rainygreyskies

Selena mengerjapkan matanya berkali-kali untuk memproses apa yang terjadi padanya kemarin dan di mana ia berada hari ini. Ia tampak mencoba mengingat kejadian kemarin. Hanya beberapa ingatan kecil saja yang bisa dipulihkan. Sisanya, ia tidak tahu. Ia merutuki dirinya yang terlalu mabuk.

Wanita itu melihat sekeliling. Apartemen ini tampak beda dari apartemen miliknya. Tunggu, ini bukan apartemen gue? tanyanya dalam hati.

Image

Selena mendengar suara orang sedang memasak. Ia berjalan menuju arah datangnya suara. Langkahnya terhenti begitu mendapati Jeff sedang memasak di sana.

“Jeff?” Selena masih tidak percaya. Ia masih memproses, apakah ini apartemen milik Jeff?

“Sudah bangun? Ah, kamu pasti kaget karena berada di apartemen saya,“—Jeff mengecilkan kompornya lalu kembali menatap Selena—”kemarin sekretaris kamu datang ke apartemen, tapi—”

“OH, IYA.” Selena menepuk jidatnya.

“Gue kemarin kan nyuruh dia beliin es krim. Ternyata dia beneran datang. Gue juga lupa ngabarin kalau gue pergi sama temen gue,” lanjut Selena kemudian.

“Eh, tapi kenapa lo bisa nemuin gue terus bawa gue ke sini?”

“Navigasi mobil kantor terhubung pada navigasi mobil kamu. Setelah membawa kamu pulang ke apartemen, saya tidak tahu password apartemen kamu. Sekretarismu juga tidak tahu. Jadi, kamu saya bawa ke sini. Tidak ada pilihan lain. Tenang, saya tidur di sofa, kok. Saya tidak berbuat apa-apa,” jelas Jeff panjang lebar.

Selena berusaha memahami apa yang dikatakan oleh Jeff, namun ia merasa bersalah karena sudah merepotkan bawahannya.

Sorry ya, Jeff. Gue emang ngga terlalu kuat minum. Sorry juga karena gue udah ngerepotin lo.” Selena memasang wajah yang tampak sedikit lucu hingga membuat Jeff mengulas senyumnya secara tidak sadar.

“Sudah menjadi tanggung jawab saya, Selena. Kamu makan ini dulu biar pengarmu hilang.” Jeff memberika bubur yang dimasaknya.

“Lo bisa masak juga ternyata, Jeff.”

“Ya, karena saya memang sedari kecil hidup sendiri.”

“Lo hidup sendiri? Maaf, kalau boleh tau, orang tua lo ke mana?”

“Mereka sudah meninggal. Ayah saya meninggal lebih dulu, dua tahun kemudian ibu saya menyusul.”

“Sudah berapa tahun ditinggal orang tua?”

“Saya tidak ingat karena saya masih kecil waktu itu.” Jeff berbohong pada Selena. Orang tuanya meninggal ketika ia berusia enam tahun. Ketika ia baru saja memasuki bangku sekolah dasar.

“Terus lo hidup sama siapa semenjak itu sebelum lo akhirnya hidup sendiri?”

“Emm, saya hidup dengan seseorang yang sangat dipercaya oleh ayah saya.”

“Waktu itu lo pernah bilang kalau mau balas budi. Itu orang yang sama yang dipercaya sama ayah lo apa bukan?”

“Bukan, itu orang yang berbeda.”

“Sorry ya, Jeff. Gue lancang banget tanya-tanya tentang keluarga lo.”

“Tidak masalah.”

Selena tersenyum kemudian melanjutkan untuk menghabiskan bubur yang sudah dibuatkan oleh Jeff. Setelah itu, Selena menelaah seisi ruang apartemen milik Jeff. Ia berdecak kagum.

“Gaji detektif emang tinggi banget, ya? Sampai lo bisa beli apartemen sebagus ini?”

Jeff hanya membalas dengan senyum yang sedikit canggung.

Tinggi apanya, bahkan para detektif yang mempunyai rumah sendiri bisa dihitung dengan jari.

“Selena.” Selena menoleh, menaikkan kedua alisnya.

“Kamu tidak mandi?”

“Gue mandi nanti aja. Habis ini kita ke apartemen gue dulu, ya.”

Setelah Jeff mengantar Selena pulang, wanita itu merebahkan tubuhnya. Namun, ia teringat bahwa hari ini adalah hari pertama dia datang bulan. Wanita itu melihat rok yang dikenakannya dengan jas milik Jeff yang menyelimuti belakang roknya.

Selena melepas jas itu. Menelisik satu persatu apakah ia meninggalkan noda di jas milik Jeff. Untunglah, tidak ada noda yang tertinggal di sana. Selena kemudian memasukkan jas itu ke dalam keranjang pakaian kotor miliknya. Ia akan mengembalikan jas itu seperti sedia kala.

Kini Selena berjalan menuju kamar mandi. Kamar mandi yang memiliki jendela sangat besar dengan pemandangan kota pada malam hari yang dapat membuat suasana hati menjadi lebih tenang.

Image

Selena mengisi bath up sampai penuh. Ia juga mengalunkan sebuah lagu yang berasal dari ponselnya. Lagu pun diputar. Lagu yang direkomendasikan oleh Jeff beberapa hari lalu. Benar saja, lagu itu membuat Selena menjadi bersemangat.

Selena mengikuti lirik yang mengalun. Pikirannya penuh, penuh dengan kerinduan-kerinduan dan dialog-dialog yang ia ciptakan bersama Jeff.

Mengenai apa yang menjadi cita-citanya. Ia sudah lama tidak memikirkan tentang cita-cita yang didambakannya sejak kecil. Cita-citanya bisa dibilang sederhana. Wanita itu hanya ingin memiliki keluarga yang utuh. Cukup sederhana, namun cita-cita itu tampak begitu sulit baginya.

Memorinya kembali terputar pada kejadian kala itu, ketika dirinya hampir saja diculik. Saat itu juga, orang tuanya tak henti-hentinya menyalahkan satu sama lain. Tidak ada yang mengalah di antara mereka hingga akhirnya kata 'pisah' menjadi pukulan berat bagi Selena semenjak masih berumur delapan hingga sekarang.

Selena memang masih kecil untuk mengerti kata pisah, namun semenjak papanya sudah tidak tinggal bersamanya lagi, ia baru menyadari bahwa kejadian waktu itu adalah kejadian di mana keluarganya sudah tidak utuh lagi.

Fokus Selena teralihkan ketika ponselnya berdering. Alexa memanggil. Temannya itu mengajak Selena untuk bertemu dengan teman-teman lain semasa SMA-nya. Selena mengiyakan ajakan itu. Ia memang jarang sekali menolak ajakan teman-temannya kecuali jika ia memiliki acara yang lebih penting.

