Pertempuran antara jagoan SMAN 1 dan SMAN 2 di persimpangan jalan sepi baru saja selesai. Mereka dengan gagah merasa menang, padahal dari keduanya luka-luka karena batu yang mereka ambil asal di tempat kejadian.
Kejadiannya sangat cepat, bahkan lebih cepat dari sumbu bom yang meledak. Seperti berjalan begitu saja, ada yang emosi akhirnya semua anggota ikut berkelahi.
Mulai tiba-tiba, selesainya pun tiba-tiba. Jihoon bahkan tidak sadar ada manusia mungil di lawan ributnya satu jam yang lalu.
Gerutuan Jihoon karena bensin motornya yang habis tiba-tiba, akhirnya berhenti karena melihat seseorang menangis di depan ruko yang tutup.
Jihoon menurunkan standar motornya. Dia menoleh ke segala arah, tidak ada siapa-siapa di sana—selain siswa yang menangis di depannya.
Perlahan, langit yang berwarna jingga berubah menjadi biru gelap. Jihoon menelan ludahnya susah payah. Sudah masuk waktu maghrib, jalanan juga sepi dan selalu sepi. Kenapa ada orang nangis di sini? Jihoon jadi bergidik takut. Dia ingat pesan bundanya, jangan keluar waktu maghrib karena setan lagi jalan-jalan.
Jihoon telan ludah lagi dalam-dalam. Dia jalan perlahan, menghampiri siswa yang menangis. Beberapa langkah dia terkejut karena melihat badge tetangga yang jadi musuh bebuyutan sekolahnya dari zaman nenek moyang.
Beneran hantu?! Jangan-jangan tadi ada yang mati?!
Jihoon baca doa sambil terbata-bata dalam hati. “Ya Allah, maafin Jiun, ya Allah. Jiun ga bermaksud bunuh orang, ya Allah. Ampuni dosa-dosa Jiun, ya Allah.” Gumam Jihoon yang membuat siswa di hadapannya mendongak.
Wajahnya yang kecil terlihat merah. Dia berjongkok sambil memeluk lututnya. “Bangsat!”
Jihoon berlonjak kaget, “YA ALLAH! Setannya ngatain Jiun bangsat, ya Allah!”
Orang yang masih berjongkok kembali menangis, “Gue bukan setan!”
Jihoon memicingkan matanya. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Betul. Setelah dilihat-lihat, tidak ada tanda-tanda bahwa orang di depannya itu hantu. Kakinya masih menyentuh tanah. Bahkan masih bisa ngatain Jihoon 'bangsat'. Suaranya juga terdengar normal. Yang paling pasti, mukanya yang merah itu gemes banget. Hantu ga mungkin segemes dia, kata Jihoon dalam hati.
Jihoon menghela napas kasar. Dia jadi malu karena keliatan image penakutnya di depan musuh kayak gini. “Terus kalo bukan setan, lo mau ngapain di sini maghrib-maghrib?”
“Ya, gue mau pulang!”
“Kenapa masih di sini?! Aneh lo! Rumah lo di sini emang?!”
“Rumah gue di kuburan depan! Ya, engga lah!”
“Terus ngapain lo di sini gue tanya?!”
“Apa sih?! Urusan lo gitu?!”
Jihoon menarik napas dalam-dalam. Musuh tetap musuh. Selucu apapun musuhmu, dia tetap musuh. “Gue berniat baik. Kalo lo nangis ga jelas, mau diculik wewe gombel?!”
Orang gemes itu langsung bangun, berdiri ke belakang Jihoon. “Ih, si anjing! Kenapa malah nakutin gue, sih?!”
“Ya, makanya pulang!”
Jihoon diam beberapa detik karena melihat penampakan orang gemes sedekat ini. Jihoon tidak pernah menyangka bahwa di dunia yang kejam ini akan terlahir pria sekecil, selucu, segemes, seunyu-unyu, segemoy, pokoknya lucu yang tidak bisa dideskripsikan seperti orang di hadapannya.
