Paseafict

“Halo, Mami!!”

El berseru senang saat video call-nya diangkat maminya cepat. Al yang semula merebahkan kepalanya di paha El, sekarang terduduk kaget.

“El, anjir lo ngapain vidcall mami?!” Bisik Al kesal.

“Aku tau kamu coba sembunyiin ini dari mami. Tapi aku ga mau, nanti mami khawatir.” Jawab El yang ikut berbisik.

“Adek?! Adek kenapa bisa jatuh?!”

Al mengaduh pelan. Dia menatap El yang matanya sembab dengan khawatir. Dia justru lebih khawatir sama El yang selalu merasa bersalah setiap ada kejadian di rumah ini.

“Mami, janji loh Al jangan dimarahin!” El cemberut.

“Iya, engga Mami marahin. Sini, Adik Al mana? Mami mau lihat.”

El mengarahkan kamera ponselnya ke Al yang selarang cengengesan. “Eh, Mami ... Al baik-baik aja, Mami.”

“Al, hati-hati dong, Al. Mami hampir aja jantungan tau kamu kenapa-napa. Baru beberapa minggu Mami tinggal, masa Al sudah sakit aja.”

Al menatap ke arah El yang tersenyum senang. El tetap menjaga keseimbangan tangannya yang mengarahkan kamera ponselnya ke arah Al.

Kakaknya yang beda lima menit itu memang memiliki hati yang luar biasa. Kadang dia sendiri juga heran, kenapa ada orang yang rela membiarkan dirinya sedih untuk orang lain? Kakaknya harus dilindungi dari apapun.

“Iya. Iya, Mami. Besok El mau bikinin Alan bubur. Ngerti, dong. El masih inget waktu bikin bubur bareng Mami. Iya, Mami. Iya. Selamat bobo! Dadah, Mami~!”

El tertawa pelan sambil mematikan video call-nya. Dia sadar Al menatapnya tajam beberapa detik setelahnya.

“Ke-kenapa nih? Kok serem?”

“El, tidur sini semalem aja mau, ga?”

“Tiba-tiba?!?!”

Al tiba-tiba tidur lagi di paha El dengan nyaman. “Mau ditemenin. Takut aja zombie.”

El cekikikan. “Aduh, adikku sayang~ lucu banget adikku sayang~ mau Abang El elus-elus kepalanya, ya?”

“Iya, kangen Abang El~”

El makin cekikikan karena Al yang meledek dan mengikuti nada bicaranya.

El menatap pantulan dirinya di cermin. Sempurna. Dia pakai jaket putih dipadu dengan kaus hitam polos ditambah jeans yang sedikit robek di bagian pahanya. Rambutnya dia tata serapi mungkin. Saat dirasa sudah puas menatap dirinya di cermin, dia berlari turun ke bawah.

“Halo, Dik!”

Al sudah duduk di sofa ruang tamu sambil menatap ponselnya. Dia tertawa pelan saat melihat kembarannya yang berdandan seakan-akan ini kencannya. “Yaelah, lo pake minyak nyong-nyong, ya? Nyenget banget kayak bapak-bapak jumatan.”

El cemberut, dia menatap Al tajam. Sialnya, dia memang selalu dengan pakaiannya yang luar biasa modis itu. Salah satu alasan dia jarang banget jalan sama Al karena itu, dia jadi insecure karena Al selalu keren dengan kepercayaan dirinya.

El merapikan jaketnya dan rambutnya bergantian. Tapi sekarang berbeda, dia tampil sempurna untuk Arsen.

Suara klakson mobil terdengar. El melompat senang. “Arsen udah dateng!”

Al bergidik tidak senang, melihat El yang begitu senang dengan sifat brengseknya Arsen membuatnya gerah. “Sekali aja, ya.”

El mengikat tali sepatunya cepat, “Besok-besok aku sama Arsen jalan berdua, kok!”

Al justru tertawa pelan, meledeknya. “Kalo bego juga sekali aja.” Dia berjalan lebih dulu, meningglakan El yang menatapnya kesal.

“Yang bego itu kamu!” El mengejar Al dan memukul kepalanya pelan.

“Ih, si anjing!”

“ARSEN!!!” El berlari sambil berteriak menghampiri Arsen.

Arsen balas tersenyum, tapi matanya menatap Al yang sudah membuka pintu belakang dan masuk tanpa sepatah katapun.

Al benar-benar bersumpah, ini kali pertama dan terakhirnya dia jalan bareng Arsen yang biasa dia panggil monyet dan kembarannya yang kelewat bego itu. Liat aja! El sibuk ngomong sama Arsen, tapi ga ada satu detik pun si monyet itu mengindahkan ucapan kembarannya.

“Tadi filmnya seru banget! Menurut kamu gimana, Ar?”

“He'em, iya seru.”

Sekarang mereka sedang menunggu makanan datang. Tapi Al justru bangun dari kursinya dengan kasar. Dia udah ga kuat liat kelakuan Arsen yang semena-mena sama kembarannya.

“Gue duluan, ya?”

“Iya, silakan.” Jawab El dengan senang.

“Loh? Mau kemana, Al? Sushinya belum dateng.” Arsen protes karena gebetannya pergi gitu aja.

“Ga mood makan. Buat El aja.” Jawab Al sambil berlalu pergi.

“Dadah, Al! Jangan lupa nyalain lampu depan, ya!”

El melambaikan tangannya senang. Tapi ternyata dia senang sendirian, karena Arsen menunduk sedih di sampingnya.

“Ar?”

“Ade lo susah banget sih gue dapetin.”

“Dia emang galak.”

Arsen tertawa pelan, “Lo sama dia beda banget sumpah, El. Ga tau, ya, Al tuh kayak punya warna sendiri gitu. Liat dia jalan aja kayak ... lucu banget!”

El menunduk sedih. Pasti selalu Al yang jadi bahan obrolan mereka. El ga pernah benci Al, tapi kenapa El ga bisa jadi Al yang dicintai semua orang?

El akhirnya tidak lagi banyak berbicara seperti sebelumnya. Sampai makanan datang, sampai makanan hampir habis disantap, dia setia mendengarkan seribu alasan Arsen bisa mencintai adiknya.

“Abis ini, kita mau ke mana, Ar?” Tanya El setelah Arsen diam beberapa saat.

“Pulang aja gimana?”

El mengangguk setuju, “Boleh, aku juga ada tugas.”

“Lo pulang sendiri gapapa, kan, El?”

El diam cukup lama. Dia menatap Arsen yang tidak sedikitpun menunjukkan wajah yang merasa bersalah. El akhirnya mengangguk patah-patah, “Ga-gapapa.”

Arsen tersenyum manis, seperti tidak membaca air muka El yang sedang mati-matian menahan air matanya.

Hari ini El sudah mengeluarkan semua baju barunya, aksesoris cantiknya, semua gayanya yang tidak pernah dilihat orang lain. Tapi di mata Arsen, EL tetap bukan siapa-siapa. Al selalu lebih bercahaya di sana.

Jihoon mengetuk pintu kamar Hyunsuk pelan. Tidak lama, Hyunsuk langsung membuka kenop pintu perlahan dan pintu pun terbuka. Namun, akhirnya mereka lama berdiri di depan pintu dengan Hyunsuk yang masih menunduk.

“Kita ngobrol di ruang tamu aja, Mas.”

Jihoon tercekat. Dia paham, siang tadi dia tidak bisa dimaafkan. Tapi ... dia sudah kehilangan kepercayaan Hyunsuk, ya?

“Aku ga lama kok, Suk.”

“Iya. Karna ga lama, kita di ruang tamu aja.”

Jihoon menghela napas panjang. “Oke.”

Mereka akhirnya duduk di ruang tamu. Beberapa kating dan teman kos Hyunsuk lewat. Tidak ada yang bertanya-tanya tentang keberadaan Hyunsuk dan Jihoon di sana, ekspresi keduanya sudah menjelaskan banyak hal.

“Hyunsuk, aku minta maaf.”

Hyunsuk masih menunduk. Tangannya sibuk memainkan kuku jarinya—kebiasaannya saat gelisah.

Jihoon menarik tangan Hyunsuk untuk dia genggam. “Aku minta maaf, Hyunsuk.”

Hyunsuk menarik tangannya kasar, “Kenapa minta maaf? Aku kan yang egois?”

Jihoon menggeleng pelan, “Aku yang egois, Hyunsuk. Aku minta maaf.”

Mata Hyunsuk berkaca-kaca, “Bohong! Mas Jihoon bilang, aku yang egois!”

“Suk,”

“Mas Jihoon mau bilang apa lagi?!” Tanya Hyunsuk sambil menangis. “Iya, emang iya aku yang egois. Iya, terus Mas Jihoon mau ngomong apa lagi?!”

“Hyunsuk, aku bener-bener minta maaf.”

Hyunsuk menepis tangan Jihoon yang hendak memeluknya. “Kenapa Mas Jihoon yang minta maaf? Aku kan yang egois?! Iya, kan?!”

Jihoon memeluk Hyunsuk cepat. Hyunsuk meronta-ronta sambil menangis, meminta untuk dilepas pelukannya. “Suk, tenang dulu, please. Tenang dulu.”

Jihoon mengusap kepala Hyunsuk lembut sampai yang di dalam pelukan lebih tenang.

“Hyunsuk,” Jihoon melepas pelukan mereka, berniat menangkup wajah Hyunsuk yang merah karena menangis.

Hyunsuk menggeleng cepat. Dia kembali memeluk Jihoon sambil menenggelamkan kepalanya di pundak Jihoon. “Aku takut banget bakalan kehilangan Mas Jihoon.”

Jihoon mengusap kepala Hyunsuk lembut sebelum menyenderkan dagunya di sana. “Aku juga ga sanggup kehilangan kamu, Hyunsuk.”

Semua konflik yang terjadi di hidup kita, pasti mengharuskan kita berhadapan dengan pilihan. Pilihan itu bisa aja berupa melepas pergi atau tetap menjaga ikatannya. Untuk konflik kali ini, Jihoon memilih untuk melepas pergi.

Jihoon ingin melepas pergi semua keegoisannya. Semua kesalahan dan keegoisannya di masa lalu mungkin memang tidak bisa dimaafkan. Tapi dia bisa memilih untuk lepas dari itu semua untuk esok hari yang lebih tenang.

“Mas Jihoon jangan marah lagi, ya? Aku janji ga akan gini lagi. Aku juga janji ga akan paksa Mas Jihoon buat cerita-cerita soal masa lalu Mas Jihoon yang Mas Jihoon rahasiain. Mas Jihoon jangan marah, ya?”

Jihoon mengeluh dalam hati. Rasanya benar-benar sakit mendengar Hyunsuk yang berusaha setengah mati untuk berbicara sambil menangis. Jihoon tidak menjawab, dia masih setia mengusap pucuk kepala Hyunsuk.

“Aku mau ceritain soal aku sama Mark.” Ucap Hyunsuk setelah tangisnya sudah reda.

Jihoon tercekat. Tangannya berhenti mengusap pucuk kepala Hyunsuk. Hening beberapa saat. Hyunsuk ternyata punya caranya sendiri agara Jihoon melepas pergi egoisnya.

Jika Jihoon adalah sebuah berlian yang terbelah, Hyunsuk adalah perekatnya. Mungkin memang tidak kembali sempurna, tapi tidak masalah karena Jihoon sekarang bersama Hyunsuk.

