Mentari kembali menampakkan sinarnya. Burung berkicau dengan indahnya. Suara tirai yang dibuka membangunkan Jaehyun yang terlelap dalam tidurnya.
“Ah, tutup lagi dong tirainya, aku masih ngantuk,” pintanya dengan mata yang masih terpejam. Janne hanya menggelengkan kepalanya. Ia lalu berjalan menghampiri suaminya.
“Ayo bangun ih, katanya mau nemenin aku priksa sama beli soto,” Jaehyun langsung terduduk.
“Aw,” rintihnya karena punggungnya masih terasa sedikit nyeri.
“Ati-ati dong. Dasar bayi gede,” Jaehyun masih sibuk mengusap matanya yang tertutup.
“Bangun atuh. Ayo cepetan mandi.”
“Mandiin,” rengeknya dengan ekspresi memelas.
“Punya dua anak aja masih manja banget ya ampun.”
“Haha, iya-iya aku mandi,” Jaehyun lalu beranjak dari tempat tidurnya. Ia kemudian mengecup pipi istrinya secara singkat. Janne hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
Selepas itu, kini giliran Janne membangunkan Janna yang masih tidur di kamar Jaemin. Putrinya itu ingin menemani kakaknya katanya. Jaemin masih tertidur pulas karena kelasnya dimulai siang nanti.
Setelah selesai mendandani putrinya, Janne harus disibukkan dengan memasangkan dasi suaminya. Jaehyun sedari tadi diam saja dan memperhatikan setiap pergerakan yang dibuat istrinya. Janne kemudian menatap kedua manik suaminya itu. Jaehyun semakin memperkecil jarak antara mereka.
“Morning kiss,” katanya sambil tersenyum. Janne ikut tersenyum malu.
“Dasar. Ayo berangkat,” ajaknya.
Setelah mengantar Janna, Jaehyun kemudian melajukan mobilnya menuju rumah sakit. Sebelum turun dari mobil, Jaehyun meletakkan tangannya di dahi istrinya. Mengecek apakah istrinya masih demam atau tidak.
“Udah ga panas,” ia mengecek berkali-kali.
“Iya? Udah ga panas, ya?”
“Tapi gapapa, kamu harus periksa. Itu masih pucet kayak orang kurang cairan,” katanya yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari istrinya.
“Haha, engga. Bercanda. Ayo turun,” ajaknya.
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Janne memasuki ruangan periksa. Jaehyun menunggu di luar. Meskipun ia sudah berulang kali meminta untuk masuk, namun Janne tidak mengizinkannya.
Jaehyun kemudian memutuskan untuk membaca berita hari ini. Namun, di beranda halaman berita yang ada di ponselnya membuatnya sedikit terpaku. Ia masih melihat artikel mengenai insiden yang menimpa dirinya beberapa waktu lalu.
Setelah menunggu beberapa puluh menit, istrinya akhirnya keluar dari ruang periksa. Ia langsung memberondong istrinya dengan berbagai pertanyaan.
“Gimana? Kata dokter kenapa? Ga ada masalah apa-apa kan?” raut mukanya mengisyaratkan sedikit kekhawatiran.
“Engga ada. Nggak usah khawatir. Aku ambil obat dulu.”
Setelah selesai, mereka memutuskan untuk sarapan di tempat soto pinggir jalan yang membuat Jaehyun dan Janne sedikit bernostalgia.
“Aku kira dulu kamu ga mau diajak ke tempat kaya gini,” ujar Jaehyun.
“Sok tau ih. Biasanya makanan pinggir jalan tuh lebih enak.”
“Berarti kamu udah sering dong? Sama siapa? Kok aku ga tau?” berondongnya.
“Sama papa. Emang sama siapa?” Janne kembali bertanya.
“Aku kira sama cowok lain,” sindirnya.
“Kamu tuh. Mesti pernah ke sini sama cewek lain,” tuding Janne.
“Mana ada? Coba kamu tanya sama yang jual. Aku ke sini sama cewek tuh ya cuma sama kamu. Selebihnya sama temen. John— si bangsat,” umpatnya.
“Hush, ga boleh berkata kasar.”
“Maaf, emosi.”
“Udah dateng tuh sotonya,” peringat Janne.
“Makasih ya, Pak. Oh iya, Pak. Saya masih inget saya kan?” tanya Jaehyun pada penjual tersebut.
“Masih dong, Mas. Kan dulu sebelum sama mbaknya, masnya sering ke sini sama temennya. Kalo ke sini langsung jadi pusat perhatian cewek-cewek,” jelasnya yang membuat Janne menatap Jaehyun dengan mata melotot.
“Oh, iya, Pak. Udah lama banget ya.”
“Iya, Mas. Yaudah saya lanjut dulu ya,” pamitnya.
“Abis ini kamu langsung ke kantor?”*
“Iya. Temenin, ya. Sampe agak sore paling.”
“Aku belum masak loh.”
“Hari ini beli makanan aja.”
“Pengen masak.”
“Hm, yaudah deh. Besok temenin ngantor.”
“Kok kamu malah jadi makin manja sih?”
“Gapapa dong. Kan manjanya ke kamu.”
“Iya deh iya.”
Seusai sarapan dan mengantar Jaehyun ke kantor. Sesampainya di rumah, ia masih melihat putranya yang tertidur. Ia kemudian membangunkannya dan menyuruhnya untuk segera mandi dan sarapan.
