petrichorgreeny

Sungguh tak asing bagi Nanta dengan segala isi dan tata letak di rumah ini. Sebelas tahun lalu, Naya membelinya sebagai rumah bersama bagi dirinya dan Nanta. Dahulu, namun kini tak lagi sama.

“Papa dimana, Yah?” tanya Aru di ruang TV. Rumah begitu sepi. Kata Pak Satpam, hanya ada Naya di dalam.

“Mungkin di kamarnya. Ayah lihat dulu, ya.”

“Aru ikut.”

“Aru,” Nanta mendudukkan Aru ke sofa ruang TV. “Papa sedang demam, nanti takut menularkan ke kamu. Biar Ayah lihat dulu, ya.”

Aru mengangguk paham. Nanta pun naik ke lantai dua. Di sana terdapat kamar Naya dan kamar Aru. Nanta lalu membuka kamar Aru terlebih dahulu, siapa tahu Naya ada di sana.

“Tidak ada,” ucap Nanta bergumam sendiri. Dia lalu menatap pintu kamar yang berhadapan dengan kamar Aru. Kamar Naya. Dulu, itu kamar dirinya dan Naya. Dahulu, yang kini tak lagi sama.

Dengan langkah pelan, Nanta mendekati kamar itu. Dia menghela nafas dalam. Masih tidak mudah meskipun sudah 5 tahun berlalu.

Tok tok

Nanta mengetuk pintu kamar Naya. Tak ada jawaban. Nanta pun mengetuk kembali, namun sambil memanggil Naya. Dan masih tak ada jawaban lagi. Nanta akhirnya memutuskan untuk masuk ke kamar, namun sebelumnya, ia kembali menghela nafas dalam— dan panjang.

“Nay—” Ucapan Nanta terhenti ketika Naya sudah tertidur— entah pingsan— di lantai sambil bersandar ke sisi ranjang tidurnya. Dan di depan Naya sudah ada dua botol kosong minuman alkohol. Naya pasti menghabiskannya sendirian. “Naya, bangun. Naya!” panggil Nanta. Mencoba memastikan keadaan Naya.

“Aru ... Arunika.” Naya bergumam meski matanya masih terpejam. Badannya sangat dingin, namun keringat sudah sangat bercucuran membasahi kemejanya.

“Aru ada di bawah. Dia tidak mungkin melihat kamu dalam keadaan sakit dan mabuk seperti ini, Nayanika.” Ada sedikit geram dalam ucapan Nanta. Mereka berdua sudah berjanji untuk tidak mabuk di depan Aru. Nanta pun lalu mengangkat Naya dan menidurkannya di ranjang. Ranjang tidur yang dulu ia dan Naya tempati bersama. Dahulu, ketika semua masih sama.

Nanta lalu membereskan botol minuman dan gelas di lantai. Menyembunyikannya agar tidak terlihat oleh Aru nantinya.

“Saya bilang dulu ke Aru ...” Nanta tak melanjutkan perkataannya. Dia lalu menatap Naya yang sedang menarik kecil fabrik celana Nanta. Mata Naya sudah terbuka, ia seperti sedang bergumam. Suaranya tak terdengar. Nanta yang tengah berdiri, lalu duduk di atas ranjang— samping Naya yang sedang berbaring.

“Kenapa, Naya? Ada yang sakit?” Nanta lalu mendekatkan telinganya ke mulut Naya, ia ingin mendengar gumaman yang Naya ucapkan dengan jelas.

Cin ... ta.”

Nanta langsung mengerjap seketika ketika Naya mengatakan itu. Dia lalu buru-buru berdiri.

“Sa—Saya ... ke Aru dulu ...” Nanta terbata-bata, dia hendak pergi namun tangannya ditahan oleh Naya.

“Di sini ... Tolong di sini ... Saya sakit, Nanta.”

Bayang masa lalu seakan menghantam dirinya sekarang. Suara itu. Pegangan tangan itu. Dahulu pernah, dahulu pernah terjadi juga. Ia yang tengah sakit, meminta Nanta untuk menemani. Namun, sekarang tidak bisa. Semua sudah berubah.

“Naya, Aru di bawah. Dia mungkin sedang khawatir menunggu bagaimana keadaan kamu dari saya.”

Nanta harus tegas. Ia lalu melepaskan tangan Naya. Tak lagi ia melihat ke belakang meskipun ia mendengar Naya bergumam memanggil namanya. Setidaknya ia harus ke Aru dulu.

“Sayang—”

“Gimana Papa, Yah?” Terlihat wajah Aru yang sangat cemas langsung berdiri ketika Ayahnya turun dari tangga.

“Papa sedang demam, Aru ke kamar, ya.” ucap Nanta. Tidak mungkin Aru melihat Papanya sedang mabuk seperti itu. Dan demam Naya pun ditakutkan menular kepada Aru.

“Tapi Papa lagi sakit. Ayah mau temani Papa dulu?”

Pertanyaan sulit. Sulit untuk ditolak.

“Iya, Ayah temani Papa.”

“Makasih, Ayah.” Aru langsung memeluk tubuh Nanta. Berterimakasih kepada Ayahnya yang mau menjaga Papanya.

Mereka lalu menaiki tangga. Nanta dan Aru berpisah. Aru ke kamarnya dan Nanta kembali ke kamar Naya. Nanta pun kembali dengan pergolakan batinnya yang sempat terdistraksi karena harus memberitahukan Aru tentang keadaan Naya.

Nanta membuka pintu. Tampak di sana Naya sedang tidur menyamping. Tubuhnya menggigil dengan keringat yang semakin bercucuran.

“Naya, baju kamu basah.” ucap Nanta duduk di samping Naya.

Naya langsung meraih fabrik kemeja Nanta. Ia meremasnya dengan sisa energi yang ia punya.

“Kenapa ... Kenapa selalu pergi ketika saya sedang sakit?” Nanta pun tertunduk. “Cin ... ta,”

No! Jangan ... Jangan katakan itu, Naya.” Nanta pun langsung menatap tajam ke arah Naya yang sedang menahan dingin. Giginya saling beradu. “Saya naikkan suhu AC-nya.” Nanta meraih remote AC dan menaikkan suhunya. Biasanya Naya selalu memasang di suhu 19, namun dengan keadaan badan yang menggigil seperti ini, justru akan memperparah demamnya.

“Di 23, ya?” ucap Nanta merujuk kepada suhu AC kamar Naya sekarang.

Cinta,” Nanta malah lebih terkesiap. Kepala Naya sudah ada di pangkuan Nanta. Tangannya melingkar di pinggang Nanta.

“Jangan ... Jangan seperti Naya.” Nanta lekas melepaskan itu semua. “Lihat saya, Naya. Kamu harus sadar di depan kamu ini siapa?” Nanta berusaha menyadarkan Naya. Ia tahu Naya sedang demam tinggi— dan juga mabuk. Dia bisa saja tidak ingat apa yang ia lakukan pada Nanta sekarang.

“Nanta ... Lokananta Hadiyata ...” ucap Naya tersengal-sengal mengatakan nama lengkap Nanta. “Cinta.”

“Nayanika!” Kali ini suara Nanta meninggi. “Saya bawa kamu ke rumah sakit.”

“Saya ... sakit, Nanta. Saya butuh ... kamu.”

Dada Nanta tiba-tiba sesak dan nyeri.

“Kamu butuh Aru.”

“Kamu.” ucap Naya. Dia mencoba meraih Nanta kembali. “Saya butuh kamu, Cinta.”

Dan air mata Nanta pun turun seketika.

“Jangan panggil begitu.”

“Kenapa?”

“Hm ...”

“Malu?”

“Nggak.”

“Lalu?”

“Aku deg-degan kalau dipanggil begitu, Kak.”

“Cinta ... Nanta ... Tuh mirip, 'kan?”

“Kak, udah!”

Nanta menutup kedua wajahnya dengan kedua tangannya. Tangisnya semakin tak terkendali. Percakapan itu. Suara percakapan itu terdengar begitu jelas di pikirannya sekarang. Dan hanya membuat hatinya semakin sakit. Sebab, semua tak lagi seperti dulu.

“Ta ...” Suara pelan itu terdengar memecah tangisan Nanta. Ia melirik ke sebuah tangan yang sedang meremas fabrik celananya kembali. “Maaf ... Maafkan saya ... Saya selalu melampiaskannya kepada kamu. Padahal ... itu pun bukan sepenuhnya salah kamu.”

Pergolakan batinnya pun berakhir. Nanta tak lagi bisa mengendalikannya. Ia lepaskan semua yang daritadi menahannya. Ia lalu berbaring tepat disamping Naya. Menarik tubuh Naya untuk mendekat dengan tubuhnya. Semakin dekat. Menjadi sebuah pelukan yang sangat erat.

“Ta ...”

“Hm?”

“Saya ... rindu.”

Kalimat yang mungkin hanya Naya katakan saat dia sedang demam tinggi— dan mabuk seperti ini. Nanta tahu hal itu. Naya ketika sadar begitu kaku, dingin, dan selalu penuh amarah kepadanya. Namun, kini dihadapannya, Naya begitu rapuh dan terluka— sama sepertinya.

Cinta,”

Kali ini Nanta membiarkan Naya memanggilnya seperti itu lagi— yang mungkin hanya akan dia ucapkan ketika ia sedang demam dan mabuk. Wajah mereka pun semakin dekat. Nafas hangat milik Naya mulai terasa di pipi Nanta. Lalu, ia merengkuh wajah Nanta, membuatnya menutup mata.

Dan kini, bibir mereka pun saling bertautan.

Manis.

Nanta tak pernah tahu. Bahkan setelah 5 tahun berlalu, rasa itu masih sama— meskipun keadaan sudah berbeda.

[]

Ayah

[Adiwangsa]

Bagi Kalandra, sosok Ayahnya adalah sosok yang luar biasa. Seolah Ayah yang baik, penyayang, dan sempurna. Kalandra menjadikan Ayahnya sebagai role model dan bercita-cita ingin menjadi seperti Ayahnya kelak. Menjadi seorang suami dan ayah yang sayang keluarga serta menjadi anggota dewan terhormat— penyambung suara rakyat.

Namun, kini semua berubah.

Mendapati Ayahnya adalah seorang koruptor serta terdakwa tindakan suap, tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Hidupnya yang sudah sangat sempurna, berubah 180 derajat. Semua harta milik Ayahnya disita oleh negara dan Kalandra terpaksa menjual apartemennya untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya, Mamanya, dan Diandra.

“Kenapa, Dad?” tanya Kalandra di hadapan Ayahnya yang sedang memakan bekal yang Kalandra bawakan. Bukan buatannya tentu saja, tetapi melihat Ayahnya begitu lahap, Kalandra sadar bahwa Ayahnya kangen masakan rumah.

“Kenapa apanya, Sayang?”

“Kenapa Dad memilih jalan ini?”

Sampai detik ini pun Kalandra tak pernah mengerti. Mengapa sebaik Ayahnya ternyata tergiur akan nikmatnya jabatan dan harta— yang bukan haknya?

“Aku cuma belum ngerti aja.” jawab Kalandra sambil memutar-mutar jemarinya di atas meja.

“Kalandra,” Ayahnya meletakkan bekal yang Kalandra bawa di atas meja. Lalu ia menggenggam tangan Kalandra.

Dad pernah ngga sekali aja ngerasa bersalah? Pernah ngga?” Mata Kalandra telah berkaca-kaca. “Banyak, Dad. Banyak yang udah aku korbankan. Aku benar-benar sudah kehilangan semuanya.”

“Maaf, Kalandra. Maafkan Dad.” ucap Ayahnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca pula. “Dad mengaku salah. Dad terlalu ingin mempertahankan posisi itu hingga ... Hingga memakai cara yang tidak baik.”

Kalandra membuang mukanya. Dia bahkan sudah menduga bahwa tangisan Ayahnya itu mungkin hanya akting belaka. Seperti yang dia lihat di media. Di mana Ayahnya sering berpura-pura sakit, menyuap sipir penjara agar mendapatkan fasilitas mewah, dan banyak lainnya.

Dad,” panggi Kalandra. Ia menghembuskan nafas yang dalam seolah sedang mengeluarkan segala sesak di dadanya. “Habiskan waktu Dad dengan benar di sini. Aku, Mom, dan Iyan tunggu Dad di rumah. Dan aku berharap, setelah ini semua ... Dad bisa benar menjadi Dad yang baik. Bukan pura-pura. Tapi memang benar-benar baik.” ucap Kalandra.

