➖ Probabilitas Dalam 24 Jam
Hanya butuh waktu 10 menit dari tempat tinggal Jimin di Trisa menuju ke Halte Pantai Biru yang menjadi titik pertemuan dirinya dan Taehyung. Jimin sudah tiba 5 menit lebih awal dari waktu yang dijanjikan. Sengaja. Jimin tidak ingin terlambat. Dia tidak ingin kehilangan momen meski itu hanya 1 detik.
Dari jauh terlihat Taehyung berjalan menuju halte. Taehyung mengenakan kemeja biru laut dengan motif bunga dan celana kain berwarna biru tua yang senada. Dipundak kanannya tergantung tas ransel kulit berwarna hitam. Jimin menatap Taehyung dari mobilnya. Baginya, Taehyung selalu indah. Dia adalah pesona tampan dan cantik yang menjadi satu.
Jimin kemudian keluar dari mobil, menyapa Taehyung dengan senyum terbaiknya.
“Aku telat, ya?”
“Ngga kok, akunya aja yang datang kecepetan.” Jimin lalu membuka pintu mobilnya untuk Taehyung. Tersimpul senyuman kecil dari wajah Taehyung. Mereka berdua kemudian masuk ke mobil.
“Biar aku yang pasangin.” Jimin menawarkan diri untuk memasangkan seat belt kepada Taehyung. Jarak mereka kini hanya terpaut beberapa sentimeter. Atmosfer canggung pun tercipta.
“Maaf, Taehyung. Kebiasaan.”
Ya, membukakan pintu mobil dan memasangkan seat belt adalah kebiasaan yang Jimin lakukan ketika Taehyung duduk di kursi penumpang sebelahnya. Tidak dapat dipungkiri meski sudah lepas 2 tahun namun kebiasaan itu masih belum hilang.
“Mau kemana kita?” Tanya Taehyung mengusir rasa canggung diantara mereka.
“Kamu udah sarapan?”
Taehyung menggeleng. “Kita makan bubur abalone, ya? Mau? Masaknya bener kok, aku sarapan suka di sana dan ngga kenapa-napa. Semoga ngga akan sakit lagi perut kamunya.”
“Aku ikut aja.”
Persetujuan dari Taehyung itu membawa mobil Jimin melaju ke tempat yang telah diputuskan. Tak ada pembicaraan di mobil. Semua larut dalam pikiran masing-masing hingga mereka pun sampai di tempat bubur abalone.
Jimin memesankan dua bubur abalone dan dua teh hangat untuk mereka berdua.
“Kamu sering kesini?” Tanya Taehyung membuka pembicaraan.
“Lumayan. Kalau udah selesai jogging, aku suka mampir sarapan kesini.”
“Kamu jogging? Ngga apa-apa?” Terlihat semburat cemas dalam wajah Taehyung.
“Ngga, Tae, jogging santai aja kok. Aku juga mulai olahraga tipis-tipis kayak berenang, kadang nge-gym juga.”
“Ngga sakit dadanya?” Ekspresi cemas masih terpatri di wajah Taehyung.
“Ngga, Tae, kata dokter aku malah dianjurkan olahraga. Ya, yang ringan aja, berenang sih yang dianjurkan banget. Makanya aku rutin renang.”
“Oh, aku pernah baca di internet katanya berenang bagus untuk yang asma.”
Jimin tersenyum. Taehyung masih memperhatikannya.
Pesanan mereka kemudian datang. Taehyung menatap bubur abalone-nya. Ada sedikit takut pada diri Taehyung sebab sebelumnya dia sakit setelah makan seafood.
“Coba dulu, nggak akan apa-apa kok.” Ucap Jimin menenangkan.
Taehyung mulai meniupi buburnya dan memakannya sedikit dulu— sebagai permulaan.
“Enak?”
Taehyung mengangguk. Dia lalu mulai menyantap buburnya. Jimin sesekali mencuri pandang. Taehyung masih gemas ketika dia makan. Ada sedikit bubur di sudut bibir Taehyung, Jimin lalu mengambil tisu dan mengelapnya perlahan. Taehyung terdiam dan menghentikan aktivitas makannya. Coba tebak siapa yang jantung berdetak paling cepat?
“Taehyung, kegiatan sehari-harinya apa sekarang?” Jimin mulai membuka obrolan. Dua tahun mereka tak saling bertemu. Tak saling memberi kabar. Jimin hanya tahu sekilas kabar Taehyung dari Namjoon dan Yoongi. Kini, Jimin ingin tahu lebih banyak langsung dari Taehyung sendiri.
