Sweet Betrayal

Part 9 : Anti-Romantic


Sebenarnya part ini adalah bagian dari part 8 yang sudah dihapus.

Tapi berhubung author cerita ini baik dan suka berbagi, jadi anggap saja ini adalah special part.

Scene di part ini bisa menjadi bagian tengah atau bagian akhir dari part sebelumnya ya.


[Bella]

Sebenarnya Juan dan Ricky ingin mengantar Bella pulang ke rumahnya, tapi mereka baru teringat akan satu hal.

Yap, mereka selalu numpang mobil Reyhan saat berangkat dan pulang sekolah.

“Eh Juan, ini kita mau nganter pulannya gimana? Kan kita gak bawa motor.” Tanya Ricky.

“Lah iya juga.” Juan mikir bentar. “Ah gua tau, kita nebeng bang Reyhan aja, keknya dia belom pulang deh.”

Bella yang mendengar itu langsung membalas. “Eh gak usah, ngerepotin kak Reyhan, aku pulang naik ojol aja.”

“Gak boleh!” Seru Juan dan Ricky bersamaan.

Bella seketika kicep, dia mempoutkan bibirnya kesal. Dia juga bingung tumben banget bisa drop kaya gini, biasanya juga sehat-sehat aja.

Juan dan Ricky terus membawa Bella sampai parkiran, bertemu lah mereka dengan Reyhan yang baru saja membuka pintu mobilnya.

“Bang Reyhan!” Panggil Juan dan Ricky dari kejauhan.

“Loh kalian gak ekskul?” Tanya Reyhan, karena matanya sedikit minus dia gak sadar kalo si Ricky itu lagi gendong Bella.

“Ini bang, Bella—”

“Ya ampun itu anak orang lu apain?” Reyhan ikutan panik.

“Bella sakit bang, kita anterin pulang yuk, kesian, udah sekarat dia.” Lapor Juan, bahasanya rada ngeselin emang.

“Gak di bawa ke rumah sakit aja?” Saran Reyhan, sumpah dia gak tega liat orang sakit begitu, mukanya udah pucet banget.

“Gak usah kak Reyhan, mau pulang aja.” Suaranya Bella aja udah lemes gitu.

“Yakin?” Reyhan memastikan.

Bella hanya mampu menganggukkan kepalanya, udah gak kuat dia sebenernya pengen banget tiduran di rumah.

“Ya udah masuk ke mobil, gua anter pulang.” Suruh Reyhan, dia segera memasuki kursi kemudi.

Juan membuka pintu belakang, membiarkan Ricky dan Bella masuk lebih dulu.

Ricky menurunkan Bella dari gendongan, dia menuntun Bella untuk berpegangan padanya agar tidak jatuh.

Jadi posisinya sekarang, Ricky dan Juan berada di dekat jendela, sedangkan Bella berada di tengah mereka.

“Bel, lu kedinginan gak?” Tanya Reyhan, dia menoleh ke belakang untuk memastikan adik-adiknya itu sudah masuk semua.

Bella mengangguk, dia sudah malas berbicara, yang ingin dilakukannya sekarang hanyalah tidur.

“Ricky, tolong ambilin selimut di bagasi belakang tuh.” Perintah Reyhan. “Juan, nih kasih minyak kayu putih buat Bella.”

Juan mengambil minyak kayu putih pemberian Reyhan, setelah itu dia membaringkan kepala Bella di bahunya.

“Kalo mau tidur, tidur aja ya, nanti Juan jagain.” Bisik Juan. “Apa mau tiduran di paha Juan?”

Bella tersenyum, mungkin jika dia sedang sehat dia akan langsung memeluk Juan, tapi kali ini tidak bisa, menatap Juan saja rasanya sulit.

“Terserah Juan aja.” Lirih Bella.

Juan segera mengubah posisi Bella untuk berbaring di pahanya, dia membuka tutup botol minyak kayu putih dan mengoleskan cairan itu pada jarinya.

Juan menaruh jarinya itu di depan hidung Bella agar gadis itu bisa menghirupnya.

Reyhan yang melihat perlakuan adiknya itu hanya bisa tersenyum bangga, ternyata Juan sudah dewasa dan mengerti bagaimana merawat orang yang dia sayangi.

“Selimut yang ini ya bang?” Tanya Ricky menunjukkan kain berwarna biru di tangannya.

“Iya bener.” Sahut Reyhan.

Ricky memasangkan selimut itu pada tubuh Bella kemudian dia mengangkat kaki gadis itu untuk bertumpu di pahanya juga.

Tanpa mereka sadari Bella sudah mulai tertidur.

“Rumahnya dia dimana?” Reyhan mulai melajukan mobilnya.

Juan dan Ricky saling memandang, mereka berdua sama-sama tidak tahu dimana rumah Bella, mereka juga lupa menanyakannya tadi.

“Kok diem?” Reyhan melihat dari arah kaca atas mobilnya.

“Gak tau.” Balas Ricky.

Juan geleng-geleng aja.

Reyhan menepuk dahinya. “Udah gua duga lu bakal jawab begitu.“ 

Reyhan memberhentikan mobilnya saat sampai di sebuah minimarket.

“Ricky ayo temenin gua beli makanan buat anak asrama sama buat Bella tuh, pasti dia belom makan jadinya drop gitu.” Ucap Reyhan.

“Gua doang? Juan kaga?” Ricky nunjuk Juan.

“Biarin dia jagain Bella disini.” Reyhan merangkul Ricky memasuki minimarket.

Sekarang tinggal Juan dan Bella yang berada di dalam mobil, jujur sebenarnya Juan bosan, dia hanya memandangi Bella yang tertidur pulas di pahanya.

“Kok lu bisa sakit sih?” Juan mengelus rambut Bella. “Apa gegara gua cium tadi?”

Juan tertawa mendengar kalimatnya sendiri, rasanya aneh mengobrol dengan orang yang tertidur, tapi dia suka mengganggu Bella.

“Juan...”

Juan terkejut, Bella baru saja menyebutkan namanya, dia kira Bella sudah bangun, ternyata hanya mengigau toh.

“Kenapa? Juan ada disini kok.” Juan menepuk-nepuk pelan kepala Bella.

“Aku suka Juan... Jangan tinggalin aku ya...”

Juan tersenyum, dia tahu Bella memang menyukainya, tapi dia sendiri bingung akan perasaannya pada gadis itu, apakah Juan juga menyukai Bella?

Juan tidak mengerti arti cinta yang sebenarnya, tapi dia pernah menonton drama Korea bersama Sean, dimana pemeran utamanya saling mencintai dan mereka berciuman.

Salahkan Sean karena sudah mengajaknya menonton drama korea.

