petrichorgreeny

➖ Pengendali Resah

Jimin langsung melepas jas dokternya dan berkata kepada suster di ruangan poli bedah untuk pergi sebentar karena ada urusan darurat. Satu jam dari sekarang dia akan kembali lagi. Pasien berikutnya pun masih belum datang. Pikirnya saat itu dan semua sudah terpusat ke Taehyung— Jimin tidak bisa tenang.

Jarak rumah sakit ke apartemennya hanya 10 menit dan Jimin memangkasnya menjadi hanya 5 menit. Tidak tahu seberapa cepat dia membawa mobilnya dan langsung berlari ke unitnya. Terlihat di kamar mandi, Taehyung sedang menangis sambil memeluk lututnya. Baju dan rambutnya basah. Sementara mesin cuci yang berada di sampingnya sudah tidak karuan lagi wujudnya.

“Tae, ganti baju dulu, yuk, nanti kamu demam.” Jimin perlahan menghampiri Taehyung. Mencoba membangkitkan dia yang sedang terduduk.

“Min, jangan marah.”

“Aku ngga marah, Sayang.” Jimin mengusap pipi Taehyung yang basah. Setelah itu, Jimin mendudukan Taehyung di kursi meja belajarnya. Menggosok perlahan rambut Taehyung yang basah.

“Mau aku ganti bajunya atau ganti sendiri?” Tanya Jimin.

“Ganti sendiri.”

Jimin tersenyum sambil memberikan pakaian baru untuk Taehyung. Baju dan celananya basah tersembur mesin cuci yang entah bagaimana bisa jadi seperti itu. Sambil menunggu Taehyung ganti baju, Jimin ke kamar mandi mengambil hair dryer.

“Udah?”

Taehyung mengangguk. Baju dan celana basah itu Jimin masukan ke kresek putih.

“Tae.” Jimin lalu berlutut di depan Taehyung. Menggenggam tangannya. “Sekarang yang ada di pikiran kamu apa?”

“Min ...” Taehyung menggigit bibirnya seakan dia sedang menahan diri untuk tidak menangis lagi.

“Cerita aja, aku ngga akan marah kok.”

“Janji?”

“Janji, Sayang, aku mana bisa marah sama kamu.”

“Aku ngerasa ngga berguna.”

“Lalu?”

“Aku cuma repotin kamu. Aku ngga mau jadi pajangan, Min, aku juga mau berguna buat kamu dan buat kita. Tapi aku malah jadi payah begini. Aku juga ngga tahu kenapa, aku ngerasa banyak kurang untuk kamu. Aku ngga mau kamu tinggalin lagi, Min, aku takut. Aku janji, aku ngga akan kecewain kamu, aku akan lebih tegar dan ngga cengeng kayak gini, aku bakal jadi berguna buat kamu.” Jelas Taehyung. Nadanya mulai bergetar.

“Tae, definisi berguna itu kayak gimana?”

“Hm, aku ... ngga tahu, aku cuma mau buat kamu seneng.”

“Aku udah seneng kok sekarang. Kamu mau terima aku lagi, kamu mau nikah sama aku, aku udah seneng banget, Tae.” Ucap Jimin sambil mengusap pipi Taehyung.

“Pasti di pikiran kamu berisik banget, ya?”

Taehyung mengangguk perlahan. “Aku usir, ya, suara berisik itu.” Jimin lalu menyalakan hair dryer-nya dan perlahan mulai mengeringkan rambut Taehyung yang basah. Suara bising itu menjadi distraksi. Jimin menyisir rambut Taehyung hingga basah itu pun mulai mengering.

“Gimana? Berisiknya keganti ya oleh suara hair dryer?” Ucap Jimin sambil membenarkan poni rambut Taehyung. “Kalau pikiran aku sedang berisik, aku cari pengalihan dengan suara bising lainnya; salah satunya bisa dengan suara hair dryer jadi aku ngga lagi dengar suara berisik di kepala aku tapi suara bising di hair dryer. Kamu juga bisa coba cara itu Taehyung.”

Taehyung meraih tangan Jimin, menggenggamnya dan menempelkannya ke pipinya.

“Kamu dulu pernah bilang kalau overthinking itu hanya habisin tenaga. Dan segala yang dipikirkan pun belum tentu kejadian kan?”

Taehyung hanya terdiam sambil menunduk. “Tae, coba lihat aku. Masa aku sesayang ini sama kamu malah ninggalin kamu? Ngga mungkin banget, Tae. Aku kan udah janji ngga akan pernah seperti itu lagi. Dan kamu ngga ada kurangnya, kamu itu sempurna, Sayang.” Jimin lalu mengecup kening Taehyung, menangkup pipinya, dan setelah itu mengecup bibirnya.

“Sayang banget sama Taehyung. Cinta banget sama Taehyung.” Jimin kemudian memeluk Taehyung— mengusap punggung dan kepalanya.

Taehyung balas memeluk Jimin. “Maaf, ya, Min.”

It's okay, Sayang. Aku juga dulu sering gitu kan, tapi ada kamu disamping aku. Sekarang pun sama, aku akan selalu disamping kamu juga.”

Taehyung mulai tersenyum. Jimin merasa lega akhirnya dia setidaknya bisa menenangkan Taehyung.

“Tae, aku masih jaga poli. Kurang lebih ada dua pasien yang nunggu aku, kamu mau ikut ke rumah sakit? Nanti tunggu di ruangan aku.” Ajak Jimin.

“Hm, malu, Min.”

“Kok malu? Kamu kan calon suami aku, nanti aku kenalin ke perawat yang selalu temani aku di poli bedah, bagian pekarya yang selalu bareng sama aku pas jaga malam, terus ... ada Joshua juga di sana.”

“Ngga apa-apa?”

“Ngga akan apa-apa, Sayang. Mereka baik-baik dan ramah juga kok.”

Jimin ingin mengenalkan Taehyung ke seluruh dunianya, salah satunya di mulai dengan suasana di Andani.

“Udah itu, nanti kita dinner, nonton, makan corn dog sambil duduk liatin Sungai Kota Andani. Mau?”

“Mau.” Jawab Taehyung antusias.

Good boy. Berarti sekarang ganti baju lagi, ya? Aku tunggu di ruang tengah.”

Jimin sudah hendak pergi ke ruang tengah, namun bajunya ditarik perlahan oleh Taehyung.

“Min.”

“Iya, Sayang?”

“Mau digantiin bajunya sama kamu.” Ucap Taehyung sambil meremas celananya.

“Duh, manja banget sih, sayangnya siapa ini?” Goda Jimin sambil mem-boop hidung Taehyung.

“Sayangnya Jimin.” Ucap Taehyung malu-malu.

Jimin tersenyum. “Aku, ya, yang pilihin bajunya.”

Taehyung mengangguk perlahan. Jimin senang Taehyung kembali tenang. Dia sudah mulai menunjukkan boxy smile-nya. Semoga kencan kali ini baik-baik saja.

All is well, Tae.

[]

➖ Rapuh dan untuk sebuah keyakinan

Jimin sudah berada di parkiran apartemennya. Rasa dagdigdug mulai menyergapnya. Ini bukan kali pertama bagi Jimin mengajak Taehyung pergi. Anggap saja ini namanya kencan. Tapi kali ini jantungnya berdegup kencang, sebab ini adalah kali pertama lagi baginya “kencan” dengan Taehyung selepas konsolidasi (baca: putusnya mereka).

“Maaf, ya, aku telat.” Ucap Taehyung. Dia lalu duduk disamping Jimin, mulai memasang seat belt.

“Eh, maaf, aku jadi ngga sempet bukain pintu.” Ucap Jimin. Dia terlalu larut dalam pikirannya hingga tidak sadar Taehyung sudah membuka pintu mobilnya.

“Aku bisa sendiri kok.”

Jimin lalu menatap Taehyung. Bagaimana sih dia selalu indah? Hari ini Taehyung mengenakan kemeja putih dengan scarf warna biru yang dia ikat di lehernya dan celana kain berwarna biru tua.

“Cantik banget, mau kemana sih?” Goda Jimin sambil membenarkan poni rambut Taehyung.

“Ih, Min.” Wajah Taehyung langsung memerah. Seperti selalu yang menjadi kebiasaannya, dia lalu meremas celananya ketika sedang malu.

“Daripada remas celananya, mending tangannya aku pegang.” Jimin kemudian menggenggam tangan Taehyung. Jari jemari mereka saling bertautan.

Taehyung hanya terdiam. Jimin meliriknya dan senyuman kecil tersungging di bibir Taehyung.

“Tae, aku mau kasih sesuatu.”

Jimin mengambil sesuatu itu dari jok belakang.

“Aku tahu kalau kita pernah terhenti selama 2 tahun, Tae, tapi aku mau ucapin; selamat tanggal 5 September untuk yang ke 5.” Ucap Jimin sambil memberikan satu buket bunga mawar merah kepada Taehyung.

Jimin yang sebegitu sumringahnya memberikan bunga, namun Taehyung meresponnya dengan ekspresi yang tidak dapat dijelaskan.

“Kenapa, Tae? Ngga suka, ya?”

“Ah, suka kok. Makasih, ya.” Ucap Taehyung singkat.

Jimin sebenarnya melihat ada hal yang aneh, namun dia masih belum ingin menanyakannya sekarang. Mobil pun Jimin melaju menuju sebuah tempat yang sudah Jimin rencanakan.

“Capek ngga baru nyampe Andani, malah aku ajak pergi berenang?” Tanya Jimin di tengah perjalanan.

“Adanya aku yang harusnya tanya gitu, kamu kan baru pulang dinas.”

“Aku ngga pernah capek, Tae, kalau jalan bareng kamu.” Ucapnya sambil mengecup punggung tangan Taehyung.


“Min, kok ke hotel?” Tanya Taehyung setelah sampai ke tempat yang mereka tuju. “Aku kira kita berenangnya ke GOR.”

“Aku biasanya memang renang ke GOR tapi karena sama kamu jadi aku bawa ke hotel. Biar nyaman ke kamunya.”

Taehyung tidak berkomentar lagi, Jimin membawanya masuk ke lobby hotel. Jimin memberikan sebuah kode dan salah satu pegawainya seakan menjawab bahwa semua sudah siap.

“Min, nanti renangnya di sebelah mananya?” Tanya Taehyung saat mereka berada di lift.

“Di rooftop, Tae.”

Mendengar itu, Taehyung terdiam. Dia tidak lagi bereaksi, sampai pintu lift terbuka dan Jimin sudah keluar, tapi Taehyung masih di dalam lift.

“Tae.” Masih belum ada respon. Taehyung tertegun. “Sayang.” Jimin lalu meraih tangan Taehyung dan menggenggamnya.

“Sudah sampai.”

Kolam renangnya berada di lantai 27. Tepat di rooftop dengan pemandangan seisi Kota Andani. Di sana tidak ada siapa-siapa. Jimin memang sengaja memesan seluruhnya untuk mereka berdua. Botol wine dan 2 gelas sudah tersaji di pinggir kolam renangnya.

Taehyung hanya mematung. Wajahnya pucat dan tangannya gemetar serta mulai berkeringat. Sejak di mobil, Taehyung sudah menunjukkan gelagat yang berbeda.

“Tae, kenapa?” Jimin lalu memegang pipi Taehyung. “Kamu dingin banget, Tae.”

“Aku ngga apa-apa, Min.” Ucapnya sambil menundukkan kepalanya.

“Sini lihat aku.” Taehyung masih belum mau mengangkat wajahnya. “Kita duduk dulu ya.”

Mereka kini sudah duduk di kursi santai depan kolam renang. Taehyung masih menunduk dengan tangannya yang gemetar berusaha dia sembunyikan dengan meremas celananya. Jimin memperhatikan itu kemudian menggenggam tangan Taehyung.

“Sayang, kenapa? Ngga enak badankah? Kita pulang aja, ya?”

Pertanyaan itu malah membuat Taehyung makin gemetar. Bahunya sudah mulai naik turun dan tak bisa lagi ditahan, kini air sudah turun dari matanya.

“Tae, astaga ..” Melihat Taehyung menangis, Jimin spontan langsung memeluknya. Mengusap punggung dan kepalanya. “Tae, kenapa? Jangan nangis. Maaf.”

Jimin lalu melepaskan pelukannya. Menangkup kedua pipi Taehyung dan memposisikan agar Taehyung melihatnya.

“Aku harus apa, biar kamu ngga nangis?” Jimin menyeka pipi Taehyung yang basah.

“Min, .. Kamu ... Kamu ngga akan tinggalin aku lagi kan?” Ucap Taehyung dengan nada yang terisak.

Rasanya nyeri mendengar hal itu dari Taehyung. Jimin menyiapkan ini semua untuk melamar Taehyung officially dan romantically tapi yang terucap dari mulut Taehyung adalah ketakutannya untuk ditinggalkan kembali.

“Ngga, Sayang, aku udah janji ngga akan tinggalin kamu lagi.” Jimin menempelkan keningnya kepada kening Taehyung. “Kenapa, Tae? Kenapa kamu berpikir begitu?”

“Bunga, ucapan anniversary kamu di mobil, dan kolam renang rooftop, semuanya ... Semuanya sama seperti dua tahun lalu. Aku ... Aku takut, Min.” Tubuh Taehyung makin bergetar dan tangisannya makin membuatnya terisak.

“Taehyung, maaf, maaf.” Jimin langsung menghamburkan badannya ke Taehyung, memeluknya dengan erat. Semakin nyeri dadanya. Peristiwa itu menimbulkan trauma bagi Taehyung. Jimin ingin menggantinya dengan kenangan indah namun, luka itu ternyata masih membekas di sana.

“Maaf aku ngga mempertimbangkan hal itu. Aku minta maaf, Tae, semua salah aku sampai hal yang seperti ini malah menyisakan luka untuk kamu. Maaf, Tae.” Jimin pun ikut menangis. Melihat Taehyung menanggung luka ini semua selama 2 tahun, menambah perih hati Jimin.

“Kita pulang, ya.”

“Ngga usah, Min, kamu sudah siapin ini semua. Aku—”

“Aku ngga mau kalau kamu ngga nyaman. Maaf, ya, Tae, harusnya aku lebih considerate.”

Jimin akhirnya membawa Taehyung pulang. Di mobil Taehyung tertidur dan masih ada sisa isakan di sana. Hati Jimin ngilu melihat Taehyung begini. Luka yang dia torehkan begitu dalam. Taehyung masih perlu waktu untuk menyembuhkan lukanya namun Jimin terlalu terburu-buru.

Mobil sudah sampai di parkiran Apartemen Jimin. Dia hendak membangunkan Taehyung tapi tubuhnya begitu dingin. Taehyung kelelahan menempuh 5 jam perjalanan dan ditambah menangis akibat teringat akan luka itu. Hal itu membuat Jimin semakin khawatir. Dia lalu menggendong Taehyung untuk masuk ke unitnya.

“Min, aku bisa jalan sendiri.” Ucap Taehyung. Jimin membawa Taehyung secara bridal style membuatnya bisa mencium aroma vanilla dari leher Jimin.

“Kamu demam, Tae. Badan kamu dingin banget.”

“Itu karena AC mobil, Min.”

