petrichorgreeny

➖ Kesempatan

“Ayo ngomong sekarang!” Ucap Yoongi kepada Jungkook setelah hanya tinggal berdua di ruang poli THT. “Kasihan Aki Yayan nunggu di luar.”

“Kamu yang buat Aki Yayan nunggu di luar, sebenarnya ini semua sudah selesai.” Jungkook hendak pergi namun tangannya dipegang oleh Yoongi.

“Lo belum ngomong!”

Jungkook menghela nafas panjang dan dalam. Dia melepaskan pegangan tangan Yoongi dan kini menatapnya.

“Saya ngga pernah tertarik sedikitpun sama Pak Dokter.” Ucap Jungkook dalam sekali tarikan nafas.

Yoongi terdiam sampai kemudian dia membuka suaranya.

Fine.” Yoongi menyandarkan tubuhnya pada meja dokter. “Gue terlihat tidak menarik buat lo?”

“Yoongi.”

“Gue desperate banget, haha.” Yoongi tertawa kecil. “Apa sama sekali ngga ada kesempatan?” Yoongi berusaha menegakkan tubuhnya dan meraih tangan Jungkook.

“Dokter, maaf ini rekam medis pasien selanjutnya!” Suara tiba-tiba itu masuk begitu saja ke poli THT dan membuat kaget Yoongi dan Jungkook. Jungkook dengan cepat melepaskan tangan Yoongi.

“Maaf, Dok, saya pikir tidak ada orang.”

“Suswen seharusnya bisa mengetuk dulu kan?” Ucap Yoongi sedikit dengan nada meninggi.

“Maaf, Dok, pasien di luar sudah mengeluh kesakitan di telinganya.” Wendy menyerahkan rekam medis pasien kepada Yoongi. “Dia baru saja datang.”

“Bukannya tadi Suster Mina ya yang di sini?” Tanya Yoongi.

“Iya, tapi dia dipanggil Dokhen perihal kelengkapan pasien yang mau operasi usus buntu.” Wendy mencoba menjelaskan. “Jadi saya antarkan rekam medis ini.”

“Oh, iya, Polkook, Aki Yayan tadi jalan ke farmasi terus dia bingung resepnya yang mana.” Ucap Wendy kepada Jungkook yang langsung mendapat respon cepat dari Jungkook. Dia bahkan tidak mengucapkan apa-apa lagi kepada Yoongi.

Yoongi melihat Jungkook pergi begitu saja keluar dari poli THT.

“Yasudah panggilkan pasien itu. Ini pasien terakhir kan?” Tanya Yoongi.

“Iya, Dok.” Wendy lalu memanggilkan pasien berikutnya.


Menyerah tidak ada dalam kamus Yoongi bahkan setelah selesai praktek di poli, dia bergegas ingin menemui Jungkook. Tadi belum selesai, pikirnya. Bermodal pinjaman sepeda milik Pak Endang, Yoongi mengayuh sepeda menuju Pos Polisi Inha.

“Bupol, Jungkook ada?” Ucap Yoongi. Wajahnya yang putih mulai memerah terpapar sinar matahari dan lelahnya mengayuh sepeda 1 Km dari RS Inha ke Pos Polisi.

“Ah ... Dia di Rumah Teh Imas, nolongin kucing Teh Imas yang nyangkut di genteng.” Ucap Seulgi.

“Kucing?” Tanya Yoongi heran. Polisi di sini memang multi guna.

“Iya.”

“Dimana rumahnya?”

“Dari sini nanti ikutin jalan aja ke SD Inha, ke kiri. Nah yang warna ijo itu rumahnya.”

“Oke, makasih.”

Tanpa berlama-lama, Yoongi mengayuh sepedanya lagi ke tempat yang tadi diberitahukan oleh Seulgi. Namun sebelum sampai, Yoongi sudah menemukan Jungkook. Jalannya tertatih. Dia sedang meniup-niup sikutnya yang terluka.

Yoongi tidak memanggil Jungkook. Dia hanya menghentikan sepedanya. Dia menunggu sampai Jungkook melihatnya. Dan benar saja, setelah Jungkook melihat Yoongi, langkahnya terhenti. Mata mereka beradu pandang. Yoongi lalu mengayuh sepedanya menghampiri Jungkook.

Tidak ada sapaan ataupun perkataan, Yoongi lalu memarkirkan sepedanya dan menarik Jungkook untuk duduk di sebuah pos ronda di sana. Yoongi membuka tas ranselnya, dia mengeluarkan sebuah tas kecil yang berisi obat-obatan dan perlengkapan perawatan luka.

“Kenapa lo mesti nahan nafas begitu? Sebelumnya kan pernah gue rawat luka lo!” Ucap Yoongi sambil membersihkan luka di sikut Jungkook.

“Perih.” Ucap Jungkook singkat.

“Masa sih, waktu itu lo biasa aja ah.” Yoongi lalu mengoleskan salep antibiotik kemudian membalut luka Jungkook.

Setelah selesai dengan luka di sikut, Yoongi melihat lutut Jungkook.

“Perkara lo jadi polisi di sini itu nolongin kucing di atas genteng tapi luka-lukanya kek udah separing sama perampok.”

Perkataan itu membuat Jungkook kesal, dia menurunkan celananya yang tadi Yoongi singkap hingga lutut.

“Dih, ambekan lo!” Yoongi tidak mau kalah lalu dia menaikkan celana Jungkook hingga lutut.

“Harus diobatin biar ga infeksi.”

Jungkook tidak berkutik lagi. Dia membiarkan Yoongi merawat luka di lututnya.

“Lo tuh harus hati-hati. Kalau ga ada gue barusan, gimana ini luka lo?”

“Di Pos ada kotak P3K. Teh Seulgi bisa ngobatin begini mah.”

Yoongi lalu memincingkan matanya. Dia tidak suka dengan jawaban Jungkook.

“Sebuah kehormatan lo diobatin langsung sama gue. Harusnya lo makasih.”

“Iya, makasih.”

Yoongi selesai merawat luka lutut Jungkook. Kini mereka sama-sama terdiam.

“Ada apa?” Tanya Jungkook memecah keheningan.

“Mau ketemu lo, tadi belum selesai.” Jawab Yoongi.

“Sudah, Yoongi.”

“Belum.”

“Lalu, kamu mau apa?”

“Kasih kesempatan buat gue untuk buat lo tertarik sama gue!”

“Untuk apa, Yoongi, kamu buang-buang waktu ngedeketin orang yang ga suka sama kamu.”

Jungkook hendak berdiri namun tangannya ditarik oleh Yoongi dan membuat dia terduduk kembali. Kini mereka berhadapan dengan jarak yang sangat dekat.

“Yoongi.” Jungkook memundurkan tubuhnya namun Yoongi menariknya semakin dekat.

“Lo deg-degan kan?” Tanya Yoongi. “Apa perlu gue dengar pake stetoskop?”

“Yoongi!” Teriak Jungkook, kini Jungkook melemparkan pandangannya. Menatap Yoongi terlalu lama tidak baik baginya.

“Gue di sini cuma tinggal bentar. Setelah itu gue mesti ke Andani, ujian ini itu, panjang banget sampai gue bisa beneran lulus jadi dokter spesialis. Dan gue juga ga tahu bisa kesini atau ngga.” Ucap Yoongi.

“Ya terus kamu ngapain deketin saya?”

“Karena gue pengen punya alasan buat kesini lagi.”

“Kenapa harus saya?”

“Ya, kenapa harus orang lain?”

“Yoongi!”

“Gue ga tahu sebelumnya lo ada apa sama Suster Wendy. Gue cuma mau nekenin kalau perasaan dia bukan tanggung jawab gue dan bukan tanggung jawab lo juga.” Ungkap Yoongi. “Lo takut jatuh ke gue kan? Atau sebenarnya lo udah jatuh ke gue?”

“Yoongi!”

“Kenapa sih lo seneng manggil nama gue? Yaudah deh, dari seneng manggil nama aja dulu, siapa tahu nanti suka orangnya.”

Mendengar itu, Jungkook mendorong Yoongi. Dia tidak siap dan hampir limbung namun berhasil ditahan.

“Buset, ternyata tenaga lo sama kayak badan lo. Gede.”

Jungkook lalu berdiri.

“Kemana?”

“Ke Pos.”

“Yaudah gue anterin.”

Jungkook lalu melihat sepeda yang dipakai Yoongi. Memang ada boncengan dibelakangnya.

“Pakai sepeda dulu, nanti selanjutnya gue anterin pake mobil. Mobil Jimin tapi, gue kagak bawa mobil kesini, hehe.” Kekeh Yoongi.

Jungkook berjalan mengacuhkan Yoongi. Melihat itu, Yoongi membereskan semuanya dan memasukkan ke tasnya. Dia lalu mengambil sepeda dan mulai menghampiri Jungkook.

“Ayo!”

Ada desir ragu dari mata Jungkook.

“Cepet, panas nih!” Keluh Yoongi.

Jungkook menghela nafas dan mulai menaiki boncengan di belakang Yoongi.

“Nah, gitu. Pegangan biar ga jatoh lagi.” Ucap Yoongi sambil mengayuh sepedanya. Ucapan dia tersebut mendapatkan cubitan ke paha.

“Aduh, buset, galak!”

Yoongi tertawa kecil, tawa itu berubah menjadi senyum. Dia lalu mengayuh sepedanya. Di belakangnya ada Jungkook. Ya, semakin membuat senyumnya melebar.

[]

➖ Malam Yang Menakjubkan

Dokter 3 sebutan untuk Jimin, Yoongi, dan Namjoon di Inha, menganggap bahwa 'Agenda Malam Minggu' adalah hal yang paling fantastis yang terjadi pada mereka selama bertugas di Inha. Namun, ternyata ada agenda lain yang lebih menakjubkan. Contohnya, ya kejadian hari ini.

Tawuran antar geng mungkin pernah mereka dengar tetapi untuk menerima pasien akibat tawuran apalagi karena soal perebutan wilayah, baru mereka alami sekarang.

“Ternyata masih ada kejadian aneh di sini.” Ucap Namjoon.

“Ini semacam mafia kan berarti?” Tanya Yoongi.

“Mafia di desa.” Jawab Jimin sekenanya.

Dokter 3 dan beberapa suster sudah siap ketika beberapa motor dan mobil mulai datang ke halaman parkir IGD Inha.

“Lho ini kan Geng Wasta.” Ucap Yerim.

“Bukannya yang menelpon tadi Geng Bodar?” Tanya Wendy.

“Memang beda?” Tanya Namjoon heran.

“Beda. Mereka dua geng yang berbeda, sering ribut dan tawuran juga.” Jelas Yerim.

Geng Wasta datang tak hanya dengan kelompoknya tetapi dengan Seulgi.

“Mereka tawuran di pasar gara-gara ribut soal wilayah. Ini ketuanya kena tusuk di belakang.” Ucap Seulgi.

Bed dorong langsung membawa Ketua Geng Wasta yang mengalami luka dipinggangnya ke IGD. Beberapa anggota geng pun masuk ke IGD karena mereka mengalami luka. Rata-rata lukanya seperti luka lebam, luka benda tumpul, dan luka pukul.

Irene seperti biasa mengatur pasien sesuai dengan tingkat keparahan dan membagi tugas kepada timnya. Dokkim lalu tiba di IGD.

“Bagaimana keadaan pasien ini?” Tanya Dokkim kepada Jimin yang sedang memeriksa keadaan Ketua Geng Wasta.

“Tekanan darahnya turun, Dok. Ginjalnya terluka.” Ucap Jimin.

“Suswen, tolong beritahu Dokhen untuk siapkan ruang OK 1. Dokjim nanti jadi asisten 1 saya.” Perintah Dokkim. (OK adalah Operatie Kamer atau ruang operasi)

Lalu tiba-tiba rombongan lain datang ke ruang IGD bersama Jungkook. Rombongan tersebut adalah Geng Bodar.

Naha aya maraneh didieu? Wawanian siah ka Inha, ieu daerah Bodar!” Ucap salah seorang anggota Bodar. (Kenapa kalian disini? Berani banget kalian ke Inha, ini daerah Bodar!)

Kami nu pangheulana datang, mun teu gara-gara maneh, ketua kami moal nepika kieu!” (Kami yang datang duluan, kalau ga karena kalian, ketua kami ga akan sampai begini!)