“Bella...” Juan mencoba membangunkan Bella tapi gagal. “Juan boleh cium Bella gak? Kalo gak boleh gak apa-apa sih hehehe...”

Tidak ada jawaban dari Bella, ya iyalah orang lagi tidur.

“Kok Bella gak ngomong lagi sih, tadi perasaan manggil Juan terus.” Juan nepuk-nepuk pipi Bella tapi gagal juga, Bella kebo banget.

“Apa gua cium aja ya? Kali aja dia langsung sembuh kaya di film-film Disney.” Tolong selamatkan otak polos Juan dari pengaruh hal-hal buruk.

Tanpa pikir panjang, Juan langsung memajukan wajahnya pada Bella dan mencium bibir gadis itu dengan lembut, mungkin ciuman itu hanya sekedar menempel saja tapi Juan menahannya cukup lama.

“Dah, Bella cepet sembuh ya, udah di cium sama pangeran Juan soalnya.” Juan kini mencium dahi Bella sebagai penutup.

Dan anehnya Bella langsung membuka matanya kala itu, apakah ini yang dinamakan kekuatan cinta? Asekk...

“Juan...” Panggil Bella dengan sangat pelan hampir tidak bersuara malah.

“Kenapa Bella?” Tanya Juan sealan tidak terjadi apa-apa.

“Kita udah sampe ya?” Tanya Bella ingin bangkit dari posisi tidurnya namun ditahan oleh Juan.

“Belom, bang Reyhan sama Ricky lagi beli makanan buat Bella.” Jelas Juan.

“Ohh.. kaki kamu gak pegel?” Bella khawatir, dia tidak tahu sudah berapa lama tertidur di paha Juan, takutnya kaki Juan kesemutan.

“Gak kok, lanjut tidur aja.” Suruh Juan, tapi Bella gak enak, dia mau duduk aja.

“Eyy, kita bawa makanan nihh!” Teriak Ricky dari arah luar mobil. “Loh Bella udah bangun? Di gangguin Juan ya?”

“Sembarangan lu.” Elak Juan.

“Bella makan dulu ya, belom makan kan tadi?” Tawar Reyhan.

“Belom.” Balas Bella.

Reyhan menyentuh dahi Bella menggunakan punggung tangannya, mengecek suhu gadis itu. “Anget sih, makan dulu ya.”

Bella mau nangis aja rasanya, mereka semua itu baik banget, beda sama yang diomongin Dinda. Dia jadi berasa hutang budi sama mereka.

“Mau Ricky suapin gak?” Tanya Ricky.

“Boleh.” Bella mengangguk.

“Oke, ayo buka mulutnya.. aaa...” Ricky menyuapkan pop mie untuk Bella.

“Bel, jangan merasa hutang budi sama kita ya, anggep aja kita keluarga lu.” Ucap Reyhan tulus.

Bella mengangguk paham, dia harus memberi tahu fakta ini pada teman-temannya nanti.


[Aletta]

Setelah beres dengan urusan perkadoan Jay.

“Al, kita makan dulu ya, gua laper banget anjir belum makan siang.” Ujar Azka dengan wajah memelas.

Ingin sekali Aletta memukul wajah menyebalkan itu, tapi tidak bisa, dia harus mempertahankan sisi kalemnya.

“Ya udah deh, gua juga laper.” Sahut Aletta, dia juga sudah lapar dari tadi.

“Oke, gua tau restoran enak disini, ayo ikut gua.” Ajak Azka jalan lebih dulu.

“Dari tadi juga gua ikutin kali.” Gumam Aletta agak kesal. “Anjir, berasa bodyguardnya gua jalan dibelakang dia.”

“Lu mau naik lift apa naik eskalator?” Tanya Azka dari depan.

“Naik eskalator aja, nunggu lift lama.” Balas Aletta sambil memutar matanya.

“Oke, kita naik lift.” Ucap Azka mutlak.

'Lah, dia budeg juga ternyata.' Batin Aletta syok.

Aletta menyamakan langkahnya dengan Azka dan memukul pelan bahu lelaki itu agar menoleh ke arahnya.

“Naik eskalator aja kak.” Pinta Aletta.

Azka berhenti dan menatap Aletta, lagi-lagi wajah memelas itu, tentu saja Aletta sudah memaki Azka di dalam hati.

“Naik eskalator itu lebih lama, pas sampe lantai 2 kita harus jalan muter buat naik eskalator ke lantai 3.” Jelas Azka. “Kan kalo naik lift kita tinggal diem aja tiba-tiba nyampe.”

“Lu kira naik burok tiba-tiba nyampe surga.” Celetuk Aletta.

“Kaga njir.” Elak Azka. “Tapi sumpah mending naik lift.”

“Ya udah lah seterah lu kak.” Aletta menyerah, menurutnya sifat Azka ini terlalu kekanakan. 

“Yey, kita naik lift.” Sorak Azka.

'Kalo gitu ngapain nanya coba, stres.' Batin Aletta mulai tertekan.

Kedua insan itu pergi ke lift terdekat, sekitar 10 menit mereka menunggu lift tiba.

Azka menekan tombol 5 pada lift, karena lantai 5 adalah lantai terakhir mereka pun menempati posisi dipojok lift, jadi mereka bisa keluar terakhir dan tidak berdesakan saat lift penuh.

“Kita mau makan apa emangnya?” Bisik Aletta.

“It's a secret.” Balas Azka sambil tersenyum miring.

“Apaan? Seret?” Aletta tidak mengerti kalimat Azka yang terdengar cepat itu.

“Ah sorry, I mean, rahasia.” Azka menyenderkan tubuhnya ke sisi lift.

“Dih, sok rahasia-rahasian lu kak, kek bocil aja.” Sindir Aletta.

Azka tertawa mendengarnya.

Awalnya lift yang mereka naiki tidak terlalu ramai, namun saat lift itu berhenti di lantai 2 keadaannya mulai berubah.

“Tuh kan, untung kita pilih dipojok belakang jadi gak bakal desek-desekan.” Bisik Azka tepat di telinga Aletta.

“Hm, gak usah ngomong didepan kuping gua juga, geli anjir.” Aletta menggeser tubuhnya untuk menjaga jarak dengan Azka, tapi lelaki itu malah mengikutinya. “Geseran woy, pengap.”

“Ini samping gua keteknya bau banget, gak boong dah.” Azka mulai tertekan. “Gua pindah ke depan lu aja ya.”

“Hm.” Balas Aletta singkat.

Azka mengubah posisinya jadi menghadap Aletta, bahkan tangannya seperti mengunci tubuh gadis itu.

“Heh, ngapa jadi begini anjir!? Sana ngadep depan!” Perintah Aletta, dia risih.

Untungnya semua orang didalam lift sedang fokus pada layar ponsel mereka.

