poseidoonss

Warn : Family issue.


Seminggu sudah kejadian tidak mengenakkan di antara pras, aria, dan jenaka terjadi. Seminggu lebih pula mereka tidak saling berkomunikasi ya karena memang tidak ada hal penting yang perlu dibicarakan antara kedua belah pihak.

Aria takut jika ia memaksakan kehendak maka prasetya tidak akan merasa nyaman, begitupun dengan anak mereka. Aria takut ketika ia semakin memaksa keadaan anaknya akan semakin susah digapai. Aria ingin berusaha, meski dengan tertatih.

Sekarang, disini mereka berada. Aria dan sena memutuskan untuk mengunjungi kediaman prasetya yang berjarak setidaknya 30 menit dari rumah mereka. Pintu dengan aksen woody itu terkesan klasik dengan halaman yang cukup luas.

Banyak tanaman di sekitarnya dengan garasi mobil yang berdampingan dengan teras rumah. Di bagian garasi terdapat beberapa sepatu berbeda ukuran yang bisa aria tebak sebagian besar adalah sepatu jenaka karena motifnya yang terkesan ramai dengan warna mencolok seperti kuning dan merah.

‘Jenaka suka basket? persis ayah nya, dasar anak ayah’ pikir aria ketika melihat dua buah bola basket yang tergeletak begitu saja disamping rak sepeda yang diduga milik sang dominan pemilik rumah.

Mendapati aria yang melamun sembari memperhatikan barang disekitar membuat sena mau tak mau menyambangi pria itu setelah ia selesai memarkirkan mobil mereka pada halaman rumah milik prasetya. “Mikirin apa sih sambil senyum-senyum?”

Aria terkejut, “Nggak ada. Ini lagi liatin sepatunya jenaka. Kebanyakan sepatu basket, kalau jenaka suka basket, sama kayak pras berarti. Dulu pras jago banget main basket” jelasnya dengan tatapan memuja. Sena paham, aria mencintai pras, sangat mencintai nya, terlihat dari binar rubah cantik itu yang berkilauan setiap kali ia menceritakan sosok prasetya.

“Bucin, dasar. Udah yuk, masuk”

Tiba di depan pintu, keduanya memutuskan agar sena saja yang mengetuk bidang datar tersebut dengan aria yang berdiri di sebelahnya dengan beragam buah tangan entah itu makanan dan beberapa barang lain seperti baju dan action figure.

Tok! Tok! Tok!

Tak lama terdengar suara hentakan kaki yang diikuti dengan sahutan “Sebentar!” dari dalam. Dan benar saja yang menyambut mereka ada prasetya, tak lupa dengan hiraya yang setia mengekori dari belakang dengan kursi rodanya.

Sena dan Aria sontak tersenyum saat mendapati sepasang sepupu itu yang juga turut  menyambut mereka dengan senyum “Sudah datang rupanya, ayo masuk mas sena dan mas k-kala” Prasetya sempat tergugu, sedikit canggung.

“Eh, iya pras, makasih lho” 

Prasetya mengangguk.

Saat mereka berdua dipersilahkan duduk, hiraya datang dari arah dapur membawa beberapa cemilan yang refleks dibantu oleh prasetya “Kamu kok ke dapur nggak bilang-bilang ke mas? kalau jatuh gimana?” 

Hiraya hanya tersenyum sembari menggulirkan bola matanya malas yang membuat sena juga aria turut melebarkan senyuman mereka, lucu sekali kakak beradik ini, mereka memiliki keluarga yang hangat.

“Mas berlebihan deh, dah sana duduk. Aku bisa sendiri. Ini, mas sena sama kak kala, dinikmati ya, seadanya aja hehe

“Makasih banyak hiraya, pras” ujar aria yang diangguki oleh keduanya

“Sama-sama kak kala cantik” 

“Eh, by the way aku ada bawa ini buat kalian berdua, sama ayam taliwang buat jenaka.  Dimakan ya nanti?” ujar aria sembari memberikan buah tangan kepada hiraya karena pria manis itu duduk tepat di sebelahnya yang berseberangan dengan pras dan sena.

Waaah, makasih banyak kak! Aku panggil jenaka sebentar ya?”

Namun, sebelum hiraya bergegas, pras memutuskan agar ia saja yang menyambangi sang anak di kamarnya. Pras tahu bahwa jenaka tak mungkin menolak ajakan hiraya namun sejatinya hiraya tidak tahu bahwa tamu yang ia katakan kepada jenaka adalah aria dan sena.

“Biar aku aja, ya. Kamu disini bareng mas sena dan mas kala”

Hiraya mengangguk, “Ya Udah mas”

****


Kamar Jenaka

Tok! Tok! Tok!

Sesampainya di depan kusen pintu berwarna putih tulang dengan badge name ‘Jenaka P’ prasetya langsung saja memanggil putra kesayangannya, memastikan bahwa bocah itu tidak tertidur  “Bang? Abang di dalam?”

“Bentar ayah, lagi pakai baju!”

Prasetya menghela napas lega, syukur bahwa anaknya itu tidak tertidur dan benar-benar menepati janji untuk bertemu dengan tamu sang ayah yang sebenarnya tidak ia ketahui siapa.

Cklek!

“Kenapa, yah?” 

Pintu terbuka, jenaka bertanya dengan sopan kepada sang ayah tentang ada apa gerangan ayahnya itu langsung turun tangan untuk memanggilnya di kamar.

“Tamu-nya sudah dibawah, ayo?” 

Jenaka mengangguk. Ia malas sebenarnya, tapi lagi-lagi prasetya tidak pernah mengajari dirinya untuk mengingkari janji, jika sudah berjanji maka sepatutnya ditepati. Ayahnya selalu mengajarkan bahwa seorang lelaki sejati tidak pernah mengingkari janjinya.

Maka dengan setengah hati bersama dengan senyuman yang dipaksakan, jenaka bersama prasetya menghampiri ketiga orang lainnya yang sedang sibuk bercengkrama sambil tertawa, namun sayangnya tawa mereka seolah mereda karena kedatangan jenaka bersama sang ayah.

“Nah, bang ini–”

“Ayah sama Aya kenapa nggak bilang kalau dia yang datang?”

Perkataan prasetya sontak dipotong oleh yang lebih muda membuat seseorang yang seakan merasa bahwa sosok dia itu ditujukkan kepadanya langsung saja menunduk sambil memainkan jari-jarinya cemas.

Nawasena yang melihat situasi tidak kondusif langsung saja melayangkan pandangannya kepada hiraya yang juga dibalas dengan tatapan seolah berkata ‘kita harus kasih waktu buat mereka bertiga’ hingga mereka berdua berlalu dari sana dengan sena yang sukarela mendorong kursi roda milik hiraya.

Kembali dengan sepasang keluarga yang belum utuh ini.

Prasetya menghela napas lelah sembari memijat tulang hidungnya pelan, ia tahu ini akan terjadi. Namun ia tidak menyangka bahwa jenaka akan menyanggah perkataannya secepat itu sesaat setelah ia melihat sosok ibu kandungnya tengah duduk bersama si paman yang minggu lalu ia temui.

“Bang–”

“Ayah tau ‘kan? Ayah tahu sebenci apa jenaka sama dia dan ayah tega?” katanya membordir sang ayah dengan berbagai pertanyaan yang enggan dijawab oleh prasetya karena menurutnya prasangka sang anak hanya berasal dari emosi sesaat.

Melihat kedua lelakinya seolah berperang dingin membuat Aria mau tidak mau harus turun tangan, ia tahu ia belum memiliki hak sepenuhnya atas jenaka namun ia tak ingin sang anak berlaku tak sopan kepada sosok ayahnya.

“Jenaka–”

“Kenapa datang kesini? Mau ngapain? Mau cari perhatian ke siapa? Kamu cantik, tapi percuma kalau dipakai caper ke orang yang udah punya satu anak.”

“Bang.”

Aria hanya tersenyum, dirinya mengusap lengan pras lembut sebelum berjalan mendekati sosok anaknya yang telah tumbuh semakin besar. Menyampingkan sakit hatinya aria menyodorkan buah tangan yang telah ia siapkan untuk sang buah hati,

“Kamu lapar nggak? Mau makan bareng? Aku bawain–”

“Pergi.” 

“Kata ayah kamu, kamu suka ayam taliwang. Mau makan bareng?” 

Lagi-lagi aria mengesampingkan sakit hatinya demi sang putra karena ia tahu ini semua adalah bentuk hukuman yang harus ia terima karena perbuatannya di masa lalu. Dulu ia ingin melenyapkan jenaka dan sekarang jenaka yang tidak menginginkan dirinya.

Anak itu sungguh terlihat muak saat aria berdiri di hadapannya dengan senyuman terluka yang jenaka rasa, palsu. Lelaki dihadapannya ini penuh dengan kepalsuan, hanya itu yang ada di dalam otaknya ketika melihat sosok ringkih dihadapannya.

“Kalau dibilang nggak mau ya nggak mau! Tuli apa gimana sih?!” 

BRAK!

Jenaka menghempaskan makanan yang telah aria siapkan untuk dirinya, ayam taliwang kesukaannya. Namun seketika makanan tersebut menjadi penyebab sakit hatinya karena dibuatkan sosok yang tidak ia ingini kehadirannya.

“Jenaka!”

PLAK!

Wajah tampan itu tertoleh ke samping kontras dengan tamparan sang ayah yang membuat pipinya memerah. Jenaka memegang wajahnya yang memerah sembari tersenyum remeh kepada dua orang yang kini memandangnya dengan tatapan tak percaya.

“Kenapa?! Kenapa ayah tampan jenaka? Karena dia? Iya?! Karena laki-laki sialan ini?! Jangan-jangan ayah suka sama dia? Iya? Ayah suka sama orang ini? Orang ini yang katanya ibu aku padahal tega ninggalin aku dan ayah? Ayah jahat! Jenaka benci ayah!” katanya sembari mendorong bahu sang ayah juga lelaki mungil yang katanya disukai sang ayah. 

Namun sebelum kakinya berhasil menaiki tangga, bocah sepuluh tahun itu berbalik, lalu

“Aku benci sama kamu! Seorang ibu nggak akan pernah ninggalin anaknya sendiri! Kamu jahat!” berujar dengan nada benci kepada ibunya dengan sorot mata terluka.

Aria yang mendengar kalimat tersebut keluar dari bilah bibir anaknya sendiri seketika jatuh terduduk dengan memegangi dada bagian kirinya yang terasa diremas dengan kuat dari dalam, sakit rasanya.

Aksi itu mencuri perhatian prasetya yang masih sama herannya dengan aria, tindakan jenaka yang memberontak seperti tadi sungguh asing di mata dan pendengarannya. Ia memutuskan untuk menghampiri putranya nanti, sekarang yang harus ia lakukan adalah menenangkan sosok manis dalam pelukannya yang kini berderai air mata hingga tak mampu mengucap satu kata pun.

‘Jenaka, maafin ibuk. Ibuk sayang banget sama Jenaka, nak…”

Raid’s note : ini flashback sebelum chat diatas dimana aria ngabarin pras kalau jenaka udah ada sama dia ya.


Lama berlari dengan kedua kaki jenjangnya, aria sampai di taman sekitar mansion sena yang letaknya tak jauh dari rumah mewah tersebut.

Dibawah temaramnya lampu penerang jalan, aria mendapati putra satu-satunya terduduk dengan pundak yang bergetar kontras.

Jenaka menangis.

Ia bawa langkahnya mendekat, ia sungguh ingin memeluk jenaka, namun ia takut. Ia takut bahwa dirinya akan ditolak untuk kesekian kali.

Aria paham, dia mengerti bahwa dirinya memang salah dan pantas ditolak. Namun dirinya tak sampai hati melihat anaknya menangis sendirian. 

Akhirnya dengan segala keberanian yang ia punya, ia memeluk putra semata wayangnya dengan erat.

“Kamu pasti benci banget sama aku ya? Aku nggak apa dibenci sama kamu, aku udah siap. Aku memang pantas dibenci, maafin aku udah ninggalin kamu dan ayah kamu. Tapi, kali ini aku akan berusaha dapetin kalian lagi. Aku udah cukup menderita selama ini, aku nggak mau hidup aku sia-sia cuma karena aku nggak mengejar apa yang seharusnya jadi milik aku” jelasnya dengan lirih sembari mengusap pundak sang anak yang masih berada dalam dekapannya.

Aria juga mengusap surai putra kesayangannya perlahan dan jenaka tidak berbohong bahwa usapan itu sangat nyaman.

Jika biasanya bagi jenaka usapan dan pelukan aya adalah pelukan paling nyaman, namun bagi jenaka pelukan aria terasa seperti rumah.

Tiba-tiba matanya melotot mengingat ia baru saja merasa nyaman dalam dekapan seseorang yang ia benci. Jenaka sontak melepas pelukan tersebut nyaris membuat aria terjungkal yang hanya dibalas oleh senyum lirih.

“Kamu mau disini? atau mau pulang?”

Jenaka tidak menjawab. Ia seakan menganggap celotehan aria seperti angin lalu, “Jangan sok akrab” katanya.