Cukup lama mereka saling diam, Jihoon akhirnya menangkup muka Hyunsuk yang menunduk. Dia menatap Hyunsuk takut-takut. Takut kesayangannya benar-benar hilang. Takut keegoisannya lagi-lagi membuatnya kehilangan rumah. Takut berlian yang sudah utuh kembali terbelah.

“Tapi mau di kamar aja.”

Sekarang mereka berakhir di kasur minimalis Hyunsuk. Sudah setengah jam AC di kamarnya menyala. Jihoon menarik Hyunsuk masuk ke dalam pelukannya yang hangat.

“Kita ceritanya gini aja, ya, Mas? Aku mau dipeluk Mas Jihoon.”

Jihoon mengangguk. Dia menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Hyunsuk, menghirup aroma kesayangannya yang dia rindukan.

“Aku sama Mark beneran ga ada apa-apa kok, Mas.”

“Iya, aku percaya.”

“Beneran ga ada apa-apa, Mas. Meskipun awalnya aku ngerasa ada kupu-kupu lain di dada aku,”

Jihoon diam. Dia mengecup leher Hyunsuk pelan.

“Mas Jihoon jangan marah.”

“Engga, Sayang. Aku dengerin sampe selesai.”

Hyunsuk diam cukup lama sebelum melanjutkan ucapannya. “Mark selalu perhatian sama aku. Awalnya aku juga ngira Mark ada perasaan sama aku. Tapi dia bilang, aku mirip adiknya yang dibawa pergi mamanya. Makanya kita sering jalan bareng belakangan ini. Kita jalan bener-bener ga ada apa-apa kok, Mas. Hati aku sepenuhnya masih punya Mas Jihoon.”

Jihoon sedikit terkejut dengan kalimat terakhir. Dia tersenyum lebar sambil memutar tubuh Hyunsuk. “Dan sekarang, tugas aku adalah jaga hati kamu yang masih utuh itu. Aku ga akan biarin ada kupu-kupu lain yang masuk.”

Jihoon menangkup kedua pipi Hyunsuk sebelum mendaratkan bibirnya. Jihoon bisa merasakan bibir Hyunsuk yang membalas ciumannya. Rasanya seperti semua energi yang tersisa untuk malam ini berkumpul pada satu titik di belah bibirnya.

Dia benar-benar merindukan Hyunsuk.

Jihoon menjauhkan wajahnya perlahan. “Hyunsuk? Kamu kenapa nangis?”

Hyunsuk menggeleng pelan, “Aku kangen Mas Jihoon. Kangen banget.”

Jihoon kembali memeluk Hyunsuk erat. Dia kecup pucuk kepala Hyunsuk lembut dan diam di sana untuk waktu yang lama.

“Sekarang, gantian aku yang cerita.”

Hyunsuk menatap Jihoon dengan mata yang berbinar lucu.

“Jangan lucu-lucu, Hyunsuk. Nanti aku ga fokus ceritanya.”

Hyunsuk terkekeh, dia langsung menenggelamkan wajahnya ke dada busung pacarnya, seperti bayi.

“Hyunsuk, aku tau ini kedengerannya kayak aku kasih banyak alasan ke kamu. Tapi aku serius ga mau inget-inget soal mantan aku. Dia ingetin aku sama banyak hal buruk di masa lalu yang bahkan sekarang masih buat aku muak sama diri sendiri.”

Hyunsuk kembali mendongak, menatap Jihoon yang matanya sudah berkaca-kaca.

“Sekarang dia masuk FK. Cita-cita aku dari kecil. Aku selalu percaya diri buat jadi dokter, karena nilai aku selalu paling bagus di sekolah, orang tua aku juga sangat mampu buat bantu aku ke sana. Tapi ternyata aku terlalu sombong sama dunia. Aku ga sehebat itu, Hyunsuk.”

Jihoon membenarkan posisi tidurnya. Dia menghela napas pelan sebelum melanjutkan kalimatnya.

“Banyak hal yang aku korbanin buat mimpi besar aku. Bahkan sampai aku kehilangan temen, kehilangan orang yang sayang sama aku, kehilangan kepercayaan. Pokoknya, aku selalu jadi orang yang egois untuk mimpi aku.”

Hyunsuk ikut menahan tangisnya saat mendengar suara Jihoon yang bergetar. Dia bangun dari tidurnya, dan memeluk Jihoon dengan posisi lebih nyaman.

“Salah satu yang akhirnya hilang adalah mantan aku. Dia satu-satunya orang aneh yang dengan anehnya terima aku yang aneh ini. Dia emang kasih aku memori indah di waktu SMA, yang kayaknya ga banyak orang bisa kasih.

“Tapi dia juga selalu ingetin aku gimana bodohnya aku, gimana sombongnya aku, gimana orang-orang ngetawain aku yang cuma pecundang saat itu. Aku bukan siapa-siapa—”

Jihoon tercekat, dia tidak bisa menahan isakannya. Hyunsuk memeluk Jihoon lebih erat sambil sesekali mengusap air matanya.

“Mas Jihoon, itu udah lalu, kok. Sekarang keadaannya udah lebih baik. Jadi, Mas Jihoon juga jauh lebih baik.”

Jihoon menggeleng pelan, “Hyunsuk, sebenernya bukan cuma itu alasannya. Alasan yang pasti karna aku selalu egois buat semua orang. Bapak aku selalu keras sama aku dari kecil. Aku ga tau apa yang kurang dari aku. Aku selalu turutin semua omongan bapak. Aku selalu berhasil dapetin yang bapak aku minta. Bahkan aku egois cuma buat dapet pengakuan bapak.”

Hyunsuk terdiam. Dia duduk, sambil sesekali mengatur posisi duduknya. Kali ini dia tidak bisa mengatakan apapun. Dia sudah tau masalah ini dari lama. Hyunsuk hanya bisa menggenggam tangan Jihoon erat.

“Aku punya ibu, aku punya adek di sana, tapi aku selalu egois! Aku selalu egois dan ga peduli sama semua yang dilakuin bapak. Aku selalu egois dengan berusaha ngelakuin yang terbaik biar aku aman! Aku egois, Hyunsuk!”

“M-mas?”

Jihoon bangun dari tidurnya, dia duduk sambil menunduk dan meremas rambutnya. “Aku, aku selalu jadi aku yang egois. Aku selalu jadi aku yang pecundang. Aku selalu jadi aku yang kayak gini, Hyunsuk!”

“Mas Jihoon!” Hyunsuk terisak karena Jihoon yang berseru setengah berteriak.

“Aku ... aku bahkan ga akan pernah bisa jadi diri aku sendiri. Aku ga tau, apa aku yang asli itu aku yang egois? Aku yang selalu sembunyi? Aku yang selalu melakukan yang terbaik biar aku aman? Aku bahkan ga tau, mana topeng aku dan mana wajah aku sebenernya.”

Jihoon melirik ke arah cermin yang memantulkan bayangannya dengan Hyunsuk. Dia mengangkat telunjuknya pelan dan menunjuk ke arah bayangannya di balik cermin. “Orang itu, pecundang.”

Hyunsuk termangu menatap Jihoon yang seperti orang hilang kesadaran. Tubuhnya kaku, tidak bisa memberi sinyal apa yang harus dia lakukan.

“Setiap aku liat bayangan aku di cermin. Kayaknya bagus kalau ada sesuatu yang ikat leher aku sampai aku kehabisan napas.”

“MAS!”

Hyunsuk menarik tangan Jihoon dan memeluknya cepat. Isakan Jihoon benar-benar berhenti begitu saja, sekarang tangisan Hyunsuk yang justru menjadi-jadi.

“Mas Jihoon, maaf aku belum bisa ngelakuin apa-apa buat Mas Jihoon. Tapi aku selalu ada buat Mas Jihoon. Aku minta maaf karena selalu ungkit-ungkit soal ini.”

Jihoon melepas pelukan mereka. Matanya yang sayu menatap Hyunsuk lembut, “Hyunsuk, kamu satu-satunya rumah yang aku punya. Kalo kamu pergi, aku bener-bener sendirian di sini. Jangan pergi, ya?”

Hyunsuk mengangguk pelan sambil menangis. Lantas dia memeluk Jihoon dan menangis bersamanya semalaman.

Pertempuran antara jagoan SMAN 1 dan SMAN 2 di persimpangan jalan sepi baru saja selesai. Mereka dengan gagah merasa menang, padahal dari keduanya luka-luka karena batu yang mereka ambil asal di tempat kejadian.

Kejadiannya sangat cepat, bahkan lebih cepat dari sumbu bom yang meledak. Seperti berjalan begitu saja, ada yang emosi akhirnya semua anggota ikut berkelahi.

Mulai tiba-tiba, selesainya pun tiba-tiba. Jihoon bahkan tidak sadar ada manusia mungil di lawan ributnya satu jam yang lalu.

Gerutuan Jihoon karena bensin motornya yang habis tiba-tiba, akhirnya berhenti karena melihat seseorang menangis di depan ruko yang tutup.

Jihoon menurunkan standar motornya. Dia menoleh ke segala arah, tidak ada siapa-siapa di sana—selain siswa yang menangis di depannya.

Perlahan, langit yang berwarna jingga berubah menjadi biru gelap. Jihoon menelan ludahnya susah payah. Sudah masuk waktu maghrib, jalanan juga sepi dan selalu sepi. Kenapa ada orang nangis di sini? Jihoon jadi bergidik takut. Dia ingat pesan bundanya, jangan keluar waktu maghrib karena setan lagi jalan-jalan.

Jihoon telan ludah lagi dalam-dalam. Dia jalan perlahan, menghampiri siswa yang menangis. Beberapa langkah dia terkejut karena melihat badge tetangga yang jadi musuh bebuyutan sekolahnya dari zaman nenek moyang.

Beneran hantu?! Jangan-jangan tadi ada yang mati?!

Jihoon baca doa sambil terbata-bata dalam hati. “Ya Allah, maafin Jiun, ya Allah. Jiun ga bermaksud bunuh orang, ya Allah. Ampuni dosa-dosa Jiun, ya Allah.” Gumam Jihoon yang membuat siswa di hadapannya mendongak.

Wajahnya yang kecil terlihat merah. Dia berjongkok sambil memeluk lututnya. “Bangsat!”

Jihoon berlonjak kaget, “YA ALLAH! Setannya ngatain Jiun bangsat, ya Allah!”

Orang yang masih berjongkok kembali menangis, “Gue bukan setan!”

Jihoon memicingkan matanya. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Betul. Setelah dilihat-lihat, tidak ada tanda-tanda bahwa orang di depannya itu hantu. Kakinya masih menyentuh tanah. Bahkan masih bisa ngatain Jihoon 'bangsat'. Suaranya juga terdengar normal. Yang paling pasti, mukanya yang merah itu gemes banget. Hantu ga mungkin segemes dia, kata Jihoon dalam hati.

Jihoon menghela napas kasar. Dia jadi malu karena keliatan image penakutnya di depan musuh kayak gini. “Terus kalo bukan setan, lo mau ngapain di sini maghrib-maghrib?”

“Ya, gue mau pulang!”

“Kenapa masih di sini?! Aneh lo! Rumah lo di sini emang?!”

“Rumah gue di kuburan depan! Ya, engga lah!”

