Rosie

“Mau pesen apa?” Tanya Bible yang duduk di hadapan Build di sebuah cafe depan agensi mereka.

“Ice americano aja.”

“Gausah sok kuat kopi deh. Ini udah malem nanti lu gak bisa tidur.” Ucap Bible tanpa memandang ke arah Build yang sedang memutarkan bola matanya malas.

Bible menekan tombol pemanggil pelayan lalu memberitahukan pesanan mereka. Ia memesan hot chocolate, cheesecake stroberi, dan segelas teh manis hangat untuk dirinya sendiri.

“Banyak ya makannya.” Ucap Build dengan asal.

“Hot chocolate sama cheesecakenya buat elu.” Balas Bible yang beralih fokus kepada kertas skrip mereka.

“Kok tau gw suka itu?” Build heran darimana laki-laki ini tau makanan favoritnya.

“Lu kan kalo ke tempat workshop selalu bawa susu coklat panas sama cheesecake. Awas diabetes aja.” Build hanya mengangguk malas.

Bible terlihat lebih cuek di dunia nyata daripada di dunia maya. Dia bahkan yang biasanya bawel di chat hanya diam saja. Makanan mereka akhirnya datang, Build yang memang menunggu pesanan mereka akhirnya langsung melahapnya dengan bahagia.

Bible sesekali menatap Build yang terlihat begitu menyukai hidangan di hadapannya. Bible terlihat tersenyum tipis. Imut, begitu pikirnya.

“Makan tuh jangan kayak bocah.” Bible mengusah pipi Build yang terkena selai stroberi lalu menjilat ibu jarinya tadi.

“Heh! Jorok banget itu bekas gw kok elu jilat sih.”

“Nanti juga tukeran ludah, ngapain juga jijik.” Ucap Bible dengan santai sambil kembali menghapal skrip mereka.

Bangsat. Build hanya bisa terdiam dan dengan canggung memakan kuenya lagi. Mau mati saja rasanya.

“Gausah tegang gitu. Ayo cepet abisin biar bisa latihan dialognya.” Build yang sudah tegang dari tadi cepat-cepat menyingkirkan makanan miliknya lalu fokus ke kertas skrip miliknya.

Tiba-tiba Bible yang tadinya duduk berhadapan dengan Build berpindah tempat ke sampingnya.

“Eh lu ngapain anjir.” Build yang terkejut pun menjauhkan diri tapi Bible terus merapatkan dirinya.

“Enakan baca bareng biar bisa bangun chemistry juga.” Ucap Bible sekali lagi dengan santai.

“Ih, minggirlah.” Build mencoba mendorong Bible untuk menjauh tapi Bible menoleh dan mendekatkan wajahnya ke wajah Build.

HEI! Jantung Build hampir copot karena perilaku Bible yang tiba-tiba. Apakah Build tertarik dengan Bible?

“OH JELAS TIDAK, cuma canggung aja gak biasa sama sikap Bible.” Batin Build. Bible memang perhatian di chat tapi tidak dengan di luar dunia sosial media.

Melihat Build yang diam saja akhirnya Bible kembali menatap ke kertas mereka sambil sedikit tersenyum kecil. Lucu, pikirnya.

Mereka latihan dialog mereka dengan tekun. Bagaimana tidak, syuting yang tadinya dilaksanakan minggu depan dipindah jadi besok.

Saat sedang berbincang tentang beberapa scene yang ingin mereka modifikasi atau tambahkan tiba-tiba datang seorang laki-laki bertubuh tinggi.

“Hai Build.” Ucap laki-laki yang menghampiri mereka.

“Loh? Kak na? Kok bisa disini.” Build menoleh ke arah sumber suara.

“Iya lagi mampir. Lagi kencan nih sama pacar baru?” Na menatap ke arah Bible.

“Bukan ini projek film kok.” Build tersenyum dan menyenggol Bible untuk tersenyum ke arah Na.

“Kirain udah ada yang gantiin aku.” Na tertawa kecil yang dibalas dengan tatapan tajam Bible.

“Yaudah gw mau cabut. Peluk dong.” Na merentangkan tangannya meminta sebuah pelukan.

Build ingin bangkit berdiri untuk menghampiri Na tapi Bible menahannya sambil menatap ke arah Build.

Build yang tidak mengerti hanya menyiratkan “Apa sih? Minggir sana gw mau keluar.” melalui matanya.

Karena didesak terus menerus oleh Build akhirnya dengan kesal Bible pun minggir agar Build bisa lewat. Build memeluk erat Na lalu Na berpamitan dengan keduanya sambil sebelumnya menepuk-nepuk kepala Build.

Build akhirnya kembali duduk dengan senyuman lebar sedangkan Bible masih bersikap tidak peduli dan hanya memfokuskan diri ke kertas miliknya.

“Seneng ya.” Ucap Bible dengan sedikit nada kesal.

“Iyalah, tapi bete lagi soalnya harus sama elu terus kek gini. Minggir napa.” Build menyenggol Bible untuk sedikit menjauh.

Akhirnya Bible bangkit berdiri dan pindah duduk ke hadapan Build seperti posisi duduk awalnya.

Walau Build yang menyuruhnya pindah tapi Build tetap heran. Kok gampang banget?

“Ah sudahlah, biarin aja.” Pikir Build.

Setelah jam sudah menunjukan pukul 21.00 dan cafe sudah terlihat sepi, akhirnya Bible bangkit berdiri.

“Ayo pulang.”

“Yaudah pulang aja.” Ucap Build yang masih fokus ke kertas miliknya.

“Ini udah malem biu, besok syuting kita pagi banget.”

“Iya bentar lagi pulang.”

“Kan tadi gw yang anter elu kesini, sekarang gw harus anter elu pulang.”

“Siapa yang suruh?” Build kini mengalihkan perhatiannya ke Bible.

“Ini namanya bertanggung jawab.”

“Gw bukan anak kecil bib. Nanti bisa kok pulang sendiri.”

Bible yang kesal hanya menghela nafas lalu menarik Build ke luar dari cafe.

“Ayo pulang.” Bible menyodorkan helm yang tadi Build pakai saat ke cafe.

“Rese banget sih lu.” Build memutarkan bola matanya malas sambil memakai helm yang diberikan Bible.

“Eh? Baru pulang biu?” Tiba-tiba ucap seseorang.

Build yang kenal dengan suara itu langsung menoleh.

“Loh? Kak Na?”

“Ini aku mau kasi bingkisan dari mama buat kamu trus aku mikir apa kamu masih di cafe jadi aku balik kesini.” Kata Na sambil menyodorkan bingkisan kepada Build.

“Wah, makasih ya kak. Titip salam ke mama ya.” Build tersenyum melihat isi bingkisan tersebut.

Bible yang sedari tadi diam hanya memperhatikan interaksi mereka.

“Kalian pulang bareng?”

“Iya.” Jawab Bible dengan spontan.

“Gamau bareng aku aja biu? Kita kan lebih searah daripada sama temen kamu nanti dia repot.”

“Nggak kok.” Ucap Bible lagi dengan cepat.

“Eh tapi bener sih. Mending gw pulang sama kak Na, bib daripada nanti lu harus bolak balik.” Build mencopot helm yang tadi dia pakai lalu memberikannya kepada Bible. Bible hanya terdiam dan mengambil helm itu dari Build.

“Yuk pulang.” Kata Kak Na sambil berjalan ke arah mobilnya.

“Yaudah gw pulang duluan ya, bib. Hati-hati di jalan.” Ucap Build

“Hmm.” Bible hanya berdehem ria.

Build melambaikan tangannya lalu menyusul langkah jalan Na menuju mobilnya. Bible menatap geram ke arah mobil yang mulai berjalan menjauh.

Bible dan Build akhirnya telah menyelesaikan workshop mereka yang seperti biasa dipenuhi oleh drama.

“Mau kemana lu buru-buru banget?” Tanya Jeff yang melihat Bible buru-buru mengemasi barang-barangnya.

“Mau kencan.” Bible tersenyum menang ke arah Jeff.

“Kek punya pacar aja lagak lu. Gebetan elu aja ngereog terus tiap deket-deket elu.”

“Liat aja nanti.”

“Bible lu bisa cepetan dikit gak si? Nanti telat.” Teriak Build sambil berjalan mendekati Bible.

Jeff yang terkejut hanya mampu terdiam melihat Build menarik-narik baju Bible. Apo yang melihat Build langsung merangkul bahunya.

“Mau kemana emang lu buru-buru?” Tanya Apo yang heran.

“Mau ketemu adek gw.” Apo yang mengerti hanya mengangguk.

“Ayo. Pergi.” Bible menatap sangar ke arah Apo lalu menarik lengan Build keluar dari tempat workshop mereka.

“Idih.. napa lagi orangnya.” Apo menatap heran ke arah Bible.

