petrichorgreeny

Manito

Secret Friend


Jingga sudah terduduk lesu di ruang tengah ketika yang lain sibuk dengan agenda masing-masing setelah berjibaku naik ATV; ada yang mengendarai dan ada yang dibonceng— seperti dirinya. Yang lain tetap masih bertenaga terutama Samudra dan Bintang, namun bagi Jingga, hampir semua energinya telah terkuras.

“Jingga capek, ya?” Ucap Biru sambil menyalakan kipas mini milik Samudra dan anginnya dikenai ke Jingga. “Badannya Jingga anget.” Biru menempelkan tangannya di keningnya.

“Gue cuma kepanasan.” Jawab Jingga sambil menyandarkan kepalanya di sofa.

“Mau Biru buatkan jus?”

Jingga mengangguk pelan. Biru lalu ke dapur. Jingga melihat Biru menawari Samudra jus juga. Oh.

Guys, masih semangat, kan? Nih gue bawa ini.” Ucap Samudra sambil memperlihatkan microphone bluetooth-nya. Jingga sudah tahu ini akan kemana arahnya.

“Wih, kenapa ngga dilihatin dari awal sih?” Tanya Semesta.

“Kata Biru harus di akhir acara.” Jawab Samudra.

Skip.” Ucap Bumi sambil menyandarkan kepalanya juga ke sofa. Jingga meliriknya. Lebih tepatnya memantau keadaan Bumi. “Gue baik-baik aja, Pak Dokter.” Jawabnya seakan tahu Jingga ingin bertanya apa.

“Jingga ini jus-nya.” Ucap Biru sambil memberikan jus-nya kepada Jingga.

“Kok gue ngga dibikinin?” Bumi melirik ke Jingga padahal Biru yang membuatkan jus untuk Jingga.

“Mau gue bikinin?” Tanya Jingga.

“Ngga usah.”

“Ayo siapa yang mau nyanyi duluan?!” Samudra sudah menyiapkan semua. Menghubungkan youtube ke TV dan menyalakan microphone-nya.

“Lagu itu aja.” Semesta memberi ide.

“Ah, please, jangan lagu itu.” Bumi buru-buru menyalip obrolan.

“Lagu apa emang?” Tanya Awan yang sekarang duduk di samping Jingga.

“Jadi—” Samudra baru akan menjelaskan, namun mulutnya dibekap oleh Bumi yang tetiba merangsek mendekati Samudra.

“Yaudah gue dulu.” Tidak ada angin, tidak ada hujan, Bintang mengambil remote dan mulai memasukkan keyword yang ingin dia cari.

“Emang lo bisa nyanyi?” Bumi sudah dengan mode sinis dan tak percaya.

“Bintang itu vokalis band tapi lagu-lagu yang dibawain ya ... gitu.” Jawab Jingga sambil menyeruput jus-nya.

“Lagu rock?” Tanya Biru.

“Lihat aja nanti.”

Semua tertuju kepada layar dan lagu pilihan Bintang pun diputar. Dia lalu berdiri dengan memasang sebuah gaya. Firasat yang lain semakin tidak enak.

One, two, three, four! I want you (I want you) I need you (I need you) I Love You (I love you) Di dalam benakku Keras berbunyi irama musi-iku Heavy rotation~~

Bumi, Biru, Semesta, bahkan Samudra pun tercengang. Bintang sangat hapal tidak hanya lirik, tetapi gerakannya juga.

“Ngapain lo semua melongo? Ga tahu lagu ini?” Tanya Bintang di tengah lagu. “I WANT YOUUUUU ... I NEED YOUUUU ...” Nyanyiannya —sebenarnya lebih ke berteriak— membahana ke seluruh ruangan. Awan lalu ikut berdiri dan ikut menari —lebih ke memberikan moral support kepada sahabatnya.

“Bintang itu Wota?” Tanya Bumi kepada Bintang.

(Wota = fans JKT48; bukan official nama fans, hanya sebutan saja)

“Dia nangis waktu Melody nikah.” Jawab Jingga.

Heavy Roota~tion~~!!” Teriak Bintang menutup nyanyiannya yang brutal. “Satu lagu lagi, ya?” Pinta Bintang kepada Samudra. Dia lalu mengetik lagu lain. Masih lagu JKT48.

“Ini sih konsernya si Bintang.” Samudra masih seperti tidak percaya.

“Tapi emang anak teknik meski barbar, emang mayoritasnya wota ngga sih?” Ucap Semesta sambil mengutipkan kedua jarinya ketika menyebut kata barbar.

Yang mencinta, Fortune Cookie Masa depan tidak akan seburuk itu Hey, hey, hey! Mengembangkan senyuman kan membawa keberuntungan Fortune Cookie berbentuk hati Nasib lebih baiklah dari hari ini Hey, hey, hey! Hey, hey, hey!

Bintang bergoyang sambil memutar badannya 360 derajat di bagian hey, hey, hey dan mengundang tawa bagi yang lain. Akhirnya tak hanya Awan, namun Bumi, Semesta, dan Samudra pun ikut bergoyang bersama Bintang. Biru tertawa sambil duduk di sofa bersama Jingga. Sudah terlihat seperti orang tua yang melihat anak-anaknya menari.

Janganlah menyerah dalam menjalani hidup Akan datang keajaiban yang tak terduga Ku punya firasat tuk bisa saling mencinta denganmu Woo!

Lagu pun selesai. Bintang menghamburkan dirinya ke sofa.

“Udah kenyang?” Tanya Jingga. Yang ditanya hanya mesem-mesem.

“Luar biasa sekali Saudara Bintang. Nanti closing BEM undang JKT aja.” Ucap Samudra.

“Eh ... serius??” Bintang langsung memasang wajah antusias.

Acc Presma dan Wapresma dulu, ya, haha.”

Bintang menekuk bibirnya. “Ya, nanti gue usahain.” Ucap Bumi sambil mengusap kepala Bintang. Yang diusap hanya bisa tertegun. Salting.

“Lagu selanjutnya lagu itu aja.” Ucap Semesta.

Please, jangan dong.” Bumi sudah mulai memasang wajah enggan.

“Lagu apaan sih?” Bintang penasaran.

“Jadi, guys, tolong Biru dan Ata pegangin Bumi dulu.” Pinta Samudra. Biru dan Semesta langsung menahan lengan Bumi yang akan segera mengambil remote agar tidak memutar lagu itu.

“Ini tuh national anthem kami di BEM. Dulu pas pemilihan Presma sempet stres dan karaoke 4 jam. Kalau ngga kepilih gimana, kalau gagal gimana, ah udahlah overthinking dan lagu ini adalah lagu pemberi semangat. Nanti kalian akan melihat aksi dari seorang Nyala Bumi juga.”

Dan lagu pun diputar.

“Ah, parah ... parah banget.” Bumi mengeluh ketika melihat Biru, Semesta, dan Samudra sudah dengan posisi mereka. Namun meski begitu, Bumi pun ikut ambil posisi.

Hey ... we back, can back with us again. Ah, yeah. Check check check this out!!

Suara Bumi barusan membuat Jingga, Awan, dan Bintang terdiam.

“Dia rapper?” Tanya Bintang.

Senyuman ku tak akan pernah luntur lagi Singing all day long Semangat ku tak akan pernah patah lagi Dancing all night long Dancing all night long

Mereka berempat begitu kompak bernyanyi dengan gerakan yang seperti sudah sangat terlatih sebelumnya (meskipun Bumi tampak malu-malu).

Yo!, sekarang mari dengarkan rapper kita, Nyala Bumi!” Teriak Samudra dan meminta penonton aka Bintang, Jingga, dan Awan untuk bersorak. Dan mereka menurut.

“Tak peduli ku di-bully. Omongan lu gue beli. Cacian lu gue cuci dengan senyuman prestasi. Tak pernah ku malu karena cibiranmu, ku jadikan motivasi untuk maju. No more mellow say no to galau, no more to say no to fear.”

Semua tercengang melihat aksi Bumi yang tadi sangat tidak mau, namun sekarang malah sangat menjiwai.

Let's dance together all night long Let's dance together all night long Let's dance together all night long Let's dance together all night long

Pada bagian itu, mereka berempat mengajak penonton untuk menari. Meski malu-malu bagi Jingga dan Awan, tetapi sangat enerjik bagi Bintang. Mereka bertujuh akhirnya menari bersama dengan penuh senyum dan semangat seperti judul lagunya; SMASH – Senyum Semangat.

Acara karaoke pun dihentikan dahulu —katanya istirahat dulu— karena acara selanjutnya adalah pengumuman Manito.

“Kado udah dipersiapkan?” Tanya Biru. Yang lain mengangguk. “Jadi, nanti kalian nebak dulu Manito kalian siapa, kalau bener langsung reveal dan kasih kadonya. Kalau salah, lewat dulu, ya.”

“Ngga dapet dong kalau salah nebak?” Tanya Samudra.

“Ya, dilewat dulu. Nanti balik lagi muter sampai bisa nebak Manito-nya dengan benar.” Jawab Biru.

Semua sudah mengerti. Biru lalu menunjuk Semesta dahulu. “Hm, yang baik ke gue sih .. siapa, ya.” Samudra mulai memasang wajah antusias. “Yang pasti bukan lo!” Samudra langsung menekuk bibirnya.

“Awan??” Ucap Semesta setengah tidak yakin.

“Betul.” Awan lalu mengeluarkan kadonya yang dibungkus dengan rapi.

“Niat banget deh. Gue aja cuma dibungkus kresek doang.” Ucap Samudra.

“Ya, dia niat karena ngasihnya buat—” Bintang terdiam seketika saat Bumi menyikut perutnya.

“Ini boleh dibuka sekarang?”

“Boleh.”

Semesta lalu membukanya dan kado tersebut berisi pembatas buku berbahan logam ringan dengan ukiran khas Eropa.

“Curang, ini pasti lebih dari lima puluh ribu!” Protes Samudra.

“Ini harganya 3 euro kok. Kalau dirupiahkan ya cuma 47 ribuan.” Jawab Awan.

“Lo kapan pergi ke Eropanya anjir?” Tanya Bintang.

“Semester lalu. Mau dikasih ke Ata cuma belum nemu momen tepat aja, jadi baru sekarang deh.” Jawab Awan.

Setelah Semesta, kini giliran Awan yang menebak manito-nya. “Aku mau nebak tapi takut salah.”

“Ngga apa-apa, salah itu manusiawi.” Jawab Biru.

“Bumi bukan sih?” Tanya Awan ragu.

Deeenggg!” Jawab Bumi.

“Parah banget sengaja, ya, lo! Ihhh ... padahal gue, ah udahlah.” Samudra sudah memasang wajah kesal, namun yang lain justru tertawa seakan tahu kalau Awan sedang menggoda Samudra.

“Coba Bumi sekarang.” Ucap Biru.

“Curiga sih gue sama orang ini. Kayak mendadak baik aja gitu.” Bumi langsung melirik ke arah Jingga. “Nurutin gue banget, bikinin gue sarapan meski kurang garem.” Jingga langsung melotot ke arah Bumi. “Hehe, tapi tetep enak kok. Terus paling riweuh pas gue kepentok. Ah, udahlah pasti Biru. Eh ... eh .. becanda, becanda. Tentu dong manito gue adalah mapres kita semua. Jingga.”

“Nih.” Bumi sudah panjang kali lebar kali tinggi berbicara, namun Jingga langsung menyodorkan sebuah kado yang dibungkus kertas berwarna coklat.

“Apaan ini? Kayaknya buku, ya?” Bumi lalu membuka kadonya dan sebuah buku Diagnosis Medis. “Emang ini 50 ribu?”

“Iya, buku gue.”

“Ngga niat anjir.”

“Niat. Harga aslinya lebih dari itu. Tapi udah gue baca dan gue tandai bagian pentingnya, lebih mudahin lo buat belajar diagnosa nantinya.”

“Beda kalau Mapres ngasihnya buku, ckck.” Ucap Samudra.

“Sekarang Jingga siapa manito-nya?” Tanya Biru.

“Ke Jingga aja lembut banget anjir ngomongnya.”

“Lo mau gue lembutin juga?” Tanya Biru.

“Dih, ogah!” Jawab Bintang.

“Semesta.” Jawab Jingga.

“Tepat sekali. Semoga suka, ya.” Semesta langsung memberikan novel. “Novel lama tapi bagus kok. I don't know but the character reminds me of you.” Ucapan Semesta yang langsung mendapat tatapan tajam dari Biru. “Santai, Bi, itu tokoh utamanya dokter gitu.”

“Bumi juga calon dokter?”

“Soalnya dokter di novel, hm .. jutek.” Ucap Semesta. Kini dia mendapat lirikan dari Jingga.

Sekarang giliran Samudra yang menebak manito-nya. “Gue mau geer tapi dia baik ke semua orang sih.” Ucap Samudra. “Lo, ya, Biru?”

“Seratus.” Ucap Biru.

Samudra lalu menerima kado dari Biru yaitu 3 sheet mask. “Gue ga tahu lo pakai masker apa, tapi yang di minimarket adanya ini.”

“Ahhhh, Biru ... makasih. Gue simpen buat stok, hehe.”

Okay ... Giliran gue yang nebak, ya? Hm ... kayaknya ... hm, kayaknya sih.”

“Lama banget sih lo!” Dumel Bintang tidak sabar.

“Iya, lo.” Jawab Biru.

“Hah, seriusan?? Kapan Bintang baik ke Biru?” Samudra kaget dan tidak percaya. “Eh, tapi emang rada jinak sih ke Biru.”

“Nih, gue ngga tahu, ini kata Jingga kesukaan lo.”

“Kapan deh gue bilang gitu?” Ucap Jingga cepat.

Biru mengambil kado dari Bintang. Satu plastik berisi aneka cemilan dan susu kotak kesukaan Biru. “Makasih, Bintang. Semoga kedepannya lo tetep baik, ya, ke gue.”

Bintang langsung membuang muka. Tapi dia tersenyum kecil ketika Biru sangat senang menerima kadonya.

“Ini sisanya udah pasti ketebak ngga sih?” Tanya Semesta. “Awan siapa manito lo?”

