Rosie

“Halo halo” Singto masuk ke dalam discord (dc)

“Mau ngerjain PR apa nih?” Tanya Krist sambil menata bukunya.

Krist sudah mudah menuliskan jawaban PRnya. Namun, tiba-tiba terdengar petikan gitar dan suara seseorang bernyanyi. Krist menghentikan kegiatannya dan melihat ke layar laptopnya.

Terlihat Singto sedang memainkan gitarnya sambil melihat ke arah Krist.

I can't show you how to love yourself Aku tidak bisa menunjukkan kepadamu cara untuk mencintai diri sendiri

But I promise you Tapi aku berjanji kepadamu

I'll be the one by your side Aku yang akan selalu berada di sisimu

Krist terdiam dan merenungi arti dari lirik yang baru saja dinyanyikan Singto. Krist terlalu fokus dengan pikirannya hingga suara Singto yang memanggilnya tidak terdengar.

“Suara gw terlalu bagus ya sampe lu bengong?”

“Hah?”

“Lucu banget sih kalo lu lagi bingung gitu.” Singto tersenyum manis

“Bodo amat deh.” Krist langsung menuduk dan melanjutkan acara menulisnya untuk menutupi muka merahnya.

Tiba-tiba suasana jadi hening, akhirnya Krist mendongakkan kepalanya. Ternyata Singto masih memandangi Krist sambil tersenyum lembut.

“Cantik.” Kata Singto secara spontan membuat detak jantung Krist berpacu cepat.

“Ehem.. katanya tadi mau ngerjain PR.” Kata Krist sambil memutarkan bola matanya.

“Iya ini gw kerjain.” Singto menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sambil mengalihkan pandangannya ke buku.

Krist tersenyum melihat Singto yang sedikit salah tingkah. Tiba-tiba terdengar suara telepon berdering dari handphone Krist.

“Halo?”

“…”

“Kenapa Nam?”

“…”

“Gw lagi belajar sama temen lewat call.”

“…”

“Singto.”

“…”

“Mau ikut? Gw tanya dulu sama orangnya ya.”

Krist menggerakkan mulutnya tanpa suara ke arah layar

“Namtan mau ikut kita call boleh ajak gak?”

“Bebas” jawab Singto

“Ih serius Singto.”

“Yaudah terserah elu aja.”

“Yaudah gw invite ya.”

“Ok.”

“Yaudah nam nanti gw kasi linknya elu masuk aja.”

“…”

“Okay see you. Bye nam.” Krist mematikan telepon dan segera mengirimkan link invite ke Namtan.

Tiba-tiba Singto mematikan webcamnya dan Namtan masuk ke dalam meeting.

“Hai Krist! Lu lagi apa?” Kata Namtan

“Hai.. lagi nugas kayak biasa.” Jawab Krist

“Hai Singtoo!”

“Hai.” Jawab Singto

“Eh kenalan dong Singto! Lu terkenal banget tau di angkatan kita.”

“Iya.”

“Nama gw Namtan.” Kata Namtan sambil tersenyum manis

“Hai salam kenal.”

“Oncam dong Singg. Gw sama Krist aja oncam masa lu offcam sih.”

“Laptop gw lagi rusak.”

“Eh Krist gw ngajak temen2 gw juga gapapa kan?”

“Eh? Ah.. okay.” Jawab Krist

Tiba-tiba teman-teman Namtan masuk dan langsung tertawa.

“Hai Singtoo!” Kata Janhae, salah satu teman Namtan

“Sumpah lu ngapain ikut kesini Jan?” Kata Singto

“Yee ngeledek.. lu kira gw gak ada temen gitu?” Janhae memutarkan bola matanya.

“Ayo kenalan dong kita semua! Oncam dong Sing!” Kata Namtan lagi.

Krist merasa ia dihiraukan jadi ia mencoba untuk offcam dan benar ternyata ia tidak diperdulikan.

“Gw mau belajar kalian mau ikut gak?” Kata Singto

“Ikut dongg” Kata Namtan.

“Kit ayo jelasin dong masalah PR fisikanya.” Kata Singto

Krist yang merasa terpanggil akhirnya mulai menjelaskan materi dari tugas mereka. Namun, tiba-tiba Namtan dan teman-temannya pergi secara mendadak. Namtan memberitahukan pada Krist bahwa koneksi dia jelek dan tidak bisa ikut belajar bersama.

“Cie jadi inceran cewek-cewek angkatan.” Krist tertawa

“Berisik deh.” Singto menyalakan kembali kameranya.

“Udah jelas lho itu.” Krist tersenyum jahil.

Singto memutarkan bola matanya.

Krist memutarkan bola matanya lalu tersenyum melihat balasan Singto. Ia segera membereskan bukunya dan bergegas ke tempat Singto berada.

Di perjalanan, ia melihat Namtan menghampirinya.

“Hai Krist! Mau kemana lu?”

“Mau ke tempat Singto.”

“Singto kapten basket?”

“Iyalah, emang ada Singto siapa lagi?”

“Lu temenan sama Singto?”

“Iya.. emang kenapa?”

“Kaget aja, lu kan kutu buku sedangkan dia anak olahraga banget.”

Krist memutarkan bola matanya lalu lanjut berjalan. Namtan masih setia disamping Krist.

“Lu ngapain ikutin gw? Mau ketemu Singto?” Krist berhenti dan menghadap ke arah Namtan.

“Eh..iya kenapa gw ngikut elu ya? Gw lupa gw kan mau pulang yak, duh maap.” Namtan menggaruk tengkuknya

“Astaga.. cantik-cantik pea.” Krist menggelengkan kepalanya.

“Cieee bilang gw cantik. Suka ya? Emang cantik banget sih gw” Namtan mengibaskan rambutnya.

“Untung temen, kalo nggak udah gw bawa ke rumah sakit jiwa.” Krist menggelengkan kepalanya.

“Yaudah, gw pulang duluan ya Krist! Bye kakak ganteng.” Namtan berlari ke parkiran sambil melambaikan tangan.

Krist hanya tersenyum sambil membalas lambaian tangan Namtan. Krist melanjutkan perjalanannya yang tadi sempat terhambat. Ia berjalan sambil membaca novel yang ingin sekali ia selesaikan. Tiba-tiba sebuah bola melayang ke arahnya dan..

DUG…

“Aduh! Siapa sih lempar bola sembarangan?!” Teriak Krist sambil mengusap kepalanya yang sakit.

Singto langsung berlari menghampiri Krist dan ikut mengusap kepala Krist.

“Lu gapapa? Sorry banget tadi bolanya mantul trus kena elu.” Kata Singto dengan raut khawatir.

“Sakit tau bangsat!” Krist menepis tangan Singto.

“Gw anterin ke UKS ya.”

“Gausah. Gw cowo, kena bola doang masa langsung ke UKS.”

“Gw khawatir. Takut elu gagar otak.”

Krist menatap Singto garang, sedangkan Singto tertawa melihat Krist marah.

“Ketawa aja terus! Temennya kesakitan malah diketawain.”

“Abisnya lu imut banget kalo lagi marah. Gw suka.”

Krist sempat terdiam sejenak. Namun, langsung bangkit berdiri dan memukul bahu Singto dengan keras.

“Aduh! Sakit anjir.” Singto mengusap bahunya yang kena pukul.

“Ngomong mangkannya jangan sembarangan. Gw cowok malah dikatain imut.”

“Itu pujian, sayang.”

“Bodo, gw mau pulang.”

“Lah? Gak ikut main basket dulu?”

“Gak mood gw.”

“Yaudah tungguin gw.”

Singto berlari mengambil tas olahraganya dan berpamitan ke teman-temannya lalu langsung berlari ke arah Krist.

“Ayo, pulang.” Singto menggandeng tangan Krist sambil mengajaknya berlari ke parkiran.

Singto mengantar Krist pulang hingga sampai pintu rumah.

“Lu bisa gak sih gausah anterin gw pulang gini?”

“Emang kenapa?”

“Gw cowo, lu tau kan? Gw bisa bawa motor sendiri Sing.”

“Tapi gw suka nganteri elu kayak gini. Lagian mama lu lebih percaya gw daripada elu. Elu pasti gak dibolehin naik motor selama masih ada gw.”

“Idih! Kepedean anjir.”

“Coba aja.. liat bentar lagikan mama lu keluar.”

Dan benar! Mama Krist keluar dan langsung berlari ke arah mereka berdua.

“Nih, buat kamu. Titip salam buat mami papi ya Sing.” Mama Krist menyodorkan sebungkus plastik kepada Singto.

“Wah, masakan tante emang paling the best deh. Makasih ya tan.” Singto tersenyum manis.

“Ma, Kit mulai besok mau naik motor sendiri.” Rengek Krist.

“Ih, ngapain? Kan ada Singto yang biasa anter jemput.”

“Jangan ngerepotin Singto teruslah ma. Aku ini cowo lho ma.”

“Oh, ngerepotin Sing-“ Ucapan mama terpotong Singto

“Nggak kok tante, aku seneng banget bisa anter jemput Kit. Lumayan ada yang nemenin.” Singto tersenyum ke arah Krist sedangkan Krist menatapnya tajam.

“Yaudh sama Singto aja.” Mama tersenyum lalu berjalan masuk ke rumah.

“Maaaaa” rengek Krist

“Udah gw bilang mama lebih percaya gw daripada elu.” Ledek Singto

“Lu lagian kek anjing bukannya dukung gw tadi.”

“Yakan, gw kangen liat muka elu. Kalo sehari gak liat elu gw bakal sakit-sakit badan nih.” Singto pura-pura bersedih.

Krist memutarkan bola matanya lalu memukul Singto.

“Jijik. Udah sana pulang keburu malem.”

“Oke, nanti malem jangan lupa telepon temenin gw nugas ya.”

“Idih ogah.”

“Ayolahh.” Rengek Singto.

“Iya iya. Udah sana pulang nanti sakit.”

“Yaudha gw duluan ya. Bye Kit.” Singto pun mengendarai motornya menyelusuri komplek.

Krist langsung berlari ke kamarnya dan mengunci pintu. Ia membaringkan tubuhnya di kasur. Tiba-tiba gombalan-gombalan Singto muncul di pikirannya dan mukanya langsung memerah. Ia menutup mukanya dengan bantal dan berteriak kegirangan.

Krist memutarkan bola matanya lalu tersenyum melihat balasan Singto. Ia segera membereskan bukunya dan bergegas ke tempat Singto berada.

