Singto masuk ke dalam rumah dengan muka penuh tekanan. Krist yang sedari tadi menunggunya di ruang keluarga, menghampirinya dan melepaskan jasnya.
“Mas tumben pulang malem?”
“Tadi masih banyak kerjaan.”
“Mas mau mandi atau makan dulu?”
“Makan dulu aku laper.”
Selama mereka makan, tidak ada yang membuka suara. Keheningan yang biasa terasa nyaman kini terlihat canggung.
“Mas mau berendam?” Krist mencoba memecahkan keheningan setelah mereka berdua menyelesaikan hidangan makan malam mereka.
“Hmmm.” Singto hanya memberikan anggukan kecil kepada Krist.
“Yaudah adek siapin airnya dulu ya.”
Singto berendam sekitar setengah jam, mencoba untuk melepas segala penat yang ditahannya. Ia keluar dari kamar mandi dengan pandangan Krist sudah duduk di tepi kasur sambil memandangi lantai kamar mereka.
Singto memakai baju yang telah disiapkan Krist lalu berdiri di hadapan Krist. Krist menarik pinggang Singto dan mendekapnya sedangkan Singto mengusap pelan surai hitam Krist.
Tiba-tiba terlihat bahu Krist bergetar hebat dan baju yang baru saja dipakai Singto terasa basah. Singto berlutut di depan Krist lalu menggenggam tangannya.
“Adek kenapa nangis?” Tanya Singto dengan ekspresi khawatir.
“Tadi adek jenguk kakek mas..”
“Trus?” Singto mengusap-usap tangan yang digenggamnya.
“Kakek mohon-mohon sama adek buat biarin mas punya keturunan....”
Singto hanya terdiam membeku karena tidak tahu harus jawab apa.
“Mas... adek merasa bersalah.”
“Hei! Kok gitu sih! Adek gak salah, gak ada yang salah.”
“Tapi kalo adek gak nikah-“
“Krist. Mas gak suka ya kamu begini.”
“Mas...” Krist kini menatap sendu ke arah mata Singto sambil membalas genggaman Singto dengan tangan yang basah akibat air matanya tadi.
“Hm”
“Mas terima ya permintaan kakek.”
Deg.
Singto terkejut, ia menatap langsung ke mata kecokelatan milik Krist. Terlihat tatapan serta raut kecewa di muka Singto.
“Adek, mas gak akan mau duain kamu sampe kapanpun.” Kata Singto dengan penuh penekanan.
“Mas... kasian kakek dia cuma minta cucu dari kamu. Adek dibolehin nikah sama mas aja udah bersyukur banget.”
Singto langsung berdiri meninggalkan Krist dan pergi ke balkon kamar mereka. Krist menghela napasnya, keputusan ini sudah ia pikir secara matang. Krist tahu benar bahwa keputusan ini akan menyakitkan. Namun, ini demi permintaan terakhir sang kakek.
Krist berjalan mendekati Singto dan memeluknya dari belakang dengan dagu yang diletakkan di pundak sang suami.
“Aku udah liat ceweknya. Dia anak bandung ternyata. Anaknya baik, cantik-“
“Adek kenapa sih? Pengen banget kayaknya mas nikah lagi.” Singto membalikkan badannya dengan sedikit kasar, membuat Krist sedikit mundur.
“Bukan gitu mas.... ini demi kakek.”
“Mas cuma cinta sama adek.”
“Adek tahu kok... adek percaya walau nanti mas ada istri lagi, mas gak akan tinggalin adek.”
“Mas gamau duain adek.”
Krist mendekat lalu menakup wajah tampan milik sang suami. Ia membelainya dengan kasih sayang dan menatapnya dengan penuh cinta.
“Mas sayang adek kan?”
“Sayang banget” Singto menarik pinggang Krist untuk mendekat.
“Mas tahu kan kalo adek paling mengutamakan keluarga daripada apapun.”
“....”