“Aku udah ngga ngajar lagi sekarang.”
“Kenapa?”
“Kerjaan ngurus yayasan lumayan menyita waktu. Sekarang aku udah tahap finalisasi untuk pembukaan SLB. Sudah disetujui oleh Dinas Pendidikan.”
“Wah ... Keren.” Jimin berbinar mendengarnya. Dia ikut senang bahwa impian Taehyung yang selalu ingin mendirikan sekolah sendiri akhirnya dapat terwujud.
“Itu karena kamu, Min.”
“Lho kok karena aku?”
Taehyung menatap Jimin. Tatapannya entah tidak bisa Jimin jelaskan artinya. “Kan kamu yang ubah nama yayasan atas nama aku. Kamu yang kasih yayasan TK Inha itu untuk aku yang sampai sekarang aku ngga tahu alasannya apa. Asalnya mau aku balikin, cuma kata Yoongi, prosesnya panjang jadi yang bisa aku lakukan adalah menerimanya.”
Taehyung menghela nafas panjang. Dia menghentikan sementara aktivitas makan buburnya yang tinggal sedikit.
“Ini pertanyaan aku yang pertama. Kenapa kamu kasih yayasan itu ke aku?” Taehyung menatap Jimin dengan tajam. Tanya yang menggunung selama dua tahun ini, baru Taehyung keluarkan satu.
“Tae, aku jawabnya nanti, ya?”
“Kapan?”
“Tetap hari ini aku jawabnya, hanya saja ...” Jimin terdiam sesaat. “Kita ngobrol hal yang ringan-ringan dulu. Hari ini masih panjang, Tae.”
Taehyung tidak membalas. Dia kemudian melanjutkan agenda makan buburnya. Jimin hanya ingin pagi ini diawali dengan bubur abalone, teh hangat, dan beberapa kabar serta obrolan ringan. Belum, belum pada jam ini untuk membicarakan hal itu.
Selepas makan bubur, Jimin mengajak Taehyung ke Museum Kelautan. Trisa adalah sebuah kota yang terkenal dengan pantai dan lautnya. Salah satu tempat favorit yang dikunjungi selain pantai adalah museum tersebut yang mengoleksi ribuan artefak hewan laut purba, sejarah Kota Trisa, dan replika maupun kapal asli tradisional pada masanya.
“Kamu sekarang lanjutin hobi fotografi kamu, ya?” Ucap Jimin ketika Taehyung mulai mengeluarkan kamera dari ranselnya.
“Iya, tapi cuma iseng-iseng aja kok.”
“Ngga apa-apa yang penting hobinya dimulai kembali.”
“Jimin, lanjutin hobi juga?” Tanya Taehyung sambil membidik replika kapal laut tradisional yang terpajang di sana.
“Hobi aku yang mana?”
“Dance.”
“Aduh, terakhir aku dance pas kuliah S1, Tae, dan ngga pernah lagi.”
“Kenapa? Kan bisa dicoba lagi biar ngga bosen di rumah sakit terus.”
“Ngga ada waktu, Tae.”
“Sibuk, ya, di bedah anak?”
Jimin mengangguk. “Ceritain kamu di bedah anak ngapain aja? Aku pengen tahu.” Ucap Taehyung.
“Cerita hal itu gimana kalau kita sambil makan gelato? Didepan museum ini ada gelato enak lho. Tapi kita keliling dulu di sini, sampai 1000 foto bisa kamu bidik deh, hehe.” Ucap Jimin diselingi tawa renyah.
“Banyak banget sampai 1000.” Jawab Taehyung sambil pout.
“Becanda, Tae. Sebanyak yang mau kamu foto aja.” Ucap Jimin sambil mengacak-acak lembut kepala Taehyung. Ya, kepala yang diacak-acak, tapi hati yang berantakan.
Setelah dirasa cukup berkeliling dan memotret di berbagai spot di Museum Kelautan. Mereka kemudian menuju ke Kedai Gelato. Tempatnya persis didepan museum, tinggal menyebrang. Jimin lalu meraih dan menggenggam tangan Taehyung saat mereka hendak menyebrang. Pegangan tangan yang bertautan itu, Taehyung pandangi bahkan hingga mereka sampai di kedai dan mulai memilih menu, tangan itu masih belum Jimin lepaskan.
“Satu cup besar untuk berdua saja ya? Aku ngga terlalu banyak makan manis, jadi nanti banyaknya buat kamu.”