Tak ada jawaban lagi dari Jimin sampai Taehyung dibaringkan ke ranjangnya. Jimin lalu mencari termometer untuk mengukur suhu tubuh Taehyung. Dia kemudian membuka medical kit-nya untuk mengeluarkan stetoskop namun dicegah oleh Taehyung.

“Min, jangan segitunya. Aku ngga apa-apa. Mungkin ini karena udah perjalanan jauh dan tadi habis nangis. Aku tiduran sebentar juga mendingan kok.”

“Tae, yang dokter di sini itu aku. Kamu jangan diagnosa sendiri begitu.”

“Jimin.” Mata Taehyung sayu. Dia menggenggam kecil kemeja Jimin. “Peluk aja. Dipeluk pasti mendingan.”

Jimin lalu melihat suhu tubuh Taehyung di termometer. Dia sedang demam sekarang. Jimin kemudian merangsek masuk ke selimut. Mereka kini sangat dekat dan menatap satu sama lain.

“Maaf, ya, Tae.” Ucap Jimin sambil mengelus pipi Taehyung. “Maaf.” Jimin tak hentinya mengecup punggung tangan Taehyung.

“Aku yang minta maaf, padahal kamu pasti sudah rencanain semuanya, ya, tapi aku malah begini.”

“Ngga, Sayang, bukan salah kamu.” Jimin mengecup kening Taehyung. “Kalau ada yang mengganggu pikiran kamu, atau kamu ngga nyaman, bilang aja, ya, Sayang. Jangan ditahan hanya karena ngga enak sama aku. Kita udah janji kan untuk saling terbuka.”

Taehyung mengangguk perlahan.

“Jimin, dingin.” Taehyung mulai menenggelamkan dirinya ke dada Jimin mencari sumber hangat untuk mengusir dingin di tubuhnya. Jimin lalu menaikkan suhu AC kamarnya.

“Min, .. Aku—”

“Masih dingin ya? Aku ambil obat dulu, ya.” Jimin hendak beranjak tapi Taehyung masih memeluk pinggangnya.

“Min.” Taehyung mulai meremas kerah kemeja Jimin. Badannya terus dia dekatkan ke Jimin hingga tak ada lagi celah di antara mereka.

“Tae, bilang aja.”

“Aku mau yang ... Seperti di rumah sakit itu, Min.” Taehyung mengatakannya sambil menundukkan kepalanya. “Tapi ... Tapi mau semuanya.”

“Mau semuanya dilepas?”

Taehyung mengangguk malu. Badannya sudah mulai menggigil.

“Baik, aku buka, ya, Tae.”

Tidak ada jawaban ketika Jimin mulai melepaskan scarf dari leher Taehyung. Membuka satu persatu kancing kemeja Taehyung dan melemparkannya ke lantai.

“Celananya aku buka, ya.” Taehyung semakin menenggelamkan kepalanya ke dada Jimin.

“Kenapa, Sayang?”

“Aku malu.”

Jimin tersenyum melihat tingkah Taehyung yang kembali malu-malu seperti ini. Persis seperti awal- awal mereka berpacaran dulu.

“Kok malu, kan sudah pernah lihat semua?”

“Tapi kan udah lama, Min.”

“Gemesnya.” Ucap Jimin sambil boop hidung Taehyung.

Kini, Taehyung sudah tidak mengenakan apa-apa. Hanya ditutupi oleh selimut. Gigi Taehyung sudah saling beradu. Wajahnya semakin pucat. Jimin kemudian dengan sigap melepas semua pakaiannya. Lalu dia masuk kembali ke balik selimut mendekap Taehyung. Tak ada jarak diantara mereka. Kulit mereka sudah saling menempel satu sama lain.

“Min, aku lagi demam nanti nular ke kamu.”

“Ngga, aku kuat kok.” Jawaban itu mendapatkan cubitan di perut Jimin. “Ih kok galak lagi?”

Taehyung tersenyum. Dia melingkarkan tangannya ke pinggang Jimin. Pipinya ia tempelkan ke dada Jimin. Sebab mereka terlalu dekat, hingga tak sengaja Jimin menggesek milik Taehyung.

“Hengg, Min.” Taehyung meremas bahu Jimin. Stimulus barusan tanpa sadar membuat Taehyung melenguh.

“Sayang, kamu lagi sensitif banget, ya?” Tanya Jimin.

Taehyung mengangguk. Hari ini Taehyung sungguh terlihat sangat fragile bak terbuat dari kaca. Semakin ingin Jimin melindunginya, menjaganya, dan memilikinya.

“Min.”

“Iya, Tae?”

“Hangat.” Ucapnya. Badan Taehyung terus mendesak ke tubuh Jimin. Membuat gesekan semakin tak dapat dihindarkan.

“Tae, lagi inginkah?”

Taehyung semakin menundukkan kepalanya. Jimin tahu bahwa Taehyung tengah resah.

“Tapi aku udah lama ngga.” Jawab Taehyung.

“Sama, Tae. Aku cuma maunya sama kamu. Your smell always remain of me. Jadi, maukah, Tae?”

“Tapi ...” Taehyung meremas bahu Jimin kembali. “Pelan-pelan.”

“Iya, Sayang, nanti bilang ya kalau ngga nyaman.”

Taehyung hanya mengangguk. Jimin lalu menarik pinggang Taehyung agar semakin dekat dengannya, nafas mereka sudah saling terasa di pipi masing-masing. Jimin memulainya dengan mencium bibir Taehyung secara perlahan dengan lembut. Taehyung sangat rapuh, sentuhan lembut bahkan sudah membuatnya meringis.

“Sakit ya, Tae?”

“Maafin, Min, aku—”

Don't be sorry, Tae. Ngga apa-apa.” Jimin mengelus punggung Taehyung perlahan. Sebisa mungkin dia ingin Taehyung merasa nyaman.

Taehyung melenguh setiap kali Jimin mulai menginvasi bagian dirinya.

“Min, udah.”

“Sedikit lagi, Sayang.”

“Hengg, Min.”

“Sebentar, ya.”

Taehyung sudah habis tenaganya ketika Jimin masih menggempurnya padahal dia yang ingin duluan.

“Jimin.”

“Sebentar.”

“Aku—”

Jimin mengulum bibir Taehyung secara penuh hingga Taehyung tidak dapat berbicara lagi. Seluruh kendali tubuhnya mengikuti keinginan Jimin. Hingga pelepasan itu pun keluar begitu banyak. Taehyung bahkan sudah tidak ada tenaga lagi.

“Min.” Dia menangis. Menundukkan kepalanya ke dada Jimin. “Maaf, aku keburu—”

“Hei, ngga apa-apa, Sayang.” Jimin mengecup kening Taehyung. Mengusap pipi lalu mengusap punggungnya.

“Aku sudah keburu keluar, padahal kamu belum—”

“Taehyung, udah ya. Ngga apa-apa. Aku bersihin dulu ya.”

Jimin bangkit dari ranjangnya, lalu kembali dengan handuk basah dan handuk kering. Dia menyeka tubuh Taehyung, membersihkan tubuhnya dengan perlahan agar Taehyung tidak merasa kesakitan.

“Ini kali pertama lagi kita, tapi aku malah begini. Maaf banget, Min.” Taehyung sangat merasa rendah diri meski beberapa kali Jimin mengatakan tidak apa-apa. Jimin tahu, Taehyung belum siap, hatinya masih terluka, dia terlalu tergesa-gesa hingga membuat Taehyung serapuh ini.

Jimin kemudian duduk di samping Taehyung, membenarkan setiap helai rambutnya. Mengamati setiap inci wajah Taehyung. Dia daritadi menahan tangis.

“Aku yang harusnya minta maaf. Seharusnya aku ngga ajak kamu kesana, mengingatkan kamu tentang anniversary kita, maaf, Tae. Aku awalnya hanya ingin mengganti hal yang menyakitkan itu dengan hal indah namun aku lupa bahwa luka kamu belum sembuh. Dan semua itu gara-gara aku.” Jelas Jimin. Ucapannya itu membuat Taehyung kian menggigit bibirnya. Matanya sudah mulai berair.

Jimin kemudian mengambil sebuah kotak dari tasnya.

“Tanggal kita memang sudah ditetapkan, tapi aku merasa perlu untuk melamar kamu secara lebih romantis, Tae, tapi lagi-lagi aku ngga menyadari trauma dan sakit kamu.” Jimin lalu membuka kotak yang telah dia pegang. “Aku mau lamar kamu, mau memasangkannya di jari kamu sebagai tanda aku sungguh-sungguh sama kamu, Tae. Tapi yang ada aku malah mengingatkan kamu ke memori kamu yang menyakitkan itu.”

“Min.” Air matanya sudah mengalir deras. “Aku sudah merusak rencana kamu.”

“Ngga, Tae, bukan kamu tapi aku. Aku ingin menyematkannya di jari kamu tapi suasananya begini. Lagi-lagi aku selalu buat kamu nangis.”

Taehyung lalu menyodorkan jari tangannya. “Bilang lagi, Min.”

Jimin menegakkan kepalanya. Lalu mulai menggenggam jari Taehyung.

“Ini ngga romantis, Tae.”

“Asal sama kamu, buat aku itu selalu romantis.”

Jimin lalu menatap Taehyung dengan lekat. “Tae, mau nikah sama aku? Aku mau bahagiakan kamu, hidup bersama kamu, menua bersama kamu, selamanya bersama kamu.”

Taehyung kemudian mengangguk perlahan. Melihat anggukan itu, Jimin lalu menyematkan cincin di jari manis Taehyung.

“Makasih banyak, Sayang. Makasih udah percaya sama aku lagi. Makasih udah mau menerima aku lagi.” Jimin mengecup jari Taehyung yang sudah terlingkar cincin darinya.

“Aku juga punya cincin untuk kamu, Min. Dulu rencananya aku mau melamar kamu. Cincinnya udah ada, tapi ngga sempat aku kasih karena kita keburu berpisah.”

“Tae.” Mata Jimin nanar menatap Taehyung.

“Cincinnya aku kaitkan ke kalung karena aku tahu kamu sering operasi dan tidak boleh menggunakan cincin, takutnya hilang, atau terlepas saat masuk ruang operasi. Jadi aku mengaitkannya ke kalung, agar bisa selalu kamu pakai dan dekat dada kamu. Kalungnya selalu aku bawa-bawa kemana-mana, jadi selalu terasa kamu ikut dengan aku kemana pun aku pergi.”

“Taehyung.” Kini mata Jimin yang mulai basah. Taehyung sudah begitu detail dan considerate padanya namun selalu dia yang menghancurkannya. “Maaf.”

“Ngga apa-apa, Min, sekarang kan kita sudah bersama lagi. Kalungnya ada di tas aku.” Taehyung hendak beranjak namun badannya terasa linu.

“Aku yang ambilkan, ada di mana?”

“Di tas, yang kecilnya. Di kotak biru.”

Jimin menemukan kotak itu dan membukanya. Di sana ada kalung dengan bandul cincin yang terpahat inisial T dan J.

“Boleh aku pakaikan?” Tanya Taehyung.

Jimin kemudian menghampiri Taehyung. Dia mencoba duduk dan mulai memakaikan kalungnya ke leher Jimin.

“Aku sering membayangkan bagaimana kalau kalung ini terpasang di leher kamu, dan sekarang aku bisa melihatnya sendiri.” Ucap Taehyung.

Jimin langsung menghamburkan dirikan ke pelukan Taehyung.

“Makasih, Sayang, makasih.”

“Sama-sama, Min.”

Mereka saling mengenakan cincin dari masing-masing. Meluruskan niat bersama untuk naik ke jenjang lebih sakral yaitu pernikahan. Jimin menutup malam sedih, haru, dan bahagia itu dengan ciuman dalam untuk Taehyung. Memeluknya dan mendekapnya hingga tertidur lelap sampai esok hari.

[]

➖ Katakan Lagi

Taehyung padahal belum mengiyakan tapi Jimin sudah mulai merangsek dan menginvasi ranjang Taehyung. Kini secara sempurna mereka berdua berada di ranjang yang sama. Ranjang rawat Taehyung.

Jimin sudah didalam mode manja yang katanya sedang tidak bisa di-tone down, mulai memeluk Taehyung dan menenggelamkan dirinya di dada Taehyung.

“Tae, kok deg-degan?” Tanya Jimin ketika telinganya menempel di dada Taehyung.

“Ya, kan aku hidup.” Jawab Taehyung, nadanya sedikit terbata-bata.

“Beda.” Jimin lalu meraih tangan Taehyung, menekan dengan ibu jarinya di pergelangan tangan Taehyung. Lalu menyalakan timer 15 detik di ponselnya.

“Tuh kan, detak jantungnya lebih cepat dari biasanya.”

Taehyung kemudian mengibaskan tangannya dari Jimin namun malah Jimin genggam dan dia simpan di dadanya.

“Sok tahu!”

“Lho kok sok tahu? Aku dokter, Tae, aku barusan hitung denyut nadi kamu.”

“Iya deh yang dokter.”

“Ih... Gemes cemberut begitu.” Jimin mencubit pipi Taehyung. “Tae, kamu ga nyaman ya aku begini?”

“Aku ngga bilang begitu.”

“Habisnya kamu jutek banget, aku kangen. Kangen Tae yang malu-malu, salah tingkah, yang paling clingy.” Jimin mengeratkan pelukannya, lalu dia mensejajarkan tubuhnya dengan Taehyung. Mereka kemudian saling pandang.

“Tae yang itu pasti capek banget ya sama aku, jadi yang ada sekarang Tae yang jutek dan dingin sama aku.” Jimin menyentuh pipi Taehyung, merengkuhnya dengan kedua tangannya.

“Aku kangen, Tae, kangen banget.” Mata Jimin mulai berkaca-kaca. “Aku tahu salah aku banyak, aku tahu mungkin aku ngga bisa termaafkan, tapi aku akan nunggu, Tae, mau selama apapun aku akan menunggu hingga sakit hati kamu reda, sedih kamu reda, dan marah kamu reda. Aku ngga peduli mau selama apapun itu, tapi jangan minta aku untuk pergi, ya? Aku udah ga bisa lagi. If it is not you, it's not anyone, Tae.” Jimin lalu menggenggam tangan Taehyung, menautkan, dan kemudian mengecup punggung tangannya.

Air mata itu tidak dapat Jimin bendung lagi. Dia menangis didepan Taehyung.

“Jangan nangis, Min, nanti sesak.” Taehyung menyeka air mata Jimin dengan punggung tangannya.

“Sayang. Sayang banget sama kamu, Tae.” Lagi-lagi kalimat itu terucap dari mulut Jimin. Dia memejamkan matanya, merasakan sentuhan tangan Taehyung yang sedang menyeka air matanya. “Takdir di mana kita selalu bertemu di IGD dan bahkan hingga terbaring dirawat di tempat yang sama seperti ini, meyakinkan aku kalau pasti ada rencana lain untuk kita. Dan maaf, Tae, aku baru mempunyai nyali itu sekarang. Maaf waktu pulih aku lama, dan maaf malah ikut membawa diri kamu ambruk dan sakit seperti ini juga.”

“Jimin, udah nangisnya. Aku harus apa agar tangis kamu reda?” Taehyung merasa nyeri di dadanya melihat Jimin begini. Hal ini jelas tidak mudah bagi Taehyung. Dia pun sama. Kangen dan segala perasaan dirinya untuk Jimin namun ada sekat takut dan ragu di sana. Takut akan ditinggalkan kembali. Ragu apakah ini semua nanti hanya akan mengulang sakit yang sebelumnya.