“Sayang jangan gituin orang lain dong. Aku cemburu tau.” Mile tiba-tiba datang dan meletakan dagunya di bahu Apo.

“Bodo.” Apo mendorong wajah Mile menjauh sambil menunjukan senyuman kecil.

Hey.. tolong Jeff masih disitu kenapa semua berlagak seperti ia tembus pandang?

“Mana kunci mobil elu, biar gw yang bawa. Lu tunjukin arah aja.” Ucap Bible sambil meminta kunci mobil kepada Build.

Build yang memang sedang malas menyetir akhirnya menyerahkan kuncinya kepada Bible. Selama perjalanan mereka hanya diam, tidak ada yang mau memecahkan keheningan. Satu-satunya suara yang muncul hanya suara google map yang sedang menunjukan arah kepada Bible.

“Beli roti dulu ke toko disana ya.” Ucap Build tiba-tiba sambil menunjuk ke arah sebuah toko roti.

Build membeli beberapa kantong roti lalu melanjutkan perjalanan lagi ke tempat tujuan mereka yang sebentar lagi sampai.

“Tunggu sini dulu.” Kata Build saat sudah sampai di suatu panti asuhan.

“Kenapa ke sini? Bukannya mau ketemu adek kamu?” Tanya Bible sambil menahan lengan Build yang ingin keluar.

“Ya.. memang disini.” Build akhirnya keluar dari mobil dan ia disambut oleh seorang laki-laki remaja berbadan tinggi.

Lalu disusul dengan anak-anak kecil yang mengerumuni Build meminta untuk digendong dan dipeluk. Terlihat juga seorang perempuan berumur sekitar 40 tahun yang memeluk erat Build.

Bible yang bingung hanya mampu tersenyum melihat kehangatan didepannya. Tiba-tiba Build menghampiri Bible dan menyuruhnya turun. Perempuan tadi menyapa Bible dnegan ramah.

“Makasih ya nak. Anak-anak pasti seneng banget sama sate taichan yang kamu udah beli. Mereka jarang bisa jajan karena keterbatasan finansial.” Perempuan yang diketahui namanya Ibu Vera tersenyum tulus ke arah Bible.

Bible tertegun, begini ternyata rasanya dihargai padahal mungkin untuknya uang yang ia keluarkan tidak seberapa.

“Sama-sama bu.” Bible membalas senyuman Ibu Vera.

“KAK BIU!” Seorang anak kecil berumur 7 tahun berlari dan memeluk Build. Build berjongkok dan membalas pelukan anak tersebut.

“Venice apa kabar sayang?” Build berkata dengan lembut.

“Baik banget. Venice kangen kak biu.” Venice memeluk Build dengan erat.

“Kakak juga kangen.”

“Ini siapa? Pacar kakak ya?” Bisik Venice. Bible yang dipandang akhirnya tersenyum dan ikut berjongkok.

“Halo Venice. Aku Bible.” Bible menjulurkan tangannya.

Venice terlihat sedikit canggung dan melihat ke arah Build. Build yang mengetahuinya pun tersenyum dan mengangguk ke arah Venice. Venice dengan ragu membalas jabatan tangan Bible. Tangannya sangat mungil, pikir Bible.

“Mau ikut kakak ambil roti? Kak biu tadi beli roti.” Tanya Bible sambil bangkit berdiri dan menawarkan tangan untuk digandeng

“Mau.” Venice mengangguk lucu lalu menggandeng tangan Bible.

Bible dan Venice akhirnya berjalan menjauh untuk mengambil beberapa kotak roti.

“Kalian cocok.” Ucap Ibu Vera sambil memegang tangan Build.

“Eh.. dia cuma temen bu.” Build yang tadi sedang melihat Bible dan Venice bercanda akhirnya menoleh ke arah Bu Vera.

“Gak cuma temen juga gapapa biu.”

“Serius cuma temen.” Build menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bingung harus jawab apa.

“Dia baik lho terus kayaknya penyayang ya.” Build yang juga terkejut dengan perubahan sikap Bible hanya mengangguk setuju.

“Ini rotinya enaknya taruk dimana bu?” Tanya Bible sambil membawa kotak roti di tangan kanan dan menggandeng tangan Venice di tangan lainnya.

“Ayo masuk aja dulu.” Ajak Bu Venice.

Bible dan Build akhirnya masuk ke dalam panti dan mereka disambut oleh banyak anak-anak. Build terlihat tertawa dan bermain bersama mereka. Bible yang tidak se-energetic Build pun hanya berdiri dan tersenyum melihat interaksi mereka.

“Kakak pacarnya kak biu?” Tiba-tiba laki-laki remaja yang diawal menghampiria Build pun menghampiri Bible.

“Ah.. bukan.” Jawab Bible dengan canggung.

“Kalo iya juga gapapa sih.. Kak Biu udah lama banget gak ketawa kek gitu.” Kata remaja bernama Barcode itu.

“Emang biasa gimana?”

“Kak biu itu selalu keliatan stress kadang nangis juga.”

“Kalo boleh tau.. kenapa dia begitu?” Bible menengok ke arah Barcode yang masik memandang ke arah Build yang sedang tertawa.

“Panti ini mau bangkrut kak. Dia coba banget buat pertahanin. Dia juga lagi berusaha buat keluarin aku dari panti.”

“Ha? Bukannya tinggal keluar aja?”

“Kak biu gamau aku buat tinggal sama dia dengan keadaan dia belum mapan buat biayain aku kayak sekolah dan lain-lain. Padahal aku gapapa banget buat hidup sederhana tapi kak biu memang sebaik itu.“ Barcode terdiam sebentar lalu melanjutkan omongan dia.

“Orang tua aku itu suka mukulin aku haha. Jadi, aku lari ke panti terus ketemu kak biu.”

“Build.. anak panti?” Tanya Bible dengan hati-hati.

“Orang tua dia kecelakaan terus meninggal ditempat. Waktu itu ditemuin sama Ibu Vera lagi duduk di trotoar kebingungan.” Barcode dan Bible memandang sedih ke arah Build.

“Kakak tolong banget jagain kak biu ya. Aku minta tolong banget.” Kata Barcode sambil menoleh ke arah Bible.

“Janji.” Bible menatap ke arah Barcode lalu mengangguk.

“Gw bakal jagain dan berusaha buat ngebahagiain elu mulai sekarang.” Batin Bible.

Setelah bermain-main lama, akhirnya Bible dan Build bersiap untuk pulang. Ibu Vera sekali lagi memeluk Build lalu beralih menggenggam tangan Bible sambil berbisik lembut. Bible mengangguk dan Build hanya memandang mereka dengan bingung. Ia tidak bisa dengar apa yang diucapkan Bu Vera kepada Bible

“Makasih buat hari ini.” Ucap Build sesampai mereka di mobil yang dibalas dengan senyuman tulus dari Bible.

Bible mengangkut Build keluar dari bilik toilet dan langsung membuka bajunya. Build yang masih ragu, menahannya.

“Masih mau nahan? Muka udah lemah begitu.” Ucap Bible kepada Build yang sangat gengsian walau dirinya sangat membutuhkan Bible sekarang.

“Ga..gamau ta..takut.” Build yang terlihat imut akhirnya dicubit oleh Bible.

“Mana Build yang ngatain gw play victim di twitter?” Bible tersenyum jahil yang akhirnya dipukul oleh Build dengan seluruh sisa tenaga yang ia punya.

“Aduh sakit.” Bible berpura-pura kesakitan yang dibalas dengan muka sinis Build.

“Aduh sakit banget.” Build tiba-tiba merasa sakit lagi, ia pun mencengkram erat perutnya.

“Yaudah biar lu gak malu. Let’s pretend to be somebody else. Your name is Pete and my name is Vegas. Ngerti?” Build yang sudah pasrah akhirnya hanya mampu mengangguk saja.

[Nama VegasPete dipakai saat scene hot; VegasPete sama dengan BibleBuild tidak ada pergantian karakter]

“Okay pete, I need you to open your shirt and pants. Aku gak bisa ngapa ngapain selama kamu gamau aku buka bajunya.”

Pete dengan segala kesakitannya akhirnya membuka baju dan celananya. Shit, he’s hot. Begitulah pikir Vegas.

“Cepet. Sakit.” Pete yang putus asa malah menungging tepat di depan Vegas.

“Anjing gw turn on.” Vegas menunduk ke bawah dan melihat adik kecilnya telah bangun.

Pete yang sudah gemas dengan kelambatan Vegas akhirnya berdiri dan membuka celana Vegas. Vegas langsung memberhentikan gerakan tangan Pete.

“Kenapa? Malu? Kecil?” Pete malah meledeknya.

“Tanggungan kamu kalo sampe aku malah gak bisa berenti ya, Pete.” Pete memberikan senyuman nakal lalu membuka paksa celana Vegas.

“Anj.” Pete terdiam.

