petrichorgreeny

➖ Sakitmu, Sakitku

⚠️ non-explicit sexual violence ⚠️ mention intention to death ⚠️ panic attack


Taehyung benar-benar memangkas waktu 5 jam Inha – Andani menjadi 3 jam saja hanya untuk segera sampai ke Apartemen Jimin. Jangan ditanya bagaimana dia menyetir saat itu. Di pikirannya hanya ada bagaimana dia bisa sampai dengan cepat kesana. Jimin membutuhkannya.

Setelah tiba di unit Jimin, pintu dibukakan oleh Joshua, rekan seangkatan Jimin di bedah anak. Saat Taehyung melihat Jimin di kamarnya, Jimin dalam keadaan tidak bisa dibilang baik-baik saja. Suhu tubuhnya sudah lebih dari 39 Celsius. Di hidungnya dipasang selang oksigen, nafasnya naik turun berat, dengan tubuh yang berkeringat.

Taehyung menggenggam tangan Jimin, menyentuh keningnya yang panas, dia mulai mencari handuk dan mengelap keringat Jimin. Sangat telaten, sangat tahu, sangat terbiasa harus bagaimana ketika Jimin sedang begitu. Joshua memerhatikan apa yang Taehyung lakukan dengan seksama.

Joshua kemudian pamit kepada Taehyung. Dia harus dinas. Delapan jam dari sekarang, dia akan kembali ke Apartemen Jimin. Joshua juga berpesan jika Jimin masih belum membaik, mungkin langsung saja dibawa ke IGD RS Andani. Taehyung mengangguk paham.

Kini, tinggallah mereka berdua. Taehyung lelah menempuh perjalanan yang jauh dengan trayek yang bisa dibilang tidak mudah, belum lagi beberapa hari terakhir dia nyaris tidak bisa tidur. Resah karena persoalan lemparan bunga di pernikahan Jungkook dan Yoongi serta keadaan Jimin yang kembali sakit. Semua memenuhi pikiran Taehyung saat ini. Tangannya gemetar, badannya pun sudah mulai menghangat, tapi Taehyung tidak menyadari hal itu. Fokusnya hanya kepada Jimin.

“Sayang, kamu udah bangun?” Tanya Taehyung ketika Jimin mulai membuka matanya.

Jimin mengusap pipi Taehyung perlahan. “Saking panasnya, aku sampai halusinasi begini.”

Taehyung membalas usapan tangan Jimin dengan menggenggamnya. “Kamu ga halusinasi, Min, ini aku.”

“Taehyung kesini?” Tanya Jimin.

“Iya, ini aku, Min.” Taehyung mulai meneteskan air matanya. Setiap Jimin sakit seperti ini, hati Taehyung sakit melihatnya. Jika bisa, dia ingin bertukar tempat dengan Jimin. Biar saja dia yang merasakan sakit itu. Jimin sudah cukup.

“Kenapa kesini?”

“Kamu sakit, Min. Aku khawatir.” Taehyung mengecup tangan Jimin lalu mengusap-usap ke pipinya. “Kamu bilang ga apa-apa, ini badan kamu panas banget.”

“Nanti juga turun kok.”

“Jangan suka ngegampangin gitu! Dada kamu pasti sakit lagi, ya? Kenapa, Min, kenapa gini lagi?” Tangisan itu kian tak terbendung.

“Tae, maaf.” Jimin mengusap pipi Taehyung yang basah. “Aku selalu buat kamu nangis.”

Taehyung lalu beralih ke sisi sebelah Jimin yang kosong. Ranjang Jimin memang luas. Muat hingga tiga orang. Taehyung langsung berbaring dan memeluk Jimin.

“Sayang, badan aku panas.”

“Dibuka ya bajunya?”

Taehyung membuka atasan Jimin dan menyisakan bagian atas tubuh Jimin yang tanpa busana. Jimin berkeringat meski suhu AC sudah diturunkan namun Jimin tetap merasa kepanasan.

“Aku harus apa, Jimin?” Taehyung bingung karena Jimin terus mengeluh panas dan sakit meski tidak tahu sakit di bagian mana. “Kita ke rumah sakit, ya?”

Jimin menolak. Dia lalu mendekap tubuh Taehyung. Dengan erat bahkan terlalu erat hingga Taehyung merasa kesakitan. Dia menggigit bibirnya, menahan segala sakitnya karena Taehyung tahu bahwa Jimin lebih sakit.

“Sakit banget, Tae.”

“Tarik nafas coba, Min. Pelan-pelan aja.”

“Tae, aku mau nikahin kamu. Aku janji akan nikahin kamu. Tapi banyak hal yang mesti aku siapkan. Ugh ... Sakit, Tae. Aku ... Aku akan nikahin kamu.”

Jimin mulai berceracau, matanya terpejam tapi dia terus berbicara. Taehyung semakin sakit dan sedih melihatnya.

“Aku ... Aku ... Sedih liat kamu selalu nangis di setiap pesta pernikahan. Kamu ... Kamu ingin hal yang sama. Aku .. Tae, Aku .. Tahu. Tapi aku ... Maaf, Tae.”

Nafas Jimin mulai tarik turun berat dan tidak beraturan. Dia terus mencengkram tubuh Taehyung dengan kuat seakan menahan semua sakit di tubuhnya namun malah justru menyakiti tubuh Taehyung. Punggung dan bahu Taehyung sudah mulai membiru. Dia meringis namun lagi-lagi dia abaikan, dia tahu bahwa Jimin lebih sakit dari ini.

“Min, aku ga apa-apa. Aku ga minta nikah sekarang-sekarang. Kalau itu mengganggu pikiran kamu, aku minta maaf. Maaf, sayang, kamu sakit gara-gara ini kah?” Taehyung menangkup wajah Jimin. Sesekali mata Jimin terbuka, matanya merah dengan wajahnya yang pucat.

“Sakit banget, Tae.” Kepala Jimin dihamburkan ke dada Taehyung. Jimin menangis sejadinya. Begitupun dengan Taehyung.

“Sebelah mana yang sakitnya, Sayang?” Tanya Taehyung.

Jimin merangkulkan tangannya ke pinggang Taehyung dengan kuat. Taehyung semakin meringis. Nafasnya ikut berat dan tubuhnya mulai menghangat. Jimin butuh release rasa sakitnya, kedua tangannya mulai naik ke dada Taehyung. Membuka kemeja Taehyung secara paksa, lalu mulai meremas dadanya, menghisapnya dengan kuat, bahkan menggigitnya.

“Min!” Taehyung tidak dapat lagi menahan sakit yang sedari tadi tidak diucapkan. Putingnya sudah berdarah karena Jimin gigiti tanpa jeda. Cara Jimin mengeluarkan rasa sakitnya tidak dia sadari telah menyakiti Taehyung.

“Sakit, Min, udah.” Taehyung beberapa kali mengeluarkan kalimat itu. Biasanya Taehyung hanya diam dan meringis sendiri setelahnya, namun ini tak bisa dia tahan lagi. Dia lelah menempuh jarak jauh, lelah fisik dan mental, ditambah dia harus menjadi 'samsak' bagi Jimin yang kesakitan. Taehyung bahkan sudah tak ada tenaga untuk menolak. Terkadang sekat antara cinta dan rasa sakit memang sangat tipis.


Hari itu rasanya panjang. Sangat panjang bagi Taehyung. Jimin telah tertidur kembali. Panas badannya sudah berangsur turun. Namun kini Taehyung berakhir dengan terduduk di lantai kamar mandi. Dia menangis, meringis kesakitan sendiri.

Taehyung mencoba berdiri namun bagian bawahnya terlalu sakit untuk melangkah. Dia melihat dirinya di cermin. Sungguh berantakan. Sudut bibirnya membiru dan menyisakan darah kering. Bahu dan leher biru dan beberapa luka lecet. Taehyung bahkan kesulitan untuk memakai kemejanya kembali karena kain kemejanya bergesekan dengan luka di putingnya.

Tak berapa lama Taehyung merasakan mual di perutnya. Dia memuntahkan semua isi perutnya yang hanya air saja. Dia bahkan lupa belum makan di hari ini. Matanya mulai merasakan panas. Dia ingin melangkahkan kakinya namun terlalu sakit. Bagian bawahnya lecet dan berdarah.

Taehyung terduduk di lantai kamar mandi kembali. Dia menangis. Entah apa yang dia tangisi. Menangisi luka dan sakit di tubuhnya, menangisi Jimin yang sakit, menangisi dirinya yang juga sama-sama sakit. Taehyung lelah sebab bukan pertama kali dia seperti ini.

Taehyung lalu buru-buru mengusap air matanya ketika terdengar suara Jimin memanggilnya. Taehyung membenarkan pakaiannya, merapikan riasan di wajahnya, seadanya. Sudah menjadi kebiasaan bahwa Jimin tidak akan pernah tahu apa yang Taehyung alami karena perlakuannya. Jimin tidak perlu tahu. Batin Taehyung.

“Iya, Sayang?” Taehyung menghampiri Jimin seperti tidak ada apa-apa. Dia lalu menempelkan pengukur suhu pada kening Jimin dan suhu tubuhnya kini sudah menurun.

“Masih sakitkah?” Tanya Taehyung.

Jimin lalu bangkit dari tidurnya, bersandar di sandaran tempat tidurnya. Dia lalu melepas selang oksigennya. Taehyung mencegah namun Jimin bilang tidak apa-apa. Kemudian Jimin memeluk Taehyung. Pelukan itu perlahan dan lembut namun entah mengapa seakan berat bagi Taehyung. Dia meringis dan mengaduh.

“Tae, kamu kenapa?” Tanya Jimin kaget. Taehyung membungkukkan tubuhnya menahan sakit sambil meremas celananya.

“Aku ga apa-apa, Min, cuma tadi licin di kamar mandi terus—”

“Bohong!”

Jimin tidak percaya. Saat Taehyung keluar dari kamar mandi, Jimin merasa aneh pada Taehyung. Cara jalannya, duduknya, bahkan ekspresinya. Jimin merasa ada yang Taehyung sembunyikan.

Jimin lalu membuka kancing meja Taehyung.

“Min—”

“Diem!”

Jimin kini melihat tubuh Taehyung. Biru, lecet, dan beberapa darah kering masih ada di sana. Jimin lalu menatap Taehyung yang menunduk sambil ikut mencengkram kemejanya yang sudah Jimin cengkram lebih dulu.

“Ga mungkin kalau jatuh di kamar mandi kayak gini, ini aku yang ngelakuinnya?”

Taehyung lalu melepaskan tangan Jimin secara kasar. Dia kemudian mengkancingkan kembali kemeja.

“Min—”

“Setiap aku sakit begini, kamu kesakitan kayak gini juga, Tae?” Mata Jimin sudah berkaca-kaca, bahkan beberapa sudah mengalir turun dari matanya.

“Min, aku bisa—”

“Selama 3 tahun kamu tahan ini dan selalu berpura-pura ngga terjadi apa-apa?”

“Min, aku mau ngomong dulu—”

“Aku jahat banget sama kamu, Tae. Aku bahkan ga hanya nyakitin hati tapi juga fisik kamu.” Jimin menyela lagi ucapan Taehyung. “Bahagiain kamu aku ga sanggup, tapi yang aku lakuin malah terus nyakitin kamu.”

Jimin menangis sejadinya. Memukul-mukul dadanya. Taehyung mencoba menghentikannya. Dia pun sama-sama menangis. Taehyung merangkul Jimin untuk menghalangi tangannya yang terus memukul dadanya.

“Aku harusnya mati aja, Tae. Aku ga pantes buat kamu. Aku bajingan!”

Jimin semakin tak bisa dihentikan. Badan Taehyung yang kesakitan, semakin sakit oleh Jimin yang menjadi tak terkendali.

“Min, berhenti, jangan bilang gitu.” Taehyung mendekap Jimin mengusap punggungnya, mencoba menenangkan Jimin.

Nafas Jimin semakin naik turun. Dia terbatuk hebat. Dadanya sakit bukan main.

“Tae ... Aku ...”

Taehyung panik. Jimin sangat sesak hingga dia merasakan lehernya seperti tercekik.

“Aku .. Ngga.. Bisa ... Na .. Fas, Tae.”

“Min, tenang, Sayang.”

Taehyung lekas memasangkan oksigen ke hidung Jimin. Namun hal itu mendapat perlawanan dari Jimin. Dia malah ingin melepaskan selang oksigennya.

“Jangan dilepas, Sayang.” Taehyung semakin menangis melihat keadaan Jimin seperti ini.

“Biar ... Biar mati .. Sekalian!”

“ANJING, JIMIN!!!”

Suara bentakan itu membuat Taehyung menoleh. Suara itu dari Yoongi yang langsung menghampiri Jimin.

“Udah gila lo bangsat bilang begitu?!”

Di belakang Yoongi, disusul Jungkook yang langsung mencoba melepaskan Taehyung dari Jimin. Taehyung sama paniknya dengan Jimin malah hampir menjadi 'samsak' lagi bagi Jimin yang terus memberontak.

Jungkook memeluk Taehyung yang menangis dengan keras. Taehyung tidak tahu apa yang Yoongi lakukan pada Jimin. Yang Taehyung tahu, Yoongi mengganti selang hidung Jimin dengan masker selang sehingga menutupi hidung dan mulut Jimin. Sisanya Taehyung tidak tahu. Tas yang Yoongi bawa berisi alat-alat yang lumayan lengkap dan dengan cepat mampu membuat Jimin terdiam dan menjadi tenang.

Yoongi mencoba mengatur ritme nafasnya.

“Lo tahu Jimin lagi kayak gini tuh jangan pergi sendiri!” Ucap Yoongi, nadanya sedikit meninggi.

“Yoongi.” Jungkook menatap Yoongi, menyuruhnya untuk tidak terlalu keras karena Taehyung masih panik.

Kaki Taehyung rasanya lemas sekali. Terlalu banyak hal yang terjadi hingga penglihatannya menjadi buram.