Eh, maneh oge nyieun cilaka ketua kami siah!“ (Eh, kalian juga bikin celaka ketua kami!)

Maraneh teu mikir ieu teh di rumah sakit! Mun dek ribut deui, lanjutkeun we tah di Curug Inha!” Ucap Seulgi. (Kalian ga mikir ini tuh rumah sakit! Kalau mau ribut lagi, lanjutin sana di Air Terjun Inha!)

“Udah udah, Teh.” Ucap Jungkook mencoba menenangkan Seulgi. “Dok, ini Ketua Geng Bodar kena tusuk di perut, lukanya sudah saya dep tapi masih keluar darah.” Ucap Jungkook menjelaskan kepada Dokkim.

Ketua Geng Bodar dibaringkan ke atas ranjang. Dokkim lalu memeriksa dengan seksama keadaan Ketua Geng Bodar. Kemudian, telpon IGD berbunyi, dari sana Wendy mengatakan bahwa ruang OK 1 sudah siap.

“Wasta akan saya bawa ke ruang operasi. Dokjim nanti kamu masuk menyusul ke OK 1 setelah selesai menghentikan pendarahan Bodar. Lalu atur OK 2 untuk Bodar. Dokjin, tolong perhatikan Dokjim.” Perintah Dokkim.

“Saya yang menghentikan pendarahannya?” Tanya Jimin. Dia tahu ini bukan suatu tindakan yang mudah, meski dia yakin dia bisa karena pengalaman yang sudah banyak asistensi operasi namun tetap saja jika dirinya sendiri yang melakukan, dia masih ragu.

“Kamu bisa. Dokjin, tolong ya bantu Dokjim.”

“Baik, Dok.”

“Eh, Dok, kumaha ieu naha kalahkah si Wasta heula? Ini ketua kami ge cilaka, Dok!” Ucap dari Geng Bodar. (Eh, Dok, gimana ini kok malah si Wasta dulu? Ini ketua kami juga celaka, Dok)

“Semua akan diobati, tenang saja.”

Dokkim beserta suster yang lain membawa Ketua Geng Wasta ke ruang OK duluan. Sebelum berlalu, Dokkim menepuk pundak Jimin. Yoongi dan Namjoon yang sedang mengobati pasien tawuran lainnya pun ikut memberikan kepalan tangan tanda semangat kepada Jimin.

Jimin akhirnya mengambil alih pemeriksaan kepada Ketua Geng Bodar. Langkah awal adalah menghentikan pendarahan di perutnya. Seokjin di sana memberikan pengarahan karena tangannya masih di-gips. Anggota Geng Bodar mulai melihat dan mengerubungi bed pemeriksaan tempat ketuanya berbaring.

“Ini ga akan apa-apa kan?” Tanya salah satu anggota geng.

Mun aya nanaon, dokter eta ku kami cirian!” Timpal yang lain. (Kalau ada apa-apa, dokter itu kami tandai!)

“Ehem!” Suara berdehem yang keras itu membuyarkan kerubungan depan bed Ketua Geng Bodar. “Silakan tunggu di ruang tunggu!”

Suara itu berasal dari Pak Choi. Dia bertubuh tinggi besar. Selain menjadi Pekarya, Pak Choi pun sebagai 'penjaga' IGD terutama jika geng-geng seperti ini berulah. Lalu, setelah mendapat teguran dari Pak Choi, mereka pun akhirnya mau menunggu di ruang tunggu.

(Pekarya adalah petugas bagian yang mengatur operasional kamar rawat inap dan IGD seperti kesediaan bed, mengantar pasien ke poli, memberikan makanan ke rawat inap dari instalasi gizi, dan lainnya)

Pendarahan sementara bisa dihentikan dan Ketua Geng Bodar siap untuk dibawa ke OK 2. Jimin lalu memberitahukan ke OK 1 dan beberapa tim sudah dibagi untuk menyiapkan ruang OK 1. Jimin memerintahkan Ketua Geng Bodar dibawa ke OK 2 sementara dia akan bersiap-siap dahulu.

Saat Jimin hendak memasuki ke ruang ganti dokter, anggota geng Bodar menghalangi jalannya. Salah satu dari mereka menghadang Jimin dan melihat name tag Jimin.

“Dokter Park Jimin.” Ucapnya dengan nada tegas. “Kalau sampai ketua kami kenapa-napa, siap-siap saja, Dok!” Kata-kata itu terdengar sebagai ancaman bagi Jimin.

“Minggir!” Ucap Jimin. “Kalau kalian menghalangi, maka akan menghambar saya dalam mengobati pasien.”

Delikan tajam diterima Jimin saat para anggota mulai memberi celah agar Jimin lewat.

Jimin telah tiba di OK 1. Dia menjadi asisten 1 Dokkim dalam mengoperasi Ketua Geng Wasta. Pergerakan Dokkim begitu cepat dan Jimin harus cekatan dalam melakukannya karena pasien selanjutnya menunggu di OK 2.

“Dok, pasien di OK 2 sudah dianestesi.” Ucap salah satu suster.

“Baik, Dokjim ini tolong bereskan dan jahit. Setelah itu kamu datang ke OK 2. Pendarahannya sudah dihentikan kan?” Tanya Dokkim.

“Sudah, Dok.”

“Baik. Kerjakan cepat dan benar, ya.” Perintah Dokkim.

Jimin lalu melakukan sesuai perintah Dokkim. Tidak membutuhkan waktu lama, pasien OK 1 yaitu Ketua Geng Wasta sudah dijahit dan ditutup lukanya dengan sempurna. Keringat mulai mengucur dari dahi Jimin. Dia mulai kelelahan namun 1 pasien sudah menunggunya di ruang OK 2.

Jimin hendak mengelap keringatnya, tetapi Wendy mencegahnya dan mulai mengelap keringat di dahi Jimin.

“Kerja bagus, Dokjim. Semangat ya.” Ucap Wendy.

Meski terhalang oleh masker bedah, Jimin tahu bawa seisi ruang operasi di sana tersenyum padanya. Hal itu memberikan Jimin kekuatan. Dia lalu segera ke ruang OK 2 tempat Ketua Geng Bodar.

“Pendarahannya berhasil kamu hentikan dengan baik.” Ucap Dokkim saat Jimin sudah bersiap asistensi di OK 2. Semua yang dikenakan berganti menjadi yang baru dan steril.

Lagi-lagi Jimin hanya bisa tersenyum. Lelahnya terbayar melihat pasiennya dapat diselamatkan.

Pasien OK 2 selesai dan Jimin telah menutup jahitannya. Ketika dia tadi berdiri berjam-jam tidak terasa apa-apa, tetapi saat semua telah selesai, rasa pegal mulai datang.

Setelah selesai semua, Jimin lalu melihat kedua pasien yang telah dipindahkan ke ICU (Intensive Care Unit). Dia mengecek TTV pasien satu persatu. Mereka masih dalam pengaruh obat bius dan semua tanda-tanda vital pasien stabil. Melihat keduanya aman, Jimin keluar dari ruang ICU dan terkaget melihat sebelah kiri Geng Bodar dan sebelah kanan Geng Wasta sedang berbaris rapi. Salah satu dari masing-masing menghampiri.

(TTV adalah Tanda Tanda Vital, berupa tekanan darah, suhu tubuh, laju pernafasan, dan denyut nadi)

“Dokter Jimin, kami mengucapkan terima kasih banyak. Berkat Dokter, ketua kami bisa selamat.” Ucap dari Geng Wasta.

“Kami juga mengucapkan terima kasih banyak, semua berkat Dokter Jimin. Dokkim bilang Dokter Jimin yang telah sekuat tenaga menyelamatkan Ketua Kami.” Ucap dari Geng Bodar.

Hatur nuhun, Dokter Jimin!” Ucap mereka dari kedua geng secara serentak. (Terima kasih, Dokter Jimin!)

Jimin hanya bisa kaget melihat ini semua.

“Dokter kalau ada apa-apa hubungi kami. Hanya ini yang bisa kami lakukan untuk membalas kebaikan dokter.”

“Kalau ada yang macem-macem ke Dokter, beritahu kami. Kami dapat menjaga Dokter dengan baik. Kami semua berhutang nyawa pada Dokter.”

Ucapan kedua geng itu semakin membuat Jimin tercengang. Mereka dari perwakilan geng bahkan menuliskan nomor kontak mereka dan memberikannya kepada Jimin.

“Ah .. Iya sama-sama. Terima kasih juga.” Jimin kikuk dan tidak tahu membalas seperti apa.

“Dokter kalau mau ada urusan lagi, silakan.”

Mereka lalu membuka jalan untuk Jimin lewat. Mereka tersenyum pada Jimin meski tampak aneh, Jimin lalu membalas senyuman mereka dengan kikuk. Sebuah malam yang tidak terduga dan tidak akan terlupakan bagi Jimin selama di Inha.

[]

➖ Misi Penyelamatan

Jika ini adalah film action maka Yoongi adalah sutradara sementara Taehyung, Namjoon, Jungkook, dan Seulgi adalah para aktornya. Dress code yang Yoongi sebutkan dalam grup chatting “Save JIMIN” adalah baju serba hitam dan menggunakan kacamata hitam. Namjoon beberapa kali mengatakan bahwa Yoongi terlalu berlebihan, justru pakaian seperti ini yang malah makin mencolok. Tetapi Yoongi tidak peduli. Mungkin itu sebabnya dulu dia sempat kena salah tangkap. Tingkahnya memang selalu mengundang orang – orang untuk mencurigainya.

Pembagian tim sudah dilakukan. Yoongi membawa mobil Jimin dan didalamnya sudah ada Jungkook dan Seulgi. Sementara mobil kedua ada Taehyung dan Namjoon. Taehyung sampai meminjam mobil Bapaknya untuk melakukan misi penyelamatan ini sebab menurut Yoongi, butuh dua mobil yaitu satu sebagai pengecoh, dua sebagai sarana untuk membawa kabur Jimin. Dan yang kedua ini akan dilakukan oleh Taehyung.

Perjalanan Inha ke Andani menghabiskan waktu 5 jam. Panjang dan tentu dengan trayek yang tidak mudah untuk keluar dari desa Inha yang terkenal dengan rute jurang dan tebingnya. Setelah menempuh jalan yang panjang, akhirnya mereka tiba di rumah Jimin. Rumahnya sangat luas dan memiliki 3 lantai. Yoongi dan Namjoon tahu jalan ‘tikus’ menuju kamar Jimin karena mereka sering ke rumah Jimin sejak masa kuliah bahkan misi membawa kabur Jimin tempo dulu dilakukan oleh Yoongi seorang. Ya, karena Namjoon saat itu sedang sibuk dengan ujian masuk sekolah spesialis penyakit dalam.

Mereka berlima telah tiba di sebuah pagar kecil tempat masuk ke rumah Jimin tanpa harus melalui gerbang utama. Mereka bukan akan bertamu seperti biasa, maka tentu saja tidak akan lewat gerbang depan. Yoongi tampak menelpon seseorang dan tak berapa lama keluar seorang wanita paruh baya.

“Bu Hwang!” Yoongi langsung menyambut dan memeluknya disusul Namjoon dan lainnya.

“Kalian kenapa pakai pakaian hitam-hitam begini? Habis dari yang meninggal?” Ucap Bu Hwang.

Salahkan semua ini pada Yoongi! Batin Namjoon mencoba menahan kekesalan pada ide aneh temannya itu.

Mereka lalu masuk dengan Bu Hwang berada di depan. Rumahnya memang besar sekali. Beberapa kali Taehyung, Jungkook, dan Seulgi merasa takjub dengan yang mereka lihat.

“Saya takut tersesat di sini.” Ucap Jungkook.

“Iya, apa di sini tidak ada peta?” Tanya Seulgi.

Bu Hwang hanya tersenyum mendengarnya. “Tidak akan tersesat. Nanti kalian tinggal ikuti jalan barusan saja.”

Yoongi lalu membagi tugas sesuai yang sudah dia rencanakan. Kamar Jimin terletak di lantai 3. Namjoon dan Taehyung sebagai tim 1 bertugas di balkon lantai 3 tempat nanti akan mengevakuasi Jimin dan langsung membawanya pergi dengan mobil. Sementara dirinya, Jungkook, dan Seulgi sebagai tim 2 akan mengecoh para penjaga yang berjaga di depan kamar Jimin.

