petrichorgreeny

Lensa Terbungkus Rindu

“Tuh kan hujan, ngga bawa payung sih.” Ucap Seokjin. Temanku yang paling cerewet.

“Ya, ngga apa-apa, sambil nunggu hujan reda, kan bisa ngopi ganteng, hehe.” Ucapku sambil mengaduk-aduk minumanku dengan sedotan.

Pandanganku lari kearah jendela. Terlihat orang-orang mulai berlarian mencari tempat teduh. Payung warna-warni mulai berseliweran lalu lalang dihadapanku.

“Ngopi ganteng?” Seokjin mengucapnya tiba-tiba, membuat pandanganku beralih padanya.

“Ngopi itu ya, minum kopi bukan beli Ice Chocolate.” Sindirnya.

“Hidupku sudah pahit, Jin, jadi aku harus minum yang manis-manis, haha.” Ucapku sambil tertawa renyah.

“Hm, ngeles mulu. Eh, lihat kameramu dong, mau lihat hasil hunting foto kita, hehe.”

Aku membuka tasku dan mengeluarkan kamera, “Hasil hunting foto kita? Foto aku mungkin maksudnya.” Kali ini aku balas menyindirnya.

“Ya maksudnya aku nemenin sekaligus jadi modelnya, hehe..” Dia menyalakan kameraku dan mulai melihat-lihat hasil fotoku. “Wah … hasil fotonya bagus banget, gila keren banget ini modelnya.”

Aku penasaran, aku ingin melihat apa yang Seokjin lihat.

“Hm, itu karena yang fotonya tahu angle yang bagus, bukan soal modelnya.” Ucapku dingin sambil menyeruput Ice Chocolate-ku.

“Baiklah, Bapak Fotograper. Eh, besok jadi kan datang ke pameran seni kampus tetangga?”

“Kalau udah bangun, ya.”

“Ya, ampun, aku bangunin. Pokoknya mesti datang dan bawa kamera, ya, fotoin aku yang banyak. Lagipula Hari Minggu daripada ngga ada kerjaan, mari kita apresiasi seni, kawanku.” Ucapnya dengan senyuman yang nyaris membuat matanya terlihat segaris.

“Makna dibalik apresiasi seni itu adalah cari gebetan, kan?”

“Itu namanya bonus, Tae.” Ucapnya diselingi tawa.


Minggu pagi adalah hari paling nyaman untuk tidur seharian, tetapi Seokjin mengganggu jadwal tidurku itu. Pukul 7.00 pagi dia sudah menelpon dan berteriak kencang di ujung sana demi membangunkanku.

“Taehyung, jangan lupa ya, jam 10.00 sudah ada di venue, ya, sayangku.” Ucap dia ditelpon.

“Iya..” Jawabku singkat dan masih sangat mengantuk.

“Satu jam lagi aku telpon lagi, memastikan kamu ngga tidak tidur lagi, ya, sayang.”

“Hm..”

“Pendek banget sih, jawabnya.” Nada Seokjin berubah sedikit ngambek.

“Iya, aku mau mandi nih biar nggak ngantuk, lagipula masih 4 jam lagi, antusias amat.”

“Tae, prepare well. Ingat, kata guru Bahasa Inggris kita waktu SMA, everything is a must to prepare well. Belum diperjalanan kan lumayan lama.”

“Iya, sayangku. Aku mengerti, dah...” Aku langsung tutup telponnya.

Hilang sudah masa tidur nyenyakku ini. Ya, selesaikan ini semua, lalu cepat pulang dan tidur kembali.

Pukul 9.50 aku sudah sampai di acara pameran seni itu. Suasana sudah mulai ramai. Beberapa karya seni terpasang sudah mulai berjejer dan didatangi banyak orang. Tanganku mulai refleks merogoh tas dan mengambil kamera. Ku mulai cekrek sana sini dan memandangi karya seni buatan mahasiswa di pameran itu. Pantas Seokjin ngotot banget ingin ke acara ini, rata-rata pengisi booth-nya adalah tipe Seokjin banget. Cowok rambut gondrong, kaos oblong, celana jeans robek, dan wangi maskulin yang khas.

Tiba-tiba handphone-ku bergetar, Seokjin memanggil.

“Dimana?”

“Di venue.”

“Ih … kan tempatnya luas.”

“Cari aja, kalau kita jodoh pasti ketemu.” Telponnya langsung ku tutup. Aku tertawa, rasanya senang mengerjai sahabat kentalku itu. Suruh siapa dia telat, dia yang antusias, dia yang telat. Dumelku.

Aku berjalan melihat-lihat yang lain. Hingga mataku tertuju pada sebuah bola raksasa seperti bola permainan sepak takraw terbuat dari rotan dan sangat besar. Aku harus mendapat posisi yang bagus dalam membidiknya.

Lalu, aku bergerak menuju ketempat lebih tinggi. Ada sebuah tangga diantara satu gedung ke gedung lainnya. Aku rasa tempat itu pas untuk bisa mengambil foto agar seluruh bola raksasa itu bisa dapat aku bidik dengan sempurna. Sampailah aku disana dan aku mulai mengeker lensa kameraku. Nice shoot. Aku jepret lagi, kemudian aku lihat hasilnya. Great.

Suasana sudah mulai ramai sekali dan rerata berkerumun dekat bola raksasa itu. Lalu, aku memiliki ide untuk fokus foto ku pada bola raksasa itu dan kerumunan itu akan ku buat titik-titik blur. Ya, ide bagus. Tapi, tanganku yang sedari tadi mengeker lensa kamera, kemudian terhenti pada satu titik.

Ada seseorang yang tepat sekali melihat ke arah lensa kameraku. Seseorang yang membuatku tertegun. Dia menatap lensa kameraku, jelas sekali dia mengetahui arah lensa itu. Yang semula akan ku buat titik blur dan hanya fokus pada bola raksasa itu, kini terbalik. Refleks tanganku mengeker fokus padanya. Pada dia yang tepat tersenyum pada kameraku. Dia yang sangat ku kenal dulu.

Dia. Ya, dia yang sangat ku kenal dulu.


September, 2019.

Hujan mulai turun dan membasahi kaca-kaca restoran cepat saji. Aku sudah menunggu lebih dari 2 jam ditempat ini. Sudah habis 1 paket ayam dan nasi serta 3 gelas soda. Antara lapar atau saking kesalnya menunggu. Aku mulai menggerakkan jari-jari jemariku pada keyboard laptopku. Sekedar mencari bahan untuk mengisi tugas kuliah. Tapi itu hanya kamuflase, jari ini malah secara refleks men-download film. Ajaib.

Dari arah pintu restoran, seseorang dengan jaket yang lepek dan basah menghampiriku dengan nafas tersengal-sengal.

“Sorry, Tae, aku kejebak hujan dan ga bawa jas hujan.” Ucapnya.

It's ok, aku nunggunya sambil download film jadi ngga kerasa nunggunya, haha.” Tawa palsu. Padahal sebenarnya aku kesal setengah mati, tetapi entah mengapa aku mengucapkan kalimat berbohong seperti itu.

“Aku beli makan dulu, ya.” Dia beranjak setelah menaruh tas dan jaketnya yang basah.

Aku menatap punggungnya yang sekarang telah berada didepan kasir untuk memesan makanan.

Dia sahabat lelakiku yang absurd dan entah mengapa rasanya terlalu nyaman jika disebut sahabat.

“Ah ...” Aku menggeleng kepalaku, berusaha menghamburkan pikiran gila itu yang terkadang datang tiba-tiba.

Dia pun kembali sambil membawa nampan yang berisi paket kentang dan satu gelas besar soda.

“Wih, lagi hujan minum es.”

“Biar pilek, jadi ada alasan buat bolos kuliah, haha.”

“Bolos. bolos aja ga usah nunggu pilek dulu, haha.”

Kami tertawa bersama, entah mengapa aku senang melihat tawanya itu. Meskipun tak lucu tetapi aku pun ikut tertawa.

“Bawa kameranya ngga?” Ucap dia sambil memakan potongan kentang yang dia colek ke saus tomat.

“Ngga, soalnya berat. Udah aku masukin ke laptop kok.” Aku memutarkan laptop aku padanya tetapi dia menahan laptopnya.

“Daripada laptopnya yang diputar, mending aku kesana, jadi kita bisa lihat bareng.”

“Aku udah lihat kok.” Jawabku sedikit terbata. Kenapa jadi canggung gini, sih. Kataku dalam hati.

Dia yang berada di depanku, kini berada disampingku. Jariku seakan beku saat memindahkan kursor laptopku untuk mencari folder fotonya.

“Hm, biar aku aja yang cari. Ada dimana?” Dia langsung mengambil alih keyboard-ku.

“Ah.. di data D terus cari foto, disana ada tanggalnya kok tiap folder.”

Canggung sekali. Rasanya aku ingin bilang mau ke toilet dulu untuk membenarkan wajahku yang tegang ini.

“Mau ke toilet dulu?” Tiba-tiba dia berkata seperti itu dan aku langsung batuk seketika. “Eh, kenapa, Tae? Jangan ditahan, kalau mau ke toilet, pergi aja, dari tadi muka kamu udah tegang gitu, nahan pipis ya? Hahaha.” Ucapnya.

“Ah ... ngga kok.” Aku terbata lagi. Kenapa sih kayak gini, ah.

Dia mulai membuka folder foto-foto, melihat satu-satu foto itu dengan teliti. Suasana jadi hening. Dia tak berbicara, begitupun aku. Sesekali aku meminum minuman ku, mengusir rasa canggung yang demikian hebat ini.

“Tae ...” Akhirnya dia buka suara setelah selesai melihat semua foto di folder itu.

“Ya..”

“Aku udah bilang jangan suka sama aku.”

“Uhuk.. Uhuk...” Seketika aku tersedak saat dia berkata seperti itu. “Ah … apaan sih, suka random.”

“Aku serius, Tae.” Dia berbicara seperti itu tanpa melihat ke arahku, dia menggerakkan jari dan menelusuri foto-foto secara acak sesuka hatinya.

“Ya, siapa juga yang suka, kan kita cuma teman.”

“Baguslah kalau begitu.”

“Jangan suka random kayak gitu, biasa aja.” Aku sedikit ketus sepertinya aku tak begitu suka dengan kalimat yang baru saja keluar dari mulutnya itu.

“*We have amazing friendship, Tae, I don’t wanna lose it, and—“

Ucapannya segera aku potong, “Jangan kegeeran dan jangan gampang berspekulasi seperti itu.”

“Aku bisa bertaruh segalanya jika memang kamu ga suka sama aku.”

“Apaan sih, Min?!”

“Lihat semua foto yang kamu bidik, kebanyakan adalah wajah aku. Saat aku senyum, berdiri, dan bahkan saat aku berpose ngga jelas.”

“Ya, wajarlah kan aku perginya sama kamu waktu itu, kita hunting foto dan kamu juga tahu aku lebih suka subjek manusia daripada pemandangan atau lainnya untuk foto. Seokjin juga sering aku foto, apa itu tandanya aku suka sama Seokjin juga?”

“Beda. Ada ketulusan, kehangatan, dan perasaan di setiap fotonya, Bukan sekedar aspek fotografi saja.”

“Ngarang, kebanyakan baca teenlit jadi kayak gitu.”

“Semakin kamu mengelak, semakin kentara, Tae.”

“Ya terus aku mesti mengakui kenyataan yang tidak benar?”

“Berarti tidak benar kan kalau kamu itu menyukaiku?”

“Iya, Jimin, lagipula kita cuma berteman. Ingat, ber-te-man. Hanya sebatas itu dan gak lebih.” Aku berusaha tetap tegas di setiap getaran suaraku ini.

“Yasudah, case closed and sorry.”

Aku diam, aku berusaha mengatur nafas dan detak jantungku yang berdetak begitu cepat ini.

“Aku sudah menyortir foto-foto yang menurutku bagus dan bisa dipilih untuk lomba itu. Nanti tinggal kamu sendiri yang tentukan mau pilih yang mana.”

“Hm ...” Ucapku dingin.

“Hm?”

“Iya, Min. Bisa pindah ke depan ga, sempit.” Dia pun kembali duduk dihadapanku.

Sorry, Tae.”

“Yaudah jangan dibahas lagi.”

Hujan sudah mulai reda, aku memutuskan untuk pulang duluan, rasanya ingin segera lari dari situasi ini dan aku pun sudah terlalu lama berada di tempat ini.

“Aku duluan, ya, Min.” Aku mengemas barang-barangku.

“Aku anterin, Tae.”

“Ngga perlu, kan ga searah. Terus hujan juga dan kamu ga bawa jas hujan kan, kamu kalau disini ya disini aja dulu nunggu reda.”