Taehyung masih terdiam. Mungkin dia masih freeze karena tangan Jimin masih menggenggam erat tangannya.
“Tae?”
“Ah ... Iya, terserah, Min.” Taehyung mulai sadar dan berusaha mencerna ini semua.
“Tiga rasa ya, Mas. Strawberry, Chocolate Macaroon, sama Popcorn Caramel.” Ucap Jimin. “Itu rasa yang paling enak di sini, Tae, aku yakin kamu pasti suka.” Tambah Jimin dengan antusias. Jimin tahu selera es krim favorit Taehyung.
Mereka lalu duduk di sebuah bangku dekat dengan mural bergambar keindahan bahari Kota Trisa.
“Jimin.” Ucap Taehyung. Matanya menatap ke genggaman tangan Jimin yang dari tadi belum dia lepaskan.
“Oh, maaf .. Maaf, Tae.” Jimin lalu melepaskan genggamannya. Lagi-lagi kebiasaan.
“Hm, Tae, mau aku fotoin didepan mural itu.” Jimin menawarkan untuk melepas rasa kikuknya barusan.
“Nanti aja.” Jawab Taehyung.
Gelato dan dua botol air mineral dingin sudah diantarkan ke tempat duduk mereka. Taehyung mulai menyendok gelatonya.
“Enak?”
“Enak kok. Kamu survei dulu, ya?” Tanya Taehyung.
“Iya, hehe. Soalnya aku ga mau nanti pas di perjalanan bingung mau pergi kemana.”
“Kapan surveinya?”
“Ada deh.” Jimin tersenyum jahil yang membuat Taehyung memajukan bibirnya. Gemas rasanya ingin ...
“Ini udah di Gelato, ayo cerita.” Tagih Taehyung.
“Di bedah anak gitu-gitu aja, Tae. Aku kuliah, presentasi kasus, seminar, asistensi operasi, belum lagi aku operasi bedah umum juga. Not special thing malah kesannya membosankan.”
Taehyung menatap tangan Jimin yang berada di atas meja. “Tapi kamu sudah banyak menyelamatkan nyawa orang, apalagi tangan kamu ini.” Ucap Taehyung.
“Itu tugas aku sebagai dokter, Tae.”
“Pasti capek banget, ya?” Lagi. Ekspresi cemas terlihat dari wajah Taehyung.
“Capek pasti ada, Tae. Wajar itu. Tapi ada rasa lega dan senang aja kalau lihat pasien-pasien aku bisa sembuh dan seperti sedia kala. Apalagi kebanyakan pasien aku anak-anak.”
“Sekarang berarti lebih banyak operasi pasien anak-anak, ya?”
“Iya. Dan itu buat aku tambah banyak-banyak bersyukur.”
“Kenapa?”
“Jadi kebanyakan pasien yang aku operasi itu ... Kamu lagi makan, Tae.”
“Ngga apa-apa, aku ngga gampang itu kok.”
“Ya, pasien aku kebanyakan penderita Atresia Ani. Jadi itu kondisi di mana anak-anak terlahir dengan keadaan maaf, hm anus yang ngga sempurna. Dan malah ada yang ngga memiliki lubang anus sejak lahir.”
“Ada yang begitu? Aku baru tahu. Terus nanti dia gimana pup-nya?”
“Dibuatin lubang dulu di perutnya, namanya lubang kolostomi, nanti pup-nya dibuang kesana, dipasangin kantung namanya colostomi bag. Kalau berat bayi atau anaknya sudah mencukupi baru bisa dioperasi, itu juga tahapnya panjang banget.”
“Kasihan padahal masih kecil.”
“Iya, Tae, makanya dari sana aku jadi banyak bersyukur. Kayak hal sepele buat kita misalnya, di luar sana malah banyak yang ngga bisa melakukannya, ngga bisa normal.”
“Kayak kamu dulu, di mana aku nafas gampang banget, tapi bagi kamu itu malah susah dan menyakitkan.” Wajah Taehyung benar-benar menunjukkan wajah sedih dan cemas.
“Tae.” Ucap Jimin perlahan. “Habisin gelato-nya sudah mau meleleh.” Jimin tidak ingin mengganti suasana ini menjadi suasana sedih. Biarkan mencair dan manis seperti gelato yang sedang Taehyung dan dirinya makan saat ini.