“Tae.. Tae..” Jungkook memanggil dan menepuk-nepuk pipinya. Taehyung sudah tidak ada lagi tenaga. Dari jauh, dia melihat Jimin terbaring dengan selang masker oksigen sebelum semua menjadi gelap dalam penglihatan Taehyung.

[]

Powerpuff Men (Not Boys Anymore)

Jimin sudah memarkirkan mobilnya di depan Rumah Sakit Inha. Tempat yang memiliki banyak memori bagi Jimin. Hampir 6 bulan dia praktek disana sebagai residen bedah meski akhirnya malah lebih sering menjadi pasien daripada menjadi dokter kala itu.

Setelah cukup sapa salam kangen dengan squad Inha, Jimin ke mobil bersama Namjoon dan Yoongi. Selepas lulus menjadi spesialis penyakit dalam, Namjoon lalu dilamar Hoseok (dilamar bukan melamar) kemudian menikah dengan Hoseok dan melanjutkan praktek di Inha. Sementara Yoongi, lepas menjadi spesialis THT bekerja 1.5 tahun di Andani lalu kemudian lanjut ke Inha kembali sampai sekarang. Alasannya karena tidak bisa jauh dari pria bergigi kelinci (baca: bucin). Sehingga, hanya Jiminlah yang masih di Andani.

“Kemana jadinya?” Ucap Jimin di depan setir kemudi.

“Katanya ke club yang baru buka itu.” Jawab Namjoon di kursi belakang.

“Ngga, kita nginep aja di hotel.” Ucap Yoongi sambil memasangkan seat belt-nya. Dia duduk di samping Jimin.

“Hah?!” Ucap Jimin dan Namjoon bersamaan.

Yoongi lalu membuka ranselnya dan menunjukan botol wine-nya.

“Yoon, udah gue bilang kan?!” Namjoon mulai mengingatkan. Sebab Yoongi selalu saja berulah.

“Besok lo nikah, Yoon, jangan ngadi-ngadi deh.” Jimin pun tak kalah sengit untuk mengingatkan Yoongi.

“Denger dulu!” Ucap Yoongi. “Kita nginep di hotel, ngobrol, deep talk, minum dikitlah ga sampai mabok banget, pagi-pagi balik kesini.”

Yoongi melirik ke kedua teman yang sudah dia kenal selama 13 tahun itu.

“Gue kangen mau cuddle, pelukan, sambil ngobrol sampai ngantuk sama kalian. Kayak udah lama banget ga sih ga kayak gitu. Terakhir pas masih di Inha waktu Jimin sakit itu.”

Mendengar itu Jimin langsung melihat ke kaca belakang, seakan meminta pendapat Namjoon mengenai hal yang baru saja Yoongi katakan.

“Tapi Hoseok bilang harus pulang sebelum jam 12.”

“Matiin ponsel lo, rebel dikit ga apa-apalah. Ayo dong!!” Pinta Yoongi.

“Nanti Tae panik kalau gue ga bisa dihubungi, lo tahu kan dia kalau panik gimana?” Ucap Jimin.

“Ya, Jungkook juga panikan, bro, tapi amanlah sekali ini aja.”

“Kalau ada apa-apa, lo yang tanggung jawab ya!” Namjoon tidak mau mengambil resiko, tapi kalau Yoongi tidak dituruti maka dia akan terus menerus mendesak.

“Iya, tenang aja. Yuk, gas, Jim.” Ucap Yoongi.

Dia lalu menyalakan GPS ponselnya, “Ini ikuti aja.”

“Lo udah booking hotelnya?” Tanya Jimin.

“Udah dong.” Yoongi memperlihatkan senyum seakan sudah memenangi pertandingan yang sengit.

“Gimana kalau kita berdua menolak?” Tanya Namjoon.

“Ga mungkin lo berdua nolak ajakan gue.” Dan senyuman Yoongi itu semakin lebar.


Mereka telah sampai di kamar hotel yang sudah Yoongi pesan. Namun semua tampak aneh. Dekorasi kamar hotelnya dipenuhi dengan kelopak bunga mawar.

“Yoon, kayaknya lo salah pesan kamar deh.” Ucap Jimin.

“Ngga, bener kok.”

“Ini kamarnya harus buat lo sama Jungkook kali.” Tambah Namjoon.

Yoongi baru menyimpan tasnya dan langsung menarik kedua temannya itu ke kasur. Tak terelakan kelopak mawar merah berhamburan saat mereka bertiga menghempaskan diri ke kasur. Lebih tepat Yoongi yang membuat dua lainnya terhempas.

“Sini dong cuddle!” Pinta Yoongi.

Yang lain ingin bingung tapi ini Yoongi. Mau sebagaimana Yoongi selalu menampilkan sosok yang kuat dan keras, namun kadang sifat manjanya ini selalu timbul tak terduga. Kini Yoongi ditengah, diapit oleh Namjoon dan Jimin.

“Gue emang sengaja pilih room ini kok. Biar spesial aja.” Ucap Yoongi. Kepalanya dia sandarkan ke Namjoon. Tangannya dia kaitkan ke Jimin. Biar adil katanya.

“Yoon, lo takut ya?” Jimin tahu bahwa ini semua hanyalah pengalihan bagi Yoongi. Menikah dan berkomitmen selalu menjadi hal yang menakutkan baginya.

“Jimin, jangan baca pikiran gue!” Ucap Yoongi setengah teriak.

“Yoon, semua bakal baik-baik aja kok. Emang pernikahan itu pasti ada up and down, ngga selalu harus manis. Tapi gue yakin lo dan Jungkook bisa kok melewatinya.” Ucap Namjoon.

Yoongi lalu bangkit dan kini duduk bersandar di sandaran bed. Disusul oleh Namjoon dan Jimin.

“Gue takut kalau gue bakal berpisah sama kayak orang tua dan kakak-kakak gue.”

Ada resah yang keluar dari suara Yoongi. Berat baginya melihat pernikahan yang begitu sakral namun semua berakhir begitu saja. Tepat di depan matanya. Maka dari itu ketika Jungkook melamarnya tempo lalu, Yoongi takut setengah mati. Dia terlalu sayang dan cinta pada Jungkook, dia tak sanggup mendapati suatu hari nanti akan berpisah jika diikat oleh penikahan. Hingga dia hilang akal dan secara random memilih ke Macau. Bersembunyi untuk menenangkan diri, untuk lari dari sesuatu yang tak bisa diselesaikan saat itu.

“Lo bukan ortu lo, Yoon, bukan juga kakak-kakak lo. Lo itu Yoongi dan semua juga punya jalan masing-masing kan? Lo selalu bilang ke gue bahwa masa depan ga ada yang tahu, 1 detik dari sekarang pun ga ada yang tahu. Yang bisa lo lakuin adalah yakin dan percaya kalau semua akan baik-baik saja. Ada Jungkook yang udah segitunya meskipun udah tahu ajaibnya diri lo. Ada gue, ada Namjoon juga, Yoon.” Ucap Jimin sambil menepuk bahu Yoongi.

“Ah, anjing, jadi nangis nih gue.” Yoongi tak bisa menahan air matanya. Namjoon lalu memberikannya tisu.

“Malesin lo yang mulai melow, Sat! Udah tahu kita bertiga ini kalau dipancing adegan sendu ya kejer nangis semua.” Balas Namjoon. Ternyata dia sudah lebih dulu menangis.

Jimin melihatnya rasanya ingin ikut menangis. Dia merangkul kedua sahabatnya itu bersama-sama.

“Duh, gue ga mau nangis. Nanti sesek.” Ucapnya sambil menaruh keningnya di pundak Yoongi.

“Eh, iya, jangan, bisa berabe nanti.” Yoongi buru-buru mengusap air matanya, Namjoon juga.

Keduanya kini sudah bisa mengatur nafasnya yang sempat tersengal karena menangis. Jimin menatap kedua sahabat kentalnya itu lekat-lekat.

“Ga nyangkanya ya, gue udah kenal kalian selama 13 tahun. Dari gue masih 18 tahun, cupu, tembem pake kacamata, sampai sekarang di usia 31. Dan kita semua udah spesialis sekarang. Padahal rasanya baru kemarin nangis-nangis pas ujian koas, hehe.” Kekeh Jimin mengingat masa lalu mereka.

“Iya anjir, gue ampe panas dingin takut ga lulus. Terus ngulang koas lagi, ga mau rasanya.” Tambah Yoongi.

“Masa-masa itu akhirnya bisa lewat juga, ya. Apalagi bapak yang satu ini bakal jadi calon konsulen. Anjir, kenapa sih lo selalu keren, Sat!” Ucap Namjoon.

“Masih lama anjir, baru juga mulai.” Jawab Jimin. “We are not boys anymore ya, we are men now

“Makanya gue ganti nama grup-nya.” Ucap Yoongi. “Nah, melow-nya dilanjut skuy aja ya.”

Yoongi turun dari ranjangnya. Dia lalu membuka botol wine dan menuangkan ke ketiga gelas di meja yang sudah disiapkan sebelumnya.

Cheers dulu dong. Untuk Namjoon yang akan menjadi Kepala Poli Dalam, untuk gue yang besok nikah, dan untuk Jimin dan sekolah bedah anaknya.”

Yoongi mengangkat gelasnya. Diikuti oleh Namjoon dan Jimin.

Tringgg!

All hail for Powerpuff Men!”

[]

➖ Terlalu Takut

Jimin baru saja merebahkan badannya di kursi ruang tengah apartemennya. Belakangan ini banyak hal yang menyita perhatiannya. Pasiennya di rumah sakit, persiapan kuliah sub-spesialisnya, dan juga hubungannya dengan Taehyung.

Ucapan Yoongi benar. Banyak yang menginginkan Taehyung. Seharusnya Jimin tidak bersikap begitu setelah apa yang Taehyung lakukan selama kurun waktu 3 tahun terakhir ini. Menemani Jimin terapi dan kontrol hampir 1 tahun penuh. Hidup Taehyung saat itu penuh hanya untuk mengurus Jimin hingga harus berhenti mengajar dan sewa rumah di Andani.

Lepas di tahun kedua, setelah Jimin sudah mulai membaik, dan mendapatkan gelar dokter spesialis bedah, membuat dia harus di Andani dulu untuk praktek gelar barunya. Taehyung mulai kembali ke Inha dan bekerja di TK lamanya. Namun, jarak harus memisahkan mereka. Dan kini di saat semua dirasa sudah settle yang Jimin lakukan adalah melanjutkan sekolah sub-spesialisnya. Apakah ini dia terlalu egois untuk hal ini?

“Tae, kamu ga kepengen lanjut S2?” Tanya Jimin ketika Taehyung datang ke apartemennya. Agenda mereka bertemu yaitu dua minggu sekali. Entah itu Jimin yang ke Inha atau Taehyung ke Andani. Dan saat itu Taehyung sedang ke Andani, di apartemen Jimin, duduk di ruang tengah sambil menonton series yang mereka pilih untuk ditonton bersama.

“Ngga, Min. Aku udah ngerasa cukup kok dengan pendidikan aku.”

“Ngga kepengen lanjut lagi gitu? Siapa tahu mau jadi kepala sekolah.”

Taehyung yang sedang mendekap Jimin, lalu menengadahkan kepalanya.

“Min, ada apa?” Taehyung tahu, dia mulai merasa ada hal lain sebenarnya yang ingin Jimin katakan.

“Hm ...”

“Bilang aja, Min.” Taehyung memperbaiki posisi duduknya. Tak lagi mendekap Jimin tapi duduk bersila menghadap Jimin yang dari tadi menatap TV di ruang tengahnya.

“Tae.” Jimin kini menghadap Taehyung. Memegang pipinya perlahan.

“Aku boleh lanjut sekolah lagi ngga?” Tanya Jimin. Ada ragu dalam perkataannya. Takut. Meskipun tahu bahwa Taehyung akan selalu mendukung keputusannya.

“Yang bedah anak itu, ya?”

Jimin mengangguk.

“Berapa lama sekolahnya?”

“Bisa 4 sampai 5 tahun, Tae.”

Mendengar itu wajah Taehyung berubah. Ekspresinya tidak dapat Jimin jelaskan seperti apa. Taehyung lalu memangkas jaraknya dengan Jimin. Dia kini lebih dekat. Lututnya yang sedang duduk bersila di atas sofa sudah mengenai paha Jimin bagian samping.

“Itu mimpi kamu. Kenapa tanya dan minta persetujuan ke aku?” Ucap Taehyung.

“Aku cuma ngerasa egois banget aja, Tae.”

“Ngga ada sisi kamu sekolah lagi sebagai tanda egois.”

“Tae—”

“Min.” Taehyung memotong ucapan Jimin. “Aku bukannya ga mau S2 tapi untuk karir dan keinginan aku ya hanya ingin mengajar di TK. Jangan merasa ngga enak atau egois. Bahkan sebelum ketemu aku, kamu kan sudah punya keinginan untuk ambil bedah anak. Apapun itu, aku selalu dukung kok, Min. Apalagi sekarang kamu sudah sehat.”

Taehyung mulai mendekap Jimin kembali. Bersandar di dadanya. Merasakan detak jantung dan tarikan dada Jimin yang kembali normal seperti dulu adalah hal yang Taehyung sukai sekarang.

“Nafas kamu sudah sama kayak dulu kamu nenangin aku pas aku takut disuntik. Kamu sekarang juga udah bisa operasi dan pakai kemeja yang geng Inha itu hadiahi untuk kamu saat praktek.” Taehyung lalu menggenggam tangan Jimin menempelkan ke pipinya. “Lanjutkan, Min. Mau seberapa lama pun ga masalah buat aku asal kita tetap sama-sama.”

Taehyung dan kelembutan hatinya selalu membuat dada Jimin menghangat. Dia tak tahu harus bagaimana, mungkin berterimakasih ribuan kali kepada Tuhan karena sudah memberikan Taehyung untuknya, rasanya tak cukup. Jimin lalu meraih tangan Taehyung. Menggenggam kemudian mengecupnya perlahan.

“Makasih, Sayang.”

