petrichorgreeny

➖ Tentang Taehyung

cw/ animal abusive; bullying; violence; juvenile delinquency; gunshot; mention suicide; intention to death; harsh word; car accident


Pagi itu cerah dengan langit biru yang dihiasi awan – awan putih. Namun tidak baginya. Langit seakan kelabu. Dunia seakan kosong. Seperti yang tersisa hanyalah dia sendiri.

“Bu, dia menjadi tidak bisa berbicara. Selepas kejadian itu, dia hanya diam dan melamun seperti itu. Kami titipkan dulu, ya, Bu, di sini. Siapa tahu kalau di sini, dia bisa membaik karena ada teman – teman seusianya.”

“Baik, Pak, tidak apa-apa di sini dulu.”

“Terima kasih, Bu Lee.”

Anak itu memandangi dua orang dewasa itu yang baru saja membicarakannya. Dia terlalu kecil untuk melihat kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kebakaran. Rasanya baru kemarin dia tertawa dan bermain, namun sekarang untuk mengeluarkan suara dari mulutnya pun dia tidak bisa. Dunia berubah menjadi menyedihkan hanya dalam satu malam.

“Nak Jimin, nanti temani, ya, ajak bermain.” Wanita itu berkata lembut pada seorang anak seusianya yang dipanggil Jimin itu. Jimin mengangguk perlahan.

“Ih … Kamu anak aneh! Jangan dekat – dekat aku, pergi sana!”

Dia baru saja diteriaki oleh sekumpulan anak – anak di rumah itu. Dia hanya ingin bermain. Dia membawakan seekor katak dan burung yang telah mati.

“Pergi!” Dia didorong.

“Kalian tidak boleh begitu!” Sebuah suara datang membelanya. “Dia teman kita!”

“Kamu saja yang mau berteman dengan anak aneh itu, Jimin. Kami tidak mau!” Mereka pun lalu pergi.

“Kamu tidak apa – apa?” Jimin mengulurkan tangannya, menarik dia yang barusan tersungkur ke tanah. “Kamu tidak boleh melukai hewan – hewan seperti ini dan membuatnya mati begini.” Tambah Jimin.

Anak itu melongo. Tidak mengerti maksud ucapan Jimin.

“Setiap mahluk hidup yang bernyawa itu berharga. Kamu tidak boleh menyakitinya, ya.” Jimin lalu mengambil katak dan burung mati itu.

“Sekarang kita kubur mereka. Tapi ingat, ya, kamu jangan begitu lagi.”

Anak itu mengangguk.

Di suatu malam yang penuh bintang, dengan mengendap – endap, tangan anak itu ditarik oleh Jimin. Katanya ayo lihat bintang di dekat danau.

“Dingin tidak?” Tanya Jimin.

Anak itu menggeleng.

“Lihat bintang itu, kata buku yang aku baca namanya Vega. Dia terang seperti senyuman kamu.”

Anak itu terdiam.

“Bintang itu namanya Antares.” Tunjuk Jimin. “Ah.. aku tahu, gimana kalau kamu kunamai Vega dan aku adalah Antares? Gimana?”

Anak itu mengangguk antusias. Dia lalu tersenyum dengan lebar.

“Nah, begitu. Vega harus lebih sering tersenyum, ya.”

Dan di suatu hari yang tenang, semuanya tiba – tiba menjadi kelabu kembali.

“Jangan bawa Vega! Kenapa Vega harus pergi? Biarin Vega di sini!”

Jimin merengek begitu pun dengan anak itu. Dia menangis tanpa suara. Matanya sudah merah dan basah.

“Nak, dia harus terapi agar dapat berbicara. Dia tidak bisa terus di sini. Dan katanya, ada yang akan mengadopsinya juga.” Ucap Bu Lee mencoba menenangkan.

“Tidak mau. Vega harus di sini. Jangan bawa Vega pergi!”

Namun, teriakan itu tak pernah didengar. Hari itu Vega dan Antares terpisah. Namun di sana, dalam hatinya, Vega berjanji akan menemui Antares. Dia akan bertemu lagi dengan Antares.


“Ares!”

“Ares itu siapa, Taehyung?”

“Ares .. mau ketemu Ares!”

Itulah kata pertama yang Taehyung dapat ucapkan setelah sekian lama akhirnya dia dapat berbicara lagi.

“Mama, aku mau ketemu Ares.”

“Ya, nanti Mama temani kamu menemui Ares, ya, Taehyung.”

Taehyung. Kim Taehyung. Nama itu yang diberikan saat Taehyung diadopsi oleh pasangan Kim yang selama 15 tahun menikah belum dikaruniai anak. Katanya jika mengadopsi anak, maka kemungkinan dapat memiliki anak kandung akan lebih besar. Ya, sejak awal Taehyung hanya pancingan.

Menemui Ares adalah sebuah kebohongan pertama yang Taehyung tahu sebab nyatanya dia tidak pernah diizinkan kemana – mana. Dia hanya sekolah dan langsung pulang ke rumahnya yang seperti istana itu tanpa diizinkan untuk bermain dengan teman sebaya. Taehyung rindu. Taehyung rindu kepada Antares-nya. Yang dapat Taehyung lakukan setiap kali dia ingin bertemu Antares adalah dengan melihat langit, melihat bintang karena dia yakin Antares pun akan melakukan hal yang sama dengannya.

Tiga tahun masa kebahagiaan fana bagi Taehyung berakhir, ketika lahir seorang anak laki – laki lain di rumah itu. Pusat perhatian lalu beralih. Taehyung seakan tidak dianggap. Semua fokus kepada pangeran kecil yang dinamai Heeseung itu. Taehyung mempunyai rasa yang membingungkan. Dia tidak suka keberadaan Heeseung namun di sisi lain dia menyukai adik kecilnya itu meski usianya terpaut jauh yaitu 13 tahun.

“Ayah, Mama baru tahu kalau ternyata Taehyung yang menyebabkan kebakaran di rumah keluarganya. Tahu gitu kita ngga usah adopsi dia. Mama jadi ngeri sendiri. Dia memang aneh, Yah.”

Ucapan itu Taehyung dengar dibalik dinding ruang kerja Ayahnya. Sungguh ucapan yang tidak pantas diucapkan oleh seseorang yang dipanggil Mama olehnya.

Dipanggil aneh dan menakutkan adalah keseharian bagi Taehyung. Berkali dia mengatakan dia tidak begitu namun orang – orang tidak mempercayainya. Dia sudah menjadi bahan bully teman – temannya hanya karena sulit bergaul. Taehyung sulit memaknai setiap ekspresi. Dia selalu tersenyum ketika seharusnya itu bersedih. Dia malah sedih ketika yang lainnya tertawa.

PLAK

Suatu tamparan mendarat di pipi Taehyung. Itu adalah tamparan pertama yang Ayahnya berikan padanya dan akan menjadi awal dari hal menakutkan lainnya yang akan Taehyung terima kedepannya. Dia dipukul karena ketahuan merokok di sekolah. Baginya merokok adalah pelampiasan yang bisa dia lakukan atas pukulan dan perlakuan kasar teman – temannya yang senang mem-bully-nya.

“Bawain tas gue!”

Taehyung pura – pura tidak mendengar.

“Lo budeg, ya?!” Seorang perempuan menoyor kepala Taehyung seketika. “Seonho bilang bawain tasnya!”

Taehyung mengepalkan tangannya dengan keras. Dia kalah jumlah. Luka ditubuhnya akibat dipukul Seonho tempo hari belum sembuh. Dia tidak ingin menambahnya.

Gue bunuh lo! Gue bunuh kalian semua!

Ceracau itu berdengung di telinga Taehyung. Dia berusaha mengusir keinginan itu. Dia mengingat ucapan Ares bahwa dia tidak boleh menyakiti mahluk hidup. Karena setiap nyawa itu berharga.

“Ayo tembak!”

Di hadapan Taehyung sekarang ada seseorang yang sudah babak belur. Kaki dan tangannya diikat.

“Ayo tembak dia, Kim Taehyung! Ingat kata Ayah, menembak yang tepat dan mematikan itu di sini dan di sini.” Ucapnya sambil menunjuk dada sebelah kiri dan kepala. “Bukannya kamu ingin sekali membunuh, ya? Membunuh orang yang sudah mem-bully kamu di sekolah? Anggap saja ini latihan.”

Taehyung gemetar. Di tangannya sudah memegang sebuah pistol. “Orang ini bukan orang baik, Son. Dia sudah mencuri uang Ayah, jadi tidak apa – apa kalau dia dibunuh.”

Taehyung lalu menatap wajah Ayahnya. “Boleh kalau membunuh orang jahat?” Tanya Taehyung.

“Boleh, Son. Lagi pula mereka hanya sampah!”

Taehyung mulai mengarahkan pistol ke orang itu. Berkali – kali orang didepannya itu memohon ampun.

Jangan, Vega. Jangan pernah membunuh orang.

DORR

Suara itu mengacaukan fokus pikiran Taehyung hingga tembakan itu meleset dan hanya mengenai bahu orang itu. Taehyung tersungkur ke tanah. Itu adalah pertama kali Taehyung menembak orang. Dan selanjutnya, selain sekolah, Taehyung dilatih untuk menjadi anjing pemburu. Menembak, menyetir, bela diri, dan sebagainya. Hingga pada satu titik, Taehyung tahu bahwa Ayahnya bukanlah hanya seorang petinggi militer namun lebih dari itu. Dia adalah penjahat kelas kakap.

“Bukan aku, Yah. Hoyeon … Dia bunuh diri karena pacarnya tidak mau bertanggungjawab. Bukan karena aku!”

“Ayah sudah suap sekolah untuk tidak memperpanjang kasus ini!”

“Kenapa Ayah melakukan ini? Kalau begini maka mereka akan yakin kalau aku yang melakukannya!”

“Memang bukan kamu? Kamu ingin dia mati, kan? Kamu ingin dia menderita, kan? Kamu sudah berhasil, Taehyung. Good, that’s my son.” Ayahnya menepuk bahu Taehyung. “Dia pantas mendapatkannya.”

Taehyung yang semulanya bingung menjadi yakin bahwa ya, orang itu memang pantas mendapatkannya. Karma atas perbuatannya. Rasakan itu, Hoyeon.

Setelah kejadian itu, asumsi orang lain menjadi semakin yakin bahwa Taehyung itu freak, sosiopat, bahkan dia bisa saja melukai siapapun dengan kuasa yang dimiliki Ayahnya. Taehyung terlalu lelah untuk menjelaskan kepada orang – orang. Biarlah mereka dengan pemikiran mereka. Sudah tanggung dianggap begitu mengapa tidak sekalian saja menjadi begitu.

Dan hari lainnya menjadi mimpi buruk bagi Taehyung ketika adiknya terjatuh dari lantai 3. Lebih tepatnya didorong oleh Mamanya sendiri yang sedang mabuk karena katanya Heeseung terlalu berisik. Dan lagi – lagi, orang itu menghasut dan memfitnah Taehyung didepan semua orang. Lengkap sudah. Taehyung, seorang monster yang dipelihara oleh Keluarga Kim adalah julukan bagi Taehyung sekarang.

Setelah itu, semua hari menjadi mimpi buruk bagi Taehyung. Akibat kecelakaan itu, Heeseung mengalami keterlambatan pertumbuhan dan kakinya menjadi bermasalah. Dan Taehyung-lah yang menjadi tumbal. Setiap Heeseung melakukan kesalahan, maka Taehyung akan menerima siksaan. Karena bagi Ayahnya, Taehyung penyebab Adiknya menjadi cacat.

Taehyung tidak tahan. Ada satu waktu di mana dia ingin menyerah akan hidupnya. Dia ingin mengakhiri segalanya. Dia lelah menjadi anjing pemburu yang dipaksa untuk menghancurkan hidup musuh – musuh Ayahnya. Dia juga lelah menjadi samsak setiap kali Heeseung berbuat salah. Hingga 1 tahun dia diseret masuk ke pusat rehabilitasi.

“Gue ngga gila, Han. Gue ngga kayak dibilang wanita itu!” Teriak Taehyung.

“Mereka tidak akan percaya, Taehyung.”

Fuck! Mereka yang monster, bukan gue! Wanita itu … Wanita itu udah mencelakakan anak kandungnya sendiri, sementara pria itu .. Shit! dia bahkan raja monster. Lihat nanti! Gue akan habisin mereka! Gue akan menjadi anjing yang akan menggigit majikannya sendiri!”

“Taehyung, bukankah kamu punya tujuan untuk menemukannya?”