“I told you. Now, face the mirror so you can see how beautiful you are when I fuck you.” Vegas memposisikan Pete menghadap kaca dan dirinya di belakang Pete.

Pete yang melihat refleksi dia di kaca malah berubah bersemu merah. Pete dan Vegas sangat dekat sekarang. Vegas dapat mencium bau feromon Pete yang manis.

“Aku masukin ya.” Kata Vegas untuk memberi aba-aba. Namun, Pete menghentikannya.

“Tunggu.” Build melihat ke arah pintu. Ternyata ada suara Apo dan Mile yang mencari mereka.

Build mengambil baju mereka dan mendorong Bible ke dalam bilik. Bible didudukkan di atas toilet tertutup dan Build berjongkok tepat di atasnya. Biar gak keliatan kayak ada 2 kaki, pikir Build.

“Bible? Build? Lu disini gak?” Mile dan Apo membuka satu satu pintunya.

Shit. Mereka lupa kunci pintu. Build melihat ke arah Bible yang cuma menggelengkan kepalanya. Mereka panik akhirnya Build mencoba untuk meraih kunci pintu toilet sebelum Mile membukanya tapi ia malah terpeleset dan..

JLEB. Masuk sudah batang orang lain ke dalam dirinya.

Vegas yang tau Pete akan mendesah pun langsung menutup mulutnya. Pete hanya bisa terduduk diam tapi bangsatnya Vegas ia malah menggoyangkan batangnya keluar masuk dan kanan kiri, membuat titik nikmatnya terkadang tersenggol.

“Mmhmm.” Pete tidak kuat. Heat dicampur dengan kenikmatan mampu membuatnya gila sekarang.

Pete ingin lebih kencang lagi tapi jika ia mempercepat tempo hancur sudah toilet ini. Vegas yang paham dengan maksud Pete akhirnya sedikit mempercepat tempo sambil mengocok adik bagian depan Pete. Hancur sudah pertahanan Pete. Ia sudah gila sekarang.

“Ini ada orang sih.” Kata Mile yang sedang mengecek pintu

Vegas yang tau Apo akan mengecek kakinya akhirnya mengangkat kaki Pete, membuat tusukan batangnya semakin dalam. Titik nikmat dihantamnya membuat Pete melengkungkan pinggang indahnya.

“Shit, indah banget.” Umpat Bible dalam hati.

“Anj Bible gatau diri. Makin dalem bego.” Build mengumpat dalam hati sambil mencoba menahan desahan

“Gak ada disini kayaknya mereka. Kakinya terlalu berambut buat Build.” Ucap Apo.

Build yang daritadi menahan desah sekarang malah menahan marah. Akan ia penggal kepala Apo saat bertemu nanti.

Mile dan Apo akhirnya pergi meninggalkan mereka. Bible yang sedari tadi menahan ketawa akhirnya tertawa terbahak-bahak.

“Kenapa ketawa?!” Build memandang Bible kesal.

“Kamu memang terlalu manis buat jadi sekedar beta.”

“Lu sendiri aja beta.”

“Samaran aja. Gw gamau orang tau gw Alpha. Kalo bukan Alpha mana bisa nyium feromon kamu yang manis, sayang.” Bible mencium leher putih mulus milik Build, membuatnya merinding.

“Heat gw udah selesai. Ayo cabut batang lu.” Build mencoba berdiri tapi malah dihantam oleh Bible lebih dalam membuatnya terduduk lagi dan mendesah.

“Anjing gw ada di lubang singa ini mah. Mampus gw.” Batin Build.

“Let’s play again Pete. One more round, just us.” Bible tersenyum jahil.

“Do.” Satu hantaman.

“You.” Dua hantaman.

“Wanna.” Tiga hantaman.

“Play?” Empat hantaman.

“Annghh.” Build tidak kuat lagi. Jika gila biar kan saja dia gila.

“Pete?”

“Let’s ride, Vegas.” Build berbalik dan mencium Bible dengan panas.

“Halo? Ada orang disana?” Panggil Bible tanpa rasa takut.

“Mampus pake kelepasan lagi anj.” Bisik Build pada dirinya sendiri.

Bible akhirnya mulai membuka satu-satu bilik yang tertutup. Ia mencoba mencari asal dari suara desahan itu. Build yang dipacu adrenalin malah semakin merasakan heatnya yang tidak tau kenapa datang lebih cepat.

“Ada orang disana?” Bible mengetuk salah satu pintu yang tertutup rapat.

“Aku lagi kencing.” Jawab Build dengan suara yang dibuat buat layaknya perempuan. Bodoh memang.

“Ini toilet cowok. Kamu kenapa disini? Salah masuk toilet?” Build yang merasa bodoh langsung nepuk jidatnya keras.

“Ah toilet cowok ya? Aku gatau tadi langsung masuk. Kamu boleh tolong keluar dulu gak?”

“Kenapa? Lagi heat? Mau aku bantu? Aku beta kok.”

“Ah jangan haha aku bisa sendiri kok.” Build merutuki dirinya yang menunjukan suara-suara sedang heat.

“Kalo cewek sedang heat mana bisa sendiri? Kecuali kamu cowok.” Tertampar lagi, memang Build bodoh. Begitulah cara Build merutuki dirinya sendiri.

“Haha gapapa udah kok. Kamu mending keluar deh.”

“Sini aku bantu. Aku gak bakal ngapa ngapain kok lagian aku gak suka cewek.” Bible mendekat ke arah pintu.

“Gausah sumpah mending lu- eh kamu pergi aja. Please banget.” Build terus memohon, heatnya akan buat dia gila setelah ini.

“Yaudah aku tinggal.” Bible akhirnya melangkahkan kaki keluar.

“Aduh sakit banget anj.” Umpat Build. Dia bingung heatnya kali ini susah sekali diturunkan padahal sudah minum obat. Ingin menangis rasanya.

Build merasa sangat kesakitan sampai rasanya ingin hilang kesadarannya. Keringatnya tidak berhenti bercucuran.

“Aduh sakit banget yaampun.” Build mencengram perutnya yang kram.

“Mending gw tolongin.” Ucap Bible yang ternyata hanya pura-pura keluar.

Build yang kesakitan sampai tidak mampu untuk menunjukan ekspresi kaget. Dia cuma terdiam.

“Buka pintunya. Lu gak bisa lepasin sendiri yaudah biarin gw bantu.” Bible mengetuk pintunya.

“Lu bisa mati kalo gak dilepasin. Gw gak bakal manfaatin kok kecuali elu yang bolehin.”

“Bangsat.” ucap Build dengan sekuat tenaga yang dibalaskan dengan ketawa kecil.

“Ayo biarin gw bantu elu. Nanti kalo elu kenapa napa gw yang kena tembak Apo di kepala.” Akhirnya terdengar bunyi pintu yang terbuka dengan seorang laki-laki yang telah terkapar di lantai.

Bible yang benar-benar khawatir membawa laki-laki itu keluar. Lalu sekian terima gaji.

Singto sedang duduk memegang gitarnya diatas panggung. Hari ini adalah jadwalnya untuk tampil di atas panggung kecil milik cafe bernama Red Block itu.

Semua menunggunya dan menyuruhnya untuk bernyanyi tapi ia tetap tidak bergeming. Ia masih menunggu dengan harapan seseorang itu mendengarkan lagu yang sangat ia ingin sampaikan kepada dirinya.

Pemilik cafe itu naik ke atas panggung dan berbisik, “Apa yang lu tunggu to? Semua udah nungguin elu.”

“Tunggu dulu bentar kak, gw yakin dia dateng.”

“Tapi semua gak mungkin nungguin dia to. Ini udah jam 8 lebih 5 menit.”

“Tapi… oke, gw mulai sekarang aja.” Singto menghela napasnya. Ia menyerah. Mungkin Krist memang benar-benar malas datang.

Singto mulai memetik gitarnya dengan lembut.

Singto tersenyum tulus ke arah penonton walau yang ia harapkan tidak datang. Mungkin laki-laki itu juga tidak ingat bahwa hari ini adalah hari yang special. Ya.. buat apa ia ingat-ingat kalau memang sudah tidak penting.

Singto sangat ingat sekali, pernah menjadi zona ternyaman dari seseorang yang juga ia anggap rumah. Tempat ia berpulang di saat sedih maupun senang.

Ia masih menggandeng memori-memori tersebut dengan erat di tangannya berharap dapat sekedar mengulangnya sekali lagi. Kata orang bahagia itu sederhana. Mungkin hal itu benar karena terkadang satu pelukan saja sudah membuatnya menjadi manusia paling beruntung di dunia.

Penyesalan memang selalu di akhir karena dulu ia pernah melepas. Melepas karena diwajibkan untuk hal itu.

“Janji kan buat selalu bareng?”

“Janji.”