Aria terkekeh mendengar jawaban jenaka, “Galak banget, kamu persis aku deh! Suka marah-marah!” jawabnya bercanda yang entah kenapa membuat jenaka tersenyum tipis, ternyata aria sosok yang humoris.

“Cieee ketawa, lesung pipinya keliatan tuh

Mendengar itu, jenaka kembali mendatarkan ekspresinya, “Sok tahu!”

Aria kembali tersenyum melihat anaknya yang sekarang sudah bisa menjawab perkataannya walaupun dengan nada tidak bersahabat.

“Kamu tau nggak? kamu punya lesung pipi itu turunan dari aku tau! Nih, liat. Lesung pipi kita sama kan?”

Jenaka tak kunjung menengok membuat aria harus dengan terpaksa menangkup wajah tirus tersebut untuk ia bawa saling berhadapan dengan dirinya.

“Coba senyum, dikiiiit aja”

Jenaka menggeleng, “Ih! senyum dikit doang, pelit banget...”

Jenaka lagi lagi menggeleng menampakkan ekspresi tidak suka, “Kalo nggak mau ya nggak mau!” bentak nya kepada sang ibu yang membuat aria sedikit tersentak.

“M-maaf” ujarnya lirih.

Melihat pria disampingnya terduduk dengan wajah murung membuat jenaka merasa bersalah. Terlepas dari benar atau tidaknya lelaki ini adalah ibu kandungnya, Jenaka tetap merasa bersalah. Prasetya tidak pernah mengajarkannya menjadi sosok yang kasar kepada sosok yang lebih tua.

Jenaka menelan ludahnya dengan susah payah, ia ingin meminta maaf tapi entah kenapa rasanya sulit sekali.

“Kamu nggak mau pulang? ayah kamu nyariin”

Pras mengangguk. Keduanya lalu berjalan beriringan dengan aria yang berjalan tepat di belakang putranya, ia takut berjalan berdampingan akan membuat Jenaka semakin marah kepadanya.

Anaknya sudah sangat besar, sedikit lagi sudah beranjak remaja. Aria menyayangkan dirinya yang melewatkan masa pertumbuhan Jenaka padahal masa-masa itu adalah waktu emas untuknya sebagai seorang ibu.

Sedangkan jenaka yang merasa tidak ada seorang pun yang berjalan disampingnya memutuskan untuk melihat kearah belakang dan benar saja ia mendapati aria sedang berbicara dengan seekor kucing.

Anak laki-laki itu menggulirkan bola matanya malas melihat aria yang bertingkah seperti anak kecil, kaki panjangnya ia bawa untuk menyamakan kedudukan dengan sang ibu.

“Suka kucing?” tanya nya yang disambut dengan anggukan riang aria, “Suka banget!”

“Kamu jangan deket-deket kalau punya alergi”

Jenaka mengernyit heran, darimana lelaki ini tau?

“Sok tau” katanya.

Lalu kemudian—

HATCHIII!!!

Mendengar suara bersin anaknya, aria dengan secepat kilat meletakkan kucing tersebut jauh dari jenaka sebelum berlali menghampiri jenaka dengan langkah kecilnya sembari membawa satu buah masker yang ia beli tadi sebelum menghampiri jenaka.

“Pakai maskernya dulu, ayo kita pulang. Aku boleh gandeng kamu nggak?” pintanya dengan lembut.

Jenaka sudah akan menggeleng sebelum,

“Sekaliiii aja, yayaya?”

—Aria membujuknya dengan tatapan bak anak rubah yang lucu, yang sungkan ditolak oleh siapa saja.

“Terserah”

Hihiiii, gandengan sama anak lanang~” pria rubah itu terkikik geli, kapan lagi bukan, ia bisa bergandengan dengan anak lelakinya? 

Lalu akhirnya mereka berdua berjalan menyusuri pekarangan rumah mewah tersebut dan kembali ke kediaman sena.

WARN : a semi-nsfw dialogue, teasing, contain mpreg, fake science, toxic behavior, family issue.

Usai menerima pesan dari nawasena yang mengatakan bahwa pras beserta keluarganya sudah dalam perjalanan menuju mansion, aria tanpa basa basi langsung saja bersiap-siap menampilkan versi terbaik dirinya.

Lelaki manis itu bahkan menghabiskan satu jam di kamar mandi hanya untuk berendam dan memangkas bulu-bulu halus yang terdapat disekitar area sensitifnya. Aria mematut wajah segar nya di depan cermin mengusapnya berulang kali lalu menyadari bahwa ia semakin kurus karena jadwal makannya yang berantakan.

Haaah, aku harus banyak makan setelah ini” ucapnya pada diri sendiri.

Selesai dengan urusan wajah, aria memilih baju yang akan ia kenakan malam ini, pilihannya jatuh pada mini dress berwarna merah dengan renda hitam di bagian dada. Tentunya ia tidak akan memakai pakaian ini begitu saja, ia hanya mengantisipasi jika sesuatu terjadi secara tidak sengaja antara dirinya dan prasetya.

Tubuh rampingnya ia selingi dengan celana kain berwarna hitam dengan sweater rajut berwarna biru yang membuat dirinya terlihat lebih cantik malam ini, tak lupa bibirnya ia poles dengan liptint berwarna netral sehingga ia tidak terlihat pucat.


Sesampainya di kediaman sena, lelaki manis itu langsung saja menuju dapur untuk membantu para pelayan menyajikan makan malam bagi pras dan keluarganya yang akan berkunjung.

Jangan salah, meskipun terkenal manja dan egois, aria sebenarnya merupakan sosok yang sangat lihat dalam memasak. Terbiasa hidup sendiri sejak sekolah menengah atas membuatnya harus membuat makanan sendiri kecuali saat di sekolah.

“Ria, tolong untuk dessert nya jangan terlalu manis ya? hidangkan yang asin juga, tamu kali ini kurang suka makanan manis” pintanya kepada salah seorang pelayan.

Aria mengingat betul bahwa prasetya kurang suka dengan panganan manis, pria taurus itu lebih memilih makanan asin yang gurih dan insting keibuannya berkata bahwa hal tersebut juga menurun pada anak mereka, Jenaka.

Aria juga mengatakan pada para pelayan bahwa kurangi makanan pedas dan hidangan laut karena Prasetya memiliki alergi yang serius dengan hal tersebut. Lelaki itu pernah menemaninya memakan food steam, sejenis hidangan seafood yang membuatnya harus absen di besok hari karena alerginya kambuh hingga demam tinggi.

Mengingat hal tersebut membuat aria tersenyum sendiri, prasetya se-manis itu dulu sampai-sampai mengorbankan dirinya untuk orang lain.

Namun sayangnya lamunan aria harus terhenti saat mendengar panggilan sena dari ruang tamu yang menandakan bahwa tamu mereka telah tiba.

“Kala, pras dan keluarganya udah disini!” 

Tanpa basa-basi aria langsung saja memperbaiki tatanan rambutnya, kembali memoleskan produk bibir yang setidaknya membuat dirinya semakin mempesona malam ini.

Sebelum beralih ke ruang tengah, sena menyambangi aria sebentar agar mereka dapat menyambut keluarga pras dengan lengkap mengingat lelaki itu baru saja memarkirkan mobilnya, “Ayo, pras lagi parkir mobil”  

Aria mengangguk

“Don’t be nervous kal, take a deep breath. You got this” ujar sena sembari menepuk pundak sempit pria aries tersebut.

Sesampainya di ruang tengah, sena dan aria tersenyum melihat ketiga figur berbeda ukuran yang sedang berdiri membelakangi mereka dengan satu orang diantaranya yang duduk manis di kursi roda.

“Selamat datang pras” ucap sena menyapa.

Satu keluarga kecil yang dipimpin oleh prasetya itu langsung saja mengalihkan pandangan mereka ke asal suara yang menimbulkan keterkejutan antara seorang dari mereka dengan sang pemilik rumah.

“KAMU?!”

“K-kamu?”

Ucap hiraya dan sena bersamaan yang menimbulkan tanda tanya kepada yang lain, 

“Kamu kenal mas sena, aya?” tanya pras yang memecah keheningan diantara mereka sementara jenaka dan aria hanya menjadi penonton. Bagaimana tidak? aria terlihat tidak peduli dengan pandangan yang difokuskan kepada sang anak juga ayah dari anaknya tersebut.

Ah, saya nggak nyangka bisa ketemu kamu lagi. Ayo, kita ke ruang makan terlebih dahulu. Aria bersama para pelayan sudah menyiapkan makan malam tadi” 

Kini mereka berdua beserta prasetya, hiraya, dan jenaka duduk menghadap satu sama lain dengan aria yang mengambil tempat disamping sang putra, bersiap untuk mengambil hati pangeran tampannya malam ini.

“Hai, Jenaka kan? Kita ketemu lagi” ucapnya saat bersebelahan dengan jenaka yang dibalas dengan senyum merekah sang putra, “Kakak cantik! Kak kala kan? temannya ayah dan tante monic?”

Aria mengangguk, bukan kakak sayang, tapi ibu.

Ehm, selamat malam semua. Jadi, pras dan keluarga sebelumnya maaf kalau saya mengganggu waktu malam minggu kalian tapi terima kasih untuk kehadirannya. Semoga kerjasama kita dapat berjalan baik.”

Prasetya tersenyum sambil mengangguk, “Sama-sama mas sena” 

Mereka lalu melakukan ritual bersulang yang tentunya tidak diikuti oleh Jenaka karena ia hanya memiliki jus jeruk di dalam gelas kacanya.

“Oh iya, sebelumnya Pras kamu teman SMA-nya kala kah?”

Prasetya mengangguk, ‘bahkan lebih dari itu’ ungkapnya dalam hati

“Iya, mas. Saya dan kala dulu satu sekolah”

“Terus? gimana ceritanya kamu ketemu bisa ketemu sama ibu jenaka?”

Deg!

Prasetya tersentak dengan pertanyaan sena. Pasalnya, hiraya bukanlah ibu biologis jenaka, bagaimana ia akan menceritakan semua ini kepada sena? lagipula kenapa pria itu penasaran dengan kehidupannya.

Sedangkan nawasena yang tau realita sebenarnya tentang ibu jenaka hanya memasang tampang tak berdosa, ia yakin aria juga penasaran dengan hal ini.

Pras meletakkan sendok garpunya seperti semula,”Saya ketemu ibunya jenaka setelah lulus sekolah, dan ya begitulah mas”

Sena mengernyit tak paham dengan jawaban prasetya, sebenarnya apa yang sedang ia sembunyikan? aneh.

“Mas sena sendiri? kenapa bisa kenal sama hiraya?”

Nawasena seketika mengemban senyum manis sembari menatap hiraya yang membuat lelaki gemini tersebut salah tingkah, “Oh, jadi nama kamu hiraya. Kamu tanya sendiri aja pras sama hiraya” 

Jawabannya membuat hiraya mau tak mau memfokuskan pandangannya ke depan sembari memandangi sena dengan malu-malu. Nawasena sendiri yakin tidak ada hal romantis yang terjadi kepada pras dan hiraya, mereka justru terlihat seperti sepasang adik-kakak dibanding sepasang kekasih.

“Aya?”

E-eh iya mas?” tanyanya malu-malu yang membuat aria harus mengalihkan pandangannya dari jenaka kepada mereka bertiga. Ia lebih senang bercengkrama dengan putranya, menanyakan apa yang anak itu sukai seperti apa makanan kesukaannya, hobi, dan hal hal spesifik lain yang belum ia ketahui.

Aria akan mempergunakan kesempatan ini sebisa mungkin sebelum ia memutuskan untuk jujur kepada jenaka bahwa ia adalah ibu kandung dari anak itu. Ia adalah sosok yang melahirkan lelaki tampan tersebut. Aria tau semua ini tidak akan mudah, mendapatkan hati jenaka tidak segampang itu, walaupun kelihatan hangat dan penyayang rasanya sifat jenaka akan berubah saat mengetahui bahwa aria adalah sosok yang ingin melenyapkannya dulu.

Kembali ke percakapan pras, sena, dan hiraya

“Mas sena ini dulu yang membantu aku dulu sewaktu di rumah sakit mas, dulu sebelum kamu datang sama abang ke rumah sakit. Mas sena yang bantu urus administrasi aku waktu itu, kalau nggak mungkin aku nggak bisa dirawat karena nggak punya biaya”

Pras mengangguk paham. Berbeda dengan anaknya yang sontak mengucap terimakasih,

“Terimakasih om ganteng sudah tolong aya, aya berarti sekali untuk aku dan ayah”

Mendengar hal tersebut aria sontak terdiam. Lagi-lagi ia merasa kecil. Memang benar bahwa sedari tadi ia yang berada disamping jenaka namun anak itu justru lebih memperhatikan hiraya dibanding dirinya sendiri.

“Sama-sama ganteng, enjoy your food ya”

Jenaka mengangguk. Setelahnya hanya ada keheningan yang mengisi suara di meja makan tersebut hingga pada akhirnya prasetya yang telah selesai lebih dulu menawarkan diri untuk membantu para pelayan membersihkan sisa makan malam mereka guna menghindari keheningan yang terjadi diantara mereka, dirinya dan aria karena sedari tadi lelaki manis itu tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun dari prasetya.

