Rosie

Singto dengan langkah malas memasuki suatu ruang yang besar berisi orang-orang yang telah siap dengan buku dan pulpen di tangannya.

“Asli deh lu tuh nyebelin banget bang.”

“Yaampun Sing, gw cuma suruh lu nemenin gw ikut seminar.” Kata Off

“Ya gw males anjir suruh duduk begini selama 2 jam dengerin orang ngomong di depan.”

“Susah ye ngomong sama orang jenius yang ikut kelas aja jarang.”

Singto hanya memutarkan bola matanya dengan malas. Tiba-tiba seorang berkulit putih mulus berjalan ke arah mereka.

“Permisi mas, saya mau lewat.”

Singto dengan muka kagum memandangi orang yang sedang berdiri di depannya.

Anjay manis beut dah – Singto

“Bang gw semangat nih mau seminar.” Kata Singto sambil tersenyum ke arah laki-laki yang baru melewatinya tadi.

“Elu mah bukan semangat mau seminar tapi-“

“Bang gw duduk sana ya.” Kata Singto sambil berjalan mengikuti laki-laki tadi

“Eh Sing- Si anjing gw yang minta ditemenin malah nemenin orang lain.” Kata Off sambil duduk di salah satu kursi di ruangan itu.

“Permisi... kosong gak kak?” Tanya seorang laki-laki mungil secara tiba-tiba.

“Eh... iya boleh.” Kata Off sambil tersenyum manis.

Singto berjalan ke tempat laki-laki manis tadi duduk lalu tanpa ijin duduk di sebelahnya.

“Hai cantik.” Kata Singto sambil meletakan pantatnya di kursi sebelah laki-laki putih itu.

“Gak sopan banget dateng-dateng ngatain gw.” Kata laki-laki itu dengan suara kecil tapi tetap terdengar Singto.

“Aku gak ngatain padahal... kamu emang cantik.” Kata Singto sambil tersenyum sangat manis.

Laki-Laki itu bergeser menjauh dari Singto.

“Nama kamu siapa?”

“Gatau.”

“Halo gatau, nama aku Singto. Boleh panggil sayang.”

“Lu ngapain sih duduk sini? Perasaan tadi ada temennya.”

“Mas pengennya duduk sama kamu.”

“Yaudah jangan ganggu gw.”

“Ok, gatau.”

Laku-laki itu memutarkan bola matanya dengan malas lalu berkata,

“Krist, nama gw Krist.”

“Cantik namanya.”

“Gw cowok tolong ya. Gw ganteng bukan cantik.”

“Tapi lu manis plus indah jadi lebih cocok dipuji cantik.”

“Terserah elu deh. Jangan ganggu gw.”

Selama seminar Singto tidak berhenti tersenyum ke arah Krist. Ia terus menikmati keindahan dari laki-laki di sampingnya.

“Bisa gak sih lu gak begitu.” Kata Krist dengan nada kesal.

“Begitu gimana?”

“Jangan liatin gw kayak gitu.”

“Mangkannya jangan manis-manis.”

“Kok salah gw sih.”

“Menjadi manusia termanis yang mas pernah liat itu gak salah kok dek.”

“Terserah tapi please banget jangan liatin gw kayak gitu.”

“Coba mintanya lebih lembut.”

“Mas Singto tolong jangan liatin adek kayak gitu.” Kata Krist sambil tersenyum kecil.

Singto langsung terdiam membeku dan langsung mengalihkan perhatiannya ke arah lain. Krist yang melihat Singto salah tingkah langsung mengkerutkan dahinya.

Manis banget mampus gw – Singto

Manusia aneh – Krist

Neko

“Aduh yang ini gimana pakenya?” Kata Krist sambil menggenggam sebuah dildo dengan bulu terkait di ujungnya layaknya ekor.

“Sayanggg” Teriak Singto sambil berjalan ke arah kamar Krist.

Krist dengan cepat menyembunyikan ‘ekor’ yang digenggamnya. Mata Singto berubah lapar saat melihat Krist hanya memakai sehelai kain tipis untuk menutupi barang di antara selangkangannya.

“Sayang, itu apa yang kamu sembunyiin.” Kata Singto sambil berjalan mendekati Krist.

“Umm...itu- eh itu.” Kata Krist dengan tergagap-gagap.

“Oh ekor ya? Mau aku pasangin?”

“Tapi-“

“Balik badan.”

“Phi itu-“ Singto memutarbalikkan tubuh Krist untuk memungguinya

“Lebarin kaki.”

Krist melebarkan kakinya tanpa membantah lagi.

Singto mengeluarkan sebuah botol lube yang bertuliskan ‘Spicy Lube’. Ia memberikan senyuman nakal yang tidak dapat dilihat Krist, sebelum akhirnya mengoleskannya ke dildo berbentuk ekor itu. Ia juga tidak lupa mengoleskannya ke lubang ketat Krist.

“Phi kamu kasi apa tadi? Kok panas?”

“Udah diem aja.”

“...” Krist langsung membungkam mulutnya sendiri.

“Aku masukin ya.”

Krist hanya mengangguk lalu Singto dengan perlahan memasukkan dildo tersebut.

“Ahhh” Kata Krist saat dildo tersebut sepenuhnya masuk.

Dia tidak tau dirinya kenapa tapi dildo tersebut benar-benar membuat dirinya panas.

“Ahhh gatel enngh.” Krist menggeliat tak nyaman, merasakan panas di seluruh tubuhnya.

Singto mulai berjalan menjauh dari Krist dan melihat Krist seperti sedang menonton pertunjukan menarik.

“Coba jalan ke sini.”

Krist membalikkan badannya lalu mencoba berjalan menuju Singto. Namun baru 3 langkah, ia merasakan dildo di dalamnya mulai bergetar.

“Angghh kena... pa enggh bergetar?” Krist dengan susah payah mengucapkannya tapi Singto malah hanya membalasnya dengan menunjukan remot kecil di tangannya.

“Ayo kesini dong sayang.”

Krist mencoba berjalan lagi tapi setiap langkah yang dia ambil, Singto menambah level getar dildo tersebut.

“Anggh stop please.” Kaki Krist sangat lemas seperti habis berlari 54 putaran

“Dikit lagi sayang. Kamu pasti bisa.”

Krist akhirnya dengan nekat berlari ke arah Singto. Dia dengan cepat mengalungkan tangannya di leher Singto untuk menopang dirinya yang sudah sangat lemas.

“Ahhhh jang..an dinaikin anggh levelnya... phi.”

ahh aku bisa mati lemes duluan sebelum main course – Krist

“Bulunya ternyata halus ya.”

“Jangan dipeg- ahhhh” Krist mendesah hebat saat Singto memegang bulu ekornya yang tertancap sempurna di lubangnya.

“Phi ahhh jangan... diputar enggh gitu.”

Desahan Krist makin tidak terkendali saat Singto mulai menggerakan ‘ekor’ Krist dengan gerakan memutar, membuat dildo di dalam Krist menabrak dinding-dinding lubang serta sesekali menyenggol titik nikmat Krist.

Krist mengeratkan tangannya di leher Singto. Lututnya sudah sangat lemas sekarang.

Dildo yang daritadi digerakan Singto terus menumbuk prostatnya hingga lelehan cairan putih mulai keluar dari lubang kencing Krist.

“Aku mau anggh keluar” Saat Krist berucap seperti itu Singto dengan cepat menggendong Krist dengan tangan menopang pantat Krist.

Singto berjalan ke kasur sambil sesekali meremas bongkahan kenyal milik Krist, membuat sang pemilik tak berhenti mendesah nikmat.

Singto merebahkan Krist di kasur empuk milik mereka berdua.

click

Bunyi borgol yang indah itu terdengar di tangan Krist.

“Kamu kenapa ahhh borgol aku?”

“Tonight’s rules is ‘Don’t touch yourself’. “

“Tapi- ahhhh” Saat Krist mencoba memegang batangnya yang sudah tegang, Singto menaikkan kembali level getar dildo di dalam Krist yang sempat ia turunkan tadi.

“Aku bilang jangan dipegang sayang... tonight, this thing is mine.” Bisik Singto tepat ditelinga Krist sambil menggenggam batang dan menjilat telinga kekasihnya yang sensitif itu, membuat sang pemilik mendesah.

Singto mengusapkan ibu jarinya di mulut Krist lalu meraupnya dengan lapar. Ia melumat bibir bawah Krist lalu mengigitnya pelan.

Krist yang mengenali signal itu pun membuka sedikit mulutnya dan dengan cepat Singto melesakkan lidahnya masuk ke goa hangat nan manis milik Krist. Singto menjelajah tiap sudut mulut Krist serta mengabsen satu persatu gigi Krist dengan lidah tak bertulangnya.

“Hmmmph” desah Krist di sela-sela ciuman mereka.

Lidah mereka saling bertautan dan bertukar saliva selama beberapa menit hingga akhirnya mereka kehabisan napas dan harus melepaskan ciuman intim mereka. Sebuah benang saliva terlihat saat Singto menarik mulutnya dari mulut Krist.

Krist terlihat 100 kali lebih sexy sekarang dengan mulutnya yang telah merah membengkak dan matanya yang menatap Singto dengan tatapan sayu nan polos itu, membuat orang yang ditatapnya semakin lapar.

“Kamu cantik banget sih sayang.” Kata Singto sambil mengusap pelan bibir merah Krist.

Krist yang dipuji hanya mampu menunjukan semburat merah di pipinya. Mulut Singto turun ke leher putih mulus milik Krist membuat sang pemilik menggeliat menahan desah.

Gigi Singto mulai menancap ke dalam kulit Krist membuat bercak berwarna keunguan di sana.

“Angggh... phi”

“Hari ini aku beli beberapa mainan baru, mau coba?”

“Apa..kah aku bisa ahh menolaknya?” Kata Krist dengan usaha yang keras karena dildo di dalamnya tak berhenti bergetar.

“Kamu sudah tahu jawabannya.” Kata Singto sambil mengambil satu batang berukuran kecil seperti jarum.

“Ap..a itu phi?” Kata Krist dengan nada bergetar ketakutan.

Singto hanya tersenyum lalu mengoleskan lube yang tadi ia pakaikan di lobang Krist ke batang tegang Krist.

“Angghh panashh phii nggh.” Krist mendesah terus tanpa ada niat berhenti.

Singto lalu mengarahkan benda kecil tadi ke arah lubang kencing Krist.

“Phi jan- AKHHH!”

Singto mulai memasukan benda kecil itu ke dalam lobang kencing Krist, menahan setiap cairan putih yang ingin meluncur keluar.

“Ngiluu ngghhh” Krist merasa ngilu tapi juga nikmat yang tak dapat ia gambarkan.

Singto tiba-tiba tanpa aba-aba menarik keluar dildo di dalam Krist membuat Krist mendesah serta membusungkan dadanya.

Lalu tanpa memberi jeda untuk Krist bernapas, Singto menggantikan dildo tersebut dengan batang beruratnya.

“AHHHHH”

Sungguh tak tergambarkan bagaimana nikmatnya saat batang Singto menumbuk titik nikmatnya yang tadi tak tergapai oleh dildo dari ekornya.