Apalah arti janji itu. Ia sudah ingkari janji tersebut jauh sebelum janji itu dibuat. Orang bilang jika kamu mencintai seseorang maka lepaskan dia tapi jika cinta begitu menyakitkan, aku tidak mau mencintai.

Singto tertunduk dan termenung. Namun, dengan harapan orang yang ia masih kenang dapat mendengarkan maksud lirik lagunya, ia tetap bernyanyi dengan hati.

Tiba-tiba terlihat seseorang datang dengan sedikit tergesa-gesa. Singto sedikit terkejut tapi lalu tersenyum dengan tulus ke arah orang itu. Orang itu masih terlalu sibuk mengatur nafasnya hingga tidak sadar bahwa laki-laki yang sedang bernyanyi di panggung itu sedang menatapnya.

Saat sudah selesai dengan segala kesibukannya, ia mulai menyebarkan pandangan untuk mencari laki-laki yang menyuruhnya kesini. Setelah beberapa saat mencari, akhirnya ia melihat laki-laki berambut hitam sedang memetik gitar di atas panggung. 

Singto menatapnya lekat seperti mengatakan untuk Krist diam dulu dan dengarkan dia. Alunan lagu itu masuk ke dalam telinganya dan ia mencoba memahami maksudnya.

I would never fall in love again until I found him Aku tak kan pernah jatuh cinta lagi sampai aku menemukan dirinya

I said, “I would never fall unless it's you I fall into” Ku bilang, “aku tak kan pernah jatuh cinta selain dirimu”

I was lost within the darkness, but then I found him Aku tersesat dalam kegelapan, lalu aku menemukan dirinya

I found you Aku menemukanmu

Ya, betul. Diantara segala hal hanya Krist yang berhasil menemukan Singto. Ia mengenalkan sebuah dunia tanpa kekuatiran akan sendiri.

“Tay, elu yang minta Singto ke gudang sekolah ya dan New elu yang ajak Krist.” Kata Jan kepada Tay dan New sebelum melancarkan rencana mereka.

“Gw takut Krist kenapa napa Jan.” Kata New dengan menunjukan keraguan.

“Gw tau ini beresiko tapi this is the only way right now.”

“Lu tau Krist takut ruang sempit kan Jan?”

“I know New tapi gw juga tau Krist sama Singto pernah ada di posisi ini. Just trust me on this one.”

“Oke” New mengangguk dengan yakin kali ini.

Singto

“Sing bantu gw dong.” Kata Tay sambil membawa 4 kardus besar.

“Sini kasi gw 2.” Singto mengambil 2 kardus besar paling atas.

“Aduh gila makasih banget.”

“Ini mau dibawa kemana?”

“Ke gudang sekolah, bantu gw ya plis.”

“Iya, ayok bareng gw.”

Krist

“Krist!” Teriak New

“Sumpah jangan teriak-teriak napa gw kaget astaga.” Sahut Krist

“Lu dicariin Tay di gudang sekolah.”

“Buat apaan?”

“Itu ngurus perlengkapan osis.”

“Okay, gw otw kesana.”

Krist pun berjalan ke gudang sekolah.

Gudang Sekolah

“Sing elu tolong masukin kardusnya ke gudang ya. Gw mau ke toilet sebentar.” Kata Tay sambil berjalan ke arah toilet.

“Oke.” Singto mengangkut kardus-kardus tersebut ke dalam gudang. Tiba-tiba terdengar suara teriakan.

“Bang Tay elu dimana?” Krist berteriak.

“Tay lagi ke toilet.” Sahut Singto.

“Lu ngapain disini?” Kata Krist dengan ketus.

“Santai bro gw cuma naruk kardus titipan Tay aja. Ini gw mau pergi kok.”

“Bagus. Pergi sana.” Krist memalingkan mukanya.

Singto menghela napas lalu pergi keluar gudang. Krist tidak bergeming dan tetap enggan memandang Singto. Tiba-tiba pintu gudang tertutup dengan keras. Krist pun panik dan mencoba membuka pintu tersebut.

“WOI BUKA! GAK LUCU YA!”

“Gw minta maaf Krist tapi gw harus ngelakuin ini.” Kata Jan sambil mengunci pintu gudang

“JAN BUKA! Gw gak bisa di ruang sempit.”

“Gw bakal buka kalo lu udah ngobrol baik-baik sama Singto dan reconsider buat tampil di music fess.”

“BANGSAT LU JAN KELUARIN GW.”

Sementara itu, ada Singto yang sedang mencuci mukanya di toilet, ia terlihat sangat lelah.

“Sebenci itukah.” Singto tersenyum sedih.

“Singto? Lu ngapain disini?” Kata Tay dengan panik.

“Ya.. ke toilet?”

“Lu kan gak seharusnya disini?” Tay lebih panik lagi.

“Lu kenapa sih? Ada masalah?”

“Lu ikut gw.” Tay menarik Singto ke tempat gudang tadi.

“Lu kenapa sih? Jangan tarik gw kayak gini napa.”

“BUKA PINTUNYA JAN!” Teriak Krist dengan ketakutan.

“Jan!” Panggil Tay

Jan menoleh dan terkejut. Semua yang ikut membantu rencana Jan ikut terkejut dengan keberadaan Singto.

“Kok lu disini?!” Kata Jan kepada Singto.

“Lu pada kenapa sih? Itu kenapa Krist teriak-teriak?”

“BUKA JAN GW MINTA MAAF! GW BAKAL SETUJU PLIS BUKA.” Teriak Krist dengan sedikit bergetar.

“Sorry Krist, gw buka ya.” Jan mencoba untuk membuka pintu gudang tapi pintu itu tidak bergeming.

“Kenapa Jan?” Tanya Tay.

“Pintunya gak bisa dibuka.” Jan terus mencoba membuka pintu dengan panik.

“Minggir.” Tay mencoba mendobrak pintu itu.

“TOLONGIN GW SIAPUN.” Teriak Krist sambil memukul mukul pintu.

“Krist sama siapa di dalem?” Tanya Singto yang ikut panik.

“Sendirian. Gw minta maaf.” Jan mulai menangis, takut Krist kenapa-napa.

“Lu kan tau Krist trauma tempat sempit. Kenapa elu kayak gini sih Jan?” Singto mencoba mendobrak pintu tersebut.

“Gw minta maaf.. ini semua salah gw.” Jan menangis.

“Lu berdua cari alat buat hancurin pintu ini. CEPET!” Teriak Singto.

Jan, Tay, dan yang lain berlari mencari bantuan.

“Krist ini gw Singto.”

“SINGTO BANTU GW! Gw takut banget.”

“Take a deep breath okay. Gw bakal cari jalan keluar.”

Krist terus menangis ketakutan. Ruangan itu sangat sempit dan gelap, Krist tidak suka. Setelah berlari kesana kemari, Singto menemukan Jendela kecil, ia membuka jendela itu dan mengulurkan tangannya.

“Krist grab my hand.”

“Gw takut Sing.”

“Ayo lu bisa, percaya sama gw. Kali ini percaya sama gw.”

“Gw sesek napas Sing. Kaki gw gak bisa bergerak.”

Singto yang panik jadi bingung harus bagaimana. Akhirnya tanpa berpikir panjang, Singto masuk ke ruangan itu melalui jendela kecil tadi. Ia langsung berlari ke arah Krist tapi setelah itu berhenti di depan Krist. Ia tidak berani melakukan apapun.

“Singto gw takut.” Krist meremas bagian bawah bajunya dan menggigit bagian bawah bibirnya, mencoba menahan tangis.

“Aku disini.” Singto perlahan menggenggam tangan Krist dan mengusap beberapa air mata yang lolos keluar.

“Aku gamau disini. Aku takut.” Pertahanan Krist akhirnya runtuh dan menangis di depan Singto.

Singto dengan akhirnya menarik Krist kedalam pelukan, mencoba menenangkannya. Krist tidak berhenti menangis dan memeluk Singto dengan segala ketakutan yang ia punya.

“I’m right here. It’s going to be okay.”

“Kenapa?” Tanya Krist tiba-tiba.

“Hm?”

“Kenapa dulu kamu buat aku not okay..”

“…”

“Kenapa to? Did I do wrong?”

“…” Singto menggelengkan kepalanya dengan kuat.

“I was not okay and I still am.” Krist meremas bagian baju belakang Singto.

“Maaf.”

“Aku benci kamu.” Krist memukul punggung Singto

“I know.”

“Aku gamau ketemu kamu lagi.” Krist menarik baju singto

“Aku tau.”

“Aku mau kamu mati aja.” Krist memukul mukul punggung Singto sambil menangis lebih deras, sedangkan Singto memeluk Krist dengan erat.

Setelah beberapa sangat akhirnya Krist tenang, Singto pun melepas pelukannya. Singto memandang sekali lagi mata Krist yang sembab dan hidungnya yang merah, ia terlihat sangat manis.