“Terus ngapain lo di sini gue tanya?!”

“Apa sih?! Urusan lo gitu?!”

Jihoon menarik napas dalam-dalam. Musuh tetap musuh. Selucu apapun musuhmu, dia tetap musuh. “Gue berniat baik. Kalo lo nangis ga jelas, mau diculik wewe gombel?!”

Orang gemes itu langsung bangun, berdiri ke belakang Jihoon. “Ih, si anjing! Kenapa malah nakutin gue, sih?!”

“Ya, makanya pulang!”

Jihoon diam beberapa detik karena melihat penampakan orang gemes sedekat ini. Jihoon tidak pernah menyangka bahwa di dunia yang kejam ini akan terlahir pria sekecil, selucu, segemes, seunyu-unyu, segemoy, pokoknya lucu yang tidak bisa dideskripsikan seperti orang di hadapannya.

“Nama gue Hyunsuk.”

Oh, namanya aja gemes. “Ga nanya.”

“Oke, senang berkenalan dengan Anda, Jihoon.”

Jihoon menggigit bibirnya, Kenapa gemes banget buset. “Lucu lo!”

Hyunsuk memutar bola matanya malas. “Sekarang anterin gue pulang.”

Jihoon menahan senyumnya lagi, Aduh, gue juga ikhlas anter-jemput lo tiap hari, orang gemes. “Dih, sapa ya? Kita kenal?”

Hyunsuk merengek, “Jihoon! Lo harus tanggung jawab! Gue takut gara-gara lo!”

Jihoon akhirnya tersenyum, walaupun Hyunsuk melihatnya justru seperti senyum meledek. “L-lo juga tadi takut setan, ya! Kita impas!”

Jihoon tertawa pelan, “Yaudah, gue anterin.”

Hyunsuk langsung balik kanan, menuju tempat motor Jihoon terparkir. Sewaktu nangis tadi, dia benar-benar tidak sadar langit mulai gelap. Tapi mungkin kalau tidak ada Jihoon, dia juga akan sadar saat sudah benar-benar gelap dan ketakutan semalaman.

“Eh! Mau ngapain naik ke belakang? Bensinya abis, bantu dorong!”

Hyunsuk membulatkan matanya, “Lo nyuruh gue dorong? Gila aja kali. Ga mau!”

“Yaudah, terserah. Gue mah ya tinggal dorong motornya sedikit, terus ke pom bensin, langsung ngeng deh pulang. Kalo lo mau jalan sendiri bareng mba kunti juga gapapa.”

“Ih, Jihoon sialan lo ya! Seneng banget ya liat gue ketakutan!?”

Jihoon terkekeh, “Makanya, ayo bantu dorong, manusia kecil.”

Hyunsuk mendengus kasar. Udah disuruh dorong, dikatain kecil pula. “Kecil-kecil gue juga kuat ya dorong motor.”

Hyunsuk susah payah mendorong, sedangkan Jihoon duduk di motor menjaga keseimbangan motor besarnya itu. Sesekali dia melirik Hyunsuk yang menggerutu di belakang motornya. Aduh, gemes banget. Jihoon juga sebenernya ga tega, tapi semakin Hyunsuk protes-protes justru semakin gemes. Jihoon mau lihat kegemesan Hyunsuk lebih lama.

“Ji, gantian, dong! Pegel banget, sumpah! Lo berat banget!”

Jihoon menahan tawanya, “Dih, motor juga motor gue!”

Hyunsuk merengek setengah menangis, “Ya ampun, Ji. Gue lebih baik ribut sama sekolah lo sendirian daripada dorong ni motor. Kalo tulang-tulang gue pada berubah lo mau tanggung jawab emang?!”

“Tahan sedikit lagi dong, manusia kecil. Itu pom bensinnya udah keliatan, tuh!”

Beberapa puluh meter Hyunsuk habiskan untuk mengumpat dan mengeluh. Akhirnya dia sampai di depan pom bensin dan menyisakan peluh yang membasahi bajunya.

“Sumpah, sinting banget lo, Ji! Anaknya yanti emang sinting-sinting!” Keluh Hyunsuk sambil mengatur napasnya.

Jihoon tertawa puas, tapi tidak menanggapi keluhan Hyunsuk. “Isi full, ya, Mas.”

Jihoon melirik ke arah Hyunsuk sekarang, dia mengibas-ngibas bajunya. Rambutnya lepek karena keringat dari dahi. “Kenapa sinting?”

“Gue lebih cape dorong motor lo daripada ribut sama anak-anak lo, serius! Liat sampe basah baju gue.”

Jihoon terkekeh sambil melepas jaket abunya. “Nih, pake jaketnya.”

Hyunsuk menatap Jihoon aneh, tapi tangannya tetap menerima jaket dari Jihoon. “Buat?”

“Itu baju lo jadi transparan. Nanti tuyul makin seneng, terus ngikutin sampe rumah.”

Hyunsuk menarik jaketnya kasar, “Makasih!”

“Iya, sama-sama, manusia kecil.”

“Nyenyenye.”

Jihoon ketawa gemes, “Gue ga nyangka, ya. Manusia kecil kayak lo ikut tauran? Ga takut keinjek-injek apa lo?!”

“Jangan ngeledek lo! Gue malah selalu di barisan paling depan, gue pang lima di sana.”

Jihoon tertawa makin kencang, “Lo gue sentil aja tumbang, Suk! Gaya-gayaan!”

Jihoon mengarahkan tangannya ke dahi Hyunsuk. Lalu dia sentil kecil. “AAK! Anjing!”

Hyunsuk siap membalas Jihoon dengan pukulan mautnya—“Totalnya 250 ribu, Kak.”

Hyunsuk mendengus kesal. Dia harus sabar-sabar, kalau bertingkah mungkin bisa aja diturunin Jihoon di tengah jalan.

Jihoon naik ke atas motornya cepat, “Ayo, naik!”

Hyunsuk naik pelan-pelan. Awalnya dia enggan untuk berpegangan, tapi ternyata dia kesusahan untuk naik di jok belakang yang tinggi.

“Ga usah gengsi-gengsi, deh. Manusia kecil harus minta bantuan ke manusia yang lebih besar.”

“Bac—AAAA! JIHOON!!! JANGAN NGEBUT-NGEBUT, SETAN! GUE BELOM MAU MATI!”

Jihoon langsung melajukan motornya cepat sebelum Hyunsuk duduk dengan benar. Namun, tiba-tiba ada bus dari pertigaan. Jihoon langsung mengerem motornya sampai terdengar bunyi nyaring antara ban dan aspal.

Hyunsuk sontak memeluk Jihoon erat. “Jihoon, jangan ngebut lagi atau kita beneran mati.” Bisik Hyunsuk yang terdengar bergetar.

Jihoon jadi merasa bersalah, “So-sorry...” Dia akhirnya melanjutkan perjalanan dengan kecepatan yang normal. Suara knalpot yang halus terdengar seperti lantungan pengantar tidur untuk Hyunsuk.

Jujur, Jihoon rasanya ingin cium manusia kecil di belakangnya. Lihat! Dia terkantuk-kantuk sambil meremas seragam putih abu Jihoon pelan. Ah, Jihoon gila rasanya. Dia ingin berhenti lalu mencium Hyunsuk sekarang juga.

“Suk,”

Hyunsuk langsung tersadar, “Eh? I-iya?”

“Ngantuk?”

Hyunsuk terkekeh, “Iya, hehehe. Sorry. Semalem gue ngebut tugas portofolio. Tidur jam dua, anjir. Pusing banget—Eh, sorry. Lo ga peduli juga, kan, ya.” Hyunsuk tertawa pelan.

Jihoon tertawa pelan, “Peduli sedikit. Terus, tadi lo kenapa nangis, deh? Seriusan, gue kira setan.”

Hyunsuk menghela napas panjang sambil membenarkan posisi duduknya. “Gantungan kunci gue ilang.”

“Gantungan kunci?”

Hyunsuk mengangguk lucu. Engga, sebenarnya cuma anggukan biasa, tapi menurut Jihoon memang selucu itu. “Itu gantungan kunci dari Prancis anjir. Dibuat khusus cuma buat gue.”

Jihoon angguk-angguk sok paham. Mungkin dia nangis karena gantungan kunci itu barang berharga untuknya. Seperti pulpen sarasanya yang dia jaga baik-baik agar tidak tiba-tiba lenyap di atas meja.

“Seharusnya lo jangan bawa tas tadi.” Ucap Jihoon. Kali ini Hyunsuk tidak mendengar nada meledek sedikitpun.

“Gue buru-buru. Tadi kalian kan langsung minta ketemu di titik ribut.”

Oh iya, betul juga. Jihoon jadi merasa tidak enak hati ngeliat manusia kecil nan gemas-nya jadi sedih. “Mau ... mau cari gantungan kuncinya di tempat tadi?”

Hyunsuk menggeleng, “Ke situ. Rumah gue masuk situ.”

Jihoon membelokkan motornya. Perumahan dengan luas rumah berkilo-kilo meter terlihat. Jihoon tidak heran sih, sekolahnya si Yanto itu memang makmur-makmur, dari kepala sekolahnya sampai ke tukang somaynya.

“Itu rumah gue.” Hyunsuk menunjuk salah satu rumah yang ada kolam renang di dalamnya. Terlihat paling besar dari yang lain.

Hyunsuk turun pelan-pelan. Dia memeluk tasnya erat. “Makasih, Jihoon. Setelah ini jangan anggep kita temenan, ya. Semoga kita bisa ribut sampe lulus.”

Jihoon diam cukup lama. Jadi, maksudnya, mereka udah sampai sini aja? Jihoon ga mau. Dia mau kenal Hyunsuk lebih dari ini.

Jihoon menurunkan standar motornya. Dia mengejar Hyunsuk yang sudah berada di depan gerbang rumahnya yang besar.

Jihoon menarik Hyunsuk untuk menghadapnya. Dia menangkup pipi Hyunsuk yang dingin dan menciumnya cepat. Jihoon memejamkan matanya, dia dapat merasakan Hyunsuk yang terkejut sampai menahan napas.

Jihoon menjauhkan bibirnya dari bibir Hyunsuk yang kemerahan. “Gue, gue ga mau. Ga, ga masalah kalo kita mau ribut sampe kapanpun. Tapi ... gue mau kenal lo. Lebih dari temen.”

Hyunsuk masih diam. Dia belum protes. Saat hendak memulai bicara, Jihoon bungkam dengan bibirnya kembali.

Hyunsuk awalnya mendorong dada Jihoon. Tenaganya lemah, entah karena lelah atau sebenarnya dia juga sudah luluh dengan Jihoon. Lama kelamaan Hyunsuk memejamkan matanya, diam-diam menikmati bibir Jihoon yang melumat bibirnya lembut.

Beberapa saat kemudian, Jihoon melepas tautan mereka. Hyunsuk menunduk malu, menjauh dari kontak mata dengan Jihoon. Dia balik kanan tanpa mengatakan apapun.

Jihoon tersenyum puas. Hyunsuk memang tidak mengatakan apapun, tapi dia jelas membalas ciumannya. Kupu-kupu di dalam perutnya pasti juga berterbangan seperti kupu-kupunya.

Hyunsuk yang sebelumnya sudah masuk ke dalam gerbang, tiba-tiba keluar lagi. Dia memberikan secarik sticky notes berwarna hijau. “Nih, nomor gue.”