Singto mendongakkan kepalanya ke atas sambil mendesah kenikmatan. Lobang Krist terasa lebih ketat dari biasanya walau sudah berkali-kali dimasuki dan lube ini membuat batangnya terasa hangat hingga membakar seluruh hasrat di dalam tubuhnya.

Setelah membiarkan Krist bernapas sebentar, Singto mulai memaju-mundurkan pinggangnya. Singto terus mencari letak titik itu hingga-

“Ahhh lebih cepat ahhh singtuannhh”

Ketemu.

Singto mengeluarkan juniornya lalu dengan cepat memasukkannya lagi, menumbuk titik itu dengan kasar.

“Anghhh”

Hentakan pertama.

“Singgtuannhhh

Hentakan kedua

“Enggghhh”

Hentakan ketiga

“Tolongg.. aku enggh mau keluar phi. Lepash kan bendanya.”

Singto tidak mendengarnya dan malah mulai memompa batang Krist dengan benda kecil itu di dalamnya.

Membuat Krist melihat bintang dengan rasa nikmat yang bercampur dengan rasa ngilu.

“Angghh pleasee I wanna cum~”

“Try begging.”

“Annghhh singtuanh”

“More.”

Krist mendekat lalu melumat bibir Singto, mengigitnya pelan lalu melesakkan lidahnya ke dalam mulut Singto. Ia melilit lidah Singto, membuat sang pemilik menggeram kenikmatan. Krist melepas tautan mereka lalu menatap Singto dengan tatapan sayu.

“Singtuaanh”

Singto melepas benda kecil itu membuat Krist membusungkan dada dan memuntahkan cairan putih dengan cepat ke atas.

“ANGHHHH”

Pelepasan paling ekstrim menurut Krist. Namun, ia tau Singto tak pernah gagal membuatnya melihat bintang.

“Krist aku belum menerima pelepasan.” Singto mulai memaju-mundurkan pinggangnya lagi.

oh tidak ini akan jadi malam yang panjang. – Krist

Singto masuk ke dalam rumah dengan muka penuh tekanan. Krist yang sedari tadi menunggunya di ruang keluarga, menghampirinya dan melepaskan jasnya.

“Mas tumben pulang malem?”

“Tadi masih banyak kerjaan.”

“Mas mau mandi atau makan dulu?”

“Makan dulu aku laper.”

Selama mereka makan, tidak ada yang membuka suara. Keheningan yang biasa terasa nyaman kini terlihat canggung.

“Mas mau berendam?” Krist mencoba memecahkan keheningan setelah mereka berdua menyelesaikan hidangan makan malam mereka.

“Hmmm.” Singto hanya memberikan anggukan kecil kepada Krist.

“Yaudah adek siapin airnya dulu ya.”

Singto berendam sekitar setengah jam, mencoba untuk melepas segala penat yang ditahannya. Ia keluar dari kamar mandi dengan pandangan Krist sudah duduk di tepi kasur sambil memandangi lantai kamar mereka.

Singto memakai baju yang telah disiapkan Krist lalu berdiri di hadapan Krist. Krist menarik pinggang Singto dan mendekapnya sedangkan Singto mengusap pelan surai hitam Krist.

Tiba-tiba terlihat bahu Krist bergetar hebat dan baju yang baru saja dipakai Singto terasa basah. Singto berlutut di depan Krist lalu menggenggam tangannya.

“Adek kenapa nangis?” Tanya Singto dengan ekspresi khawatir.

“Tadi adek jenguk kakek mas..”

“Trus?” Singto mengusap-usap tangan yang digenggamnya.

“Kakek mohon-mohon sama adek buat biarin mas punya keturunan....”

Singto hanya terdiam membeku karena tidak tahu harus jawab apa.

“Mas... adek merasa bersalah.”

“Hei! Kok gitu sih! Adek gak salah, gak ada yang salah.”

“Tapi kalo adek gak nikah-“

“Krist. Mas gak suka ya kamu begini.”

“Mas...” Krist kini menatap sendu ke arah mata Singto sambil membalas genggaman Singto dengan tangan yang basah akibat air matanya tadi.

“Hm”

“Mas terima ya permintaan kakek.”

Deg.

Singto terkejut, ia menatap langsung ke mata kecokelatan milik Krist. Terlihat tatapan serta raut kecewa di muka Singto.

“Adek, mas gak akan mau duain kamu sampe kapanpun.” Kata Singto dengan penuh penekanan.

“Mas... kasian kakek dia cuma minta cucu dari kamu. Adek dibolehin nikah sama mas aja udah bersyukur banget.”

Singto langsung berdiri meninggalkan Krist dan pergi ke balkon kamar mereka. Krist menghela napasnya, keputusan ini sudah ia pikir secara matang. Krist tahu benar bahwa keputusan ini akan menyakitkan. Namun, ini demi permintaan terakhir sang kakek.

Krist berjalan mendekati Singto dan memeluknya dari belakang dengan dagu yang diletakkan di pundak sang suami.

“Aku udah liat ceweknya. Dia anak bandung ternyata. Anaknya baik, cantik-“

“Adek kenapa sih? Pengen banget kayaknya mas nikah lagi.” Singto membalikkan badannya dengan sedikit kasar, membuat Krist sedikit mundur.

“Bukan gitu mas.... ini demi kakek.”

“Mas cuma cinta sama adek.”

“Adek tahu kok... adek percaya walau nanti mas ada istri lagi, mas gak akan tinggalin adek.”

“Mas gamau duain adek.”

Krist mendekat lalu menakup wajah tampan milik sang suami. Ia membelainya dengan kasih sayang dan menatapnya dengan penuh cinta.

“Mas sayang adek kan?”

“Sayang banget” Singto menarik pinggang Krist untuk mendekat.

“Mas tahu kan kalo adek paling mengutamakan keluarga daripada apapun.”

“....”

“Jadi, kalo mas sayang adek... adek mau mas pikirin permintaan kakek.”

“Mas gamau adek sakit.”

“Adek gapapa kok. Mas tetep bakal sayang adek kan? Adek gak takut kehilangan mas. Jadi, mas gausah takut ya.”

“Iya... nanti... mas bilang papa.”

Singto mengeratkan pelukannya, ia mengetahui keputusan ini berat untuk keduanya. Krist mengigit bibir bawahnya, mencoba menahan rasa sakit serta sesak di dadanya. Krist gamau menangis, dia gamau Singto berubah pikiran karena dirinya.

Pernikahan

Di gedung bernuasa putih dan emas terlihat seorang laki-laki yang gagah dan tampan sedang berdiri di samping seorang perempuan bergaun putih yang cantik jelita.

Pernikahan mereka diadakan secara tertutup sehingga hanya keluarga dan kerabat dekat yang datang.

Proses berjalan lancar hingga penyerahan cincin tiba. Krist pergi ke altar sambil membawa kotak berisi sepasang cincin berwarna emas.

Anggap saja dirinya bodoh tapi Krist sendiri yang meminta agar ia yang membawakan kotak cincin itu. Selama perjalanan ke altar, Krist menunjukan senyuman termanisnya.

Semua orang di ruangan itu tahu, bahwa senyuman itu tidak terlihat sebahagia biasanya. Ada luka dalam yang tertutup oleh senyuman manis itu.

Singto yang melihat Krist berjalan menuju altar juga tersenyum. Namun, senyum itu penuh dengan rasa bersalah serta kesedihan yang mendalam.

Kedua mempelai menyematkan cincin ke jari masing-masing.

You shall kiss the bride

Singto dengan langkah ragu berjalan dan mencium istrinya. Ciuman itu sangat singkat bahkan tidak sampai 3 detik dan hanya sekedar menempel saja.

Singto dengan cepat mengalihkan perhatiannya ke suaminya. Namun, nihil. Ia tidak menemukan sosok Krist dimana-mana.

Raut wajah Singto berubah panik. Setelah tepukan tangan terdengar di telinga, Singto meminta ijin untuk keluar. Singto berlari keluar dengan tergesah-gesah, mencari laki-laki mungil miliknya.

Remuk. Ia melihat pujaan hatinya patah dihadapannya. Terdengar sebuah tangis kecil yang menyakitkan hati.

Singto tak berhasil menahan air matanya lagi. Air matanya itu mengalir deras beriringan dengan suara tangisan Krist. Ia salah, ia salah ambil langkah. Ia menyakiti pemilik hatinya.

Flashback ON

“Krist, will you spend the rest of your life with me till death due us apart?” Kata Singto dengan posisi berlutut sambil memegang kotak merah.

“Yes! Yes, I will! I love you!” Singto bangkit berdiri lalu Krist menabraknya dengan pelukan bahagia.

“I love you more.” Kata Singto sambil mengecup pipi Krist membuat sang pemilik menunjukan semburat merah di pipinya. Ia terlihat manis.

“Awas ya mas selingkuhin adek! Adek langsung tinggalin mas bodo amat!”

“Ih udah dapet suami selucu kamu ngapain selingkuh.”

“Ya... siapa tau.”

“You will be my only love, dek”

Rama VII Bridge

Tempat saksi cinta mereka yang penuh perjuangan dan pengorbanan.

Flashback OFF

Singto menghapus air matanya lalu berjalan di hadapan Krist. Krist yang melihat Singto langsung dengan panik menghapus air matanya.

“Mas... kok disini?”

“Yang harusnya tanya itu aku. Kamu kenapa disini?” Kata Singto sambil berlutut di depan Krist.

Krist lagi-lagi mengigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang ingin sekali keluar meluapkan kepedihan.

“Bibirnya jangan digigit dek nanti luka.” Kata Singto sambil mengusap bibir Krist yang sudah merah.

“Mas selamat ya... adek seneng banget liat mas ada yang jagain selain adek.” Kata Krist dengan menunjukan senyum manisnya.

“Kamu seharusnya gak disini tau dek, kamu seharusnya di surga aja sama malaikat lain.”

“Ish! Mas jangan gombal ih.” Krist tertawa kecil sambil memukul pelan lengan Singto.

“Adek... kakek bakal tinggal di rumah sampe cucunya dia lahir.” Kata Singto dengan tatapan sendu.

“Iya gapapa...” Krist mencoba menunjukan senyum terbaiknya tapi gagal. Senyuman yang ia tunjukan penuh dengan rasa khawatir.

“Singto! Krist! Ayo masuk sini!” Teriak papa Singto.

“Masuk yuk.” Singto berdiri dan menyodorkan tangan untuk membantu Krist berdiri.

Aku pasti bisa! Yakan? – Krist

Semua akan baik-baik saja. Yakan? – Singto

Rumah

Acara akhirnya selesai dan semua kembali ke rumah masing-masing termasuk Krist dan Singto.

“Singto kamu pindah ke kamar istri kamu. Jangan lupa buatkan kakek cucu ya.” Ucap Kakek Singto dengan gembira.

Singto dengan terkejut memandang ke arah Krist. Krist mengeratkan genggamannya sambil masih menatap lurus ke depan.

“Kek, biarin Singto tidur sama Krist aja.”

“Gak bisa gitu dong! Kan ini malam pertamamu dengan istrimu. Biarkan Krist tidur sendiri.”

Krist melonggarkan genggamannya lalu menatap Singto. Singto menatapnya balik dengan muka khawatir.

Krist membelai pipi Singto lalu berkata,

“Ini malam pertama, temani istri mas aja. Adek gapapa.”