Ayahnya menunduk.

“Dan aku tak akan mau menjadi seperti Dad lagi.”


[Naratama]

“Dareen,” Mamanya datang memeluk Dareen ketika ia datang mengunjungi Ayahnya. Mama. Wanita yang begitu penurut kepada suaminya. Saking penurutnya, ia selalu setuju akan keputusan suaminya. Termasuk menukar Dareen dengan Danise. Dan kini ia dipeluk olehnya. Dareen tak lagi bisa merasakan apa-apa.

“Aku mau ketemu Ayah.” ucap Dareen singkat. Aneh. Rasanya aneh ketika Mamanya memeluknya.

Dareen lalu memasuki sebuah ruangan. Di sana ada Ayahnya yang sedang terduduk. Wajahnya lesu dengan janggut dan kumis yang tumbuh tak beraturan. Mereka hanya saling bertatap tanpa ada kata.

Dareen sekarang berhadapan dengan Ayahnya. Ayah yang lebih sering memukulnya daripada bicara dengannya. Dia yang lebih mementingkan karir militernya daripada anaknya sendiri. Dia ... Sudahlah, Dareen bahkan tak ingat lagi luka apa yang Ayahnya torehkan kepadanya.

“Ayah,” Dareen memberanikan diri untuk berbicara. Teringat saat Dareen datang menghadapi Ayahnya untuk membatalkan pertunangannya. Ia didera siksa sampai akhirnya terjadi kesepakatan. Dareen menukar informasi Merau kepada Ayahnya dan sebagai imbalan, Ayahnya akan memberikan orang itu padanya. Orang yang telah menanamkan trauma pada Aneska. Namun ternyata ia dibohongi. Ayahnya tak pernah menepatinya. Dareen beberapa kali merutuki dirinya yang terlalu naif waktu itu.

“Aku meniru Ayah.” ucap Dareen yang langsung menatap tajam kepada Dareen.

“Ayah pernah bilang setiap kali di acara musyawarah partai bahwa pria sejati selalu menepati janjinya. Dan aku ... aku meniru Ayah.” Dareen menegakkan wajahnya, tak perlu lagi ia harus takut kepadanya. “Dengan menjadi pengkhianat.”

Terlihat Ayahnya sudah mengepalkan tangannya. Menahan amarah.

“Banyak di dunia ini yang mendapatkan Ayah yang baik dan penyayang, tetapi mengapa aku tidak terpilih?” Mata Dareen mulai berkaca-kaca. Hingga usianya yang hampir 30 tahun ini, tak ada setitik pun rasa sayang yang ia dapatkan dari Ayahnya.

“Ada yang mau Ayah bicarakan?” tanya Dareen.

Dan Ayahnya malah membuang muka.

“Baik. Terima kasih, Ayah. Terima kasih sudah mengajarkan aku untuk menjadi pengkhianat.” ucap Dareen dengan tangan yang mengepal. Dia sudah bertekad.

“Dan aku tak akan lagi menjadi seperti Ayah.” pungkasnya.


[Dewandaru}

Sebagian orang mungkin menganggap bahwa perceraian orang tua adalah pilu dan kesedihan. Tetapi tidak dengan Aneska. Di ruang sidang ini, Aneska mungkin jadi orang yang paling bahagia. Akhirnya Mamanya bebas.

“Nanti anterin Mama pulang, ya.” ucap Aneska setelah selesai persidangan.

“Lo mau kemana dulu, Dek?” tanya Adira.

“Neska mau ketemu Papa?” tanya Tante Karina. Aneska pun mengangguk.

Dan sekarang pada sebuah ruang tunggu persidangan, Aneska tengah duduk disamping Papanya.

“Langsung aja, Pa.” Aneska sudah malas berbasa-basi. Dia ingin segera keluar dari ruangan ini. Dia lalu memberikan berkas kepada Papanya. Dan juga pulpen. “Tanda tangan, Pa.”

“Ini apa, Neska?” tanya Papanya. Dia lalu membaca sebuah surat pernyataan pengunduran dirinya yang sudah mendapatkan lebih dari 100 tanda tangan termasuk tanda tangan Omanya.

“Oma juga sudah tanda tangan?”

“Iya,”

Papanya berdiri. Memandang Aneska dengan tajam. “Kamu pasti memaksanya, kan? Apa yang kamu tawarkan ke Oma?”

Aneska lalu ikut berdiri. Dia membisikkan sesuatu kepada Ayahnya. “Karma, Pa.”

“Aneska!” Papanya langsung berteriak dan membuat dua petugas masuk kedalam ruangan. Aneska memberi tanda untuk jangan dulu mendekat. Biarkan urusan ini dan Papanya, ia selesaikan dahulu.

“Aku akan jadi CEO, Pa. Keren, ngga?” ucap Aneska sinis. “Aku kasih tahu ke Oma kalau yang melaporkan Papa adalah Tante Widuri. Hebat, ya, aku?” tambah Aneska sambil tersenyum.

“Jadi Pa,” Aneska lalu mengusap bahu Papanya seolah sedang membersihkan dari debu— yang tidak ada, tentunya. “Renungi kesalahan Papa di sini dan biarkan aku yang naik tahta. Lalu, kalau Papa ngga mau tanda tangan pun ngga apa-apa kok. Sudah lebih dari 80% menyatakan setuju bahwa Adnan Dewandaru harus mundur dari jabatannya.” ucap Aneska.

“Dan satu lagi, makasih udah lepasin Mama, Pa. Bahagia juga untuk Papa.” Aneska pun berlalu, dia sudah selesai dengan urusannya.

“Aneska,” panggil Papanya. “Kamu nanti akan seperti Papa. Ketika kamu duduk disana, kamu tak akan bisa menahan godaan kekuasaan itu, Neska. Kamu—”

“Bukan. Aku bukan Papa. Dan tidak akan pernah seperti Papa.”

[]

Menemukannya

Babak 1

“Tae,” Ji memanggil Taehyung yang sedang memakan es krim di atas ayunan yang berada di sampingnya.

Hari ini Ji mengajak Taehyung untuk ke taman— taman yang sebenarnya tidak terlalu menyimpan memori indah bagi keduanya. Di ingatan Ji, mereka pernah bersitegang dengan Taehyung di sini. Ji datang menjemput Taehyung yang lari karena tidak mau bertemu Ayahnya. Dan Taehyung ternyata sedang bersama Hobi di taman itu— yang dalam ingatan Taehyung adalah pacarnya sekarang.

“Berangkat jam berapa?” Ji melanjutkan perkataannya. Besok merupakan hari terakhir Taehyung di sini. Ia harus kembali ke Jerman karena sedang studi S1 di sana.

“Jam 10 malam.” jawab Taehyung.

Ji mengangguk. Dia memandangi Taehyung dari samping. Tidak, Tae. Ji menggelengkan kepalanya mengusir pikiran yang menyesakkan. Seingat Ji, Taehyung adalah pacarnya, dia bukan pacar Hobi.

“Tae, inget ngga kalau kita pernah pergi ke amusement park terus naik kora-kora dan kamu ketawa tapi nangis sambil pegang tangan aku?” ucap Ji memulai cerita. Dia hanya ingin tahu apakah Taehyung benar-benar memiliki ingatan yang sama dengannya.

“Bukannya aku naik kora-kora sama Hobi, ya?”

Bukan. Bukan dengan Hobi, Tae.

Ternyata memang ingatannya berbeda.

“Tae, hati-hati, ya. Maaf kalau selama ini kamu yang lebih banyak ngalah dan berjuang. Padahal kamu lagi studi di sana, tetapi selalu nyempetin buat hubungi aku. Walaupun kita mengalami perbedaan waktu, kamu rela begadang buat nemenin aku ngerjain tugas dari sana.” Ji menunduk, tangannya ia remas. “Maaf aku selalu egois.”

“Ji, kamu kenapa?”

“Aku ...” Ji nampak belum bisa melanjutkan kata-katanya. Seperti ada sekat di lehernya. “Aku ingin kembali ke kamu, Tae. Kepada kamu yang selalu sayang sama aku.”

Ji akhirnya berdiri berhadapan dengan Taehyung. Sementara, Taehyung masih duduk di ayunan menatap bingung kepada Ji.

“Maaf, Taehyung. Aku akan lebih baik lagi. I love you.” Ji pun semakin mendekatkan dirinya kepada Taehyung. Menatapnya dalam.

Lalu, cup! Ji mengecup bibir Taehyung dengan pelan.

Aku akan menemukan kamu di manapun. Kamunya aku.


Babak 2

Dokjim pernah merasa segila ini, dulu ketika Taehyung-nya benar-benar dekat dengan seorang dokter gigi di desa tempat Taehyung tinggal. Dokter Mingyu. Yang di mana dalam ingatan Taehyung sekarang adalah suaminya. Kini, Dokjim mempertaruhkan semuanya untuk menemukan Taehyung-nya.

“Untuk apa Pak Dokter Jimin ke sini?” seorang wanita bernama Joy bertanya sinis kepada Dokjim. Ia adalah guru TK sekaligus teman Taehyung.

“Bertemu Taehyung.” jawab Dokjim.

“Masih punya nyali—” Ucapan Joy terhenti ketika Hoseok, rekan sesama gurunya, menahan mulut Joy.

“Pateh-nya ada di ruangannya, Dok.” jawab Hoseok. Pateh adalah Pak Taehyung. Nama yang selalu diucapkan murid-murid Taehyung ketika memanggilnya— dan malah menjadi panggilan Taehyung di Desa Inha.

Dokjim lalu masuk ke ruangan Taehyung. Ruang ketua yayasan. Taehyung langsung memberikan tatapan tidak suka kepada Dokjim.

“Untuk apa, ya, jauh-jauh kemari?”

“Taehyung sayangnya Jimin.” Itu adalah panggilan dari Dokjim untuk Taehyung. Dokjim sangat rindu kepada pria di depannya itu.

“Pak Dokter, maaf sekali. Tetapi saya mohon jangan seperti ini. Saya sudah menikah—”

“Maaf, Taehyung. Maafkan aku yang selalu egois dan membebani kamu.” Dokjim mengucapkan dengan nada yang getir. “Dari awal kita dekat, pacaran, sempat putus, lalu bersama lagi, selalu kamu yang berusaha. Bahkan sampai kita sudah menikah pun kamu yang selalu mengerti aku. Aku egois, ya, Tae.”

“Jimin ...” Suara Taehyung menjadi lirih. Dokjim tak dapat lagi menahan tangisnya. Air matanya sudah mengalir membasahi pipinya.

“Maaf, Tae, maaf ... Aku mohon kembali.”

Dokjim langsung menarik pinggang Taehyung. Merengkuh wajahnya.

“Aku sayang kamu, Tae.” Dan sebuah ciuman pun mendarat di bibir Taehyung.

Jika kamu tak kembali, maka aku yang akan menemukan kamu.


Babak 3

“Sebentar, ya, Pak Jimin, Pak Taehyung masih rapat.” ucap Sana. Salah satu staf Taehyung di dinas kesehatan. Masben mengangguk paham. Dia harus membulatkan tekadnya— menyuruh Boss pulang ke rumah. Dia pergi ke tempat kerja Taehyung dengan memakai stelan andalannya; celemek beruang dan kacamata hitam— hadiah dari Boss-nya, Taehyung.

Setelah menunggu lebih dari satu jam, Taehyung pun keluar dari ruang rapat. Masben langsung berdiri sigap. Taehyung tampak kaget, meskipun begitu ia tetap memasang wajah tenang.

“Maaf, Pak, sudah membuat menunggu lama.” ucap Taehyung dengan senyuman yang seperti dipaksakan. “Berbicaranya di ruangan saya saja, Pak.” Masben pun mengekor dari belakang.

“Pak Jimin, saya kan sudah bilang jika ada yang ditanyakan silakan ke Bu Dahyun—” Belum sempat Taehyung menyelesaikan kalimatnya, Masben langsung menubruk tubuh Taehyung dan memeluknya dengan erat.

“Boss, saya berjanji tidak akan keluyuran malam lagi. Sudah latihan voli, saya langsung pulang. Saya juga akan mengurangi kegiatan di RW, jadi nanti bisa lebih banyak waktu bersama Boss. Maafkan saya, Boss. Saya pantas dihukum!” Masben memeluk seakan tak mau dilepaskan.