“Nama gue Hyunsuk.”
Oh, namanya aja gemes. “Ga nanya.”
“Oke, senang berkenalan dengan Anda, Jihoon.”
Jihoon menggigit bibirnya, Kenapa gemes banget buset. “Lucu lo!”
Hyunsuk memutar bola matanya malas. “Sekarang anterin gue pulang.”
Jihoon menahan senyumnya lagi, Aduh, gue juga ikhlas anter-jemput lo tiap hari, orang gemes. “Dih, sapa ya? Kita kenal?”
Hyunsuk merengek, “Jihoon! Lo harus tanggung jawab! Gue takut gara-gara lo!”
Jihoon akhirnya tersenyum, walaupun Hyunsuk melihatnya justru seperti senyum meledek. “L-lo juga tadi takut setan, ya! Kita impas!”
Jihoon tertawa pelan, “Yaudah, gue anterin.”
Hyunsuk langsung balik kanan, menuju tempat motor Jihoon terparkir. Sewaktu nangis tadi, dia benar-benar tidak sadar langit mulai gelap. Tapi mungkin kalau tidak ada Jihoon, dia juga akan sadar saat sudah benar-benar gelap dan ketakutan semalaman.
“Eh! Mau ngapain naik ke belakang? Bensinya abis, bantu dorong!”
Hyunsuk membulatkan matanya, “Lo nyuruh gue dorong? Gila aja kali. Ga mau!”
“Yaudah, terserah. Gue mah ya tinggal dorong motornya sedikit, terus ke pom bensin, langsung ngeng deh pulang. Kalo lo mau jalan sendiri bareng mba kunti juga gapapa.”
“Ih, Jihoon sialan lo ya! Seneng banget ya liat gue ketakutan!?”
Jihoon terkekeh, “Makanya, ayo bantu dorong, manusia kecil.”
Hyunsuk mendengus kasar. Udah disuruh dorong, dikatain kecil pula. “Kecil-kecil gue juga kuat ya dorong motor.”
Hyunsuk susah payah mendorong, sedangkan Jihoon duduk di motor menjaga keseimbangan motor besarnya itu. Sesekali dia melirik Hyunsuk yang menggerutu di belakang motornya. Aduh, gemes banget. Jihoon juga sebenernya ga tega, tapi semakin Hyunsuk protes-protes justru semakin gemes. Jihoon mau lihat kegemesan Hyunsuk lebih lama.
“Ji, gantian, dong! Pegel banget, sumpah! Lo berat banget!”
Jihoon menahan tawanya, “Dih, motor juga motor gue!”
Hyunsuk merengek setengah menangis, “Ya ampun, Ji. Gue lebih baik ribut sama sekolah lo sendirian daripada dorong ni motor. Kalo tulang-tulang gue pada berubah lo mau tanggung jawab emang?!”
“Tahan sedikit lagi dong, manusia kecil. Itu pom bensinnya udah keliatan, tuh!”
Beberapa puluh meter Hyunsuk habiskan untuk mengumpat dan mengeluh. Akhirnya dia sampai di depan pom bensin dan menyisakan peluh yang membasahi bajunya.
“Sumpah, sinting banget lo, Ji! Anaknya yanti emang sinting-sinting!” Keluh Hyunsuk sambil mengatur napasnya.
Jihoon tertawa puas, tapi tidak menanggapi keluhan Hyunsuk. “Isi full, ya, Mas.”
Jihoon melirik ke arah Hyunsuk sekarang, dia mengibas-ngibas bajunya. Rambutnya lepek karena keringat dari dahi. “Kenapa sinting?”
“Gue lebih cape dorong motor lo daripada ribut sama anak-anak lo, serius! Liat sampe basah baju gue.”
Jihoon terkekeh sambil melepas jaket abunya. “Nih, pake jaketnya.”