“Sam.”

“Nah gitu dong dari tadi, gue kurang baik apa gimana sih? Kok lo ngga sadar, ih ...”

“Maaf, maaf .. hehe.”

Samudra lalu memberikan kado coklat dengan pita warna putih. “Nih, sekalian gue minta maaf juga karena gue sering bitter ke lo. Semoga kedepannya hubungan kita bisa manis seperti coklat ini.” Ucap Samudra meski dia memberikannya tanpa menatap wajah Awan.

“Nah, gini dong akur.” Ucap Semesta.

“Makasih, ya, Sam. Gue juga minta maaf sering bikin lo kesel. Mungkin kedepannya lo bakal lebih kesel ke gue.”

“Ihhh... nyebelin!!”

“Becanda, Sam.”

Perdebatan kecil Awan dan Samudra mengundang tawa bagi yang lain.

“Yaudah kalau ini udah jelas banget, ya?” Tanya Biru. “Langsung aja, yuk, biar bisa karaoke lagi, hehe.”

“Nih.” Bumi menyodorkan kado kepada Bintang.

“Bom bukan?”

“Menurut lo?”

Bintang lalu membukanya dan isinya adalah hand cream.

“Kenapa deh?” Tanya Bintang heran.

“Biar tangan lo halus, jadi kalau pegangan tangan, ya, lembut tangan lo. Gimana sih ngga paham?” Ucap Samudra.

“Lo mau gue pegang tangannya?” Tanya Bintang.

Kalimat retoris itu langsung dipotong oleh Semesta dan lagu selanjutnya pun diputar untuk memulai karaoke kembali.

Tiga hari healing ala-ala ini memberikan banyak hal bagi mereka bertujuh; yang saling membenci, kini mulai berbaikan; yang terluka, kini mulai berusaha menyembuhkan; yang saling asing, kini mulai mengenal satu sama lain.

[]

➖ Negatif Palsu

Dalam istilah pengujian medis, negatif palsu atau false negative adalah kesalahan yang terjadi dalam diagnosa atau hasil tes medis di mana menganggap sesuatu itu tidak ada (hasilnya negatif), padahal kenyataannya ada.


Malam itu Jingga sebenarnya resah. Ya, dia mengambil banyak kemungkinan-kemungkinan untuk bisa menarik kesimpulan. Namun, selalu terhenti. Sebab baginya itu jelas tidak mungkin. Jingga seolah sudah mengambil berbagai macam sampel untuk mendukung asumsinya dan lagi-lagi dia bantah sendiri. Ah, ngga mungkin. Ucapnya sambil menggeleng kepala.

Malam itu dia memakai pakaian yang dia beli bersama Biru. Sama-sama berwarna coklat. Hanya sedikit berbeda motif. Tetapi jika dilihat dari dekat seperti pakaian couple.

Jingga sudah sampai di restoran. Dia terlambat karena terjebak macet dari rumahnya. Setelah memarkirkan mobilnya, dia masuk ke restoran. Tempat yang sudah di-booking Mamanya jauh-jauh hari. Restorannya memiliki desain Eropa klasik. Di sudut ruangannya terdapat pianis yang memenuhi ruangan dengan lantunan-lantunan melodi dari piano klasiknya.

Pandangan Jingga tertuju ke satu meja. Di sana sudah ada Mamanya, Om Asa, dan seorang laki-laki yang duduk membelakangi arah dia datang. Jingga yakin itu pasti anaknya Om Asa.

“Macet, ya, Sayang?” Tanya Mamanya. Jingga hanya mengangguk.

“Maaf, ya, Ma, Om, aku telat.” Ucap Jingga dan setelah beberapa detik dia mengatakan kalimat itu, seseorang menoleh ke arahnya. Seseorang yang duduk di depan Mama dan Om Asa. Seseorang itu kini menatap Jingga. Dengan tatapan yang tidak bisa Jingga artikan.

Jingga masih memegang kursinya. Dia belum menariknya. Seakan dia tidak memiliki tenaga untuk sekadar menarik kursi dan duduk di sana. Badannya serasa membeku. Mereka hanya saling beradu pandang tanpa saling mengucapkan kata.

“Sayang? Jingga?” Suara Mamanya menyadarkan Jingga. “Duduk, Sayang. Jangan berdiri begitu.” Ucap Mamanya.

Dengan helaan nafas yang dalam, Jingga menarik kursinya dan duduk. Kini dia duduk tepat di sebelah laki-laki itu. Dia yang sedang menundukkan kepalanya. Dia yang tangannya dia kepal di bawah meja karena begitu gemetar. Jingga tahu. Jingga melihatnya. Dia pun ingin menggenggam tangan itu namun bagaimana dia melakukannya jika tangannya sendiri pun sama gemetarnya.

“Jingga, ini Om bawakan bunga untuk kamu.”

Pandangan Jingga yang barusan ikut menunduk, menengadah dan mengambil sebuket bunga pemberian Om Asa.

“Mama juga sama dapat bunga. Tebak dong dari siapa?”

“Si .. apa?” Tanya Jingga yang sebenarnya dia sudah tahu jawabannya.

“Dari Mas. Mas Biru.”

Strike one

“Romantis, ya, ayah dan anak sama-sama kasih bunga, Jingga.” Ucap Mamanya sambil memegang tangan Om Asa.

Strike two

“Ih ... Mama baru sadar ternyata baju kalian samaan ya, bukan hanya warnanya bahkan motifnya juga sama. Baru ketemu sekarang tapi kalian udah kompak banget. Mama seneng lihatnya. Memang kalau mau jadi saudara harus kompak, hehe.”

Strike three

“Tari.”

“Duh ... maaf aku kalau terlalu antusias, jadi suka banyak ngomong. Maaf juga, ya, Mas.” Kalimat kedua ditujukan kepada dia. Dia yang mencoba tersenyum meski tahu itu sangat sulit dilakukan sekarang.

“Kalian sudah saling kenal kan?” Tanya Om Asa. Jingga sama sekali tidak bisa fokus. Dia selalu melihat ke arah samping. Rasanya ia ingin membawa lari seseorang di sampingnya ini. Lari dari sini. Lari dari tempat dan situasi ini.

“Sudah, Om.” Jawab Jingga. Jingga melihat dia sama sekali tidak ada keinginan untuk menjawab. Matanya sudah memerah dengan tangan yang tak hentinya gemetar.

“Pasti sudah saling kenal. Mas di MU kan jadi Presma, ya? Semua mahasiswa pasti kenal. Kalau Mas sendiri sudah kenal Jingga?” Tanya Mamanya. Jingga tahu. Jingga sangat tahu. Lidahnya mungkin akan kelu untuk berbicara saat ini.

“Pasti sudah saling kenal sih, ya, karena Jingga Mapres di MU.” Timpal Om Asa.

“Yang satu Mapres, yang satu Presma, kenapa Mama rasanya bangga banget, ya, hehe.” Ucap Mamanya yang tak berhenti tersenyum hari itu. Berbanding kebalik dengan dirinya yang bahkan untuk menyunggingkan sedikit senyum pun sangat susah. “Kalau kalian saling kenal, kenapa ngga dari dulu ya ketemuannya? Tapi, sama-sama sibuk sih, ya, jadi baru bisa ketemu sekarang.”

Pramusaji lalu datang dengan membawa steak pilihan yang sudah dipesankan sebelumnya.

“Ini yang Mama tanyakan ke kalian, gimana sesuai pesanan kan?” Hanya anggukan yang dapat menjawab pertanyaan Mamanya saat ini.

Terlihat Om Asa memotongkan steak milik Mama Jingga dan dia menatap Om Asa sambil menopangkan dagu. Tatapan yang tidak ingin lepas. Really love birds. Jingga lalu mengambil steak dan memotongnya kemudian menyerahkan kepada laki-laki di sampingnya.

“Wih ... anak Mama.” Ucap Mama Jingga mengusap tangan Jingga perlahan ketika melihat aksi Jingga barusan.

Jingga terus melihatnya. Dia yang seperti sudah berada di ujung titik kemampuannya untuk bisa bertahan di tempat ini. Satu gigitan. Dia baru memakan satu gigitan sementara Jingga masih melihatnya. Jingga belum memotong steak-nya.

BRAKK

Suara gebrakan meja yang sedikit mengejutkan itu membuat semua pusat perhatian jatuh kepadanya.

“Maaf saya izin ke toilet.” Ucapnya sambil berdiri dan pergi berlalu. Jingga semakin tidak enak hati, semakin tidak karuan.

Jingga menatap ponselnya, sudah lima menit dan belum kembali.

“Jingga—”

“Aku izin ke toilet juga.” Jingga berdiri.

“Sekalian cek Mas, Jingga.” Ucap Mamanya.

Lima menit lebih belum kembali dari toilet dengan keadaannya sebelumnya yang Jingga pun rasanya sudah tidak sanggup duduk di meja itu.

“Biru ... Biru ...” Jingga memanggil sambil mendorong satu persatu pintu toilet. Dan tiba di satu pintu yang tidak terdorong. Dia pasti ada di sana.

“Biru, lo di sana?” Tak ada jawaban. “Biru.” Lalu terdengar suara flush dari toilet.

Ceklek

“Biru, lo—”

“Jingga udah tahu sebelumnya?” Tanyanya sambil mencuci tangan ke wastafel.

“Lo habis muntah, ya?”

“Jawab! Jingga udah tahu sebelumnya?” Suaranya meninggi. Ini pertama kalinya Jingga mendengar dia berkata dengan nada tinggi seperti itu kepadanya.

“Ngga. Gue .. Gue baru tahu sekarang juga.” Jingga terdiam. Dia terdiam. Tangannya di wastafel seolah menopang segala beban tubuhnya di sana.

“Kita harus bagaimana, Jingga?” Ucapnya sambil menunduk. “Kita harus bagaimana?” Kini dia menatap Jingga dengan mata yang sudah dipenuhi oleh air mata. Mungkin sudah dia tahan sejak tadi.

“Biru.” Jingga langsung memeluknya. Sangat erat.

“Kepala Biru sakit, Jingga. Perut Biru sakit sekali.”

Jingga mengusap-usap punggung laki-laki itu. Dia yang tak pernah Jingga sangka. Jingga selalu mengira bahwa dia paling pintar dalam tugas mendiagnosa. Namun tidak untuk kali ini. Dari 51 hakim agung di negara ini, kenapa harus Om Asa yang Mamanya pacari? Dari 135 mahasiswa hukum angkatan 2019 di MU, mengapa harus Langit Biru anak dari Om Asa? Jingga menyesal melewatkan segala banyak kemungkinan. Dia terlalu menganggap bahwa semua itu tidak mungkin dengan hasil negatif. Namun, ternyata itu hanyalah negatif palsu.

Rasanya Jingga ingin menangis juga. Kepalanya pun sakit. Perutnya pun sakit. Tapi salah satu harus ada yang kuat. Salah satu harus ada yang menopang ini semua.

“Biru. Biru.” Ucap Jingga namun yang dipanggil tak bergeming. Jingga lalu melihat wajah Biru yang sangat pucat. Tubuhnya dingin. Dia terlelap. Mungkin dia tidur namun kali ini berbeda, nafasnya naik turun tak beraturan dengan detak jantung yang sangat lemah.

“Biru... Biru, bangun. Biru!” Masih tak ada jawabannya. Jingga lalu menggendong tubuh Biru ke punggungnya. Setelah keluar dari toilet, Jingga paham pasti semua akan panik. Terutama di meja itu; Om Asa dan Mamanya.


Sesampai di IGD, Jingga melihat Biru dibawa dengan cepat. Sebuah selang masuk kedalam mulutnya. Stetoskop, senter, selang oksigen, semua begitu cepat dilakukan ke tubuh Biru. Jingga hanya bisa melihatnya dari jauh. Melihatnya dengan nanar dan sakit.

Jingga lalu menatap ke samping. Di sana ada yang tengah menangis dalam pelukan Mamanya. Dia yang panik karena anaknya tak sadarkan diri. Mamanya memeluk pria itu, mengusap punggungnya, mencium pipinya, memberikan pria itu ketenangan. Persis. Sama persis yang selalu Jingga lakukan pada pria terkasihnya juga. Namun, saat ini Jingga belum bisa memeluknya, belum bisa menciumnya, Jingga hanya bisa melihat dari jauh pria terkasihnya itu terbaring tak berdaya di ranjang unit gawat darurat.

Kenapa? Kenapa dari sekian kemungkinan itu harus ini yang terjadi? Lutut Jingga gemetar hebat. Kakinya tak mampu lagi menahan tubuhnya untuk berdiri. Dia terduduk. Dia terduduk dengan kepala menunduk sambil memeluk kedua kakinya. Dia menangis. Dia baru bisa menangis sekarang. Dia tutupi wajahnya. Menutupi isak tangisnya.

“Biru tanya kita harus apa? Jingga juga ngga tahu, Biru. Jingga juga ga tahu kita harus apa.” Ucapnya dalam tangis yang tersedu-sedu.

[]

➖ Bermuram Jingga Di bawah Langit Biru

Satu hal yang Jingga tahu, jika Biru sedang kalut, maka dia akan pergi menemui Bundanya. Dan benar saja, Biru sekarang sedang duduk di depan makam Bundanya sambil mengusap nisan dan mengganti bunga yang lama dengan bunga baru yang dia bawa.

“Biru.”

Yang dipanggil pun menoleh. “Jingga?”

Jingga menghampiri Biru lalu segera mengusap wajah Biru. “Lo ngga apa-apa kan?”

Biru bingung melihat kenapa Jingga sepanik itu. Dia pun menggeleng. “Jingga, kenapa kesini?”

“Lo ... Lo ngga balas pesan dan angkat telpon gue.” Ucap Jingga. Nafasnya tersengal-sengal. Ada rasa resah dan khawatir dalam nada bicaranya.

“Maaf, ponsel Biru mati. Lupa isi daya.” Jawabnya sambil memperlihatkan ponselnya. Jingga lalu menghela nafas dalam. Kepalanya dia sandarkan ke bahu Biru. “Jingga, kenapa? Jingga baik-baik aja kan?”