“Pak Jimin! Mohon jangan bersikap keterlaluan seperti ini!!” bentak Taehyung yang merasa tidak nyaman dengan perlakukan Masben.

“Boss jangan marah lagi. Saya ... Saya akan menurut kepada Boss. Saya akan sering bersama Boss.” Masben tetap memeluk Taehyung meskipun ia sudah mulai memberontak.

“Pak Jimin jika anda seperti ini, saya panggil satpam!” tegas Taehyung.

Masben akhirnya melepaskan pelukannya. Namun, ia langsung membuka kacamata hitamnya dan menyudutkan Taehyung ke tembok. Ciuman pun langsung mendarat ke bibir Taehyung.

Boss harus pulang, saya kangen. Saya kangen mau ketemu Boss.


Babak 4

Biru masih berdiri di depan ruang gawat darurat. Bukan. Dirinya tidak sakit. Tetapi dia tengah menunggu seseorang.

“Lo ngapain sih?” Jingga datang menghampirinya masih dengan menggunakan jas dokter. “Gue lagi jaga.”

“Jingga udah selesai jaga dari jam 8. Biru tahu kok.”

Ucapan Biru barusan langsung mendapatkan tatapan sinis dari Jingga.

“Jingga, ngobrol sebentar boleh?” pinta Biru.

Dengan langkah malas, Jingga membawa Biru ke taman samping RS. Di sana sepi dan tidak terlalu banyak orang.

“Mau ngomong apa?” tanya Jingga ketus.

“Jingga, Biru minta maaf, ya. Biru banyak salah ke Jingga. Biru manja banget dan kadang ga mau ngertiin Jingga.” Biru menunduk sambil mengusap kedua tangannya ke paha. “Jingga pasti capek, ya, sama Biru, makanya Biru sampai berada disini.”

“Lo ngomong apaan sih, Biru?” Jingga melihat kiri dan kanan. Seolah takut ketahuan seseorang. “Gue ga mau ribut lagi dengan Bintang dan Bumi gara-gara lo. Please, jangan begini!”

“Jingga ...” Suara Biru tertahan di udara. “Biru mau ketemu Jingga.”

“Iya, ini kan udah ketemu.”

“Ketemu Jingganya Biru.” ucap Biru. Dia lalu mencium bibir Jingga sekilas. “Biru mau ketemu Jingga.”

“Biru, maksud lo apa—”

Biru tak lagi bisa mendengar apa-apa. Pandangannya gelap. Ia langsung mengantuk hebat dan bersandar pada dada Jingga.

Biru akan ketemu Jingga; Cahaya Jingganya Langit Biru.


Babak 5

Kalandra tak pernah merasa secengeng ini. Namun, ketika ia melihat Aneska terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit, hatinya benar-benar terluka.

“Mas,” panggil Kalandra perlahan. Ia mengusap tangan Aneska. “Aneska yang Kala kenal itu anak bandel, tengil, seneng ngerjain, seneng becanda, bukan ...” Air mata Kalandra pun tiba-tiba mengalir. “Bukan seperti ini.”

Aneska hanya tertidur dengan hidung yang terpasang oleh selang oksigen.

“Maafin Kala, Mas. Kala kadang terlalu emosional. Ngga pernah mencoba memahami dari sudut pandang Mas.”

Kalandra lalu naik ke atas ranjang rawat Aneska. Ranjangnya lumayan besar dan luas.

“Kala mau peluk Mas.” ucapnya. Dia membawa Aneska ke dadanya. “Mas ngga akan kalah seperti ini. Yang Kala tahu ... Mas itu pemenangnya. Mas kuat. Ayo bangun, Mas.”

Nafas Aneska terdengar tersengal-sengal. Kalandra memandang Aneska dengan lekat-lekat. “Mas Anes, maafin Kala. Kala mau pulang, ngga mau di sini. Mau ketemu Mas.”

Kalandra menangis. Air matanya terus mengalir. “Kala cinta sama Mas.” Dan Kalandra pun mengusap pipi Aneska. Membawa wajahnya lebih dekat. Lalu, mencium bibirnya dengan lembut dan pelan.

Kalandra akan selalu bisa menemukan Aneska.

[]

Segalanya

Dengan sisa nafasnya yang sudah tersengal-sengal, Aneska kini berada di depan pintu Apartemen Kalandra. Ia tahu password-nya. Apartemen Kalandra sudah seperti rumah kedua baginya— dan mungkin sekarang tak akan lagi dapat seperti itu.

Aneska berhasil membuka pintu apartemen. Dadanya sudah ingin meledak. Entah apa tujuannya datang ketika ide untuk mengakhiri semua ini berasal darinya. Kalandra sudah melakukan apa yang Aneska inginkan, secara tidak langsung Kalandra sudah memilih dirinya. Namun, ternyata semua di luar yang Aneska prediksi. Ia terlalu jumawa merasa bisa mengendalikan semuanya, tetapi kali ini ia meleset. Kalandra dan pilihannya yang tak pernah ia duga sebelumnya.

Aneska kaget ketika melihat hampir tidak ada apa-apa di apartemen. Yang ada hanya beberapa dus yang sudah diisi barang-barang Kalandra dan itupun tidak banyak. Sampai pada satu titik, Aneska melihat sebuah dus yang di dalamnya banyak berkas dan satu buah papan bertuliskan “Kalandra Adiwangsa – CEO”. Kalandra tidak berbohong ketika ia mengatakan bahwa ia telah kehilangan segalanya.

“Kalandra,” panggil Aneska. Ia segera ke kamar Kalandra. Dan di sana ia melihat Kalandra tengah terduduk sambil bersandar ke ranjangnya. Ia menunduk sembari memeluk kedua kakinya. Di kamarnya pun hampir tak ada apa-apa lagi, selain ranjang dan lemari.

“Kalandra,” panggil Aneska kembali. Kali ini lebih lirih dan sendu. “Kala sayang.” Aneska ikut terduduk. Hatinya ikut hancur. Bahkan sudah berkeping-keping melihat Kalandra yang terdiam. Ia tidak lagi menangis. Mungkin sudah habis air matanya.

“Ma ... Maaf, Kalandra.” Aneska tidak tahu harus mengatakan apa. Ia memeluk Kalandra dan membawanya ke dadanya. “Maaf ... Maafin, Mas.”

Aneska tahu bahwa ini sangat berat bagi Kalandra. Empat tahun lalu ia mengalami hal serupa. Namun ia memilih untuk lari dahulu, tak seperti Kalandra yang setidaknya masih di sini— meskipun dengan keadaan yang jauh dari kata baik-baik saja.

Baru kali ini Aneska tak bisa mengatakan apa-apa lagi. Sungguh tak pantas rasanya jika ia mengatakan, “Kalandra, you did well”, karena ia telah melaporkan semua bukti kejahatan Ayahnya sendiri ke kepolisian. Tidak bisa. Aneska tidak sanggup. Banyak pergolakan batin yang Kalandra alami untuk memutuskannya dalam waktu dua hari. Dan ia menghadapinya sendirian.

“Aku benci.” Kalandra mulai bersuara. “Aku benci Mas.” Dan pernyataan itu membuat Aneska benar – benar terdiam. Ia tahu bahwa ia pantas dibenci setelah apa yang ia lakukan, namun mendengarnya langsung dari mulut Kalandra, sungguh tetap membuatnya terluka.

“Lebih daripada sebelumnya.” ucap Kalandra. Ia masih dalam pelukan Aneska. “Lebih daripada saat kita masih sekolah dulu, lebih daripada saat kita berantem di Kasablanka, lebih daripada—”

Aneska melepaskan pelukannya dari Kalandra. Ia lalu menarik dagu Kalandra perlahan. Ia mencium bibir Kalandra, melumatnya hingga Kalandra tak bisa lagi melanjutkan kata-katanya. Kalandra tidak melawan. Ia seakan membiarkannya atau memang ia tak lagi punya tenaga lagi.

Air mata pun menetes dari mata Aneska. Ciuman itu terasa sangat menyakitkan dan menyedihkan. Kalandra tidak memberontak atau bahkan membalas ciuman itu. Kalandra kini tak lebih dari manusia yang kosong, tanpa jiwa, dan tanpa rasa.

Aneska lalu melepaskan ciuman itu. Basah di bibir Kalandra, ia usap dengan ibu jarinya. “Kalandra benar-benar ingin semua selesai?”

Kalandra membuka matanya. Jarak mereka begitu dekat. Namun, Aneska merasa Kalandra sudah tak ada lagi di sana. Pandangannya benar-benar kosong.

“Iya.” jawabnya singkat.

Aneska mengangguk paham. Ia lalu menggendong Kalandra yang terduduk di bawah menuju ranjangnya. Membaringkannya perlahan.

“Kala ...” Aneska mencoba mengatur ucapan dan nada bicaranya. “Baik-baik, ya.” Rasanya sakit di lehernya. Seakan ia menahan diri untuk tak emosional.

“Jangan ... jangan telat makan. Jangan ... jangan dimuntahin lagi makanannya. Jangan ...” Aneska tak sanggup berkata lagi. Air matanya semakin deras. Sementara Kalandra hanya menatapnya dengan tatapan kosong.

“Maaf ... Maaf, Kala.” Aneska menutup wajahnya dengan kedua tangannya. “Mas kabulkan keinginan Kalandra.” ucapnya di sisa nafasnya yang sudah tersengal.

“Mas selalu cinta Kalandra.”

Aneska pun mengecup kening Kalandra. Ia kemudian berdiri. Aneska membalikkan badannya. Ia berjalan keluar dari kamar Kalandra. Kamar di mana ia dan Kalandra selalu menghabiskan waktu berdua. Aneska lalu melihat ruang TV yang kosong. Di sana dulu ada sofa, tempat ia dan Kalandra ngobrol sambil menonton series kesukaan. Aneska kemudian melirik dapur. Ia dan Kalandra pernah memasak bersama meskipun tak ada satu pun masakannya yang bisa mereka makan karena semuanya gosong. Semua tawa bahagia, senyuman salah tingkah, bahkan tangis haru itu Aneska sekarang hanya melihatnya dalam memori. Kini semua hanya berupa kenangan.

Langkah Aneska terhenti di lorong apartemen. Kakinya tak mampu lagi menahan tubuhnya. Ia terduduk di dekat lift. Tangisannya tak bisa berhenti. Dia benar-benar patah. Sangat patah.

“Kala, Mas juga telah kehilangan segalanya.”

[]

➖️ Double Date

“Lagi makan malam, masih sempet aja belajar.” cibir Kalandra ketika melihat Jingga yang malah mengeluarkan Ipad-nya dan membaca sesuatu di sana.

“Kala,” Aneska mengusap paha Kalandra di bawah meja. Mencoba mencegah percekcokan terjadi kembali. Sebelumnya sudah ada debat antara Kalandra dan Jingga akibat ulah Aneska yang memilih menonton film horor sebagai ide double date mereka.

“Maaf, Kak. Jingga besok ada ujian untuk laporan pasiennya. Jadi dia baca-baca dulu sebentar.” jawab Biru. Dia langsung memandang ke arah Jingga yang masih fokus pada bacaannya. “Jingga, makan dulu.” Setelah mendengar suara Biru kepadanya, Jingga lalu menengadahkan kepalanya dan mulai menyuapkan makanan ke mulutnya.

“Ngga apa-apa kok. Kalau dokter kan butuh belajar ekstra, ya.” ucap Aneska.

“Ga cuma dokter. Semua juga perlu belajar lebih.” jawab Kalandra masih dengan wajah kesal. “Cuma aneh aja sih udah tahu lagi makan malam, tapi malah ada agenda lain.”

“Gue ganggu lo?” Jingga mengarahkan pandangan tajam ke arah Kalandra. Biru langsung sigap mengusap punggung Jingga.

“Hei … hei, yuk di makan, yuk.” ucap Aneska mencoba menengahi karena Kalandra sudah siap melemparkan serangan balik.

“Maaf, ya, Kak Anes.” ucap Biru di parkiran mobil. Ia dan Aneska sedang menunggu Jingga dan Kalandra yang sedang ke toilet. “Double date-nya banyak huru hara.” tambah Biru.