Hyunsuk menatap Jihoon aneh, tapi tangannya tetap menerima jaket dari Jihoon. “Buat?”
“Itu baju lo jadi transparan. Nanti tuyul makin seneng, terus ngikutin sampe rumah.”
Hyunsuk menarik jaketnya kasar, “Makasih!”
“Iya, sama-sama, manusia kecil.”
“Nyenyenye.”
Jihoon ketawa gemes, “Gue ga nyangka, ya. Manusia kecil kayak lo ikut tauran? Ga takut keinjek-injek apa lo?!”
“Jangan ngeledek lo! Gue malah selalu di barisan paling depan, gue pang lima di sana.”
Jihoon tertawa makin kencang, “Lo gue sentil aja tumbang, Suk! Gaya-gayaan!”
Jihoon mengarahkan tangannya ke dahi Hyunsuk. Lalu dia sentil kecil. “AAK! Anjing!”
Hyunsuk siap membalas Jihoon dengan pukulan mautnya—“Totalnya 250 ribu, Kak.”
Hyunsuk mendengus kesal. Dia harus sabar-sabar, kalau bertingkah mungkin bisa aja diturunin Jihoon di tengah jalan.
Jihoon naik ke atas motornya cepat, “Ayo, naik!”
Hyunsuk naik pelan-pelan. Awalnya dia enggan untuk berpegangan, tapi ternyata dia kesusahan untuk naik di jok belakang yang tinggi.
“Ga usah gengsi-gengsi, deh. Manusia kecil harus minta bantuan ke manusia yang lebih besar.”
“Bac—AAAA! JIHOON!!! JANGAN NGEBUT-NGEBUT, SETAN! GUE BELOM MAU MATI!”
Jihoon langsung melajukan motornya cepat sebelum Hyunsuk duduk dengan benar. Namun, tiba-tiba ada bus dari pertigaan. Jihoon langsung mengerem motornya sampai terdengar bunyi nyaring antara ban dan aspal.
Hyunsuk sontak memeluk Jihoon erat. “Jihoon, jangan ngebut lagi atau kita beneran mati.” Bisik Hyunsuk yang terdengar bergetar.
Jihoon jadi merasa bersalah, “So-sorry...” Dia akhirnya melanjutkan perjalanan dengan kecepatan yang normal. Suara knalpot yang halus terdengar seperti lantungan pengantar tidur untuk Hyunsuk.
Jujur, Jihoon rasanya ingin cium manusia kecil di belakangnya. Lihat! Dia terkantuk-kantuk sambil meremas seragam putih abu Jihoon pelan. Ah, Jihoon gila rasanya. Dia ingin berhenti lalu mencium Hyunsuk sekarang juga.
“Suk,”
Hyunsuk langsung tersadar, “Eh? I-iya?”
“Ngantuk?”
Hyunsuk terkekeh, “Iya, hehehe. Sorry. Semalem gue ngebut tugas portofolio. Tidur jam dua, anjir. Pusing banget—Eh, sorry. Lo ga peduli juga, kan, ya.” Hyunsuk tertawa pelan.
Jihoon tertawa pelan, “Peduli sedikit. Terus, tadi lo kenapa nangis, deh? Seriusan, gue kira setan.”
Hyunsuk menghela napas panjang sambil membenarkan posisi duduknya. “Gantungan kunci gue ilang.”
“Gantungan kunci?”
Hyunsuk mengangguk lucu. Engga, sebenarnya cuma anggukan biasa, tapi menurut Jihoon memang selucu itu. “Itu gantungan kunci dari Prancis anjir. Dibuat khusus cuma buat gue.”
Jihoon angguk-angguk sok paham. Mungkin dia nangis karena gantungan kunci itu barang berharga untuknya. Seperti pulpen sarasanya yang dia jaga baik-baik agar tidak tiba-tiba lenyap di atas meja.
“Seharusnya lo jangan bawa tas tadi.” Ucap Jihoon. Kali ini Hyunsuk tidak mendengar nada meledek sedikitpun.