Ya, dia. Antares. Namanya seakan mantra bagi Taehyung untuk tenang. Untuk menjadi sadar bahwa Antares-lah tujuan dia untuk bertahan sampai saat ini. Alasan dia untuk hidup. Dia harus bertemu Ares. Taehyung bahkan sudah banyak rencana jika dia bertemu Ares. Termasuk salah satunya menikah dengannya dan pergi yang jauh dari keluarga yang hanya membawakan neraka kepadanya.

“Kak …”

“Jangan diganggu, gue lagi belajar. Gue harus lolos tes CPNS.”

“Kenapa lo harus jadi PNS sih?”

“Jaehyun, jadi PNS membuat gue akan selangkah lebih jauh dari keluarga setan itu. Dan menjadi suami Ares juga akan membuat gue keluar dari jerat mereka.”

“Mimpi lo, Kak!”

“Lihat, ya, mimpi gue akan jadi kenyataan!”

“Ya, kenapa jadi PNS?”

“Gue hanya ingin jadi orang yang normal. Kayak yang lain, Jae. It’s so fucking tired hidup kayak gini. Bisa ngga kalau gue jadi kayak orang biasa yang lainnya? Kayak orang normal lainnya?”

Hidup normal. Itulah keinginan terbesar Taehyung yang tentu didalamnya sudah sepaket dengan Antares. Hingga saat takdir mempertemukan mereka, Taehyung bersikeras bahwa Ares harus menjadi miliknya. Ares adalah salah satu alasan dia bisa hidup normal. Meski banyak cara yang tidak biasa yang Taehyung lakukan demi mendapatkan Ares namun itu semua karena dia putus asa. Dia tidak punya plan B. Tujuannya satu yaitu bersama Antares dan lari bersamanya, memulai hidup baru.

“Ji, jika suatu hari nanti gue hilang, ngga ada kabar, bahkan lo udah mencari gue kesana kemari, ngga juga ketemu, maka lo perlu hancurkan rumah itu!” Tunjuk Taehyung saat di dalam mobil bersama Jimin. Badannya penuh luka, bekas siksaan yang dia dapat karena hari itu Heeseung dinyatakan tidak naik kelas.

“Saya tidak akan membiarkan kamu hilang.” Jawab Jimin.

“Kalau, Ji. Seandainya. Karena pria tua itu mengubur dan menyimpan hartanya di rumah itu. Dia kolot dan tidak percaya semacam bank atau brangkas di luar negeri. Jadi, jika lo menghancurkan rumah itu, maka pria itu tidak akan mempunyai apa – apa. Harta yang dia timbun dari kejahatannya selama ini akan ikut hancur juga. Dan rumah itu adalah saksi bisu di mana gue selalu disiksa oleh dia. Gue benci rumah itu. Bagi gue, rumah itu adalah neraka!” Taehyung tersenyum sambil menyeka sudut bibirnya yang berdarah.

“Dan gue di atas sana akan tersenyum melihat orang itu hancur.” Tambah Taehyung sambil menunjuk langit.

“Kim, kamu jangan berbicara seperti itu. Kamu tidak akan mati di tangan dia. Di tangan siapapun. Saya akan menjaga kamu.”

“Lo percaya sama gue, Ji?”


DORR

Pistol itu ditembakkan oleh Jimin ke langit.

“Kamu mau saya bunuh kamu?” Ucap Jimin sambil melemparkan pistol ke arah Taehyung. “Bunuh diri kamu sendiri!” Jimin lalu berbalik menuju mobilnya kembali.

“Ben! Kamu bilang kamu percaya sama aku! Tapi apa? Kamu sama aja dengan yang lain! Kamu brengsek, Park Jimin! Aku selalu percaya kamu! Mau sekotor hidup kamu dulu, aku ngga peduli! Tapi lihat apa yang kamu lakukan sekarang?!” Teriak Taehyung. Namun Jimin sama sekali tidak membalikkan badannya.

FUCK YOU!

Jimin tetap tidak mengindahkan. Dia sudah melaju dengan mobilnya dan Taehyung pun menyusulnya.

“Ngga akan gue biarin lo pergi gitu aja, Res. Lo cuma punya gue! Cuma gue yang nerima lo apa adanya!”

Taehyung menginjak gas dengan kecepatan tinggi untuk menyusul Jimin. Malam itu adalah keributan terbesar dirinya dan Jimin. Dia tidak ingin pernikahannya harus berakhir seperti ini.

“Sial!” Hujan membuat pandangan Taehyung menjadi berkurang. Mobil Jimin semakin tidak dapat dia kejar.

BRAKKK

Mobil Taehyung tiba – tiba ditabrak dari samping hingga membuat mobilnya terseret beberapa meter dari jalan raya. Hantaman itu membuat nafas Taehyung menjadi berat. Darah segar mulai mengalir dari kepalanya.

“Ares … Jangan pergi. Jangan tinggalkan aku.” Ucapnya lirih sebelum semua menjadi gelap dalam pandangannya.

[]

➖ Monster

Taehyung sudah memarkirkan mobilnya di sebuah lapangan besar yang sebenarnya sudah seperti hamparan ilalang yang tidak terurus. Mengapa Jimin memilih tempat seperti ini untuk mereka bertemu setelah beberapa hari ini dia bahkan tidak pulang, hanya membalas pesan seadanya, dan melakukan silent treatment kepadanya?

“Ben.” Panggil Taehyung. “Kenapa bertemu di tempat seperti ini sih?”

Yang dipanggil sedang bersandar di kap mobil, langsung menyerahkan beberapa berkas kepada Taehyung.

“Apa ini, Ben?”

“Mau lihat sendiri atau saya bacakan?”

Taehyung melihat berkas itu. Ada potongan koran, foto CCTV, dan beberapa foto lainnya.

“Lalu?” Tanya Taehyung sambil menaikan satu alisnya.

“Lalu?” Jimin mengulang kembali pertanyaan Taehyung dengan nada yang heran.

“Kamu bawa aku kesini seolah kamu sedang melakukan deal transaksi, haha. Kamu lagi kangen sama pekerjaan kamu dulu, ya?”

“Kim!”

Sudah lama. Sangat lama sekali Jimin tidak memanggil Taehyung dengan nama seperti itu. Dada Taehyung mendadak nyeri.

“Aku ngga suka dipanggil begitu, Ben!” Teriak Taehyung.

“Kamu itu sebenarnya siapa?!” Ucap Jimin dengan suara yang mulai meninggi.

Jimin memajukan langkahnya. Setiap Jimin maju satu langkah, Taehyung memundurkan satu langkahnya, hingga dia terhenti di belakang mobilnya. Tidak dapat mundur lagi. Jarak dia dan Jimin kini sangat dekat. Jimin menatap Taehyung dengan tajam. Sebuah tatapan penuh amarah dan juga kesedihan.

Lalu, Jimin meraih berkas yang Taehyung pegang dan mengeluarkan sebuah foto. “Lihat foto CCTV ini! Dari kamera restoran Pak Yoongi tidak terlihat karena masuk titik buta, namun dari CCTV jalan terlihat. Sangat terihat, Kim!”

Taehyung mengambil dengan kasar foto itu dan merobeknya.

“Lalu?”

“Kim!”

“Aku ngga suka kamu panggil aku begitu! Kamu itu kenapa sih?!”

“Kenapa kamu melakukan itu? Kenapa, Kim?” Suara Jimin mulai bergetar. Matanya berkaca-kaca.

“Melakukan apa?!”

“KIM!” Bentak Jimin. Nafasnya mulai berat dan tak beraturan.

“Mereka itu sampah! Mereka itu pantas mendapatkan itu! Mereka sudah mempermalukan kamu, mereka sudah menghina kamu, mereka itu pantas mati! Sayangnya, malah ngga mati. Sialan!”

Jimin tertegun mendengar jawaban Taehyung. Butiran kristal di mata Jimin sudah mengalir ke pipinya. Dia memundurkan langkahnya. Tubuhnya mulai gemetar. Apa yang Jimin takutkan selama ini terlihat jelas di matanya.

“Kamu selalu begini, ya?” Tanya Jimin sambil menggigit bibirnya yang sudah sangat gemetar.

Kini giliran Taehyung yang memajukan langkahnya. Jimin semakin gemetar, dia memundurkan langkahnya.

“Ben.” Taehyung mencoba menyentuh pipi Jimin namun dengan cepat Jimin kibaskan tangannya.

“Kamu sudah membunuh orang. Banyak orang, Kim!”

“Kapan? Di mana?”

Jimin kaget dengan perubahan ekspresi Taehyung. Ketika Taehyung ingin menyentuh pipinya barusan, matanya sangat lembut, namun sekarang yang Jimin lihat adalah tatapan tajam yang tak bisa Jimin deskripsikan.

“Kamu sudah bully Hoyeon dan membuat dia bunuh diri. Kamu sudah membunuh semua Geng Lodio. Lihat foto-foto ini! Ini adalah TKP penemuan mayat Geng Lodio.” Jimin mencoba mengatur nafasnya yang mulai tersengal. “Kenapa? Kenapa??!!”

“Kamu punya bukti aku yang melakukannya?” Satu alis Taehyung terangkat saat mengatakan itu. Jimin mengepal tangannya, menahan gemetar di tubuhnya.

“Ben, kamu takut, ya, sama aku?” Tanya Taehyung dengan pelan. Dia lalu meraih tangan Jimin dan menggenggamnya. “Tangan kamu gemetar begini.”

Lagi, Jimin mengibaskan tangan Taehyung dan dengan cepat dia mendorong tubuh Taehyung ke mobilnya dan menahan leher Taehyung dengan satu tangannya. Taehyung terkunci.

“Ben, sakit.” Erang Taehyung.

“Saya sudah tahu semuanya. Kamu udah tipu saya. Kamu berbohong banyak selama 5 tahun ini. Kenapa??! Kenapa kamu melakukan ini?!”

Jimin semakin mendorong tubuh Taehyung. Kedua tangan Taehyung mencoba melepaskan tangan Jimin dari lehernya namun tidak berhasil.

“Ben, sakit ... Aku ngga bisa na—”

Jimin lalu melepaskan kunciannya kemudian berteriak sekencangnya. Melepaskan sesak dan sakit yang dari tadi terkurung di dadanya.

“Ben.” Taehyung mencoba mengusap punggung Jimin tapi lagi-lagi Jimin kibaskan.

Dengan nafas terengah-engah, Jimin menatap Taehyung yang sudah menangis dengan leher yang mulai membiru bekas kunciannya. Jimin gentar, Jimin gemetar menahan semua ini dan dia tak sanggup. Ini sangat berat.

“Kamu monster, Kim.”

Jimin lalu pergi tanpa melihat dan menoleh sedikitpun kepada Taehyung. Dia langsung masuk ke mobilnya. Tangannya basah, matanya tak henti meneteskan air mata, nafasnya sesak, dan dia menepuk-nepuk dadanya yang sakit.

DORR

Suara tembakan itu membuat Jimin kaget dan dia langsung turun dari mobil. Dia baru saja melihat Taehyung menembakkan peluru ke atas. Dan setelahnya dia langsung melemparkan pistol itu ke Jimin. Dengan refleks, Jimin dapat menangkap pistol itu.

Kill me!” Ucap Taehyung. “Shoot me!”

Jimin kaget mendengar itu. Dan Taehyung semakin mendekatinya.

“Aku ngga bisa lagi hidup ketika bahkan orang yang aku cintai menyebut aku monster.” Mata Taehyung sudah sangat merah karena menangis. “Aku selalu percaya kamu, Ben. Aku ngga pernah sedikitpun meragukan kamu. Tapi sekarang apa yang kamu lakukan? You ditch me like a shit!

Taehyung meraih tangan Jimin yang sedang memegang pistol dan mengarahkannya ke dada Taehyung.

Kill me!

Jimin mencoba menarik tangannya tapi Taehyung tarik kembali.

Making me as your first Code 1, Ben.”

Hening pun membungkam semuanya.

DORR

[]

➖ Tentang Hoseok

cw/ bullying cw/ mention suicide cw/ intention to death


“Selamat sudah keluar dari rumah sakit. This is special for you.” Namjoon memberikan sebuket bunga kepada Hoseok. “Aku antar ke rumah ya.” Namjoon mulai menyalakan mobilnya.

“Ngga mau langsung ke rumah.”

“Mau kemana dulu?”

“Mau ketemu Hoyeon.”

Perjalanan lebih dari 1 jam mereka tempuh, membawa mereka ke sebuah pemakaman besar. Namjoon sesekali memegang tangan Hoseok karena Hoseok masih sedikit tertatih saat berjalan.

