Runtuh.
Warn : Family issue.
Seminggu sudah kejadian tidak mengenakkan di antara pras, aria, dan jenaka terjadi. Seminggu lebih pula mereka tidak saling berkomunikasi ya karena memang tidak ada hal penting yang perlu dibicarakan antara kedua belah pihak.
Aria takut jika ia memaksakan kehendak maka prasetya tidak akan merasa nyaman, begitupun dengan anak mereka. Aria takut ketika ia semakin memaksa keadaan anaknya akan semakin susah digapai. Aria ingin berusaha, meski dengan tertatih.
Sekarang, disini mereka berada. Aria dan sena memutuskan untuk mengunjungi kediaman prasetya yang berjarak setidaknya 30 menit dari rumah mereka. Pintu dengan aksen woody itu terkesan klasik dengan halaman yang cukup luas.
Banyak tanaman di sekitarnya dengan garasi mobil yang berdampingan dengan teras rumah. Di bagian garasi terdapat beberapa sepatu berbeda ukuran yang bisa aria tebak sebagian besar adalah sepatu jenaka karena motifnya yang terkesan ramai dengan warna mencolok seperti kuning dan merah.
‘Jenaka suka basket? persis ayah nya, dasar anak ayah’ pikir aria ketika melihat dua buah bola basket yang tergeletak begitu saja disamping rak sepeda yang diduga milik sang dominan pemilik rumah.
Mendapati aria yang melamun sembari memperhatikan barang disekitar membuat sena mau tak mau menyambangi pria itu setelah ia selesai memarkirkan mobil mereka pada halaman rumah milik prasetya. “Mikirin apa sih sambil senyum-senyum?”
Aria terkejut, “Nggak ada. Ini lagi liatin sepatunya jenaka. Kebanyakan sepatu basket, kalau jenaka suka basket, sama kayak pras berarti. Dulu pras jago banget main basket” jelasnya dengan tatapan memuja. Sena paham, aria mencintai pras, sangat mencintai nya, terlihat dari binar rubah cantik itu yang berkilauan setiap kali ia menceritakan sosok prasetya.
“Bucin, dasar. Udah yuk, masuk”
Tiba di depan pintu, keduanya memutuskan agar sena saja yang mengetuk bidang datar tersebut dengan aria yang berdiri di sebelahnya dengan beragam buah tangan entah itu makanan dan beberapa barang lain seperti baju dan action figure.
Tok! Tok! Tok!
Tak lama terdengar suara hentakan kaki yang diikuti dengan sahutan “Sebentar!” dari dalam. Dan benar saja yang menyambut mereka ada prasetya, tak lupa dengan hiraya yang setia mengekori dari belakang dengan kursi rodanya.
Sena dan Aria sontak tersenyum saat mendapati sepasang sepupu itu yang juga turut menyambut mereka dengan senyum “Sudah datang rupanya, ayo masuk mas sena dan mas k-kala” Prasetya sempat tergugu, sedikit canggung.
“Eh, iya pras, makasih lho”
Prasetya mengangguk.
Saat mereka berdua dipersilahkan duduk, hiraya datang dari arah dapur membawa beberapa cemilan yang refleks dibantu oleh prasetya “Kamu kok ke dapur nggak bilang-bilang ke mas? kalau jatuh gimana?”
Hiraya hanya tersenyum sembari menggulirkan bola matanya malas yang membuat sena juga aria turut melebarkan senyuman mereka, lucu sekali kakak beradik ini, mereka memiliki keluarga yang hangat.
“Mas berlebihan deh, dah sana duduk. Aku bisa sendiri. Ini, mas sena sama kak kala, dinikmati ya, seadanya aja hehe”
“Makasih banyak hiraya, pras” ujar aria yang diangguki oleh keduanya
“Sama-sama kak kala cantik”
“Eh, by the way aku ada bawa ini buat kalian berdua, sama ayam taliwang buat jenaka. Dimakan ya nanti?” ujar aria sembari memberikan buah tangan kepada hiraya karena pria manis itu duduk tepat di sebelahnya yang berseberangan dengan pras dan sena.
“Waaah, makasih banyak kak! Aku panggil jenaka sebentar ya?”
Namun, sebelum hiraya bergegas, pras memutuskan agar ia saja yang menyambangi sang anak di kamarnya. Pras tahu bahwa jenaka tak mungkin menolak ajakan hiraya namun sejatinya hiraya tidak tahu bahwa tamu yang ia katakan kepada jenaka adalah aria dan sena.
“Biar aku aja, ya. Kamu disini bareng mas sena dan mas kala”
Hiraya mengangguk, “Ya Udah mas”
****
Kamar Jenaka
Tok! Tok! Tok!
Sesampainya di depan kusen pintu berwarna putih tulang dengan badge name ‘Jenaka P’ prasetya langsung saja memanggil putra kesayangannya, memastikan bahwa bocah itu tidak tertidur “Bang? Abang di dalam?”
“Bentar ayah, lagi pakai baju!”
Prasetya menghela napas lega, syukur bahwa anaknya itu tidak tertidur dan benar-benar menepati janji untuk bertemu dengan tamu sang ayah yang sebenarnya tidak ia ketahui siapa.
Cklek!
“Kenapa, yah?”
Pintu terbuka, jenaka bertanya dengan sopan kepada sang ayah tentang ada apa gerangan ayahnya itu langsung turun tangan untuk memanggilnya di kamar.
“Tamu-nya sudah dibawah, ayo?”