Di perjalanan, ia melihat Namtan menghampirinya.

“Hai Krist! Mau kemana lu?”

“Mau ke tempat Singto.”

“Singto kapten basket?”

“Iyalah, emang ada Singto siapa lagi?”

“Lu temenan sama Singto?”

“Iya.. emang kenapa?”

“Kaget aja, lu kan kutu buku sedangkan dia anak olahraga banget.”

Krist memutarkan bola matanya lalu lanjut berjalan. Namtan masih setia disamping Krist.

“Lu ngapain ikutin gw? Mau ketemu Singto?” Krist berhenti dan menghadap ke arah Namtan.

“Eh..iya kenapa gw ngikut elu ya? Gw lupa gw kan mau pulang yak, duh maap.” Namtan menggaruk tengkuknya

“Astaga.. cantik-cantik pea.” Krist menggelengkan kepalanya.

“Cieee bilang gw cantik. Suka ya? Emang cantik banget sih gw” Namtan mengibaskan rambutnya.

“Untung temen, kalo nggak udah gw bawa ke rumah sakit jiwa.” Krist menggelengkan kepalanya.

“Yaudah, gw pulang duluan ya Krist! Bye kakak ganteng.” Namtan berlari ke parkiran sambil melambaikan tangan.

Krist hanya tersenyum sambil membalas lambaian tangan Namtan. Krist melanjutkan perjalanannya yang tadi sempat terhambat. Ia berjalan sambil membaca novel yang ingin sekali ia selesaikan. Tiba-tiba sebuah bola melayang ke arahnya dan..

DUG…

“Aduh! Siapa sih lempar bola sembarangan?!” Teriak Krist sambil mengusap kepalanya yang sakit.

Singto langsung berlari menghampiri Krist dan ikut mengusap kepala Krist.

“Lu gapapa? Sorry banget tadi bolanya mantul trus kena elu.” Kata Singto dengan raut khawatir.

“Sakit tau bangsat!” Krist menepis tangan Singto.

“Gw anterin ke UKS ya.”

“Gausah. Gw cowo, kena bola doang masa langsung ke UKS.”

“Gw khawatir. Takut elu gagar otak.”

Krist menatap Singto garang, sedangkan Singto tertawa melihat Krist marah.

“Ketawa aja terus! Temennya kesakitan malah diketawain.”

“Abisnya lu imut banget kalo lagi marah. Gw suka.”

Krist sempat terdiam sejenak. Namun, langsung bangkit berdiri dan memukul bahu Singto dengan keras.

“Aduh! Sakit anjir.” Singto mengusap bahunya yang kena pukul.

“Ngomong mangkannya jangan sembarangan. Gw cowok malah dikatain imut.”

“Itu pujian, sayang.”

“Bodo, gw mau pulang.”

“Lah? Gak ikut main basket dulu?”

“Gak mood gw.”

“Yaudah tungguin gw.”

Singto berlari mengambil tas olahraganya dan berpamitan ke teman-temannya lalu langsung berlari ke arah Krist.

“Ayo, pulang.” Singto menggandeng tangan Krist sambil mengajaknya berlari ke parkiran.

Singto mengantar Krist pulang hingga sampai pintu rumah.

“Lu bisa gak sih gausah anterin gw pulang gini?”

“Emang kenapa?”

“Gw cowo, lu tau kan? Gw bisa bawa motor sendiri Sing.”

“Tapi gw suka nganteri elu kayak gini. Lagian mama lu lebih percaya gw daripada elu. Elu pasti gak dibolehin naik motor selama masih ada gw.”

“Idih! Kepedean anjir.”

“Coba aja.. liat bentar lagikan mama lu keluar.”

Dan benar! Mama Krist keluar dan langsung berlari ke arah mereka berdua.

“Nih, buat kamu. Titip salam buat mami papi ya Sing.” Mama Krist menyodorkan sebungkus plastik kepada Singto.

“Wah, masakan tante emang paling the best deh. Makasih ya tan.” Singto tersenyum manis.

“Ma, Krist mulai besok mau naik motor sendiri.” Rengek Krist.

“Ih, ngapain? Kan ada Singto yang biasa anter jemput.”

“Jangan ngerepotin Singto teruslah ma. Aku ini cowo lho ma.”

“Oh, ngerepotin Sing-“ Ucapan mama terpotong Singto

“Nggak kok tante, aku seneng banget bisa anter jemput Krist. Lumayan ada yang nemenin.” Singto tersenyum ke arah Krist sedangkan Krist menatapnya tajam.

“Yaudh sama Singto aja.” Mama tersenyum lalu berjalan masuk ke rumah.

“Maaaaa” rengek Krist

“Udah gw bilang mama lebih percaya gw daripada elu.” Ledek Singto

“Lu lagian kek anjing bukannya dukung gw tadi.”

“Yakan, gw kangen liat muka elu. Kalo sehari gak liat elu gw bakal sakit-sakit badan nih.” Singto pura-pura bersedih.

Krist memutarkan bola matanya lalu memukul Singto.

“Jijik. Udah sana pulang keburu malem.”

“Oke, nanti malem jangan lupa telepon temenin gw nugas ya.”

“Idih ogah.”

“Ayolahh.” Rengek Singto.

“Iya iya. Udah sana pulang nanti sakit.”

“Yaudha gw duluan ya. Bye Krist.” Singto pun mengendarai motornya menyelusuri komplek.

Krist langsung berlari ke kamarnya dan mengunci pintu. Ia membaringkan tubuhnya di kasur. Tiba-tiba gombalan-gombalan Singto muncul di pikirannya dan mukanya langsung memerah. Ia menutup mukanya dengan bantal dan berteriak kegirangan.

Krist keluar dari apartemennya lalu segera mengendarai mobilnya menuju sebuah toko bunga.

“Selamat pagi, saya mau ambil bunga atas nama Singto Prachaya”

Pemilik toko itu mengangguk lalu memberi sebuah buket bunga berwarna putih. Krist melihat bunga tersebut lalu tersenyum pahit.

Mawar putih… kesukaan gw tapi bukan buat gw. – Krist

Semua orang sekarang pasti sudah tau bahwa Krist menyukai seorang laki-laki yang menjadi sahabatnya selama 10 tahun ini. Krist memang pintar menyembunyikannya.

Krist masuk ke dalam mobil dan pergi ke arah taman tempat Singto dan dirinya berjanji untuk bertemu.

“Nih bunga lu sama bannernya ada di mobil gw.” Kata Krist sambil menyerahkan buket bunga itu kepada Singto.

Singto terlihat keren dengan kaos hitam dan luaran jaket denim serta celana jeans yang robek pada bagian lututnya.

“Thanks banget. Sumpah tanpa elu gw keknya gak bisa apa apa deh.” Singto memeluk Krist erat.

“Lebay jir.” Krist mendorong Singto pelan.

“Lu lagi kenapa sih? Gw ngerepotin lu ya?”

“Hah? Nggak kok.”

“Lu kek badmood gitu, jawab singkat-singkat trus dipeluk gw gamau. Kenapa? Lagi ada masalah di rumah?”

“Gak, gw b aja kok itu perasaan elu doang kok.”

“Beneran?”

“Iya Singto.”

“Kalo lu ada masalah cerita aja. Gw udah jadi sahabat elu selama 10 tahun gw tau kalo elu boong atau ada masalah.”

“Gw gapapa Singto. Nah, tuh Namtan udah jalan ke sini. Gw mau pergi ngumpet dulu.”

“Ok.” Singto langsung mengalihkan perhatiannya ke arah Namtan yang sedang berjalan ke arahnya.

Krist langsung berlari ke belakang suatu pohon yang rindang lalu mengintip ke arah Singto yang sedang berbicara dengan Namtan.

Apakah dia salah jika ia mengharapkan rencana Singto tidak berhasil? Apakah ia egois jika ia ingin Singto menjadi miliknya seutuhnya?

Singto berlutut dengan satu lutut menyentuh tanah dan kaki satunya ditekuk. Ia menyerahkan bunga yang tadinya ia sembunyikan lalu mengucapkan sesuatu mungkin seperti “Maukah kamu menjadi milikku?”

Krist menunggu dengan tidak sabar, menunggu suatu hasil yang ia yakin akan menghancurkan hatinya. Satu anggukan dan perjuangannya serta pertahanannya akan selesai sampai sini.

Dia mengangguk..

Singto memeluk..

Singto menciumnya di pipi dan dia tersenyum..

Krist tersenyum ia terlihat bodoh karena menyukai sahabatnya sendiri. Dia bodoh karena tak berani merusak apa yang ada dan sekarang ia kehilangan kesempatan.

Krist mengusap air mata yang menetes sedikit dari pelupuk matanya lalu membalikkan badan dan pergi pulang. Dia butuh ketenangan.

Singto sangat senang walau ada yang hal sepertinya mengganjal di hatinya. Ada yang sakit. Singto mengalihkan perhatiannya ke pohon tempat Krist tersembunyi.

“Krist mana?” Ucap Singto dalam batin.

Krist keluar dari apartemennya lalu segera mengendarai mobilnya menuju sebuah toko bunga.

“Selamat pagi, saya mau ambil bunga atas nama Singto Prachaya”

Pemilik toko itu mengangguk lalu memberi sebuah buket bunga berwarna putih. Krist melihat bunga tersebut lalu tersenyum pahit.

Mawar putih… kesukaan gw tapi bukan buat gw. – Krist

Semua orang sekarang pasti sudah tau bahwa Krist menyukai seorang laki-laki yang menjadi sahabatnya selama 10 tahun ini. Krist memang pintar menyembunyikannya.

Krist masuk ke dalam mobil dan pergi ke arah taman tempat Singto dan dirinya berjanji untuk bertemu.

“Nih bunga lu sama bannernya ada di mobil gw.” Kata Krist sambil menyerahkan buket bunga itu kepada Singto.

Singto terlihat keren dengan kaos hitam dan luar jaket denim serta celana jeans yang robek pada bagian lututnya.

“Thanks banget. Sumpah tanpa elu gw keknya gak bisa apa apa deh.” Singto memeluk Krist erat.

“Lebay jir.” Krist mendorong Singto pelan.

“Lu lagi kenapa sih? Gw ngerepotin lu ya?”

“Hah? Nggak kok.”

“Lu kek badmood gitu, jawab singkat-singkat trus dipeluk gw gamau. Kenapa? Lagi ada masalah di rumah?”

“Gak, gw b aja kok itu perasaan elu doang kok.”