“It's okay, I won't do anything, trust me.” Padahal mah si Azka lagi modus itu biar bisa mepet-mepet sama Aletta.

“Serah lu kak.” Aletta pasrah.

Benar saja, ketika lift berhenti di lantai 3 suasananya sudah sangat penuh dan mulai berdesakan, beberapa orang juga saling mendorong.

Azka merasa seseorang mendorongnya dari belakang, yang membuat dirinya semakin maju dan menghimpit tubuh Aletta.

Bisa dibilang jarak mereka saat ini hanya sekitar 5 cm saja.

“Eh sorry, tadi ada yang dorong gue.” Azka cengengesan.

“Iya tau, munduran sana.” Aletta mendorong bahu Azka agar menjauh.

“Kaka kaka pacalan ya?” Tanya anak kecil disamping mereka.

“Eh, nggak kok.” Balas Aletta sedikit kaget, dia tidak sadar kalau di lift ini ada anak kecil.

“Iya, nggak.” Sahut Azka.

“Yah, kok ndak cih?” Anak kecil itu cemberut. “Kaka kaka cepelti pangelan dan putli calju tau.”

“A-apa?” Aletta bingung, dia menatap Azka.

“Oh gini, kakak tampan ya? Terus kakak ini cantik?” Tanya Azka pada anak kecil itu.

“Eung.” Anak kecil itu mengangguk antusias. “Ayo kaka kaka pacalan.”

Entah kenapa hal itu membuat Aletta malu dan menundukkan kepalanya.

Azka menggaruk tengkuknya yang tak terasa gatal, seketika suasana menjadi canggung.

“Ayo kaka kaka ciuman cepelti pangelan dan putli calju.” Anak kecil itu menepukan tangannya heboh.

“W-what?” Azka syok mendengar ucapan anak kecil itu.

“Heh, kamu masih kecil gak boleh liat begituan.” Larang Aletta, bisa-bisanya anak kecil mengerti hal sakral seperti itu.

“Huwaa.. kaka kaka jahat.. hiks...” Anak kecil itu mulai menangis.

Jelas hal itu membuat Azka dan Aletta semakin panik, bagaimana jika semua orang di lift memarahi mereka atau mungkin mengira mereka penjahat sungguhan.

“Eh sayang jangan nangis cup.. cup.. cup..” Aletta mencoba menenangkan anak kecil itu. “kamu mau permen gak?”

“Ndak mau.. hiks..” Tolak anak itu.

Aletta memukul bahu Azka untuk membantunya mencari solusi, tapi Azka juga bingung harus bagaimana, sampai sebuah ide gila muncul di kepalanya. 

“Al...” Panggil Azka.

“Ap—”

Chuu~

Azka mencium Aletta tepat dibibirnya, Aletta tampak syok, Azka benar-benar melakukannya di tempat umum seperti ini!?

Aletta bisa melihat anak kecil itu berhenti menangis, matanya membulat lucu menatap mereka.

Sebenarnya Aletta ingin mendorong Azka saat itu juga, apalagi Azka mulai berani menggerakkan bibirnya. 

Tapi biarkan saja lah, Aletta ingin tahu sejauh mana Azka akan bertindak, jadi dia memilih diam dan menutup matanya, merasakan ciuman yang terbilang lembut itu.

Demi anak kecil itu, Aletta pasrah menyerahkan ciuman pertamanya untuk Azka.

Ah iya, Jangan lupakan di lift itu masih banyak orang, untungnya mereka semua tidak menyadari hal itu.

Azka melepaskan tautan mereka.

“Lu mau jadi pacar gua?” Tanya Azka dengan tulus.

Aletta terkejut, apa-apaan coba, Azka mau menuruti semua kemauan anak kecil itu, bahkan mereka saja tidak mengenalnya.

“Ayo kaka telima..” Anak kecil itu semakin antusias.

Aletta jelas tidak mau, meskipun visual Azka menarik perhatiannya tapi dia sama sekali tidak menyukai lelaki itu, kalau bukan karena misi dia juga tidak mau ikut kesini. 

Lihat saja, dia sudah menyerahkan ciuman pertamanya dan sekarang dia harus menjadi kekasih Azka, bukankah ini termasuk pemaksaan?

Aletta menghela nafas, dia bingung, ingin rasanya dia lari dan pulang sekarang juga, mungkin jika dia menolak ajakan Azka dari awal, hal ini tidak akan terjadi.

“Aletta...” Panggil Azka, membuyarkan lamunan Aletta.

Dengan terpaksa Aletta mengangguk dan memberikan senyuman palsunya.

“Yeyy kaka kaka pacalan!” Anak kecil itu melompat-lompat girang.

Ting~

Pintu lift terbuka, akhirnya mereka sampai di lantai 5.

“Dadah kaka kaka, nanti kita ketemu lagi ya.” Sapa anak kecil itu lalu berlari keluar lift.

Sekarang hanya Azka dan Aletta yang tersisa di dalam lift. Hening, tidak ada pembicaraan diantara mereka. Entahlah, semuanya terasa canggung sekarang.

“Al..”

“Kak..”

Panggil mereka secara bersamaan.

“Kakak duluan deh.” Aletta mengalah.

“Kamu duluan aja.” Bahkan gaya omongan mereka mulai berubah.

“Ya udah, ayo kita keluar.” Aletta berjalan keluar lift.

“Al..” Azka menarik tangan Aletta.

“Hm? Kenapa?” Tanya Aletta.

“Maaf ya.”

“Maaf buat?”

“Aku udah lancang cium kamu tanpa izin.”

Aletta tidak suka gaya bicara Azka yang berubah, entahlah dia risih mendengarnya, meskipun mereka sudah berpacaran Aletta lebih suka berbicara seperti biasanya.

“Gak apa-apa sih, tapi bisa gak kita ngomongnya kayak biasa? Lu-Gua aja gitu, lebih enak.”

“Oh oke, maaf ya sekali lagi.” Azka merasa bersalah. “Oh iya, kita kan terpaksa nurutin kemauan bocil tadi, apa lu mau putus aja?”

“Gua sih gak masalah sebenernya, gak tau kalo lu maunya gimana.“ 

“Serius?” Azka terkejut dengan respon Aletta, dia kira gadis itu akan memutuskan hubungan mereka begitu saja.

“Iya Azkara Naresh.” Aletta menampilkan senyum palsunya, jujur dia agak tertekan sebenarnya.

“Oke, kita jalanin dulu aja ya.” Azka memeluk Aletta. “Gua janji bakal bikin lu bahagia.”

Aletta mengangguk kemudian membalas pelukan Azka. 

Ya, setidaknya Aletta bisa menikmati momen langka ini bersama Azka, lagipula tidak ada ruginya bila mereka berpacaran, Aletta bisa memanfaatkan kesempatan ini sampai semuanya kembali normal.