“Hai, Kakak yang menyebelin!” Ucap Hoseok ketika tiba di sebuah makam. Dia lalu terduduk dipinggirnya. “Kenalin, ini Namjoon, Hoyeon.”

Namjoon mengeluarkan senyumnya yang menampilkan lesung pipitnya. “Hai, Hoyeon. Saya Namjoon, calon pacar adik kamu!” Sontak setelah mengatakan itu, Namjoon langsung mendapatkan tinju kecil dari Hoseok ke perutnya.

“Aku dapat buket bunga, aku bagi kamu satu, ya.” Hoseok mengeluarkan satu batang mawar dan menaruhnya didekat nisan.

“Hoyeon dan aku cuma beda 3 menit, tapi duluan dia jadi aku harus selalu manggil dia kakak, nyebelin!” Ucap Hoseok ketika mereka sudah kembali di mobil untuk perjalanan pulang.

“Maunya jadi abang ya?”

“Iya, lagi pula harusnya aku kakaknya.”

“Kenapa?”

“Kan aku yang mengusahakan dia keluar duluan, biar dia aman duluan, baru aku belakangan. Itu artinya aku harusnya jadi abangnya.”

“Oh, jadi kamu bilang gitu pas lahir ke Hoyeon?”

“Iya, kayaknya.”

Jawaban itu mendapatkan respon tawa kecil dari Namjoon, “Kamu lucu banget.” Ucap Namjoon sambil mengusap kepala Hoseok.

“Aku sama Hoyeon beda sekolah. Dulu, aku masuk SMK olahraga dan Hoyeon masuk SMA. Aku masuk SMK karena memang pengen jadi atlet tapi ngga kesampean malah jadi guru olahraga.” Ucap Hoseok sambil menundukkan kepalanya. Ada getir sedih diucapannya.

“Ngga apa-apa kan mendidik anak-anak bangsa, sama-sama berprestasi kok.” Timpal Namjoon. Tangan kirinya langsung meraih tangan kanan Hoseok dan menggenggamnya. Perlakuan itu mendapatkan tatapan kaget dari Hoseok.

“Joon.”

“Hm, iya?” Namjoon melirik sekali lalu cepat menatap ke depan, memperhatikan jalanan kembali.

“Aku udah jahat sama kamu. Aku juga ngga punya hubungan baik dengan teman sekaligus atasan kamu.”

“Hoseok, kamu memang udah jahat sama aku tapi kamu punya alasan. Dan aku sedang memahami alasan itu. Lalu, kamu ga perlu takut, Taehyung meski atasan aku, dia ngga akan bisa mecat aku kok. Yang bisa pecat aku cuma negara.”

“Joon, jangan begini. Ini semua buat aku sulit. Keinginan aku sekarang adalah buat Taehyung membayar semua yang telah dia lakukan tapi kamu.. Kamu ...” Hoseok menghentikan perkataannya.

Namjoon lalu meminggirkan dan menghentikan mobilnya.

“Aku menghalangi kamu, ya? Aku cuma ngga mau kamu terbakar oleh dendam, Hoseok. Meski kamu bilang kamu orang jahat, orang-orang benci kamu, tapi aku selalu yakin kamu itu orang baik, senyum kamu manis, dan aku ingin melihat itu bukan tangisan atau amarah kamu.” Namjoon mengusap tangan Hoseok yang sudah mulai bergetar.

“Taehyung itu jahat, Joon. Dia .. Dia bully Hoyeon selama di sekolah hingga sampai di satu titik Hoyeon menyerah dan memutuskan untuk ...” Hoseok menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dia langsung menangis sejadinya.

“Ngga usah dilanjutin, Hoseok. Nanti saja.” Namjoon mendekatkan dirinya, mengusap punggung dan tangan Hoseok.

“Dia sudah bunuh Hoyeon, dia sudah bunuh kakak aku, Joon. Saat kami sekeluarga minta pertanggungjawabannya, dia malah berkelit dan malah menuduh Hoyeon yang sebenarnya telah mem-bully-nya. Taehyung itu licik, dia itu manipulatif, aku benci dengan wajahnya yang sok suci, dia itu munafik! Dan kasus itu ngga pernah diusut kembali, menguap hilang, karena ayahnya membungkam sekolah dan polisi.”

Tangisan Hoseok semakin keras, Namjoon berusaha menenangkan Hoseok dengan memeluknya. Semakin keras tangisannya, semakin erat Namjoon memeluknya.

“Aku sudah mencoba merelakan semuanya, biar Tuhan yang membalas perbuatan dia. Tapi apa yang aku lihat? Dia menjadi tetangga aku, hidup bahagia dengan suaminya, tanpa sedikitpun mengenali aku? Padahal aku masih ingat wajah dia, aku masih ingat dia malah tersenyum ketika Kepala Sekolah bilang kalau Hoyeon sudah meninggal. Dia itu psikopat, Joon!”

Hoseok melepaskan pelukannya dari Namjoon. “Ternyata dia tidak pernah berubah, monster seperti dia malah makin menjadi. Kamu tahu apa yang dia katakan ketika melabrak aku seusai pertandingan voli?”

“Apa?”

Mental pecundang, lebih baik kamu urus ibu kamu yang renta itu di panti jompo daripada jadi pelatih voli.” Ucap Hoseok sambil menirukan gaya bicara Taehyung.

“Dia tahu semuanya, dia menyelidiki semua orang, dan mengancam orang dengan kelemahannya. Keluarga aku hancur dan menjadi begini karena dia! Hoyeon meninggal menjadi pukulan bagi keluarga aku, Joon. Ayah aku meninggal karena serangan jantung sebulan setelah meninggalnya Hoyeon, Ibu aku sakit setelahnya, dia shock dan sekarang dia lumpuh dan dirawat di panti. Semua itu karena Kim Taehyung dan keluarganya! Aku benci melihat dia, rasanya sakit banget, Joon. Sakit banget sampai aku beberapa kali terpikir untuk menyusul Hoyeon.”

Namjoon kembali memeluk Hoseok yang sudah sangat emosional. Dia mengusap-usap punggung Hoseok, mencoba menenangkannya.

“Terima kasih, Hoseok. Terima kasih karena kamu sudah kuat bertahan meski tahu itu tidak mudah. Bertahan, ya, bertahanlah. Kini kamu ngga sendirian, bagi lukanya sama aku, bagi deritanya sama aku, ada aku, Hoseok. Sekarang ada aku.” Ucap Namjoon sambil mengecup kepala Hoseok.

[]

➖ Tentang Yoongi

Sebagai anak laki-laki pertama dan satu-satunya dari lima bersaudara, Yoongi adalah tipe anak sulung yang manut kepada orang tuanya dan harus selalu terlihat baik-baik saja di depan adik-adiknya. Tidak pernah emosional, selalu tenang, dan malah cenderung dingin. Begitulah hidup menempa Yoongi selama ini.

“Semua sudah direncanakan, kamu tinggal menurut saja.” Begitu kata Ibunya ketika Yoongi tiba-tiba dihadapkan pada sebuah perjodohan. Yoongi tidak memberontak. Lagi pula dia memang tidak pernah memikirkan perihal asmara; dia terlalu sibuk mengurusi bisnis restoran keluarganya— kencan adalah hal yang tak pernah menjadi to do list-nya.

“Kamu ini kaku banget, Yoon. Ngga pernah pacaran, ya?” Ucap seorang perempuan di hadapan Yoongi sambil menyereput es coklatnya.

Mana tahu dan mana pernah Yoongi berhadapan seperti ini dengan seorang perempuan, tentu saja dia kaku dan malah sangat canggung.

“Kamu mau dijodohkan seperti ini?”

“Saya ikut saja apa kata orang tua.” Jawab Yoongi.

“Anak baik.” Nada bicaranya terdengar menyindir Yoongi.

Satu dan dua kali pertemuan mereka membuat Yoongi mulai merasa jatuh cinta. Perempuan yang dijodohkan dengannya adalah seorang yang aktif, intelek, bahkan mungkin lebih tepat menjadi wanita karier ketimbang harus menikah dengannya. Pikir Yoongi. Dan segala pemikirannya membuat Yoongi terkesima. Berulang kali dia berkontemplasi pada dirinya sendiri hingga akhirnya dia mengakui bahwa dia mencintai perempuan itu.

Namun, cinta saja tidak cukup ternyata. Dia terlalu bebas, dia ingin terbang, dan dia mempunyai cita-cita yang tinggi.

“Kenapa aku harus hamil dulu sih? Kan aku udah bilang mau pakai kontrasepsi dulu!”

“Tapi Ibu ingin segera memiliki cucu.”

“Ibu, Ibu, Ibu terus! Ini hidup kamu Yoongi, bukan hidup Ibu kamu!”

Yoongi hanya bisa terdiam. Lagi-lagi dia— perempuan yang Yoongi cintai harus menanggung bebannya juga.

“Aku ngga mau lihat!! Jangan diperlihatkan ke aku, Yoongi!!”

Yoongi bingung dan mematung sambil menggendong Sunoo yang baru berusia 7 hari. Bundanya sendiri tidak mau melihat Sunoo. Yoongi tidak tahu mengapa. Dia sering menangis setelah melahirkan, sering menyalahkan diri sendiri, dan malah mengurung diri. Yoongi tidak tahu harus bagaimana hingga semua urusan Sunoo, dia yang mengurusnya sendiri. Dan sejak kecil, Sunoo tidak pernah mendapatkan ASI dari Bundanya. Pedih hati Yoongi namun dia tidak bisa berbuat apa-apa.

“Aku udah ngga bisa lagi, Yoongi! Aku mau bebas, hidupku bukan seperti ini, aku ngga bisa. Sejak awal memang harusnya tidak begini! Aku ngga bisa!!” Ucapnya di ujung telepon.

“Kamu di mana? Sunoo di mana?” Yoongi sudah mulai panik.

“Aku ... Aku simpan dia di taman. Aku ngga bisa lihat dia!”

Yoongi sekarang mulai panik. Bagaimana anak usia 2 tahun ditinggalkan begitu saja di taman sendirian? Sunoo mungkin sedang menangis, sedang kedinginan, atau mungkin saja .. Semua pikiran buruk sudah menguasai Yoongi. Dia kalang kabut mencari Sunoo, menyusuri kota, dan setiap sudut taman.

Teleponnya berbunyi. Seorang polisi menelponnya. Sunoo sudah ditemukan. Yoongi segera berlari ke kantor polisi, dia ingin segera melihat Sunoo.

“Anak Ayah!” Yoongi memeluknya, menciumnya, dan dia menangis seketika.

“Terima kasih, Pak. Terima kasih banyak.”

“Jangan berterimakasih ke kami, Pak, tadi ada yang mengantar Sunoo kesini.”

“Siapa, Pak?”

“Penguasa Langit.” Celetuk seorang polisi.

Yoongi terdiam sejenak. “Namanya Penguasa Langit?”

“Hehe .. Bukan, Pak. Itu julukannya saja. Namanya Jeon Jungkook, Pak.”

“Pak Polisi kenal?”

“Tentulah, dia langganan masuk sana.” Ucapnya sambil menunjuk jeruji besi di sampingnya.

Langganan di jeruji besi? Berarti dia orang jahat? Tetapi dia sudah begitu baik mengantar Sunoo dengan selamat tanpa kurang satu helai pun. Pikir Yoongi.

“Ini, Pak, fotonya. Siapa tahu ketemu di jalan hehe.” Ucap Pak Polisi itu memperlihatkan sebuah foto.

Orang baik.


“Keinginan kamu itu akan saya kabulkan.” Ucap Yoongi. “Kamu ingin kita berpisah, tapi Sunoo dengan saya.” Tegasnya di ujung telepon.

Perceraian sungguh hal yang tidak pernah Yoongi inginkan di kehidupannya. Pernikahan adalah hal sakral baginya. Namun bagaimana lagi jika hati sudah tak lagi bertaut? Dari sejak awal, memang hanya Yoongi yang mencoba menerima ini, mungkin rasa cinta yang dia rasakan pun karena terbiasa dan menerima bahwa perempuan itu adalah isterinya dan sekarang adalah bunda dari anaknya. Tetapi, itu saja tidak cukup.

“Sunoo ganteng banget kayak bapaknya, kalau Om Kuki jadi bapaknya Sunoo cocok tuh soalnya Om Kuki juga ganteng, haha.”

Celoteh itu terdengar oleh Yoongi. Lelaki itu sering sekali menggoda Sunoo dan dirinya.