“Gue mau jemput lo.” Ucap Jingga. Suaranya memelan. Dia lalu menengadahkan kepalanya. “Pulang, ya, sama gue.” Matanya berkaca-kaca. Sekat khawatir itu kini menular ke Biru.

“Iya, Biru pulang sama Jingga.”

Setelah berpamitan dengan Bundanya, Biru lalu berjalan dengan tangan yang digenggam erat oleh Jingga. Seakan genggaman itu tak ingin Jingga lepaskan.

“Jingga kenapa kakinya?” Tanya Biru melihat seperti Jingga berjalan agak sedikit tertatih.

“Ngga apa-apa.”

“Jingga, Biru mau ngomong.”

“Nanti, ya. Nanti pas udah di apart.” Ucap Jingga sambil memakaikan helm kepada Biru.

“Ini motor Bumi?”

“Iya, gue pinjem.”

“Motornya kok lecet begitu?”

“Lo pakai jaket, ya?” Ucap Jingga sambil memakaikan jaket ke Biru. Dia lalu meresletingkan hingga menutupi dadanya. Jingga lalu naik ke motor setelah memakai helm dan jaketnya yang kemudian disusul oleh Biru.

“Pegangan, ya. Tapi jangan sampai tidur.” Biru menurut. Dia melingkarkan tangannya di pinggang Jingga. Badannya dia dekatkan sehingga pipinya bersandar ke punggung Jingga.

“Jingga tahu dari mana Biru ada di sini?” Ucapnya sambil berlomba dengan angin agar suaranya dapat terdengar oleh Jingga.

Feeling.”

“Katanya ngga suka pakai feeling tapi ini kok ...” Ucapan Biru terhenti ketika Jingga mengusap tangan Biru yang berada di peluknya. Biru langsung diam seketika. Tak ada lagi obrolan selama 1.5 jam di atas motor. Mereka terlarut dengan pikirannya masing-masing.

Setelah sampai di apartemen, Jingga meminta Biru ke unitnya. Di sana, Biru mengisi daya ponselnya sementara Jingga ke kamar mandi. Biru sebenarnya merasa ada yang tidak beres dari Jingga sejak dia mendatangi Biru di makam Bundanya.

“Mau makan dulu atau—”

Biru langsung menghampiri Jingga dan memegang bahunya. Jingga langsung meringis. Biru kemudian menyuruh Jingga untuk duduk di ranjang. Lalu, dia ke kamar mandi dan di sana dia melihat kapas dan perban yang penuh darah di tempat sampah. Tatapannya langsung tajam ke arah Jingga.

“Jingga kenapa?”

“Gue ngga—”

Biru langsung membuka sedikit kancing kemeja Jingga. Meski ada perlawanan, tapi Biru tidak gentar. Dia akhirnya melihat bahwa bahu Jingga memar. Dia singkap tangan kemeja dan terlihat sikut Jingga yang telah diperban.

“Masih bilang ngga apa-apa?” Ucap Biru. Nadanya berubah menjadi marah dan kesal. Dia singkap celana Jingga sampai lutut dan terlihat luka di lutut dan betisnya.

“Jawab jujur ngga?!”

“Gue jatuh dari motor.” Ucap Jingga sambil membenarkan kemeja dan celananya.

“Kok bisa?”

“Gue meleng terus ketabrak.”

“Hah???” Biru makin kaget. Jantungnya rasanya berdetak tidak karuan. Bisa-bisanya Jingga setelah jatuh— bahkan ketabrak — dapat menjemputnya, mengendarai motor, dan mengantarnya ke apartemen seakan tidak pernah terjadi apa-apa.

“Ayo ke rumah sakit!” Ajak Biru langsung menarik tangan Jingga.

“Gue ga apa-apa.”

“Jingga!” Tegas Biru.

“Biru.” Ucap Jingga lembut. Dia meminta Biru untuk duduk dan menatapnya. “Jingga mau ngomong.” Biru benar-benar terdiam. Rasanya dia tidak lagi bisa membantah Jingga ketika dia sudah berbicara dengan mode lembut begitu kepadanya.

“Ini ngga apa-apa, seriously. Salah gue yang panik dan takut lo kenapa-napa, makanya gue meleng dan jatuh. Gue beneran takut, takut lo ngga ada di makam Bunda lo, terus gue harus nyari lo kemana?” Matanya mulai memerah. Nada bicaranya bergetar. Dia seperti sedang menahan gemuruh di dadanya.

“Jingga, maafin Biru.”

“Ngga, ini salah gue. Salah gue, Biru. Lo ... Lo itu ...” Jingga tiba-tiba terdiam. Persis seperti waktu itu. Tangannya lalu meremas erat selimut di atas ranjang. “Lo itu bukan ... Ah, shit! Sebentar, Biru, 2 menit.” Jingga langsung membalikkan badannya memunggungi Biru. Dia remas bantalnya sangat kuat.

“Jingga kalau sakit, bilang aja. Jangan ditahan begitu.” Biru langsung menghampiri Jingga. Dia lalu mengusap punggung Jingga dengan perlahan. “Pelan-pelan aja, Jingga.”

“Lo itu ... Lo bukan perusak hubungan gue, Biru.” Ucap Jingga. Nadanya getir. Dia masih menunduk dan membelakangi Biru. “Hubungan gue udah hancur dan rusak bahkan sebelum lo datang. Dan lo juga sama sekali bukan penyebab sakit gue. Dia ..  dia yang berkhianat lebih dulu bukan gue. Gue ... iya gue goyah, iya gue ga menampik tapi gue ga khianati dia, gue tetap berusaha mempertahankan semua sampai dia sendiri ... dia sendiri yang memilih pergi dengan orang lain.” Jingga tidak lagi dapat menahan air matanya. Wajahnya dia tutupi dengan tangannya.

“Jingga, udah..  Udah.” Biru membalikkan badan Jingga dan memeluknya dengan erat. “Maaf, ini salah Biru yang tiba-tiba chat begitu ke Jingga dan pergi tanpa bilang dulu. Biru lagi kalut saat itu, Biru ngga tahu harus gimana. Maaf, maaf, Jingga. Biru...”

Pada satu titik ini yang mereka lakukan adalah menangis bersama. Menangisi sakit dan luka satu sama lain.

“Biru harus apa agar Jingga ga sakit lagi? Biru harus apa agar luka Jingga sembuh?” Biru menangkup wajah Jingga. Mata keduanya sudah basah dan memerah. Biru mengusap mata Jingga meski matanya pun masih tergenang air mata. “Sakit sekali Biru lihat Jingga begini. Biru benar-benar mau menyembuhkan Jingga. Biru tahu ini ngga mudah, tapi kita pelan-pelan saja, ya.”

“Biru, lo ngga ngerusak apapun, lo ngga ngehancurin apapun.”

“Iya, Biru paham. Maaf, ya, Jingga. Maaf, Biru tadi tiba-tiba jadi kalut, harusnya Biru bisa lebih tenang. Biru ngga akan dengerin omongan siapapun lagi. Sekarang hanya kita berdua. Tempat ini cuma untuk Biru dan Jingga. Kita berdua, sama-sama, ya, mulai bareng-bareng.” Ucap Biru sambil mengusap kepala Jingga dengan perlahan. Jingga sekarang begitu rapuh bahkan sentuhan lembut pun bisa sangat melukainya.

“Jingga.” Biru merengkuh wajah Jingga membuat agar Jingga menatapnya.

“Biru sayang Jingga. Sayang sekali.” Biru lalu menarik pinggang Jingga ke arahnya. Biru ingin memangkas semua jarak. Dia lalu meraih wajah Jingga dan mencium bibir Jingga dengan lembut. Sangat lembut. Tidak tergesa. Tidak terburu-buru. Jingga memejamkan matanya begitupun dengan Biru. Mencoba merasakan rasa satu sama lain.

Ciuman itu Biru lakukan dengan lembut dan perlahan. Ada resah, ada sakit, ada luka di setiap lumatan yang Biru rasakan di bibir Jingga namun Biru hanya ingin menyalurkan rasa sayangnya, Biru ingin memberitahu kepada Jingga akan perasaannya. Dia yang ingin memberikan kebahagiaan pada Jingga, dia yang ingin menjaga Jingga, dan dia yang ingin menyembuhkan Jingga.

“Jingga.” Ucap Biru ketika pagutan itu dia lepaskan. Jingga masih memejamkan matanya. Basah tersisa di pelupuk matanya. Perlahan dia membuka matanya. Biru mengusap lembut di bibir Jingga yang basah dan merah. “I love you, Jingga.” Ucap Biru pelan dan kini dia yang memejamkan matanya. Dia terlelap merubuhkan badannya ke pundak Jingga. Lagi-lagi Biru tertidur dalam dekapannya kepada Jingga.

[]

➖ Dia yang selalu datang di saat yang tepat

Biru hanya memutar-mutar pulpen yang dia pegang sedari tadi sambil mendengarkan perdebatan alot dari rapat Art War antara ketua kontingen fakultas dan panitia. Art War adalah lomba seni antar fakultas dan merupakan salah satu dari Big 4 event milik BEM selain Olimpiade (lomba olahraga), OIM (Olimpiade Ilmiah Mahasiswa), dan Bedah Kampus. Sebenarnya projek Big 4 ini sudah dibagi 2 dengan Wapresma-nya. Bumi bagian Art War dan Olimpiade (yang sering disingkat menjadi olim), sementara dirinya bagian OIM dan Bedah Kampus. Namun, lihat sekarang siapa yang duduk mengawasi rapat Art War. Ya, Biru. Dia yang harus dituntut untuk selalu ada.

Rapatnya sungguh membosankan dan tidak menemukan titik temu. Hanya bersikukuh dengan keinginan masing-masing tanpa ada yang mau mencari jalan tengah. Dalam setiap proyek event besar, BEM selalu melakukan open tender dan penerimaan panitia secara umum sehingga dalam setiap acara, tidak hanya berisi anak BEM saja. Maka dari itu, perlu setiap rapat diawasi oleh setidaknya petinggi BEM entah itu pilar atau BPH.

Semakin lama, rapat pun semakin kemana-mana dan kepala Biru pun rasanya ingin meledak. Dia harus menengahi ini semua.

“Gini deh.” Kalimat pendek yang barusan keluar dari mulut Biru langsung mendapatkan perhatian dari semua orang dalam ruangan. “Setiap ketua kontingen fakultas tulisin kebutuhan kalian tapi tetap harus sesuai T&C saat technical meeting jadi kalian tetap ngga bisa semaunya.”

“Tapi kan kita udah bayar.” Seseorang entah dari fakultas mana baru saja menanggapi ucapan Biru.

“Iya, memang. Makanya gue di sini bilang kalian tulisin dulu kebutuhannya. Nggak akan semua dikabulin karena tetap ada keterbatasannya juga. Kalau lo semua di sini butuh transparansi kemana aja uang yang fakultas bayarkan untuk Art War, don't worry kita akan selalu publikasikan di medsos Art War, nanti kalian semua bisa cek sendiri.”

Semua terdiam. Mencoba memahami dan mungkin menerima perkataan Biru barusan. “Karena kalau saling keras satu sama lain, rapat ini bakal takes time dan mungkin bisa sampai besok. Kalian pasti capek kan, udah kuliah, praktikum, terus sekarang ke FC dan rapat sampai malam pula. Jadi saran gue, mending kalian rembugan lagi dengan tim fakultas kalian, panitia juga pitching kebutuhan yang kira-kira affordable buat dipenuhi. Kasih tenggat waktu pengumpulan kebutuhannya, udah gitu agendakan lagi buat rapat selanjutnya.” Jelas Biru. “Sorry, ya, Ven, gue nyela rapat jadinya.” Ucap Biru kepada Venya, Project Officer acara ini.

“Ngga apa-apa, Biru. Emang butuh penengah buat rapat ini, hehe.”

“Nanti keuangannya lo omongin sama Sam. Teknis dan lainnya omongin ke Bumi, gue nanti lihat draft-nya aja.”

“Iya, Pres.”

Rapat pun akhirnya bisa diakhiri. Lega. Meski kepala Biru dari tadi sebenarnya tak henti berdenyut. Di FC sekarang tinggal BPH dan beberapa orang saja.

“Bumi kemana?” Tanya Biru ke Venya.

“Dia bilang mau hadir tapi sampai bubar ngga dateng-dateng.”

“Bagus, ya, lo baru dateng!”

Suara barusan langsung menambah sakit kepala Biru. Suara itu berasal dari luar. Jelas suara Samudra. Sedari tadi rapat, Samudra hanya duduk dekat pintu. Tak bersuara dan menatap Biru yang terus memijat kepalanya yang tak hentinya berdenyut.

Sorry, sorry.” Bumi baru datang disusul di belakangnya adalah Samudra. Biru langsung menatap tajam ke Bumi.

“Lo berdua ikut gue ke ruang sebelah.” Tegas Biru. Ruang sebelah BEM adalah ruang perpustakaan dan arsip-arsip BEM. “Ven, kalau Ata datang suruh dia ke sebelah juga.”

Biru lalu keluar dan diikuti Bumi serta Samudra. Setelah mereka masuk, mereka lalu duduk di atas karpet. Tak ada suara. Baik Bumi maupun Samudra hanya terdiam. Keheningan itu pun pecah ketika Semesta datang.

“Kunci pintunya.” Ucap Biru. Semua langsung memandang Biru. Ya, ini sudah tidak baik-baik saja. Biru sama sekali tidak tersenyum bahkan sejak rapat tadi.

“Lo yang janjiin rapat ini jam 7 karena menyesuaikan waktu lo pulang kerja, terus kenapa lo ngga datang?” Tanya Biru kepada Bumi.

Sorry, Bi. Tadi ada something jadi gue telat datang.”

“Seenggaknya lo bisa ngasih tahu ke Venya!”

“Gue minta maaf. Keadaannya chaos di tempat kerja gue jadi gue lupa buat ngabarin.”

“Udah?” Bumi terdiam dan menatap Biru. “Udah lo bikin alasannya?”