Dia tidak berbicara lagi, atau memaksa mengantarku. Ya sudah, akan semakin canggung jika dia mengantarku juga.

Aku pergi, melangkahkan kaki yang tetiba berat sekali. Aku ingin sekali berkata, antarkan aku. Antarkan aku pulang, biar saja hujan. Biar saja dingin, aku ingin menatap punggungnya saat diatas motor bersamaku. Tapi tidak, biar saja. Ini akan menjadi semakin tak terkendali. Biar saja. Biarkan saja.


“Taehyung!” Suara laki – laki yang setengah berteriak itu hampir membuat kamera dalam genggaman tanganku jatuh.

“Astaga, Jin, hampir jatuh kan ini kamera.”

“Hehehe, sorry, kita memang berjodoh ya, Tae, tanpa kamu bilang dimana, eh.. aku bisa menemukan kamu.”

“Hm, iya.” Raut mukaku masih dalam setengah kaget dan tidak percaya.

“Kenapa, Tae, habis lihat hantu, ya?”

“Iya, hantunya kamu.”

“Ih … mana ada hantu ganteng kayak aku.” Dia mengibaskan rambut panjangnya.

“Ada yang mau kamu lihat ngga, kalau bisa jangan lama-lama ya, aku baru dikabarin ada tugas dadakan.” Ucapku bohong.

“Ya, ampun Hari Minggu masih nugas, yaudah keliling bentar, makan, terus pulang.”

“Kayaknya aku ga ikut makan, Jin, tugasnya mesti dikumpulin hari ini. Lagipula sebelum kesini aku sudah makan kok.”

“Ah.. Taehyung.”

“Maaf, ya, besok kita makan bareng di kampus, ya.”

“Oke deh, aku akan mempercepat semuanya.”

Kami pun berkeliling, tugasku sebagai juru foto Seokjin. Ku jepret-jepret dia di hampir seluruh instalasi seni disana. Tetapi perasaanku dag dig dug, aku sungguh takut. Aku ingin segera pulang, karena itu aku berbohong pada Seokjin jika ada tugas. Aku pun belum berani melihat hasil jepretanku dari tadi. Aku takut jika memang yang aku foto saat itu adalah dia, tetapi di sisi lain aku senang. Ah … bisa gila kan, aku harus cepat pulang.

“Tae, istirahat dulu ya, beli air dulu.” Seokjin mengajakku duduk di bangku dekat booth minuman.

Dia membelikanku ice chocolate. “Minum dulu, Tae, udah itu kita pulang.”

“Oke.” Seokjin lalu mengambil kameraku, dia melihat satu-satu foto hasil jepretanku.

“Kalau kamu ga berhasil jadi pengacara, nanti kamu jad fotograper aja ya, Tae, haha.”

Aku tidak menanggapi perkataan Seokjin, pikiranku sedang kemana-mana. Dalam benakku, aku ingin segera pulang, rebahan dikamarku dan tidur.

“Tae, Taehyung!” Panggil Seokjin membuyarkan lamunanku.

“Ah, ya, Jin?”

“Pulang, yuk.”

“Udah selesai?”

“Udah aja.” Ucapnya tiba-tiba.

“Oh, oke.”

Kami pun pulang. Seokjin yang biasanya cerewet kini dia pun ikutan diam. Aku pun sedang malas berbicara juga. Saat sudah didepan jalan pulang, kami harus berpisah karena beda arah pulang.

“Oke, bye, Jin.”

“Ya, Tae. Makasih ya, dan maaf udah ajak kamu kesini.”

“Hm? Kenapa harus minta maaf?”

“Ah, ngga, dadah..” Seokjin pergi dengan taksinya yang sudah duluan datang. Sementara aku harus menyebrang dulu. Tibalah ku ditepi jalan, menunggu taksiku lewat. Cuaca sudah mulai panas, sedikit-dikit ku kipas-kipas dengan tanganku. Akhirnya taksi lewat, ku menaikinya.

Didalam taksi aku memberanikan diri untuk melihat hasil jepretanku. Satu per satu ku lihat, tetapi mengapa aku gugup sekali. Lalu akhirnya jemariku terhenti pada satu foto. Foto tersebut begitu ramai pengunjung di pameran tersebut, tetapi ada seseorang ditengah kerumunan itu yang tepat menatap ke arah lensaku. Rasanya aku ingin memperbesar foto itu, tetapi masih ku tahan. Dari jauh pun ku melihatnya, dia yang tersenyum tepat kearahku. Dia yang selalu tahu kemana lensaku akan membidik dan lensaku yang mungkin rindu ingin mengabadikannya kembali.

Bukan aku, tetapi lensaku.

[]

Chaos : Chapter 1

Yoongi sedang asyik meminum kopi kalengan yang baru dia ambil dari vending machine ketika beberapa orang berjas hitam masuk dari pintu utama rumah sakit dengan membawa dus-dus kosong.

Seseorang berbicara dengan suara yang sepertinya pernah Yoongi kenal dan dengar. Suara itu mengatakan bahwa dia adalah perwakilan kaji etik yang bertindak untuk menginvestigasi rumah sakit.

Mendengar itu, Yoongi langsung menuju suara tersebut namun orang itu dan pria-pria berjas lainnya pergi menuju ke ruangan Dokkim.

Pak Endang terlihat sangat cemas dan mulai uring-uringan. Yoongi tahu cepat atau lambat hal ini akan datang.

Sosok suara yang Yoongi yakini ia kenali itu keluar dari ruangan Dokkim. Kini Yoongi bisa melihatnya. Dia memakai stelan jas dan berdasi. Dalam 15 langkah akan segera menghampiri tempat Yoongi berada.

“Hai, Dokter Yoongi, apa kabar? Saya tidak menyangka ternyata kamu praktek disini.” Ucap pria itu sambil tersenyum. Senyum yang tidak tulus di mata Yoongi. “Ayah kamu tahukah kamu praktek disini?”

Deg!

Jantung Yoongi seperti telah dihantam. Dia lalu melihat name tag pria yang menyapanya itu. Yoongi seketika meremas kopi kalengnya. Perasaan marah dan kesal langsung menjalar ke dadanya.

“Semuanya, tolong bawa berkas-berkas yang bisa dijadikan bahan pemeriksaan. Atau apapun yang menurut kalian mencurigakan, bawa saja!” Perintah pria itu. Lantas para pria berjas hitam yang dari tadi membawa dus mulai menyebar. Memasuki ruangan satu persatu.

“Lo punya hak buat ambil-ambil berkas yang ada disini?” Tanya Yoongi tanpa basa-basi.

Pria itu lalu memperlihatkan sebuah surat kepada Yoongi. “Saya sudah punya izin.” Dia menaikkan senyumannya.

Licik. Masih sama seperti dulu. Licik.

“Kenapa ini main sidak dan angkut-angkut begini?” Pak Endang semakin panik melihat beberapa orang mengobrak-abrik ruangannya, mengambil berkas-berkas lainnya.

“Selanjutnya ke IGD!”

Pria itu pergi meninggalkan Yoongi tetapi baru beberapa langkah, dia berbalik.

“Dokter Yoongi, nanti kita ngobrol-ngobrol lagi, ya. Kalau kamu disini, kemungkinan dia juga disini kan?” Dia lalu pergi menuju IGD.

Anjing!

Yoongi lalu melemparkan kaleng kopinya dengan kasar ke tong sampah. Dia kemudian meraih ponselnya, berusaha mengetik sesuatu disana sambil terus berjalan ke IGD.

Di IGD semakin chaos. Berkas-berkas di IGD di ambil satu persatu. Irene mencoba mencegah tapi pada akhirnya tidak bisa berkutik karena pria itu telah menunjukkan surat izin.

Namjoon disana sudah cukup geram memerhatikan tingkah pria itu. Yoongi lalu menghampiri Namjoon.

“Udah lo kasih tahu?” Tanya Yoongi.

“Udah. Gue larang dia ke IGD.” Jawab Namjoon.

Jika bisa sumpah serapah, mungkin Yoongi sudah melontarkannya karena dia sangat marah sekali. Dengan keadaan, dengan dirinya sendiri.

“Lo ga tahu, Yoon, dia kerja di firma bokap lo?” Tanya Namjoon.

“Ga tahu. Shit! Gue lihat name tag-nya barusan dan kepala gue rasanya mendidih banget.” Yoongi sudah mulai mengepal tangannya. Nafasnya naik turun menahan amarah.

Pria itu lalu menghampiri Namjoon dan Yoongi.

“Benar dugaan saya, kalian itu seperti roda bajaj. Selalu bertiga. Berarti dia ada disini?”

“Tujuan lo disini apa? Cuma ambil berkas-berkas kan, yaudah setelah itu pergi?!” Ungkap Namjoon

“Begini kalian ketemu teman lama?”

“Ha? Teman? Omong kosong!”

Yoongi rasanya ingin menonjok wajah pria itu ketika dia mulai tersenyum sinis mendengar ucapan Yoongi, namun masih ditahan oleh Namjoon.

Pria itu melangkah kaki begitu saja meninggalkan Namjoon dan Yoongi yang tengah menahan amarah. Keperluannya telah selesai. Pria-pria berjas hitam lainnya mengikuti pria itu dari belakang. Namjoon dan Yoongi bergegas mengikuti pria itu juga.

Sampai di ruang utama rumah sakit, langkah mereka terhenti ketika melihat pria itu kini tepat berdiri di depan Jimin.

Fck!” Yoongi langsung melangkah maju disusul Namjoon, dia masuk diantara Jimin dan pria itu. Kini Yoongi berdiri tepat di depan Jimin.

Well, senang bertemu dengan kamu lagi, Dokter Jimin. Sepertinya kita akan sering bertemu disini nanti.” Dia tersenyum sambil mencari celah untuk melihat wajah Jimin yang terhalang oleh Yoongi dan Namjoon.

“Bisa pergi ga lo?! Udah kelar kan urusannya?” Bentak Yoongi.

“Oke.” Dia lalu mengisyaratkan pria-pria berjas yang ikut bersamanya untuk pergi meninggalkan rumah sakit. Namun sebelum membuka pintu keluar, pria itu berbalik.

See you.” Dia pun membuka pintu dan keluar.

Fuck! Anjing! Anjing!” Yoongi tak henti terus memaki.

“Yoon, lo masih di rumah sakit!” Ucap Namjoon mengingatkan Yoongi. “Jim, lo ga apa-apa kan? Sesak lagi ga dada lo?” Kini dia beralih ke Jimin yang masih menunduk. Wajahnya pucat dengan tangan mengepal.

“Gue mau ke kamar mandi dulu.” Ucap Jimin. Dia mulai melangkahkan kakinya namun ditahan oleh Yoongi.

“Gue ikut!”

Jimin tidak menjawab, dia berlalu begitu saja. Yoongi mengikutinya dari belakang dengan sebelumnya mengisyarakatkan kepada Namjoon untuk menunggu disana saja.

“Lo beneran ga apa-apa, Jim?” Ucap Yoongi saat melihat Jimin membasuh wajahnya didepan wastafel.

“Ngga.” Meski jawabannya seperti itu namun nafas Jimin sungguh berat dan tersengal-sengal. Jimin dengan sekuat tenaga menahan dirinya dengan menggenggam pinggiran wastafel.

“Jim.” Panggil Yoongi.

Jimin hendak berjalan namun kakinya terlalu lemas untuk menopang tubuhnya. Dia limbung dan untung Yoongi keburu menahan tubuh Jimin.

“Kebiasaan sih bilang ga apa-apa, tapi malah begini.” Yoongi baru saja ingin membopong tubuh Jimin. Namun langkahnya terhenti karena Jimin tidak mau bergerak.

“Kenapa udah sejauh ini pun tetap bisa ketemu?”

[]

➖ Taehyung dan Rasa Sayangnya

Hal yang paling menyakitkan bagi Taehyung sekarang adalah melihat Jimin terbaring tidak berdaya di ruang rawat inap. Tangannya tertancap infus, hidung dan mulutnya tertutup oleh selang masker oksigen. Dadanya naik turun berat dan perlahan, seolah semua beban tertancap disana.

Taehyung duduk di samping Jimin, menggenggam tangannya, mengecup dan mengelus tangan Jimin beberapa kali. Hingga sampai pada titik air mata Taehyung mengalir tak lagi bisa dia tahan. Dia terisak. Dadanya ikut sakit. Sangat sakit.

“Jimin.” Taehyung mengusap kepala Jimin perlahan, menyisir surai hitamnya. “Kita belum sempat pergi kencan.” Ucap Taehyung perlahan.