“Tapi-“

“Mas..”

“Iya...”

Krist memeluk Singto dengan erat, mencoba untuk menenangkan Singto serta hatinya yang tak bentuk lagi.

Setelah berpelukan, Krist berniat untuk berjalan ke arah kamarnya. Namun, Singto menahan lengannya, ia enggan melepas laki-laki mungil di depannya untuk tidur sendirian.

Krist yang ditahan, membalikkan badannya untuk menatap Singto sekali lagi. Krist mengusap tangan Singto yang sedang menggenggamnya, mencoba untuk menyampaikan pesan bahwa semua akan baik baik saja.

Singto akhirnya melepaskan genggamannya dengan terpaksa lalu Krist melanjutkan perjalanannya ke kamar.

Sesampainya di kamar, Krist langsung menyenderkan punggungnya di pintu kamar lalu menangis. Sementara Singto masih menatap kosong ke arah tangan yang baru saja melepaskan Krist.

Sakit. Mereka berdua sama-sama tersakiti sekarang dan tak ada yang mampu mengobati.

Krist tidak bisa tidur, ia sudah mencoba semua posisi yang ia anggap nyaman. Namun, nihil.

Tiba-tiba terasa sebuah tangan melingkar di pinggang Krist. Krist terkejut dan mencoba melepaskan dirinya. Namun, tangan itu mengeratkan pelukannya.

“Jangan pergi... mas gak bisa tidur.” Kata Singto dengan suara serak.

“Kamu kenapa? Kamu abis nangis ya?”

Singto memutarkan badan Krist untuk menghadapnya lalu berkata,

“Kamu? Kenapa ngomongnya pake kamu?” Kata Singto dengan muka khawatir.

“Ah.. maaf tadi adek cuma reflek karena kaget sama suara mas.”

“Jangan gitu lagi. Mas kira kamu marah. Mas gamau.” Singto memeluk Krist dengan erat. Ia takut. Takut sekali.

“Mas.. mas gak boleh disini. Mas harus disana temenin istri mas. Kasian lho, dia pasti sedih kamu giniin dia. Dia manusia punya perasaan juga mas.”

“Adek bisa gak sih sekali aja pikirin perasaan sendiri juga? Adek selalu mentingin orang lain sekali aja mas pengen adek egois.”

“Gak boleh-“

“Adek jawab jujur ke mas. Waktu di rumah sakit itu, kakek gak mohon-mohon kan? Kakek marahin kamu kan?”

“Ngg-“

“Jujur dek.”

“Iya..”

“Ok.”

“Tapi jangan marah sama kakek. Adek ngerti perasaan kakek kok. Dia cuma mau yang terbaik buat mas.”

“Kamu tau kan ngelakuin ini itu ngehancurin hati aku? Aku sakit waktu denger kamu suruh aku nikah sama orang lain. Aku sakit waktu liat kamu nahan nangis. Aku sakit waktu denger kamu nangis.”

Krist menundukan kepalanya, merasa bersalah. Singto menaikkan dagu Krist dan Krist menatapnya sendu.

“Aku janji semua bakal berakhir.”

“Mas! Apa-apaan sih! Kamu gak boleh cerai sama istri kamu. Dia bukan pabrik pembuat anak.” Krist kaget dan melepas pelukan mereka.

“Kamu juga harus inget juga kalo kamu suami aku. Kamu pantes buat bahagia sama aku!”

“Tapi kamu gak boleh gitu. Istri kamu punya perasaan, dia bukan benda mati mas!”

“Aku gak bisa jelasin apa-apa sama kamu sekarang tapi aku janji kita akan selalu baik-baik aja.” Singto mencoba meraih Krist. Namun, Krist menolak.

“Mas gak boleh cerai. Kakek nanti marah, nanti kakek makin sakit.”

“Iya... mas usahain.” Singto mencoba meraih Krist lagi dan kini Krist menurut.

“Adek janji gak boleh tinggalin mas ya..” Singto membenamkan mukanya dia leher Krist.

Cucu

Rena, istri baru Singto akhirnya hamil setelah beberapa minggu menikah. Singto sebisa mungkin menjaga Rena walau kadang kesibukan kantor menghalanginya. Ia menuruti setiap permintaan Rena dan mencukupi segala kebutuhannya.

Krist juga berusaha sebisa mungkin untuk merawat Rena walau Krist tau, anak yang dikandung Rena bukanlah anaknya.

Krist dan Rena jarang berinteraksi tapi tak ada kebencian maupun permusuhan diantara mereka.

“Mas Krist..”

Krist yang tiba-tiba dipanggil terkejut dan langsung berlari ke arah Rena.

“Iya kenapa? Ada yang sakit?”

“Mas aku ngidam... pengen dielus perutnya.”

“Ah, aku panggilin Singto dulu ya.” Krist berniat berlari ke kamarnya untuk mengambil handphonenya. Namun, Rena menahan tangannya.

“Ke..kenapa Rena?”

“Aku maunya mas yang ngelus.” Kata Rena.

“Hah? Maksudnya?”

“Baby maunya mas Krist yang ngelus.”

“Ah.. hmm ok.”

Dengan tangan ragu-ragu, ia mencoba memegang perut Rena. Rena yang melihat keraguan itu, menuntun tangan Krist ke perutnya.

Saat tangan itu berada di perut Rena, terasa sebuah tendangan kecil dari si baby.

“Dia seneng dielus mas Krist.”

Krist hanya tersenyum manis sambil memandang perut Rena yang sudah besar. Kehamilannya sudah menginjak umur 9 bulan jadi semua harus berjaga-jaga disekitar Rena.

“Aku pulang!” Teriak Singto.

Singto berjalan ke arah Krist dan Rena lalu mengecup kening Krist dan mengelus perut Rena sambil berkata,

“Halo baby, kangen ayah gak?”

“Kangen ayah!” Kata Rena dengan nada anak kecil yang dibuat-buat.

“Jangan susahin mami ya sayang.”

“Siap! Ayah!”

Mereka berdua tertawa kecuali Krist yang hanya tersenyum manis melihat interaksi mereka.

Cocok – Krist

Tiba-tiba Rena merasakan perutnya sangat sakit, ia mulai mengerang kesakitan. Singto langsung memanggil ambulance untuk segera datang menjemput mereka

“Hanya bisa salah satu keluarga yang ikut ya.” Kata salah satu perawat

“Mas udah cepetan naik.” Kata Krist setelah meletakan Rena di mobil.

“Tapi kamu-“

“Aku bisa nyusul nanti, udah sana cepet!”

Singto naik ke mobil lalu menggenggam tangan Rena, mencoba menenangkannya. Krist melihat mereka sambil menunjukan senyuman penuh arti.

————————

Proses persalinan berjalan lancar, Rena melahirkan sepasang anak kembar yang satu laki-laki tampan dan yang satu lagi perempuan manis.

Rena menggendong yang perempuan dan Singto menggendong yang laki-laki. Mereka berdua terlihat bercanda dan tertawa bersama setelah masa yang menegangkan.

Di luar kamar, Krist lagi-lagi tersenyum melihat interaksi mereka lewat jendela. Mereka terlihat seperti keluarga yang sempurna. Ayah yang tampan, Ibu yang cantik, dan kedua anak yang lucu serta menggemaskan.

Kedatangan Rena memang membawa berkah bagi keluarga Singto. Ia membuat kondisi kakek pulih seiring dengan pertumbuhan kehamilan Rena.

Singto juga terlihat begitu bahagia menggenggam anak mungil di tangannya. Senyuman yang ditunjukkan Singto sama seperti waktu Krist menerima lamarannya, itu berarti dia sangat amat bahagia.

Rena perempuan yang cantik dan berhati lembut. Dia memang perempuan yang tepat untuk menggantikan posisinya. Krist sekarang tersenyum melihat tas yang dipegangnya. Ia sudah siap untuk pergi, ia takut kehadirannya akan mengusik kebahagiaan mereka.

Krist berjalan keluar rumah sakit dengan langkah lemah. Ia menoleh ke belakang, tersenyum lalu berkata,

“Be Happy, always.”

Di dalam ruangan, Rena dan Singto bersenda gurau tanpa mengetahui Krist telah pergi.

“Anak perempuan yang cantik ini mirip banget sama Mas Krist.” Kata Rena.

“Anak laki-laki yang tampan ini mirip aku.” Kata Singto

“Aku gak tau kalo ternyata 2 sel sperma bisa membuahi satu telur.”

“Aku juga gak tau tapi Krist pasti seneng kalo aku kasi tau kebenarannya.”

Setelah hening sebentar akhirnya Singto berucap lagi,

“Makasih ya Ren..”

“Sama-sama mas. Aku seneng kok bisa ngebantu.”

“Aku dan Krist janji bakal rawat bayi-bayi kamu dengan baik.”

“Aku percaya mas.”

“Jangan pergi dulu ke london.”

“Nggaklah mas! Aku bakal tunggu sampe kondisi aku pulih, baru pergi. Makasih udah mau bantu aku juga ya mas.”

“Nanti kita ngomong ke kakeknya barengan aja ya.”

“Iya.”

Suster tiba-tiba datang dan mengambil bayi-bayi lucu itu untuk dibawa ke ruang NICU.

“Aku ijin ketemu Krist dulu ya. Kamu istirahat yang bener.” Kata Singto dan Rena memberi anggukan kecil.

Singto keluar dari ruangan, papa Singto langsung memeluk Singto dan mengucapkan selamat.

“Makasih pa..”

“Papa bangga sama kamu.”

“Krist mana ya pa?”

“Gatau, tadi dia gak pergi sama papa. Dia bilang dia bakal nyusul papa naik taksi karena ada urusan.”

“Pa... boleh jagain Rena dulu? Singto mau pulang liat Krist.”

“Iya.”

Singto langsung bergegas pulang, ia merasa ada yang tidak beres. Hatinya tak berhenti berdegub kencang, ia khawatir.

“Adek!” Teriak Singto.

Hening. Tidak ada suara yang menjawabnya.

“Bi!” Singto memanggil salah satu asisten rumah tangga di rumahnya.

“Iya tuan?”

“Krist mana?”

“Tadi tuan Krist udah pergi ke rumah sakit naik taksi.”

“Tapi Krist tadi gak ada di rumah-“ Singto memotong ucapannya sendiri dan langsung pergi ke kamar Krist

Singto membuka kamar Krist. Namun, ia tak melihat laki-laki mungil miliknya itu. Ia membuka lemari Krist dan melihat bahwa pakaian Krist sudah tidak lagi disana.

Singto langsung berlari mengambil kunci mobil lalu bergegas keluar mencari keberadaan kekasihnya itu.

“Kamu dimana Krist.” Kata Singto dengan nada panik.

Singto telah menyelusuri tempat-tempat favorit Krist. Namun, ia tak menemukannya. Waktu sudah menunjukan pukul 3 pagi. Singto sudah lelah tapi dia tidak rela pulang sebelum bertemu Krist.

Ia menepi, mencoba menenangkan hatinya yang gelisah dan khawatir. Ia tak mau kehilangan Krist.

Singto terus mempertanyakan kepada dirinya. Apa yang telah ia perbuat sehingga Krist memutuskan untuk pergi? Apa dia buat kesalahan? Apa yang terjadi? Kenapa?