Lagian lelaki taurus tersebut merasa aneh karena nawasena terus saja berbincang dengan hiraya dan jenaka seakan memberi ruang bagi dirinya dan aria untuk saling berinteraksi.

Sibuk melamun dengan tingkah laku sena yang menurutnya tidak biasa, prasetya tersentak nyaris menjatuhkan piring yang sedang bilas ketika sepasang tangan ramping melingkari bahu lebarnya dengan usapan halus yang terkesan erotis,

“I still look beautiful, am I?” 

Bisikan sensual dari sang empunya tubuh seketika membuat prasetya mematung ketika wangi parfum yang ia rasa familiar mulai menyeruak masuk dalam indra penciumannya. Prasetya tidak asing dengan pemilik tubuh ini, namun ia memilih abai, melanjutkan pekerjaannya membilas piring dengan kran air yang terus mengalir.

Honey, do you miss me?” lagi, bisikan sensual kedua namun kali ini yang lebih pendek memilih untuk mengusap bahu lebar milik sang dominan dengan gerakan lambat.

“Aku tau kamu kangen sama aku, iya kan?”

Prasetya masih abai. Dia bukan dirinya yang dulu yang akan terbuai ucapan manis aria hanya dalam satu malam, lagipula aria sudah memiliki tunangan, harusnya ia sadar diri bukan? Namun sepertinya malam ini tidak, semakin di diami, tangan lentik tersebut tidak berhenti menelusuri tubuh kekarnya dari belakang.

“I wear something red inside, wanna see?”

Aria membalikkan tubuh yang lebih tinggi darinya agar mereka saling berhadapan dengan posisi aria yang sudah siap membuka kaitan bajunya,

“Aria, stop.” ujar sang dominan dengan tegas. Tangan kekarnya dengan sigap menahan tangan aria yang semakin gencar menurunkan resleting perak tersebut,

“Kenapa? Kamu malu? Pras, kita udah punya Jenaka lho? Kamu masih malu lihat aku telanjang? Imagine, kalau Jenaka lihat kita berduaan kayak gini di dapur, ayah sama ibunya udah siap buat kasih dia adik, iya kan?” 

Aria seperti sudah kehilangan akal, dia benar-benar nekat melakukan semua ini dengan sengaja karena ia tahu jika dirinya mengajak pras berbicara dengan serius, pria itu tidak akan mau. Jadi, tidak ada salahnya mencoba bukan? Justru semakin bagus jika setelah ini Jenaka tahu bahwa ibunya adalah aria, bukan hiraya.

Tidak mendapat respon apapun atas perkataannya kepada pras, lelaki aries tersebut mengalungkan kedua tangan kurusnya pada leher yang lebih tinggi tak lupa membawa lengan kekar sang dominan guna melingkari pinggang rampingnya,

“Hati aku sakit lihat jenaka sama hiraya, seharusnya yang suapin dia itu aku, yang dipanggil ibu itu aku, aku yang melahirkan jenaka, pras. Kamu saksinya kan waktu perut aku dibelah buat keluarin jenaka? Apa perlu aku samperin jenaka sekarang terus–”

“Jangan gila aria, kamu sudah punya mas sena”

“I’ll take care of it later. Sekarang kamu pilih, kamu sendiri yang jelasin ke jenaka kalau aku ibu kandungnya atau aku yang bilang sendiri?”

Mendengar pilihan dari aria yang sama sekali tidak menguntungkan dirinya membuat prasetya sontak melepas pelukan tidak sadarnya pada pinggang aria membuat sang empunya pinggang dengan gerakan terpaksa kembali melingkarkan lengan kekar tersebut pada pinggangnya, he hands fit in my waist kalau kata aria.

“Aria, tolong hentikan–”

“Hentikan apa sayang? Aku ibunya jenaka, aku punya bukti-buktinya. Justru yang jahat disini kamu, kamu udah sembunyikan fakta ini dari jenaka selama sepuluh tahun.”

“Sembunyikan apa?”

“Fakta kalau aku ibu kandung jenaka, fakta kalau dulu kita pernah gila satu sama lain sampai ada jenaka diantara kita. I still remember how hard you fuck me–”

“Aria stop.”

Aria menggelengkan kepalanya main-main sambil tersenyum mengejek, jari lentiknya mengusap dada bidang yang lebih muda perlahan, 

“Kamu inget? Malam itu kamu keluar banyaaak banget, sampai aku bisa hamil jenaka, iyakan? Sekarang kalau kita kayak sepuluh tahun lalu, kira-kira jenaka cemburu nggak kalau punya adik baru?” 

“Aria–”

“Adik baru? Siapa yang bakalan punya adik?

Sebelum prasetya mampu membungkam bibir sosok lawan bicaranya, kalimat interupsi terdengar dari depan pillar penghalang dapur dan wastafel yang menampakkan sosok buah hati keduanya dengan pandangan yang seakan berkata ‘aku dengar semuanya’ 

“Bang—”

“Jenaka dengar semuanya ayah, kalau jenaka boleh minta satu hal, Jenaka nggak mau dilahirkan dari sosok murahan kayak dia, jenaka nggak sudi punya ibu kayak dia, ibu jenaka cuma aya.” usai berkata demikian dengan nada datarnya, jenaka langsung saja meninggalkan kediaman sena yang membuat semua terheran tanpa terkecuali prasetya yang langsung mengejar anaknya.

Aria? Dirinya sudah terlampau banyak mendapat ujaran kebencian, penolakan jenaka terhadapnya tidak akan berarti apa-apa, ia akan mengejar kedua lelakinya sebisa mungkin, sampai akhir hidupnya akan ia lakukan.

Pria aries itu hanya berusaha realistis, jenaka tidak mungkin menerimanya semudah membalik telapak tangan, semua butuh perjuangan dan aria sudah siap berjuang.

Lelaki tersebut menahan langkah prasetya yang sudah akan mengejar jenaka dengan hiraya yang senantiasa duduk manis di kursi rodanya,

“Biar aku yang kejar, kamu disini aja sama sena dan hiraya. Aku janji bawa jenaka pulang” katanya sebelum berlalu dari hadapan ketiganya.

‘Kamu boleh benci ibu sekarang nak, ibu nggak apa. Kalau memang itu bikin kamu nyaman dan senang, ibu rela’ ujarnya dalam hati.

WARN : Fake Science

Selama perjalanan keduanya, sena dan aria saling terdiam. Sena yang fokus dengan kemudinya sedangkan aria yang memfokuskan pandangannya keluar menikmati pemandangan kota jakarta di siang hari.

Sesampainya mereka di lobi rumah sakit, sena berjalan lebih dulu mendahului aria yang memandang pundaknya dengan sejuta rasa bersalah. Mengenai pembahasan mereka semalam membuat aria sungkan untuk sekedar bertegur sapa.

Cklek!

Pintu terbuka, menampilkan dodie dengan jas putih kebanggannya sebagai seorang dokter

“Oh? kalian udah dateng? duduk”

Dodie mempersilahkan keduanya duduk, mereka lalu berdiskusi tentang gejala penyakit yang dialami oleh Aria seperti gangguan makan dan pencernaan serta keram  perut yang selalu ia rasakan beberapa bulan belakangan. 

Mendengar hal tersebut, Dodie mulai memerintahkan Aria untuk berbaring pada ranjang di ruangannya sembari ia menyiapkan peralatan untuk melakukan prosedur USG untuk melihat permasalahan pada bagian rahim lelaki manis tersebut.

“Ini kantung kemih kamu agak berlendir sih kal, banyakin minum air putih” 

Aria mengangguk. Lima menit sesudahnya dodie menurunkan kembali baju yang dipakai oleh aria lalu memintanya untuk kembali duduk bersama sena.

“Obat sama hasil pemeriksaannya nanti aku kirimin ke aria langsung. Memang sih sepertinya diagnosa awal hormon kamu agak bermasalah dan itu berpengaruh ke tingkat kesuburan kamu sebagai carrier” 

“Aku curiganya ini karena kamu jarang istirahat Kal, apalagi kamu kayanya jaga pola makan banget, tapi ingat diet itu ada prosedurnya, nggak bisa sesuka kamu. Yang terpenting kamu sehat, makan apapun jadi. Don’t stressed too much, take a enough sleep and rest, ya?” jelas dodie kepada sepasang anak adam dihadapannya. 

Sena hanya mengangguk, sedangkan Aria menatap dodie dengan penuh harap. Berharap lelaki itu akan membantunya seperti janjinya di whatsapp satu jam yang lalu.

“Makasih kak, tolong lakuin apapun supaya Aria bisa sembuh. Kalau ada makanan yang harus dihindari, bilang aja yang penting dia bisa sembuh total.” ujar Sena yang secara mengejutkan membuat Aria menolehkan wajah kepada lelaki leo tersebut.

Sena masih se-baik dan se-perhatian itu, lagi-lagi dia menghancurkan hati orang-orang baik disekitarnya, setelah kemarin monic dan sekarang sena.

‘Maaf’ ungkapnya dalam hati.

****

WARN ! misgendering

BGM : Set Fire to the Rain – Adele


Usai memastikan bahwa prasetya sang owner dari warung yang akan mereka jadikan tempat catering sedang berada di lokasi terkait, monic langsung saja menjemput sahabat karib nya aria untuk dibawa ke tempat dimana warung prasetya berada.

30 menit dilalui tanpa sadar, monica dan aria sekarang berada di depan sebuah warung kuno dengan tema thai vintage bercorak biru merah.

Tempat makan itu tidak terlalu besar, mengambil tema vintage sebagai patokan, suasananya pun terlihat retro nan sejuk karena pras memutuskan untuk tidak memasang pendingin udara disana, boros listrik katanya.

Monica dan Aria berkunjung di jam makan siang dimana warung tersebut sedang ramai dikunjungi oleh para pegawai kantoran. Beberapa pegawai bergerak kesana-kemari untuk membawa dan mencatat pesanan yang diinginkan oleh para pelanggan.

Melihat sahabatnya hanya terdiam, monic memutuskan untuk mencari keberadaan pras terlebih dahulu agar mereka bisa berdiskusi dengan tenang.

Dan, 

“Pras!“ 

Monic menemukan prasetya sedang sibuk menata lauk pauk dari balik kaca penghubung kasir yang sedang kosong. 

Melihat itu pras memutuskan untuk menyudahi pekerjaannya, “Aya, mas kedepan dulu ya? tamunya udah dateng” 

Hiraya mengangguk, “Iya mas, nanti aya nyusul kalau urusan dapur udah beres”

Pras kemudian mengusak surai lelaki gemini tersebut halus sebelum melayangkan kecupan di pucuk kepalanya, “Jangan capek-capek kalau abang tau kamu kerja di dapur, aku bisa diamuk” ujarnya sambil terkekeh.

Hiraya tersenyum manis, “Iya iyaa, ini nggak capek. Gih, mas kedepan udah ditunggu”

Prasetya hanya mengangguk sebelum berlalu dari hadapan hiraya.

“Hai, mon. Maaf nunggu lama” ucapnya saat berhadapan dengan monica.

Perempuan anggun itu hanya tersenyum lebar sembari mengatakan tidak apa-apa karena ia tau prasetya punya banyak kesibukan disini.

“Nggak masalah pras, temen gue udah nunggu. Ngomongnya di meja depan aja yuk?”

Pras mengangguk. Keduanya lalu menghampiri sosok cantik yang sedang duduk sembari memainkan ponselnya tanpa terganggu dengan keadaan sekitar.

“Kal, nih udah dateng ownernya”

Saat itu juga yang dipanggil mengadahkan wajahnya dan betapa terkejut dirinya saat ia tau bahwa sosok di depan ini adalah sosok yang pernah ia sakiti hatinya sepuluh tahun silam. 

Mata keduanya bertemu, namun aria bisa melihat bahwa sosok itu masih sama seperti dulu. Diam dan tak terbaca, prasetya terlalu tenang untuk ukuran orang yang baru bertemu masalalu nya lagi setelah sekian lama.

“Shakala ini Prasetya, dan Pras ini Shakala. Dia yang gue bilang mau jadiin lo sebagai juru masak di acara anniversary perusahaan tunangannya”

Prasetya mengangguk, mengulurkan tangannya untuk bersalaman “Pras” katanya dengan bibir dan mata yang juga tersenyum.

Aria menerima jabatan tangan tersebut dengan sungkan, menundukkan tatapannya karena sungguh ia tak bisa melihat pras tepat di mata lelaki taurus tersebut. Perasaan rindu itu, perasaan hangat itu seakan merajam jantungnya saat ia melihat prasetya berdiri tepat dihadapannya.

“Shakala”

Pras mengangguk. Tautan tangan keduanya terlepas. Pras mempersilahkan mereka untuk duduk sebelum memulai diskusi ketiganya. 