Ingatan itu kembali teringat oleh Jimin. Dia yang pertama membuat jarak kembali antara dirinya dan Taehyung. Membuatnya tak bisa setiap hari bertemu Taehyung dan hal ini bisa menjadi celah untuk siapapun untuk mendekati Taehyung. Jimin tahu hal itu, namun yang dia lakukan adalah lagi-lagi dikendalikan oleh overthinking-nya, oleh rasa takutnya, takut jika tiba-tiba sesuatu terjadi dan Taehyung meninggalkannya. Merasa tidak pantas namun takut pula jika ditinggalkan.

Bel apartemen Jimin berbunyi membuyarkan lamunannya. Dia melangkahkan kakinya gontai. Lepas dari operasi dan sekelumit masalah di rumah sakit serta ditambah pikiran-pikiran kusutnya membuat Jimin merasa lelah di berbagai sisi.

Jimin lalu membuka pintu apartemennya dengan malas sampai akhirnya dia terkejut saat melihat bahwa yang menekan belnya itu adalah Taehyung.

“Tae.” Ucap Jimin. Dia berasa mimpi. Baru saja dia selesai mengirim pesan ucapan maafnya dan kini Taehyung tepat berada didepannya.

Taehyung langsung menghamburkan dirinya dan memeluk Jimin dengan erat. Sangat erat hingga tak ingin lepas.

“Kamu sama siapa kesini? Terus kenapa kesini? Kita kan nanti Sabtu ketemu.” Ucap Jimin. Dia sangat senang sebenarnya melihat Taehyung dihadapannya bahkan kini sedang memeluknya, hanya dia bingung dengan segala hal yang penuh kejutan ini. Dan ya, kembali Taehyung yang 'berkorban' untuknya.

“Aku kangen dan ngga bisa nunggu sampai Sabtu.”

Jawaban dari Taehyung itu memunculkan senyum di bibir Jimin. Taehyung diajak untuk masuk. Duduk di sofa ruang TV, sementara Jimin membuatkan Taehyung teh hangat.

“Minum dulu, Sayang.” Ucap Jimin. Taehyung lalu meminum teh hangat yang sudah Jimin buatkan. Setelah itu, Jimin menatap Taehyung. Tanpa suara. Menunggu Taehyung menjelaskan apa yang terjadi.

Taehyung menggigit bibirnya. Mulai meremas celananya. Sebuah kebiasaan yang tidak berubah.

“Jimin jangan marah lagi, ya.” Ucapnya sambil menunduk.

“Ngga, Sayang. Jadi kamu kesini sama siapa?”

“Sendiri.”

“Nyetir sendiri?”

Taehyung mengangguk.

“Jam berapa dari sana? Kok ga bilang dulu.”

“Tapi jangan marah!” Bibir Taehyung semakin pout. Mana bisa Jimin marah melihat hal itu.

“Ngga akan marah.”

“Dari jam 8.”

Jimin menghembuskan nafasnya dengan dalam. Jarak tempuh Inha – Andani adalah 5 jam dalam waktu normal. Sementara yang baru saja Taehyung lakukan adalah memangkasnya menjadi 3.5 jam. Tentu saja pasti Taehyung menyetir dengan ngebut.

“Tuh kan pasti mau marah.” Taehyung semakin cemberut. “Aku ga bisa lama-lama marahan begini, aku ga suka kalau kamu chat aku pakai tanda seru, aku takut, Min, kalau kamu marah. Aku juga kangen makanya aku cepet-cepet kesini. Jujur, Min, aku ga ada apa-apa sama Mingyu. Hubungan aku sama dia cuma partner kerjaan aja. Salah aku yang ga cerita, aku harusnya obrolin apa-apa ke kamu kayak perjanjian kita diawal yang harus cerita agar tidak salah paham, makanya aku ga bisa nunggu Sabtu, Min, aku—”

Ucapan Taehyung yang tiada jeda itu berhasil Jimin hentikan oleh bibirnya yang kini menutup sempurna bibir Taehyung. Jimin mengecup dan mulai mencium bibir Taehyung dengan lembut membuat Taehyung kaget namun tidak kuasa untuk menghentikannya. Jimin tahu cara untuk memberi jeda.

Pagutan itu terus Jimin lakukan hingga mendesak Taehyung untuk membuka mulutnya, dan kini semua akses sudah Jimin pegang. Dia mengusai semua sisi di mulut Taehyung. Jimin mengusap pipi Taehyung sambil melumat tanpa jeda bibirnya. Jimin resah, Taehyung pun sama. Mereka sama-sama takut bahkan terlalu takut. Takut oleh jarak, takut oleh kemungkinan lainnya yang tidak bisa mereka hadapi. Jimin ingin memberikan ketenangan, kenyamanan, dan juga menyalurkan rasa rindunya. Pun demikian Taehyung.

Ciuman itu menjadi terlalu dalam dan semakin dalam. Hingga tanpa sadar kini Jimin bahkan sudah berada di pangkuan Taehyung mulai menginvasi bagian atas Taehyung. Tangannya mulai menelisik masuk ke kemeja Taehyung.

“Min.”

Selalu. Selalu Taehyung yang sadar duluan sebelum mereka terlalu jauh.

Jimin lalu menarik bibirnya yang barusan sudah memberi tanda di ceruk leher Taehyung. Posisinya masih diatas pangkuan Taehyung.

“Maaf, Tae, aku—”

Taehyung menangkup wajah Jimin. “Kita ngomong dulu, ya.”

Jimin malu. Sungguh. Dia asalnya ingin menenangkan dengan ciuman namun malah terbawa suasana hingga terlalu dalam sampai lupa bahwa ada pembahasan yang belum selesai. Jimin hendak bangkit namun Taehyung menahannya.

“Sambil gini aja ngomongnya.”

Ya, sambil Jimin duduk di atas paha Taehyung yang kini jaraknya hanya beberapa centimeter saja.

“Aku minta maaf ya.” Ucap Taehyung sambil mengusap pipi Jimin.

“Aku yang harusnya minta maaf. Aku terlalu insecure, aku terlalu takut, tapi malah menggenggam kamu terlalu erat.” Jimin mulai menundukkan kepalanya.

“Kamu selama ini yang selalu berkorban dan mengalah untuk aku. Bahkan sekarang yang nyatanya aku yang salah tapi kamu nyamperin jauh-jauh kesini. Ngebut lagi. Gimana kalau di jalan kamu kenapa-napa, Tae? Aku selalu takut kayak gini dan pikiran ini tuh susah hilang. Kamu capek tiga tahun aku begini terus.”

Mata Jimin mulai basah. Dia menangis. Sedih yang bercampur dengan rasa resah dan takut.

“Hei, jangan nangis.” Taehyung mengusap dengan ibu jarinya. “Aku ga pernah ngerasa berkorban untuk kamu. Aku melakukannya karena aku sayang sama kamu, cinta sama kamu. Dan jangan bilang aku capek sama kamu karena ngga begitu, Sayang.”

Taehyung menarik pinggang Jimin membuatnya mendekapnya. Dia bisa mencium aroma vanilla di kemeja yang Jimin kenakan. Parfum yang Taehyung hadiahi tahun lalu saat Jimin berhasil meraih gelar spesialis bedah.

“Aku harus apa agar pikiran kamu yang seperti itu ngga mengganggu kamu lagi?”

“Ngga perlu, Tae. Sekarang biar aku yang melakukan sesuatu untuk kamu.”

Jimin lalu menarik pelukannya dari Taehyung. Melihat Taehyung sambil duduk di atas pahanya sangatlah indah. Segala bentuk yang ada di Taehyung itu sangat sempurna bagi Jimin.

“Mau melakukan apa?” Tanya Taehyung.

“Yang aku janjikan dulu saat di rumah sakit. Mengganti semua tangisan kamu menjadi kebahagiaan, Tae. Tunggu, ya.”

“Baik, Jimin. Kalau ada apa-apa, bilang ya tapi, cerita ke aku apa yang mengganggu pikiran kamu. Dan kamu harus percaya sama aku, ya.”

Jimin mengangguk perlahan.

“Yaudah sekarang lanjutin, apa yang ingin kamu lakukan.”

“Malu.”

“Kok malu, ini kamu udah duduk di atas paha aku lho.”

“Kan kamu bilang ngomongnya sambil begini.”

Taehyung lalu menarik pinggang Jimin kembali. Memangkas jarak diantara mereka. Kini hidung mereka sudah saling bertemu.

“Mau aku atau kamu?” Tanya Taehyung.

“Mau gantian.”

“Hm, sampai besok pagi?”

Jimin mengangguk.

“Besok kamu ga dinas?”

“Sudah minta cuti sampai Minggu sih sebenarnya.”

“Ih kok samaan.”

“Kamu yang ngikutin aku, aku yang duluan lahir.” Ucap Jimin dengan pout di bibirnya.

“Iya, Adek. Yaudah, Adek dulu, sudah itu Kakak ya.” Goda Taehyung. “Atau mau Mas Jimin dulu, lalu Akang Taehyung setelahnya?”

“Tae!”

Gertakan kecil dari Jimin setelah Taehyung godai dia habis-habisan barusan berhasil Taehyung tutup dengan lumatan di bibir Jimin. Tangannya mulai menelisik masuk ke kemeja Jimin. Meraba apa saja yang bisa dia lalui secara acak. Taehyung mencuri start duluan. Mungkin ini bisa sampai pagi. Menyalurkan rindu dan kasih untuk mengusir takut dan resah.

[]

➖ (Bukan) Pesta Perpisahan

Taehyung sebenarnya tidak marah, tidak kesal, dan tidak lainnya. Sebab kesabaran memang tidak berbatas, tetapi manusialah yang membatasi itu semua. Termasuk Taehyung sekarang. Karena dia tidak ingin 'perpisahan'-nya dengan Jimin menjadi tidak menyenangkan, dia pun kembali mengulur egonya, menambah kesabarannya, dan tentu menambah cintanya.

Motor Si Biru telah sampai di Parkiran Inha. Tidak ada hal yang berubah dari Inha, terlihat sepi di luar namun riuh ramai pasien berseliweran di dalam.

Taehyung lalu bergegas masuk ke lobby utama rumah sakit. Di sana telah ada Pak Endang menyambutnya dengan senyuman khasnya. Taehyung kemudian berjalan ke ruangan rawat Jimin. Namun, baru setengah jalan sudah ada Hoseok dan Joy.

“Aku pikir kalian ga akan kesini?” Tanya Taehyung.

“Masa ga kesini, kan mau liat Jimin juga.” Jawab Hoseok.

“Pateh tunggu sini dulu, ya.” Ucap Joy menahan Taehyung dan mendudukannya di ruang tunggu selasar.

“Lho kenapa?”

“Katanya Jimin masih diperiksa gitu buat persiapan pulangnya. Barusan aku dikasih tahu Namjoon.” Ucap Hoseok.

Taehyung pun duduk bersama Hoseok dan Joy menunggu sampai entahlah mungkin hingga Namjoon menghubungi Hoseok atau sampai Namjoon melintas melalui selasar tempat Taehyung menunggu sekarang.

“Pateh, udah ga kesel lagi?” Tanya Joy memecah keheningan.

“Aku ga kesel kok.” Jawab Taehyung, wajahnya sedikit ditekuk.

“Cuma?” Joy mencoba bertanya lagi.

“Ngga ada cuma. Emang ga kesel kok.”

“Sip atuh kalau begitu, hehe.”

Hoseok melihat ada notifikasi di ponselnya, kemudian dia seperti memberi kode kepada Joy.

“Pateh, pake ini dulu ya.” Joy lalu tiba-tiba menutup mata Taehyung. Sontak Taehyung pun kaget.

“Eh, ada apa ini?”

“Udah nurut aja.”

Dengan dibantu oleh Hoseok, Joy menutup mata Taehyung dengan sempurna kemudian menuntunnya perlahan.

“Kalian kenapa sih, ih takut ga mau yang aneh-aneh, awas aja kalau tiba-tiba disuntik!” Rengek Taehyung. Dia sudah ingin memberontak namun upayanya bisa dibendung oleh Joy dan Hoseok. Taehyung hanya bisa pasrah.

Taehyung seperti dibawa ke suatu ruangan dan kemudian dia dudukan di sebuah kursi.

“Yuk, sekarang dalam hitungan ketiga, buka ya tutup matanya.” Ucap Joy. “Satu ... Dua ... Tiga!!”

“Selamat Taehyung Jimin, Selamat Taehyung Jimin, Selamat Taehyung Jimin, Selamat Taehyung Jimin!”

Suara itu begitu riuh dan kompak dinyanyikan dengan nada lagu Selamat Ulang Tahun. Taehyung melihat ke sekeliling, bukan hanya dia yang matanya ditutup, ternyata Jimin juga. Dia kini berada di sebelah Jimin. Duduk di atas kursi roda dengan hidung masih terpasang selang oksigen dan tangannya tertancap cairan infus. Di samping ada Namjoon yang berdiri sambil tersenyum sambil sesekali mengecek infus gantung dan oksigen Jimin.

Ruangan yang Taehyung lihat sekarang begitu banyak hiasan. Tulisan di temboknya tertempel balon huruf namanya dan nama Jimin yang ditengahnya terdapat balon berbentuk hati berwarna merah. Di meja sudah tersaji aneka makanan salah satunya cake strawberry. Tepuk tangan, keceriaan, dan senyuman yang Yoongi, Namjoon, Hoseok, Joy, Jungkook, Seulgi, Yerim, Wendy, Irene, dan Seokjin di sana rasanya membuat Taehyung ingin menangis. Apakah mereka menyiapkan ini semua untuknya dan Jimin? Taehyung menatap Jimin yang sedang mencoba mencerna apa yang terjadi, meski di sana sudah tersungging senyum kebahagiaan di bibirnya, namun Taehyung tak bisa menahan air matanya. Dia akhirnya menangis.

“Tolong Hoseok ini Taehyungnya nangis nih, hehe.” Kekeh Yoongi.

Hoseok lalu memberikan tisu kepada Taehyung. Jimin menatap nanar melihat Taehyung yang tengah menangis.

“Tae.” Jimin menyeka mata Taehyung dengan ibu jarinya.

“Ya.. belum dimulai acaranya eh konten bucin udah terlihat nih.”