Mas, makasih ya udah mau sama adek. Adek sayang banget sama mas.

Mas... jangan tinggalin adek yaa.

Happy Anniversary Mas! Moga kita langgeng sampe maut memisahkan ya.

Mas... mas nyesel gak sih nikah sama adek?

Adek merasa bersalah... seharusnya adek gak nikah sama mas.

Kakek gak suka adek ya mas?

Adek mending pergi gak sih mas...

Suara Krist terus terngiang di pikirannya sampai kalimat terakhir itu muncul kembali.

Flashback ON

“Adek kok belum tidur? Ini udah jam 3 pagi lho.”

“Gapapa adek lagi gak bisa tidur.”

“Adek mau minum susu anget? Mas bikinin.”

“Gausah... mas boleh duduk bentar aja?”

“Boleh.” Singto duduk di samping Krist

Krist menyenderkan kepalanya di bahu Singto lalu menghela napasnya.

“Adek kenapa?” Tanya Singto sambil salah satu tangannya dilingkarkan di pinggang Krist.

“Gapapa adek lagi banyak pikiran aja. Adek curi mas dari istri mas bentar gapapa kan? Gak lama kok 10 menit aja.”

“Adek kok ngomong gitu? Adek kan pasangan sah mas juga.”

“Adek takut ganggu aja..”

“Denger ya, adek gak pernah ganggu apapun. Adek berhak dicintain sama mas. Adek berhak bahagia.” Singto menangkup kedua pipi mulus Krist.

“Tapi kalau mas pikir lagi, keadaan sekarang semuanya udah bahagia... adek mending pergi aja gak sih mas?”

Flashback OFF

Air mata Singto mulai jatuh bersamaan dengan luka yang perlahan timbul di hatinya.

“Krist apa kamu masih mikir kayak gitu?” Tanya Singto pada dirinya sendiri dengan suara lemah.

Setelah banyak menangis, akhirnya Singto memutuskan untuk pergi pulang ke rumahnya. Ia butuh mengistirahatkan pikirannya.

————————

Seminggu kemudian, Rena pulang dari rumah sakit. Ia pindah menetap di rumah orang tua Singto untuk sementara sampai keadaan Singto serta keadaannya pulih. Ia akan pindah ke London setelah anak-anaknya berumur 6 bulan karena harus menyusuinya ASI. Rena dibantu oleh papa Singto dan mama tiri Singto dalam mengurus kedua anak kembarnya.

Rutinitasi Singto sejak Krist tidak ada adalah pagi hari sebelum ia berangkat kerja ia akan mencari Krist dan setelah ia pulang kerja, ia akan mencari Krist lagi sampai tengah malam.

Hal itu dilakukan Singto selama seminggu penuh. Singto menjadi kurus dan tak bergizi. Matanya tidak pernah fokus dan dia sering sakit kepala. Jangan lupakan kantong matanya yang menebal tiap harinya dikarenakan tidurnya yang tak pernah nyenyak.

“Tuan, sebaiknya hari ini tuan istirahat saja di rumah. Biar saya yang cari tuan Krist.” Kata Adi, supir yang telah bekerja bersama Singto dan Krist bertahun-tahun.

“Saya ingin lihat Krist.”

“Tapi tuan terlihat sangat lelah dan ini sudah malam.”

“Biarkan saya ikut, saya ingin bertemu Krist.”

Adi hanya menghela napasnya lalu melajukan mobil ke jalan biasa mereka mencari Krist.

“Tuan, sepertinya ada perbaikan jalan jadi kita harus memakai jalan yang berbeda.”

“Yasudah tidak apa-apa.”

Di perjalanan tiba-tiba Adi melihat satu sosok yang sangat ia kenal. Adi sudah bekerja bertahun-tahun dengan Singto dan Krist jadi ia tau bagaimana perawakan majikannya.

“Tuan, sepertinya itu tuan Krist.”

Singto melihat ke arah yang sama dengan yang dilihat Adi. Ia langsung membulatkan matanya. Kenapa ia begitu bodoh? Kenapa ia tidak ingat untuk pergi ke jembatan ini?

Rama VIII Bridge

Singto langsung turun dari mobil dan berlari ke arah Krist.

“Krist!” Teriak Singto

Krist membeku, ia kenal dengan suara yang sedang memanggilnya. Tanpa menoleh ke belakang, ia berjalan lebih cepat.

“Jangan tinggalin aku please.” Singto masih mencoba mengejar Krist.

Krist dengan mata berair, mempercepat jalannya.

“Krist.. aku mohon.”

“Jangan kejar aku Singto, aku cuma bisa ngehancurin kebahagiaan kamu aja. Kamu harus hidup normal Singto.”

“GIMANA AKU BISA BAHAGIA KALO CINTA DAN KEBAHAGIAAN AKU ITU PERGI NINGGALIN AKU?!” Kata Singto dengan tenaga yang tersisa di dalam dirinya.

“Aku mohon... Krist.” Kata Singto bersamaan dengan tubuhnya yang mulai terjatuh ke tanah.

BRUKK

Terdengar suara tubuh terjatuh, Krist langsung menoleh dan berlari ke arah Singto.

“Mas! Mas bangun mas!” Krist memeluk Singto dengan air mata yang tak berhenti keluar dari matanya.

“Sepertinya tuan Singto sudah mencapai batas energinya.” Kata Pak Adi sambil membopong Singto ke mobil.

“Ke rumah sakit-“

“Aku mau pulang... aku mau kamu pulang sama aku.. aku mohon Krist.. kembali sama aku...” Kata Singto dengan mata tertutup dan dengan suara yang lemah sambil menggenggam tangan Krist.

“Iya... kita pulang mas.” Krist menghapus air mata yang keluar dari mata Singto.

Sesampainya di rumah, Singto langsung dibopong Krist ke kamarnya. Saat Krist ingin keluar untuk mengambil obat, Singto menahan lengannya.

“Ja..jangan pergi... aku takut.” Kata Singto dengan tubuh yang bergetar.

Krist tidak tahu bahwa kepergiannya malah menghancurnya pemilik hatinya. Ia tidak pernah melihat Singto ketakutan sampai bergetar seperti ini.

“Adek disini sama mas..” Krist membelai surai hitam Singto dengan lembut, mencoba menenangkan pemiliknya.

“Tidur sama mas.” Singto bergerak untuk memberikan jarak di sampingnya.

Krist menghela napas sebentar lalu menempatkan dirinya berhadapan dengan Singto yang masih memejamkan matanya.

Singto melingkarkan tangannya di pinggang Krist lalu menyembunyinya mukanya di leher Krist.

“Adek.. kenapa pergi tinggalin mas?” Kata Singto dengan suara tenang.

“Karena adek takut ganggu mas..”

“Mas pulang dengan kabar gembira tapi malah liat lemari udah kosong.”

“...”

“Adek tahu gak sih rasanya waktu separuh nyawa mas di bawah pergi adek?”

“....”

“Rasanya sakit dek... ka..kayak mau mati aja... Kayak sekitar mas langsung jadi gelap dan kosong.” Kata Singto dengan nada bergetar.

“...”

“Kalo adek bilang adek ganggu mas. Kamu salah karena cuma adek yang bisa bikin mas bahagia.”

“...”

“Nothing more important than you in my life.”

“Maaf..”

“Kamu tau... mas hampir mau bunuh diri.”

Krist langsung membulatkan matanya yang tadi terpejam. Ia hampir saja kehilangan kekasihnya?

“Mas gak boleh!”

“Abisnya adek pergi... mas berasa gak punya tujuan hidup lagi.”

“Mas kan ada Rena.”

“Rena bukan siapa-siapa.”

Flashback ON

“Pa, Singto gak bisa dan gamau.”

“Papa tau kamu gamau mangkannya kita pake Ibu surogasi aja.”

[ Ibu pengganti atau surogasi (bahasa Inggris: surrogacy) adalah suatu pengaturan atau perjanjian yang mencakup persetujuan seorang wanita untuk menjalani kehamilan bagi orang lain, yang akan menjadi orang tua sang anak setelah kelahirannya. ]

“Ada kok yang mau bantu mengandung anak kamu. Kamu dan Krist hanya perlu sumbang sperma.” Kata papa

“...” Singto tampak berpikir.

“Tapi ibu penggantinya minta kamu untuk membiayai operasi ibunya yang ada di London.”

“Aku bisa itu.”

“Tapi karena kakek menolak sistem surogasi ini kamu harus nikah dengan ibu penggantinya.”

“Hah? Papa gila ya?”

“Nikah tidak usah beneran, Singto. Cukup menyematkan cincin di depan Kakek dan berlagak seperti kekasih saja dan kamu juga harus merahasiakannya dari Krist.”

“....”

“Kamu tau kan tujuan kakek begini karena tidak suka Krist menikah denganmu?”

“...”

“Lakukanlah sekali ini untuknya. Kakek akan pindah ke luar negeri setelah melihat cucunya. Jadi kamu bisa berhenti berpura-pura setelah itu.”

“Tapi gimana dengan Krist? Dia pasti sakit.”

“Papa yakin Krist kuat. Kamu bisa langsung kasi tau Krist setelah anakmu lahir. Dia pasti seneng mendapat anak.”

“Baiklah.. aku terima saran papa.”

Flashback OFF

“Maaf ya dek, maaf banget.” Kata Singto dengan air mati mengalir deras.

“Mas gak salah... adek gapapa.”

“Tapi adek tinggalin mas.”

“Maaf..”

“Adek udah janji gak akan ninggalin mas.”

“Iya adek minta maaf ya mas.”

“Adek janji gak boleh ninggalin mas lagi.” Singto menangkup wajah Krist.

“Adek janji mas... adek gak akan ninggalin mas lagi.”

“Till death due us apart?” Singto mengikis jarak antara dirinya dengan Krist hingga bibir mereka hampir menempel.

“Till death due us apart.” Krist mencium bibir Singto.

– END -

Rosie: Sedih gak sih?? Jangan lupa komen ya aku mau tau soalnya ini narasi terpanjang aku takutnya ngebosenin doang :(

Singto masuk ke dalam rumah dengan muka penuh tekanan. Krist yang sedari tadi menunggunya di ruang keluarga, menghampirinya dan melepaskan jasnya.

“Mas tumben pulang malem?”

“Tadi masih banyak kerjaan.”

“Mas mau mandi atau makan dulu?”

“Makan dulu aku laper.”

Selama mereka makan, tidak ada yang membuka suara. Keheningan yang biasa terasa nyaman kini terlihat canggung.

“Mas mau berendam?” Krist mencoba memecahkan keheningan setelah mereka berdua menyelesaikan hidangan makan malam mereka.

“Hmmm.” Singto hanya memberikan anggukan kecil kepada Krist.

“Yaudah adek siapin airnya dulu ya.”

Singto berendam sekitar setengah jam, mencoba untuk melepas segala penat yang ditahannya. Ia keluar dari kamar mandi dengan pandangan Krist sudah duduk di tepi kasur sambil memandangi lantai kamar mereka.

Singto memakai baju yang telah disiapkan Krist lalu berdiri di hadapan Krist. Krist menarik pinggang Singto dan mendekapnya sedangkan Singto mengusap pelan surai hitam Krist.

