat. Ck, ibuku sudah berteriak “Sedia payung sebelum hujan, Yoshi!” Tetap saja rasanya melelahkan membawa payung saat pagi harinya tidak ada tanda-tanda sedikitpun hujan akan turun.

Aku menatap langit yang sangat gelap itu. Suara gemuruh petir saling bersahutan, seperti menyuruhku untuk mencari tempat berteduh yang nyaman karena hujan tidak akan memberikanku kesempatan untuk pulang. Baiklah, aku akan masuk ke gudang buku-buku itu.

Perpustakaan nasional. Percayalah, ini pertama kalinya untukku. Aku tidak suka membaca buku, apa lagi belajar. Oh iya, pengecualian untuk komik dan novel fiksi, mereka yang terbaik.

Saat masuk, aku dijegat oleh petugas ramah. Dia mengatakan jika aku harus memiliki kartu agar bisa membaca atau meminjam buku. Rasanya ini seperti gedung penuh senjata rahasia saja, kita bahkan membutuhkan kartu akses untuk masuk?

“Kamu bisa buat dengan mudah di lantai dua, cukup ikutin intruksi dari monitor.” Jawabnya ramah. Baiklah, akan aku coba. Lagi pula hujan juga masih berteriak menyuruhku diam di sana.

Aku terkekeh menatap monitor, memang semudah itu. Tapi tunggu, aku sangat yakin sudah mengikuti intruksi dengan benar.

“Ada yang bisa dibantu, Dek?” Tanya seseorang di belakangku.

“Anu, Kak. Kayaknya ada yang salah ....”

Pria itu tertawa pelan, lalu dia mengotak-atik layar monitor. Aku memperhatikan dengan seksama. Uwah! Kakak itu sangat hebat. Kartunya sudah jadi.

“Um, anu. Kakaknya petugas di sini?” Tanyaku penasaran. Dia hanya tertawa pelan, eh? Apa aku kurang sopan? Astaga! Aku lupa mengucapkan terima kasih. “Terima kasih banyak!” Seruku sambil membungkuk.

“Iya, santai aja.” Jawabnya sambil melambaikan tangan. “Saya bukan petugas di sini, tapi saya hampir setiap hari ke sini. Dari ujung sana saya liat kamu kayak kesusahan, jadi saya samperin, deh.” Lanjutnya sambil melangkah.

Aku mendongak, dia tidak boleh lepas. “Kakak, di sini sukanya baca buku, ya?” Tanyaku sok akrab.

Dia tidak terkejut, dia membalasku dengan ramah. “Iya, saya lebih suka belajar di sini daripada di rumah. Di sini juga banyak buku-buku latihan soal, jadi lebih gampang kalau mau belajar.”

Aku ber-oh panjang. Lantas menatap Kakak itu penuh kagum. Wah! Dia belajar setiap hari? Bahkan untuk sekolah saja rasanya sudah sangat melelahkan. Dia keren. “Kamu namanya siapa?” Tanyanya yang membuyarkan lamunanku.

Aku tergagap sekaligus tersipu. Ya ampun? Dia sepertinya juga tertarik denganku. “Aku Yoshinori. Kanemoto Yoshinori.”

Dia tersenyum simpul. Ya Tuhan, manis sekali. “Saya Jihoon. Park Jihoon.” Jawabnya. “Kamu ke sini pasti karna hujan, kan?” Tanyanya sambil tertawa pelan.

“Eh? Kok Kakak bisa tau? Kakak bisa baca pikiran orang, ya?” Tanyaku kaget. Dia justru tertawa. Aih, dia menertawakanku?

“Kamu lucu banget. Engga, tadi saya juga ga jadi pulang karna hujan. Jadi saya pikir kamu sama kayak saya.”

Apa?! Dia bilang aku lucu?!

“Karna kita sama, pasti kamu juga mau belajar, kan?” Tanyanya lagi.

Aku menggeleng cepat. “Engga, engga. Aku ga suka belajar sama sekali! Apa lagi semua dengan angka dan menghitung.”

“Kenapa ga suka? Kamu mau belajar Matematika sama saya, ga? Pasti kamu jadi suka Matematika.” Ucapnya. Aku menghela napas pelan, dia membujukku untuk belajar, ya? Baiklah, tidak ada salahnya belajar bersama kakak tampan ini.


“Yoshinori,” panggil Kak Jihoon. Sekarang kita sedang les privat di rumahku. Setengah menyenangkan dan setengah menyebalkan.

“Kenapa, Kak?” Jawabku sambil mengerjapkan mataku. Aku lelah menatap buku seharian, ini waktunya penyegaran.

“Kamu harus lebih fokus kalo di kelas. Tadi kamu ngapain sampe ga fokus gitu?” Tanya Kak Jihoon yang menatapku sebal.