“Jadi, kalo mas sayang adek... adek mau mas pikirin permintaan kakek.”
“Mas gamau adek sakit.”
“Adek gapapa kok. Mas tetep bakal sayang adek kan? Adek gak takut kehilangan mas. Jadi, mas gausah takut ya.”
“Iya... nanti... mas bilang papa.”
Singto mengeratkan pelukannya, ia mengetahui keputusan ini berat untuk keduanya. Krist mengigit bibir bawahnya, mencoba menahan rasa sakit serta sesak di dadanya. Krist gamau menangis, dia gamau Singto berubah pikiran karena dirinya.
Pernikahan
Di gedung bernuasa putih dan emas terlihat seorang laki-laki yang gagah dan tampan sedang berdiri di samping seorang perempuan bergaun putih yang cantik jelita.
Pernikahan mereka diadakan secara tertutup sehingga hanya keluarga dan kerabat dekat yang datang.
Proses berjalan lancar hingga penyerahan cincin tiba. Krist pergi ke altar sambil membawa kotak berisi sepasang cincin berwarna emas.
Anggap saja dirinya bodoh tapi Krist sendiri yang meminta agar ia yang membawakan kotak cincin itu. Selama perjalanan ke altar, Krist menunjukan senyuman termanisnya.
Semua orang di ruangan itu tahu, bahwa senyuman itu tidak terlihat sebahagia biasanya. Ada luka dalam yang tertutup oleh senyuman manis itu.
Singto yang melihat Krist berjalan menuju altar juga tersenyum. Namun, senyum itu penuh dengan rasa bersalah serta kesedihan yang mendalam.
Kedua mempelai menyematkan cincin ke jari masing-masing.
You shall kiss the bride
Singto dengan langkah ragu berjalan dan mencium istrinya. Ciuman itu sangat singkat bahkan tidak sampai 3 detik dan hanya sekedar menempel saja.
Singto dengan cepat mengalihkan perhatiannya ke suaminya. Namun, nihil. Ia tidak menemukan sosok Krist dimana-mana.
Raut wajah Singto berubah panik. Setelah tepukan tangan terdengar di telinga, Singto meminta ijin untuk keluar. Singto berlari keluar dengan tergesah-gesah, mencari laki-laki mungil miliknya.
Remuk. Ia melihat pujaan hatinya patah dihadapannya. Terdengar sebuah tangis kecil yang menyakitkan hati.
Singto tak berhasil menahan air matanya lagi. Air matanya itu mengalir deras beriringan dengan suara tangisan Krist. Ia salah, ia salah ambil langkah. Ia menyakiti pemilik hatinya.
Flashback ON
“Krist, will you spend the rest of your life with me till death due us apart?” Kata Singto dengan posisi berlutut sambil memegang kotak merah.
“Yes! Yes, I will! I love you!” Singto bangkit berdiri lalu Krist menabraknya dengan pelukan bahagia.
“I love you more.” Kata Singto sambil mengecup pipi Krist membuat sang pemilik menunjukan semburat merah di pipinya. Ia terlihat manis.
“Awas ya mas selingkuhin adek! Adek langsung tinggalin mas bodo amat!”
“Ih udah dapet suami selucu kamu ngapain selingkuh.”
“Ya... siapa tau.”
“You will be my only love, dek”
Rama VII Bridge
Tempat saksi cinta mereka yang penuh perjuangan dan pengorbanan.
Flashback OFF
Singto menghapus air matanya lalu berjalan di hadapan Krist. Krist yang melihat Singto langsung dengan panik menghapus air matanya.
“Mas... kok disini?”
“Yang harusnya tanya itu aku. Kamu kenapa disini?” Kata Singto sambil berlutut di depan Krist.
Krist lagi-lagi mengigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang ingin sekali keluar meluapkan kepedihan.
“Bibirnya jangan digigit dek nanti luka.” Kata Singto sambil mengusap bibir Krist yang sudah merah.
