Momen Inersia
Sinting.
Satu kata itulah yang menggambarkan Aneska saat ini— bagi Kalandra. Mahluk ini benar – benar sinting. Bisa – bisanya dia memiliki ide seperti ini.
“Jangan biarkan itu jadi panggung dia, Sayang. Biarkan ini menjadi panggung kita.” Ucapnya dengan senyuman yang membuat matanya menjadi satu garis. Sebenarnya Kalandra sedikit terganggu setiap kali Aneska memanggilnya sayang. Hatinya mendadak tidak karuan. Dia masih belum terbiasa.
Dan satu hal lagi. Aneska itu sangat berbahaya. Dia licik. Tipikal business man yang sering Kalandra temui setiap kali dia sedang mempertaruhkan tender perusahaannya. Sama dengan Aneska sekarang, dia sedang bertaruh untuk sebuah pertunjukan ini.
“Lo bukan tim hore, Kalandra, tapi support system...” katanya demikian, “... for this blood war.” Kalandra hanya mengangguk. Aneh memang. Kalandra tidak pernah gampang setuju dengan apapun. Jika bisa melawan dengan argumentasi, maka dia akan ngotot sampai benar – benar mendapatkan alasan masuk akal. Tapi, semua berbeda jika Aneska yang mengatakannya. Dia seakan tersihir dan menjadi penurut. Salah satunya adalah menyetujui ide gila ini.
“Kayaknya kalian memang janjian, ya?” Tanya Edrea ketika masuk ke lapangan basket. “Padahal gue ngajaknya secara terpisah. Udah mulai akur, ya, sekarang?” Tambahnya dengan nada yang sinis. Setelah mendapatkan cerita dari Aneska, pandangan Kalandra mengenai Edrea bukanlah hanya sekadar artis yang menjadi brand ambassador vennEdu, namun orang yang turut membohonginya setelah Adira.
“Iya, dong.” Jawab Aneska sambil merangkul pinggang Kalandra. Padahal sudah diberitahu sebelumnya akan ada trick seperti ini, tetapi tetap saja Kalandra kaget. Edrea lalu memandang Kalandra dari bawah ke atas, sangat judgemental. Kalandra tidak suka pandangan itu. “Bisa biasa aja lihatnya?” Aneska langsung menghalangi tubuh Kalandra dari pandangan tidak mengenakkan itu.
“Well, jadi kita main basket nih? Padahal gue ngajaknya mau main tenis.”
“Main tenis ngga bisa langsung kelihatan siapa pemenangnya.” Jawab Aneska.
“Ngga adil dong ini, lo berdua, gue cuma sendiri.” Timpal Edrea.
“Tunggu temen lo datang.” Edrea langsung tertegun setelah Aneska berkata seperti itu. Ya, mungkin Edrea mengira dengan dia mengundang Kalandra dan Aneska, dia telah selangkah lebih maju, namun Aneska malah sudah maju 3 langkah lebih dulu. “Ngobrol santai dululah.”
Kalandra ingin sekali langsung memaki – maki dan melabrak Edrea sekarang. Edrea sejak awal sudah tahu bagaimana hubungan Kalandra dan Aneska, Kalandra dan Adira, tetapi dia pura – pura tidak tahu dan malah sengaja mempertemukan dirinya dan Aneska berulang kali. Adira juga. Saat Kalandra bertanya tentang Edrea, dia jawab siapa yang tidak kenal Edrea, dia kan artis terkenal, rasanya Kalandra semakin kesal.
“Edrea.” Suara itu langsung mengambil atensi dari semua yang ada di lapangan basket itu. Adira tiba, namun Kalandra hanya melihatnya sekilas. Pandangannya langsung mengarah ke Aneska yang mendadak gemetar, namun Aneska berusaha sebisa mungkin untuk tidak terlalu kentara.