Jihoon menerimanya dengan kebingungan. Maksudnya, Hyunsuk tulis nomor teleponnya untuk dihubungi Jihoon? Serius, ini hal paling gemes yang pernah dia alami.

“Gue ga kasih nomor semabarangan. Jadi kalo mau ribut, langsung chat gue aja.”

Jihoon tertawa pelan. Dia menerima kertasnya sambil tersenyum gemas. Ternyata musuhmu mungkin bisa saja segemas Hyunsuk. Jihoon bersyukur bertemu hantu petang tadi.

“Gue-gue juga ga ci—” Hyunsuk tertawa pelan. “Ga ciuman sama orang semabarangan.” Hyunsuk langsung masuk ke dalam rumahnya.

Jihoon masih bisa mendengar suara sepatu Hyunsuk yang berlari masuk ke dalam rumah. Suaranya semakin kecil dan kemudian hilang. Ternyata sampai detik terakhir pun Hyunsuk tetap lucu.

Hyunsuk mendengus sambil tangannya dilipat di atas dada. Dia menatap pacarnya yang masih sibuk menghabiskan minumannya. Pacarnya itu tertawa puas kala menatap ponsel yang ada di atas meja bar.

“Woi, Ji!” Seru salah satu temannya sambil memberi isyarat bahwa Hyunsuk berdiri di belakangnya.

Jihoon menghela napas panjang. Dia memutar bola matanya malas, kembali mengeluarkan secarik uang berwarna biru. “Gue yakin sekarang si Ijo yang menang.”

Semua orang di depan Hyunsuk seperti tidak peduli ada yang menatapnya tajam. Hyunsuk masih setia berdiri di sana sambil sesekali berdecak sebal. Hyunsuk berseru kaget saat Jihoon berteriak heboh.

“Bener! Si Ijo menang!” Jihoon dengan senang mengambil semua uang 50 ribu sebanyak lima lembar di atas meja.

“Yaudah, sono pulang. Cowo lo udah mau nangis, tuh!”

Jihoon tertawa pelan. Dia hormat ke temannya sambil meledek, “Duluan, Bos! Besok-besok siapin duit banyak!”

“Ga ada besok-besok!” Potong Hyunsuk marah.

Jihoon menatap Hyunsuk dengan tajam. “Yang, apa sih?” Bisik Jihoon.

“Awas ya kalian ajak-ajak Jihoon taruhan balapan kuda lagi! Gue tuntut kalian!” Teriak Hyunsuk kesal. “Kalian tuh ga berguna banget sumpah! Kerjaannya bolos, judi, minum. Kalo sifatnya jelek, yaudah jelek aja, ga usah ajak-ajak orang bisa, ga, sih?!”

Jihoon menarik Hyusnuk kasar. Hyunsuk meronta-ronta, minta dilepaskan agar bisa berteriak lebih puas ke teman-teman Jihoon yang selalu mengajaknya mabuk, judi, dan segala macamnya.

“Suk, apa-apaan, sih?!”

“Kamu yang apa-apaan?! Udah aku bilang, aku ga mau ngomong sama kamu kalo kamu ikut judi-judi ga jelas itu!”

Jihoon memutar bola matanya malas, menyisir rambut dengan jemarinya karena frustrasi. “Aku cuma have fun, kamu ngerti kan? Aku cuma seneng-seneng aja! Ini bukan judi, Hyunsuk!”

“Gila kamu! Kamu kira aku bego?! Awalnya sepuluh ribu, dua puluh ribu, lima puluh ribu, lama-lama sepuluh juta gimana?!”

“Ga mungkin lah aku ikut gituan kalo sampe berjuta-juta, aku juga bisa mikir!”

Hyunsuk menatap Jihoon tajam. Matanya sudah berkaca-kaca karena terus membentak pacarnya. “Kamu sayang ga sama aku?”

Jihoon menarik napas dalam-dalam, “Iya jelas aku sayang sama kamu, dong.”

“Stop ketemu sama temen-temen kamu itu.”

Jihoon tercekat, dia tertawa tidak percaya. “Suk? Beneran?”

Hyunsuk menatap Jihoon dalam, dia tidak mengangguk ataupun menggeleng. Diam sudah menjadi jawaban paling jelas untuk Jihoon.

“Makin lama kamu makin aneh, Suk. Serius. Kamu aneh.”

“Kalo aku aneh, kamu apa?!!” Hyunsuk berteriak. Mereka masih berdiri di depan

Tepat di hari pengumumannya, Jihoon tidak punya selera makan. Dia menunggu sisa waktu di depan laptop sambil berdoa.

Semoga kata selamat yang ada di layar laptopnya nanti. Semoga hari ini adalah bayaran dari semua usahanya. Semoga semua pikiran buruknya, semoga semua rasa bencinya, semoga semua yang sudah dia korbankan, terbayar hari ini. Semoga hari ini air mata kebahagiaan yang keluar dari sudut matanya. Semoga.

Namun, sayangnya, hari itu Jihoon menangis karena gagal. Dia menangis sampai membasahi laptopnya. Dia menangis sampai matahari bergantikan bulan di atasnya.

“Mas, Mas ga makan dulu?” Tanya Jeongwoo yang khawatir sambil mengetuk pintu kamar kakaknya. Mereka hanya berdua di rumah, tapi kakaknya itu bertingkah aneh.

“Mas? Mas Jihoon ngapain, sih?” Jeongwoo membuka pintu kasar. Dia berdiri kaku saat melihat Jihoon yang masih duduk di meja belajarnya sambil menangis.

“Mas Jihoon ... Mas Jihoon kenapa?”

Jihoon menangis semakin kencang. Siapapun yang mendengarnya pasti ikut menangis.

“Mas Jihoon?”

“Mas gagal, Woo.”

Jeongwoo ikut menangis setelah mendengar suara parau kakaknya.

Bukan kata “gagal” yang membuatnya menangis, tapi hal-hal yang akan terjadi nanti malam atau esok hari yang membuat air matanya tumpah membasahi pipi. Hal buruk pasti akan menimpa kakaknya yang sudah belajar mati-matian setiap malam.

plak!

Jihoon terduduk di sofa karena tamparan bapaknya. Dia menggigit bibir bawahnya agar tidak menangis.

“Sudah Bapak bilang! Kamu ga akan bisa masuk kedokteran kalau kerjaannya pacaraaaan terus! Kamu seharusnya lebih unggul dari pacar kamu itu! Malu-maluin!”

plak!

Satu tamparan melayang lagi. Jihoon mengusap pipinya yang terasa panas.

“Bapak tuh sudah berharap banyak sama kamu, Jihoon! Tapi kenapa kamu ga pernah membanggakan, Bapak?!”

Jihoon akhirnya menangis. Dia memang tidak akan pernah membanggakan siapapun. Bahkan dirinya sendiri.

Plak! Plak! Plak!

Jihoon dipukul bertubi-tubi.

“Diam! Jangan nangis! Sudah bloon, cengeng pula! Semakin besar, kamu semakin ga berguna!”

Entah sampai pukul berapa Jihoon dipukul sampai tubuhnya biru-biru. Ibunya, adiknya, cuma bisa menangis di belakang pintu.

“Mas, Mas itu sudah sangat membanggakan Ibu. Mas jangan masukin hati ucapan bapakmu, ya.”

“Mas, gapapa kalo bapak ngancam ga mau biayain kuliahnya Mas. Ada Ibu.”

Hanya itu ucapan ibunya yang Jihoon ingat. Selebihnya seperti bayangan kelabu yang tidak bisa ia cerna.

Masuk ke jurusan yang dia mau, lolos di universitas negeri nomor satu, diterima di jurusan favorite, memang bukan segalanya. Tapi malam itu Jihoon benar-benar selesai. Dia seperti kehilangan segalanya.

Waktu-waktu hancurnya, Jihoon habiskan dengan belajar untuk mempersiapkan ujian lainnya. Pengumuman kedua dia akhirnya mendapatkan kabar baik. Itu bukan selamat untuk jurusan yang dia mau. Tapi dia jauh lebih bersyukur karena dipertemukan dengan yang terbaik untuknya.

“Selamat, Jihoon! Akhirnya setelah ribuan semangat, kamu bisa denger selamat! Aku bangga banget sama kamu!”

Jihoon bahagia. Dia benar-benar bahagia karena dia bisa membanggakan dirinya sendiri. Namun, lagi-lagi, selalu ada yang mengusik hatinya.

“Eh, Pak Dokter, keren banget dah lo.”

“Iya! Emang dasarnya pinter kan. Belajar beberapa bulan aja langsung lolos.”

“Iya, ya. Beda sama pacar lo, pede banget dari jaman masuk SMA mau jadi dokter aja. Padahal otaknya ga mampu.”

Jihoon diam. Dia berdiri beberapa langkah di belakang meja mereka. Pacarnya dan sekumpulan teman-temannya tertawa puas mendengar lelucon yang membuat mata Jihoon memicing.

“Eh, Jun, boleh dong nanti kita bikin konten perjalanan lo masuk FK di universitas paling bergengsi di Indonesia.”

Junkyu tertawa puas, “Engga lah! Gue anak FK, jangan macem-macem. Sama lo ga level!”

Semua teman-temannya tertawa puas. “Lah, itu pacar lo anak mana? Level ga sama lo?”

“Engga!” Jawab Junkyu sebelum tertawa puas.

Jihoon tertawa pelan di belakang mereka. Tangannya terlipat di depan dada. “Kayaknya tanpa gua juga kalian asik-asik aja, ya? Kalo gitu, gua duluan.”

Semua teman-temannya termasuk Junkyu diam, kaku, tidak menjawab apapun. Jihoon tertawa sinis sebelum balik kanan.

“Jihoon, maaf. Aku ... cuma bercanda.”

Jihoon tau. Jihoon juga tau, bercandaan dia dan teman-temannya memang selalu tidak lucu seperti itu. Jihoon juga tau, kemampuannya memang tidak bisa mencapai impiannya.

“Iya, aku tau.”

“Maaf,”

“Tapi bercandaan kamu ga lucu sama sekali. Kayaknya aku bukan seseorang lagi buat kamu, ya, Jun?”

Mata Junkyu sudah berkaca-kaca, “Dari lama emang aku udah ga sayang sama kamu, Ji. Dari lama emang kamu bukan siapa-siapa lagi. Kamu tau ga? Setiap kita belajar bareng, kita ga pernah bener-bener bareng. Kamu belajar sendiri, paham sendiri. Setiap aku ngadu ga paham ini, kamu selalu ngerasa seneng. Apa dari awal kamu emang cuma sayang sama nilai-nilai aku, ya, Ji?”

Jihoon menghela napas pelan, “Engga. Dulunya engga. Tapi lama kelamaan aku liat kamu sebagai saingan aku. Dan sekarang, aku tau alasan aku gagal masuk FK.”

Junkyu mengerutkan keningnya, “Apa? Apa alasannya?”

“Kamu, Jun. Kamu yang buat aku ga pernah fokus—”

“Kenapa jadi aku?!”

“Kamu yang buat aku ga pernah yakin sama kemampuan—”

“Itu karna kamu emang ga mampu, Ji! Ada kalanya manusia emang harus sadar diri! Kamu harusnya sadar diri kalo kamu ga mampu!”