“Aku abis gambar Kakak tau!” Seruku mengabaikan Kak Jihoon yang seperti ingin marah. Aku mengeluarkan sketch book-ku dan menunjukkan padanya.

Kak Jihoon diam sejenak. Memperhatikan gambaranku. “Kamu suka melukis?” Tanya Kak Jihoon serius.

Aku mengangguk cepat sambil mengerjapkan mata.

“Kamu mau jadi pelukis?” Tanya Kak Jihoon lagi. Kali ini, aku membalas jauh lebih semangat. Kak Jihoon justru menghela napas panjang dan menatapku tajam.

“Yoshinori,

“Kamu boleh menyukai apapun. Itu hakmu. Tapi kamu juga harus melakukan kewajibanmu dengan benar. Belajar, Yoshi. Belajar itu kewajibanmu.”

Aku menunduk. Papa, Mama, Abang, bahkan sekarang Kak Jihoon tidak pernah suka dengan hobiku.

Aku mendongak, menatap Kak Jihoon tajam. “Aku cuma mau ngejar cita-cita, Kak! Kenapa semua orang selalu ngeremehin keinginan aku, sih?!”

Kak Jihoon menghela napas lagi. Dia menyilangkan tangannya di depan dada. “Kalo itu cita-cita kamu, yaudah, kamu emang sepatutnya kejar. Tapi hidup itu keras, Yoshi.”

Kak Jihoon maju beberapa senti dari tempat duduknya, lalu menyejajarkan wajahku dengan wajahnya. Terlihat bibirnya yang ranum, hidungnya yang mancung, bola matanya yang berkilau, dan tahi lalat di bawah matanya yang indah. Pamandangan itu jadi jauh lebih indah dari jarak sedekat ini.

“Pandai dalam salah satu mata pelajaran itu emang penting, Yoshi. Tapi kita juga minimal harus menguasai banyak mata pelajaran. Kita itu udah masuk ke era modern, nilai yang jadi patokannya. Kamu harus dapat nilai bagus di Matematika kalo mau masuk ke perguruan tinggi yang bagus, kan? Apapun yang mau kamu kejar nanti, kamu perlu belajar semua pelajaran di sekolah dengan baik sekarang, Yoshi.

“Secinta apapun saya sama Matematika dari dulu, saya tetep harus belajar Biologi, atau bahkan Kimia yang super ribet itu buat universitas yang saya mau.”

Aku masih memperhatikan Kak Jihoon yang super-duper keren itu. Kak Jihoon tersenyum simpul dan mengangguk setelah cukup lama terdiam. Ya Tuhan, benar-benar tampan.

Dengan sekali langkah, Kak Jihoon mengusap pucuk kepalaku. Membuat kupu-kupu di perutku rasanya berterbangan tidak karuan.

“Kamu murid saya yang paling saya banggain. Nilai sosial kamu, 100 menurut saya. Terus baik di lingkungan manapun dan tingkatkan belajarmu, Yoshi.”

Aku mengangguk cepat.

“Mau lanjut belajar?” Tanya Kak Jihoon. Aku mengangguk cepat. Belajar memang melelahkan, namun dengan Kak Jihoon semua lelah rasanya berubah menjadi indah.

Sekarang aku menatap buku lesu. Aku memikirkan sesuatu yang sangat mengusik pikiranku belakangan ini. “Yoshi? Kenapa lagi?”

Tidak bisakah rasa indah ini hanya sebatas indah? Aku tidak ingin jatuh cinta padanya. Mungkin aku bisa kehilangan jika aku jatuh cinta padanya.

“Yoshi, kenapa?”

Aku menatap Kak Jihoon dengan mata berkaca-kaca.

“Kamu kenapa?”

“Kak Jihoon, aku boleh jatuh cinta sama Kakak?” Tanyaku yang hampir menangis.

“Yoshi?”

“Dua tahun kita belajar Matematika bareng, rasanya asik banget. Aku kira aku jatuh cinta sama Matematika, tapi aku salah. Aku jatuh cinta dengan orang yang ga seharusnya aku cinta. Apa aku boleh jatuh cinta sama Kakak?”

Kak Jihoon hanya diam menatapku yang sudah menangis. Ya ampun, aku kenapa, sih?! Kenapa aku mengatakan itu?! Kak Jihoon jelas akan menolaknya. Aku hanya membuat hubungan kita menjadi canggung..

Saat menangis, aku mendengar suara kekehan Kak Jihoon. Pundakku bergetar, ucapanku memang sangat lucu.

“Yoshi. Kanemoto Yoshinori.” Panggil Kak Jihoon. “Coba liat saya,”

Aku mendongak, menatap Kak Jihoon takut-takut. Kak Jihoon mengusap air mataku pelan, lantas menarikku ke dalam pelukannya. “Yoshi, kayaknya kamu emang jatuh cinta sama Matematika.”