“Tahu ngga, Min, aku suka kamu saat pertama kali lihat kamu di IGD. Aku yang waktu itu panik karena murid aku kepalanya berdarah langsung melembut saat melihat cara kamu merawat murid aku.” Taehyung mulai bercerita. Tangan Jimin dia genggam dan ditempelkan ke pipinya.

“Dari sana aku tahu kamu pasti dokter yang baik. Aku pengen deketin kamu saat itu, cuma aku malu. Aku minta nomor ke Wewen tapi katanya ga boleh melanggar integritas. Sebel ih.” Ucap Taehyung, ada tawa sedikit keluar meski matanya tetap basah.

“Akhirnya aku dapat dari Hoseok yang dia dapat pasti dari Namjoon tapi tetap aja aku ga berani kirim pesan ke kamu. Ga tahu mau bahas apa. Hingga kita selalu berakhir ketemu di IGD.”

“Terus, ya, Min, aku sempet nangis banget dan kesel pas kamu bilang murid aku bohong sakitnya tapi satu sisi aku senang karena itu pertama kalinya kamu mengirimkan pesan buat aku, meski pesannya begitu. Lalu, kamu ke rumah buat minta maaf sambil bawa strawberry kesukaan aku. Rasanya saat itu seneng banget. Mata aku selalu ingin lihat kamu, tapi pas kamu natap balik aku gugup dan malu, huhu, jadi aja aku remas celana aku.”

“Min.” Panggil Taehyung perlahan. “Ketemu kamu, kenal kamu, dekat sama kamu, bahkan menyayangi kamu itu sungguh hal yang paling buat aku bahagia, Min. Aku sedih dan sakit saat kamu dipaksa pulang waktu itu. Aku benar – benar ngga berdaya, aku marah sama diri aku sendiri, Min. Dari sana aku bertekad untuk lebih kuat buat kamu, aku pengen jagain kamu, dan kasih seluruh kebahagiaan buat kamu, Min.”

Air mata Taehyung semakin mengalir dengan deras. Isaknya semakin tak bisa dia tahan. Taehyung mengusap mata Jimin yang sedang terpejam secara perlahan, kemudian mengusap pipinya juga.

“Sakit kamu bagi ke aku, ya, Min. Jangan tahan sendiri. Jangan takut juga, karena ada aku. Kita hadapi bareng – bareng, ya, Min.”

Taehyung menggenggam tangan Jimin dan menaruhnya di keningnya.

“Jangan sakit lagi, Min, pasien kamu nungguin kamu. Teman – teman kamu juga nungguin kamu. Dan aku juga, Min. Ayo kita kencan, Min. Kita belum eksplor Inha, aku juga mau diajak ke Andani sama kamu. Pokoknya harus banyak hari yang kita lalui bersama – sama.”

Dalam genggaman tangan Taehyung, tangan Jimin mulai bergerak perlahan. Taehyung terkejut lalu mulai mengusap air mata di pipinya.

“Min, udah bangun?”

Jimin membuka matanya perlahan. Pertama yang Jimin lihat adalah pemandangan Taehyung dengan mata dan pipi yang basah. Jimin menggerakkan tangannya perlahan dan mengusap mata Taehyung. Jika selang oksigen tak menutupi mulutnya mungkin Jimin akan berkata, jangan menangis, tapi semua telah terjawab oleh gesturnya.

“Maaf ya, aku cengeng banget.”

Tangan Jimin yang menyeka air mata di pipi Taehyung kini beranjak ke kepala, mengusapnya perlahan. Kemudian tangan Jimin dihentikan oleh Taehyung, dia tarik dan ditempelkan ke pipinya.

Jimin lalu membuka masker selangnya. Taehyung ingin menahannya, namun Jimin mencegahnya.

“Jimin, jangan dibuka nanti sesak lagi.”

“Se .. bentar.” Ucap Jimin perlahan. Suaranya parau, nafasnya masih terlihat berat dan sengau. “Tae, maaf .. sudah buat kamu … khawatir.” Dengan nafas Jimin yang masih pendek – pendek, dia tetap memaksakan diri untuk mengatakan itu.

“Jimin, pakai lagi. Nanti aja ya, kalau mau bicara.”

Taehyung memakaikan kembali selang masker ke Jimin. Nafasnya pun sedikit relaks kembali.

“Nanti lagi, ya, sayang, bicaranya.” Taehyung kembali memakaikan selang masker kepada Jimin. “Masih sakit ya dadanya? Aku panggil dokter dulu, ya.” Taehyung hendak beranjak namun tangannya digenggam Jimin.

Mata Jimin mengisyaratkan jangan pergi, disini saja. Taehyung pun menurut. Lama mereka hanya saling pandang, seperti berbicara melalui tatapan mata masing – masing. Tak henti Taehyung terus mengecup tangan Jimin. Dia ingin menyalurkan rasa sayangnya kepada Jimin. Untuk Jimin seorang.

“Aku sayang kamu, Min, aku akan mengatakannya setiap hari supaya kamu tahu bahwa aku akan selalu begitu.”

[]

➖ Jimin dan Ketakutannya

Jimin sebenarnya tidak ingin pulang ke rumah, dia merasa sudah baikan. Namun Yoongi dan Namjoon tetap bersikeras. Bahkan sampai meminta Taehyung untuk menjemputnya.

“Taehyung, pastiin dia minum obat, ya, terus inhaler-nya jangan lupa. Pokoknya kalau dia sesak, cepet di kasih inhalernya.” Jelas Yoongi dari luar melalui kaca mobil.

“Kalau Jimin ngga nurut, getok aja, Taehyung.” Tambah Namjoon.

“Lo berdua apaan sih?!” Dumel Jimin kesal, merasa dua sahabatnya itu terlalu berlebihan.

“Taehyung, kalau ada apa – apa kabari cepet ya.” Ucap Namjoon.

Taehyung mengangguk paham. Namjoon dan Yoongi akhirnya melepas mobil Jimin pergi dari rumah sakit.

Di mobil, Jimin hanya diam saja. Wajahnya masih pucat. Taehyung melihat tangan Jimin gemetar, berulang kali Jimin mengepalnya dan menyembunyikan agar tidak terlalu kentara. Taehyung kemudian meraih tangan Jimin, menggenggamnya.

“Maaf, ya, aku ga tahu kalau kamu punya asma.” Ucap Taehyung sambil mengusap punggung tangan Jimin.

“Udah jarang kambuh kok sebenarnya. Mungkin ini karena kecapean.”

“Tetep aja. Kalau ada apa-apa bilang ya.” Taehyung menatap Jimin sebentar. Jimin tahu bahwa Taehyung sangat khawatir. Hal itu malah membuat Jimin semakin takut.

Mereka pun tiba di rumah sewaan Jimin dan yang lainnya selama di Inha. Taehyung lalu membawa Jimin ke kamarnya dan membaringkannya.

“Mau kemana?” Jimin menahan tangan Taehyung yang hendak pergi. Matanya menyiratkan ketakutan, takut untuk ditinggal.

“Aku mau ambil air minum, kamu harus minum obat. Udah makan?”

“Udah.”

Taehyung lalu pergi mengambil gelas minum di dapur. Dia kemudian duduk di ranjang Jimin, memberikan minum dan obat yang harus Jimin minum.

“Inhaler-nya aku simpan sini, ya. Sekarang kamu istirahat.”

“Tae, mau kemana?”

Jimin benar – benar seperti anak ayam yang tak ingin ditinggalkan oleh induknya. Wajahnya dan matanya yang meminta Taehyung untuk tidak pergi kemana – mana, melemahkan hati Taehyung.

Taehyung menggenggam tangan Jimin. Mengusap kepalanya perlahan.

“Iya, aku di sini, nggak kemana – mana.”

“Tae.” Ucap Jimin perlahan.

“Aku … takut.” Nada bicara Jimin bergetar. Taehyung tahu sedari tadi ada yang mengganggu pikiran Jimin. Tangan Jimin pun beberapa kali terlihat gemetar.

“Jangan takut, ada aku, Min.” Taehyung mana tega membiarkan Jimin sendiri saat seperti ini. “Mau aku peluk sambil tidur?”

Taehyung sadar bahwa tawaran itu mungkin sudah melewati batas antara dia dan Jimin tetapi Taehyung benar – benar ingin menenangkan Jimin, membuat Jimin merasa aman berada di sisinya.

Jimin mengangguk perlahan. Taehyung tersenyum, lalu dia kini berbaring di samping Jimin. Mereka saling berhadapan dan menatap satu sama lain.

“Sini.” Ajakan Taehyung itu langsung disambut oleh Jimin, kini dia telah dipeluk oleh Taehyung. Kepala Jimin memenuhi ceruk leher Taehyung. Tangannya ditautkan ke pinggang Taehyung. Nafas Jimin sedikit tidak beraturan, Taehyung kemudian menepuk – nepuk punggung Jimin.

“Masih sesakkah?” Jimin menggeleng. “Dadanya sakit?” Jimin pun menggeleng kembali.

“Tae, maaf, ya. Aku ngga mau Tae kenapa – napa. Aku takut, takut banget, Tae.” Suara Jimin semakin parau. Taehyung merasakan ada yang basah di lehernya. Dia lalu menarik badan Jimin agar mereka saling berhadapan kembali.

“Jimin, kenapa nangis? Ada yang sakitkah?” Taehyung khawatir setengah mati melihatnya. Mengapa Jimin begitu rapuh hari ini? Dia bagaikan gelas kaca yang akan langsung pecah jika terjatuh.

Taehyung menyeka air mata Jimin yang mulai membasahi pipinya. “Jimin, kenapa?”

“Aku mau selalu lihat Taehyung.”

Ucapan Jimin itu langsung membuat hangat dada Taehyung. Oh, Tuhan, jika bisa Taehyung berikan seluruh kebahagiaan di dunia ini, dia akan memberikan hanya kepada Jimin.

“Aku ngga akan kemana – mana, Min. Ini aku ada didepan kamu.” Taehyung mendekatkan jaraknya dengan Jimin. Wajah mereka semakin dekat, hidung mereka kini sudah saling beradu. Taehyung lalu menggenggam tangan Jimin dan menempelkan ke pipinya kemudian mengecupnya.

“Aku sayang kamu, Min, sayang sekali. Aku ngga suka lihat kamu sedih begini, hati aku ikut sakit juga. Dan kamu ga perlu takut, aku selalu ada buat kamu, Min, aku janji.”

Taehyung menyadari bahwa barusan dia telah mengungkap perasaan dia sebenarnya. Bohong jika jantung Taehyung tidak berdetak cepat sekarang, bohong jika dia tidak salah tingkah sekarang. Dia rasanya ingin menguap dan melebur bersama udara. Namun, melihat Jimin serapuh ini dihadapannya, Taehyung harus lebih berani mengambil langkah. Apapun, asal Jimin bisa tersenyum kembali, agar Jimin bisa bahagia.

“Aku ngga minta kamu harus jawab, aku cuma kamu tahu perasaan aku, Min, itu aja.”

Ucapan Taehyung itu merambat hangat ke dada Jimin. Sesak dan sakit yang dia rasakan tadi, kini berganti dengan perasaan yang lembut. Taehyung berhasil menenangkan dia yang sedang dilanda ketakutan. Takut kehilangan hal yang ingin Jimin jaga. Takut tiba – tiba kebahagiaan yang ingin dia jemput, malah direbut paksa. Jimin takut, namun Taehyung berhasil menggenggamnya dalam kehangatan dan kasih sayang yang selama ini Jimin mungkin sudah lupa rasanya bagaimana.

Taehyung mengusap wajah Jimin. Air matanya sudah tak ada lagi. Mereka berada dalam diam yang lama, saling menatap, menentukan perasaan masing – masing.

Taehyung kemudian memajukan kepalanya, mengecup kening Jimin. “Semoga semua pikiran yang mengganggu kamu, lekas pergi dan diganti dengan ketenangan.”

Lalu, Taehyung beralih mengecup mata Jimin. “Semoga tidak perlu ada lagi air mata kesedihan. Kalau kamu menangis, semoga itu adalah air mata kebahagiaan.”

Dan, Taehyung sudah sangat dekat dan kini sedang menatap bibir Jimin. Jantung Jimin sudah mulai tak karuan. Taehyung yang biasa selalu salah tingkah dan meremas celananya ketika gugup dan malu mungkin sedang pergi entah kemana. Yang ada di hadapan Jimin sekarang adalah Taehyung yang lembut, matanya penuh kekhawatiran dan kasih sayang yang tertuju hanya untuk dia seorang. Jimin semakin merasa seperti sedang disayang sepenuh hati.

“Aku cinta kamu.”