Jihoon mengatur napasnya yang menderu. Dia menatap sekeliling yang diam memperhatikan pertengkarannya dengan Junkyu. Ah, ini benar-benar memalukan. Bahkan dari kejauhan dia bisa melihat teman-temannya yang tertawa, dan satu dua yang merekam.

“Kamu selalu egois, Ji! Aku rasa kamu emang nunggu waktu-waktu kayak gini buat kita putus.”

Jihoon balik kanan, mencoba untuk meninggalkan Junkyu begitu saja. Tapi Junkyu menahan tangannya, “Hari ini kita putus, ya, Ji.”

Jihoon tertawa pelan, menatap Junkyu sinis. Dia menepis tangan Junkyu kasar, “Emang itu mau aku dari dulu, Jun.”

Jihoon pergi dari sana. Lagi-lagi, semalaman dia menangis. Jihoon benar-benar bodoh. Dia hanya manusia egois yang bahkan tetap egois untuk dirinya sendiri.

Bertahun-tahun sudah berlalu, Jihoon masih lari menjauh dari hubungan seperti itu. Tapi Hyunsuk beda. Jihoon merasa dia tidak harus susah payah dengan kemampuannya yang payah untuk merasa dekat dengan Hyunsuk.

Jihoon tau, semua yang dia lakukan egois. Sangat egois. Bahkan saat dia dan Hyunsuk tidak saling sapa, itu semua karena keegoisannya.

Sekarang Jihoon duduk di depan lab gedung B sambil menunggu Hyunsuk yang sedang praktikum. Dia sepertinya tidak bisa memberi alasan apapun. Alasannya apa? Dia benci ada yang membahas mantannya karena dia akan ingat dengan keegoisannya?

Jihoon mengacak rambutnya frustrasi. Mengingat mantannya hanya membuat dia mengingat bagaimana dia gagal dan menangis setiap malam. Apa dia harus menyebutkan alasan itu?

Mahasiswa dengan jas laboratorium berhamburan keluar. Satu dua orang sibuk dengan tumpukan kertas yang banyak coretan dengan tinta merah. Jihoon akhirnya menangkap sosok mungil yang sibuk dengan kertas-kertas di tangannya.

“Eh, Ipul! Nih, lapset lu! Banyak banget merah-merahnya, mau liat caker gue, ga?”

“Ga usah, Suk. Itu merah karna gua lagi males ngerjain aja.”

“Yeu! Yang bener lo ntar ngulang aja taun depan, nangis-nangis lo!”

Jihoon berdeham pelan di depan Hyunsuk. Beberapa orang melirik Hyunsuk dan Jihoon yang sudah menjadi pasangan kampus of the year.

“Kenapa, Mas?” Tanya Hyunsuk dengan wajah datarnya. Dia menatap ke sembarang arah saat melihat Jihoon yang menatapnya lekat.

Jihoon menghela napas panjang, “Aku cuma nunggu kamu aja.”

“Ngapain nunggu? Lagi marah, kan?”

Jihoon tercekat. Betul, beberapa hari ini mereka saling diam karena memang Jihoon yang marah. Sekarang dia berdiri di sini seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Jihoon memang egois. Dia merutuki dirinya sendiri.

“Aku mau—”

“Maaf, Mas. Aku udah ada janji.”

Jihoon menoleh ke belakang, ada Mark si selebkampus yang wangi parfumenya kecium 100 meter dari tempatnya berdiri. Jihoon memicingkan matanya. Kenapa dia masih berani deketin Hyunsuk? Padahal semua orang udah tau kalo Hyunsuk punya pawang?

“Mark minta temenin cari buku. Aku duluan, ya, Mas.”

Jihoon berdiri di sana beberapa saat. Dari kejauhan dia lihat Hyunsuk yang masuk ke dalam mobil Mark yang mewah. Jihoon mengepalkan tangannya kuat. Dia benar-benar kesal, marah tidak karuan. Rasanya dia mau makan orang sekarang juga.

“Suk, pokoknya kalo kita putus, aku nangis tujuh hari tujuh malem!”

Waktu itu, satu bulan mendekati tes masuk perguruan tinggi. Seperti orang-orang pada umumnya, Jihoon belajar mati-matian untuk pencapaian yang ingin dia capai.

Setiap hari Jihoon jemput pacarnya dan pergi ke perpustakaan daerah bersama untuk belajar. Jihoon banyak marah waktu itu karena pacarnya yang lebih banyak tidur.

“Jun, jangan tidur, dong. Mumpung di sini, fokus belajarnya.”

“Biarin, ah. Orang ngantuk. Nanti kamu ajarin aku aja.”

Jihoon ketawa, “Yang ada kamu yang ajarin aku kali.”

Junkyu tidak menjawab. Dia membenarkan posisi tangan yang menjadi penyangga kepalanya di atas meja. Jihoon menatap pacarnya lekat. Pikirannya berisik akan banyak hal.

Jihoon dan Junkyu punya mimpi yang sama. Mereka mau jadi seorang dokter dengan jas putih dokternya yang keren dan stetoskop yang dilampir rapi di leher. Mimpi mereka sama, tapi kemampuan mereka berbeda.

Jihoon menghela napas panjang. Dia membenarkan posisi kacamata yang sedikit turun dari hidungnya. Dia kembali berkutat dengan buku catatannya dan buku latihan yang dia pinjam di perpus.

Pacarnya, selalu jadi orang yang genius. Selalu mempertahankan nilainya meskipun tanpa effort besar seperti yang dia lakukan tiga tahun ini. Empat bulan sebelum ujian, Junkyu baru membulatkan tekad di jurusan yang sekarang dia perjuangkan. Jihoon senang sekali mendengarnya, apa lagi membayangkan mereka diterima di jurusan yang sama, universitas yang sama. Jihoon juga tidak pernah tau, sejak kapan dia seakan-akan menganggap orang yang dia sayang menjadi saingannya.

“Masa nilai TO kamu sama pacarmu itu beda jauh. Pacarmu kemarin dapet 800, kan? Apa ga malu?”

Jihoon menghela napas kasar. “Jun, bangun, dong! Ayo, belajar!”

“Aduh, Ji. Kenapa kamu bawel banget, sih?”

Ssst!

Mereka langsung diam saat diperotes penjaga perpustakaan. Junkyu buru-buru merapikan peralatannya.

“Junkyu!” Jihoon teriak saat dia sudah di depan lobby perpustakaan. “Kamu kenapa, sih? Sebulan lagi SBM, seharusnya kamu dengerin aku! Bukannya malah ngambek gitu.”

Junkyu mengusap wajahnya kasar, “Aku ga ngambek. Aku cuma ngantuk, Ji!”

Jihoon mengerutkan keningnya, “Ngantuk kenapa? Kamu ga tidur semalem? Kamu ngapain emang?”

“Aku belajar—”

“Kenapa kamu belajarnya malem-malem?”

“Iya, aku moodnya mal—”

“Itu ga baik, Junkyu! Yang ada kamu malah sakit kalo kurang tidur!”

“Apa, sih? Kenapa, sih? Aku tuh bingung, deh. Sekarang kamu tuh selalu emosi gitu kalo aku belajarnya ga bareng kamu. Apa sih yang kamu takutin? Takut aku selingkuh sama The King yang tebelnya kayak buku pengakuan dosa?”

Jihoon tertawa pelan sambil menatap Junkyu cukup lama. Kenapa Jihoon jadi begitu sensitif tentang ini? Apa Junkyu benar-benar saingan baginya? “Engga. Aku mau ikut pulang. Tunggu, ya!”

Motor kesayangan Jihoon sudah membelah jalan raya yang padat merayap karena jam pulang kerja. Junkyu sibuk menguap di belakang Jihoon, memberi sinyal kalau dia benar-benar sengantuk itu.

“Ji, mau tidur.”

Jihoon ketawa pelan, “Yaudah, nih. Peluk aja, biar ga jatuh.”

Junkyu terkekeh, dia memeluk Jihoon cepat. Dia hampir tertidur pulas sambil memeluk kekasihnya di atas motor. Selagi Junkyu mimpi indah, Jihoon justru bertengkar di dalam pikirannya sendiri.

Jihoon rasanya sangat kesal setelah mengetahui fakta Junkyu sebenarnya belajar hingga larut malam. Kadang rasa kesalnya yang tidak mendasar itu membuat belajarnya tidak fokus. Dia benar-benar selesai jika di hari pengumuman nanti hasilnya adalah kegagalan.


Jihoon tersenyum lebar setelah membaca pesan singkat dari pacarnya. Dia cukup senang karena ada yang mengakui nilainya “cukup stabil”. Tapi senyumnya perlahan hilang.

“Yaelah, Jun. Kalo turunnya dari 800 ke 700 tetep aja stabil. Kok lo bisa pinter banget sih jadi orang?”

Jihoon menghela napas kasar. Dia menatap layar laptopnya yang mati. Beberapa menit yang lalu dia berniat untuk menyelesaikan hari ini dan beranjak tidur. Tapi dia mengurungkan niatnya, dan kembali belajar.

Jihoon berdecak sambil mengacak rambutnya kasar, nilainya yang sekarang benar-benar turun. Jihoon akhirnya kembali mengambil buku tulisnya, membuka pembahasan Try Out yang baru keluar malam ini.

Jihoon belajar seperti tidak ada hari esok. Dia belajar dengan sungguh-sungguh meskipun hatinya tidak pernah yakin. Jihoon hanya menyadari, dia tidak akan menjadi apa-apa jika gagal.

Hari-hari berlalu, masa ujian sudah berakhir. Ada hari tenang sebelum pengumuman, tapi apa Jihoon bisa tenang? Jawabannya, tidak sama sekali.


“Pacar lo ga ikut makan?” Tanya Jihoon tanpa merasa bersalah sedikitpun.

“Heh, gue ga jadi makan siang bareng pacar gue juga gara-gara lo!”

Jihoon mengangkat bahu tidak peduli. “Padahal makan bertiga juga gua ga peduli.”

“Yeu! Gue ga mau ya pacar gue tiba-tiba lo semprot karna lo bete sama Hyunsuk.” Jaehyuk menarik kursi untuk duduk.

Jihoon tidak menjawab ataupun ikut duduk di sampingnya. Dia menatap ke depan dengan tajam karena menangkap pacarnya sedang duduk berdua dengan laki-laki lain.

Jaehyuk mengikuti arah Jihoon menatap. Dia langsung bergegas bangkit, “Ji, Ji, jangan sekarang. Lagi rame!”

Jihoon tidak mengindahkan seruan Jaehyuk sedikitpun. Dia menghampiri Hyunsuk dan menarik tangan kesayangannya dengan kasar.

Hampir semua orang di kantin fakultasnya menatap mereka aneh. Ditambah dengan Hyunsuk yang berteriak membentak.

“Apa sih?! Lepasin! Lepasin, ga?!”

Jihoon tarik tangan Hyunsuk makin kasar karena Hyunsuk meronta-ronta.

“Lepasin, Mas!”

Jihoon akhirnya lepas tangan Hyunsuk. Mereka bersitatap di taman dekat kantin fakultas yang tidak ramai orang. Dada keduanya naik-turun karena menahan emosi.

“Mas Jihoon malu-maluin banget, sih?! Kenapa harus tarik-tarik kayak gitu?! Bisa kan ngomong baik-baik?!”

“Engga!”