Monica mulai bertanya kira-kira menu catering apa yang biasanya menjadi favorit dari warung ini yang dijelaskan oleh pras dengan perlahan dan terperinci tanpa mengalihkan padangannya ke arah lain, hanya fokus pada penjelasan menu dan target penyelesaian.

Sedangkan Aria hanya mampu terdiam, ia sedang tidak dalam kondisi yang baik untuk berbicara dengan siapapun. Setelah pertengkarannya dengan sena di chat beberapa waktu lalu, lelaki manis itu mulai mempertimbangkan arah hidupnya sendiri.

Dirinya yang mengalami gangguan makan, gangguan tidur, jarang bergaul dan hanya mengandalkan tubuhnya untuk bertahan hidup, apakah ia bisa bahagia?

Matanya menelisik gerakan prasetya yang sangat sabar menjelaskan ini dan itu kepada monic dengan nada yang halus. Nada bicaranya tidak pernah berubah dan aria akui itu.

Tidak sadar telah tenggelam dalam pikiran sendiri selama sepuluh menit, lamunan aria pias seketika ketika seorang lelaki manis yang sedang mendorong kursi rodanya memanggil—

“Mas?”

—Pras dengan sebutan mas yang disambut oleh sang empunya dengan senyum manis. Pras bahkan spontan berdiri dan membantu lelaki tersebut mendorong kursi rodanya tak lupa menggendong lelaki manis tersebut hingga ia bisa duduk dengan nyaman di kursi warung yang berbahan dasar kayu.

“Kenapa nggak telepon? susah nggak dorong kursi rodanya tadi?” tanya pras lembut kepada lelaki tan yang duduk tepat disebelahnya.

Lelaki itu menggeleng, “Nggak, susah apanyaa, mas overprotective deh”

Melihat mereka berdua saling melempar senyum satu sama lain seakan dirinya dan monica adalah patung hidup membuat aria merasa kecil.

Ia tidak pernah diperlakukan seperti itu. Ia tidak pernah merasakan nada lembut seseorang ketika berbicara dengannya, bahkan ia ragu masih ada yang akan mengurusinya jika ia lumpuh.

“Lho? lo udah nikah Pras? ini siapa? manis bangeeeet” ujar monic dengan menggebu gebu.

Pertanyaan yang dilayangkan oleh monic membuat aria berdebar menanti jawaban dari pras,

“Ini ibuknya si abang mon, hiraya namanya” 

DEG!

A-apa katanya? Siapa? Lelaki manis di depannya ini adalah seorang ibu dari sosok yang dipanggil abang? Abang itu siapa?

“Abang itu anak lo kan ya? udah umur berapa sih sekarang? 10 nggak sih harusnya, kan kita udah 27” 

Pras mengangguk, “Iya mon, ibuk nya Jenaka, Jenaka dipanggil abang”

Jelas sudah. Terjawab sudah pertanyaan di dalam kepala kecil aria tentang siapa sosok abang ini sebenarnya.

Jenaka? itu nama anaknya bersama prasetya. Anak yang dulunya tidak ia inginkan namun sekarang menjadi rindu terbesarnya. Anak yang selalu ingin ia lenyapkan namun berakhir menyesalinya karena hanya Jenaka yang ia punya sebagai putra kandungnya.

Mata aria berkaca-kaca mendengar jawaban pras kepada monica. Hatinya sakit, Jenaka adalah anaknya, putra biologis nya. Ia yang melahirkan Jenaka dan sekarang pras mengakui orang lain sebagai Ibu dari Jenaka?

Dunia ini jahat namun aria rasa ia pantas untuk itu. Semua rasa sakit ini tidak sebanding dengan apa yang dirasakan oleh prasetya dulu.

Aria hanya mampu memandang miris potret keluarga dihadapannya. Pras yang begitu sigap menanyakan keperluan hiraya karena pria itu tidak bisa bergerak bebas membuat dirinya serasa diacuhkan.

Dulu, prasetya juga memperlakukannya selembut itu, dulu.

“Heh kal! lo ngomong kek! acaranya siapa sih nih sebenernya? kok jadinya malah gue yang sibuk?”

Aria tergagap, “E-eh? tadi udah sampai mana emang?“ 

Namun sebelum Pras kembali menjelaskan, aria merasa seseorang memandangnya dengan intens

“Eum permisi, kamu Arshakala Aria bukan? yang model itu?”

Aria sekali lagi tersentak, darimana pria ini mengetahui identitasnya? Perlahan lelaki manis itu mengangguk mengiyakan.

“WAAAAAH! aku seneng banget! aku ngefans banget sama kamu kak! boleh minta foto nggak?”

“Eh? kok?” Pras sudah akan menghentikan segala tindakan hiraya sebelum seseorang memotongnya terlebih dahulu,

“Iya, boleh. Aku kesitu aja biar kamu nggak banyak gerak”

Setelah itu hiraya memberikan ponselnya kepada prasetya untuk memotret mereka berdua yang hanya diterima dengan hembusan nafas yang lebih tua,

“Oke senyum ya. 1,2,3!”

CEKREK!

Begitu sesi foto selesai aria kembali ke tempatnya tanpa mengucapkan satu kata pun. Ketika mereka hendak bertukar tempat duduk, dirinya dan pras sempat bersinggungan yang membuat aria tak bisa melepaskan pandangannya barang sedetik.

“Makasih kak! kamu cantiiiik banget, semangat buat pemotretan musim selanjutnya ya!” ucap hiraya membuyarkan lamunan aria.

“Sama-sama, kamu juga manis banget”

Pipi hiraya bersemu merah, ia menyembunyikan wajahnya pada pundak sang dominan yang membuat pras mengelus puncak kepalanya halus.

“Malu-malu dianya”

“Hehe, apaansih mas!”

Lagi-lagi aria hanya mampu menelan pil pahit melihat betapa manisnya perlakuan pras kepada hiraya. Ia iri, ia tidak pernah diperlakukan seperti itu, ada yang menawarinya hidup bahagia namun ia tolak mentah-mentah dan sekarang semuanya hilang begitu saja.

By the way pras, aya anak kalian kemana? Gue kangen deh liat Jenaka, dia yang dulu lo bawa waktu ambil paket C kan ya pras?”

Prasetya mengangguk. Ya, dulu setelah aria melahirkan dan menyelesaikan ujiannya, Prasetya justru di drop out oleh sekolah karena kasus tersebut yang entah disebarkan oleh siapa membuat dirinya harus mengambil ujian paket C agar mendapat ijazah yang setara dengan pendidikan sekolah menengah atas.

Saat itu Jenaka berumur 8 bulan, sedang tidak bisa ditinggal, ayah ibunya sibuk mencari pekerjaan karena turut di keluarkan oleh pihak sekolah jadi tidak ada cara lain selain membawa Jenaka bersamanya yang saat itu baru berumur 17 tahun, terlalu belia untuk menjadi seorang ayah, namun apa boleh buat?

Tapi Prasetya tidak mengeluh, ia bahagia dengan hidupnya sekarang. Usaha kecil yang ia miliki bisa memenuhi kebutuhan keluarga kecilnya saja sudah lebih dari cukup.

Kembali ke mereka berempat, 

“Ada, bentar lagi paling—”

“Ayah! Aya!” Sebelum prasetya mampu menyelesaikan perkataan nya yang dibicarakan muncul dari balik tirai warung sembari memanggil ayah dan aya nya.

“Nah, tuh anaknya dateng. Sini nak, ayah lagi ada tamu” ucap prasetya halus sembari mengajak anaknya untuk bergabung tak lupa memberikan salam.

Jenaka melangkahkan kakinya perlahan menuju meja kedua orang tuanya bersama dengan kedua tamu lain yang tak ia kenal.

Anak tampan berumur 10 tahun itu kemudian membungkukkan tubuhnya sembilan puluh derajat tepat di depan para tamu sembari memberikan salam dan memperkenalkan diri.

“Selamat siang, maaf mengganggu. Aku Jenaka Prasetya anaknya Ayah Pras dan Aya” ujarnya dengan bangga yang membuat salah satu dari sang tamu melongo hingga menutup mulutnya tidak percaya, Ini Jenaka nya?

Ini putranya? Putranya sudah tumbuh sebesar ini? dia sangat tampan, tinggi, dan tentunya sangat sopan. Pras mendidiknya dengan baik.

“Haloooo, waaah kamu udah besar sekarang. Tampan lagi, waduhh jagoannya ayah sama ibuk nih, aku monic temen SMA ayah kamu~” ucap monic dengan nada girang.

Jenaka tersenyum mendengarnya, “Terimakasih tante monic, tante juga cantik”

Saat itu juga tawa mereka pecah, aria menipiskan bibirnya, anaknya pintar bercanda dan menghidupkan suasana.

“Bang, kenalan juga sama kak Kala, kak Kala model loh, cantik kan?”

Mendengar perintah aya nya membuat Jenaka mengalihkan pandangannya pada seseorang yang hanya diam saja sedari tadi.

“Wow....” katanya terpesona sembari memandangi wajah Aria dengan teliti.

“Kenapa bang?”

“Inimah bidadari yah, ya. Aya jaga matanya ayah jangan sampai jelalatan”

Lagi-lagi aria tersenyum lebar karena perkataan sang anak, “Terimakasih Jenaka, kamu juga ganteng kok~” gurau aria

“Lho, kalau itu jelas kak, kan gantengnya aku nurun dari ayah”

Aria mengakui nya, Jenaka benar-benar jiplakan sang ayah. Bahkan aria yang mengandung selama sembilan bulan tidak mengambil satu bagian pun. Ia senang, putranya mengatakan bahwa ia cantik bak bidadari dan hatinya menghangat karena itu.

Ternyata begini rasanya ketika kau memiliki seorang malaikat yang mampu mencairkan susasana hatimu dikala semuanya memburuk.

“Ngapain ke warung bang?” pras bertanya yang membuat aria juga dilanda penasaran.

“Abang mau minta suap sama ayaaa, sama ibuuk, kangen disuapin”

Pras tersenyum mengejek, berbeda dengan aria yang kembali melunturkan senyumannya. “Udah gede kok masih disuapin aya”

Sadar aria, ibu Jenaka disini adalah Hiraya, bukan kamu. Hatinya sedikit tergores kala sang anak mengungkap ingin dimanja oleh orang lain.

“Yaudah bang, bantu pindahin aya ke kursi roda dulu, makan nya di samping aja tuh mumpung kosong” pinta pras kepada anaknya.

Jenaka mengangguk dengan postur tegap seperti siap laksanakan tak lupa memberi gestur hormat kepada sang ayah sebelum bergegas mengangkat sosok ibu nya kembali ke kursi roda, “Waaah abang udah gede ternyata, udah bisa gendong aya”

Jenaka menaikan sebelah alis pertanda sombong, “Iya dong, aya kan cintanya aku, bakal aku urus sepenuh hati, gini doang mah kecil”

Perkataan Jenaka lagi lagi membuat perut tiga orang diantara mereka tergelitik kecuali salah satu diantara mereka yang sedang berusaha keras untuk tidak menumpahkan air matanya hanya karena melihat darah dagingnya sendiri tidak mengenalinya bahkan mereka seperti orang asing yang tak pernah bergantung hidup satu sama lain.

Perasaan aria semakin memburuk ketika melihat Jenaka dengan leluasa bermanja-manja kepada hiraya yang sedang menyuapi nya dari kursi roda yang ia tempati, tak lupa setelah acara suap-menyuap itu selesai, Jenaka mengecup kening hiraya lembut. Putra tampan nya itu bahkan mengecup punggung tangan hiraya sembari mengucap,

Terimakasih ibuk sudah suapi abang. Ibuk yang terbaik, abang sayang ibuk~

Dan aria tau saat itu juga hatinya tidak bisa bertahan lebih lama untuk mengatakan bahwa ia sakit, sakit sekali, luar biasa hingga ia bahkan tak mampu mengenali dirinya sendiri.

Miris, ternyata tentang karma yang datang di waktu yang tepat itu benar adanya.

WARN ! misgendering

BGM : Set Fire to the Rain – Adele


Usai memastikan bahwa prasetya sang owner dari warung yang akan mereka jadikan tempat catering sedang berada di lokasi terkait, monic langsung saja menjemput sahabat karib nya aria untuk dibawa ke tempat dimana warung prasetya berada.

30 menit dilalui tanpa sadar, monica dan aria sekarang berada di sepan sebuah warung kuno dengan tema thai vintage bercorak biru merah.

Tempat makan itu tidak terlalu besar, mengambil tema vintage sebagai patokan, suasananya pun terlihat retro nan sejuk karena pras memutuskan untuk tidak memasang pendingin udara disana, boros listrik katanya.

Monica dan Aria berkunjung di jam makan siang dimana warung tersebut sedang ramai dikunjungi oleh para pegawai kantoran. Beberapa pegawai bergerak kesana-kemari untuk membawa dan mencatat pesanan yang diinginkan oleh para pelanggan.

Melihat sahabatnya hanya terdiam, monic memutuskan untuk mencari keberadaan pras terlebih dahulu agar mereka bisa berdiskusi dengan tenang.

