Terbaik Untukmu
Krist sedang menyisir rambutnya agar terlihat lebih rapi tiba-tiba terdengar sebuah suara pintu terbuka.
“Adek!” Teriak Singto
“Adek di kamar mas!”
Singto berjalan menuju tempat Krist berada. Ia masuk ke kamar lalu menyenderkan tubuhnya di tembok sambil memandangi Krist.
“Mas?” Krist berjalan ke arah Singto yang terlihat diam saja daritadi.
Singto tak menjawab Krist, ia hanya mengusak rambut Krist.
“Ih mas! Kenapa diberantakin lagi sih?” Krist menyingkirkan tangan Singto dari rambutnya lalu merapikan kembali rambutnya.
“Lagian ngapain sih rapi rapi? Kayak mau ketemu gebetan aja!”
“Cemburu ya?” Tanya Krist sambil memberi senyum jahil.
“Iyalah! Kamu itu cuma boleh manis sama aku doang.” Singto memeluk pinggang Krist dengan posesif.
“Iya cuma sama mas aja kok.” Krist mengalungkan lengannya di leher Singto dan mengecup bibir Singto sekilas.
“Kamu cancel ajalah ketemuannya aku mau kelon sama kamu.” Kata Singto sambil mengecupi leher putih mulus Krist.
“Gak! Ayo, temen aku udah nunggu.” Krist melepaskan diri dari rengkuhan Singto lalu menariknya keluar.
Selama perjalanan Krist hanya diam menatap ke luar jendela tidak seperti biasanya. Singto yang sadar dengan perubahan sikap Krist pun heran.
“Dek? Kamu kenapa?”
“...” Krist masih terdiam, melamun.
“Krist?”
“Ah.. mas panggil aku?”
“Iya, kamu kenapa? Lagi ada masalah?”
“Nggak kok, adek lagi cape aja.”
“Beneran?”
“Iya mas.” Kata Krist sambil tersenyum manis ke arah Singto.
“Oke.”
Setelah beberapa menit menyetir, akhirnya mereka berdua sampai di cafe tempat Krist janjian dengan temannya.
“Namtan!” Panggil Krist.
“Krist! Hai!” Kata Namtan sambil menghampiri Krist dan Singto.
“Namtan ini Singto, pacar gw dan mas ini Namtan.” Kata Krist, mencoba memperkenalkan mereka berdua.
“Namtan.” Kata Namtan sambil mengulurkan tangannya.
“Singto.” Kata Singto sambil membalas jabatan tangan Namtan.
“Ayo kita duduk terus pesen sesuatu.” Namtan mengajak mereka duduk ke kursi yang tadi Namtan sempat tempati sambil menunggu mereka.
Namtan memanggil salah satu pelayan disana dan memesan berbagai macam makanan.
“Ditraktir nih?” Tanya Krist
“Iyalah, anggep aja reuni.” Jawab Namtan
“Kamu tau gak Namtan ini model lho.” Kata Krist kepada Singto.
“Oh ya?”
“Iya! Keren kan? Mangkannya gak heran dulu dia primadona kampus.”
“Oh wow...” Kata Singto tapi dengan muka datar.
“Biasa aja sih.” Kata Namtan
“Ih apaan yang biasa? Lu tuh disukain hampir sama semua cowok di kampus! Eh, sama kayak Mas Singto ya? Dulu Mas Singto juga terkenal, dia idola para cewe dan cowok.”
Singto mengerutkan dahinya dan memandang tajam ke arah Krist. Krist mencoba menghiraukan tatapan Singto dan lanjut berbicara.
“Gw yakin kalo kalian sekampus terus pacaran pasti terkenal banget. Bisa jadi power couple.” Kata Krist sambil tertawa geli.
“Dek.” Kata Singto dengan sedikit keras.
“Apa? Kan bener, mas! Kalian itu cocok tau kalo diliat dari tampilannya yang satu cantik yang satu ganteng.” Krist menatap Singto sambil tersenyum kecil.
“Ehem.. makanan udah dateng nih.” Kata Namtan, mencoba memecahkan ketegangan antara Krist dan Singto.
Mereka makan dengan hening Krist maupun Singto tidak ada yang berniat membuka suara.
“Gimana makanannya enak gak?” Tanya Namtan dengan ragu.
“Enak nih! Sukses juga ya lu buka cafe.”
“Iya dong! Namtan gitu loh.”
Semua tertawa kecuali Singto yang hanya makan dalam diam. Krist yang melihat itu pun menyenggol lengan Singto.
“Enak gak mas?” Tanya Krist
“Iya.”
“Namtan itu juga jago masak lho! Gila pokoknya yang jadi pacar dia bakal tercukupi deh.” Kata Krist dengan semangat.
Singto membanting sendoknya lalu berdiri dengan sedikit kasar.
“Aku ijin ke toilet dulu.”
Singto pergi ke toilet meninggalkan Krist dan Namtan berdua. Setelah beberapa menit yang terhitung lama, akhirnya Singto kembali.
“Makasih ya Nam! Gw kayaknya mau langsung pulang aja.”
“Iya..” Kata Namtan sambil melirik ke arah Singto.
“Ayo kita pulang mas.” Kata Krist sambil menarik lengan Singto.
“Pulang ya Nam! Inget janjinya!” Kata Krist dengan sedikit teriak.