Tim 2 mulai maju. Dan benar saja, ada 2 orang penjaga di depan kamar Jimin. Yoongi memberikan perintah untuk mengacaukan mereka dan membuat mereka pergi dari pintu kamar Jimin, tetapi tanpa kekerasan kecuali untuk berjaga diri. Penjaga pun melihat keberadaan mereka sebab baju mereka yang mencolok tentu mengundang reaksi.

“Siaga, ada kemungkinan perampok! Sudah masuk rumah! Ganti!” Ucap salah satu penjaga melalui walkie talkie.

Dua penjaga itu mulai menghadang Jungkook dan Seulgi sementara Yoongi langsung masuk ke kamar Jimin.

“Jimin.” Yoongi tertegun melihat Jimin. Di kamarnya dia tidak sendiri tetapi bersama seseorang.

“Lo ngapain kesini? Kenapa juga baju lo dan pakai kacamata hitam segala?” Tanya Jimin.

Dari balik balkon Namjoon dan Taehyung melihat Yoongi dan Jimin, Taehyung mencoba untuk masuk. Namjoon asalnya ingin menahan namun gagal karena Taehyung begitu cepat masuk melalui jendela.

“Jimin, ayo kita pergi!” Taehyung datang dan langsung menarik tangan Jimin. “Semua sudah aman kan, Yoongi?” Tanya Taehyung. Namun keduanya terdiam, baik Yoongi dan Jimin. Taehyung tetap menarik tangan Jimin mencoba keluar melalui jendela.

“Kenapa lewat jendela? Ini lantai 3, kalian mau terjun? Kenapa ga lewat pintu depan?” Taehyung melupakan sesuatu. Ya, ada seseorang disamping Jimin. Suara yang menyuruhnya untuk lewat pintu depan.

“Kalau pintu depan nanti akan ketahuan, ngga jadi kaburnya dong.” Jawab Taehyung dengan polosnya. Mendengar itu Yoongi menepuk jidatnya, Namjoon yang berdiri di jendela pun ikut tersenyum, tak terkecuali Jimin dan seseorang itu.

BRUK!!!

Suara seperti sesuatu terjatuh terdengar. Yang lain berusaha untuk melihat sementara Taehyung tetap menarik Jimin.

“Ayo Jimin, kita pergi, itu pasti suara Polkook dan Polgi yang sedang mengecoh penjaga di luar.”

Namun, tarikan tangan Taehyung dihentikan oleh Jimin. Dia kemudian malah menarik Taehyung untuk keluar dari kamarnya dan membawanya untuk melihat suara apa barusan. Yoongi dan semua yang ada di kamar Jimin keluar dan melihat di ruang tengah Jungkook dan Seulgi telah mengamankan dua penjaga.

“Yoongi, ini semua sudah aman. Taehyung, kamu bisa bawa Jimin pergi sekarang!” Ucap Jungkook sambil mengunci tangan salah satu penjaga.

“Ayo, Taehyung, cepat pergi!” Perintah Seulgi yang sudah membuat salah satu penjaga tak berkutik dan menghadap ke tembok.

“Jimin, ayo!” Taehyung lalu menarik tangan Jimin kembali.

“Jadi ini ide kamu, Yoon, buat bawa kabur Jimin?” Ucap seseorang yang dari tadi bersama Jimin di kamar. Taehyung heran sendiri dengan keberadaan orang tersebut. Dia berusia paruh baya dan dari postur tubuh dan wajahnya mirip dengan Jimin.

“Ah … Maaf, Om. Kami …” Ucap Yoongi.

“Om?” Tanya Taehyung yang kebingungan.

“Oh, iya, saya Ayahnya Jimin.” Perkataan itu sontak membuat Taehyung, Jungkook, dan Seulgi kaget. Jungkook dan Seulgi langsung melepaskan kunciannya pada para penjaga.

“Jadi kalian mau bawa kabur anak saya?”

“Maaf, Om.” Ucap Namjoon yang ikut menunduk di sana bersama Yoongi.

Jimin lalu tertawa melihat suasana bingung dan kikuk ini semua. “Sebenarnya gue udah boleh balik ke Inha hari ini, terus Bu Hwang udah bilang ke Ayah juga soal “Misi Penyelamatan” ini tetapi kata Ayah biarin aja, dia mau liat aksi Kapten Min Yoongi.” Ucap Jimin sambil menahan tawa.

Wajah Yoongi memerah, Namjoon ingin ikut tertawa tetapi dia juga sadar akan kebodohannya, sementara Jungkook, Seulgi, dan Taehyung masih perlu waktu untuk memproses ini semua.

“Haha, ngga apa-apa, Yoongi. Keren kok.” Ayah Jimin menepuk bahu Yoongi. Lalu, Bu Hwang keluar dan mulai tertawa melihat kejadian barusan.

“Bu Hwang, kenapa ngga bilang sih?” Dumel Yoongi.

“Maaf, Nak Yoongi, tetapi saya juga sama ingin melihat aksi Nak Yoongi memimpin penyelamatan ini, hehe.” Kekeh Bu Hwang.

“Sebentar, jadi ini Jimin udah boleh kembali terus kita ini ngapain?” Tanya Taehyung.

Jungkook dan Seulgi hanya bisa menghela nafas panjang. Mereka lalu tersenyum kikuk lalu memohon maaf pada para penjaga yang sudah mereka kunci pergerakannya tadi.

“Jadi ini yang namanya Taehyung?” Tanya Ayah Jimin.

Mendengar itu Taehyung menjadi gugup. Dia bingung harus merespon seperti apa, terutama setelah kejadian ini.

“Iya, Yah, ini Taehyung yang Jimin ceritakan.”

Yang Jimin ceritakan. Baik, mendengar itu rasanya Taehyung ingin menguap dan menghilang dari tempat dan situasi ini.

[]

➖ Cita – Citaku

Suasana Rumah Sakit Inha hari itu akan berbeda dari biasanya karena mereka kedatangan tamu – tamu cilik yang sedang mengikuti kegiatan “Cita – citaku”. Kegiatan ini selalu digagas setiap tahunnya oleh Taehyung, Hoseok, dan Joy. Berbagai profesi selalu menjadi tema kegiatan tersebut dan untuk sekarang temanya yaitu tenaga kesehatan.

Anak-anak sudah tampak siap dan berbaris. Ada yang memakai jas dokter, ada yang menggunakan topi suster, ada yang sudah siap dengan stetoskop plastik, dan membawa kotak P3K mainan. Semua dibuat selayaknya mereka berprofesi sebagai tenaga kesehatan sungguhan.

“Ah … Lucu sekali.” Ucap Irene saat melihat anak – anak mulai berbaris di pintu masuk.

Di sana sudah ada Joy yang siap dengan kamera sebagai tim dokumentasi. Hoseok sebagai koordinator lapangan yang bertugas mengarahkan dan menertibkan para siswa. Sementara Taehyung hari itu sebagai penanggung jawab dan seksi acara.

Dari sisi Inha, Jimin, Yoongi, dan Namjoon tak kalah semangat bersama Yerim. Namjoon dan Yerim yang bertugas mengantar dan mendampingi para siswa berkeliling rumah sakit. Tidak semua mereka kunjungi karena berbentrokan dengan jadwal pelayanan. Mereka akan ke ruangan poli yaitu poli THT, poli gigi, dan poli umum, lalu melihat ruang operasi. Sementara Yoongi nanti akan berdiam di bagian poli THT, dan Jimin akan mengenalkan ruang operasi.

Para siswa sudah tampak antusias. Destinasi yang pertama adalah poli THT. Di sana sudah ada Yoongi dengan kikuk dan ekspresi bingung menyertainya.

“Kaku amat lo kayak kanebo.” Bisik Namjoon dan hanya mendapat sikutan dari Yoongi.

“Nah, semuanya, di sini kita akan bertemu dengan Dokter Yoongi. Kenalan dulu yuk dengan Dokter Yoongi. Hai, Dokter Yoongi!” Ucap Taehyung yang hari itu bisa dibilang sebagai Master of Ceremony atau MC.

“Hai, Dokter Yoongi!!” Semua serempak berteriak menyapa Yoongi.

“Ah … Gemas!!!” Ucap Yerim.

Taehyung lalu memberikan kode kepada Yoongi untuk menjelaskan. Tetapi Yoongi malah bingung sendiri harus berkata apa.

“Hm, hai semuanya. Ini Dokter Yoongi.” Ucap Yoongi dengan senyumannya yang kaku.

“Udah tahu, Dok.” Celetuk Namjoon yang mengundang tawa dari yang lain. Yoongi langsung melotot kepada Namjoon. Awas lo, Joon!

“Di sini ruang THT kepanjangannya itu Telinga, Hidung, dan Tenggorokan.”

“Doktel jadi kalau aku batuk, nanti mulut aku dicolok disini?” Ucap salah satu siswa.

Yoongi terkejut mendengarnya. “Bukan dicolok tetapi diperiksa. Pakai ini nih!” Yoongi memperlihatkan sebuah senter. “Nanti Dokter intip begini. Nah, kalau ini namanya penahan lidah. Jadi pas Dokter intip kadang lidahnya suka melet-melet begini kan?” Yoongi memeragakan gerakan yang lidahnya terjulur keluar terus masuk lagi ke mulut. Dan diulang beberapa kali sehingga mengundang gelak tawa dari yang lainnya. “Nanti ditahan pakai ini.”

“Pinter juga lo jelasinnya.” Bisik Namjoon.

“Ah elah gue ampe keringet dingin ini takut salah.” Jawab Yoongi.

Setelah Yoongi menjelaskan semua isi poli THT dibantu oleh Yerim, mereka lalu beralih ke destinasi selanjutnya.

Di poli umum, para siswa dikenalkan dengan alat termometer dan saling pura-pura mengukur suhu tubuh temannya. Pada poli gigi, banyak yang takut karena poli gigi terkenal sebagai destinasi yang 'menakutkan' bagi anak kecil karena mengeluarkan suara yang berisik dan alat-alatnya yang tajam. Tetapi ada salah satu siswa yang bersedia menjadi sukarelawan mau diperiksa dan duduk di dental chair sehingga siswa lain pun ikut antusias dan tidak terlalu takut dengan suasana poli gigi.

Lalu, tibalah pada destinasi terakhir yaitu ruang operasi. Mereka tidak dibawa ke ruang operasi yang sesungguhnya, tetapi sebuah ruang operasi yang sudah tidak digunakan dan hanya disimpan beberapa alat yang akan digunakan saat operasi nanti.

“Nah, perkenalkan dokter ganteng yang satu ini namanya Dokter Jimin. Sapa dulu, yuk. Hai, Dokter Jimin!”

“Kok ke Jimin pake embel dokter ganteng, ke gue tadi ngga.” Celetuk Yoongi yang ikut berkeliling bersama para siswa.

“Hai semuanya! Ini Dokter Jimin. Di sini kita akan kenalan dengan “Si Tubuh”. Ucap Jimin sambil memperlihatkan boneka replika tubuh manusia. Para siswa mulai mengerubunginya.

“Anak – anak, Paseok bilang apa tadi?” Tanya Paseok.

“HALUS TELTIB! TIDAK BOLEH DOLONG – DOLONG!” Ucap para siswa serempak. Mereka lalu berbaris dengan rapi melihat “Si Tubuh” yang akan dikenalkan.

“Hebat semuanya!” Jimin memberikan kedua jempol kepada para siswa. “Ini namanya jantung. Nah, coba kalian pegang dada kiri kalian ada berdetak ‘deg … deg … deg …’ ngga?”

“ADA!!!” Teriak mereka serempak.

“Nah biar lebih jelas pakai ini. Ada yang tahu ini namanya apa?”

“Eunwoo!! Eunwoo!!” Eunwoo mengangkat tangannya ingin menjawab.

“Apa Eunwoo namanya?”

“Tetoskop.”

“Ih bukan, tapi Teltopkop!” Bantah Nara.

“Salah, ih Nala sok tahu, betul yang Eunwoo tahu. Waktu Eunwoo sakit dipeliksa doktel pake tetoskop.”

“Nala juga pelnah dipeliksa doktel di pelut pake teltopkop!” Ucap Nara tidak mau kalah.

