Lensa Terbungkus Rindu
“Tuh kan hujan, ngga bawa payung sih.” Ucap Seokjin. Temanku yang paling cerewet.
“Ya, ngga apa-apa, sambil nunggu hujan reda, kan bisa ngopi ganteng, hehe.” Ucapku sambil mengaduk-aduk minumanku dengan sedotan.
Pandanganku lari kearah jendela. Terlihat orang-orang mulai berlarian mencari tempat teduh. Payung warna-warni mulai berseliweran lalu lalang dihadapanku.
“Ngopi ganteng?” Seokjin mengucapnya tiba-tiba, membuat pandanganku beralih padanya.
“Ngopi itu ya, minum kopi bukan beli Ice Chocolate.” Sindirnya.
“Hidupku sudah pahit, Jin, jadi aku harus minum yang manis-manis, haha.” Ucapku sambil tertawa renyah.
“Hm, ngeles mulu. Eh, lihat kameramu dong, mau lihat hasil hunting foto kita, hehe.”
Aku membuka tasku dan mengeluarkan kamera, “Hasil hunting foto kita? Foto aku mungkin maksudnya.” Kali ini aku balas menyindirnya.
“Ya maksudnya aku nemenin sekaligus jadi modelnya, hehe..” Dia menyalakan kameraku dan mulai melihat-lihat hasil fotoku. “Wah … hasil fotonya bagus banget, gila keren banget ini modelnya.”
Aku penasaran, aku ingin melihat apa yang Seokjin lihat.
“Hm, itu karena yang fotonya tahu angle yang bagus, bukan soal modelnya.” Ucapku dingin sambil menyeruput Ice Chocolate-ku.
“Baiklah, Bapak Fotograper. Eh, besok jadi kan datang ke pameran seni kampus tetangga?”
“Kalau udah bangun, ya.”
“Ya, ampun, aku bangunin. Pokoknya mesti datang dan bawa kamera, ya, fotoin aku yang banyak. Lagipula Hari Minggu daripada ngga ada kerjaan, mari kita apresiasi seni, kawanku.” Ucapnya dengan senyuman yang nyaris membuat matanya terlihat segaris.
“Makna dibalik apresiasi seni itu adalah cari gebetan, kan?”
“Itu namanya bonus, Tae.” Ucapnya diselingi tawa.
Minggu pagi adalah hari paling nyaman untuk tidur seharian, tetapi Seokjin mengganggu jadwal tidurku itu. Pukul 7.00 pagi dia sudah menelpon dan berteriak kencang di ujung sana demi membangunkanku.
“Taehyung, jangan lupa ya, jam 10.00 sudah ada di venue, ya, sayangku.” Ucap dia ditelpon.
“Iya..” Jawabku singkat dan masih sangat mengantuk.
“Satu jam lagi aku telpon lagi, memastikan kamu ngga tidak tidur lagi, ya, sayang.”
“Hm..”
“Pendek banget sih, jawabnya.” Nada Seokjin berubah sedikit ngambek.
“Iya, aku mau mandi nih biar nggak ngantuk, lagipula masih 4 jam lagi, antusias amat.”
“Tae, prepare well. Ingat, kata guru Bahasa Inggris kita waktu SMA, everything is a must to prepare well. Belum diperjalanan kan lumayan lama.”
“Iya, sayangku. Aku mengerti, dah...” Aku langsung tutup telponnya.
Hilang sudah masa tidur nyenyakku ini. Ya, selesaikan ini semua, lalu cepat pulang dan tidur kembali.
Pukul 9.50 aku sudah sampai di acara pameran seni itu. Suasana sudah mulai ramai. Beberapa karya seni terpasang sudah mulai berjejer dan didatangi banyak orang. Tanganku mulai refleks merogoh tas dan mengambil kamera. Ku mulai cekrek sana sini dan memandangi karya seni buatan mahasiswa di pameran itu. Pantas Seokjin ngotot banget ingin ke acara ini, rata-rata pengisi booth-nya adalah tipe Seokjin banget. Cowok rambut gondrong, kaos oblong, celana jeans robek, dan wangi maskulin yang khas.
Tiba-tiba handphone-ku bergetar, Seokjin memanggil.
“Dimana?”
“Di venue.”
“Ih … kan tempatnya luas.”
“Cari aja, kalau kita jodoh pasti ketemu.” Telponnya langsung ku tutup. Aku tertawa, rasanya senang mengerjai sahabat kentalku itu. Suruh siapa dia telat, dia yang antusias, dia yang telat. Dumelku.