Setelah berias, ia mengenakan pakaian yang nyaman, namun elegan. Wanita itu kemudian berjalan menuju tempat parkir dan mengendarai mobilnya menuju tempat pertemuan.

Teman-temannya menyambut Selena. Tempat pertemuannya sangat berisik, bahkan mereka harus sedikit berteriak ketika berbicara. Selena memang tidak terlalu suka berada di sebuah club, tetapi ia tetap bisa membaur dengan teman-temannya dengan sangat baik.

Seperti sekarang, Selena berperan layaknya pembawa acara. Ia menginstruksikan temannya untuk duduk dengan tenang. Bahkan, tanpa persiapan apa pun, Selena bisa menyusun acara yang akan mereka jalankan selama berada di club.

Kini tiba saatnya mereka untuk bermain sebuah permainan. Bagi siapa yang kalah, mereka harus menegak minuman beralkohol dalam sekali minum dengan ukuran gelas medium.

Permainan terus berlangsung hingga tiba giliran Selena. Ia kalah sehingga ia harus menegak minuman dalam sekali teguk. Selena dengan senang hati menyambut tantangan itu.

Setelah sampai beberapa putaran, Selena kalah lagi. Kini sudah kali kelimanya. Wanita itu memang miliki sedikit masalah dengan peruntungan. Ia sudah cukup mabuk malam ini.

Namun, sangat disayangkan, pada putaran selanjutnya, wanita itu kalah lagi. Ia harus kembali menegak minuman beralkohol tersebut. Ketika gelasnya sudah berada di depan bibir wanita itu, sebuah tangan mencegahnya. Selena melihat wajah sang pemilik tangan. Ya, Jeff berhasil menemukan Selena.

Jeff menegak minuman yang seharusnya diminum oleh Selena. Teman-teman Selena bersorak untuknya. Mereka lalu bertanya-tanya, siapa pria yang menggantikan Selena untuk minum ini?

“Pacar lo, Na?” tanya Alexa.

Selena tersenyum dengan wajah mabuk dan pipi yang sudah sangat memerah.

“Dia menegak berapa gelas?” tanya Jeff pada teman Selena.

“Lima gelas.”

“Kalian kenapa tidak menghentikan dia?” Jeff menunjukkan sorot kemarahan.

“Y-ya soalnya ini juga idenya Selena.”

Jeff menghiraukan teman Selena. Kini ia membantu Selena untuk bangkit.

“Selena pulang dengan saya. Ini semua biar saya yang bayar,” tutup Jeff kemudian.

Pria itu membawa Selena pulang menuju apartemennya. Selena tertidur ketika sedang dalam perjalanan menuju apartemen.

Jeff menatap Selena yang berada di kursi penumpang. Lo kenapa sih, Na? Selalu bikin gue khawatir, ucapnya yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.

Setelah menempuh waktu selama dua puluh lima menit, mereka akhirnya sampai di apartemen. Menggendong Selena dari lantai basement hingga menuju lantai tujuh di mana Selena tinggal.

Sesampainya di sana, Jeff masih harus bermasalah dengan password apartemen milik Selena. Jeff berusaha membangunkan Selena, namun Selena tak kunjung bangun.

Ia mencoba beberapa kali mulai dari tanggal lahir Selena, hingga tanggal lahir kedua orang tua Selena, namun tidak berhasil. Tanpa pikir panjang, ia kembali masuk ke dalam lift dan menggendong Selena hingga menuju basement di mana mobilnya diparkir.

Jeff melajukan mobilnya menuju apartemen miliknya. Selama lima belas menit perjalanan, mereka akhirnya sampai. Jeff kembali menggendong Selena kemudian merebahkannya di atas kasur miliknya.

“Huh, kenapa malam ini panas banget?” tanya Jeff pada angin yang baru saja menerpa permukaan wajahnya.

Jeff melangkahkan kakinya, namun tertahan ketika sebuah tangan mencegahnya. Jeff menoleh, sedikit tidak percaya dengan apa yang baru saja Selena lakukan.

“Jae, jangan tinggalin gue.” Jeff terkejut. Ia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Selena dalam tidurnya.

“Cuma lo yang selalu ada buat gue, Jaehyun.”

Selena akhirnya mengiyakan ajakan Taeyong meskipun ia enggan sekali untuk beranjak dari tempat tidur. Ia sebenarnya hanya ingin istirhat di hari libur. Namun, di sisi lain, dia juga tidak bisa mengabaikan temannya yang meminta bantuannya. Setelah matahari kian meninggi, mereka bersiap-siap. Taeyong akhirnya sampai di apartemen Selena. Selena pun turun untuk menemui Taeyong.

Taeyong mengenakan kaos putih polos. Berbeda dari biasanya yang Selena lihat. Tampilannya kali ini terkesan simpel. Indra penciuman Selena pun menghirup aroma semerbak yang ia duga berasal dari Taeyong.

Image

“Lo habis ketemu cewek, ya? Kok wangi banget?” tanya Selena penasaran.

“Engga. Gue barusan dari rumah, kok,” jawab Taeyong polos. Suasana mendadak menjadi canggung. Selena kemudian mengajak Taeyong untuk masuk ke mobil.

Mereka berkeliling ditemani musik yang mengalun sambil diseliling beberapa obrolan renyah tentang keduanya. Mengingat memori masa lalu yang mungkin amat menyakitkan bila Selena ingat. Taeyong pun paham, kemudian mengalihkan obrolan seputar pekerjaan dan persoalan Taeyong yang baru saja pindah dari Amerika.

Setelah kurang lebih tiga puluh menit, mereka tiba di tempat yang dituju. Mereka pun masuk dan melihat sekeliling. Perabot yang dijual di sana adalah tipe perabot yang diinginkan Taeyong.

“Ada yang bisa dibantu?” tanya pegawai di sana.

“Saya sedang mencari meja kerja yang minimalis dan simpel.” Pegawai tersebut lalu menunjukkan meja yang dimaksud.

“Ah, iya, yang seperti itu,” kata Taeyong.

“Ada yang bisa saya bantu lagi?” Taeyong lalu mengatakan apa saja yang dibutuhkannya.

“Gue kayaknya ga guna gini, deh,” kata Selena tiba-tiba.

“Eh, kenapa, Na?”

“Nggak, sebenernya kan lo bisa beli sendiri, Yong.”

Sorry kalo lo ga nyaman. Kita pulang sekarang, ya?”

“Nggak, bukan gitu. Kan lo ngajak gue. Lo bisa basa-basi kek tanya 'Na, ini bagus, nggak? Kalo ini gimana? Cocok gak, sih buat gue?' gitu. Lo milih-milih sendiri. Gue dikacangin,” protes Selena.