“Yakinkan aku, Min. Kasih aku alasan untuk sama-sama kamu lagi, aku ... Aku sebenarnya sudah lelah untuk berharap, Min.” Ungkap Taehyung.

“Tae, yang aku lakukan memang baru bisa disebut janji, tapi aku akan benar-benar menebusnya sekarang. Aku ga akan ninggalin kamu lagi. Aku akan mengganti semua sedih dan sakit kamu dengan kebahagiaan. Izinkan aku untuk membuktikannya, ya? Aku dan kamu, kita sama-sama.” Jimin kembali merengkuh wajah Taehyung. Menatapnya dengan lekat-lekat. “Sama halnya dengan kamu, bagi aku, kamu juga satu, Tae.”

Taehyung lalu menyeka kembali air mata Jimin. “Kalau kamu ingkar, aku harus bagaimana?”

“Kamu boleh tinggalin aku. Kamu boleh pergi. Dan aku jelas akan jadi orang yang paling menderita sedunia. Maka aku pastikan diri aku untuk tidak ingkar. Aku bertaruh semua di sisa hidup aku ini, Tae.” Jimin sungguh-sungguh mengatakannya.

Senyum pun mulai tersungging di sudut bibir Taehyung.

“Katakan lagi.”

“Yang mana?” Tanya Jimin.

“Kamu yang sayang banget sama aku.”

Kini Jimin yang tersenyum. “Sayang banget sama Taehyung. Cinta banget sama Taehyung.”

“Ulang 1000x!”

“Banyak banget, Tae.” Jimin mulai memberikan pout-nya namun malah dibalas pout juga oleh Taehyung. “Duh, iya. Jimin sayang banget sama Taehyung. Jimin cinta banget sama Taehyung.”

“Terus!”

Jimin mengulang-ulang kalimat itu. Boxy smile Taehyung semakin melebar. Dia senang mendengar Jimin berkata begitu. Lalu dia mengecup bibir Jimin dengan lembut. Membuat Jimin terhenti untuk mengatakan kalimat barusan.

Kecupan singkat itu Taehyung tarik kembali. Dia lalu menatap Jimin.

“Lagi. Cium lagi. Yang lama.” Pinta Jimin.

“Kok malah ketagihan?”

“Soalnya kamu bikin candu. Sampai aku ga mau lepas.” Jimin mengeratkan pelukannya. “Boleh, ya?”

“Sampai pagi?” Goda Taehyung.

“Boleh kalau kamu kuat.”

“Dih, nantangin!” Ucap Taehyung.

“Pokoknya mau peluk Taehyung dan mau dicium Taehyung sampai pagi.”

Taehyung lalu menarik pinggang Jimin untuk lebih dekat dengannya. Kecupan singkat barusan, Taehyung ganti dengan ciuman yang dalam dan lembut. Membuat mereka saling terpaut dalam bibir satu sama lain. Resah dan takut itu perlahan terganti oleh rasa percaya dan ingin menjaga kembali.

[]

➖ Satu Jam Saja

Jungkook dan Hoseok sudah di rumah Taehyung. Mamanya Taehyung yang membukakan pintu. Katanya sejak kembali dari Trisa, Taehyung belum keluar dari kamar.

“Nitip Kakak dulu, ya, Ibu mau ke desa sebelah dulu di sana ada undangan.”

“Iya, Bu.” Ucap Hoseok.

Setelah Mama Taehyung pergi, Hoseok dan Jungkook mulai mengetuk pintu kamar Taehyung. Tidak ada jawaban.

“Taehyung, kalau kamu ngga buka pintunya, saya bisa masuk dari jendela belakang!” Ucap Jungkook. Nadanya tegas.

“Kook, kamu bukan sedang ngegerebek rumah orang.”

“Ya, biar dia mau bukain pintu.” Jawab Jungkook.

Kunci pun terdengar dibuka.

“Pateh, kami masuk ya?” Ucap Hoseok.

Dia lalu membuka pintu perlahan. Terlihat di sana Taehyung sedang terbaring dengan wajah yang ditutupi oleh bantal. Pundaknya naik turun. Dia sedang menangis.

“Pateh, jangan ditutup begini mukanya nanti susah nafasnya.” Ucap Hoseok.

Tidak ada pergerakan dari Taehyung. Dia masih menangis.

“Kamu ini kenapa? Coba cerita dulu.” Ucap Jungkook sambil duduk di ranjang Taehyung.

“Pateh.” Hoseok mulai mengangkat bantal dari wajah Taehyung. Ada sedikit perlawanan dari Taehyung, namun akhirnya Hoseok berhasil menarik bantal itu.

Taehyung sangat berantakan. Matanya basah dan bengkak. Entah sudah berapa lama dia menangis seperti ini. Jungkook kemudian menarik badan Taehyung memintanya untuk duduk.

“Pateh, udah nangisnya, nanti lemes.” Hoseok mengusap pipi Taehyung.

“Jimin ... Jimin ...” Hanya itu yang Taehyung lafalkan di sela-sela tangisannya.

“Saya pikir kalian ketemu itu sudah jelas semuanya, tapi malah jadi begini.”

“Jimin, kenapa, Pateh?”

“Dia ... Dia jahat banget!” Taehyung kembali menangis sejadinya. Wajahnya dia tutup dengan kedua tangannya.

“Ya, emang dia jahat kok.” Timpal Jungkook dengan menunjukkan wajah sebalnya.

“Jungkook.” Hoseok lalu melirik Jungkook.

“Dia jahat gimana, Pateh? Dia ngga ngejelasin apa-apa?”

“Jelasin.” Ucap Taehyung dengan nada yang segukan. “Dia jahat banget biarin dirinya berjuang sendiri, dia ngga minta aku buat temani dia lagi. Selama 2 tahun ini dia sakit, Seok.” Hoseok langsung memeluk Taehyung, menepuk-nepuk punggungnya.

“Paru-parunya sakit lagi?” Tanya Jungkook.

“Bukan. Sakit yang lain.” Jawab Taehyung.

“Mungkin dia ga mau membebani kamu lagi, Pateh. Udah cukup 3 tahun kemarin, kamu temani dia yang sakit, mungkin sekarang dia ingin benar-benar sembuh dulu.” Ucap Hoseok. Kini, dia mengusap-usap kepala Taehyung.

“Taehyung, saya mau tanya sekarang. Kamu masih sayang sama Jimin kan?”

“Jungkook, jangan dulu ditanya begitu.

“Habis saya heran, kalian berdua itu selalu ingin berjuang sendiri, sakit sendiri tanpa diketahui masing-masing. Kenapa ngga saling berbagi aja? Bukan malah giliran berjuang dan giliran sakit begini?” Jungkook terlihat mulai geram. Sementara Taehyung masih terus menangis.

“Jungkook, jangan terlalu keras begitu sama Taehyung.” Ucap Hoseok.

“Berbagi itu tidak untuk rasa dan cinta, tapi sakit dan sedih juga. Jangan kamu ga apa-apa menanggung sakit, yang penting Jimin ngga, atau Jimin memilih sakit untuk kamu misalnya. Tolong, kalian berdua berhenti seperti itu!” Ungkap Jungkook.

“Maaf, Taehyung, kalau nada bicara saya begini. Tapi saya ingin kalian berdua bahagia. Entah bahagianya seperti apa. Kalau kamu masih sayang sama Jimin, maka raih dia kembali, ya? Bicarakan baik-baik, mulai untuk berbagi sedih dan sakit juga, lalui bersama-sama.” Jelas Jungkook.

Ponsel Hoseok pun berbunyi. Dari Namjoon. Hoseok memberi kode kepada Jungkook untuk menjaga Taehyung dulu. Dia lalu keluar untuk menerima telepon.

Tak beberapa lama, Hoseok kembali.

“Pateh, Namjoon sama Yoongi bentar lagi kesini sama Jimin juga.”

Taehyung langsung kaget. “Ngga mau, aku belum bisa ketemu Jimin dulu.”

“Kenapa?” Tanya Jungkook.

“Nanti dulu, aku belum tahu harus apa. Aku—”

“Jimin lagi sesak sekarang dan dia butuh buat ketemu kamu.” Hoseok memotong perkataan Taehyung. “Lebih baik kamu ketemu dia, Pateh, karena ngga ada yang tahu kan?”

“Paseok, jangan ngomong begitu!” Bentak Taehyung.

Suara klakson mobil terdengar. Hoseok lalu keluar. Di sana keluar Yoongi, Namjoon, dan Jimin. Kondisi Jimin bisa dibilang tidak baik-baik saja. Wajahnya pucat dan nafasnya yang berat.

“Jim, oksigennya dipakai dulu.” Ucap Namjoon. Namun, Jimin abaikan. Dia langsung masuk ke rumah Taehyung dan menuju kamarnya.

Di pikiran Jimin saat ini hanya ingin segera bertemu Taehyung.

“Tae.” Ucap Jimin ketika dia tiba di kamar Taehyung. Jungkook langsung berdiri, namun bajunya ditarik oleh Taehyung. Seakan meminta Jungkook untuk menemani dia.

“Taehyung, Jimin mau bicara sama kamu.” Ucap Jungkook.

“Satu jam saja, Tae. Satu jam.” Nafas Jimin makin berat, dia masih memegangi dadanya.

Jungkook lalu pergi meninggalkan Jimin dan Taehyung berdua di kamar. Pintu pun ditutup.

“Tae, maksud dari angka satu itu apa?” Pertanyaan pertama yang Jimin tanyakan ketika dia sudah duduk di ranjang Taehyung.

Taehyung masih belum ingin melihat Jimin. Dia memandang tembok kamarnya. Lengannya meremas selimut yang menutupi kakinya.

“Tae.” Jimin lalu duduk mendekati Taehyung. “Lihat aku.”

Taehyung mulai menatap Jimin. Wajahnya yang pucat, nafasnya yang naik turun.

“Aku harus apa, Tae? Aku harus gimana?”

Jimin lalu memeluk tubuh Taehyung. Mengusap kepala dan punggungnya. Memeluknya lebih erat seakan tak ingin lepas.

“Sayang banget sama kamu, Tae.”

“Min, dua tahun, dua tahun aku tanpa kamu. Dua tahun aku jalani hidup yang kosong. Aku cuma ngelakuin apa yang kamu pinta. Hobi aku sekarang, traveling, semuanya aku lakukan karena kamu ingin aku begitu. Sementara di sisi lain, kamu sakit dan terapi, berjuang sendiri. Kamu jahat, Min.” Taehyung meremas kemeja Jimin. Menggigit bibirnya agar tangisnya terendam.

“Tae, maaf. Maaf banget.”

“Aku capek, Min, capek banget.” Taehyung lelah sekali. Matanya sudah mulai berkunang. Dia belum tidur dan menghabiskan waktu berjam-jam untuk menangis.

“Tae, badan kamu dingin banget.” Jimin meraba belakang leher Taehyung dan keningnya.

“Kenapa satu?” Ucap Taehyung. “Karena kamu cuma ada satu, Min.”

Mata Taehyung terpejam, badannya dingin, dan lemas.

“Tae, bangun, Tae!!” Jimin menggoyang-goyangkan tubuh Taehyung. Badannya dingin dengan keringat yang mengalir dari kening dan lehernya.

“Tae.” Dada Jimin pun semakin sakit. Dia mulai panik. Jimin lalu mengangkat tubuh Taehyung. Menggendongnya keluar.

Namjoon, Yoongi, Hoseok, dan Jungkook yang menunggu di ruang tamu kaget dan panik melihat Taehyung tak sadarkan diri dan dibawa oleh Jimin yang bisa dibilang juga tak baik-baik saja.

“Itu Taehyung kenapa?” Tanya Yoongi.

“Mobil ... Kunci mobil!” Dengan nafas yang tersisa, Jimin meminta kunci mobil kepada Yoongi.

“Kamu mau anter Taehyung dengan keadaan begitu?!” Jungkook mulai akan membawa Taehyung dari Jimin.

“Gue! Salah gue! Biar gue yang—”

“Jim, tenang, lo makin sesak nantinya!” Ucap Namjoon.

Yoongi memberi kode kepada Jungkook untuk mengambil Taehyung dari Jimin.

“Jangan! Gue ... Gue yang bawa!”

“Jimin! Hei!!” Namjoon memegang wajah Jimin. “Breath, Jimin. Breath!

Jimin mengindahkan perkataan Namjoon. Dia melihat Taehyung sudah dibawa oleh Jungkook dan Hoseok. Jimin hanya bisa melihat Taehyung yang tak sadarkan diri karena dia. Taehyung yang menjadi seperti ini karena dia.

“Tae. Taehyung!” Jimin mulai terbatuk. Dia mulai memegangi dadanya.

“Yoon, oksigennya, Yoongi!” Perintah Namjoon. Namun begitu Yoongi akan berlari mengambil oksigen, Jimin sudah menjatuhkan dirinya ke badan Namjoon.

[]

➖ Probabilitas Dalam 24 Jam

Hanya butuh waktu 10 menit dari tempat tinggal Jimin di Trisa menuju ke Halte Pantai Biru yang menjadi titik pertemuan dirinya dan Taehyung. Jimin sudah tiba 5 menit lebih awal dari waktu yang dijanjikan. Sengaja. Jimin tidak ingin terlambat. Dia tidak ingin kehilangan momen meski itu hanya 1 detik.

Dari jauh terlihat Taehyung berjalan menuju halte. Taehyung mengenakan kemeja biru laut dengan motif bunga dan celana kain berwarna biru tua yang senada. Dipundak kanannya tergantung tas ransel kulit berwarna hitam. Jimin menatap Taehyung dari mobilnya. Baginya, Taehyung selalu indah. Dia adalah pesona tampan dan cantik yang menjadi satu.

Jimin kemudian keluar dari mobil, menyapa Taehyung dengan senyum terbaiknya.

“Aku telat, ya?”

“Ngga kok, akunya aja yang datang kecepetan.” Jimin lalu membuka pintu mobilnya untuk Taehyung. Tersimpul senyuman kecil dari wajah Taehyung. Mereka berdua kemudian masuk ke mobil.

“Biar aku yang pasangin.” Jimin menawarkan diri untuk memasangkan seat belt kepada Taehyung. Jarak mereka kini hanya terpaut beberapa sentimeter. Atmosfer canggung pun tercipta.

“Maaf, Taehyung. Kebiasaan.”

Ya, membukakan pintu mobil dan memasangkan seat belt adalah kebiasaan yang Jimin lakukan ketika Taehyung duduk di kursi penumpang sebelahnya. Tidak dapat dipungkiri meski sudah lepas 2 tahun namun kebiasaan itu masih belum hilang.

“Mau kemana kita?” Tanya Taehyung mengusir rasa canggung diantara mereka.

“Kamu udah sarapan?”

Taehyung menggeleng. “Kita makan bubur abalone, ya? Mau? Masaknya bener kok, aku sarapan suka di sana dan ngga kenapa-napa. Semoga ngga akan sakit lagi perut kamunya.”

“Aku ikut aja.”