Ucapan Yoongi barusan malah mengundang tawa dari yang lainnya. Taehyung yang masih menangis mulai memberikan senyuman.

“Nah, mulai aja, yuk.” Ucap Yoongi. “Ehem, satu .. dua .. tiga ..” Yoongi mencoba microphone-nya. “Selamat ya untuk Taehyung dan Jimin. Ya, intinya selamat untuk kalian. Ini bukan pesta perpisahan. Kenapa? Karena kita akan bertemu lagi dan tidak akan pernah berpisah. Asyik, ngga nih, pemirsah??”

“Asyik!!” Jawab mereka serempak.

“Jadi sebenarnya ini apaan dong?” Tanya Yoongi. Sebuah pertanyaan retoris. “Ini cuma party party aja sih, sama ide dari Bu Guru Joy mau bikin kencan ala-ala buat Pak Guru Taehyung dan Pak Dokter Jimin. Oh iya, sekalian kenalan dulu sama anggota tim event ini. Ide dan desain oleh Bu Guru Joy. Dekorasi oleh Pak Guru Hoseok dibantu oleh Suster Yerim, Suster Wendy, dan Bupol Seulgi. Pimpinan produksi tentu saja duo tandem kita, Dokter Seokjin dan Dokter Irene. Seksi kesehatan yaitu calon internis kita, Dokter Namjoon. Lalu, seksi acara sekaligus MC yaitu saya yang ganteng ini. Dan seksi keamanan serta seksi juga di mataku juga yaitu Jungkook.” Ucap Yoongi panjang lebar. Khusus di bagian terakhir membuat Jungkook salah tingkah.

Suasana mencair dan dipenuhi tawa akibat perkenalan Yoongi barusan. Melihat Jimin ikut tertawa, Taehyung menghangat hatinya. Dia pun ikut tersenyum sambil menyeka matanya yang masih basah.

“Ya sudah, dari pada kita menjadi saksi kebucinan mereka alangkah lebih baiknya jika kita undur diri. Silakan kepada Saudara Taehyung dan Saudara Jimin untuk berkencan ala candle light dinner meskipun ini bukan makan malam dan tidak pakai lilin juga, hehe.”

Tidak tahu sebenarnya Yoongi berdiri di sana sedang menjadi MC atau malah sedang open mic.

“Makasih ya, semuanya sudah menyiapkan ini semua. Benar kata Dokyoon, ini bukan pesta perpisahan. Semoga kita bisa bertemu lagi.” Ucap Jimin.

“Tentu, Dokjim, cepat sembuh, ya.” Ucap Irene.

“Pak Guru Taehyung, ada yang ingin disampaikan?” Tanya Yoongi.

Taehyung menggeleng. Nafasnya tersengal-sengal karena sisa isakan masih tersisa di sana.

“Sepertinya Pak Guru terlalu terharu sampai sulit mengatakannya, hehe. Ya, tidak apa-apa. Monggo nih kencannya, kami tinggal dulu, ya.” Ucapan Yoongi itu memberikan tanda bagi yang lainnya untuk meninggalkan ruangan. Hoseok dan Joy memberikan kepalan tangan untuk Taehyung sebagai tanda semangat.

“Taehyung, Jimin ga bisa lama-lama ya di atas kursi roda begini. Jadi maksimalkan, ya.” Pesan Namjoon sambil menepuk bahu Taehyung.

Kini di ruangan itu tinggal Taehyung dan Jimin berdua.

“Hei, udah nangisnya.” Ucap Jimin sambil menatap lekat kepada Taehyung. “Sebentar lagi aku pulang lho.”

“Aku terharu. Yang lain sebegitunya menyiapkan ini semua.” Ucap Taehyung masih terisak.

“Sama, sayang, aku juga terharu.” Ucap Jimin sambil mengusap kembali pipi Taehyung yang masih basah oleh air matanya.

“Mereka nyiapin cake strawberry kesukaan kamu lho. Di makan, ya.” Ucap Jimin sambil memotong kuenya. Lalu menaruhnya di piring kecil. “Aku suapin, ya.” Jimin lalu menyuapkan potongan kecil kue itu dengan garpu untuk Taehyung.

“Maaf, ya, aku masih belum bisa ajak kamu kencan.” Tambah Jimin. Taehyung mengunyah perlahan kue itu. Manis. Namun entah mengapa tetap terasa hambar. Apa karena perasaan sedih dan campur resah sebab sebentar lagi Jimin akan pulang.

“Makanya kamu cepet sembuh biar kita bisa kencan.” Ucap Taehyung.

“Iya, Sayang. Sini peluk dulu.” Jimin membuka tangannya lebar. Taehyung kemudian langsung memeluk Jimin dengan erat.

“Min, pokoknya kita tetap sama-sama, ya. Aku tetap akan nemenin kamu sampai kapanpun.” Taehyung merasakan dada Jimin naik turun dengan berat. “Aku ingin dengar tarikan nafas kamu seperti dulu saat aku ketakutan karena jarum suntik. Aku berlindung di dada kamu, bikin jas dokter kamu kena ingus aku. Aku ingin rasakan tarikan nafas kamu yang dulu, yang bisa menenangkan aku.”

Jimin mengusap kepala Taehyung, lalu turun mengusap punggungnya.

“Iya, Tae, aku akan kembali seperti itu, seperti yang kamu mau.”

Jimin menarik Taehyung dari dekapannya. Mata mereka kini saling beradu.

“Aku sayang kamu. Wuuf you.” Jimin mengecup kening Taehyung. Air mata makin menetes dari mata Taehyung. Dia menutup matanya. Merasakan hatinya menghangat.

Wuuf you too.”

Jimin, semua akan baik-baik saja. Aku dan kamu. Selalu akan tetap seperti ini.

[]

Chaos : Chapter 2 (The Final Battle)

Mobil-mobil besar sudah memasuki gerbang Desa Inha ketika pagi sudah menjelang. Seulgi dan Jungkook langsung bergegas mengikuti iring-iringan itu. Firasat buruk mulai menyergap. Jungkook sudah tahu hari ini akan datang. Dia sudah bersiap sedari kemarin meski sebenarnya tetap resah dengan segala kemungkinan yang akan terjadi.

Benar saja, mobil-mobil itu kini sudah tiba di pelataran parkiran Rumah Sakit Inha. Wendy dan Yerim yang sedang berjaga di IGD keluar. Mungkinkah ini “persiapan” yang dimaksud oleh Dok 3?

Dari mobil-mobil besar itu, keluarlah orang-orang bertubuh tinggi besar memakai jas hitam lengkap dengan pentungan dan benda-benda tumpul lainnya. Dari luarnya saja sudah terlihat bahwa mereka memang bukan ingin bertamu apalagi menjadi pasien ke IGD.

Namjoon dan Yoongi lalu keluar menemui mereka. Memberitahukan kemudian kepada Wendy dan Yerim untuk mundur demi alasan keamanan dan keselamatan. Mereka pun akhirnya kembali ke IGD menemani Irene yang tetap melakukan pelayanan. Mau se-chaos apapun keadaannya, pelayanan ke pasien tetap harus berjalan.

“Siapa, ya, disini yang sakit?” Tanya Yoongi dengan nada sinis.

“Apa kami terlihat seperti ingin berobat?” Balas seseorang sambil maju ke depan. Wajahnya seperti ingin menantang Yoongi secara satu lawan satu. Terlihat orang ini seperti pemimpin dari para orang-orang itu. Ya, preman dengan berkedok militan yang memakai jas hitam.

Yoongi semakin naik darah. Tangannya sudah mulai mengepal. Kalau saja tidak ditahan oleh Namjoon, mungkin dia sudah ingin menonjok orang itu.

“Yoon.” Ucap Namjoon mencoba menenangkan. “Jadi kalian mau apa pagi-pagi datang ke rumah sakit?” Tanya Namjoon. Dia berusaha tetap tenang meski sebenarnya dia pun ingin sekali melampiaskan kekesalannya.

“Rumah sakit ini sudah jatuh tempo, jadi mau tidak mau harus digusur dan yang punya tanah ini tidak ingin bangunan rumah sakit berdiri diatasnya.” Jelas orang itu.

“Sudah jatuh tempo bagaimana? Terus siapa yang punyanya?” Tanya Namjoon.

“Kalian tidak perlu tahu, lebih baik kalian minggir atau kalian akan kena akibatnya!” Ancamnya.

“Ya ... Ngga bisa gitu dong, mana buktinya kalau rumah sakit udah habis temponya? Lo kata ini rumah sakit ngontrak apa?!” Balas Yoongi.

Di saat situasi mulai memanas, Jungkook dan Seulgi akhirnya sampai di parkiran Inha, mereka yang melihat Namjoon serta Yoongi menghadapi orang-orang besar itu, lekas buru-buru menghampiri mereka. Jungkook tahu bahwa Yoongi akan lebih mudah tersulut emosi, dia setidaknya harus mencegahnya.

“Tolong kalian jangan berbuat keonaran disini!” Bentak Jungkook. Semua mata kini menatap ke arahnya. “Dan tidak ada kekerasan sama sekali kecuali kalau kalian ingin berakhir di jeruji besi!” Tambahnya.

“Jeruji besi doang mah, cuma numpang lewat. Nanti juga keluar lagi.” Kekeh salah satu diantaranya.

“Lo semua makanya berani kayak gini karena punya orang dalem kan? Orang dalemnya pasti yang berpengaruh. Sini mana keluar dong, gue mau lihat!” Tantang Yoongi.

Wawanianan siah!

(Berani-beraninya kamu)

Orang itu lalu mencengkram kerah jas dokter Yoongi. Jungkook dan Namjoon mencoba memisahkan dengan sigap.

Mun maraneh sangenahna jiga kieu, ku urang bener-bener laporkeun kanu berwajib!” Bentak Seulgi. Dia teriak sangat keras sehingga membuat orang itu melepaskan cengkramannya.

(Kalau kalian seenaknya kayak gini, saya benar-benar laporkan ke pihak berwajib)

Ah ... Denge-denge teuinglah! Yuk, asup! Loba lila pisan!” Teriak salah satu orang yang membuat yang lainnya bersiap untuk memasuki Rumah Sakit Inha.

(Ah ... Ga usah didengerin! Yuk, masuk! Banyak lama banget!)

Yoongi, Namjoon, Jungkook, dan yang lainnya kalah orang. Jelas. Mereka tidak bisa berhasil mencegah puluhan orang-orang tinggi besar itu merangsek masuk ke Inha.

KEHED SIAHHHH!!!

Teriakan itu saking kerasnya sampai seakan ada angin besar yang datang mengibaskan rambut mereka yang sedang bersitegang. Kini semua mata menatap ke sumber suara.

Sia geus bosan hirup hah wawaniannan ngacak-ngacak di wilayah aing!”

(Kalian udah bosan hidup hah berani banget acak-acak di wilayah saya!)

Can ngajaran ngasaan di kadek ku golok aing, hah?!

(Belum pernah ngerasain ditebas oleh golok saya, hah?!)

Mendengar dua suara bentakan itu Yoongi tersenyum. Setidaknya semua terasa menjadi lebih aman atau mungkin akan lebih panas? Entahlah.

Maneh saha?!” Tanya ketua orang-orang berjas hitam yang barusan sudah hampir menerobos masuk ke Inha.

(Siapa kalian)

“Boss, mereka adalah Ketua Geng Bodar sama Ketua Geng Wasta.” Ucap seseorang sambil berbisik ke telinganya.

“Geng nu eta tea?”

(Geng yang itu?)

“Iya, Boss.”

“Anjir, cilaka atuh euy.” (Celaka dong)

Maneh teu nyaho ieu tempat praktekna Dokter Jimin, dokter nu pangkasepna pangbageurna sadunya?! Jaba anjeuna teu teh keur geuring. Eh, ieu si bekok ngadon nyieun rusuh!

(Kalian ga tahu ini tempat praktek Dokter Jimin, dokter yang paling ganteng paling baik sedunia?! Mana dia lagi sakit. Eh, ini si bekok malah mau bikin rusuh!)

Orang yang disebut Ketua Geng Bodar itu maju sambil menarik beberapa orang-orang tinggi besar yang tadi ingin menyerang Inha dalam satu kali tarikan dan kemudian menghempaskannya begitu saja.

Urang bisa wae sih, nyieun saeunteuna potong leungeun jeung suku mun maraneh keukeuh asup ka rumah sakit ieu. Ngan ceuk Dokter Jimin ulah make kekerasan. Jadi, samemeh aing leungit kasabaran, nyingkah sia kabeh nu didieu!

(Saya bisa aja sih seenggaknya bikin patah tangan sama kaki kalau kalian tetep masuk ke rumah sakit ini. Cuma kata Dokter Jimin jangan pakai kekerasan. Jadi, sebelum saya hilang kesabaran, pergi kalian semua dari sini!)

Ketua Geng Wasta mulai menunjukkan taringnya. Dia dan anggota yang lain membuat barikade mengepung orang-orang berjas hitam itu. Mereka berkoalisi dengan Geng Bodar. Kini merekalah yang kalah orang, merekalah yang terkepung.

“Kami punya bukti surat untuk rumah sakit ini!” Ucap ketua berjas hitam.

“Sini gue pengen lihat!” Ucap Yoongi. Dia sebenarnya sangsi, kalau memang orang-orang ini punya surat kepemilikan resmi rumah sakit ini berarti rumah sakit ini bisa saja dihancurkan sekarang. Namun dia teringat bahwa pemilik terbesar rumah sakit ini adalah Top 2.

Orang itu lalu memperlihatkan suratnya. Namjoon mengambilnya dan melihat dengan seksama bersama Yoongi dan lainnya.

“Yoon.” Ucap Namjoon seakan mempertanyakan sesuatu kepada Yoongi.

“Bacanya pelan-pelan.” Jawab Yoongi.

“Ini palsu!”

Suara itu lalu membuyarkan Namjoon dan yang lainnya yang sedang membaca surat itu barusan. Dia kemudian membaca sekali lagi. Menganggukkan kepalanya. Hal itu menarik perhatian yang lain.