Dan, 

“Pras!“ 

Monic menemukan prasetya sedang sibuk menata lauk pauk dari balik kaca penghubung kasir yang sedang kosong. 

Melihat itu pras memutuskan untuk menyudahi pekerjaannya, “Aya, mas kedepan dulu ya? tamunya udah dateng” 

Hiraya mengangguk, “Iya mas, nanti aya nyusul kalau urusan dapur udah beres”

Pras kemudian mengusak surai lelaki gemini tersebut halus sebelum melayangkan kecupan di pucuk kepalanya, “Jangan capek-capek kalau abang tau kamu kerja di dapur, aku bisa diamuk” ujarnya sambil terkekeh.

Hiraya tersenyum manis, “Iya iyaa, ini nggak capek. Gih, mas kedepan udah ditunggu”

Prasetya hanya mengangguk sebelum berlalu dari hadapan hiraya.

“Hai, mon. Maaf nunggu lama” ucapnya saat berhadapan dengan monica.

Perempuan anggun itu hanya tersenyum lebar sembari mengatakan tidak apa apa karena ia tau prasetya punya banyak kesibukan disini.

“Nggak masalah pras, temen gue udah nunggu di depan. Ngomong nya di meja depan aja yuk?”

Pras mengangguk. Keduanya lalu menghampiri sosok cantik yang sedang duduk sembari memainkan ponselnya tanpa terganggu dengan keadaan sekitar.

“Kal, nih udah dateng ownernya”

Saat itu juga yang dipanggil mengadahkan wajahnya dan betapa terkejut dirinya saat ia tau bahwa sosok di depan ini adalah sosok yang pernah ia sakiti hatinya sepuluh tahun silam. 

Mata keduanya bertemu, namun aria bisa melihat bahwa sosok itu masih sama seperti dulu. Diam dan tak terbaca, prasetya terlalu tenang untuk ukuran orang yang baru bertemu masalalu nya lagi setelah sekian lama.

“Shakala ini Prasetya, dan Pras ini Shakala. Dia yang gue bilang mau jadiin lo sebagai juru masak dia acara perusahaan tunangannya”

Prasetya mengangguk, mengulurkan tangannya untuk bersalaman “Pras” katanya dengan bibir dan mata yang juga tersenyum.

Aria menerima jabatan tangan tersebut dengan sungkan, menundukkan tatapannya karena sungguh ia tak bisa melihat pras tepat di matanya. Perasaan rindu itu, perasaan hangat itu seakan merajam jantungnya saat ia melihat prasetya berdiri tepat dihadapannya.

“Shakala”

Pras mengangguk. Tautan tangan keduanya terlepas. Pras mempersilahkan mereka untuk duduk sebelum memulai diskusi ketiganya. 

Monica mulai bertanya kira-kira menu catering apa yang biasanya menjadi favorit dari warung ini yang dijelaskan oleh pras dengan perlahan dan terperinci tanpa mengalihkan padangannya ke arah lain, hanya fokus pada penjelasan menu dan target penyelesaian.

Sedangkan Aria hanya mampu terdiam, ia sedang tidak dalam kondisi yang baik untuk berbicara dengan siapapun. Setelah pertengkarannya dengan sena di chat beberapa waktu lalu, lelaki manis itu mulai mempertimbangkan arah hidupnya sendiri.

Dirinya yang mengalami gangguan makan, gangguan tidur, jarang bergaul dan hanya mengandalkan tubuhnya untuk bertahan hidup, apakah ia bisa bahagia?

Matanya menelisik gerakan prasetya yang sangat sabar menjelaskan ini dan itu kepada monic dengan nada yang halus. Nada bicaranya tidak pernah berubah dan aria akui itu.

Tidak sadar telah tenggelam dalam pikiran sendiri selama sepuluh menit, lamunan aria pias seketika ketika seorang lelaki manis yang sedang mendorong kursi rodanya memanggil—

“Mas?”

Pras dengan sebutan mas yang disambut oleh sang empunya dengan senyum manis. Pras bahkan spontan berdiri dan membantu lelaki tersebut mendorong kursi rodanya tak lupa menggendong lelaki manis tersebut hingga ia bisa duduk dengan nyaman di kursi warung yang berbahan dasar kayu.

“Kenapa nggak telepon? susah nggak dorong kursi rodanya tadi?” tanya pras lembut kepada lelaki tan yang duduk tepat disebelahnya.

Lelaki itu menggeleng, “Nggak, susah apanyaa, mas overprotective deh”

Melihat mereka berdua saling melempar senyun satu sama lain seakan dirinya dan monica adalah patung hidup membuat aria merasa kecil.

Ia tidak pernah diper lakukan seperti itu. Ia tidak pernah merasakan nada lembut seseorang ketika berbicara dengannya, bahkan ia ragu masih ada yang akan mengurusinya jika ia lumpuh.

“Lho? lo udah nikah Pras? ini siapa? manis bangeeeet” ujar monic dengan menggebu gebu.

Pertanyaan yang dilayangkan oleh monic membuat aria berdebar menanti jawaban dari pras,

“Ini ibuknya si abang mon, hiraya namanya” 

DEG!

A-apa katanya? Siapa? Lelaki manis di depannya ini adalah seorang ibu dari sosok yang dipanggil abang? Abang itu siapa?

“Abang itu anak lo kan ya? udah umur berapa sih sekarang? 10 nggak sih harusnya, kan kita 27” 

Pras mengangguk, “Iya mon, ibuk nya Jenaka, Jenaka dipanggil abang”

Jelas sudah. Terjawab sudah pertanyaan di dalam kepala kecil aria tentang siapa sosok abang ini sebenarnya.

Jenaka? itu nama anaknya bersama prasetya. Anak yang dulunya tidak ia ingin kan namun sekarang menjadi rindu terbesarnya. Anak yang selalu ingin ia lenyapkan namun berakhir menyesalinya karena hanya Jenaka yang ia punya sebagai putra kandungnya.

Mata aria berkaca-kaca mendengar jawaban pras kepada monica. Hatinya sakit, Jenaka adalah anaknya, putra biologis nya. Ia yang melahirkan Jenaka dan sekarang pras mengakui orang lain sebagai Ibu dari Jenaka?

Dunia ini jahat namun aria rasa ia pantas untuk itu. Semua rasa sakit ini tidak sebanding dengan apa yang dirasakan oleh prasetya dulu.

Aria hanya mampu memandang miris potret keluarga dihadapannya. Pras yang begitu sigap menanyakan keperluan hiraya karena pria itu tidak bisa bergerak bebas.

“Heh kal! lo ngomong kek! acaranya siapa sih sebenernya? kok jadinya malah gue yang sibuk?”

Aria tergagap, “E-eh? tadi udah sampai mana emang?“ 

Namun sebelum Pras kembali menjelaskan, aria merasa seseorang memandangnya dengan intens

“Eum permisi, kamu Arshakala Aria bukan? yang model itu?”

Aria sekali lagi tersentak, darimana pria ini mengetahui identitasnya? Perlahan lelaki manis itu mengangguk mengiyakan.

“WAAAAAH! aku seneng banget! aku ngefans banget sama kamu kak! boleh minta foto nggak?”

“Eh? kok?” Pras sudah akan menghentikan segala tindakan hiraya sebelum seseorang memotongnya terlebih dahulu,

“Iya, boleh. Aku kesitu aja biar kamu nggak banyak gerak”

Setelah itu hiraya memberikan ponselnya kepada prasetya untuk memotret mereka berdua yang hanya diterima dengan hembusan nafas yang lebih tua,

“Oke senyum ya. 1,2,3!”

CEKREK!

Begitu sesi foto selesai aria kembali ke tempatnya tanpa mengucapkan satu kata pun. Ketika mereka hendak bertukar tempat duduk, dirinya dan pras sempat bersinggungan yang membuat aria tak bisa melepaskan pandangannya barang sedetik.

“Makasih kak! kamu cantiiiik banget, semangat buat pemotretan musim selanjutnya ya!” ucap hiraya membuyarkan lamunan aria.

“Sama-sama, kamu juga manis banget”

Pipi hiraya bersemu merah, ia menyembunyikan wajahnya pada pundak sang dominan yang membuat pras mengelus puncak kepalanya halus.

“Malu-malu dianya”

“Hehe, apaansih mas!”

Lagi-lagi aria hanya mampu menelan pil pahit melihat betapa manisnya perlakuan pras kepada hiraya. Ia iri, ia tidak pernah diperlakukan seperti itu, ada yang menawarinya hidup bahagia namun ia tolak mentah-mentah dan sekarang semuanya hilang begitu saja.

“By the way pras, ya anak kalian kemana? Gue kangen deh liat Jenaka, dia yang dulu lo bawa waktu ambil paket C kan ya pras?”

Prasetya mengangguk. Ya, dulu setelah aria melahirkan dan menyelesaikan ujiannya, Prasetya justru di drop out oleh sekolah karena kasus tersebut yang entah disebarkan oleh siapa membuat dirinya harus mengambil ujian paket C agar mendapat ijazah yang setara dengan pendidikan sekolah menangah atas.

Saat itu Jenaka berumur 8 bulan, sedang tidak bisa ditinggal, ayah ibunya sibuk mencari pekerjaan karena turut di keluarkan oleh pihak sekolah jadi tidak ada cara lain selain membawa Jenaka bersamanya yang saat itu baru berumur 17 tahun, terlalu belia untuk menjadi seorang ayah.

Tapi Pras tidak mengeluh, ia bahagia dengan hidupnya sekarang. Usaha kecil yang ia miliki bisa memenuhi kebutuhan keluarga kecilnya saja sudah lebih dari cukup.

Kembali ke mereka berempat, 

“Ada, bentar lagi paling—”

“Ayah! Aya!” Sebelum prasetya mampu menyelesaikan perkataan nya yang dibicarakan muncul dari balik tirai warung sembari memanggil ayah dan aya nya.

“Nah, tuh anaknya dateng. Sini nak, ayah lagi ada tamu” ucap prasetya halus sembari mengajak anaknya untuk memberikan salam.

Jenaka melangkahkan kakinya perlahan menuju meja kedua orang tuanya bersama dengan kedua tamu lain yang tak ia kenal.

Anak tampan berumur 10 tahun itu kemudian membungkukkan tubuhnya sembilan puluh derajat tepat di depan para tamu sembari memberikan salam dan memperkenalkan diri.

“Selamat siang, maaf mengganggu. Aku Jenaka Prasetya anaknya Ayah Pras dan Aya” ujarnya dengan bangga yang membuat salah satu dari sang tamu melongo hingga menutup mulutnya tidak percaya, Ini Jenaka nya?

Ini putranya? Putranya sudah tumbuh sebesar ini? dia sangat tampan, tinggi, dan tentunya sangat sopan. Pras mendidiknya dengan baik.

“Haloooo, waaah kamu udah besar sekarang. Tampan lagi, waduhh jagoannya ayah sama ibuk nih, aku monic temen SMA ayah kamu~” ucap monic dengan nada girang.

Jenaka tersenyum mendengarnya, “Terimakasih tante monic, tante juga cantik”

Saat itu juga tawa mereka pecah, aria menipiskan bibirnya, anaknya pintar bercanda dan menghidupkan suasana.

“Bang, kenalan juga sama kak Kala, kak Kala model loh, cantik kan?”

Mendengar perintah aya nya membuat Jenaka mengalihkan pandangannya pada seseorang yang hanya diam saja sedari tadi.

“Wow....” katanya terpesona sembari memandangi wajah Aria dengan teliti.

“Kenapa bang?”

“Inimah bidadari yah, ya. Aya jaga matanya ayah jangan sampai jelalatan”

Lagi-lagi aria tersenyum lebar karena perkataan sang anak, “Terimakasih Jenaka, kamu juga ganteng kok~” gurau aria

“Lho, kalau itu jelas kak, kan gantengnya aku nurun dari ayah”

Aria mengakui nya, Jenaka benar-benar jiplakan sang ayah. Bahkan aria yang mengandung selama sembilan bulan tidak mengambil satu bagian pun. Ia senang, putranya mengatakan bahwa ia cantik bak bidadari dan dirinya menghangat karena itu.

Ternyata begini rasanya ketika kau memiliki seorang malaikat yang mampu mencairkan susasana hatimu dikala semuanya memburuk.

“Ngapain ke warung bang?” pras bertanya yang membuat aria juga dilanda penasaran.

“Abang mau minta suap sama ayaaa, sama ibuuk, kangen disuapin”

Pras tersenyum mengejek, berbeda dengan aria yang kembali melunturkan senyumannya. Sadar aria, ibu Jenaka disini adalah Hiraya, bukan kamu. Hatinya sedikit tergores kala sang anak mengungkap ingin dimanja oleh orang lain.

“Yaudah bang, bantu pindahin aya ke kursi roda dulu, makan nya di samping aja tuh mumpung kosong” pinta pras kepada anaknya.