Persetujuan dari Taehyung itu membawa mobil Jimin melaju ke tempat yang telah diputuskan. Tak ada pembicaraan di mobil. Semua larut dalam pikiran masing-masing hingga mereka pun sampai di tempat bubur abalone.

Jimin memesankan dua bubur abalone dan dua teh hangat untuk mereka berdua.

“Kamu sering kesini?” Tanya Taehyung membuka pembicaraan.

“Lumayan. Kalau udah selesai jogging, aku suka mampir sarapan kesini.”

“Kamu jogging? Ngga apa-apa?” Terlihat semburat cemas dalam wajah Taehyung.

“Ngga, Tae, jogging santai aja kok. Aku juga mulai olahraga tipis-tipis kayak berenang, kadang nge-gym juga.”

“Ngga sakit dadanya?” Ekspresi cemas masih terpatri di wajah Taehyung.

“Ngga, Tae, kata dokter aku malah dianjurkan olahraga. Ya, yang ringan aja, berenang sih yang dianjurkan banget. Makanya aku rutin renang.”

“Oh, aku pernah baca di internet katanya berenang bagus untuk yang asma.”

Jimin tersenyum. Taehyung masih memperhatikannya.

Pesanan mereka kemudian datang. Taehyung menatap bubur abalone-nya. Ada sedikit takut pada diri Taehyung sebab sebelumnya dia sakit setelah makan seafood.

“Coba dulu, nggak akan apa-apa kok.” Ucap Jimin menenangkan.

Taehyung mulai meniupi buburnya dan memakannya sedikit dulu— sebagai permulaan.

“Enak?”

Taehyung mengangguk. Dia lalu mulai menyantap buburnya. Jimin sesekali mencuri pandang. Taehyung masih gemas ketika dia makan. Ada sedikit bubur di sudut bibir Taehyung, Jimin lalu mengambil tisu dan mengelapnya perlahan. Taehyung terdiam dan menghentikan aktivitas makannya. Coba tebak siapa yang jantung berdetak paling cepat?

“Taehyung, kegiatan sehari-harinya apa sekarang?” Jimin mulai membuka obrolan. Dua tahun mereka tak saling bertemu. Tak saling memberi kabar. Jimin hanya tahu sekilas kabar Taehyung dari Namjoon dan Yoongi. Kini, Jimin ingin tahu lebih banyak langsung dari Taehyung sendiri.

“Aku udah ngga ngajar lagi sekarang.”

“Kenapa?”

“Kerjaan ngurus yayasan lumayan menyita waktu. Sekarang aku udah tahap finalisasi untuk pembukaan SLB. Sudah disetujui oleh Dinas Pendidikan.”

“Wah ... Keren.” Jimin berbinar mendengarnya. Dia ikut senang bahwa impian Taehyung yang selalu ingin mendirikan sekolah sendiri akhirnya dapat terwujud.

“Itu karena kamu, Min.”

“Lho kok karena aku?”

Taehyung menatap Jimin. Tatapannya entah tidak bisa Jimin jelaskan artinya. “Kan kamu yang ubah nama yayasan atas nama aku. Kamu yang kasih yayasan TK Inha itu untuk aku yang sampai sekarang aku ngga tahu alasannya apa. Asalnya mau aku balikin, cuma kata Yoongi, prosesnya panjang jadi yang bisa aku lakukan adalah menerimanya.”

Taehyung menghela nafas panjang. Dia menghentikan sementara aktivitas makan buburnya yang tinggal sedikit.

“Ini pertanyaan aku yang pertama. Kenapa kamu kasih yayasan itu ke aku?” Taehyung menatap Jimin dengan tajam. Tanya yang menggunung selama dua tahun ini, baru Taehyung keluarkan satu.

“Tae, aku jawabnya nanti, ya?”

“Kapan?”

“Tetap hari ini aku jawabnya, hanya saja ...” Jimin terdiam sesaat. “Kita ngobrol hal yang ringan-ringan dulu. Hari ini masih panjang, Tae.”

Taehyung tidak membalas. Dia kemudian melanjutkan agenda makan buburnya. Jimin hanya ingin pagi ini diawali dengan bubur abalone, teh hangat, dan beberapa kabar serta obrolan ringan. Belum, belum pada jam ini untuk membicarakan hal itu.

Selepas makan bubur, Jimin mengajak Taehyung ke Museum Kelautan. Trisa adalah sebuah kota yang terkenal dengan pantai dan lautnya. Salah satu tempat favorit yang dikunjungi selain pantai adalah museum tersebut yang mengoleksi ribuan artefak hewan laut purba, sejarah Kota Trisa, dan replika maupun kapal asli tradisional pada masanya.

“Kamu sekarang lanjutin hobi fotografi kamu, ya?” Ucap Jimin ketika Taehyung mulai mengeluarkan kamera dari ranselnya.

“Iya, tapi cuma iseng-iseng aja kok.”

“Ngga apa-apa yang penting hobinya dimulai kembali.”

“Jimin, lanjutin hobi juga?” Tanya Taehyung sambil membidik replika kapal laut tradisional yang terpajang di sana.

“Hobi aku yang mana?”

Dance.”

“Aduh, terakhir aku dance pas kuliah S1, Tae, dan ngga pernah lagi.”

“Kenapa? Kan bisa dicoba lagi biar ngga bosen di rumah sakit terus.”

“Ngga ada waktu, Tae.”

“Sibuk, ya, di bedah anak?”

Jimin mengangguk. “Ceritain kamu di bedah anak ngapain aja? Aku pengen tahu.” Ucap Taehyung.

“Cerita hal itu gimana kalau kita sambil makan gelato? Didepan museum ini ada gelato enak lho. Tapi kita keliling dulu di sini, sampai 1000 foto bisa kamu bidik deh, hehe.” Ucap Jimin diselingi tawa renyah.

“Banyak banget sampai 1000.” Jawab Taehyung sambil pout.

“Becanda, Tae. Sebanyak yang mau kamu foto aja.” Ucap Jimin sambil mengacak-acak lembut kepala Taehyung. Ya, kepala yang diacak-acak, tapi hati yang berantakan.

Setelah dirasa cukup berkeliling dan memotret di berbagai spot di Museum Kelautan. Mereka kemudian menuju ke Kedai Gelato. Tempatnya persis didepan museum, tinggal menyebrang. Jimin lalu meraih dan menggenggam tangan Taehyung saat mereka hendak menyebrang. Pegangan tangan yang bertautan itu, Taehyung pandangi bahkan hingga mereka sampai di kedai dan mulai memilih menu, tangan itu masih belum Jimin lepaskan.

“Satu cup besar untuk berdua saja ya? Aku ngga terlalu banyak makan manis, jadi nanti banyaknya buat kamu.”

Taehyung masih terdiam. Mungkin dia masih freeze karena tangan Jimin masih menggenggam erat tangannya.

“Tae?”

“Ah ... Iya, terserah, Min.” Taehyung mulai sadar dan berusaha mencerna ini semua.

“Tiga rasa ya, Mas. Strawberry, Chocolate Macaroon, sama Popcorn Caramel.” Ucap Jimin. “Itu rasa yang paling enak di sini, Tae, aku yakin kamu pasti suka.” Tambah Jimin dengan antusias. Jimin tahu selera es krim favorit Taehyung.

Mereka lalu duduk di sebuah bangku dekat dengan mural bergambar keindahan bahari Kota Trisa.

“Jimin.” Ucap Taehyung. Matanya menatap ke genggaman tangan Jimin yang dari tadi belum dia lepaskan.

“Oh, maaf .. Maaf, Tae.” Jimin lalu melepaskan genggamannya. Lagi-lagi kebiasaan.

“Hm, Tae, mau aku fotoin didepan mural itu.” Jimin menawarkan untuk melepas rasa kikuknya barusan.

“Nanti aja.” Jawab Taehyung.

Gelato dan dua botol air mineral dingin sudah diantarkan ke tempat duduk mereka. Taehyung mulai menyendok gelatonya.

“Enak?”

“Enak kok. Kamu survei dulu, ya?” Tanya Taehyung.

“Iya, hehe. Soalnya aku ga mau nanti pas di perjalanan bingung mau pergi kemana.”

“Kapan surveinya?”

“Ada deh.” Jimin tersenyum jahil yang membuat Taehyung memajukan bibirnya. Gemas rasanya ingin ...

“Ini udah di Gelato, ayo cerita.” Tagih Taehyung.

“Di bedah anak gitu-gitu aja, Tae. Aku kuliah, presentasi kasus, seminar, asistensi operasi, belum lagi aku operasi bedah umum juga. Not special thing malah kesannya membosankan.”

Taehyung menatap tangan Jimin yang berada di atas meja. “Tapi kamu sudah banyak menyelamatkan nyawa orang, apalagi tangan kamu ini.” Ucap Taehyung.

“Itu tugas aku sebagai dokter, Tae.”

“Pasti capek banget, ya?” Lagi. Ekspresi cemas terlihat dari wajah Taehyung.

“Capek pasti ada, Tae. Wajar itu. Tapi ada rasa lega dan senang aja kalau lihat pasien-pasien aku bisa sembuh dan seperti sedia kala. Apalagi kebanyakan pasien aku anak-anak.”

“Sekarang berarti lebih banyak operasi pasien anak-anak, ya?”

“Iya. Dan itu buat aku tambah banyak-banyak bersyukur.”

“Kenapa?”

“Jadi kebanyakan pasien yang aku operasi itu ... Kamu lagi makan, Tae.”

“Ngga apa-apa, aku ngga gampang itu kok.”

“Ya, pasien aku kebanyakan penderita Atresia Ani. Jadi itu kondisi di mana anak-anak terlahir dengan keadaan maaf, hm anus yang ngga sempurna. Dan malah ada yang ngga memiliki lubang anus sejak lahir.”

“Ada yang begitu? Aku baru tahu. Terus nanti dia gimana pup-nya?”

“Dibuatin lubang dulu di perutnya, namanya lubang kolostomi, nanti pup-nya dibuang kesana, dipasangin kantung namanya colostomi bag. Kalau berat bayi atau anaknya sudah mencukupi baru bisa dioperasi, itu juga tahapnya panjang banget.”

“Kasihan padahal masih kecil.”

“Iya, Tae, makanya dari sana aku jadi banyak bersyukur. Kayak hal sepele buat kita misalnya, di luar sana malah banyak yang ngga bisa melakukannya, ngga bisa normal.”

“Kayak kamu dulu, di mana aku nafas gampang banget, tapi bagi kamu itu malah susah dan menyakitkan.” Wajah Taehyung benar-benar menunjukkan wajah sedih dan cemas.

“Tae.” Ucap Jimin perlahan. “Habisin gelato-nya sudah mau meleleh.” Jimin tidak ingin mengganti suasana ini menjadi suasana sedih. Biarkan mencair dan manis seperti gelato yang sedang Taehyung dan dirinya makan saat ini.

Setelah menghabiskan gelato, Jimin mengajak Taehyung keliling Kota Trisa sambil menunggu waktu makan siang. Karena Taehyung masih kenyang sebab menghabiskan gelato cup besar oleh dirinya sendiri (Jimin hanya memakan sedikit), mereka baru makan siang jam 3 sore di sebuah tempat makan di Pantai Barat. Jimin bilang biar sekalian lihat sunset.

Sunset di sini bagus banget, Tae, nanti kamu bisa foto-foto yang banyak. Aku lihat di ponsel, sunset hari ini jam 6.15. Jam 5 kita cari spot bagus ya, sekarang makan dulu.”

Hari itu Jimin sudah seperti tour guide. Sudah ini jadwalnya ini, sudah itu jadwalnya itu. Taehyung hanya mengikuti. Mereka berdua cerita satu sama lain mengenai apa yang mereka jalani selama 2 tahun terakhir. Kegiatan sehari-hari, hobi, kejadian lucu, dan lainnya— yang ringan-ringan dulu kata Jimin.

Jam sudah menunjukkan jam 5 sore. Pantai Barat sudah mulai diisi oleh turis baik domestik maupun internasional yang ingin menatap indahnya matahari terbenam. Jimin dan Taehyung pun turut serta dan akhirnya menemukan spot terbaik untuk melihat sunset.

“Hasil foto-foto kamu bagus, Tae.” Ucap Jimin duduk di atas pasir bersebelahan dengan Taehyung. Dia sedang asyik melihat tablet Taehyung yang berisi foto-foto yang telah Taehyung ambil.

“Biasa aja.”

“Bagus, tahu.” Ucap Jimin. “Aku seneng kamu bisa menikmati hidup kamu, Tae. Kamu bisa jalani hobi fotografi kamu, hobi lukis kamu, bahkan kamu rutin travelling kayak gini. Hal yang dulu ngga bisa kamu lakuin sebelumnya.”

“Aku cuma jalani apa yang kamu pinta.” Jawab Taehyung singkat. Dia menunduk sambil membuat tulisan-tulisan acak di atas pasir.

“Taehyung tahu ngga soal magic hour?” Tanya Jimin mengalihkan pembicaraan. Taehyung menyadari itu. “Satu jam sebelum matahari terbenam dan terbit, kalau di fotografi namanya magic hour soalnya warnanya indah dan cantik, bagus untuk difoto. Nah, sekarang magic hour untuk sunset dulu, ya?”

Taehyung hanya mengangguk perlahan. Dia lalu memasang tripod dan membetulkan posisi yang tepat untuk memotret sunset. Dia sekarang sudah siap sementara Jimin memandangi Taehyung dari samping yang asyik membidik dengan kameranya. Tanpa sadar, tangan Jimin menyentuh rambut Taehyung memasukkan ke samping daun telinganya.

“Cantik.”

Sunset-nya?” Tanya Taehyung masih menghadap sunset dan masih membidik dengan kameranya.

“Kamu.”

Pandangan Taehyung lalu beralih ke Jimin. Semburat lembayung berwarna orange mewarnai wajah keduanya. Jimin masih lekat memandang Taehyung. Satu tangannya di rambut Taehyung mengusapnya perlahan.

Matahari kian lama kian terbenam. Cahaya orange itu mulai memudar menuju ke transisi warna malam. Jimin masih menatap Taehyung dengan lekat. Wajahnya kini semakin mendekat ke wajah Taehyung. Tangan Jimin sekarang berada di belakang leher Taehyung. Jarak mereka semakin dekat. Nafas mereka pun terasa satu sama lain. Taehyung mulai memejamkan matanya.

“Tae, aku mau jawab semua pertanyaan kamu sekarang.” Bisik Jimin di telinga Taehyung yang langsung membuat Taehyung membuka matanya. Salah sinyal.

Dalam suasana malam setelah terbenamnya matahari, mereka berdua masih duduk di atas pasir dengan pemandangan deburan ombak dan angin pantai.

“Untuk soal yayasan,” Jimin mulai membuka suara. “Hal itu udah direncanakan jauh-jauh hari, Tae. Hanya saja keputusan akta yayasannya baru keluar setelah kita berpisah. Pun sama untuk soal rumah juga.”

Jimin menatap Taehyung. Wajah Taehyung hanya disinari oleh lampu-lampu cafe yang berada di dekat pantai.

“Hari saat aku baru tahu kalau selama ini aku nyakitin kamu adalah hari yang membuat aku sangat terpukul, Tae. Kenyataan di mana kamu nahan sakit selama 3 tahun terakhir setiap aku kesakitan, sungguh ngga bisa aku terima. Aku ngga punya nyali untuk bertemu kamu. Aku gagal. Aku pecundang. Aku brengsek dan jahat banget sama kamu.”