Aku berjalan melihat-lihat yang lain. Hingga mataku tertuju pada sebuah bola raksasa seperti bola permainan sepak takraw terbuat dari rotan dan sangat besar. Aku harus mendapat posisi yang bagus dalam membidiknya.
Lalu, aku bergerak menuju ketempat lebih tinggi. Ada sebuah tangga diantara satu gedung ke gedung lainnya. Aku rasa tempat itu pas untuk bisa mengambil foto agar seluruh bola raksasa itu bisa dapat aku bidik dengan sempurna. Sampailah aku disana dan aku mulai mengeker lensa kameraku. Nice shoot. Aku jepret lagi, kemudian aku lihat hasilnya. Great.
Suasana sudah mulai ramai sekali dan rerata berkerumun dekat bola raksasa itu. Lalu, aku memiliki ide untuk fokus foto ku pada bola raksasa itu dan kerumunan itu akan ku buat titik-titik blur. Ya, ide bagus. Tapi, tanganku yang sedari tadi mengeker lensa kamera, kemudian terhenti pada satu titik.
Ada seseorang yang tepat sekali melihat ke arah lensa kameraku. Seseorang yang membuatku tertegun. Dia menatap lensa kameraku, jelas sekali dia mengetahui arah lensa itu. Yang semula akan ku buat titik blur dan hanya fokus pada bola raksasa itu, kini terbalik. Refleks tanganku mengeker fokus padanya. Pada dia yang tepat tersenyum pada kameraku. Dia yang sangat ku kenal dulu.
Dia. Ya, dia yang sangat ku kenal dulu.
September, 2019.
Hujan mulai turun dan membasahi kaca-kaca restoran cepat saji. Aku sudah menunggu lebih dari 2 jam ditempat ini. Sudah habis 1 paket ayam dan nasi serta 3 gelas soda. Antara lapar atau saking kesalnya menunggu. Aku mulai menggerakkan jari-jari jemariku pada keyboard laptopku. Sekedar mencari bahan untuk mengisi tugas kuliah. Tapi itu hanya kamuflase, jari ini malah secara refleks men-download film. Ajaib.
Dari arah pintu restoran, seseorang dengan jaket yang lepek dan basah menghampiriku dengan nafas tersengal-sengal.
“Sorry, Tae, aku kejebak hujan dan ga bawa jas hujan.” Ucapnya.
“It's ok, aku nunggunya sambil download film jadi ngga kerasa nunggunya, haha.” Tawa palsu. Padahal sebenarnya aku kesal setengah mati, tetapi entah mengapa aku mengucapkan kalimat berbohong seperti itu.
“Aku beli makan dulu, ya.” Dia beranjak setelah menaruh tas dan jaketnya yang basah.
Aku menatap punggungnya yang sekarang telah berada didepan kasir untuk memesan makanan.
Dia sahabat lelakiku yang absurd dan entah mengapa rasanya terlalu nyaman jika disebut sahabat.
“Ah ...” Aku menggeleng kepalaku, berusaha menghamburkan pikiran gila itu yang terkadang datang tiba-tiba.
Dia pun kembali sambil membawa nampan yang berisi paket kentang dan satu gelas besar soda.
“Wih, lagi hujan minum es.”
“Biar pilek, jadi ada alasan buat bolos kuliah, haha.”
“Bolos. bolos aja ga usah nunggu pilek dulu, haha.”
Kami tertawa bersama, entah mengapa aku senang melihat tawanya itu. Meskipun tak lucu tetapi aku pun ikut tertawa.
“Bawa kameranya ngga?” Ucap dia sambil memakan potongan kentang yang dia colek ke saus tomat.
“Ngga, soalnya berat. Udah aku masukin ke laptop kok.” Aku memutarkan laptop aku padanya tetapi dia menahan laptopnya.
“Daripada laptopnya yang diputar, mending aku kesana, jadi kita bisa lihat bareng.”
“Aku udah lihat kok.” Jawabku sedikit terbata. Kenapa jadi canggung gini, sih. Kataku dalam hati.
Dia yang berada di depanku, kini berada disampingku. Jariku seakan beku saat memindahkan kursor laptopku untuk mencari folder fotonya.
“Hm, biar aku aja yang cari. Ada dimana?” Dia langsung mengambil alih keyboard-ku.