Aku terkesiap. Kagetku dua kali. Pertama, pelukan Kak Jihoon. Kedua, ucapan Kak Jihoon. Tapi rasio kagetnya lebih besar yang kedua, 2:3.

“Saya juga jatuh cinta sama kamu, Yoshi. Sama nilai sosial kamu.” Lanjut Kak Jihoon sambil melepas pelukannya. “Tapi itu dulu, mungkin sekarang saya benar-benar jatuh cinta sama kamu. Boleh saya juga jatuh cinta sama kamu?” Lanjutnya sambil tersenyum simpul.

Aku kembali tersontak kaget. Dia terkekeh, mencubit pipiku gemas. Ya ampun, mimpi apa aku semalam?

“Kak Jihoon ...?”

Kak Jihoon justru tertawa pelan, “Maaf, ya. Saya buat kamu yang duluan bilang. Saya niatnya mau bilang itu waktu nilai kamu 100 di ujian Matematika. Tapi kamu pengennya malah buru-buru,”

Ya ampun? Kak Jihoon ... kalau Kak Jihoon menunggu itu terjadi, mungkin perasaan kita tidak akan pernah terungkap. Alias, mustahil aku mendapatkan 100 di ujian Matematika.

“Karena udah diungkapin duluan, hadiah nilai 100-nya saya ganti, deh.” Ucap Kak Jihoon sambil meletakkan tangannya di dagu.

“Bakalan saya cium kalo nilai Matematika kamu 100,” lanjutnya lagi setelah berpikir cukup lama.

Aku hanya terdiam. Bagaimana itu bisa terjadi?!

“Cium bibir kamu.” lanjutnya lagi menggodaku.

Ya ampun?! Kak Jihoon, aku terima di mana pun itu!

“Setuju, ga?”

Aku terdiam. Siapa yang bisa berekspresi di saat seperti ini, huh?!

“Jadi, mau belajar, ga? Saya cium, lho!”

Oke! Fine! Siapa yang tidak mau mendapatkan nilai 100 dengan tambahan hadiah cium?

Aku kembali menatap buku dan memperhatikan Kak Jihoon menjelaskan dengan seksama.

Kak Jihoon, lihat saja! Aku akan mendapatkan nilai 100 di setiap ulangan.

Ada ribuan air jatuh dari langit. Suara rintikan hujan seperti lantunan musik yang menghilangkan jutaan perih di hati. Hyunsuk di atas balkon kamarnya menatap hikmat ke arah jalanan yang penuh dengan air hujan.

Semakin deras, semakin sesak. Semakin lama waktu berlalu, semakin hujan membuat rindu. Langit pun tau jika Hyunsuk merindukan Jihoon.

Sayup-sayup suara mobil terdengar di antara rintik hujan yang semakin deras. Sepatu Jihoon terlihat keluar dari pintu belakang yang dibuka sedikit. Dia terlihat tergesa-gesa sebelum payung siap diarahkan untuknya.

Hujan deras tadi tiba-tiba berubah menjadi pelangi di hati Hyunsuk. Dia berlarian turun ke halaman hanya untuk memeluk suaminya yang baru saja pulang. Bahkan hujan deras pun dia trabas agar bisa memeluk suaminya yang sangat dia rindukan.

“Ya ampun. Basah, Sayang.” Jihoon tertawa renyah melihat tingkah laku Hyunsuk yang sudah menginjak umur 27 tahun itu.

Hyunsuk cemberut, “Lagian bikin aku kangen!”

Ke Hutan Bareng Ayang

Hyunsuk sudah dihantui dengan puluhan pesan singkat dan puluhan dering telepon dari pacarnya. Mereka benar-benar tidak boleh telat, karena pengamatan harus mulai sebelum jam 7 pagi. Hyunsuk rasanya hampir gila mendengar suara ponselnya yang sebentar lagi akan meledak karena suara deringan itu.

“Sayang, udah bangun belum?” Suara lembut Jihoon terdengar di seberang sana.

Hyunsuk mengusap matanya malas, “Ini udah bangun. Mau mandi.” Jawabnya sambil menguap.

Jihoon terkekeh pelan. Suara gemas pacarnya membuat kupu-kupu di dalam perutnya berterbangan. “Siap, Sayang. Aku otw ke kostmu, ya.” Hyunsuk hanya balas ucapannya dengan desahan malas. Yang lagi-lagi, membuatnya tertawa pelan.

Tidak perlu waktu lama untuk sampai di kost si gemes. Jihoon sekarang sudah sibuk merapikan tas Hyunsuk sembari menunggunya mandi.

“Mas Jihoon!!” Hyunsuk teriak dari dalam kamar mandi.

“Kenapa, Hyunsuk?”

“Tolong ambilin anduk yang digantung di deket lemari dong, Mas.” Hyunsuk cengengesan.

Jihoon tertawa, “Kalo aku ga mau gimana?”