Setelah menghabiskan gelato, Jimin mengajak Taehyung keliling Kota Trisa sambil menunggu waktu makan siang. Karena Taehyung masih kenyang sebab menghabiskan gelato cup besar oleh dirinya sendiri (Jimin hanya memakan sedikit), mereka baru makan siang jam 3 sore di sebuah tempat makan di Pantai Barat. Jimin bilang biar sekalian lihat sunset.
“Sunset di sini bagus banget, Tae, nanti kamu bisa foto-foto yang banyak. Aku lihat di ponsel, sunset hari ini jam 6.15. Jam 5 kita cari spot bagus ya, sekarang makan dulu.”
Hari itu Jimin sudah seperti tour guide. Sudah ini jadwalnya ini, sudah itu jadwalnya itu. Taehyung hanya mengikuti. Mereka berdua cerita satu sama lain mengenai apa yang mereka jalani selama 2 tahun terakhir. Kegiatan sehari-hari, hobi, kejadian lucu, dan lainnya— yang ringan-ringan dulu kata Jimin.
Jam sudah menunjukkan jam 5 sore. Pantai Barat sudah mulai diisi oleh turis baik domestik maupun internasional yang ingin menatap indahnya matahari terbenam. Jimin dan Taehyung pun turut serta dan akhirnya menemukan spot terbaik untuk melihat sunset.
“Hasil foto-foto kamu bagus, Tae.” Ucap Jimin duduk di atas pasir bersebelahan dengan Taehyung. Dia sedang asyik melihat tablet Taehyung yang berisi foto-foto yang telah Taehyung ambil.
“Biasa aja.”
“Bagus, tahu.” Ucap Jimin. “Aku seneng kamu bisa menikmati hidup kamu, Tae. Kamu bisa jalani hobi fotografi kamu, hobi lukis kamu, bahkan kamu rutin travelling kayak gini. Hal yang dulu ngga bisa kamu lakuin sebelumnya.”
“Aku cuma jalani apa yang kamu pinta.” Jawab Taehyung singkat. Dia menunduk sambil membuat tulisan-tulisan acak di atas pasir.
“Taehyung tahu ngga soal magic hour?” Tanya Jimin mengalihkan pembicaraan. Taehyung menyadari itu. “Satu jam sebelum matahari terbenam dan terbit, kalau di fotografi namanya magic hour soalnya warnanya indah dan cantik, bagus untuk difoto. Nah, sekarang magic hour untuk sunset dulu, ya?”
Taehyung hanya mengangguk perlahan. Dia lalu memasang tripod dan membetulkan posisi yang tepat untuk memotret sunset. Dia sekarang sudah siap sementara Jimin memandangi Taehyung dari samping yang asyik membidik dengan kameranya. Tanpa sadar, tangan Jimin menyentuh rambut Taehyung memasukkan ke samping daun telinganya.
“Cantik.”
“Sunset-nya?” Tanya Taehyung masih menghadap sunset dan masih membidik dengan kameranya.
“Kamu.”
Pandangan Taehyung lalu beralih ke Jimin. Semburat lembayung berwarna orange mewarnai wajah keduanya. Jimin masih lekat memandang Taehyung. Satu tangannya di rambut Taehyung mengusapnya perlahan.
Matahari kian lama kian terbenam. Cahaya orange itu mulai memudar menuju ke transisi warna malam. Jimin masih menatap Taehyung dengan lekat. Wajahnya kini semakin mendekat ke wajah Taehyung. Tangan Jimin sekarang berada di belakang leher Taehyung. Jarak mereka semakin dekat. Nafas mereka pun terasa satu sama lain. Taehyung mulai memejamkan matanya.
“Tae, aku mau jawab semua pertanyaan kamu sekarang.” Bisik Jimin di telinga Taehyung yang langsung membuat Taehyung membuka matanya. Salah sinyal.
Dalam suasana malam setelah terbenamnya matahari, mereka berdua masih duduk di atas pasir dengan pemandangan deburan ombak dan angin pantai.
“Untuk soal yayasan,” Jimin mulai membuka suara. “Hal itu udah direncanakan jauh-jauh hari, Tae. Hanya saja keputusan akta yayasannya baru keluar setelah kita berpisah. Pun sama untuk soal rumah juga.”
Jimin menatap Taehyung. Wajah Taehyung hanya disinari oleh lampu-lampu cafe yang berada di dekat pantai.