“Beneran?”

“Iya Singto.”

“Kalo lu ada masalah cerita aja. Gw udah jadi sahabat elu selama 10 tahun gw tau kalo elu boong atau ada masalah.”

“Gw gapapa Singto. Nah, tuh Namtan udah jalan ke sini. Gw mau pergi ngumpet dulu.”

“Ok.” Singto langsung mengalihkan perhatiannya ke arah Namtan yang sedang berjalan ke arahnya.

Krist langsung berlari ke belakang suatu pohon yang rindang lalu mengintip ke arah Singto yang sedang berbicara dengan Namtan.

Apakah dia salah jika ia mengharapkan rencana Singto tidak berhasil? Apakah ia egois jika ia ingin Singto menjadi miliknya seutuhnya?

Singto berlutut dengan satu lutut menyentuh tanah dan kaki satunya ditekuk. Ia menyerahkan bunga yang tadinya ia sembunyikan lalu mengucapkan sesuatu mungkin seperti “Maukah kamu menjadi milikku?”

Krist menunggu dengan tidak sabar, menunggu suatu hasil yang ia yakin akan menghancurkan hatinya. Satu anggukan dan perjuangannya serta pertahanannya akan selesai sampai sini.

Dia mengangguk..

Singto memeluk..

Singto menciumnya di pipi dan dia tersenyum..

Krist tersenyum ia terlihat bodoh karena menyukai sahabatnya sendiri. Dia bodoh karena tak berani merusak apa yang ada dan sekarang ia kehilangan kesempatan.

Krist mengusap air mata yang menetes sedikit dari pelupuk matanya lalu membalikkan badan dan pergi pulang. Dia butuh ketenangan.

Singto sangat senang walau ada yang hal sepertinya mengganjal di hatinya. Ada yang sakit. Singto mengalihkan perhatiannya ke pohon tempat Krist tersembunyi.

“Krist mana?” Ucap Singto dalam batin.

Krist keluar dari apartemennya lalu segera mengendarai mobilnya menuju sebuah toko bunga.

“Selamat pagi, saya mau ambil bunga atas nama Singto Prachaya”

Pemilik toko itu mengangguk lalu memberi sebuah buket buang berwarna putih. Krist melihat buang tersebut lalu tersenyum pahit.

Mawar putih… kesukaan gw tapi bukan buat gw. – Krist

Semua orang sekarang pasti sudah tau bahwa Krist menyukai seorang laki-laki yang menjadi sahabatnya selama 10 tahun ini. Krist memang pintar menyembunyikannya.

Krist masuk ke dalam mobil dan pergi ke arah taman tempat Singto dan dirinya berjanji untuk bertemu.

“Nih bunga lu sama bannernya ada di mobil gw.” Kata Krist sambil menyerahkan buket bunga itu kepada Singto.

Singto terlihat keren dengan kaos hitam dan luar jaket denim serta celana jeans yang robek pada bagian lututnya.

“Thanks banget. Sumpah tanpa elu gw keknya gak bisa apa apa deh.” Singto memeluk Krist erat.

“Lebay jir.” Krist mendorong Singto pelan.

“Lu lagi kenapa sih? Gw ngerepotin lu ya?”

“Hah? Nggak kok.”

“Lu kek badmood gitu, jawab singkat-singkat trus dipeluk gw gamau. Kenapa? Lagi ada masalah di rumah?”

“Gak, gw b aja kok itu perasaan elu doang kok.”

“Beneran?”

“Iya Singto.”

“Kalo lu ada masalah cerita aja. Gw udah jadi sahabat elu selama 10 tahun gw tau kalo elu boong atau ada masalah.”

“Gw gapapa Singto. Nah, tuh Namtan udah jalan ke sini. Gw mau pergi ngumpet dulu.”

“Ok.” Singto langsung mengalihkan perhatiannya ke arah Namtan yang sedang berjalan ke arahnya.

Krist langsung berlari ke belakang suatu pohon yang rindang lalu mengintip ke arah Singto yang sedang berbicara dengan Namtan.

Apakah dia salah jika ia mengharapkan rencana Singto tidak berhasil? Apakah ia egois jika ia ingin Singto menjadi miliknya seutuhnya?

Singto berlutut dengan satu lutut menyentuh tanah dan kaki satunya ditekuk. Ia menyerahkan bunga yang tadinya ia sembunyikan lalu mengucapkan sesuatu mungkin seperti “Maukah kamu menjadi milikku?”

Krist menunggu dengan tidak sabar, menunggu suatu hasil yang ia yakin akan menghancurkan hatinya. Satu anggukan dan perjuangannya serta pertahanannya akan selesai sampai sini.

Dia mengangguk..

Singto memeluk..

Singto menciumnya di pipi dan dia tersenyum..

Krist tersenyum ia terlihat bodoh karena menyukai sahabatnya sendiri. Dia bodoh karena tak berani merusak apa yang ada dan sekarang ia kehilangan kesempatan.

Krist mengusap air mata yang menetes sedikit dari pelupuk matanya lalu membalikkan badan dan pergi pulang. Dia butuh ketenangan.

Singto sangat senang walau ada yang hal sepertinya mengganjal di hatinya. Ada yang sakit. Singto mengalihkan perhatiannya ke pohon tempat Krist tersembunyi.

“Krist mana?” Ucap Singto dalam batin.

Terbaik Untukmu

Krist sedang menyisir rambutnya agar terlihat lebih rapi tiba-tiba terdengar sebuah suara pintu terbuka.

“Adek!” Teriak Singto

“Adek di kamar mas!”

Singto berjalan menuju tempat Krist berada. Ia masuk ke kamar lalu menyenderkan tubuhnya di tembok sambil memandangi Krist.

“Mas?” Krist berjalan ke arah Singto yang terlihat diam saja daritadi.

Singto tak menjawab Krist, ia hanya mengusak rambut Krist.

“Ih mas! Kenapa diberantakin lagi sih?” Krist menyingkirkan tangan Singto dari rambutnya lalu merapikan kembali rambutnya.

“Lagian ngapain sih rapi rapi? Kayak mau ketemu gebetan aja!”

“Cemburu ya?” Tanya Krist sambil memberi senyum jahil.

“Iyalah! Kamu itu cuma boleh manis sama aku doang.” Singto memeluk pinggang Krist dengan posesif.

“Iya cuma sama mas aja kok.” Krist mengalungkan lengannya di leher Singto dan mengecup bibir Singto sekilas.

“Kamu cancel ajalah ketemuannya aku mau kelon sama kamu.” Kata Singto sambil mengecupi leher putih mulus Krist.

“Gak! Ayo, temen aku udah nunggu.” Krist melepaskan diri dari rengkuhan Singto lalu menariknya keluar.

Selama perjalanan Krist hanya diam menatap ke luar jendela tidak seperti biasanya. Singto yang sadar dengan perubahan sikap Krist pun heran.

“Dek? Kamu kenapa?”

“...” Krist masih terdiam, melamun.

“Krist?”

“Ah.. mas panggil aku?”

“Iya, kamu kenapa? Lagi ada masalah?”

“Nggak kok, adek lagi cape aja.”

“Beneran?”

“Iya mas.” Kata Krist sambil tersenyum manis ke arah Singto.

“Oke.”

Setelah beberapa menit menyetir, akhirnya mereka berdua sampai di cafe tempat Krist janjian dengan temannya.

“Namtan!” Panggil Krist.

“Krist! Hai!” Kata Namtan sambil menghampiri Krist dan Singto.

“Namtan ini Singto, pacar gw dan mas ini Namtan.” Kata Krist, mencoba memperkenalkan mereka berdua.

“Namtan.” Kata Namtan sambil mengulurkan tangannya.

“Singto.” Kata Singto sambil membalas jabatan tangan Namtan.

“Ayo kita duduk terus pesen sesuatu.” Namtan mengajak mereka duduk ke kursi yang tadi Namtan sempat tempati sambil menunggu mereka.

Namtan memanggil salah satu pelayan disana dan memesan berbagai macam makanan.

“Ditraktir nih?” Tanya Krist

“Iyalah, anggep aja reuni.” Jawab Namtan

“Kamu tau gak Namtan ini model lho.” Kata Krist kepada Singto.

“Oh ya?”

“Iya! Keren kan? Mangkannya gak heran dulu dia primadona kampus.”

“Oh wow...” Kata Singto tapi dengan muka datar.

“Biasa aja sih.” Kata Namtan

“Ih apaan yang biasa? Lu tuh disukain hampir sama semua cowok di kampus! Eh, sama kayak Mas Singto ya? Dulu Mas Singto juga terkenal, dia idola para cewe dan cowok.”

Singto mengerutkan dahinya dan memandang tajam ke arah Krist. Krist mencoba menghiraukan tatapan Singto dan lanjut berbicara.

“Gw yakin kalo kalian sekampus terus pacaran pasti terkenal banget. Bisa jadi power couple.” Kata Krist sambil tertawa geli.

“Dek.” Kata Singto dengan sedikit keras.

“Apa? Kan bener, mas! Kalian itu cocok tau kalo diliat dari tampilannya yang satu cantik yang satu ganteng.” Krist menatap Singto sambil tersenyum kecil.

“Ehem.. makanan udah dateng nih.” Kata Namtan, mencoba memecahkan ketegangan antara Krist dan Singto.

Mereka makan dengan hening Krist maupun Singto tidak ada yang berniat membuka suara.

“Gimana makanannya enak gak?” Tanya Namtan dengan ragu.

“Enak nih! Sukses juga ya lu buka cafe.”

“Iya dong! Namtan gitu loh.”

Semua tertawa kecuali Singto yang hanya makan dalam diam. Krist yang melihat itu pun menyenggol lengan Singto.

“Enak gak mas?” Tanya Krist

“Iya.”

“Namtan itu juga jago masak lho! Gila pokoknya yang jadi pacar dia bakal tercukupi deh.” Kata Krist dengan semangat.

Singto membanting sendoknya lalu berdiri dengan sedikit kasar.

“Aku ijin ke toilet dulu.”

Singto pergi ke toilet meninggalkan Krist dan Namtan berdua. Setelah beberapa menit yang terhitung lama, akhirnya Singto kembali.

“Makasih ya Nam! Gw kayaknya mau langsung pulang aja.”

“Iya..” Kata Namtan sambil melirik ke arah Singto.

“Ayo kita pulang mas.” Kata Krist sambil menarik lengan Singto.

“Pulang ya Nam! Inget janjinya!” Kata Krist dengan sedikit teriak.