“Iya..” Jawab Namtan.
Krist dan Singto masuk ke dalam mobil. Singto yang sudah terduduk di kursi pengemudi masih belum menunjukan tanda-tanda ingin menyalakan mesin.
Krist tahu benar Singto sedang emosi karena itu sekarang ia memilih diam dan memandang ke depan.
“Maksud kamu apa?” Tanya Singto
“Hm?”
“Maksud kamu apa ngomong gitu?”
“Ngomong apa? Aku gak ngomong apa apa.”
“Gak ngomong apa apa?” Kata Singto sambil menatap Krist tajam
Krist masih tidak berani menatap Singto jadi ia mengalihkan pandangannya ke kakinya.
“Adek! Liat mas!”
Dengan hati-hati Krist melirik ke arah Singto yang telah menunjukan raut muka marah serta kecewa.
“Jawab.”
“Adek cuma berucap fakta mas.”
“Denger ya, mas gak suka kamu berandai-andai mas pacaran sama orang lain selain adek.” Kata Singto dengan nada lebih lembut dari sebelumnya.
“Tapi mas emang cocok sama Namtan.”
“ADEK!” Bentak Singto sambil memukul keras stir mobilnya.
“...” Krist terkejut baru kali ini Singto membentaknya.
“Kamu tuh kenapa sih?! Salah apa mas sama kamu?!”
“Maaf.. mas”
Tiba-tiba kepala Krist terasa sakit dan Krist pun menjambak rambutnya dengan keras, berharap dapat menghilangkan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi. Singto yang tadinya marah langsung khawatir melihat kekasihnya kesakitan.
“Dek? Adek kenapa?” Singto mencoba menghentikan tangan Krist yang terus-menerus menjambak rambutnya sendiri.
“Jangan dijambakin gini sayang. Kita ke rumah sakit ya. Mas minta maaf karena udah marah-marah. Kamu kenapa dek?” Kata Singto dengan nada panik.
Tiba-tiba terlihat darah keluar dari hidung Krist, darah tersebut terus mengalir hingga mengotori baju putih milik Krist.
“Ayo kita ke rumah sakit aja.”
Singto sudah bersiap-siap untuk menyalakan mesin mobil dan pergi ke rumah sakit tapi Krist menahannya.
“Anter aku pulang mas.” Kata Krist dengan nada lemah dan dengan darah yang tak berhenti mengalir.
“Gak. Kamu harus ke rumah sakit.”
“Please mas, adek mimisan karena kurang tidur aja.”
“Tapi-”
“Adek mohon mas… kita pulang aja ya.” Krist menggenggam tangan Singto, mencoba meyakinkannya bahwa ia baik-baik saja.
“Iya..”
Singto pun melajukan kendaraannya ke arah condo mereka. Sesampainya di rumah, Krist langsung menyumpal hidungnya dan meminum obat sakit kepala.
“Adek.. kamu yakin gamau ke rumah sakit aja?”
“Gausah mas… adek baik-baik aja kok cuma kecapean aja.”
“Mas takut… jangan tinggalin mas.” Singto memeluk erat Krist.
“...” Krist terdiam dengan beberapa tetesan air mata keluar dari pelupuk matanya.
“Tidur yuk, tadi katanya kamu kecapean kan?” Singto menghapus air mata Krist.
Krist mengangguk lucu lalu Singto menarik Krist ke kamar mereka. Singto merebahkan diri terlebih dulu lalu membuka lengannya.
“Sini peluk mas.”
Krist pun berjalan ke arah kasur, merebahkan kepalanya di lengan Singto lalu mengalungkan tangannya ke leher Singto dan Singto memeluk pinggang Krist dengan tangan satunya.
Krist mengambil cuti beberapa hari untuk memulihkan kembali kondisinya. Selama di rumah Singto terus merawatnya dengan baik.
———
Singto baru saja pulang kerja, ia sudah lebih dari siap untuk pulang ke kekasihnya dengan harapan dapat mengurangi kelelahannya. Tiba-tiba Singto melihat Krist memasuki sebuah taxi
“Adek mau kemana malam begini?” Kata Singto pada dirinya sendiri.
Mobil Krist mulai melaju ke jalan raya. Singto khawatir karena kondisi Krist belum sepenuhnya pulih jadi akhirnya dia memutuskan untuk mengikuti mobil Krist dari belakang.
Krist terlihat turun dan menghampiri seorang perempuan. Perempuan itu tidak terlihat asing bagi Singto, ia tau siapa perempuan itu.
“Buat apa ketemuan sama Namtan malem begini?” Gumam Singto
Singto akhirnya memutuskan untuk turun dan menghampiri mereka. Namun, ia tiba-tiba berhenti setelah mendengar ucapan Krist.
“Gw udah rencanain semua buat elu. Elu tinggal dateng dan menikmati kencan elu sama Singto.”
“Kenapa gw begini? Gw udah bosen sama dia. Gw udah gak cinta lagi sama dia. Gw tau elu suka sama Singto jadi mending dia buat elu aja.”
“Ayo kita pulang.” Singto tiba-tiba menarik tangan Krist untuk masuk ke mobil.
Selama perjalanan tidak ada yang berani membuka suara. Masing-masing berkecamuk dengan pikiran masing-masing.
Mereka masuk ke condo mereka, masih dengan keheningan yang menusuk seperti bom waktu.