“Mas selamat ya... adek seneng banget liat mas ada yang jagain selain adek.” Kata Krist dengan menunjukan senyum manisnya.
“Kamu seharusnya gak disini tau dek, kamu seharusnya di surga aja sama malaikat lain.”
“Ish! Mas jangan gombal ih.” Krist tertawa kecil sambil memukul pelan lengan Singto.
“Adek... kakek bakal tinggal di rumah sampe cucunya dia lahir.” Kata Singto dengan tatapan sendu.
“Iya gapapa...” Krist mencoba menunjukan senyum terbaiknya tapi gagal. Senyuman yang ia tunjukan penuh dengan rasa khawatir.
“Singto! Krist! Ayo masuk sini!” Teriak papa Singto.
“Masuk yuk.” Singto berdiri dan menyodorkan tangan untuk membantu Krist berdiri.
Aku pasti bisa! Yakan? – Krist
Semua akan baik-baik saja. Yakan? – Singto
Rumah
Acara akhirnya selesai dan semua kembali ke rumah masing-masing termasuk Krist dan Singto.
“Singto kamu pindah ke kamar istri kamu. Jangan lupa buatkan kakek cucu ya.” Ucap Kakek Singto dengan gembira.
Singto dengan terkejut memandang ke arah Krist. Krist mengeratkan genggamannya sambil masih menatap lurus ke depan.
“Kek, biarin Singto tidur sama Krist aja.”
“Gak bisa gitu dong! Kan ini malam pertamamu dengan istrimu. Biarkan Krist tidur sendiri.”
Krist melonggarkan genggamannya lalu menatap Singto. Singto menatapnya balik dengan muka khawatir.
Krist membelai pipi Singto lalu berkata,
“Ini malam pertama, temani istri mas aja. Adek gapapa.”
“Tapi-“
“Mas..”
“Iya...”
Krist memeluk Singto dengan erat, mencoba untuk menenangkan Singto serta hatinya yang tak bentuk lagi.
Setelah berpelukan, Krist berniat untuk berjalan ke arah kamarnya. Namun, Singto menahan lengannya, ia enggan melepas laki-laki mungil di depannya untuk tidur sendirian.
Krist yang ditahan, membalikkan badannya untuk menatap Singto sekali lagi. Krist mengusap tangan Singto yang sedang menggenggamnya, mencoba untuk menyampaikan pesan bahwa semua akan baik baik saja.
Singto akhirnya melepaskan genggamannya dengan terpaksa lalu Krist melanjutkan perjalanannya ke kamar.
Sesampainya di kamar, Krist langsung menyenderkan punggungnya di pintu kamar lalu menangis. Sementara Singto masih menatap kosong ke arah tangan yang baru saja melepaskan Krist.
Sakit. Mereka berdua sama-sama tersakiti sekarang dan tak ada yang mampu mengobati.
Krist tidak bisa tidur, ia sudah mencoba semua posisi yang ia anggap nyaman. Namun, nihil.
Tiba-tiba terasa sebuah tangan melingkar di pinggang Krist. Krist terkejut dan mencoba melepaskan dirinya. Namun, tangan itu mengeratkan pelukannya.
“Jangan pergi... mas gak bisa tidur.” Kata Singto dengan suara serak.
“Kamu kenapa? Kamu abis nangis ya?”
Singto memutarkan badan Krist untuk menghadapnya lalu berkata,
“Kamu? Kenapa ngomongnya pake kamu?” Kata Singto dengan muka khawatir.
“Ah.. maaf tadi adek cuma reflek karena kaget sama suara mas.”
“Jangan gitu lagi. Mas kira kamu marah. Mas gamau.” Singto memeluk Krist dengan erat. Ia takut. Takut sekali.
“Mas.. mas gak boleh disini. Mas harus disana temenin istri mas. Kasian lho, dia pasti sedih kamu giniin dia. Dia manusia punya perasaan juga mas.”