Tiba-tiba terlihat bahu Krist bergetar hebat dan baju yang baru saja dipakai Singto terasa basah. Singto berlutut di depan Krist lalu menggenggam tangannya.

“Adek kenapa nangis?” Tanya Singto dengan ekspresi khawatir.

“Tadi adek jenguk kakek mas..”

“Trus?” Singto mengusap-usap tangan yang digenggamnya.

“Kakek mohon-mohon sama adek buat biarin mas punya keturunan....”

Singto hanya terdiam membeku karena tidak tahu harus jawab apa.

“Mas... adek merasa bersalah.”

“Hei! Kok gitu sih! Adek gak salah, gak ada yang salah.”

“Tapi kalo adek gak nikah-“

“Krist. Mas gak suka ya kamu begini.”

“Mas...” Krist kini menatap sendu ke arah mata Singto sambil membalas genggaman Singto dengan tangan yang basah akibat air matanya tadi.

“Hm”

“Mas terima ya permintaan kakek.”

Deg.

Singto terkejut, ia menatap langsung ke mata kecokelatan milik Krist. Terlihat tatapan serta raut kecewa di muka Singto.

“Adek, mas gak akan mau duain kamu sampe kapanpun.” Kata Singto dengan penuh penekanan.

“Mas... kasian kakek dia cuma minta cucu dari kamu. Adek dibolehin nikah sama mas aja udah bersyukur banget.”

Singto langsung berdiri meninggalkan Krist dan pergi ke balkon kamar mereka. Krist menghela napasnya, keputusan ini sudah ia pikir secara matang. Krist tahu benar bahwa keputusan ini akan menyakitkan. Namun, ini demi permintaan terakhir sang kakek.

Krist berjalan mendekati Singto dan memeluknya dari belakang dengan dagu yang diletakkan di pundak sang suami.

“Aku udah liat ceweknya. Dia anak bandung ternyata. Anaknya baik, cantik-“

“Adek kenapa sih? Pengen banget kayaknya mas nikah lagi.” Singto membalikkan badannya dengan sedikit kasar, membuat Krist sedikit mundur.

“Bukan gitu mas.... ini demi kakek.”

“Mas cuma cinta sama adek.”

“Adek tahu kok... adek percaya walau nanti mas ada istri lagi, mas gak akan tinggalin adek.”

“Mas gamau duain adek.”

Krist mendekat lalu menakup wajah tampan milik sang suami. Ia membelainya dengan kasih sayang dan menatapnya dengan penuh cinta.

“Mas sayang adek kan?”

“Sayang banget” Singto menarik pinggang Krist untuk mendekat.

“Mas tahu kan kalo adek paling mengutamakan keluarga daripada apapun.”

“....”

“Jadi, kalo mas sayang adek... adek mau mas pikirin permintaan kakek.”

“Mas gamau adek sakit.”

“Adek gapapa kok. Mas tetep bakal sayang adek kan? Adek gak takut kehilangan mas. Jadi, mas gausah takut ya.”

“Iya... nanti... mas bilang papa.”

Singto mengeratkan pelukannya, ia mengetahui keputusan ini berat untuk keduanya. Krist mengigit bibir bawahnya, mencoba menahan rasa sakit serta sesak di dadanya. Krist gamau menangis, dia gamau Singto berubah pikiran karena dirinya.

Pernikahan

Di gedung bernuasa putih dan emas terlihat seorang laki-laki yang gagah dan tampan sedang berdiri di samping seorang perempuan bergaun putih yang cantik jelita.

Pernikahan mereka diadakan secara tertutup sehingga hanya keluarga dan kerabat dekat yang datang.

Proses berjalan lancar hingga penyerahan cincin tiba. Krist pergi ke altar sambil membawa kotak berisi sepasang cincin berwarna emas.

Anggap saja dirinya bodoh tapi Krist sendiri yang meminta agar ia yang membawakan kotak cincin itu. Selama perjalanan ke altar, Krist menunjukan senyuman termanisnya.

Semua orang di ruangan itu tahu, bahwa senyuman itu tidak terlihat sebahagia biasanya. Ada luka dalam yang tertutup oleh senyuman manis itu.

Singto yang melihat Krist berjalan menuju altar juga tersenyum. Namun, senyum itu penuh dengan rasa bersalah serta kesedihan yang mendalam.

Kedua mempelai menyematkan cincin ke jari masing-masing.

You shall kiss the bride

Singto dengan langkah ragu berjalan dan mencium istrinya. Ciuman itu sangat singkat bahkan tidak sampai 3 detik dan hanya sekedar menempel saja.

Singto dengan cepat mengalihkan perhatiannya ke suaminya. Namun, nihil. Ia tidak menemukan sosok Krist dimana-mana.

Raut wajah Singto berubah panik. Setelah tepukan tangan terdengar di telinga, Singto meminta ijin untuk keluar. Singto berlari keluar dengan tergesah-gesah, mencari laki-laki mungil miliknya.

Remuk. Ia melihat pujaan hatinya patah dihadapannya. Terdengar sebuah tangis kecil yang menyakitkan hati.

Singto tak berhasil menahan air matanya lagi. Air matanya itu mengalir deras beriringan dengan suara tangisan Krist. Ia salah, ia salah ambil langkah. Ia menyakiti pemilik hatinya.

Flashback

“Krist, will you spend the rest of your life with me till death due us apart?” Kata Singto dengan posisi berlutut sambil memegang kotak merah.

“Yes! Yes, I will! I love you!” Singto bangkit berdiri lalu Krist menabraknya dengan pelukan bahagia.

“I love you more.” Kata Singto sambil mengecup pipi Krist membuat sang pemilik menunjukan semburat merah di pipinya. Ia terlihat manis.

“Awas ya mas selingkuhin adek! Adek langsung tinggalin mas bodo amat!”

“Ih udah dapet suami selucu kamu ngapain selingkuh.”

“Ya... siapa tau.”

“You will be my only love, dek”

Rama VII Bridge

Tempat saksi cinta mereka yang penuh perjuangan dan pengorbanan.

Flashback OFF

Singto menghapus air matanya lalu berjalan di hadapan Krist. Krist yang melihat Singto langsung dengan panik menghapus air matanya.

“Mas... kok disini?”

“Yang harusnya tanya itu aku. Kamu kenapa disini?” Kata Singto sambil berlutut di depan Krist.

Krist lagi-lagi mengigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang ingin sekali keluar meluapkan kepedihan.

“Bibirnya jangan digigit dek nanti luka.” Kata Singto sambil mengusap bibir Krist yang sudah merah.

“Mas selamat ya... adek seneng banget liat mas ada yang jagain selain adek.” Kata Krist dengan menunjukan senyum manisnya.

“Kamu seharusnya gak disini tau dek, kamu seharusnya di surga aja sama malaikat lain.”

“Ish! Mas jangan gombal ih.” Krist tertawa kecil sambil memukul pelan lengan Singto.

“Adek... kakek bakal tinggal di rumah sampe cucunya dia lahir.” Kata Singto dengan tatapan sendu.

“Iya gapapa...” Krist mencoba menunjukan senyum terbaiknya tapi gagal. Senyuman yang ia tunjukan penuh dengan rasa khawatir.

“Singto! Krist! Ayo masuk sini!” Teriak papa Singto.

“Masuk yuk.” Singto berdiri dan menyodorkan tangan untuk membantu Krist berdiri.

Aku pasti bisa! Yakan? – Krist

Semua akan baik-baik saja. Yakan? – Singto

Rumah

Acara akhirnya selesai dan semua kembali ke rumah masing-masing termasuk Krist dan Singto.

“Singto kamu pindah ke kamar istri kamu. Jangan lupa buatkan kakek cucu ya.” Ucap Kakek Singto dengan gembira.

Singto dengan terkejut memandang ke arah Krist. Krist mengeratkan genggamannya sambil masih menatap lurus ke depan.

“Kek, biarin Singto tidur sama Krist aja.”

“Gak bisa gitu dong! Kan ini malam pertamamu dengan istrimu. Biarkan Krist tidur sendiri.”

Krist melonggarkan genggamannya lalu menatap Singto. Singto menatapnya balik dengan muka khawatir.

Krist membelai pipi Singto lalu berkata,

“Ini malam pertama, temani istri mas aja. Adek gapapa.”

“Tapi-“

“Mas..”

“Iya...”

Krist memeluk Singto dengan erat, mencoba untuk menenangkan Singto serta hatinya yang tak bentuk lagi.

Setelah berpelukan, Krist berniat untuk berjalan ke arah kamarnya. Namun, Singto menahan lengannya, ia enggan melepas laki-laki mungil di depannya untuk tidur sendirian.

Krist yang ditahan, membalikkan badannya untuk menatap Singto sekali lagi. Krist mengusap tangan Singto yang sedang menggenggamnya, mencoba untuk menyampaikan pesan bahwa semua akan baik baik saja.

Singto akhirnya melepaskan genggamannya dengan terpaksa lalu Krist melanjutkan perjalanannya ke kamar.

Sesampainya di kamar, Krist langsung menyenderkan punggungnya di pintu kamar lalu menangis. Sementara Singto masih menatap kosong ke arah tangan yang baru saja melepaskan Krist.

Sakit. Mereka berdua sama-sama tersakiti sekarang dan tak ada yang mampu mengobati.

Krist tidak bisa tidur, ia sudah mencoba semua posisi yang ia anggap nyaman. Namun, nihil.

Tiba-tiba terasa sebuah tangan melingkar di pinggang Krist. Krist terkejut dan mencoba melepaskan dirinya. Namun, tangan itu mengeratkan pelukannya.

“Jangan pergi... mas gak bisa tidur.” Kata Singto dengan suara serak.

“Kamu kenapa? Kamu abis nangis ya?”

Singto memutarkan badan Krist untuk menghadapnya lalu berkata,

“Kamu? Kenapa ngomongnya pake kamu?” Kata Singto dengan muka khawatir.

“Ah.. maaf tadi adek cuma reflek karena kaget sama suara mas.”

“Jangan gitu lagi. Mas kira kamu marah. Mas gamau.” Singto memeluk Krist dengan erat. Ia takut. Takut sekali.

“Mas.. mas gak boleh disini. Mas harus disana temenin istri mas. Kasian lho, dia pasti sedih kamu giniin dia. Dia manusia punya perasaan juga mas.”

“Adek bisa gak sih sekali aja pikirin perasaan sendiri juga? Adek selalu mentingin orang lain sekali aja mas pengen adek egois.”

“Gak boleh-“

“Adek jawab jujur ke mas. Waktu di rumah sakit itu, kakek gak mohon-mohon kan? Kakek marahin kamu kan?”

“Ngg-“

“Jujur dek.”

“Iya..”

“Ok.”

“Tapi jangan marah sama kakek. Adek ngerti perasaan kakek kok. Dia cuma mau yang terbaik buat mas.”

“Kamu tau kan ngelakuin ini itu ngehancurin hati aku? Aku sakit waktu denger kamu suruh aku nikah sama orang lain. Aku sakit waktu liat kamu nahan nangis. Aku sakit waktu denger kamu nangis.”

Krist menundukan kepalanya, merasa bersalah. Singto menaikkan dagu Krist dan Krist menatapnya sendu.

“Aku janji semua bakal berakhir.”