“Hari saat aku baru tahu kalau selama ini aku nyakitin kamu adalah hari yang membuat aku sangat terpukul, Tae. Kenyataan di mana kamu nahan sakit selama 3 tahun terakhir setiap aku kesakitan, sungguh ngga bisa aku terima. Aku ngga punya nyali untuk bertemu kamu. Aku gagal. Aku pecundang. Aku brengsek dan jahat banget sama kamu.”
Suara Jimin mulai bergetar. Matanya mulai berair.
“Aku sakit, Tae. Bukan hanya di fisik tapi psikis juga. Trauma aku waktu kecil ngebentuk diri aku menjadi punya tendensi untuk menyakiti orang lain ketika aku kesakitan tanpa aku sadari. Dan aku telah melakukannya ke kamu. Ke kamu, Tae, orang yang paling aku sayangi.”
Dada Jimin mulai nyeri. Nafasnya mulai sesak.
“Min, jangan diterusin kalau sakit dadanya, ngga apa-apa nanti aja.” Taehyung mendekatkan duduknya ke Jimin. Mengusap pundak Jimin yang mulai naik turun tak beraturan.
“Aku ngga apa-apa, Tae, aku udah janji mau jelasin semua.” Jimin mulai menarik nafasnya perlahan dan menghembuskannya. “Karena itu, Tae, yang aku pikirkan saat itu adalah melepaskan kamu. Hubungan kita akan menjadi toksik jika terus dibiarkan. Aku problematik. Aku sakit dan aku ngga mau biarkan kamu ikut menanggungnya juga.”
“Min.” Mata Taehyung mulai berkaca-kaca. Dadanya ikut nyeri mendengarnya.
“Aku memutuskan untuk terapi ke psikiater atas saran Namjoon. Aku ingin sembuh. Aku ngga mau terus nyakitin kamu, Tae. Dan terapi itu melelahkan dan menyakitkan. Setiap selesai terapi, aku pasti muntah dan sakit. Pernah satu waktu, Namjoon dan Yoongi datang ke apartemen aku dan menemukan aku udah pingsan pasca terapi.”
“Jimin.” Taehyung langsung mendekap tubuh Jimin. “Kenapa? Kenapa ngga minta aku temani kamu kayak waktu kamu sakit, Min? Saat paru-paru kamu sakit, aku bisa temani kamu.”
“Ngga bisa, Tae. Aku nanti akan semakin terjebak karena kamu selalu ada buat aku, kamu selalu terima aku meski aku begitu, makanya aku ga mau. Aku mau sembuh dulu sebelum benar-benar bisa sama kamu lagi.” Taehyung mengusap-usap punggung Jimin, mencoba menenangkan Jimin. “Dan kini aku sudah lepas obat, Tae, aku cuma ke psikiater kalau aku ada keluhan saja. Maka dari itu, aku baru bisa jelasin semua ini ke kamu dan bahkan baru punya nyali untuk mengajak kamu pergi seperti ini, Tae.”
Nafas Jimin semakin berat. Ditambah angin pantai yang semakin lama semakin dingin membuat Taehyung mulai panik dan meminta untuk ke mobil saja.
“Kamu bawa inhaler kan?”
“Ada di mobil.”
“Kita di mobil aja, ya, dingin di sini.”
Taehyung mulai membereskan tripod dan kameranya kedalam ransel. Kemudian dia memapah Jimin menuju mobil. Jimin lalu ditempatkan di kursi belakang.
“Min, pakai dulu inhaler-nya.”
“Tae, aku ngga apa-apa.”
Taehyung menatap Jimin dengan tajam sebuah tanda bahwa dia tidak ingin dibantah. Jimin akhirnya menurut. Dia menyempotkan inhaler-nya. Taehyung lalu memakaikan jaket dan selimut yang berada di bangku belakang. Barang-barang itu memang selalu berada di jok belakang mobil Jimin sebagai first aid jika asmanya kambuh.
“Tae.” Jimin menggenggam tangan Taehyung. “Kenapa kamu ngga benci sama aku?”
Dan ketika pertanyaan itu dilontarkan, air mata Taehyung mulai mengalir dengan deras.
“Kamu mau aku benci sama kamu?”
“Yang aku lakukan ke kamu itu jahat, Tae, bahkan selama kita pacaran pun kamu yang selalu berkorban ini itu buat aku, kamu yang jagain aku yang penyakitan ini, kamu yang—”
“Aku ngga pernah anggap kamu penyakitan dan aku ngga pernah ngerasa berkorban ini itu, kita saling, Min, aku dan kamu. Jadi tolong jangan bilang begitu. Sekarang aku anterin kamu pulang.”
