it matters how it'll end.
TW : mentioning of abortion, MPREG.
np : my everything – ariana grande.
geo menekan pedal gas dengan sungguh sungguh saat mendapati pesan dari male yang membuatnya tidak habis pikir.
berbagai pemikiran jahat mulai menghantui kepalanya,
“apakah benar zuma menggugurkan anak mereka?
“apa rasa kecewanya sebesar itu, hingga anak mereka yang harus rela menanggung akibatnya?”
“apa yang ada di dalam pikiran calon ibu tersebut hingga tega melenyapkan bayi mereka?”
“apakah sudah terlambat bagi dirinya untuk menjelaskan segala sesuatu?”
tangannya menghantam setir kuat guna melampiaskan segala kegundahan yang hendak diam dan bersemayam membuat dirinya tak ayal kecewa pada dirinya sendiri.
namun, apa mau dikata? nasi telah menjadi bubur. yang harus ia lakukan sekarang adalah, memastikan bahwa zuma dan kaito baik baik saja hingga bayang bayang jahat itu tidak lagi menghujam dirinya yang tengah dilanda kepahitan.
suara ketukan snekaers beradu begitu kental membuat sang pemilik mempercepat acuannya guna mencari seseorang yang telah ia nantikan kepulangannya selama dua hari berturut-turut.
surai hitam dengan tatapan tajam itu menyisir ke berbagai penjuru ruangan, mencari sang calon ibu beserta bayi mereka. pikirannya sudah tidak bisa dikontrol untuk tetap stabil dan normal.
logikanya kacau hanya dengan memikirkan mungkin saja zuma sedang bercumbu dengan para pria jahanam di dalam ruang gelap ini.
lama berpendar mencari tujuan yang tepat, akhirnya target yang dicari ketemu juga. matanya tak bisa melepas pandangan pada si aries yang sekarang terlihat lebih ramping dari dua hari lalu. benar kata maleakhi, ‘perutnya mengempis’. lirih geo dalam hati.
dengan kepingan hati yang tak beraturan, pria taurus itu mendekatkan dirinya pada zuma. menjangkau tubuh yang lebih kecil dalam rengkuhannya sekalipun lelaki mungil itu sedang sibuk bercengkrama dengan pria lain yang mungkin lebih menarik darinya.
“ayo pulang, moe.”
tak ada jawaban, yang didekap sama sekali tidak memberikan tanggapan apapun, bergeming saja tidak.
lima bertahan dengan posisi yang terlalu intim, zuma memberanikan diri untuk menghadap kepada geoffrey, tatapan lancangnya ia layangkan pada sang pemilik hati yang sudah terlalu banyak menyakiti dirinya selama ini.
“pulang? pulang kemana? cih, lo punya hak apa sama gue?” tantangnya dengan berani.
geoffrey semakin mendekatkan presensinya tepat dihadapan yang lebih pendek, lengan kekarnya ia kalungkan pada perut zuma guna merasakan gumpalan darah di dalam sana, “lilsun kemana, hm?”
untuk saat ini geo tidak ingin menuntut banyak, ia hanya ingin tahu dimana anak mereka berada? apakah benar zuma melenyapkan malaikat kecil mereka atau tidak. karena jika sampai iya adalah jawaban mutlak maka ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri.
“anak lo udah gaada—”
“a-apa?”
“gue aborsi, kenapa? lagian gue juga pengen nikmatin masa muda??? kaya apa yang lo bilang, siapa yang mau jadi orang tua di umur segini?” pungkasnya tanpa ragu, seakan kata kata yang baru saja keluar dari belah bibirnya tidak memberikan dampak besar.
geoffrey membeku. ah, ternyata benar? tak perlu menunggu lama, titik embun yang sedari tadi menumpuk pada bawah mata akhirnya luruh jua. anaknya, darah dagingnya, sudah tidak ada? sebenci itukah zuma padanya hingga tega melenyapkan anugrah kecil bagi mereka?
padahal sebentar lagi, hanya sebentar dan semua akan benar-benar selesai. ia rela dipukuli oleh semua anggota keluarganya bahkan keluarga karina sekalipun karena menolak perjodohan itu untuk kaito dan zuma.
tapi sepertinya semua hanyalah angan-angannya saja, bukan begitu? sampai hati zuma mengorbankan kaito padahal satu satunya orang yang pantas disalahkan disini adalah dirinya sendiri.
cukup lama bercokol dengan pikirannya yang kini tengah kosong, lelaki yang hampir menjadi calon ayah itu tidak menyimpan dendam apapun terhadap pria dihadapannya. geoffrey menyadari sungguh bahwa ini ada bayaran yang setimpal ketika dirinya dengan berani memulai tanpa tujuan yang jelas.
kembali, jemari jemarinya ia kaitkan pada yang lebih mungil sambil menggapai harapan tinggi entah untuk siapa, “padahal tinggal dikit lagi moe, dikit lagi. aku,kamu,kaito kita bisa jadi keluarga bahagia. tapi kayaknya aku buat kamu nunggu terlalu lama, maaf ya? untuk apapun yang udah terjadi, aku gak menyesali apapun. maaf karena aku terlambat ngakuin perasaanku sendiri.”
udara yang ada disekitarnya terasa menipis, bulir bulir asin kian merekah nyata sebagai bentuk penyesalan yang teramat dalam,
“selamat berbahagia, moe. aku dan kaito selalu mendoakan yang terbaik. please find your own happiness, please. kami—aku dan kaito minta maaf kalau selama ini kami banyak menyusahkan kamu moe. tolong panjang umur dan berbahagia selalu.”
jari jari mungil itu ia kecup untuk terakhir kalinya sebelum beranjak dari sana. tak lupa menyematkan cincin berlian yang sempat ia beli dengan niat besar untuk melamar pria aries tersebut.
“tolong terima ini sebagai ucapan terimakasih aku juga kaito, aku pamit.”
saat presensi jangkungnya hilang ditelan kerumunan, saat itu juga tubuh zuma meluruh diatas ubin dengan jamahan dingin sebeku hatinya malam ini,
“jangan pergi, gue cuma mau lo. gamau yang lain geoffrey, gak mau.” gumamnya pelan dengan meremat dada kirinya sebagai pengusir sesak di malam hari.
sampai sini saja ya?