Kepala Hyunsuk keluar dari pintu kamar mandi yang dibuka sedikit. “IH?!” Suara melengking Hyunsuk menggelegar.

Jihoon tertawa pelan, akhirnya memberikan handuk putih dengan gambar spiderman yang menggantung di dinding kamar Hyunsuk. Bisa bahaya kalau sampai Hyunsuk keluar dan ambil handuknya sendiri. Nanti dia malah jantungan.

Hyunsuk keluar dari kamar mandi dengan pakaian hangatnya. Bibirnya sedikit melengkung, “Celananya kedodoran, Mas.” Dia keluar sambil menahan celana lapang paling kecil yang Jihoon punya.

Jihoon tertawa melihatnya. Hyunsuk seperti bayi yang dibungkus kain saat pagi hari, benar-benar menggemaskan. “Ini ada talinya, bisa diiket tau.”

Jihoon membuat simpul pita pada tali celana yang Hyunsuk pakai. Pinggulnya memang sangat ramping, celana Jihoon saat SMA sekalipun kebesaran untuknya. “Udah ga kedodoran, kan?”

Hyunsuk menunjukkan deretan gigi putihnya. “Lumayan.”

Jihoon tertawa. Hyunsuk sangat amat menggemaskan, membuat sesuatu di dadanya berteriak untuk mengecup pipi tembam di depannya.

Cup

Mata Hyunsuk melebar, dia terkejut karena bibir Jihoon tiba-tiba mendarat di pipi kanannya. “Kenapa tiba-tiba nyium, sih?!!” Seru Hyunsuk kesal sambil memukul bahu Jihoon pelan. Salting.

Jihoon terkekeh sambil memeluk Hyunsuk yang wajahnya langsung merona. “Maaf, itu alam bawah sadar aku yang gerak.” Kekehan Jihoon sejujurnya agak menyebalkan, tapi Hyunsuk tidak bisa berbuat apapun saat berada di dalam pelukan Jihoon.

Suara dering ponsel Jihoon memecahkan hening. Mereka melepas pelukannya yang panjang dan nyaman itu dengan terpaksa. “Udah dicariin yang lain nih, Suk. Berangkat sekarang. yuk?”

Hyunsuk menaik-turunkan kepalanya, yang lagi-lagi membuat Jihoon kegemasan. “Aku cium lagi, ya? Kamu gemes banget.” Pinta Jihoon sambil mengatupkan rahangnya, menahan rasa manis dari dadanya.

Hyunsuk menggigit bibir bawahnya, menahan senyum. Dia mengangguk pelan, “Boleh ...,” Dia diam beberapa saat. “Di sini juga boleh.” Lanjut Hyunsuk lagi sambil menunjuk bibirnya.

Tanpa ba-bi-bu, Jihoon mendaratkan bibirnya di bibir manis Hyunsuk beberapa saat. Tanpa sadar, tangannya sudah berada di belakang leher Hyunsuk dan membiarkan lidahnya menelusuri isi mulut Hyunsuk. Mereka seakan-akan lupa dengan waktu yang terus habis setiap detiknya. Tangan Hyunsuk meremas kerah baju Jihoon lembut.

Mereka berdua terbelalak, lagi-lagi terhenti karena dering ponsel Jihoon. Mereka berdua saling bertatapan, dan tertawa karena merasa konyol.

Jarak kost Hyunsuk ke kampus cukup dekat. Mereka jadi semakin merasa konyol karena mereka orang terakhir yang sampai di titik kumpul. Jihoon hanya bisa tertawa sambil menggaruk kepala saat diledek teman sejawatnya.

Untungnya perjalanan ga jauh, masih bisa sampai tepat waktu walaupun yang nyetir kayak orang lagi dikejar deadline. Mendekati hutan raya, jalanan mulai berubah menjadi pemukiman warga dengan rumah khas adatnya. Udara juga lebih dingin dan segar. Hyunsuk berasa lagi healing dari laprak-laprak yang sebenernya belum selesai.

Jalanan mulai meliuk-liuk dan penuh dengan tanjakan curam. Jihoon menarik tangan Hyunsuk yang masih meremat ujung jaketnya. “Peluk aku. Nanti kamu jatoh.”

Hyunsuk menahan senyumnya. “Bilang dong kalo boleh meluk. Kan tau gitu aku peluk dari tadi.”

Jihoon terkekeh, “Emang atas dasar apa aku ga ngebolehin kamu meluk aku?”

“Siapa tau Mas Jihoon malu bawa pacar.”

Jihoon diam cukup lama.

“Kok diem? Mas Jihoon malu beneran, ya?” Tanya Hyunsuk sambil mengintip dari samping.

“Buat apa aku malu bawa pacar yang gemes, lucu, ganteng, pinter kayak gini?” Jihoon tertawa canggung.

Hyunsuk cemberut, “Kok Mas Jihoon kayak boong gitu.”