“Neska.” Adira menghampiri Aneska, namun ia memundurkan langkahnya. Kalandra baru kali ini melihat Aneska dan Adira dalam satu tempat yang sama. Namun, semua tampak ganjal. Cerita Aneska di vennEdu belum sepenuhnya, pasti ada cerita lain antara Aneska dan Adira yang belum diceritakan.
“Lo udah tahu, ya, maksud dan tujuan gue ngumpulin kalian berdua?” Tanya Edrea pada Aneska. “Bagus deh. Anak Dewandaru memang penuh kehati – hatian.” Tambahnya sambil mendelik kepada Adira juga.
“Ed, ayo balik. Jangan kayak gini!” Adira meraih tangan Edrea, namun ia hempaskan. “Edrea, urusan gue udah selesai. Lo ga perlu ikut campur.”
“Kala ngga disapa tuh?” Edrea semakin sinis menatap Kalandra. Dia tak memerdulikan kalimat Adira barusan. “Sapa, dong, Dira. Itu Adek kesayangan lo juga. Sampai udah desain rumah di Tangerang, rumah masa depan dengannya. Tapi sayang, malah PHP.”
Kalandra geram. Tangannya mengepal. Dia sudah siap melayangkan tinjunya kepada Edrea, namun ditahan oleh Aneska.
“Kok lo juga ke sini?” Kini Ginela masuk ke lapangan dan langsung mengarah ke Adira. “Jadi ini ... “
“Okay, udah kumpul semua, ya?” Ucap Aneska. “Kita main 3 on 3 basket biar seru.”
Kalandra kaget. Ini tidak seperti yang Aneska ucapkan di awal. Tiga lawan tiga? Aneska awalnya berbicara bahwa strateginya adalah bermain 2 lawan 1; dirinya dan Aneska melawan Edrea. Tiga lawan tiga dengan siapa? Tanya menggunung dalam benak Kalandra.
“Gue, Kala, dan Dareen. Sementara tim lo, ya itu bertiga.” Aneska tidak mengucapkan nama Ginela dan Adira.
“Kenapa Dareen?” Tanya Kalandra.
“Lo berdua ke luar deh.” Panggil Aneska. “Perlu gue sebut nama?”
Dareen lalu ke luar dengan Kaluna yang mengekor di belakang. Dareen sebenarnya ditugaskan untuk memantau saja, sementara Kaluna dan Ginela hanya mengikuti dari belakang. Namun, kemunculan Adira tentu men-distrak Ginela, sehingga dia ikut untuk ke luar dan Kaluna semakin tak enak hati. Wajahnya penuh takut. Dia langsung menatap Ginela di sana.
“Nes, kenapa lo ngga sama Kal?” Tanya Kalandra. Dia sudah kadung heran, maka biarkan saja sambil ikuti permainan Aneska.
“Kal kan jagoan basket, ga imbang nanti mainnya.” Jawab Aneska. “Kaki lo aman kan, Dareen?” Tanyanya yang langsung mendapat respon kaget dari Dareen. Kaki Dareen kenapa? Selama 6 tahun dia menjadi PA Kalandra, tak pernah sedikitpun Dareen mengeluh soal kakinya. Namun, Kalandra menyimpan tanya itu sendiri. Dirinya adalah support system, bukan? Meskipun sebenarnya dirinya kesal kepada tiga orang dihadapannya; Adira yang lagi – lagi membohonginya, Ginela yang selalu memberikan pesan sok akrab kepadanya, dan Edrea yang telah mendelik sinis padanya. Aneska menempatkan orang yang paling ingin dia buat perhitungan dalam satu tim.
“Nes, gue minta maaf.” Ucap Ginela.
“Minta maaf soal apa?”
“Lo pasti udah tahu semuanya, ya, makanya lo begini ke gue?”
Aneska mengabaikan Ginela. Dia lalu beralih menatap Kaluna. “Menurut lo, siapa yang bakal menang? Tim gue atau mereka?”