Taehyung lalu mencium bibir Jimin, lembut sangat lembut, dan hati – hati. Melumatnya perlahan. Jimin memenjamkan matanya, membuka sedikit mulutnya, memberikan akses seluasnya untuk Taehyung. Yoongi benar. Ketika dia mengiyakan Taehyung, maka Taehyung bisa melepaskan segala yang dia tahan selama ini. Dia kini melihat sisi Taehyung yang lain. Taehyung yang ingin menjaga Jimin. Taehyung yang ingin mencintai Jimin.

Maaf, Taehyung, maaf membuat kamu menunggu terlalu lama.

Pagutan itu dilepas perlahan ketika keduanya butuh untuk menghirup udara. Taehyung lalu mengusap sisa saliva di bibir Jimin dengan ibu jarinya. Dan dia kembali menatap Jimin sangat dalam seakan Jimin adalah segalanya dan dunianya.

“Tae, aku mau disayang. Aku mau kamu.” Kini Jimin yang mengusap wajah Taehyung. “Kamu boleh sayangi aku, boleh mencintai aku, boleh, Taehyung.”

Mata Taehyung berkaca – kaca setelah mendengar perkataan Jimin barusan. “Makasih.”

Seperti sebuah izin, Taehyung lalu mencium bibir Jimin kembali. Kali ini lebih menggebu, lebih dalam, namun tetap lembut. Tangan Taehyung mulai menelisik masuk ke kemeja Jimin. Meraba pinggang, naik ke punggung, dan kini menyentuh dada Jimin. Dia melenguh pelan.

Tak ada lagi ketakutan dan kekhawatiran di pikiran Jimin sekarang. Semua teralihkan oleh Taehyung. Dia mulai turun ke leher Jimin. Menandainya dengan bercak – bercak cinta yang Taehyung gambar secara acak. Entah bagaimana kini kancing kemeja Jimin telah terbuka satu persatu, memperlihatkan dada dan perutnya yang bidang. Taehyung semakin tidak bisa dihentikan, dia mulai memberi tanda di segala penjuru. Jimin menarik rambut Taehyung sesekali ketika area sensitifnya Taehyung sentuh. Jilatan dan kecupan yang Taehyung beri membuat Jimin menggelinjang dalam kenikmatan. Dia lupa akan segalanya. Hanya Taehyung, Taehyung seorang.

Hingga satu titik, mereka saling bergesekan dan membuat Jimin melenguh keras. Dia sangat sensitif hari ini.

“Sakitkah?”

Taehyung selalu menanyainya begitu ketika Jimin melenguh. Bukan, bukan karena sakit, namun karena yang Taehyung berikan membuat Jimin lupa diri dan semakin ingin memiliki Taehyung, semakin ingin disayang olehnya.

“Ngga, Tae. Hm, di kamar Yoongi yang tengah, di lacinya, ada, Taehyung. Hm.. bawa sini.”

Kalimat itu Jimin ucapkan dengan hati – hati. Taehyung terdiam sebentar, hingga setelahnya dia mengerti maksud Jimin. Dia lalu pergi ke kamar Yoongi, mengambil yang Jimin maksud.

Taehyung sudah sampai kamar Jimin kembali. Kali ini dia mengunci kamar dari dalam lalu mulai memanjat keatas kasur. Jimin sudah terlihat berantakan. Dada dan perutnya sudah penuh oleh bercak – bercak maha karya Taehyung. Kemejanya sudah berada dibawah tidak tahu sejak kapan. Sementara Taehyung masih berpakaian lengkap, hanya saja kemejanya sudah tidak lagi dia masukkan ke celananya.

Jimin begitu indah ketika Taehyung melihatnya dari atas. Benar – benar seperti malaikat. Taehyung sudah semakin berada di tahap menggilai Jimin dari berbagai sisi. Sudah tidak bisa ditakar kembali. Apalagi Jimin sudah memberikan Taehyung ‘izin’, tidak perlu ada yang harus Taehyung tahan kembali. Dirinya kini untuk Jimin, seutuhnya menyayangi Jimin.

“Jimin.” Panggil Taehyung lembut. Tangan kirinya sudah menjadi tumpuan kepala Jimin.

“Hm.”

“Sayang.” Taehyung mengusap surai hitam Jimin dengan tangan kanannya. “Aku sayang kamu. Sayang sekali.”

Katanya, good boy goes to heaven, but the bad boy brings heaven to you tapi tidak untuk Taehyung. Bagi Jimin, Taehyung is a good boy and brings heaven to him.

[]

➖ Piknik

Perjalanan dengan menggunakan mini bus berisi 8 orang didalamnya tak lebih seperti sedang pergi study tour apalagi di sepanjang jalan, Hoseok, Taehyung, dan Joy tak henti berbicara seperti seorang guide di perjalanan karya wisata. Ditambah, pembawaan mereka seperti menjelaskan kepada para siswanya. Kebiasaan tapi lucu. Ya, bagi Jimin lucu apalagi kalau Taehyung yang berbicara.

Posisi di mini bus di bagian supir ada Jungkook (karena cuma dia yang bisa mengendarai mini bus dan memiliki SIM khusus sementara yang lain hanya sampai mempunyai SIM mobil, kecuali Namjoon). Lalu, di sebelahnya ada Yoongi. Tidak jelas fungsi dia apa di sebelah Jungkook, mungkin sebagai moral support.

Sementara di belakang jok supir, ada Namjoon dan Hoseok. Namjoon tidak mau duduk di paling belakang, dia memiliki motion sickness bisa – bisa dia pusing, padahal jaraknya hanya 1.5 jam dari Inha. Mungkin manjanya muncul karena ada Hoseok.

Di belakang pasangan baru – Namjoon dan Hoseok – ada Seulgi dan Joy. Ya, mereka malu – malu sendiri duduk bersebelahan. Kata Yoongi, mereka itu love birds.

Selanjutnya, ada yang lebih love birds lagi sih tapi yang ini masih mode malu – malu anak ayam yaitu Taehyung dan Jimin.

Selain duduk di sebelah Jungkook, Yoongi juga bertugas sebagai DJ aka pemutar lagu selama di perjalanan. Dia bisa menerima rekues lagu apa saja bahkan cara pembawaannya pun sudah seperti penyiar radio.

“Ya, lagu selanjutnya ini merupakan curahan hati dari Ibu Guru Joy kepada yasudahlah ya semua juga tahu. Inilah satu tembang yang akan membawa kita menuju kota dari Melly Goeslaw – I just wanna say I love U. Uhuk, silakan Bupol didengarkan ini liriknya cuma satu kalimat aja kok, hehe. Check this out.” Ucap Yoongi.

Didalam mobil pun sudah seperti carpool karaoke, mereka bernyanyi dan tertawa serta tentu saja menggoda Joy dan membuat Seulgi menjadi salah tingkah. Tapi, sebenarnya Joy tidak pernah merekues lagu itu. Ya, itu hanya akal – akalan Yoongi saja.

“Nah, bagaimana para pendengar untuk lagu barusan? Semoga bisa mewakili perasaan Bu Guru Joy juga, ya, hehe.” Kekeh Yoongi. “Selanjutnya, lagu untuk pasangan baru kita sekaligus donator kegiatan hari ini yaitu Namjoon dan Hoseok. Tepuk tangan dulu dong.” Dan semua menurut untuk bertepuk tangan.

Mohon Tuhan untuk kali ini saja, lancarkanlah hariku, hariku bersamanya~” Suara nyanyian dalam mobil itu membuat Namjoon tersipu malu menampilkan lesung pipitnya dan Hoseok yang dibuat merah padam.

“Baik. Lagu selanjutnya untuk Bapak Supir Tercinta agar tetap fokus ya dalam membawa kita semua selamat sampai tujuan. Inilah Aura Kasih – Mari Bercinta.”

Setelah mengatakan itu, Yoongi mendapat pukulan dari Namjoon dan sorakan dari yang lain. Jungkook malah bukan fokus tetapi makin hilang akal apalagi saat Yoongi tak henti menggodanya.

Kamu inginkan aku .. peluk aku, cium aku. Kamu inginkan aku .. ingin bercinta denganku.”

Tepat di lirik itu Yoongi menatap Jungkook dengan penuh arti. Dia bahkan memegang paha Jungkook yang membuat Yoongi kena pukul oleh Namjoon lagi.

“Bro, lo malah bikin dia ga fokus!”

Yoongi hanya terkekeh dan Jungkook rasanya harus menahan diri. Panas dan dingin melihat kelakuan Yoongi.

“Baik, lagu selanjutnya untuk sang pemeran utama kita. Asik, mana suaranya nih para pendengar?” Yang lain pun ikut bersorak, sementara yang dimaksud oleh Yoongi hanya mesam – mesem di bangku belakang.

“Tak perlu berlama – lama, inilah Judika – Sampai Kau Jadi Milikku. Spesial untuk yang duduk di bangku belakang.”

Lagu pun diputar. Taehyung dan Jimin hanya tertawa malu – malu. Dalam hati, Jimin bertekad setelah sampai tempat, dia akan membuat perhitungan kepada Yoongi.

Kau tau sejak pertama bertemu terbayang senyum indah di matamu. Kau berikan tatapan cinta untukku, jatuh cinta ku jatuh cinta.”

Mereka bernyanyi dengan riang seakan lupa bahwa besok adalah hari Senin.

“Yuk, SEMUANYAAA!” Teriak Yoongi

Oh oh oh oh oh oh sampai kau jadi milikku. Oh oh oh oh oh oh kaulah cinta sejatiku.”

Yoongi mengarahkan botol minuman kepada penumpang di belakangnya seakan – akan botol itu adalah microphone persis seperti penyanyi di atas panggung yang menyuruh penontonnya bernyanyi bersama.

Agenda carpool karaoke pun berakhir ketika mereka sudah sampai di Kebun Raya Kota. Hoseok bilang dari pada mereka ke mall lebih baik piknik dan makan bersama di Kebun Raya. Semua makan dan minuman sudah disiapkan oleh Hoseok dan Namjoon. Yang lain tentu tinggal makan saja.

Tikar sudah digelar dan semua sudah siap. Mereka lalu duduk lesehan dengan pemandangan hamparan rumput dan pepohonan rindang. Hari itu lumayan cukup ramai. Banyak anak – anak yang bermain layang – layang, ada yang piknik juga, bahkan ada yang photo pre-wedding.

Guys, kayaknya ngga afdol nih kalau ngga ada ini.” Yoongi mengeluarkan botol wine dari tas ranselnya. Ternyata dia juga sudah mempersiapkannya. “Ini gue ambil waktu balik ke rumah, ya nyicip dikit ngga apalah.”

Tindakan Yoongi barusan mendapat tatapan tajam dari Jungkook.

“Dikit doang.” Ucap Yoongi seperti berusaha untuk mendapatkan izin dari Jungkook.

“Terserah, saya ngga akan minum karena nyetir.” Ucap Jungkook.

“Terus minumnya pake gelas plastik begini?” Namjoon menunjukkan gelas plastik warna – warni kepada Yoongi. “Gimana ceritanya minum wine tapi di gelas plastik.”

“Makanya lo tuh bilang, kompromi dulu, Sat!” Keluh Jimin. Kalau jaraknya tidak terhalang oleh makanan, mungkin Yoongi sudah dia jitak kepalanya.

“Ya, kan gue mau surprise, Sat, ceritanya. Lo aja yang ngga apresiasi.” Dumel Yoongi.

“Yoongi.” Jungkook mendelik kepada Yoongi membuat dia diam seketika.

“Haha, lucu banget Yoongi langsung diem digituin sama Jungkook.” Ucap Hoseok.

“Kan good boy not cursing, Bro.” Ledek Namjoon.

“Padahal yang good boy itu Taehyung.” Ucap Jimin sambil mulai mencomot perkedel dari tempat tupperware milik Hoseok.

Semua langsung memandang Jimin termasuk Taehyung. Jimin hanya lirik kanan – kiri bingung sebelum dia menyadari perkataannya.

“Ciein ngga?” Tanya Yoongi. Pertanyaan retoris.

“CIEEEEEEE!” Ucap yang lain serempak. Wajah Jimin memerah padam dan Taehyung tertawa melihatnya.

Setelah perdebatan panjang akhirnya mereka sepakat meminum wine yang Yoongi bawa. Hanya menyicip masing – masing satu gelas dengan alasan keamanan. Makan – makan pun dilanjutkan, mereka saling bertukar cerita, berfoto bersama, sesekali menggoda Seulgi dan Joy yang malu – malu tapi mau, bertanya ke Namjoon dan Hoseok bagaimana kronologi mereka bisa jadian, lalu habis – habisan meledek Yoongi yang tiba – tiba menjadi good boy setiap kali Jungkook meminta Yoongi untuk tidak mengumpat, dan tentu saja ‘menginterograsi’ sudah sejauh mana kedekatan Jimin dan Taehyung.