“Adek bisa gak sih sekali aja pikirin perasaan sendiri juga? Adek selalu mentingin orang lain sekali aja mas pengen adek egois.”
“Gak boleh-“
“Adek jawab jujur ke mas. Waktu di rumah sakit itu, kakek gak mohon-mohon kan? Kakek marahin kamu kan?”
“Ngg-“
“Jujur dek.”
“Iya..”
“Ok.”
“Tapi jangan marah sama kakek. Adek ngerti perasaan kakek kok. Dia cuma mau yang terbaik buat mas.”
“Kamu tau kan ngelakuin ini itu ngehancurin hati aku? Aku sakit waktu denger kamu suruh aku nikah sama orang lain. Aku sakit waktu liat kamu nahan nangis. Aku sakit waktu denger kamu nangis.”
Krist menundukan kepalanya, merasa bersalah. Singto menaikkan dagu Krist dan Krist menatapnya sendu.
“Aku janji semua bakal berakhir.”
“Mas! Apa-apaan sih! Kamu gak boleh cerai sama istri kamu. Dia bukan pabrik pembuat anak.” Krist kaget dan melepas pelukan mereka.
“Kamu juga harus inget juga kalo kamu suami aku. Kamu pantes buat bahagia sama aku!”
“Tapi kamu gak boleh gitu. Istri kamu punya perasaan, dia bukan benda mati mas!”
“Aku gak bisa jelasin apa-apa sama kamu sekarang tapi aku janji kita akan selalu baik-baik aja.” Singto mencoba meraih Krist. Namun, Krist menolak.
“Mas gak boleh cerai. Kakek nanti marah, nanti kakek makin sakit.”
“Iya... mas usahain.” Singto mencoba meraih Krist lagi dan kini Krist menurut.
“Adek janji gak boleh tinggalin mas ya..” Singto membenamkan mukanya dia leher Krist.
Cucu
Rena, istri baru Singto akhirnya hamil setelah beberapa minggu menikah. Singto sebisa mungkin menjaga Rena walau kadang kesibukan kantor menghalanginya. Ia menuruti setiap permintaan Rena dan mencukupi segala kebutuhannya.
Krist juga berusaha sebisa mungkin untuk merawat Rena walau Krist tau, anak yang dikandung Rena bukanlah anaknya.
Krist dan Rena jarang berinteraksi tapi tak ada kebencian maupun permusuhan diantara mereka.
“Mas Krist..”
Krist yang tiba-tiba dipanggil terkejut dan langsung berlari ke arah Rena.
“Iya kenapa? Ada yang sakit?”
“Mas aku ngidam... pengen dielus perutnya.”
“Ah, aku panggilin Singto dulu ya.” Krist berniat berlari ke kamarnya untuk mengambil handphonenya. Namun, Rena menahan tangannya.
“Ke..kenapa Rena?”
“Aku maunya mas yang ngelus.” Kata Rena.
“Hah? Maksudnya?”
“Baby maunya mas Krist yang ngelus.”
“Ah.. hmm ok.”
Dengan tangan ragu-ragu, ia mencoba memegang perut Rena. Rena yang melihat keraguan itu, menuntun tangan Krist ke perutnya.
Saat tangan itu berada di perut Rena, terasa sebuah tendangan kecil dari si baby.
“Dia seneng dielus mas Krist.”
Krist hanya tersenyum manis sambil memandang perut Rena yang sudah besar. Kehamilannya sudah menginjak umur 9 bulan jadi semua harus berjaga-jaga disekitar Rena.
“Aku pulang!” Teriak Singto.
Singto berjalan ke arah Krist dan Rena lalu mengecup kening Krist dan mengelus perut Rena sambil berkata,
“Halo baby, kangen ayah gak?”
“Kangen ayah!” Kata Rena dengan nada anak kecil yang dibuat-buat.
“Jangan susahin mami ya sayang.”
“Siap! Ayah!”