“Haha, sorry! Gue terlalu asik milih. Lo tetep berguna karena udah nemenin gue,” ucap Taeyong kemudian.

“Dasar lo. Gue tadi udah susah payah bangkit dari tempat tidur, loh.” Selena menekuk mukanya.

“Gue bener-bener minta maaf. Sekarang gue pengen beli rak, menurut lo, yang mana yang bagus? Hitam atau putih?” Selena lalu tersenyum.

“Nah, gitu, kek dari tadi. Serahin ke gue!”

Pegawai tadi menghampiri mereka kembali lalu bertanya, “Ada yang bisa dibantu lagi, Pak? Bu? Perabotan rumah tangga mungkin?” Taeyong dan Selena terkejut. Kemudian, dengan cepat Selena menjawab, “K-kami bukan suami istri.” Taeyong tersenyum karena melihat Selena yang gugup sambil menyilangkan kedua tangannya membentuk huruf X.

Setelah selesai, Taeyong pun mengajak Selena untuk makan malam.

“Dah, yuk. Kita makan dulu, ya? Lo mau makan di mana?”

“Mana aja gue mau.”


Perut mereka sudah terisi. Kini saatnya kembali. Tak terasa bahwa hari akan berganti. Jalanan sudah sepi.

“Gila! Kita keluarnya lama juga, ya?” tanya Selena.

“Iya, gak kerasa, ya?”

“Ah, tapi gue seneng. Akhirnya bisa refreshing bentar. Ngga melulu mikir kerjaan.”

“Kayaknya lo perlu banyak-banyak refreshing, deh, Na.”

“Iya juga, ya?”

“Kalo mau keluar buat refreshing lo bisa ajak gue.”

“Oke, deh. Lain kali gue ajak lo.”

Mobil berhenti. Mereka sudah sampai di apartemen. Taeyong akhirnya berpamitan. Selena kemudian masuk. Hari ini sedikit lebih berwarna baginya.

Image Jam menunjukkan pukul 16.45. Selena merenggangkan tubuhnya. Menghela sedikit nafas dan memperhatikan sekeliling. Langit senja tampak begitu indah. Namun, Selena tidak bisa merasakan bahwa ia bahagia. Ada suatu ruang kosong yang ada di hatinya. Sudah lama ia tidak bertemu dengan orang tuanya. Mereka sibuk dengan pilihan masing-masing. Bahkan, Selena merasa bahwa ia sedikit diabaikan, namun Selena mencoba berpikir secara rasional bahwa ia bukan anak kecil lagi yang mengekspresikan segala ekspresi kekecewaan, kemarahan, atau kesedihan yang dilaluinya. Ia sudah dewasa. Ia tidak boleh mengeluh dengan keadaan.

Setelah pikirannya melanglang dalam sebuah realita yang cukup pahit, ia kemudian memutuskan untuk membereskan berkas-berkas di hadapannya. Setelah jam menunjukkan pukul 17.00 tepat, Selena lalu keluar dari ruangannya dan turun menuju lantai dasar.

Ia melihat Jeff masih berjaga di sana. Jeff rupanya belum pulang. Ia masih menunggu Selena. Image

“Kok belum pulang?” tanya Selena begitu melihat Jeff.

“Karena kamu juga belum pulang,” jawab Jeff dengan entengnya.

“Kan gue udah nyuruh lo pulang duluan. Dasar!” cibir Selena. Akan tetapi, Jeff hanya diam.

“Kamu langsung ke acaranya?” tanya Jeff kemudian.

“Enggak. Gue mau ke salon dulu.”

“Biar saya antar.”

Selena menautkan kedua alisnya. Sedikit bingung sekaligus terkejut dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Jeff. “Hah? Nggak perlu. Ini bukan urusan pekerjaan, kok.”

“Biar saya antar,” ucap Jeff lagi. Tetap bersikukuh dengan kalimatnya.

Selena akhirnya berdecak. “Iya, deh. Ayo.” Mau dilarang seperti apa pun, Jeff pasti akan tetap berusaha mengantarnya. Maka, tidak ada pilihan lain bagi Selena selain mengiyakan apa yang dikatakan Jeff.

Setelah dua puluh menit perjalanan, mereka akhirnya sampai. Setelah melihat Selena memasuki salon langganannya tersebut, Jeff segera memutar mobil untuk pulang.

Ternyata, seseorang sudah duduk manis menunggunya. Selena tersenyum sembari melambaikan tangan ke arah temannya yang sudah lebih dulu bersiap tersebut. Beberapa jam Selena habiskan waktunya dengan berbincang-bincang dengan temannya itu—Alexa sembari melepas rindu. Setelah keduanya selesai, mereka menuju ke tempat di mana reuni diselenggarakan.

Sudah sekian lama Selena tidak bertemu dengan teman-temannya. Kini ia merasa begitu senang dapat dipertemukan kembali. Beberapa menit setelah sampai, acara pun dimulai. Namun, satu orang yang terlambat berhasil mengalihkan atensi.

Sorry, gue telat,” ucap pria itu dengan sedikit terengah-engah.

“Lah iya juga. Pantes kok kayak ada yang kurang gitu, ternyata Taeyong,” ucap salah satu dari mereka. Taeyong yang masih berusaha untuk mengatur napas akhirnya berjalan masuk ke dalam kerumunan dan menempatkan diri untuk berdiri bersebelahan dengan Selena.

“Hai, Na! Apa kabar lo?” tanya Taeyong, sedikit basa-basi.

“Oh, hai! Long time no see banget nggak, sih? Ya, gue baik. Masih kayak biasanya. Lo gimana?” tanya Selena kemudian.

Taeyong melangkahkan kakinya sedikit menjauh dari Selena kemudian merentangkan kedua tangannya sembari tersenyum. “As you can see, gue juga baik-baik aja.”

“Ini lo barusan balik dari Amerika nggak, sih?” tebak Selena

“Iya. Baru kemarin gue sampai. Makanya agak capek juga.” Taeyong tertawa kecil.

“Belum sempat istirahat dong, ya?”

“Udah, kok. Oh, iya. Lo sekarang sibuk apa, nih?”

“Biasa. Ngurusin perusahaan mama.”

“Mama lo belum balik?”

“Nggak akan balik juga kayaknya,” jawab Selena sembari tersenyum miris.

Taeyong yang mendengar itu langsung berusaha untuk sedikit serius. “Eh, kok gitu?”

“Haha, sorry,” ucap Selena sembari mengibaskan tangan, seolah mengatakan untuk melupakan apa yang ia bicarakan tadi. “Kalo lo gimana? Balik Amerika lagi?” lanjutnya kemudian.