“Mau naik sepeda?” Taehyung menawarkan kepada Jimin saat melihat yang lain menyewa sepeda untuk berkeliling kebun raya.

“Aku ngga bisa, Tae.” Jimin menunduk malu. Taehyung tersenyum melihatnya.

“Aku bonceng.”

Taehyung menarik tangan Jimin dan menghampiri shelter sepeda. Mereka menyewa satu sepeda yang terdapat boncengan di belakang.

“Taehyung, sabar ya bawa Jimin, dia ngga bisa naik sepeda, naik motor, bawa bis, udahlah masih hebat Jungkook.” Ledek Yoongi saat dia melewati Taehyung dan Jimin yang sedang siap mengayuh sepeda.

Yoongi mendapat pukulan di bahunya oleh Jungkook yang berada di belakangnya. Mereka menyewa tandem bike.

“Diem lo!” Jimin memajukan bibirnya tanda kesal. Yoongi lalu memeletkan lidahnya kepada Jimin kemudian bergegas pergi.

“Ngga apa-apa, Min, kamu ngga perlu bisa, kan aku yang bisa.” Taehyung siap mengayuh sepedanya setelah Jimin duduk di boncengan belakang. “Pegangan, aku mau ngebut dan salip Yoongi.”

Jimin lalu memegang pinggang Taehyung, sepeda pun meluncur mengelilingi kebun raya dan menyusul Yoongi dan Jungkook. Setelah berhasil menyusul, Jimin melotot ke arah Yoongi.

Awas ya, lo!

[]

➖ Jungkook & Pertahanan Diri

“Lo kenapa sih? Kek yang resah begitu.” Ucap Yoongi saat melihat Jungkook yang dari tadi tidak henti memandang ponselnya, kadang meremas tangannya, dan melihat sekeliling. Ya, melihat apa saja asal jangan melihat Yoongi.

“Ngga kok.” Ucap Jungkook singkat.

“Lo ngga akan mandi atau ganti baju gitu? Lo bisa pakai baju gue. Ada kok yg ukuran gedenya, mau gue ambilin sekarang?” Yoongi segera beranjak namun tangannya dihentikan Jungkook.

“Kalau kita pulang sekarang gimana? Biar saya aja yang nyetir.”

Yoongi melihat jam. Sudah jam 7 malam. Kalau mereka memaksakan pulang, kemungkinan jam 12 atau jam 1 malam akan sampai Inha. Mengingat trayek ke Inha, perjalanan malam sebenarnya tidak disarankan.

“Saya sering nyetir ke Inha malem-malem.” Jungkook lalu melepas tangannya dari tangan Yoongi.

Yoongi duduk lagi. Melihat Jungkook yang mulai terlihat resah kembali.

“Lo lupa matiin kompor ya di rumah?”

Pertanyaan Yoongi menarik Jungkook untuk mengangkat kepalanya dan menatap Yoongi, kemudian dia buang pandangannya. Melihat Yoongi terlalu lama tidak baik baginya.

“Coba cerita lo kenapa?” Yoongi mendekatkan jaraknya kepada Jungkook. Namun, Jungkook terus mundur hingga mentok terkena ujung sofa.

“Yaudah, kalau mau pulang sekarang. Gue ganti baju dulu.” Yoongi ingin bangkit namun pahanya ditahan oleh Jungkook.

“Saya mau ke toilet dulu.”

“Di dalem kamar gue belok kanan, keliatan kok.”

Jungkook kini sudah di toilet. Memandang wajahnya melalui kaca wastafel. Dia menepuk-nepuk pipinya. Membasuh wajahnya berkali-kali hingga rambutnya ikut basah karena saking kerasnya air dia percikan ke wajahnya. Jungkook menghela nafas panjang. Lalu dia ke luar dari toilet.

Yoongi sudah bersandar di dinding sebelah pintu toiletnya saat Jungkook keluar. Jungkook kaget. Namun Yoongi mengambil langkah untuk mendekati Jungkook. Satu langkah maju Yoongi, maka Jungkook akan satu langkah mundur. Dua langkah mundur Jungkook, maka Yoongi akan maju. Tapi kali ini Yoongi maju tiga langkah, menepis semua jarak hingga nafas mereka mungkin saling menyentuh wajah masing-masing.

“Lo cuci muka apa keramas?” Kata-kata itu membuat mata Jungkook terbelalak. Yoongi mengeringkan wajah Jungkook dengan handuk yang entah sejak kapan Yoongi pegang. Dari wajah, lalu ke rambutnya hingga rintik-rintik air sudah tak ada lagi di rambutnya.

Wajah Jungkook sebenarnya sudah kering, tapi Yoongi mengulang mengusapnya dengan handuk. Mulai dari dahi, mata, hidung, pipi, dan kini ke bibir. Di bagian bibir, Yoongi tidak menyekanya dengan handuk tapi dengan jarinya. Dia kelilingi bibir Jungkook dengan ibu jarinya. Posisi ini sebenarnya memaksa Yoongi harus sedikit berjinjit. Perbedaan tinggi keduanya mau tidak mau meminta Yoongi untuk melakukannya.

Lalu, bagaimana Jungkook saat ini? Dia sudah tidak bisa lagi berpikir jernih. Yoongi terang-terangan mengajak dia berperang. Membordardir tembok pertahanan yang Jungkook bangun. Memaksa masuk agar Jungkook takluk padanya. Jungkook ingin mundur, tapi ada tembok kamar Yoongi. Dia terperangkap.

“Yoongi.” Jungkook menghentikan aktivitas penelusuran bibirnya oleh jari Yoongi dengan memegang tangan Yoongi. “Kamu sedang menggoda saya?”

Yoongi tersenyum kecil. Lebih tepatnya dia menyeringai.

“Lo udah tergoda duluan tanpa gue ngapa-ngapain juga.”

Benar. Benar sekali.

Yoongi adalah sebuah ancaman bagi Jungkook. Siap memporak-porandakan semuanya. Selama ini Jungkook mengatur strategi pertahanan sedemikian rupa. Bak di peperangan sungguhan, Jungkook telah membangun parit-parit, membangun tembok-tembok, dan berjaga dari jauh melihat pergerakan musuhnya. Ya, Yoongi. Tapi tetap saja, Jungkook terperangkap juga. Dia bukanlah prajurit yang kuat. Sebentar lagi tembok itu akan runtuh.

“Lo ga bisa terus-terusan menahan diri, Pak Polisi. You can have me. I can be yours.”

Yoongi sialan!

Use me!

Yoongi sepenuhnya menyerahkan diri kepada Jungkook. Isi pikiran Jungkook sekarang hanyalah Yoongi, Yoongi, dan Yoongi. Persetan dengan pertahanan diri, Jungkook telah kalah. Kalah telak.

Jungkook menarik pinggang Yoongi. Jaraknya sudah semakin dekat. Yoongi tersenyum kembali.

“Kita sudah sama-sama kalah, Pak Polisi.”

Habis kamu, Yoongi!

Jungkook lalu melumat bibir Yoongi. Semua terasa sangat terburu-buru, resah, gundah, tercampur jadi satu. Pagutan dan lumatan yang Jungkook berikan sangat menggebu, cenderung tak sabaran bahkan hingga membuat bibir Yoongi tergigit olehnya.

“Ma.. Maaf.” Kata pertama itu yang keluar dari mulut Jungkook. Dia mengusap sisa saliva dan luka gigitnya di bibir Yoongi.

Calm down, Police. Kita punya banyak waktu.”

Entah bagaimana mereka yang asalnya berdiri telah terbaring di ranjang. Yoongi bisa melihat Jungkook dan segala ambisinya yang selama ini dia tahan. Dia biarkan Jungkook menginvasinya. Melakukan apapun yang Jungkook mau pada dirinya.

Malam itu pertahanan diri Jungkook telah hancur. Untuk Yoongi.

Malam itu pula keangkuhan Yoongi telah dia singkirkan. Untuk Jungkook.

[]

➖ Hoseok dan Kepastian

Perkataan Joy tempo lalu sukses membuat Hoseok mempertanyakan hubungannya dengan Namjoon. Meski sebelumnya Namjoon berkata bahwa mereka berada di halaman yang sama, namun apakah semua itu cukup? Semua masih samar. Bagaimana jika Namjoon membalikkan halaman lain, atau malah tidak lagi membaca buku yang sama seperti dirinya? Bagaimana Hoseok akan meminta ‘pertanggungjawaban’ jika semisalnya Namjoon lari dan pergi begitu saja?

Hoseok tahu bagaimana perasaan Namjoon padanya. Perhatiannya, rasa sayangnya, kepeduliannya, semua jelas untuk Hoseok. Namun, kita ini apa?, kembali terngiang di pikiran Hoseok. Dia terlalu takut jika Namjoon tiba – tiba menghilang, apalagi dia hanya sementara di sini. Sampai masa dinasnya selesai. Tetapi, apakah setelah itu Namjoon akan kembali? Tidak ada yang tahu.

Kini, Hoseok sudah berada di Saung Ujin. Dia mencari tempat di sudut dan kebetulan Saung Ujin terbilang sepi hari itu karena masih sore hari.

Pintu Ujin terbuka dari luar dan dari sana terlihat Namjoon. Dia memakai kemeja putih yang dia gulung hingga sikut menampilkan urat – urat otot yang malu – malu nampak dari lengannya. Dia tersenyum melihat Hoseok. Lesung pipitnya terlihat jelas. Hoseok rindu.

“Maaf ya lama, tadi pasien terakhir lumayan agak – agak, hehe.” Ucap Namjoon dengan tawa kikuknya.

“Ngga apa – apa, aku juga baru datang.” Bohong. Hoseok sudah 30 menit menunggu di sini dengan segala pikirannya. “Kamu mau pesan apa? Aku pesenin ya.”

Lemon tea anget aja.”

“Makanannya?”

“Terserah. Cemilan aja, aku udah makan tadi di rumah sakit. Kamu mau makan?”

“Yaudah, ngemil aja, ya.”

Namjoon mengangguk. Hoseok lalu memesan ke kasir dan langsung membayarnya.

How’s your day?” Pertanyaan itu ditanyakan Namjoon ketika Hoseok telah duduk kembali. Kebiasaan Namjoon selalu bertanya tentang bagaimana harinyaberjalan. Hoseok rindu.

“Gitu aja. Ngajar, terus sempat tadi liat ayam – ayam. Udah mau panen lagi.”

“Wih … laris nih. Meski sibuk, tetap dijaga makannya.” Lagi – lagi kebiasaan Namjoon yang tak pernah lupa mengingatkan dia untuk menjaga makan. Ah, Hoseok rindu.

“Kamu juga.”

Setelah itu tak ada lagi suara. Yang terdengar hanya sayup – sayup musik yang sedang diputar di Saung Ujin. Keduanya larut akan pikiran masing – masing. Pesanan pun datang. Keadaan masih kikuk dan Hoseok mengusir rasa canggung itu dengan mengaduk – aduk jus melonnya. Sementara Namjoon menyeruput perlahan lemon tea-nya.

“Namjoon.”

“Hoseok.”

Mereka mengucapkan bersamaan. Namjoon lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Kamu dulu.” Ucap Hoseok.

“Aku boleh duduk di samping kamu ngga?” Pertanyaan itu sedikit membuat Hoseok terkejut. Mereka memang dari tadi duduk berhadapan. Hoseok menjawab dengan anggukan.

Namjoon kini sudah berada di samping Hoseok. Bahu mereka saling beradu. Namjoon benar – benar duduk terlalu dekat dengan Hoseok meski sebenarnya bangkunya memanjang dan masih cukup untuk diberi jarak.

“Aku boleh pegang tangan kamu?” Namjoon bertanya lagi. Biasanya Namjoon tidak bertanya untuk hal itu. Dia selalu tiba – tiba menggenggam tangan Hoseok namun kali ini semua terasa sangat canggung ketika dia bertanya hal itu.

“Biasanya juga langsung pegang.”

“Karena aku takut kamu gak mau aku pegang. Kamu mungkin masih marah.”

Hoseok lalu memiringkan tubuhnya untuk menatap Namjoon yang kini sedang tertunduk sambil meremas tangannya sendiri. Hoseok meraih tangan Namjoon duluan. Menautkan dengan tangannya.

“Udah dipegang tuh.”

Namjoon menatap Hoseok dari samping. “Sekarang udah ngga dingin lagi.”