“Om Kuki jangan godain Ayah terus, muka Ayah jadi merah kayak tomat.” Jawab Sunoo. Mereka berdua lalu tertawa, sementara Yoongi mencoba mengalihkan diri dengan mencuci piring— menutupi merah padam di wajahnya.

Yoongi tahu lelaki yang sering menggodanya itu sejak 5 tahun yang lalu. Bahkan Yoongi mencari keberadaannya namun sulit ditemukan. Dia tahu lelaki itu dulunya bagaimana dan apa yang dia kerjakan. Tapi Yoongi tidak pernah memperdulikannya. Dan seakan takdir menautkannya kembali, ketika Sunoo lagi-lagi ditemukan oleh lelaki itu. Jeon Jungkook.

“Pak Yoongi, Pak Yoongi!”

Jungkook selalu berisik ketika memanggilnya. Sungguh bertolak belakang. Jungkook aktif, antusias, dan sepertinya energinya tidak pernah habis. Beda dengan Yoongi yang pendiam, tenang, bahkan jalannya pun terlalu santai (baca: lambat).

“Iya, Jungkook?”

“Gue ganteng ngga?” Ucapnya sambil memamerkan hiasan baru di bibirnya.

Ini terlalu dekat.

“Bagus.” Jawab Yoongi seadanya.

“Tapi kalau Bapak mau cium gue nih, bisa gue lepas dulu kalau dirasa nge-gang-gu.”

Ucapan itu langsung mendapat tatapan dari Yoongi.

“Canda, Pak, serius amat, hehe.”

Jungkook selalu begitu. Dia terang-terangan. Malah terlalu apa adanya. Yoongi menggelengkan kepalanya. Tidak, jangan lagi. Fokusnya hanya Sunoo dan membahagiakannya. Sudah itu saja.

“Pak Yoongi tahu kan kalau Hoseok itu suka dengan Bapak? Sejak Bapak tinggal di kompleks ini.” Ucap Seokjin sambil mengaduk-aduk kopinya yang mungkin sudah teraduk sempurna.

Yoongi tahu. Sangat tahu. Tetapi dia tidak bisa. Dia pernah gagal. Dan dia tidak ingin kembali gagal atau bahkan membawa orang lain lagi untuk gagal bersamanya.

“Fokus saya sekarang hanya Sunoo, Pak.”

“Kalau Jungkook?”

Pertanyaan itu selalu ingin Yoongi hindari. Dia tidak ingin menjawabnya. Lelaki itu sudah mengganggu Yoongi sejak pertama kali dia menyelamatkan Sunoo hingga titik ketika Yoongi lelah mencari keberadaannya, namun tiba-tiba lelaki itu hadir begitu saja menyelamatkan Sunoo kembali. Takdir begitu lucu mempermainkannya.

“Saya suka dengan Jungkook, mungkin Pak Yoongi sudah sangat tahu itu.”

Suka? Mungkin itu hanya penasaran saja.

“Jadi mohon Pak Yoongi untuk mengambil sikap. Jangan mempermainkan dua hati, Pak.”

Yoongi hanya bisa terdiam. Dia tidak tahu harus berbuat apa.

“Pak, masa ngga bisa, Pak? Apa gue kurang ganteng, ya? Apa karena gue mantan kriminal, Pak?”

“Jungkook pelan-pelan, Sunoo lagi tidur.” Ucap Yoongi sambil membopong tubuh Jungkook dan membawanya ke kamarnya.

“Sakit banget, Pak. Katanya jatuh cinta itu indah, kenapa ini sakit banget?” Jungkook melemparkan tubuhnya begitu saja ke kasur Yoongi.

Yoongi lalu melepaskan sepatu dan kaos kaki Jungkook. Kemudian dia hendak melepaskan jaketnya tetapi tangan Yoongi ditahan oleh Jungkook. Mata mereka saling beradu.

Pretty.”

Jungkook lalu memegang kedua pipi Yoongi dan mendekatkan wajahnya ke wajah Yoongi. Dan setelahnya yang Yoongi rasakan adalah basah dibibirnya. Jungkook melumat habis bibir Yoongi begitu dalam dan bergairah. Yoongi memejamkan matanya. Sudah lama sejak dia merasakan hal ini namun kali ini lebih hangat atau malah lebih panas yang ia rasakan di dadanya. Semakin lama semakin dalam. Satu tangan Jungkook menahan pinggang Yoongi, sementara satu tangannya mengusap pipi Yoongi.

Pagutan itu terlepas ketika keduanya membutuhkan udara. Jungkook tersenyum sambil mengusap bibir Yoongi yang basah dengan ibu jarinya.

“Kalau ini mimpi, ini mimpi yang paling indah.”

Setelah itu, kepala Jungkook menunduk dan keningnya mengenai bahu Yoongi. Dia tertidur. Kini giliran Yoongi yang tersenyum.

“Selamat tidur, Jungkook.” Ucapnya sambil merebahkan tubuh Jungkook dan memakaikan selimut kepadanya. “Hiasan di bibir kamu tidak mengganggu kok.” Tambah Yoongi.

Besok mungkin Jungkook tidak akan menyadari ini. Bisa saja dia menganggap ini hanya mimpi. Namun bagi Yoongi ini nyata dan akan selalu dia ingat.

[]

➖ Yang Terlewatkan

Di depan stir kemudinya Jimin hanya bisa panik dan takut. Dua kali Jimin telah merasakan ketakutan yang luar biasa seperti ini. Semua seakan mengingatkannya kembali pada kecelakaan mobil waktu itu. Pikiran buruknya sudah menyebar kemana-mana apalagi ini sudah sangat jelas lebih menakutkan. Dia sudah mendengar Taehyung menjerit kesakitan di rekaman suara yang SY kirimkan. Sebuah hal yang paling menyesakkan baginya.

Sesak ini seakan bertambah ketika dia mengetahui bahwa dalang dari semua ini adalah rekannya sendiri. Bagaimana dia tega menghabisi rekannya yang lain, melukai, bahkan membunuh boss-nya sendiri demi menguasai geng ini?

SY adalah rekan yang Jimin hormati. Dia adalah senior dan sangat handal dalam menembak. Dialah dulu yang mengajari Jimin bagaimana merakit senjata dan menembak. Meski pada akhirnya menembak bukan spesialisasi Jimin namun berkat SY dia bisa menggunakan senjata untuk membela dirinya. Tetapi, kenyataan itu seakan dibalik begitu saja. Orang yang dia hormati malah berbalik melukai sesamanya dan kini menyandera Taehyung— orang yang Jimin cintai.

Jimin menarik rambutnya kasar. Sakit di kepalanya ketika dia harus menghadapi kenyataan ini. Jimin ingin berhenti. Dia sudah berjanji kepada Taehyung untuk keluar dari dunia ini dan memulai hidup baru bersamanya. Dia ingin pergi dengan baik-baik namun semua menjadi kacau. Semua menjadi berantakan.

Hari ini harusnya hari yang membahagiakan bagi Taehyung— dia telah lulus dari sekolah magisternya. Sebuah perayaan sudah Jimin siapkan. Sebuah cincin sudah Jimin siapkan pula. Hari ini rencananya selepas acara wisuda Taehyung, dia ingin melamarnya. Melamar Taehyung untuk menjadi suaminya.

Seharusnya ini tidak begini.

Dia kesal pada dirinya. Harusnya dia bisa mengantisipasi ini semua. Kenapa? Kenapa seakan seperti melewatinya? Dia tidak menyangka bahwa orang yang dia anggap keluarga dalam gengnya justru malah begitu tega. Seharusnya Jimin tetap harus waspada bahwa tak ada yang harus dia percayai di dunia ini kecuali dirinya. Namun, lagi-lagi Jimin melewatkannya dan baru menyadarinya setelah semua terlambat. Kini, Jimin tidak ingin hal yang menimpa WP, terjadi pada Taehyung.

Mobil Jimin sudah berada di sebuah gudang kosong— lokasi yang SY kirimkan melalui pesan kepada Jimin. Dia sudah bersiap dengan pistol dan pisau yang berada di kedua sisi celananya untuk berjaga-jaga.

Saat Jimin membuka gudang itu sudah terlihat Taehyung terduduk di sebuah kursi kayu dengan kaki dan tangan yang terikat— mulutnya pun disumpal oleh kain.

DORR!

Satu tembakan itu nyaris melalui kaki Jimin namun meleset. Sengaja dibuat meleset.

“Wow, tepat sekali 10 menit. Jika 1 detik saja terlambat, maka tembakan barusan mungkin akan mengenai dia.” SY yang berada di atas menuruni tangga menghampiri Jimin.

“Lepaskan dia, Y! Dia tidak ada sangkut pautnya dengan ini semua!”

“Benar begitu?” SY menyeringai. “M, kamu benar tidak tahu siapa dia? Dia itu—”

BRAKKKK

“Diem lo anjingggg!!” YJ tiba-tiba saja entah dari mana datangnya, langsung menerjang tubuh SY hingga dia terjatuh seketika. Pistol yang barusan dia pegang pun terlempar.

“Lo itu ngga bisa apa-apa kalau ngga punya pistol! Mampus lo gue habisin sekarang!”

YJ membalikkan tubuh SY dan mulai memukulinya bertubi-tubi tanpa ampun. Melihat itu semua, menjadi kesempatan bagi Jimin untuk membebaskan Taehyung.

“Sayang, kamu tidak apa-apa kan? Ada yang luka kah?” Ada yang sakit kah?” Jimin langsung menanyai Taehyung ketika semua ikatan dan sumpalan itu terlepas dari diri Taehyung.

“Aku ngga apa-apa, Ji.”

“Syukurlah.” Jimin lalu menyerahkan kunci mobilnya. “Kamu pergi sekarang, pakai mobil saya.”

“Ayo kita pergi bareng-bareng.”

“Tidak bisa, Sayang. Saya harus menyelesaikan ini semua.” Jimin menggenggam tangan Taehyung dan menciumnya.

“Ji...”

“Jika ini semua sudah selesai, saya akan ke rumah kamu. Saya janji.”

“Ngga mau, kita pergi bareng-bareng. Aku tunggu, aku tunggu.”

“Sayang—”

DORR.

Suara tembakan itu hampir mengenai punggung Jimin jika Taehyung tidak lekas menarik tubuh Jimin yang membuat mereka berdua bergulung di tanah.

“Sayang, kamu—”

“Aku ngga apa-apa.”

Demi menarik tubuh Jimin dan menahannya, punggung Taehyung yang menjadi tumpuan— menabrak tiang besi. Rasanya pasti sakit terbentur sekeras itu. Namun Taehyung masih bisa berdiri sambil mengambil pistol dan pisau dari celana Jimin dengan cepat. Jimin bahkan tidak menyadarinya. Semua sangat cepat. Hingga sekarang yang dilihat oleh Jimin adalah Taehyung tengah berdiri sambil menodongkan pistolnya tepat dihadapan SY. Sementara YJ sedang tersungkur di tanah. Entah bagaimana SY bisa memenangkan pergelutan itu dan bisa meraih pistolnya kembali. Tapi ada hal ganjal yang selama ini selalu Jimin lewatkan.

“Aku mau boneka beruang itu.” Ucap Taehyung sambil menunjuk etalase hadiah. Di sana tak hanya boneka beruang namun ada hadiah lainnya : aneka boneka, tempat pensil, buku tulis, gelang, makanan, minuman, dan lainnya. Tetapi hadiah utamanya adalah boneka beruang. Siapa yang menembak tepat di angka 5 maka berhak mendapatkan hadiah itu.

Percobaan tiga kali dan gagal. Jimin hanya bisa mendapatkan makanan dan minuman saja.

“Maaf ... Saya gagal.”

“Ngga apa-apa, sini biar aku aja.”

Taehyung membayar lagi untuk permainan tembak-tembakan itu. Dia membidik dan dengan sekali tembakan, nomor 5 berhasil dikenai dengan tepat sasaran.

“Dua kesempatan lagi, ngga saya ambil, ya, Pak.” Ucap Taehyung sambil mengambil boneka beruangnya. “Saya cuma butuh ini saja.”

Mereka lalu pergi dari arena bermain itu menuju area permainan lainnya. Sebuah ide kencan dari Taehyung untuk mereka menghabiskan waktu di Pasar Malam.

“Nih buat kamu.” Taehyung menyerahkan boneka beruang itu kepada Jimin.

“Kenapa diberikan ke saya?”

“Biar inget aku terus.”

Jimin terdiam. Ah, mungkin itu kebetulan. Lagi-lagi Jimin melewatkannya.