“Biru, gue ga beralasan. Itu memang kejadiannya begitu.”

“Udah berapa kali kayak gini? Sekali, dua kali, gue bisa tolerir. Tapi ini udah lebih dari tiga kali, Mi. Gue tahu lo kerja, lo sibuk, tapi lo ngga bisa lupain tanggung jawab lo di sini juga.”

Bumi hanya menunduk. “Maaf, Biru.”

“Jangan ke gue minta maafnya, ke seluruh panitia Art War dan ketua kontingen yang udah belain rapat menyesuaikan waktu lo tapi lo malah telat datang!” Biru lalu menarik nafas panjang dan dalam.

“Dan lo, Ta. Kenapa notulensi ngga diserahin ke Bumi? Dia sampai harus tagih notulensi ke setiap sekre acara padahal ada lo! Itu tugas lo!”

“Gue salah, Biru.” Ucap Semesta.

“Apa alasan lo?”

“Gue ngga beralasan apa-apa karena gue udah salah.”

“Tolonglah, tolong banget. Kalau kalian ada masalah personal diluar BEM, jangan jadiin BEM pelampisan. Lo semua harus profesional di sini. Gue di sini marah sama Bumi dan Semesta terus kalau kita nanti ketemu di kantin as friend apa gue akan marah? Nggak, karena gue marah ke lo sebagai Presma bukan sebagai temen lo. Dan sebaliknya.”

Biru lalu berdiri. Rasanya cukup untuk hari ini. “Kalau lo semua udah ngga sanggup di BEM lagi, bilang ke gue. Gue bisa ajuin reshuffle!” Pungkas Biru membuka pintu dan keluar. Biru masih berdiri di depan pintu, yang dari luar bahkan dia masih mendengar mereka yang di dalam saling menyalahkan satu sama lain. Sudah. Cukup. Biru terlalu lelah hari ini.

Di halte FC, Biru melihat jam di ponselnya. Sudah pukul 9 malam tentu sudah tidak ada bis kampus yang bisa membawanya ke halte FH. Halte terdekat dengan apartemennya. Biru sudah tahan lagi, kepalanya sudah sangat sakit.

“Kepalanya sakit?” Suara itu terdengar samar oleh Biru. Mungkin ada seseorang di sebelahnya sekarang. Biru tidak tahu. Dia dari tadi menunduk sambil memijat kepalanya. “Iya.” Jawab Biru seadanya.

Entah bagaimana, Biru rasanya seperti ditarik seseorang. Kini, pandangan Biru adalah tembok halte dengan dagunya berada di bahu seseorang. Wangi itu, Biru bisa menciumnya. Wangi parfum itu.

You did well today, Biru.” Seseorang itu memeluk Biru dan menepuk punggungnya. Dan Biru rasanya sangat mengantuk. Matanya pun terpejam dan tangannya pun melingkar ke punggung orang itu. Dia membalas pelukannya. Pelukan yang tak ingin Biru lepaskan lagi.


Sebuah cahaya seperti dari sinar bola lampu, menyita perhatian netra Biru yang sudah sedikit terbuka. Dia lalu mengucek-ucek matanya. Biru kaget ternyata dia sudah berada di kamarnya. Tepatnya di atas ranjangnya. Namun hal yang lebih membuat Biru tersentak adalah dia tidak sendiri. Di hadapannya ada seseorang yang tertidur. Tangannya melingkar di pinggang Biru. Dia hanya bisa menatapnya. Dadanya tetiba sesak. Matanya mulai memerah. Betapa Biru sangat merindukan seseorang di hadapannya itu.

Biru lalu menyubit pipinya. Ya, ini bukan mimpi. Rasanya Biru ingin menangis namun dia harus menahannya. Biru kemudian mengusap pipi orang dihadapannya itu. Lembut. Ini benarkah dia? Ini benar-benar dia? Lalu, tiba-tiba matanya terbuka. Biru tersentak seketika.

“Udah bangun?” That his deep voice. Jantung Biru berdetak sangat cepat sekarang. Dia hanya bisa tertegun dan mematung. “Okay, kalau gitu gue balik.” Orang itu beranjak dari ranjang Biru.

Ayo, Biru, ini kesempatan. Jangan disia-siakan.

“Jingga.” Panggil Biru. Yang dipanggil sedang mengambil tas yang tergeletak di samping ranjang Biru. “Apa kabar?”

“Baik.”

Ayo, tanya lagi, Biru!

“Jingga, lo kemana ngga kuliah 2 minggu?”

“Gue ada urusan.”

Tanya lagi, tanya hal itu. Ayo, kapan lagi bisa ketemu?!

“Jingga.”

“Gue balik, ya.” Yang dipanggil sekarang sudah didepan pintu sedang memakai sepatunya.

Biru!! Come on!

“Jingga, gimana kabar Ibu pacarnya Jingga? Bumi bilang waktu itu Jingga ke rumah sakit mau jagain Ibu pacarnya Jingga itu.”

Sukses. Ucapan Biru barusan, sukses membuat Jingga menengadahkan kepalanya untuk menatap Biru. Dia telah selesai memakaikan sepatunya.

“Ngga tahu.”

“Ngga tahu gimana, Jingga?”

This is the good signal, right?

“Gue ngga tahu. Dia bukan pacar gue lagi.”

DUARR! Rasanya ada kembang api yang keluar dari dada Biru saat ini. Ini adalah saatnya, ini adalah saatnya!

“Jingga.” Biru memanggilnya kembali namun tangannya memegang tangan Jingga. “Gue boleh chat Jingga lagi? Gue boleh ketemu Jingga lagi?”

Ada jeda setelah perkataan itu. Mata Jingga masih menatap tangannya yang dipegang Biru. Lalu kemudian beralih dengan menatap Biru. Ya, Biru sedang menunggu jawaban Jingga.

“Boleh.”

Okay, makasih, Jingga.” Ucap Biru sambil tersenyum. Jingga lalu membuka pintu unit Biru dan keluar.

Setelah Jingga pergi, Biru langsung berlari ke ranjang. Dia menjatuhkan tubuhnya begitu saja. Dia menggoyangkan kakinya dengan cepat. Berteriak sambil menutup wajahnya dengan bantal. Rasanya dia sudah lupa bahwa tadi perut dan kepalanya sakit karena yang Biru rasakan sekarang, ada kupu-kupu yang sedang terbang di perutnya.

[]

Aequam memento rebus in arduis servare mentem

In adversity, remember to keep an even mind In the trouble, remember to keep calm

Tidak ada lagi percakapan terutama di bangku belakang pasca keributan di group chat. Satu kata di benak Biru sekarang; lelah. Entah dia harus berbuat apa karena selalu dianggap salah oleh salah satu orang. But we can't please everyone, right? Biru tidak ingin memikirkannya dulu. Dia ingin fokus melihat pertandingan antara Jingga dan Bumi yang — setidaknya — ini terjadi karena dirinya.

Ajang adu ICS (Integrated Clinical Skill) telah dibuka. Bumi dan Jingga sudah memakai jas lab putih. Biru beberapa kali pernah melihat Bumi memakai jas lab itu namun untuk Jingga, dia baru sekarang melihatnya. Jas itu tidak kebesaran seperti punya Bumi. Dibuat sengaja fit di badannya. He looks alike doctor maybe born to be doctor.

Kegiatan ICS ini direkam dan ditampilkan di layar infocus yang dimaksudkan sebagai arsip kegiatan MSA. Lalu, untuk setiap yang dilakukan oleh Jingga dan Biru akan dinilai oleh senior di MSA; mereka kakak tingkat dan juga mahasiswa semester akhir. Penilaian berupa checklist yang berisi urutan pemeriksaan pasien dari awal hingga akhir dan juga lembar penilaian lainnya. Terlihat wajah gugup yang disembunyikan baik oleh Jingga maupun Bumi. Pertarungan ini mungkin tidak asing sebab sebelumnya Jingga dan Bumi pernah berkompetisi untuk ajang pemilihan Mapres FK.

Dalam setiap ICS yang dilakukan pertama kali yaitu cuci tangan aseptik; memastikan tangan bersih sebelum memeriksa pasien. Proses itu direkam dan dapat dilihat oleh penonton bangku belakang.

“Ribet banget, ya, cuci tangannya. Pantesan si Bumi kalau mau makan, lama banget buat cuci tangan doang. Lihat sampai 6 langkah begitu.” Ujar Samudra. “Gue cuci tangan paling telapak doang, kucek-kucek.”

“Ya, sekarang lo terapin cuci tangan yang bener kayak gitu.” Timpal Semesta.

“Nanti gue terapin kalau gue mau skincare-an.”

“Itu harus urutan banget gitu, ya? Kayak setiap yang dilakukan, di-checklist gitu?” Bisik Awan kepada Bintang.

“Ya, harus text book banget, apa ngga bisa improvisasi ya?”

“Kalau improvisasi, ngga klinis dong?” Timpal Awan. Bintang hanya manggut-manggut berusaha mencerna.

Biru hanya mendengar percakapan di sebelah kiri dan kanannya itu. Dilihat dari sini saja sudah terlihat bahwa profesi dokter memang tidak main-main. Mulai dari mencuci tangan yang selalu dianggap sepele oleh orang awam seperti dirinya, namun ternyata harus dilakukan dengan teliti oleh mahasiswa kedokteran.

Okay, sekarang kita ke anamnesa. Apa isi dari anamnesa?”

(Anamnesa berasal dari Anamnesis yang diambil dari bahasa Yunani, artinya mengingat kembali. Anamnesa adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara baik langsung pada pasien [auto anamnese] atau bisa juga bertanya kepada orang tua/sumber lain [allo anamnese]).

Jingga langsung cepat mengacungkan tangannya. “Iya, Jingga.”

The Fundamental Four dan The Sacred Seven.”

Juri yang merupakan kating (kakak tingkat) itu pun mengangguk. “Jelaskan—”

“Saya!” Jingga sudah mengacungkan tangannya kembali bahkan ketika juri belum selesai mengajukan pertanyaan.

“Iya, Jingga.”

“Buset, ngga dikasih nafas tuh si Lala, mampus! Semangat, Jingga!” Suara Bintang barusan langsung diprotes oleh panitia lain karena dianggap mengganggu.

“Untuk fundamental four: 1) RPS atau Riwayat Pasien Sekarang, 2) RPD atau Riwayat Pasien Dahulu, 3) Riwayat kesehatan keluarga, dan yang terakhir 4) riwayat sosial ekonomi.” Jawab Jingga tanpa ada jeda sedikitpun. Biru tersenyum melihatnya.

Okay, untuk the sacred seven, Bum—”

Jingga mengangkat tangannya lagi.

“Bumi, silakan ja—”

“Saya bisa menjelaskannya. Lagipula ini bukan sedang kuliah dan saya yang pertama mengacungkan tangan.” Ucap Jingga tegas.

“Apaan sih si Jingga itu, santai kali. Bumi juga mau jawab cuma dia motong mulu!” Timpal Samudra yang langsung diberi tatapan tajam oleh Bintang.

“Yee.. salah sendiri dia lambat, kok malah nyuruh Jingga yang santai sih. Ngaco lo!”

“Ssst ... Kalian jangan ribut nanti dikeluarkan oleh panitia.” Ucap Biru memisahkan sebelum keributan lainnya muncul.

“Lokasi, onset yang terdiri dari durasi, kapan, dan frekuensi, lalu kuantitas keluhan semacam ringan atau berat, terus kualitas kayak rasa sakitnya seperti apa, dan ...” Jingga menghentikan penjelasannya.

“Dan apa, Jingga? Kamu ngga tahu?”

“Lanjutin sama lo.” Bisik Jingga. Bumi kaget dan bingung.

“Yang kelima yaitu faktor-faktor yang memperparah keluhan, terus faktor-faktor yang meringankan keluhan, terakhir analisis sistem yang menyertai keluhan utama.” Pungkas Bumi.

“Itu Mapres ngga tahu kelanjutannya?” Tanya Samudra dengan nada seperti menyindir.

“Dia tahu cuma kasih kesempatan buat Lala biar ngga planga plongo.” Timpal Bintang.

“Lo juru bicaranya, ya?”

“Bukan, gue—”

“Diem!” Ucap Awan dan Semesta hampir bersamaan. Entah kenapa malah mengundang tawa bagi Biru yang mendengarnya.

Kembali ke pertarungan. Setelah anamnesa lanjut ke pemeriksaan TTV (Tanda-Tanda Vital).

“Ih, itu mayat?” Tanya Samudra setelah melihat ada yang dibawa kehadapan Jingga dan Bumi.

“Bukan, itu alat peraga.” Jawab Biru.

“Buset, mirip banget sama manusia asli.”

“Kaya juga kampus kita, haha.” Celetuk Semesta. “Pantesan UKT anak FK mahal banget. Alat-alatnya juga advance begini.”

“Untung gue anak manajemen.” Timpal Samudra.

“Lo anak KKI, ya, Sam. UKT lo udah paling jutawan diantara yang lain.” Jawab Semesta.

(UKT = Uang Kuliah Tunggal, KKI = Kelas Internasional)

Mereka lalu siap untuk melakukan TTV yang terdiri dari pemeriksaan tekanan darah, nadi, respirasi (pernafasan), dan suhu.

“Duh, maaf saya terlambat.” Suara yang berasal dari pintu masuk mendapatkan perhatian dari semuanya. “Baru sampai TTV, ya? Saya tadi sudah lihat di live streaming yang dikasih panitia. Yuk, sini periksa TTV saya.”

Semua terkejut dan kaget. Yang baru datang adalah Pak Gunawan. Dia adalah dokter, dosen, sekaligus pembina MSA. Semua berdiri dan ingin memberikan salam tapi ditahan oleh Pak Gunawan. Beliau tidak ingin dipanggil dokter kalau di lingkungan kampus karena dia adalah pengajar namun ketika di rumah sakit bertemunya maka panggil dia dokter. Begitu ucap beliau.

“Pak, ini serius?” Ucap salah satu anak MSA.

“Seriuslah. Dua mapres FK ini harus lebih real dong tes-nya, hehe.” Ujar Pak Gunawan. Dosennya memang sedikit unik dan eksentrik.