“Maksud kamu apa?” Singto akhirnya membuat suara.
“Apanya?”
“Maksud kamu apa jodohin aku ke Namtan?”
“Oh mas denger? Ya berarti udah tau alasannya.”
“Jelasin ke aku.”
“Gak ada yang perlu dijelasin lagi mas. Adek udah bosen sama mas. Adek udah gak cinta lagi sama mas.”
“Kita 4 tahun bareng Krist!”
“Ya terus? 4 tahun itu cuma angka.”
Singto menghampiri Krist dan menggenggam tangannya erat.
“Kamu bohong kan?”
“Buat apa bohong?”
“Ngomong lagi tapi kali ini tatapan aku.”
Krist menarik napasnya dalam-dalam lalu menatap langsung ke mata Singto.
“Aku udah gak cinta lagi sama kamu Singto.”
Deg.
Retak.
Singto patah. Terlihat sebuah luka dari tatapannya. Tangan yang menggenggam Krist kini mendingin.
“Aku.. salah apa?” Tanya Singto dengan sedikit bergetar.
“Gak ada. Aku emang udah gak cinta aja.”
“Sayang..” Singto memeluk Krist tapi beberapa saat kemudian Krist mendorongnya keras.
Singto terkejut, matanya melebar menunjukan bahwa dia benar-benar terluka.
“Kenapa… Krist? Kenapa…”
Singto mendekat lagi, menatap Krist sedalam mungkin lalu mengusap pelan pipi Krist.
“Mas sayang banget sama adek…”
Krist menggenggam tangan Singto yang berada di pipinya lalu menghempaskan tangan itu dengan kasar.
“Adek…” Singto mulai meneteskan air mata yang sedari tadi dia coba tahan.
“Jangan panggil aku adek lagi.”
“Dek.. jangan please..” Singto mendekatlagi mencoba menggenggam tangan Krist
“Kita putus.”
Singto langsung berpegangan dengan meja di sampingnya, kakinya tak kuat menopang luka-luka yang tiba-tiba muncul. Singto tiba-tiba mendengar Krist terisak dan terlihat bahunya bergetar.
Singto mendekat ke arah Krist, menaikkan kepala Krist yang sempat tertunduk.
“Benci ya sama mas?”
Tangis Krist semakin keras.
“Cup cup cup gak boleh nangis. Iya mas pergi…” Kata Singto dengan nada lemah.
Singto pergi ke kamar mereka, kamar yang telah menemani 3 tahun mereka bersama. Ia mengambil bingkai foto di samping kasur mereka.
Mereka terlihat bahagia di foto itu… tertawa lepas.. menyampaikan pesan cinta untuk satu sama lain…
What happened? Does it mean nothing?
Singto tersenyum pahit, ia harus mengakhiri semuanya. Semua kebahagiaannya harus berhenti sampai disini. Singto mengambil tas lalu memasukkan sebuah barang-barangnya ke dalam.
Ia melepaskan cincin pada jarinya, cincin yang dipakai mereka sebagai janji untuk selalu bersama. Ia meletakkan cincin itu di meja samping kasur lalu pergi ke luar.
Singto sekali lagi memeluk Krist yang masih mematung di tempat. Ia tersenyum lembut, menangkup kedua pipi Krist lalu mengecup pelan mata Krist dan menghapus setiap air mata yang keluar dari mata Krist.
“Ini mas mau pergi.. ad- Krist gak boleh nangis lagi.” Singto mengusap pelan pipi mantan kekasihnya
Singto mulai berjalan ke arah pintu, ia berhenti sebentar lalu menengok ke belakang dan menatap Krist penuh cinta.
“Bahagia terus ya dek..”
Setelah kalimat terakhir itu, Singto melangkah pergi keluar pintu. Singto tidak kuat untuk berjalan lebih jauh meninggalkan cintanya. Ia pun terduduk di depan pintu sambil terisak.
———
Sudah seminggu semenjak Krist dan Singto berpisah. Hidup Singto tidak membaik sama sekali lebih tepatnya memburuk. Ia kembali merokok dan jadi suka mabuk-mabukkan.
Suatu hari Singto memutuskan untuk pergi ke jembatan tempat awal Krist dan Singto menulis kisah cinta mereka.
“Will you be my forever?” Kalimat yang Singto sebutkan di bagian pendahuluan dari buku cinta mereka.
“There’s never a forever…” Kata Singto sambil tertawa pahit.
Singto menghela napas sambil meneteskan sedikit air matanya yang lama kelamaan semakin banyak, semakin deras bersamaan dengan luka yang terbuka.
“Cape.. banget aku.. tanpa kamu.” Singto memandang ke arah air di bawah jembatan
Sebuah pikiran buruk terlintas di benak Singto, ia mulai menginjak besi pada pinggiran jembatan. Ia mulai berdiri di pinggir pantai sambil melihat ke bawah.
Tiba-tiba..
“SINGTO! JANGAN!” Teriak Namtan sambil menarik Singto turun dari jembatan.
“LU GILA YA?! MAU MATI HAH!” Namtan mengguncangkan tubuh Singto dengan kasar, mencoba membuatnya sadar dari kebodohannya
“Bukannya memang gw udah mati? Gw udah mati rasa..” Kata Singto dengan menatap ke arah Namtan.