“Ayo keluar dari sini.” Singto melepaskan genggaman tangannya walau sedikit enggan.

“Gimana caranya.” Krist melihat ke arah tautan tangan mereka yang terlepas.

“Lewat jendela tadi tempat gw masuk. Gw bantu angkat elu ke atas.” Singto menunjuk ke arah jendela kecil yang sedikit jauh di atas.

“Terus elu gimana?” Kata Krist dengan khawatir.

“Gw bisa nunggu sampe ada yang bukain pintu kok. Gw kan gak penakut kayak elu.” Singto tersenyum lebar.

Krist memukul Singto lalu memalingkan wajahnya sambil sedikit tersenyum. Singto memberi tangan dan pundak untuk jadi pijakan kaki Krist ke atas.

Walau Singto enggan mengeluarkan Krist dari sini tapi ia tau Krist sangat ketakutan jadi, biarlah setelah ini mereka menjadi asing lagi tapi setidaknya ia tidak harus melihat Krist ketakutan seperti ini lagi. Singto terus melamun hingga tiba-tiba terdengar suara robekan kulit.

“Singto? Lu kenapa?”

“Gw gapapa ayo cepet naik.” Kata Singto sambil meringis, tangannya tergores paku dari tembok. Darahnya tidak berhenti mengalir tapi Singto terus berusaha mendorong Krist ke atas.

“Singto tangan lu berdarah.”

“Ayo Krist naik.”

“Gamau! Turunin gw! Elu luka.”

“Gw gapapa. Ayo cepet manjat.”

“Turunin gw Singto. Gak ada yang rawat elu disini.”

“I’m okay.. lu harus keluar dari sini.”

“But I’m not okay when you’re not okay.” Krist memandang Singto dengan tulus. Akhirnya Singto menurunkan Krist lalu meringis kesakitan.

“Tahan ya.” Krist menggulungkan kain ke tangan Singto.

“Jangan! Itu kain pemberian mama, Krist nanti kotor.”

“Gapapa nanti bisa dicuci.” Krist terus berusaha mengikatkan kain tersebut ke lengah Singto.

“Nanti merah semua, Krist.” Singto masih kekeh menolak kain tersebut.

“Singto.” Krist memandang lurus ke mata Singto. Singto melihat sekilas rasa sakit dari mata Krist. Tiba-tiba beberapa tetes air mata keluar dari pelupuk mata Krist.

“Hey.. kenapa nangis?” Singto mengusap pipi Krist dengan lembut.

“Peka dikit dong! Aku tuh khawatir sama kamu.” Kata Krist dengan sesenggukan dan air mata yang tidak berhenti mengalir.

“Maaf.” Krist dengan air mata deras mencoba kembali untuk mengikat kain tersebut ke lengan Singto.

Akhirnya Singto dan Krist menunggu di dalam gudang tersebut dengan keheningan, mereka berdua masih berperang dengan pikiran masing-masing.

“Kenapa mau perform lagi waktu aku yang minta?” Tanya Krist tiba-tiba untuk memecah keheningan.

“Simple, ya.. karena kamu yang minta.” Singto tersenyum saat Krist tiba-tiba menoleh.

“Aku dari dulu mana bisa sih nolak permintaan kamu, kit. Eh sorry.. Krist maksudnya.” Singto menoleh ke arah Krist untuk minta maaf tapi Krist kembali melihat lurus ke depan.

“Thank you.” Krist tersenyum ke arah Singto lagi. Singto bingung tapi tidak berani bertanya.

“Makasih udah jagain aku hari ini kayak dulu.” Singto tersenyum.

Tiba-tiba suara pintu gudang terbuka dan terlihat seorang perempuan berlari ke arah Krist dan memeluknya.

“Gw beneran minta maaf Krist. Ini semua salah gw. Please, maafin gw.” Jan memeluk Krist dengan erat.

“Gw gapapa kok tapi please jangan kayak gini lagi. Itu Singto malah luka, tolong bawa dia ke UKS.” Jan langsung menoleh ke arah Singto yang memiliki lengan penuh darah.

“ADUH SINGTO MAAFIN GW.” Jan menangis lagi.

“Gw gapapa kok. Mangkannya jangan main-main sm phobia orang.” Singto menepuk-nepuk kepala Jan.

“Ayo gw bawa elu ke UKS.” Kata Tay sambil mencoba menarik Singto. Tay melihat kain Krist, ia terkejut dan melihat ke arah Krist. Krist hanya menggangguk dan menyuruhkan untuk cepat ke UKS.

“Tay, elu yang minta Singto ke gudang sekolah ya dan New elu yang ajak Krist.” Kata Jan kepada Tay dan New sebelum melancarkan rencana mereka.

“Gw takut Krist kenapa napa Jan.” Kata New dengan menunjukan keraguan.

“Gw tau ini beresiko tapi this is the only way right now.”

“Lu tau Krist takut ruang sempit kan Jan?”

“I know New tapi gw juga tau Krist sama Singto pernah ada di posisi ini. Just trust me on this one.”

“Oke” New mengangguk dengan yakin kali ini.

Singto

“Sing bantu gw dong.” Kata Tay sambil membawa 4 kardus besar.

“Sini kasi gw 2.” Singto mengambil 2 kardus besar paling atas.

“Aduh gila makasih banget.”

“Ini mau dibawa kemana?”

“Ke gudang sekolah, bantu gw ya plis.”

“Iya, ayok bareng gw.”

Krist

“Krist!” Teriak New

“Sumpah jangan teriak-teriak napa gw kaget astaga.” Sahut Krist

“Lu dicariin Tay di gudang sekolah.”

“Buat apaan?”

“Itu ngurus perlengkapan osis.”

“Okay, gw otw kesana.”

Krist pun berjalan ke gudang sekolah.

Gudang Sekolah

“Sing elu tolong masukin kardusnya ke gudang ya. Gw mau ke toilet sebentar.” Kata Tay sambil berjalan ke arah toilet.

“Oke.” Singto mengangkut kardus-kardus tersebut ke dalam gudang. Tiba-tiba terdengar suara teriakan.

“Bang Tay elu dimana?” Krist berteriak.

“Tay lagi ke toilet.” Sahut Singto.

“Lu ngapain disini?” Kata Krist dengan ketus.

“Santai bro gw cuma naruk kardus titipan Tay aja. Ini gw mau pergi kok.”

“Bagus. Pergi sana.” Krist memalingkan mukanya.

Singto menghela napas lalu pergi keluar gudang. Krist tidak bergeming dan tetap enggan memandang Singto. Tiba-tiba pintu gudang tertutup dengan keras. Krist pun panik dan mencoba membuka pinter tersebut.

“WOI BUKA! GAK LUCU YA!”

“Gw minta maaf Krist tapi gw harus ngelakuin ini.” Kata Jan sambil mengunci pintu gerbang.

“JAN BUKA! Gw gak bisa di ruang sempit.”

“Gw bakal buka kalo lu udah ngobrol baik-baik sama Singto dan reconsider buat tampil di music fess.”

“BANGSAT LU JAN KELUARIN GW.”

Sementara itu, ada Singto yang sedang mencuci mukanya di toilet. Tiba-tiba ia terlihat sangat lelah.

“Sebenci itukah.” Singto tersenyum sedih.

“Singto? Lu ngapain disini?” Kata Tay dengan panik.

“Ya.. ke toilet?”

“Lu kan gak seharusnya disini?” Tay lebih panik lagi.

“Lu kenapa sih? Ada masalah?”

“Lu ikut gw.” Tay menarik Singto ke tempat gudang tadi.

“Lu kenapa sih? Jangan tarik gw kayak gini napa.”

“BUKA PINTUNYA JAN!” Teriak Krist dengan ketakutan.

“Jan!” Panggil Tay

Jan menoleh dan terkejut. Semua yang ikut membantu rencana Jan ikut terkejut dengan keberadaan Singto.

“Kok lu disini?!” Kata Jan kepada Singto.

“Lu pada kenapa sih? Itu kenapa Krist teriak-teriak?”

“BUKA JAN GW MINTA MAAF! GW BAKAL SETUJU PLIS BUKA.” Teriak Krist dengan sedikit bergetar.

“Sorry Krist, gw buka ya.” Jan mencoba untuk membuka pintu gudang tapi pintu itu tidak bergeming.

“Kenapa Jan?” Tanya Tay.

“Pintunya gak bisa dibuka.” Jan terus mencoba membuka pintu dengan panik.

“Minggir.” Tay mencoba mendobrak pintu itu.

“TOLONGIN GW SIAPUN.” Teriak Krist sambil memukul mukul pintu.

“Krist sama siapa di dalem?” Tanya Singto yang ikut panik.

“Sendirian. Gw minta maaf.” Jan mulai menangis, takut Krist kenapa-napa.

“Lu kan tau Krist trauma tempat sempit. Kenapa elu kayak gini sih Jan?” Singto mencoba mendobrak pintu tersebut.