“Gue buru-buru. Tadi kalian kan langsung minta ketemu di titik ribut.”
Oh iya, betul juga. Jihoon jadi merasa tidak enak hati ngeliat manusia kecil nan gemas-nya jadi sedih. “Mau ... mau cari gantungan kuncinya di tempat tadi?”
Hyunsuk menggeleng, “Ke situ. Rumah gue masuk situ.”
Jihoon membelokkan motornya. Perumahan dengan luas rumah berkilo-kilo meter terlihat. Jihoon tidak heran sih, sekolahnya si Yanto itu memang makmur-makmur, dari kepala sekolahnya sampai ke tukang somaynya.
“Itu rumah gue.” Hyunsuk menunjuk salah satu rumah yang ada kolam renang di dalamnya. Terlihat paling besar dari yang lain.
Hyunsuk turun pelan-pelan. Dia memeluk tasnya erat. “Makasih, Jihoon. Setelah ini jangan anggep kita temenan, ya. Semoga kita bisa ribut sampe lulus.”
Jihoon diam cukup lama. Jadi, maksudnya, mereka udah sampai sini aja? Jihoon ga mau. Dia mau kenal Hyunsuk lebih dari ini.
Jihoon menurunkan standar motornya. Dia mengejar Hyunsuk yang sudah berada di depan gerbang rumahnya yang besar.
Jihoon menarik Hyunsuk untuk menghadapnya. Dia menangkup pipi Hyunsuk yang dingin dan menciumnya cepat. Jihoon memejamkan matanya, dia dapat merasakan Hyunsuk yang terkejut sampai menahan napas.
Jihoon menjauhkan bibirnya dari bibir Hyunsuk yang kemerahan. “Gue, gue ga mau. Ga, ga masalah kalo kita mau ribut sampe kapanpun. Tapi ... gue mau kenal lo. Lebih dari temen.”
Hyunsuk masih diam. Dia belum protes. Saat hendak memulai bicara, Jihoon bungkam dengan bibirnya kembali.
Hyunsuk awalnya mendorong dada Jihoon. Tenaganya lemah, entah karena lelah atau sebenarnya dia juga sudah luluh dengan Jihoon. Lama kelamaan Hyunsuk memejamkan matanya, diam-diam menikmati bibir Jihoon yang melumat bibirnya lembut.
Beberapa saat kemudian, Jihoon melepas tautan mereka. Hyunsuk menunduk malu, menjauh dari kontak mata dengan Jihoon. Dia balik kanan tanpa mengatakan apapun.
Jihoon tersenyum puas. Hyunsuk memang tidak mengatakan apapun, tapi dia jelas membalas ciumannya. Kupu-kupu di dalam perutnya pasti juga berterbangan seperti kupu-kupunya.
Hyunsuk yang sebelumnya sudah masuk ke dalam gerbang, tiba-tiba keluar lagi. Dia memberikan secarik sticky notes berwarna hijau. “Nih, nomor gue.”
Jihoon menerimanya dengan kebingungan. Maksudnya, Hyunsuk tulis nomor teleponnya untuk dihubungi Jihoon? Serius, ini hal paling gemes yang pernah dia alami.
“Gue ga kasih nomor semabarangan. Jadi kalo mau ribut, langsung chat gue aja.”
Jihoon tertawa pelan. Dia menerima kertasnya sambil tersenyum gemas. Ternyata musuhmu mungkin bisa saja segemas Hyunsuk. Jihoon bersyukur bertemu hantu petang tadi.
“Gue-gue juga ga ci—” Hyunsuk tertawa pelan. “Ga ciuman sama orang semabarangan.” Hyunsuk langsung masuk ke dalam rumahnya.
Jihoon masih bisa mendengar suara sepatu Hyunsuk yang berlari masuk ke dalam rumah. Suaranya semakin kecil dan kemudian hilang. Ternyata sampai detik terakhir pun Hyunsuk tetap lucu.