[Raina]

Sehabis makan, Mahesa dan Raina tidak langsung pulang karena tiba-tiba saja hujan turun dengan derasnya, sehingga mereka harus menunggu sampai hujan reda.

“Eh bosen deh.” Gumam Raina, dia mencari ponselnya di dalam saku seragam, tapi tidak ada, ah dia baru ingat, ponselnya diambil sama Mahesa. “He, hp gua mana?”

“Mau ngapain?” Tanya Mahesa sembari meneguk es tehnya.

“Bosen, mau Netflix and chill.” Ucap Raina dengan santainya.

Mahesa sontak kaget dan tersedak kala itu juga. “Uhuk.. uhukk.. hah?”

“Mikir apaan lu? Maksudnya mau nonton Netflix.” Jelas Raina.

“Oh, ngomong tuh yang jelas.” Mahesa memberikan ponsel itu pada Raina.

“Eum, He, Netflix gua dah kadaluarsa nih, beliin lagi dong.” Pinta Raina gadir.

“Coba sini.” Mahesa meraih ponsel Raina dan memperpanjang masa langganan Netflix nya secara suka rela.

'Gila, ini orang sekaya ape sih? Perasaan apa aja yang gua minta langsung dibeliin dah, heran.' Batin nista Raina.

“Tuh udah ya, bilang apa lu sama gua.” Mahesa menunjukkan bukti pembayarannya.

“Weh, gua kira lu beliin yang paket ponsel ternyata malah yang premium, huwaa baik banget.” Raina seketika kagum gitu.

Fyi, paket termurah Netflix itu ya 'ponsel' harganya 54 ribu tapi kualitas streamingnya cuma sampe 480p dan itu cuma bisa nonton di ponsel sama tablet aja.

Sedangkan paket 'premium' harganya 186 ribu tapi kualitas streamingnya bisa sampe 4K dan itu bisa nonton di ponsel, tablet, komputer sama tv.

Itu harga paket buat 1 bulan ya.

“Gua juga kalo nonton Netflix pake premium, jelek kan kalo ponsel.” Ujar Mahesa.

“Oke ayo kita nonton film.” Raina mencari daftar film yang sedang trending. “Nonton The Kissing Booth 3 ya.”

“Film apaan tuh?” Tanya Mahesa. “Gua aja yang pertama belom nonton, udah ada yang ketiga aja.“ 

“Yah masa belom nonton sih, ini tuh seru tau.” Raina menatap Mahesa sinis.

“Gak pernah nonton film romantis gua.” Ucap Mahesa.

“Gua juga jarang, lebih suka horror thiller, tapi nanti lu takut lagi.” Sindir Raina.

“Kaga, kata siapa?” Mahesa gak terima dibilang penakut, walaupun emang dia rada takut sih.

“Hilih, bodo amat gua mau The Kissing Booth, lu mau nonton gak?” Tawar Raina.

“Ya udah nonton aja.” Mau nonton apa aja juga Mahesa skuy, asal jangan horor.

Raina pun memasang earphone dan memutar film yang terbilang romantis itu.

Selama film berjalan mereka hanya fokus pada layar ponsel tanpa mengucapkan sepatah kata apapun, sampai muncul sebuah adegan yang membuat mereka lirik-lirikan.

“Ngapa sih anjing, kek gak pernah liat aja lu begitu.” Raina memukul pelan kepala Mahesa.

“Gak gitu anjir, kirain gua lu gak pernah nonton yang kaya gitu.” Mahesa gak tau aja kalo Raina sering nonton gituan.

“Yah, film ginian mah masih biasa, gua udah nonton yang lebih wow dari ini.” Pamer Raina.

“Nonton apaan lu? Bokep?” Tuduh Mahesa.

“Iya itu juga pernah.” Raina chill aja ngasih tau aibnya.

Mahesa makin syok, ini Raina bandar bokep apa gimana dah, karna setau dia nonton video begitu tuh kudu pake akses vpn yang jarang orang tau, loh Mahesa kamu nonton juga dong berarti?

“Dih boong banget lu.” Mahesa masih gak percaya.

“Mau gua kasih tau linknya? Gua punya banyak.” Baru aja Raina mau ngasih tau list link haram miliknya tapi ditahan sama Mahesa.

“Udah-udah, lanjut nonton film aja.” Mahesa sebenernya risih bahas gituan, ya bukannya gimana-gimana nih, tapi mereka lagi di tempat umum sekarang.

“Yah payah.” Ledek Raina.

Mahesa hanya mampu menggelengkan kepalanya, ada-ada aja emang si Raina.

“Eh tapi He, lu pernah ciuman gak sih?” Raina mulai random.

Mahesa seketika merinding, maksudnya apa coba nanyain gitu, ya jelas belom pernah lah, orang dia aja baru pertama kali pacaran gini, agak malu juga sih kalo jujur.

“Gua belom pernah ciuman, penasaran deh rasanya gimana ya?” Raina mengetuk-ngetuk jarinya di meja.

Mahesa yang mendengar hal itu langsung menelan ludahnya dengan kasar. Jadi ini maksudnya mau gimana?

“Mau... coba?” Tanya Mahesa ragu.

Raina tersenyum miring, memang itu yang dia mau sejak awal, dia sengaja memancing Mahesa agar menanyakan hal itu.

“Ntar aja, nunggu gak ada orang.” Bisik Raina.

“O-oke.” Mahesa kira Raina akan menolaknya secara mentah-mentah, ternyata tidak.

“Mahesa, titip warung sebentar ya, saya ada panggilan alam.” Ucap sang pemilik warung.

“Oh iya mang.” Balas Mahesa.

Setelah pemilik warung itu pergi, mereka berdua mulai lirik-lirikan lagi, bingung mau kek gimana mainnya.

“Apa sih anjir gak jelas.” Raina kesel, ini sebenernya mau ngapain sih?

“Eh gua bingung awalnya harus gimana.” Mahesa mengusak kasar rambutnya, pusing dia, degdegan juga.

“Ya udah lah sini gua yang ajarin.” Raina pede banget.

“Lah emang lu bisa?” Mahesa gak yakin gitu, ya kali Raina ngerti caranya.

“Bisa lah, gua belajar dari film-film yang udah gua tonton.” Yang penting nyoba dulu, bener-salahnya belakangan.

Raina narik seragam Mahesa, terus cium bibirnya sekilas, iya sekilas doang gak berani lama-lama, kek gitu aja udah tremor duluan dia.

“Lah apaan gitu doang?” Sindir Mahesa.

“Ih bego, lu improve kek gitu, lanjutin jangan diem doang.” Omel Raina, dia malu juga.

“Oh gitu, bilang dong, sini-sini.” Mahesa meraih dagu Raina lalu mencium bibir gadis itu dengan lembut.