Taehyung akan hendak pindah ke kursi kemudi tetapi dicegah oleh Jimin.
“Dua puluh empat jam, Tae. Satu hari. Aku minta waktu satu hari, kalau aku pulang, kita baru habiskan 15 jam, Tae, masih 9 jam lagi.”
“Jimin.”
“Aku mohon, Tae, aku ngga mau pulang. Masih ada tempat yang mau aku kunjungi sama kamu di sini, masih ada yang mau aku ceritakan ke kamu.”
“Min—”
“Tiga puluh menit, beri aku 30 menit, Tae.” Jimin meminta kompensasi waktunya untuk menenangkan diri, membiarkan inhaler-nya bereaksi.
Taehyung tertegun. Jimin sungguh-sungguh bahwa dia tidak ingin kehilangan momen 1 detik pun.
“Okay.” Jawab Taehyung setelahnya.
“Aku boleh genggam tangan kamu lagi, Tae?”
Taehyung lalu memberikan tangannya dan kini tangan mereka saling bertaut. Jimin menutup matanya. Satu tangannya di keningnya. Dia melakukan square breathing untuk mengatur nafasnya. Taehyung memerhatikan dengan lekat. Nyeridadanya melihat Jimin segini bertaruhnya untuk hidup demi dirinya. Taehyung lalu mendekap tubuh Jimin, menaruh tangan yang bertaut itu di dadanya.
“Tarik 2 .. 3 .. 4, tahan 2 .. 3 .. 4, hembuskan 2 .. 3 .. 4,” Taehyung mengulang itu beberapa kali. Menuntun Jimin untuk melakukannya di sisa 30 menitnya.
Dan waktu 30 menit itu telah usai, Jimin ingin kembali ke kursi kemudi namun kini giliran Taehyung yang mencegah. Biar saja dia yang menyetir, Jimin cukup tunjukan kemana mereka akan pergi sekarang.
“Di Trisa ada tempat seperti Bukit Bintang yang di Inha, Tae. Tapi ngga setinggi di Inha.” Ucap Jimin yang sekarang berada di kursi penumpang sebelah Taehyung.
“Min, di sana dingin. Dulu kita ke Bukit Bintang, kamu kambuh.”
“Tempatnya ngga sedingin di Inha, aku pakai jaket juga sekarang.” Jimin mulai menunjukkan his puppy eyes, Taehyung mana bisa menolak.
“Kalau dada kamu sakit lagi, aku anterin pulang.”
Jimin mengangguk perlahan. Mobil pun akhirnya melaju menuju tempat yang Jimin ingin tuju. Jimin benar-benar melakukan survei dahulu sebelum mengajak Taehyung hari ini. Semua tempat sudah dia persiapkan dan perhitungkan.
Tak berapa lama tibalah mereka di sebuah tempat yang Jimin sebut Bukit Bintang versi Trisa. Tidak setinggi dan sedingin di Inha tetapi bisa melihat bintang dengan jelas. Di sekitarnya terdapat warung-warung kecil yang menjajakan minuman dan cemilan. Mobil dan motor-motor sudah terparkir di sana dengan diisi oleh orang-orang yang berbincang, tak terkecuali Taehyung dan Jimin.
“Tae, aku boleh peluk kamu dari belakang?”
Taehyung belum mengiyakan namun badannya sudah Jimin peluk dari belakang sementara dirinya bersandar di kap mobil.
“Gini dulu, ya, Tae.”
Jimin mengusap kedua tangan Taehyung. Dagunya dia taruh di pundak Taehyung.
“Tae, dulu hati aku sakit setiap kamu sedih setelah menghadiri pesta pernikahan teman. Aku tidak pernah ingin menunda, saat itu aku memang punya rencana untuk melamar kamu, Tae. Aku ingat obrolan kita di kantin RS Inha di mana kamu cerita bahwa kamu ingin mempunyai rumah untuk kita berdua yang letaknya di tengah-tengah antara Andani dan Inha. Cita-cita kamu itu yang ingin aku wujudkan, hingga di tahun kedua kita bersama, aku membeli rumah itu, mengisinya dengan perabot, untuk kita kelak, Tae. Namun lagi-lagi kejadian itu menghancurkan semua rencana yang sudah aku susun. Kejadian yang sebenarnya sudah sejak lama dan akhirnya meledak. Dan itu semua gara-gara aku.”
“Min.” Taehyung mengusap balik tangan Jimin memberikan dia ketenangan.