“Ayo kita balapan!” Ucap Taehyung dengan mobil yang dia bawa sendiri. Jarang sebenarnya Taehyung mengeluarkan mobilnya karena selalu diantar dan dijemput oleh mobil Jimin.

“Jadi ini alasannya makanya kamu tidak mau saya antar?”

“Satu putaran. Kalau kamu menang, terserah bebas mau apa. Kalau aku menang, aku mau kamu nginep seminggu!”

Sangat Taehyung sekali keinginannya.

Jimin mengangguk. Mereka menggunakan jalan perbukitan yang sepi untuk balapan. Ngebut dan balapan seperti ini sudah jadi hal biasa baginya, Taehyung mungkin hanya bisa mengendarai mobil namun untuk balapan, rasanya perlu skill khusus dan Jimin yakin Taehyung tidak mempunyainya.

Namun, dia salah.

“Yeee ... Aku yang menang. Jadi kamu nginep seminggu ya, hihi. Asyik, tiap hari bisa cuddle.” Ucapnya sambil memeluk pinggang Jimin.

Hm, itu hanya kebetulan. Dia melewatkannya kembali.

Satu di antara yang dia lewatkan, ada satu hal yang mengusik Jimin. Dia tidak suka satu ekspresi yang – jarang atau mungkin kadang – Taehyung keluarkan tanpa dia sadari. Senyuman itu. Setiap Jimin melihatnya, entah apa yang terjadi tetapi bisa dengan seketika membuat bulu kuduk Jimin berdiri. Taehyung sangat menakutkan saat dia tersenyum seperti itu.

“Aku habisi dia!” Bentak Taehyung ketika dia melihat Jimin terluka di lengannya akibat sabetan pisau lepas dia menyelesaikan misi. Jimin selalu mengira itu hanya pelampiasan emosi Taehyung saja. Tidak mungkin Taehyung benar-benar menghabisi orang itu. Taehyung memang lebih ekspresif, dia lebih meledak-ledak, apalagi jika satu helai milik Jimin terluka, Taehyung akan sangat marah.

“Wah, Boss keren sekali. Memang harus dikasih pelajaran. Berani-beraninya lukai Black Scorpio seperti itu.” Ucap Jungkook saat itu.

Jimin hanya bisa terdiam. Dia tidak pernah membalaskan dendam akan luka itu. Dia selalu berpikir inilah risiko pekerjaannya. Namun saat dia bercerita kepada Taehyung akan hal itu, Jimin melihat senyuman itu.

“Dia pantas mendapatkannya.”

Ucapan itu membuat Jimin memundurkan langkahnya. Seribu pertanyaan selalu ada untuk Taehyung. Benarkah dia hanya seorang anak petinggi militer yang selalu disiksa dan diperlakukan tidak adil oleh keluarganya? Atau ada hal lain yang tidak Jimin tahu? Namun, lagi-lagi Jimin membiarkannya. Taehyung tidak pernah mempermasalahkan dirinya, mengapa dia harus resah akan kebenaran diri Taehyung? Semua punya sisi lain masing-masing.

Kali ini Jimin tidak bisa melewatkan semua ini, terlalu jelas. Taehyung hanya seorang pegawai pemerintah namun refleksnya, cara dia memegang pisau, dan pistol tampak sangat terlatih. Dia bahkan sama sekali tidak takut atau gemetar berdiri seperti itu di depan SY.

DORR!

Satu tembakan itu tepat mengenai tangan SY yang membuat pistolnya terpental. Dia melukai itu hanya dengan satu tembakan— mengingatkan Jimin pada saat Taehyung yang katanya secara refleks membereskan Geng Giok dengan tiga kali tembakan. Refleks.

Dan Taehyung tersenyum seperti itu kembali. Dia lalu menggumamkan sesuatu yang sangat jelas Jimin lihat.

Mati kamu sialan!

DORR!

Tembakan itu meleset keatas. Jimin menarik lengan Taehyung tepat ketika dia menembakkan pistolnya.

“Jangan, Sayang. Jangan.”

Jimin memeluk Taehyung. Mengusap kepala dan punggung Taehyung secara perlahan. Tubuh Taehyung menegang seketika. Dia membeku.

“Tolol!”

Jimin tak tahu namun setelah itu tubuhnya dibalik begitu saja oleh Taehyung.

“WAHHH ANJING LO SY!!”

Terlihat YJ yang masih penuh luka langsung memukul kepala SY dengan besi yang langsung membuat dia terkapar seketika.

“TAEHYUNGGG!!”

Jimin panik ketika melihat Taehyung telah bersimbah darah di pinggangnya. Dia lalu membuka jasnya dan mencoba menekan luka Taehyung.

“Sayang ... Sayang ...” Berulang kali Jimin memanggil-manggil nama Taehyung menjaga agar dia tetap tersadar.

“Ji ...”

Jimin sudah menangis. Dia tidak mau lagi kehilangan orang yang dia sayang. WP, rekannya meninggal dengan cara seperti— tepat dipangkuannya.

“M, lo harus bawa dia ke RS, biar ini semua gue yang urus!” Ucap YJ.

“Ji .. ini ... pakai ini.” Taehyung mengeluarkan sebuah cincin dari saku jasnya. “Aku ... Aku hari ini mau ... Lamar kamu .. Tapi ...”

“Sayang, sudah ... Kita ke RS sekarang, ya. “

Jimin langsung menggendong tubuh Taehyung. Dia memberikan isyarat seperti ucapan terima kasih pada YJ. Sekarang di pikiran Jimin adalah bagaimana Taehyung bisa selamat. Berulang kali Taehyung menyelamatkan hidupnya, berulang kali Taehyung mempertaruhkan nyawa untuknya; tak apa untuk hal-hal yang dilewatkan. Dia lagi-lagi mengabaikan. Yang terpenting adalah Taehyung yang ada di pelukannya sekarang. Ya, Taehyung ini.

[]

➖ Tentang Jimin

Hujan deras tak ada hentinya. Seakan ikut menemani sakit dan pedih hati Jimin saat ini. Badannya penuh luka, wajahnya lebam, namun itu tidak seberapa dengan nyeri di hatinya dan sesak di dadanya.

Berulang kali dia berada di titik menyesali jalan hidup yang dia pilih. Berulang kali dia ingin melarikan diri. Namun, dia tidak punya pilihan. Bahkan dia tidak bisa memilih apa yang seharusnya dia jalankan.

Jimin terlalu kecil untuk menghadapi suatu peristiwa kehilangan selamanya. Dia masih 6 tahun saat kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah bencana alam. Memori dia akan orang tuanya hanya sementara. Jimin bahkan sudah tidak bisa lagi mengingat wajah mereka. Maka dari itu, Jimin awam atas rasa cinta dan kasih sayang. Dia tak pernah merasakannya. Tak pernah tahu bagaimana disayangi dan dikasihi.

“Nih, bersihin sepatu gue! Nanti gue kasih 20 ribu!” Ucap seorang siswa melemparkan Jimin sepasang sepatunya tepat mengenai wajahnya.

“Yang bersih!” Tegasnya lagi.

Jimin menurut. Perutnya lapar. Dari pagi dia bahkan belum makan. Rasanya dia sudah membayangkan enaknya ketoprak depan sekolah setelah dia mendapatkan uang dari membersihkan sepatu temannya. Ah, teman. Dia bukan temannya. Jimin tidak mempunyai hal seperti itu di hidupnya. Mereka adalah salah satu yang sering merundung dan memerintah Jimin ini dan itu. Jimin tidak masalah asalkan dia mendapatkan uang.

“Bu, maaf sebelumnya tapi Ibu belum membayar kontrakan ini selama 6 bulan. Jadi mau kapan, ya, Bu? Saya tahu kalau rumah ini digunakan untuk kebaikan menampung anak-anak jalanan dan yatim piatu tapi saya juga perlu uang, Bu. Anak saya sebentar lagi kuliah dan butuh biaya. Mohon pengertiannya, ya, Bu.”

Jimin mendengar itu semua dari balik tembok kamarnya. Sebagai anak yang paling besar di rumah ini, Jimin setidaknya harus membantu Ibu Lee— Ibu yang mengurus Jimin sejak kedua orang tuanya meninggal. Mendirikan sebuah panti penampungan untuk anak-anak yang kurang beruntung sama seperti dirinya. Namun, keadaan sedang sulit. Ibu Lee yang bekerja di sebuah tempat perbelanjaan harus diberhentikan karena perekonomian sedang kurang baik saat itu. Jimin merasa dia perlu bertanggung jawab atas hal itu. Dirinya, Ibu Lee, dan adik-adik panti lainnya.

“Gue bakal kasih 500 ribu, mau ngga? Kerjanya gampang. Lo cukup anterin barang ini.”

“Ini apa, Bang?”

“Lo ga perlu tahu ini apa. Tugas lo cuma anterin ini ke tempat yang gue kasih tahu. Udah ini sampe, gue kasih lo 500 ribu. Gimana?”

Jimin terdiam sejenak. Lima ratus ribu itu sangat besar saat itu. Bisa untuk membantu Ibu Lee membayar kontrakan rumah. Jimin mengiyakan.

“Ibu ... Ibu tidak pernah mengajarkan kamu seperti itu, Nak. Adapun kita butuh uang tapi .. Tapi Ibu tidak pernah menyuruh kamu melakukan hal kriminal seperti ini.” Tangis Ibu Lee di depan jeruji besi menatap Jimin yang hanya bisa menundukkan kepalanya.

Jimin tidak tahu bahwa paket itu adalah barang terlarang. Dia terjebak. Dia tersesat. Usianya baru 15 tahun saat itu. Dia dikeluarkan dari sekolah, dia ditahan di penjara remaja dalam masa percobaan 2 tahun. Usia di mana anak seusianya seharusnya merasakan pusingnya PR Fisika, berkencan dengan teman sebaya, atau bermain gim di warnet. Tapi Jimin tidak pernah tahu hal itu. Hidupnya terlalu keras. Dipukuli dan dirundung di penjara adalah makanan sehari-hari baginya.

“Nak, ini uang dari mana?” Ibu Lee kaget ketika Jimin memberikan amplop yang sangat cukup untuk membayar semua hutang sewa rumah kontrakan dan bahkan bisa untuk membayar sewa selama 1 tahun kedepan.

“Jimin kerja, Bu.”

“Di mana?”

“Ada di suatu tempat.”

Suatu tempat yang Ibu Lee tak perlu tahu itu apa dan di mana. Jimin sudah terlanjur basah. Hidupnya sudah tak lagi bisa bersih. Siapa yang mau menerima mantan narapidana seperti dia untuk bekerja seperti orang pada umumnya? Sulit. Sangat sulit. Dirinya sudah tidak bisa lagi diterima di masyarakat. Jimin mengambil jalan lain. Seseorang di penjara mengenalkan Jimin sebuah pekerjaan. Mengenalkan dia pada seseorang yang dipanggil Big Boss.

“Kamu jangan takut Jimin, tinggal lakukan seperti ini saja!”

Jimin melihat dengan matanya sendiri seseorang meregang nyawa dengan mudahnya. Dengan sadisnya. Dia gemetar dan langsung muntah seketika. Perutnya sakit. Inikah jalan yang seharusnya dia pilih? Inikah hidup yang diputuskan untuk dirinya jalani.

“Nak, kamu tidak usah mengirimkan Ibu uang lagi. Gunakan saja untuk kamu. Tabunglah dan menikahlah.” Ucap Ibu Lee menyerahkan kembali amplop berisi uang kepada Jimin.

“Sekarang panti kita sudah banyak donatur berkat adik-adik remaja komunitas yang menggalang dana serta mengenalkan panti kita ke orang-orang baik, Nak. Jadi kita tidak perlu khawatir lagi untuk bayar sewa rumah, makan, serta sekolah adik-adik di sini.” Tambah Ibu Lee. Dia mengusap kepala Jimin perlahan. “Jalani hidupmu dengan baik, Nak. Ibu selalu mendoakanmu.”

Rasanya Jimin ingin menangis saat itu. Pedih hatinya. Hidup dengan baik adalah hal yang tidak pernah Jimin lakukan lagi. Dia sungguh kotor dan berlumuran dosa.

Bayangan masa lalu itu menyergap Jimin kembali. Dia sudah lelah dan ingin menyerah namun seseorang datang dan langsung memeluknya yang kedinginan akibat terpaan air hujan yang dia biarkan membasahi dirinya.

“Ji, kamu kenapa? Siapa yang buat kamu begini?”