“Ngga apa-apa, seru malah.” jawab Aneska sambil tertawa. Ia lalu mengeluarkan rokoknya. “Eh, Biru, saya mau merokok, ngga apa-apa kah?” tanya Aneska, takut Biru merasa keberatan.

“Silakan, Kak. Ini tempat terbuka juga.” ucap Biru.

“Baiklah.” Aneska kemudian menyalakan rokok dan menghisapnya. Sementara Biru sudah mulai melihat kiri dan kanan. Seperti resah menunggu.

“Kak, kok mereka lama, ya?” tanya Biru khawatir.

“Paling juga lagi berantem di toilet.” jawab Aneska sekenanya.

“Ih … Kak Anes.” Biru kesal dan memajukan bibirnya. “Saya samperin mereka dulu.”

“Males banget lo. Gue ini lebih tua dari lo!”

“Ya, terus?”

“Gue ngasih tahu. Lo dibilangin bebal, ya?!”

Baru saja Biru akan menyusul Jingga dan Kalandra, mereka berdua telah ke luar bersama namun dengan perdebatan.

“Tuh kan bener, emang lagi berantem.” ucap Aneska. Ia lalu mematikan rokoknya dengan cepat karena Kalandra tidak suka dengan bau asap rokok.

“Jingga, kenapa lama?” tanya Biru.

“Ini ada orang yang ngajak debat.” jawab Jingga melirik ke arah Kalandra.

“Lo itu ya … gue cuma ngasih tahu.”

“Ngasih tahu apa, Kak?” tanya Biru.

“Cowok lo itu …”

“Udah, yuk, balik.” Jingga menyalakan kunci mobilnya.

“Ngehindar lo?!” Kalandra menekan nadanya.

“Hei, Kalandra. Udah, jangan begitu.” ucap Aneska mencoba menenangkan.

“Gue cuma ngasih tahu dia buat jangan maksain banget, dia mimisan barusan di toilet.” ucap Kalandra.

Biru langsung bereaksi. Dia segera menghampiri Jingga dengan wajah yang sangat khawatir.

“Ah, sial.” gerutu Jingga. “Aku … aku ngga apa-apa, Biru. Kan biasa begitu …” Perkataan Jingga terhenti ketika Biru mengusap pipi Jingga.

“Hm, young love.” cibir Kalandra.

“Jingga kebiasaan ngga bilang ke Biru.” Mata Biru mulai berkaca-kaca.

“Ngga gitu, Biru. Ini …” Jingga mendelik ke arah Kalandra sinis. “Ya, maaf … mau bilang tapi nanti maksudnya udah pulang.”

“Yaudah sini Biru yang nyetir aja. Nanti di apartemen, dikompres, ya. Terus langsung bobo, jangan ada belajar segala. Jingga harus istirahat!” ucap Biru nyerocos memberikan instruksi kepada Jingga.

Aneska tertawa. Ia lalu mendapatkan tatapan dari ketiganya. “Yall are so sweet.” ucap Aneska.

Biru dan Jingga pun izin pamit. Tak lupa Biru meminta Jingga untuk meminta maaf kepada Kalandra dan Aneska. Jingga pun melakukannya meskipun perlu dorongan dari Biru.

“Lucu, ya, mereka.” ucap Aneska menjalankan mobilnya menuju Apartemen Kalandra.

“Siapa?”

“Biru sama Jingga. They are soft each other.”

“Aku juga soft kok.”

Aneska langsung melirik ke arah Kalandra. Seolah tidak terima dengan pernyataan Kalandra barusan.

“Mana ada. Kamu itu kalau ga jambak Mas, ya mukul Mas. Physical attack sih love language-nya.”

Bug! Kalandra memukul lengan Aneska. Tidak keras tapi cukup mengagetkan. “Tuh kan baru juga diomongin.” keluh Aneska.

Lampu merah pun membuat Aneska memberhentikan mobilnya. Ia lalu melirik Kalandra. “Masih khawatir? Mas ngga apa-apa kok.”

“Jangan ngide nonton horor lagi!”

“Iya, ngga.”

“Kalau mau dipeluk, nonton film apapun juga bisa. Nanti aku peluk. Jangan film horor pokoknya.”

Aneska lalu mengusap pipi Kalandra. Ia kemudian membuka seatbelt-nya, menarik dagu Kalandra agar melihat ke arahnya dan …

Cup! Bibir Aneska menempel pelan dan lembut di bibir Kalandra.

“Iya, sayang.” ucap Aneska yang berhasil membuat Kalandra menjadi malfungsi; terdiam dan tertegun.

Aneska lalu memasang seatbelt-nya kembali. Lampu lalu lintas pun sudah berwarna hijau. Ia menjalankan mobilnya.

“Mas,” panggil Kalandra.

“Hm?”

“Nanti di apart …” Kalandra terdiam sejenak sambil menunduk. “Dicium lagi, tapi yang lama.”

Setelah mengatakan itu, Kalandra memalingkan wajahnya ke samping jalan. Malu. Dia tidak tahu bahwa Aneska sedang tersenyum dengan lebar.

“Iya, sayang.” jawab Aneska sambil menggenggam tangan Kalandra.

Keduanya pun tersipu.

[]

Momen Inersia

Sinting.

Satu kata itulah yang menggambarkan Aneska saat ini— bagi Kalandra. Mahluk ini benar – benar sinting. Bisa – bisanya dia memiliki ide seperti ini.

“Jangan biarkan itu jadi panggung dia, Sayang. Biarkan ini menjadi panggung kita.” Ucapnya dengan senyuman yang membuat matanya menjadi satu garis. Sebenarnya Kalandra sedikit terganggu setiap kali Aneska memanggilnya sayang. Hatinya mendadak tidak karuan. Dia masih belum terbiasa.

Dan satu hal lagi. Aneska itu sangat berbahaya. Dia licik. Tipikal business man yang sering Kalandra temui setiap kali dia sedang mempertaruhkan tender perusahaannya. Sama dengan Aneska sekarang, dia sedang bertaruh untuk sebuah pertunjukan ini.

“Lo bukan tim hore, Kalandra, tapi support system...” katanya demikian, “... for this blood war.” Kalandra hanya mengangguk. Aneh memang. Kalandra tidak pernah gampang setuju dengan apapun. Jika bisa melawan dengan argumentasi, maka dia akan ngotot sampai benar – benar mendapatkan alasan masuk akal. Tapi, semua berbeda jika Aneska yang mengatakannya. Dia seakan tersihir dan menjadi penurut. Salah satunya adalah menyetujui ide gila ini.

“Kayaknya kalian memang janjian, ya?” Tanya Edrea ketika masuk ke lapangan basket. “Padahal gue ngajaknya secara terpisah. Udah mulai akur, ya, sekarang?” Tambahnya dengan nada yang sinis. Setelah mendapatkan cerita dari Aneska, pandangan Kalandra mengenai Edrea bukanlah hanya sekadar artis yang menjadi brand ambassador vennEdu, namun orang yang turut membohonginya setelah Adira.

“Iya, dong.” Jawab Aneska sambil merangkul pinggang Kalandra. Padahal sudah diberitahu sebelumnya akan ada trick seperti ini, tetapi tetap saja Kalandra kaget. Edrea lalu memandang Kalandra dari bawah ke atas, sangat judgemental. Kalandra tidak suka pandangan itu. “Bisa biasa aja lihatnya?” Aneska langsung menghalangi tubuh Kalandra dari pandangan tidak mengenakkan itu.

Well, jadi kita main basket nih? Padahal gue ngajaknya mau main tenis.”

“Main tenis ngga bisa langsung kelihatan siapa pemenangnya.” Jawab Aneska.

“Ngga adil dong ini, lo berdua, gue cuma sendiri.” Timpal Edrea.

“Tunggu temen lo datang.” Edrea langsung tertegun setelah Aneska berkata seperti itu. Ya, mungkin Edrea mengira dengan dia mengundang Kalandra dan Aneska, dia telah selangkah lebih maju, namun Aneska malah sudah maju 3 langkah lebih dulu. “Ngobrol santai dululah.”

Kalandra ingin sekali langsung memaki – maki dan melabrak Edrea sekarang. Edrea sejak awal sudah tahu bagaimana hubungan Kalandra dan Aneska, Kalandra dan Adira, tetapi dia pura – pura tidak tahu dan malah sengaja mempertemukan dirinya dan Aneska berulang kali. Adira juga. Saat Kalandra bertanya tentang Edrea, dia jawab siapa yang tidak kenal Edrea, dia kan artis terkenal, rasanya Kalandra semakin kesal.

“Edrea.” Suara itu langsung mengambil atensi dari semua yang ada di lapangan basket itu. Adira tiba, namun Kalandra hanya melihatnya sekilas. Pandangannya langsung mengarah ke Aneska yang mendadak gemetar, namun Aneska berusaha sebisa mungkin untuk tidak terlalu kentara.

“Neska.” Adira menghampiri Aneska, namun ia memundurkan langkahnya. Kalandra baru kali ini melihat Aneska dan Adira dalam satu tempat yang sama. Namun, semua tampak ganjal. Cerita Aneska di vennEdu belum sepenuhnya, pasti ada cerita lain antara Aneska dan Adira yang belum diceritakan.

“Lo udah tahu, ya, maksud dan tujuan gue ngumpulin kalian berdua?” Tanya Edrea pada Aneska. “Bagus deh. Anak Dewandaru memang penuh kehati – hatian.” Tambahnya sambil mendelik kepada Adira juga.

“Ed, ayo balik. Jangan kayak gini!” Adira meraih tangan Edrea, namun ia hempaskan. “Edrea, urusan gue udah selesai. Lo ga perlu ikut campur.”

“Kala ngga disapa tuh?” Edrea semakin sinis menatap Kalandra. Dia tak memerdulikan kalimat Adira barusan. “Sapa, dong, Dira. Itu Adek kesayangan lo juga. Sampai udah desain rumah di Tangerang, rumah masa depan dengannya. Tapi sayang, malah PHP.”

Kalandra geram. Tangannya mengepal. Dia sudah siap melayangkan tinjunya kepada Edrea, namun ditahan oleh Aneska.

“Kok lo juga ke sini?” Kini Ginela masuk ke lapangan dan langsung mengarah ke Adira. “Jadi ini ... “

Okay, udah kumpul semua, ya?” Ucap Aneska. “Kita main 3 on 3 basket biar seru.”

Kalandra kaget. Ini tidak seperti yang Aneska ucapkan di awal. Tiga lawan tiga? Aneska awalnya berbicara bahwa strateginya adalah bermain 2 lawan 1; dirinya dan Aneska melawan Edrea. Tiga lawan tiga dengan siapa? Tanya menggunung dalam benak Kalandra.

“Gue, Kala, dan Dareen. Sementara tim lo, ya itu bertiga.” Aneska tidak mengucapkan nama Ginela dan Adira.

“Kenapa Dareen?” Tanya Kalandra.

“Lo berdua ke luar deh.” Panggil Aneska. “Perlu gue sebut nama?”

Dareen lalu ke luar dengan Kaluna yang mengekor di belakang. Dareen sebenarnya ditugaskan untuk memantau saja, sementara Kaluna dan Ginela hanya mengikuti dari belakang. Namun, kemunculan Adira tentu men-distrak Ginela, sehingga dia ikut untuk ke luar dan Kaluna semakin tak enak hati. Wajahnya penuh takut. Dia langsung menatap Ginela di sana.

“Nes, kenapa lo ngga sama Kal?” Tanya Kalandra. Dia sudah kadung heran, maka biarkan saja sambil ikuti permainan Aneska.

“Kal kan jagoan basket, ga imbang nanti mainnya.” Jawab Aneska. “Kaki lo aman kan, Dareen?” Tanyanya yang langsung mendapat respon kaget dari Dareen. Kaki Dareen kenapa? Selama 6 tahun dia menjadi PA Kalandra, tak pernah sedikitpun Dareen mengeluh soal kakinya. Namun, Kalandra menyimpan tanya itu sendiri. Dirinya adalah support system, bukan? Meskipun sebenarnya dirinya kesal kepada tiga orang dihadapannya; Adira yang lagi – lagi membohonginya, Ginela yang selalu memberikan pesan sok akrab kepadanya, dan Edrea yang telah mendelik sinis padanya. Aneska menempatkan orang yang paling ingin dia buat perhitungan dalam satu tim.

“Nes, gue minta maaf.” Ucap Ginela.

“Minta maaf soal apa?”