Tatapan itu kosong… mati rasa..
“Krist bakal sedih elu begini!”
“Dia gak akan peduli sama gw.”
Singto menarik napas dalam dalam lalu berucap,
“Dia udah gak.. cinta lagi sama gw.” Kata Singto dengan nada lemah.
Namtan terlihat berpikir keras dan dengan segala keraguan dia berkata,
“Dia bohong..”
“Hah?”
“Dia bohong Singto..”
Flashback ON
“Kenapa lagi sih kepala gw? Sakit banget yaampun.” Kata Krist sambil memukul-mukul pelan kepalanya.
“Ke rumah sakit aja Krist.” Kata salah satu rekan kerja Krist.
“Udah, hari ini gw ambil hasil lab.”
“Moga gak kenapa-kenapa ya.”
“Iya, Amin!”
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Krist langsung bergegas ke rumah sakit untuk mengambil hasil labnya.
“Tuan Krist Perawat.” Panggil salah satu perawat di rumah sakit itu.
Krist berjalan masuk ke ruangan dokter lalu duduk di hadapan dokter yang sedang memegang hasil lab miliknya.
“Bagaimana hasilnya dok?” Tanya Krist
“Begini..” Dokter menghela napas.
“Terdapat tumor yang telah menjadi kanker di kepala anda..”
“Hah?” Krist terkejut.
“Salah dua cara untuk menahan penyebaran kanker tersebut adalah dengan kemoterapi atau operasi otak.”
Krist terdiam. Pikirannya kosong, tak mampu mencerna segala perkataan dokter dihadapannya.
“Anda bisa pikirkan terlebih dahulu tapi kalau bisa secepatnya sudah diputuskan karena sepertinya penyebarannya cukup cepat.”
“Ba..baik dok. Terima kasih.” Krist mengambil hasil labnya lalu berjalan keluar.
Krist masuk ke dalam mobilnya dan menatap kosong amplop yang digenggamnya. Ia harus apa sekarang?
Krist pulang dengan langkah lemah, ia membuka pintu condonya.
“Eh sayangnya aku udah pulang.” Kata Singto sambil merengkuh pinggang ramping kekasihnya.
“Ma..mas kok udah pulang jam segini? Tumben..”
“Iya tadi mas sempet demam jadi mas ijin pulang lebih cepet.”
“Kok bisa demam sih?” Krist menempelnya punggung tangannya ke dahi Singto untuk mengecek suhunya.
“Biasalah kecapean begadang.”
“Adek kan udah bilang sama mas buat jaga kesehatan sekarang kalo begini siapa yang repot?”
“Kan selalu ada adek yang rawat mas.”
Raut Krist langsung berubah sedih seketika membuat Singto heran.
“Kenapa dek?”
“Gapapa… lagi banyak masalah di kantor. Yaudah kita tidur yuk, biarin aku mandi dulu abis itu aku kompress dahi kamu.”
“Emang pacar aku paling perhatian.” Singto mengecup pipi Krist gemas.
Selama di kamar mandi, Krist tak berhenti berpikir bagaimana nasib Singto jika suatu saat ia pergi?
Krist menghabiskan sebagian besar waktunya melamun. Singto yang merasa Krist terlalu lama di kamar mandi pun khawatir.
“Adek! Kamu kenapa lama? Adek kenapa?” Teriak Singto.
Lamunan Krist seketika buyar akibat teriakan Singto, tak mau membuat kekasihnya khawatir akhirnya ia dengan cepat menyelesaikan mandinya dan pergi keluar.
“Adek kenapa? Lagi banyak masalah? Mau cerita?” Singto membombardir Krist dengan berbagai pertanyaan saat melihat Krist keluar dari kamar mandi.
“Gapapa mas.. cuma lagi cape aja.” Krist tersenyum kecil ke arah Singto.
“Adek kalo ada apa apa cerita aja.” Singto menggenggam tangan Krist yang dingin.
“Iya.. adek gapapa kok. Adek mau pake baju dulu baru abis itu kompres mas.”
Singto merebahkan diri lalu Krist duduk di pinggiran kasur dan mengambil kain yang telah dicelupkan ke air. Kain itu diperas dengan telaten lalu diletakkan di atas dahi Singto.
“Mas gak boleh sering sakit begini… nanti yang ngerawat siapa?”
“Ya kamulah dek. Mas selama ada adek pasti baik-baik aja.”
“Kalo adek gak ada gimana..” Kata Krist dengan suara kecil tapi masih dapat didengar Singto.
“Kok ngomongnya gitu? Adek gak niat ninggalin mas kan?”
“Ya kita kan gak pernah tau kedepannya gimana mas…”
“Mas akan berdoa dengan keras buat bisa hidup sama adek sampe maut memisahkan.”
Krist tersenyum pahit lalu berkata,
“Sampe maut memisahkan.” Kata krist dengan suara kecil.
———
Semakin hari sakit kepala Krist semakin menjadi-jadi sampai-sampai obat penahan sakit menjadi makanan setiap harinya.
“Lu kenapa Krist?” Tanya rekan kerja Krist
“Sa...sakit ba..nget..”
“Gw harus gimana? Mau ke rumah sakit aja?”