“Gw minta maaf.. ini semua salah gw.” Jan menangis.

“Lu berdua cari alat buat hancurin pintu ini. CEPET!” Teriak Singto.

Jan, Tay, dan yang lain berlari mencari bantuan.

“Krist ini gw Singto.”

“SINGTO BANTU GW! Gw takut banget.”

“Take a deep breath okay. Gw bakal cari jalan keluar.”

Krist terus menangis ketakutan. Ruangan itu sangat semput dan gelap, Krist tidak suka. Setelah berlari kesana kemari, Singto menemukan Jendela kecil, ia membuka jendela itu dan mengulurkan tangannya.

“Krist grab my hand.”

“Gw takut Sing.”

“Ayo lu bisa, percaya sama gw. Kali ini percaya sama gw.”

“Gw sesek napas Sing. Kaki gw gak bisa bergerak.”

Singto yang panik jadi bingung harus bagaimana. Akhirnya tanpa berpikir panjang, Singto masuk ke ruangan itu melalu jendela kecil tadi. Ia langsung berlari ke arah Krist tapi setelah itu berhenti di depan Krist.

“Singto gw takut.” Krist meremas bagian bawah bajunya dan menggigit bagian bawah bibirnya, mencoba menahan tangis.

“Aku disini.” Singto menggenggam tangan Krist dan mengusap beberapa air mata yang lolos keluar.

“Aku gamau disini. Aku takut.” Pertahanan Krist akhirnya runtuh dan menangis di depan Singto.

Singto dengan perlahan menarik Krist kedalam pelukan, mencoba menenangkannya. Krist tidak berhenti menangis dan memeluk Singto dengan segala ketakutan yang ia punya.

“I’m right here. It’s going to be okay.”

“Kenapa?” Tanya Krist tiba-tiba.

“Hm?”

“Kenapa dulu kamu buat aku not okay..”

“…”

“Kenapa to? Did I do wrong?”

“…” Singto menggelengkan kepalanya dengan kuat.

“I was not okay and I still am.” Krist meremas bagian baju belakang Singto.

“Maaf.”

“Aku benci kamu.”

“I know.”

“Aku gamau ketemu kamu lagi.”

“Aku tau.”

“Aku mau kamu mati aja.” Krist memukul mukul punggung Singto sambil menangis lebih deras, sedangkan Singto memeluk Krist dengan erat.

Setelah merasa Krist telah tenang, Singto melepas pelukannya. Singto memandang sekali lagi mata Krist yang sembab dan hidungnya yang merah, ia terlihat sangat manis.

“Ayo keluar dari sini.” Singto melepaskan genggaman tangannya walau sedikit enggan.

“Gimana caranya.” Krist melihat ke arah tautan tangan mereka yang terlepas.

“Lewat jendela tadi tempat gw masuk. Gw bantu angkat elu ke atas.” Singto menunjuk ke arah jendela kecil yang sedikit jauh di atas.

“Terus elu gimana?” Kata Krist dengan khawatir.

“Gw bisa nunggu sampe ada yang bukain pintu kok. Gw kan gak penakut kayak elu.” Singto tersenyum lebar.

Krist memukul Singto lalu memalingkan wajahnya sambil sedikit tersenyum. Singto memberi tangan dan pundak untak jadi pijakan kaki Krist ke atas.

Walau Singto enggan mengeluarkan Krist dari sini tapi ia tau Krist sangat ketakutan sekarang jadi, biarlah setelah ini mereka menjadi asing lagi tapi setidaknya ia tidak harus melihat Krist ketakutan seperti ini lagi. Singto terus melamun hingga tiba-tiba terdengar suara robekan kulit.

“Singto? Lu kenapa?”

“Gw gapapa ayo cepet naik.” Kata Singto sambil meringis, tangannya tergores paku dati tembok. Darahnya tidak berhenti mengalir tapi Singto terus berusaha mendorong Krist ke atas.

“Singto tangan lu berdarah.”

“Ayo Krist naik.”

“Gamau! Turunin gw! Elu luka.”

“Gw gapapa. Ayo cepet manjat.”

“Turunin gw Singto. Gak ada yang rawat elu disini.”

“I’m okay.. lu harus keluar dari sini.”

“But I’m not okay when you’re not okay.” Krist memandang Singto dengan tulus. Akhirnya Singto menurunkan Krist lalu meringis kesakitan.

“Tahan ya.” Krist menggulungkan kain ke tangan Singto.

“Jangan! Itu kain pemberian mama Krist nanti kotor.”

“Gapapa nanti bisa dicuci.” Krist terus berusaha mengikatkan kain tersebut ke lengah Singto.

“Nanti merah semua, Krist.” Singto masih kekeh menolak kain tersebut.

“Singto.” Krist memandang lurus ke mata Singto. Singto melihat sekilas rasa sakit dari mata Krist. Tiba-tiba beberapa tetes air mata keluar dari pelupuk mata Krist.

“Hey.. kenapa nangis?” Singto mengusap pipi Krist dengan lembut.

“Peka dikit dong! Aku tuh khawatir sama kamu.” Kata Krist dengan sesenggukan dan air mata yang tidak berhenti mengalir.

“Maaf.” Krist dengan air mata deras mencoba kembali untuk mengikat kain tersebut ke lengan Singto.

Akhirnya Singto dan Krist menunggu di dalam gudang tersebut dengan keheningan seperti mereka berdua masih berperang dengan pikiran masing-masing.

“Kenapa mau perform lagi waktu aku yang minta?” Tanya Krist tiba-tiba untuk memecah keheningan.

“Simple, ya.. karena kamu yang minta.” Singto tersenyum saat Krist tiba-tiba menoleh.

“Aku dari dulu mana bisa sih nolak permintaan kamu, kit. Eh sorry.. Krist maksudnya.” Singto menoleh ke arah Krist untuk minta maaf tapi Krist kembali melihat lurus ke depan.

“Thank you.” Krist tersenyum ke arah Singto. Singto heran tapi tidak berani bertanya.

“Makasih udah jagain aku hari ini kayak dulu.” Singto tersenyum.

Tiba-tiba suara pintu gudang terbuka dan terlihat seorang perempuan berlari ke arah Krist dan memeluknya.

“Gw beneran minta maaf Krist. Ini semua salah gw. Please, maafin gw.” Jan memeluk Krist dengan erat.

“Gw gapapa kok tapi please jangan kayak gini lagi. Itu Singto malah luka, tolong bawa dia ke UKS.” Jan langsung menoleh ke arah Singto yang memiliki lengan penuh darah.

“ADUH SINGTO MAAFIN GW.” Jan menangis lagi.

“Gw gapapa kok. Mangkannya jangan main-main sm phobia orang.” Singto menepuk-nepuk kepala Jan.

“Ayo gw bawa elu ke UKS.” Kata Tay sambil mencoba menarik Singto. Tay melihat kain Krist, ia terkejut dan melihat ke arah Krist. Krist hanya menggangguk dan menyuruhkan untuk cepat ke UKS.

“Sing kenapa gak cari kampus di Indonesia aja sih?” Tanya mami

“Mi.. kita udah pernah bicarain ini kan. Singto pengen banget kuliah di luar negeri.”

“Bukan karena mau cari Krist hm?” Maki tersenyum.

“Tergantung keberuntungan Singto mi. Doain aja ya.”

Mami memeluk Singto lalu mengucapkan selamat tinggal kesekian kalinya sebelum Singto berangkat dengan Australia.

“God.. please give me a second chance.”

Singto akhirnya sampai di kampusnya dengan selamat sentosa. Dosen mulai mengabsen mahasiswanya dan mahasiswa yang terpanggil akan mengangkat tangannya

“Harriot Alison”

“John battermor”

“Rey Edison”

“Singto Prachaya

“De-“

“I’m sorry for being late Ms. Rose.” Kata seorang mahasiswa yang sedang terengah-engah.

“It’s ok, I was doing the attendance list. As your consequences, I want you to introduce yourself in front of everyone.”

“Hello everyone, my name is Krist Perawat. You may call me Krist.”

Singto yang tadinya membaca buku akhirnya dengan cepat melihat ke depan. Tuhan menjawab doanya, Krist benar-benar ada di depan kelas.

“You may sit, Krist and please don’t be late again.”

Krist langsung pergi ke tempat duduknya dan serius belajar, sedangkan Singto diam memperhatikan Krist.

Singto mengikuti Krist keluar kelas dengan mengendap-endap dan ternyata Krist pergi ke halte bis untuk pulang. Singto akhirnya punya ide.

“Hello, I think you drop your money.”

“Ah, I-“ Krist terkegut dan terdiam.

“Uang seratus ribu itu berharga lho buat Krist Perawat.” Singto tersenyum.

“Singto..”