Hyunsuk tercekat. Mata Jihoon menatap Hyunsuk tajam, membuatnya kehilangan keberanian.

“Kamu tau aku marah sama kamu kalo kamu ga izin lagi sama Mark, kan?” Tanya Jihoon yang sudah menurunkan nada bicaranya.

“Ya, aku izin ga izin itu bukan urusan Mas Jihoon kali!”

Jihoon menarik pundak Hyunsuk. Dia turunkan sedikit ke lengan atas sambil meremasnya pelan. “Kamu tau aku kesel, kan?”

Hyunsuk melepas tangan Jihoon kasar, dia balas menatap Jihoon marah. “Mas Jihoon juga tau kan aku kesel? Mark itu temen aku, Mas! Jangan lebay!”

“Bisa ga sih kamu ngertiin aku, Hyunsuk?!” Bentak Jihoon.

“Mas Jihoon juga ngertiin aku ga?!” Hyunsuk justru balas membentak.

“Kamu egois, Hyunsuk! Kamu egois!”

Hyunsuk diam sebentar. Dia menahan tangisnya agar tidak pecah saat itu juga.

“Kamu selalu egois.”

Tangis Hyunsuk akhirnya pecah. “Mas Jihoon juga egois.”

Hyunsuk pergi meninggalkan Jihoon yang ditahan Jaehyuk. Dari jauh, Jihoon bisa melihat Mark yang menghampiri Hyunsuk dan memeluknya. Jihoon tidak bisa berbuat apapun kecuali mengepalkan tangannya.

Jihoon mengetuk pintu studio yang sudah terlihat bergetar karena suara musik dari dalam. Tidak ada jawaban, Hyunsuk pasti sengaja mendengar lagu besar-besar. Agar tidak Jihoon ganggu.

Jihoon mengetuk sekali lagi. Masih tidak ada jawaban, malah musiknya yang semakin besar.

Jihoon akhirnya masuk tanpa persetujuan pemilik studio yang sedang merajuk. “Kak,”

Hyunsuk menoleh, menatap Jihoon tajam karena masuk tanpa izinnya. “Kenapa masuk? Emangnya aku udah izinin?”

Jihoon diam seketika. Hyunsuk memang sering bilang, dia tidak suka jika ada yang masuk ke studionya tanpa izin saat dia sedang berkutat dengan lagu barunya. Terlebih lagi lagu untuk projek besar mereka.

“Kak Hyunsuk kenapa, sih?” Tanya Jihoon sambil cemberut.

“Aku kenapa emangnya? Tanya kamu lah! Kamu kan yang batalin janji gitu aja?”

Jihoon akhirnya mengambil satu bangku lagi di samping Hyunsuk. Dia juga ikut menatap layar besar yang Hyunsuk tatap dengan serius. “Udah sampe mana, Kak?”

Hyunsuk langsung menoleh cepat, menatap Jihoon makin tajam. “Kamu ngapain nanya-nanya? Mau apa emang?”

“Ya ampun, salah lagi. Aku cuma nanya, Kak. Suerrr”

Hyunsuk langsung berhenti dari aktivitasnya, bangkit dari kursi, membentangkan sofa, dan menarik selimut. Dia membelakangi Jihoon yang masih terus berisik.

“Kak, maafin aku deh.”

Hyunsuk diam. Punggungnya diam, tidak berkutik sedikitpun.

“Kak Hyunsuk sayang, yang paling keren, yang paling ganteng setelah aku, yang paling lucu, yang paling manis, maafin aku dong.”

Hyunsuk masih diam.

“Maaf aku ga jadi makan ramen bareng kamu.”

Posisi Hyunsuk tidak berubah sedikitpun.

“Kan Kakak tau, aku abis nge-MC. Jarang banget aku pulang cepet, pasti ada mampirnya dulu. Belum lagi tadi aku harus ke ruang latihan, kan. Maaf, ya?”

Hyunsuk akhirnya bangun, dia mengusap air matanya sebelum menatap Jihoon. “Jihoon,”

“Kak, jangan nangis, dong.”

“Kamu udah batalin janji kamu dari kemarin-kamarin. Berkali-kali kamu batalin. Ya, oke, ada beberapa karena jadwal group kita. Tapi nyatanya kamu yang paling banyak batalin. Dan sekarang, pas kamu udah janji bener-bener, kamu malah pergi bareng temen-temen MC kamu. Aku emang bukan apa-apa buat kamu, kan, Ji?”

Jihoon menggeleng cepat, bibirnya ikut cemberut. “Engga gitu, Kak. Kamu itu segalanya buat aku. Beneran, aku berani bersumpah kamu itu segalanya. Tadi aku ga bisa nolak Sungchan banget, maafin aku.”

“Kamu nolak Sungchan ga bisa, tapi batalin janji aku bisa?! Apa yang segalanya, Ji?!”

Jihoon mengeluh dalam hati, sepertinya dia salah jawab. Dia semakin mengeluh saat Hyunsuk kembali menarik selimutnya.

“Kak Hyunsuk, sayangnya aku, jangan marah lagi, dong.”

Jihoon menarik selimut Hyunsuk pelan. Dia ikut merebahkan tubuhnya di sofa yang hanya muat satu orang itu. “Aku inget banget, ya. Waktu kamu marah itu, sampe sebulan lebih. Ih, rasanya aku udah kayak zombie. Di dorm bengong, di tempat latihan bengong, sambil makan bengong, sampe makannya masuk hidung.”

Hyunsuk diam. Tangisnya juga sudah hilang. Tapi dia tidak protes karena Jihoon memakan tempat seperti yang biasanya dia lakukan.

“Besok makan ramen mau?”

“Kemarin kamu juga bilangnya besok, Ji. Besoknya kamu tuh kapan?” Tanya Hyunsuk tanpa menoleh.

“Besok beneran. Janji. Kalo aku ingkar lagi, Kakak boleh botakin aku.”

“Au ah.”

Jihoon cemberut, masih terus mencoba membujuk partner leadernya. “Kak, maaf atuh ih. Ayo, kita ngobrol sekarang! Beneran ayo.”

Hyunsuk menepis tangan Jihoon yang ingin memeluknya. “Udah telat.”

“Ih, Kak. Masa gitu. Ayo, kita mau ngobrol apa?”

Hyunsuk menghela napas kasar. Dia bangkit dari tidurnya yang diikuti Jihoon. “Udah telat, Jihoon. Aku bukan cuma mau ngobrol sama kamu as leader! Ngerti ga sih? Udah basi.”

Jihoon tersenyum jahil, “Terus apa kalo bukan as leader?”

Hyunsuk diam, tidak menjawab. Pipinya yang kemerahan yang justru menjawab pertanyaan Jihoon. “Ga tau, ah! Park Jihoon rese banget! Nanti aku kutuk jadi maknae!”

Hyunsuk kembali tidur. Tidak menanggapi Jihoon yang sekarang justru mengganggunya.

“Ah, Jihoon! Sempit tau! Sana, ah!” Hyunsuk protes saat Jihoon sudah mulai memeluknya.

“Aduh, lucu banget pacar aku. Utututu, gemesnaaa.” Jihoon mencium leher Hyunsuk gemas.

“Jihoon! Aku kutuk beneran, ya!”

Jihoon tertawa pelan sambil bangkit. Dia sedikit mengotak-atik komputer Hyunsuk yang masih menyala. Hyunsuk sejujurnya sedikit penasaran dengan pacarnya itu. Tapi tiba-tiba lantunan musik yang sangat familiar terdengar.

Hyunsuk bangkit dari tidurnya perlahan. Dia melihat Jihoon yang tersenyum manis sambil menjulurkan tangannya. “Kamu itu segalanya, Kak. Kayak di lagu ini. You are my everything.”

Hyunsuk tidak bisa menahan senyumnya. Jihoon yang menyebalkan, memang selalu berhasil membuat kupu-kupu di dadanya berterbangan dengan caranya sendiri. Jihoon juga segalanya untuk Hyunsuk.

Jihoon menarik Hyunsuk ke dalam pelukannya, sambil memeluk pinggul ramping Hyunsuk. “Kamu segalanya, Kak.”

Hyunsuk tersenyum. Dia balas memeluk dan bersadar di pundak Jihoon yang selapang hatinya. Dia menghirup aroma tubuh kesayangannya yang benar-benar ia rindukan.

Tubuh mereka bergerak pelan mengikuti ketukan lagu. Tidak ada kata-kata yang terucap dari mulut mereka. Hanya sebuah perasaan tak kasat mata yang memenuhi langit-langit studio. Mereka hanya bisa berpelukan untuk membayar rasa rindu yang sepertinya perlahan menggerogoti hati mereka.

Padahal hanya sebulan tanpa waktu berbincang lebih lama, tapi rasanya seperti membunuh keduanya. Mereka benar-benar hanya berpelukan sampai lagu selesai diputar.

Jihoon menarik wajah Hyunsuk untuk menatapnya, “Kak, kamu segalanya. You're my everything. Tapi, ada kalanya aku ga bisa ngelakuin segalanya buat kamu. Aku bener-bener minta maaf karena selalu buat kamu kecewa, Kak. Kakak bisa marahin aku sepuasnya, gapapa.”

Hyunsuk menggeleng di dalam kedua tangan Jihoon yang sebesar kepalanya. Hyunsuk mengerucutkan bibirnya lucu. Lantas kembali memutus kontak matanya dengan Jihoon.

“Aku marah, tapi aku ga pernah kecewa sama kamu, Jihoon.”

Hyunsuk kembali menatap Jihoon sambil mengusap tangan hangat Jihoon yang masih setia mengusap pipi Hyunsuk. “Kalo aku segalanya buat kamu, aku juga bukan apa-apa tanpa kamu. Aku sayang kamu, Jihoon.”

Jihoon tersenyum lebar. Dia mengecup kening Hyunsuk cukup lama sebelum kembali memeluk Hyunsuk.

“Cuma kamu tempat aku pulang. Cuma kamu tempat aku buat nangis, Ji.” Ucap Hyunsuk dengan suara yang bergetar.

Jihoon mengusap surai Hyunsuk pelan. “Mau cerita? Sambil tiduran?”

Satu jam berlalu, mereka sudah nyaman dengan posisi mereka di sofa minimalis yang menyimpan banyak cerita itu.

Jihoon sudah nyaman dengan memeluk Hyunsuk dari belakang sambil menghirup aroma tubuh Hyunsuk dari tengkuknya. Hyunsuk juga sudah nyaman tidur dengan beralas kepala tangan berotot Jihoon sambil mengusap punggung tangan Jihoon yang melingkar di perutnya.

“Ji,”

Cukup lama mereka diam, Hyunsuk akhirnya membuka pembicaraan lagi.

“Kenapa, Kak Hyunsuk lucu pacarnya Jihoon?

Hyunsuk tertawa pelan, “Um, mungkin ga ya aku produce lagu sendiri? Sekarang belum ada kabar apa-apa lagi dari agensi. Padahal kita udah ikutin intruksinya, kan?”

“He'em. Pasti bisa, dong. Pacar aku kan keren. Itu pasti ga ada kabar lagi karena mereka pada terkejut-kejut, terheran-heran, lagu bikinan rookie satu tahun bisa sehebat idol veteran.” Jihoon mencium Hyunsuk cepat, “Duh, keren banget pacar aku.”