Adegan itu mengundang tawa satu ruangan. Namjoon bahkan sampai menangis karena melihat kepolosan siswa yang berdebat soal stetoskop.

“Haha .. Iya, Eunwoo dan Nara sudah benar tapi cara menyebutkannya Ste-Tos-Kop. Ikuti Dokter ya, Ste – Tos – Kop!” Ucap Jimin dan mendapat pengulangan oleh para siswa.

“Pinter semua! Coba siapa di sini yang mau dokter dengar jantungnya pakai stetoskop?”

“Pateh!!!” Ucap para murid serempak.

“Kok Pateh??” Taehyung tampak salah tingkah.

“Pateh selalu bilang mau dipeliksa doktel ganteng!” Ucap salah satu siswa. Hoseok dan Joy yang berada di sana ikut menyemangati Taehyung yang sedang memerah wajahnya.

“Ayo, Pateh, jangan malu-malu.” Ucap Yoongi.

“Pateh! Pateh!” Teriakan Namjoon itu diikuti oleh para siswa lainnya.

Malu. Sepertinya sudah menjadi nama tengah Taehyung hari itu. Dia habis digoda oleh muridnya sendiri ditambah oknum para dokter dan teman-temannya pun ikut serta.

“Baik, Pateh, saya periksa ya.” Ucap Jimin.

Jarak mereka dekat dan kini ujung stetoskop sudah mengenai dada Taehyung. Telak! Taehyung kalah telak. Jantungnya berdetak semakin cepat dan tak beraturan. Taehyung tidak berani menatap Jimin, matanya ditutup sambil menggigit bibirnya.

“Kamu deg-degan banget ya?” Bisik Jimin. Suara pelan itu membuat Taehyung membuka matanya. Dia lalu mundur dan berbalik menghadap siswa-siswanya.

“Ayo sekarang gantian kalian yang saling periksa antar teman. Nanti dibantu oleh Pak Dokter di sini ya.” Ucap Taehyung. Dia butuh mengamankan keadaannya hari ini. Dia butuh mengalihkan ini semua.

Semua sesi kegiatan sudah dilakukan. Para siswa mendapatkan bingkisan kenang-kenangan dari Inha dan melakukan foto bersama. Hoseok dan Joy mengantarkan para siswa untuk kembali ke sekolah, sementara Taehyung menyusul karena harus berpamitan dan menemui Dokkim yang telah mengizinkan para siswanya melakukan kegiatan di rumah sakit.

“Makasih ya.” Ucap Taehyung di dekat vending machine. Dia sedang minum jus dingin kalengan bersama Jimin.

“Iya sama-sama.” Jimin lalu merogoh sakunya membaca satu persatu pesan yang lupa dia cek karena sedari tadi ada visit pasien dan kegiatan bersama para siswa. Lalu matanya terbelalak melihat sebuah pesan.

“Ada apa, Jimin?” Tanya Taehyung melihat keanehan Jimin yang langsung menjadi tegang. Lalu Yoongi pun menelpon. Jimin mengangkatnya.

“Jimin, anjir!! Nyokap lo!! Nyokap lo kesini, dia bawa banyak body guard!”

Suara itu cukup keras dan mungkin terdengar oleh Taehyung juga. Jimin tahu blood war akan segera dimulai kembali. Dan mungkin ini akan lebih parah dari sebelumnya.

[]

➖ Dekat

Hari ini Hoseok tidak ada jadwal mengajar, kelasnya digabung dengan kelas Joy karena sudah masuk ke prakarya tanah liat dan itu adalah keahlian Joy. Dan kini dia sudah berada di depan rumah sewaan Namjoon selama di Inha. Hoseok memakai stelan kasual dengan jaket yang sudah terpasang dibadannya. Dia sudah siap dengan motor scoopy merah dan menggunakan helm yang senada.

Sorry lama ya.” Namjoon keluar dengan tergesa-gesa.

“Ngga lama kok.” Ucap Hoseok.

“Sat!” Panggil Yoongi dari pintu. Ketika Namjoon berbalik, Yoongi melemparkan jaket tepat ke muka Namjoon. Hoseok tertawa melihatnya. “Jaket lo tuh! Hoseok, Namjoon ini suka masuk angin, kalau dia tiba-tiba mual, muntah, terus nyusahin, mending tinggalin aja di jalan.” Ucap Yoongi.

“Bangsat lo, gue ga akan nyusahin.” Dumel Namjoon. Hoseok menertawakan tingkah mereka.

“Nih pakai dulu helm-nya.” Hoseok memberikan Namjoon helm berwarna merah juga.

“Duh, kok ini susah ya dicetrekinnya?” Namjoon beberapa kali mencoba menyatukan tali helm-nya namun bunyi “klik” masih belum terdengar.

“Masa sih?” Hoseok lalu memakaikan tali helm Namjoon. Jarak mereka terlalu dekat.

“Modus nih Si Kampret!” Yoongi yang masih disana siap melemparkan sandal ke kepala Namjoon.

Tali helm pun berhasil dikunci. “Emang susah, Sat!” Namjoon lalu naik ke motor.

“Udah?” Tanya Hoseok.

“Udah.” Jawab Namjoon.

“Duluan ya, Yoongi.”

“Hati-hati ya, Hoseok.” Ucap Yoongi sambil tersenyum memperlihatkan gummy smile-nya.

“Kok ke gue ngga hati-hati?” Namjoon memasang cemberut.

Yoongi menjawabnya dengan memasang ekspresi ingin muntah. Hoseok kembali tertawa sambil menyalakan motornya kemudian berlalu.

“Kalian sering banget berantem ya? Tapi lucu aja dilihatnya.” Ucap Hoseok di sela-sela perjalanan.

“Aku sama Yoongi?” Pertanyaan itu mendapat anggukan dari Hoseok.

“Yoongi selalu nyari ribut duluan. Aku kalem-kalem aja selalu dia godain.” Mungkin kalau Hoseok bisa melihat ekspresi Namjoon, sekarang Namjoon sedang memasang pout dibibirnya. “Emang kamu ga pernah berantem sama Taehyung atau Joy?”

“Ngga, hehe. Kami paling suka godain doang sih, tapi ga bar-bar kayak kamu sama Yoongi, hehe.” Kekeh Hoseok.

“Wah, ga tahu aja kalau Jimin sama Yoongi bahkan bisa lebih bar-bar dari yang kamu lihat tadi.”

“Oh, iya?”

“Iya, mereka pernah berantem adu jotos gitu.”

“Wow.”

“Tapi ngga sampai seminggu udah baikan, terus kayak ngga ada apa-apa lagi deh. Cuma aku yang repot pas seminggu mereka diem-dieman, berasa kayak ditarik kiri ditarik kanan.”

“Kan gitu kalau jadi penengah.” Ucap Hoseok. Tiba-tiba seperti seekor kucing lewat begitu saja, membuat Hoseok melakukan rem mendadak dan tubuh Namjoon mendorong punggung Hoseok. Tapi motor tidak sampai harus berhenti, hanya lajunya diperlambat.

“Maaf .. Maaf … pegangan aja, ya, biar ngga kedorong lagi.” Ucap Hoseok. Ucapan itu membuat wajah Namjoon memerah.

“Boleh?”

“Iya.”

Tangan Namjoon kini melingkar di pinggang Hoseok. Rasanya semakin lama semakin dekat hingga dagu Namjoon pun menempel di bahu Hoseok. Tanpa sepengetahuan Namjoon, Hoseok pun tersenyum.

Museum yang akan dikunjungi terletak di kota yang jaraknya sekitar 1.5 jam jika ditempuh dengan motor dari Inha. Museum itu dekat dengan Rumah Sakit Induk. Tidak bisa dibilang sangat kota. Tetapi lebih maju dibanding di desa. Disana sudah ada mall meski hanya satu dan lantainya pun hanya tiga.

Mereka pun tiba di museum. Setelah membayar tiket, mereka masuk kedalam. Namjoon sangat antusias. Jika mereka sedang study tour maka Namjoon adalah siswa yang sudah siap dengan buku catatannya dan menuliskan apa yang menarik dan penting dalam museum tersebut. Hoseok tersenyum memerhatikannya. Museum tersebut berisi peninggalan-peninggalan masa lampau daerahnya. Hoseok memang bukan asli sini, tetapi sudah lebih dari 6 tahun dia mengajar di Inha membuatnya mengetahui seluk-beluk daerah ini.

“Ini namanya Sesar.” Ucap Hoseok sambil menunjuk sebuah foto yang dari tadi Namjoon perhatikan. “Kalau dari Inha sekitar satu jam.”

(Sesar adalah sebuah patahan lapisan bumi, biasanya bentuknya memanjang, ada yang patahannya turun, ada yang naik. Contoh Sesar yaitu Sesar Lembang)

“Masih aktif?”

“Masih, katanya sih setiap tahun geser 3 – 5 mili. Nanti kapan-kapan kita kesana.”

Mata Namjoon berbinar ketika dijanjikan oleh Hoseok akan pergi kesana. Setelah selesai mengitari semua isi museum dan berfoto, Hoseok mengajak Namjoon untuk memakan bekal yang sudah dia buatkan.

“Menunya telur semua ya?” Ucap Namjoon sambil terkekeh saat melihat menu hari itu mulai dari telur dadar, telur balado, tumis buncis dengan orak-arik telur.

“Iya, soalnya baru panen.”

“Hebat, kamu udah punya usaha peternakan telur ayam.” Ucap Namjoon sambil mulai memakan masakan Hoseok.

“Sebenarnya karena ngandelin dari ngajar aja ga akan nyampe kemana-mana. Gaji guru honorer itu kecil banget apalagi di desa. Tapi aku ga mau ninggalin ngajar juga, karena udah sangat senang sama pekerjaan itu. Makanya aku cari cara lain, bisa tetap bekerja sesuai yang aku inginkan tetapi bisa menghasilkan juga.” Jelas Hoseok.

“Keren banget!” Ucap Namjoon sambil mengusap kepala Hoseok. Gerakan spontan itu membuat jantung Hoseok berdebar tak beraturan. Benar kata Namjoon, dia memang senang melakukan sesuatu secara spontan.

Mereka telah selesai menyantap bekal dan mulai ke destinasi selanjutnya. Hoseok bilang didekat museum ada shelter tempat penyewaan sepeda. Namjoon berbinar mendengarnya. Shelter ini memang diperuntukan untuk menarik wisatawan menikmati kota ini dengan berkeliling naik sepeda. Mereka lalu menyewa satu sepeda gandeng atau tandem bike. Namjoon di depan, sementara Hoseok di belakang.

“Inget sepeda jadi inget pertama kali kita ketemu.” Ucap Namjoon ketika mereka sudah mulai berkeliling kota dengan sepeda.

“Hehe iya ya, kalau ga kamu tabrak kayaknya kita ga akan saling kenal.”

“Takdirnya gitu kali, hehe.” Kekeh Namjoon. “Aku kalau sedih suka naik sepeda, ga tahu rasanya kayak lagi dipeluk angin aja. Tapi kalau sekarang, aku ga lagi sedih soalnya sama kamu.”

Lagi-lagi ucapan Namjoon itu membuat wajah Hoseok menghangat. Mereka lalu berhenti dulu di sebuah kedai susu murni.

“Hoseok.”

“Iya?” Hoseok menoleh sambil menyeruput susu murninya.

“Kita ini belum lama saling kenal. Tapi aku sudah, hm.. bagaimana ya, nyaman sama kamu. Dan aku juga merasa kalau kita berada di halaman yang sama. Aku ngga mau ini terkesan terburu-buru, Hoseok. Tapi, aku serius. Hm .. maksudnya ya serius. Aku belum lulus sekolah spesialis ini, aku masih harus ujian agar aku bisa settle, Hoseok. Apa kamu mau menunggu setidaknya sampai aku lulus nanti?” Namjoon mencoba mengatur semua perkataannya meski tampak gugup menahannya.

“Namjoon.”

“Ah maaf kalau kesannya terburu-buru, aku hanya ingin kamu tahu perasaan aku bahwa aku serius sama kamu, ya ini semua sangat cepat. Kamu .. ngga harus jawab sekarang, kamu … juga bisa bilang ngga kok, aku tahu aku ini …”

“Namjoon …” Panggil Hoseok kembali.