“Iya..” Jawab Namtan.

Krist dan Singto masuk ke dalam mobil. Singto yang sudah terduduk di kursi pengemudi masih belum menunjukan tanda-tanda ingin menyalakan mesin.

Krist tahu benar Singto sedang emosi karena itu sekarang ia memilih diam dan memandang ke depan.

“Maksud kamu apa?” Tanya Singto

“Hm?”

“Maksud kamu apa ngomong gitu?”

“Ngomong apa? Aku gak ngomong apa apa.”

“Gak ngomong apa apa?” Kata Singto sambil menatap Krist tajam

Krist masih tidak berani menatap Singto jadi ia mengalihkan pandangannya ke kakinya.

“Adek! Liat mas!”

Dengan hati-hati Krist melirik ke arah Singto yang telah menunjukan raut muka marah serta kecewa.

“Jawab.”

“Adek cuma berucap fakta mas.”

“Denger ya, mas gak suka kamu berandai-andai mas pacaran sama orang lain selain adek.” Kata Singto dengan nada lebih lembut dari sebelumnya.

“Tapi mas emang cocok sama Namtan.”

“ADEK!” Bentak Singto sambil memukul keras stir mobilnya.

“...” Krist terkejut baru kali ini Singto membentaknya.

“Kamu tuh kenapa sih?! Salah apa mas sama kamu?!”

“Maaf.. mas”

Tiba-tiba kepala Krist terasa sakit dan Krist pun menjambak rambutnya dengan keras, berharap dapat menghilangkan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi. Singto yang tadinya marah langsung khawatir melihat kekasihnya kesakitan.

“Dek? Adek kenapa?” Singto mencoba menghentikan tangan Krist yang terus-menerus menjambak rambutnya sendiri.

“Jangan dijambakin gini sayang. Kita ke rumah sakit ya. Mas minta maaf karena udah marah-marah. Kamu kenapa dek?” Kata Singto dengan nada panik.

Tiba-tiba terlihat darah keluar dari hidung Krist, darah tersebut terus mengalir hingga mengotori baju putih milik Krist.

“Ayo kita ke rumah sakit aja.”

Singto sudah bersiap-siap untuk menyalakan mesin mobil dan pergi ke rumah sakit tapi Krist menahannya.

“Anter aku pulang mas.” Kata Krist dengan nada lemah dan dengan darah yang tak berhenti mengalir.

“Gak. Kamu harus ke rumah sakit.”

Please mas, adek mimisan karena kurang tidur aja.”

“Tapi-”

“Adek mohon mas… kita pulang aja ya.” Krist menggenggam tangan Singto, mencoba meyakinkannya bahwa ia baik-baik saja.

“Iya..”

Singto pun melajukan kendaraannya ke arah condo mereka. Sesampainya di rumah, Krist langsung menyumpal hidungnya dan meminum obat sakit kepala.

“Adek.. kamu yakin gamau ke rumah sakit aja?”

“Gausah mas… adek baik-baik aja kok cuma kecapean aja.”

“Mas takut… jangan tinggalin mas.” Singto memeluk erat Krist.

“...” Krist terdiam dengan beberapa tetesan air mata keluar dari pelupuk matanya.

“Tidur yuk, tadi katanya kamu kecapean kan?” Singto menghapus air mata Krist.

Krist mengangguk lucu lalu Singto menarik Krist ke kamar mereka. Singto merebahkan diri terlebih dulu lalu membuka lengannya.

“Sini peluk mas.”

Krist pun berjalan ke arah kasur, merebahkan kepalanya di lengan Singto lalu mengalungkan tangannya ke leher Singto dan Singto memeluk pinggang Krist dengan tangan satunya.

Krist mengambil cuti beberapa hari untuk memulihkan kembali kondisinya. Selama di rumah Singto terus merawatnya dengan baik.

———

Singto baru saja pulang kerja, ia sudah lebih dari siap untuk pulang ke kekasihnya dengan harapan dapat mengurangi kelelahannya. Tiba-tiba Singto melihat Krist memasuki sebuah taxi

“Adek mau kemana malam begini?” Kata Singto pada dirinya sendiri.

Mobil Krist mulai melaju ke jalan raya. Singto khawatir karena kondisi Krist belum sepenuhnya pulih jadi akhirnya dia memutuskan untuk mengikuti mobil Krist dari belakang.

Krist terlihat turun dan menghampiri seorang perempuan. Perempuan itu tidak terlihat asing bagi Singto, ia tau siapa perempuan itu.

“Buat apa ketemuan sama Namtan malem begini?” Gumam Singto

Singto akhirnya memutuskan untuk turun dan menghampiri mereka. Namun, ia tiba-tiba berhenti setelah mendengar ucapan Krist.

“Gw udah rencanain semua buat elu. Elu tinggal dateng dan menikmati kencan elu sama Singto.”

“Kenapa gw begini? Gw udah bosen sama dia. Gw udah gak cinta lagi sama dia. Gw tau elu suka sama Singto jadi mending dia buat elu aja.”

“Ayo kita pulang.” Singto tiba-tiba menarik tangan Krist untuk masuk ke mobil.

Selama perjalanan tidak ada yang berani membuka suara. Masing-masing berkecamuk dengan pikiran masing-masing.

Mereka masuk ke condo mereka, masih dengan keheningan yang menusuk seperti bom waktu.

“Maksud kamu apa?” Singto akhirnya membuat suara.

“Apanya?”

“Maksud kamu apa jodohin aku ke Namtan?”

“Oh mas denger? Ya berarti udah tau alasannya.”

“Jelasin ke aku.”

“Gak ada yang perlu dijelasin lagi mas. Adek udah bosen sama mas. Adek udah gak cinta lagi sama mas.”

“Kita 4 tahun bareng Krist!”

“Ya terus? 4 tahun itu cuma angka.”

Singto menghampiri Krist dan menggenggam tangannya erat.

“Kamu bohong kan?”

“Buat apa bohong?”

“Ngomong lagi tapi kali ini tatapan aku.”

Krist menarik napasnya dalam-dalam lalu menatap langsung ke mata Singto.

“Aku udah gak cinta lagi sama kamu Singto.”

Deg.

Retak.

Singto patah. Terlihat sebuah luka dari tatapannya. Tangan yang menggenggam Krist kini mendingin.

“Aku.. salah apa?” Tanya Singto dengan sedikit bergetar.

“Gak ada. Aku emang udah gak cinta aja.”

“Sayang..” Singto memeluk Krist tapi beberapa saat kemudian Krist mendorongnya keras.

Singto terkejut, matanya melebar menunjukan bahwa dia benar-benar terluka.

“Kenapa… Krist? Kenapa…”

Singto mendekat lagi, menatap Krist sedalam mungkin lalu mengusap pelan pipi Krist.

“Mas sayang banget sama adek…”

Krist menggenggam tangan Singto yang berada di pipinya lalu menghempaskan tangan itu dengan kasar.

“Adek…” Singto mulai meneteskan air mata yang sedari tadi dia coba tahan.

“Jangan panggil aku adek lagi.”

“Dek.. jangan please..” Singto mendekatlagi mencoba menggenggam tangan Krist

“Kita putus.”

Singto langsung berpegangan dengan meja di sampingnya, kakinya tak kuat menopang luka-luka yang tiba-tiba muncul. Singto tiba-tiba mendengar Krist terisak dan terlihat bahunya bergetar.

Singto mendekat ke arah Krist, menaikkan kepala Krist yang sempat tertunduk.

“Benci ya sama mas?”

Tangis Krist semakin keras.

“Cup cup cup gak boleh nangis. Iya mas pergi…” Kata Singto dengan nada lemah.

Singto pergi ke kamar mereka, kamar yang telah menemani 3 tahun mereka bersama. Ia mengambil bingkai foto di samping kasur mereka.

Mereka terlihat bahagia di foto itu… tertawa lepas.. menyampaikan pesan cinta untuk satu sama lain…

What happened? Does it mean nothing?

Singto tersenyum pahit, ia harus mengakhiri semuanya. Semua kebahagiaannya harus berhenti sampai disini. Singto mengambil tas lalu memasukkan sebuah barang-barangnya ke dalam.

Ia melepaskan cincin pada jarinya, cincin yang dipakai mereka sebagai janji untuk selalu bersama. Ia meletakkan cincin itu di meja samping kasur lalu pergi ke luar.

Singto sekali lagi memeluk Krist yang masih mematung di tempat. Ia tersenyum lembut, menangkup kedua pipi Krist lalu mengecup pelan mata Krist dan menghapus setiap air mata yang keluar dari mata Krist.

“Ini mas mau pergi.. ad- Krist gak boleh nangis lagi.” Singto mengusap pelan pipi mantan kekasihnya

Singto mulai berjalan ke arah pintu, ia berhenti sebentar lalu menengok ke belakang dan menatap Krist penuh cinta.

“Bahagia terus ya dek..”

Setelah kalimat terakhir itu, Singto melangkah pergi keluar pintu. Singto tidak kuat untuk berjalan lebih jauh meninggalkan cintanya. Ia pun terduduk di depan pintu sambil terisak.

———

Sudah seminggu semenjak Krist dan Singto berpisah. Hidup Singto tidak membaik sama sekali lebih tepatnya memburuk. Ia kembali merokok dan jadi suka mabuk-mabukkan.

Suatu hari Singto memutuskan untuk pergi ke jembatan tempat awal Krist dan Singto menulis kisah cinta mereka.

“Will you be my forever?” Kalimat yang Singto sebutkan di bagian pendahuluan dari buku cinta mereka.

“There’s never a forever…” Kata Singto sambil tertawa pahit.

Singto menghela napas sambil meneteskan sedikit air matanya yang lama kelamaan semakin banyak, semakin deras bersamaan dengan luka yang terbuka.

“Cape.. banget aku.. tanpa kamu.” Singto memandang ke arah air di bawah jembatan

Sebuah pikiran buruk terlintas di benak Singto, ia mulai menginjak besi pada pinggiran jembatan. Ia mulai berdiri di pinggir pantai sambil melihat ke bawah.

Tiba-tiba..

“SINGTO! JANGAN!” Teriak Namtan sambil menarik Singto turun dari jembatan.

“LU GILA YA?! MAU MATI HAH!” Namtan mengguncangkan tubuh Singto dengan kasar, mencoba membuatnya sadar dari kebodohannya

“Bukannya memang gw udah mati? Gw udah mati rasa..” Kata Singto dengan menatap ke arah Namtan.