“Kalau kalian mau gertak itu yang pintar dikit, ya. Surat ini palsu atau ya bisa dibuat sendiri. Cap notarisnya saja sudah kelihatan beda begini.” Ucapnya sinis. “Saya punya dokumen legalisir kepemilikan tanah dan rumah sakit ini secara sah kok.”

“Kamu siapa jangan sok tahu begitu?!” Ucap orang itu marah.

“Saya adalah perwakilan Firma Hukum Min dan firma hukum kami adalah konsultan hukum rumah sakit ini. Kami bisa saja menjebloskan kalian ke penjara dan menggugat baik secara perdata kepada kalian semua karena sudah mengancam, mendalangi tindakan kerusakan, mengganggu ketertiban, dan pemalsuan dokumen. Ayo, jadi mau pilih yang mana?”

Ucapan orang itu membuat Namjoon termenung, apalagi Yoongi. Dia bahkan tidak bisa mencerna apa yang sedang terjadi di hadapannya kini.

Kemudian, sebuah mobil lainnya datang. Kali ini dibelakangnya terdengar sirine polisi. Para orang-orang berjas hitam itu mulai terlihat panik. Dari mobil keluar Pak Kades dan Aki Yayan.

Aki Yayan meski berjalan dengan perlahan, dia tetap tampak gagah dan mulai mendekati kerumunan itu.

Ontohod maneh wawanianan kieu ka rumah sakit aing!” Dengan map yang dipegangnya, dia memukulkannya ke kepala ketua orang-orang berjas hitam itu.

(Berani banget begini ke rumah sakit saya!)

Dan semua mata langsung menatap kaget.

Yeuh, neang duit teh nu halal lain jiga kieu! Mantog teu siah!

(Nih, cari uang tuh yang halal, bukan malah begini! Pergi ga kalian!)

Aki Yayan kini beralih memukul satu-satu orang-orang berjas hitam itu. Mereka mengaduh. Satu sisi suasana yang tegang barusan sedikit mencair, entahlah mungkin karena pembawaan Aki barusan mirip seperti sedang membela cucunya yang sedang diganggu oleh orang lain.

“Aki, atos ih.”

(Aki, udah ih)

Jungkook mencoba menenangkan Aki. Dan lalu menuntun Aki Yayan. Pak Kades sudah tampak menahan amarah kemudian mengkodekan polisi disana untuk meringkus orang-orang berjas hitam.

“Mana Si Karta?” Ucap Pak Kades. Namun tak ada yang menjawab. “Saya tahu dia pasti ada di sini, di salah satu mobil yang terparkir di sini. Saya tekankan sekali lagi, selama saya masih hidup, maka rumah sakit ini akan selalu berdiri tegak!” Teriak Pak Kades dengan tegas.

“Saya dan Aki Yayan adalah pemilik tanah rumah sakit ini. Dan kami tidak pernah memberikan izin kepada siapapun untuk meratakan rumah sakit ini. Serta saya sebagai Pak Kades tidak akan pernah memberikan izin pendirian mall dan real estate di atas rumah sakit ini!”

“Bentar, jadi Top 2 itu salah satunya Aki Yayan?” Namjoon masih berusaha mencerna apa yang terjadi barusan.

“Wah, gila, Yoon, calon kakek mertua lo ga kaleng-kaleng duitnya!” Tambah Namjoon sambil berbisik ke arah Yoongi.

“Kagak mertua ya, Sat!” Yoongi meninju kecil lengan Namjoon.

“Maaf, maaf, saya terlambat. Baru selesai Operasi Cito.” Dokkim keluar bersama Seokjin dari rumah sakit melihat sekeliling yang sudah ramai dengan orang.

(Operasi Cito adalah operasi darurat yang harus dilakukan segera)

“Tidak apa-apa, Dok, pelayanan rumah sakit harus tetap berjalan.” Ucap Pak Kades.

Dokkim dan Seokjin langsung menjabat tangan Pak Kades dan Aki Yayan. Penuh santun dan hormat.

“Bu Seulgi, terimakasih sudah memanggil polisi yang lain. Sisanya bisa mohon bantu diselesaikan?” Seulgi langsung memasang sikap hormat kepada Pak Kades. Bersama dengan itu, para orang-orang berjas hitam di ringkus dan diamankan.

“Teh, aku ikut!” Jungkook mencoba ikut namun ditahan oleh Aki Yayan.

Didieu heula, aya nu bade Aki carioskeun.” Jungkook tampak bingung namun dia menurut apa kata Aki Yayan.

(Disini dulu, ada yang mau Aki obrolkan)

“Nanti nyusul aja, Kook, kalau misalkan sudah selesai.” Ucap Seulgi kemudian sambil berlalu membawa orang-orang barusan.

“Terima kasih Dokter Seokjin berkat informasi dari Dokter Seokjin, kami jadi tahu harus bagaimana mengatasi keributan ini.” Ucap Pak Kades sambil menepuk bahu Seokjin. “Sudah cocok Dokter Seokjin kalau kerja di Badan Intelegen Negara.” Tambahnya sambil terkekeh.

Geng Bodar dan Geng Wasta yang telah selesai membereskan orang-orang berjas hitam itu untuk diangkut ke kantor polisi, kini sedang berbaris rapih.

Salam heula ka Pak Kades sareng Aki Yayan!” Teriak salah satu dari ketua geng.

(Salam dulu ke Pak Kades dan Aki Yayan)

WILUJENG ENJING, PAK KADES AKI YAYAN!” Ucap mereka serempak dengan suara yang lantang.

(Selamat pagi, Pak Kades Aki Yayan!)

Mendengar itu semuanya tertawa. Pak Kades lalu menghampiri kedua ketua geng itu. Menyalami dan menepuk pundaknya.

Nuhun, nyak. Nah kieu we tong nyiar ribut, tapi ngiring amankeun desa.

(Terima kasih, ya. Nah gini jangan cari ribut, tapi ikut mengamankan desa)

“Siap, Pak Kades. Kami sesuai arahan Dokter Jimin!” Ucap kedua ketua geng itu dengan gestur hormat.

“Pengaruh Jimin luar biasa sekali.” Ucap Namjoon.

“Eh, atuh calon mantu bapak, haha.” Ucap Pak Kades tertawa sambil memberikan jempolnya.

Beberapa yang lain ikut tertawa melihat Pak Kades yang dengan bangganya memuji Jimin.

Dari semua mobil besar yang masih terparkir di Inha karena orang-orang berjas hitam itu sudah diringkus oleh Seulgi dan polisi lainnya, ada satu mobil yang berjalan pelan. Dari kaca mobil diturunkan sedikit terdapat seseorang memakai kaca mata hitam. Dia menatap Seokjin dengan tajam.

“Kok yang di mobil itu ga ikut diringkus?!” Ucap Yoongi.

“Biarkan. Dia urusan saya.” Ucap Pak Kades.

Mobil itu lalu pergi meninggalkan parkiran Inha.

“Dia adalah Pak Karta, dalang dari semua ini.” Ucap Seokjin.

“Dan dia adalah kakak saya. Jadi biarkan nanti saya yang buat perhitungan dengan dia.” Tambah Pak Kades.

“Oh, iya, bagaimana Dokkim jadi kita membicarakannya?” Tanya Pak Kades.

“Jadi, Pak, mangga mangga. Maaf karena ada kejadian barusan, kita jadi terhambat untuk membahas hal ini.” Ucap Dokkim.

“Oh, iya, nanti akan diuruskan oleh Pengacara Lee dari Firma Hukum Min.” Tambah Dokkim.

Jungkook oge ngiringan.” (Jungkook juga ikut)

Ucapan Aki Yayan barusan sedikit membuat Jungkook bingung, dia melirik Yoongi sebentar. Yoongi mengangguk memberi tanda untuk setuju atas ajakan Aki Yayan. Dokkim, Seokjin, Pak Kades dan yang lainnya pun masuk ke Inha. Kini tertinggal Namjoon dan Yoongi bersama barisan Geng Bodar dan Geng Wasta.

“Dok, bolehkah kami izin menjenguk Dokter Jimin?” Ucap Ketua Geng Bodar.

“Iya, Dok, kami pun sudah membawa bingkisan dan makanan untuk Dokter Jimin.” Tambah Ketua Geng Wasta.

“Boleh, tapi yang bisa masuk ke ruang rawat cuma beberapa orang ga bisa semuanya. Yang lain paling di ruang tunggu saja, ya.” Ucap Namjoon.

“Tidak apa-apa, Dok, kami bisa mengintip Dokter Jimin dari kaca rawat.” Ucap salah satu anggota geng.

“Yang tertib ya, jangan berisik juga soalnya ini rumah sakit.” Tambah Yoongi.

“SIAP!” Ucap mereka serempak.

Selepas mendapatkan izin untuk menengok Jimin, para ketua geng memerintahkan yang lainnya mengeluarkan bingkisan yang akan diberikan kepada Jimin. Bingkisannya bermacam-macam. Mulai dari sebuket bunga, aneka parsel buah, aneka makanan ringan, dan bahkan entah apa itu semacam kado yang dimasukan dalam dus berpita.

“Kok nengok udah macem orang yang seserahan nikah begini?” Ucap Namjoon. Para anggota geng berjalan masuk ke Inha secara tertib sambil membawa bingkisan satu-satu persis seperti yang sedang seserahan.

“Bayangkan kalau nanti Jimin beneran nikah, bisa satu truk mereka kasih kali kadonya, haha.” Timpal Yoongi.

“Bener banget.” Ucap Namjoon. “Yoon.”

“Hm?”

We did it?

Yoongi lalu tersenyum. Dia memberikan kepalan tangannya kepada Namjoon. Dan Namjoon pun membalasnya.

We did it, Bro!

[]

➖ Melihat Bintang (2)

Taehyung sedang asyik membuat prakarya dan origami berbentuk bintang setibanya di rumah sakit. Dia menggunting, menempel, memberikan hiasan dengan telaten di samping ranjang Jimin.

“Kagok nanti kamu tangannya kalau sambil pegang tangan begini.” Ucap Jimin. Ya, Taehyung melakukan aktivitasnya sambil menggenggam tangan Jimin.

“Ngga kok.” Ucap Taehyung singkat sambil terus menyelesaikan prakaryanya.

“Buat bahan ngajar?” Tanya Jimin.

“Bukan.” Taehyung lalu melakukan finishing touch dan prakaryanya telah selesai.

“Sebentar, ya, Min.”

Taehyung lalu memasukkan semua hasil prakaryanya ke sebuah kantong plastik. Dia lalu berdiri dan naik ke atas kursi.

“Tae, kamu ngapain nanti jatuh?” Ucap Jimin khawatir. Taehyung tidak menjawab, dia sibuk membuka double tip prakaryanya dan menempelkannya di langit-langit ruangan rawat Jimin.

“Ga boleh tempel-tempel begitu di rumah sakit, Tae.”

“Ga apa-apa, nanti kalau kamu udah pulang, aku cabut lagi.” Taehyung terus menempelinya ke langit-langit hingga semua tertempel sempurna disana.

“Kalau kayak gini ngga keliatan. Aku matiin lampunya, ya.”

Taehyung mematikan lampunya dan beberapa saat kemudian prakarya yang Taehyung buat terlihat bersinar di kegelapan. Prakarya berbentuk bulan dan sebaran bintang.

“Cantik ngga?” Tanya Taehyung.

Jimin membalasnya dengan tersenyum. Perasaan menghangat menjalar di dadanya. Taehyung ternyata menyiapkan ini semua agar dia bisa melihatnya. Melihat bulan dan bintang.

“Aku boleh di sebelah kamu?” Tanya Taehyung. Jimin lalu menggeser badannya sedikit. Ada linu di dadanya. Taehyung sedikit panik namun Jimin mengatakan tidak apa-apa. Kini, Taehyung tepat berada disamping Jimin. Di ranjang yang sama.

“Tahu ngga waktu pertama kali ajak kamu ke Bukit Bintang, aku itu deg-degan banget. Sampai ga bisa tidur. Persis kayak anak kecil yang besoknya mau berangkat study tour.” Ucap Taehyung sambil memeluk Jimin. Kepalanya bersandar di dadanya.

“Sekarang kita susah buat lihat bintang kesana, jadi aku buatin di sini dulu, ya.”

Jimin kembali tersenyum melihat Taehyung menatap langit-langit kamar dengan boxy smile-nya.

“Min, liat ke langit-langit, jangan liat aku terus.” Ucap Taehyung menjadi salting karena dari tadi Jimin malah menatap dia dari samping.

“Kan kamu bintang aku.”

Mendengar itu Taehyung menatap balik Jimin. Kini mereka dari samping berhadapan. Taehyung mengusap pipi Jimin. Masih ada selang oksigen di hidung Jimin dengan nafasnya yang berat dan belum teratur. Lalu, tangan Taehyung turun dan menyentuh dada Jimin.

“Sakit, ya?”

Tangan Taehyung digenggam oleh Jimin, lalu dia kecup.

“Maaf ya, waktu itu aku jadi dingin ke kamu. Kemarin aku lagi banyak pikiran.” Ucap Jimin.

“Ngga apa-apa, Min. Aku paham.” Taehyung kini semakin mendekat dan memenuhi ceruk leher Jimin.

“Min, aku baca di internet, katanya orang masih bisa hidup dengan satu paru-paru. Kalau satu paru-paru aku dikasih ke kamu, bisa kan berarti? Kamu nanti ga akan sakit lagi seperti ini.”

Rasa panas dan sakit menjalar ke dada Jimin sekarang.

“Aku ngga ngerokok, kalau ada orang ngerokok didepan aku, aku suka usir-usir mereka. Terus aku rajin jaga kesehatan. Jadi paru-paru aku sehat dan bisa buat kamu.”

Ah, Jimin semakin ingin menangis mendengarnya.

“Tae.”

Jimin menarik wajah Taehyung dan menatapnya kembali. Lebih dalam dengan mata yang kini berkaca-kaca.

“Min, jangan nangis, nanti sesak dadanya.” Taehyung mulai mengusap mata Jimin yang basah.

“Jangan kayak gitu, Tae.”