“Baiklah, Aya periksa tensi dan nadi saya. Lala periksa suhu dan respirasi. Yuk, Let's go!” Namun Jingga dan Bumi hanya terdiam dan masih belum mencerna apa yang barusan terjadi. Ya, Pak Gunawan ini memanggil dua mahasiswa terbaiknya itu dengan panggilan “Aya” dan “Lala” katanya biar lebih dekat. “Kok bengong, ayo ini pegel.”

Jingga dan Bumi pun lekas mengambil posisi masing-masing. Semua bergegas. Jingga mengambil tensimeter sementara Bumi mengambil termometer.

(Tensimeter = Alat untuk mengukur tekanan darah; Termometer = Alat untuk mengukur suhu tubuh)

“Wah, seru banget kayak ini kalau ada “pasien” asli.” Ucap Samudra sambil menggerakkan tanda kutip di tangannya pada kata pasien.

“Aya, kalau periksa nadi selain di arteri radialis, bisa di mana saja?” Tanya Pak Gunawan pada Jingga yang sedang menulis hasil tensi beliau.

Arteri karotis, brachialis, femoralis, tibialis posterior, dan dorsalis pedis.” Jawab Jingga.

(Radialis = di pergelangan tangan sisi ibu jari; karotis = di leher; brachialis = di lipatan siku; femoralis = di paha; tibialis posterior = di kaki bawah; dorsalis pedis = di pergelangan kaki)

Nice. Lala, kalau prosedur frekuensi pernafasan apa aja?”

“Inspeksi, dilihat pergerakan nafasnya. Terus, palpasi yang menggunakan telapak tangan untuk melihat naik turunnya dinding dada. Yang terakhir, auskultasi itu pakai stetoskop untuk mendengar bunyi paru-paru di bagian dada.”

Well, good. Sekarang saya mau lihat hasilnya!” Pak Gunawan lalu melihat tulisan dari Jingga dan Bumi. “Okay, ini pemeriksaan jantung-paru, kan? Coba periksa saya.”

Jingga dan Bumi pun saling pandang. “Kan saya pasiennya. Nanti dicatat saja ya hasil temuannya. Hm, di Lala dan Aya lahir bulan apa?”

“Saya Maret, Pak.” Jawab Bumi.

“Desember, Pak.” Jawab Jingga.

Okay, kalau gitu Lala yang periksa saya duluan.” Perkataan itu langsung mendapatkan tatapan dari Jingga. “Sabar, Aya, sesudahnya kamu. Mengalah sama Lala yang lahir duluan, hehe.”

Jingga terdiam. Tidak habis pikir. Memang dosen yang satu ini berbeda dari dosen-dosen pada umumnya.

“Penonton yang di belakang masih aman? Masih bisa mengikuti?” Tanya Pak Gunawan. Yang ditanya ada yang manggut-manggut, ada yang tersenyum, ada yang mungkin merasa aneh melihat dosen model seperti ini.

“Wah, ternyata ada Presma, ya. Salam, Pres.” Ucap Pak Gunawan yang malah mendapatkan gelak tawa dari lainnya. Biru yang disapa hanya bisa senyum malu-malu.

“Terkenal banget, ya, lo?” Ledek Samudra. Biru malah salah tingkah dan menyeruput es kopinya yang tinggal sedikit.

“Sudah, Lala?”

Bumi mengangguk meski dia masih bingung dengan apa yang harus dia tulis.

“Silakan, Aya.”

Sekarang giliran Jingga. Pemeriksaan dimulai pada dinding dada secara berurutan yaitu inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Pak Gunawan diminta duduk dulu untuk dilakukan pemeriksaan dada posterior (belakang) dan setelahnya nanti dilakukan dengan terbaring untuk pemeriksaan dada anterior (depan).

“Coba kalian tulis-tulis dulu aja yang didapat apa, ya.” Ucap Pak Gunawan. Lalu, beliau diberikan kopi dan toast. “Wah, katanya ini dari Presma? Terima kasih, Pres.” Biru menjawab sama-sama sambil tersenyum.

“Sudah? Sini saya lihat. Ngga perlu dalam-dalam. Kan ICS kali ini cuma lihat simulasi kalian aja, kalau anamnesa lebih dalam kan belum karena kalian masih semester 5. Santai, perjalanan masih terjal.” Jelas Pak Gunawan sambil membaca hasil yang dituliskan oleh Jingga dan Bumi. “Udah ini saya dan MSA berembug, ya, menentukan pemenangnya.”

Jingga dan Bumi kembali duduk di kursinya. Rasa gugup dan khawatir terlihat dari keduanya. Biru bisa melihat itu semua dari bangku belakang. Berulang kali Jingga memijat kepala dan pundaknya. Dia pasti tidak tidur semalaman.

“Gue yakin Jingga yang menang, soalnya dia banyak jawab dan pas pemeriksaan juga Jingga lebih siap dan tahu langkah-langkahnya.” Ucap Bintang.

“Pasti Bumi sih kalau kata gue. Soalnya dia yakin banget jawabnya. Pemeriksaan juga dia cepet tadi, kalau Mapres banyak diem dulu pas meriksa.” Ucap Samudra tidak mau kalah.

“Ya, dia diem dulu karena meriksa itu mesti detail, ngga bisa sat set sat set, buru-buru.” Timpal Bintang.

“Kok lo ngegas sih? Kan gue cuma ungkapin pendapat.”

“Pendapat apa lo? Barusan lo jelekin Jingga!”

“Di sebelah mana, ya, gue jelekin dia?”

“Bisa tenang ngga kalian?!” Kini giliran Biru yang menengahi. Bintang dan Samudra pun terdiam.

“Maaf nunggu lama. Sekarang langsung diumumin saja.” Ucap Pak Gunawan sambil membawa kertas. Jingga dan Bumi bersiap. Selama menunggu, mereka tidak saling berbicara. Diam dan larut akan pikiran masing-masing.

“Setelah melihat dari serangkaian persiapan, teknik asepsis cuci tangan, materi anamnesa, TTV, dan pemeriksaan jantung-paru yang kalian lakukan, maka ...”

Semua hening dan tegang menunggu hasil.

“Maka ...”

Biru menggenggam kedua tangannya. Jingga mulai menggigiti kuku. Bumi memainkan pulpen. Samudra dan Semesta tampak tegang sambil mengusap punggung satu sama lain. Bintang dan Awan saling bergenggaman tangan.

“Hasilnya, tidak ada pemenangnya.” Jawab Pak Gunawan.

Jingga dan Bumi memasang ekspresi datar. Yang lainnya nano-nano; ada yang bingung, kesal, serta campur aduk.

“Pasti kalian bertanya kenapa tidak ada pemenangnya. Karena seri. Baik Aya dan Lala, ada satu hal yang miss. Aya sangat jago sekali di teori. Sepertinya semua buku kuliah dibaca, ya? Namun saat pemeriksaan terlalu lama, itu bisa dilatih sih. Sementara Lala handal dalam mengambil pemeriksaan yang cepat, namun soal penarikan anamnesa, harus banyak baca lagi, ya.” Jelas Pak Gunawan. “Kalian itu adalah murid terbaik. Bagus sih ada ICS ini, jadi kalian tahu kurangnya di mana. Nah, kalian bisa perbaiki dengan belajar bersama.”

Jingga dan Bumi heran mendengar kalimat terakhir tersebut.

“Aya dan Lala bisa belajar bareng. Aya belajar praktek ke Lala. Dan Lala belajar anamnesa dan teori-teori ke Aya. That's such a perfect combo, right?”

Mereka pun hanya saling pandang.

“Saya yakin kalian ke depannya akan menjadi dokter hebat.” Pungkas Pak Gunawan. “Well, sekian ya, ICS kali ini. Kata panitia, saya yang menutup hehe. Makasih untuk Aya dan Lala, panitia MSA, dan suporter di belakang. Kalian luar biasa!”

Setelah menutup kegiatan, Pak Gunawan pun keluar dari ruangan. Panitia MSA membereskan semuanya. Sementara, Jingga tertunduk sambil memijat kepalanya.

“Lo kenapa tadi pas anamnesa, minta gue yang jelasin sisanya? Lo pasti bisa jawab semuanya tadi tuh.”

“Ngga ngaruh apa-apa. Kita tetap seri.”

“Jing.”

Jingga menatap Bumi. “Kesepakatan batal.”

Semesta dan Samudra menghampiri Bumi. Menyalaminya dan izin pamit karena ada kelas. Kemudian, Bintang sudah dengan mode ngegasnya siap menghadang Bumi namun dihalangi Awan. Mereka lalu izin pamit juga karena ada kelas.

“Selamat, Mi. You did well.” Ucap Biru sambil memeluk dan menepuk punggung Bumi.

“Bi, gue minta maaf.”

It's okay. Gue juga minta maaf karena udah emosi.”

Jingga lekas membereskan barang-barangnya dan pergi keluar tanpa pamit dan berkata apapun kepada Biru.

“Gue duluan, ya.” Biru pergi. Bumi tahu kalau Biru pasti akan mengejar Jingga.

“Jingga.” Yang dipanggil tidak menoleh. “Jingga.” Biru mendekat dan menahan tangan Jingga.

“Apa?”

Biru langsung memeluk Jingga. Sontak Jingga kaget. “Jangan lama-lama nanti gue tidur.” Ucap Biru yang kemudian melepaskan pelukannya. “Jingga, keren hari ini. Aequam memento rebus in arduis servare mentem.”

“Gue ngga paham.”

In adversity, remember to keep an even mind. Tadi Jingga keren karena tetap stay calm. Well, selamat, ya.”

“Tapi, gue ngga menang.”

“Tapi, ngga kalah juga, kan?”

Jingga terdiam beberapa saat. “Udahlah, gue mau cabut.”

“Kemana? Ngga kelas?”

“Ngga, gue mau tidur.”

“Jingga bolos?”

“Ya, emang ngga boleh? Absen gue masih full.”

“Yaudah, ayo.”

“Ayo apa?”

“Bolos bareng.” Biru langsung mengambil buku di tangan Jingga. “Gue bawain.” Dia pun maju di depan Jingga.

“Kemana?”

“Kemana aja asal sama Jingga.”

Aneh. Orang aneh.

[]

Aequam Servare Mentem

stay calm; to maintain focus especially when making important decisions

Bumi sudah datang sejak pagi-pagi untuk mempersiapkan segala keperluan tantangan yang dia gagas ini. MSA (Medical Student Association) sebenarnya sudah melarang Bumi untuk bantu-bantu mereka namun Bumi bersikeras karena tidak enak sudah merepotkan.

“Ngga ngerepotin, Mi. Justru kita seneng dan malah jadi punya ide atas tantangan lo ke Jingga.” Timpal salah satu anak MSA.

“Bener. Bisa dijadiin proker nih, soalnya rerata mahasiswa kita pada susah kalau pas ujian ICS ini. Bisa jadi ajang buat belajar.”

(ICS = Integrated Clinical Skill; Keterampilan Klinis yang Terintegrasi. Biasanya dilakukan di semester genap seperti 2, 4, 6 dan akan diuji semacam simulasi praktek. Diantaranya pemeriksaan dasar, abdomen (perut), jantung-paru, teknik asepsis (cuci tangan, kebersihan, dan sterilisasi kegiatan), dan sebagainya. Hal ini bertujuan untuk pengembangan penalaran klinis, pemikiran kritis, dan keterampilan komprehensif bagi mahasiswa kedokteran)

Bumi hanya tersenyum mendengarnya. Dia khawatir. Sangat khawatir. Ini merupakan tindakan impulsif; bisa menguntungkan baginya atau malah menjadi senjata makan tuan.

Waktu sudah hampir mendekati pukul 9 pagi, masih ada waktu 1 jam lagi. Ruangan sudah diatur sedemikian rupa. Bumi hanya bagian angkat-angkat saja karena semua materi dan checklist adalah rahasia dan hanya MSA yang tahu. Bumi tidak boleh lebih jauh dalam membantu persiapan. Tak berapa lama kemudian, Jingga tiba di ruangan. Tanpa salam atau senyuman. Masuk begitu saja. Dia datang sambil menenteng jas lab-nya di tangan kiri dan beberapa buku di tangan kanannya serta tas ransel kulit warna coklat yang digantung di bahu kirinya.

“Lo begadang?” Tanya Bumi melihat Jingga seperti kelelahan dan tidak tidur semalaman. Anak ambis pasti semalaman belajar. Jingga tidak merespon. Sudah biasa bagi Bumi.

Jingga kemudian duduk dan membuka buku serta catatan kecilnya. Beberapa anak MSA menyapanya namun Jingga hanya tersenyum seadanya dan langsung memasang mode tidak ingin diganggu. Dia hanya ingin fokus.

“Kok gue ga boleh masuk? Gue mau nonton temen gue!” Suara teriakan itu menyita perhatian semua orang.

“Lo kasih tahu temen-temen lo?” Tanya Bumi kepada Jingga setelah melihat yang teriak barusan adalah Bintang.

“Tuh, Bin, ayo kita balik aja. Ini emang acaranya tertutup.” Ucap Awan.

“Ngga ah.” Bintang bersikeras. “Kalau gue ga dibolehin masuk, gue obrak-abrik ini tempat!” Ancam Bintang.

Jingga langsung berdiri menghampiri Bintang dan Awan di depan pintu. “Lo ngapain sih?”

“Gue mau nonton lo! Gue mau dukung lo! Dan gue udah siap badan kalau si Lala itu berniat curang!” Ucap Bintang sambil menatap tajam kepada Bumi.

“Yaudahlah, cuma berdua kan? Masuk aja. Males gue denger suara ribut ga jelas!” Timpal Bumi.

Akhirnya Bintang dan Awan diperbolehkan masuk dan duduk di bangku belakang.

“Inget, ya, kalau kalian berisik, akan kami keluarkan!” Tegas salah satu anak MSA. Awan mengangguk paham sementara Bintang hanya buang muka dan memberikan tatapan membunuh kepada Bumi.