Suara Jimin mulai bergetar. Matanya mulai berair.

“Aku sakit, Tae. Bukan hanya di fisik tapi psikis juga. Trauma aku waktu kecil ngebentuk diri aku menjadi punya tendensi untuk menyakiti orang lain ketika aku kesakitan tanpa aku sadari. Dan aku telah melakukannya ke kamu. Ke kamu, Tae, orang yang paling aku sayangi.”

Dada Jimin mulai nyeri. Nafasnya mulai sesak.

“Min, jangan diterusin kalau sakit dadanya, ngga apa-apa nanti aja.” Taehyung mendekatkan duduknya ke Jimin. Mengusap pundak Jimin yang mulai naik turun tak beraturan.

“Aku ngga apa-apa, Tae, aku udah janji mau jelasin semua.” Jimin mulai menarik nafasnya perlahan dan menghembuskannya. “Karena itu, Tae, yang aku pikirkan saat itu adalah melepaskan kamu. Hubungan kita akan menjadi toksik jika terus dibiarkan. Aku problematik. Aku sakit dan aku ngga mau biarkan kamu ikut menanggungnya juga.”

“Min.” Mata Taehyung mulai berkaca-kaca. Dadanya ikut nyeri mendengarnya.

“Aku memutuskan untuk terapi ke psikiater atas saran Namjoon. Aku ingin sembuh. Aku ngga mau terus nyakitin kamu, Tae. Dan terapi itu melelahkan dan menyakitkan. Setiap selesai terapi, aku pasti muntah dan sakit. Pernah satu waktu, Namjoon dan Yoongi datang ke apartemen aku dan menemukan aku udah pingsan pasca terapi.”

“Jimin.” Taehyung langsung mendekap tubuh Jimin. “Kenapa? Kenapa ngga minta aku temani kamu kayak waktu kamu sakit, Min? Saat paru-paru kamu sakit, aku bisa temani kamu.”

“Ngga bisa, Tae. Aku nanti akan semakin terjebak karena kamu selalu ada buat aku, kamu selalu terima aku meski aku begitu, makanya aku ga mau. Aku mau sembuh dulu sebelum benar-benar bisa sama kamu lagi.” Taehyung mengusap-usap punggung Jimin, mencoba menenangkan Jimin. “Dan kini aku sudah lepas obat, Tae, aku cuma ke psikiater kalau aku ada keluhan saja. Maka dari itu, aku baru bisa jelasin semua ini ke kamu dan bahkan baru punya nyali untuk mengajak kamu pergi seperti ini, Tae.”

Nafas Jimin semakin berat. Ditambah angin pantai yang semakin lama semakin dingin membuat Taehyung mulai panik dan meminta untuk ke mobil saja.

“Kamu bawa inhaler kan?”

“Ada di mobil.”

“Kita di mobil aja, ya, dingin di sini.”

Taehyung mulai membereskan tripod dan kameranya kedalam ransel. Kemudian dia memapah Jimin menuju mobil. Jimin lalu ditempatkan di kursi belakang.

“Min, pakai dulu inhaler-nya.”

“Tae, aku ngga apa-apa.”

Taehyung menatap Jimin dengan tajam sebuah tanda bahwa dia tidak ingin dibantah. Jimin akhirnya menurut. Dia menyempotkan inhaler-nya. Taehyung lalu memakaikan jaket dan selimut yang berada di bangku belakang. Barang-barang itu memang selalu berada di jok belakang mobil Jimin sebagai first aid jika asmanya kambuh.

“Tae.” Jimin menggenggam tangan Taehyung. “Kenapa kamu ngga benci sama aku?”

Dan ketika pertanyaan itu dilontarkan, air mata Taehyung mulai mengalir dengan deras.

“Kamu mau aku benci sama kamu?”

“Yang aku lakukan ke kamu itu jahat, Tae, bahkan selama kita pacaran pun kamu yang selalu berkorban ini itu buat aku, kamu yang jagain aku yang penyakitan ini, kamu yang—”

“Aku ngga pernah anggap kamu penyakitan dan aku ngga pernah ngerasa berkorban ini itu, kita saling, Min, aku dan kamu. Jadi tolong jangan bilang begitu. Sekarang aku anterin kamu pulang.”

Taehyung akan hendak pindah ke kursi kemudi tetapi dicegah oleh Jimin.

“Dua puluh empat jam, Tae. Satu hari. Aku minta waktu satu hari, kalau aku pulang, kita baru habiskan 15 jam, Tae, masih 9 jam lagi.”

“Jimin.”

“Aku mohon, Tae, aku ngga mau pulang. Masih ada tempat yang mau aku kunjungi sama kamu di sini, masih ada yang mau aku ceritakan ke kamu.”

“Min—”

“Tiga puluh menit, beri aku 30 menit, Tae.” Jimin meminta kompensasi waktunya untuk menenangkan diri, membiarkan inhaler-nya bereaksi.

Taehyung tertegun. Jimin sungguh-sungguh bahwa dia tidak ingin kehilangan momen 1 detik pun.

Okay.” Jawab Taehyung setelahnya.

“Aku boleh genggam tangan kamu lagi, Tae?”

Taehyung lalu memberikan tangannya dan kini tangan mereka saling bertaut. Jimin menutup matanya. Satu tangannya di keningnya. Dia melakukan square breathing untuk mengatur nafasnya. Taehyung memerhatikan dengan lekat. Nyeridadanya melihat Jimin segini bertaruhnya untuk hidup demi dirinya. Taehyung lalu mendekap tubuh Jimin, menaruh tangan yang bertaut itu di dadanya.

“Tarik 2 .. 3 .. 4, tahan 2 .. 3 .. 4, hembuskan 2 .. 3 .. 4,” Taehyung mengulang itu beberapa kali. Menuntun Jimin untuk melakukannya di sisa 30 menitnya.

Dan waktu 30 menit itu telah usai, Jimin ingin kembali ke kursi kemudi namun kini giliran Taehyung yang mencegah. Biar saja dia yang menyetir, Jimin cukup tunjukan kemana mereka akan pergi sekarang.

“Di Trisa ada tempat seperti Bukit Bintang yang di Inha, Tae. Tapi ngga setinggi di Inha.” Ucap Jimin yang sekarang berada di kursi penumpang sebelah Taehyung.

“Min, di sana dingin. Dulu kita ke Bukit Bintang, kamu kambuh.”

“Tempatnya ngga sedingin di Inha, aku pakai jaket juga sekarang.” Jimin mulai menunjukkan his puppy eyes, Taehyung mana bisa menolak.

“Kalau dada kamu sakit lagi, aku anterin pulang.”

Jimin mengangguk perlahan. Mobil pun akhirnya melaju menuju tempat yang Jimin ingin tuju. Jimin benar-benar melakukan survei dahulu sebelum mengajak Taehyung hari ini. Semua tempat sudah dia persiapkan dan perhitungkan.

Tak berapa lama tibalah mereka di sebuah tempat yang Jimin sebut Bukit Bintang versi Trisa. Tidak setinggi dan sedingin di Inha tetapi bisa melihat bintang dengan jelas. Di sekitarnya terdapat warung-warung kecil yang menjajakan minuman dan cemilan. Mobil dan motor-motor sudah terparkir di sana dengan diisi oleh orang-orang yang berbincang, tak terkecuali Taehyung dan Jimin.

“Tae, aku boleh peluk kamu dari belakang?”

Taehyung belum mengiyakan namun badannya sudah Jimin peluk dari belakang sementara dirinya bersandar di kap mobil.

“Gini dulu, ya, Tae.”

Jimin mengusap kedua tangan Taehyung. Dagunya dia taruh di pundak Taehyung.

“Tae, dulu hati aku sakit setiap kamu sedih setelah menghadiri pesta pernikahan teman. Aku tidak pernah ingin menunda, saat itu aku memang punya rencana untuk melamar kamu, Tae. Aku ingat obrolan kita di kantin RS Inha di mana kamu cerita bahwa kamu ingin mempunyai rumah untuk kita berdua yang letaknya di tengah-tengah antara Andani dan Inha. Cita-cita kamu itu yang ingin aku wujudkan, hingga di tahun kedua kita bersama, aku membeli rumah itu, mengisinya dengan perabot, untuk kita kelak, Tae. Namun lagi-lagi kejadian itu menghancurkan semua rencana yang sudah aku susun. Kejadian yang sebenarnya sudah sejak lama dan akhirnya meledak. Dan itu semua gara-gara aku.”

“Min.” Taehyung mengusap balik tangan Jimin memberikan dia ketenangan.

“Aku ingin menebusnya, Tae. Semua luka, semua sedih, semua sakit yang kamu lalui dan alami karena aku. Apa masih bisa? Apa masih ada kesempatan itu?”

Taehyung melepaskan dekapan Jimin.

“Aku pesan susu hangat dulu.” Taehyung kemudian pergi meninggalkan Jimin yang merasa salah langkah barusan.

“Ini minum dulu.” Taehyung menyerahkan susu hangat kepada Jimin. Dia menjadi kikuk dan canggung. “Bagus bintangnya, ya?”

Jimin tahu Taehyung sedang mengalihkan pembicaraan. Mungkin dia terlalu cepat dan terburu-buru. Bagaimana bisa dua tahun tak memberikan kabar lalu tiba-tiba meminta kesempatan untuk kembali?

“Tae.”

“Iya?”

“Ada yang mau kamu tanyakan lagi? Atau ada penjelasan aku yang kurang jelas tentang ini semua?” Tanya Jimin. Dia ingin menekankan semua ini sudah clear sebelum membicarakan hal itu kembali.

“Udah jelas kok.” Ucap Taehyung singkat.

“Taehyung, aku minta maaf atas semua kesalahan yang aku lakukan ke kamu. Atas segala perbuatan aku yang sudah menyakiti hati kamu. Aku tulus minta maaf, Tae.”

“Iya, Min.” Ada jeda sebelum Taehyung melanjutkan perkataannya kembali. “Sudah ini mau apa lagi?”

“Kenapa, Tae? Udah ngantuk, ya? Atau bosen?”

“Ngga kok, aku cuma tanya aja.”

“Mau makan jagung bakar? Nanti kita makan di warung.”

“Udah itu?”

“Aku ingin lihat magic hour dua kali sama kamu; sunset dan sunrise, Tae.”

“Kalau sunrise di Pantai Timur, ya?”

“Iya, lumayan 30 menit dari sini. Sunrise-nya 5.35 jadi jam 4.30 kita sudah berangkat.”

Okay, yaudah ayo makan jagung bakar.” Taehyung mendahului Jimin berjalan menuju warung yang Jimin tunjukkan tadi. Jimin pun mengikuti dengan tersenyum.

Mereka lalu berbincang hal-hal yang ringan kembali. Penjelasan Jimin setelah sunset itu cukup membuat keduanya tegang bahkan hingga Jimin harus merasakan sesak lagi. Mereka berbicara dan berbagi cerita yang satu sama lain tak dilewatkan secara bersama-sama dalam dua tahun terakhir ini.

Tak terasa waktu fajar semakin dekat. Mereka mulai kembali ke mobil dan menuju Pantai Timur. Taehyung masih yang menyetir.

“Tae, bosen ga jalan sama aku?” Tanya Jimin. Dia hanya takut.

“Ngga, Min.”

“Dari 1 sampai 10 berapa nilai kepuasannya?”

“Hah?” Taehyung melirik Jimin. “Kamu kayak Mami banget.”

“Lho kok?”

“Waktu itu aku pernah ditanya dari skor 1 – 10 seberapa cintanya aku sama kamu?”

“Seriusan Mama pernah tanya begitu?” Taehyung mengangguk. “Terus kamu jawab apa?”

“Dulu aku jawab ... eh, ini belok kemana?”

“Ke kiri. Jawab apa, Tae?”

“Hm, tak terhingga.”

Jimin terdiam sesaat. “Kalau sekarang?”

“Dijawabnya tepat 24 jam nanti.”

“Tae!” Jimin yang sudah penasaran dibuat harus menunggu lalu mengeluarkan jurus pout-nya. Tahan, tahan, Taehyung.

Mobil sudah terparkir. Mereka lalu berjalan menuju spot terbaik untuk memotret sunrise. Masih gelap namun beberapa orang sudah mulai memenuhi tempat masing-masing di sana.

“Ini terkenal, ya?”

“Iya, Tae, di Trisa, Pantai Timur ini sangat terkenal. Pasirnya putih dan bersih. Masih asri juga.”

Taehyung dan Jimin kini duduk di atas pasir putih. Taehyung mulai mengeluarkan tripod dan mengganti baterai kameranya kemudian memasangkannya di atas tripod.

“Jimin jangan ngeliatin terus, aku lusuh banget nih belum mandi dari kemarin.” Ucap Taehyung melihat Jimin dari tadi memandanginya yang sedang mengatur-atur kamera.

But, you are always pretty, Tae.”

“Jangan mulai.”

I'm serious, Tae.”

“Lima belas menit lagi sunrise-nya.” Ucap Taehyung sambil melihat ponselnya.

Jimin lalu mendekatkan jarak dirinya ke Taehyung. Dia sandarkan kepalanya ke pundak Taehyung. Pergerakan itu sedikit membuat Taehyung kaget.

“Tae, makasih ya sudah mau aku ajak jalan. Pasti capek, ya?”

“Kamu yang capek, Min, udah jaga terus ajak jalan, seharian pula.”

“Ngga pernah capek kalau sama kamu. Lagipula sehari ini ngga bisa mengganti dua tahun itu, Tae.” Lengan Jimin dikaitkan diantara lengan Taehyung. “Maaf, Tae, aku hanya susah menghilangkan segala kebiasaan ini dan jika setelah ini, kamu ngga mau ketemu aku lagi, biarkan ini benar-benar menjadi farewell untuk aku yang kangen sentuhan tangan kamu, sandaran di bahu kamu, pelukan kamu, dan semua yang di diri kamu, Tae.”

“Jimin.” Taehyung mulai melepaskan lingkaran tangan Jimin dari lengannya. Dia lalu menatap Jimin dengan dalam dan lekat.

“Apa ngga bisa kita kembali ke awal? Kembali seperti dulu. Aku tahu, Taehyung, aku sudah keterlaluan. Dua tahun pergi dan bagaimana bisa satu hari ini aku gunakan untuk menebus semuanya, aku hanya ngga tahu harus bagaimana untuk memiliki kamu kembali. Aku masih sayang sama kamu, Tae, dan perasaan itu ngga pernah berubah dari dulu.”

Fajar sudah mulai naik. Warna malam kini berangsur menguning. Wajah mereka mulai terlihat satu sama lain. Jimin dengan pandangan yang penuh harap menunggu jawaban dari Taehyung.

Alarm ponsel Taehyung berbunyi. Dia tadi memasangnya sebagai tanda dari matahari terbit.

Sunrise-nya sudah mulai muncul.”

Taehyung mengganti pandangannya ke kamera dan mulai akan memotret namun secara cepat pinggangnya ditarik oleh Jimin dan wajah Taehyung dia rengkuh hingga dalam sepersekian detik bibir mereka saling bertemu. Lumatan lembut yang Jimin berikan itu semakin dalam meski tersimpan keresahan didalamnya. Cahaya kuning matahari mulai menyinari dua insan yang sedang berpagutan itu. Jimin tak ingin lepas. Baginya, segala yang ada di Taehyung itu candu. Dan candu itu sedang sangat dia rindukan.