“Gue baliknya masih lama kayaknya. Di sini ada project yang harus gue urus. Mungkin nggak bakal balik juga kali, ya? Haha.”

Project apa, tuh?”

“Rencananya gue pengen ngobrolin ini sama lo, sih. Kayaknya cocok gitu kalo kita kerja sama.”

“Tinggal cocokin jadwal aja kita,” jawab Selena. Taeyong tersenyum.

Yo! Gue demen nih kalo langsung paham gini.”

Acara berjalan sesuai rencana kemudian berakhir pada pukul 23.00. Selena dan teman-temannya menyempatkan diri untuk berfoto. Begitu juga dirinya dengan Taeyong. Mereka sudah saling kenal sejak lama. Bisa dibilang bahwa Taeyong adalah teman masa kecil Selena, meskipun mereka hanya bertemu ketika mereka menghadiri acara yang melibatkan orang tua berserta rekan bisnisnya.

Setelah sesi foto selesai, kini saatnya mereka pulang. Selena hendak meraih ponselnya untuk menelepon taksi. Namun, Taeyong segera menghampiri Selena sehingga Selena memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.

“Udah mau pulang?” tanya Selena.

“Ah, iya. Lo pulangnya gimana?”

“Ini gue mau telpon taksi.”

“Bareng gue aja gimana?”

Selena tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab tawaran dari Taeyong. “Em ... boleh?”

Of course, with my pleasure,” jawabnya sembari tersenyum dan membungkukkan badan hingga 90 derajat.

Selena mengekori Taeyong. Berjalan menuju tempat di mana mobil pria itu diparkir. Di tengah perjalanan, Taeyong tersenyum kepada Selena. Selena pun membalas senyuman Taeyong dengan senyum sekilas yang terasa sedikit canggung. Entah karena apa. Mungkin efek mereka sudah tidak bertemu selama beberapa tahun tanpa menanyakan kabar. Meskipun begitu, Selena selalu mendapat kiriman hadiah ulang tahun dari Taeyong. Begitu pula sebaliknya, Selena dengan rutin mengirimkan hadiah ulang tahun lengkap dengan kartu ucapan.

Setelah berada di tempat parkir, Taeyong berniat untuk membukakan pintu mobil, namun aktivitasnya terhenti ketika tiba-tiba ada seseorang yang mencegah tangannya untuk membuka pintu.

“Jeff, lo ngapain di sini?” tanya Selena tidak percaya.

“Menjalankan tugas saya sebagai bodyguard kamu,” jawab Jeff dengan menekankan kata bodyguard.

“Oh, bodyguard-nya Nana?” —Taeyong mengulurkan tangannya—”saya Taeyong, teman semasa kecil Nana.”

Jeff menghiraukan uluran tangan Taeyong. Ia menarik tangan Selena untuk membawanya menjauh dari Taeyong.

“Jeff, tunggu,“—Selena menghentikan langkahnya—”gue udah bilang kan kalo hari ini ga usah jagain gue?”

“Maaf, Selena. Saya tetap tidak bisa lari dari tanggung jawab.”

“Lo bukan lari dari tanggung jawab, Jeff. Gue yang nyuruh lo. Ini perintah resmi dari gue,” jelas Selena.

“Nana, kamu tidak akan mengerti—”

“Lo barusan panggil gue apa?” potong Selena.

“Ah, maaf.”

“Lo siapa? Cuma orang yang deket sama gue yang panggil gue Nana.”

Mentari kembali menampakkan sinarnya. Burung berkicau dengan indahnya. Suara tirai yang dibuka membangunkan Jaehyun yang terlelap dalam tidurnya.

“Ah, tutup lagi dong tirainya, aku masih ngantuk,” pintanya dengan mata yang masih terpejam. Janne hanya menggelengkan kepalanya. Ia lalu berjalan menghampiri suaminya.

“Ayo bangun ih, katanya mau nemenin aku priksa sama beli soto,” Jaehyun langsung terduduk.

“Aw,” rintihnya karena punggungnya masih terasa sedikit nyeri.

“Ati-ati dong. Dasar bayi gede,” Jaehyun masih sibuk mengusap matanya yang tertutup.

“Bangun atuh. Ayo cepetan mandi.”

“Mandiin,” rengeknya dengan ekspresi memelas.

“Punya dua anak aja masih manja banget ya ampun.”

“Haha, iya-iya aku mandi,” Jaehyun lalu beranjak dari tempat tidurnya. Ia kemudian mengecup pipi istrinya secara singkat. Janne hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.

Selepas itu, kini giliran Janne membangunkan Janna yang masih tidur di kamar Jaemin. Putrinya itu ingin menemani kakaknya katanya. Jaemin masih tertidur pulas karena kelasnya dimulai siang nanti.

Setelah selesai mendandani putrinya, Janne harus disibukkan dengan memasangkan dasi suaminya. Jaehyun sedari tadi diam saja dan memperhatikan setiap pergerakan yang dibuat istrinya. Janne kemudian menatap kedua manik suaminya itu. Jaehyun semakin memperkecil jarak antara mereka.

“Morning kiss,” katanya sambil tersenyum. Janne ikut tersenyum malu.

“Dasar. Ayo berangkat,” ajaknya.

Setelah mengantar Janna, Jaehyun kemudian melajukan mobilnya menuju rumah sakit. Sebelum turun dari mobil, Jaehyun meletakkan tangannya di dahi istrinya. Mengecek apakah istrinya masih demam atau tidak.

“Udah ga panas,” ia mengecek berkali-kali.

“Iya? Udah ga panas, ya?”

“Tapi gapapa, kamu harus periksa. Itu masih pucet kayak orang kurang cairan,” katanya yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari istrinya.

“Haha, engga. Bercanda. Ayo turun,” ajaknya.

Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Janne memasuki ruangan periksa. Jaehyun menunggu di luar. Meskipun ia sudah berulang kali meminta untuk masuk, namun Janne tidak mengizinkannya.

Jaehyun kemudian memutuskan untuk membaca berita hari ini. Namun, di beranda halaman berita yang ada di ponselnya membuatnya sedikit terpaku. Ia masih melihat artikel mengenai insiden yang menimpa dirinya beberapa waktu lalu.

Setelah menunggu beberapa puluh menit, istrinya akhirnya keluar dari ruang periksa. Ia langsung memberondong istrinya dengan berbagai pertanyaan.

“Gimana? Kata dokter kenapa? Ga ada masalah apa-apa kan?” raut mukanya mengisyaratkan sedikit kekhawatiran.

“Engga ada. Nggak usah khawatir. Aku ambil obat dulu.”