Jenaka mengangguk. Ia malas sebenarnya, tapi lagi-lagi prasetya tidak pernah mengajari dirinya untuk mengingkari janji, jika sudah berjanji maka sepatutnya ditepati. Ayahnya selalu mengajarkan bahwa seorang lelaki sejati tidak pernah mengingkari janjinya.
Maka dengan setengah hati bersama dengan senyuman yang dipaksakan, jenaka bersama prasetya menghampiri ketiga orang lainnya yang sedang sibuk bercengkrama sambil tertawa, namun sayangnya tawa mereka seolah mereda karena kedatangan jenaka bersama sang ayah.
“Nah, bang ini–”
“Ayah sama Aya kenapa nggak bilang kalau dia yang datang?”
Perkataan prasetya sontak dipotong oleh yang lebih muda membuat seseorang yang seakan merasa bahwa sosok dia itu ditujukkan kepadanya langsung saja menunduk sambil memainkan jari-jarinya cemas.
Nawasena yang melihat situasi tidak kondusif langsung saja melayangkan pandangannya kepada hiraya yang juga dibalas dengan tatapan seolah berkata ‘kita harus kasih waktu buat mereka bertiga’ hingga mereka berdua berlalu dari sana dengan sena yang sukarela mendorong kursi roda milik hiraya.
Kembali dengan sepasang keluarga yang belum utuh ini.
Prasetya menghela napas lelah sembari memijat tulang hidungnya pelan, ia tahu ini akan terjadi. Namun ia tidak menyangka bahwa jenaka akan menyanggah perkataannya secepat itu sesaat setelah ia melihat sosok ibu kandungnya tengah duduk bersama si paman yang minggu lalu ia temui.
“Bang–”
“Ayah tau ‘kan? Ayah tahu sebenci apa jenaka sama dia dan ayah tega?” katanya membordir sang ayah dengan berbagai pertanyaan yang enggan dijawab oleh prasetya karena menurutnya prasangka sang anak hanya berasal dari emosi sesaat.
Melihat kedua lelakinya seolah berperang dingin membuat Aria mau tidak mau harus turun tangan, ia tahu ia belum memiliki hak sepenuhnya atas jenaka namun ia tak ingin sang anak berlaku tak sopan kepada sosok ayahnya.
“Jenaka–”
“Kenapa datang kesini? Mau ngapain? Mau cari perhatian ke siapa? Kamu cantik, tapi percuma kalau dipakai caper ke orang yang udah punya satu anak.”
“Bang.”
Aria hanya tersenyum, dirinya mengusap lengan pras lembut sebelum berjalan mendekati sosok anaknya yang telah tumbuh semakin besar. Menyampingkan sakit hatinya aria menyodorkan buah tangan yang telah ia siapkan untuk sang buah hati,
“Kamu lapar nggak? Mau makan bareng? Aku bawain–”
“Pergi.”
“Kata ayah kamu, kamu suka ayam taliwang. Mau makan bareng?”
Lagi-lagi aria mengesampingkan sakit hatinya demi sang putra karena ia tahu ini semua adalah bentuk hukuman yang harus ia terima karena perbuatannya di masa lalu. Dulu ia ingin melenyapkan jenaka dan sekarang jenaka yang tidak menginginkan dirinya.
Anak itu sungguh terlihat muak saat aria berdiri di hadapannya dengan senyuman terluka yang jenaka rasa, palsu. Lelaki dihadapannya ini penuh dengan kepalsuan, hanya itu yang ada di dalam otaknya ketika melihat sosok ringkih dihadapannya.
“Kalau dibilang nggak mau ya nggak mau! Tuli apa gimana sih?!”
BRAK!
Jenaka menghempaskan makanan yang telah aria siapkan untuk dirinya, ayam taliwang kesukaannya. Namun seketika makanan tersebut menjadi penyebab sakit hatinya karena dibuatkan sosok yang tidak ia ingini kehadirannya.
“Jenaka!”
PLAK!
Wajah tampan itu tertoleh ke samping kontras dengan tamparan sang ayah yang membuat pipinya memerah. Jenaka memegang wajahnya yang memerah sembari tersenyum remeh kepada dua orang yang kini memandangnya dengan tatapan tak percaya.
“Kenapa?! Kenapa ayah tampan jenaka? Karena dia? Iya?! Karena laki-laki sialan ini?! Jangan-jangan ayah suka sama dia? Iya? Ayah suka sama orang ini? Orang ini yang katanya ibu aku padahal tega ninggalin aku dan ayah? Ayah jahat! Jenaka benci ayah!” katanya sembari mendorong bahu sang ayah juga lelaki mungil yang katanya disukai sang ayah.
Namun sebelum kakinya berhasil menaiki tangga, bocah sepuluh tahun itu berbalik, lalu
“Aku benci sama kamu! Seorang ibu nggak akan pernah ninggalin anaknya sendiri! Kamu jahat!” berujar dengan nada benci kepada ibunya dengan sorot mata terluka.
Aria yang mendengar kalimat tersebut keluar dari bilah bibir anaknya sendiri seketika jatuh terduduk dengan memegangi dada bagian kirinya yang terasa diremas dengan kuat dari dalam, sakit rasanya.
Aksi itu mencuri perhatian prasetya yang masih sama herannya dengan aria, tindakan jenaka yang memberontak seperti tadi sungguh asing di mata dan pendengarannya. Ia memutuskan untuk menghampiri putranya nanti, sekarang yang harus ia lakukan adalah menenangkan sosok manis dalam pelukannya yang kini berderai air mata hingga tak mampu mengucap satu kata pun.
‘Jenaka, maafin ibuk. Ibuk sayang banget sama Jenaka, nak…”