“Jimin.” Taehyung yang melepaskannya dulu. Selalu Taehyung yang sadar duluan.

“Tae, maaf, aku—”

“Aku mau pulang.”

Taehyung mulai memasukkan kamera dan tripod-nya. Sunrise-nya tidak jadi dia potret.

“Taehyung, aku minta maaf. Aku—”

“Jangan ngomong dulu, Min.” Ucap Taehyung. Mobil sudah Jimin bawa dan mereka mulai melaju ke penginapan Taehyung.

Tidak ada suara selama di mobil. Akankah ini benar-benar diakhiri seperti ini? Sebentar lagi tepat 24 jam waktu mereka bersama hari ini.

Mobil Jimin sudah berhenti tepat di parkiran penginapan Taehyung. Dia lalu melirik Taehyung yang sedang meremas celananya. Kepalanya tertunduk. Dia menangis.

“Tae, maaf. Jangan menangis.” Jimin ingin mengusap air mata Taehyung namun dia cegah. “Aku harus apa agar kamu ngga nangis?”

“Satu.” Ucap Taehyung singkat meski dia masih menangis.

“Tae?”

“Dari skala 1-10 seberapa cintanya aku ke kamu, jawabannya adalah satu.”

Taehyung lalu keluar dari mobil Jimin. Meninggalkan Jimin yang hanya bisa melihat punggung Taehyung masuk ke penginapan tanpa menoleh sama sekali. Rasanya ingin Jimin kejar, tapi Jimin tahu bahwa Taehyung perlu waktu untuk ini semua.

Probabilitas dalam 24 jam yang Jimin lakukan hari ini telah mencapai titik akhir. Untuk selanjutnya, entahlah, Jimin hanya bisa menundukkan kepalanya ke kemudi setirnya sekarang.

Tae, aku harus apa?

[]

➖ Tidak Akan Kalah

“Dokter Jimin!” Suara itu membuat Jimin menoleh. Pria tinggi dengan stelan kemeja biru tua dan celana kain itu menghampiri Jimin di depan lobby utama rumah sakit.

“Oh, hai, Dokter Mingyu!” Jimin menyapa balik.

Mingyu terlihat membawa sebuket bunga dan sebuah plastik yang Jimin yakini itu berisi buah-buahan dan kue. Dia lalu melihat plastik yang dia bawaㅡ toast selai strawberry buatannya dalam kotak tempat makan dan satu bungkus kelapa muda. Sungguh jauh berbeda dari yang Mingyu bawa. Jimin lalu membawa plastik itu ke belakang pinggangnya.

“Dokter praktek di sini sekarang?” Tanya Mingyu.

“Hanya kerja praktek saja kok.” Jawab Jimin. Dia lalu menatap kembali buket bunga yang Mingyu bawa. Bunga kesukaan Taehyung.

“Saya mau jenguk Kak Tae, Dok.” Ucap Mingyu seakan tahu apa yang hendak Jimin tanyakan. “Dokter tahu kan kalau Kak Tae dirawat di sini?”

“Tahu. Kebetulan saya dokter yang merawatnya.” Ucap Jimin tersenyum kikuk. Sangat awkward.

“Owalah bisa kebetulan gitu, ya?” Ucap Mingyu tertawa. “Masih bisa besuk kan? Saya izin langsung ke dokternya nih.”

“Ngga perlu izin, masih bisa besuk kok.” Ucap Jimin dengan senyum yang dipaksakan.

Okay deh, makasih ya, Dok. Kalau gitu saya duluan mau ke Kak Tae. Kapan-kapan kita ngobrol lagi. Oh, iya, main, Dok, ke Inha juga.” Ucap Mingyu.

Jimin hanya tersenyum dan mengangguk perlahan. Mingyu lalu pergi. Tinggallah Jimin dan bungkusan plastik yang tidak ada apa-apanya dibandingkan yang Mingyu bawa.

Dengan langkah gontai Jimin ke ruangan dokter. Menyimpan plastik itu di meja. Dia lalu mengganti bajunya dengan baju jaga dan memakaikan jas dokternya.

Dia memandangi plastik itu. Jimin bahkan terlewat untuk membelikan bunga bagi Taehyung. Dia pun hanya akan memberikan toast dan kelapa muda saja. Dia merasa kalah.

Jimin lalu berjalan menuju unit jaganya yang melewati kamar rawat Taehyung. Dia penasaran dan ingin melihat apa yang mereka sedang lakukan. Dari kaca pintu, dia bisa melihat Taehyung sedang berbincang dengan Mingyu. Entah apa yang mereka bicarakan, Jimin tidak dapat mendengarnya. Yang Jimin lihat adalah mereka berdua saling melempar senyum dan tawa. Ada perasaan aneh menggelitik di dadanya. Jimin tidak suka dengan pemandangan itu.

Dia lalu bersandar pada pintu kamar rawat Taehyung. Mengangkat bungkusan plastik yang masih dia bawa. Melihatnya dengan sendu. Jimin jadi teringat bahwa dia selalu 'terganggu' dengan kehadiran Mingyu. Dia pernah sangat cemburu dan marah pada Taehyung saat mereka masih pacaran karena Taehyung tak pernah bercerita soal Mingyu sebelumnya, bahkan Mingyu sampai pernah mengantar Taehyung pulang. Saat itu, demi mengobati kemarahan dan rasa cemburu Jimin, Taehyung sampai perlu pergi ke Andani untuk menemuinya. Dan kini, semua sudah berbeda. Jimin hanya menjadi penonton adegan Mingyu yang sedang menjenguk Taehyung. Dia tidak bisa apa-apa. Dia tidak punya hak bahkan hanya untuk sekedar bertanya ada hubungan apa Taehyung dan Mingyu. Dia sekarang hanya berdiri dibalik pintu.

“Dokter, mau masuk?” Suara itu membuyarkan lamunan Jimin. Seorang perawat bertanya kepada Jimin yang mungkin dari tadi mematung berdiri di depan pintu kamar rawat.

“Ah, ngga kok.” Jimin lalu terdiam. “Sus.”

“Iya, Dok?”

Terbersit keinginan Jimin untuk memberikan toast dan kelapa muda itu kepada suster namun kemudian dia urungkan. Dia tidak boleh seperti itu. Jimin sudah berjanji bahwa dia akan lebih berusaha dan berjuang.

“Ngga jadi.”

“Baik, Dok, kalau gitu saya permisi.”

Suster itu kemudian berlalu. Jimin masih berdiri di depan pintu kamar rawat Taehyung. Dia kemudian bertekad di dalam hatinya untuk tidak akan kalah.

Jimin lalu berjalan meninggalkan pintu. Sangat tidak elegan menurutnya jika dia masuk sekarang ke kamar rawat Taehyung. Biarkan saja dulu. Jimin akan menunggu sampai Mingyu selesai. Menurut Jimin, saingannya bukanlah Mingyu untuk perihal memenangkan kembali hati Taehyung, tapi dirinya sendiri— egonya yang tinggi. Jimin tahu, dia pernah berbuat kesalahan karena hal itu dan kini dia tidak ingin mengulanginya kembali.

[]

➖ Nyali Terakhir

Sebisa mungkin Jimin terus berlari kencang agar segera sampai ke kamar rawat Taehyung. Tangannya penuh. Dia membawa selimut baru dan handuk dari bagian pekarya. Dia juga membawa nierbeken dengan penutup berisikan suntikan pereda nyeri.

(Nierbeken adalah tempat dari bahan sejenis stainless steel yang biasa digunakan untuk menyimpan alat medis)

Sampai di sana, Taehyung sedang meringis kesakitan sambil meremas perutnya. Tubuhnya dingin dan menggigil.

“Tae, ini aku.” Ucap Jimin sambil menempelkan tangannya di kening Taehyung. Jimin lalu menggelar selimut yang dia bawa untuk menutupi tubuh Taehyung. Lalu kemudian dia menyuntikan obat pereda sakit melalui infus Taehyung.

“Sakit banget ya?” Ucap Jimin sambil mengusap kepala Taehyung, sesekali dia mengelap kening dan leher Taehyung yang basah oleh keringat dingin.

“Jimin, dingin.” Ucap Taehyung sambil menggigiti bibirnya. Giginya terus beradu.

Jimin sudah menaikkan AC, memakaikan selimut double untuk Taehyung, tapi Taehyung malah makin menggigil.

“Perutnya masih sakit ga?”

Taehyung menggeleng. Berarti tinggal demamnya. Jimin terdiam sejenak. Dia tidak tega terus melihat Taehyung menggigil seperti ini. Jika dia tambah obat lain, obat sebelumnya masih bereaksi untuk sakit di perut Taehyung. Hingga ada satu cara yang Jimin terbersit saat itu.

“Taehyung, maaf ya.” Jimin mengusap kepala Taehyung. Dia lalu menuju ke arah pintu dan menguncinya.

Jimin membuka selimut Taehyung. “Taehyung, maaf ya, aku buka bajunya.” Tapi Taehyung tidak menjawab. Wajahnya sudah pucat dengan keringat yang terus membanjiri tubuhnya.

Kini Taehyung sudah bertelanjang dada. Jimin menutupinya kembali dengan selimut. Sekarang giliran Jimin yang melepaskan pakaiannya. Jam prakteknya sudah selesai, dia menanggalkan jas dokternya, dan membuka bajunya. Kini dia sama dengan Taehyung sudah melepaskan atasannya.

Jimin naik ke ranjang Taehyung dan langsung membenamkan kepala Taehyung di ceruk lehernya. Dia menutupi tubuhnya dan tubuh Taehyung dengan selimut. Di tengah kesadarannya yang mulai menipis, Taehyung memeluk Jimin dengan erat. Sentuhan kulitnya ke kulit Jimin sedikit membuat Taehyung merasa hangat meski dia masih menggigil. Jimin mengusap punggung Taehyung. Langsung ke kulitnya tanpa terhalang oleh apapun.

Jimin merasa basah di dadanya. Bahu Taehyung naik turun. Mungkinkah dia menangis? Jimin semakin mengeratkan pelukannya hingga tiada jaraknya baginya dan Taehyung. Kulit mereka pun sudah saling menempel.

“Tae, jangan nangis nanti makin dehidrasi.” Jimin menepuk punggung Taehyung perlahan mencoba meredakan tangisannya. “Masih sakitkah?”

“Jimin ... Aku ... Kangen!” Di sela tangisannya Taehyung mengatakan hal itu, membuat dada Jimin menghangat sekaligus nyeri.

“Aku .. Harusnya .. Benci sama kamu. Kamu ... Udah ninggalin aku, tapi .. Aku .. Aku—”

“Udah, Tae, sekarang istirahat, ya. Maaf, maaf buat kamu sakit begini. Maaf, Tae.” Jimin ikut membenamkan wajahnya di bahu Taehyung. Matanya ikut basah. Hatinya nyeri dan linu melihat Taehyung seperti ini.

“Jangan tinggalin .. Aku lagi, Min. Udah .. Udah cukup.”

Pelukan yang awalnya untuk memberikan hangat kepada Taehyung namun malah menjadi pelukan yang penuh dengan air matanya. Keduanya menangis, saling membenamkan wajahnya ke bahu dan dada masing-masing. Ada sekat rindu, ada sekat takut, ada sekat sedih diantaranya keduanya.

“Aku ga akan tinggalin kamu lagi, Tae.” Ucap Jimin sambil mengusap belakang leher Taehyung. Membisikkannya secara lembut agar Taehyung menjadi tenang. “Maaf, ya.”

Perlahan isak Taehyung berkurang. Mungkin efek obatnya sudah benar-benar bereaksi dengan sempurna. Taehyung mulai tertidur meski dadanya masih naik turun akibat sisa tangisan. Jimin melonggarkan pelukannya dan mengusap air mata Taehyung yang masih ada di mata dan pipinya.

Jimin lalu mengecup kening Taehyung.

“Aku ga tahu harus bilang maaf berapa kali sama kamu, Tae. Sepertinya bahkan sampai sisa usia aku, aku akan selalu mengucapkan kata itu untuk kamu.”

Kemudian dia mengecup kedua mata Taehyung yang masih basah dan sudah terpejam.

“Aku selalu janji untuk mengganti tangisan kamu dengan kebahagiaan. Tapi aku selalu ngga bisa menepati janji itu. Yang aku lakukan cuma bikin kamu nangis terus. Bahkan setelah kita sekian lama ngga bertemu, yang kamu lakukan pertama kali adalah menangis didepan aku.”

Jimin menempelkan keningnya ke kening Taehyung. “Apa masih bisa aku bahagiakan kamu, Tae? Apa masih ada kesempatan untuk itu? Kamu dan aku.”

“Cepat sembuh, Tae. Aku ngga bisa lihat kamu sakit begini. Dulu bahkan kamu sakit sendiri karena aku dan itu sangat menyakitkan, Tae.”

Jimin lalu menatap wajah Taehyung yang sedang tertidur. Menggigilnya sudah mulai berkurang. Dia mengusap mata, pipi, hidung, dan bahkan bibir Taehyung dengan ibu jarinya.

“Aku janji, aku akan menebus semuanya. Aku sayang kamu, Tae, dan akan selalu begitu.”

Jimin kemudian mendekap lagi Taehyung. Membiarkan kepala Taehyung bersandar di dadanya. Jimin lalu memejamkan matanya. Saling merasakan kehangatan satu sama lain. Tangis itu pun sudah reda, terganti oleh rasa ingin menjaga, mengasihi, dan menyayangi.

Dan bagi Jimin, Taehyung adalah nyali terakhirnya yang akan sekuat tenaga untuk dia rengkuh kembali.

[]

➖ Déjà vu

Taehyung sudah tidak tahan lagi. Keringat dingin terus mengalir dari tubuhnya. Perutnya sakit dan dia terus ingin memuntahkan isi perutnya yang bahkan sudah tidak ada lagi yang bisa dia muntahkan. Seharian dia meringis kesakitan. Taehyung pikir setelah meminum obat yang dia beli dari apotek dekat dengan penginapannya, sakitnya akan mereda, tetapi tetap saja tidak. Dia bahkan sudah sangat lemas.

Merasa hal ini tidak bisa terus dibiarkan, dengan sisa tenaga yang dia punya, Taehyung memesan ojek pangkalan yang dekat penginapannya untuk mengantarnya ke klinik atau rumah sakit terdekat.

“Kang, saya bawa ke RS Trisa aja, ya, lebih dekat.” Ucap Abang Ojek yang mengantar Taehyung. Dia sudah tidak bisa menjawab apa-apa, hanya bisa mengangguk.

Setelah sampai di pelataran depan RS Trisa, Taehyung turun. Dia menolak tawaran Abang Ojek yang ingin mengantarnya sampai IGD atau setidaknya sampai menemui dokter atau perawat di sana. Taehyung menjawab bahwa dia masih bisa sendiri dari pada Abang Ojek tersebut harus memarkirkan motornya dahulu, terlalu lama bagi Taehyung berjalan jika dari parkiran motor sehingga dia memilih untuk berjalan ke IGD sendiri. Tulisan IGD sudah terlihat jelas dihadapannya. Dengan sisa tenaga yang ada, dia melangkahkan kakinya.