Mereka berdua tertawa kecuali Krist yang hanya tersenyum manis melihat interaksi mereka.
Cocok – Krist
Tiba-tiba Rena merasakan perutnya sangat sakit, ia mulai mengerang kesakitan. Singto langsung memanggil ambulance untuk segera datang menjemput mereka
“Hanya bisa salah satu keluarga yang ikut ya.” Kata salah satu perawat
“Mas udah cepetan naik.” Kata Krist setelah meletakan Rena di mobil.
“Tapi kamu-“
“Aku bisa nyusul nanti, udah sana cepet!”
Singto naik ke mobil lalu menggenggam tangan Rena, mencoba menenangkannya. Krist melihat mereka sambil menunjukan senyuman penuh arti.
————————
Proses persalinan berjalan lancar, Rena melahirkan sepasang anak kembar yang satu laki-laki tampan dan yang satu lagi perempuan manis.
Rena menggendong yang perempuan dan Singto menggendong yang laki-laki. Mereka berdua terlihat bercanda dan tertawa bersama setelah masa yang menegangkan.
Di luar kamar, Krist lagi-lagi tersenyum melihat interaksi mereka lewat jendela. Mereka terlihat seperti keluarga yang sempurna. Ayah yang tampan, Ibu yang cantik, dan kedua anak yang lucu serta menggemaskan.
Kedatangan Rena memang membawa berkah bagi keluarga Singto. Ia membuat kondisi kakek pulih seiring dengan pertumbuhan kehamilan Rena.
Singto juga terlihat begitu bahagia menggenggam anak mungil di tangannya. Senyuman yang ditunjukkan Singto sama seperti waktu Krist menerima lamarannya, itu berarti dia sangat amat bahagia.
Rena perempuan yang cantik dan berhati lembut. Dia memang perempuan yang tepat untuk menggantikan posisinya. Krist sekarang tersenyum melihat tas yang dipegangnya. Ia sudah siap untuk pergi, ia takut kehadirannya akan mengusik kebahagiaan mereka.
Krist berjalan keluar rumah sakit dengan langkah lemah. Ia menoleh ke belakang, tersenyum lalu berkata,
“Be Happy, always.”
Di dalam ruangan, Rena dan Singto bersenda gurau tanpa mengetahui Krist telah pergi.
“Anak perempuan yang cantik ini mirip banget sama Mas Krist.” Kata Rena.
“Anak laki-laki yang tampan ini mirip aku.” Kata Singto
“Aku gak tau kalo ternyata 2 sel sperma bisa membuahi satu telur.”
“Aku juga gak tau tapi Krist pasti seneng kalo aku kasi tau kebenarannya.”
Setelah hening sebentar akhirnya Singto berucap lagi,
“Makasih ya Ren..”
“Sama-sama mas. Aku seneng kok bisa ngebantu.”
“Aku dan Krist janji bakal rawat bayi-bayi kamu dengan baik.”
“Aku percaya mas.”
“Jangan pergi dulu ke london.”
“Nggaklah mas! Aku bakal tunggu sampe kondisi aku pulih, baru pergi. Makasih udah mau bantu aku juga ya mas.”
“Nanti kita ngomong ke kakeknya barengan aja ya.”
“Iya.”
Suster tiba-tiba datang dan mengambil bayi-bayi lucu itu untuk dibawa ke ruang NICU.
“Aku ijin ketemu Krist dulu ya. Kamu istirahat yang bener.” Kata Singto dan Rena memberi anggukan kecil.
Singto keluar dari ruangan, papa Singto langsung memeluk Singto dan mengucapkan selamat.
“Makasih pa..”
“Papa bangga sama kamu.”
“Krist mana ya pa?”
“Gatau, tadi dia gak pergi sama papa. Dia bilang dia bakal nyusul papa naik taksi karena ada urusan.”
“Pa... boleh jagain Rena dulu? Singto mau pulang liat Krist.”
“Iya.”