Tatapan itu kosong… mati rasa..

“Krist bakal sedih elu begini!”

“Dia gak akan peduli sama gw.”

Singto menarik napas dalam dalam lalu berucap,

“Dia udah gak.. cinta lagi sama gw.” Kata Singto dengan nada lemah.

Namtan terlihat berpikir keras dan dengan segala keraguan dia berkata,

“Dia bohong..”

“Hah?”

“Dia bohong Singto..”

Flashback ON

“Kenapa lagi sih kepala gw? Sakit banget yaampun.” Kata Krist sambil memukul-mukul pelan kepalanya.

“Ke rumah sakit aja Krist.” Kata salah satu rekan kerja Krist.

“Udah, hari ini gw ambil hasil lab.”

“Moga gak kenapa-kenapa ya.”

“Iya, Amin!”

Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Krist langsung bergegas ke rumah sakit untuk mengambil hasil labnya.

“Tuan Krist Perawat.” Panggil salah satu perawat di rumah sakit itu.

Krist berjalan masuk ke ruangan dokter lalu duduk di hadapan dokter yang sedang memegang hasil lab miliknya.

“Bagaimana hasilnya dok?” Tanya Krist

“Begini..” Dokter menghela napas.

“Terdapat tumor yang telah menjadi kanker di kepala anda..”

“Hah?” Krist terkejut.

“Salah dua cara untuk menahan penyebaran kanker tersebut adalah dengan kemoterapi atau operasi otak.”

Krist terdiam. Pikirannya kosong, tak mampu mencerna segala perkataan dokter dihadapannya.

“Anda bisa pikirkan terlebih dahulu tapi kalau bisa secepatnya sudah diputuskan karena sepertinya penyebarannya cukup cepat.”

“Ba..baik dok. Terima kasih.” Krist mengambil hasil labnya lalu berjalan keluar.

Krist masuk ke dalam mobilnya dan menatap kosong amplop yang digenggamnya. Ia harus apa sekarang?

Krist pulang dengan langkah lemah, ia membuka pintu condonya.

“Eh sayangnya aku udah pulang.” Kata Singto sambil merengkuh pinggang ramping kekasihnya.

“Ma..mas kok udah pulang jam segini? Tumben..”

“Iya tadi mas sempet demam jadi mas ijin pulang lebih cepet.”

“Kok bisa demam sih?” Krist menempelnya punggung tangannya ke dahi Singto untuk mengecek suhunya.

“Biasalah kecapean begadang.”

“Adek kan udah bilang sama mas buat jaga kesehatan sekarang kalo begini siapa yang repot?”

“Kan selalu ada adek yang rawat mas.”

Raut Krist langsung berubah sedih seketika membuat Singto heran.

“Kenapa dek?”

“Gapapa… lagi banyak masalah di kantor. Yaudah kita tidur yuk, biarin aku mandi dulu abis itu aku kompress dahi kamu.”

“Emang pacar aku paling perhatian.” Singto mengecup pipi Krist gemas.

Selama di kamar mandi, Krist tak berhenti berpikir bagaimana nasib Singto jika suatu saat ia pergi?

Krist menghabiskan sebagian besar waktunya melamun. Singto yang merasa Krist terlalu lama di kamar mandi pun khawatir.

“Adek! Kamu kenapa lama? Adek kenapa?” Teriak Singto.

Lamunan Krist seketika buyar akibat teriakan Singto, tak mau membuat kekasihnya khawatir akhirnya ia dengan cepat menyelesaikan mandinya dan pergi keluar.

“Adek kenapa? Lagi banyak masalah? Mau cerita?” Singto membombardir Krist dengan berbagai pertanyaan saat melihat Krist keluar dari kamar mandi.

“Gapapa mas.. cuma lagi cape aja.” Krist tersenyum kecil ke arah Singto.

“Adek kalo ada apa apa cerita aja.” Singto menggenggam tangan Krist yang dingin.

“Iya.. adek gapapa kok. Adek mau pake baju dulu baru abis itu kompres mas.”

Singto merebahkan diri lalu Krist duduk di pinggiran kasur dan mengambil kain yang telah dicelupkan ke air. Kain itu diperas dengan telaten lalu diletakkan di atas dahi Singto.

“Mas gak boleh sering sakit begini… nanti yang ngerawat siapa?”

“Ya kamulah dek. Mas selama ada adek pasti baik-baik aja.”

“Kalo adek gak ada gimana..” Kata Krist dengan suara kecil tapi masih dapat didengar Singto.

“Kok ngomongnya gitu? Adek gak niat ninggalin mas kan?”

“Ya kita kan gak pernah tau kedepannya gimana mas…”

“Mas akan berdoa dengan keras buat bisa hidup sama adek sampe maut memisahkan.”

Krist tersenyum pahit lalu berkata,

“Sampe maut memisahkan.” Kata krist dengan suara kecil.

———

Semakin hari sakit kepala Krist semakin menjadi-jadi sampai-sampai obat penahan sakit menjadi makanan setiap harinya.

“Lu kenapa Krist?” Tanya rekan kerja Krist

“Sa...sakit ba..nget..”

“Gw harus gimana? Mau ke rumah sakit aja?”

“O..obat gw..tolong..shhh”

Rekan kerja Krist yang bernama Gun pun bergegas mencari obat yang Krist maksud dan setelah menemukan sebuah obat yang bertuliskan “Obat Penahan Sakit” Gun langsung menyodorkan obat tersebut serta segelas air mineral.

Krist sudah meminum obat itu tapi tidak tau kenapa sakit kepalanya tak kunjung berhenti.

“ARGHHHH SAKITT” Krist menjambak rambutnya dan berteriak kesakitan.

“Krist! Gw minta surat ijin pulang aja ya. Tunggu sebentar.” Gun berlari keluar ruangan

Saat sedang menjambak rambutnya, tiba-tiba terasa sebuah cairan menetes dari hidungnya. Krist terkejut karena terdapat noda merah di baju putihnya.

“Darah..” Krist dengan cepat keluar dan pergi ke toilet.

Ia mencoba menghapus darah yang terus mengalir dari hidungnya dengan tangannya. Bajunya yang putih bersih juga kini berlumuran darah.

Krist memandangi tangannya yang penuh darah, ia mulai terisak pelan. Apa salah dirinya hingga ini terjadi? Ia harus apa sekarang..

Setelah beberapa saat, akhirnya darah itu berhenti mengalir.

“Krist?! Lu di dalem ya? Pintunya kok dikunci? Lu gapapa?” Teriak Gun dari luar.

Krist dengan cepat menghapus air matanya dan mencuci darah pada tangannya. Ia juga berusaha menghilangkan noda merah di bajunya. Namun, nihil noda merah itu malah menyebar.

“Krist! Jawab gw!” Teriak Gun dengan panik.

Dengan noda merah yang belum sepenuhnya hilang, Krist pun keluar.

“Lu kenapa lama banget di toilet? Ini kenapa merah semua baju elu? Lu mimisan?” Tanya Gun.

“Nggak, tadi pas gw nahan sakit gw nyenggol minuman sirup gw dan kena baju.”

“Beneran?” Tanya Gun dengan curiga.

“Bener.” Jawab Krist dengan mantab.

“Ini surat ijin elu, mending lu pulang dan istirahat.”

“Iya, makasih banget Gun.”

“No problem.”

Krist pulang ke condonya dan melihat Singto tertidur di sofa. Beberapa hari ini Singto memang tidak pergi ke kantor untuk memulihkan badannya.

“Aku harus apa mas?” Kata Krist dengan suara kecil

Krist mulai meneteskan air mata. Namun, dengan cepat menghapusnya setelah melihat Singto terbangun dari tidurnya.

“Adek kok udah pulang jam segini?”

“Iya, disuruh pulang lebih cepet tadi.” Krist menunjukan senyuman manisnya

“Sayang bajunya kenapa?”

“Tadi aku gak sengaja nyenggol minuman temen.”

“Pacar aku ceroboh banget sih.” Kata Singto sambil mengusak kepala Krist.

“Aku mau mandi dulu ya lengket soalnya.”

“Iya sana mandi sana.”

“Mas gimana keadaannya?” Krist mengecek suhu Singto dengan tangannya.

“Udah sembuh, besok aku masuk kerja lagi.”

“Ok.. mas aku boleh minta tolong beliin sesuatu ke supermarket depan gak? Aku kasi catetannya.”

“Boleh kok.”

“Makasih ya mas, aku mau mandi dulu.”

“Iya sayang.”

Krist pun pergi ke kamar mandi untuk mandi. Selama di kamar mandi, ia tak berhenti termenung. Pikirannya penuh dengan Singto. Singto butuh seseorang, Krist butuh seseorang untuk menggantikan posisinya.

Krist tiba-tiba teringat sesuatu ia pun menelepon temannya dan mengajaknya untuk ketemu sebentar. Setelah menghubungi temannya, Krist menghubungi Singto.

Krist POV

(Notes: Italic = Omongan dalam hati Krist)

Aku dengan cepat menyelesaikan mandiku lalu menyisir rambutku. Saat sedang menyisir tiba-tiba Singto masuk ke kamar tapi tidak berucap apapun.

Aku tertawa dalam hati, aku tahu pacarku seorang yang posesif. Singto merusak rambutku yang telah ku tata rapi.

Malam ini aku mengajak Singto untuk bertemu dengan seorang teman. Ku perkenalkan mereka dua. Aku memang pintar memilih orang, mereka terlihat cocok.

Aku mulai menonjolkan sisi baik dan hebat dari temanku kepada Singto bahkan aku terang-terangan berkata bahwa mereka berdua akan sangat cocok jika pacaran.

Aku tahu Singto gak suka dengan pernyataanku tapi aku hiraukan saja. Pernyataan keduaku membuatnya marah, ia akhirnya pergi meninggalkan aku dan temanku. Sesuai dengan rencana.

“Lu gila ya ngomong gitu ke Singto!” Kata Namtan kepadaku.

“Gw butuh bantuan elu.”

“Apa?”

“Lu harus pacaran sama Singto.”

“Lu gila ya! Fix lu gak waras.” Namtan menatapku dengan tatapan tidak percaya.

“Tolong Nam.. lu harus bantu gw.”

“No. Lu gila Krist!”

“Gw tau elu pernah pacaran sama Singto waktu SMP. Gw tau elu pura-pura gak kenal sama Singto.”

“Lu… tau?”