Taehyung. Dia datang bagai cahaya di kehidupan gelap Jimin. Membuat Jimin merasakan indahnya cinta dan kasih sayang. Membuat Jimin tahu rasanya diperlakukan seperti manusia.

“Sayang ... Maaf.” Jimin mengeratkan pelukannya pada Taehyung. Dia menangis. Hatinya sakit. Batinnya terluka. “Saya sudah ... Saya—”

“Jimin, kita pulang, ya. Aku obati luka kamu.”

“Jangan, saya pantas mendapatkannya. Saya pembunuh, saya penjahat, Taehyung. Kamu seharusnya tidak bersama saya. Bagaimana jika suatu hari saya membunuh kamu? Tolong ... Tolong tinggalkan saya!” Jimin kini mencoba melepaskan dekapannya namun Taehyung tarik kembali.

“Jika suatu hari kamu harus membunuh saya, maka lakukanlah, Ji. I'm willing to die for you.”

Sebegitu kuatnya cinta hingga bahkan rela untuk mati demi orang yang dicintainya? Bahkan rela melakukan apa saja demi orang yang dicintainya? Taehyung sudah sampai di titik itu. Yang mana justru membuat Jimin semakin takut.

“Teman saya mati karena saya.” Ucap Jimin ketika mereka sudah sampai di rumah dinas Taehyung. “Dia mati di tangan saya.” Jimin menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dia menangis kembali.

“Dia baik. Sangat baik. Dia bahkan yang meminta saya untuk terus mengejar kebahagiaan saya. Dia yang meyakinkan saya untuk tetap berjuang. Memperjuangkan kamu, Taehyung.”

“Ji ...” Taehyung memeluk Jimin. Mengusap punggung dan kepalanya.

“Dia mempertaruhkan hidupnya untuk menyelamatkan saya. Dia baru akan memberitahu saya tentang orang-orang yang diam-diam akan menghancurkan saya. Tapi ... tiba-tiba saya—”

“Ji, jangan dipaksakan cerita kalau kamu belum sanggup.”

Dada Jimin memang sakit menceritakan dan mengingat kejadian mengerikan itu. Jimin tidak bisa berbuat apa-apa ketika segerombolan orang begitu cepat mengerubunginya. Dia tidak berkutik. Dan dihadapannya dia harus melihat kawannya menghembuskan nafas terakhirnya.

Ace of the group? Black Scorpio? Semua omong kosong! Saya bahkan tidak bisa menyelamatkan dia!”

“Ji, mereka itu pecundang beraninya keroyokan karena mereka tahu kalau man to man jelas mereka akan kalah.” Taehyung mengusap rambut Jimin dan memeluknya, mencoba menenangkan Jimin sebisa mungkin.

“Terima kasih untuk teman kamu. Dia sudah baik dan meyakinkan kamu untuk bahagia. Semoga dia tenang disisi-Nya.”

“Amin.” Ucap Jimin lirih.

“Dan untuk yang kamu katakan di pesan itu.” Taehyung terdiam sejenak. Jimin lalu menatapnya. “Aku udah tahu, Ji.”

“Tae—”

“Tapi aku ga bisa untuk membenci kamu, Ji.”

“Taehyung, maaf ... Maaf!” Jimin meraih tangan Taehyung. Menciumi sambil menangis. Dia lalu berlutut di hadapan Taehyung.

“Ji, jangan kayak gini.”

“Maafkan saya, Taehyung. Saya... Saya akan menebus semuanya. Jika memang kamu mau menghukum saya .. Saya siap menanggung semuanya.”

“Ji, berdiri jangan kayak gini.” Taehyung mencoba membuat Jimin berdiri dan duduk di sampingnya. Namun Jimin masih bersikeras untuk tetap berlutut di hadapan Taehyung.

“Seumur hidup saya, Taehyung. Saya akan menebusnya seumur hidup saya.”

Taehyung akhirnya bisa berhasil membuat Jimin berdiri. Dia lalu memeluknya.

“Tidak perlu begitu, Ji. Kamu di sisi aku selamanya, itu sudah cukup.”

[]

➖ Hanya Untuknya

PLAKKK

Suara tamparan itu begitu keras hingga seisi Instalasi Gawat Darurat melihat kearah suara itu.

“Kenapa bukan kamu yang mati?” Teriaknya nyaring.

Jimin hanya bisa melihat dari jauh. Taehyung. Ya, yang ditampar itu adalah Taehyung. Kepalanya masih diperban, kakinya terluka, dan masih gemetar menahan tubuhnya yang dipaksa untuk berdiri.

“Heeseung .. Mana dia? Heeseung!” Orang yang menampar Taehyung itu pergi begitu saja. Meninggalkan Taehyung yang sedang menggigit bibirnya sambil mengepal kedua tangannya.

Jimin melangkahkan kakinya untuk menghampiri Taehyung.

“Kim.”

Taehyung menoleh. Matanya sendu dan nanar saat melihat Jimin.

“Ji ...”

Jimin meraih badan Taehyung, mendekapnya dengan erat, menciumi kepalanya.

“Yang mana yang sakit, Kim?”

Pertanyaan itu langsung membuat Taehyung terisak menangis sejadinya. Suaranya keras dan lagi-lagi membuat seisi IGD menatapnya. Dia baru menangis setelah serangkaian kejadian memilukan ini terjadi. Hanya karena satu pertanyaan.

Tak ada. Tidak ada yang pernah menanyai Taehyung mana yang sakit dan mana yang terluka, atau apakah dia baik-baik saja. Sampai Jimin hadir di kehidupannya. Kalimat sederhana itu menyakitkan sekaligus memberikan rasa bahwa masih ada orang mempedulikannya, masih ada orang yang menyayanginya. Dan dia adalah Park Jimin.

Maaf ya, Kim. Saya minta maaf.


Malam natal yang seharusnya penuh sukacita dan kehangatan bersama keluarga, berubah menjadi malam yang sangat sendu. Jimin datang ke rumah duka untuk memberikan salam terakhir ke Ibu Taehyung. Supirnya telah dimakamkan di hari sebelumnya.

Di sana ada Taehyung memakai jas hitam. Dia hanya bisa menunduk. Di depannya ada Ayahnya dan Heeseung yang matanya sembab dengan sisa nafas yang masih terisak.

“Lihat, dia bahkan tidak menangis sama sekali padahal ibunya yang meninggal.”

“Memang dia itu aneh. Tahu kan yang bikin adiknya jadi cacat itu kan dia? Ada ya tega dorong adiknya dari lantai 3 begitu. Eh ... sekarang malah buat ibunya sampai meninggal.”

“Makanya dia dikucilkan dari keluarga. Pembawa sial. Harusnya sudah sejak dari dulu dia dibuang dari keluarga ini, kok Pak Kim masih mau menganggap dia anak.”

Jimin mengepalkan tangannya saat mendengar kata-kata tidak pantas itu. Di rumah duka di mana keluarga sedang bersedih karena kehilangan, bisa-bisa mereka akan berkata begitu. Jimin geram namun dia masih bisa menahannya. Dia tidak ingin membuat kekacauan.

“Jangan panggil gue Kim. Gue ga suka!”

“Itu memang nama kamu.”

“Panggil Taehyung aja atau Taetae atau Tetet atau panggil sayang juga boleh banget.”

“Hm ...”

“Gue ga suka dengan nama depan gue.”

“Kenapa?”

“Ngga suka aja. Kayaknya Park lebih bagus. Park Taehyung.” Ucapnya sambil memamerkan boxy smile-nya. Manis.

Sekarang Jimin bisa mengerti mengapa Taehyung tidak suka dipanggil nama depannya. Dirinya bahkan tidak dianggap oleh apa yang orang-orang sebut dengan keluarga.

“Gue ini memang pembawa sial ya?” Ucap Taehyung yang sedang terduduk di ranjangnya. Prosesi pemakaman ibunya telah selesai tepat dibawah guyuran hujan dan membuat baju serta rambut Taehyung basah karena dia membiarkan tubuhnya diterpa air hujan.

“Keringkan dulu rambutnya.” Jawab Jimin sambil memberikan Taehyung handuk namun handuknya hanya dibiarkan di atas ranjang. Tidak dia sentuh.

“Ngga ada yang mengharapkan gue. Ngga ada yang bahkan sayang sama gue.” Suara Taehyung mulai bergetar.

Jimin kemudian duduk di samping Taehyung dan mulai mengeringkan rambut Taehyung dengan handuk yang tadi hanya tersimpan di atas ranjang.

“Ada kok.”

“Siapa?”

“Saya.”

Taehyung terdiam sambil menggigit bibirnya. Matanya sudah mulai berair. Siap untuk segera dijatuhkan.

“Jangan digigit begitu bibirnya.” Ucap Jimin sambil mengusap bibir Taehyung dengan ibu jarinya. “Jangan ditahan kalau ingin menangis.”

Dan benar saja, Taehyung menangis seketika. Menempelkan keningnya di dada Jimin.

“Mereka ... Mereka selalu bilang gue pembawa sial. Mereka bilang gue monster. Mereka bilang gue jahat.” Jimin mengusap punggung Taehyung perlahan. Dia membiarkan apa yang selama ini Taehyung tahan.

“Gue selalu dipukul dan disiksa setiap kali Heeseung gagal ngelakuin sesuatu. Nilai Heeseung jelek, gue yang ditendang. Kalau Heeseung nakal, gue yang dipukul. Setiap kesalahan yang Heeseung lakukan, selalu gue, selalu gue yang kena!”

“Gue milih kabur saat lulus SMA karena gue ga mau jadi penerus Bokap. Gue mau kuliah, gue mau kerja biasa aja, tapi ... tapi gue disiksa, gue dikurung dan ngga ada yang nolong gue. Bahkan, bahkan Nyokap cuma bisa diem aja lihat gue diginiin.” Tangisan Taehyung semakin keras. Dia mulai meremas baju Jimin. Namun, Jimin membiarkannya. Biarkan semuanya keluar. Biarkan Taehyung mengatakan semua yang ingin dia katakan.

“Bokap selalu nyalahin gue karena udah bikin Heeseung celaka. Padahal bukan salah gue. Ngga ada satu pun di rumah itu yang percaya sama gue. Sebenarnya mereka yang jahat. Mereka yang pembawa sial bukan gue. Mereka ... Mereka yang seharusnya mati!”

Cukup.

Jimin menegakkan tubuh Taehyung. Mengusap air mata yang membasahi pipi Taehyung.

“Saya mau membahagiakan kamu, bolehkah?”

Pertanyaan Jimin barusan membuat Taehyung yang sebelumnya sangat emosional menjadi terdiam.

“Taehyung?”

Jimin memanggilnya yang justru membuat Taehyung semakin melongo.

“Lo panggil apa tadi?”

“Panggil apa?”

“Yang barusan ih.”

“Sayang?”

“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!”

Taehyung berteriak sejadinya. Sungguh perubahan emosi yang sangat cepat. Dia yang tadi terisak menangis sejadinya, menjadi terdiam dan melongo, lalu berubah teriak menjadi teriakan histeris. Sungguh ajaib, hanya dengan satu kata; Sayang.

“Jangan teriak-teriak nanti tetangga terganggu.”

Taehyung lalu menghamburkan dirinya ke badan Jimin. Memeluk Jimin dengan erat.

“Lagi ... Lagi bilang itu.”

“Bilang apa?”

“Ih!”

“Iya, sayang.”

“AAAAA—”

Jimin langsung membekap mulut Taehyung seketika. Taehyung terdesak di tembok ranjangnya dengan Jimin berada di depannya hampir mengukung tubuh Taehyung. Mata mereka beradu. Taehyung kemudian mencium tangan Jimin yang membekap mulutnya. Jimin kaget dan langsung melepaskan bekapannya namun dengan cepat tangannya Taehyung tarik dan Jimin kehilangan keseimbangan sehingga menubruk badan Taehyung.

“Kita berarti sekarang pacaran?” Tanya Taehyung tepat dibawah Jimin. Ya, sekarang secara sempurna Jimin berada di atas Taehyung— menatap keindahan Taehyung yang rupawan.

Jimin tidak menjawab. Dia langsung mencium bibir Taehyung dengan lembut dan penuh gairah. Malam itu, Jimin sudah melihat sendiri bahwa hidup Taehyung selalu hanya untuk dirinya. Taehyung tidak mempedulikan siapapun selain Jimin. Mengapa dia tidak begitu juga?

Terakhir, dengan segala luka yang pernah Taehyung alami— Jimin sekarang hanya ingin membahagiakannya. Mengganti semua sedihnya dengan tawa bahagia. Hanya untuknya.