“Lo pasti udah tahu semuanya, ya, makanya lo begini ke gue?”

Aneska mengabaikan Ginela. Dia lalu beralih menatap Kaluna. “Menurut lo, siapa yang bakal menang? Tim gue atau mereka?”

“Nes ... ngga gini caranya.” Kaluna mencoba untuk bersikap tenang, namun semua serasa sia – sia. Aneska sudah mengambil alih semuanya. Ini memang benar – benar perang. Seolah Aneska memegang kartu AS untuk setiap masing – masing orang yang berada di sini.

“Neska, gue dan Kala—”

“Yang menang boleh melakukan apapun ke yang kalah.” Ucap Aneska memotong perkataan Adira.

Kalandra lalu tertegun. Kalimat ini. Dia sangat tahu kalimat ini.

“Tiga poin pertama, ya. Jam pulang kantor pasti pada capek.”

“Bukannya ini gue, ya, yang punya ide? Kok malah lo yang ambil alih?” Ucap Edrea, tak menerima gagasan-nya diambil oleh Aneska.

“Kan gue udah bilang kalau main tenis ngga bisa langsung ketahuan siapa pemenangnya, gue cuma ganti permainannya aja. Tapi niat lo tetap tersalurkan, kan?”

Edrea langsung terdiam. Sudah dibilang bahwa Aneska ini berbahaya. Dia bisa tahu semua pergerakan lawannya.

“Mulai aja, Kal. Jadi wasit yang adil, jangan berat sebelah.” Ucapnya sambil mendelik ke arah Kaluna dan Ginela sekaligus.

“Lo hutang penjelasan ke gue, Nes!” Bisik Kalandra. Dan Aneska menjawabnya dengan senyuman sambil mengusap pelan kepala Kalandra. Afeksi itu sontak mendapatkan pandangan dari yang lainnya. Namun, Aneska tidak peduli.

Kaluna membawa kedua tim ke tengah lapangan. Dia masih menatap Aneska. Ragu. Ingin rasanya Aneska menghentikan permainan ini, namun semua sudah terlambat.

“Oh, iya. Ini peluitnya.” Aneska melemparkannya ke arah Kaluna. Benar – benar semua sudah ia persiapkan.

Bola pun dilemparkan dan langsung ditangkis oleh Edrea. Aneska mencoba mengejar dan menyuruh masing – masing berjaga. Aneska menjaga Edrea. Dareen menjaga Ginela. Dan Kalandra menjaga Adira.

“Lo itu selalu ngerasa paling menang, ya?” Ucap Edrea sambil men-dribble. “Lo sadar ngga, bukan cuma lo yang menderita tapi Adira juga. Dia selalu lari sementara lo selalu menetap”. Edrea lalu menyikut perut Aneska, membuat pergerakan untuk menghindar dari penjagaannya.

“Itu fool, Anjing!” Bentak Kalandra.

“Kala.” Ucap Adira. Seperti sudah kebiasaan jika Kalandra mengucap kata kasar, maka Adira akan otomatis mengingatkannya. Namun Kalandra tidak peduli lagi akan hal itu.

“Kal, lo tiup peluitnya! Itu fool!” Namun ucapan Kalandra tidak digubris. Kaluna menganggap itu bukan fool. Ah, sialan!

Hal itu menjadi kesempatan untuk Edrea yang langsung mengoper kepada Ginela dan ia pun mencetak skor. “Bagus juga lo mainnya, hm ... siapa tadi lupa gue?”

“Ginela. Panggil aja Gin.” Lalu, Edrea melafalkan huruf O di mulutnya tanpa suara.

Permainan diambil alih oleh tim Edrea. Aneska wajahnya semakin pucat. Demamnya pasti belum turun tetapi dia sudah sok jagoan mengajak Kalandra bermain basket sebelum ini, lalu sekarang malah bermain tiga lawan tiga.

“Lo kan tentara, fisik lo bagus. Lo yang nyerang dong!” Ucap Aneska kepada Dareen. Dari mana Aneska tahu tentang ini? Daftar pertanyaan semakin menumpuk di benar Kalandra.

Dareen pun langsung mengambil bola dan melewati dua pemain sekaligus. Porsi tubuhnya yang tinggi besar, tak mampu dilawan oleh Adira dan Edrea. Dan Dareen pun mencetak skor.

“Neska, ini sudah satu sama. Udah, ya. Lo juga ngga—”

“Lanjut, Ren! Jangan kasih kendor!” Aneska lagi – lagi memotong ucapan Adira.

“Nes, yang Dira bilang benar, lo lagi demam.” Ucap Kaluna. Aneska yang awalnya sedang berlari, kemudian berhenti. Dia lalu mendekati Kaluna.

“Lo mau berpihak ke dia? Kayak Gin?” Ucap Aneska sinis. Dia kemudian langsung berlari kembali, tanpa menunggu respon dari Kaluna. Kalandra mengira perang ini untuk membalaskan rasa kesalnya, namun ternyata bukan. Ini untuk Aneska. Dia ingin membalas satu per satu mereka yang ada di sini.

BUGG

Bola melambung tinggi dan mengenai wajah Aneska. Dia memang sudah semakin lelah, namun tetap memaksakan. Dia pun kini terduduk di lantai.

“Neska, lo ngga apa – apa, kan? Wajah lo memar, terus lo demam juga. Udah, Neska. Udah ... kalau lo marah ke gue, lampiasin ke gue aja. Jangan begini. Edrea ... ini salah gue, gue yang salah. Gin juga ... ini salah gue. Gin ga pernah berpihak ke gue. Dia tetep temen lo.” Ucap Adira. Dia sebisa mungkin terus berbicara agar tidak dipotong atau disanggah oleh Aneska kembali. Namun, Aneska tidak peduli. Dari awal Adira datang, Aneska sama sekali tidak menganggap Adira itu ada.

Aneska pun bangkit, namun tubuhnya gontai dan dipeluk oleh Adira. “Dek, udah .. ya, salahin Kakak aja. Pukul Kakak, marahin Kakak, biar Adek tenang. Biar Adek ...” Ucapan Adira terhenti ketika Aneska menatapnya dengan tajam. Kalandra langsung menjadi takut. Bulu kuduknya bergidik. Kalandra pernah lihat Aneska seperti ini saat SMA dulu. Tak pernah Kalandra mengira akan melihat tatapan Aneska yang seperti ini lagi.

“Satu lagi dan kelar!” Ucap Edrea. Dia pun ingin segera menghentikan semua ini, sebelum kejadian yang tidak diharapkan terjadi.

“Nes.” Kalandra memberanikan diri untuk mencoba menghentikan Aneska juga. Semua sudah cukup.

“Jika sebuah bola ini beratnya 620 gram dan kelilingnya 77 cm, berapa momen Inersianya?” Ucap Aneska.

Shoot!

Bola pun masuk.

Semua tertegun karena semua begitu cepat. Aneska baru saja tadi terjatuh karena lemparan bola. Lalu, operan diberikan oleh Dareen dan dia langsung mencetak skor di kotak tiga angka. Aneska sudah mempersiapkannya. Dia hanya sedang menunggu momen dan ketika saat itu tiba, dilayangkanlah lemparan tepat ke arah ring.

“Apa yang terjadi ketika sedang melaju cepat, lalu dihentikan secara tiba – tiba? Pada saat itulah ia sedang mempertahankan pergerakannya.” Timpal Aneska. Dia menghembuskan nafasnya kasar. “Itu adalah momen Inersia. Dan yang gue lakuin sekarang adalah mempertahankan ini. Semuanya.” Aneska lalu memegangi kepalanya. Tubuhnya mulai limbung.

Kaluna dengan cepat ingin memegang tubuh Aneska, namun ia larang. “Silakan Kala dan Dareen ada yang mau dilakukan ke mereka bertiga?” Ucap Aneska. Timnya menang. Namun semua serasa sunyi, hening, dan hampa. Kalandra dan Dareen hanya ikut terdiam.

“Yaudah gue aja kalau begitu.”

“Aneska!” Ucap Edrea. “Tempat lo sekarang itu milik Adira. Bukan milik lo. Bahkan Kalandra itu seharusnya dijodohkan dengan Adira. Lo mempertahankan apa tadi yang lo bilang? Dari sejak awal itu bukan punya lo! Lo bukan mempertahankan tapi merebut!” Tegas Edrea. Dia yang merasa ini seharusnya menjadi panggung-nya, namun sorot utama malah menjadi milik Aneska.

“Edrea!” Bentak Adira. “Dek ... jangan lampiasin ke Edrea apalagi Gin, ke gue aja, ya.” Ucap Adira mencoba untuk setidaknya melembutkan hati Aneska.

“Dek?” Ucap Aneska. Senyumannya menyeringai. Ini adalah kali pertama Aneska merespon ucapan Adira selama berada di tempat ini. “Apa lo pantas manggil gue begitu? Apa lo pantas bilang diri lo Kakak?”

“Aneska, udah!” Kaluna mencoba menengahi.

“Lo juga sama aja kayak Gin. Gue udah bilang kan ke lo, Kal, jangan pernah coba khianati gue!” Aneska mendekat kepada Kaluna namun terhalangi oleh Dareen.

“Lo mau dorong gue? Mau melintir tangan gue lagi? Atau mau ... Well, lama juga ya sampai 6 tahun nunggunya. Gue tunggu aksi lo, Dareen!” Tunjuk Aneska kepada wajah Dareen. Kalandra malah semakin bingung, ini sebenarnya ada apa.

“Lo sekarang malah nuduh semua orang, ya? Kalau lo begini terus, lo cuma berakhir sendirian. Semua akan capek sama lo karena lo ga pernah percaya sama siapapun!” Tegas Edrea.

“Kala, kalau mau diomongin ke semuanya, gue tunggu di luar, ya.” Ucap Aneska. Dia tak lagi memperdulikan yang lain. “Bebas lo mau ngapain ke mereka bertiga. Gue serahin sama lo, Sayang.” Tambahnya sambil mengusap pipi Kalandra. Dia lalu pergi meninggalkan lapangan. Tak ada yang mengejarnya, semua larut dalam pikiran masing – masing.

“Kalandra.” Suara Adira memecahkan keheningan. “Aku mau minta maaf. Aku ngga bermaksud buat ngebohongin kamu lagi.”

“Udah, ya, Adira. Semua udah cukup kok.” Kalandra pun tak ada keinginan untuk melakukan apapun pada tim yang kalah. Dipikirannya sekarang adalah ingin segera menyusul Aneska. Berlari kepadanya.

“Anes.” Panggil Kalandra. Aneska tengah duduk di depan lapangan tenis. Dia tengah memegangi kepalanya. “Anes, sakit, ya?”

Aneska menggeleng. “Lo itu kenapa sih sok jagoan?! Udah tahu masih sakit!” Pukul Kalandra ke lengan Aneska. Pukulannya tidak kuat, namun cukup membuat Aneska kaget.

“Biar lo ga kesel lagi.”

“Ngga gini caranya. Lo itu nyebelin banget!” Kalandra sudah siap mengayunkan pukulan lagi, namun tangannya langsung dipegang oleh Aneska. Dia lalu mendaratkan kepalanya ke bahu Kalandra.

“Kala.”

“Nes, lo panas banget.”

“Kalandra.”

“Anes, kita ke rumah sakit—”

“Kala.” Panggilnya lagi. Tangannya menggenggam tangan Kalandra. “Jangan pernah pergi dari gue, ya. Jangan pernah khianati gue. Kalau capek sama gue, bilang ya? Gue akan lebih baik lagi.” Ucap Aneska lirih. Kalandra terdiam, dia merasakan panas tubuh Aneska yang turut mengalir ke tubuhnya.

“Rotasi gue ada di lo, Kala.” Pungkas Aneska.

[]

Permintaan Maaf

Selama mengenal Aneska, ini adalah kali pertama Kalandra menginjakkan kakinya di rumah megah milik Keluarga Dewandaru. Ya, meski sudah saling kenal sejak duduk di bangku sekolah dasar, dirinya dan Aneska bukanlah teman. Jangankan main ke rumah, berbincang lebih dari 1 jam rasanya dulu tidak pernah mereka lakukan. Dan di sinilah Kalandra berdiri sekarang. Lebih tepatnya di depan kamar Aneska. Dia mungkin sudah gila— ketularan dari Aneska.