Jenaka mengangguk dengan postur tegap seperti siap laksanakan tak lupa memberi hormat kepada sang ayah sebelum bergegas mengangkat sosok ibu nya kembali ke kursi roda, “Waaah abang udah gede ternyata, udah bisa gendong aya”

Jenaka menaikan sebelah alis pertanda sombong, “Iya dong, aya kan cintanya aku, bakal aku urus sepenuh hati gini doang mah kecil”

Perkataan Jenaka lagi lagi membuat perut tiga orang diantara mereka tergelitik kecuali salah satu diantara mereka yang sedang berusaha keras untuk tidak menumpahkan air matanya hanya karena melihat darah dagingnya sendiri tidak mengenalinya bahkan mereka bak orang asing yang tak pernah bergantung hidup satu sama lain.

Perasaan aria semakin memburuk ketika melihat Jenaka dengan leluasa bermanja-manja kepada hiraya yang sedang menyuapi nya dari kursi roda yang ia tempati tak lupa setelah acara suap-menyuap itu selesai, Jenaka mengecup kening hiraya lembut tak lupa mengecup punggung tangannya sembari mengucap,

Terimakasih ibuk, sudah suapi abang. Ibuk yang terbaik, abang sayang ibuk~

Dan aria tau saat itu juga hatinya tidak bisa bertahan lebih lama untuk mengatakan bahwa ia sakit, sakit sekali, luar biasa hingga ia bahkan tak mampu mengenali dirinya sendiri.

Miris, ternyata tentang karma yang datang di waktu yang tepat itu benar adanya.

Backround song nya masih sama

Berdua lebih baik – Acha Septriasa


Sebelumnya …

“Terimakasih banyak, gantengku...” lirihnya sebelum menyandarkan dahinya pada pipi kiri Pascal yang menghadap langsung pada samping tubuhnya.

“Sama-sama, cantik”


“Kak? kamu oke?”

Shankara memekik terkejut, hah?

Kemana pascal? bukannya mereka tadi sedang berduaan membenarkan tenda? Kenapa jadinya malah hanya ada dia sendiri disini sembari memegang perkakas sedangkan pemuda yang dimaksud berada di seberangnya membenarkan sudut tempat menginap mereka yang lain?

H-hah? Aku baik kok...”

“Dari tadi senyum-senyum mulu kak, mikirin apa?” tanya Zeva, anggota regu mereka yang lain saat melihat Shankara tergugu menjawab pertanyaan teman se-regu nya yang lain.

“Hah? aku?”

“Iya kak, dari tadi kamu senyum-senyum sambil ngeliatin kak pascal, suka ya?”

Saat itu juga Shankara paham bahwa sedari tadi dirinya hanya berkhayal, tenggelam dalam imajinasi nya sendiri bahwa disini ia pernah berduaan dengan pascal lalu merajut kasih satu sama lain.

Pria mungil itu pun sontak menggelengkan kepalanya yang sudah berani berpikir sejauh itu. Jangankan berduaan, saling menyapa saja sudah syukur.

Tapi lagi-lagi Shankara tak dapat menahan dirinya untuk tidak menatap sang lawan yang sedang asik berbincang dengan anggota regu yang lain seusai mereka memperbaiki beberapa ornamen tenda.

Senyumnya sangat manis dan Shankara merindukan itu. Namun bila tidak menyatu, lantas siapa yang harus disalahkan?

Setidaknya untuk sekarang lelaki itu hanya ingin berjuang. Jika memang pascal ingin kembali padanya, yasudah. Jika tidak, ia tidak bisa menuntut lebih bukan?


Malam hari tiba, seluruh angkatan dari tiap regu berkumpul untuk melaksanakan ritual api unggun yang dibarengi dengan beberapa games seperti truth or dare yang klasik dimainkan saat berada di perkemahan.

Yuk, puter botolnya dari kiri ke kanan”

Instruksi diajukan, botol diputar daaaan…

“YES! Kak pascal, truth or dare?”

Semua memekik heboh saat mendapati botol permainan mereka berhenti tepat di depan orang yang cukup tertutup dan misterius selama ini, Samudera Pascal.

“Aku truth aja deh” katanya 

“Yaaah! padahal lebih seru dare tau kak!”

Shankara mengerutkan kening mendengar pernyataan sang adik kelas kepada Pascal, 'centil banget kenapa sih?' ungkapnya dalam hati.

“Kak Pascal sekarang lagi suka sama siapa?”

Sontak sorak sorai terdengar dari berbagai arah mendengar pertanyaan salah satu adik kelas cantik mereka, Ara kepada Pascal yang sudah pasti arahnya menjurus ke suatu hal yang cukup spesifik.

Mendengar pertanyaan itu pascal tersenyum teduh sebelum menjawab, “Nggak ada, lagi nggak suka sama siapa-siapa”

Deg!

Hati seseorang terasa mencelos begitu dalam mendengar jawaban yang bersangkutan. Sedang tidak menyukai siapa-siapa? Jadi pascal sudah tidak menaruh rasa pada dirinya?

Shankara menundukkan kepala, mengusir segala kepedihan yang hinggap sebelum memberanikan diri untuk bertanya, “Aku boleh nanya nggak?”

Semua terdiam, mendengar sahutan Shankara yang spontan. Pascal yang merasa menjadi sasaran lagi lagi hanya tersenyum sambil mengangguk, memperbolehkan.

“Kamu pernah ditolak sama orang? Setelah kamu ditolak, apa pilihan kamu?” katanya gugup, bahkan untuk menelan salivanya saja Shankara ragu.

Sedangkan Samudera memilih merileks kan pikiran juga tubuhnya sebelum menjawab pertanyaan dari yang lebih tua, “Saya pernah ditolak kok kak sama seseorang dan pilihan saya berhenti mengejar, karena kalau dia menolak berarti sudah jelas bukan kita yang dia mau, iya kan?” ucapnya sembari menatap lurus kearah pandang lawan.

Shankara tersenyum miris, berhenti ya? Lelaki manis itu mengangguk singkat “Makasih udah mau jawab pertanyaan aku, aku permisi” jawabnya buru-buru sambil meninggalkan tempat api unggun.

Dengan tangannya yang terus membekap mulutnya, Shankara sekuat mungkin menahan diri agar tengisannya tidak pecah sekarang juga. Sedangkan pria yang menjadi penyebab kesedihannya hanya menatap bagaimana punggung itu menghilang sembari terus merapalkan seribu kata 'maaf'

09.30 PM

Perkumpulan api unggun dimatikan, mereka semua kembali ke tenda masing-masing bersiap untuk beristirahat.

Samudera yang baru saja menyelesaikan urusan kebersihan api unggun langsung melangkahkan kakinya menuju tenda, memeriska apakah Shankara sudah kembali atau belum.

Dan benar saja, dirinya mendapati lelaki manis itu tertidur sembari memeluk boneka rubahnya dengan bekas aliran air mata yang terlihat jelas pada pipi pualamnya. Diusapnya pipi tembam tersebut sebelum melayangkan kecupan sayang pada dahi sang terkasih, 

“Maafin aku, sekali lagi, maaf.”


08.00 AM

Pukul delapan tepat kerumunan para siswa/siswi Neo Highschool tengah berkumpul di middle base untuk mendengar instruksi mengenai agenda pagi ini dari pak Wawan selaku pembina.

“Selamat pagi semua, bagaimana tidurnya? Semoga nyenyak karena pagi ini kita akan melakukan aktivitas petualangan yaitu ATV road, ada yang familiar dengan ini?”

“Iya pak!” jawab mereka kompak.

“Baik, kalau ada yang merasa tidak bisa sama sekali atau terhalang kesehatan bisa langsung melaporkan diri ke OSIS ya. Pembagiannya akan diumumkan oleh OSIS, tidak ada yang seangkatan atau sekelas, aktivitas ini harus dilakukan secara berpasangan dan random. Jika tidak kenal, maka kalian harus sebisa mungkin membangun bonding agar tidak tersesat karena kerjasama sangat dibutuhkan disini, mengerti?”

“Mengerti, pak!”

 

Begitu instruksi selesai diberikan mereka langsung saja menuju pasangan satu sama lain yang dimana ternyata para ketua regu berpasangan dengan koordinator agar bisa membimbing para anggota regu.

“Samudera sama Rei ya? Udah tau kan?” kata Vina selaku penanggungjawab activity kali ini.

Samudera mengangguk, sedangkan pasangannya hanya termenung. Menghabiskan waktu untuk menangis semalaman ternyata adalah ide yang buruk karena ia terlihat seperti orang linglung sekarang.

“Kak?”

Shankara hanya memalingkan wajah sebentar sebelum mengarahkan pandangannya ke sembarang arah, mendengar suara lelaki itu hanya membuat perasaannya semakin berantakan.

“Aku ambil ATV nya dulu, kamu mau tunggu disini atau ikut aku?”

Shankara lagi lagi tidak menjawab dan pascal memahaminya, ia tak ingin memaksakan kehendaknya kepada Shankara karena ia tau lelaki manis itu juga sama sakitnya.

Sepuluh menit menanti, akhirnya Pascal tiba dengan kendaraan yang akan mereka gunakan untuk menanjaki puncak kabut di bogor. Pria taurus itu sudah akan memaikan pelindung kepala kepada Shankara sebelum tangan yang lebih tua menepisnya dengan keras, “Gue bisa pake sendiri”

Samudera mengangguk maklum.

Perjalanan mereka lalui dengan canggung tak ada pembicaraan serius, tak ada canda tawa ataupun salah tingkah yang diakibatkan oleh adegan manis bak di sinetron romansa.

Semuanya begitu datar, Shankara fokus membaca peta kemana mereka harus pergi sedangkan Pascal tentu saja mengendarai atv dengan hati-hati. Ini pertama kali mereka berdua berboncengan dan Pascal tidak ingin meninggalkan kesan buruk.

“Setelah ini belok kiri, terus lurus aja”

Pascal mengangguk, “Makasih kak”

Hening... 

Suasana diantara mereka begitu canggung sampai akhirnya suara guntur menyadarkan mereka berdua bahwa bumi akan menumpahkan laharnya sebentar lagi.

Satu-dua tanjakan masih bisa dilalui tanpa kehujanan sedikit pun hingga suara gemuruh semakin terdengar jelas, rintik hujan dengan perlahan membasahi tubuh mereka.

Pascal memutuskan untuk menepikan kendaraan mereka sebentar, berhenti tepat dibawah pohon cemara yang tidak sebenarnya tidak cukup untuk melindungi tubuh mereka dari hujan tapi setidaknya cukup.

Lelaki taurus itu membantu Shankara turun dari atv, membuka leather jacket kebanggannya lalu menyampirkan pelindung tubuh itu pada yang lebih tua yang ditolak dengan keras.

“Nggak usah, lo aja”

Pascal menggeleng, memaksa Shankara bahwa ia harus mengenakan jacket miliknya jika tidak ingin jatuh sakit, “Kamu har—”

PLAK!

Shankara kembali menolak, kali ini dengan tamparan keras pada wajah tirus sang dominan hingga membuatnya memalingkan kepala, “Maksud lo apa kayak gini ke gue?”

“Kak—”

“Lo tuh gila ya?”

Pascal menghela napas lelah, dengan seluruh tenaganya ia memasangkan leather jacket itu pada tubuh yang lebih kecil walaupun yang ia dapati hanya penolakan berulang kali, Shankara terus mendorong bahunya menjauh bahkan tidak berhenti meracau.

“Maksud lo apa? lo sengaja mau bikin gue jatuh ha? lo sengaja mau bikin ngejar lo balik walaupun sekarang emang iya, gue ngemis perhatian dari lo.” ucap Shankara dengan mata berkaca-kaca. Kata-katanya nyaris tertinggal di tenggorokan hanya karena ia tak mampu mengatakan apa yang ingin ia katakan.

Langkahnya tepat di hadapan Pascal, merapatkan jarak mereka hingga ia dapat melihat dengan jelas pahatan sempurna itu dari dekat meskipun jarak pandangnya kabur karena air hujan yang menetes. Jari telunjuknya menekan tepat di dada bidang yang lebih tinggi guna memperjelas isi hatinya,

“Sinting ya lo? habis bikin gue nangis-nangis sampe nyaris gila karena lo udah nggak ada perasaan sama gue, sekarang lo nge-treat gue kayak gini? Lo nge-treat gue seakan akan lo suka sama gue, lo sayang sama gue, padahal nyatanya nggak sama sekali? Kalau kayak gitu selamat, lo udah berhasil bikin gue jadi manusia paling bodoh sedunia. Lo jahat banget gila, lo anjing banget, sumpah.” ungkap yang lebih tua sembari menatap tajam lawan bicaranya, tahan. Air matanya tidak boleh keluar sekarang, ia harus meminta penjelasan lelaki ini terlebih dahulu.

“Lo mau apa dari gue? Bilang. Lo mau apa dari gue? LO.MAU.APA.DARI.GUE? SIALAN LO, LO BIKIN GUE GILA, LO MAININ GUE, ANJING LO!” teriaknya dihadapan Pascal yang hanya terdiam mendengar semua perkataannya.

“Udah?” balas yang lebih muda.

Shankara menatapnya dengan keji, dibawah hujan deras ditemani kabut puncak Shankara bersumpah ia akan membuat lelaki ini kembali mengemis cintanya.