“Serem banget pawang lo!” Ucap Bumi yang langsung mendapatkan tatapan sinis dari Jingga.

Tak selang beberapa lama, “Hai, Mi!” terdengar dari pintu. Suara Semesta dan dia berdiri bersama Samudra.

“Lo juga ngasih tahu temen-temen lo?” Tanya Jingga. Akhirnya dia mau berbicara juga kepada Bumi.

“Gue cuma ngasih tahu, ngga minta mereka datang kok.” Bumi langsung menghampiri kedua temannya itu. “Ngapain kesini?”

“Dukung lo.” Jawab Semesta. Bumi langsung menatap ke arah Samudra. “Hm, gue diajak Ata.” Jawab Samudra kikuk.

Mereka berdua lalu duduk di sebelah Awan dan Bintang.

“Hai, Ta.”

“Hai, Wan.”

Canggung. Dan mengundang pertanyaan besar bagi Samudra saat ini.

“Lo sebenarnya bukan mau dukung Jingga, tapi karena mau ketemu man—”

“Bin!” Awan menyikut perut Bintang membuat dia langsung terdiam. “Gue mau dukung Jinggalah!”

“Sakit anjir!!” Keluh Bintang.

Lalu, suasana mendadak sunyi. Mereka berempat tak lagi mengeluarkan suara. Saling hanyut dengan pikiran masing-masing.

“Biru juga datang?” Tanya Bumi yang memecah kikuk di bangku belakang.

“Datang. Tapi biasa dia kan ada ini itu dulu.” Jawab Samudra. “Tuh, nongol orangnya.” Tunjuknya ketika Biru datang namun tidak dengan tangan kosong.

“Makasih, ya, Pak.” Ucap Biru kepada driver online yang membawakan beberapa plastik minuman dan makanan.

“Wah, suatu kebanggaan didatengin Presma.” Ucap salah satu anak MSA.

Biru hanya tersenyum. Matanya langsung tertuju ke arah Jingga. Namun yang ditatap, buru-buru memalingkan muka.

“Lo bawa apaan ini?” Tanya Bumi.

“Ini minum buat semuanya. Temen-temen MSA juga udah bekerja keras bikin acara ini. Sorry, ya, seadanya.”

Yang dimaksud seadanya adalah minuman es kopi dan toast untuk semua yang berada di ruangan tersebut.

“Buset, Pres, jadi repot begini.”

“Ngga kok. Semoga cukup, ya.” Jawab Biru.

“Bukan cukup lagi tapi ini lebih banget.”

“Ini Presma anak sultan, ya?” Celetuk Bintang.

“Udah lo ambil aja. Emang gitu tipikal Presma. Ngga tahu, ya, lo?” Jawab Samudra sambil memberikan minuman dan toast ke Bintang dan Awan.

“Ini buat lo.” Ucap Biru sambil memberikan satu cup coklat hangat dan toast rasa strawberry kepada Jingga.

“Ngga usah.” Jingga masing anteng membaca catatan kecilnya.

“Jingga.” Biru langsung menekuk wajahnya. Nada bicaranya membuat Jingga mengangkat kepalanya dan melihat Biru. “Ambil, ya? Lo pasti belum sarapan.”

Jingga pun akhirnya mengambil coklat hangat dan toast yang diberikan langsung oleh Biru. Setelah itu, Biru ke belakang menghampiri Semesta dan Samudra.

“Beda, ya, kalau ke Mapres ngasihnya.” Ucap Samudra.

“Beda apanya?”

“Semua lo kasih es kopi, tapi ke Mapres beda sendiri. Dia dikasih coklat hangat. Pilih kasih lo!” Timpal Samudra sambil menyeruput es kopinya. Bagi orang lain yang mendengarnya mungkin dirasa sedikit sarkas namun Biru tahu tabiat Bendahara Umumnya itu. Dia hanya tersenyum mendengarnya.

“Jingga ngga suka kopi.”

“Tahu banget, ya, duh...”

Biru tidak menjawab lagi. Dia lalu duduk dan melihat yang di sebelahnya.

“Ini teman-temannya Jingga, ya?” Tanya Biru. “Biru.” Presma ramah ini memang naluriah untuk reach out orang duluan.

“Awan.”

Bintang hanya terdiam sambil menatap tajam kepada Biru.

“Bin.” Panggil Awan. Namun, Bintang malah membuang muka.

“Ini Bintang.” Malah Awan yang menjawab. Biru hanya tersenyum tipis.

Biru lalu fokus kedepan. Dia menatap Jingga dari belakang yang dari tadi menunduk sambil membaca bukunya. Sementara Bumi asyik berbincang dengan anak-anak MSA. Ya, semua orang punya cara sendiri untuk mengatasi rasa gugupnya.

Tiba-tiba Biru kaget ketika Jingga menoleh ke belakang dan langsung menatap Biru. Dia lalu memperlihatkan sebuah sticky note yang ternyata sudah Biru tempelkan di cup minuman Jingga. Sepertinya Jingga baru menyadarinya. Apa maksudnya? Mungkin itu kata Jingga. Biru lalu beranjak dan menghampiri Jingga.

Aequam Servare Mentem.” Jawab Biru sambil menempelkan kembali sticky note itu ke cup coklat hangat milik Jingga.

“Gue tahu. Gue bisa baca itu. Tapi gue ngga tahu artinya.”

Stay calm, stay focus, Jingga.” Jawab Biru sambil mengusap kepala Jingga. “I know you can do it.”

Yang diusap langsung terdiam. Mendadak menjadi kaku. Biru hanya tersenyum tanpa tahu bahwa dia sudah membuat hati seseorang menjadi kalang kabut. Biru lalu kembali ke kursinya dan mendapat tatapan dari semua orang di ruangan. Dia tidak sadar. Afeksinya barusan kepada Jingga telah menyita perhatian semua orang di sana.

[]

➖ Langit Biru sedang hujan

Dicemooh hujan. Itu yang Biru rasakan sekarang. Hujan seakan tahu bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja. Dia sedang lelah, sedih, dan marah.

“Kak, ini jadinya gimana, ya? Anak kastrat yang lain udah pengajuan izin ke kepolisian buat turun nanti hari minggu. Kalau ngga diizinin rektorat—”

“Ya, nanti kita pikirkan. Sekarang pulang dulu aja.” Ucap Biru. Dia benar-benar ingin pulang. Sudah cukup untuk hari ini.

“Baik, Kak.”

“Makasih, ya, udah mau ikut ke rektorat. You did well.” Ucap Biru tersenyum sambil menepuk bahu adik tingkatnya itu. Senyum yang merupakan sisa energi terakhirnya. Dia masih bisa menguatkan orang lain ketika dirinya bahkan sedang babak belur.

Dunia sedang jahat kepadanya. Masalah rasanya bertubi-tubi datang. Biru berusaha menyibukkan diri dengan aktivitas BEM-nya untuk lari dari persoalannya dengan Ayahnya. Keputusan yang Ayahnya ambil masih belum bisa Biru terima. Dan dia pun belum ingin menyelesaikannya. Nanti dulu, dia ingin melarikan diri dulu. Namun, pelariannya justru yang paling menyakitinya sekarang.

BEM bukan sekadar organisasi mahasiswa bagi Biru namun juga rumah dan keluarga. Di sana dia mendapatkan teman-teman baru selain teman fakultasnya. Nama kabinet yang dia usung adalah Kabinet Bersama. Tetapi rasanya Biru sekarang dikhianati oleh nama itu.

Biru babak belur sendirian. Dihantam petinggi rektorat yang mempertanyakan aksi yang dilakukan oleh departemen kastrat yang tentu dibawah kepemimpinannya. Kepengurusan BEM dibawah Biru terlalu sering berkicau kepada pemerintah, terlalu banyak demo, terlalu banyak turun lapangan, kajiannya muluk-muluk, dan malah menyerempet ke pembatasan anggaran BEM jika Biru dan lainnya bersikeras untuk turun lapangan minggu ini. Bagi Biru, pergerakan mahasiswa itu sangat penting. Mahasiswa bukanlah hanya belajar di kelas, tetapi juga bersuara dan menjadi agent of change. Sayangnya, pemikiran dan idealisme itu harus terhantam oleh realita. Dan Biru menghadapi semua ini sendirian. Baik, dia tadi bersama adik tingkatnya, namun tetap semua Biru yang menanggungnya. Sebagai presiden mahasiswa dan kakak tingkat, Biru tidak setega itu harus berbagi bebannya kepada adik tingkatnya yang baru mengecap rasanya ikut organisasi kampus.

Langit masih terus menjatuhkan titik-titik air yang Biru biarkan membasahinya. Dia berjalan kaki di bawah rintikan itu. Dingin dan basah, dia biarkan begitu saja meresap ke badannya. Apa gue ngga pantas menjadi seorang Presiden Mahasiswa? Apa gue sudah tidak berlaku adil ke anggotanya? Apa gue adalah pemimpin yang gagal? Ceracau itu terus memenuhi pikiran Biru. Pesan yang Samudra tinggalkan padanya menambah daftar bagi Biru untuk mempertanyakan kepemimpinannya.

Biru selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik versinya, dia selalu ingin orang-orang nyaman bekerjasama dengannya, dia memikirkan segalanya semua sendiri. Ada saat di mana mereka berkata jangan disimpan dan dipendam sendiri, ayo bagi kesini, kita kan kabinet bersama namun lihat sekarang siapa yang menangis dibawah hujan sendirian. Tentu, hanya Biru seorang. Mau bagaimanapun dia akan menghadapinya sendiri. Biru sedih, dia terluka, dia juga marah, tapi tidak tahu harus apa dan bagaimana. Dia kalut, sangat kalut. Dan pada akhirnya dia hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri.

“Lo mau ketabrak ya?!”

Suara bentakan itu menyadarkan Biru dari kemelut di pikirannya. Dia dari tadi berjalan tanpa melihat kanan-kiri dan hanya ingin segera pulang ke apartemennya. Biru lalu menatap ke sumber suara itu.

Kenapa harus ketemu lo sekarang?

Biru hanya menunduk. Dia tak mau terlihat sedang kacau begini olehnya. Ya, dia yang sudah beberapa hari ini memenuhi pikiran Biru. Hidupnya yang dulu hanya sekitar urusan organisasi, kampus, dan ayahnya, kini harus membuat ruang baru untuk dia. Dia yang selalu dipertemukan dengan Biru di saat yang tidak tepat. Jingga.

“Lo ngapain hujan-hujanan juga sih, udah tahu gampang sakit.” Biru menatap lengannya yang dipegang oleh Jingga. “Ini lo pake payung gue.”

“Ngga usah.”

Biru lalu berjalan meninggalkan Jingga. Tetap dibawah rintikan hujan. Menyamarkan tangisannya yang dari tadi sudah bercampur dengan air hujan. Dia memutuskan untuk berjalan kaki dari kampus ke apartemennya. Jaraknya hanya 15 menit; menyeberangi rel kereta, melewati gang sempit, hingga keluar ke jalan raya yang kemudian menaiki jembatan penyeberangan untuk sampai ke Apartemen Anggrek— tempat tinggalnya.

Biru sudah basah kuyuk saat menekan tombol lift. Dia lalu menekan nomor 18. Lantai tempat unitnya berada. Seseorang kemudian masuk kedalam lift juga dan menekan nomor 19.

“Lo keras kepala juga, ya?”

Lagi-lagi suara itu. Dan benar, Jingga satu lift bersama Biru sekarang. Biru sudah tidak memiliki energi. Dia tidak merespon ucapan Jingga. Dan tidak ada lagi percakapan didalamnya. Lift pun sampai di lantai 18. Biru siap untuk keluar namun tangannya ditarik.

“Ini lantai unit gue.” Ucap Biru. Jingga tidak berkata apa-apa. “Jingga, lepas nanti keburu tutup pintunya.” Namun yang Jingga lakukan adalah menekan tombol pintu yang tertutup. Biru menatap Jingga dengan bingung.

Mereka lalu tiba ke lantai 19. Biru sudah keburu lemas dan hanya bisa ikut ditarik oleh Jingga menuju unitnya. Beberapa kali dia berontak namun nihil. Jingga memegang lengannya sangat erat.

“Duduk dulu!” Biru didudukkan begitu saja di ruang tengah unit apartemen milik Jingga. Biru masih belum paham mengapa dia malah membawanya kesini. Biru ingin segera ke kamarnya. Kepalanya sudah mulai berdenyut.

“Nih, keringin rambut lo!” Jingga memberinya handuk. “Itu handuk baru.” Setelah itu Jingga mengambil teko dan mengisinya dengan air kemudian menyalakan kompor. Biru masih tidak mengerti apa yang sedang Jingga lakukan sebenarnya.

“Lo ngga bisa ngeringin rambut?” Jingga ini terlihat kesal namun membiarkan Biru masuk ke unitnya, duduk di sofanya, sesuatu yang Biru bahkan tidak mengerti.

Jingga lalu duduk di sofa. Dia mengambil handuk yang dari tadi hanya Biru lihat dan mulai mengeringkan rambut Biru yang basah. Dekat. Ini sangat dekat. Biru hanya bisa menunduk. Dia tidak ingin beradu pandangan dengan Jingga. Tak selang berapa lama, suara air mendidih pun mulai terdengar. Jingga beranjak dan pergi ke dapur. Dari sofa ruang tengah, Biru bisa melihat aktivitas yang Jingga lakukan. Dia sedang membuat teh. Lalu, teh itu dia letakkan dihadapan Biru. Dan lagi-lagi Biru tidak mengerti.

Jingga tak lagi berkata apa-apa. Dia kemudian pergi mungkin ke kamarnya dan kembali lagi dengan membawa sebuah kotak.

“Diminum tehnya, jangan diliatin mulu.” Nadanya masih kesal. Biru bertanya-tanya, apa segitu tidak sukanya Jingga terhadapnya? Namun segala kekesalan dari nada bicara Jingga, berbanding terbalik dengan apa yang dia lakukan sekarang.

“Lo demam!” Ucap Jingga setelah menekan termometer di kening Biru. “Sakit ngga kepala lo?”