“Mas! Apa-apaan sih! Kamu gak boleh cerai sama istri kamu. Dia bukan pabrik pembuat anak.” Krist kaget dan melepas pelukan mereka.

“Kamu juga harus inget juga kalo kamu suami aku. Kamu pantes buat bahagia sama aku!”

“Tapi kamu gak boleh gitu. Istri kamu punya perasaan, dia bukan benda mati mas!”

“Aku gak bisa jelasin apa-apa sama kamu sekarang tapi aku janji kita akan selalu baik-baik aja.” Singto mencoba meraih Krist. Namun, Krist menolak.

“Mas gak boleh cerai. Kakek nanti marah, nanti kakek makin sakit.”

“Iya... mas usahain.” Singto mencoba meraih Krist lagi dan kini Krist menurut.

“Adek janji gak boleh tinggalin mas ya..” Singto membenamkan mukanya dia leher Krist.

Cucu

Rena, istri baru Singto akhirnya hamil setelah beberapa minggu menikah. Singto sebisa mungkin menjaga Rena walau kadang kesibukan kantor menghalanginya. Ia menuruti setiap permintaan Rena dan mencukupi segala kebutuhannya.

Krist juga berusaha sebisa mungkin untuk merawat Rena walau Krist tau, anak yang dikandung Rena bukanlah anaknya.

Krist dan Rena jarang berinteraksi tapi tak ada kebencian maupun permusuhan diantara mereka.

“Mas Krist..”

Krist yang tiba-tiba dipanggil terkejut dan langsung berlari ke arah Rena.

“Iya kenapa? Ada yang sakit?”

“Mas aku ngidam... pengen dielus perutnya.”

“Ah, aku panggilin Singto dulu ya.” Krist berniat berlari ke kamarnya untuk mengambil handphonenya. Namun, Rena menahan tangannya.

“Ke..kenapa Rena?”

“Aku maunya mas yang ngelus.” Kata Rena.

“Hah? Maksudnya?”

“Baby maunya mas Krist yang ngelus.”

“Ah.. hmm ok.”

Dengan tangan ragu-ragu, ia mencoba memegang perut Rena. Rena yang melihat keraguan itu, menuntun tangan Krist ke perutnya.

Saat tangan itu berada di perut Rena, terasa sebuah tendangan kecil dari si baby.

“Dia seneng dielus mas Krist.”

Krist hanya tersenyum manis sambil memandang perut Rena yang sudah besar. Kehamilannya sudah menginjak umur 9 bulan jadi semua harus berjaga-jaga disekitar Rena.

“Aku pulang!” Teriak Singto.

Singto berjalan ke arah Krist dan Rena lalu mengecup kening Krist dan mengelus perut Rena sambil berkata,

“Halo baby, kangen ayah gak?”

“Kangen ayah!” Kata Rena dengan nada anak kecil yang dibuat-buat.

“Jangan susahin mami ya sayang.”

“Siap! Ayah!”

Mereka berdua tertawa kecuali Krist yang hanya tersenyum manis melihat interaksi mereka.

Cocok – Krist

Tiba-tiba Rena merasakan perutnya sangat sakit, ia mulai mengerang kesakitan. Singto langsung memanggil ambulance untuk segera datang menjemput mereka

“Hanya bisa salah satu keluarga yang ikut ya.” Kata salah satu perawat

“Mas udah cepetan naik.” Kata Krist setelah meletakan Rena di mobil.

“Tapi kamu-“

“Aku bisa nyusul nanti, udah sana cepet!”

Singto naik ke mobil lalu menggenggam tangan Rena, mencoba menenangkannya. Krist melihat mereka sambil menunjukan senyuman penuh arti.

————————

Proses persalinan berjalan lancar, Rena melahirkan sepasang anak kembar yang satu laki-laki tampan dan yang satu lagi perempuan manis.

Rena menggendong yang perempuan dan Singto menggendong yang laki-laki. Mereka berdua terlihat bercanda dan tertawa bersama setelah masa yang menegangkan.

Di luar kamar, Krist lagi-lagi tersenyum melihat interaksi mereka lewat jendela. Mereka terlihat seperti keluarga yang sempurna. Ayah yang tampan, Ibu yang cantik, dan kedua anak yang lucu serta menggemaskan.

Kedatangan Rena memang membawa berkah bagi keluarga Singto. Ia membuat kondisi kakek pulih seiring dengan pertumbuhan kehamilan Rena.

Singto juga terlihat begitu bahagia menggenggam anak mungil di tangannya. Senyuman yang ditunjukkan Singto sama seperti waktu Krist menerima lamarannya, itu berarti dia sangat amat bahagia.

Rena perempuan yang cantik dan berhati lembut. Dia memang perempuan yang tepat untuk menggantikan posisinya. Krist sekarang tersenyum melihat tas yang dipegangnya. Ia sudah siap untuk pergi, ia takut kehadirannya akan mengusik kebahagiaan mereka.

Krist berjalan keluar rumah sakit dengan langkah lemah. Ia menoleh ke belakang, tersenyum lalu berkata,

“Be Happy, always.”

Di dalam ruangan, Rena dan Singto bersenda gurau tanpa mengetahui Krist telah pergi.

“Anak perempuan yang cantik ini mirip banget sama Mas Krist.” Kata Rena.

“Anak laki-laki yang tampan ini mirip aku.” Kata Singto

“Aku gak tau kalo ternyata 2 sel sperma bisa membuahi satu telur.”

“Aku juga gak tau tapi Krist pasti seneng kalo aku kasi tau kebenarannya.”

Setelah hening sebentar akhirnya Singto berucap lagi,

“Makasih ya Ren..”

“Sama-sama mas. Aku seneng kok bisa ngebantu.”

“Aku dan Krist janji bakal rawat bayi-bayi kamu dengan baik.”

“Aku percaya mas.”

“Jangan pergi dulu ke london.”

“Nggaklah mas! Aku bakal tunggu sampe kondisi aku pulih, baru pergi. Makasih udah mau bantu aku juga ya mas.”

“Nanti kita ngomong ke kakeknya barengan aja ya.”

“Iya.”

Suster tiba-tiba datang dan mengambil bayi-bayi lucu itu untuk dibawa ke ruang NICU.

“Aku ijin ketemu Krist dulu ya. Kamu istirahat yang bener.” Kata Singto dan Rena memberi anggukan kecil.

Singto keluar dari ruangan, papa Singto langsung memeluk Singto dan mengucapkan selamat.

“Makasih pa..”

“Papa bangga sama kamu.”

“Krist mana ya pa?”

“Gatau, tadi dia gak pergi sama papa. Dia bilang dia bakal nyusul papa naik taksi karena ada urusan.”

“Pa... boleh jagain Rena dulu? Singto mau pulang liat Krist.”

“Iya.”

Singto langsung bergegas pulang, ia merasa ada yang tidak beres. Hatinya tak berhenti berdegub kencang, ia khawatir.

“Adek!” Teriak Singto.

Hening. Tidak ada suara yang menjawabnya.

“Bi!” Singto memanggil salah satu asisten rumah tangga di rumahnya.

“Iya tuan?”

“Krist mana?”

“Tadi tuan Krist udah pergi ke rumah sakit naik taksi.”

“Tapi Krist tadi gak ada di rumah-“ Singto memotong ucapannya sendiri dan langsung pergi ke kamar Krist

Singto membuka kamar Krist. Namun, ia tak melihat laki-laki mungil miliknya itu. Ia membuka lemari Krist dan melihat bahwa pakaian Krist sudah tidak lagi disana.

Singto langsung berlari mengambil kunci mobil lalu bergegas keluar mencari keberadaan kekasihnya itu.

“Kamu dimana Krist.” Kata Singto dengan nada panik.

Singto telah menyelusuri tempat-tempat favorit Krist. Namun, ia tak menemukannya. Waktu sudah menunjukan pukul 3 pagi. Singto sudah lelah tapi dia tidak rela pulang sebelum bertemu Krist.

Ia menepi, mencoba menenangkan hatinya yang gelisah dan khawatir. Ia tak mau kehilangan Krist.

Singto terus mempertanyakan kepada dirinya. Apa yang telah ia perbuat sehingga Krist memutuskan untuk pergi? Apa dia buat kesalahan? Apa yang terjadi? Kenapa?

Mas, makasih ya udah mau sama adek. Adek sayang banget sama mas.

Mas... jangan tinggalin adek yaa.

Happy Anniversary Mas! Moga kita langgeng sampe maut memisahkan ya.

Mas... mas nyesel gak sih nikah sama adek?

Adek merasa bersalah... seharusnya adek gak nikah sama mas.

Kakek gak suka adek ya mas?

Adek mending pergi gak sih mas...

Suara Krist terus terngiang di pikirannya sampai kalimat terakhir itu muncul kembali.

Flashback ON

“Adek kok belum tidur? Ini udah jam 3 pagi lho.”

“Gapapa adek lagi gak bisa tidur.”

“Adek mau minum susu anget? Mas bikinin.”

“Gausah... mas boleh duduk bentar aja?”

“Boleh.” Singto duduk di samping Krist

Krist menyenderkan kepalanya di bahu Singto lalu menghela napasnya.

“Adek kenapa?” Tanya Singto sambil salah satu tangannya dilingkarkan di pinggang Krist.

“Gapapa adek lagi banyak pikiran aja. Adek curi mas dari istri mas bentar gapapa kan? Gak lama kok 10 menit aja.”

“Adek kok ngomong gitu? Adek kan pasangan sah mas juga.”

“Adek takut ganggu aja..”

“Denger ya, adek gak pernah ganggu apapun. Adek berhak dicintain sama mas. Adek berhak bahagia.” Singto menangkup kedua pipi mulus Krist.

“Tapi kalau mas pikir lagi, keadaan sekarang semuanya udah bahagia... adek mending pergi aja gak sih mas?”

Flashback OFF

Air mata Singto mulai jatuh bersamaan dengan luka yang perlahan timbul di hatinya.

“Krist apa kamu masih mikir kayak gitu?” Tanya Singto pada dirinya sendiri dengan suara lemah.

Setelah banyak menangis, akhirnya Singto memutuskan untuk pergi pulang ke rumahnya. Ia butuh mengistirahatkan pikirannya.

————————

Seminggu kemudian, Rena pulang dari rumah sakit. Ia pindah menetap di rumah orang tua Singto untuk sementara sampai keadaan Singto serta keadaannya pulih. Ia akan pindah ke London setelah anak-anaknya berumur 6 bulan karena harus menyusuinya ASI. Rena dibantu oleh papa Singto dan mama tiri Singto dalam mengurus kedua anak kembarnya.

Rutinitasi Singto sejak Krist tidak ada adalah pagi hari sebelum ia berangkat kerja ia akan mencari Krist dan setelah ia pulang kerja, ia akan mencari Krist lagi sampai tengah malam.

Hal itu dilakukan Singto selama seminggu penuh. Singto menjadi kurus dan tak bergizi. Matanya tidak pernah fokus dan dia sering sakit kepala. Jangan lupakan kantong matanya yang menebal tiap harinya dikarenakan tidurnya yang tak pernah nyenyak.

“Tuan, sebaiknya hari ini tuan istirahat saja di rumah. Biar saya yang cari tuan Krist.” Kata Adi, supir yang telah bekerja bersama Singto dan Krist bertahun-tahun.