“Ah sorry, aku rambling banget.”

“Kamu serius bilang ini semua di sini?” Tanya Hoseok.

Namjoon lalu melihat di sekeliling. Dia dan Hoseok sedang berdiri di pinggir jalan di samping kedai susu murni. Tangan kanan Namjoon memegang kemasan susu rasa vanilla dan Hoseok memegang kemasan susu rasa coklat. Mereka lalu beradu pandang.

“Duh … Bodoh banget, harusnya aku cari tempat yang nyaman ya, apa mau diulang lagi? Di sini ada semacam restoran atau tempat yang bisa buat ngobrol ini? Maaf banget, Hoseok, aku tahu aku suka yang spontan hanya saja ini terlalu gegabah, maaf banget. Kamu pasti ngga nyaman ya, huhu.”

Namjoon semakin rambling, Hoseok mendekatinya. Dia lalu memegang tangan Namjoon. Mengusapnya perlahan.

“Namjoon.” Ucap Hoseok. “Kamu lucu kalau udah ngomong cepat kayak begitu, hehe.” Kekeh Hoseok. Perkataan itu membuat Namjoon termenung. Senyuman Hoseok saat itu sangat cerah, mungkin sangat menyilaukan bagi Namjoon.

“Aku mau nunggu kok. Tapi kita tetap dekat seperti ini kan?”

“Ha? Oh .. Iya, iya, kita tetap akan begini.”

Hoseok tersenyum. “Ayo kita naik sepeda lagi.” Hoseok menarik tangan Namjoon menuju ke sepedanya yang terparkir di depan Kedai Susu Murni.

“Makasih ya.”

“Iya, Namjoon.”

Hoseok tak perlu duduk di restoran mewah dengan segala macam bunga dan mungkin cincin saat Namjoon mengatakan hal itu. Baginya Namjoon sendiri sudah sangat mewah untuknya. Dia yang terbata-bata, dia yang gugup, dia yang tersenyum dan kikuk dengan lesung pipitnya, dia yang kadang sembrono dan sering terjatuh dari sepeda, dan dia yang selalu membuat Hoseok spesial. Itu semua sudah cukup baginya. Cukup meyakinkan Hoseok untuk menunggu Namjoon. Yang terpenting mereka masih dan akan tetap berdua. Dekat seperti ini.

[]

➖ Malam Bintang

Taehyung berkali-kali mengganti pakaiannya. Ini dirasa kurang cocok. Itu dirasa terlalu biasa. Hingga sampai di satu titik di mana Taehyung terdiam. Ini bahkan bukan kencan, mengapa dia harus begitu repot? Berlaku seperti biasa. Namun ada di satu sisi lain, Taehyung ingin membuat seseorang terkesan.

Tingkah lakunya itu tentu mengundang pertanyaan besar bagi orang tuanya. Taehyung belum berkata apa-apa sebab mereka akan heboh sendiri. Biar kehebohan itu nanti saja. Lagipula, Taehyung sedang fokus memilih baju apa yang akan dia pakai.

Benar saja, setelah Taehyung selesai dengan segala agendanya memilih pakaian, Jimin datang dan kehebohan pun dimulai. Jimin meminta izin kepada orang tua Taehyung untuk mengajak Taehyung keluar. Tentu saja diizinkan dengan senang hati. Bahkan titel 'calon mantu' sudah disematkan.

“Maaf ya orang tua aku bikin heboh.” Ucap Taehyung sambil memakai seatbelt di mobil Jimin.

“Ngga apa-apa kok.” Ucap Jimin. Malam ini dia tampan. Selalu tampan lebih tepatnya. Rambutnya dia sisir ke belakang, memamerkan jidatnya yang baru datang saja sudah membuat Taehyung pusing.

“Ini kemana?” Tanya Jimin ketika mobilnya melaju. Taehyung lalu menunjukkan arah.

Tempat yang dituju dinamakan Bukit Bintang. Tidak secara paten namanya begitu, itu hanya julukan dari orang-orang sekitar. Tempatnya seperti bukit dengan hamparan tanah yang luas. Trayeknya lumayan menanjak dan semakin menanjak, tentu suhunya semakin dingin. Di sana tidak berisi tanah perbukitan kosong, namun sudah berdiri warung-warung yang menjual makanan dan minuman di sekitar bukit. Secara tidak langsung, Bukit Bintang ini adalah tempat wisata 'unofficial' di Inha.

“Aku pikir tempatnya akan sepi.”

“Oh kamu mau tempat sepi?” Pertanyaan Taehyung itu membuat Jimin menjadi gelagapan.

“Ah bukan begitu, hanya karena kamu bilang bukit jadi aku kira ya bukit kosong.” Ekspresi Jimin yang panik itu membuat Taehyung tersenyum.

“Ada yang kosong kok, tapi nanjak lagi. Kalau kesana mending pakai motor, lain kali aja ya.” Taehyung menekan kata 'lain kali', tentu dia ingin ada pertemuan selanjutnya, tentu dia ingin pergi berdua lagi.

Di area Bukit Bintang itu sudah lumayan banyak orang. Motor-motor terparkir dengan spot yang acak namun tetap beraturan. Di sana ada anak-anak muda yang berkumpul untuk sekedar mengobrol dan juga ada beberapa pasangan yang menjadikannya sebagai tempat kencan.

“Mau di sini atau ke warung?” Taehyung menanyakan opsi kepada Jimin. Di sini artinya mereka akan duduk di atas kap mobil langsung menatap area perbukitan dan beratapkan langit. Jika di warung, mereka akan duduk di kursi beratapkan genting dan jerami sambil memandang hamparan bukit.

“Di sini.”

“Mau pesan apa? Tapi di sini ga lengkap kayak di Ujin sih. Susu panas mau?”

“Boleh.”

Taehyung lalu memesan dua susu panas. Diberikannya dua gelas plastik dan dudukannya sehingga bisa aman menaruhnya diatas kap mobil atau jok motor. Warung di sini sudah hapal karena kebanyakan jarang ada yang duduk dan diam di warung. Jika ke Bukit Bintang, mereka akan di kendaraannya masing-masing sambil menatap Bintang dari bawah sini.

Taehyung memberikan susu panas kepada Jimin. Mereka lalu mengusap-usap tangan mereka ke gelas susu. Bukit ini memang lumayan dingin di tambah pula dengan angin malam.

“Aku baru sekarang liat bintang bisa seterang ini.” Ucap Jimin, mereka kini sudah bersandar duduk di kap mobil depan.

“Karena di sini ga ada polusi cahaya, jadi bintangnya jelas terlihat. Makanya tempat ini dinamakan Bukit Bintang.” Ucap Taehyung sambil meneguk minumannya.

Jimin mengangguk perlahan. “Kamu sering kesini?”

“Lumayan kalau lagi mumet, hehe. Soalnya tempatnya asyik buat ngelamun.” Kekeh Taehyung.

“Sekarang lagi mumet juga kah?”

Ngga. Sekarang lagi pusing karena kamu ganteng banget.

“Ngga kok, hehe.” Kekeh Taehyung.

Angin malam berhembus dan menyemburkan hawa dingin. Taehyung bergidik kena terpaannya. Sebenarnya bajunya sudah panjang dan mengenakan jaket namun jaketnya terlalu tipis hari itu.

“Sebentar ya.” Jimin lalu masuk ke mobil, dia kemudian mengambil jaket tebal yang ada di jok belakang mobilnya. “Pakai ini.” Jimin langsung memakaikan ke bahu Taehyung menepis jarak mereka yang menjadi sangat dekat. Taehyung mencoba mengatur nafas dan detakan jantungnya.

“Ini bersih kok. Aku simpan di jok belakang kalau misalkan pulang malam.” Ucap Jimin. “Kamu jangan sampai masuk angin nanti aku bisa diomelin Pak Kades.” Tambah Jimin dengan nada becanda.

“Kalau aku masuk angin kan ada Bapak Dokter yang bisa ngobatin.” Timpal Taehyung.

Jimin lalu menatap Taehyung dan memberikannya senyuman. Kini Jimin melihatnya dari dekat secara sadar. Bulu mata Taehyung yang lentik, pipinya yang kenyal seperti roti, bibirnya yang merah seperti buah strawberry, dan matanya yang berbintang di sana. Sepersekian detik itu hampir menghanyutkan Jimin, dia lalu mundur dan berbalik duduk kembali di samping Taehyung setelah selesai memakaikan jaket pada Taehyung.

“Kamu dingin juga kan?” Jimin ditanya begitu hanya menjawab dengan gelengan sambil mengesap minumannya.

“Taehyung di rumah dipanggilnya Kakak ya?” Tanya Jimin membuka obrolan.

“Iya, Kakak yang ngga punya Adek.” Jimin lalu melontarkan ekspresi kenapa. “Dipanggil Kakak biar punya Adek eh malah ngga punya-punya sampai sekarang, hehe.” Kekeh Taehyung. “Kalau Jimin di rumah dipanggil apa?”

“Adek. Tapi Kakaknya udah ngga ada.”

Taehyung masih ingat perkataan Jimin saat di Ujin tentang Kakaknya yang sudah menjadi bintang di atas sana.

“Maaf.” Ucap Taehyung.

It's okay. Tapi lucu juga ya kita, Kakak dan Adek.” Ucap Jimin saat mengatakan kakak, dia menunjuk Taehyung dan adek pada dirinya sendiri.

“Tapi kalau disatuin gitu kayaknya aku yang jadi adek deh.”

“Memang kamu lahir bulan apa?”

“Desember tanggal 30.”

“Wah, udah mau tahun baru.”

“Iya makanya lama, orang lain udah ulang tahun aku belum, hehe. Kalau Jimin?”

“Oktober tanggal 13.”

“Akan aku ingat-ingat.”

“Buat apa?”

“Ya, kalau Jimin ulang tahun, aku kan bisa kasih kado.”

“Ulang tahun aku bertepatan dengan kematian Kakak, jadi aku udah lama ga pernah ngerayain ulang tahun karena di rumah pasti memperingati kematian Kakak. Mix feeling juga jadinya.” Ada semburat kesedihan terpatri di raut wajah Jimin.

“Kalau aku mau merayakan ulang tahun Jimin boleh tidak? Mamah bisa masak nasi kuning dan ayam serundeng juga. Masa enam bulan itu masih melewati bulan Oktober. Jimin masih disini kan?” Taehyung berbinar menanyakan itu, ada harapan dan keinginan untuk Jimin tetap di sini setidaknya sampai kontraknya habis.

“Masih kok. Masih di sini.” Ucap Jimin sambil tersenyum.

Malam itu mereka habiskan dengan saling bertanya dan menjawab pertanyaan trivial. Mengenal lebih dekat dan saling mengetahui satu sama lain di atas Bukit Bintang, di bawah hamparan langit yang penuh dengan bintang.

[]

➖ Kisah dan Sebuah Lagu

Saung Ujin adalah sebuah ya sebut saja café dengan konsep seperti bangunan yang belum selesai kontruksinya. Tetapi hal ini memang sedang tren dan memiliki ciri khas unik tersendiri sekarang. Tempatnya lumayan luas dengan beberapa meja dan terdapat sebuah ‘pojok musik’ yang biasa diisi oleh anak-anak muda Inha yang ingin menyumbangkan suara. Disana sudah terpasang gitar dan keyboard. Untuk tipikal di desa, Saung Ujin ini sudah berhasil menyalurkan hasrat nongkrong kawula muda di Inha. Meski sebenarnya segala kalangan umur bisa kesini namun dominasi tetap diisi oleh para anak muda.

Yoongi heran kenapa meja sudah dibuat memangjang dan berisi 12 kursi yang berhadapan. Enam di sisi kiri, enam lagi di sisi kanan saat dia, Namjoon, dan Jimin tiba duluan. Ternyata disana sudah duluan datang Yerim dan Wendy.

“12 orang siapa aja?” Tanya Yoongi yang langsung duduk diikuti oleh dua temannya.

“Hoseok bakal ikut datang dengan dua teman gurunya.” Ucap Namjoon.

“Ada Taehyung dong?” Tanya Yoongi sambil melirik ke arah Jimin.

“Ya iyalah, ibaratnya mereka itu kayak Bare Bears.” Goda Namjoon sambil melirik ke arah Jimin juga.

“Kenapa liatin gue sih?” Jimin merasa salting diperhatikan seperti itu.