“O..obat gw..tolong..shhh”
Rekan kerja Krist yang bernama Gun pun bergegas mencari obat yang Krist maksud dan setelah menemukan sebuah obat yang bertuliskan “Obat Penahan Sakit” Gun langsung menyodorkan obat tersebut serta segelas air mineral.
Krist sudah meminum obat itu tapi tidak tau kenapa sakit kepalanya tak kunjung berhenti.
“ARGHHHH SAKITT” Krist menjambak rambutnya dan berteriak kesakitan.
“Krist! Gw minta surat ijin pulang aja ya. Tunggu sebentar.” Gun berlari keluar ruangan
Saat sedang menjambak rambutnya, tiba-tiba terasa sebuah cairan menetes dari hidungnya. Krist terkejut karena terdapat noda merah di baju putihnya.
“Darah..” Krist dengan cepat keluar dan pergi ke toilet.
Ia mencoba menghapus darah yang terus mengalir dari hidungnya dengan tangannya. Bajunya yang putih bersih juga kini berlumuran darah.
Krist memandangi tangannya yang penuh darah, ia mulai terisak pelan. Apa salah dirinya hingga ini terjadi? Ia harus apa sekarang..
Setelah beberapa saat, akhirnya darah itu berhenti mengalir.
“Krist?! Lu di dalem ya? Pintunya kok dikunci? Lu gapapa?” Teriak Gun dari luar.
Krist dengan cepat menghapus air matanya dan mencuci darah pada tangannya. Ia juga berusaha menghilangkan noda merah di bajunya. Namun, nihil noda merah itu malah menyebar.
“Krist! Jawab gw!” Teriak Gun dengan panik.
Dengan noda merah yang belum sepenuhnya hilang, Krist pun keluar.
“Lu kenapa lama banget di toilet? Ini kenapa merah semua baju elu? Lu mimisan?” Tanya Gun.
“Nggak, tadi pas gw nahan sakit gw nyenggol minuman sirup gw dan kena baju.”
“Beneran?” Tanya Gun dengan curiga.
“Bener.” Jawab Krist dengan mantab.
“Ini surat ijin elu, mending lu pulang dan istirahat.”
“Iya, makasih banget Gun.”
“No problem.”
Krist pulang ke condonya dan melihat Singto tertidur di sofa. Beberapa hari ini Singto memang tidak pergi ke kantor untuk memulihkan badannya.
“Aku harus apa mas?” Kata Krist dengan suara kecil
Krist mulai meneteskan air mata. Namun, dengan cepat menghapusnya setelah melihat Singto terbangun dari tidurnya.
“Adek kok udah pulang jam segini?”
“Iya, disuruh pulang lebih cepet tadi.” Krist menunjukan senyuman manisnya
“Sayang bajunya kenapa?”
“Tadi aku gak sengaja nyenggol minuman temen.”
“Pacar aku ceroboh banget sih.” Kata Singto sambil mengusak kepala Krist.
“Aku mau mandi dulu ya lengket soalnya.”
“Iya sana mandi sana.”
“Mas gimana keadaannya?” Krist mengecek suhu Singto dengan tangannya.
“Udah sembuh, besok aku masuk kerja lagi.”
“Ok.. mas aku boleh minta tolong beliin sesuatu ke supermarket depan gak? Aku kasi catetannya.”
“Boleh kok.”
“Makasih ya mas, aku mau mandi dulu.”
“Iya sayang.”
Krist pun pergi ke kamar mandi untuk mandi. Selama di kamar mandi, ia tak berhenti termenung. Pikirannya penuh dengan Singto. Singto butuh seseorang, Krist butuh seseorang untuk menggantikan posisinya.
Krist tiba-tiba teringat sesuatu ia pun menelepon temannya dan mengajaknya untuk ketemu sebentar. Setelah menghubungi temannya, Krist menghubungi Singto.
Krist POV
(Notes: Italic = Omongan dalam hati Krist)
Aku dengan cepat menyelesaikan mandiku lalu menyisir rambutku. Saat sedang menyisir tiba-tiba Singto masuk ke kamar tapi tidak berucap apapun.
Aku tertawa dalam hati, aku tahu pacarku seorang yang posesif. Singto merusak rambutku yang telah ku tata rapi.
Malam ini aku mengajak Singto untuk bertemu dengan seorang teman. Ku perkenalkan mereka dua. Aku memang pintar memilih orang, mereka terlihat cocok.
Aku mulai menonjolkan sisi baik dan hebat dari temanku kepada Singto bahkan aku terang-terangan berkata bahwa mereka berdua akan sangat cocok jika pacaran.
Aku tahu Singto gak suka dengan pernyataanku tapi aku hiraukan saja. Pernyataan keduaku membuatnya marah, ia akhirnya pergi meninggalkan aku dan temanku. Sesuai dengan rencana.
“Lu gila ya ngomong gitu ke Singto!” Kata Namtan kepadaku.
“Gw butuh bantuan elu.”
“Apa?”
“Lu harus pacaran sama Singto.”
“Lu gila ya! Fix lu gak waras.” Namtan menatapku dengan tatapan tidak percaya.
“Tolong Nam.. lu harus bantu gw.”
“No. Lu gila Krist!”
“Gw tau elu pernah pacaran sama Singto waktu SMP. Gw tau elu pura-pura gak kenal sama Singto.”
“Lu… tau?”
“Iya. Gw tau semuanya karena itu gw minta tolong sama elu.”