“Aku ingin menebusnya, Tae. Semua luka, semua sedih, semua sakit yang kamu lalui dan alami karena aku. Apa masih bisa? Apa masih ada kesempatan itu?”
Taehyung melepaskan dekapan Jimin.
“Aku pesan susu hangat dulu.” Taehyung kemudian pergi meninggalkan Jimin yang merasa salah langkah barusan.
“Ini minum dulu.” Taehyung menyerahkan susu hangat kepada Jimin. Dia menjadi kikuk dan canggung. “Bagus bintangnya, ya?”
Jimin tahu Taehyung sedang mengalihkan pembicaraan. Mungkin dia terlalu cepat dan terburu-buru. Bagaimana bisa dua tahun tak memberikan kabar lalu tiba-tiba meminta kesempatan untuk kembali?
“Tae.”
“Iya?”
“Ada yang mau kamu tanyakan lagi? Atau ada penjelasan aku yang kurang jelas tentang ini semua?” Tanya Jimin. Dia ingin menekankan semua ini sudah clear sebelum membicarakan hal itu kembali.
“Udah jelas kok.” Ucap Taehyung singkat.
“Taehyung, aku minta maaf atas semua kesalahan yang aku lakukan ke kamu. Atas segala perbuatan aku yang sudah menyakiti hati kamu. Aku tulus minta maaf, Tae.”
“Iya, Min.” Ada jeda sebelum Taehyung melanjutkan perkataannya kembali. “Sudah ini mau apa lagi?”
“Kenapa, Tae? Udah ngantuk, ya? Atau bosen?”
“Ngga kok, aku cuma tanya aja.”
“Mau makan jagung bakar? Nanti kita makan di warung.”
“Udah itu?”
“Aku ingin lihat magic hour dua kali sama kamu; sunset dan sunrise, Tae.”
“Kalau sunrise di Pantai Timur, ya?”
“Iya, lumayan 30 menit dari sini. Sunrise-nya 5.35 jadi jam 4.30 kita sudah berangkat.”
“Okay, yaudah ayo makan jagung bakar.” Taehyung mendahului Jimin berjalan menuju warung yang Jimin tunjukkan tadi. Jimin pun mengikuti dengan tersenyum.
Mereka lalu berbincang hal-hal yang ringan kembali. Penjelasan Jimin setelah sunset itu cukup membuat keduanya tegang bahkan hingga Jimin harus merasakan sesak lagi. Mereka berbicara dan berbagi cerita yang satu sama lain tak dilewatkan secara bersama-sama dalam dua tahun terakhir ini.
Tak terasa waktu fajar semakin dekat. Mereka mulai kembali ke mobil dan menuju Pantai Timur. Taehyung masih yang menyetir.
“Tae, bosen ga jalan sama aku?” Tanya Jimin. Dia hanya takut.
“Ngga, Min.”
“Dari 1 sampai 10 berapa nilai kepuasannya?”
“Hah?” Taehyung melirik Jimin. “Kamu kayak Mami banget.”
“Lho kok?”
“Waktu itu aku pernah ditanya dari skor 1 – 10 seberapa cintanya aku sama kamu?”
“Seriusan Mama pernah tanya begitu?” Taehyung mengangguk. “Terus kamu jawab apa?”
“Dulu aku jawab ... eh, ini belok kemana?”
“Ke kiri. Jawab apa, Tae?”
“Hm, tak terhingga.”
Jimin terdiam sesaat. “Kalau sekarang?”
“Dijawabnya tepat 24 jam nanti.”
“Tae!” Jimin yang sudah penasaran dibuat harus menunggu lalu mengeluarkan jurus pout-nya. Tahan, tahan, Taehyung.
Mobil sudah terparkir. Mereka lalu berjalan menuju spot terbaik untuk memotret sunrise. Masih gelap namun beberapa orang sudah mulai memenuhi tempat masing-masing di sana.
“Ini terkenal, ya?”
“Iya, Tae, di Trisa, Pantai Timur ini sangat terkenal. Pasirnya putih dan bersih. Masih asri juga.”
Taehyung dan Jimin kini duduk di atas pasir putih. Taehyung mulai mengeluarkan tripod dan mengganti baterai kameranya kemudian memasangkannya di atas tripod.
“Jimin jangan ngeliatin terus, aku lusuh banget nih belum mandi dari kemarin.” Ucap Taehyung melihat Jimin dari tadi memandanginya yang sedang mengatur-atur kamera.
“But, you are always pretty, Tae.”