Taehyung sungguh merasa sial. Di liburan yang dia harapkan akan penuh dengan kesenangan, dia malah harus kesakitan seperti ini. Salahnya yang terlalu kalap ketika memakan seafood dan rasa pedas yang membuatnya ketagihan padahal sebenarnya dia tidak tahan pedas. Taehyung terus merutuki dirinya sendiri.

Tiba di depan IGD, Taehyung sudah semakin lemas. Rasanya pandangannya sudah mulai kabur. Dia samar melihat seseorang berbaju putih. Taehyung yakini dia adalah dokter.

“Dok, tolong perut saya sakit.” Hanya itu yang bisa Taehyung ucapkan di sisa tenaganya, dia sudah sangat lemas dan kakinya sudah tak kuat untuk menopang tubuhnya.

Taehyung mendengar sayup-sayup dia dipanggil-panggil. Dia masih mendengar suara namun entah rasanya seperti diredam. Pandangan Taehyung sudah mulai kabur. Yang Taehyung tahu, dia sudah diangkat dan di sana Taehyung mencium aroma wangi vanilla seperti sesuatu yang familiar baginya.

Kemudian Taehyung dibaringkan di ranjang IGD. Pakaiannya sudah basah oleh keringat dingin. Taehyung yang kesadarannya semakin menipis menjadi sadar sesadarnya meski tetap limbung ketika dia mendengar suara bahwa dia akan disuntik. Sontak Taehyung menjerit sejadinya. Dia memang lemas dan tidak berdaya tetapi tetap saja jika dihadapkan dengan jarum suntik, dia akan memberontak.

“Ngga mau, Dok, jangan disuntik!” Taehyung menangis. Dia ingin lari dan pergi dari sana namun energinya tidak cukup. Kalaupun dia memberontak yang bisa dia lakukan adalah mencengkram kerah jas dokter dihadapannya.

“Sebentar ya, ngga sakit kok.” Ucap dokter yang Taehyung cengkram jas dokternya. Taehyung semakin mengeratkan cengkramannya. Dia menolak dan memberontak.

“Bohong! Ngga mau disuntik!” Taehyung semakin menangis. Beban ganda yang dia hadapi sekarang. Sakit di perutnya dan ketakutannya akan jarum suntik.

Air mata Taehyung sudah mengalir deras. Semakin dia memberontak maka semakin habis energinya. Tapi Taehyung tetap mengibaskan tangannya. Menolak untuk disuntik. Tak selang berapa lama, Taehyung merasa dirinya didekap. Punggung dan kepalanya diusap perlahan.

“Ngga apa-apa, ngga usah takut, ya. Ada aku.” Kalimat itu begitu lembut terdengar di telinga Taehyung. Dekapan itu pun berwangi vanilla semakin Taehyung percayai bahwa suara dan wangi itu adalah yang Taehyung kenal. Tapi Taehyung mengusir pikiran itu. Berkali-kali dia yakinkan bahwa itu tidak mungkin. Tidak mungkin dia.

“Takut. Takut.” Taehyung menggigit bibirnya, melafalkan kata itu berulang kali. Lalu, Taehyung merasa jarum telah menusuk kulitnya. Taehyung tentu ingin bereaksi namun dia sudah pasrah. Semua sudah gelap dipenglihatannya. Yang dia tahu bahwa usapan lembut di punggung dan kepalanya masih terasa dan juga wangi vanilla. Wangi yang Taehyung rindukan.


Wangi etanol yang cukup kuat menyapa Taehyung. Dia mulai membuka matanya perlahan. Setelah beberapa saat, akhirnya Taehyung mulai menyadari bahwa dirinya sekarang memang terbaring di ranjang rumah sakit. Tangannya diinfus. Badannya masih dingin namun tidak terlalu berkeringat. Dan sekarang telah pagi. Seingatnya, dia ke IGD di malam hari. Ternyata dia tidur (baca: pingsan) dalam waktu yang cukup lama.

“Bapak sudah sadar?” Taehyung baru menyadari bahwa disampingnya ada suster yang tengah membenarkan cairan infusnya. “Sebentar ya, saya panggilkan dokter dulu.”

Taehyung hanya terdiam. Badannya masih lemas. Meski kini perutnya sudah tidak sesakit semalam.

Terdengar suara pintu kamar rawat Taehyung dibuka, suster tadi datang lagi. Namun seseorang yang ikut datang dibelakang suster barusan yang membuat Taehyung membuka matanya dengan lebar. Taehyung sangat kaget.

“Perutnya masih sakitkah? Masih mual?”

Taehyung tidak bisa menjawab apa-apa. Badannya mendadak kaku. Jantungnya berdebar begitu cepat. Suaranya tertahan ditenggorokannya. Suara itu, wajah itu, aroma tubuh itu— yang sangat Taehyung kenal.

“Sebentar ya, saya periksa dulu.”

Dia memakai stetoskop dan mulai menempelkannya ke perut Taehyung. Membuat Taehyung semakin kaku. Stetoskop itu lalu dipindahkan ke dadanya. Tentu saja ritmenya tidak beraturan dan berdetak sangat cepat.

“Sus, TTV-nya.”

Suster lalu memperlihatkan catatan yang dari tadi dia bawa, berisi tanda-tanda vital Taehyung pagi tadi; suhu, detak jantung, laju nafas, dan tekanan darahnya.

“Perutnya masih bising dan detak jantungnya ...”

Ada suara yang terhenti setelahnya. “Hasil lab kemarin terlihat memang ada keracunan makanan. Sebelumnya makan apa?”

Lagi-lagi Taehyung tidak menjawab. Yang dia lakukan hanya melihat dokter yang didepannya itu sangat lekat dan dalam. Bahkan Taehyung seperti tidak ingin mengedipkan matanya. Dia takut bahwa yang dihadapannya akan pergi dan hilang dari pandangannya. Matanya mulai berair. Sekali Taehyung mengedipkan atau memejamkan matanya, maka air di matanya itu akan turun membasahi pipinya.

“Sus, nanti tolong ingatkan saat jadwal makan untuk diminum obatnya, ya. Usahakan makan meski sedikit.”

“Baik, Dok.”

Jadwal visit itu sebenarnya sudah selesai. Suster seakan menunggu dokter keluar duluan namun tak ada pergerakan.

“Oh, iya, suster duluan saja kalau mau keluar, saya mesti tanya dahulu riwayat makan pasien yang kemarin.”

“Oh, baik, Dok. Saya duluan.” Suster itu lalu tersenyum ke Taehyung namun tidak Taehyung lihat, dia masih memandang dokter itu dengan lekat.

Kini tinggal mereka berdua. Taehyung mencoba duduk dan bersandar di sandaran ranjang rawatnya. Dia meringis sedikit karena perutnya masih sakit.

“Ngga usah maksain duduk, perutnya masih sakit.”

Taehyung tidak menggubrisnya. Dia hanya ingin melihat dengan jelas. Ya, seseorang dihadapannya dengan jelas. Dan tidak dapat ditahan lagi, kini air matanya Taehyung mengalir dengan deras. Dia terisak sangat dalam sambil menutup matanya dengan kedua tangannya.

“Aku pasti mimpi.” Ucap Taehyung di sela tangisannya.

“Jangan nangis, nanti makin lemas.” Tangan Taehyung digenggam untuk menurunkan tangannya yang menutupi wajahnya barusan.

“Hei, lihat sini.” Taehyung menengadahkan wajahnya. Airmatanya diusap perlahan. “Bahkan setelah sekian lama kita ngga ketemu, kamu pasti selalu nangis kalau sama aku.”

Perkataan itu malah semakin menambah deras air mata Taehyung. Nafasnya semakin tersengal. Sakit dan rindu di dadanya lebih terasa dari pada nyeri di perutnya sekarang. Taehyung lalu didekap perlahan. Punggungnya diusap dan dipeluk. Aroma vanilla itu tercium kembali. Aroma yang sama yang mengangkat Taehyung ketika sampai di IGD, yang mendekap Taehyung ketika dia sedang ketakutan akan jarum suntik, dan yang memeluknya sekarang untuk meredakan tangisnya.

Pelukan itu lalu dilepaskan. Mereka kini saling berhadapan dan saling menatap. Tangannya kembali mengusap pipi Taehyung yang basah. Taehyung memejamkan matanya. Dia ingin merasakan lebih dalam sentuhan itu. Sentuhan yang selalu mengusap air matanya. Sentuhan lembut yang selalu menenangkannya. Dia rindu. Sangat rindu.

“Tae, maaf, ya. Aku minta maaf.”

“Aku—” Suara Taehyung terpotong. Suara ponsel berdering. Percakapan itu terhenti. Tangis Taehyung sudah mulai mereda meski masih ada isak yang tersisa di sana.

“Tae, maaf, aku harus ke ruang OK.” Ucapnya setelah selesai menerima telepon. “Aku tahu kamu pasti punya banyak pertanyaan. Kamu butuh penjelasan, aku tahu. Maaf, ya, kita nanti bicara lagi. Sekarang kamu istirahat. Coba nanti makan sedikit ya, obatnya juga jangan lupa.”

“Kamu akan kesini lagi, kan?” Tanya Taehyung. Dia takut.

“Tentu, Tae, aku kan dokter kamu. Sekarang istirahat, ya.” Taehyung dibaringkan kembali. Cairan infusnya yang naik karena Taehyung tadi menangis sudah dibenarkan. Selimut pun sudah ditarik sampai dadanya. “Aku pergi dulu, ya.”

“Min.” Ucap Taehyung dengan suara paraunya sambil menggenggam sedikit jas dokter miliknya saat dia sudah hendak pergi.

“Nanti aku hubungi kamu.”

Dia lalu pergi dan hilang dari pandangan Taehyung. Benar. Taehyung memang punya banyak pertanyaan, dia memang butuh penjelasan. Namun, hatinya lebih rindu. Rindu wajahnya, genggaman tangannya, pelukannya, suara lembut yang menenangkannya, semua yang ada pada dirinya. Taehyung lalu menempelkan lengannya di keningnya. Situasi ini pernah Taehyung alami sebelumnya. Sama namun berbeda.

Bedanya kini dia rindu.

[]

➖ Kamu Tidak Sendiri

“Ini Jimin-nya ada kan di Apart? Udah lo make sure ke Joshua kan?” Tanya Yoongi. Kini, dia dan Namjoon sudah berdiri di depan pintu Apartemen Jimin.

“Udah, aman. Dia biasanya ga dinas kalau habis dari dr. Han.” Jawab Namjoon.

Yoongi mengangguk. Dia lalu menekan bel apartemen. Tiga kali namun tidak ada jawaban.

Feeling gue ga enak, Joon. Gue takut kayak waktu.”

“Yoon, jangan ngomong gitu. Lo tahu password-nya kan?”

“Tahu, makanya waktu itu gue bisa langsung terobos masuk sama Jungkook.”

“Yaudah, langsung masuk aja.”

Mereka akhirnya sepakat. Yoongi lalu menekan password di pintu apartemen. Semenjak kejadian Jimin yang hampir lewat saat jaman koas, Yoongi sangat overprotective kepada Jimin. Dia harus tahu semua tentang Jimin termasuk kode masuk apartemennya. Jika ada situasi darurat yang tidak diinginkan, Yoongi bisa segera tahu. Sama seperti kejadian yang sudah-sudah sebelumnya.

Mereka kemudian masuk. Apartemennya tampak sepi. Dipanggil beberapa kali tidak ada jawaban. Namjoon yakin Jimin ada di sini. Sepatunya ada. Mereka lalu masuk ke kamar dan tidak ada siapa-siapa, maka tempat terakhir adalah kamar mandi.

Namjoon mengetuk pintu kamar mandi dan masih tidak ada jawaban. Dia beradu pandang dengan Yoongi. Seakan sudah tahu harus apa dan bagaimana nantinya. Yoongi lalu membuka pintunya dan tidak terkunci. Betapa kagetnya mereka ketika melihat Jimin sudah terkapar didepan toilet duduknya. Wajahnya pucat dan masih ada sisa air muntahan di mulutnya.

“Jim, Jimin, bangun. Jim, ini kita, Jim!” Ucap Namjoon mencoba menyadarkan Jimin. Nafas Jimin hampir tidak terasa. Tubuhnya dingin. Jimin mulai menggeliat sedikit. Tangannya meremas kemejanya di bagian dada dan perut.

“Joon, bawa ke ranjangnya!” Perintah Yoongi.

Jimin lalu dipangku dan diletakkan di kasurnya. Berulang kali Namjoon dan Yoongi memanggil nama Jimin. Responnya masih sama, Jimin malah semakin mengerutkan tubuhnya dan terus-terusan meremas dada dan perutnya.

“Jim, bagian mana yang sakit?” Tanya Namjoon. Namun tidak ada jawaban. Jimin semakin meringis.

Yoongi lalu membuka medical kit milik Namjoon. Kemudian mengoleskan antiseptic gel di kedua tangan mereka. Namjoon dan Yoongi seakan sudah tahu apa yang mesti mereka lakukan dengan sigap tanpa banyak kompromi. Mereka sudah tahu apa tugas mereka masing-masing ketika Jimin sedang seperti ini. Yoongi memasang oximeter di ibu jari Jimin, memasang selang masker oksigen di hidung dan mulut Jimin, mengatur kadar oksigen yang masuk ke paru-paru Jimin, dan memasang pengukur tekanan darah digital. Sementara Namjoon dengan stetoskopnya mendengar ritme jantung dan bising perut Jimin. Dilanjut Yoongi mengukur suhu tubuh Jimin. Semua mereka lakukan dengan cepat dan sigap.

(Oximeter adalah alat untuk mengukur saturasi atau kadar oksigen dalam darah)

“Yoon, pake handscoon siapin ADS.” Namjoon sudah mengambil handscoon dan memakainya.

“Lo mau IV?”

“Ya, dia kesakitan gini, ngga bisa secara oral ngasihnya.”

(Handscoon = sarung tangan medis; ADS (Auto-disable Syringe) = jarum suntik sekali pakai; IV (Intravena) = pemberian obat langsung melalui vena dengan cara disuntikan, digunakan untuk mempermudah penyerapan obat; oral = pemberian obat lewat mulut)

Namjoon lalu mengulas alcohol swab pada lokasi di mana dia akan menyuntikan obat pereda sakit untuk Jimin. Dan selang setelahnya, Jimin mulai mereda, dia tidak lagi meringis kesakitan, nafasnya sudah nampak teratur meski berat. Yoongi mengusap keringat Jimin dengan handuk. Tubuhnya masih dingin meski keringat mengalir di tubuhnya. Setelah dirasa terkendali, Yoongi membereskan medical kit dan semuanya pasca pemberian first aid untuk Jimin. Mereka berdua kini terduduk sambil menghadap ranjang Jimin.

“Istirahat dulu, Joon.” Ucap Yoongi. Harus dia akui dia lelah. Menyetir dalam waktu 5 jam lalu tiba-tiba dihadapkan dengan kondisi Jimin yang seperti ini sungguh sangat menyita energinya.

“Gue ambil minum, ya.” Namjoon bangkit menuju dapur dan membuka kulkas. Namjoon tertegun sejenak. Kulkas Jimin hanya berisi botol air mineral saja. “Hm, Jimin ... Jimin.” Namjoon menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia lalu mengambil dua botol air mineral.