Singto langsung bergegas pulang, ia merasa ada yang tidak beres. Hatinya tak berhenti berdegub kencang, ia khawatir.
“Adek!” Teriak Singto.
Hening. Tidak ada suara yang menjawabnya.
“Bi!” Singto memanggil salah satu asisten rumah tangga di rumahnya.
“Iya tuan?”
“Krist mana?”
“Tadi tuan Krist udah pergi ke rumah sakit naik taksi.”
“Tapi Krist tadi gak ada di rumah-“ Singto memotong ucapannya sendiri dan langsung pergi ke kamar Krist
Singto membuka kamar Krist. Namun, ia tak melihat laki-laki mungil miliknya itu. Ia membuka lemari Krist dan melihat bahwa pakaian Krist sudah tidak lagi disana.
Singto langsung berlari mengambil kunci mobil lalu bergegas keluar mencari keberadaan kekasihnya itu.
“Kamu dimana Krist.” Kata Singto dengan nada panik.
Singto telah menyelusuri tempat-tempat favorit Krist. Namun, ia tak menemukannya. Waktu sudah menunjukan pukul 3 pagi. Singto sudah lelah tapi dia tidak rela pulang sebelum bertemu Krist.
Ia menepi, mencoba menenangkan hatinya yang gelisah dan khawatir. Ia tak mau kehilangan Krist.
Singto terus mempertanyakan kepada dirinya. Apa yang telah ia perbuat sehingga Krist memutuskan untuk pergi? Apa dia buat kesalahan? Apa yang terjadi? Kenapa?
Mas, makasih ya udah mau sama adek. Adek sayang banget sama mas.
Mas... jangan tinggalin adek yaa.
Happy Anniversary Mas! Moga kita langgeng sampe maut memisahkan ya.
Mas... mas nyesel gak sih nikah sama adek?
Adek merasa bersalah... seharusnya adek gak nikah sama mas.
Kakek gak suka adek ya mas?
Adek mending pergi gak sih mas...
Suara Krist terus terngiang di pikirannya sampai kalimat terakhir itu muncul kembali.
Flashback ON
“Adek kok belum tidur? Ini udah jam 3 pagi lho.”
“Gapapa adek lagi gak bisa tidur.”
“Adek mau minum susu anget? Mas bikinin.”
“Gausah... mas boleh duduk bentar aja?”
“Boleh.” Singto duduk di samping Krist
Krist menyenderkan kepalanya di bahu Singto lalu menghela napasnya.
“Adek kenapa?” Tanya Singto sambil salah satu tangannya dilingkarkan di pinggang Krist.
“Gapapa adek lagi banyak pikiran aja. Adek curi mas dari istri mas bentar gapapa kan? Gak lama kok 10 menit aja.”
“Adek kok ngomong gitu? Adek kan pasangan sah mas juga.”
“Adek takut ganggu aja..”
“Denger ya, adek gak pernah ganggu apapun. Adek berhak dicintain sama mas. Adek berhak bahagia.” Singto menangkup kedua pipi mulus Krist.
“Tapi kalau mas pikir lagi, keadaan sekarang semuanya udah bahagia... adek mending pergi aja gak sih mas?”
Flashback OFF
Air mata Singto mulai jatuh bersamaan dengan luka yang perlahan timbul di hatinya.
“Krist apa kamu masih mikir kayak gitu?” Tanya Singto pada dirinya sendiri dengan suara lemah.
Setelah banyak menangis, akhirnya Singto memutuskan untuk pergi pulang ke rumahnya. Ia butuh mengistirahatkan pikirannya.
————————
Seminggu kemudian, Rena pulang dari rumah sakit. Ia pindah menetap di rumah orang tua Singto untuk sementara sampai keadaan Singto serta keadaannya pulih. Ia akan pindah ke London setelah anak-anaknya berumur 6 bulan karena harus menyusuinya ASI. Rena dibantu oleh papa Singto dan mama tiri Singto dalam mengurus kedua anak kembarnya.