“Neska kayaknya kecapean. Sekarang dia handle dua perusahaan, arunika dan oil and gas, makanya jadi drop begini.” Ucap Tante Karina menyambut dan mengantarnya sampai depan kamar Aneska. “Makasih, ya, sudah mau menjenguk Neska. Kemarin menengok Tante, kok kayak yang gantian begini, ya, sakitnya.”

Kalandra tersenyum. Tersenyum yang sedikit dipaksakan. Dari ucapan Tante Karina sepertinya beliau tidak tahu mengenai penyebab sebenarnya yang terjadi kepada anaknya. Dan dari sana Kalandra merasa ada yang dirahasiakan. Setelah ini dia akan bertanya kepada Kaluna. Ya, sebab bertanya kepada Aneska sendiri rasanya malah akan membuat dirinya besar kepala. Merasa bahwa Kalandra khawatir kepadanya. Oh, tidak. Kalandra tidak mau mahluk itu merasa menang.

Setelah masuk ke kamar Aneska, Kalandra ditinggalkan begitu saja. Kata Tante Karina, dia tidak mau mengganggu. Kalandra lalu melihat sekeliling. Kamar Aneska sangat besar dengan dominasi warna putih dan hitam. Dan banyak kaca besar terpajang di sana. Kalandra tahu satu hal bahwa fungsi kaca bukanlah untuk Aneska bercermin, tapi agar kamarnya terlihat lebih luas.

Nes, lo sebenarnya kenapa?

Pertanyaan itu lalu Kalandra buang jauh dari pikirannya. Tidak, tidak. Dia menggelengkan kepalanya. Dia kemudian mendekati Aneska yang sedang tertidur di ranjangnya. Ranjangnya pun sangat luas. Mungkin empat orang dewasa masih bisa tidur dengan bebas di sana.

Kalandra lalu duduk di samping ranjang Aneska. Melihat dia tidak berdaya di atas ranjang dengan nafas pendek yang tersengal – sengal, sungguh bukan situasi yang Kalandra harapkan.

“Heh!” Panggil Kalandra. Dia kemudian melihat ke samping, ada ponsel Aneska yang masih menyala dengan tampilan chat terakhir darinya.

Mbul? Shit, kontak gue dinamain itu!

“Heh, Nes! Anes!” Panggil Kalandra lagi. Dia goyangkan badan Aneska dengan satu jarinya. Perlahan mata Aneska pun terbuka.

“Eh, datang?” Ucapnya pelan. Suaranya berat dan sangat parau.

Kalandra lalu menempelkan tangannya di kening Aneska. “Dokter lo udah ngasih obat belum, sih? Kok masih panas?” Tanya Kalandra. Dia kemudian mengeluarkan sesuatu dari tasnya. “Nih, pake!” Melemparkan plester penurun panas ke hadapan Aneska.

“Pakein dong.” Ucap Aneska dengan memasang puppy eyes.

Shit!

“Nyusahin banget!” Kalandra lalu mengambil plester itu dan membuka isinya. Kemudian dia tempelkan ke kening Aneska. “Udah tuh. Gue balik!” Kalandra segera beranjak, namun tangannya digenggam oleh Aneska.

“Di sini dulu, bisa?”

Jangan, jangan kayak gini.

“Gue kan udah nengok lo, jadi udah cukup.” Kalandra hendak berdiri, namun tangan Aneska malah ditautkan pada tangannya.

Please.”

“Lo kenapa—”

“Permisi, Tuan.” Bibi di rumah Aneska datang sambil membawa nampan berisi minum dan kue. “Maaf, tadi sudah mengetuk, tapi—”

“Itu apa, Bi?” Tanya Aneska.

“Teh manis hangat dan cookies, Tuan.”

“Kala ngga suka makanan manis. Ganti, Bi. Teh tawar hangat sama buah aja.” Jawab Aneska.

“Baik, Tuan, akan Bibi ganti. Sekali lagi maaf, Tuan. Permisi.”

Kalandra kesal. Akhir – akhir ini Aneska seakan memperlihatkan kalau dia tahu banyak mengenai dirinya. Apa yang dia sukai, apa yang dia tidak sukai. Dan semua itu sungguh menyesakkan bagi Kalandra.

“Kenapa sih lo?!”

“Karena gue tahu kesenangan lo?” Aneska seakan tahu apa yang sedang Kalandra pertanyakan. “We know each other more than 20 years, Kalandra.”

Dan selama 20 tahun itu gue benci lo. Benci banget sama lo!

“Kalandra, di sini dulu sebentar.”

“Kenapa?”

“Gue ... ” Aneska menundukkan pandangannya. Ada takut dan cemas di matanya. Dia tidak ingin ditinggalkan.

“Yaudah.”

Dan lagi – lagi Kalandra terperangkap. Dia tak bisa menolak keinginan Aneska. Entah, rasanya sangat sulit.

“Sini. Tidur sini.” Aneska lalu menggeser tubuhnya.

“Lo gila, ya?!” Bentak Kalandra.

“Pasti capek udah kerja, pulang, terus malah ke sini. Tiduran di sini sebentar, biar capeknya hilang, Kala.” Ucap Aneska dengan suara yang lembut.

Jangan, Kala. Jangan. Jangan terperangkap lagi.

Suara itu mencoba menyadarkan Kalandra, namun tidak bisa dia kendalikan. Seakan kata – kata yang diucapkan Aneska itu sangat magis yang membuat Kalandra menurut. Dia menjebaknya sama seperti saat di rumah sakit. Saat itu, dia menurut karena tidak berdaya akibat sakit, namun sekarang kondisinya terbalik. Yang sakit adalah Aneska, tetapi yang terperangkap lagi dan lagi adalah Kalandra.

Tidak pernah Kalandra bayangkan jika dihadapannya sekarang adalah Aneska. Dia kini berbaring di ranjang Aneska. Tangan Aneska melingkar di pinggangnya. Dari sini, Kalandra bisa mencium parfum Aneska, melihat matanya yang memerah, bahkan nafas Aneska yang hangat terasa di pipinya sekarang.

Perlahan, Aneska memangkas jarak. Dia tenggelam di leher Kalandra. Plester penurun demam di keningnya pun sekarang menempel di bahu Kalandra.

“Nes.” Panggil Kalandra.

“Sebentar ... begini dulu, sebentar.” Nadanya begitu pelan. Sangat rapuh. Sangat rentan. Aneska hari ini seperti lapisan es tipis yang disentuh sedikit, maka akan retak dan hancur.

Semakin lama, pelukan itu semakin erat. Panas di tubuh Aneska terasa hingga tubuh Kalandra. Menjalar dan memenuhi setiap sudut tubuhnya. Kalandra pun mendengar ceracau pelan dari Aneska.

“Nes.” Tidak ada jawaban. “Aneska.” Dia lalu melepaskan pelukannya. Mata Aneska tengah terpejam, namun bibirnya bergerak seakan sedang berbicara.

“Aneska. Hei, Anes!” Aneska tetap tidak bergeming hingga terlihat ada air mata turun dari mata Aneska yang terpejam. “Anes!” Kalandra lekas memeluk kembali Aneska. Dia kemudian mengusap – usap punggungnya.

“Kenapa? Ada yang sakit?” Tanya Kalandra.

“Ma ... Maaf.”

Deg!

“Kala ... Maaf. Maafin ... Neska.” Suaranya sangat pelan. Aneska mengigau. “Maaf ... Neska suka jahilin Kala .. Neska suka jahatin Kala. Maaf.”

Suara itu bagaikan suara yang Kalandra dengar belasan tahun lalu. Suara Aneska kecil yang sering menjahilinya saat dulu. Suara Aneska kecil yang selalu mencari perhatian Kalandra kecil.

“Neska ... ngga akan jahatin Kala lagi. Neska ... Neska—”

“Anes, udah. Sekarang tidur, ya.” Kalandra menepuk – nepuk punggung Aneska. “Istirahat.” Dan tubuh Aneska pun seakan menciut, padahal dia lebih tinggi dan besar dari pada Kalandra, namun kali ini Aneska seakan begitu kecil dalam pelukan Kalandra.

“Jangan .. jangan ditolak, Kala. Neska ... Neska akan jadi laki – laki baik.”

Deg!

Rasanya kali ini jantung Kalandra tersentak hebat.

“Neska .. akan lebih baik ... untuk Kala.”

Mendengar itu, Kalandra mengeratkan pelukannya. Matanya pun terpejam perlahan. Ceracau Aneska sudah mulai mereda dan Kalandra pun ikut tertidur. Mereka berdua berpelukan dan saling terlelap di malam itu. Malam yang menjadi awal dari segala permulaan bagi keduanya.

[]

Sorry seems to be the hardest word

Sebuah pemandangan yang aneh ketika Kalandra menghilang selama dua hari dan kembali ke rumah tanpa sedikitpun penjelasan kepada kedua orang tuanya ataupun adiknya.

“Jadi kamu benar ada urusan ke luar kota?” Tanya Mom di ruang TV.

Di sana duduk lengkap Keluarga Adiwangsa; Mom, Dad, Iyan, serta Kala. Semua dengan aktivitasnya masing – masing. Mom duduk di sofa sambil menyaksikan sinetron kesukaannya, Amarah dan Cinta. Dad sedang asyik membaca koran dan sesekali melihat grafik saham melalui tabletnya. Sementara Iyan, entahlah. Dia sibuk dengan gawainya— mungkin sedang chatting dengan pacarnya. Dan, Kala duduk di samping Mom dengan tatapan melamun sambil menatap TV yang bahkan dia tidak tahu itu tayangan apa. Begitulah Keluarga Adiwangsa— apapun yang dikerjakan, tetap harus ngumpul di ruang TV jika semuanya sedang berada di rumah.

“Iya.” Jawab Kalandra pendek.

“Bohong tuh, Mom.” Ucap Iyan sambil memincingkan matanya kepada kakak yang terpaut 7 tahun dari dirinya. “Lo pasti pacaran, ya?”

“Pacaran udelmu!” Kalandra langsung melempar bantal ke wajah Iyan. Tentu saja Iyan merespon kuda – kuda, sudah siap untuk membalas kakaknya, namun ditahan oleh Dad.

“Tidak karena sakit, kan?” Tanya Dad. Raut wajah Kalandra tiba – tiba berubah menjadi panik, namun dia cepat merubahnya. Tak ingin dicurigai lebih lanjut.

“Nggalah, Dad.” Jawab Kalandra cepat. “Ku masuk kamar, ya. Mau istirahat.” Dia lalu berdiri dan segera ke kamarnya. Tidak mau mendapat pertanyaan yang akan mencurigainya kembali.

Sesampai di kamarnya, dia langsung membaringkan badannya di ranjang besarnya. Dia pandangi tangannya yang masih diplester.

“Ngenes sialan! Bisa – bisanya dia ngajak balapan padahal tahu gue baru ke luar dari rumah sakit. Sinting emang!” Ucap Kalandra berbicara sendiri. Tangannya dia kepalkan, masih linu bekas infus. “Ah, Aneska Sialan!”

Kalandra lalu berdiri menuju kamar pakaiannya. Memilih apa yang akan dia kenakan malam ini.

Sigh, ngapain gue pilih baju buat ketemu dia?!” Kalandra memasukkan pakaiannya kembali ke lemari. “Lagi pula ngapain sih gue nurutin dia, ahh … bener – bener bikin gue kesel.”

Dia akhirnya memilih jaket tebal dan sarung tangan untuk agenda balapan dia dan Aneska malam ini. Namun, tiba – tiba terlintas kejadian itu. Dia yang begitu lemas dan ingin memuntahkan segala isi dari perutnya, dipeluk dan ditenangkan oleh Aneska. Hangat, lembut, dan sangat hati – hati.

Jangan, jangan begitu, Kalandra.

“Shit, ahhh …. kenapa kejadian itu harus muncul lagi sih?!” Kalandra buru – buru menggelengkan kepalanya, mengusir segala bayangan akan memori kejadian di rumah sakit itu.

“Mbul ndut … Mbul ndut!”

Kalandra paling benci dengan sebutan itu. Sebutan yang selalu diucapkan oleh seorang anak laki – laki yang sebaya dengannya. Gara – gara mahluk itu, selama dia duduk di bangku sekolah dasar, Kalandra selalu dipanggil Mbul. Laki – laki brengsek itu bernama Aneska Dewandaru.