“Iya kan tangannya udah dipegang.”

“Bukan itu. Tapi kamunya.”

Kini giliran Hoseok yang menatap Namjoon. “Maaf, ya.”

“Aku sebenarnya yang salah, aku kurang peka. Padahal yang kamu butuhkan hanya kepastian, maaf, Hoseok. Tapi jujur, aku ga pernah jadikan kamu tempat singgah atau sementara. Kamu … kamu adalah alasan aku untuk kembali kesini, kamu adalah alasan aku untuk menetap. Hanya saja—“

Hoseok menunggu Namjoon untuk meneruskan.

“Aku takut kalau ini terlalu cepat. Kita baru 4 bulan, Hoseok, tapi aku udah kepikiran untuk mau lamar kamu nanti setelah lulus.”

“Ha—“ Kaget. Jelas. Apa tadi yang Hoseok dengar? Lamar. Baik. Hoseok sekarang sedang berusaha mengatur nafasnya. Tangannya yang bertautan dengan tangan Namjoon mulai dibasahi keringat. Dia gugup.

“Ya, makanya ini terlalu cepat. Tapi aku udah klik sama kamu, Hoseok. Ga tahu, ya, kayaknya cuma kamu aja yang jadi tujuan aku setelahnya.”

Hoseok rasanya ingin terbang. Dia sudah mengawang. Namjoon memang sungguh spontan tapi ini terlalu membuatnya melayang.

“Jadi—“ Namjoon kini melihat ke Hoseok, mereka beradu pandang. “Kalau kamu mau kita jadian agar kamu merasa yakin dengan hubungan kita, ayo.”

Apakah Namjoon sadar dengan bagaimana dia mengajak Hoseok untuk jadian? Seperti yang Hoseok tahu dari film dan drama yang dia tonton bahwa ‘nembak’ itu dengan kata – kata, maukah kamu jadi pacar aku? atau aku udah lama naksir kamu, kalau kita jadian bagaimana?. Namun Namjoon tetaplah Namjoon. Dengan spontannya dia mengajak, ayo.

Hoseok tertawa kecil. “Namjoon.”

Namjoon baru menyadari bahwa lagi – lagi dia terlalu spontan mengatakannya. Dia jadi ingat perkataan dia di kedai susu murni waktu itu.

“Duh, maaf Hoseok, aku ga romantis, huhu.”

Hoseok tertawa kembali. “Ngga perlu. Gini aja kayak Namjoon seperti biasanya.”

“Jadi kita pacaran sekarang?” Mata Namjoon berbinar. Menunggu jawaban iya dari Hoseok.

“Pacaran ngga, ya.” Goda Hoseok.

Namjoon langsung memajukan bibirnya.

Gemas.

“Aku kangen tahu.”

Hoseok langsung bersandar di bahu Namjoon. Biarlah yang di Saung Ujin melihat mereka. Yang pasti, sekarang Hoseok sedang bahagia. Dia mendapatkan apa yang dia inginkan. Kepastian dan Namjoon.

[]

➖ Yoongi & Komitmen

Orang – orang selalu melihat bahwa keluarga Yoongi adalah keluarga yang sempurna. Kaya, cerdas, dan termasuk golongan high class di Andani. Ayah Yoongi adalah pemilik Min Law Firm sebuah firma hukum bergengsi. Bunda Yoongi adalah seorang hakim. Berlatar belakang keluarga hukum, kedua kakak Yoongi pun meneruskan jejak ayah dan bundanya. Kakak laki – lakinya ikut jejak ayah sebagai pengacara, kakak perempuannya ikut jejak bunda dan kini menjadi salah satu hakim muda di Andani. Namun Yoongi memilih jalannya sendiri.

Alasan terbesar Yoongi tidak ingin mengikuti jejak yang sama di keluarganya, karena dia tidak ingin seperti mereka, penuh dengan kepalsuan. Bagi Yoongi, keluarganya hanya memamerkan kebersamaan, seolah – olah satu padahal penuh dengan perpecahan.

Ayah dan Bundanya sudah tidak berada di atap rumah yang sama sejak Yoongi duduk di bangku SMP. Bercerai? Tentu tidak, mereka mempermainkan kata ‘pernikahan’ dengan terus bersama di depan media, menampilkan sebuah potret keluarga yang rukun dan bahagia hanya jika ada acara penting saja. Setelahnya, mereka bagai orang asing.

Kakak laki – laki dan kakak perempuannya pun sama. Hubungan pernikahan keduanya sama sekali tidak bisa dibilang harmonis. Kakak laki – lakinya mengikuti jejak ayah dan bunda, tidak bercerai namun tinggal terpisah. Kakak perempuannya terjebak di hubungan pernikahan yang toksik namun tidak pernah mengajukan gugatan perceraian. Alasannya sama, menjaga imej keluarga.

Omong kosong.

Pemandangan seperti itu sudah Yoongi lihat bertahun – tahun. Dia muak. Dia mempertanyakan beberapa kali untuk apa komitmen dibangun, atas dasar apa orang – orang memilih untuk menikah. Pernikahan hal sakral yang banyak orang – orang agungkan, namun hanya permainan bagi keluarganya. Hanya untuk menjaga imej keluarga bahagia demi julukan family goal.

Jangan hanya lihat yang buruknya saja. Lihat sekeliling, yang baik pasti ada. Banyak yang berkata begitu, namun, apa yang bisa Yoongi lihat jika yang terdekatnya pun sudah demikian rusak seperti ini?

Yoongi beranjak dewasa dengan melihat potret komitmen dan ikatan yang seperti ini, tanpa sadar membuatnya takut untuk berkomitmen. Baginya, orang – orang yang jatuh cinta segilanya bisa hilang akan rasa itu dan memilih untuk pergi atau bersama namun tak ada rasa for god sake of commitment. Bagi Yoongi, cinta itu bebas, tanpa perlu ada ikatan, yang penting adalah ‘rasa’ itu tetap ada. Percuma ada ikatan dan memiliki komitmen namun tidak ada ‘rasa’.

Namun, seseorang sempat menggoyahkan pemikiran Yoongi tersebut. Kihyun. Dia sukses hampir membuat Yoongi percaya bahwa cinta sejatinya tetap memerlukan ikatan dan komitmen. Kihyun mungkin bisa saja menjadi ‘penyembuh’ bagi Yoongi.

Kihyun adalah sosok yang atraktif bagi Yoongi. Petualangan dia seakan menyuruh dia untuk menetap saat dia melihat hasil fotografi Kihyun di pameran kampus. Kihyun begitu sangat baik memaparkan hasil fotonya. Yoongi tertarik. Dia mendekatinya Kihyun dengan berbagai cara. Kihyun played it hard dan hal itu semakin membuat Yoongi tertantang. Hingga akhirnya mereka pun saling menyadari bahwa mereka berada di halaman yang sama.

Selama kuliah hingga Yoongi di masa koas, Kihyun selalu menemani. Kihyun tahu akan ketakutan Yoongi, tahu bagaimana Yoongi selalu tak mau membahas jika dia bertanya soal komitmen, namun Kihyun tak menyerah. Pada satu titik, setelah Kihyun mendapat gelar akuntannya dan Yoongi sudah mendapatkan gelar dokternya, Kihyun melamar Yoongi.

“Aku ga bisa, Ki.”

“Bisa ngga untuk kali ini kamu lupain soal commitment issue kamu?” Kihyun mencoba meyakinkan Yoongi. Dia sudah memperlihatkan sebuah cincin yang akan dia pakaikan kepada Yoongi. “Kamu bukan orang tua kamu, kamu bukan kakak kamu. Dan aku juga bukan mereka.”

“Aku tetap ga bisa, Ki.”

“Lalu hubungan kita selama ini apa?”

“Ki … aku mohon, bisakah kita seperti ini saja? Apa perlu menikah? Yang terpenting kita saling mempunyai perasaan.”

“Lalu bagaimana jika suatu hari kamu pergi?”

“Kihyun, hal itu pasti. Bahkan orang yang menikah pun bisa bercerai kan?”

“Sebegitu dangkalnya kamu melihat ikatan pernikahan?”

“Ki .. please.”

Pukulan telak bagi Kihyun. Dia selalu bangga mengenalkan Yoongi kepada teman – temannya. Memperlihatkan betapa bahagianya dia bersama Yoongi. Kihyun mempunyai mimpi menikah, memiliki anak, dan tinggal di sebuah pedesaan kelak jika sudah menua bersama Yoongi namun sayangnya Yoongi tidak memiliki pemikiran yang sama. Dan Kihyun tak bisa lagi, dia memilih untuk pergi.

Dunia Yoongi yang selalu dia patrikan untuk Kihyun pun hancur seketika. Dia kalah. Dia mengizinkan Kihyun untuk pergi. Mereka tak lagi berada di halaman yang sama.

Pemandangan yang selama ini Kihyun inginkan, kini terlihat di hadapan Yoongi. Sebuah pesta pernikahan dengan konsep garden party. Foto – foto pre-wedding yang terpasang di sepanjang taman. Sungguh sangat estetis dan Kihyun sekali. Yoongi tahu. Semua hal itu pernah Yoongi dengar dulu dari Kihyun.

“Selamat, ya.” Yoongi menyalami Kihyun yang sedang berdiri menyambut tamu. Suasana tak begitu ramai karena memang pernikahannya hanya mengundang orang – orang terdekat.

“Aku kira kamu ngga akan datang.” Kihyun sangat tampan dengan suit berwarna putih dan ungu sesuai dengan tema pesta pernikahannya.

“Kan aku udah bilang bakal datang.” Yoongi melirik ke sisi sebelah Kihyun, seakan tahu apa yang Yoongi cari, Kihyun mengatakan bahwa suaminya sedang berganti pakaian. Kihyun pun lalu melirik seseorang dibelakang Yoongi.

“Ini Jungkook.”

Yoongi mengenalkan dan Jungkook pun menyalami Kihyun dan mengucapkan selamat. Jungkook tahu bahwa Yoongi dan Kihyun mungkin akan berbicara, dia pun meminta izin untuk langsung ke stand makanan.

“Pacar kamu?” Tanya Kihyun. Dan mendapat jawaban tawa kecil dari Yoongi. “Ternyata kamu masih sama aja ya, konsisten.” Terdengar memuji sekaligus mengejek dalam satu waktu.

“Ki, bahagia, ya. Kamu akhirnya bisa mewujudkan keinginan kamu. Aku turut senang. Pesta ini, dekorasi, pakaian kamu, bahkan segalanya adalah wedding goal yang kamu dambakan. Semoga pernikahan kamu kekal sampai maut memisahkan.”

“Wow, the good speech.”

“Aku tulus, serius.”

“Iya, Gi. Kamu juga, ya. Aku yakin bahwa dia itu spesial makanya kamu bawa kesini.” Ucap Kihyun. “Usia kita bertambah, luka kita mungkin bisa saja telah sembuh, dan juga bisa jadi ada alasan di mana kamu bisa menetap, Gi. Alasan itu mungkin ada di dia.” Ucap Kihyun sambil mengarahkan tatapannya ke Jungkook yang sedang melihat jajaran stand makanan.

Suami Kihyun pun tiba, Yoongi mulai menyalaminya dan memberikan selamat. Obrolan itu pun hanya sampai pada itu saja. Sudah. Mereka sudah lama selesai dan ini hanyalah sekadar ucapan selamat pernikahan dari ‘teman’ lama.

Yoongi melangkahkan kakinya menghampiri Jungkook yang sedang mencicipi pudding coklat.

“Udah ini, kita cari makan.” Ajak Yoongi.

“Ngga makan di sini?” Tanya Jungkook.

“Ngga, di luar aja. Mumpung lagi di Andani, kita makan yang ga ada di Inha.”

Jungkook dan Yoongi sudah meninggalkan pesta pernikahan tersebut. Yoongi mulai berkeliling untuk mencari tempat makan. Perjalanan 5 jam dari Inha ke Andani kemudian langsung ke pernikahan, hanya sempat memakan pudding, rasanya Yoongi tidak rela membiarkan Jungkook merasa lapar. Baginya, selama perjalanan ini, Jungkook adalah tanggung jawabnya.

“Yoongi.” Ucap Jungkook memecah keheningan. Dari tadi Yoongi hanya fokus menatap jalan sambil mengendarai mobil.

“Nanti gue cerita ya.”

“Ngga perlu, Yoongi.”

“Gue tahu pasti lo penasaran, gimana gue berakhir dengan dia, kenapa gue gini, kenapa gitu.” Ucap Yoongi sambil menatap Jungkook sesekali. “Gue lagi berusaha mendekatkan diri dengan lo, gue ga mau bikin lo salah paham, karena itu akan mengurangi penilaian lo ke gue.”