[]

➖ Gagal Dicegah

Bagi Jimin, Taehyung adalah entitas yang tidak terduga. Datang mengusik hidupnya secara tiba-tiba. Sangat mengganggu namun tidak dapat ia usir. Berkali-kali Jimin ingin menyerah dan menjauh tetapi selalu saja berbalik padanya kembali. Jimin tidak tahu rasa ini apa. Dia baru pertama kali merasakannya. Dan itu semua adalah ulah seorang Kim Taehyung.

Taehyung tahu sisi gelap Jimin namun yang dia lakukan bukanlah lari dan pergi, justru malah mendekap Jimin semakin erat. Dia aneh. Berulang Jimin bertanya-tanya pada dirinya— tentang kepantasan, tentang kesanggupan, tentang perasaan, dan tentang segalanya namun selalu terhenti pada satu nama. Kim Taehyung.

Sialan!

Jimin memukul stir mobilnya. Dia sudah tidak tahu berapa kecepatan yang dia tempuh hanya untuk tiba di tempat Taehyung berada sekarang. Cemas, panik, takut, semua menjadi satu dalam pikirannya. Seharusnya dia tidak begitu. Ya, dia terlalu banyak menggunakan perasaan.

“Kim, saya mohon hentikan.”

“Apa yang mesti dihentikan? Dimulai aja belum.” Ucap Taehyung sambil menguleni adonan yang sebenarnya sudah kalis.

Jimin langsung mengambil tempat adonan itu lalu menutupnya dengan plastik wrapping. “Kamu lebih baik duduk saja, tidak usah ikut ke dapur.”

Taehyung menekuk bibirnya. Sesuatu yang selalu membuat Jimin goyah. Sekarang Taehyung malah menumpu dagunya dengan satu tangannya membuat bibirnya semakin maju kedepan.

“Gue kan niat mau ngebantuin.”

“Kamu malah buatnya makin berantakan.” Ucap Jimin sambil mulai menyiapkan beberapa bahan untuk membuat topping. Mereka rencananya akan membuat donat. Bukan mereka, tetapi Jimin dengan Taehyung sebagai supporting actor.

Taehyung lalu tiba-tiba bangkit dan memeluk Jimin dari belakang. Tentu saja Jimin kaget namun lekas mencoba tenang kembali. Ini bukan sekali atau dua kali Taehyung seperti ini. Dia sangat clingy. Senang tiba-tiba menggenggam tangan Jimin, bersandar di bahunya, mengelus pahanya, memeluk seperti ini, atau bahkan secara impulsif mencium pipinya. Bahkan Taehyung pernah mencium bibir Jimin. Tak pernah sekalipun Jimin tolak. Selalu dia terima. Satu kata mengapa dia menerima semua afeksi itu karena; nyaman. Sebuah kata jebakan yang menjeratnya sekarang.

“Lo tuh jago masak, jago beres-beres rumah, jago juga lagi nawar barang di pasar. Gue mana bisa begitu.” Ucap Taehyung masih memeluk Jimin dari belakang dan kini dagunya ada di bahu Jimin. “Itu artinya kita cocok dan saling melengkapi.”

Jimin melepaskan dekapan Taehyung dan berbalik ke arahnya. Mereka sekarang berhadapan. “Cocok apa?”

“Cocok kalau kita nikah, gue aja yang kerja, lo yang di rumah.”

Nikah?

Sebuah kata yang bahkan tidak pernah Jimin bayangkan sebelumnya.

“Tapi kalau lo mau kerja juga ga apa-apa. Misalnya buka toko kue atau restoran bisa tuh, nanti gue modalin.”

Sungguh ringan sekali ucapan Taehyung. Seakan tidak ada beban dan bisa dilakukan dengan sebegitu mudahnya.

“Kamu mau nikah dengan saya?” Ini pertanyaan retoris yang sebenarnya Jimin sudah tahu jawabannya.

“Iyalah. Mimpi gue itu ya mau nikahin lo, Park Jimin.”

Taehyung kini merangkul pinggang Jimin dengan kedua tangannya yang langsung dia tarik hingga hidung mereka saling menempel.

“Gue pengen milikin lo seutuhnya, Ji.”

Bibir Taehyung sudah akan sangat dekat untuk menyentuh bibir Jimin namun begitu cepat Jimin berbalik. Luar biasa. Butuh kekuatan yang luar biasa untuk melakukan itu. Menghindari afeksi Taehyung sangat menyita energinya.

“Sepertinya adonannya sudah mengembang.” Jimin berbicara sendiri. Melihat adonan yang dia tutup tadi memang sudah mengembang. Dia mulai sibuk sendiri menyiapkan penggorengan, minyak, dan mulai membentuk bulatan-bulatan seperti donat.

“Percaya ngga kalau lo ditakdirin buat gue, Ji?”

Takdir?

Jimin ingat jelas kata-kata Taehyung itu padanya. Mengapa Taehyung ditakdirkan dengannya? Hanya bahaya yang akan menyertainya. Sama seperti sekarang. Nyawanya dan keluarganya sedang berada di ujung tanduk.

Yang Jimin lakukan sekarang adalah mengikis jarak antara dirinya dan mobil yang ditumpangi oleh Taehyung. Hingga sampai di satu titik, Jimin sudah bisa melihat mobil Taehyung dari jauh. Jalanan hari itu cukup sepi. Sudah masuk ke area perbukitan. Hanya satu dua mobil yang melintas, semakin memudahkan Jimin untuk menyalip dan menghentikan mobil itu.

Dari arah jauh di depan, Jimin melihat sebuah mobil yang mulai keluar dari jalur. Jimin tahu teknik seperti itu. Cara yang tepat untuk membuat seolah-olah kecelakaan namun sebenarnya sudah direncanakan sebelumnya. Dia pernah menggunakan cara itu untuk melukai Ibu Taehyung. Namun kali ini misinya jauh lebih tinggi dan lebih berbahaya yaitu code 1: kill.

Dengan menambah kecepatan laju kendaraannya, Jimin berhasil menyalip mobil Taehyung. Sedikit lagi dia akan melakukan rem mendadak sehingga mobil yang ditumpangi Taehyung itu mau tidak mau akan ikut berhenti. Ini memang bahaya tetapi setidaknya bahaya yang dihasilkan lebih sedikit dengan tingkat cedera yang bisa diminimalisir. Pikir Jimin begitu.

BRAKKK

Terlambat. Jimin baru akan menginjak rem namun sebuah truk besar sudah menghantam mobil yang Taehyung tumpangi— menyeretnya jauh hingga menabrak pembatas jalan. Sisi kiri dan depan remuk serta hancur. Jimin langsung mengerem mobilnya seketika.

Dadanya sakit. Batinnya meringis. Dia keluar dari mobil dengan langkah yang gontai. Kakinya lemas. Disana, didalam sana, ada seseorang yang sangat ingin dia lindungi— sangat dia cintai. Kata cinta yang bahkan belum sempat Jimin katakan.

“KIM!!” Teriak Jimin. Truk itu pergi begitu saja. Jimin melihat plat nomornya namun pasti itu adalah plat palsu.

“Tolong ... Tolong saya.”

Jimin mendengar seseorang minta tolong namun di sisi yang berbeda bukan dari mobil yang ditumpangi Taehyung. Ternyata dua kecelakaan terjadi bersama. Mobil yang keluar jalur barusan— yang Jimin kira akan menabrak mobil Taehyung ternyata menabrak pembatas jalan satunya lagi. Di sana samar Jimin melihat seseorang terhimpit kakinya dengan luka berdarah di kepalanya.

Tempat kecelakaan ini sungguh sangat terencana. Sepi. Bahkan tak ada mobil lewat lagi selain dirinya. Jimin bergegas menyelamatkan Taehyung dahulu. Jimin lalu melihat Ibu dan supirnya yang terluka sangat parah. Tidak ada tanda nafas kemudian Jimin meraba serta menekan nadi di leher mereka.

Maaf, Kim .. Maaf.

Saat melihat keadaan mobil Taehyung sungguh sangat janggal sebenarnya. Supir di depan dan di sampingnya ada Ibunya Taehyung, di baris kedua ada Heeseung, dan Taehyung duduk di jok paling belakang. Mengapa mereka tidak duduk bersebelahan? Mobil ini besar. Di jok belakang supir bisa diisi oleh Taehyung dan Heeseung serta mengapa Ibunya Taehyung tidak duduk di belakang malah duduk di samping supir? Jimin berspekulasi sambil menarik Taehyung dahulu keluar dari mobil. Di pikirannya hanya ada Taehyung dan bagaimana menyelamatkannya.

“Hee ... Heeseung!” Kata itu yang Taehyung pertama kali ucapkan ditengah kesadarannya yang menipis. Jimin lalu sigap mengangkat Heeseung yang terluka juga.

Jimin lupa dan panik ketika Taehyung dan Heeseung sudah keluar dari mobil, dia baru menelpon ambulan. Dia lalu lekas menuju mobil yang tadi meminta tolong. Namun sangat susah karena kakinya terjepit di mobil. Jimin lalu mencium bau bensin yang menyengat.

Gawat!

Jimin kewalahan menyelamatkan orang-orang dalam dua kecelakaan bersamaan ini seorang diri. Seharusnya dia mengajak anggota timnya namun lagi-lagi Jimin tidak mau merepotkan. Apalagi jika dia berkeinginan menggagalkan misi ini dan anak buahnya juga ikut, maka semua akan kena imbasnya. Jimin tidak mau hal itu terjadi.

Kemudian, Jimin menarik seseorang dari mobil itu dengan susah payah.

“Mobilnya akan meledak ya?” Tanya dia.

“Iya. Sebentar lagi.” Jawab Jimin hingga akhirnya dia berhasil mengeluarkannya dan membopong orang itu. Baru beberapa langkah— benar saja, mobil itu meledak dan terbakar. Untung Jimin dengan sigap membawa orang itu menjauh sebelum semua terjadi.

Lalu, ambulan mulai datang. Tiga ambulan tiba dahulu sebab Jimin mengatakan bahwa ini terdapat dua kecelakaan. Jimin ikut ke ambulan yang berisi Taehyung. Dia melihat Ibu dan supirnya dibawa keluar. Jimin tidak tahu ketika Taehyung terbangun apa yang akan terjadi. Misi ini dengan code 1 gagal untuk Jimin cegah.

[]

➖ Jangan Terluka Lagi

Suara hingar bingar musik di club malam itu sama sekali tidak bisa menggantikan suara berisik di kepala Jimin. Ceracau itu telah memenuhinya. Sangat mengganggu. Jimin butuh distraksi yang kuat namun semakin dia menghindarinya, malah semakin kuat mencengkramnya.

“Lo kalau ada sesuatu pasti gitu, kasihan anak buah lo!”

“Iya, makanya sekarang saya suruh mereka istirahat.”

“Lo juga istirahat, M.”

Jimin mungkin sudah lupa kapan terakhir kali dia tidur. Rasanya beberapa malam ini dia habiskan dengan menyelesaikan pekerjaan dan termenung. Benar-benar sungguh mengganggunya.

“Kalau ada sesuatu itu diselesaikan, bukannya dihindari.”

Deg.

Kalimat itu benar-benar seakan menampar Jimin. Memang benar yang dia lakukan adalah menghindar. Dia bahkan tidak sanggup untuk menyelesaikannya.

Ponsel Jimin lalu bergetar, dia melihat siapa yang menelponnya. Nomornya tidak dia simpan, tapi Jimin tahu sekali siapa yang menelponnya itu. Dia. Ya, dia yang telah memenuhi pikiran Jimin. Memaksa Jimin mencari tahu tentang apa ini dan itu. Dia sosok yang Jimin hindari tapi justru malah semakin menjeratnya.

“Angkat, M! Kayaknya penting sampai beberapa kali begitu.”

Jimin masih tertegun. Dia ragu. Tapi dia sangat ingin mengangkatnya. Sangat ingin mendengar suaranya. Dia lalu mencari tempat yang sedikit sepi. Menghela nafas panjang. Baik, semua ini harus diselesaikan.

“Halo.”

Ji ...”

“Iya?”

Ji ...”

PRANGGGG!

Suara seperti sesuatu yang pecah terdengar di sebrang sana. Jimin langsung tahu bahwa sesuatu yang tidak beres sedang terjadi.

“Kim, kamu di mana?”

Ji ... Tolong.” Suaranya begitu lirih dan pelan.

“Kamu di mana? Saya kesana sekarang!”

Tolong, Ji. Sa... Kit!”

“Di tempat yang waktu itu kan? Saya kesana sekarang!”