“Mbul, ini enak manis!” Ucap Aneska sambil memberikan ice cream cone rasa vanila yang dia beli dari kantin sekolah.

“Ga mau. Ke sana, jangan ganggu aku.”

Usiran itu tidak mempan untuk Aneska. Dia malah terus memaksanya untuk memakan ice cream itu.

“Aku bilang ga mau, Aneska. Pergi sana!” Dan ice cream itu jatuh ke buku catatan milik Kalandra. “Ah, Anes ... buku aku jadi kotor!”

Aneska lalu mengambil buku itu dan malah menyiramnya dengan air. “Lihat, ini sudah bersih.” Ucapnya bangga. Namun, justru malah semakin membuat Kalandra menangis.

“Buku aku jadi rusak. Anes jahat!” Ucap Kalandra sambil mendorong tubuh Aneska dan pergi bersembunyi di kamar mandi.

Kalandra benci setengah mati kepada laki – laki itu. Dan lebih sialnya, dia malah selalu satu sekolah dengan Aneska.

Mom, aku ga mau ke SMP 17, aku ga mau ke sekolah itu.” Teriak Kalandra sambil menangis di ranjang.

“Lho kenapa? Sekolah itu paling bagus, di sana ada ekskul berenang. Kamu pasti akan senang sekolah di sana.”

Tidak. Kalandra tidak senang karena di sana ada Aneska.

“Kenapa harus SMA 2? Aku mau sekolah ke luar negeri!”

“Terlalu jauh, Sayang. Dad tidak bisa lihat kamu jauh – jauh begitu.”

“SMA 2 paling bagus lho, Kala.”

Iya, sekolah itu memang paling bagus, namun di sana tetap ada Aneska. Laki – laki brengsek yang setiap hari selalu mengerjainya.

“Hai, Mbul manisku.” Panggil Aneska dengan senyuman— yang sebenarnya begitu manis— namun bagi Kalandra, senyuman itu sungguh senyuman yang ingin membuat dia menonjok Aneska. “Jodoh nih kita, satu sekolah terus.”

“Lo bisa ga sih pura – pura ga kenal sama gue?!”

“Mbul manisku, jangan galak begitu.” Ucap Aneska sambil mencolek dagu Kalandra.

“Ngenes anjing!!!” Teriak Kalandra saat dia mendapati ada kecoa di dalam tasnya. Sungguh itu adalah hal yang membuat dia muak dengan Aneska. Segala hal jahilnya selalu menyiksa Kalandra. Tapi, Kalandra tidak pernah mencoba melaporkan Aneska. Orang tuanya tak pernah tahu bahwa setiap hari Kalandra pulang sekolah selalu menangis karena dikerjai oleh Aneska.

“Kenapa ngga lo laporin aja, sih? Apa karena Anes anak orang kaya? Lo juga orang kaya, Kala. Lo ga perlu takut.” Ucap salah satu temannya. Namun, Kala tidak pernah ingin melaporkan Aneska atas semua tindakannya. Dia hanya ingin satu hal. Satu hal saja.

“Cie ... anak kimia. Cie ... satu fakultas.”

Demi tuhan. Universitas di Bandung ini merupakan impian Kalandra sejak dulu. Semua orang tahu bagaimana dia giatnya belajar agar masuk ke Universitas (baca: Institut) yang berlogo gajah duduk itu. Dan saat ini di hadapannya— lagi dan lagi, laki – laki menyebalkan itu kembali satu sekolah dengannya.

“Kok pura – pura ga kenal gitu sih? Mau kenalan lagi?”

Cukup

“Aneska, Fisika 2011.” Ucapnya dengan senyuman itu. Senyuman yang memuakkan bagi Kalandra.

Segala hal yang dia ingat tentang sosok Aneska, sama sekali tidak ada memori yang indah. Laki – laki itu hanya bisa membuat dia marah dan menangis. Jika ada lomba membenci Aneska, sudah dipastikan Kalandra akan menjadi juara umum.

Dan malam itu Kalandra sudah siap untuk pergi ke Jalan Kasablanka. Dia mengambil nafas panjang. Segala hal yang memuakkan baginya sekarang, akan dia muntahkan malam ini.

“Hai, Manis.”

Cih.

Kalandra langsung membuang muka ketika melihat Aneska sudah di motornya. Dia lalu mematikan rokoknya.

“Udah sembuh?”

“Diem lo, Anjing!”

Aneska malah tersenyum. Ya, laki – laki brengsek ini selalu tersenyum di saat yang tidak tepat dan hanya semakin membuat Kalandra geram.

“Satu putaran, siapa yang paling cepat, dia boleh melakukan apa saja kepada yang kalah. A – pa – sa – ja!”

Can I kill you if I win?” Tanya Kalandra.

Sure, Manis.”

Kalandra mengeluarkan ponselnya. “Tanda tangan di sini.”

Aneska membalasnya dengan tatapan heran. “Gue ga mungkin mangkir.”

“Tanda tangan!”

Fine.” Aneska lalu membubuhkan tanda tangannya di layar ponsel Kalandra. “Mau dimulai sekarang?”

Mereka kemudian bersiap. Aneska dengan helm full face-nya menatap Kalandra yang sudah sangat siap.

Mati lo di tangan gue!

Motor keduanya pun melaju dengan cepat. Tak peduli jika masih ada motor dan mobil lainnya, mereka bagaikan dua orang kesetanan yang sedang bertaruh di jalanan. Kalandra tentu tidak mau kalah, dia akan membalas Aneska. Dia akan membalas semuanya.

Kalandra semakin tak melihat Aneska. Dia seakan-akan menghilang. Tapi Kalandra tidak peduli, yang terpenting dia harus segera kembali ke garis finish yaitu tempat mereka memulai putaran. Senyuman sudah mulai terpatri di wajah Kalandra. Kemenangan sudah didepan matanya. Hingga dia akhirnya memberhentikan motornya.

Yes, mampus lo, Nes! Gue yang menang!!” Teriak Kalandra sambil melepaskan helm-nya dan terduduk di depan Halte Kasablanka.

“Siapa yang menang?”

Suara itu langsung mendapatkan atensi yang sempurna dari Kalandra.

“Sejak kapan lo ada di sini?” Kalandra lalu berdiri, melihat Aneska sudah berada di belakang halte.

“Yang pasti sebelum lo.”

“Anjing, lo curang?!”

“Lo bisa lihat CCTV.”

“Kok bisa?”

“Lo ga tahu, ya, ada yang namanya jalan tikus?”

“Bangsat!” Kalandra langsung menarik kerah jaket Aneska. “Lo emang sengaja, kan? Lo yang pilih tempat ini karena lo udah tahu medannya. Anjing emang lo!!”

“Ini namanya strategi, Manis.”

“Diem lo!!”

Chill, taruhannya tetap berlaku.”

“Lo mau apa? Jawab! Lo mau apa?!” Kalandra sudah merasa kepalanya mendidih. Tangannya pun sudah siap meninju Aneska, jika dia menginginkan hal yang di luar nalar.

“Yang menang boleh melakukan apa saja kepada yang kalah.” Ucap Aneska mengulang kalimat yang dia ucapkan sebelum balapan dimulai.

“Iya, lo mau apa, Anjing?!”

Aneska terdiam. Dia memandang Kalandra dengan lekat. Tangan Kalandra yang dari tadi mencengkram kerah jaketnya, dia lepaskan. Dan Kalandra tidak bisa berkutik ketika Aneska memandangnya seperti itu. Seakan semua kendali sudah digenggam oleh Aneska.

“Gue mau ini.” Jawab Aneska. Dia langsung menarik pinggang Kalandra untuk lebih dekat dengannya. Merengkuh pipinya dan langsung melumat bibir Kalandra. Mata Kalandra terbelalak, kedua tangannya langsung merespon dengan meremas jaket Aneska di bagian lehernya.

Dari jarak sedekat ini, Kalandra melihat mata Aneska terpejam dengan bibirnya yang mencium bibir Kalandra dari berbagai sisi. Tubuh Kalandra menegang. Dia benar – benar seperti kehilangan energi bahkan untuk sekadar mendorong tubuh Aneska. Dia membeku. Dia tidak bisa bergerak. Ciuman itu tanpa jeda. Pemberontakan yang Kalandra berikan pun tampak sia – sia. Dia kalah tenaga oleh laki – laki brengsek ini. Dia yang sudah mencuri ciuman darinya, tidak hanya sekali, namun dua kali.

“Awww!!”

Dengan energi yang Kalandra punya, dia menggigit bibir Aneska dan berhasil melepaskan pagutan itu. Aneska lalu mengusap bibirnya, ada darah di sana.

“Anjing, lo! Berani lo lakuin ini ke gue?!” Teriak Kalandra.

BUGG!

Sebuah tinju mendarat di pipi Aneska hingga dia tersungkur ke tanah. Kalandra menghimpun semua energinya untuk melakukan pembalasan ini.

“Lo emang cowok brengsek, lo emang anjing!”

Dan Aneska tersenyum. Dia tersenyum dengan pipinya yang memar dan bibirnya yang berdarah.

“Kan yang menang boleh melakukan apa saja.”

“Diem lo!”

“Sini. Abisin gue. Pukul gue sampai lo ngerasa puas.” Ucapan Aneska barusan sungguh tak pernah Kalandra duga.

“Kenapa? Kenapa, Anjing?!”

“Biar setidaknya benci lo ke gue reda.”

“Hah? Apa maksud lo?!”

Kalandra langsung menarik kerah jaket Aneska. Dia berada di tengah badan Aneska yang masih tersungkur di tanah.

“Gue mau lo melakukan apa aja ke gue. Apa aja sampai lo puas. Meski mungkin itu ga akan pernah sebanding.” Ucap Aneska pelan.

BUGG!

Kalandra meninju kembali Aneska. “Sini lo!” Dia tarik lagi kerahnya. Kalandra kemudian melakukannya kembali. Tanpa sedikitpun balasan dari Aneska. Sumpah serapah Kalandra ucapkan sambil melampiaskan amarahnya. Hingga di satu titik, Kalandra berhenti. Tangannya memar dan air mata pun menetes dari matanya. Tak bisa dia cegah.

“Kenapa? Kenapa kayak gini?” Hanya itu yang Kalandra ucapkan. Sementara Aneska sudah tak berdaya terbaring di tanah. “Padahal yang gue mau bukan begini, bukan begini, Bangsat!” Ucap Kalandra sambil memukul dada Aneska, pelan namun terasa begitu kuat bagi Aneska.

“Kala ... maunya apa?” Tanya Aneska lirih.

Satu hal. Dari dulu yang Kalandra inginkan dari Aneska adalah satu hal. Satu kata yang sama sekali tidak pernah Kalandra dengar dari 23 tahun dia mengenal seorang Dewandaru itu.

“Kenapa susah banget? Kenapa?!” Tanya Kalandra. Matanya sudah semakin berair.

Dengan sedikit tenaga yang tersisa, Aneska bangkit. Dia terduduk di tanah sambil memegang kepalanya yang berdenyut.

“Apa? Harus gimana?”

Maaf. Kalandra hanya butuh Aneska mengatakan itu. Maaf, Kalandra. Maaf atas selama ini. Maaf sudah pernah melukai. Namun, hal itu sangat sulit diucapkan oleh laki – laki itu.

Atau mungkin Aneska tidak tahu bagaimana cara mengatakannya.

[]

➖ Di ujung mimpi

Wisuda dan segala euforianya terasa berakhir begitu cepat. Biru kini hanya terduduk sendiri di Halte Fakultas Hukum sambil menyandarkan kepalanya pada dinding halte. Dia lelah— meski bahagia karena hari ini dia resmi menyandang gelar Sarjana Hukum setelah menghabiskan 4.5 tahun kuliah. Sebenarnya Biru bisa wisuda bersama Bumi, Semesta, Samudra, dan Awan, namun dia harus ikut wisuda ganjil karena drama skripsinya yang berakhir menjadi lebih lama. Banyak yang mengatakan bahwa menjadi Presma memang jinx-nya tidak pernah selesai kuliah dalam waktu 4 tahun. Dan Biru merasakannya juga.