Harus diakui hubungan Jimin dan Taehyung itu memiliki keunikan tersendiri. Tidak tahu arahnya nanti akan bagaimana dan seperti apa. Tapi Yoongi tahu bahwa ini tidak akan mudah. Yoongi tidak begitu mengenal Taehyung, namun melihat dari sisi Jimin, teman yang sudah dia kenal hampir 10 tahun itu, ini tidak akan mudah.

Brace yourself, Taehyung.

Lalu tak berapa lama, yang disebut Bear Bears oleh Namjoon pun tiba. Taehyung, Hoseok, dan Joy. Yoongi pernah bertemu Hoseok di rumah sakit sekali dan untuk Joy ini adalah kali pertama. Perkenalan pun dilakukan karena mereka akan duduk dalam satu meja. Ada hal yang menggelitik Yoongi saat ini. Namjoon dan Hoseok serta Taehyung dan Wendy.

“Jadi kalian udah jadian?” Yoongi langsung straight to the point pada Namjoon yang kini disebelahnya sudah ada Hoseok. Sontak keduanya kaget dan menjadi bahan perhatian yang lain, terutama Yerim, part of gossipers di Inha.

“Iya, Dok, sudah jadiankah?” Tanya Yerim antusias. Benar kan, untuk soal gosip seperti ini Yerim akan menjadi garda terdepan.

“Belum.” Namjoon menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Kalau belum berarti akan, ya?” Tanya Yoongi. Pertanyaan retoris itu mendapat tatapan mata melotot dari Namjoon.

“Ini pesan dulu aja kali, ya.”

Hoseok berusaha mencairkan suasana yang jadi kikuk karena pertanyaan tadi. Makanan di Saung Ujin variasi, mulai dari cemilan seperti kentang goreng, tahu goreng, cireng, bahkan corn dog pun ada. Minumannya pun lengkap, seperti es jeruk, aneka jus, kopi, dan juga yang selalu Yoongi cari. Tetapi itu nanti saja, ronde selanjutnya. Batin Yoongi.

Pusat perhatian yang tadi sempat terdistrak adalah Taehyung dan Wendy. Mereka tampak akrab dan bercengkrama satu sama lain. Sementara dengan Jimin, Taehyung seperti anak remaja malu-malu kucing. Ah bikin Yoongi gregetan lihatnya.

“Kalian ini berteman ya?” Tanya Yoongi.

“Lo kepo banget sih?” Ucap Namjoon.

“Ya, kan gue mah bersosialiasi ga kayak lo, apalagi lo.” Lo yang kedua jelas untuk Jimin. Dia dari tadi hanya diam saja bahkan hanya tersenyum kikuk pada Taehyung. Jimin lalu menunjuk dirinya seakan bilang, Kenapa gue kebawa-bawa, Sat?!. Jelas, jelas sekali Jimin ingin mengatakan itu.

“Kita sepupu, Dok.” Ucap Wendy.

“Wow, luar biasa ya ternyata dunia ini sempit.” Kini Namjoon yang menimpali. Yoongi sudah tahu maksud Namjoon ke arah mana.

Dari pintu datanglah Queen and King Rumah Sakit Inha. Ya, Irene dan Seokjin. Mereka berdua sering disebut Kakang dan Ndoro di Desa Inha. Visualnya memang luar biasa. Yoongi selalu melihat pasangan ini, eh sebentar hubungan mereka bahkan belum bisa disebut sebagai pasangan entah itu secara romantis atau platonik. Keduanya seakan memiliki secret relationship yang bahkan Intel Yerim dan Ketua Bidang Intelejen Pergosipan di Inha yaitu Pak Endang saja tidak tahu hubungan Irene dan Seokjin seperti apa. Yang Yoongi tahu, mereka itu sangat compatible satu sama lain. Apalagi ketika di IGD, gabungan mereka adalah duet maut.

Setelahnya datang polisi kebanggaan desa yaitu Seulgi dan Jungkook. Ada yang salah rasanya saat Yoongi melihat Jungkook hari ini. Tidak, bukan dari hari ini, tetapi dari sejak “Agenda Malam Minggu”. Seperti meninggalkan sebuah jarak untuk dirinya.

“Sini Polgi duduk sini.” Panggil Hoseok menepuk kursi kosong disamping Joy. Senyuman malu-malu Joy menghiasi.

Ah, another love bird.

“Sudah lengkap ya semuanya?” Tanya Yerim. “Yuk pesan dulu, katanya bakal ditraktir Dokren.”

Yang lain turut senang dan riuh mendengarnya dan mulai pesan tambahan ini dan itu. Irene selalu yang mentraktir. Dia berkata tidak enak bagi yang lebih muda membayar. Biarkan yang lebih tua saja. Irene padahal tidak terlalu tua. Usianya hanya berjarak 4 tahun dengan Yoongi namun pesona dan kharismatiknya seakan memposisikannya sebagai yang dituakan, yang dihormati di Inha.

“Ini berasa kayak reuni sekolah ya?” Joy buka suara.

“Oh iya?” Namjoon menaruh perhatian. Begitupun Yoongi.

“Iya, Taehyung, Wendy, dan Jungkook itu satu sekolah. Di SMA Inha. Mereka bertiga asli dari desa sini.” Ucap Joy.

Iconic.” Timpal Hoseok.

Namun saat disebutkan begitu hanya Taehyung yang tersenyum sementara Wendy dan Jungkook tampak acuh dan tersenyum sedikit bahkan terlalu tipis untuk disebut tersenyum.

“Aku ngga pernah sekelas sama Polkook. Yang tiga tahun sekelas itu Wewen sama Polkook.” Ucap Taehyung.

“Tapi kok tiga tahun sekelas kayak yang ga saling kenal?” Celetuk Namjoon barusan kena sikut oleh Jimin.

“Kan satu kelas bukan berarti harus saling akrab.” Ucap Wendy dengan senyum yang seadanya.

Yoongi mulai berpikir tentang situasi ini. Kebiasaan dia untuk menganalisis suatu hal mulai menggelitik pikirannya tetapi dia tahan. Dia menggeleng kepalanya. Mengusir keinginan untuk tahu lebih banyak hal.

Minuman dan makanan sudah datang. Obrolan satu dan lainnya mulai terjalin. Ada yang malu-malu kucing, ada yang diam-diam saling memperhatikan, ada yang sedang dimabuk asmara, ada yang sibuk mencari bahan gosip, ada yang seperti bumi ini hanya milik berdua, dan ada pula yang sibuk melihat tensi yang tidak pernah terduga. Sangat menggelitik.

“Jangan kegeeran lo! Pasti lo mikir mereka ga akrab gara-gara lo kan?!” Bisik Namjoon.

“Apaan anjir gue ga pernah mikir kesana!” Bantah Yoongi.

“Bohong banget, Sat, gue tahu gelagat lo. Dari tadi lo liatin ke arah mereka berdua.”

“Ngga anjir!”

“Suswen nyanyi dong!” Ucap Irene memutus perdebatan antara Yoongi dan Namjoon. Semua seakan setuju dengan ucapan itu. “Oh, iya, Dok 3, Suswen ini penyanyi terbaik dari Desa Inha. Suaranya jempol.” Tambah Irene. Seokjin yang disebelahnya turut memberikan kedua jempol.

“Mau diiringi ga? Ini Dokyoon bisa main keyboard nih.” Namjoon melemparkan tatapan dan senyuman yang jelas menggoda Yoongi.

Namjoon Setan!

“Dokyoon ini bisa semua alat musik, bisa bikin lagu juga. Kalau sudah pensiun jadi dokter, katanya mau jadi musisi.” Goda Namjoon.

Anjir Namjoon!!

Jimin hanya bisa menertawakan kedua sahabatnya itu. Jika tidak ada yang lainnya, mungkin keduanya sudah baku hantam.

Teriakan yang lain membuat Wendy dan Yoongi tidak bisa berkutik. Mereka kemudian naik keatas panggung.

“Mau lagu apa?” Tanya Yoongi.

“Dokter bisa lagu apa?”

“Bisa semua kalau ada chord-nya.” Ucap Yoongi.

“Sebentar.”

Wendy lalu memperlihatkan layar ponselnya yang berisi chord lagu. “Ini biasa aku nyanyiin sambil gigitaran, Dok.”

“Oh, Suswen bisa main gitar?”

“Bisa.” Ada tawa kecil menyertainya.

“Yaudah ini aja.”

Yoongi pun mulai duduk didepan keyboard, Wendy mulai siap dengan stand mic-nya. Tepukan riuh dari penonton terutama geng Inha sudah siap menyambut mereka. Yoongi memberi aba-aba kepada Wendy dan dentingan pun mulai terdengar.

Kekasihku mendekat padaku saat ini ku ingin Secara kita berdua telah lama disini Andai saja aku pengantinmu bahagia pasti di hati Rengkuh aku bersamamu malam ini, milik berdua

Suara Wendy dan alunan keyboard yang Yoongi mainkan menghipnotis semuanya. Lagu I’m Falling In Love dari Melly Goeslaw ini seakan menjadi soundtrack bagi beberapa orang disana.

Dan ku tlah jatuh cinta, ku wanita dan engkau lelaki Perasaanku berkata I'm fallin in love

Tepat dilirik itu, Wendy jelas terang-terangan menatap Yoongi dan mata mereka pun bertemu. Degup jantung tak biasa mulai berdetak. Yoongi lekas mengalihkan pandangannya. Dia lalu menatap seseorang yang duduk disana. Dia menggoyangkan gelas dengan kepala yang menunduk. Lalu untuk sepersekian detik, dia mendongakkan kepalanya. Beradu pandang dia dengan Yoongi tetapi dia dengan cepat membuang jauh pandangannya.

Sang cinta mendekatlah, malam menyanggupi jadi saksi Hati kecilku berkata I'm fallin in love

Benar saja. Lagu ini menjadi soundtrack. Ada yang menggigit bibirnya karena malu. Ada yang wajahnya berseri. Ada pula yang membuang jauh pandangannya seakan enggan berada di ruangan ini lebih lama.

Jatuh cinta ternyata memang indah apalagi bersamamu Walau aku, tak pasti bisa mendapatkan cintamu

Bait demi bait berhasil Wendy bawakan dengan sempurna. Lagu yang berdurasi 3 menit 51 detik itu sukses menyihir semua orang. Teriakan dan tepukan tangan menggema disana. Beberapa meneriakan encore namun telah ada yang menunggu untuk menyumbangkan suara juga.

“Suara kamu bagus, Sus.”

“Dokter juga bagus main keyboard-nya.”

Mereka lalu kembali ke kursi mereka masing-masing. Namun Yoongi seperti limbung sebelum mencapai kursinya. Perkataan Wendy selanjutnya sungguh membuat Yoongi terdiam.

“Lagu tadi untuk Dokter dari saya.”

[]

➖ Agenda Malam Minggu

Dalam sejarah Rumah Sakit Inha, menyebutkan kata keramat itu maka berakibat akan ada 'kesibukan' di Instalasi Gawat Darurat. Dan mereka lupa bahwa hari ini adalah hari Sabtu. Ya, 'Agenda Malam Minggu' untuk Rumah Sakit Inha akan segera dimulai.

Desa Inha memang terkenal dengan keindahan alam, perbukitan, dan persawahan, namun akses menuju kesana dibilang tidak begitu mulus. Trayeknya terjal dan dikelilingi oleh tebing dan jurang. Namun akses ini sering dipakai sebagai jalan penghubung antar kota lainnya. Hingga seringnya banyak bis-bis besar dan mobil perjalanan antar daerah yang melewati Inha. Namun butuh perhatian dan tingkat hati-hati yang ekstra. Angka kecelakaan yang tinggi yang disebabkan oleh akses dan trayek Desa Inha inilah yang menjadi alasan Rumah Sakit Inha berdiri.

Hal ini adalah pengalaman pertama bagi Dokter 3, sebutan untuk Jimin, Yoongi, dan Namjoon dalam menghadapi 'Agenda Malam Minggu' setelah satu bulan mereka bertugas di Inha. Sebelumnya IGD tetap seperti biasa namun kali ini akan menjadi luar biasa.