“Kayaknya kita mesti ke supermarket juga. Kulkas Jimin cuma isi air doang.” Ucap Namjoon sambil memberikan air minum untuk Yoongi.

“Haduh, Si Kampret ini bener-bener, ya.” Yoongi menjadi kesel dan membuat gestur seakan-akan ingin mencubit Jimin.

Positive thinking aja mungkin dia kebanyakan di rumah sakit jadi ga nyetok apapun di apart.”

“Ngga bisa posthink gue kalau sama dia.” Yoongi menghela nafasnya setelah selesai melepas dahaga. “Jim, bisa ngga sekali aja ngga bikin jantung gue mau copot? Duh, gue mesti EKG nih.”

(EKG = Elektrokardiogram, pemeriksaan kondisi kesehatan jantung)

“Tapi, Joon, kita datang di saat yang tepat. Kalau kita ngga ada, ini Jimin bakal gimana?” Ucap Yoongi. Tidak menampik wajahnya masih cemas.

“Bakal nahan sakit begini. Kalau ga tahan lagi, dia mungkin call 119 atau Joshua mungkin.”

“Opsi pertama sih dia kayaknya. Nahan sakit sendirian. Joon, ini beneran deh kita harus gantian jaga kalau sama-sama sibuk nih misalnya.”

“Iya, Yoon. Lo laper ngga? Kita take out makanan, ya, sekalian buat Jimin juga. Gue yakin dia belum makan, isi muntahannya air semua.”

Yoongi mengangguk perlahan.


“Kok kalian ada di sini?” Jimin berdiri di depan pintu kamarnya sambil melihat Namjoon dan Yoongi baru selesai menghabiskan makanannya di ruang TV.

“Nyenyak banget ya lo pingsannya sampai ga sadar kita dateng?” Ucap Yoongi dengan nada yang menyindir.

Namjoon membawa Jimin duduk di sofa ruang TV-nya. Kembali membuka medical kit untuk mengukur TTV Jimin.

“Gue ga apa-apa, Joon.”

Namjoon rasanya sudah muak mendengar ucapan itu dari mulut Jimin. Yoongi lalu memberikan bubur dan teh hangat kepada Jimin.

“Makan dulu. Habisin!” Perintah Yoongi. “Aman, Joon?” Tanya Yoongi menanyakan hasil TTV Jimin.

(TTV = Tanda-Tanda Vital; pengukuran denyut jantung, nafas, suhu tubuh, dan tekanan darah)

So far so good.”

“Tuh kan gue ga apa-apa.”

“Lo pingsan, Sat, di kamar mandi. Lo pasti ga makan dulu kan?” Tanya Yoongi.

“Gue baru beres dinas malam, terus lanjut ke dr. Han, beresnya mau order makan cuma gue keburu mual dan pusing banget.” Ungkap Jimin. Dia mulai menyantap bubur yang telah disiapkan karena dari tadi mendapat tatapan tajam dari Namjoon sebagai sinyal untuk menyuruhnya segera makan.

“Tiap lo beres terapi selalu gini ya?” Tanya Namjoon.

Jimin tidak menjawab. Dia mengunyah perlahan buburnya yang masih terasa pahit di mulutnya.

“Gue sama Namjoon sepakat kalau lo habis terapi, kita bakal stay sehari di sini buat mantau lo.” Ucap Yoongi.

Sontak Jimin kaget mendengarnya. “Ngapain? Kalian jauh-jauh dari Inha dan juga udah punya kehidupan sendiri kan? Ngga perlu sampai kayak gitu.”

“Terus kita biarin lo kesakitan gini sendirian?”

“Ngga nerima penolakan. Ini mutlak, lo cuma harus setuju. Eh, tapi lo ga setuju juga bodo amat, gue sama Namjoon tetap akan tetap kesini!” Tegas Yoongi.

“Sumpah ya—”

“Jim.” Namjoon menepuk bahu Jimin perlahan. “Udah gue bilang kan, lo ngga sendiri. Ada gue dan Yoongi. Kita ngga akan biarin lo laluin ini sendiri.”

“Tapi ini akan lama, gue juga ga tahu akan sampai kapan. Mungkin bisa aja gue ngga akan pernah sembuh.”

“Kok lo pesimis banget sih? Mau setahun, dua tahun, empat tahun, bahkan selamanya juga gue ngga peduli. Gue bakal ke Andani tiap lo beres terapi sampai lo bener-bener bisa terkontrol. Please, Jim, ngga ada lagi gue harus lihat lo terkapar kayak gitu. Jujur itu traumatis buat gue.” Mata Yoongi mulai berair. Uap panas mulai terasa keluar dari matanya. Dia rasanya ingin menangis. Sakit hatinya melihat sahabat kentalnya itu kesakitan sendiri seperti ini.

“Sama gue juga, Jim.” Namjoon mulai merangkul Jimin. “Ini pasti berat banget, ya?”

Kalimat pendek dari Namjoon barusan sudah seperti membuka keran air mata Jimin yang mungkin sudah sejak lama dia tahan. Perpisahannya dengan Taehyung, tak hanya menyisakan luka yang besar bagi Taehyung namun pula bagi Jimin. Dia terluka sangat hebat, saking sakitnya bahkan rasa sakit itu sudah kebas rasanya. Jimin mulai terisak dengan keras. Semua air matanya tumpah begitu saja. Yoongi kemudian memeluk Jimin. Air matanya pun ikut mengalir.

“Ngga apa-apa, Jim, keluarin aja. Keluarin semua, biar lo lega.” Ucap Yoongi sambil mengusap punggung Jimin.

“Ini ... Ini sulit banget! Ini ... Sakit, Joon, Yoon. Sakit banget!” Ucapan Jimin mulai terbata-bata. Nadanya bergetar hebat.

“Ngga ada yang bilang ini mudah. Ngga ada yang bilang ini ngga sakit, Jim. Tapi gue yakin lo bisa melaluinya. Gue yakin. Lihat sekarang, udah sejauh apa lo bisa berdiri sampai sekarang. Lo hebat, Jim. Lo kuat. Bukan karena lo pura-pura kuat, tapi karena lo emang kuat beneran.” Namjoon pun ikut mengusap punggung Jimin.

“Tenang, Jim, di proses ini lo akan kita temani. Ngga peduli mau selama apapun itu. Kalaupun kita capek nanti, lo juga capek, wajar. Wajar banget karena kita ini cuma manusia biasa. Ngga apa-apa buat istirahat dulu, tapi bukan untuk berhenti, karena setelahnya kita harus berjuang lagi.” Yoongi mulai menyeka air matanya.

“Dan inget ya, Jim, usaha lo ini buat kesembuhan lo. Buat lo jadi lebih baik lagi.” Tambah Namjoon.

“Makasih, guys.” Ucap Jimin. Tangisannya masih ada. Isaknya masih tersisa.

“Bisa ngga nangisnya sambil makan bubur, keburu dingin soalnya?”

“Yoongi, anjir!” Ucap Namjoon yang sudah memicingkan matanya.

Jimin yang sedang menangis, tersungging tawa sedikit di bibirnya. Yoongi memang selalu ada-ada saja di setiap saat.

Setidaknya saat itu semua menjadi terasa lebih ringan. Semua akan terlewati. Semua akan baik-baik saja. Janji mereka pada satu sama lain.

[]

Heartbreak Anniversary

Mobil Jimin sudah terparkir di depan rumah Taehyung. Rasa gugup mulai menyinggapi Taehyung. Padahal bukan kali pertama Jimin mengajaknya kencan. Tapi kali ini terasa berbeda. Setelah kejadian itu, mereka belum lagi bertemu. Jimin seperti memberi jarak. Menjadi dingin, menjadi sulit dihubungi, Taehyung takut. Pikirannya sudah kemana-mana namun semua itu berhasil dipatahkan ketika Jimin mengajaknya pergi kencan hari ini.

You look pretty, Star.” Ucap Jimin ketika Taehyung memasang seat belt-nya. Taehyung tersenyum mendengarnya.

Jimin lalu mengambil sesuatu di jok belakang dan memberikannya kepada Taehyung. Sebuah buket mawar yang besar. Taehyung kaget, terharu, senang, semua tercampur jadi satu.

“Selamat 3 tahun, Sayang.” Ucap Jimin sambil mengecup pipi Taehyung.

“Aku kira kamu lupa.”

“Ga mungkin aku lupa, Tae.”

Jimin lalu menyalakan mobilnya. Membawa mereka ke tempat kencan yang sudah dijanjikan. Jika ditanya orang yang paling bahagia saat ini siapa, jelas dia adalah Taehyung. Senyumannya terus terpatri di bibirnya. Jimin melirik sesekali. Taehyung mencium buket bunga mawarnya. Satu tangannya tak ingin lepas dari tangan Jimin. Ini terlalu indah.

Mereka akhirnya tiba. Tempatnya di roof top hotel yang di sampingnya terdapat kolam renang. Suasananya sudah didesain begitu romantis. Ada meja dan dua kursi yang sudah dipersiapkan. Jimin lalu menarik kursi untuk Taehyung duduk. Kemudian Jimin duduk di hadapannya. Wine dan steak datang menjamu mereka.

“Min, ini romantis banget.” Taehyung senang sekali. Makan malam dengan lilin serta kolam renang di sampingnya yang sudah dipenuhi lilin-lilin dan juga sebuket bunga mawar yang Jimin berikan padanya ikut dia bawa dan dia taruh di meja semakin membuat ini sangat amat indah.

“Seneng?” Tanya Jimin. Taehyung mengangguk perlahan. Jimin lalu memberikan piring yang steak-nya telah dipotong kepada Taehyung. Membuat senyuman Taehyung semakin lebar. Dia adalah manusia yang paling bahagia hari itu.

“Min, kok ga ada siapa-siapa di sini, kamu sewa ini semua ya?” Tanya Taehyung. Benar. Dari tadi Taehyung melihat tidak ada siapa-siapa selain dirinya dan Jimin serta seorang pelayan yang berada di sudut belakang. Itu pun jika dipanggil baru akan keluar.

Jimin mengangguk. “Min, jangan boros-boros.” Ucap Taehyung.

“Buat kamu ini ngga boros.” Jawab Jimin sambil mengusap pipi Taehyung.

Setelah mereka selesai makan, Jimin mengajak Taehyung untuk duduk di pinggir kolam renang sambil mencelupkan kakinya di sana. Taehyung mengiyakan. Jimin langsung berlutut untuk menggulung celana Taehyung. Makin-makin Taehyung merasa sangat spesial hari itu.

Mereka kini duduk di pinggir kolam sambil memainkan kaki mereka di dalam air. Taehyung menyandarkan kepalanya di bahu Jimin.

“Bintangnya indah, ya.” Ucap Taehyung.

“Iya.”

“Makasih untuk hari ini.” Taehyung merangkul tangan Jimin. Senyumannya dari tadi belum hilang, bahagia sudah tersungging di bibirnya.

“Tae.” Panggil Jimin.

“Iya?”

“Kita cukup di 3 tahun ini saja, ya.”

Ucapan Jimin barusan membuat Taehyung menegakkan kepalanya dan menatap Jimin yang masih memandang kolam renang.

“Maksudnya apa, Min?” Taehyung menanyakan, dia berharap ada sesuatu yang lain. Dia berharap kalimat itu artinya 3 tahun cukup bagi mereka untuk pacaran dan berlanjut ke tahap selanjutnya. Yaitu pernikahan.

“Kita sudah saja, Taehyung. Aku dan kamu.”

Namun, salah. Harapan Taehyung patah sejadinya. Dia yang beberapa saat lalu menjadi orang yang paling bahagia kini semua seakan runtuh seketika. Begitu mudahnya Jimin membuatnya menjadi orang yang paling bahagia lalu dihempaskan begitu saja.

“Kenapa, Min? Ini hari jadi kita.” Mata Taehyung sudah mulai berair. “Aku ada salah? Aku ada kurang? Kasih tahu, Min, jangan seperti ini.” Taehyung menggenggam tangan Jimin menempelkannya ke pipinya.

“Min, lihat aku, bilang kalau kamu cuma becanda. Kamu ga sungguh-sungguh kan?” Suara Taehyung bergetar hebat. Air mata itu mengalir tanpa ada isak, membasahi pipi Taehyung.

“Tae.” Jimin menatap Taehyung. Tidak ada getaran dari suara Jimin. Dia seperti benar-benar yakin akan perkataannya. “Kamu ga ada salah apa-apa. Kamu ga ada kurang apa-apa. Kamu sempurna. Kamu indah. Kamu baik, Taehyung.”

“Terus kenapa, Min?”

“Aku udah ga bisa.”

“Kamu udah ga sayang aku lagi?”

“Tae, kamu yang bahagia, ya. Senang-senang dengan diri kamu yang ga bisa kamu dapatkan selama bersama aku. Maaf aku ga pernah bisa jadi yang terbaik buat kamu, aku yang selalu menyakiti kamu, dan aku yang ga bisa buat kamu bahagia.”

Taehyung semakin mempererat genggaman tangannya. “Min, kita janji kan, bakal laluin ini bareng-bareng? Kalau soal nikah, aku ga minta cepat-cepat kok. Kamu bisa selesaikan sekolah kamu, Min, asal kita bareng-bareng terus.”

“Tae.” Jimin melepas genggaman tangan Taehyung. “Bayangan aku yang menyakiti kamu terus-menerus ada di pikiran aku, Tae. Aku ga sanggup lagi. Aku jahat bahkan sekarang yang aku lakukan jahat banget sama kamu. Jadi aku mohon, kita sudahi ini semua.”

“Min .. Aku .. Ngga .. Mau ... Kita .. Putus!” Taehyung mulai terisak. Dadanya sakit. “Aku .. Aku harus apa ... Biar kita ... Ngga putus, Min?”

“Lepasin aku, Tae, karena aku sudah melepaskan kamu.”

Tangisan Taehyung semakin menjadi-jadi. Taehyung berharap ini semua hanya mimpi. Namun sakit ini sungguh nyata. Sangat nyata.

“Bahagia, ya, Tae.” Jimin mengecup bibir Taehyung perlahan. Mata Taehyung terpejam. Hangat namun sangat menyakitkan dan menyedihkan. “Maaf dan terima kasih untuk 3 tahunnya.”

Taehyung masih memejamkan matanya. Dia masih membayangkan kecupan terakhir yang Jimin berikan padanya. Saat Taehyung membuka matanya, Jimin sudah tak ada di sampingnya. Dadanya sakit. Hatinya lebih sakit. Taehyung menutup kedua wajahnya. Dia menangis sejadinya.

“Taehyung, pulang, yuk.”

Suara itu sontak membuat Taehyung menghentikan tangisnya sesaat. Suara itu adalah suara Yoongi.

“Yoongi, Jimin ... Jimin, Yoongi!”

Yoongi menepuk-nepuk punggung Taehyung. “Aku kurang apa, Yoongi, aku salah apa?” Ucap Taehyung dengan tangisnya yang kian tak terbendung.

“Lo sempurna, Tae. Jimin-nya aja yang brengsek!” Yoongi mengusap punggung Taehyung perlahan. “Pulang, ya, gue anterin.”

[]