Biru telah meminta ayahnya pulang duluan sambil membawa banyak bunga dan hadiah wisuda. Bahkan ayahnya mesti menelpon orang rumah untuk mengirimkan satu mobil lagi karena saking banyaknya Biru mendapatkan hadiah hari ini. Sementara teman-temannya terutama Samudra, berinisiatif untuk mengadakan pesta kelulusannya, namun Biru enggan melakukannya hari ini. Dia terlalu lelah, entah rasanya kebahagiaannya terasa ada yang kurang. Terasa ada yang kosong dan hampa.

“Jingga.” Kata itu yang Biru lafalkan pelan sambil melihat senja hari ini. “Biru udah sarjana.” Ucapnya sambil memegang kepalanya. Biru telat makan. Setelah terburu-buru dan berjibaku dengan macetnya area kampus, Biru lupa sarapan, bahkan snack wisudanya tak sempat dia makan karena dia menjadi perwakilan wisudawan yang berpidato serta setelah selesai acara wisuda, dia sibuk berfoto dan menerima hadiah dari orang-orang yang datang ke wisudanya. Maklum Presma yang wisuda, jadi lebih meriah. Begitu kata Samudra.

Kepala Biru rasanya semakin sakit. Dia bahkan sudah tidak ada tenaga untuk memegang ponselnya. Mungkin kalau dia memejamkan matanya sebentar, nyeri di kepalanya akan sedikit lebih mereda.

“Sakit kepalanya?”

Suara itu tiba-tiba terdengar ke telinga Biru. Rasanya Biru ingin segera menoleh, namun lehernya begitu kaku dan berat.

“Mana lagi yang sakit?”

Entah. Rasanya seluruh badan Biru hari ini memang sakit. Lelah karena bangun sangat pagi, lupa sarapan, gugup sebab harus memberikan pidato, berdiri cukup lama menyambut orang-orang yang tak henti menyelamatinya, dan tentu saja rasa rindu mendalam yang dia simpan selama dua tahun ini.

“Sini.”

Belum sempat Biru menjawab, badannya langsung ditarik dan tenggelam dalam sebuah pelukan. Rasanya Biru pernah mengalami hal ini sebelumnya, rasanya aroma tubuh ini sangat familiar, rasanya suara itu adalah suara yang dia nantikan. Dan lambat laun Biru mulai merasakan kantuk yang amat sangat. Tangannya merangkul kecil, meremas sedikit baju bagian pinggang seseorang yang memberinya pelukan.

“Tidur, Biru. Istirahat.” Usapan lembut mengenai punggung Biru membuat Biru semakin terlelap. Dan ketika dia sudah sempurna menutup matanya, air mata menetes tanpa sadar turun dari matanya.


Sebuah lampu kuning temaram menelisik masuk ke pelupuk mata Biru. Sedikit, namun cukup untuk membuat Biru mengusap matanya dan perlahan sedikit terbuka. Dan alangkah kagetnya Biru ketika terbangun dan sudah berada di apartemennya. Tetapi, ada yang lebih membuat Biru kaget yaitu dia tidak sendirian. Di ranjangnya, ada seseorang yang bersamanya sedang terlelap dengan lengan yang memeluk dirinya.

Dada Biru bergerumuh, nafas Biru naik turun tak beraturan, rasanya dia ingin menangis, namun sekuat tenaga dia tahan. Dia usap pipi orang dihadapannya.

Apakah ini nyata?

Apakah ini hanya mimpi?

Dan usapan tangan Biru langsung membuat seseorang itu membuka matanya.

“Udah bangun?”

Suaranya sama dengan seseorang yang memeluknya di halte. Namun kali ini suaranya lebih berat, suara orang yang baru bangun tidur. Dan Biru semakin tak mampu lagi menahannya, air matanya seakan tak memiliki rem langsung mengalir membasahi pipinya. Namun buru-buru Biru menggelengkan kepalanya. Buru-buru dia mengusap air matanya.

“Ngga. Biru .. ngga boleh nangis, Biru .. ngga boleh se—”

Dan tubuh Biru kembali ditarik dan tenggelam dalam ceruk lehernya. Tangannya meremas lebih erat di bagian pinggang.

“Kalau mau nangis, ga apa-apa.”

Seakan kalimat itu adalah mantra, Biru langsung menangis tanpa jeda. Seolah tangis yang selama dua tahun ini dia tahan, kini mengalir deras. Sangat deras.

“Maaf .. maaf, ya.” Ucapnya pelan sambil mengusap lembut kepala Biru. “Maaf Jingga pernah menyerah dan meninggalkan Biru. Maaf Jingga hanya bisa membuat Biru menangis. Maaf ...”

Biru melepaskan pelukan itu. “Ng ... Ngga, ngga ... begitu. Biru ... Biru.”

“Hei ... Biru, breath. Biru ... Maaf, maaf ...” Dipeluknya Biru kembali, kali ini lebih erat. “Maaf, Sayang .. maaf.”

Tangisan dan pelukan itu lama. Mungkin sekitar satu jam. Biru sampai tersedu tak ada air mata. Sulit untuk menghentikannya.

“Biru sudah, nanti lemas badannya.”

“Jingga .. jangan pergi lagi. Jangan .. tinggalin Biru lagi. Udah, Jingga. Udah ... udah cukup.”

“Iya .. iya, Sayang.” Ucapnya sambil menenangkan Biru. “Sekarang tidur lagi, ya, pasti capek banget, nangis tadi lama juga.”

“Ngga mau. Ngga mau. Nanti ... nanti kalau Biru tidur, Jingga pergi lagi. Jingga .. Jingga selalu pergi saat Biru tidur.”

“Kali ini ngga akan.”

“Bener?”

“Iya.”

“Janji?”

“Janji.”

“Kalau bohong dapat hukuman.”

“Hukumannya apa?”

“Nanti Biru pikir lagi, sekarang ngga bisa berpikir.”

“Haha.”

“Jingga jangan ketawa. Jingga jahat.” Ucap Biru sambil memukul pelan dada orang dihadapannya. “Biru sebel, Biru benci sama Jingga. Biru—”

Kini, dagu Biru ditarik lembut. Ucapannya pun langsung terhenti ketika bibirnya dikulum. Lembut dan tentu saja sedih. Entah mengapa selalu ada rasa sedih dalam ciumannya. Biru pun menutup matanya. Merasakan setiap lekukan sayang dan luapan rindu yang tercurah didalamnya. Pagutan itu tak ingin lepas. Semakin dalam, semakin basah, semakin lembut.

“Biru.” Panggilnya. Biru masih menutup matanya. Bibirnya terbuka sedikit dan sangat basah. “Biru sayang ...” Dan matanya kini terbuka.

“Jingga ... “

“Hm?”

“Kangen ... mau ... mau ...”

“Mau apa?”

“Mau .. mau Jingga. Mau .. dicium semuanya sama Jingga.”

“Semuanya?”

Biru mengangguk.

“Biru mau jadi milik Jingga?”

“Biru udah jadi punya Jingga.” Biru mulai mendekatkan tubuhnya hingga tak ada lagi sekat. Dan ciuman itu pun turun ke leher Biru. Membuat rasanya pening kepala Biru semakin nyeri, namun kali ini dengan sensasi rasa yang berbeda.

“Ngg..” Tanpa sadar Biru mendesah kecil ketika semua lehernya kini sudah tertinggal bercak-bercak di sana. “Jingga ... tandai semuanya, ini ... semua punya Jingga.”

Dan semua rasanya tak ingin Biru akhiri. Jika memang ini semua hanya mimpi, jika memang ini semua hanya rasa frustasi dari rindunya, Biru lebih memilih untuk terjebak selamanya dalam mimpi itu. Tak pernah terbangun. Jika memang hanya di dalam mimpi itu, dia dapat bersama Jingga-nya.

[]

Dear Langit Biru,

Ini Jingga. The person who always loves you.

Biru, tahu ngga waktu pertama kali kita ketemu itu, bukan di bis dalam kota— saat lo ketiduran di pelukan gue— tapi saat Latihan Dasar Kepemimpinan waktu SMA. Gue juga baru ngeh saat lihat foto LDK kita dan di sana ada lo; yang gue inget waktu itu lo nangis dan pegang bahu gue dengan erat saat kakak kelas nyemplungin kita ke sungai (ceritanya biar kita punya jiwa kepemimpinan, but seriously I got angry at that time karena mereka ngga cek sebelumnya kalau lo punya trauma). Dan lo tidur di pelukan gue saat itu.

Lo tahu first impression gue saat ketemu lo itu apa? Freak, haha. Tapi emang iya kan? Lo juga mengakui hal itu. Lo selalu tidur tiap gue peluk, lo selalu ngantuk tiap bersama gue, I don't know why. Apa pelukan gue segitu magisnya buat lo? Atau karena waktu SMA itu gue ngga sengaja nolong lo? Gue ngga pernah tahu alasannya, bahkan sampai saat ini. Tapi satu hal, Biru. Mengenal lo adalah the best moment that I ever had in my short life.

Biru, gue bawel, ya, di surat ini? Gue mungkin udah ketularan lo kayaknya. Tapi .. cuma lewat surat ini, gue mampu mengeluarkan setiap kata yang ingin gue ucapkan ke lo, gue ngga terlalu bisa mengucapkannya secara langsung, but you feel it, right?

Langit Biru,

Kalau mau aksi dan turun lapangan, tolong sarapan dulu. Jangan pernah skip. Ngga ada kejadian pingsan setelah aksi kayak waktu itu lagi. Kalau lagi ada proker BEM, jangan terlalu kasih deadline singkat ke anggota lo, kasihan mereka juga punya tanggung jawab lain selain BEM, terutama pilar lo; Bumi, Semesta, dan Samudra. Mereka shock katanya tetiba lo pengen nilai 87 di akhir LPJ paruh II. Tapi gue yakin lo pasti bisa raih nilai itu. You're the best Presma ever.

Langit Biru,

Jangan nangis, jangan sedih. Boleh sih, tapi jangan berlarut-larut, ya. Gue tahu lo adalah orang yang kuat. Langit Biru itu kuat, bersinar, terang, dan luas. Seluas dan selapang hati lo. Baik-baik ke Om Asa. Kasih kabar, sering SMS dan telpon beliau, kalau perlu sering me time sama Om Asa. Beliau pernah cerita ke gue, kalau beliau punya rencana mau jalan-jalan sama lo. Turutin coba, nurut juga sama beliau. Dan Biru, nyokap gue itu keren lho. Dia dokter anak, bisa ngebesarin gue selama 21 tahun sendirian, padahal gue sakit-sakitan, dan nyusahin. Dia rada bawel (kayak lo), but she is kind and soft. Dan dia juga sayang serta care sama lo. Please, considerate her. Dia sangat mengidamkan keluarga yang lengkap, Biru. Memiliki suami dan anak yang sayang ke dia. May I ask this for you?

Langit Biru,

Mungkin lo akan marah dengan keputusan gue ini, ngga apa-apa, gue pantes kok buat ngedapetinnya. Maaf, ya, Biru. Maaf kalau gue berhenti berjuang. Maaf gue udah ingkar janji. Maaf gue ngga bisa menepatinya. Setiap hari rasanya semakin sakit, Biru. Hingga rasanya gue ngga bisa lagi menahannya. Nyokap gue selalu bilang gue akan baik-baik aja, tapi kenyataannya ngga. Semua malah makin memburuk. Setiap hari gue selalu takut. Takut tiba-tiba ninggalin lo di saat gue belum siap dan takut lihat lo nangis karena lihat gue seperti ini. Hingga akhirnya gue memberanikan diri untuk menulis ini semua.

Langit Biru,

Makasih sudah mewarnai senja gue dengan terangnya langit biru. Makasih sudah membuat hal-hal yang bahagia di hidup singkat gue. Semoga kita bisa bertemu lagi, semoga kita bisa dipertemukan di waktu yang lain, tapi gue berharap gue bisa berada di tubuh yang sehat, di tubuh yang kuat, agar gue bisa lebih lama melihat lo, lebih lama bersama lo, dan bahkan bisa selamanya bersama lo.

Biru,

Jangan lupa pergi terapi, ya. Bahagia bersama Om Asa. Tolong sekali-kali tengok nyokap gue, ya. Baik-baik sama Bumi, Semesta, dan Samudra. Akur dan lebih akrab juga sama Bintang dan Awan. Jangan lupa tidur dan makan, Biru.

If you miss me, look at the sky. Ketika langit biru berpendar cahaya jingga.

Maaf dan terima kasih, Biru. I love you

Dari yang terkasih, Cahaya Jingganya Langit Biru