“Ah.. di data D terus cari foto, disana ada tanggalnya kok tiap folder.”
Canggung sekali. Rasanya aku ingin bilang mau ke toilet dulu untuk membenarkan wajahku yang tegang ini.
“Mau ke toilet dulu?” Tiba-tiba dia berkata seperti itu dan aku langsung batuk seketika. “Eh, kenapa, Tae? Jangan ditahan, kalau mau ke toilet, pergi aja, dari tadi muka kamu udah tegang gitu, nahan pipis ya? Hahaha.” Ucapnya.
“Ah ... ngga kok.” Aku terbata lagi. Kenapa sih kayak gini, ah.
Dia mulai membuka folder foto-foto, melihat satu-satu foto itu dengan teliti. Suasana jadi hening. Dia tak berbicara, begitupun aku. Sesekali aku meminum minuman ku, mengusir rasa canggung yang demikian hebat ini.
“Tae ...” Akhirnya dia buka suara setelah selesai melihat semua foto di folder itu.
“Ya..”
“Aku udah bilang jangan suka sama aku.”
“Uhuk.. Uhuk...” Seketika aku tersedak saat dia berkata seperti itu. “Ah … apaan sih, suka random.”
“Aku serius, Tae.” Dia berbicara seperti itu tanpa melihat ke arahku, dia menggerakkan jari dan menelusuri foto-foto secara acak sesuka hatinya.
“Ya, siapa juga yang suka, kan kita cuma teman.”
“Baguslah kalau begitu.”
“Jangan suka random kayak gitu, biasa aja.” Aku sedikit ketus sepertinya aku tak begitu suka dengan kalimat yang baru saja keluar dari mulutnya itu.
“*We have amazing friendship, Tae, I don’t wanna lose it, and—“
Ucapannya segera aku potong, “Jangan kegeeran dan jangan gampang berspekulasi seperti itu.”
“Aku bisa bertaruh segalanya jika memang kamu ga suka sama aku.”
“Apaan sih, Min?!”
“Lihat semua foto yang kamu bidik, kebanyakan adalah wajah aku. Saat aku senyum, berdiri, dan bahkan saat aku berpose ngga jelas.”
“Ya, wajarlah kan aku perginya sama kamu waktu itu, kita hunting foto dan kamu juga tahu aku lebih suka subjek manusia daripada pemandangan atau lainnya untuk foto. Seokjin juga sering aku foto, apa itu tandanya aku suka sama Seokjin juga?”
“Beda. Ada ketulusan, kehangatan, dan perasaan di setiap fotonya, Bukan sekedar aspek fotografi saja.”
“Ngarang, kebanyakan baca teenlit jadi kayak gitu.”
“Semakin kamu mengelak, semakin kentara, Tae.”
“Ya terus aku mesti mengakui kenyataan yang tidak benar?”
“Berarti tidak benar kan kalau kamu itu menyukaiku?”
“Iya, Jimin, lagipula kita cuma berteman. Ingat, ber-te-man. Hanya sebatas itu dan gak lebih.” Aku berusaha tetap tegas di setiap getaran suaraku ini.
“Yasudah, case closed and sorry.”
Aku diam, aku berusaha mengatur nafas dan detak jantungku yang berdetak begitu cepat ini.
“Aku sudah menyortir foto-foto yang menurutku bagus dan bisa dipilih untuk lomba itu. Nanti tinggal kamu sendiri yang tentukan mau pilih yang mana.”
“Hm ...” Ucapku dingin.
“Hm?”
“Iya, Min. Bisa pindah ke depan ga, sempit.” Dia pun kembali duduk dihadapanku.
“Sorry, Tae.”
“Yaudah jangan dibahas lagi.”
Hujan sudah mulai reda, aku memutuskan untuk pulang duluan, rasanya ingin segera lari dari situasi ini dan aku pun sudah terlalu lama berada di tempat ini.
“Aku duluan, ya, Min.” Aku mengemas barang-barangku.
“Aku anterin, Tae.”
“Ngga perlu, kan ga searah. Terus hujan juga dan kamu ga bawa jas hujan kan, kamu kalau disini ya disini aja dulu nunggu reda.”
Dia tidak berbicara lagi, atau memaksa mengantarku. Ya sudah, akan semakin canggung jika dia mengantarku juga.