Hyunsuk tertawa lucu sambil menarik tangan Jihoon untuk memeluknya semakin erat. “Bener juga. Untung aku punya kamu, ya.”

“Kok untung?”

“Iya, untung dong. Untung ada kamu, ada anak-anak, ada manager-hyung. Coba kalo ga ada, udah deh, aku gila beneran.”

Kening Jihoon mengerut, “Engga, dong. Justru kita yang beruntung ada kamu, Kak. Best leader yang kita punya. Kamu harus percaya diri sama kemampuan dan karya kamu, oke? Seluruh dunia pasti suka.”

Hyunsuk mengangguk pelan. Mimpi, cinta, pencapaian, memang segalanya. Kita perlu melakukan segalanya. Tapi untuk itu semua, Hyunsuk tidak pernah sendirian, kita tidak pernah sendirian. Karena Hyunsuk segalanya untuk Jihoon.

“Jihoon,”

“Iya, aku belum bobo.”

Hyunsuk terkekeh, “Kalo besok kamu bohong lagi, aku marah sebulan, ya.”

Jihoon langsung bangun dari tidurnya. Dia menatap Hyunsuk kaget, “Iya, iya. Ga ingkarin janji lagi, engga.”

Jihoon kembali merebahkan dirinya di samping Hyunsuk. Dia bergidik ngeri membayangkan pacarnya merajuk sebulan. Dia bisa gila dalam artian gila yang sebenarnya.

“Mulai besok ga boleh ada yang ingkar janji lagi. Nanti ada hukumannya.” Ucap Jihoon lagi sambil memeluk Hyunsuk erat.

“Apa?”

“Hukumannya, cium yang ingkar janji seratus kali.”

“ITU MAH MAUNYA KAMU!”

Hyunsuk akhirnya tunggu di depan fotokopian yang asing banget. Jauh dari kampus, dan ga pernah dia lewatin selama di sana. Ponselnya tiba-tiba bunyi.

Ternyata itu Mas Jihoon. Hyunsuk buru-buru benerin suaranya, siap-siap sebelum angkat teleponnya.

“Halo, Mas?”

“Iya, Hyunsuk. Kamu di mana persisnya?”

“Anu, itu. Aku ... di fotokopian namanya Fotokopi Abadi.” Jawab Hyunsuk takut-takut.

“Abadi ... oh, kayaknya aku tau. Tunggu sebentar, ya. Ga usah dimatiin telfonnya.”

“Tapi Mas Jihoon kan mau nyetir.”

Mas Jihoon kedengeran ketawa di balik ponselnya Hyunsuk. “Gapapa, Hyunsuk. Deket kok, daripada kamu takut.”

Hyunsuk langsung diem. Aduh, apa tadi si Jamet ngomong-ngomong soal Hyunsuk takut? Dasar teman tidak berperikemanusiaan.

“Halo, Hyunsuk? Ko diem aja.”

“Ga-gapapa, Mas.” Hyunsuk langsung melotot, ada orang yang ngeliatin dia lagi. Kali ini ga bawa apa-apa, ga mungkin mau nawarin kerupuk lagi.

“M-mas, ada yang liatin aku. Ta-takut.”

“Engga, Hyunsuk. Kan kamu di depan fotokopian, rame pasti. Ga ada yang mau macem-macem.”

“Fotokopiannya tutup, Mas.” Jawab Hyunsuk yang udah mau nangis. “Aaa, bapak-bapaknya udah dekeeet, aku takut!”

“Coba kamu ke tempat yang rame.”

Hyunsuk mau cepet-cepet jalan, tapi bapak itu udah keburu samper Hyunsuk. “Mau beli apa, Dik?”

“Eng-engga, Pak. Saya lagi nunggu orang aja.” Jawab Hyunsuk gaga gugu.

Pas banget, Mas Jihoon langsung nyampe. Telfonnya ga dimatiin, jadi Mas Jihoon pasti denger paniknya Hyunsuk tadi.

“Oh, ini temennya, Dik?”

“Nggih, Pak.” Mas Jihoon jawab sopan. Hyunsuk cuma bisa naik ke atas motornya Mas Jihoon pelan-pelan. Ya ampun, dia malu banget. Rasanya mau menghilang atau berteleportasi ke kutub utara.

Mas Jihoon tiba-tiba ketawa, “Ga usah malu. Aku ga akan ngeledek kok.”

Hyunsuk cuma bisa diem. Dia mau nangis, malunya tuh sampe ke ubun-ubun rasanya.

“Kamu emang ga bisa keluar sendiri, ya?”

Hyunsuk ngangguk pelan, “Iya. Dulu aku pernah ilang di mall pas kecil. Dari situ rasanya aku takut kalo lagi di tempat asing sendirian. Apa lagi kalo ada orang yang ngeliatin aku.”

Mereka udah sampe di tempat tujuan. Hyunsuk buru-buru turun, mau samper Asahi dan ngadu kejadian tadi. Tapi tangan Hyunsuk ditahan sama Mas Jihoon. Mas Jihoon kasih tatapan yang ga bisa Hyunsuk artiin, Hyunsuk rasanya makin suka pake banget sama Mas Jihoon.

“Berarti, kamu ga boleh sendirian lagi sekarang.”

Hyunsuk ngangguk pelan sambil berusaha lepas tangannya Mas Jihoon. Dia mau kabur, teriak-teriak, pokoknya semua yang bisa dia lakuin biar jantungnya normal lagi.

Mas Jihoon tarik Hyunsuk makin deket. Mas Jihoon sekarang genggem dua tangan Hyunsuk. Jangan tanya gimana jantung Hyunsuk, udah GWS seribu kali lipat.

“Kamu gemes, Hyunsuk.”

Hyunsuk gigit bibir bawahnya. Kondisi kafe di sana lumayan rame, Hyunsuk ga boleh sampe pingsan di tempat.

“Kamu gemes, Hyunsuk. Aku boleh egois?”

Hyunsuk mengedipkan matanya lucu. “Gi-gimana, Mas?”

“Kamu gemes, boleh ga kalo gemesnya kamu cuma buat aku?”

Tunggu, Hyunsuk rasanya udah ga bisa berdiri lagi. Tulang kakinya udah berubah jadi jelly seketika.

“Kalo aku jadi pacar kamu, boleh?”

Hyunsuk diam lama sebelum angguk cepet. Mas Jihoon lepas tangan Hyunsuk, akhirnya Hyunsuk pake kesempatannya buat kabur.

“JAMET!!!” Hyunsuk lari nyamperin Asahi. Di depannya ada Mas Jaehyuk yang kaget Hyunsuk teriak-teriak.

“Nyampe juga akhirnya lu,”

Mas Jihoon duduk di sebelah Mas Jaehyuk, kalo Hyunsuk di sebelah Asahi.

Obrolan ringan akhirnya jalan gitu aja pada empat sejoli yang sedang dimabuk cinta. Beberapa kali mereka ketawa karena lawakan Mas Jihoon, atau tingkah anehnya Asahi. Tapi kayaknya di sini cuma Hyunsuk yang stress sedikit karena masih kepikiran ucapan Mas Jihoon tadi.

Hyunsuk ngelirik Mas Jihoon. Hyunsuk buru-buru buang muka pas tau ternyata Mas Jihoon lagi liatin dia juga, sambil senyum ganteng banget. Mana kuat hati Hyunsuk kalo ditatap kayak gini.

“Hyunsuk,” Mas Jihoon tiba-tiba manggil Hyunsuk yang lagi minum kopinya.

“Ke-kenapa, Mas?” Hyunsuk gugup banget, soalnya ini Hyunsuk yang dipanggil tapi Mas Jaehyuk sama Asahi yang ikut nengok.

“Jadi, mulai hari ini kita pacaran, kan?”

BOOM!!!

Bukan cuma Hyunsuk yang kaget. Dua orang yang lain juga ikut kaget, desek-desek Hyunsuk buat jawab iya.

“I-iya, Mas.”

“Iya apa, nih?” Ledek Mas Jaehyuk.

“Iya ... iya kita pacaran.” Aakk, Hyunsuk rasanya mau ke tengah hutan dan teriak sepuasnya di sana.

Mas Jihoon cuma ketawa ganteng sambil usap kepala Hyunsuk pelan.

Mas Jaehyuk langsung heboh sekebon. “Mas, Mas! Ada diskon buat orang yang baru jadian, ga? Nih ada yang abis nembak, nih, Mas!”

Mas Jihoon ketawa ganteng lagi. Matanya masih ga bisa lepas dari Hyunsuk yang sekarang mukanya udah merah kayak kepiting rebus.

Jihoon bawa motornya sampai ke parkiran gedung B yang ga jauh dari lab Kimia. Jihoon celingak-celinguk cari Hyunsuk. Beberapa kali Jihoon disapa, dia kenal banyak anak-anak FMIPA apa lagi yang seangkatan sama dia.

“Nyari siapa, Ji?”

“Engga, ada janjian sama orang—Eh, itu udah ada, kok!”

Jihoon langsung lari kecil nyamperin Asahi sama Hyunsuk yang ada di salah satu gazebo taman. Hyunsuk keliatan duduk sambil nutupin mukanya, Asahi keliatan marah-marah dengan mukanya yang datar. Tapi muka Asahi langsung berubah kaget karena liat Jihoon di depan mereka.

“Suk, seriusan ini mah gue ga boong ada Mas Jihoon.”

Hyunsuk geleng-geleng, “Gue ga mau ketemu Mas Jihoon sekarang, Met!”

“Kenapa, sih? Ini lo nangis kenapa, sih? Beneran ada loh orangnya.”

Jihoon hampir aja ketawa karena liat Hyunsuk yang gemes banget geleng-geleng sambil nangis. “Ga mau. Gue tau ya lo tuh badut tukang boong, dari tadi lo bilang ada Mas Jihoon terus orang gue bilang ga jadi!”

“Dih! Ada beneran orangnya!”

“GUE UDAH GA PERCAYA LAGI SAMA LO, MET!” Teriak Hyunsuk.

Jihoon menggigit pipi dalamnya menahan tawa. Dia meletakkan telunjuk di bibirnya, memberi isyarat agar Asahi diam.

“Yaudah, biarin Mas Jihoonnya balik lagi. Ga jadi pacaran deh!” Ledek Asahi.

“Biarin! Gue ga mau ketemu Mas Jihoon sekarang!”

“Kenapa?” Tanya Jihoon.

“Orang lagi nangis ini! Ga mau!” Jawab Hyunsuk yang masih tutup wajahnya dan belum sadar ada Jihoon di depannya.

“Emangnya kalo nangis kenapa?” Tanya Jihoon lagi.

“Jelek lah, Met! Lo ga liat kalo gue nangis idungnya merah kayak babi?! Lo ga liat kalo gue nangis mata gu—” Hyunsuk diam. Dia udah buka wajahnya dan sekarang bisa liat dengan jelas Jihoon yang ketawa pelan.

Ganteng banget, gitu kata mukanya Hyunsuk. Tapi dia langsung tersadarkan diri dengan apa yang barusan dia omongin. Belum lagi mukanya yang super duper aneh waktu nangis. Apa dia harus pilih skenario paling terakhir buat hadepin masalah kayak gini? Maksudnya, berpura-pura jadi mahasiswa gila dengan teriak-teriak sambil lari-larian di gedung karena baru aja keluar dari lab kimia? Atau, pura-pura pingsan biar Hyunsuk seengganya bisa kabur dari sini sebentar aja?