Tak ada waktu lagi. Pasien berdatangan satu persatu. Dokter 3, Dokren, dan Dokjin sudah siap memeriksa dan observasi pasien satu persatu. Mereka membagi pasien berdasarkan tingkat kedaruratannya. Dokkim pun turun tangan. Agenda Malam Minggu selalu butuh lebih banyak tenaga karena akan ekstra lebih sibuk dari biasanya.

Lima pasien berat sudah dibagi. Tiga diantaranya harus masuk ruang operasi segera. Dua lainnya memerlukan perawatan yang lebih kompleks dan harus dibawa ke Rumah Sakit Induk. Setelah mendapatkan perawatan yang bisa tetap membuat mereka aman dan terkontrol sampai di RS Induk, dua pasien tersebut dibawa kesana.

Jimin kerja keras hari ini sebab dia akan masuk dalam 3 operasi. Dokkim terkenal dengan kecepatannya dalam mengoperasi. Sementara Dokjin sudah ahli sebagai bedah umum yang memiliki jam terbang yang tinggi. Jimin benar-benar belajar banyak hal dari kedua dokter ini. Segala hal yang tidak dia dapatkan di Andani, dia dapatkan di Inha.

Sementara Namjoon turut sibuk. Setelah selalu berjibaku dengan mayoritas pasien hipertensi dan diabetes. Kini, dia ikut turun merawat pasien dengan tingkat keparahan sedang. Namjoon memeriksa dengan seksama, antisipasi jika ada pendarahan di dalam.

Lalu, Yoongi. Beberapa pasien siswa study tour ini datang dengan hidung yang mimisan akibat guncangan keras saat kecelakaan. Beberapa luka ringan telah selesai dibalut satu persatu.

Dokren selaku dokter IGD terlama di Inha berlaku sebagai pengatur pasien. Siapa yang mengisi bed 1, 2, 3, dan seterusnya adalah tugas Dokren. Suswen yang sudah menjadi Ners Bedah (Suster dengan spesialisasi Bedah) siap untuk mempersiapkan segala kebutuhan operasi. Dan Susrim pun tak kalah cekatan membantu pergerakan di IGD. Membalut luka, memasang infus, memeriksa TTV (Tanda-Tanda Vital), dan membantu kebutuhan dokter lainnya. Semua punya bagian dan andilnya masing-masing.

Hampir semua urusan di IGD malam itu telah hampir selesai. Tiga operasi darurat pun berhasil dikerjakan dalam kurang dari 5 jam. Segala di IGD memang harus cepat tanggap, mereka harus memperhatikan golden time di mana semakin cepat memberikan pertolongan, maka semakin besar peluang untuk bisa terselamatkan.

“Kook, kan teteh bilang buat langsung periksain. Itu kepala kamu berdarah dan kaki kamu juga luka.” Ucap Seulgi setelah melihat Jungkook tengah duduk disamping vending machine sambil meminum susu kotak.

“Sebentar, Teh, aku istirahat dulu.”

Selain kecekatan tim “Darurat” Inha di IGD, tentu ada dua polisi tangguh ini yang turut serta menyelamatkan pasien. Golden time yang mereka raih secepat mungkin dalam evakuasi korban. Agenda Malam Minggu tentu berhasil berkat cepat tanggap Jungkook dan Seulgi dalam mengevakuasi korban dan membawa ke rumah sakit.

“Kamu mah suka bedegong!” (keras kepala)

Seulgi lalu menarik Jungkook untuk masuk ke IGD. Suasana sudah lebih kondusif, karena beberapa pasien sudah tertangani. Di sana ada Yoongi yang sedang membaca hasil rontgen pasien ketika Seulgi menghampirinya.

“Dok, bisa periksa teman saya? Dia kepalanya kena jatohan tiang terus ini kakinya juga luka.” Ucap Seulgi sambil menyeret Jungkook ke hadapan Yoongi.

“Jungkook!” Yoongi melihat ada darah kering dari kepala yang membekas hingga ke pelipisnya. “Kok ga bilang?”

“Ga keburu, Dok, tadi masih sibuk evakuasi.” Ucap Jungkook sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Yoongi memerintahkan Jungkook untuk duduk di salah satu bed yang kosong. Seulgi awalnya ingin menemani Jungkook, namun dia harus keluar karena menerima panggilan dari pos.

“Sus, kan baru selesai operasi, ngga apa-apa ini saya bisa kok sendiri.” Ucap Yoongi ketika Wendy sudah siap mendorong troli obat dan perlengkapan untuk perawatan luka.

“Ngga apa-apa, Dok.” Ucapnya.

Yoongi lalu menggunakan handscoon dan mengecek kepala Jungkook. Memang ada luka benda tumpul namun berhasil merobek kulit kepalanya. Lalu, Yoongi pun memeriksa kaki Jungkook yang terluka akibat tergencet puing-puing bis saat evakuasi.

“Ini tinggal dibersihin dan dibalut sih. Tapi kamu ga ngerasa pusing atau sakit kepala?” Tanya Yoongi.

Jungkook menggeleng. Lalu tiba-tiba Seulgi datang kembali. Dia berkata bahwa ada kecelakaan lain yang sudah dekat ke Inha. Rasanya Yoongi baru bernafas setelah berjibaku dengan banyak pasien kecelakaan, kini ditambah lagi. Memang Agenda Malam Minggu ini luar biasa.

“Dok, yang perawatan luka Polkook biar saya saja.” Ucap Wendy menawarkan melihat Yoongi harus segera melihat pasien kecelakaan yang baru datang lainnya.

“Oh makasih, ya, Sus.”

Yoongi menepuk bahu Jungkook lalu setelahnya bersama Seulgi keluar IGD menunggu pasien itu tiba.

Wendy mulai merawat luka Jungkook. Membersihkan, mengoleskan salep antibiotik, membalutnya dengan kassa steril, dan menempelkannya dengan plester.

“Polkook dekat ya dengan Dokyoon?” Tanya Wendy disela-sela membalut luka Jungkook.

“Ngga kok, Suswen, hanya sebatas hukuman saja.”

“Hukuman?”

“Hm ...”

“Karena salah tangkap itu, ya?”

“Iya.”

“Sampai kapan hukumannya?”

“Sampai hari Minggu ini.”

“Lalu, kalau sudah hari Minggu akan gimana?”

Jungkook hanya terdiam. Dia lalu melihat ke arah Yoongi yang tengah mendorong pasien ke salah satu bed yang kosong.

“Kook.” Wendy memanggil Jungkook yang sempat melamun sambil menatap Yoongi. “Aku ngomong gini bukan sebagai suster dan kamu sebagai polisi tapi sebagai yang pernah satu sekolah bareng.” Wendy menghela nafas perlahan. “Dulu aku ngalah pas kamu akhirnya bisa sama Yugyeom padahal kamu tahu kalau aku jelas-jelas suka ke dia. Tapi sekarang aku ga akan gitu lagi, Kook.” Ucap Wendy.

“Wen.”

“Lukanya udah dibalut, nanti aku tanya Dokyoon dulu kalau ada obat yang diresepkan untuk kamu.”

Wendy mulai merapikan peralatan dan membereskan sisa kassa dan kapas bekas merawat luka Jungkook.

“Wen.” Panggil Jungkook lagi.

“Iya?”

“Untuk soal yang itu ...”

“Kalau kamu mau minta maaf, udah aku maafin kok, Kook.” Ucap Wendy. “Namun untuk kita kembali temenan kayak dulu kayaknya akan sulit.”

Wendy mulai siap mendorong troli peralatan rawat luka. Dia lalu berbalik menatap Jungkook yang sedang menunduk. Wendy menghela nafas perlahan.

“Kenapa kita harus selalu menyukai orang yang sama?”

[]

➖ Melihat Bintang

Jimin langsung melempar ponselnya sesaat setelah melihat pesan dari Mamanya. Muak. Bahkan bisa saja dia sakit hati namun rasanya dia telah kebal hingga tak lagi terasa apapun.

Menjadi anak kedua selalu dihadapkan oleh bayang-bayang kakak. Jimin dan kakaknya berbeda 10 tahun. Sebuah jarak yang cukup jauh. Kakaknya begitu sempurna dan bahkan bisa lulus SMA di usia 16 tahun. Namun, semua berubah ketika hari kelulusan SMA, sebuah kecelakaan besar terjadi dan membuat kakaknya mengalami cedera serius yang membuatnya berakhir di tempat tidur. Dan hanya bisa bernafas dengan alat bantu.

Jimin terlalu kecil waktu itu. Dia masih duduk di bangku SD saat melihat kakaknya terbaring tidak berdaya. Jimin hanya mendengar dari bibi pengasuhnya tentang kehebatan kakaknya. Kakak yang juara olimpiade, kakak yang juara renang, kakak yang senang melihat bintang, kakak kebanggaan Mama. Dulu Jimin pernah memiliki memori singkat tentang kakaknya yang mengajaknya melihat bintang. Hanya itu yang dia ingat.

Setelah itu, hidup Jimin diatur oleh Mamanya. Tidak ada waktu bermain. Semua diisi dengan belajar, tutor, les piano, bahasa, berkuda, semua sudah dijadwalkan dengan baik. Jimin tidak mempunyai pilihan bahkan ketika lulus SMA, Jimin harus masuk ke Fakultas Kedokteran.

Bakat Jimin tidak disana. Dia senang menari dan tampil diatas panggung. Meski ditengah padatnya jadwal, Jimin menyempatkan untuk mengikuti ekskul tari bahkan mengikuti beberapa lomba yang tentu saja tidak mamanya ketahui. Jimin melakukan hobinya secara sembunyi-sembunyi. Hingga titik dimana mamanya membuang surat tanda Jimin diterima di Paris, sebuah jurusan Performancing Arts yang jelas ditolak mentah-mentah oleh mamanya. Jimin harus menjadi dokter.

Jimin merasa hidup yang dia jalani bukanlah hidupnya. Dia seperti sedang menjalani hidup yang seharusnya kakaknya jalani namun tidak bisa. Mama adalah sutradara dalam hidupnya. Bahkan ketika Jimin memilih untuk mengambil bedah umum perlu 'pertumpahan darah' dengan mamahnya. Dia ingin Jimin masuk spesialis saraf dan mengobati kakaknya yang terbaring lumpuh tidak berdaya karena kecelakaan.

Tiba di satu titik saat Jimin mengambil ujian masuk sekolah spesialis, kakaknya dipanggil Yang Maha Kuasa. Lebih dari belasan tahun kakaknya berjuang meski sebenarnya dia sudah lama tak bisa bertahan jika tidak dibantu oleh alat-alat yang menopang hidupnya. Hal itu tamparan keras kedua di keluarganya setelah kecelakaan kakaknya waktu itu.

Berduka adalah fase yang panjang bagi sebagian orang. Bahkan bisa saja menjadi fase selamanya. Itulah yang mamanya alami. Setiap Jimin berbuat 'onar' versi mamanya, selalu kalimat, “lebih baik kamu yang pergi, bukan kakak kamu”, sering Jimin dengar padahal kini Jimin adalah anak satu-satunya. Tetapi tak selamanya satu-satunya itu menjadi yang paling disayang.

Jika memilih, Jimin ingin bertukar tempat dengan kakaknya. Hidup dalam bayang-bayang, seakan tak memiliki hidup sendiri itu jauh lebih menyakitkan.

Demi menghalau pikiran itu semua, Jimin mengajak Yoongi dan Namjoon untuk minum ke Saung Ujin. Sebenarnya waktunya tidak pas sebab mereka besok masih ada praktek, namun karena ini sedang 'darurat' maka tak mengenal kata besok atau nanti.

Jimin terlalu mabuk hari itu meski beberapa kali Namjoon cegah, tetap saja Jimin tidak menurut. Sementara Yoongi bersikap bodo amat, dia terlalu asyik dan bergelut dengan pikirannya sendiri.

Jimin masih menatap ponselnya, dari tadi dia melihat kontak seseorang yang entah mengapa menyita perhatiannya akhir-akhir ini. Dari sejak awal Jimin melihat dia dimarahi oleh orang tua siswa yang sebelumnya Jimin kira itu isterinya. Ada rasa sendu tersirat disana. Rasa di mana telah melakukan yang terbaik namun tak pernah dianggap. Jimin sangat paham perasaan itu.