“Kenapa lu tiba-tiba begini? Lu udah gak cinta sama Singto? Mending putus aja Krist daripada elu giniin.”
“Gw cinta dia karena itu gw harus lakuin ini.”
“Lakuin apa?”
“Lepas dia..”
“Kenapa? Dia salah apa?”
“Hidup gw gak lama Nam..”
“Maksud elu?” Namtan menatapku dengan tatapan khawatir.
“Kanker otak stadium 3.” Aku menatapnya sambil tersenyum tulus.
Namtan terlihat membeku, tak mampu membuka mulutnya kembali.
“Singto orangnya pelupa Nam.. dia suka lupa tempat dia taruh barang.” Aku tertawa kecil.
“...”
“Singto itu pekerja keras sampe sering lupa makan padahal dia punya maag.”
“...”
“Singto paling gak bisa masak. Dia selalu butuh orang buat masakin dia sarapan.”
“...”
“Singto.. juga manja apalagi kalo lagi sakit.. dia maunya dipeluk.” Aku menghapus air mata kecil yang mulai menetes di mataku.
“...”
“Gw yakin elu mampu menggantikan posisi gw Nam. Lu penyayang, perhatian, jago masak.”
“Tap-“
“Gw butuh bantuan elu…”
“Gw gak akan bisa gantiin posisi elu di hati dia.”
“Gw bakal atur semuanya.. gw yakin lu bisa nyi..nyingkirin gw dari hati dia.” Sedikit rasa sesak hinggap.
“Krist..”
“Singto udah balik, lu harus janji buat bantu gw Nam.”
“Krist gw-“
“At least jaga dia buat gw. Please…” Aku menggenggam erat tangan Namtan untuk meyakinkannya.
“...”
“Gw butuh seseorang buat gantiin posisi gw.”
“Ok..”
Jujur, bukan rasa lega yang hinggap tapi rasa sakit. Aku harus siap melepaskan dia.
“Makasih..”
Singto akhirnya balik dari kamar mandi. Aku mengajaknya pulang dan mengingatkan kembali janji Namtan.
Saat di mobil, suasana kembali menegang. Singto seperti enggan untuk menyalakan mobil.
“Maksud kamu apa?” Singto tiba-tiba membuka suara.
Aku mencoba berpura-pura tidak tahu dengan apa yang membuatnya begitu marah. Aku tidak berani menatapnya, aku tahu dia kecewa dengan omonganku.
“Jawab.” Singto menuntut Jawaban dariku.
“Adek cuma berucap fakta mas.”
“Denger ya, mas gak suka kamu berandai-andai mas pacaran sama orang lain selain adek.”
“Tapi mas emang cocok sama Namtan.”
Tiba-tiba Singto membentakku..
Aku mengucapkan maaf setelah tahu Singto benar-benar marah dan kecewa. Namun, tiba-tiba terdengar sebuah suara dengungan dan kepalaku jadi sangat amat sakit.
ARGHHH SAKIT YA TUHAN TOLONG AKU
Tidak terasa cairan merah segar itu keluar lagi dari hidungku dan kali ini Singto melihatnya. Singto berubah panik dan ingin membawaku ke rumah sakit.
Singto gak boleh tahu.
“Please mas, adek mimisan karena kurang tidur aja.”
Aku terpaksa berbohong, aku ingin cepat pulang saja agar dapat cepat minum obat. Setelah memohon kepada Singto, akhirnya kita pulang ke rumah. Sesampainya aku di rumah, aku langsung menyumpal hidungku dan meminum obat.
Singto masih terlihat khawatir tapi aku terus mencoba meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja.
“Mas takut… jangan tinggalin mas.” Singto memelukku
Deg.
Nyatanya aku harus ngelepasin kamu sebentar lagi mas. Tak kuat aku pun meneteskan air mata.
Singto menghapus air mataku dan mengajakku tidur.
Hari-hari berikutnya aku pakai untuk istirahat dan menjalankan rencanaku. Hari ini aku janjian untuk ketemu lagi dengan Namtan.
Aku pergi naik taksi dan menemui Namtan di depan cafenya. Sedikit menyampaikan kabar masing-masing lalu aku mulai menyampaikan rencanaku.
“Gw udah rencanain semua buat elu. Elu tinggal dateng dan menikmati kencan elu sama Singto.”
“Ada Singto woi! Gimana nih?” Bisik Namtan.
Apa ini waktu yang tepat? Gw udah harus siap.
“Kenapa gw begini? Gw udah bosen sama dia. Gw udah gak cinta lagi sama dia. Gw tau elu suka sama Singto jadi mending dia buat elu aja.”
“Lu ngapain anjir Krist? Singto kesini woi!” Bisik Namtan dengan nada panik.
“Ayo kita pulang.” Singto tiba-tiba menarik tanganku.
Selama perjalanan, tidak ada yang berbicara. Aku terlalu sibuk dengan pikiranku hingga tak menyadari kita sudah sampai.
Apa yang aku lakuin ini bener. This is the time.
Author POV
(Notes: Italic = Isi Hati Krist)
“Maksud kamu apa?”
“Apanya?”
“Maksud kamu apa jodohin aku ke Namtan?”
“Oh mas denger? Ya berarti udah tau alasannya.”
“Jelasin ke aku.”