“Pegangan. Kita mau naik.”

Hyunsuk menghela napas panjang, merasa Jihoon benar-benar bohong. Selama perjalanan tadi Hyunsuk memang merasa kalau Jihoon sedikit kurang nyaman karena beberapa temannya melirik ke arah mereka beberapa kali. Hyunsuk sih yakin, teman-teman pacarnya yang kurang beradab itu pasti cuma iri.

Mereka akhirnya sampai di pemberhentian pertama dengan perjalanan yang sangat jauh. Begitu bagi Hyunsuk. Apa lagi dengan pikiran-pikiran buruk dan umpatan yang tertuju pada kating-katingnya.

“Selesai istirahat lima belas menitan, kita langsung ke atas ya temen-temen. Berenti di Bumper I aja, bangun tenda di situ. Area pengamatan kita ada di sampingnya soalnya.” Jelas salah satu kating Hyunsuk yang juga jadi ketua di organisasi ini.

“Oh iya, perhatiin ya waktunya, jangan ngaret-ngaret lagi. Meskipun kita santai, tapi tolong banget jangan terlena. Apa lagi sampe bucin.” Lanjutnya lagi yang membuat semua orang meledek Jihoon habis-habisan.

Hyunsuk menatapnya tajam. Ya ampun, rasanya Hyunsuk mau tonjok orang itu pas dimukanya. Kalo bukan kating, Hyunsuk udah maki-maki, sih.

“Ga usah dianggap serius, Hyunsuk. Dia emang suka bercanda.” Bisik Jihoon sambil menarik tangan Hyunsuk untuk dia genggam.

Hyunsuk makin bete dengernya, “Bercandanya ga lucu. Udah jelas-jelas aku ga kenal dia, ngapain juga bercanda-bercandain kita. Nyebelin.”

Jihoon tertawa gemas. Bibir Hyunsuk mengerucut, membuatnya seribu kali lebih gemas dari biasanya. “Yaudah, biasa aja dong. Ga usah manyun-manyun gitu. Nanti aku gemes terus cium kamu lagi gimana?”

“Emang ga boleh cium lagi gitu?” Tanya Hyunsuk makin kesal.

“Ya, ga boleh dong.”

“Kenapa ga boleh?!”

“Di hutan ga boleh macem-macem. Nanti aja di kamar aku atau di kamar kamu.” Kekehan Jihoon menjadi penutup ucapannya yang konyol.

Hyunsuk menahan tawanya, “Ga mau juga ya aku dimacem-macemin sama Mas Jihoon. Ew.”

Hyunsuk membuka pintu studio foto pelan. Dia menghela napas panjang. Ruangan dengan cahaya merah serta kertas foto yang menggantung di dindingnya menerpa netranya dengan lembut. Hyunsuk akhirnya menutup tirai yang memisahkan ruangan tengah dengan ruangan cetak foto.

Dia menyalakan lampu remang-remang yang ada di salah satu sudut ruangan. Cukup lama dia terdiam menatap meja kayu yang ada di hadapannya. Keningnya mengerut dalam. Bibirnya juga melengkung tipis ke bawah. Memikirkan hal yang amat mengganggunya beberapa waktu ini.

Ruangan ini ... ruangan ini mengingatkannya dengan memori bersama seseorang. Si sialan yang sekarang marah entah karena kesalahan Hyunsuk yang mana. Sebulan ini dia marah tanpa alasan, si sialan itu ... benar-benar sialan!

Cklek-

Pintu terbuka pelan. Park Jihoon, yang biasa Hyunsuk panggil “sialan” atau Park “sialan” Jihoon itu masuk sambil menatap ke kamera yang dia bawa. Sedetik kemudian dia tersontak kaget melihat keberadaan Hyunsuk.

Jihoon memicingkan matanya, menusuk tajam ke balik tatapan Hyunsuk yang tak kalah tajam. Dia tidak mengatakan apapun, sebagai gantinya dia melangkah tidak peduli menuju ruangan yang jauh lebih gelap.

Napas Hyunsuk menderu, dia sudah tidak kuat dengan tingkah sialan dari Park “sialan” Jihoon-nya itu. Dia bersumpah untuk menyelesaikan masalah ini sekarang.

“Park Jihoon!”

Jihoon tidak menghentikan langkahnya. Ya Tuhan, sungguh, rasanya Hyunsuk ingin menarik rambut Jihoon sampai dia menoleh ke arahnya. Hyunsuk sudah muak dengan tingkah acuh Jihoon yang datang entah karena apa.

Hyunsuk menarik tangan Jihoon kasar, merebut kamera yang ada di tangan Jihoon, dan membantingnya di meja. “Lo punya kuping ga, sih?! Apa lo juga buta ga bisa liat ada gue di sini?!”