“Iya. Gw tau semuanya karena itu gw minta tolong sama elu.”

“Kenapa lu tiba-tiba begini? Lu udah gak cinta sama Singto? Mending putus aja Krist daripada elu giniin.”

“Gw cinta dia karena itu gw harus lakuin ini.”

“Lakuin apa?”

“Lepas dia..”

“Kenapa? Dia salah apa?”

“Hidup gw gak lama Nam..”

“Maksud elu?” Namtan menatapku dengan tatapan khawatir.

“Kanker otak stadium 3.” Aku menatapnya sambil tersenyum tulus.

Namtan terlihat membeku, tak mampu membuka mulutnya kembali.

“Singto orangnya pelupa Nam.. dia suka lupa tempat dia taruh barang.” Aku tertawa kecil.

“...”

“Singto itu pekerja keras sampe sering lupa makan padahal dia punya maag.”

“...”

“Singto paling gak bisa masak. Dia selalu butuh orang buat masakin dia sarapan.”

“...”

“Singto.. juga manja apalagi kalo lagi sakit.. dia maunya dipeluk.” Aku menghapus air mata kecil yang mulai menetes di mataku.

“...”

“Gw yakin elu mampu menggantikan posisi gw Nam. Lu penyayang, perhatian, jago masak.”

“Tap-“

“Gw butuh bantuan elu…”

“Gw gak akan bisa gantiin posisi elu di hati dia.”

“Gw bakal atur semuanya.. gw yakin lu bisa nyi..nyingkirin gw dari hati dia.” Sedikit rasa sesak hinggap.

“Krist..”

“Singto udah balik, lu harus janji buat bantu gw Nam.”

“Krist gw-“

“At least jaga dia buat gw. Please…” Aku menggenggam erat tangan Namtan untuk meyakinkannya.

“...”

“Gw butuh seseorang buat gantiin posisi gw.”

“Ok..”

Jujur, bukan rasa lega yang hinggap tapi rasa sakit. Aku harus siap melepaskan dia.

“Makasih..”

Singto akhirnya balik dari kamar mandi. Aku mengajaknya pulang dan mengingatkan kembali janji Namtan.

Saat di mobil, suasana kembali menegang. Singto seperti enggan untuk menyalakan mobil.

“Maksud kamu apa?” Singto tiba-tiba membuka suara.

Aku mencoba berpura-pura tidak tahu dengan apa yang membuatnya begitu marah. Aku tidak berani menatapnya, aku tahu dia kecewa dengan omonganku.

“Jawab.” Singto menuntut Jawaban dariku.

“Adek cuma berucap fakta mas.”

“Denger ya, mas gak suka kamu berandai-andai mas pacaran sama orang lain selain adek.”

“Tapi mas emang cocok sama Namtan.”

Tiba-tiba Singto membentakku..

Aku mengucapkan maaf setelah tahu Singto benar-benar marah dan kecewa. Namun, tiba-tiba terdengar sebuah suara dengungan dan kepalaku jadi sangat amat sakit.

ARGHHH SAKIT YA TUHAN TOLONG AKU

Tidak terasa cairan merah segar itu keluar lagi dari hidungku dan kali ini Singto melihatnya. Singto berubah panik dan ingin membawaku ke rumah sakit.

Singto gak boleh tahu.

Please mas, adek mimisan karena kurang tidur aja.”

Aku terpaksa berbohong, aku ingin cepat pulang saja agar dapat cepat minum obat. Setelah memohon kepada Singto, akhirnya kita pulang ke rumah. Sesampainya aku di rumah, aku langsung menyumpal hidungku dan meminum obat.

Singto masih terlihat khawatir tapi aku terus mencoba meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja.

“Mas takut… jangan tinggalin mas.” Singto memelukku

Deg.

Nyatanya aku harus ngelepasin kamu sebentar lagi mas. Tak kuat aku pun meneteskan air mata.

Singto menghapus air mataku dan mengajakku tidur.

Hari-hari berikutnya aku pakai untuk istirahat dan menjalankan rencanaku. Hari ini aku janjian untuk ketemu lagi dengan Namtan.

Aku pergi naik taksi dan menemui Namtan di depan cafenya. Sedikit menyampaikan kabar masing-masing lalu aku mulai menyampaikan rencanaku.

“Gw udah rencanain semua buat elu. Elu tinggal dateng dan menikmati kencan elu sama Singto.”

“Ada Singto woi! Gimana nih?” Bisik Namtan.

Apa ini waktu yang tepat? Gw udah harus siap.

“Kenapa gw begini? Gw udah bosen sama dia. Gw udah gak cinta lagi sama dia. Gw tau elu suka sama Singto jadi mending dia buat elu aja.”

“Lu ngapain anjir Krist? Singto kesini woi!” Bisik Namtan dengan nada panik.

“Ayo kita pulang.” Singto tiba-tiba menarik tanganku.

Selama perjalanan, tidak ada yang berbicara. Aku terlalu sibuk dengan pikiranku hingga tak menyadari kita sudah sampai.

Apa yang aku lakuin ini bener. This is the time.

Author POV

(Notes: Italic = Isi Hati Krist)

“Maksud kamu apa?”

“Apanya?”

“Maksud kamu apa jodohin aku ke Namtan?”

“Oh mas denger? Ya berarti udah tau alasannya.”

“Jelasin ke aku.”

“Gak ada yang perlu dijelasin lagi mas. Adek udah bosen sama mas. Adek udah gak cinta lagi sama mas.”

Aku cinta kamu mas. Aku lakuin ini buat kamu. Maaf mas.

“Kita 4 tahun bareng Krist!”

“Ya terus? 4 tahun itu cuma angka.”

4 tahun is everything

“Kamu bohong kan?”

“Buat apa bohong?”

“Ngomong lagi tapi kali ini tatapan aku.”

Krist menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan semua rasa sesak dan berkata,

“Aku udah gak cinta lagi sama kamu Singto.”

Sakit.

Hati Krist ikut sakit, ia melihat Singto terluka dan semua karena dirinya. Tangan Singto yang sedang menggenggamnya mendingin.

Ia ingin menghangatkannya tapi ia tahu dingin itu berasal dari hatinya dan ia tak mampu menghangatkannya lagi karena ia harus siap-siap melepaskannya dengan segala luka yang ada.

“Aku.. salah apa?” Tanya Singto dengan sedikit bergetar.

Krist yang mendengar getaran dari suara Singto merasa bersalah tapi ia harus kuat.

“Gak ada. Aku emang udah gak cinta aja.”

“Sayang..” Singto memeluk Krist

Aku pengen begini aja terus boleh gak sih Tuhan? Ijinin aku buat peluk dia lebih lama. Gak boleh ya?

Krist tersenyum sedih di pelukan Singto lalu dengan keras mendorongnya. Krist melihat mata Singto memancarkan luka, ia ingin sekali memeluknya lagi tapi ia menahan diri.

Krist berhasil menahan dirinya sampai..

“Mas sayang banget sama adek…”

Hancur semua pertahanan yang ia bangun. Krist menghempaskan tangan yang mengusap pipi. Ia harus kuat. Harus bertahan.

“Adek…”

“Jangan panggil aku adek lagi.”

“Dek.. jangan please..”

Aku harus kuat. Harus bisa.. harus bisa lepasin.

“Kita putus.”

Seketika hati Krist ikut patah bersamaan dengan hubungan yang baru saja ia hancurkan. Krist tak kuat lagi, ia pun terisak.

“Benci ya sama mas?”

Nggak mas nggak! Tangis Krist semakin keras.

“Cup cup cup gak boleh nangis. Iya mas pergi…”

Gamau.. jangan pergi mas.

Setelah mengatakan itu Singto pergi ke kamar mereka untuk mengemasi barang-barangnya. Krist sedari tadi tidak berhenti menangis dan terus memukuli dadanya yang sesak.

Singto akhirnya keluar dengan beberapa tas di genggamannya. Ia menghampiri Krist lalu menghapus air matanya.

“Bahagia terus ya dek..”

Setelah kalimat terakhir itu, Singto melangkah pergi keluar pintu dan Krist langsung terjatuh ke lantai. Ia menangis dengan keras.

“ARGH! MAS SINGTO MAAFIN ADEK!” Teriak Krist dengan kesakitan.

Setelah sekitar mungkin setengah jam menangis, Krist memutuskan untuk tidur saja di kamar. Saat sedang duduk di pinggiran kasur, Krist kembali terisak.

Ia mengambil cincin Singto dan kembali menangis. Sakit sekali ya Tuhan. Sakit banget melepaskan seseorang yang kamu cintai.

Flashback OFF

Singto akhirnya sadar setelah beberapa saat melamun dan langsung pergi ke condo mereka, meninggalkan Namtan di jembatan itu.

“Adek!” Panggil Singto

Condo itu hening dan sunyi seperti tidak ada yang meninggali. Singto langsung lari ke dalam kamar mereka dulu.

“Adek!” Panggil Singto lagi.

Singto berjalan ke arah gumpalan selimut lalu membukanya paksa.

Saat Singto membuka selimut itu terlihat Krist sudah dalam keadaan lemah tak berdaya dengan kain yang sudah penuh dengan darah.

“Adek! Adek kenapa sayang?” Singto dengan bergetar menepuk-nepuk pelan pipi Krist.

Singto dengan cepat mengambil handphonenya lalu memanggil ambulance.

“Adek bangun sayang… maafin mas.” Singto tak berhenti mengguncang pelan tubuh Krist.

Tidak lama kemudian, petugas rumah sakit datang untuk menjemput Krist. Krist dimasukkan ke dalam ambulance.

Selama perjalanan Singto tak berhenti meminta maaf dan menggenggam tangan Krist.

“Sayang.. bertahan ya. Nanti pas kamu bangun kita liburan aja biar kamu gak stress, ya sayang?” Singto meneteskan air matanya.

Tiba-tiba Krist terbangun dan langsung memegang kepalanya.

“Sa..kit..”

“Iya sayang sebentar lagi nyampe, bertahan please buat aku.”

“Mas.. adek.. minta maaf.” Kata Krist dengan terbata-bata akibat sambil menahan sakit.

“Kamu gak salah.. aku gapapa. Kamu harus kuat ya.”

“Ka..lo adek.. gak-“

Krist terbatuk-batuk hingga keluar sedikit bercak darah.

“Sayang gausah ngomong apa-apa. Kamu istirahat aja ya.”

“A..dek.. sa..yang.. m..as.”