“Aku serius, Min, nanti aku bilang ke Namjoon.”

“Ngga semudah itu, prosesnya panjang, dan bisa aja ga cocok.”

“Kita ga akan tahu kalau ga mencoba, Min.”

Kini giliran mata Taehyung yang berkaca-kaca. Dia menenggelambwajahnya ke dada Jimin.

“Lihat kamu kesakitan seperti ini, aku ikut sakit, Min. Dan aku ga bisa ngebayangin kalau harus kehilangan kamu. Jadi tolong ya pertimbangkan kata-kata aku.” Taehyung semakin terisak, kemudian Jimin menenangkan dengan mendekapnya lalu mengusap punggung Taehyung perlahan.

“Tae, lihat sini.”

Taehyung memunculkan kembali wajahnya. Matanya sudah sangat basah dan masih terisak-isak.

“Sejak sama aku, kamu lebih sering nangis dari pada senyum.” Jimin mengusap mata Taehyung dengan ibu jarinya, kemudian turun mengusap bibir Taehyung. “Aku ingin ada senyum disini, Tae.”

Jimin menempelkan keningnya ke kening Taehyung. Mereka kini saling beradu dan menangis bersama-sama.

“Maaf aku gagal buat jagain kamu dan malah selalu bikin kamu sedih. Aku bahkan ga berdaya untuk sekedar bangkit dari ranjang ini, Tae.”

“Ngga, Min, kamu ngga begitu. Kamu tetap menjaga dan melindungi aku. Dan juga, kamu pasti sembuh, Min.”

“Sejak kita pacaran, kita belum pernah kencan, Tae. Kita seringnya begini, karena aku lemah dan sakit-sakitan.”

“Jimin.” Taehyung menegakkan wajah Jimin yang sedari tadi menunduk. Air mata satu sama lain jelas tidak lagi bisa terbendung.

“Makanya kamu sembuh, biar kita bisa kencan.”

“Ngga akan bisa sembuh, Tae.”

“Min, ga ada yang tahu. Bagaimana nanti kalau ada keajaiban terus kamu bisa sembuh? Bisa seperti dulu lagi?” Taehyung menatap Jimin dengan lekat menangkup wajahnya dengan kedua tangannya. “Kita lalui ini bareng-bareng, ya, sama aku.”

Taehyung lalu mengecup kening Jimin, “Untuk semua pikiran-pikiran aneh yang ada di kepala kamu, semoga ia pergi yang jauh!”

Kemudian Taehyung mengecup kedua mata Jimin, “Untuk segala air mata kesedihan, aku mau itu pergi dan berganti dengan air mata kebahagiaan!”

“Dan untuk sayangku, Park Jimin, kamu kuat, kamu bisa hadapi ini semua karena ada aku yang selalu sama kamu.”

Taehyung mengecup bibir Jimin, semakin dalam semakin air mata mereka mengalir. Pagutan itu penuh dengan kesedihan, sakit, dan rasa tak ingin ditinggalkan satu sama lain.

Di tengah dalamnya pagutan mereka Jimin terbatuk, nafasnya tersengal.

“Sesak, ya, Sayang? Maaf-maaf seharusnya aku—”

“Ngga, Tae, lanjut aja.”

“Nanti sesak lagi.”

“Ngga, Tae, kasih jeda aja.”

“Min—”

Please.”

Taehyung menurutinya, memberikan pagutan yang lebih lembut, seakan tak ingin lepas bahkan sampai mereka kelelahan dan tidur bersama hingga pagi menyapa.

[]

➖ Memenangkan Hati

Perasaan Taehyung sudah tidak karuan. Perjalanan Inha ke Andani selama 5 jam dalam mobil hitam mewah itu sungguh tidak memberi rasa nyaman. Taehyung meremas botol minuman yang Pak Choi berikan untuk mengusir perasaan yang berkecamuk di dadanya. Ponselnya sudah di tangan Pak Choi dalam keadaan mati. Bagaimana jika Jimin menghubunginya? Bagaimana jika Jimin panik dan drop lagi? Segala ceracau itu mengisi pikiran Taehyung.

Mobil telah sampai membawa Taehyung ke sebuah pusat perbelanjaan. Taehyung ingin bertanya namun Pak Choi seakan memberi tembok dinding yang besar. Sudah ikuti saja. Mungkin seperti itu yang akan dia katakan.

Mereka akhirnya sampai di lantai 3, di sebuah toko tas dan dompet. Taehyung hanya berpakaian mengajar saat itu. Celana kain warna coklat dengan kemeja warna krem. Tidak cocok untuk pergi ke mall atau persis seperti guru yang membolos dan malah main ke mall. Ya karena memang seperti itu juga sekarang.

Di sana terlihat wanita paruh baya dengan berpakaian warna biru baik blazer maupun roknya. Dia sedang memilih-milih tas dihadapannya. Ya, sudah pasti itu Mamanya Jimin.

“Nyonya, Tuan Taehyung sudah datang.” Ucap Pak Choi. Setelah mengatakan itu, Pak Choi undur dia dan membuat Taehyung semakin canggung.

Dia harus bagaimana? Dia harus memperkenalkan diri sebagai apa? Dia gugup, takut, bingung, entahlah. Aura dari wanita dihadapannya sangat dingin dan Taehyung tak berani lebih jauh berpendapat. Dia harus hati-hati, itulah yang ada di pikirannya sekarang.

“Mana yang lebih bagus? Ini atau itu?” Ucapnya.

Taehyung kaget dan belum secara penuh memproses ini semua. Bukannya seharusnya dia memperkenalkan diri atau dia yang memperkenalkan diri? Mengapa malah bertanya tas mana yang lebih bagus?

Taehyung mencoba tenang dan menahan rasa takutnya. Melihat apa yang Namjoon dan Yoongi pernah ceritakan padanya tentang bagaimana Mamanya Jimin, rasanya jika Taehyung balik bertanya justru akan menjadi bomerang baginya.

“Yang biru.” Jawab Taehyung singkat.

Nice.” Wanita itu lalu meminta tanda kepada pelayan di toko untuk membawa tas itu.

Tanpa berkata apa-apa lagi, dia keluar dari toko dan menuju toko lainnya. Sebuah toko pakaian dan asesoris.

“Carikan baju yang cocok untuk dia.” Ucapnya ke pelayan toko. Dia yang dimaksud tentu saja Taehyung.

Taehyung benar-benar tidak tahu apa yang sedang menimpa dirinya sekarang. Melihat Mama Jimin sungguh seperti seseorang yang tidak boleh dibantah. Rasanya saat ini jika bisa maka Taehyung akan mengajukan 1000 pertanyaan tapi sayangnya tidak bisa. Dia sangat segan.

Dia kini sedang menatap dirinya di cermin. Pakaian mengajarnya sudah berganti dengan celana kain warna biru dan kemeja dengan bunga berwarna biru yang senada dengan celananya.

Mamanya Jimin menatap head to toe ke Taehyung. Entah dengan tatapan apa, Taehyung tak berani mengambil kesimpulan.

Matching.” Ucapnya sambil berlalu. Sambil berjalan mengikuti, Taehyung baru menyadari maksud matching adalah pakaian dia dan Mamanya Jimin senada berwarna biru.

Destinasi selanjutnya adalah restoran. Restoran dengan gaya eropa klasik dan iringan musik biola serta piano menggema di seluruh sudutnya.

Mereka kini telah duduk berhadapan. Sebuah welcome drink sedang disajikan oleh pelayan restoran. Mata Mamanya Jimin seakan mengisyarakat Taehyung untuk meminumnya. Dan lagi-lagi aura 'tidak boleh dibantah' yang mamanya keluarkan membuat Taehyung menurut dan meminum minumannya.

“Kamu mungkin berpikir bahwa saya akan memberikan kamu uang yang banyak dan meminta kamu menjauhi anak saya.”

Ucapan barusan sungguh hampir membuat Taehyung tersedak. Dia sedikit terbatuk namun tetap berusaha tenang.

That's so funny!” Mama Jimin lalu mengesap wine dari gelasnya.

Taehyung meremas celananya. Dia harus berbicara. Dia harus memberanikan diri.

“Saya tidak perlu uang dari Ibu. Keluarga saya sudah banyak uangnya, Bu.” Taehyung mengatakannya dengan sekali nafas.

Mendengar jawaban Taehyung, dia tertawa. “Kan saya bilang barusan 'mungkin kamu berpikir begitu' bukan berarti saya akan melakukan hal itu.”

Oh. Oke, baik, Kim Taehyung kamu blunder!

Benar. Rasanya Taehyung ingin menguburkan diri saja saat itu.

Makanan pun telah datang. Taehyung sama sekali tidak memesan apa-apa. Semua seperti sudah dipersiapkan sebelumnya.

“Saya sudah cek kalau kamu tidak ada alergi jadi kamu bisa memakan ini.” Ucapnya.

Iya, dia memang sudah cek semuanya. Semuanya.

Taehyung menatap steak dihadapannya. Sebenarnya dia tidak selera untuk makan. Namun, sungguh seperti tidak menghargai jika dia tidak memakannya.

“Dari skala 1 hingga 10, seberapa bahagianya Jimin bersama kamu?”

Taehyung yang sedang mengunyah daging di mulutnya tiba-tiba berhenti mendengar pertanyaan itu.

“Saya tidak bisa jawab, Bu, karena itu Jimin yang merasakannya.”

“Ya, menurut pendapat kamu saja.”

“Tidak terhingga.”

“Wow, really confident.”

“Sama seperti saya kepada anak Ibu. Tidak terhingga. Skala 1-10 itu terlalu sempit.”

Mama Jimin mengangguk perlahan. Tidak dapat diartikan maksudnya apa.

“Hubungan saya dengan Jimin bisa disebut tidak baik. Dia mungkin sekarang sedang berpikir kalau saya akan menyakiti kamu atau membuat perhitungan dengan keluarga kamu. Padahal lihat yang saya lakukan sekarang.” Ucapnya sambil memotong steak-nya.

“Saya hanya ingin yang terbaik untuk dia. Saya sudah kehilangan anak dan saya tidak mau kehilangan lagi.”

Taehyung kini menatap nanar wajah Mama Jimin. Meski tetap tegas dan aura dingin namun Taehyung bisa dilihat dari matanya terpancar kesenduan dan kerinduan yang bercampur menjadi satu.

“Saya terlalu mendiktenya. Meminta dia menjadi dokter padahal dia sangat ingin menjadi penari. Saya tahu dia menari diam-diam. Saya menonton lomba dia menari. Tapi saya pun tahu setiap dia selesai menari, dadanya selalu sakit. Dia anak sok kuat!”

“Dia tidak sok kuat, tapi dia benar-benar kuat.”

Taehyung, kamu sudah gila!

Rasanya Taehyung ingin menenggelamkan dirinya. Rasanya dia ingin menguap. Dia baru saja membantah ucapan Mama Jimin yang selalu memancarkan aura 'tidak boleh dibantah'. Blunder.

“Kalau Jimin meninggalkan kamu, apa yang akan kamu lakukan?”

Sungguh ambigu. Mengapa dari tadi pertanyaannya selalu membuat Taehyung menjadi pusing dan bingung.

“Saya tidak akan meninggalkan Jimin, Bu.”

“Baik.” Ada jeda sebelum Mama Jimin melanjutkannya kembali, “Saya iri dengan kamu.”

Taehyung terdiam sesaat. Tangannya terhenti padahal barusan dia sedang memotong steak-nya.

“Kasih tahu saya bagaimana cara memenangkan hati Jimin, Taehyung.”

[]

Berkasih Dalam Dua Babak

Babak Satu.

Tak seberapa lama setelah pesan terakhir dari Jungkook, suara pintu terdengar diketuk. Yoongi lalu membukanya. Terlihat Jungkook sambil menenteng plastik putih, katanya isinya surabi.

Jungkook pun duduk di ruang tamu. Yoongi hendak ke dapur mengambil piring untuk tempat surabi namun tangannya ditarik. Yoongi tidak siap karena sekarang Jungkook membawanya duduk ke pangkuannya.

“Jungkook.” Yoongi terkesiap. Kini dia benar-benar duduk dipangkuan Jungkook. Yoongi tidak dibiarkan bangkit satu sentimeter pun karena pinggangnya sudah dilingkari oleh tangan Jungkook. Lingkaran itu semakin lama semakin erat. Pipi Jungkook bahkan menempel hangat di punggung Yoongi.

“Harusnya gue kali yang gini?” Ucap Yoongi. Kalau saja Jungkook bisa melihatnya, wajahnya sudah sangat merah sekarang.

“Kamu ga akan bisa pangku saya, badan saya lebih besar dari kamu!”

Mendengar hal itu membuat Yoongi bereaksi cepat. Dia membalik posisinya dan kini duduknya menyamping dan bisa melihat Jungkook.

“Enak aja lo!” Yoongi menangkup pipi Jungkook hingga bibirnya menyempit seperti mulut bebek.

“Yoongi, Sayang.” Mendengar itu, Yoongi langsung melepaskan tangannya dari pipi Jungkook.

“Saya punya gaji, punya tabungan juga. Belum banyak, tapi bisa dipakai untuk kita berdua kok.”

“Lo mau ngebiayain hidup gue?”

“Kalau kamu izinkan, saya siap, Yoongi. Saya mampu kok.” Ucap Jungkook yakin.

“Haha, ucapan lo udah kayak suami gue aja.” Tawa Yoongi barusan teredam saat Jungkook sama sekali tidak tertawa, dia sangat serius. Dan hal itu membuat Yoongi takut.

“Jangan gitu, Kook, gue belum siap!” Yoongi mencoba bangkit namun tetap ditahan oleh Jungkook bahkan kini dia memeluknya dengan erat.

“Kook!”

Jungkook semakin dalam memeluk Yoongi dari belakang. Tangan Yoongi dia genggam dan usap perlahan. Hal ini membuat Yoongi semakin menunduk.

“Lo ga perlu bertanggungjawab atas hidup gue, Kook, gue tadi cuma asal ngomong kok.”