Jiwa yang lugu dan polos yang Jimin rindukan seakan terpancar dari dia. Dia yang menangis dan bersembunyi di dadanya karena takut jarum suntik. Dia yang tertidur lelap saat Jimin membenarkan infusnya yang macet. Dia yang meremas celananya ketika menahan gugup saat Jimin berkunjung ke rumahnya. Dia yang typing-nya gemas menurut Jimin.

Kehadirannya menakutkan bagi Jimin. Dia takut akan ditinggalkan. Luka batin yang dia alami pernah hampir disembuhkan seseorang namun keburu ditinggalkan ketika semua bahkan belum sembuh sempurna. Jimin terlalu takut untuk memulai itu semua. Yang bisa dia lakukan ditengah kesadarannya yang menipis adalah hanya melihat kontaknya di ponselnya. Hingga satu gelas setelahnya membuat Jimin berani mengirim pesan tentu saja pesan kacau tak jelas kepadanya.

“Taehyung!” Panggil Namjoon ketika Taehyung telah sampai di Saung Ujin. Di sana terlihat Jimin yang sedang menaikturunkan sentuhan layar ponselnya dan Yoongi yang sudah tertidur di atas meja. Sementara Namjoon tentu masih sadar 100%.

“Aku bawa Yoongi dulu ya ke mobil.” Ucap Namjoon. Dia lalu membopong Yoongi dan membawanya pergi.

“Jimin, ayo kita pulang.” Ucap Taehyung.

“Hm? Kamu?” Tanya Jimin. Dia melihat ponselnya lalu melihat Taehyung, melihat lagi ponselnya lalu melihat Taehyung. “Ini kamu yang aku kirim pesan ini?” Jimin menunjukkan layar ponselnya kepada Taehyung.

“Iya, Jimin.”

“Ayo kita melihat bintang!”

“Iya, tapi kamu harus berdiri dulu.”

Jimin membuat gerakan cepat. Dia menangkup wajah Taehyung. Sontak Taehyung kaget. Kini jarak mereka terlalu dekat. Pipi Taehyung ditekan Jimin hingga bibir Taehyung sedikit maju ke depan.

“Bulu mata kamu lentik. Pipi kamu kayak roti empuk. Bibir kamu merah kayak strawberry. Dan di mata kamu ada bintang.” Ucap Jimin. Detak jantung Taehyung berdetak menjadi tidak karuan. “Aku sekarang sedang melihat bintang.”

“Jwiminn, ini bbissa leepass duluu?” Taehyung kesulitan berbicara karena pipinya ditekan hingga menekan ke mulutnya juga.

“Di dunia ini ga ada yang sayang aku, kalau kamu sayang ga? Kalau iya, aku lepasin.”

Taehyung sudah hilang akal. Dia tahu mendengarkan omongan orang mabuk itu sama aja dengan hilang akal. Taehyung pun mengangguk perlahan. Jimin lalu melepaskan tangannya.

“Apa?” Tanya Jimin.

“Iya, aku sayang Jimin.”

Mendengar itu Jimin tersenyum. Matanya menjadi segaris seiring melebarnya senyum yang dia berikan.

“Terima kasih.”

Setelah mengatakan itu Jimin menghempas kepalanya ke dada Taehyung. Dia tertidur. Meninggalkan Taehyung dengan gemuruh detak jantungnya yang tak beraturan.

[]

➖ Panik

Bagi Jungkook, Aki Yayan bukanlah hanya seorang ‘juragan’ di desanya yang hidup sebatang kara. Baginya Aki Yayan sudah seperti kakeknya sendiri. Jungkook tak akan berani bercita-cita menjadi polisi dan bisa berdiri seperti ini jika bukan karena bantuan Aki Yayan.

Jungkook lahir dari keluarga yang biasa-biasa. Ayahnya seorang petani cabai di Inha dan Ibunya hanya ibu rumah tangga biasa. Dia mempunyai dua adik yang masih duduk di bangku sekolah. Satu masih SMP dan satu lagi masih SD. Dan seperti biasa, di setiap keluarga, beban anak sulung sangat besar. Sudah seperti pilar dari keluarga. Maka dari itu sejak kecil, Jungkook tak pernah bermalas-malasan. Dia ingin menjadi ‘orang’ yang bisa mengangkat derajat keluarganya. Hingga suatu waktu, Aki Yayan mengusulkan Jungkook untuk menjadi polisi. Jungkook tinggi besar dan memiliki tubuh atletis. Saat di sekolah, dia selalu mendapat nilai sempurna di pelajaran olahraga. Tidak ada olahraga yang tidak dia bisa. Soal akademik, jangan tanya lagi, Jungkook selalu masuk ranking 10 besar.

Di kali ketiga percobaan, Jungkook baru lulus sekolah kepolisian. Semua biaya dan kebutuhan Jungkook selama sekolah, dibiayai oleh Aki Yayan. Jungkook berhutang nyawa kepada Aki Yayan. Kini, Jungkook sudah bisa membantu keluarganya. Ayahnya yang sudah tua tak perlu membanting tulang begitu keras untuk bertani cabai yang kadang hasilnya tak seberapa. Jungkook bahkan bisa menyekolahkan adiknya meskipun pangkat dia belum terlalu tinggi.

Jungkook memiliki ambisi ingin menjadi polisi di kota yang bisa dengan gagah menangkap penjahat dan koruptor. Kerapkali rasa kecil hati menghinggapi Jungkook setiap dihadapkan oleh kenyataan bahwa dia hanyalah polisi desa. Tetapi Aki Yayan selalu menyemangatinya. Dia selalu mengatakan bahwa yang terpenting adalah menjadi orang yang bermanfaat, mau ditempatkan di mana dan menjadi apa, yang paling utama adalah bermanfaat bagi sesama. Petuah itu yang selalu Jungkook ingat. Aki Yayan sungguh berjasa di hidup Jungkook bahkan jika dia mengabdikan hidupnya sekalipun, tak akan cukup untuk membalas kebaikan Aki Yayan.

Di saat Jungkook mendapati Aki Yayan tak sadarkan diri di kamarnya, Jungkook panik bukan main. Dia menghubungi Seulgi dan juga Yoongi. Di ujung telpon, Yoongi mencoba menenangkan Jungkook yang panik. Dan ketika ambulan datang, Jungkook ikut bersama Aki Yayan.

Di IGD, Aki Yayan langsung diperiksa oleh Namjoon. Yoongi mengarahkannya kepada Namjoon karena Yoongi melihat bahwa Aki Yayan memiliki riwayat hipertensi (tekanan darah tinggi). Dan benar saja, tekanan darah Aki Yayan saat itu mencapai 190. Sangat tinggi dan berpotensi untuk terkena stroke atau serangan jantung. Setelah bertanya kepada Jungkook, ternyata semalam, Aki Yayan lupa meminum obat hipertensinya. Dan akhir-akhir ini asupan makanan Aki Yayan kurang terkontrol. Hal itu menambah rasa bersalah bagi Jungkook.

“Harusnya aku ngga kelupaan buat ngingetin Aki minum obatnya.” Jungkook tersedu-sedu menangis di ruang tunggu. Tangannya mengepal kuat dan kepalanya terus tertunduk.

“Ini bukan salah kamu, Kook.” Yoongi yang duduk disebelahnya mengusap-usap punggung Jungkook. “Aki Yayan sekarang sudah dirawat dan semua akan baik-baik saja.”

“Tetep aja, kalau aku ingetin Aki buat minum obat, dia ga harus sampai masuk IGD.” Jungkook terus-terusan menyalahkan dirinya sendiri. “Aki tuh yang buat aku kayak gini. Kalau ngga karena Aki, aku ga mungkin bisa jadi polisi, bisa bantu keluarga aku. Kalau ga ada Aki, aku cuma anak petani miskin yang ga akan bisa jadi apa-apa.” Jungkook terus berceracau. Yoongi miris melihatnya dan memegang tangan Jungkook.

“Kook, Aki ga akan kenapa-napa. Dia itu kuat dan kamu dengan cepat bawa dia kemari, itu bisa bikin Aki cepat sembuh. Sudah cukup menyalahkan diri, karena semua memang sudah terjadi.” Yoongi mengusap-usap tangan Jungkook. “Yuk, sekarang temuin Aki. Dia mau lihat wajah kamu, cucu kesayangannya.”

Jungkook menyeka air matanya perlahan. Dia dan Yoongi lalu menghampiri Aki Yayan yang terbaring di ranjang IGD. Di sana ada Namjoon dan suster.

“Gimana?” Tanya Yoongi ke Namjoon.

“Sudah terkendali sekarang. Untung dibawa cepet kesininya.”

“Tuh, denger ngga? Kamu berhasil nyelametin Aki karena cepet bawa dia kesini.” Yoongi merangkul bahu Jungkook berusaha menenangkannya.

Teu nanaon Aki mah, Kook.” Ucap Aki dengan suaranya yang masih parau (Aki ngga apa-apa)

Hampura, Aki. Kook hilap ingetan Aki emam landong.” Jungkook duduk disamping Aki sambil memegang tangan Aki dan menempelkannya di pipinya. (Maafin, Kook, Aki. Kook lupa mengingatkan Aki untuk minum obat)

Nya wajar ai jalmi hilap mah. Kuduna Aki ge inget nyalira tong diingetkeun wae.” Jungkook tidak menjawab dia masih menangis. (Ya wajar kalau manusia lupa. Harusnya Aki ingat sendiri jangan diingatkan terus)

“Dokter, nuhun pisan nyak.” Ucap Aki kepada Namjoon. (Makasih banyak ya)

“Iya sama-sama, Aki.” Namjoon tersenyum sambil memperlihatkan lesung pipitnya.

“Dokter Yoongi, nuhun oge tos sareng Jungkook. Ieu murangkalihna teh sok gempeuran padahal mah da Aki mah teu nanaon.” Dan Yoongi hanya bisa bingung dengan perkataan Aki. (Dokter Yoongi, makasih ya udah nemenin Jungkook. Ini anaknya tuh suka gampang takut padahal Aki ngga kenapa-napa)

“Ih, Aki mah.” Jungkook memajukan bibirnya sedikit. Dia sebal sekaligus senang karena Aki Yayan sudah bisa menggodanya kembali.

“Dokter Yoongi, kumaha mun sareng incu Aki ieu? Aki teh tos kolot, yuswana moal lami deui. Hoyong ningal incu Aki teh sasarengan kitu jeung batur. Kumaha dok tiasa teu mun jeung dokter wae?” (Dokter Yoongi, gimana kalau sama cucu Aki ini? Aki sudah tua dan umurnya ga akan lama lagi. Mau lihat cucu Aki sama-sama dengan orang lain. Gimana bisa ga kalau sama dokter aja?)

Permintaan Aki itu membuat Jungkook kaget. Yoongi dan Namjoon hanya bisa saling tukar pandangan sebab tidak tahu apa yang Aki bicarakan. Suster disana pun ikut tersenyum.

“Ini artinya apa?” Yoongi bertanya kepada Jungkook.

“Makasih udah mau jagain Aki.”

“Perasaan tadi bilangnya panjang deh.” Ucap Yoongi.

“Iya rasanya tadi ngomongnya panjang.” Tambah Namjoon.

“Ya intinya begitu.” Muka Jungkook semakin merah padam. “Aki tong sok aneh-aneh, ayeuna mah istirahat we.” Ucap Jungkook kepada Aki Yayan. (Aki jangan aneh-aneh, sekarang istirahat aja)

Aki Yayan beristirahat dulu di IGD sambil terus dipantau perkembangannya oleh Namjoon. Jika semua sudah stabil, maka Aki bisa pulang hari ini juga.

“Kook, gimana Aki? Teteh mau cepat kesini langsung eh tapi di pos ada gangguan dulu.” Seulgi datang dengan nafas yang tersengal-sengal saat menghampiri Jungkook di IGD.

“Udah ngga apa-apa, Teh, sekarang lagi istirahat.” Ucap Jungkook.

“Oh syukur atuh.”

“Gangguan apa teh di pos?” Tanya Jungkook.

“Biasa, Geng Bodar berulah.” Ucap Seulgi.

Jungkook lalu menghela nafas panjang. Dia tahu apa yang Seulgi dengan kata “biasa” itu tidaklah suatu hal biasa untuknya dan untuk desa ini. Tetapi untuk saat ini, kesembuhan Aki yang menjadi hal utama yang dia pikirkan.

[]