Raina memejamkan matanya, menikmati setiap gerakan yang diberikan oleh Mahesa, Raina mencoba membalas ciuman itu dengan ragu, tapi Mahesa menuntunnya dengan baik agar Raina bisa menyamakan gerakannya.

Raina kagum gitu Mahesa, ternyata dia jago banget, fix sih mereka sama-sama sering nonton begituan.

“Mmpp...”

Mahesa sontak melepaskan tautan mereka. “Kenapa, hm?”

“Ih kok berenti sih?” Keluh Raina, lagi enak begitu tiba-tiba dilepas.

“Loh kirain manggil.” Mahesa mengelap bibir Raina yang basah itu dengan ibu jarinya.

“Gak manggil...” Raina memukul bahu Mahesa.

“Ya udah ayo lanjut nonton filmnya, tuh udah mau abis aja.” Mahesa nunjuk layar ponsel Raina yang masih setia memutar film.

“Mau lagi...” Ucap Raina pelan.

“Hm? Lagi apa?” Mahesa mengelus rambut Raina.

“Dah lah males, gak jadi.” Raina kesel, dia mau lanjut nonton aja.

Mahesa sebenernya iseng aja, dia tau banget maksudnya Raina, tapi udah ah nanti malah keterusan lagi.

“Dih masa gitu doang ngambek sih?” Mahesa mencium pipi Raina secara tiba-tiba.

Raina kaget sih, tapi dia tetep stay cool gitu, mukanya dia datarin biar Mahesa ceming.

“Udah jangan ngambek gitu, jelek lu.” Kini Mahesa membawa Raina ke dalam pelukannya.

Raina gak menolak, dia diem aja, seterah lah Mahesa mau ngapain.

“I'm so tired of love songs, tired of love songs... Just wanna go home, wanna go home, woah...“ 

Mahesa melantunkan sebuah lagu untuk Raina, tak lupa dia mengecup puncak kepala gadis itu dengan lembut.

Cukup sederhana memang, namun hal itu bisa membuat Raina tersenyum, dia suka perlakuan manis Mahesa yang selalu membuat jantungnya bergemuruh.

“Aku cinta kamu...” Ucap Mahesa tulus.

“Aku gak.” Balas Raina masih kesal.

Kalo gaya omongan mereka udah berubah gitu, tandanya mereka lagi mode serius pemirsa. Entah mode serius apa mode bucin gak ngerti juga, maklum aja pokoknya.

“Ya udah nanti gak aku cium lagi.”

“Kamu aja gak cium aku lagi.”

“Hahaha... Kapan-kapan aja.”

“Kipin-kipin iji.”

Mahesa gemas dengan pacarnya itu, dia pun mencium bibir Raina sekilas.

“Tuh udah ya.” Ujar Mahesa.

“Yang lama dong...” Protes Raina, banyak mau emang dia.

“Jangan, nanti kamu ketagihan.” Mahesa mengacak-acak rambut Raina.

“Ih kak He...” Rengek Raina kek bocil.

“Apa sih Raina?” Mahesa mencubit hidung Raina.

“Ayo lagi...” Pinta Raina.

Mahesa menangkup kedua pipi Raina kemudian mencium kedua mata gadis itu, turun ke hidung dan terakhir tepat pada bibir sang empu cukup lama.

Biarkan saja mereka begitu sampai puas, namanya juga lagi dimabuk asmara, anzay.


[Shucy]

Shucy dan Satya masih berada ditempat yang sama yaitu Mekdi. Niatnya Satya ingin membawa Shucy ke suatu tempat setelah ini, tapi sayangnya hujan menjebak mereka disana.

“Keknya hujannya sampe malem deh kak.” Ucap Shucy membuyarkan lamunan Satya.

“Hah?” Satya memandang ke arah luar jendela.

Benar saja langit sudah mulai gelap, Satya melihat jam pada layar ponselnya, pukul 5. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat.

“Kak Satya...” Panggil Shucy lagi.

“Hm? Kenapa?” Tanya Satya.

“Aku penasaran deh sama Ice Skip—”

“Ice skating sayang.” Satya membenarkan, matanya tidak menatap Shucy, dia masih fokus memandang derasnya hujan di luar sana.

“Iya itu, kapan-kapan ajarin aku main Ice Skating dong kak.” Pinta Shucy.

Satya menoleh ke arah Shucy, sebenarnya memang itu tujuan Satya hari ini, kalau bisa sekarang kenapa harus kapan-kapan.

“Eum... Hari ini mau?” Tawar Satya.

“Serius kak?” Shucy kaget, dia kira Satya tidak akan mengajaknya secepat ini.

Satya mengangguk. “Iya kalo kamu mau.”

“Mau-mau!” Shucy menerima tawaran itu dengan antusias.

Satya tersenyum lalu mengacak-acak gemas rambut Shucy.

“Tapi nanti ya, nunggu ujan berenti dulu.” Ujar Satya menunjuk ke arah luar jendela.

“Oke.” Shucy mengacungkan kedua jempolnya pada Satya.

Sekitar tiga puluh menit mereka lewatkan, hujan di luar sudah mulai mereda, jadi mereka putuskan untuk segera pergi dari sana, takutnya hujan deras akan datang lagi.

“Emang tempatnya dimana kak?” Tanya shucy penasaran.

“Tempat kakak biasa latihan.” Balas Satya sembari mengelap jok motornya dengan kanebo.

“Oh...” Shucy mengangguk saja.

Satya menaiki motornya yang diikuti oleh Shucy dibelakang.

“Loh kak? Kita gak pake helm?” Shucy bingung kok Satya gak make helm.

“Gak usah, kamu pegangan sama kakak aja yang kuat, kakak mau ngebut.” Ucap Satya dengan santai.

“Ih jangan ngebut kak, bahaya.” Shucy takut, iyalah takut, bayangin aja mereka gak pake helm terus mau ngebut gitu, kalo terjadi apa-apa kan repot.

“Kamu tenang aja, kakak udah biasa balapan.” Satya mengusap lembut tangan Shucy. “Kamu berdoa aja, semoga kita selamat sampe tujuan.”

“O-oke.” Shucy berpegangan yang kuat pada Satya dan mulai membaca doa di dalam hati.

Satya melajukan motornya dengan kecepatan diatas rata-rata, bagaimana bisa orang seperti Satya mampu mengendarai kendaraan secepat itu setelah hujan, Shucy hanya memejamkan matanya selama perjalanan, dia tidak berani melihat keadaan sekitar.

“Kamu merem ya?” Tanya Satya sedikit berteriak.

“Iya.” Balas Shucy.

“Jangan merem, coba kamu liat deh jalanan sekitar kita, bagus banget loh.” Satya melambatkan laju motornya.