“Mas juga sayang adek. Adek harus kuat, harus bertahan. Mas janji gak akan ninggalin adek lagi, gak akan pernah.” Singto menggenggam erat tangan Krist dengan air mata yang tak berhenti mengalir.

Krist mengangkat tangannya lalu mengusap air mata Singto. Singto meletakan tangan Krist di pipinya.

Tiba-tiba tangan Krist terkulai lemas dan Krist menutup matanya rapat.

“Adek! Adek bangun sayang! Adek please!” Singto panik, panik sekali.

Ambulance akhirnya berhenti lalu dengan cepat memasukkan Krist ke ruang pemeriksaan dokter. Singto tidak boleh masuk ke ruang pemeriksaan jadi dia harus menunggu di luar.

“Tuhan, Singto mohon jangan ambil Krist lagi. Kalo bisa berikan saja nyawa aku ke dia.”

Singto tidak berhenti khawatir, ia terus bergerak gelisah hingga akhirnya dokter keluar.

“Bagaimana dok?”

“Keadaannya sudah membaik tapi kanker dia harus segera diatasi sebelum menyebar lebih cepat.”

“Apa yang bisa saya lakukan dok?”

“Anda harus bisa meyakinkan pasien untuk melakukan kemoterapi atau operasi otak secepatnya. Namun, karena operasi otak terlalu beresiko saya lebih menyarankan ikut kemoterapi saja. Walau memang belum tentu sembuh total tapi setidaknya kita sebagai manusia sudah mencoba dan selebihnya kita serahkan kepada Tuhan.”

“Baik dok akan saya usahakan, terima kasih.”

Singto masuk ke ruangan tempat Krist berbaring. Ia mengambil kursi lalu duduk di sebelah kasurnya. Ia menggenggam erat tangan Krist.

“Sayang, gimana rasanya sekarang?” Singto membelai kepala Krist dengan lembut.

“Udah baik.” Kata Krist dengan lemah.

“Sayang, mulai sekarang jangan bohong lagi sama aku ya.”

“Maaf mas..”

“Gapapa, mas gapapa. Asal jangan tinggalin mas lagi ya.” Singto tersenyum.

Krist terdiam dan menatap ke langit-langit kamar berusaha menahan air mata. Bagaimana bisa ia tetap bertahan kalau suatu saat penyakitnya memintanya pulang?

“Adek.. dokter tadi saranin kemoterapi.”

“Adek takut.. dan adek tau kemoterapi belum tentu bisa sembuhin adek.. in the end adek tetep bakal pergi.”

“Hush! Gak boleh gitu.. kita harus coba dulu trus banyakin berdoa. Mas janji bakal temenin adek.”

“Mas bakal temenin sampe suatu saat nanti adek nyerah?” Mata Krist berkaca-kaca

“Iya..” Singto mencium pipi Krist.

“Jangan nyerah dek..” Gumam Singto

Krist akhirnya mau ikut kemoterapi dan sesuai janji Singto selalu menemaninya melewati masa-masa sulit itu.

“Mas.. adek jelek sekarang.” Kata Krist di depan cermin.

“Apanya yang jelek? Adek masih manusia termanis buat mas.”

“Rambut adek rontok.. adek botak.”

“Gapapa sayang, kamu masih manis kok. Masih jadi kesayangan aku.”

“Kalo mas mau tinggalin adek, adek gapapa kok. Mas bisa dapet yang lebih baik dari adek.” Krist menatap lantai kamar.

“Emang bisa kok nyari yang lebih baik dari kamu.” Krist langsung menatap Singto dengan tatapan sedih.

Singto yang melihat Krist sedih langsung merengkuh pinggang Krist.

“Tapi mas maunya Krist Perawat Sangpotirat gimana dong?”

Krist tersenyum manis dengan pipi yang merah merona.

“Mas bakal terus temenin kamu sampe nama kamu jadi Krist Perawat Ruangroj.” Singto tersenyum tulus sambil menempelkan dahinya pada dahi Krist

“Doain adek bisa sampe situ ya mas.” Krist tersenyum tulus sambil meneteskan sedikit air mata.

“Pasti.”

Sudah tidak terhitung berapa kali Krist mengikuti kemoterapi dan hari ini akan dilakukan pengecekan.

“Adek takut..”

“Gapapa sayang, mas disini.” Singto menggenggam erat tangan Singto.

“Saudara Krist Perawat, silahkan masuk.” Panggil salah satu perawat di rumah sakit itu.

Mereka berdua langsung duduk di depan dokter yang sedang memandang hasil CT Scan Krist. Muka dokter tidak menunjukan hal baik, ia terus mengerutkan dahi.

“Ba..bagaimana dok?” Krist tanya dengan ragu.

“Ini..”

Singto dan Krist menunggu dengan tidak sabar

“Ini luar biasa.”

Mereka langsung menatap satu sama lain dengan takut.

“Saudara Krist, selamat you’re cancer free.” Kata dokter dengan senyum yang lebar.

“PUJI TUHAN!” Teriak Krist dengan air mata yang mulai mengalir.

“Selamat sayang, you did it!”

No, we did it with God

“Makasih dok!” Singto menjabat tangan dokternya begitu pula Krist.

Setelah keluar dari ruangan, Krist langsung memeluk Singto dengan erat.

“Makasih udah gak nyerah sama aku! Makasih mas! I love you!”

“Anything for you. I love you too.”

Krist Perawat, 22 tahun. Ia biasa dijuluki sebagai ‘Krist Si Realistis’ karena ia paling benci bermimpi.

Orang selalu bertanya

“Krist apa cita-cita lu? Apa mimpi lu? Apa harapan elu?”

Ia selalu menjawab mereka

“Gw gak punya mimpi mending jalanin aja trus liat jalan gw arahnya condong ke mana.”

Singto Prachaya, 24 tahun. Ia disebut sebagai manusia paling bertanggung jawab karena Singto gak pernah ingkar janji.

Setiap janji yang dia buat selalu dia tepati apapun keadaannya dan bagaimanapun sulitnya.

Karena itu orang selalu bilang

“Kalo lu mau buat perjanjian, buatnya sama si Singto aja. Dia gak pernah ingkar janji.”

——————

Krist sedang melakukan rutinitasnya yaitu menyiapkan sarapan untuk sang pacar yang masih tertidur lelap di kamar mereka.

Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dan terlihatlah seorang laki-laki berkulit sedikit kecoklatan sedang mengusap matanya dan berjalan keluar dari kamarnya.

Singto berjalan ke belakang kekasihnya lalu memeluk pinggang ramping dan meletakan dagunya di bahu pacarnya.

“Dek hari ini kan libur... kita ke pantai yuk.”

“Serius mas?”

“Iya.. mas bosen di rumah terus pengen kencan sama kamu. Kamu gak lagi ada kerjaan kan dek?”

“Nggak kok, adek free hari ini.”

“Yaudah abis makan kita siap siap terus ke pantai.”

“Oke mas.” Kata Krist dengan nada bersemangat.

Mereka sarapan dengan penuh canda tawa seperti biasanya lalu segera berkemas dan melakukan perjalanan ke pantai yang biasa mereka kunjungi bersama.

Mereka sangat beruntung hari ini karena pantainya terlihat sepi hanya sekitar 6 orang termasuk mereka dan 4 orang lainnya itu sedang berkencan bersama pasangan mereka sama seperti Krist dan Singto jadi sudah pasti tidak akan mengganggu kegiatan kencan mereka berdua.

Saat sampai di pantai, Krist langsung keluar dari mobil dan berlari ke arah laut. Krist yang melihat Singto hanya berdiri di samping mobil sambil bermain HP pun menghampirinya.

“Mas, ayo masuk.” Kata Krist sambil menarik-narik tangan Singto.

“Iya sabar dek, jangan ditarik tarik gitu.”

Krist yang tidak sabar pun mengambil handphone Singto lalu berlari ke arah pantai

“Adek! Ih nakal ya!” Kata Singto dengan senyuman nakalnya sambil berlari mengejar Krist.

“Tangkep adek kalo bisa!” Teriak Krist sambil menjulurkan lidahnya ke arah Singto untuk meledeknya.

Saat Krist sudah berlari sedikit lambat karena kelelahan, Singto dengan cepat merengkuh pinggang Krist.

“Dapat kamu!”

“Hahaha mas! Adek jangan digelitikin!” Kata Krist sambil tertawa terbahak-bahak.

Tawa mereka pelan-pelan mereda dan meninggalkan sebuah keheningan yang nyaman di hati. Dengan posisi Singto memeluk Krist erat dari belakang dan Krist mengusap tangan Singto yang melingkar di pinggang mungilnya, mereka sama-sama menikmati pemandangan matahari yang mulai menunjukan warna jingga kemerahan.

“Mas tahu gak... adek itu salut banget sama ombak.”

“Kenapa?”

“Karena seberapa pun jauh mereka pergi, mereka akan selalu kembali pulang ke laut.”

“Mas juga salut sama matahari.”

“Kenapa mas?”

“Karena walau kadang kita mengejeknya panas atau menyebalkan, ia tetap setia menyinari dan menghangatkan kita.”

“...” Krist tersenyum lalu mengangguk.

“dek..” Kata Singto sambil melonggarkan pelukannya.

Krist yang dipanggil pun membalikkan badannya dan mengalungkan lengannya di leher Singto.

“Kenapa mas?”

“Adek bisa gak jadi kayak matahari?”

“Maksudnya?”

“Apapun yang terjadi dan sesulit apapun rintangan yang sedang adek hadapi... adek harus selalu tersenyum, harus selalu bersinar.”

“Itu gak realistis mas.. mana bisa manusia selalu tersenyum.”

“Adek harus bisa.”

“Yaudah adek mau kalo mas janji mas bakal kayak ombak.”

“Gimana tuh?”

“Mas harus janji apapun keadaannya mas akan selalu kembali ke adek.”

“Iya mas janji.”

Tiba-tiba suara petir terdengar sangat keras dan terdengar suara teriakan seseorang mengikutinya.

Orang itu terbangun setelah mimpinya yang buruk, ia melihat ke sekitarnya. Ternyata ia masih di tempat yang sama, ruangan bernuansa putih dengan jaket putih mengikatnya erat.

“Bagaimana keadaannya dokter?” Tanya seorang laki-laki paruh baya

“Seperti yang bapak lihat, dia masih tidak mau berbicara dengan siapapun. Dia suka teriak dan nangis sendiri di malam hari. Dia juga masih suka menyakiti diri sendiri sampai akhirnya harus diikat dengan straitjacket. Kalo sedang emosi atau marah, dia hanya menyebut satu nama secara berulang-ulang.”