“Hari ini berangkat sama Jani lagi, Kak?”
“Iya, Ma. Kenapa?”
“Mama waktu itu ngajak Jani hangout berdua. Dia bisanya kapan, ya?”
“Mau aku tanyain ntar?”
“Iya, tanyain ya.”
“Siap Mama!” Jaemin kemudian masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil barang-barangnya yang akan ia bawa. Setelah itu, ia berpamitan.
“Berangkat dulu ya, Ma,” ucapnya sambil meraih tangan mamanya.
“Iya. Hati-hati di jalan. Ga usah ngebut.”
“Siap. Assalamu'alaikum jangan?”
“Assalamu'alaikum.”
“Wa'alaikumssalam. Berangkat ya, Ma!”
“Iyaaa, hati-hati loh, ya. Tangannya barusan sembuh.”
“IYAAAA.”
Kini rumahnya sepi. Janne selalu merasa seperti ini jika anak-anak dan suaminya menjalankan kegiatan masing-masing. Sebenarnya Janne dulunya bekerja. Namun, Jaehyun melarangnya karena Jaehyun rasa pendapatannya cukup untuk membiayai keluarganya. Ya bagaimana tidak? Ia menjadi pewaris tunggal perusahaan papanya. Kini, papa dan mamanya tinggal di luar negeri untuk menikmati masa tua mereka.
Sementara orang tua Janne sudah tidak utuh lagi. Papanya meninggal sudah dari lama. Kini, tinggal ibunya dan adik laki-lakinya —Jungwoo saja yang hidup sendiri di rumah yang cukup besar. Jungwoo menggantikan Janne untuk mengisi posisi perusahaan papanya yang kosong. Untung saja Jungwoo sangat kompeten sehingga Janne bangga akan hal tersebut.
Tak terasa matahari kian meninggi padahal Janne hanya menggunakan waktunya untuk memasak. Kini gilirannya untuk menjemput putrinya.
“Mama, coba tebak Janna dapet berapa bintang hari ini?” tanyanya setelah masuk ke dalam mobil.
“Em, berapa, ya? Lima?” tebak Janne.
“Iyaaa. Janna dapet lima,” jawabnya dengan sangat bangga hingga deretan giginya terlihat semua.
“Ih, Janna giginya banyak yang ompong. Jangan makan es krim mulu, ah,” Janna langsung menutupi mulutnya.
“Masa sih, Ma? Janna ga ompong kok,” mendengar itu, Janne langsung tertawa.
“Emang ga ompong wle,” ejeknya.
“Ih, mamaaa,” rengeknya sambil memukul mamanya.
“Haha, udah. Ayo kita pulang.”
Hari semakin gelap. Matahari sudah menghilang. Kini saatnya untuk tidur. Namun, Janne membuka suara.
“Jae,”
“Hm? apa?”
“Aku mau kasih sesuatu, tapi aku takut.”
“Takut kenapa, hm?” tangannya memegang kedua lengan istrinya, netranya menatap istrinya dalam-dalam.
“Ini,” kata Janne sambil menyodorkan sesuatu.
“Apa ini? Aku ga lagi ulang tahun kok dikasih kotak?”
“Coba buka,” perintahnya. Jaehyun membuka kotak itu dengan sangat hati-hati.
“Ini bukan jebakan batman kan?” tanyanya.
“Buka aja.”
“Janne?” Jaehyun tidak percaya dengan apa yang sudah diberikan padanya.
“Janne?” ulangnya sekali lagi.
“Hah? Ya ampun,” ia membawa Janne ke dalam pelukannya.
“Makasih ya Allah. Janne, makasih,” ia mengecup puncak kepala Janne.
“Haha, kok nangis?” tanya Janne.
“Aku seneng banget tau nggak?”
“Hahaha,”
“Ini kamu tau dari kapan?”
“Dari pas aku demam hari pertama. Aku buat masak tuh udah mual banget.”
“Terus?”
“Aku sadar kalo udah telat datang bulan. Awalnya aku ga percaya, masa iya? Eh, pas aku cek ternyata iya dong.”
“Kok kamu ga ngasih tau aku dulu? Terus kok kamu bandel banget masih masak?”
“Hahaha, kan biar surprise. Rasanya pengen banget kasih tau. Tapi, kamu kemarin ga peka.”
“Kemarin?”
“Iya, kemarin. Coba, apa yang aneh dari aku?”
“Oh, pantesan. Tiba-tiba minta makan soto di pinggir jalan. Eh, taunya.”
“Kamu sih ga peka.”
“Ya kan ga kepikiran juga. Terus tadi gimana pas periksa?”
“Aku udah bilang ke dokternya terus dikasih vitamin doang tadi.”
“Ih, dokternya curang. Masa duluan dia yang tau daripada suami sendiri,” ocehnya dengan ekspresi yang dibuat menggemaskan.
“Ih gemes, pengen cium,” tanpa aba-aba bibir Jaehyun sudah mendarat di bibir Janne. Jaehyun lalu mengecup puncak kepala Janne lagi dan lagi. Ia juga mendekap erat tubuh istrinya itu.
“Makasih, ya.”
“Makasih juga, ya.”
“I love you.”
“I love you more.”
“Nggak. I love you more and more.”
“Nggak bisa. I love you more and more and more.”
Mereka kemudian tertawa dan akhirnya tertidur untuk menyambut hari esok.
—The End