Krist yang menyadari situasinya mencoba untuk pergi. Namun, sebuah lengan kekar menariknya ke dalam pelukan erat. Krist terlalu terkejut hingga tidak dapat bergerak.

“Aku minta maaf kit. Setelah kamu pergi, I realize that you are my everything. Setiap detik hidup aku selalu ada kamu, semua yang aku lakuin link me to you. I’m sorry kit. I really do.

“…”

“I know it’s so sudden but will you be my forever? Aku gakau kehilangan kamu lagi. I will do anything for you. Please give me a second chance.” Singto menjauhkan dirinya dari Krist untuk melihat wajahnya.

Krist tiba-tiba mengangkat tangannya, bersiap-siap untuk menampar Singto. Singto pun yang sudah siap langsung menutup matanya. Ia rela ditampar berkali-kali untuk mendapt kesempatan ke-2.

Tapi setelah beberapa detik, tangan itu tak juga sampai ke mukanya jadi Singtopun membuka matanya dan tiba-tiba Krist pun mendekat dan mencium bibir Singto. Singto yang merasa itu sebuah jawaban positif akhirnya memperdalam ciuman mereka.

The End

Krist sudah siap untuk belajar bersama. Rutinitas ini sudah berlangsung sekitar 3 tahun dan teknik belajar ini dipakai mereka karena mereka berdua berjanji untuk selalu juara kelas.

Jam sudah menunjukan 9.05 tapi Singto tidak datang-datang. Pada pukul 10 Singto memberi pesan bahwa ia tidak bisa menjemput Krist karena ada urusan jadi Krist harus berangkat sendiri dan Singto akan datang sedikit lebih telat dari biasanya.

Krist akhirnya pergi ke perpustakaan sendiri. Pada awalnya ia hanya duduk diam menunggu tapi karena sampai jam 11 Singto belum juga datang jadi Krist mulai belajar terlebih dahulu.

Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore dan Singto tidak juga datang. Krist yang sudah lelah belajar pun memutuskan untuk pulang.

“Singto kemana sih? Dia lupa atau gimana sih?”

Tiba-tiba sebuah notifikasi muncul dan ternyata itu dari Singto yang mengatakan bahwa ia sedang tidak enak badan. Krist pun lega karena ternyata ketidakhadiran Singto adalah karena sedang sakit.

Krist berniat untuk mengunjungi rumah singto. Namun, saat sedang melintasi sebuah kafe, Krist melihat Singto sedang berbincang-bincang dengan Namtan dan teman-temannya.

Kamu bodoh Krist. Kenapa sekarang kamu lari? Kenapa kamu harus meneteskan begitu banyak air mata? Kenapa hati kamu harus terasa sakit?

Sesampainya di rumah, ia langsung berlari ke kamar dan menguncinya. Ia menangis sepuasnya.

Krist POV

Aku bodoh. Kenapa aku harus sayang sama dia? Dia cowok, Krist.

Dia keren, pinter, kaya, idola sekolah sedangkan kamu cuma kutu buku.

Kamu jauh dibawah standar dia Krist. Kamu bahkan bukan apa-apa di mata dia.

Author POV

Krist bangun dengan mata sembab. Singto hari ini tidak datang telat, balik seperti biasanya.

“Mata lu kenapa Kit?” Singto mencoba memegang mata Krist. Namun, Krist menjauh.

“Kita langsung berangkat aja.”

“Sorry banget ya kemarin, gw bener-bener kecapean jadi gak enak badan.”

Krist hanya diam dan mengangguk kecil. Ia hanya ingin cepat-cepat menjauh dari Singto saja.

Sesampai di sekolah, Krist belajar seperti biasa. Namun, kali ini dia melakukan segala hal sendiri. Singto seperti terlalu sibuk hanya untuk sekedar menemaninya makan siang atau mengobrol di taman. Mungkin Singto sudah bosan dengan Krist setelah 4 tahun berteman.

Sepulang sekolah, Krist pergi ke parkiran untuk pulang bersama Singto lagi. Krist melihat Namtan dengan Singto sedang berpelukan lalu mereka berpisah.

“Udah siap pulang?” Tanya Singto.

“Gw boleh jujur gak?” Tanya Krist.

“Bolehlah, kenapa kit?”

“Namtan kayaknya gives you bad influence. Lu jadi gak belajar dan gak kerjain PR.”

“Kit, lu gak boleh judge orang kayak gitu. She did nothing wrong. It’s my choice not to study.”

Krist hanya bisa menghela nafas lalu pulang bersama Singto.

Menjelang UAS, Singto tidak pernah belajar bersama dengan Krist seperti biasanya. Satu minggu tanpa Singto cukup membuat Krist merasa kehilangan.

Sepulang sekolah, Krist bertemu dengan Singto yang lagi-lagi sedang berbincang dengan Namtan. Setelah melihat Krist, Namtan pergi.

“Gimana hasil UAS elu?” Tanya Krist.

“Jelek.. keknya gw harus mulai belajar lagi yang keras.”

“I told you so..”

“Please ini gak ada hubungannya sama Namtan.”

“Nilai elu jelek, elu skip class, dan elu jadi suka bohong. Isn’t that enough evidence for you?”

“Krist stop. You don’t know anything about her.”

“Yes, I don’t but I do know that you change.”

“You can’t expect everyone to stay the same Kit.”

“I know. I learn that from you walau lu bilang gak akan ninggalin gw.”

“Lu gak bisa kekang gw kit. Gw gak suka.”

“And I’m not.”

“You are, lu larang gw buat temenan sama Namtan.”

“I don’t.”

“Berhenti kayak gini Kit. Gw gak suka. Gw benci banget.”

“Maksud elu apa?” Kata Krist dengan ketus

“Sikap elu sekarang bikin risih gw. Bisa gausah baperan gak sih Kit? Lu bukan siapa-siapa gw kit. Lu gak punya hak apapun buat atur hidup gw dan sama siapapun gw, itu urusan gw. Lu bukan siapa-siapa

“…” Krist terkejut.

Hal itu benar.. ia bukan siapa-siapa. Kenapa ia harus begitu peduli dengan orang yang bahkan tak menganggapnya apapun.

“Oke. Take care, to.” Krist berjalan pergi.

Ia pulang ke rumah merasa kosong dan sakit. Ia seperti baru saja dihantam benda besar dan berat.

“Kok gak sama Singto lagi? Udah lama mama gak liat kamu pulang sama Singto.” Tanya mama

“Ma, bisa gak sih gausah bahas Singto terus? Aku baru pulang dan mama malah nanyain anak orang lain.” Kata Krist dengan ketus

“Kit lagi kenapa? Ada masalah di sekolah?” Mama menangkup wajah Krist sambil menunjukan muka khawatir.

Krist hanya diam merenung dan melihat anaknya yang berubah diam, mamapun memeluk anaknya. Tiba-tiba bahu Krist bergetar dan mulai terdengar suara tangis yang menyayat hati.

Selama seminggu lebih, Krist terus mencoba menghindari Singto. Ia tak menjawab pesan maupun telepon dari Singto. Ia mencoba untuk menghindar dari segala hal yang berbau Singto.

Di suatu pagi, karena Singto merasa ada yang salah ia pun mendatangin rumah Krist. Namun, seperti biasa Krist bersikap seperti Singto tidak ada di dunia ini. Ia berjalan melewati Singto

“Kit!”

“..” Krist tetap berjalan secepat mungkin untuk menghindari Singto.

“Kit! Dengerin gw.”

“..”

Singto menarik tangan Krist dengan sedikit kasar hingga Krist sedikit meringis.

“Lu kenapa sih? Apa salah gw?”

“Lu gak salah apa-apa. Lepasin tangan gw.” Krist menarik paksa tangannya lalu berjalan pergi

“Lu berubah ya Krist. Gw gak kenal elu sama sekali.” Teriak Singto pada Krist yang berjalan menjauh darinya

Krist yang mendengar ucapan Singto pun berhenti dan membalikkan badannya

“Gw yang berubah? Lu yang seolah-olah minta gw keluar dari hidup elu Singto!”

“Gw-“

“Gw bikin elu risih. You have a lot of other friends, go with them. Gw terlalu baperan for your type of friend.”

Krist mulai berjalan menjauh lagi tapi berhenti kembali. Namun, tanpa melihat ke arah Singto.

“I care too much about you but yet I’m nothing to you. Aku bukan siapa-siapa to, aku cuma orang asing yang pernah gak sengaja masuk ke dalam hidup kamu selama 3 tahun.”

“..” Singto hanya bisa diam, ia bahkan tidak berani melangkah mendekat.

Krist mengadahkan kepalanya ke atas

“Aku bodoh ya to.. sayang sama kamu yang bahkan gak anggep aku sepenting itu. Aku gatau diri.. mustinya aku sadar kalo I’m not enough.”

“Kit-“

“Aku jauh dibawah standar kamu. Kamu memang cocok sama Namtan.”