“Jangan mulai.”
“I'm serious, Tae.”
“Lima belas menit lagi sunrise-nya.” Ucap Taehyung sambil melihat ponselnya.
Jimin lalu mendekatkan jarak dirinya ke Taehyung. Dia sandarkan kepalanya ke pundak Taehyung. Pergerakan itu sedikit membuat Taehyung kaget.
“Tae, makasih ya sudah mau aku ajak jalan. Pasti capek, ya?”
“Kamu yang capek, Min, udah jaga terus ajak jalan, seharian pula.”
“Ngga pernah capek kalau sama kamu. Lagipula sehari ini ngga bisa mengganti dua tahun itu, Tae.” Lengan Jimin dikaitkan diantara lengan Taehyung. “Maaf, Tae, aku hanya susah menghilangkan segala kebiasaan ini dan jika setelah ini, kamu ngga mau ketemu aku lagi, biarkan ini benar-benar menjadi farewell untuk aku yang kangen sentuhan tangan kamu, sandaran di bahu kamu, pelukan kamu, dan semua yang di diri kamu, Tae.”
“Jimin.” Taehyung mulai melepaskan lingkaran tangan Jimin dari lengannya. Dia lalu menatap Jimin dengan dalam dan lekat.
“Apa ngga bisa kita kembali ke awal? Kembali seperti dulu. Aku tahu, Taehyung, aku sudah keterlaluan. Dua tahun pergi dan bagaimana bisa satu hari ini aku gunakan untuk menebus semuanya, aku hanya ngga tahu harus bagaimana untuk memiliki kamu kembali. Aku masih sayang sama kamu, Tae, dan perasaan itu ngga pernah berubah dari dulu.”
Fajar sudah mulai naik. Warna malam kini berangsur menguning. Wajah mereka mulai terlihat satu sama lain. Jimin dengan pandangan yang penuh harap menunggu jawaban dari Taehyung.
Alarm ponsel Taehyung berbunyi. Dia tadi memasangnya sebagai tanda dari matahari terbit.
“Sunrise-nya sudah mulai muncul.”
Taehyung mengganti pandangannya ke kamera dan mulai akan memotret namun secara cepat pinggangnya ditarik oleh Jimin dan wajah Taehyung dia rengkuh hingga dalam sepersekian detik bibir mereka saling bertemu. Lumatan lembut yang Jimin berikan itu semakin dalam meski tersimpan keresahan didalamnya. Cahaya kuning matahari mulai menyinari dua insan yang sedang berpagutan itu. Jimin tak ingin lepas. Baginya, segala yang ada di Taehyung itu candu. Dan candu itu sedang sangat dia rindukan.
“Jimin.” Taehyung yang melepaskannya dulu. Selalu Taehyung yang sadar duluan.
“Tae, maaf, aku—”
“Aku mau pulang.”
Taehyung mulai memasukkan kamera dan tripod-nya. Sunrise-nya tidak jadi dia potret.
“Taehyung, aku minta maaf. Aku—”
“Jangan ngomong dulu, Min.” Ucap Taehyung. Mobil sudah Jimin bawa dan mereka mulai melaju ke penginapan Taehyung.
Tidak ada suara selama di mobil. Akankah ini benar-benar diakhiri seperti ini? Sebentar lagi tepat 24 jam waktu mereka bersama hari ini.
Mobil Jimin sudah berhenti tepat di parkiran penginapan Taehyung. Dia lalu melirik Taehyung yang sedang meremas celananya. Kepalanya tertunduk. Dia menangis.
“Tae, maaf. Jangan menangis.” Jimin ingin mengusap air mata Taehyung namun dia cegah. “Aku harus apa agar kamu ngga nangis?”
“Satu.” Ucap Taehyung singkat meski dia masih menangis.
“Tae?”
“Dari skala 1-10 seberapa cintanya aku ke kamu, jawabannya adalah satu.”
Taehyung lalu keluar dari mobil Jimin. Meninggalkan Jimin yang hanya bisa melihat punggung Taehyung masuk ke penginapan tanpa menoleh sama sekali. Rasanya ingin Jimin kejar, tapi Jimin tahu bahwa Taehyung perlu waktu untuk ini semua.
Probabilitas dalam 24 jam yang Jimin lakukan hari ini telah mencapai titik akhir. Untuk selanjutnya, entahlah, Jimin hanya bisa menundukkan kepalanya ke kemudi setirnya sekarang.
Tae, aku harus apa?
[]