Setelah selesai, mereka memutuskan untuk sarapan di tempat soto pinggir jalan yang membuat Jaehyun dan Janne sedikit bernostalgia.

“Aku kira dulu kamu ga mau diajak ke tempat kaya gini,” ujar Jaehyun.

“Sok tau ih. Biasanya makanan pinggir jalan tuh lebih enak.”

“Berarti kamu udah sering dong? Sama siapa? Kok aku ga tau?” berondongnya.

“Sama papa. Emang sama siapa?” Janne kembali bertanya.

“Aku kira sama cowok lain,” sindirnya.

“Kamu tuh. Mesti pernah ke sini sama cewek lain,” tuding Janne.

“Mana ada? Coba kamu tanya sama yang jual. Aku ke sini sama cewek tuh ya cuma sama kamu. Selebihnya sama temen. John— si bangsat,” umpatnya.

“Hush, ga boleh berkata kasar.”

“Maaf, emosi.”

“Udah dateng tuh sotonya,” peringat Janne.

“Makasih ya, Pak. Oh iya, Pak. Saya masih inget saya kan?” tanya Jaehyun pada penjual tersebut.

“Masih dong, Mas. Kan dulu sebelum sama mbaknya, masnya sering ke sini sama temennya. Kalo ke sini langsung jadi pusat perhatian cewek-cewek,” jelasnya yang membuat Janne menatap Jaehyun dengan mata melotot.

“Oh, iya, Pak. Udah lama banget ya.”

“Iya, Mas. Yaudah saya lanjut dulu ya,” pamitnya.

“Abis ini kamu langsung ke kantor?”*

“Iya. Temenin, ya. Sampe agak sore paling.”

“Aku belum masak loh.”

“Hari ini beli makanan aja.”

“Pengen masak.”

“Hm, yaudah deh. Besok temenin ngantor.”

“Kok kamu malah jadi makin manja sih?”

“Gapapa dong. Kan manjanya ke kamu.”

“Iya deh iya.”

Seusai sarapan dan mengantar Jaehyun ke kantor. Sesampainya di rumah, ia masih melihat putranya yang tertidur. Ia kemudian membangunkannya dan menyuruhnya untuk segera mandi dan sarapan.

“Hari ini berangkat sama Jani lagi, Kak?”

“Iya, Ma. Kenapa?”

“Mama waktu itu ngajak Jani hangout berdua. Dia bisanya kapan, ya?”

“Mau aku tanyain ntar?”

“Iya, tanyain ya.”

“Siap Mama!” Jaemin kemudian masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil barang-barangnya yang akan ia bawa. Setelah itu, ia berpamitan.

“Berangkat dulu ya, Ma,” ucapnya sambil meraih tangan mamanya.

“Iya. Hati-hati di jalan. Ga usah ngebut.”

“Siap. Assalamu'alaikum jangan?”

“Assalamu'alaikum.”

“Wa'alaikumssalam. Berangkat ya, Ma!”

“Iyaaa, hati-hati loh, ya. Tangannya barusan sembuh.”

“IYAAAA.”

Kini rumahnya sepi. Janne selalu merasa seperti ini jika anak-anak dan suaminya menjalankan kegiatan masing-masing. Sebenarnya Janne dulunya bekerja. Namun, Jaehyun melarangnya karena Jaehyun rasa pendapatannya cukup untuk membiayai keluarganya. Ya bagaimana tidak? Ia menjadi pewaris tunggal perusahaan papanya. Kini, papa dan mamanya tinggal di luar negeri untuk menikmati masa tua mereka.

Sementara orang tua Janne sudah tidak utuh lagi. Papanya meninggal sudah dari lama. Kini, tinggal ibunya dan adik laki-lakinya —Jungwoo saja yang hidup sendiri di rumah yang cukup besar. Jungwoo menggantikan Janne untuk mengisi posisi perusahaan papanya yang kosong. Untung saja Jungwoo sangat kompeten sehingga Janne bangga akan hal tersebut.


Tak terasa matahari kian meninggi padahal Janne hanya menggunakan waktunya untuk memasak. Kini gilirannya untuk menjemput putrinya.

“Mama, coba tebak Janna dapet berapa bintang hari ini?” tanyanya setelah masuk ke dalam mobil.

“Em, berapa, ya? Lima?” tebak Janne.

“Iyaaa. Janna dapet lima,” jawabnya dengan sangat bangga hingga deretan giginya terlihat semua.

“Ih, Janna giginya banyak yang ompong. Jangan makan es krim mulu, ah,” Janna langsung menutupi mulutnya.

“Masa sih, Ma? Janna ga ompong kok,” mendengar itu, Janne langsung tertawa.

“Emang ga ompong wle,” ejeknya.

“Ih, mamaaa,” rengeknya sambil memukul mamanya.

“Haha, udah. Ayo kita pulang.”

Hari semakin gelap. Matahari sudah menghilang. Kini saatnya untuk tidur. Namun, Janne membuka suara.

“Jae,”

“Hm? apa?”

“Aku mau kasih sesuatu, tapi aku takut.”

“Takut kenapa, hm?” tangannya memegang kedua lengan istrinya, netranya menatap istrinya dalam-dalam.

“Ini,” kata Janne sambil menyodorkan sesuatu.

“Apa ini? Aku ga lagi ulang tahun kok dikasih kotak?”

“Coba buka,” perintahnya. Jaehyun membuka kotak itu dengan sangat hati-hati.

“Ini bukan jebakan batman kan?” tanyanya.

“Buka aja.”

“Janne?” Jaehyun tidak percaya dengan apa yang sudah diberikan padanya.

“Janne?” ulangnya sekali lagi.

“Hah? Ya ampun,” ia membawa Janne ke dalam pelukannya.

“Makasih ya Allah. Janne, makasih,” ia mengecup puncak kepala Janne.

“Haha, kok nangis?” tanya Janne.

“Aku seneng banget tau nggak?”

“Hahaha,”

“Ini kamu tau dari kapan?”

“Dari pas aku demam hari pertama. Aku buat masak tuh udah mual banget.”

“Terus?”

“Aku sadar kalo udah telat datang bulan. Awalnya aku ga percaya, masa iya? Eh, pas aku cek ternyata iya dong.”

“Kok kamu ga ngasih tau aku dulu? Terus kok kamu bandel banget masih masak?”

“Hahaha, kan biar surprise. Rasanya pengen banget kasih tau. Tapi, kamu kemarin ga peka.”

“Kemarin?”

“Iya, kemarin. Coba, apa yang aneh dari aku?”

“Oh, pantesan. Tiba-tiba minta makan soto di pinggir jalan. Eh, taunya.”

“Kamu sih ga peka.”

“Ya kan ga kepikiran juga. Terus tadi gimana pas periksa?”