“Nes ... ngga gini caranya.” Kaluna mencoba untuk bersikap tenang, namun semua serasa sia – sia. Aneska sudah mengambil alih semuanya. Ini memang benar – benar perang. Seolah Aneska memegang kartu AS untuk setiap masing – masing orang yang berada di sini.
“Neska, gue dan Kala—”
“Yang menang boleh melakukan apapun ke yang kalah.” Ucap Aneska memotong perkataan Adira.
Kalandra lalu tertegun. Kalimat ini. Dia sangat tahu kalimat ini.
“Tiga poin pertama, ya. Jam pulang kantor pasti pada capek.”
“Bukannya ini gue, ya, yang punya ide? Kok malah lo yang ambil alih?” Ucap Edrea, tak menerima gagasan-nya diambil oleh Aneska.
“Kan gue udah bilang kalau main tenis ngga bisa langsung ketahuan siapa pemenangnya, gue cuma ganti permainannya aja. Tapi niat lo tetap tersalurkan, kan?”
Edrea langsung terdiam. Sudah dibilang bahwa Aneska ini berbahaya. Dia bisa tahu semua pergerakan lawannya.
“Mulai aja, Kal. Jadi wasit yang adil, jangan berat sebelah.” Ucapnya sambil mendelik ke arah Kaluna dan Ginela sekaligus.
“Lo hutang penjelasan ke gue, Nes!” Bisik Kalandra. Dan Aneska menjawabnya dengan senyuman sambil mengusap pelan kepala Kalandra. Afeksi itu sontak mendapatkan pandangan dari yang lainnya. Namun, Aneska tidak peduli.
Kaluna membawa kedua tim ke tengah lapangan. Dia masih menatap Aneska. Ragu. Ingin rasanya Aneska menghentikan permainan ini, namun semua sudah terlambat.
“Oh, iya. Ini peluitnya.” Aneska melemparkannya ke arah Kaluna. Benar – benar semua sudah ia persiapkan.
Bola pun dilemparkan dan langsung ditangkis oleh Edrea. Aneska mencoba mengejar dan menyuruh masing – masing berjaga. Aneska menjaga Edrea. Dareen menjaga Ginela. Dan Kalandra menjaga Adira.
“Lo itu selalu ngerasa paling menang, ya?” Ucap Edrea sambil men-dribble. “Lo sadar ngga, bukan cuma lo yang menderita tapi Adira juga. Dia selalu lari sementara lo selalu menetap”. Edrea lalu menyikut perut Aneska, membuat pergerakan untuk menghindar dari penjagaannya.
“Itu fool, Anjing!” Bentak Kalandra.
“Kala.” Ucap Adira. Seperti sudah kebiasaan jika Kalandra mengucap kata kasar, maka Adira akan otomatis mengingatkannya. Namun Kalandra tidak peduli lagi akan hal itu.
“Kal, lo tiup peluitnya! Itu fool!” Namun ucapan Kalandra tidak digubris. Kaluna menganggap itu bukan fool. Ah, sialan!
Hal itu menjadi kesempatan untuk Edrea yang langsung mengoper kepada Ginela dan ia pun mencetak skor. “Bagus juga lo mainnya, hm ... siapa tadi lupa gue?”
“Ginela. Panggil aja Gin.” Lalu, Edrea melafalkan huruf O di mulutnya tanpa suara.
Permainan diambil alih oleh tim Edrea. Aneska wajahnya semakin pucat. Demamnya pasti belum turun tetapi dia sudah sok jagoan mengajak Kalandra bermain basket sebelum ini, lalu sekarang malah bermain tiga lawan tiga.
“Lo kan tentara, fisik lo bagus. Lo yang nyerang dong!” Ucap Aneska kepada Dareen. Dari mana Aneska tahu tentang ini? Daftar pertanyaan semakin menumpuk di benar Kalandra.