“Penilaian apa?”

“Penilaian sebagai calon pacar.”

Yoongi tersenyum setelah mengatakan itu. Dia akhirnya menemukan sebuah restoran yang cocok baginya untuk menceritakan – mungkin Jungkook penasaran tetapi terlalu sungkan untuk bertanya – semuanya. Sementara, bagaimana Jungkook setelah mendengar ucapan barusan? (Bocoran : dia rasanya ingin terbang).

[]

➖ Dokter 3 dalam 3 Babak

Babak 1.

Namjoon harus menerima bahwa menjadi residen penyakit dalam maka mayoritas pasiennya adalah orang – orang yang berusia lanjut. Seperti yang dihadapannya sekarang. Seorang Kakek berusia 65 tahun.

Kakek ini memberikan hasil kebunnya seperti ubi jalar, kentang, wortel, dan buah mangga. Variasi sekali sebagai 'hadiah' karena sudah memeriksanya. Selain memberikan hasil kebunnya, Kakek ini pun mengatakan bahwa dia ingin memegang lesung pipit Namjoon. Sontak orang-orang yang mengantri di belakang Kakek ini, menginginkan hal yang sama.

Kegiatan posbindu lansia ini lebih terlihat seperti acara tanda tangan artis.

“Dokjoon, semangat!” Ucap Suster Mina saat melihat Namjoon beberapa kali menjadi 'sasaran' para kakek dan nenek yang sibuk menjodohkan Namjoon dengan cucu mereka.

Setelah agenda posbindu selesai, Namjoon kebingungan melihat begitu banyak 'oleh-oleh' yang diberikan oleh para peserta posbindu untuk dirinya.

“Pas puskesmas bilang kalau yang meriksa itu dokter dari kota, mereka jadi antusias buat datang kesini, Dok. Katanya Dokter kasep.”

Ya, setelah tinggal 4 bulan disini, Namjoon sudah tahu arti kasep itu artinya ganteng. Dia tahu dia memang ganteng, tetapi menjadikan namanya sebagai promosi kepada warga, tak pernah dia duga.

“Dok, saya pesankan becak saja, ya. Nanti langsung dibawakan ke rumah Dokjoon. Tinggalnya di rumah sewaan milik Pak Kades kan?” Tanya Suster Mina.

“Iya betul. Duh, makasih banyak ya, Sus.”

Oleh-oleh milik Namjoon sudah berhasil diangkut ke becak. Namjoon pun bersiap untuk kembali ke rumah sakit. Namun tampak dari jauh, dia melihat Hoseok. Yang entah mengapa kini seperti menghindarinya. Tak ingin melepaskan kesempatan, Namjoon pun mengejar Hoseok.

“Hoseok!” Panggil Namjoon. Dia melihat Hoseok membawa beberapa map. “Sibuk banget ya?”

“Iya, kan aku udah bilang.” Dingin. Padahal hari itu sangat terik.

“Apa ngga ada waktu sebentar buat kita ngobrol, Hoseok?”

“Nanti, ya, aku masih harus rekap data. Ini mau ke sekolah lagi.”

“Mau aku anter ngga? Aku bawa sepeda.”

Namjoon menyadari setelahnya bahwa sepedanya masih tertinggal di Posbindu, dia terlalu semangat mengejar Hoseok hingga lupa sepedanya.

“Aku ambil dulu sepedanya.”

“Ngga perlu, deket kok. Udah ya, aku harus ke sekolah lagi.” Hoseok sudah akan pergi tetapi tangannya ditahan oleh Namjoon.

“Kamu kenapa, sih? Ini bukan soal perasaan aku aja, tapi jelas kamu benar-benar hindarin aku. Kenapa, Hoseok? Aku ada salah atau kamu sudah ada orang lain?”

Salah. Namjoon salah mengatakan kalimat yang terakhir. Dia tahu, tetapi bagaikan panah yang sudah terlepas dari busurnya, dia tidak bisa menarik kembali kata-katanya dan hal itu mengundang ekspresi tak mengenakkan dari Hoseok.

Sorry aku ngga maksud buat bilang begitu. Aku cuma ga tahu kenapa kamu kayak gini.”

“Kita ini apa?” Tanya Hoseok.

Pertanyaan tiba – tiba itu pernah Namjoon prediksikan namun selalu terlewat dan terlupa. Namjoon tahu bahwa Hoseok butuh kepastian. Perkataannya di depan kedai susu murni waktu itu tak cukup membuat Hoseok yakin.

“Kita, ya kita, Hoseok.”

“Iya, apa? Kamu ga bisa bilang apa-apa karena kita memang bukan apa-apa. Karena aku mungkin hanya orang sementara untuk kamu selama di sini, Namjoon.”

“Kamu bukan sementara, Hoseok.”

“Atau mungkin hanya tempat singgah.”

Hoseok melepaskan genggaman tangan Namjoon. Dia pergi begitu saja. Namjoon tidak mengejar. Dia terlalu lemas bahkan untuk menggerakkan kakinya. Tak pernah terpikir hal itu dibenaknya. Sementara? Tempat Singgah? Tidak pernah, bagi Namjoon – meski baru hitungan bulan mereka bertemu – Hoseok bukanlah hal itu. Dia adalah alasan di mana Namjoon ingin kembali dan menetap.


Babak 2.

Jimin menyadari bahwa sedari tadi dia memeriksa siswa-siswi TK untuk kegiatan pengukuran tumbuh kembang dan penjaringan kesehatan, mata Taehyung tidak terlepas darinya. Sungguh sangat kentara. Apa Taehyung sadar bahwa dia telah menatap Jimin dengan lekat-lekat? Hingga Joy seperti menyadarkan Taehyung. Dia lalu tersipu dengan wajahnya yang menjadi kemerahan. Dan kebiasaannya ketika gugup muncul, dia mulai meremas celananya.

Lucu.

“Kang Taehyung bener – bener, ya.” Ucap Yerim.

Jimin sudah pasrah dan mungkin akan menjadi bahan cie cie di rumah sakit nanti.

“Doktel .. Doktel .. sekarang Mamah Nala udah ga mala mala kalena Nala udah pintal pijit – pijit.” Ucap Nara membanggakan dirinya ketika selesai Jimin mengukur berat badan dan lingkar kepalanya.

“Oh, ya? Bagus dong. Nara hebat!” Jimin memberikan kedua jempolnya pada Nara.

“Doktel.” Di samping Nara terdapat Eunwoo yang melihat ke kiri dan ke kanan kemudian meminta Jimin untuk mendekatkan telinganya. Dia ingin membisikan sesuatu. “Pateh suka Doktel.” Perkataan Eunwoo barusan tidak seperti orang yang berbisik karena semua orang yang di sana bisa mendengarnya.

“Eunwoo!” Taehyung langsung menarik Eunwoo dari hadapan Jimin. Semua di ruangan itu bereaksi. Ada yang langsung berbisik-bisik, spontan mengatakan cie, dan suara – suara riuh yang tidak jelas dari siswa ikut menjadi satu.

Setelah selesai pemeriksaan ke seluruh siswa, Jimin sudah dibawa oleh Taehyung ke ruang guru yang telah kosong. Joy sedang membereskan data kelasnya, Hoseok sedang pergi dulu mengambil beberapa data yang ketinggalan di rumahnya, dan tinggal Taehyung yang sedang berdua dengan Jimin sambil membuka tempat makan siang berisi ayam serundeng.

“Kalau ini buat dimakan di rumah. Nanti bisa bagi – bagi ke Namjoon dan Yoongi juga.” Ucap Taehyung.

“Makasih, ya. Jadi repotin.”

“Ngga, ngga repot. Ayo dimakan.”

“Kamu juga.”

“Ya, kamu makan dulu, aku mau tahu ini sesuai selera kamu ngga.”

“Pasti sesuai kok.” Ucap Jimin sambil membuka tempat makan yang Taehyung beri. Dia lalu menyuapnya perlahan.

Taehyung memerhatikan Jimin lekat – lekat. Mulai Jimin membuka tempat makan, mengambil sendok, menyuap nasi dan ayam ke mulutnya, bahkan saat Jimin mengunyah makanannya.

“Tae, aku ga akan hilang kok.” Taehyung langsung menunduk malu saat Jimin mengatakan itu, tangannya mulai refleks meremas celananya. “Tuh kebiasaan deh, suka remas celana begitu.” Jimin meraih tangan Taehyung melepaskannya dari remasan tangannya.

“Maaf kalau buat kamu ngga nyaman, aku refleks aja ngga sadar kalau dari tadi liatin kamu. Malu banget.” Taehyung menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

“Tae.” Jimin menurunkan tangan Taehyung dari wajahnya. “Aku suka kok.”

Taehyung langsung menatap Jimin. Seakan butuh Jimin mengatakannya lagi.

“Ya, aku suka, ayamnya enak.”

Salah sinyal kembali. Taehyung menghela nafasnya. Dia memberikan menyunggingkan senyuman singkat. Lalu, bibirnya ditekuk.

“Kok cemberut?”

Taehyung menggeleng. “Makasih udah suka ayamnya.”

“Kalau ke yang buatinnya, boleh suka?”

Pertanyaan retoris itu membuat Taehyung terpana. Dia tidak bisa menyembunyikan detak jantungnya yang berdetak sangat cepat. Jimin hanya tersenyum setelahnya sambil memakan ayam serundeng buatan Taehyung, sementara Taehyung rasanya ingin melebur saja.


Babak 3.

Yoongi beberapa kali mempertanyakan arti kehidupannya hari ini saat dia kini sedang memegang lembar balik – media penyuluhan yang berbentuk seperti kalender, bisa dibalik depan belakang – yang puskesmas berikan padanya. Ya, atas permintaan dari rekan sejawatnya, Yoongi mendapat mandat untuk memberikan penyuluhan tentang pentingnya imunisasi kepada siswa-siswi sekolah dasar sambil menunggu mereka mendapat giliran untuk diimunisasi.

Bagaimana dia selalu berakhir dengan bertemu anak – anak disini? Agenda jelajah rumah sakit dengan siswa – siswi TK waktu itu, Yoongi kira sudah cukup namun ini malah lebih dari itu. Yoongi tidak ada persiapan sama sekali. Dia kikuk dan kaku. Hanya membaca yang ada di lembar balik itu saja. Tingkah laku Yoongi itu mengundang perhatian Jungkook yang dari tadi sudah berada di sekolah untuk mendokumentasikan kegiatan BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah).

“Adek – adek, tahu ngga kenapa kita harus diimunisasi?” Tanya Yoongi.

Pertanyaan itu mengundang jawaban beranekaragam dari siswa. Agar sehat, agar terbebas dari penyakit, menjadi kuat, bahkan ada yang menjawab agar bisa menjadi bagian dari Avengers. Yoongi tertawa mendengar jawaban dari para siswa, gummy smile-nya pun terpatri di wajahnya.

“Minta videonya!” Ucap Yoongi kepada Jungkook setelah penyuluhannya selesai. Dan Yoongi hanya mendapat delikan dari Jungkook. “Gue tahu lo dari tadi videoin gue pas penyuluhan. Iya, kan? Ngaku aja.”

Jungkook memalingkan tubuhnya dari Yoongi. Hal itu membuat Yoongi greget dan mencoba meraih kamera yang dari tadi Jungkook pegang. Namun tidak berhasil. Badan Jungkook sukses menghalangi jangkauan tangan Yoongi untuk meraih kameranya.

“Pelit lo!”

“Dokyoon.” Suara itu membuat Yoongi menoleh. Wendy memanggilnya atau mungkin dia sudah melihat Yoongi dari tadi. “Dokter dipanggil oleh Kepala Sekolah katanya mau ada yang dibicarakan.”

Yoongi bingung kenapa Kepala Sekolah ingin berbicara padanya padahal yang dia lakukan hari ini hanya penyuluhan yang lebih bisa disebut stand up comedy. Yoongi tidak sadar bahwa kadang dia menunjukkan sisi lainnya yaitu sisi bercanda dan membuat suasana menjadi santai.

Selepas Yoongi pergi, tertinggal Wendy yang sedang membawa perlengkapan BIAS. Jungkook datang menawarkan bantuan. Lalu, Wendy iyakan karena dia harus membawa barang lainnya untuk diangkut ke mobil puskesmas. Jungkook menunggu Wendy, kemudian mereka menuju ke mobil.

“Aku sudah ditolak padahal belum bilang apa – apa, bahkan belum sempat berbuat apa – apa.” Ucapan Wendy yang tiba – tiba ini membuat Jungkook menghentikan langkahnya. “Dia hanya lihat kamu, Kook. Aku kalah lagi.”