Rutinitasi Singto sejak Krist tidak ada adalah pagi hari sebelum ia berangkat kerja ia akan mencari Krist dan setelah ia pulang kerja, ia akan mencari Krist lagi sampai tengah malam.
Hal itu dilakukan Singto selama seminggu penuh. Singto menjadi kurus dan tak bergizi. Matanya tidak pernah fokus dan dia sering sakit kepala. Jangan lupakan kantong matanya yang menebal tiap harinya dikarenakan tidurnya yang tak pernah nyenyak.
“Tuan, sebaiknya hari ini tuan istirahat saja di rumah. Biar saya yang cari tuan Krist.” Kata Adi, supir yang telah bekerja bersama Singto dan Krist bertahun-tahun.
“Saya ingin lihat Krist.”
“Tapi tuan terlihat sangat lelah dan ini sudah malam.”
“Biarkan saya ikut, saya ingin bertemu Krist.”
Adi hanya menghela napasnya lalu melajukan mobil ke jalan biasa mereka mencari Krist.
“Tuan, sepertinya ada perbaikan jalan jadi kita harus memakai jalan yang berbeda.”
“Yasudah tidak apa-apa.”
Di perjalanan tiba-tiba Adi melihat satu sosok yang sangat ia kenal. Adi sudah bekerja bertahun-tahun dengan Singto dan Krist jadi ia tau bagaimana perawakan majikannya.
“Tuan, sepertinya itu tuan Krist.”
Singto melihat ke arah yang sama dengan yang dilihat Adi. Ia langsung membulatkan matanya. Kenapa ia begitu bodoh? Kenapa ia tidak ingat untuk pergi ke jembatan ini?
Rama VIII Bridge
Singto langsung turun dari mobil dan berlari ke arah Krist.
“Krist!” Teriak Singto
Krist membeku, ia kenal dengan suara yang sedang memanggilnya. Tanpa menoleh ke belakang, ia berjalan lebih cepat.
“Jangan tinggalin aku please.” Singto masih mencoba mengejar Krist.
Krist dengan mata berair, mempercepat jalannya.
“Krist.. aku mohon.”
“Jangan kejar aku Singto, aku cuma bisa ngehancurin kebahagiaan kamu aja. Kamu harus hidup normal Singto.”
“GIMANA AKU BISA BAHAGIA KALO CINTA DAN KEBAHAGIAAN AKU ITU PERGI NINGGALIN AKU?!” Kata Singto dengan tenaga yang tersisa di dalam dirinya.
“Aku mohon... Krist.” Kata Singto bersamaan dengan tubuhnya yang mulai terjatuh ke tanah.
BRUKK
Terdengar suara tubuh terjatuh, Krist langsung menoleh dan berlari ke arah Singto.
“Mas! Mas bangun mas!” Krist memeluk Singto dengan air mata yang tak berhenti keluar dari matanya.
“Sepertinya tuan Singto sudah mencapai batas energinya.” Kata Pak Adi sambil membopong Singto ke mobil.
“Ke rumah sakit-“
“Aku mau pulang... aku mau kamu pulang sama aku.. aku mohon Krist.. kembali sama aku...” Kata Singto dengan mata tertutup dan dengan suara yang lemah sambil menggenggam tangan Krist.
“Iya... kita pulang mas.” Krist menghapus air mata yang keluar dari mata Singto.
Sesampainya di rumah, Singto langsung dibopong Krist ke kamarnya. Saat Krist ingin keluar untuk mengambil obat, Singto menahan lengannya.
“Ja..jangan pergi... aku takut.” Kata Singto dengan tubuh yang bergetar.
Krist tidak tahu bahwa kepergiannya malah menghancurnya pemilik hatinya. Ia tidak pernah melihat Singto ketakutan sampai bergetar seperti ini.
“Adek disini sama mas..” Krist membelai surai hitam Singto dengan lembut, mencoba menenangkan pemiliknya.