Jihoon melepas cengkraman tangan Hyunsuk kasar. Bahkan sampai Hyunsuk meringis kesakitan. “Emangnya gue masih perlu telinga buat ngedengerin lo?! Emangnya gue juga masih perlu mata buat ngeliat lo, hah?!”

“Maksud lo apa sih, Ji?! Lo marah tanpa sebab, childish banget sumpah! Muak gue sama lo!”

“Childish lo bilang ... ?” Jihoon menghela napas panjang sambil menyisir rambutnya yang berantakan dengan sela-sela jari.

“Iyalah! Lo pikir gue bisa baca pikiran lo?! Kalo gue ada salah, lo harusnya bil—”

“GUE UDAH BILANG RATUSAN KALI!”

Hyunsuk terkesiap. Jihoon membentaknya kencang. Jantungnya berdebar semakin kencang. Dadanya terasa sesak. Bertengkar memang hal yang bisa untuk mereka, tapi Jihoon tidak pernah semarah ini.

“LO BILANG APA?! BILANG APA, JIHOON?!” Hyunsuk balas berteriak sambil memukul-mukul dada Jihoon. Air matanya sudah deras turun membasahi pipinya.

Jujur, dia sudah menggunakan seluruh pertahanannya untuk menjaga air matanya untuk tidak keluar seenaknya. Tapi sekarang pertahanannya benar-benar runtuh. Dia rindu Jihoon yang selalu tertawa bersamanya. Dia rindu Jihoon yang selalu beri ia cinta dan kehangatan setiap malam. Dia rindu Jihoon-nya.

“Gue pacar lo, Kak. Pacar lo itu gue! Gue!”

Hyunsuk terdiam, dia sudah tau arah pembicaraan ini. Sekali sialan, tetap akan terus sialan. Park “sialan” Jihoon itu, akan terus jadi sialan. “Ji? Serius lo marah cuma gara-gara—”

Cuma lo bilang? 'Cuma'?!”

“Ji?!”

“Apa pelukan sama laki-laki lain itu cuma, Kak?!” Tanya Jihoon sambil mendorong Hyunsuk pelan.

“Ji?! Seriously?! Yoshi temen gue, temen lo juga!”

“Yoshi emang temen kita, tapi lo pernah ga sih kasih gue peluk kayak gitu?! Lo pernah ga kasih perhatian ke gue kayak lo ngasih perhatian ke Doyoung?! Lo pernah ga bales semua kasih sayang gue, kayak lo bales kasih sayang yang biasa lo kasih ke Jaehyuk?! Lo pernah ga ngehargain gue sebagai pacar lo?!” Seru Jihoon sambil terus mendorong Hyunsuk sampai terpojok ke sisi yang lain.

Bahu Hyunsuk naik-turun. Tangisnya sudah tidak terbendung lagi. Menyayat hati Jihoon yang memang sesakit ini sejak lama. “Tolong jangan nangis, Kak. Lo tau bukan cuma lo yang sakit, gue juga. Gue juga sakit, Kak!”

Hyunsuk diam seribu bahasa. Tangisnya menahan semua amarahnya yang memuncak. Dia hanya bisa membiarkan Jihoon terus melontarkan semua keluh yang sebenarnya dia tau, itu semua juga salahnya.

“Gue bisa kasih semua yang lo mau. Gue bisa selalu ada buat lo, Kak. Gue bisa jadi yang terbaik buat lo. Tapi gue juga butuh lo hargain. Gue juga butuh kasih sayang dari lo, dari pacar gue. Lo bisa bilang gue punya hati dari baja. Lo bisa bilang gue ga akan pernah sedih. Tapi nyatanya gue—”

“STOP!” Hyunsuk memotong sambil membentak. “Kalo pada akhirnya kita sama-sama sakit, lebih baik kita udahan aja, Ji! Itu kan maksud lo? Gue cape sama lo! Lo selalu bilang gue salah! Lo selalu marah ga jelas karna cemburu lo yang ga jelas itu. Gue cape.” Isakan Hyunsuk semakin menjadi-jadi.

Kalimat itu akhirnya terlontarkan. Kalimat yang selalu ia buang jauh-jauh dari pikirannya. Kalimat yang tidak pernah ingin Jihoon dengar dari bibir manis Hyunsuk.

Jihoon diam sebentar. Dia mengatur napasnya yang sudah terasa berat. Suara tangis Hyunsuk menggema di langit-langit ruangan, membuat dada Jihoon semakin sesak seperti ingin meledak.

“Bulan kemarin mama sama papa berantem hebat sampe akhirnya divorce, Kak.”

Hyunsuk tercekat. Tangisnya berhenti, tapi ini seperti kejutan listrik, tubuhnya kaku seketika. “Ji—”

“Malam itu, gue cuma mau dipeluk sama lo, Kak. Gue cuma mau nangis di pelukan lo. Tapi lo justru pelukan sama orang lain. Lo tau rasanya gimana saat lo butuh pelukan pacar lo, pacar lo justru pelukan sama orang lain? Gue rasa lo ga tau.” Jihoon tersenyum miris.