Aku pergi, melangkahkan kaki yang tetiba berat sekali. Aku ingin sekali berkata, antarkan aku. Antarkan aku pulang, biar saja hujan. Biar saja dingin, aku ingin menatap punggungnya saat diatas motor bersamaku. Tapi tidak, biar saja. Ini akan menjadi semakin tak terkendali. Biar saja. Biarkan saja.
“Taehyung!” Suara laki – laki yang setengah berteriak itu hampir membuat kamera dalam genggaman tanganku jatuh.
“Astaga, Jin, hampir jatuh kan ini kamera.”
“Hehehe, sorry, kita memang berjodoh ya, Tae, tanpa kamu bilang dimana, eh.. aku bisa menemukan kamu.”
“Hm, iya.” Raut mukaku masih dalam setengah kaget dan tidak percaya.
“Kenapa, Tae, habis lihat hantu, ya?”
“Iya, hantunya kamu.”
“Ih … mana ada hantu ganteng kayak aku.” Dia mengibaskan rambut panjangnya.
“Ada yang mau kamu lihat ngga, kalau bisa jangan lama-lama ya, aku baru dikabarin ada tugas dadakan.” Ucapku bohong.
“Ya, ampun Hari Minggu masih nugas, yaudah keliling bentar, makan, terus pulang.”
“Kayaknya aku ga ikut makan, Jin, tugasnya mesti dikumpulin hari ini. Lagipula sebelum kesini aku sudah makan kok.”
“Ah.. Taehyung.”
“Maaf, ya, besok kita makan bareng di kampus, ya.”
“Oke deh, aku akan mempercepat semuanya.”
Kami pun berkeliling, tugasku sebagai juru foto Seokjin. Ku jepret-jepret dia di hampir seluruh instalasi seni disana. Tetapi perasaanku dag dig dug, aku sungguh takut. Aku ingin segera pulang, karena itu aku berbohong pada Seokjin jika ada tugas. Aku pun belum berani melihat hasil jepretanku dari tadi. Aku takut jika memang yang aku foto saat itu adalah dia, tetapi di sisi lain aku senang. Ah … bisa gila kan, aku harus cepat pulang.
“Tae, istirahat dulu ya, beli air dulu.” Seokjin mengajakku duduk di bangku dekat booth minuman.
Dia membelikanku ice chocolate. “Minum dulu, Tae, udah itu kita pulang.”
“Oke.” Seokjin lalu mengambil kameraku, dia melihat satu-satu foto hasil jepretanku.
“Kalau kamu ga berhasil jadi pengacara, nanti kamu jad fotograper aja ya, Tae, haha.”
Aku tidak menanggapi perkataan Seokjin, pikiranku sedang kemana-mana. Dalam benakku, aku ingin segera pulang, rebahan dikamarku dan tidur.
“Tae, Taehyung!” Panggil Seokjin membuyarkan lamunanku.
“Ah, ya, Jin?”
“Pulang, yuk.”
“Udah selesai?”
“Udah aja.” Ucapnya tiba-tiba.
“Oh, oke.”
Kami pun pulang. Seokjin yang biasanya cerewet kini dia pun ikutan diam. Aku pun sedang malas berbicara juga. Saat sudah didepan jalan pulang, kami harus berpisah karena beda arah pulang.
“Oke, bye, Jin.”
“Ya, Tae. Makasih ya, dan maaf udah ajak kamu kesini.”
“Hm? Kenapa harus minta maaf?”
“Ah, ngga, dadah..” Seokjin pergi dengan taksinya yang sudah duluan datang. Sementara aku harus menyebrang dulu. Tibalah ku ditepi jalan, menunggu taksiku lewat. Cuaca sudah mulai panas, sedikit-dikit ku kipas-kipas dengan tanganku. Akhirnya taksi lewat, ku menaikinya.
Didalam taksi aku memberanikan diri untuk melihat hasil jepretanku. Satu per satu ku lihat, tetapi mengapa aku gugup sekali. Lalu akhirnya jemariku terhenti pada satu foto. Foto tersebut begitu ramai pengunjung di pameran tersebut, tetapi ada seseorang ditengah kerumunan itu yang tepat menatap ke arah lensaku. Rasanya aku ingin memperbesar foto itu, tetapi masih ku tahan. Dari jauh pun ku melihatnya, dia yang tersenyum tepat kearahku. Dia yang selalu tahu kemana lensaku akan membidik dan lensaku yang mungkin rindu ingin mengabadikannya kembali.
Bukan aku, tetapi lensaku.
[]