Namun tindakan selanjutnya yang dilakukan oleh pascal membuat Shankara menumpahkan segalanya, air matanya, emosinya, bahkan keresahannya selama ini.

Pascal memeluknya, lelaki yang lebih muda setahun darinya itu mendekap dirinya hangat dibawah tirai hujan yang semakin deras membasahi bumi dimana mereka berpijak.

Pria taurus itu memeluk erat pinggang rampingnya sambil membisikan kata-kata yang selama ini ingin ia dengar,

“Aku cinta mati sama kamu. Aku udah janji mau menjadikan kamu pasangan seumur hidup, inget?”

Shankara mengangguk pelan, nyaris tersendat karena tangisannya, “Aku sama sekali nggak tau kamu dateng ke rumah karena aku bener-bener nggak ada disana, ayah sengaja jodohin aku yang tentunya aku tolak dengan keras karena aku punya pilihanku sendiri, dan itu kamu.”

Pascal melonggarkan pelukan keduanya, mengusap wajah ayu yang dipenuhi oleh rintisan hujan itu perlahan dengan tangan sang submissive yang melingkar indah pada pinggangnya, “Tapi jangan sangka aku nggak cari kamu. Aku cari kamu, aku menjenguk kamu, sayang. Aku beliin kamu bunga untuk nemenin kamu karena aku tau itu bukan waktu yang tepat untuk memperbaiki semuanya”

“Aku sengaja keluar basket supaya aku bisa fokus sama pendidikan ku, menyelesaikan semua sesuai target ayah dan setelah itu aku bebas dengan pilihan hidupku sendiri. Sebelumnya aku sadar, ketika aku mengejar kamu, aku nggak punya apa-apa. Aku bahkan bohong ke kamu soal bunda, maaf. Tapi kalau kamu baca semua dm-ku aku cerita semua sama kamu disana. Aku ingin menjadi lelaki pantas untuk kamu, aku pengen bisa kasih dunia ini ke kamu walaupun aku tau itu nggak mungkin. Tapi, aku punya caraku sendiri untuk membahagiakan kamu. Aku menghindar bukan berarti aku nggak sayang, aku cuma waktu sebentar untuk ngumpulin semua energi untuk mengejar kamu, jadi sosok yang utuh untuk kamu, aku harap kamu ngerti Rei” ucapnya panjang lebar sembari menyatukan dahi mereka berdua.

Shankara yang mendengar semua penjelasan lelakinya hanya mampu terdiam dan kembali menangis, mengeratkan pelukannya pada pinggang Pascal, berpelukan erat dibawah hujan.

Ternyata lelaki itu begitu memikirkan dirinya, begitu sempurna, selalu manis dan baik, lelakinya, Samudera Pascal Angkara

Shankara mengadahkan wajah terlebih dahulu, menangkup pipi tirus dominannya lalu 

I love you“ 

mengungkapkan perasaan cinta yang selama ini sudah ia pendam

Pascal yang mendengar itu melebarkan senyumannya, menyampirkan anak rambut rei yang memanjang pada belakang telinganya lalu menatap lelaki mungil itu intens,

“Ih! Mana I love you too nya?” katanya cemberut.

Yang diprotes kembali tertawa sebelum kemudian menangkup wajah mungil pria cantiknya lalu menempelkan bilah bibir mereka berdua.

CUP!

Selama beberapa menit, kedua ranum itu hanya menempel, menghadirkan kehangatan diantara keduanya yang tengah terjebak diantara hujan puncak bogor ditemani kabut yang berarak mengikuti kemana pun mereka melangkah.

Setelahnya, Pascal kembali menangkup wajah Shankara dengan kedua tangannya, mengecup dahi kasih nya pelan sebelum—

AAAAAAA!!!! PASCAL TURUNIN AKU!!!”

—menggendong tubuh yang lebih ringan dengan gaya bridal style untuk ia bawa berputar di dalam riak hujan dengan seribu tawa yang menemani hari bersejarah mereka hari ini.


Pascal – Rei

End.

29/04/23

Background song :

Berdua lebih baik – Acha Septriasa


High school camp yang dilakukan bertempat di puncak bogor membuat suasana hati para siswa-siswi semakin antusias karena siapa yang tidak mau bersenang-senang setelah menempuh semester yang rumit?

Pagi ini terdapat tiga bus dengan masing-masing angkatan yang dimpimpin oleh pembina regu yang telah dikelompokkan oleh para anggota OSIS.

Dan disini Shankara berdiri, tepat di depan pintu bus memastikan teman-teman seangkatannya yang sudah tergolong senior untuk memasuki bus tanpa ada yang terlewat.

Matanya sesekali melirik ke arah bus sebelah yang tidak lain merupakan kelompok siswa kelas sebelas, mencari dari sekian banyak sosok yang tidak pernah lagi ia temui sejak kejadian satu minggu lalu.

Shankara masih mencoba, ia akan terus mencari pascal sampai pria itu mau berbicara dihadapannya langsung bahwa ia akan berhenti memperjuangkan hubungan mereka yang sebenarnya tidak pernah menjadi sesuatu sejak awal.

“Kelas dua belas semua sudah lengkap, Shankara?” pak Wawan bertanya saat melihat perwakilan OSIS dari kelasnya itu hanya diam termenung di depan bus.

“Oh, a-anu sudah Pak”

“Yakin?”

Shankara mengangguk pasti.

“Yasudah, kalau begitu kamu juga naik. Tepat jam 9 kita berangkat”

Pria manis itu lagi-lagi hanya menangguk “Baik, pak”

Shankara menghela napas resah, sudah satu jam ia berdiri disini, sudah satu jam pula ia menunggu kehadiran teman-temannya namun presensi yang ia tunggu sama sekali tidak terlihat batang hidungnya.

'Apa dia nggak ikut?' Shankara menggelengkan kepalanya mengusir kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi.

Ketika ia masuk kedalam bus, seorang lelaki dengan perawakan tinggi nan semampai justru memasuki bus kelas sebelas dengan rusuh yang disambut dengan decakan resah oleh para sahabatnya.

“Sorry, telat” katanya dengan perasaan bersalah sebelum menempatkan diri tepat disamping afkar.

“Gue pikir lo ngga bakal ikut al”

Yang diajak berbicara menggeleng pelan “Ikut, cuma telat bangun. Semalem nemenin ayah nonton bola sampai subuh soalnya”

Afkar mengangguk paham, 'dasar anak ayah' -batinnya.


Setelah menempuh perjalanan satu jam lamanya, akhirnya rombongan NEOs Highschool tiba di tempat tujuan, Cibogo Camp namanya. Tempat mereka menetap selama tiga hari dua malam.

Kegiatan ini adalah agenda tahunan OSIS yanh dilakukan guna memperat tali persaudaraan diantara para junior dan senior sehingga tidak ada bentuk pelanggaran etika apapun yang dilakukan oleh senior kepada junior dan sebaliknya.

Pak wawan sebagai penanggungjawab tanpa basa-basi menyampaikan imbauan lewat alat pengeras suara yang telah disediakan oleh OSISI  ”Oke, anggota OSIS bertugas pastikan jumlah siswa masing-masing angkatan lengkap dan laporkan ke saya. Setelah itu pastikan tidak ada siapapun dan barang apapun yang tertinggal di dalam bus. Kita berkumpul di titik tengah untuk membicarakan pembagian camp  terlebih dahulu baru disusul dengan agenda lain, mengerti?”

Semua serentak menjawab “Mengerti, Pak!”

Setelah itu mereka dibagi kedalam 10 regu, dengan kelas sebelas dan dua belas yang menjadi ketua regunya, saat pak wawan mulai membaca masing-masing anggota regu dengan ketua beserta koordinatornya semua siswa sontak bersemangat, bertanya-tanya apakah mungkin mereka akan satu regu dengan para sahabat atau mungkin dengan orang yang mereka suka?

“Baik, di regu pertama ada Shankara Rei sebagai koordinator dari OSIS, lalu Samudera Pascal Angkara yang akan jadi ketua regunya. Samudera Pascal ada kah?”

Shankara membeku. Siapa? Dirinya dengan siapa? Ia tak mau berharap lebih tapi tadi jika dirinya tidak salah mendengar pak Wawan menyebut nama Samudera Pascal? Itu pascal bukan? Lelaki itu ada disini?

Pertanyaanya secara tidak langsung dijawab oleh sang empunya presensi ketika ia menyaut pak Wawan dengan pasti, “Saya, pak!”

Pak wawan mengangguk, “Baik, Samudera pimpin rekan-rekan regu kamu. Jangan lupa komunikasi kan dengan Shankara juga”

Pascal mengangguk “Baik, pak”

Matanya secara otomatis tertuju pada sang priayi dibadapan, Shankara dengan jelas mematut pandangannya pada Pascal yang sayangnya tidak dihiraukan oleh lelaki tinggi tersebut karena sibuk mendengar instruksi dari Pak Wawan selaku pembina.

Lelakinya sangat tampan, walaupun hanya mengenakan sepasang hoodie yang dipadukan dengan jeans dan sneakers putih tak munafik bila Shankara masih memuji Samudera tampan karena memang lelaki itu akan selalu memukau dengan apapun yang ia kenakan.

Selesai dengan pembagian regu beserta instruksi mengenai agenda apa yang harus mereka lakukan setelahnya, para anggota dari masing-masing regu langsung saja bekerja sama untuk membangun basecamp mereka dengan peralatan yang telah disediakan oleh OSIS juga pihak sekolah.

Nah, kakak-kakak, adik-adik dan teman-teman sekalian berdasarkan time table yang diberikan oleh Pak Wawan, agenda pertama kita adalah membuat tenda. Peralatannya sudah disediakan, yang laki-laki boleh langsung turun tangan sedangkan yang cewek-cewek boleh cari kayu untuk perapian atau mau beberes juga nggak apa, tapi kalau mau pergi jangan jauh-jauh ya? Jangan lupa untuk izin ke saya atau ke kak Shankara terlebih dahulu karena kalian adalah tanggungjawab kami mulai sekarang” kata sang ketua regu satu dengan tegas namun sopan.

Sedangkan para anggota regunya mulai bergotong-royong untuk mengangkat peralatan membangun tenda, dirinya turut serta membawa perkakas dari middle base yang akan mereka gunakan untuk menancapkan paku tenda.

Shankara yang memperhatikan Pascal begitu bertanggungjawab dengan tugasnya sontak melebarkan senyum tiada henti, ia menyukainya, ia menyukai bagaimana pascal memikul tanggungjawab untuk menjaga mereka semua, lelaki itu memang selalu sempurna.

Dirinya yang melihat Pascal sedang duduk dengan berbagai perkakas di kedua tangannya bersiap untuk membangun tenda refleks menanyakan apa ada yang harus ia bantu, “Hai?”

Pascal menegakkan kepala, melebarkan senyumnya kepada sang penyapa, “Hai

“Ada yang bisa aku bantu?”

Pascal mengerut, berpikir sebentar apakah ia harus membiarkan cintanya mengerjakan pekerjaan berat ini? 

“Kamu yakin mau bantu?”

“Maksudnya? Dipikir aku kecil makan—”

“Oke oke, ayo bantuin aku. Kamu kesini bantuin aku permak pakunya kedalam”

Shankara mengangguk sambil tersenyum manis, “Oke bos!”

Tahan pascal, tahan. Ia harus menahan kegemasannya kepada si mungil karena tak mungkin ia mendekap Shankara untuk dirinua sekarang ini.

Usai menuruti keinginan yang lebih muda, Shankara berusaha untuk mempermak paku itu sebisa mungkin namun sepertinya kekuatannya tak cukup kuat untuk itu.

“Hahaha, bisa ngga? katanya mau bantu?” Mendengar suara ejekan yang berasal dari belakang tubuhnya membuat Shankara sontak mengerutkan kening pertanda kesal,

Ish! Ngga usah ngeselin bisa ngga?”

Pascal hanya tersenyum manis sebelum menundukkan dirinya tepat di belakang di manis, mengambil ahli perkakas yang sedang digenggam oleh Shankara kemudian menggantikan tenaganya dengan yang lebih tua, lengannya kini mengitari tubuh langsing Shankara sehingga membuat mereka terlihat seperti sedang berpelukan  ”Kamu nggak perlu kerjain hal kayak gini, ada aku. Kalau nggak kuat itu bilang, hm?”

Shankara tersenyum malu, arah pandangnya tak menentu karena debaran jantung yang menggila, lelaki aries itu memberanikan menatap wajah prianya dari samping, 

“Terimakasih banyak, gantengku...” lirihnya sebelum menyandarkan dahinya pada pipi kiri Pascal yang menghadap langsung pada samping tubuhnya.

“Sama-sama, cantik

Note : Kalau capslock semua artinya itu Shankara lagi teriak.

Background song : Jangan hilangkan dia – Rossa. [Plis kalian baca ini harus sambil dengerin lagunya ya, biar makin ngefeel]


“Makasih sa, hati-hati” ucap Shankara saat angkasa berhasil membawa dirinya tiba dengan selamat di kediaman lelaki yang sedang ia cari-cari beberapa hari ini.