Hyunsuk menggeleng cepat. Dia tidak membalas ucapan Jihoon. Lebih tepatnya, Hyunsuk tidak bisa. Dia bahkan tidak bisa bernapas karena isakannya.

“Gue kangen banget sama lo, Kak—” Suara Jihoon terdengar serak. “Gue kira, gue bisa dapet peluk lagi dari lo. Tapi justru putus yang gue dapet, ya?”

Jihoon meluruskan tangannya ke dinding, mengurung Hyunsuk dengan kedua tangannya. Hyunsuk menutup mulutnya dengan kedua tangan agar suara isakannya tidak semakin kencang. Melihat Jihoon menangis sedekat ini, bukan hal biasa untuknya. Pasti benar-benar sakit harus pura-pura baik-baik saja setiap malam. Pasti benar-benar berat untuk terus tersenyum saat hatinya teriris. Hyunsuk tidak pernah melihat Jihoon selemah ini. Hyunsuk merasa benar – benar buruk karena sudah membuat Jihoon menangis dan menjadi manusia selemah ini.

Hyunsuk seharusnya memeluk Jihoon malam itu. Seharusnya dia juga memeluk Jihoon malam ini. Namun, semuanya terasa begitu sakit untuknya dan bahkan untuk Jihoon.

Jihoon seperti hendak mengatakan sesuatu. Tapi dia justru terdiam saat mata mereka bertemu. Kedua iris yang saling bertatapan sayu. Seperti berlomba-lomba siapa yang paling sakit, siapa yang paling sedih, atau siapa yang paling tersiksa kemarin dan esok.

Jihoon juga merasa buruk karena membiarkan Hyunsuk mengucapkan sepenggal kalimat menyakitkan itu. Dia seharusnya mengatakan semua hal yang mengganggu hatinya kepada orang yang paling dia sayang. Diam tidak selamanya emas.

Tanpa berkata-kata, Jihoon balik kanan dan mengambil kameranya. Dia pergi meninggalkan Hyunsuk yang sekarang sudah menangis sejadi-jadinya. Hyunsuk tidak pernah menyangka malam ini menjadi saksi dari akhir cerita mereka. Hyunsuk tidak pernah menyangka jika sekarang tidak ada lagi peluk dari yang paling ia sayang.

•••

Hyunsuk sudah menunggu di ruang tamu kost-nya sejak Mas Jihoon bilang akan meluncur ke sana dengan cepat. Tapi satu detik menunggu rasanya benar-benar membuat dia gila. Seminggu ini dia sibuk dengan praktikum dan tugas-tugas yang sudah mengikis kewarasannya. Bahkan tidak sempat berbincang banyak hal dengan pacarnya itu.

Suara motor yang khas terdengar dari luar, Hyunsuk langsung berlari dan membuka kunci pagar dengan cepat. Dia bahkan tidak peduli dengan kuncinya yang masih tersemat di sana. Dia langsung berlari, menghampiri sosok tinggi besar yang baru saja turun dari motornya untuk dia peluk.

Mas Jihoon terkekeh pelan. Kepala Hyunsuk yang ditenggelamkan di dadanya diusap lembut. Sangat lembut sampai memunculkan semburan hangat di hati Hyunsuk.

“Kenapa, Sayang? Mau cerita?” Mas Jihoon juga mengatakannya sangat lembut. Sampai semburan hangat di hati Hyunsuk muncul berlebihan.

Tangis Hyunsuk langsung pecah seketika. Hyunsuk sebanarnya juga tidak mengerti dengan suasana hatinya sekarang. Mungkin dia hanya lelah, atau mungkin dia hanya merindukan aroma khas pacarnya. Yang dia tau, dia hanya 'tidak mood' dengan semuanya.

“A-hiks-ku ka-hiks-ngen! HUAAAA!”

Mas Jihoon justru tertawa puas. Mendengar suara pacar mungilnya yang menggemaskan, membuat perutnya menggelitik. Namun tidak lama, karena dia paham dengan penyakit ini. Dan dia sangat paham bagaimana rasanya. Orang-orang biasa menyebutnya, home sick.

“Engga, Mas! Rumah aku sehat wal afiat!” Seru Hyunsuk yang sudah mulai tenang saat mereka di kamar kost.

Jihoon tertawa sampai memeluk perutnya yang sakit, “Ini kamu ngelawak atau gimana, sih?”

Hyunsuk menghela napas panjang, “Aku beneran loh. Orang setiap malem aku telfonan sama mama, sama papa, sama Abang Jun. Aku ga home sick, Mas!”

Jihoon terkekeh pelan saat Hyunsuk selesai menjawab pertanyaannya. Dia menatap Hyunsuk lekat, “Berarti kamu kangennya sama aku?”