“Kamu nangis kenapa, Hyunsuk?” Tanya Jihoon sambil menunduk sedikit, menumpukan kedua tangannya pada lutut.

Hyunsuk keliatan kasih isyarat ke Asahi. Entah marah, entah kesel, atau minta bantuan, Jihoon ga tau. Yang Jihoon tau, Hyunsuk bener-bener gemes.

Jihoon nunduk sedikit lagi. Jarak wajahnya sama wajah Hyunsuk semakin dekat. “Ada apa? Coba cerita aja, aku bakalan bantu.”

Hyunsuk nunduk. Ga jawab pertanyaan Jihoon cukup lama. Jihoon noleh ke Asahi yang juga menggeleng cepat, “Saya ga tau, Mas. Hyunsuk dari tadi cuma nyenyenye nyenyenye gitu.”

Jihoon ketawa pelan, dia jadi ngebayangin Hyunsuk yang nyenyenye nyenyenye gemes gitu. “Gimana, Hyunsuk? Ada yang bisa aku bantu?”

Hyunsuk masih sedikit sesegukan, “Engga papa kok, Mas. Aku cuma kesel. Kristal trimiristinnya ga jadi karena aku yang tugasnya perlakuan rekristalisasi. Padahal kita ngerjainnya bareng-bareng, kalo ada langkah yang salah kan berarti dari awal. Tapi temen kelompok aku malah nyalahin aku. Aku jadinya harus bikin kristalnya ulang, belum lagi nungguin trimiristinnya jadi. Aku kesel, kenapa mereka egois banget!”

Asahi ber-ohh panjang. Akhirnya dia bisa menerjemahkan arti nyenyenye nyenyenye Hyunsuk tadi.

Jihoon ngangguk pelan, “Terus gimana sekarang? Udah selesai?”

Hyunsuk geleng, “Trimiristin paling cepet sehari kan, Mas, jadinya. Jadi besok aku baru cek lagi buat volume akhirnya gitu-gitu.”

Jihoon duduk di samping Hyunsuk akhirnya, memperhatikan wajah Hyunsuk yang cemberut lebih seksama. “Terus, itu kamu yang bakalan cek besok?”

Hyunsuk mendongak, menatap Jihoon yang lebih tinggi darinya. “He'em, mereka bilang ini tanggung jawab aku.”

Kening Jihoon mengerut, “Loh? Engga, dong, itu tanggung jawab kelompok kamu. Hasil akhirnyakan mereka juga yang pake, datanya juga mereka yang pake. Aspraknya siapa? Sini aku coba ngomong.”

Hyunsuk menunduk lagi, “Masalahnya, Mas, aspraknya tuh Mba Irene ... aku mau ngadu juga ga berani.”

Jihoon ngeluh dalam hati, ya kalo Mba Irene, dia juga ga berani, maaf ya suk.

Jihoon cuma bisa ketawa. Dia usap mata Hyunsuk yang penuh sama air matanya. “Yaudah, gapapa, Hyunsuk. Akhirnya kamu yang dapet ilmunya lebih banyak, pas responsi nanti pasti paling bisa, deh!”

Jihoon tersenyum lebar, menatap mata bulat Hyunsuk yang juga menatapnya dalam. Hyunsuk ga balas senyumnya Jihoon, dia hanya natap Jihoon dengan tatapan ga percaya.

“Aduh, maaf mengganggu, Mas. Kayaknya saya lebih baik pergi ya, selamat pacaran.” Potong Asahi yang merasa jadi nyamuk.

Abis Hyunsuk tenang sedikit, Jihoon narik Hyunsuk buat naik ke motornya. Hyunsuk masih canggung mungkin, dia diem aja di belakang Jihoon tanpa ngomong sedikitpun.

“Gimana jadi maba, Hyunsuk?” Tanya Jihoon yang akhirnya buka suara.

“Luar biasa, Mas!” Hyunsuk jawab dengan kekehannya yang super gemes itu. Jihoon lirik Hyunsuk dari spion motornya. Ya ampun, gemes banget sampe bikin Jihoon senyum-senyum sendiri.

“Kesusahan ga sama lapraknya?” Tanya Jihoon lagi.

“Ih, kesusahan bangeeet!”

“Apa emang yang bikin susah?”

“Sebenernya pas ngerjain aku ga kesusahan, Mas. Tapi aku bingung kok revisiannya banyak banget!”

Jihoon ketawa, “Itu kamu yang kurang teliti kali.”

Hyunsuk cemberut. Jihoon ngelirik lagi dari spion. Ya ampun, Jihoon rasanya mau acak-acak dunia karena Hyunsuk gemes banget.

“Ish, semua orang ngomong gitu.”

Jihoon ketawa lagi, “Engga, Hyunsuk. Kita emang ga bisa menuhin semua ekspektasi kita. Namanya juga masih semester pertama, wajar kalo kamu masih kagok.”

Hyunsuk tersenyum lebar. Kayaknya semangat dia di pertengahan semester menuju UTS penuh lagi. “Mas Jihoon dulu juga pernah kesusahan ngelaprak?”

“Waduh, jangan ditanya. Sekarang juga masih kesusahan, kok. Aku udah ngerasa mati-matian, eh ternyata hasilnya nol.”

Hyunsuk ikut lirik Jihoon juga lewat kaca spion. “Tapi, Mas Jihoon pinter tuh!”

Jihoon ketawa puas, “Aku ga bisa pinter kalo bukan karena belajar. Aku ga bisa bikin laprak yang rapi kalo bukan karena direvisi berkali-kali.”

Motor Jihoon udah terparkir tepat setelah omongan Jihoon selesai. Hyunsuk turun dengan senang hati. Jihoon juga ikut turun dengan hati yang sama senangnya. Akhirnya bisa liat muka gemesnya Hyunsuk secara real ga dari bayangan kaca spion, begitu kata Jihoon.

Tapi sayangnya, setelah masuk toko yang ga begitu besar tapi menampung orang hampir setengah kota, suasana hati mereka langsung berubah. Jihoon ngelirik Hyunsuk yang menatap sekitar. Mukanya keliatan ga nyaman banget.

Jihoon menunduk sendikit, “Mau pindah tempat?” Dia tanya pas di samping telinga Hyunsuk.

Hyunsuk mendongak, menatap Jihoon lama sebelum berjinjit dan ikut berbisik di samping telinga Jihoon, “Mas Jihoon, mau? Aku ga suka tempat rame.”

Jihoon natap Hyunsuk agak lama. Dia mau menetralisir rasa gemes sebelum narik Hyunsuk ke depan motornya lagi. “Jadi, kamu mau di mana?”

Hyunsuk menggeleng pelan, “Aku kan belum apal tempat nongkrong di sini. Terserah Mas Jihoon aja!”

Jihoon berpikir sebentar, “Hm, kamu mau makanan berat atau makanan ringan?”

“Ringan! Aku udah kenyang ngeliatin biji pala.” Hyunsuk pasang muka sok mual.

“Oke, yang sepi, ya ... mau yang romantis atau biasa aja?” Tanya Jihoon lagi sambil pasang muka yang ngeledek.

Pipi Hyunsuk langsung merah. Sebenernya, buat Jihoon, berduaan sama Hyunsuk udah romantis. Dia ga perlu lagi hal menye-menye lain.

Hyunsuk pukul tangan Jihoon pelan, yang dipukul cuma bisa ketawa seakan-akan dikasih pukulan yang penuh sama lope-lope di udara. “Mas Jihoon, ih! Jangan bercanda! Nanti aku baper, loh!”

Jihoon usap tangannya yang abis dipukul Hyunsuk. Rasanya perut Jihoon penuh sama kupu-kupu sekarang. “Ayo, naik! Aku udah tau tempatnya.”

Hyunsuk akhirnya naik motor Jihoon lagi. Sebenernya Jihoon ga suka ngeboncengin gini, dia jadi ga bisa ngobrol sama Hyunsuk sambil tatap matanya.

“Mas Jihoon,”

“Eh, iya, Hyunsuk?”

Mereka udah di jalan raya. Langit yang sebelumnya kuning kemerahan, sekarang berubah menjadi biru dan perlahan gelap. Lampu-lampu di pinggir kota menyala satu persatu. Hyunsuk mengeratkan genggaman tangannya di jaket Jihoon.

“Kenapa, Hyunsuk?”

“Aku mau nanya boleh ga, Mas?”

Jihoon ketawa pelan, “Boleh, dong.”

“Um, Mas Jihoon pernah nangis ga waktu jadi maba?”

“Sering.”

Hyunsuk ber-ohh panjang. “Seberapa sering? Tiap malem? Tiap ada tugas?”

Jihoon ketawa lagi, “Ga setiap malem juga, sih. Sering aja, apa lagi jauh kan dari orang tua.”

Hyunsuk mengangguk setuju.

“Kamu seberapa sering?”

Hyunsuk nyengir, Jihoon bisa liat Hyunsuk dengan gigi putih rapinya yang manis itu dari kaca spion. “Tiap malem. Bahkan tuh ya, kalo mendekati deadline tugas aku biasanya nangis sambil nugas.”

“Kok bisa? Apa tugasnya emang susah banget?”

“Engga juga ... aku cuma ngerasa sendirian aja.” Cicit Hyunsuk.

Jihoon tarik tangan Hyunsuk buat meluk dia. Dia bisa ngerasa Hyunsuk yang kaget di belakangnya, tapi Jihoon tetep tahan tangan Hyunsuk buat peluk dia. “Sekarang kamu ga sendirian. Cerita aja ke aku.”

“Aku ngerasa ga punya temen. Aku ngerasa prodi ini ga cocok deh sama aku. Soalnya aku ga ngerti kenapa cuma aku yang ga punya temen. Ya, ujung-ujungnya sama si jamet lagi. Aku tau mereka ambis-ambis, tapi aku bahkan ga pengen loh jatuhin nilai mereka.” Hyunsuk cerita sampai suaranya terdengar bergetar.

Jihoon usap tangan Hyunsuk pelan. “Temenan kan ga cuma buat saling carry tugas, Hyunsuk. Nanti mereka pasti bakalan temenin kamu juga, kok.”

Hyunsuk ambil satu tangannya, dia pake buat usap air matanya. Ga lama, dia taro lagi buat peluk perut Jihoon. “Untung aku punya si jamet, ya, Mas.”

Jihoon ketawa pelan, motornya belok di tikungan. “Sekarang kamu juga punya aku, kok.”

Motor mereka udah berenti. Hyunsuk turun dari motor pelan-pelan, siap buat lepas helmnya. Tapi tangannya ditahan Jihoon, “Biar aku yang bukain.”

Hyunsuk diam. Dia cuma bisa natap Jihoon penuh kagum. Jihoon yang bisa ngerasain tatapan itu dari Hyunsuk cuma bisa tersenyum tipis.

“Hyunsuk, kalo kamu mau nangis, jangan sendirian, ya?”

Kepala Hyunsuk udah bebas dari helm, sekarang dia natap Jihoon dalam. Sedikit nahan nangis, Jihoon jadi ketawa liatnya.

“Aku ga mau kamu nangis sendirian. Aku ga mau juga kamu nangis carinya orang lain. Kalo mau nangis, aku temenin, oke?”