“Aku udah bilang ke dokternya terus dikasih vitamin doang tadi.”

“Ih, dokternya curang. Masa duluan dia yang tau daripada suami sendiri,” ocehnya dengan ekspresi yang dibuat menggemaskan.

“Ih gemes, pengen cium,” tanpa aba-aba bibir Jaehyun sudah mendarat di bibir Janne. Jaehyun lalu mengecup puncak kepala Janne lagi dan lagi. Ia juga mendekap erat tubuh istrinya itu.

“Makasih, ya.”

“Makasih juga, ya.”

“I love you.”

“I love you more.”

“Nggak. I love you more and more.”

“Nggak bisa. I love you more and more and more.”

Mereka kemudian tertawa dan akhirnya tertidur untuk menyambut hari esok.


The End

Dua bulan berlalu, Jaehyun sudah mulai kembali ke kantor, meski belum intens seperti biasanya. Sementara itu, gips yang ada di tangan Jaemin sudah dilepas. Janna masih saja makan es krim. Sedangkan Janne, ia tetap telaten mengurus keluarga kecilnya itu.

Sungguh, Janne adalah wanita yang tangguh. Benar kata Jaehyun bahwa istrinya tidak pernah mengeluh sedikitpun. Atau Jaehyun tidak tau tentang hal itu?

Bagaimanapun, Janne hanyalah manusia biasa. Ia tetap menangis dan mengeluh, hanya saja ia tidak menunjukkan semua itu di depan keluarganya. Ia sering menangis di dalam kamar mandi. Menangis mengapa ia sekuat ini. Belum lagi jika ia mengingat teman-temannya dulu yang tergabung dalam banyak arisan. Semenjak Janne menyatakan bahwa ia tidak akan mengikuti segala macam arisan lagi, teman-temannya gencar sekali menyindirnya di sana-sini. Namun, Janne hanya diam. Menanggapi justru akan memperpanjang masalah. Toh, Janne juga tidak bersalah.

Hari ini Janne sedikit bingung, ia seperti menyembunyikan banyak hal dari suaminya. Namun, yang ia pikir hanyalah agar suaminya tidak banyak pikiran.

“Janne, kok ngelamun?” tanya Jaehyun yang sedari tadi memperhatikan istrinya.

“Oh, engga kok.”

“Kamu masih ga mau cerita sama aku?”

“Cerita apa?”

“Apapun itu.”

“Lagi ga ada cerita. Ayo tidur.”

“Dipikir aku ga tau kalo kamu sering nangis di kamar mandi?” Janne diam.

“Kenapa? Apa aku ngga berguna? Apa aku ngga cukup buat melampiaskan seluruh kekesalan dan kesedihan yang kamu rasain?” lanjutnya.

Janne masih terdiam.

“Bukan gitu. Aku cuma ga mau kamu malah tambah pikiran.”

“Gunanya suami buat apa? Berbagi semua masalah, berbagi semua beban, berbagi semua pikiran. Meskipun kamu kuat di depan anak-anak, tapi kalo di depanku, gapapa kamu kelihatan rapuh. Aku juga gitu kan? Kamu tau titik terendah yang pernah aku alami. Tapi, aku ga tau titik terendahmu.”

“Ini yang aku ga suka dari kamu, ga mau berbagi keluh kesah. Padahal itu penting. Padahal kalo kamu berbagi keluh kesah, aku ngerasa jadi suami yang bisa diandalkan,” lanjutnya.

Air mata Janne sudah tidak bisa ditahan lagi. Ia menangis. Tanpa suara. Jaehyun kemudian menariknya ke dalam pelukan.

“Kok badan kamu panas banget? Kamu pasti kecapekan. Udah-udah. Abis ini langsung istirahat. Maaf, aku ga tau kalo kamu sakit.”

Jaehyun hendak melepas pelukannya, namun Janne justru menahannya dengan sangat kuat.

“Eh? Kenapa?” tanya Jaehyun.

“Gapapa. Aku masih mau peluk yang lama,” Jaehyun kemudian kembali mengeratkan pelukannya.

“Badan kamu panas kaya gini sejak kapan?”

“Em, dua hari yang lalu?”

“Kok aku ga tau sih? Bodoh banget aku.”

“Kamu ga cium keningku ya pas kemarin-kemarin?”

“Bangun aja masih susah. Makanya ga bisa cium kening.”

“Haha, iya. Aku ngerti kok.”

“Kalo panas udah sampe tiga hari gini, harusnya kamu priksa dong. Ayo besok priksa. Aku temenin.”

“Ga usah. Paling nanti udah sembuh sendiri.”

“Ngeyel banget. Aku ga mau kalo gantian kamu yang sakit.”

“Iya-iya. Bawel.”

“Biarin. Aku bawel aja kamu masih ga nurut.”

“Haha. Gemes.”

“Kamu bilang gitu lagi aku cium loh.”

“Gemesssss,” kata Janne sambil tertawa.

“Gemmm—” Janne tidak bisa melanjutkan kata-katanya lagi karena Jaehyun telah membungkamnya.

“Ih curang.”

“Kan aku udah bilang. Kamu sih ngeyel,” Janne justru tertawa karena reaksi suaminya tersebut

“Jae,”

“Apa?”

“Jangan ngambek dong. Aku mau ngomong nih.”

“Siapa yang ngambek? Buruan mau ngomong apa?”

“I love you.”

Jaehyun tersenyum lalu kembali menarik istrinya ke dalam pelukannya.

“I love you too,” bisiknya di telinga istrinya.

“Jae, aku kangen makan soto di pinggir jalan waktu itu.”

“Waktu itu? Yang mana?”

“Waktu kita masih pacaran dulu.”

“Oh, soto itu ya. Aku juga kangen sih. Kapan-kapan mampir ke sana yuk?”

“Ayo. Besok sehabis priksa aja. Aku pengen banget.”

“Aku juga pengen kamu banget.”

“Ih, apa-apaan?”

“Haha, udah ah. Ayo tidur.”

Suara bel rumah berbunyi, Janne kemudian meminta tolong pada putranya, Jaemin.

“Kak, tolong bukain pintunya dong. Mama lagi masak.”

“Iya, Ma,” sahutnya dari kamar.

“Mama, karyawannya papa pada ke sini nih,” teriaknya.

Janne terburu-buru untuk mematikan kompor. Ia kemudian bergegas menuju pintu depan untuk menyambut tamu.

“Loh, ini Jaemin tangannya kenapa?” tanya Krystal.

“Biasa anak laki. Kalau jatuh ya kaya gitu,” kata Janne.

“Jatuh dari mana? Motor?”

“Bukan, disleding pas futsal,” jawab Jaemin.