“Saya ingin lihat Krist.”

“Tapi tuan terlihat sangat lelah dan ini sudah malam.”

“Biarkan saya ikut, saya ingin bertemu Krist.”

Adi hanya menghela napasnya lalu melajukan mobil ke jalan biasa mereka mencari Krist.

“Tuan, sepertinya ada perbaikan jalan jadi kita harus memakai jalan yang berbeda.”

“Yasudah tidak apa-apa.”

Di perjalanan tiba-tiba Adi melihat satu sosok yang sangat ia kenal. Adi sudah bekerja bertahun-tahun dengan Singto dan Krist jadi ia tau bagaimana perawakan majikannya.

“Tuan, sepertinya itu tuan Krist.”

Singto melihat ke arah yang sama dengan yang dilihat Adi. Ia langsung membulatkan matanya. Kenapa ia begitu bodoh? Kenapa ia tidak ingat untuk pergi ke jembatan ini?

Rama VIII Bridge

Singto langsung turun dari mobil dan berlari ke arah Krist.

“Krist!” Teriak Singto

Krist membeku, ia kenal dengan suara yang sedang memanggilnya. Tanpa menoleh ke belakang, ia berjalan lebih cepat.

“Jangan tinggalin aku please.” Singto masih mencoba mengejar Krist.

Krist dengan mata berair, mempercepat jalannya.

“Krist.. aku mohon.”

“Jangan kejar aku Singto, aku cuma bisa ngehancurin kebahagiaan kamu aja. Kamu harus hidup normal Singto.”

“GIMANA AKU BISA BAHAGIA KALO CINTA DAN KEBAHAGIAAN AKU ITU PERGI NINGGALIN AKU?!” Kata Singto dengan tenaga yang tersisa di dalam dirinya.

“Aku mohon... Krist.” Kata Singto bersamaan dengan tubuhnya yang mulai terjatuh ke tanah.

BRUKK

Terdengar suara tubuh terjatuh, Krist langsung menoleh dan berlari ke arah Singto.

“Mas! Mas bangun mas!” Krist memeluk Singto dengan air mata yang tak berhenti keluar dari matanya.

“Sepertinya tuan Singto sudah mencapai batas energinya.” Kata Pak Adi sambil membopong Singto ke mobil.

“Ke rumah sakit-“

“Aku mau pulang... aku mau kamu pulang sama aku.. aku mohon Krist.. kembali sama aku...” Kata Singto dengan mata tertutup dan dengan suara yang lemah sambil menggenggam tangan Krist.

“Iya... kita pulang mas.” Krist menghapus air mata yang keluar dari mata Singto.

Sesampainya di rumah, Singto langsung dibopong Krist ke kamarnya. Saat Krist ingin keluar untuk mengambil obat, Singto menahan lengannya.

“Ja..jangan pergi... aku takut.” Kata Singto dengan tubuh yang bergetar.

Krist tidak tahu bahwa kepergiannya malah menghancurnya pemilik hatinya. Ia tidak pernah melihat Singto ketakutan sampai bergetar seperti ini.

“Adek disini sama mas..” Krist membelai surai hitam Singto dengan lembut, mencoba menenangkan pemiliknya.

“Tidur sama mas.” Singto bergerak untuk memberikan jarak di sampingnya.

Krist menghela napas sebentar lalu menempatkan dirinya berhadapan dengan Singto yang masih memejamkan matanya.

Singto melingkarkan tangannya di pinggang Krist lalu menyembunyinya mukanya di leher Krist.

“Adek.. kenapa pergi tinggalin mas?” Kata Singto dengan suara tenang.

“Karena adek takut ganggu mas..”

“Mas pulang dengan kabar gembira tapi malah liat lemari udah kosong.”

“...”

“Adek tahu gak sih rasanya waktu separuh nyawa mas di bawah pergi adek?”

“....”

“Rasanya sakit dek... ka..kayak mau mati aja... Kayak sekitar mas langsung jadi gelap dan kosong.” Kata Singto dengan nada bergetar.

“...”

“Kalo adek bilang adek ganggu mas. Kamu salah karena cuma adek yang bisa bikin mas bahagia.”

“...”

“Nothing more important than you in my life.”

“Maaf..”

“Kamu tau... mas hampir mau bunuh diri.”

Krist langsung membulatkan matanya yang tadi terpejam. Ia hampir saja kehilangan kekasihnya?

“Mas gak boleh!”

“Abisnya adek pergi... mas berasa gak punya tujuan hidup lagi.”

“Mas kan ada Rena.”

“Rena bukan siapa-siapa.”

Flashback ON

“Pa, Singto gak bisa dan gamau.”

“Papa tau kamu gamau mangkannya kita pake Ibu surogasi aja.”

[ Ibu pengganti atau surogasi (bahasa Inggris: surrogacy) adalah suatu pengaturan atau perjanjian yang mencakup persetujuan seorang wanita untuk menjalani kehamilan bagi orang lain, yang akan menjadi orang tua sang anak setelah kelahirannya. ]

“Ada kok yang mau bantu mengandung anak kamu. Kamu dan Krist hanya perlu sumbang sperma.” Kata papa

“...” Singto tampak berpikir.

“Tapi ibu penggantinya minta kamu untuk membiayai operasi ibunya yang ada di London.”

“Aku bisa itu.”

“Tapi karena kakek menolak sistem surogasi ini kamu harus nikah dengan ibu penggantinya.”

“Hah? Papa gila ya?”

“Nikah tidak usah beneran, Singto. Cukup menyematkan cincin di depan Kakek dan berlagak seperti kekasih saja dan kamu juga harus merahasiakannya dari Krist.”

“....”

“Kamu tau kan tujuan kakek begini karena tidak suka Krist menikah denganmu?”

“...”

“Lakukanlah sekali ini untuknya. Kakek akan pindah ke luar negeri setelah melihat cucunya. Jadi kamu bisa berhenti berpura-pura setelah itu.”

“Tapi gimana dengan Krist? Dia pasti sakit.”

“Papa yakin Krist kuat. Kamu bisa langsung kasi tau Krist setelah anakmu lahir. Dia pasti seneng mendapat anak.”

“Baiklah.. aku terima saran papa.”

Flashback OFF

“Maaf ya dek, maaf banget.” Kata Singto dengan air mati mengalir deras.

“Mas gak salah... adek gapapa.”

“Tapi adek tinggalin mas.”

“Maaf..”

“Adek udah janji gak akan ninggalin mas.”

“Iya adek minta maaf ya mas.”

“Adek janji gak boleh ninggalin mas lagi.” Singto menangkup wajah Krist.

“Adek janji mas... adek gak akan ninggalin mas lagi.”

“Till death due us apart?” Singto mengikis jarak antara dirinya dengan Krist hingga bibir mereka hampir menempel.

“Till death due us apart.” Krist mencium bibir Singto.

– END -

Rosie: Sedih gak sih?? Jangan lupa komen ya aku mau tau soalnya ini narasi terpanjang aku takutnya ngebosenin doang :(

Krist langsung bergegas masuk ke rumah Singto dengan muka yang sangat khawatir. Ia takut mantan kekasihnya ini semakin parah keadaannya.

“Tolong suruh dia makan ya, Krist. Pho mohon tolong bujuk dia.”

“Iya om..” Kata Krist sambil mengambil bubur dari dapur dan berjalan ke kamar Singto.

“Kak Singto makan yuk..”

“Sumpah keknya demam gw bikin gw gila deh... masa gw denger suara Krist.” Singto bergumam.

“Makan yuk.”

“Aku kan sudah bilang berkali-kali aku gamau ph-“ Singto terdiam membeku.

“Tetep gamau makan juga kalo disuapin aku?”

“Kit...kit” Singto meneteskan air matanya lagi.

Krist meletakan bubur yang ia bawa di meja samping kasur Singto.

“Ih kakak kenapa nangis? Aku disini.” Krist mencoba menghapus air mata Singto. Sebenarnya, ia juga ingin sekali menangis karena ia jujur merindukan sosok yang ada di depannya ini.

Singto yang ia lihat sekarang terlihat begitu pucat, lemah, dan tirus. Hal ini sungguh menimbulkan ribuan jarum di hati Krist.

“Jangan pergi.. hiks... jangan” Singto menarik lengan Krist lalu memeluknya erat seakan-akan Krist akan pergi lagi meninggalkannya dan dia tidak siap.

Krist membalas pelukan itu sambil ikut menangis. Sungguh rindu dan sakit yang dia tahan selama ini tak terbendung lagi.

Mereka terus menangis sambil melepas rindu dan luka untuk beberapa menit. Setelah itu, Krist ingat bahwa Singto belum makan jadi dia memutuskan pelukan mereka dan menghapus air matanya.

“Kamu harus makan biar sehat.”

“Gamau, kalo aku sehat kamu bakal pergi lagi dari aku. Aku mau sakit aja terus biar kamu sama aku disini.”

Hal itu benar, jika Singto sembuh, Krist harus menjauhinya lagi seperti perjanjian mereka.

“Kamu gak boleh gitu. Pho khawatir banget kamu sakit begini.”

“Tapi dia gak peduli kalo aku bahagianya sama kamu.”

“Kak Singto gak boleh egois... pho tau yang terbaik buat kamu.” Krist mengelus pelan pipi Singto.

“Tapi-“

“Kalo kamu gamau makan, aku pulang aja ya.”

“Gak! Kamu harus disini temenin aku sampe sembuh.” Singto menahan tangan Krist untuk tidak pergi.

“Yaudah, makan ya?” Kata Krist yang dijawab dengan anggukan pasrah Singto.

Singto melahap semua bubur yang disuapi Krist kepadanya sambil tak henti-hentinya tersenyum ke arah Krist.

Tuhan biarkan begini saja sebentar. Aku kangen dia. – Singto

“Kak aku ke dapur dulu ya.”

“Jangan pergi...” rengek Singto.

Krist tertawa geli melihat Singto yang manja jika sedang sakit terlihat imut seperti seorang bayi.

“Aku bakal jaga kamu sampe sembuh. Aku gak bakal kemana mana.”

“Tapi nanti pho-“

“Pho yang suruh aku kesini tadi. Gak mungkin dia usir aku lagi.” Kata Krist seakan tau ketakutan Singto.

Singto hanya mengangguk mengerti dan membiarkan Krist keluar dari kamarnya.

“Krist..”

“Ah iya om?”

“Duduk sini”

“Kenapa om?” Kata Krist sembari duduk di sofa dekat pho

“Terima kasih ya... pho sungguh minta maaf atas keegoisan pho.”

“Gapapa om... aku mengerti om hanya mau yang terbaik untuk Singto dan om yakin anak dari teman om itu yang paling cocok untuk Singto.”

“Iya karen-“

Tiba-tiba pembicaraan mereka terpotong karena ada panggilan masuk dari orang tua Janhae.

“Baiklah saya akan segera kesana.” Kata pho

“Kenapa om? Ada yang bisa aku bantu?”

“Pho harus ke rumah sakit sekarang.”

“Aku antar saja pho.”

“Terima kasih Krist.”

Krist berkendara ke rumah sakit dengan kecepatan lumayan tinggi sehingga mereka sampai di rumah sakit sekitar 10 menit kemudian.