Biru menggelengkan kepalanya. “Jingga, makasih tehnya. Gue balik, ya.” Biru baru akan beranjak, namun bahunya ditekan oleh Jingga hingga dia terduduk kembali. Jingga lalu menempelkan plester penurun demam di kening Biru.

“Jingga—”

“Diem!”

Biru benar-benar semakin tidak paham. “Lo ngga perlu ngelakuin ini. Bukannya lo terganggu, ya, sama gue? Bukannya gue ini menyebalkan menurut lo?”

“Emang.”

“Ya, terus lo ini ngapain?”

“Pura-pura kuat, pura-pura tersenyum.” Ucap Jingga dengan nada sinis. “Langit ngga selalu harus biru, bisa mendung, bisa gelap, bisa hujan, bisa ada petirnya.”

Biru terdiam. Ucapan Jingga sungguh membuatnya tersentak. Rasanya dia ingin menangis lagi. Tetapi tidak bisa. Dia harus menahannya, dia tidak ingin menangis didepan Jingga. Biru kemudian menggigit bibirnya, tangannya dia remas, dan kepalanya dia tundukan. Jingga lalu menarik tubuh Biru, membuat keningnya menempel di bahu Jingga. Biru merasa kepalanya diusap-usap oleh Jingga. Ah, Biru tidak bisa lagi menahannya. Air mata itu kini mengalir deras dari matanya. Isakan pun sekarang menyertainya.

“Langit Biru is raining right now.”

Jingga menarik lagi tubuh Biru. Membawanya lebih dekat dan erat. Tangan Biru pun kini melingkar di pinggang Jingga. Pelukan itu kembali membawa daya magis bagi Biru; dia terlelap (lagi dan lagi) dalam pelukan Jingga.

[]

Keanehan Yang Tak Terkendali

“Iya, Ma. Ini aku ikut seminarnya kok.” Ucap Jingga di depan wastafel toilet. Ekspresinya menjadi muram. Telepon itu dia matikan. Dia kemudian menghela nafas panjang sambil terus membasuh tangannya yang sebenarnya sudah bersih.

“Jingga.”

Dia lalu menoleh ke suara yang memanggilnya itu. Biru.

“Lo ngapain di sini?” Tanya Jingga.

“Ah, gue ikut buka sambutan di seminar fakultas lo.”

Jingga tidak merespon lagi. Dia kembali fokus membasuh tangannya.

“Jingga, apa kabar?”

Jingga menoleh lagi. Melihat Biru yang sedang mencuci tangannya di wastafel.

“Lo kayak zombie.” Jawab Jingga. Dia lalu mengambil tisu dan mengeringkan tangannya. “Lo habis muntah?” Sebelum tiba di toilet, sebenarnya Jingga mendengar suara orang yang sedang muntah. Dia ingin melihatnya namun Mamanya keburu menelponnya.

“Ah, ngga kok.” Kilah Biru.

“Bohong.” Ucap Jingga sambil pergi keluar begitu saja. Namun baru beberapa langkah dari toilet, dia terhenti. Biru bisa dikatakan tidak baik-baik saja. Jalannya limbung dengan wajah yang sangat pucat. Dia lalu menatap pintu toilet. Ada keinginan untuk kembali lagi.

Bagaimana kalau dia pingsan? Bagaimana kalau sesuatu terjadi padanya? Ah, Jingga kesal. Mengapa dia harus kepikiran hal itu? Padahal niatnya ingin cepat ke auditorium, isi presensi, lalu setelah panel 1 selesai, dia akan pergi bersama Bintang.

Setelah bergelut dengan pikirannya sendiri, Jingga akhirnya memutuskan untuk kembali ke toilet. Namun, dia malah mendapati Biru sedang terduduk sambil memegang kepalanya.

“Biru, lo kenapa?”

“Kepala .. gue .. sakit.”

Breath well, Biru. Lo ada obat ngga?”

Dia menggeleng. Berulang kali Biru mengucap kata sakit. Dia bahkan menarik rambutnya dengan kasar.

“Jangan ditarik begini!”

“Sakit ... sakit banget!”

Biru kesakitan sambil menangis. Melihat itu Jingga sama sekali tidak tega, dia menarik badan Biru dan memeluknya. Mengusap kepalanya perlahan.

“Gue bawa lo ke klinik, ya.”

Jingga baru saja ingin memberdirikan Biru namun dia terdiam sejenak.

“Biru.” Panggilnya. “Biru, lo ping—” Jingga belum menyelesaikan kalimatnya karena sekarang yang dia lihat adalah Biru sudah tertidur dengan suara dengkuran yang kecil. “How come you sleep right now?! Biru, bangun!” Namun Biru tidak bergeming.

Jingga bingung dan tidak ada pilihan lain. Dia lalu mengeluarkan jaket dari dalam tasnya kemudian memasangkannya di kepala Biru. Dengan berjongkok sedikit, Jingga menggendong Biru di punggungnya. Dia lalu bergegas keluar dari toilet. Dia tidak ingin ada orang yang melihatnya.

Tak jauh dari toilet, ada sebuah ruangan rapat yang biasa digunakan untuk rapat atau ruang pertemuan mahasiswa. Di sana ada sofa. Pikir Jingga bisa untuk tempat tidur sementara bagi Biru. Setelah sampai, Jingga membaringkan Biru di sofa itu. Dia menggunakan jaketnya sebagai bantalan untuk Biru.

Tiba-tiba ponsel Biru bergetar dari saku celananya. Jingga melihat reaksi Biru yang masih belum terbangun. Dia lalu mengeluarkan ponsel itu. Di layarnya terdapat panggilan dari Bumi.

Lo di mana? Ini acaranya mau mulai!

“Lo yang kasih sambutan dulu.” Jawab Jingga.

Ha? Ini siapa? Suara lo bukan Biru!

“Dia tidur.”

Di mana? Lo siapa? Kok bisa Biru tidur?

“Jingga.”

Jingga? Kok Biru bisa sama lo!

“Lo gantiin Biru dulu, nanti udahnya baru ke ruang rapat lantai 3.”

Dia lalu menutup ponselnya. Kesal. Dia tidak suka berbicara lama-lama dengan Bumi. Ponsel Biru terus bergetar. Banyak notifikasi pesan yang masuk. Berisik banget ponsel Presma. Keluh Jingga.

Jingga kemudian menatap Biru yang sedang terlelap. Tangannya dari tadi menggenggam tangan Jingga. Wajahnya sangat pucat, tubuhnya dingin, meski keringat sudah mulai keluar sedikit dari kening dan lehernya.

“Lo udah berapa hari ngga tidur sih?” Tanya Jingga yang dia tahu kalau Biru tidak akan menjawabnya.

Sebenarnya tangan Jingga pegal. Posisinya dia duduk di bawah sementara Biru tertidur di sofa. Dia mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Biru namun Biru langsung merengek seperti anak kecil yang tidak mau lepaskan boneka dari pelukannya. Jingga bosan lalu dia mengeluarkan tabletnya dan mulai membaca materi-materi perkuliahan.

Pintu pun terbuka perlahan. Jingga melirik dan dilihatnya Bumi masuk. Wajahnya langsung kembali menatap tabletnya.

“Biru, lo ngga apa-apa kan?” Bumi langsung meraba kening dan leher Biru.

“Dia tidur, ngapain lo tanya?” Jawab Jingga ketus. Matanya masih membaca jurnal di tabletnya.

“Kenapa ngga dibawa ke klinik? Badan dia dingin banget.”

“Dia tidur.”

“Ya, tapi—”

Bumi ingin menyelesaikan kalimatnya tapi tatapan tajam dari Jingga langsung membuat dia terdiam.

“Pastiin gue tetep dapat sertifikat seminar hari ini.”

“Apa?” Tanya Bumi.

“Apa kurang jelas omongan gue?”

“Lo masih inget sama sertif seminar saat lagi gini?”

“Iya. Harusnya gue sekarang di audit, tapi gue berakhir dengan jagain temen lo yang sedang tidur ini.”

“Yaudah, lo bisa pergi sekarang.”

“Ngga bisa.”

“Kenapa ngga bisa kan udah ada gue di sini?”

Jingga melepaskan tangannya dari Biru dan dia langsung merengek sambil meremas kemejanya.

“Lihat! Temen lo ga mau ditinggal!”

Sigh! “ Bumi lalu menghampiri Biru dan berjongkok dihadapannya. “Biru, bangun.”

“Lo ngapain sih?!” Jingga mendorong tubuh Bumi sehingga dia kehilangan keseimbangan dan akhirnya terduduk di samping Jingga.

“Bangunin dialah!”

“Kepala dia sakit. Dia muntah juga sebelumnya. Biarin dia tidur dan bangun sendiri.”

“Sampai kapan?”

“Ya tunggulah, paling bentar lagi juga bangun.”

“Tumben.”

“Apa?”

“Lo baik. Bisa aja kan lo tinggalin dia dan pergi gitu aja? Sekarang malah lo mau nungguin dia sampai bangun?”

Jingga terdiam. Benar apa kata Bumi. Dia bisa saja pergi. Tapi kenapa dia malah menunggu Biru sampai bangun. Urusan dia merengek jika ditinggalkan, sebenarnya itu bukan urusan dia. Namun, ada yang membuat Jingga tidak ingin meninggalkan Biru. Dia ingin menunggu Biru sampai bangun.

“Dasar ngga tahu terima kasih!” Dumel Jingga. Dia lalu membaca kembali tabletnya.

“Ya, makasih.” Jawab Bumi seadanya. “Tadi lo bawa kesini ada yang lihat ngga?”

“Ngga ada.”

“Oh, bagus deh. Lo jangan kasih tahu siapa-siapa.”

“Sertifikat gue jangan lupa.”

“Anjir lo ngeselin, iya gue chat ketua seminarnya. Khusus buat Cahaya Jingga dengan NPM 19081230 dikasih 2 sertif biar kenyang.”

“Lo hapal NPM gue?”

“Iyalah, kan kalau nilai keluar yang pertama gue lihat ya nilai lo dulu!” Decih Bumi. “Lo juga pasti hapal NPM guelah.”

Jingga tidak menjawab. Malas rasanya harus berargumen dengan juara 2 mapres fakultasnya itu. Dari sejak maba mereka berdua memang kurang akur satu sama lain.

Tiba-tiba tangan Biru bergerak, matanya terbuka sedikit demi sedikit. Bumi langsung menghampir Biru kembali.

“Lo udah bangun?”

Dalam keadaan setengah terbangun, Biru mencoba untuk duduk. Kepalanya sedikit berdenyut.

“Kepala lo masih sakit?” Tanya Bumi.

“Ngga terlalu.” Jawab Biru. “Gue harus ke audit.”

“Udah gue buka acaranya.” Ucap Bumi.

“Tangan gue udah bisa lo lepasin belum?”

Di tengah Biru yang sedang mengumpulkan nyawanya, dia baru sadar bahwa dia masih menggenggam tangan Jingga.

“Maaf, Jingga.” Biru lalu melepaskan genggaman tangannya.

Okay, gue pergi.” Jingga berdiri. Dia meregangkan tangan dan kakinya yang pegal karena sedari tadi duduk dibawah dengan tangannya yang digenggam oleh Biru. Lalu, dia memasukkan tabletnya ke tas dan bersiap untuk pergi.

“Jingga.”

Langkah Jingga terhenti karena jarinya dipegang oleh Biru.

“Apa?” Ucap Jingga sambil menatap Biru. Mata Biru menatap sendu padanya. Seakan tak ingin ditinggalkan. Ada rasa sedih dalam pandangannya. Buru-buru Jingga membuang tatapannya.

“Makasih dan sorry. Gue pengen ketemu lo di situasi yang baik bukan kayak gini. Gue minta maaf. Lo pasti ngga nyaman dan repot banget nungguin gue tidur kayak gini. Sorry gue udah nyusahin lo.”

“Iya.” Setelah memberikan jawaban itu, Jingga keluar dari ruangan. Dia tidak ingin melihat lagi ekspresi Biru. Sudah. Sudah cukup. Jingga memegang dadanya. Jantungnya berdebar tidak beraturan.

Aneh. Gue ketularan aneh kayak Biru.

[]

➖ Distraksi

Dari sekian banyak distraksi yang ada di dunia ini, kenapa harus clubbing? Pertanyaan itu selalu memenuhi pikiran Biru setiap dia datang ke club. Biru memang tidak suka pergi clubbing. Menurut dia, lebih banyak kegiatan yang lebih bermanfaat untuk escape from the reality dari pada mabuk-mabukan dan sekadar menari-nari random. Ya, setiap orang memang punya cara distraksi masing-masing. Dan Biru hanya mempertanyakannya saja. Benar kata Semesta, Biru terlalu banyak memikirkan hal-hal yang sebenarnya hanya memenuhi otaknya saja.

Alasan kenapa Biru diminta untuk menjemput temannya yang terkapar akibat clubbing : 1) apartemen-nya dekat dengan venue, 2) dia orangnya fast response dan bisa dihubungi kapan saja — ya, karena jadwal tidurnya aneh, tidak seperti kebanyakan orang.

“Adit!” Panggil Biru ketika dia mendapati Adit yang sudah tertidur di sebuah sofa dengan banyak botol-botol alkohol. “Gue telpon taksi dulu.” Biru mulai mengeluarkan ponselnya dan menelpon taksi untuk mengantar temannya ke alamat kosannya.

“Pres!” Adit terbangun dan langsung memasang tangan hormat kepada Biru. “Maaf, Pres, gue—”

“Lo lagi mabok, jangan banyak omong dulu.” Ucap Biru memotong perkataan Adit. Biru tahu Adit akan meminta maaf. Maaf yang sudah kesekian kali dia ucapkan namun selalu mengulang hal yang sama.

Berkali-kali Biru mengibaskan tangannya. Mencoba mengusir bau asap rokok yang memenuhi ruangan lantai 2 tempatnya berada sekarang. Suara berisik yang dimainkan beradu dengan sinar warna-warni yang menyilaukan dan membuat kepala Biru menjadi sakit.

“Hei, lihat siapa yang ada di sana!”