“Kit aku-“

“I was nothing compared to her.. I am the foolish one. Kamu gak salah to, aku yang salah. Maaf udah pernah hadir di hidup kamu. Makasih udah pernah jadi bagian dari cerita hidup aku.” Krist menghapus air matanya.

“Tung-“

“You’re better off without me. Gw janji gak akan ganggu elu lagi, I promise.” Krist tersenyum.

“Kit-“

“And I think you should stop calling me kit. Kita back to stranger again.”

Singto hanya terdiam, ia tidak bisa bergerak ke inci pun. Dia merasa sakit, ucapan Krist tadi seperti menusuk di pusat hatinya.

Setelah perbincangan penuh luka itu, Krist tidak terlihat lagi di sekolah. Ia seperti menghilang tertelan bumi. Singto yang khawatir pun mencoba untuk mengunjungi rumah Krist lagi.

“Kit! Kit buka pintungnya dong!” Teriak Singto

Tiba-tiba seorang nenek tua keluar dari rumah Krist.

“Kamu siapa?” Tanya nenek itu.

“Saya teman dari Krist Perawat nek.”

“Oh, Krist sudah tidak disini, nak. Krist dan keluarganya sudah pindah.”

“Pindah? Pindah kemana nek?”

“Wah, nenek tidak tau nak.”

“Makasih nek.”

Singto menyesal. Ternyata hari itu adalah hari terakhir ia akan bertemu dengan Krist.

Namtan masuk ke dalam meeting secara diam-diam.

“Halo tokek malaysia.” Ledek Singto

“Diem kamu buaya darat.” Jawab Namtan

“Mana janjan?”

“Sok sibuk dia. Masa aku ditinggal pas lagi nugas bareng.” Kata Namtan sambil menunjukkan muka sedih.

“Utuutu kasian banget sih kamu.” Singto tertawa kecil.

Singto dan Namtan terus berbincang-bincang, sedangkan Krist hanya diam bahkan me-mute dirinya karena ia tidak tau topik pembicaraan apa yang sedang mereka bicarakan.

“Diem aje lu Kit” sahut Singto

“…”

“Kit lu masih di mute.”

“…”

“Kit? Ni anak mana? Biasa oncam onmic”

“Kenapa? Gw lg nugas. Kalian lanjut aja ngobrol.”

“Ikut ngobrol dong!”

“Iya abis gw beresin kerjaan gw.”

Akhirnya, Singto dan Namtan berbincang berdua. Mereka saling meledek dan menggoda satu sama lain sampai akhirnya Namtan harus pamit karena dia harus mengerjakan hal lainnya.

“Kit gw juga leave ya. Gw gak enak badan nih sorry ya. Lainkali kita nugas lagi deh ya.” Kata Singto saat Namtan akhirnya meninggalkan zoom.

“Eh napa tiba-“ belum selesai berbicara Singto sudah hilang dari zoom.

“Kenapa dia?” Gumam Krist

Pagi harinya Singto menjemput Krist agak lebih telat dari biasanya.

“Tumben telat? Masih mau sarapan gak?” Krist khawatir dari kemarin Singto bilang ia tidak enak badan.

“Gausah deh udah kesiangan nih. Yuk langsung jalan aja.” Kata Singto sambil menyerahkan helm kepada Krist.

“Oke, gw masukin kotak makan aja ke tas elu buat sarapan di sekolah.”

“Makasih Kit.” Singto tersenyum.

Mereka berdua akhirnya pergi ke sekolah dan beruntungnya tidak sampai telat walau mereka harus terkena macet di perjalanan.

Sesampainya mereka di sekolah, Namtan langsung menghampiri Singto dan Krist.

“Haloo!” sapa Namtan

“Hai.” sapa balik Singto dengan senyuman lebar.

“Hi nam” sapa Krist dengan senyum kecil

“Sing kamu jadi temenin aku belanja harian kan hari ini?”

“Iya jadi.”

“Lho? Lu kan dah janji mau hunting buku novel” Tanya Krist dengan heran

“Oh iya lupa, lain kali aja ya Krist.”

“Ah.. oke” raut muka Krist berubah kecewa

“Sing nanti jajanin aku gulali yaa.” Kata Namtan sambil mengayunkan lengan Singto.

“Ih kayak anak kecil.” Singto ketawa kecil

“Gw masuk dulu ya.” Tanpa menunggu jawaban siapapun, Krist pun pergi meninggalkan mereka.

Singto memandang punggung Krist dengan heran. Apa yang terjadi pada temannya yang satu itu?

Pulang sekolah Singto menghampiri kels Krist.

“Kok masih disini? Lu kan mau jalan sama Namtan.” Kata Krist saat bertemu Singto.

“Ya.. gw anter elu dululah baru pergi. Nanti gw dimarahin mama kalo gak anterin anak kesayangannya pulang sampai tujuan.”

Krist memutarkan bola matanya lalu tersenyum kecil.

“Yuk.” Singto menggandeng tangan Krist ke arah parkiran.

“Hai Singto!” Ucap Namtan

“Gw anter Krist pulang dulu baru anter elu ya.” Kata Singto

“Lho kok gitu? Emang Krist gak bisa pulang sendiri? Dia kan cowok. Aku takut kesorean soalnya.” Namtan.

Singto melihat ke arah Krist, Krist pun mengerti dan hanya bisa memalsukan senyum.

“Iya gapapa, gw bisa naik bis.”

“Lu beneran gapapa?” Tanya Singto sekali lagi dan Krist mengangguk kecil.

“Oke. Ayuk Sing keburu kesorean.” Namtan menarik lengan Singto.

Mereka berdua mengucapkan selamat tinggal kepada Krist lalu pergi. Krist hanya terdiam seperti ada yang hilang.

Krist pergi ke halte lalu duduk disana termenung. Dia tiba-tiba tersenyum mengingat waktu pertama kali ia dan Singto bertemu.

Flashback ON

“Ah mama gak bisa jemput lagi. Mana ujan lagi.” Kata Krist sambil meletakan pantatnya di tempat duduk sebuah halte bis.

Ada seorang pengemis datang. Saat Krist ingin mengambil uang untuk diberikan kepada pengemis itu tiba-tiba kertas uang 100 ribu yang tidak sengaja ikut terambil terbang begitu saja.

Krist mencoba mengejarnya dan karena terlalu fokus mengejar uang itu dibawah hujan angin, ia pun hampir tertabrak motor.

tinnnn bunyi klakson motor tersebut.

Krist pun terjatuh karena kaget.

“Ah elu sih gw jadi jatohkan, uang gw juga ilang.” Kata Krist dengan muka suram sambil menggosok pantatnya yang sakit.

“Lagian elu juga gak hati-hati. Bukan salah gw dong.” Ucap pengendara motor itu

“Bodo! Pokoknya ambilin duit gw. Pantat gw sakit gak bisa berdiri.” Kata Krist sambil menunjuk ke arah uangnya yang ada di tengah jalan sepi.

Pengendara itu pun mengalah dan berlari mengambil uang itu. Namun, karena jalan yang licin ia pun terjatuh.

“HAHAHHA KARMA” Krist tertawa dengan kencang.

“IDIH.” Pengendara motor itu melepas helmnya dan mengusap pantatnya yang sakit.

“Aduh hahaha lucu banget yaampun.” Krist masih saja menertawakan orang itu.

Pengendara motor yang melihat tawa Krist pun lama-lama ikut luluh dan ikut tertawa juga.

Setelah selesai tertawa bersama, pengendara motor itu menghampiri Krist dan memberikan selembar uang 100 ribu yang berharga itu.

“Kenapa lagi duit 100 rb aja dikejar?”

“Ya biarin sih.” Kata Krist.

“Singto.” Ia mengulurkan tangannya.

“Krist.” Krist membalas jabatan tangan itu dan tersenyum manis.

Flashback off

Krist menghela napas lalu meneteskan sedih air mata yang dengan cepat ia hapus. Ini salah.. hal ini tidak seharusnya terjadi. Dengan cepat ia memanggil taksi lalu pulang.

“Lho? Singto mana?” Tanya mama

“Tadi dia ada urusan ma jadi Krist pulang sendiri.”

“Tapi tumben di-“

“Ma, Kit ke kamar ya. Kit capek.” Kata Krist tanpa mendengar ucapan mamanya lagi.

Pagi harinya, Singto datang telat lagi. Namun, kali ini Krist membiarkannya dan hari berjalan seperti biasanya.

“Sing, kita jadi belajar buat UAS kan?” Tanya Krist.

“Jadi dong! Kita harus rajin belajar.” Jawab Singto.

“Berarti besok belajar di perpustakaan nasional kek biasa kan?“

“Iya dong kayak biasa.”

“Oke, lu jemput jam 9?”

“Iya.”

“Oke, see you Sing.” Krist masuk ke dalam rumahnya.