Sepertinya badan Yoongi begitu ringan bagi Jungkook, dia mengangkat Yoongi dan membuatnya Yoongi berhadapan dengannya. Posisi Yoongi masih di pangkuan Jungkook. Dia lalu menarik pinggang Yoongi untuk semakin dekat dengan dirinya. Tangan Yoongi lalu meremas bahu Jungkook.

“Kalau sulit, jangan ditahan sendiri, jangan dibawa dengan nada becanda. Kita bisa bareng-bareng, Yoongi. Dan saya serius dengan ucapan saya barusan. Terserah nama hubungannya mau seperti apa, asal kamu masih dengan saya, itu ngga masalah bagi saya.” Ucap Jungkook lekat-lekat menatap Yoongi. Tidak ada keraguan sedikitpun.

Yoongi membuang pandangannya dari Jungkook, Yoongi tidak sanggup terus menatap Jungkook. Hatinya tetiba terasa sakit.

“Lihat saya, Yoongi!” Pinta Jungkook. Nadanya lembut tetapi tetap tegas.

Yoongi sedikit demi sedikit mulai menatap Jungkook kembali. Tangan Jungkook mulai merapikan rambut Yoongi lalu mengusap kepalanya perlahan.

“Kamu keren, Yoongi.”

Mata Yoongi langsung berbinar ketika Jungkook mengatakan itu.

“Saya ngga tahu apa yang sudah kamu lepaskan dan apa yang sudah kamu lakukan, tapi perasaan saya mengatakan kalau kamu sudah melakukan hal yang keren.” Jungkook mengusap kepala Yoongi. Senyuman yang Jungkook berikan menghangatkan hati Yoongi.

Yoongi lalu menghamburkan badannya ke Jungkook. Memeluk Jungkook dengan erat. Terdengar suara isak dari sana. Jungkook lalu mengusap-usap punggung Yoongi secara perlahan. Dia memberikan kecupan singkat di leher Yoongi.

“Terima kasih, Yoongi, sudah melakukan yang terbaik untuk hari ini!”

Yoongi kemudian melepaskan pelukannya dan menatap kembali Jungkook.

“Sayang.”

Selepas mengatakan itu, Jungkook menarik Yoongi, mengecup bibirnya secara perlahan. Tangan Jungkook mulai memasuki pakaian Yoongi dan merabanya, memberi kenyamanan yang bisa dia berikan saat itu. Yoongi masih tetap dipangkuan Jungkook. Berbagi rasa, berbagi kekhawatiran. Esok mungkin akan lebih berat, namun biarkan malam ini mereka berkasih. Dan hanya memikirkan satu sama lain.


Babak Dua.

Motor Si Biru andalan Taehyung sudah sampai di parkiran Inha. Dia masuk dan melihat Jimin tengah sendirian di kantin yang telah tutup. Lampu hanya menerangi mejanya. Dia tengah membaca buku. Mungkin buku kedokteran bedah. Tangan kanannya tidak henti-hentinya menjentikkan pulpennya berkali-kali. Taehyung tahu ada keresahan di balik itu semua.

“Jimin.”

Yang dipanggil menoleh. Menghentikan aktivitas jentikan pulpennya.

“Fokus banget sampai ngga ngeh aku udah datang.” Taehyung lalu duduk disamping Jimin. Menyimpan termos kecil yang dia bawa di atas meja. “Kamu lagi belajar?”

“Ah ... Cuma baca-baca aja kok.” Jimin lalu menutup bukunya dan menyelipkan pulpen di antaranya.

“Aku bawain susu hangat. Biar segeran kamu dinas malamnya.” Taehyung menuangkan isi termosnya ke tutupnya yang dapat dijadikan gelas juga.

“Makasih.” Jimin menerima gelas susu itu dan meminumnya perlahan.

Taehyung menumpu kepalanya dengan tangannya. Melihat Jimin dengan lekat. Dari mulai dia meniup susu, meminumnya perlahan, hingga saat Jimin selesai dan menaruh gelasnya di meja.

“Jangan dilihatin gitu.” Ucap Jimin menjadi salting.

“Aku dulu suka curi-curi pandang kalau mau lihat kamu, sekarang udah ngga lagi. Jadi aku mau lihat kamu terus kayak gini.”

Taehyung mulai memainkan surau hitam Jimin. Namun tangan Taehyung dihentikan oleh Jimin lalu dia kecup punggung tangan Taehyung.

“Mau dipeluk.” Ucap Jimin.

Taehyung lalu membuka tangannya dengan lebar memberi tanda bagi Jimin untuk menghambur kearah. Jimin lekas melakukannya. Memeluk Taehyung dengan erat. Pelukan itu pun dibalas oleh Taehyung.

“Min, tunggu sebentar lagi, ya. Aku akan beli sawah. Uangnya nanti aku putar, buat beli rumah. Mungkin kita bisa ambil titik tengah ya antara Inha dan Andani. Nanti kamu bisa sambil praktek dan sekolah di Andani, aku masih sambil ngajar disini.”

Taehyung menyadari ucapannya barusan. Dia langsung melepaskan dekapannya. Memunggungi Jimin, menahan malu sambil meremas celananya.

“Hei, jangan diremas celananya nanti kusut. Kebiasaan deh.” Ucap Jimin sambil menggenggam tangan Taehyung yang tidak berhenti terus meremas celananya.

“Aku malu.”

“Hei, sini dong, jangan dikasih punggung.” Jimin membalikkan badan Taehyung. Membuat Taehyung menatapnya.

Jimin seperti memberi kode kepada Taehyung untuk menjelaskan maksud ucapannya barusan.

“Aku ga maksud buat ngajak kita serumah bareng. Ini cuma rencana aku setelah kita nikah nanti. Eh, tapi maksudnya aku ngga ajak nikah sekarang-sekarang. Uangnya belum kekumpul banyak. Tapi aku mampu kok kalau misalnya kamu—”

“Tae, you're so rambling.” Tangan Jimin mengelus pipi kiri Taehyung dengan lembut mencoba menenangkannya.

“Makasih ya, udah mempersiapkannya untuk kita.”

“Ah ... Aku malu banget, Min. Aku—”

Ucapan Taehyung tidak dapat dilanjutkan, bibirnya kini dihalangi oleh bibir Jimin. Pagutan itu membuat Taehyung tak lagi bisa bersuara. Jimin paham. Sangat paham. Hingga semakin lama, pagutan itu semakin dalam tak tahu sejak kapan tangan Jimin sudah meraba dada Taehyung. Jimin tahu tidak mungkin meneruskannya disini.

“Ikut aku, Sayang.”

Taehyung seakan paham dan mulai membereskan barang-barangnya di atas meja begitupun dengan Jimin. Mereka tergesa berjalan dan Jimin membawanya ke ruang ganti. Mengunci pintu dan melepaskan jas dokternya.

“Jimin, nanti kalau ada orang bagaimana?”

“Dokter laki-laki yang jaga cuma aku malam ini.” Ucap Jimin yang kemudian mulai menciumi leher Taehyung dan menyudutkan ke tembok.

Dibawah cahaya rembulan yang masuk ke ruang ganti, Jimin dan Taehyung hanya ingat bahwa hanya ada diri mereka di bumi sekarang. Tak ada yang lain.

“Min .. Harusnya aku ... Yang begitu. Kan kamu lagi—” Ucap Taehyung sambil terengah karena Jimin tak henti-hentinya memberikan kasihnya yang membuat sekujur tubuh Taehyung menjadi panas.

“Aku yang mau kamu, Tae. Sebentar lagi, ya.”

Hingga pelepasan itu pun akhirnya keluar. Mereka saling memeluk satu sama lain. Berkasih dalam waktu singkat bak dikejar waktu. Saling mengecup memberikan kenyamanan.

Lalu, telpon Jimin berdering. Dari Yerim. Jimin mengangkatnya. Taehyung tahu pasti itu telpon dari IGD.

“Sayang.”

“Aku paham kok, nanti aku beresin semua.”

“Maaf aku ga taking care kamu.”

“Ga apa-apa, Min. Cepet ke IGD, pasien kamu udah nungguin.”

“Pulangnya bawa mobil aku ya, jangan naik motor. Nanti makin lecet.”

“Ga apa-apa, Min, aku—”

“Ngga ada penolakan, Sayang, anggap ini taking care dari aku, ya.” Jimin lalu mengecup kening Taehyung. “Maaf ya, Sayang. Kuncinya ada di loker aku, password-nya ulang tahun kamu. Wuuf you.”

Jimin lalu mengambil jas dokternya dan berlari menuju IGD meninggalkan Taehyung yang kini sendiri di ruang ganti.

Kenapa selalu ada hal 'darurat' diantara kita, Min?

[]

➖ Senyum Kemenangan

Taehyung baru saja selesai makan bersama Wendy dari kantin ketika melihat seseorang sedang berdiri di depan ruang rawat Jimin. Orang tersebut sudah memegang gagang pintu dan siap membukanya. Taehyung tahu orang itu siapa, meski ini pertama kali dia melihatnya.

Pintu sudah nyaris akan terbuka namun pegangannya tertahan oleh Taehyung yang menutupnya kembali. Tapi orang tersebut tidak gentar. Dia mencoba membuka kembali namun lagi – lagi terhalang oleh Taehyung. Adegan perebutan gagang pintu tidak dapat terelakkan.

“Saya mau masuk!” Ucap seseorang itu. Dia memakai stelan formal dengan jas berwarna hitam.

“Tidak boleh!” Taehyung lalu menggeser tubuhnya dan dengan sempurna menghalangi pintu kamar rawat Jimin.

Pria itu seakan tidak mempedulikan keberadaan Taehyung, dia mendorong badan Taehyung, tetap mendesak untuk masuk.

“Saya kan sudah bilang tidak boleh!” Taehyung sama sekali tidak bergeser badannya meski pria itu terang – terangan telah mendorongnya.

“Kamu siapa? Dokter disini? Perawat disini?”

Taehyung menegakkan badannya. Matanya tajam menatap pria itu.

“Saya adalah pacar pria yang berada di dalam kamar rawat ini.”

Ucapan Taehyung barusan mendapatkan tawa dari pria itu. Tawa sinis. Dia lalu melihat Taehyung dari atas ke bawah, sungguh tidak bersahabat.

I never thought that his taste will change like this after broke up from me.”

Taehyung geram. Dia mengepalkan tangannya. Jika tidak ingat dia sedang di rumah sakit, mungkin Taehyung sudah siap memberikan tinjunya pada pria itu.

“Baguslah berarti artinya dia sadar.” Taehyung tidak mau kalah. Dia tidak ingin gentar. Matanya membalas tajam tatapan sinis dari pria itu.

Do you think I care?” Pria itu kembali mendesak masuk namun kini Taehyung berhasil mendorong tubuh pria itu hingga sekian sentimeter dari pintu masuk.

“Huft .. Gini nih males berurusan sama orang desa. Kelakuannya udik.”

Taehyung menghela nafas dalam. Tahan. Tahan. Dia berusaha menahan amarahnya. Meladeninya justru akan membuat dia sama saja seperti orang itu.

Let me tell you something, Anak Desa. Saya mau menengok dr. Jimin didalam sana. So, you better go away! Ah, or you don't understand what I am talking about? Of course, you live in village and you don't know about this kind of stuff. That's why I said maybe Jimin get down grade being with you. Ugh, I'm sorry!” Ucap pria itu dengan nada yang merendahkan.

Taehyung sudah sangat geram. Dia memajukan tubuhnya. Menatap pria itu seakan ingin menghabisinya. Membuat pria itu memundurkan langkahnya hingga dia akhirnya tersudut ke tembok.

Do you think if I live in village then I can't speak like this, huh? You better fuck off yourself and stay away from Jimin! You're so disgusting! Do you even have shame? Do you wanna me give you mirror to reflect how bad yourself? Think before you speak, Asshole!

What the hell are—” Pria itu sudah siap untuk melayangkan tangannya kepada Taehyung ketika suara berat menghampiri mereka berdua.

“Aden.”

“Pak, tolong jagain kamar Dokter Jimin, ya, terus bawa orang ini keluar, Pak. Dia sudah mengganggu pasien.” Ucap Taehyung tegas kepada Pak Satpam yang barusan menghampiri Taehyung.

What?!

Tak perlu berlama – lama pria itu digiring menjauh dari hadapan Taehyung. Pria itu sempat memberontak namun tubuh dan tenaganya kalah besar dan kuat dari Pak Satpam.

Kaki Taehyung lemas, dia lalu mendudukkan tubuhnya di kursi tunggu depan kamar Jimin. Dia mengatur nafasnya perlahan. Membenarkan kemejanya dan mencoba berdiri tegak kembali. Sekarang dia melangkahkan kakinya untuk masuk ke kamar Jimin. Tidak lupa senyuman sudah tersungging dibibirnya. Jimin harus melihat senyumnya. Senyum kemenangan.

[]

Your smell is my favorite and I don't wanna another overwrite this

18+ with feelings foreplay in the car slightly wall sex jimin takes care of taehyung better if you listen John Legend – All Of Me while read this


Taehyung bergegas menemui Jimin di mobilnya yang terparkir di samping sekolah selepas Jimin mengirimi ia pesan. Jimin bilang di bangku belakang saja, katanya biar gampang kalau dipeluk. Hm, baiklah.

Baru saja Taehyung menutup pintu mobil, Jimin langsung melihat Taehyung dengan nanar.

“Sembab banget, sayang, matanya.” Ucap Jimin sambil mengusap mata Taehyung dengan ibu jarinya.

“Aku padahal udah cuci muka, tapi masih kelihatan.” Taehyung menggigit bibirnya perlahan. Hal ini menarik jari Jimin untuk kesana. Mencegah Taehyung agar tidak lagi menggigiti bibirnya.

“Sama aku bikin kamu jadi sering nangis.” Wajah Jimin menunjukkan ekspresi sedih. Ada ketidaksukaan, khawatir, dan sakit yang nampak dari wajahnya melihat Taehyung seperti ini.

“Ngga, Sayang, aku nangis karena ngerasa bersalah padahal kemarin kamu dapat hari yang buruk tapi aku ga tahu dan malah acuhin kamu.”