Telepon pun dimatikan. Jimin langsung buru-buru keluar dan menuju mobilnya. Menyalakannya dan menuju tempat itu secepat mungkin yang dia bisa.

Tidak hanya sekali dua kali, Jimin menemukan dia dalam keadaan seperti itu. Dia yang memiliki senyum yang manis, dia yang tidak berhenti bercerita tentang pekerjaan di kantornya, dia yang bisa saja tiba-tiba berhenti di tengah jalan hanya untuk mengelus kepala kucing, dia yang sudah mengganggu pikiran Jimin, dan dia yang secara tidak langsung sudah Jimin lukai.

Takut. Jimin terlalu takut untuk sekedar bertemu. Dia takut semakin terjerat oleh sesuatu yang Jimin tidak pernah rasakan sebelumnya. Tapi Jimin lebih takut melihat dia terluka lagi. Wajahnya yang indah seharusnya tetap indah tanpa adanya luka lebam dan darah yang memenuhi pelipis dan sudut bibirnya. Entah bagaimana Jimin ingin mempertahankan keindahan itu tapi dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia ingin melindungi tapi bukankah berada di sisinya justru akan lebih berbahaya?

Jimin sudah berada di tempat di mana ia pertama kali bertemu secara tidak sengaja dengannya. Tapi titik ini terlalu jauh dan luas. Jimin teringat akan hal yang membuat dia menghindari ini semua. Ya, alamat rumah itu. Rumah yang didalamnya berisi anggota keluarga yang seharusnya mendapatkan code 6 darinya— yang ternyata naik menjadi code 2 dan Jimin tolak karena dia tahu pasti siapa orang-orang yang didalam rumah itu. Keluarganya atau orang yang mungkin salah satunya telah membuat dia terluka seperti itu.

Benar saja. Dia ada di depan pagar besar rumah itu dengan keadaan yang mungkin ini adalah keadaan terburuknya yang pernah Jimin lihat.

“Kim, ini saya.” Ucap Jimin ketika melihatnya basah kuyuk dengan tubuh menggigil dan penuh luka. Nyeri dada Jimin melihat ini semua.

“Ji!” Dia langsung menghamburkan badannya dan memeluk Jimin dengan erat. Sangat erat.

Jimin lalu menggendongnya dan mendudukkan di jok samping. Mengambil jaket dan menutupi tubuhnya yang dingin.

“Pulang. Gue mau pulang, Ji.”

“Iya, kita pulang, Kim.”

Tangan Jimin satunya menggenggam tangannya yang dingin. Menyalurkan sebisa mungkin hangat tubuhnya.

Sesekali Jimin menatap laki-laki di sebelahnya ini. Kim Taehyung. Laki-laki yang sangat menyita perhatiannya. Memenuhi pikirannya dengan segala rasa yang Jimin belum tahu itu apa.

Bisakah kamu berhenti untuk terluka?

Jimin sudah berada di kediaman Taehyung. Lebih tepatnya rumah dinas. Bentuk rumahnya gaya rumah lama dengan satu ruang tamu yang bersatu dengan ruang TV, satu kamar, satu dapur, dan satu kamar mandi. Memang kecil dan mungkin diperuntukkan untuk orang yang belum berkeluarga atau baru memiliki satu anak.

“Mau kemana?” Taehyung memegang tangan Jimin ketika Jimin hendak pergi.

“Ke dapur.”

“Tapi kesini lagi, kan?”

“Iya.”

Taehyung sudah seperti anak kecil yang enggan untuk ditinggalkan. Sementara Jimin tetap harus pergi. Dia menyiapkan air dalam sebuah wadah dan handuk untuk menyeka dan mengompres luka Taehyung.

“Baju kamu basah, ganti baju dulu.” Jimin asal mengambil pakaian Taehyung di lemari. Ya apa saja asal bisa mengganti pakaian Taehyung yang basah itu.

“Mau kemana?”

“Kamu mau ganti baju.”

“Di sini aja. Jangan kemana-mana.”

Jimin menurutinya. Dia duduk di ranjang Taehyung sementara Taehyung mengganti pakaiannya. Jimin menunduk sampai terdengar suara Taehyung yang meringis kesakitan. Jimin berbalik dan melihatnya. Taehyung kesulitan memasukkan kaos ke badannya. Punggungnya penuh luka seperti telah dicambuk oleh gesper. Hati Jimin semakin sakit melihatnya. Dia lalu mengambil handuk dan menyekanya kemudian memberikan salep luka.

“Sakit ya?” Tanya Jimin ketika Taehyung meringis sambil meremas pakaian Jimin. Kening Taehyung menempel di bahu Jimin.

“Sakit. Sakit banget.”

Jimin menangkup wajah Taehyung membuatnya saling menatap. Dia lalu menyeka air mata Taehyung dengan ibu jarinya.

“Jangan kesana lagi. Jangan pergi kesana lagi, Kim.”

Taehyung tidak menjawab. Dia menggenggam tangan Jimin dan menempelkannya ke pipinya.

Rasa hangat mengalir di dadanya. Rasa ingin menjaganya. Rasa ingin melindunginya.

“Jangan pergi lagi, Ji.”

Taehyung menatap dengan penuh nanar. Dia tidak ingin ditinggalkan dan semakin membuat Jimin terjerat. Usapan tangan Taehyung lembut menyentuh pipi Jimin. Membuat Jimin mematung dan hanya melihat mahluk indah yang sedang terluka didepannya. Hingga Taehyung mengikis semua jarak diantara mereka dan mulai melumat bibir Jimin. Bisa saja Jimin mendorong Taehyung dan menolak, tapi tidak dia lakukan. Jimin menutup matanya. Membiarkan Taehyung menguasai bibir dan mulutnya.

Ciuman itu begitu dalam dan lembut. Penuh kerinduan, penuh kecemasan, dan ketakutan. Tangan Taehyung sempurna mengapit pinggang Jimin— menyalurkan semua yang Taehyung rasakan. Tak mau melepaskannya hingga titik di mana pasokan oksigen mereka telah menipis. Mau tidak mau pagutan itu terlepas. Nafas mereka terdengar tak beraturan. Taehyung mengusap sisa saliva di bibir Jimin dengan ibu jarinya. Kening mereka saling beradu.

“Istirahat, Kim.” Kata itu yang keluar pertama kali terdengar setelah cukup lama mereka saling terdiam— mencoba memproses apa yang barusan terjadi.

“Saya pakaikan bajunya.”

Jimin memakaikan baju kepada Taehyung dengan perlahan. Lalu membaringkannya, menarik selimut, dan mengusap kepala Taehyung.

“Saya temani di sini sampai kamu tidur.” Ucap Jimin. Taehyung lalu memejamkan matanya sambil tersenyum dan menggenggam tangan Jimin.

Cepat sembuh. Jangan terluka lagi.

[]

➖ Seperti Kamu

Jimin baru saja memarkirkan mobilnya di sebuah jalanan sepi. Hari itu dia dan tim lumayan apes dan hampir saja ketahuan polisi. Jimin cukup lihai berhasil mengelabui polisi sehingga anak buahnya bisa selamat dan aman. Namun, yang jadi persoalan selanjutnya yaitu ini dimana? Ya, Jimin membawa mobil tanpa melihat rute hingga dia tidak tahu sekarang dia berada di mana.

Jalan itu cukup sepi namun terdapat beberapa rumah yang besar dengan tembok pagar tinggi-tinggi yang bahkan bisa tidak diketahui dalamnya berisi apa saja.

Jimin lalu mengambil plat nomor cadangan dan mengganti plat nomornya sebab plat ini sudah pasti diketahui oleh polisi karena adegan kejar-kejaran yang tadi dia lakukan. Namun ketika kembali ke mobilnya, Jimin dikagetkan bahwa telah ada seseorang di jok sampingnya.

“Ayo, pergi!” Ucap orang itu. Lampu dalam mobil dimatikan namun Jimin bisa melihat raut wajah orang itu sedang panik dan ketakutan. Beberapa kali dia menengok ke belakang seperti sedang dikejar orang.

“Ayo!” Ucapnya sekali lagi membuyarkan lamunan Jimin yang sempat tertegun. Jimin bisa saja memasang mode siaga, dia bisa menarik senjata di celananya dan mengarahkan kepada orang asing itu. Namun, Jimin urung melakukannya. Sepertinya orang itu bukan orang yang berbahaya. Pikirnya.

“Kemana?” Tanya Jimin.

“Terserah yang penting pergi dari sini!”

Jimin mengiyakan. Dia menjalankan mobilnya. Lagipula dia juga tidak tahu ini di mana. Sesekali Jimin melirik orang di sebelahnya. Dia mesti tetap waspada. Orang itu selalu melihat ke belakang seolah dia takut ada yang akan membututinya. Nafasnya tak beraturan. Tangannya gemetar dan yang dari tadi menarik perhatian Jimin adalah wajahnya dipenuhi luka lebam. Ada darah kering di sudut bibirnya bahkan di pelipisnya masih terdapat darah yang mengucur hingga ke pipinya.

Jimin lalu menarik tisu dan memberikannya. Orang itu menatap Jimin lalu menatap tisu, menatap Jimin lagi lalu menatap tisu kembali. Jimin tidak berbicara, dia hanya menunjuk pelipisnyaㅡ tanda bagi orang itu untuk menyeka darah di sana. Orang itu lalu mengelap sedikit darah di pelipisnya. Hanya sedikit karena baru disentuh, dia sudah meringis sendiri.

Mobil sudah melaju ke arah yang sudah Jimin ketahui sekarang keberadaannya.

“Di halte itu.” Ucap orang itu. Jimin menoleh. “Berhenti di sana saja.”

Jimin lalu memberhentikan mobilnya di depan halte sesuai perintah orang itu.

“Terimakasih banyak, ya.” Orang itu lalu keluar begitu saja. Jimin bahkan belum sempat menjawab apa-apa.

Dia lalu melihat dari kaca spion, orang itu membungkuk. Jimin merasa bukan hanya wajahnya yang babak belur tapi tubuhnya pasti ada luka. Sebenarnya Jimin bisa saja pergi namun rasanya ada yang menahannya. Dia jadi teringat. Dulu, dia pernah dikejar orang dengan kondisi serupa dan tak ada seorangpun yang menolongnya. Perasaan panik, takut, dan sakit itu serasa Jimin bawa kembali saat melihat orang itu.

Orang itu masih duduk di halte. Entah menunggu siapa atau apa. Dia masih terduduk dengan memegangi perutnya. Jimin melihat itu di balik kaca spionnya.

Setelah cukup lama bergelut dengan pikirannya, Jimin lalu memundurkan mobilnya menuju halte tempat orang itu berada.

“Saya antar sampai tempat kamu.” Ucap Jimin setelah menurunkan kaca mobilnya tetap di hadapan orang itu. Tentu, orang itu kaget. Dia bahkan melihat kiri dan kanan. Mungkin dia berpikir bahwa Jimin mengajak berbicara ke orang lain tapi tidak ada satu pun orang di halte itu selain dirinya.

Orang itu kini duduk kembali di jok samping Jimin. Terdiam dengan tangan yang masih gemetar. Jimin enggan bertanya jika memang dia tidak bercerita. Apalagi untuk orang asing seperti dirinya.

“Maaf, permisi.” Ucap Jimin ketika membuka dashboard didepan orang itu. Dia lalu mengeluarkan sebuah bungkusan kertas bertuliskan P3K dan memberikannya kepada orang itu.

“Ambil itu dan obati luka kamu.”

Orang itu diam sambil menatap bungkusan kertas itu. Jimin melirik dia sekilas. Kertas itu tetiba basah sedikit demi sedikit. Orang itu menangis.

“Sakitkah? Atau mau saya antar ke rumah sakit?”

Orang itu menggelengkan kepalanya.

“Terima kasih, lo baik banget padahal gue cuma orang asing.” Ucap dia. Kini, giliran Jimin yang terdiam.

Saya pernah seperti kamu begini. Sendirian. Dan itu menyakitkan.

“Ini rumah kamu?” Tanya Jimin ketika mobilnya berhenti di sebuah rumah model lama yang berderet serupa dengan rumah-rumah di sebelahnya. Seperti rumah dinas.

Orang itu mengangguk. “Makasih banyak. Makasih, ya.”

“Iya, sama-sama.” Jimin lalu menatap punggung orang itu. Ada desir keinginan dia untuk bertanya.

“Hei!” Panggil Jimin. Orang itu lalu menoleh. “Nama kamu siapa?”

“Taehyung. Kim Taehyung.” Jawabnya.

[]