Suara itu terdengar oleh Biru disela-sela dia memijat kepalanya yang sakit.

“Masa seorang Presma pergi clubbing?”

Biru menegakkan kepalanya. Jingga.

“Masa seorang Mapres pergi clubbing?” Biru membalas perkataan itu dengan nada yang sama. Nada mengejek. Biru masih heran kenapa Jingga begitu sinis kepadanya. Dia pun tidak mau tinggal diam dan membalasnya juga.

Counter attack.” Ucapnya sambil meneguk minumannya.

“Lo mabok, Jingga. Lo kesini sama siapa? Mau gue pesenin taksi buat lo pulang?” Biru berdiri menghampiri Jingga yang terduduk di depan meja bartender.

“Lo ngga usah sok baik deh!” Jingga mendorong sedikit tubuh Biru. “Sok ramah, sok perhatian, what you gain doing the hospitality like this? Karena Presma image-nya harus baik, ya?”

“Lo ngelantur. Gue telponin taksi—”

Biru mengeluarkan ponselnya namun ditahan oleh Jingga. Dia bangkit dari duduknya dan tiba-tiba merangkul Biru dengan tangannya kini melingkar di leher Biru.

You did like this on the bus then fell asleep.”

Hah? Jadi benar orang yang di bis itu Jingga. Lantas kenapa dia ngga jawab dan malah ketus? Biru mulai mempertanyakan kembali sikap aneh Jingga padanya saat di cafe itu.

Why did you sleep on me? You felt comfort?

Jingga semakin mempererat rangkulannya. Semakin dekat hingga Biru mencium parfum itu; parfum saat dia di bis, saat dia di kankes, saat dia di apartemen. Ya, orang itu adalah Jingga. Dan sekarang efek itu mulai terasa. Sakit kepala yang Biru rasakan perlahan terganti dengan rasa kantuk. Ajaib, padahal ini belum jam 5 pagi, suasana di sini pun sangat berisik. Namun rasanya Biru benar-benar ingin tidur sekarang.

“Jingga, sadar!” Biru cepat-cepat melepaskan rangkulan itu. Dia ingat, dia harus memastikan Adit pulang. Setelah itu dia akan menyelesaikannya dengan Jingga.

Ponsel Biru berdering. Dia mengangkatnya dan itu dari taksi pesanannya.

“Adit, gue antar lo kedepan.” Biru mulai menarik Adit yang setengah sadar. “Jingga, gue antar temen gue dulu, nanti gue balik lagi.” Namun tak ada respon dari Jingga. Dia terduduk kembali sambil menopang pipinya dengan mata yang mulai tertutup.

Setelah mengantarkan Adit ke taksi dan memastikan alamat yang akan dituju, Biru kembali ke tempat Jingga.

“Lo udah cukup mabuk, jangan minum lagi!” Biru mengambil gelas dalam genggaman Jingga. “Ayo, kita pulang. Gue antar lo!”

“Lo sok baik, sok ramah, sok perhatian, gue ngga suka! Mengingatkan gue kepada seseorang.”

“Siapa seseorang itu?”

“Dia lemah. Orang kayak gitu adalah orang lemah.”

Semakin lama, Jingga semakin berceracau kemana-mana. Biru lekas menariknya untuk pergi namun Jingga tidak mau beranjak. Biru kemudian langsung menggendong Jingga ke punggungnya.

“Lo ngapain sih? Dasar pervert! Turunin gue!” Jingga memberontak namun dia tidak bertenaga karena pengaruh alkohol. Biru mengacuhkannya, dia ingin segera cepat-cepat membawa Jingga pergi dari tempat ini.

“Lo tinggal di Apartemen Anggrek kan?” Tanya Biru ketika mereka sudah di mobil.

“Nih parfum gue! Kayaknya lo seneng sama wanginya!” Jingga mengeluarkan dan menaruhnya di dekat persneling.

“Jingga, lo tinggal di Anggrek, ya? Lantai berapa?” Biru bertanya kembali sambil menatap Jingga.

“Cantik.”

Jawaban Jingga barusan membuat Biru terdiam beberapa saat. “Okay, gue anggap lo tinggal di Anggrek.”

Tak ada jawaban lagi. Biru lalu menyalakan mobilnya. Dia sebenarnya ingin menanyakannya ke Bumi karena mereka satu fakultas tapi melihat jawaban Bumi mengenai Jingga, rasanya Biru tahu bahwa hubungan mereka tidak terlalu dekat atau malah seperti saingan. Bumi tidak suka disebut sebagai “kedua” mungkin karena yang “pertama” adalah Jingga. Entahlah. Tebakan Biru bisa saja salah. Dia akan menanyakannya besok. Demi menembus semua rasa penasarannya.

“Jingga, unit lo nomor berapa?” Tanya Biru. Kini mereka sudah di lift dengan Jingga yang berada di atas punggung Biru. Sudah tertidur. “Jingga, kalau lo ngga jawab, gue bawa lo ke unit gue.”

“Sembilan belas, tiga puluh.”

“Oh, lantai 19, nomor 30?”

Jingga mengangguk. Biru mendengarnya tersenyum. Why is it so hm.. cute?

Password-nya berapa? Atau lo teken sendiri nih.” Ucapnya setelah di depan unit Jingga.

“Dua, dua, nol, tujuh, satu, sembilan.”

“Hm, okay.” Biru menekannya dan pintu pun terbuka.

Mereka lalu masuk. Terlihat nuansa apartemen Jingga dipenuhi oleh warna coklat. Wangi lavender menyambut Biru terasa sangat lembut. Sangat kontras dengan sifat yang Jingga tunjukan; dingin, jutek, dan terkesan straight forward. Biru mengira bahwa apartemen Jingga akan dipenuhi warna hitam atau warna-warna yang kuat namun tebakannya salah.

Saat Biru masuk kamar Jingga, sungguh membuat dia takjub. Ya, kamarnya tipikal seorang mahasiswa pintar namun yang membuat Biru takjub adalah pengaturannya. Gradasi warnanya lembut dan seisi kamarnya hampir memiliki warna yang sama. Sangat estetik. Rasanya Biru bisa betah kalau diam di kamar ini. Buru-buru dia menggelengkan kepalanya. Mengusir keinginan aneh itu.

“Ah, akhirnya.” Ucap Biru ketika dia berhasil membaringkan Jingga. Lumayan juga. Dia berasa work out membawa Jingga yang ternyata lebih berat dari pada dirinya.

“Gue balik, ya, Jingga.”

Begitu Biru berbalik, tangannya diraih dan ditarik oleh Jingga hingga dia akhirnya jatuh ke ranjang Jingga.

“Jingga, lepasin gue—”

Jingga memeluk Biru bagaikan seorang anak yang sedang memeluk boneka kesayangannya. Dia membawa biru ke dadanya. Mengusap kepala dan punggung Biru dengan lembut.

“Tidur, ya.” Perkataan itu seakan magis bagi Biru. Dia terbenam dalam ceruk leher Jingga. Wangi parfumnya sungguh sangat tercium. Dan seperti halnya di club tadi, rasa kantuk itu datang kembali. Kali ini semakin kuat dan tidak bisa Biru tahan.

Ini belum jam 5 pagi. Terakhir Biru melihat jam sekitar jam 3 pagi, tetapi dia sekarang sudah mulai terlelap. Sakit kepalanya, sakit lainnya yang dia tidak tahu di mana letaknya, seakan semua benar-benar menghilang. Apakah ini distraksinya? Terlelap dalam pelukan Jingga.

[]

➖ Rekonsiliasi

“Abang, cepet kesini. Kok di dapur terus. Ini Nak Yoongi-nya temani!” Teriak Ibunya Jungkook dari ruang makan. Ya, dari tadi Jungkook berdiam di dapur. Tidak jelas mengerjakan apa, yang pasti sekarang dia sedang salah tingkah.

Sebenarnya Jungkook masih kesal dan lebih tepatnya sedang pura-pura marah. Benar kata Mingyu, dia memang sengaja lari agar dicari, sengaja pergi agar dikejar. Dan berhasil. Sekarang Yoongi sudah berada di rumahnya. Sedang duduk di meja makan bersama Ibu dan Bapak Jungkook.

“Abang!” Kali ini teriakan berasal dari Bapaknya. Ah, Jungkook tidak punya alasan lagi. Mau tidak mau dia harus berhadapan dengan Yoongi.

“Kamu itu ngapain sih di dapur?” Tanya Ibunya.

“Salting, Bu.” Ledek Bapak Jungkook. Perkataan itu sukses membuat wajah Jungkook memerah.

Jungkook pun akhirnya duduk di meja makan. Dia menunduk. Tidak mau melihat Yoongi. Belum siap dan dia sedang dalam mode ngambek juga.

“Kamu itu harus bersyukur dikasih Bos yang baik begini. Mana ada Bos yang sampai jauh-jauh ke rumah pegawainya karena pegawainya pulang kampung ngga bilang-bilang.” Dumel Ibu Jungkook sambil memukul bahu anak satu-satunya itu.

“Ih, Ibu sakit.” Keluh Jungkook.

“Badan preman, digebuk begitu aja ngeluh sakit.”

Yoongi tersenyum melihat pemandangan itu dan terlihat oleh Jungkook. Beberapa detik mata mereka saling bertemu namun Jungkook buru-buru membuang mukanya.

“Ibu ... Bapak...” Ucap Yoongi mulai membuka suara. Jungkook langsung menatap tajam ke arah Yoongi. “Sebenarnya saya bukan hanya Bos-nya Jungkook. Saya juga pacarnya, Bu, Pak.”

Mendengar itu sontak Jungkook langsung tersedak. Dia buru-buru mengambil minum dan meminumnya.

Buset, ngga ada aba-aba sama sekali.

“Ya ampun, akhirnya Abang ada yang mau.” Ujar Bapak Jungkook dengan nada yang sangat bersemangat.

“Dan niat saya kemari juga ingin mengajak Jungkook ke jenjang yang lebih serius. Saya meminta izin kepada Bapak dan Ibu.”

Uhukkk.” Kali ini Jungkook terbatuk lebih keras. Benar-benar di luar dugaan.

“Aduh, Nak Yoongi, Ibu terharu sekali. Nak Yoongi sungguh sangat sopan dan juga baik kepada anak kami.” Ucap Ibu Jungkook sambil mengelus-elus punggung Jungkook yang membuat Jungkook sedikit heran karena biasanya Ibunya selalu dengan mode galak. “Tapi, Jungkook ini aduh ... gimana ya, tapi sekarang dia sudah berhenti sih, Nak.”

“Saya sudah tahu, Bu. Saya menerimanya. Semua punya masa lalu masing-masing. Saya juga, Bu, Pak. Saya pernah gagal dalam menikah dan sudah mempunyai satu anak laki-laki berusia 7 tahun.” Ucap Yoongi. Agak sedikit gemetar nada bicaranya. Mungkin Yoongi takut akan respon yang dia dapat dari orang tua Jungkook.

“Oh, jadi Nak Yoongi ini duda?” Tanya Bapak Jungkook.

“Iya, Pak.” Jawab Yoongi. Tangannya mulai basah dengan keringat.

“Kalau Ibu sih ndak masalah ya, asal Abang sama Nak Yoongi sama-sama suka. Abang juga punya masa lalu, Nak Yoongi juga. Jika sudah saling menerima, Ibu ikut saja.”

“Bapak juga sama.”

Jungkook dan Yoongi sama-sama terkejut dengan jawaban Ibu dan Bapak. Yoongi malah sudah takut akan ditolak karena dia adalah seorang duda tetapi ternyata responnya justru sebaliknya.

“Ya, intinya Ibu dan Bapak mengizinkan, Nak. Tapi ya, begitu, harus sabar sama Abang. Dia badannya besar, tattoo-an, tapi manja sekali.” Goda Ibu Jungkook.

Suasana makan bersama itu menjadi hangat dengan obrolan tentang satu sama lain. Bapak Jungkook malah sepertinya satu frekuensi dengan Yoongi. Mungkin karena sama-sama sudah bapak-bapak.

“Datang-datang bukannya minta maaf malah langsung bilang ini itu ke Ibu Bapak gue, haduuuh.” Dumel Jungkook. Mereka sekarang duduk berdua di teras sambil memandangi area persawahan.

“Saya mau minta maaf, Jungkook. Maaf jika saya mengulur-ulur waktu. Saya sudah membicarakan semua kepada Ibu saya tentang kamu. Tentang kamu yang pernah menolong Sunoo. Dan Sunoo juga katanya kangen kamu.”

Jungkook langsung menatap Yoongi. Tidak ada keraguan dari wajah pria yang berbeda 10 tahun dengannya itu. Dia bersungguh-sungguh.

“Sunoo sudah tahu juga?”

“Tahu. Dia sedih saat tahu Bundanya pernah meninggalkannya. Dia marah dan ingin bertemu Bundanya. Dia meluapkan kekesalan dan kemarahannya ke Bundanya. Ya, saya juga salah karena tidak pernah menceritakan tentang ini. Tapi setelah itu Sunoo menerima, ya mau bagaimana lagi semua sudah terjadi. Dia juga tidak apa-apa jika saya menikah lagi. Katanya, kalau saya bahagia, Sunoo juga bahagia.”

Jungkook tidak bisa berkata-kata lagi. Matanya kini mulai berair. Yoongi lalu menggenggam tangan Jungkook.

“Mau, ya, menikah dengan saya?” Ucap Yoongi perlahan sambil mengeluarkan sebuah kotak cincin. “Tidak perlu dekat-dekat sekarang, yang pasti niat saya ini ingin menunjukkan saya serius dengan kamu.”

“Ah.. gue mau nangis. Ngga .. ngga, gue udah nangis!” Ucap Jungkook yang kemudian dipeluk oleh Yoongi.

“Jungkook, maafkan saya, ya. Saya masih banyak kurang. Semoga kita berdua bisa saling melengkapi dan selalu bersama.” Ucap Yoongi sambil mengusap kepala dan punggung Jungkook. “Saya sayang kamu.” Yang Yoongi tutup dengan kecupan di kepala Jungkook.

[]