“Tidur sama mas.” Singto bergerak untuk memberikan jarak di sampingnya.
Krist menghela napas sebentar lalu menempatkan dirinya berhadapan dengan Singto yang masih memejamkan matanya.
Singto melingkarkan tangannya di pinggang Krist lalu menyembunyinya mukanya di leher Krist.
“Adek.. kenapa pergi tinggalin mas?” Kata Singto dengan suara tenang.
“Karena adek takut ganggu mas..”
“Mas pulang dengan kabar gembira tapi malah liat lemari udah kosong.”
“...”
“Adek tahu gak sih rasanya waktu separuh nyawa mas di bawah pergi adek?”
“....”
“Rasanya sakit dek... ka..kayak mau mati aja... Kayak sekitar mas langsung jadi gelap dan kosong.” Kata Singto dengan nada bergetar.
“...”
“Kalo adek bilang adek ganggu mas. Kamu salah karena cuma adek yang bisa bikin mas bahagia.”
“...”
“Nothing more important than you in my life.”
“Maaf..”
“Kamu tau... mas hampir mau bunuh diri.”
Krist langsung membulatkan matanya yang tadi terpejam. Ia hampir saja kehilangan kekasihnya?
“Mas gak boleh!”
“Abisnya adek pergi... mas berasa gak punya tujuan hidup lagi.”
“Mas kan ada Rena.”
“Rena bukan siapa-siapa.”
Flashback ON
“Pa, Singto gak bisa dan gamau.”
“Papa tau kamu gamau mangkannya kita pake Ibu surogasi aja.”
[ Ibu pengganti atau surogasi (bahasa Inggris: surrogacy) adalah suatu pengaturan atau perjanjian yang mencakup persetujuan seorang wanita untuk menjalani kehamilan bagi orang lain, yang akan menjadi orang tua sang anak setelah kelahirannya. ]
“Ada kok yang mau bantu mengandung anak kamu. Kamu dan Krist hanya perlu sumbang sperma.” Kata papa
“...” Singto tampak berpikir.
“Tapi ibu penggantinya minta kamu untuk membiayai operasi ibunya yang ada di London.”
“Aku bisa itu.”
“Tapi karena kakek menolak sistem surogasi ini kamu harus nikah dengan ibu penggantinya.”
“Hah? Papa gila ya?”
“Nikah tidak usah beneran, Singto. Cukup menyematkan cincin di depan Kakek dan berlagak seperti kekasih saja dan kamu juga harus merahasiakannya dari Krist.”
“....”
“Kamu tau kan tujuan kakek begini karena tidak suka Krist menikah denganmu?”
“...”
“Lakukanlah sekali ini untuknya. Kakek akan pindah ke luar negeri setelah melihat cucunya. Jadi kamu bisa berhenti berpura-pura setelah itu.”
“Tapi gimana dengan Krist? Dia pasti sakit.”
“Papa yakin Krist kuat. Kamu bisa langsung kasi tau Krist setelah anakmu lahir. Dia pasti seneng mendapat anak.”
“Baiklah.. aku terima saran papa.”
Flashback OFF
“Maaf ya dek, maaf banget.” Kata Singto dengan air mati mengalir deras.
“Mas gak salah... adek gapapa.”
“Tapi adek tinggalin mas.”
“Maaf..”
“Adek udah janji gak akan ninggalin mas.”
“Iya adek minta maaf ya mas.”
“Adek janji gak boleh ninggalin mas lagi.” Singto menangkup wajah Krist.
“Adek janji mas... adek gak akan ninggalin mas lagi.”
“Till death due us apart?” Singto mengikis jarak antara dirinya dengan Krist hingga bibir mereka hampir menempel.
“Till death due us apart.” Krist mencium bibir Singto.
– END -
Rosie: Sedih gak sih?? Jangan lupa komen ya aku mau tau soalnya ini narasi terpanjang aku takutnya ngebosenin doang :(