“Terus orangnya udah minta maaf?”

“Belum. Ada-ada aja emang. Padahal udah kuliah juga,” kata Janne.

“Yaudah yuk, masuk sini. Suami saya masih ada di kamar, saya antar ke ruang tamu sebentar, ya, sambungnya.

Janne kemudian masuk ke kamar. Ternyata putrinya ada di sana menemani papanya. Janna dengan sabar memijit papanya yang sedari tadi berbaring di tempat tidur. Janne kemudian membawa suaminya keluar dengan kursi roda.

Jaehyun kemudian berbincang-bincang dengan karyawannya. Raut mukanya menunjukkan raut bahagia. Mungkin setelah ini, ia dapat pulih dengan cepat.

Ting tong Suara bel rumah kembali terdengar, Jaemin kembali membuka pintu.

“Loh, kok lo ga kabar-kabar lagi pas mau ke sini?”

“Biar surprise,” jawab Jeno.

“Tapi di rumah juga lagi ada yang jenguk bokap gue.”

“Yaudah kita ke kamar lo aja,” Haechan memberi usul.

“Yaudah deh. Ayo masuk,” ajak Jaemin.

“Eh, misi tante. Kami mau jenguk Jaemin,” kata Renjun sambil tersenyum pada Janne. Jeno dan Haechan juga ikut tersenyum.

“Oh iya-iya. Wah, hari ini kedatangan banyak tamu,” kata Janne.

Sementara itu, Jaemin dan teman-temannya asik bercanda satu sama lain. Jaemin sangat senang sepertinya. Teman-temannya memang dapat diandalkan. Haechan pun menepati janjinya untuk membawakan catatan mata kuliah hari ini untuk Jaemin. Jeno dengan jahilnya menyiapkan spidol warna-warni yang sudah ia rencanakan untuk mencorat-coret gips Jaemin. Gips yang tadinya putih bersih, kini penuh coretan teman-temannya. Tapi, justru itu yang membuat Jaemin senang.

Ting tong Suara bel lagi-lagi terdengar.

“Seriusan deh. Itu siapa yang datang lagi? Capek gue bukain pintu,” kata Jaemin.

“Udah, lo di sini aja. Gue yang bukain pintunya,” kata Jeno.

“Lah, anjir lo ngapain ke sini juga?” tanya Jeno setelah membukakan pintu.

“Kok lo juga di sini sih?”

“Suka-suka gue dong.”

“Yaudah ah, gue mau masuk. Ini gue juga bawa orang yang mau minta maaf,” kata Hyunjin. Orang yang bersalah pun langsung menunduk begitu Jeno menatapnya.

“Yaudah masuk.”

Setelah para karyawan Jaehyun pulang, kini giliran teman-teman Jaemin yang berada di ruanh tamu. Jaehyun masih tinggal di sana karena ia harus mendengarkan pengakuan dari orang yang telah membuat anaknya celaka.

“Jadi ini yang sudah bikin tangan anak saya patah?” tanya Jaehyun.

“Maaf, Om.”

“Minta maafnya ke anak saya. Tapi, maaf aja ga bisa ngembaliin tangannya seperti semula.”

“Iya, Om. Maaf, Jaem.”

“Yaudahlah. Aku udah males banget sebenernya, pa,” kata Jaemin

“Kakak juga kalo mau maafin harus ikhlas,”

“Iya, aku maafin.”

Yaudah, hal kaya gini jangan diulangi lagi. Memangnya kamu bisa ngobatin anak saya? Memangnya kamu bisa biayain anak saya? Engga kan? Jangan bikin orang lain rugi karena tindakan kalian. Coba jadi orang yang bermanfaat.”

“Iya, Om,” jawab teman-teman Jaemin dengan serentak.

“Bagus. Kalian belum pada makan ya pasti? Saya pesenin makanan mau?”

“Ga nolak sih, Om,” kata Haechan yang kemudian disambut tatapan tajam oleh teman-temannya yang lain.

“Gini aja deh, kalian pesen apa terserah, nanti saya yang bayar. Saya traktir kalian,” semua yang di sana langsung terdengar ricuh memilih makanan apa yang akan dipesan.

“Kok kamu ga bilang kalo futsalnya sama Hyunjin?” tanya Jani.

“Emang kenapa? Kan terserah mau futsal sama siapa aja,” Jani diam saja. Ia tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan Jaemin. Tak lama kemudian, Hyunjin datang bersama teman-temannya. Ia kemudian melihat Jaemin dan Jani di sana. Terlihat bahwa raut muka Hyunjin menunjukkan raut bingung dan canggung. Namun, ia tetap berjalan menghampiri mereka berdua.

“Woi, bro. Udah sampe aja lo,” katanya sambil mengajak Jaemin berjabat tangan.

“Iya, nih. Lagi semangat banget gue,” jawab Jaemin sambil melihat ke arah Jani.

“Bagus, deh. Ini lo bawa siapa aja?” tanya Hyunjin lagi.

“Tuh,” dagunya menunjuk ke arah Jeno, Haechan, dan Renjun di sana.

“Oh, mereka,” Hyunjin kemudian berjalan menghampiri mereka bertiga.

“Mohon kerja samanya ya, bro. Jangan sampai kalah sama anak fakultas kedokteran,” kata Hyunjin sambil menjabat tangan mereka satu-persatu.

“Oi, siap dong. Banyak pengalaman nih Jeno,” kata Haechan.

“Tapi lebih pinter Jaemin. Pivot dia,” kata Jeno.

“Kalian lah. Sama-sama pivot, nyetak goal terus,” kata Renjun kemudian.

“Kalo pivot semua, terus posisi yang lain gimana?” tanya Hyunjin.

“Gue anchor aja udah. Gue jagain bareng Renjun,” kata Jeno kemudian.

“Enak aja. Gue mau jadi kiper aja,” protes Renjun.

“Terus gue jadi apa nih?” Haechan menanyakan posisinya.

Flank aja lo. Di bagian sayap.”

“Oke, siap. Berarti lo sama Jaemin pivot?”

“Iya.”

“Terus temen-temen lo itu? Cadangan?”

“Iya. Ntar gantian aja mainnya.”


Pertandingan babak pertama telah dimulai. Ternyata Jaemin sangat piawai menghalau bola yang masuk ke daerahnya. Begitu juga Hyunjin. Jani yang menonton di kursi penonton sedari tadi was-was jika sesuatu yang tidak inginkan terjadi kapan saja. Namun, ternyata kekhawatirannya tidak membuahkan hasil apapun. Jaemin dan Hyunjin begitu profesional karena di babak ini, tim mereka yang menang.