Shucy perlahan membuka matanya dan melihat jalanan yang Satya maksud.

Banyak lampu-lampu menyala disepanjang jalan, suasana kota Jakarta nampak indah bila di malam hari, tidak macet, udaranya juga serasa sejuk sehabis hujan.

“Dingin gak kamu?” Satya memberhentikan motornya.

“Sedikit sih...” Shucy mengusap kedua tangannya yang terasa dingin.

Satya baru ingat, dia sempat membawa jaket di dalam tasnya, dia pun mengambil jaket tersebut dan memakaikannya pada gadis itu.

“Emang kak Satya gak kedinginan?” Shucy khawatir, pasalnya tubuh lelaki itu hanya berlapiskan seragam sekolah saja.

“Gak apa-apa.” Ujar Satya, dia kembali melajukan motornya le tempat tujuan mereka.

Sekitar 10 menit, mereka pun sampai.

Sebuah gedung besar layaknya mall itu terlihat sepi, bahkan parkirannya saja hanya terdiri dari 3-5 kendaraan.

“Ini udah mau tutup apa gimana kak?” Tanya Shucy.

“Iya udah mau tutup, kakak biasanya kesini jam-jam segini, biar sepi aja gitu, kalo rame suka pada rusuh.” Jelas Satya.

“Oh gitu.” Shucy mengerti.

Mereka berdua masuk ke dalam gedung itu, Satya mengajak Shucy berkeliling sampai akhirnya tiba di lapangan es yang tampak luas.

Shucy kagum melihatnya, untuk pertama kalinya dia datang ke lapangan es seluas ini, dan kenapa dia baru tahu kalau tempat seperti ini ada di kotanya. 

Satya pergi ke deretan rak sepatu skate, harusnya dia menyewa dulu agar bisa menggunakannya, tapi karena tempat ini tutup, jadi Satya dengan santai mengambilnya tanpa izin.

Ya, Satya tahu jadwal tempat ini tutup dan dia memang datang ke sini saat sudah tutup, alasannya? Karena dia ingin menyendiri, menikmati bakat terpendamnya saat dia mengalami hari yang buruk.

Bisa dibilang bermain Ice Skating adalah bentuk pelarian dari kehidupannya, Satya akan merasa tenang dan nyaman ketika berseluncur di atas es.

Tidak banyak orang yang tahu soal ini, kecuali teman asramanya dan juga Shucy tentunya.

“Kak Satya udah berapa lama latihan disini?” Tanya Shucy.

“Eum... dari 3 tahun lalu... mungkin?” Satya juga begitu yakin sejak kapan, dia sudah melupakan hal itu. “Ah iya, ini pake sepatu skate nya.”

“Eh kak, tapi aku kan gak bisa main Ice Skating.” Ujar Shucy, dia memang tidak pernah menyentuh benda apapun yang berhubungan dengan Ice Skating.

“Ayo kakak ajarin.” Satya membantu Shucy memakai sepatu skate dengan benar.

Satya lebih dulu berdiri di atas es lalu memperlihatkan teknik dasar berseluncur pada Shucy.

Keliatannya memang mudah, tapi saat Shucy mencobanya dia malah oleng dan hampir terjatuh, untungnya Satya sigap menangkapnya.

“Pelan-pelan aja, pegangan sama kakak ya.” Satya mengulurkan tangannya untuk Shucy.

Shucy meraih tangan Satya yang mulai menuntunnya berseluncur sampai ke tengah lapangan es.

“Kak Satya jangan di lepas ya.” Shucy memegang erat tangan Satya.

“Iya, nggak kok.” Satya terus membantu Shucy dengan perlahan.

Beberapa menit kemudian Shucy mulai terbiasa dan mulai melepaskan tangan Satya.

“Kamu bisa kan?” Satya memastikan, dia mengikuti langkah gadis itu dari belakang, menjaganya agar tidak terjatuh.

“Iya bisa kok kak.” Shucy berseluncur ke kiri dan ke kanan dengan gembira, dia seneng banget akhirnya bisa main Ice Skating.

Satya tersenyum bangga melihat Shucy, bakat yang telah dia pelajari selama bertahun-tahun itu bisa dia turunkan pada gadis itu.

“Eyy, liat ini deh.” Satya memperagakan gerakan memutar sebanyak 10 kali dan anehnya lelaki itu tidak pusing sama sekali.

“Gak pusing kak?” Shucy mendekat ke arah Satya.

“Gak dong, udah biasa.” Ucap Satya agak sombong.

“Aku mau coba juga.” Ujar Shucy.

“Yakin kamu?” Satya tak yakin.

“Gak deng, takut pusing.” Shucy tertawa, dia kembali berseluncur ke arah lain, meninggalkan Satya yang tengah berdiam diri, entah dia sedang memikirkan apa, lelaki itu banyak melamun hari ini.

Shucy jelas menyadari itu, dia pun mengambil ancang-ancang untuk berseluncur ke arah Satya, berniat untuk mengagetkannya.

“Kak Satya awas!” Ya, niatnya memang untuk mengagetkan Satya, tapi Shucy lupa bagaimana cara memberhentikan sepatu skatenya yang terus meluncur sesuka hati.

Alhasil mereka pun terjatuh dengan posisi Shucy meniban tubuh Satya.

“M-maaf kak gak sengaja.” Shucy meminta maaf, tahu begitu dia tidak iseng tadi.

“Iya gak apa-apa, kamu ngapain sih?” Satya tertawa melihat wajah panik Shucy.

“Kak Satya dari tadi diem terus, mikirin apa sih?” Tanya Shucy.

Satya mengangkat sebelah alisnya, memangnya dia diam? Perasaan dia aktif terus deh, tapi sejujurnya dia memang sedang memikirkan sesuatu, cara mendapatkan hati Shucy, eaaa...

Satya sudah muak dengan segala drama yang menghantui hidupnya, dia ingin mengakhiri sekarang juga.

“Tuh kan bengong lagi...” Tegur Shucy.

Satya menatap manik indah Shucy, tanpa sadar lelaki itu mulai membalikkan posisi mereka, kini Satya berada di atas tubuh Shucy.

“K-kak Satya...”

Chuu~

Entah iblis mana yang berhasil merasuki Satya sampai dirinya berani melakukan hal itu. Ya, Satya mencium bibir Shucy dengan lembut.

Shucy terkejut atas perlakuan Satya itu, lelaki itu berhasil mencuri ciuman pertamanya.

Dia bingung apa yang sebenarnya terjadi dengan Satya, sejak pembicaraan mereka tadi siang, lelaki itu seketika berubah.

Satya juga tidak mengerti dengan perasaannya, untuk pertama kalinya dia merasakan hal aneh seperti ini, sangat aneh tapi dia menyukainya.