Dareen pun langsung mengambil bola dan melewati dua pemain sekaligus. Porsi tubuhnya yang tinggi besar, tak mampu dilawan oleh Adira dan Edrea. Dan Dareen pun mencetak skor.
“Neska, ini sudah satu sama. Udah, ya. Lo juga ngga—”
“Lanjut, Ren! Jangan kasih kendor!” Aneska lagi – lagi memotong ucapan Adira.
“Nes, yang Dira bilang benar, lo lagi demam.” Ucap Kaluna. Aneska yang awalnya sedang berlari, kemudian berhenti. Dia lalu mendekati Kaluna.
“Lo mau berpihak ke dia? Kayak Gin?” Ucap Aneska sinis. Dia kemudian langsung berlari kembali, tanpa menunggu respon dari Kaluna. Kalandra mengira perang ini untuk membalaskan rasa kesalnya, namun ternyata bukan. Ini untuk Aneska. Dia ingin membalas satu per satu mereka yang ada di sini.
BUGG
Bola melambung tinggi dan mengenai wajah Aneska. Dia memang sudah semakin lelah, namun tetap memaksakan. Dia pun kini terduduk di lantai.
“Neska, lo ngga apa – apa, kan? Wajah lo memar, terus lo demam juga. Udah, Neska. Udah ... kalau lo marah ke gue, lampiasin ke gue aja. Jangan begini. Edrea ... ini salah gue, gue yang salah. Gin juga ... ini salah gue. Gin ga pernah berpihak ke gue. Dia tetep temen lo.” Ucap Adira. Dia sebisa mungkin terus berbicara agar tidak dipotong atau disanggah oleh Aneska kembali. Namun, Aneska tidak peduli. Dari awal Adira datang, Aneska sama sekali tidak menganggap Adira itu ada.
Aneska pun bangkit, namun tubuhnya gontai dan dipeluk oleh Adira. “Dek, udah .. ya, salahin Kakak aja. Pukul Kakak, marahin Kakak, biar Adek tenang. Biar Adek ...” Ucapan Adira terhenti ketika Aneska menatapnya dengan tajam. Kalandra langsung menjadi takut. Bulu kuduknya bergidik. Kalandra pernah lihat Aneska seperti ini saat SMA dulu. Tak pernah Kalandra mengira akan melihat tatapan Aneska yang seperti ini lagi.
“Satu lagi dan kelar!” Ucap Edrea. Dia pun ingin segera menghentikan semua ini, sebelum kejadian yang tidak diharapkan terjadi.
“Nes.” Kalandra memberanikan diri untuk mencoba menghentikan Aneska juga. Semua sudah cukup.
“Jika sebuah bola ini beratnya 620 gram dan kelilingnya 77 cm, berapa momen Inersianya?” Ucap Aneska.
Shoot!
Bola pun masuk.
Semua tertegun karena semua begitu cepat. Aneska baru saja tadi terjatuh karena lemparan bola. Lalu, operan diberikan oleh Dareen dan dia langsung mencetak skor di kotak tiga angka. Aneska sudah mempersiapkannya. Dia hanya sedang menunggu momen dan ketika saat itu tiba, dilayangkanlah lemparan tepat ke arah ring.
“Apa yang terjadi ketika sedang melaju cepat, lalu dihentikan secara tiba – tiba? Pada saat itulah ia sedang mempertahankan pergerakannya.” Timpal Aneska. Dia menghembuskan nafasnya kasar. “Itu adalah momen Inersia. Dan yang gue lakuin sekarang adalah mempertahankan ini. Semuanya.” Aneska lalu memegangi kepalanya. Tubuhnya mulai limbung.
Kaluna dengan cepat ingin memegang tubuh Aneska, namun ia larang. “Silakan Kala dan Dareen ada yang mau dilakukan ke mereka bertiga?” Ucap Aneska. Timnya menang. Namun semua serasa sunyi, hening, dan hampa. Kalandra dan Dareen hanya ikut terdiam.
“Yaudah gue aja kalau begitu.”