Pada babak terakhir, Haechan, Jeno, dan Renjun yang sudah bermain sangat apik akhirnya harus rela berganti dengan teman-teman Hyunjin. Sebelum dimulai, Jaemin sempat menghampiri Jani, Jani kemudian menyodorkan handuk dan air mineral untuk Jaemin. Jaemin kemudian mengguyur kepalanya dengan air tersebut.

“Makasih, ya,” katanya sambil mengacak puncak kepala Jani. Hyunjin yang melihat itu langsung mengalihkan pandangannya. Jaemin kemudian masuk ke lapangan lagi. Pertandingan babak terakhir dimulai.

Tim Jaemin dan Hyunjin masih memimpin. Namun, persaingan semakin sengit. Jaemin beradu kecepatan dengan tim lawan. Bruk! Jaemin terjatuh di lapangan.

“Jaeminnnnn!!!” teriak Jani.

“Woi! Yang bener aja lo kalo main!” protes Hyunjin.

“Anjing! Lo apain temen gue? Ha?!” Jeno ikut tersulut emosi.

“Woi! Tangannya Jaemin! Aduh, parah. Itu kenapa tangannya gitu?” tanya Renjun yang membuat semuanya panik.

“Jaem, bangun lo,” Haechan ikut bersuara.

“Lo kalo ga bisa main sportif ga usah main deh! Mau menang ga gini caranya, bangsat!. Lo pikir gue ga tau lo tadi ngapain Jaemin?” tanya Jeno yang dikuasai emosi. Namun, sang penyebab kecelakaan hanya diam saja meskipun Jeno sudah mendorong tubuhnya berkali-kali.

“Parah lo! Sikap lo ga mencerminkan anak fakultas kedokteran sama sekali. Harusnya lo malu,” lanjut Jeno lagi.

“Ini harus kita bawa ke rumah sakit. Jen, kita selesaiin nanti. Jaemin butuh pertolongan sekarang,” kata Hyunjin.

“Jaem, bangun. Kamu harus bangun. Jangan sampai kamu pejamin mata kamu. Please. Jaem,” Jani mulai menangis di dekat Jaemin.

“Jan,” kata Jaemin pelan.

“Apa? Jaem, kamu ga boleh pingsan. Kamu ga boleh tidur,”

“Aku udah ga kuat,”

Johnny melihat Jaehyun yang terduduk di kursi roda. Pandangannya kemudian ia alihkan begitu Jaehyun menatapnya tepat di mata. Ia tidak berani menatap balik. Entah pengecut atau ia malu akan perbuatannya. Namun, kertas yang sudah kusut, wujudnya tidak bisa kembali seperti semula.

“Gimana? Di sini lebih baik dari rumah ya sepertinya?” tanya Jaehyun sarkas namun tidak mendapat jawaban.

“Bocah aja tau mana yang baik mana yang buruk. Lo udah dewasa tapi lo buta. Bukan mata lo yang buta. Tapi, hati lo,” lanjut Jaehyun. Namun, sosok di hadapannya tetap tidak menjawab dan malah semakin menundukkan kepalanya.

“Kalo gue ga di kursi roda udah gue tonjok lo sejadinya,” lanjutnya lagi.

“Gue ga masalah misal lo bersaing secara sportif. Tapi, ini apa? Bocah. Bajingan,” Jaehyun sudah tidak kuasa menahan amarahnya.

“Sebenernya gue ga masalah kalo gue yang harus jadi korban kaya gini. Tapi, gue hampir kehilangan putri gue satu-satunya.”

“Sorry,” satu kata akhirnya terucap.

“Gue ga butuh kata sorry dari lo. Toh semuanya udah kejadian. Gue kecewa sama diri gue sendiri karena terlalu percaya sama orang. Lo adalah bentuk pertemanan yang hancur. Sekalipun lo minta maaf, benang yang putus kalo disambung pun ga bakal bisa utuh kaya sebelumnya. Kenapa lo lakuin itu?” Diam, hening. Tidak ada jawaban sama sekali.

“Gue tanya. Lo tuli? Bisu?”

“Kalo lo iri bukan kaya gini caranya. Lo sendiri juga tau kan ngerintis usaha tuh susah. Kok lo malah seenak jidat ngehancurin acara gue? Otak lo di mana sih?” tanya Jaehyun lagi. Johnny hanya diam saja. Ia tidak menjawab apapun hingga sipir penjara akhirnya mengatakan bahwa waktu kunjungannya sudah selesai dan mereka membawa Johnny kembali.

“Jae, udah. Ayo kita pulang,” bujuk Janne pada suaminya.

Janne kembali ke rumah sakit untuk memberitahukan kepada suaminya terkait apa yang telah terjadi hari ini. Janne berulang kali berpikir untuk memberitahukannya atau tidak. Namun, karena Jaehyun sangat ingin tau, maka ia dengan berat hati menjelaskan situasinya saat ini.

Reaksi Jaehyun adalah reaksi wajar pada umumnya. Ia tidak menyangka orang yang ia percaya justru yang menyebabkan ia dan putrinya celaka.

“Janne, aku pengen pulang sekarang,” kata Jaehyun tiba-tiba.

“Kamu barusan sadar. Ga bisa.”

“Janne, aku ga bisa di sini terus.”

“Kita tanya dokter dulu.”

Jaehyun mengangguk. Janne kemudian berjalan menuju ruangan dokter yang menangani Jaehyun. Janne dan Sang Dokter pun kemudian menuju ruangan Jaehyun. Jaehyun bersikukuh untuk pulang. Dengan berat hati dokter mengizinkan, namun Jaehyun tetap harus menjalani rawat jalan. Ia juga perlu menyewa suster atau dokter pribadi untuk merawatnya.

Jaehyun akhirnya pulang. Ia harus terduduk di kursi roda hingga batas waktu yang belum ditentukan. Kondisinya belum benar-benar pulih. Kini, ia hanya terdiam saja di kamarnya. Pandangannya kosong. Janne khawatir dengan keadaan suaminya. Ia tau bahwa Jaehyun saat ini merasa sangat kecewa. Entah pada dirinya sendiri atau pada teman yang sangat ia percayai tersebut.

“Kamu mau makan?” tanya Janne.

“Ga, aku ga laper.”

“Jaehyun, kamu ga bisa gini terus dong. Nanti kamu malah tambah sakit.”

“Sebentar Janne, ini semua terlalu mendadak. Aku bahkan ga nyangka kalau kejadian itu adalah hasil sabotase. Dan parahnya lagi yang melakukan itu adalah temanku sendiri.”

“Janne, sebenarnya aku salah apa? Apa aku biadab di mata mereka?”

“Nggak. Kamu ga salah apa-apa. Mereka yang biadap.”

“Aku besok mau ke rutan. Antar aku ke sana,” pinta Jaehyun.