“Siapa nama yang dia sebut dok?”

“Singto.”

Setelah keheningan beberapa saat, akhirnya laki-laki itu berucap lagi.

“Dok, sepertinya saya akan bawa pulang anak saya saja.”

“Tapi keadaan anak anda belum pulih.”

“Tidak apa-apa... saya tidak tega dok. Saya yakin dia lebih bahagia jika dia lepas dari sini.”

Setelah beberapa perdebatan, akhirnya dokter mengijinkan anak bapak itu pulang dengan syarat harus mengikuti terapi.

Laki-laki paru baya itu masuk ke ruangan tempat anaknya di rawat lalu berkata,

“Krist..”

“...” Krist masih terdiam sambil melihat ke kasurnya yang berwarna putih pucat.

“Ayo kita pulang nak..”

Papa Krist ternyata tidak membawa Krist langsung pulang tapi ia membawanya ke sebuah pantai. Pantai itu sepi bahkan kosong, tidak ada pengunjung yang datang.

Krist yang mengenali tempat itu langsung turun dari mobil dan berlari di atas pasir tanpa alas kaki. Papa Krist hanya turun dan berdiri di samping mobil.

Ia berjalan mendekat ke arah laut dan membiarkan air membasahi kakinya yang putih pucat. Ia berdiri dan menatap ke arah matahahari yang mulai terbenam.

Tiba-tiba terdengar suara tawa yang sangat keras dari mulut Krist. Ia tertawa seperti tak ada hari esok. Namun, tawa itu perlahan berubah jadi tangisan yang menyakitkan.

Tetesan air mata Krist kini bersatu dengan air laut yang asin. Tiap tetesan yang ia keluarkan mengikis perlahan hatinya.

“SINGTO JAHAT!” Teriak Krist bersamaan dengan air mata yang turun deras dari matanya

Tiba-tiba terlihat sesosok laki-laki berdiri di depannya sambil tersenyum dan mengulurkan tangannya.

Krist terkejut tapi ia akhirnya menggenggam tangan laki-laki itu dan berjalan mengikutinya yang lama kelamaan berjalan mundur menuju ke tengah laut.

Krist terus berjalan sambil menatap dengan tatapan cinta ke arah laki-laki di depannya. Krist tak mendengar suara teriakan ayahnya yang memintanya berhenti.

—————

Semua ini karena Singto yang mengingkari janjinya untuk selalu kembali kepada Krist.

Malam itu Krist menunggu Singto pulang dari kantor untuk merayakan hari jadi pernikahan mereka yang kedua. Hari itu seharusnya menyenangkan tapi Krist malah harus melihat sebuah peti dengan Singto di dalamnya.

Singto si pengingkar janji. Ia mengingkari janjinya untuk kembali.

—————

Semua ini karena Krist yang akhirnya terlalu banyak bermimpi.

Setelah berpulangnya Singto, Krist jadi sakit. Krist akhirnya dikirim ke Rumah Sakit Jiwa berharap dapat sembuh dari penyakitnya padahal semua tau bahwa sakit itu hanya bisa disembuhkan oleh Krist sendiri.

Krist si pemimpi. Ia terus bermimpi untuk selalu dapat bersama dengan pujaan hatinya.

—————

Semua telah berakhir...

Si Pemimpi akhirnya bersama lagi dengan Si Pengingkar Janji.

Singto dengan langkah malas memasuki suatu ruang yang besar berisi orang-orang yang telah siap dengan buku dan pulpen di tangannya.

“Asli deh lu tuh nyebelin banget bang.”

“Yaampun Sing, gw cuma suruh lu nemenin gw ikut seminar.” Kata Off

“Ya gw males anjir suruh duduk begini selama 2 jam dengerin orang ngomong di depan.”

“Susah ye ngomong sama orang jenius yang ikut kelas aja jarang.”

Singto hanya memutarkan bola matanya dengan malas. Tiba-tiba seorang berkulit putih mulus berjalan ke arah mereka.

“Permisi mas, saya mau lewat.”

Singto dengan muka kagum memandangi orang yang sedang berdiri di depannya.

Anjay manis beut dah – Singto

“Bang gw semangat nih mau seminar.” Kata Singto sambil tersenyum ke arah laki-laki yang baru melewatinya tadi.

“Elu mah bukan semangat mau seminar tapi-“

“Bang gw duduk sana ya.” Kata Singto sambil berjalan mengikuti laki-laki tadi

“Eh Sing- Si anjing gw yang minta ditemenin malah nemenin orang lain.” Kata Off sambil duduk di salah satu kursi di ruangan itu.

“Permisi... kosong gak kak?” Tanya seorang laki-laki mungil secara tiba-tiba.

“Eh... iya boleh.” Kata Off sambil tersenyum manis.

Singto berjalan ke tempat laki-laki manis tadi duduk lalu tanpa ijin duduk di sebelahnya.

“Hai cantik.” Kata Singto sambil meletakan pantatnya di kursi sebelah laki-laki putih itu.

“Gak sopan banget dateng-dateng ngatain gw.” Kata laki-laki itu dengan suara kecil tapi tetap terdengar Singto.

“Aku gak ngatain padahal... kamu emang cantik.” Kata Singto sambil tersenyum sangat manis.

Laki-Laki itu bergeser menjauh dari Singto.

“Nama kamu siapa?”

“Gatau.”

“Halo gatau, nama aku Singto. Boleh panggil sayang.”

“Lu ngapain sih duduk sini? Perasaan tadi ada temennya.”

“Mas pengennya duduk sama kamu.”

“Yaudah jangan ganggu gw.”

“Ok, gatau.”

Laki-laki itu memutarkan bola matanya dengan malas lalu berkata,

“Krist, nama gw Krist.”

“Cantik namanya.”

“Gw cowok tolong ya. Gw ganteng bukan cantik.”

“Tapi lu manis plus indah jadi lebih cocok dipuji cantik.”

“Terserah elu deh. Jangan ganggu gw.”

Selama seminar Singto tidak berhenti tersenyum ke arah Krist. Ia terus menikmati keindahan dari laki-laki di sampingnya.

“Bisa gak sih lu gak begitu.” Kata Krist dengan nada kesal.

“Begitu gimana?”

“Jangan liatin gw kayak gitu.”

“Mangkannya jangan manis-manis.”

“Kok salah gw sih.”

“Menjadi manusia termanis yang mas pernah liat itu gak salah kok dek.”

“Terserah tapi please banget jangan liatin gw kayak gitu.”

“Coba mintanya lebih lembut.”

“Mas Singto tolong jangan liatin adek kayak gitu.” Kata Krist sambil tersenyum kecil.

Singto terdiam membeku dan langsung mengalihkan perhatiannya ke arah lain. Krist yang melihat Singto salah tingkah langsung mengkerutkan dahinya.

Manis banget mampus gw – Singto

Manusia aneh – Krist

Singto dengan langkah malas memasuki suatu ruang yang besar berisi orang-orang yang telah siap dengan buku dan pulpen di tangannya.

“Asli deh lu tuh nyebelin banget bang.”

“Yaampun Sing, gw cuma suruh lu nemenin gw ikut seminar.” Kata Off

“Ya gw males anjir suruh duduk begini selama 2 jam dengerin orang ngomong di depan.”

“Susah ye ngomong sama orang jenius yang ikut kelas aja jarang.”

Singto hanya memutarkan bola matanya dengan malas. Tiba-tiba seorang berkulit putih mulus berjalan ke arah mereka.

“Permisi mas, saya mau lewat.”

Singto dengan muka kagum memandangi orang yang sedang berdiri di depannya.

Anjay manis beut dah – Singto

“Bang gw semangat nih mau seminar.” Kata Singto sambil tersenyum ke arah laki-laki yang baru melewatinya tadi.

“Elu mah bukan semangat mau seminar tapi-“

“Bang gw duduk sana ya.” Kata Singto sambil berjalan mengikuti laki-laki tadi

“Eh Sing- Si anjing gw yang minta ditemenin malah nemenin orang lain.” Kata Off sambil duduk di salah satu kursi di ruangan itu.

“Permisi... kosong gak kak?” Tanya seorang laki-laki mungil secara tiba-tiba.

“Eh... iya boleh.” Kata Off sambil tersenyum manis.

Singto berjalan ke tempat laki-laki manis tadi duduk lalu tanpa ijin duduk di sebelahnya.

“Hai cantik.” Kata Singto sambil meletakan pantatnya di kursi sebelah laki-laki putih itu.

“Gak sopan banget dateng-dateng ngatain gw.” Kata laki-laki itu dengan suara kecil tapi tetap terdengar Singto.

“Aku gak ngatain padahal... kamu emang cantik.” Kata Singto sambil tersenyum sangat manis.

Laki-Laki itu bergeser menjauh dari Singto.

“Nama kamu siapa?”

“Gatau.”

“Halo gatau, nama aku Singto. Boleh panggil sayang.”

“Lu ngapain sih duduk sini? Perasaan tadi ada temennya.”

“Mas pengennya duduk sama kamu.”

“Yaudah jangan ganggu gw.”

“Ok, gatau.”

Laki-laki itu memutarkan bola matanya dengan malas lalu berkata,

“Krist, nama gw Krist.”

“Cantik namanya.”

“Gw cowok tolong ya. Gw ganteng bukan cantik.”

“Tapi lu manis plus indah jadi lebih cocok dipuji cantik.”

“Terserah elu deh. Jangan ganggu gw.”

Selama seminar Singto tidak berhenti tersenyum ke arah Krist. Ia terus menikmati keindahan dari laki-laki di sampingnya.

“Bisa gak sih lu gak begitu.” Kata Krist dengan nada kesal.

“Begitu gimana?”

“Jangan liatin gw kayak gitu.”

“Mangkannya jangan manis-manis.”

“Kok salah gw sih.”

“Menjadi manusia termanis yang mas pernah liat itu gak salah kok dek.”

“Terserah tapi please banget jangan liatin gw kayak gitu.”

“Coba mintanya lebih lembut.”

“Mas Singto tolong jangan liatin adek kayak gitu.” Kata Krist sambil tersenyum kecil.

Singto terdiam membeku dan langsung mengalihkan perhatiannya ke arah lain. Krist yang melihat Singto salah tingkah langsung mengkerutkan dahinya.

Manis banget mampus gw – Singto

Manusia aneh – Krist