“Gak ada yang perlu dijelasin lagi mas. Adek udah bosen sama mas. Adek udah gak cinta lagi sama mas.”
Aku cinta kamu mas. Aku lakuin ini buat kamu. Maaf mas.
“Kita 4 tahun bareng Krist!”
“Ya terus? 4 tahun itu cuma angka.”
4 tahun is everything
“Kamu bohong kan?”
“Buat apa bohong?”
“Ngomong lagi tapi kali ini tatapan aku.”
Krist menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan semua rasa sesak dan berkata,
“Aku udah gak cinta lagi sama kamu Singto.”
Sakit.
Hati Krist ikut sakit, ia melihat Singto terluka dan semua karena dirinya. Tangan Singto yang sedang menggenggamnya mendingin.
Ia ingin menghangatkannya tapi ia tahu dingin itu berasal dari hatinya dan ia tak mampu menghangatkannya lagi karena ia harus siap-siap melepaskannya dengan segala luka yang ada.
“Aku.. salah apa?” Tanya Singto dengan sedikit bergetar.
Krist yang mendengar getaran dari suara Singto merasa bersalah tapi ia harus kuat.
“Gak ada. Aku emang udah gak cinta aja.”
“Sayang..” Singto memeluk Krist
Aku pengen begini aja terus boleh gak sih Tuhan? Ijinin aku buat peluk dia lebih lama. Gak boleh ya?
Krist tersenyum sedih di pelukan Singto lalu dengan keras mendorongnya. Krist melihat mata Singto memancarkan luka, ia ingin sekali memeluknya lagi tapi ia menahan diri.
Krist berhasil menahan dirinya sampai..
“Mas sayang banget sama adek…”
Hancur semua pertahanan yang ia bangun. Krist menghempaskan tangan yang mengusap pipi. Ia harus kuat. Harus bertahan.
“Adek…”
“Jangan panggil aku adek lagi.”
“Dek.. jangan please..”
Aku harus kuat. Harus bisa.. harus bisa lepasin.
“Kita putus.”
Seketika hati Krist ikut patah bersamaan dengan hubungan yang baru saja ia hancurkan. Krist tak kuat lagi, ia pun terisak.
“Benci ya sama mas?”
Nggak mas nggak! Tangis Krist semakin keras.
“Cup cup cup gak boleh nangis. Iya mas pergi…”
Gamau.. jangan pergi mas.
Setelah mengatakan itu Singto pergi ke kamar mereka untuk mengemasi barang-barangnya. Krist sedari tadi tidak berhenti menangis dan terus memukuli dadanya yang sesak.
Singto akhirnya keluar dengan beberapa tas di genggamannya. Ia menghampiri Krist lalu menghapus air matanya.
“Bahagia terus ya dek..”
Setelah kalimat terakhir itu, Singto melangkah pergi keluar pintu dan Krist langsung terjatuh ke lantai. Ia menangis dengan keras.
“ARGH! MAS SINGTO MAAFIN ADEK!” Teriak Krist dengan kesakitan.
Setelah sekitar mungkin setengah jam menangis, Krist memutuskan untuk tidur saja di kamar. Saat sedang duduk di pinggiran kasur, Krist kembali terisak.
Ia mengambil cincin Singto dan kembali menangis. Sakit sekali ya Tuhan. Sakit banget melepaskan seseorang yang kamu cintai.
Flashback OFF
Singto akhirnya sadar setelah beberapa saat melamun dan langsung pergi ke condo mereka, meninggalkan Namtan di jembatan itu.
“Adek!” Panggil Singto
Condo itu hening dan sunyi seperti tidak ada yang meninggali. Singto langsung lari ke dalam kamar mereka dulu.
“Adek!” Panggil Singto lagi.
Singto berjalan ke arah gumpalan selimut lalu membukanya paksa.
Saat Singto membuka selimut itu terlihat Krist sudah dalam keadaan lemah tak berdaya dengan kain yang sudah penuh dengan darah.
“Adek! Adek kenapa sayang?” Singto dengan bergetar menepuk-nepuk pelan pipi Krist.
Singto dengan cepat mengambil handphonenya lalu memanggil ambulance.
“Adek bangun sayang… maafin mas.” Singto tak berhenti mengguncang pelan tubuh Krist.
Tidak lama kemudian, petugas rumah sakit datang untuk menjemput Krist. Krist dimasukkan ke dalam ambulance.
Selama perjalanan Singto tak berhenti meminta maaf dan menggenggam tangan Krist.
“Sayang.. bertahan ya. Nanti pas kamu bangun kita liburan aja biar kamu gak stress, ya sayang?” Singto meneteskan air matanya.
Tiba-tiba Krist terbangun dan langsung memegang kepalanya.
“Sa..kit..”
“Iya sayang sebentar lagi nyampe, bertahan please buat aku.”
“Mas.. adek.. minta maaf.” Kata Krist dengan terbata-bata akibat sambil menahan sakit.
“Kamu gak salah.. aku gapapa. Kamu harus kuat ya.”
“Ka..lo adek.. gak-“
Krist terbatuk-batuk hingga keluar sedikit bercak darah.
“Sayang gausah ngomong apa-apa. Kamu istirahat aja ya.”
“A..dek.. sa..yang.. m..as.”