“Wendy.” Langkah Wendy yang kini terhenti.

“Kamu ga usah nahan diri kamu lagi, Kook, hanya karena kamu ga enak sama aku. Hal itu malah buat aku makin terlihat menyedihkan.”

“Wendy, hm.. Aku ga pernah sama Yugyeom. Aku ga pernah suka sama dia. Dia hanya jadikan aku alasan aja.”

Wendy menghela nafas panjang. Tak menyangka Jungkook akan mengatakan hal yang telah 10 tahun dia pendam. “Sudah lama sekali dan kamu baru bilang sekarang?”

“Maaf, Wendy, aku terlalu takut dan ngga tahu harus bagaimana saat kamu menangis waktu itu.”

“Aku bentak – bentak kamu dan marahin kamu.”

“Tapi kamu nangis.”

“Dari dulu aku yang ternyata ngga pernah dengar dan kasih kesempatan kamu buat ngomong. Sekarang pun aku malah buat kamu menahan semuanya. Benar, Kook, kita ngga berteman lagi adalah hal yang tepat. Aku cuma pecundang yang bisanya hanya menyalahkan orang lain.”

“Ngga gitu, Wen. Aku juga yang memilih buat lari dan ngga ngejelasin apa – apa.”

“Sekarang kamu harus prioritaskan diri kamu, Kook. Ga perlu menahan semuanya. Aku tahu kok, mata kamu ngga bisa bohong. Kita bisa sama – sama lepaskan masa lalu kita dan aku pun akan melepaskan perasaan ini.”

“Wen.”

“Udah, Kook, jangan makin buat aku terlihat seperti wanita patah hati, meski memang iya, tapi udahlah.”

“Kalian ngapain berdiri sambil bawa barang begini, mau dibantuin?” Yoongi tiba – tiba datang dan sudah berada di tengah – tengah Jungkook dan Wendy. Entah sejak kapan.

“Ga perlu!” Wendy dan Jungkook kompak mengatakan hal yang sama. Mereka lalu beradu pandang, saling kikuk. Lalu pergi ke mobil meninggalkan Yoongi yang masih berdiri mematung.

[]

➖ “Jangan takut, ada aku”

Malam yang dijanjikan telah tiba. Taehyung sudah siap di depan rumah sewaan Jimin dengan motor matic biru andalannya. Jimin lalu keluar, wajahnya tersenyum kikuk.

“Hai.” Ucap Jimin.

“Hai, juga. Jaketnya kurang tebal deh itu, soalnya ke atas sana lebih dingin, apalagi kita naik motor.”

“Oh, duh .. Jaketnya ada di mobil terus mobilnya lagi dibawa Yoongi.”

“Yaudah pakai jaket aku aja.”

“Eh, jangan nanti kamu pakai apa?”

“Ada kok satu lagi jaket di jok motor.”

Taehyung lalu turun dari motornya dan membuka joknya. Jimin tidak tahu bahwa isi bagasi jok motor bisa muat banyak barang. Taehyung mengeluarkan jaket yang dibungkus rapi itu dari plastiknya.

“Atau mau jaket yang ini? Ini baru aku cuci dan setrika. Aku biasa bawa dua buat jaga-jaga kalau pulang malem.”

Jimin lalu menerimanya. Dia kemudian memakainya. Jaket itu lumayan tebal dan Jimin memakainya double dengan jaket yang sudah dia kenakan.

“Ini kerahnya kelipat.” Taehyung membenarkan kerah jaketnya. Jimin terdiam sampai Taehyung memberikan helm padanya.

“Ayo.”

“Taehyung.”

“Iya?”

Jimin menggeleng. Dia perlahan mulai menaiki motor Taehyung. Ragu-ragu dan takut mulai menyergapnya.

“Udah?”

“Iya.”

Taehyung mulai menyalakan motornya. Jimin kaget dan mulai memegang bahu Taehyung.

“Kenapa?”

“Ng ... Ngga.”

Motor pun melaju dengan kecepatan sedang. Taehyung mulai merasa ada gelagat yang aneh dibelakangnya. Makin lama, Jimin makin mencengkram bahu Taehyung.

“Jimin ... Jimin ...” Panggil Taehyung. Tetapi tidak ada jawaban. Taehyung lalu menghentikan motornya dan melihat ke arah Jimin yang sedang memejamkan matanya dengan rapat-rapat.

“Jimin, kamu kenapa?” Tanya Taehyung.

Jimin lalu membuka matanya perlahan. Dia tidak sadar bahwa motor sudah berhenti. Dia lepaskan tangannya dari bahu Taehyung.

“Jimin sakitkah?”

“Tae .. Taehyung, hm ..”

“Kenapa? Atau kita pulang aja, ya?”

“Ng .. Ngga usah, Taehyung.” Jimin menundukkan kepalanya.

“Turun dulu coba.”

Jimin lalu turun dari motor dan disusul oleh Taehyung setelah motornya dia standarkan.

“Kenapa?”

“Aku .. udah lama ngga naik motor.” Ucap Jimin perlahan. “Dan aku sebenarnya ... hm, takut buat naik motor.”

“Aduh, kenapa ngga bilang, Jimin? Tahu gitu aku ga akan ajak kamu naik motor.” Ungkap Taehyung merasa bersalah.

“Ngga apa-apa kok, Taehyung, harusnya udah biasa soal udah lama juga. Tapi masih takut ternyata.”

“Sebelumnya pernah jatuh dari motor ya?”

“Iya, dulu waktu sekolah pernah kecelakaan, terus temanku yang nyetir sampai masuk ke kolong truk.”

“Astaga!”

“Waktu itu dia cukup parah lukanya, tapi beberapa bulan perawatan sudah sembuh, cuma setelahnya aku jadi takut kalau naik motor.” Jelas Jimin. “Tapi ngga apa-apa, Taehyung, lanjut aja. Beneran deh.”

“Hm, beneran?”

“I .. Iya.”

Taehyung lalu meraih tangan Jimin. Menggenggam dan membuat tangannya bertautan.

“Jangan takut, ada aku.” Ucapnya. Jimin terdiam dan tidak bisa bereaksi. Tangannya ditarik oleh Taehyung saat dia meminta Jimin untuk naik lagi ke motornya. Taehyung lalu menempatkan kedua tangan Jimin melingkar dipinggangnya. Dia mengelus tangan Jimin perlahan.

“Peluk aja. Terus, kamu bisa merem kalau takut atau bisa remas jaket aku ini, apapun biar kamu ga takut lagi. Tapi yang pasti ada aku disini.”

Ucapan Taehyung barusan membekas hangat di dada Jimin.

“Makasih, Taehyung.”

“Sudah boleh aku jalankan motornya?”

“Iya.”

Taehyung menyalakan motornya kembali dan Jimin langsung memeluk Taehyung dengan erat.

“Pelan-pelan atau mau gimana?”

“Apa aja asal selamat.”

Taehyung tersenyum lalu mulai menjalankan motornya dengan kecepatan sedang.

Pemandangan menuju ke atas bukit itu indah dengan hamparan pesawahan dan bukit lainnya yang sudah mulai diterangi lampu jalan. Namun, Jimin lebih memilih memejamkan matanya. Taehyung mengintip dari kaca spion-nya.

“Coba deh buka matanya perlahan. Ngga apa-apa, coba dulu.” Ucap Taehyung sambil mengelus tangan Jimin dengan lembut.

Jimin lalu membuka matanya perlahan. Dia lalu berhasil melihat sekitarnya. Pemandangan bukit-bukit, angin malam yang menyapa wajahnya, dan Taehyung yang berada didepannya.

“Ngga apa-apa kan?”

Jimin tidak menjawab. Dia bisa melihat sekeliling meski tetap merasa takut dan masih mencengkram jaket Taehyung.

Setelah menempuh jalan yang lebih menanjak dan angin yang menyapa lebih dingin dari Bukit Bintang, mereka pun akhirnya sampai. Tempatnya memang lebih sepi dan lebih dingin. Tetapi tetap ada warung-warung menjual minuman hangat dan cemilan.

“Tarik nafas dulu.” Ucap Taehyung saat melihat Jimin masih gugup dan tegang. “Tunggu sini, ya, aku belikan susu hangat dulu.” Jimin mengangguk.

“Gimana di sini lebih bagus kan?” Ucap Taehyung sambil menyerahkan segelas susu hangat ke Jimin.

“Iya. Tapi trayeknya lumayan juga.”

“Hehe, iya, makanya aku bilang buat naik motor. Kalau naik mobil, kasihan mobil kamu. Tapi untung aja ini Si Biru ngga mogok, hehe. Biasanya dia suka manja terus tiba-tiba mogok.” Ucap Taehyung sambil melirik motornya.

Mereka berdua bersandar di jok motor Taehyung yang sudah distandargandakan.

“Lucu nama motornya.” Ucap Jimin.

“Dia itu setia banget dari jaman aku masih sekolah, kuliah, sampai sekarang.”

“Wow, lama banget.”

“Makanya kalau dia manja, yaudah mau gimana lagi, dia udah, hm tua.” Ucap Taehyung memelankan saat mengatakan 'tua'.

Jimin tertawa mendengarnya.

“Kamu kalau ketawa matanya segaris, hihi. Gemes.”

Mata Jimin langsung terbelalak. “Hah? Oh.. Kamu juga.”

“Ngga, aku masih ada sedikit, kalau kamu bener-bener ilang matanya kalau ketawa.” Ucap Taehyung. “Ngga apa-apa, sering-sering ketawa dan bahagia, ya, Jimin.”

Lagi-lagi ucapan Taehyung membuat dada Jimin menghangat.

“Di sana itu ada Air Terjun Inha atau warga sini bilangnya Curug Inha. Tempatnya enak buat ngadem, kalau kamu senggang, kapan-kapan kita kesana.”

“Boleh.”

“Di Inha itu banyak tempat wisatanya dan masih belum terjamah banyak orang jadi masih asli dan asri. Kita harus eksplor itu, jangan di rumah sakit terus, hehe.”

“Iya, nanti kalau libur ya.”

Taehyung mengangguk dan mengacungkan jempolnya pada Jimin.

“Taehyung. Makasih ya, maaf kalau aku buat repot gara-gara takut tadi.”

“Ngga apa-apa, Jimin, semua orang punya rasa takutnya sendiri. Aku juga takut jarum suntik padahal udah segede ini, hehe.” Kekeh Taehyung. “Dan kamu juga waktu itu nenangin aku, jadi mungkin sekarang giliran aku yang nenangin kamu.”

Rasa hangat di dada Jimin perlahan naik mencapai wajahnya. Kini wajahnya menghangat dan memerah.

“Wajah kamu merah. Kedinginankah?” Taehyung lalu secara perlahan menyentuh pipi Jimin. Kedua tangannya kini memegang pipi Jimin. “Kenapa malah makin merah?”

Jimin lalu mundur dan terlepasnya tangan Taehyung dari wajahnya. Dia jadi teringat dulu dia pernah seperti itu kepada Taehyung saat dia mabuk.

Taehyung kemudian tersadar dan malu atas tindakan spontannya barusan. “Maaf. Maaf, Jimin, aku cuma refleks.” Taehyung lalu meremas celananya untuk menahan rasa malunya.

“Ngga apa-apa, Taehyung, aku tadi hm ... cuma kaget.” Ucap Jimin. “Kamu kalau gugup suka remas celana begitu ya?”

“Ah .. Ngga, hm .. Aku, iya hm .. Maaf, Jimin.” Taehyung mulai terbata-bata. Jimin lalu menggenggam tangan Taehyung. “Jangan diremas gitu celananya, nanti kusut.”

Hangat. Tangan Jimin hangat menggenggam tangan Taehyung. Kini tak hanya menggenggam, Taehyung menautkannya dengan tangannya.

“Bintangnya bagus ya?” Ucap Jimin.

“I .. Iya.” Taehyung lalu meminum minumannya.

Jimin kemudian mengalihkan pandangannya pada Taehyung. Mereka lalu beradu pandang. “Di sini juga bintangnya bagus. Di mata kamu.”

Lalu, Jimin semakin mempersempit jarak wajahnya dengan wajah Taehyung. Semakin dekat dan membuat Taehyung meremas tangannya. Dia memejamkan matanya. Taehyung merasakan hembusan nafas Jimin bahkan sudah mengenai wajahnya.

Jimin tersenyum melihatnya. Dia lalu mengusap sudut bibir Taehyung yang sontak membuat Taehyung membuka matanya.

“Ada susu. Minumnya kayak bayi belepotan, hehe.” Kekeh Jimin.

Taehyung menghela nafas. Salah sinyal.

[]