Hyunsuk tertawa, “Pede banget!”

“Ih, berarti ga kangen aku?” Jihoon pura-pura cemberut, hanya mendramatisasi apa yang terjadi sekarang.

Hyunsuk menunduk, “Ga tau, Mas. Rasanya cape banget. Tapi Mas Jihoon lebih cape, kan?”

Jihoon merubah ekspresinya. Dia sekarang tersenyum amat manis, berusaha membuat suasana hati Hyunsuk jadi lebih baik.

Sehabis dapat pesan singkat dari Arsen yang bikin jantungnya ga karuan, El langsung bertingkah aneh. Sebenarnya dia berusaha tenang, tapi Al bisa baca gerak-gerik kakaknya dengan jelas.

“Napa lo senyum-senyum?” Tanya Al galak.

El tidak bisa menjawab. Dia hanya bisa tersenyum semakin lebar. “Engga. Hehehe, El seneng aja, Al.”

Al menghela napas panjang. Entah apa yang bakalan si monyet Arsen itu lakuin ke kakaknya. Tapi kalau sampai El keluarin air mata setetes pun, Al janji ga akan biarin Arsen gitu aja.

“Sekarang udah jam besuk kan, Al?”

“Hm.”

“Aku ajak Arsen ke sini, ya?”

“Hm.”

El berjalan senang menuju pintu, tidak menghiraukan Al yang rasanya sudah muak setengah mati dengan Arsen.

El keluar dari kamar bernuansa putih itu. Dia berjalan setengah berlari menuju lobi untuk menghampiri Arsen.

“Arsen! Di sini!” El berseru sambil melambaikan tangan.

Arsen bisa melihat tubuh El yang mungil di tengah keramaian rumah sakit. Arsen tertawa pelan melihat El dengan baju beruang kutubnya.

“Baju lo lucu, El.”

El membulatkan matanya. Ya ampun, Mami! Baju El dibilang lucu!, “Eh, iya. Ini baju kembaran aku sama Al.”

Mereka jalan bersisian menuju kamar Al. Arsen tampak antusias mendengar ucapan El. “Wah, serius? Pasti lucu banget.”

Arsen berdeham canggung saat melihat perubahan raut wajah El. “Um, maksud gue, pasti lucu banget liat kalian pake baju kembar.”

El ber-oh panjang sambil tersenyum senang. “Al emang ga suka pake baju kembaran. Sebenernya aku juga ga begitu suka, rasanya kayak anak TK. Tapi baju ini paling nyaman, jadi aku sering pake.”

Arsen mengangguk-angguk. Tapi dia jujur soal baju El yang lucu. El selalu tampil apa adanya. Terlihat polos dan menggemaskan.

Berbeda dengan Al yang selalu punya warnanya sendiri. Arsen selalu terpikat saat melihat Al, bahkan sejak pertama kali dia melihatnya.

“Al, Ada Arsen!” Ucap El saat membuka pintu kamar cepat.

Arsen melontarkan senyum terbaiknya untuk Al. Tapi Al dengan acuh memutar bola matanya malas. Senyum Arsen berubah menjadi masam.

“Al, jangan gitu. Arsen niatnya baik, loh! Dia mau jengukin kamu juga!” Bisik El.

“Hm.”

Arsen terkekeh pelan, “Masih sakit ga, Al?”

“Menurut lo?”

“Al!” El merengut kesal.

Al mendengus kasar, “Udah gapapa. Lo ke sini kayaknya bukan mau jenguk gue. Jangan lama-lama ya di sini. Gue risih.”

Arsen lagi-lagi menghela napas pelan. Tatapannya kini beralih ke arah El yang mengusap pucuk kepala Al lembut.

“El, boleh ngomong di luar sebentar?”

El jadi lebih antusias dari sebelumnya. Dia mengangguk pelan. “Aku keluar sebentar, ya, Al.”

Mereka kembali jalan bersisian di lorong rumah sakit. Arsen tampak menimbang-nimbang ucapan yang akan dia lontarkan. Sejujurnya dia tidak tau ingin mengatakan apa kepada kembaran gebetannya.

“El,” Arsen tiba-tiba berhenti.

“Iya?”

“Ga ada salahnya gue coba buka hati ke lo, El.”

El mematung di hadapan Arsen. Dia menatap Arsen yang juga menatapnya dalam.

“Besok lo ada kelas?” Tanya Arsen karena El diam cukup lama.

“A-ada.”

“Gue jemput, boleh?”

“Bo-boleh.”

“Oke. Um, gue pulang dulu, ya?”

“I-iya. Hati-hati di jalan, Ar!”

Jantung El rasanya semakin kencang berdetak seiring punggung Arsen yang berjalan menjauhi keramaian rumah sakit.

El benar-benar jadi orang paling bahagia hari ini.