Dia pun menghentikan aktivitasnya dan menatap dalam manik indah Shucy.

“Kak, kalo ada masalah cerita aja sama aku.” Ujar Shucy dengan tulus.

Satya menghela nafasnya sejenak, masalah ya? Cukup banyak sebenarnya tapi Satya ragu untuk berbagi masalah itu.

“Kamu kedinginan gak?” Tanya Satya mengalihkan topik.

“Kak, jangan ngalihin to—mmpp..”

Satya mencium bibirnya lagi agar gadis itu berhenti berbicara.

“Bukannya ngalihin topik, kalo kamu kedinginan kakak bisa bikin kamu lebih hangat.” Ucap Satya.

“IHH KAK SATYA JANGAN CIUM TIBA-TIBA GITU DONG!” Shucy memukul dada Satya.

Satya terkekeh. “Maaf, bukannya gitu, tapi...”

“Tapi apa?” Shucy menatap Satya tajam, dia memang sedang kedinginan, namun perlakuan Satya tadi membuat tubuhnya menghangat.

Satya mendekatkan wajahnya pada Shucy, gadis itu pun reflek menggeser poni Satya yang menutupi matanya.

“Percaya gak, kalo kamu satu-satunya orang yang berhasil curi ciuman pertama kakak?” Satya mengusap lembut bibir Shucy.

Shucy menggeleng sebagai balasan, menurut Shucy jelas saja itu sebuah kebohongan, Satya kan terkenal buaya di sekolahnya.

“Tapi kakak gak bohong, makasih ya Shucy.” Satya tersenyum.

Shucy terkejut, jadi dia orang yang berhasil mencuri ciuman pertama Satya? Wow, betapa beruntungnya dia.

“Kakak boleh cium kamu lagi?” Izin Satya.

“Tadi juga ciumnya gak pake izin.” Sindir Shucy.

Dan jangan tanya apa yang terjadi setelah itu, hanya Satya, Shucy dan Tuhan saja yang tahu, intinya sih gak jauh-jauh lah mereka mainnya.


[Adya]

Setelah hujan reda, Adya segera berpamitan pada Sean untuk pulang.

“Eh, gua pulang duluan ya, ujannya udah berhenti tuh.” Ucap Adya.

“Oh iya, gua juga nih, bareng aja keluarnya.” Ajak Sean.

Adya mengangguk dan mengikuti Sean dari belakang.

“Ini jaket lu gimana?” Tanya Adya, dia ingin mengembalikan jaket itu tapi takutnya ada sedikit noda darah yang mengenainya, jadi Adya berniat untuk mencucinya dulu.

“Balikin besok aja, buat nutupin celana lu sampe pulang.” Balas Sean, dia menepuk bahu Adya.

“Lu kesini jalan kaki?” Adya tidak melihat kendaraan apapun selain motornya di parkiran.

“Iya lah jalan, asrama gua kan gak terlalu jauh dari sini.” Jelas Sean.

“Tapi bukannya lu baru balik dari sekolah ya?” Ya, pasalnya lelaki itu masih memakai seragam.

“Iya, gua baru balik, jarak sekolah-indoapril-asrama itu intinya deket, menurut gua.” Sean memang lebih suka jalan kaki, karena biasanya dia akan pulang bersama Juan dan Ricky, sekalian jajan di pinggir jalan juga.

“Ohh gitu.” Adya mengangguk. “Ya udah gua duluan ya, lu mau nebeng gak?”

Sean sempat berpikir, biar gimanapun dia itu punya sifat gadir yang harus di lestarikan.

“Mau dong, gua yang ngendarain ya.” Pinta Sean.

“Iya, nih kuncinya.” Adya memberikan kunci motornya pada Sean.

“Rumah lu jauh dari sini?” Sean menyalakan motor dan memutarnya ke arah jalan raya.

“Gak jauh sih sebenernya.” Adya menaiki jok belakang motornya.

“Oke.” Sean pun mulai menjalankan motor tersebut.

Perjalanan menuju asrama Sean memang tidak cukup jauh, namun mereka harus melewati jalanan sepi yang hanya diterangi cahaya remang-remang.

Karena saat itu sudah jam 17.45 apalagi sehabis hujan, membuat suasana disana menjadi gelap, dingin dan sedikit mencekam.

Tapi tenang saja, mereka tidak peduli akan hal itu, Adya sibuk membalas chat di ponselnya, sedangkan Sean santai saja melajukan motor tanpa beban.

Sampai beberapa saat kemudian, Sean merasakan motor yang dikendarainya itu memberat, dia pun segera memberhentikan motor dan menengok ke belakang.

“Kenapa dah?” Tanya Adya, dia bingung kenapa Sean tiba-tiba berhenti, mana udah mau Maghrib lagi.

“Sebentar.” Sean turun dari motor dan mengecek ban motor Adya.

Ternyata ada paku yang tertancap disana, sehingga mengakibatkan ban motor itu kempes.

“Yah, ban motor lu kena paku cokk.” Lapor Sean.

“Demi apa sih?” Adya ikut turun dan melihat ban motornya itu. “Aduh mampus, lah lu gimana sih bisa sampe kena paku begini!?”

“Ya gua mana tau anjir, kaga ngeliat gelap jalanannya.” Sean yang merasa tertuduh pun tak terima.

“Ihh begoo.” Ketus Adya.

“Ya maap.” Muka Sean malah nyolot.

“Lu tau gak tambal ban yang deket sini dimana?” Tanya Adya, tau gitu dia ogah nawarin Sean nebeng, pasti dia udah sampe rumah sekarang.

“Tau, deket asrama gua, mau kesana?” Sean mulai menuntun motor Adya.

“Ya iyalah mau, gua pulang gimana ntar kalo kek gini!?” Adya ikut mendorong motornya dari belakang.

“Ya udah ayo ikut gua!”

“Iya ini gua juga lagi dorong kali!”

Biasalah, sepanjang perjalanan mereka terus berdebat kecil seperti itu.

“Anjir katanya deket mana?” Keluh Adya, dia udah lelah jalan terus, udah tau ini hari pertamanya dapet.

“Sabar bentar lagi sampe.” Sean juga lelah sebenernya, tapi apa boleh buat?

“Istirahat dulu kek.” Adya menghentikan langkahnya.

“Dih, kocak.” Sean ikutan berhenti jadinya.

“Aduh aus dah.” Adya mengambil sebotol fantanya dari dalam plastik.

“Eh bagi dong, gua juga aus.” Pinta Sean.

Karena Adya baik dan tidak sombong, dia pun memberikannya pada Sean.

“Gua abisin ya?” Tanya Sean gadir banget.

“Enak aja lu, gua belom minum ya!” Adya memelototi Sean.