Setelah percakapan mereka beberapa hari lalu di depan ruang aula, lelaki itu seakan menghilang ditelan bumi. Jika dulunya pria itu akan mengintipnya dari balik jendela kelas secara diam-diam, kali ini tak ada selipan apapun darii balik jendela kelasnya.

Jika biasanya ia akan melihat lelaki tampan itu dengan jersey basketnya mengisi kekosongan lapangan, kali ini tak ada, kosong.

Jika biasanya ia selalu disapa ketika datang dan pulang, kini semua sirna bak ditelan ombak.

Jika biasanya lelaki taurus itu akan menawarinya tumpangan pulang — yang selalu ia tolak berulang kali. Belakangan ini semuanya terasa berbeda karena sosok itu tak terlihat.

“Kak, kamu oke?” kejut Angkasa saat mendapati Shankara termenung di depan mobilnya.

“Aku oke Sa, makasih udah dianter. Kamu baliknya hati-hati ya?”

Bukannya berbalik dan pulang, adik kelasnya itu justru menggeleng “Ini jauh kak, aku udah bawa kamu sampai kesini, aku juga yang bertanggungjawab untuk pulangin kamu”

Shankara sungkan menolak, Angkasa sudah terlalu baik dengan mengantarkan dirinya kemari.

Tanpa membuang waktu, lelaki mungil itu melangkahkan kakinya tepat di depan di teras rumah yang bersangkutan. Mengetuk pintu beberapa kali, berharap dibukakan oleh sang pemilik.

Tok! Tok! Tok! 

“Permisi”

Tak ada jawaban.

Tok! Tok! Tok! 

“Permisi, Pascal?”

Tok! Tok! Tok!

“Perm—”

Ceklek!

Ia hendak bersuara lagi, sebelum pintu rumah terbuka menampilkan seorang lelaki paruh baya dengan setelah rumahan nya.

Tangan Shankara yang masih menggantung di depan pintu ia urungkan karena tujuannya sudah di depan mata, selangkah lagi.

“Selamat malam om, saya Shankara Rei teman Pascal. Saya bisa ketemu—”

“Pergi.” pungkasnya dingin.

“Om, tap—”

Shankara Rei? Sepertinya Tonny familiar dengan nama itu. Dahinya mengerut tat kala mengingat bahwa ia pernah membaca surat yang ditulis oleh sang putra.

Shankara Rei? Bukannya…

“Jadi kamu? sumber sakit hati anak saya?”

“Om, saya—”

“Apa yang mau kamu jelaskan? Pergi dari sini, jangan pernah cari Samudera lagi, karena saya akan mencarikan pendamping yang setara untuk dia. Seseorang yang sudah melukai hati putra saya satu-satunya tidak pantas bersanding dengan dia.“ 

Blam!

Pintu tertutup dengan keras, bantingan kasar itu seakan menggambarkan emosi Tonny yang sedang membara kala ia melihat sosok yang membuat anaknya bersedih selama ini berada tepat di depan matanya.

Shankara menatap pintu rumah itu nanar, sebelum tubuhnya merosot jatuh ke dasar tanpa aba-aba. Dengan keberanian yang ia punya lelaki manis itu mengetuk pintu berulang kali hanya karena ia ingin menjelaskan kepada Tonny bahwa dirinya ingin berubah, ia ingin bersama pascal, ia ingin menjelaskan bahwa ia hanya memerlukan waktu untuk berubah.

“Om saya mohon, buka pintunya! Saya harus ngomong sama Samudera, saya harus jelasin ke dia kalau diam nya saya bukan berarti penolakan. Saya harus jelasin ke dia kalau selama dia pergi rasanya saya mau mati karena rasa bersalah, saya harus jelasin ke dia kalau saya mau jadi pendamping dia, saya mau jelasin ke dia kalau cuma dia satu-satunya lelaki yang berhasil buat saya gila cuma karena dia ngelepasin saya”

Ucapnya dengan terbata-bata, suaranya nyaris tenggelam dengan tangisannya yang sudah beranak sungai namun seakan masih meringsak keluar seolah memaksa semua emosinya untuk mengatakan apa yang selama ini ia rasakan.

AL!!! AKU TAU KAMU ADA DI DALAM! AKU TAU KAMU DENGERIN AKU, IYAKAN?

Kembali, Shankara kembali berdiri tepat di depan rumah yang menjadi saksinya mengemis permintaan maaf saat ini,

AL! KAMU HARUS DENGERIN PENJELASAN KU JUGA! KAMU HARUS TAU AKU MAU BERUBAH UNTUK KAMU, KAMU HARUS TAU AKU HAMPIR GILA KARENA KAMU TINGGAL!

Riuh gemuruh ditambah dengan kilatan petir turut menyampaikan kepada Shankara bahwa ia memang harus berjuang keras. Meski diselimuti hujan deras dengan tubuh dan bibir yang bergetar pucat, Shankara tidak akan menyerah untuk menjelaskan kepada kasihnya bahwa ia akan berubah, ia akan menepati janjinya untuk membuat pascal kembali padanya.

AL! AKU SAYANG SAMA KAMU! AKU MINTA MAAF SAMA KAMU, HIKS! MAAF AL! HIKS! MAAF AKU EGOIS. AKU NGGAK MAU KAMU SAMA YANG LAIN, AKU AKAN BERJUANG AL, HIKS! AKU JANJI AKAN BUAT KAMU KEMBALI KE AKU. MESKIPUN PERLU WAKTU, AKU AKAN KEJAR KAMU AL, HIKS!

Sembari memeluk tubuh kurusnya yang kedinginan, Shankara jatuh berlutut tepat di halaman rumah tersebut sebelum kembali menyuarakan isi hatinya,

AL! KALAU MEMANG DENGAN BUAT AKU SAKIT BISA BIKIN KAMU BALIK KE AKU, DENGAN SEGALA KERENDAHAN HATI AKU MINTA MAAF. TAPI AKU MOHON, JANGAN PERGI SAMA YANG LAIN, AKU DISINI AL, AKU ADA UNTUK KAMU, TOLONG PERCAYA AKU SEKALI LAGI, AKU MOHON SAMUDERA, TOLONG....” 

Teriaknya dengan sungguh-sungguh, nada bicaranya melambangkan keputus asaan yang tiada akhir, ini adalah harapan terakhirnya, sebisa mungkin Shankara akan mengusahakan apapun.

Dirinya sudah akan kembali mengetuk pintu rumah tersebut, sebelum angkasa datang dengan sebuah payung, menghalau langkahnya untuk kembali kesana,

“Kak, ayo pulang!” ucapnya dengan nada keras, gemuruh hujan membuat mereka harus berbicara lebih keras.

“Nggak! aku nggak akan pulang sebelum pascal temuin aku disini, AL! AKU DILUAR! AKU DISINI UNTUK KAMU!”

Namun tidak semudah itu, semakin Shankara ingin kembali, semakin besar tenaga Angkasa untuk menghalanginya, “Kak, udah! Ayo balik!”

Shankara menghempaskan tangan Angkasa dengan kasar sebelum berbalik, menampilkan raut kesedihannya yang terpancar jelas dari wajah pucatnya yang telah banyak dihempas hujan malam ini, “Kamu nggak akan ngerti Sa, siapapun nggak akan ngerti. Samudera tinggalin aku gitu aja dengan semua perasaan bersalah ini, dengan kondisi hati aku yang udah terlanjur jatuh, dengan diri aku yang terlanjur cinta. Kamu pikir aku bisa lepasin dia gitu aja?“ 

Lelaki mungil itu mengeraskan rahangnya, menarik napas sedalam mungkin sebelum menunjuk dada bidang angkasa dengan salah satu jemarinya,

“Sa, Pascal laki-laki pertama yang memperjuangkan aku dengan tulus hati walau aku tolak berulang kali. Dan sekarang, giliran aku untuk membuktikan bahwa aku juga ingin memperjuangkan dia. Giliran aku untuk buktiin bahwa aku memang pantas untuk dia dan dia untuk aku. Aku nggak mau yang lain selain Samudera, Sa tolong ngerti.”

Ungkapnya lemah sebelum terjatuh pingsan dalam pelukan Angkasa, 

“Kak Rei!”

Shankara tiba di aula pada pukul 09.30, tiga puluh menit sebelum acara serah jabatan kapten basket dilakukan.

Dirinya menunggu dengan sabar pada bagian tribun aula yang memang disusun menjorok kebawah dengan bagian panggung ditengah.

Tak lama terdengar desas-desus dari para siswa seolah menganggumi sosok yang baru saja memasuki ruangan aula, siapa lagi kalau bukan para most wanted sekolah, prakat.

Dan dia ada, Shankara memperhatikannya dari jauh.

Memaku pandangannya pada satu sosok yang selama ini ia nanti kehadirannya untuk meminta seribu maaf yang bahkan tak cukup menggambarkan perbuatannya selama ini.

Shankara melihatnya, lelaki itu sehat, berdiri dengan gagah dan bugar seperti dirinya yang semula, pipinya yang tirus kini semakin tajam dihiasi rahang yang tegas.

Kulit putihnya bersinar diterangi penerangan aula yang membuat siapa saja terpaku kala melihat sosok tersebut, hidung bangirnya mencuri perhatian seakan mampu menaklukan perhatian siapa saja.

Air matanya hampir menetes hanya dengan memikirkan bahwa lelaki itu, pascal baik-baik saja bahkan sehat teramat sangat saat tidak berusaha mendekati dirinya.

Sorot matanya masih sama, berbinar dan penuh sayang. Sorot mata yang selalu shankara hindari dulu namun sekarang entah mengapa ia begitu mendamba.

Huft.

Tak sadar ia melamun hingga melupakan bahwa acara serah terima jabatan itu telah berlalu dengan pascal yang tidak sedikit pun berusaha untuk mencari keberadaannya padahal ia tahu pasti afkar sudah memberitahukan perihal chat mereka semalam.

Namun shankara tidak menyerah, saat aula masih ramai dengan sorak-sorai penuh pujian terhadap pascal, lelaki manis itu dengan berani melangkahkan kakinya menuju ruang istirahat dimana pascal bersama team nya sedang melakukan briefing.

Menunggu lelaki itu selesai bercengkrama dan ia akan menjelaskan semuanya, saat ini juga.

CKLEK!

15 menit berlalu, pintu ruangan terbuka menampilkan afkar dan agam berserta tas di masing-masing pundak mereka jangan lupa tatapan kaget yang diberikan keduanya saat mendapati shankara di depan pintu,

“eh? Rei? ngapain?”

“a-anu, itu gue...”

“kalian belum balik?” suara itu, suara yang selama ini shankara nantikan kepulangannya, muncul ditengah-tengah mereka bertiga.

Pascal tidak terkejut, ia tau Rei membututinya sedari tadi, itulah mengapa ia menginterupsi agam dan afkar agar cepat berlalu dari sana, tatapan mereka membuat Rei tidak nyaman dan Pascal tau itu.

“ini mau balik, duluan Rei”

Shankara mengangguk, “iya af, gam”

Dan kini, hanya ada mereka berdua. Berdiri mematung di depan pintu aula dengan kaku, tak tau apa yang harus dilakukan.

Shankara merasa bibirnya kelu hanya untuk sekedar menyapa 'hai' atau sekedar bertanya 'apa kabar?'

Melihat Rei yang hanya mematung di tempatnya, Pascal memberanikan diri untuk mempersempit jarak diantara mereka hingga ia bisa menghidu aroma jasmine dari si pemilik tubuh dihadapannya,

“apa kabar, Rei?”

Shankara terdiam, berusaha membendung cairan bening yang sebentar lagi mungkin akan menetes dari balik manik indahnya.

Nada bicara Pascal masih sama, selalu halus dan lembut, tatapannya masih sama, tatapan penuh kasih, lelaki ini begitu baik dan Shankara merasa ia dalam masalah besar sekarang.

“a-aku…”

“kalau kamu datang untuk minta maaf, aku sudah memafkan kamu Rei. sedari awal nggak pernah ada yang aku sesali. selama aku mencoba untuk mendapat atensi kamu, aku nggak menyesal. kamu nggak perlu minta maaf. semua orang punya pilihannya masing-masing. justru aku yang minta maaf”

Rei menegakkan kepalanya, netra coklatnya bertatapan dengan netra kelam milik Pascal yang membuatnya seakan menyelami samudera luas, “maaf karena membuat kamu risih dan buat kamu kelihatan jahat di mata kamu sendiri. kamu nggak jahat, kamu selalu jadi orang baik. terimakasih juga sudah mengajarkan aku pentingnya sabar dalam sebuah proses pendekatan, aku mengasihi kamu lebih dari yang kamu tau.”

Masih belum selesai, sang dominan mengambil kedua telapak tangan halus milik Shankara lalu dielus perlahan hingga menimbulkan perasaan nyaman yang tak dapat di deskripsikan oleh sang empunya,

“tapi cara aku mengasihi kamu kali ini berbeda. aku mau kamu bahagia dengan lelaki atau perempuan pilihan kamu, siapapun itu.