“Aneska!” Ucap Edrea. “Tempat lo sekarang itu milik Adira. Bukan milik lo. Bahkan Kalandra itu seharusnya dijodohkan dengan Adira. Lo mempertahankan apa tadi yang lo bilang? Dari sejak awal itu bukan punya lo! Lo bukan mempertahankan tapi merebut!” Tegas Edrea. Dia yang merasa ini seharusnya menjadi panggung-nya, namun sorot utama malah menjadi milik Aneska.
“Edrea!” Bentak Adira. “Dek ... jangan lampiasin ke Edrea apalagi Gin, ke gue aja, ya.” Ucap Adira mencoba untuk setidaknya melembutkan hati Aneska.
“Dek?” Ucap Aneska. Senyumannya menyeringai. Ini adalah kali pertama Aneska merespon ucapan Adira selama berada di tempat ini. “Apa lo pantas manggil gue begitu? Apa lo pantas bilang diri lo Kakak?”
“Aneska, udah!” Kaluna mencoba menengahi.
“Lo juga sama aja kayak Gin. Gue udah bilang kan ke lo, Kal, jangan pernah coba khianati gue!” Aneska mendekat kepada Kaluna namun terhalangi oleh Dareen.
“Lo mau dorong gue? Mau melintir tangan gue lagi? Atau mau ... Well, lama juga ya sampai 6 tahun nunggunya. Gue tunggu aksi lo, Dareen!” Tunjuk Aneska kepada wajah Dareen. Kalandra malah semakin bingung, ini sebenarnya ada apa.
“Lo sekarang malah nuduh semua orang, ya? Kalau lo begini terus, lo cuma berakhir sendirian. Semua akan capek sama lo karena lo ga pernah percaya sama siapapun!” Tegas Edrea.
“Kala, kalau mau diomongin ke semuanya, gue tunggu di luar, ya.” Ucap Aneska. Dia tak lagi memperdulikan yang lain. “Bebas lo mau ngapain ke mereka bertiga. Gue serahin sama lo, Sayang.” Tambahnya sambil mengusap pipi Kalandra. Dia lalu pergi meninggalkan lapangan. Tak ada yang mengejarnya, semua larut dalam pikiran masing – masing.
“Kalandra.” Suara Adira memecahkan keheningan. “Aku mau minta maaf. Aku ngga bermaksud buat ngebohongin kamu lagi.”
“Udah, ya, Adira. Semua udah cukup kok.” Kalandra pun tak ada keinginan untuk melakukan apapun pada tim yang kalah. Dipikirannya sekarang adalah ingin segera menyusul Aneska. Berlari kepadanya.
“Anes.” Panggil Kalandra. Aneska tengah duduk di depan lapangan tenis. Dia tengah memegangi kepalanya. “Anes, sakit, ya?”
Aneska menggeleng. “Lo itu kenapa sih sok jagoan?! Udah tahu masih sakit!” Pukul Kalandra ke lengan Aneska. Pukulannya tidak kuat, namun cukup membuat Aneska kaget.
“Biar lo ga kesel lagi.”
“Ngga gini caranya. Lo itu nyebelin banget!” Kalandra sudah siap mengayunkan pukulan lagi, namun tangannya langsung dipegang oleh Aneska. Dia lalu mendaratkan kepalanya ke bahu Kalandra.
“Kala.”
“Nes, lo panas banget.”
“Kalandra.”
“Anes, kita ke rumah sakit—”
“Kala.” Panggilnya lagi. Tangannya menggenggam tangan Kalandra. “Jangan pernah pergi dari gue, ya. Jangan pernah khianati gue. Kalau capek sama gue, bilang ya? Gue akan lebih baik lagi.” Ucap Aneska lirih. Kalandra terdiam, dia merasakan panas tubuh Aneska yang turut mengalir ke tubuhnya.
“Rotasi gue ada di lo, Kala.” Pungkas Aneska.
[]