“Oke makasih!” Dan bener aja, Sean yang dasarnya spesies gadir mulai berulah.

“JANGAN DIABISIN BABI!” Adya mencoba mengambil botol fanta itu tapi Sean mengangkatnya tinggi-tinggi agar Adya tidak sampai.

“Mau minum?” Goda Sean, suka banget dia ngerjain Adya.

“IYALAH!”

“Oke.”

Bukannya mengembalikan botolnya, Sean malah meminum seluruh isinya ke dalam mulut.

“SEAN ANJING!” Adya emosi.

Minuman itu tidak langsung Sean telan, dia menangkup pipi Adya kemudian mencium bibir gadis itu, menyalurkan soda merah itu pada Adya.

Ya, Sean memang sudah gila.

Adya yang merasa ternodai itu langsung mendorong Sean dan segera memuntahkan seluruh cairan yang berhasil masuk ke dalam mulutnya itu.

“SEAN LU JOROK BANGET BANGSAT!” Adya masih syok.

“AHAHAHAHAHA.” Sean malah ngakak.

“SEAN GUA BILANGIN BAPAK LO YA!” Adya pergi meninggalkan Sean yang ngakak gak jelas itu.

“Eh motor lu gak dibawa nih?” Sean seketika berhenti tertawa.

“Bawain lah!” Teriak Adya dari depan, males banget dia liat muka Sean.

Mereka membawa motor tersebut sampai akhirnya bertemu tambal ban terdekat.

“Bang Reja, mau tambal ban.” Ucap Sean sembari menstandarkan motor Adya.

“Harganya berapaan dah?” Bisik Adya.

Sean menatap sinis Adya, lah dia mana tau, emang dia kang tambal ban, tapi setelah dia melirik daftar harga di spanduk dia pun tau.

“Oh, 15 ribu.” Balas Sean. “Gua bayarin dah ya, gegara gua juga jadi gini.”

“Iya lah harus, berani berbuat berani bertanggung jawab.” Ucap Adya, enak aja dia yang udah bikin motornya kena paku, ya harus dia juga lah yang bayar.

“Kok bisa kena paku gini dek?” Tanya bang Reja.

“Gak tau bang, tiba-tiba nancep aja dia.” Sean ngarang, toh dia emang gak tau kenapa bisa kena paku.

“Parah sih... Pasti ada orang yang sengaja naro paku di jalanan.” Gumam Adya yang masih bisa di dengar Sean.

“Fitnah lu.” Tuduh Sean.

“Ya lu liat aja itu buktinya.” Adya menunjuk motor kesayangannya.

“Kalian ini kakak adek ya?” Tanya bang Reja iseng.

“Lah...” Adya sama Sean bingung.

“Abisan mukanya mirip terus gelud mulu.” Bang Reja jadi ngakak liat mereka ngebug.

“Emang mirip apa?” Adya menatap Sean dengan tajam. “Perasaan gak deh, abang ngantuk ya?”

“Iya ah gak mirip, mana sudi saya punya adek macem dia, udah di anak tirikan kali.” Sean melipat kedua tangannya didepan dada.

“Dih, gua juga gak sudi punya kakak kaya lo, DASAR BANCI!” Kan Adya mulai memancing masalah lama.

“Wahh bener-bener, udah gua bilang gua bukan banci ye, DASAR LONTE!” Sean jelas gak mau kalah.

“APA LO BERANI SAMA GUA!?”

“APA DAH!”

“Eh udah-udah malah berantem, nanti jodoh loh kalo kaya gitu.” Sahut bang Reja.

“NAJIS!” Seru Adya dan Sean.

Abis itu mereka berdua saling buang muka.

Sekitar 30 menit mereka menunggu tambal ban itu selesai, dan selama itu pula mereka diam, sungguh momen yang langka bukan?

“Dah kelar nih.” Ujar bang Reja.

Sean segera bangkit dari tempat duduknya dan membayar harga tambal ban tersebut.

“Makasih ya bang.” Ucap Adya.

“Iya lain kali ati-ati dek jangan sampe kena paku lagi.” Nasihat bang Reja.

“Iya bang, tadi salah dia tuh.” Adya nunjuk Sean.

“Iya gua terus salah, emang salah sih hehehe...” Sean malah cengar cengir.

“Udeh lu berdua jangan gelud terus ah, balik-balik besok sekolah kan lu pada.” Usir bang Reja secara gak langsung.

“Iya bang, ini balik.” Balas mereka berdua.

Adya menaiki motornya di bagian depan sedangkan Sean malah ikutan naik, dia lupa padahal asramanya tinggal jalan berapa langkah aja udah sampe.

“Lu ngapa naik lagi bambang?” Tanya Adya kesal, orang dia mau pulang bocahnya malah ngikut, dikira ojek kali dia.

“Ett nebeng itu deket.” Sean memelas, mager dia jalan.

“Kaga-kaga, gua mau balik, turun lu!” Suruh Adya.

“Ya elah tolongin ngapa, lu kan tadi udah gua tolongin.” Sean meluk Adya dari belakang, gak mau turun dia pokoknya.

“Ya udah iya, gak usah pegang-pegang juga.” Adya menepis kasar tangan Sean. “Dasar pecel lele!“ 

Akhirnya dengan terpaksa Adya mengantar Sean sampai depan asramanya yang terbilang cukup mewah itu, pengen banget sih dia mampir, numpang makan gitu abis itu pulang, tapi mana berani.

“Mau masuk dulu gak lu?” Tawar Sean.

“Kaga, gua mau balik.” Tolak Adya.

“Ya udah makasih ya lur.” Sean mengangkat tangannya agar mereka bisa bertosan ria.

“Iya makasih juga ya, maaf ngerepotin lu.” Ucap Adya dengan tulus, capek juga sebenernya berantem terus sama Sean.

“Iya gua mau minta maaf juga tadi udah nyium lu.” Sean merasa bersalah.

“EMANG ANJING KALO ITU!” Adya yang ingat hal itu langsung mukulin Sean, udah ternodai bibir dia.

“Eh iya ampun, kan bercanda.” Sean pasrah saja dipukuli seperti itu.

“Bercanda ap—mmpp”

Jangan tanya kenapa, iya itu Sean cium bibir Adya lagi, tapi gak barbar kek sebelumnya kok, kali ini lebih lembut dan penuh ketulusan.

Buat permintaan maaf sih lebih tepatnya.

“Tuh udah gua ganti yang lebih bagus.” Ucap Sean dengan santai.

“YANG NYURUH LU NYIUM GUA LAGI SIAPA BABI!?” Adya mukulin Sean lagi.

“Anjir salah mulu gua...” Sean lelah.

Semoga saja hubungan mereka kedepannya akan damai.

. . .


#SweetBetrayal