“Mas juga sayang adek. Adek harus kuat, harus bertahan. Mas janji gak akan ninggalin adek lagi, gak akan pernah.” Singto menggenggam erat tangan Krist dengan air mata yang tak berhenti mengalir.
Krist mengangkat tangannya lalu mengusap air mata Singto. Singto meletakan tangan Krist di pipinya.
Tiba-tiba tangan Krist terkulai lemas dan Krist menutup matanya rapat.
“Adek! Adek bangun sayang! Adek please!” Singto panik, panik sekali.
Ambulance akhirnya berhenti lalu dengan cepat memasukkan Krist ke ruang pemeriksaan dokter. Singto tidak boleh masuk ke ruang pemeriksaan jadi dia harus menunggu di luar.
“Tuhan, Singto mohon jangan ambil Krist lagi. Kalo bisa berikan saja nyawa aku ke dia.”
Singto tidak berhenti khawatir, ia terus bergerak gelisah hingga akhirnya dokter keluar.
“Bagaimana dok?”
“Keadaannya sudah membaik tapi kanker dia harus segera diatasi sebelum menyebar lebih cepat.”
“Apa yang bisa saya lakukan dok?”
“Anda harus bisa meyakinkan pasien untuk melakukan kemoterapi atau operasi otak secepatnya. Namun, karena operasi otak terlalu beresiko saya lebih menyarankan ikut kemoterapi saja. Walau memang belum tentu sembuh total tapi setidaknya kita sebagai manusia sudah mencoba dan selebihnya kita serahkan kepada Tuhan.”
“Baik dok akan saya usahakan, terima kasih.”
Singto masuk ke ruangan tempat Krist berbaring. Ia mengambil kursi lalu duduk di sebelah kasurnya. Ia menggenggam erat tangan Krist.
“Sayang, gimana rasanya sekarang?” Singto membelai kepala Krist dengan lembut.
“Udah baik.” Kata Krist dengan lemah.
“Sayang, mulai sekarang jangan bohong lagi sama aku ya.”
“Maaf mas..”
“Gapapa, mas gapapa. Asal jangan tinggalin mas lagi ya.” Singto tersenyum.
Krist terdiam dan menatap ke langit-langit kamar berusaha menahan air mata. Bagaimana bisa ia tetap bertahan kalau suatu saat penyakitnya memintanya pulang?
“Adek.. dokter tadi saranin kemoterapi.”
“Adek takut.. dan adek tau kemoterapi belum tentu bisa sembuhin adek.. in the end adek tetep bakal pergi.”
“Hush! Gak boleh gitu.. kita harus coba dulu trus banyakin berdoa. Mas janji bakal temenin adek.”
“Mas bakal temenin sampe suatu saat nanti adek nyerah?” Mata Krist berkaca-kaca
“Iya..” Singto mencium pipi Krist.
“Jangan nyerah dek..” Gumam Singto
Krist akhirnya mau ikut kemoterapi dan sesuai janji Singto selalu menemaninya melewati masa-masa sulit itu.
“Mas.. adek jelek sekarang.” Kata Krist di depan cermin.
“Apanya yang jelek? Adek masih manusia termanis buat mas.”
“Rambut adek rontok.. adek botak.”
“Gapapa sayang, kamu masih manis kok. Masih jadi kesayangan aku.”
“Kalo mas mau tinggalin adek, adek gapapa kok. Mas bisa dapet yang lebih baik dari adek.” Krist menatap lantai kamar.
“Emang bisa kok nyari yang lebih baik dari kamu.” Krist langsung menatap Singto dengan tatapan sedih.
Singto yang melihat Krist sedih langsung merengkuh pinggang Krist.
“Tapi mas maunya Krist Perawat Sangpotirat gimana dong?”
Krist tersenyum manis dengan pipi yang merah merona.
“Mas bakal terus temenin kamu sampe nama kamu jadi Krist Perawat Ruangroj.” Singto tersenyum tulus sambil menempelkan dahinya pada dahi Krist
“Doain adek bisa sampe situ ya mas.” Krist tersenyum tulus sambil meneteskan sedikit air mata.
“Pasti.”
Sudah tidak terhitung berapa kali Krist mengikuti kemoterapi dan hari ini akan dilakukan pengecekan.
“Adek takut..”
“Gapapa sayang, mas disini.” Singto menggenggam erat tangan Singto.
“Saudara Krist Perawat, silahkan masuk.” Panggil salah satu perawat di rumah sakit itu.
Mereka berdua langsung duduk di depan dokter yang sedang memandang hasil CT Scan Krist. Muka dokter tidak menunjukan hal baik, ia terus mengerutkan dahi.
“Ba..bagaimana dok?” Krist tanya dengan ragu.
“Ini..”
Singto dan Krist menunggu dengan tidak sabar
“Ini luar biasa.”
Mereka langsung menatap satu sama lain dengan takut.
“Saudara Krist, selamat you’re cancer free.” Kata dokter dengan senyum yang lebar.
“PUJI TUHAN!” Teriak Krist dengan air mata yang mulai mengalir.
“Selamat sayang, you did it!”
“No, we did it with God”
“Makasih dok!” Singto menjabat tangan dokternya begitu pula Krist.
Setelah keluar dari ruangan, Krist langsung memeluk Singto dengan erat.
“Makasih udah gak nyerah sama aku! Makasih mas! I love you!”
“Anything for you. I love you too.”