Jimin lalu mengeluarkan sesuatu dari plastik yang berada di jok depan.

“Aku bawa eskrim strawberry biar kamu ga sedih lagi.”

“Ih ... Harusnya aku yg begini kan kamu yang sedih.” Taehyung memajukan bibirnya.

“Duh, jangan pout begini aku ga tahan jadi pengen nyium.” Goda Jimin.

Mereka terkekeh bersama. Jimin membukakan cup eskrimnya. Ukurannya cukup besar. Biar Taehyung kenyang dan ga sedih lagi kalau eskrimnya besar.

“Kamu ga mau, Min?” Tanya Taehyung setelah dari tadi Jimin hanya memandanginya memakan eskrim. Tangan Jimin dengan sempurna merangkul pinggang Taehyung, hidungnya mengendus leher Taehyung beberapa kali.

“Ngga, aku udah kenyang. Bau kamu juga udah bau strawberry.”

“Ih endus-endus terus.” Ucap Taehyung sesekali menjauhkan wajah Jimin yg terus tenggelam dalam lehernya.

Jimin pun melepas rangkulannya, dia melihat Taehyung yang dengan sempurna menghabiskan satu cup eskrim seorang diri.

“Nanti gantian ya aku yang bawain kamu.” Ucap Taehyung. Dia lalu memasukkan bekas eskrimnya ke plastik yang tadi membawanya.

“Sayang, makannya kayak anak kecil ih.”

Jimin mengusap bibir Taehyung perlahan dengan ibu jarinya tapi kemudian terhenti. Mata mereka saling pandang sebelum akhirnya Jimin mendesak Taehyung hingga mentok ke pintu mobil, melingkarkan tangannya ke pinggang Taehyung, lalu secara sempurna membersihkan sisa eskrim di mulut Taehyung dengan bibirnya.

Bibir Jimin sudah sepenuhnya mengulum bibir Taehyung. Lidahnya melinguk-linguk beradu dengan lidah Taehyung, menelusuri langit-langit, melumat habis bibirnya, hingga mungkin rasa strawberry barusan sudah semua Jimin hisap.

Jimin masih terus melumatnya, tanpa jeda, tanpa henti. Tangan kanan Jimin menopang belakang leher Taehyung sementara tangan kirinya mengusap pipi Taehyung, turun ke rahangnya, leher, hingga tanpa sadar membuka satu kancing kemeja Taehyung.

Semakin lama pagutan itu semakin dalam, Jimin semakin terus mendesak Taehyung hingga gesekan keduanya tak bisa dihindarkan. Taehyung lalu melenguh.

“Min, jangan disini.” Ucap Taehyung dengan nafas yang tersengal-sengal ketika akhirnya Jimin melepas pagutannya.

“Di rumah ya.” Ucap Jimin. Dia pun tak kalah tersengal-sengalnya sama seperti Taehyung.

Taehyung mengangguk perlahan. Jimin lalu mengancingkan kembali kemeja Taehyung. Memintanya tetap di jok belakang sementara Jimin kini sudah di depan kemudi stirnya. Siap membawa Taehyung dan segala birahinya untuk segera dituntaskan.

Mereka telah sampai rumah. Jimin lalu mengunci pintu depan dari dalam. Dia kemudian menghentakkan Taehyung ke dinding seakan segala yang tadi sempat terhenti mendesak untuk dilanjutkan.

Jimin begitu menggebu-gebu, membombardir Taehyung, menyudutkannya, membuat isi pikiran Taehyung kini hanya ada Jimin.

“Min, ...Ugh.” Taehyung melenguh ketika ceruk lehernya Jimin hisap sementara kedua tangan meremas puting Taehyung membuat semua semakin panas. “Aku masih ... ada kelas.” Pada kata kelas, Taehyung tersentak karena saat itu miliknya sudah Jimin sentuh dari dalam.

“Aku juga. Tapi aku mau kamu!”

Mereka berdua sudah dibutakan oleh nafsu hingga nalar terlupa. Taehyung naik dan memeluk Jimin seperti koala. Pertunjukan mereka di tembok ruang tamu kini berpindah ke kasur.

“Taehyung, aku buka semua, ya.”

Taehyung tidak menjawab, dia tidak bisa lagi berpikir harus menjawab apa. Kini bahkan keduanya sudah tak ada lagi yang menempel di badannya. Kulit mereka saling bertemu, bersentuhan, dan bergesekan.

“Aku mau bau kamu yang menempel di badan aku. Aku cuma mau kamu, Tae.” Ucap Jimin sambil terus menekan milik Taehyung dan tak henti memberi tanda di perutnya.

“Min, aku mau.. Ugh.. Kamu yang ke aku!” Taehyung semakin tersengal saat Jimin menciumi paha bagian dalamnya, secara acak, lembut meski tetap kuat menghentaknya.

“Boleh?” Tanya Jimin.

“He'em.”

Setelah mendapatkan izin, Jimin membuka nakas laci sebelah ranjangnya. Dia membuka botol dan mengoleskan ke jarinya.

“Sayang, satu dulu ya.”

Taehyung tidak menjawab, dia terlalu asyik menggelinjang dibawah Jimin hingga saat satu jarinya masuk, Taehyung melenguh sangat keras. Dia menutup lenguhannya dengan bantal.

“Sakitkah?”

“Hengg... Lanjut, Min.” Pinta Taehyung.

“Jangan ditutup pakai bantal nanti ga bisa nafas. Aku mau lihat wajah kamu juga, Sayang.”

Jimin lalu mengambil bantal dari wajah Taehyung. Kini sudah terlihat Taehyung yang penuh keringat, matanya sayu namun menyiratkan sedang merasakan kenikmatan.

How to be pretty and handsome in the same time like you. Kamu indah banget, Sayang.”

Jimin kemudian mengecup bibir Taehyung sebelum dia mulai untuk memasukkan dua jarinya. Jimin sudah bertanya, namun Taehyung tak bisa lagi menjawab apapun. Hingga saat dua jari memenuhinya, Taehyung semakin tersentak. Kedua kaki terangkat dan kini ditumpu oleh bahu Jimin.

Why do you always know the best position, Sayang?”

Taehyung menjawabnya dengan senyuman. Senyuman kenikmatan yang baru kali ini Jimin lihat.

“Mau di tiga atau langsung aja?”

“Terserah, Min, aku ngga bisa berpikir lagi!”

Okay, be ready, Sayang!”

Jimin lalu mengambil bungkus kondom di lacinya, membuka plastiknya, Taehyung melihatnya semakin panas. Bagaimana bisa hanya membuka plastik dengan giginya seperti itu sudah sangat panas dan seksi?

“Aku masuk, ya, Sayang.”

Meski tampak susah diawal dan membuat Taehyung mengerang, namun kini semua milik Jimin telah masuk ke Taehyung. Kedua kaki Taehyung yang terangkat diatas bahu Jimin kini dilingkarkan ke belakang leher Jimin.

Jimin tak memberi kesempatan Taehyung untuk melenguh sedikitpun. Ketika bawahnya terus menghentakkan Taehyung, tangannya meremas putingnya, bibirnya melumat habis bibir Taehyung. Di semua lini dia merasakan keindahan dan kenikmatan tiada tara.

“Min, ... Aku mau—”

“Sebentar, Sayang, bareng ya.”

“Aku—”

“Sedikit lagi!”

Satu

Dua

“Min, di dalam! Hengg ... Di dalam!”

Tiga

Sesuai dengan keinginan Taehyung, kini semua milik Jimin ada di dalamnya. Jimin bermandikan keringat menempelkannya ke badan Taehyung yang sama berlumuran keringat. Kedua kaki Taehyung yang asalnya menegang mulai turun kebawah.

I love you. Sayang banget sama kamu. Jimin mencium pipi Taehyung perlahan. “Makasih, ya.”

Taehyung masih mengatur nafasnya. Bisikan Jimin barusan di telinganya didengar Taehyung dengan baik.

“Min, jangan dilepas dulu.” Jimin kaget mendengar itu dari Taehyung. “Biarin dulu, ya, aku mau kamu tetap disitu.”

Jimin tersenyum. “Anything for you!” Lalu Jimin mengecup kening Taehyung. “Good boy.”

Jimin kemudian menarik selimut menutupi tubuh mereka yang tak berbusana. Taehyung mungkin kelelahan dan kini dia telah tertidur meski nafasnya masih tersengal. Kepunyaan Jimin masih berada di sana, masih berada di Taehyung seutuhnya.

Melihat Taehyung yang tertidur dengan nyenyak dalam dekapannya, Jimin mulai menarik miliknya. Ada sedikit gerak dari Taehyung namun dia kembali tertidur. Tingkah itu mengundang senyum dari Jimin.


Taehyung mendapati dirinya sendiri di ranjang Jimin. Dia melihat kiri dan kanan, tetapi tidak ada Jimin. Taehyung ingin menghubunginya tetapi Taehyung lupa bahwa ponselnya masih di mobil Jimin. Ketika Taehyung ingin turun dari ranjang, kakinya terhenti. Bawahnya sakit dan perih.

“Sakit, ya?” Jimin datang membawa baskom berisi air hangat dan handuk didalamnya. Dia sudah memakai kaos dan celana pendek sementara Taehyung hanya ditutupi oleh selimut.

“Ngga apa-apa kok.” Ucap Taehyung.

“Aku bersihin dulu ya.”

Taehyung dibaringkan kembali namun punggungnya bersandar ke tembok tempat tidur.

Jimin telaten menyeka tubuh Taehyung mulai dari wajah, turun perlahan ke leher, dada, perut, selangkangan, paha, betis, hingga kakinya. Taehyung terharu, dia merasa sangat disayang dan diperlakukan dengan baik. Hingga tak sadar air matanya menetes.

“Duh, kenapa, sayang, ada yang sakitkah?” Ucap Jimin ketika melihat Taehyung menangis. Tangan Jimin diraih Taehyung dan dia tempelkan ke pipinya.

“Kamu baik banget.”

“Taehyung, you always take care of me, so I do the same. This is my turn, Sayang.”

Jimin kini menyeka bagian belakang Taehyung. Membersihkan hingga bersih. Dia mengoleskan salep agar lecetnya Taehyung tidak nyeri kembali. Kemudian Jimin memakaikan pakaian Taehyung, hingga semua nampak utuh seperti saat Taehyung menjumpainya di mobil tadi. Yang berbeda adalah kini ada tanda-tanda cinta yang banyak dari Jimin di tubuh Taehyung.

“Sayang, aku mau minta maaf, ya. Aku mau jujur sama kamu karena aku ga mau kamu salah paham dan dengar dari orang lain.” Ucap Jimin sambil menggenggam tangan Taehyung.

“Aku memang mendapatkan hari yang buruk kemarin. Seseorang yang dulu meninggalkan aku dengan keji, datang lagi. Dia ada di Inha, menjadi pengacara kasus di Inha yang mungkin sudah kamu dengar.” Jimin mencoba mengatur nafasnya. Menceritakannya itu artinya dia menguak kembali memori menyakitkan.

“Tahun-tahun yang lama, dia pernah jadi bagian hidup aku. Tetapi dia begitu jahat dan meninggalkan aku, Tae. Saat itu rasanya bahkan terlalu menyakitkan untuk hidup. Kalau Yoongi saat itu tidak menolong aku, mungkin aku udah ngga ada sekarang.”

“Jimin.” Taehyung menatap sendu wajah Jimin. Hatinya sakit mendengarnya. Orang yang sangat dicintainya pernah disakiti sebegitunya. Demi apapun yang ada di dunia ini, Taehyung bersumpah akan mengganti semua luka Jimin yang dulu dengan kebahagiaan. Kebahagiaan bersamanya.

“Jangan dilanjutin ceritanya, nanti kamu sesak lagi.”

“Ngga apa-apa, Taehyung.” Kata-kata itu berusaha menguatkan dirinya tetapi tangannya bergetar hebat. Taehyung lalu menggenggamnya, mengusapnya.

“Dia tadi peluk aku di rumah sakit, Tae. Aku ga bisa bergerak sama sekali. Memori dia yang menyakitkan itu seakan buat aku membeku. Aku benci. Aku jijik. Ada bau dia menempel di baju aku, di tangan aku, di pikiran aku. Aku ga mau!” Jimin menangis. Pipi Jimin direngkuh oleh tangan Taehyung. Tentu Taehyung sedih dan sakit mendengarnya. Tapi dia tahu bahwa Jimin lebih sakit daripadanya.

I just wanna your smell in my body. I don't wanna the others. Your smell is my favorite, my muse, my everything, and I don't wanna another overwrite this. I am only for you, Tae.” Ucapan Jimin itu menghangatkan dada Taehyung. Jimin benar-benar mencintainya.

That's why I got rush today dan kita begini karena aku ingin tetap bau kamu yang ada di tubuh aku. Sebab aku punya kamu, cuma punya kamu, dan mau kamu. Aku ga mau disentuh oleh dia, Tae.”

Tangisan Jimin semakin keras, Taehyung memeluknya dengan erat. Dia pun ikut menangis. Mengapa pengalaman setelah bercinta mereka kini begitu sendu seperti ini? Taehyung mengusap punggung Jimin perlahan.

“Makasih, Sayang, udah jujur. Makasih udah selalu ingat aku kapanpun dan dimanapun kamu berada.”

Taehyung melepaskan pelukannya, kini dia merengkuh kedua pipi Jimin. Menatapnya lekat.

“Aku ga akan biarin dia sentuh kamu lagi. Atau orang lain yang nyakitin dan lukai kamu. Aku ga akan biarin hal itu.”

Taehyung yakin akan ucapannya. Dia marah, sedih, dan terluka saat mendengarnya. Melindungi Jimin adalah nomor 1 hal paling penting baginya kini. Satu inci Jimin terluka, Taehyung berjanji akan membuat perhitungan. Taehyung tidak main-main akan hal itu.

“Min, kamu akan selalu dan selamanya punya aku, demikian kamu kepadaku.” Taehyung menutup tangis Jimin dengan mengecup mata Jimin. Lalu memeluknya kembali dengan erat seakan tak ingin dipisahkan.

[]