“Gimana keadaan Janhae?” Tanya pho kepada ibu Janhae

“Belum tau... dia masih diperiksa oleh dokter.”

Tiba-tiba dokter datang dan berkata,

“Janhae kehabisan banyak darah akibat dari luka tusukan pisau yang cukup dalam dan darah yang cocok untuk Janhae sedang kosong. Jadi, apakah ada keluarga kandungnya yang mungkin bisa diambil darahnya?”

“Tidak dok, sebuah disini bukan keluarga kandungnya.” Kata pho

Orang tua asuh Janhae bergerak dengan gelisah. Ibu Janhae mengigit bibir bawahnya.

“Dia sangat membutuhkan darah-“

“SAYA IBU KANDUNGNYA! AMBIL SAJA DARAH SAYA!” Teriak Ibu Janhae dengan nada panik

Pho sungguh terkejut sampai dia membisu.

“Baiklah, ayo cepat ke ruangan bu.”

Pho langsung mendatangi bapak Janhae dan mencengkram kerah bajunya.

“KAU BERBOHONG SELAMA INI?!” Kata Pho dengan amarah yang meledak-ledak.

Krist dengan panik mencoba menenangkan pho.

“Maafkan saya pak. Maafkan saya.” Bapak Janhae berlutut dan bersujud di kaki pho sambil meminta maaf.

“Aku percaya kepadamu. Sampai aku rela menghancurkan anakku sendiri! Dan ternyata kamu hanya seorang penipu yang mencoba memanfaatkan kami.”

“Maaf sungguh kami minta maaf...”

“Seharusnya saya percaya dengan anak saya kalau Janhae bukan anak kandung Thana dan Natee.”

Thana? – Krist

“Anakku hancur karena kamu DASAR BAJINGAN!” Kata pho sambil menendang bapak Janhae hingga terlempar sedikit.

“Om... jangan..” Krist mencoba menghentikan tendangan pho

“Ayo kita pulang Krist! Aku tidak sudi melihat wajah penipu.”

Sesampainya mereka di rumah, Krist langsung pergi ke dapur dan pho duduk di rumah tamu dengan muka lelah penuh stress.

Krist tiba-tiba datang membawa sekotak brownies yang dia sengaja bawa sebelum ke rumah Singto karena ia tau Singto suka sekali browniesnya.

“Aku tau om tidak mau makan brownies selain punya istri om tapi cobalah makan sedikit. Coklat bisa mengurangi stress.”

“Baiklah.” Pho mengambil sedikit brownies tersebut dan memakannya.

Deg.

“Krist? Dari mana kamu bisa membuat brownies ini?”

“Ini resep dari mama om.”

“Mama kamu dirumah?”

“Nggak om ini dari mama kandung aku. Mama titipin aku ini sebelum meninggal. Katanya penting banget tapi aku gatau buat apa.”

“Kamu dirawat oleh mama asuh lalu papamu kemana?”

“Sudah meninggal juga sejak aku kecil sama seperti mama.” Krist tersenyum sedih

“Maaf pho bertanya terus tapi bagaimana mereka meninggal?”

“Kecelakaan mobil waktu aku umur 7 tahun.”

Kaget. Itu ekspresi yang ditunjukan pho saat mendengarkan Krist.

“Apakah nama pho kamu itu Natee Sangpotirat?”

“Bukan om... nama papaku Jack Sangpotirat.”

“JACK! Iya nama aslinya jack! Teman-teman papa mu memanggilnya natee karena perannya di sebuah theatre.”

“Ah...”

“Aku kenal dengan rasa brownies yang kamu buat ini. Ini resep dari istri pho dan istri pho memberikannya kepada mamamu, Thana sebagai jaminan bahwa anak Thana akan dinikahkan dengan anak kami. Istri pho memberikan resep itu agar nanti anak Thana bisa membuatnya dan pho bisa mengenalinya dan juga karena Singto senang sekali brownies.”

“Kami berhutang budi dengan mamamu karena dia yang membantu kami saat sedang bangkrut dan merawat mae Singto saat sedang sakit.”

“Jadi... kalau begitu... kamu yang seharusnya menjadi tunangan Singto!”

Tiba-tiba Singto keluar dari kamarnya dan menarik Krist ke dalam pelukan.

“Jangan dengerin kata pho! Aku gak akan nikah sama anak tante Thana dan om Natee.”

“Kamu yakin Singto?” Tanya pho

“YAKIN!”

“Yasudah kalau gitu kamu lepaskan Krist.”

“AKU TIDAK MAU MENIKAH DENGAN ANAK TANTE THANA!”

“Iya, yasudah lepaskan Krist. Katanya kamu gamau kan?” Kata pho sambil tersenyum

“Hah?”

“Kamu gamau nikah sama aku?” Tanya Krist sekarang.

“Maulah!”

“Tapi tadi katanya gamau menikah dengan anaknya tante Thana.” Sahut Pho

“Iya emang gamau pho.”

“Tapi... aku anaknya tante Thana..” Krist memanyunkan bibirnya, membuatnya terlihat saat imut.

Singto membeku di tempat, ia baru saja sembuh tapi sudah harus berpikir keras. Setelah beberapa detik, akhirnya tersambung sudah saraf-saraf otak Singto.

“Kalau begitu nikahkan aku besok pho!”

“Heh! Aku masih SMA kak!”

“Yaudah kalo tunangan mau kan.” Singto mencolek dagu Krist.

“Hm.” Krist mengangguk lucu.

“Sekarang udah seneng kan? Maafin pho ya, Singto. Pho terlalu egois.”

“Gapapa! Singto sayang pho. Makasih!” Singto memeluk ayahnya dengan erat.

“Om saya ijin sebentar untuk pulang ambil baju sama minta ijin untuk menginap disini sambil jaga Kak Singto.”

“Hei! Panggil pho! Dan jangan formal-formal. Sekarang Krist udah jadi anak pho juga.”

“Iya om eh pho maksudnya.”

“Kamu juga gak boleh panggil kak Singto lagi tapi udah harus biasain panggil daddy.” Kata Singto sambil tertawa dan berlari menjauh dari Krist.

Krist hanya tertunduk malu dan pho hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.

————————

Janhae sudah sadarkan diri setelah beberapa hari koma.

“KAMU KENAPA COBA BISA SAMPE KETUSUK GINI! GARA-GARA KAMU RENCANA KITA GAGAL!” Bentak bapak Janhae

“Maaf pho.. aku waktu itu mencoba menyogok salah satu pemain tim lawan Singto supaya Singto kalah. Dia minta 10 juta dan aku udah kasi tapi dia minta lagi alhasil aku dikeroyok.” Kata Janhae dengan suara bergetar ketakutan karena bayang-bayang orang yang mencoba melecehkannya terlintas di benaknya.

“KENAPA BISA TELEDOR?!”

“Jangan marahi anakmu! Dia baru saja sadar! Pikiranmu hanya uang saja!”

“Memang kita butuh uang! Dulu kita dibiayai papanya Singto! Sekarang kita mau makan apa? Biaya rumah sakit ini saja tak bisa kita lunasi!”

“Uang segalanya bagimu? Kalo gitu tinggalkan saja kami.”

“JANGAN SENTUH AKU AKKHHHH!” Janhae tiba-tiba berteriak ketakutan.

Melihat Janhae yang ketakutan bapak Janhae merasa bersalah dan memeluk sang puteri. Dia yang seharusnya disalahkan karena sudah memakai puterinya sendiri untuk memenuhi kepuasan sementaranya.

Singto berlatih dari pagi hingga sore bahkan saat teman-temannya sudah pulang pun ia masih berlatih. Ia harus memastikan bahwa dirinya menang untuk mendapatkan kembali Kristnya.

Di hari pertandingan, Singto pergi mencari Krist, ia ingin memastikan mantan kekasihnya ini datang dan menyemangatinya.

“Kit!” Teriak Singto saat ia melihat Krist berjalan dengan Gun ke tribun penonton.

“Gw pergi duluan ya ke papi.” Kata Gun sambil menepuk pelan pundak Krist dan Krist hanya menghela napasnya.

“Kamu dukung aku kan?”

“Aku dukung tim lawan.”

“Kok gitu sih... aku kan butuh semangat dari calon pacar aku.”

“....” Krist menundukan kepalanya

Singto memegang dagu Krist dan berkata,

“Aku pasti dapetin kamu lagi. Aku janji. Aku cinta kamu.” Singto mengecup bibir manis Krist secepat kilat lalu berlari menjauh.

“SINGTO NYEBELIN!!” Bentak Krist dengan pipi sudah memerah.

Seseorang ternyata memandangi mereka dengan tatapan membunuh. Ia akan pastikan hari ini Singto kalah.

Jangan tanya bagaimana Janhae mengetahui taruhan Krist dan Singto. Tentunya karena ia sempat mengintip chat Singto sebelum pertandingan dimulai.

Pertandingan pun dimulai dan berlangsung dengan sengit. Kedua tim terus sama-sama mengejar nilai.

Hal ini membuat Janhae geram, ia pun mengedarkan pemandangannya mencari seseorang.

“NAMTAN!” Panggil Janhae kepada salah satu adik tingkatnya.

“Iya kak? Kenapa ya?”

“Kamu boleh kasi minuman sama makanan ini buat Krist gak ya? Tapi jangan kasi tau itu dari aku.”

“Oh boleh kak.”

Namtan mendekati Krist lalu menyodorkan makanan dan minuman itu ke Krist.

“Ini buat kamu.”

“Wah, makasih Namtan.”

“Boleh duduk sini gak?” Namtan menujuk kursi yang kosong disebelah Krist.

“Boleh, duduk aja.”

Janhae melihat bahwa Krist dan Namtan sedang bersenda gurau ia pun dengan sengaja mencoba menarik perhatian Singto. Ia menyuruh teman-temannya meniup terompet dan hal ini membuat semua pemain menoleh ke tribun penonton tempat Janhae duduk.

Singto awalnya hanya kaget lalu menghiraukannya. Namun, pandangannya berfokus ke sebuah tempat duduk yang berisikan seorang laki-laki dan perempuan yang sedang bercanda bersama.

Dia terlihat bahagia.. – Singto

Singto merasakan kembali sakit serta kekosongan dalam hatinya. Dia di lapangan berjuang untuk mengembalikan hubungan mereka. Namun, mantan kekasihnya bahkan tak berjuang sedikit pun dan malah melukai hatinya.

“SINGTO AWAS BOLA!”

Tidak sempat menghindar karena melamun, bola itu pun mengenai kepalanya sehingga hidungnya mengeluarkan darah.

Krist ingin sekali berlari kesana dan memeriksa keadaannya. Namun, ia mengurungkan niatnya karena ia tau ia bukan siapa-siapa Singto.

“Lu kenapa ngelamun sih? Udah lu istirahat aja.” Kata Joss

“Gamau. Gw mau ikut main.”

“Dengan keadaan lu mimisan gini mana bisa main.”

“Gw gamau kalah Joss!”

“Kita bakal berusaha.”

“Gw mau ikut main!”

“Waktu udah tinggal dikit lagi Sing dan kita masih ketinggalan banyak poin.”

“Lu oper semua ke gw. Gw gak perlu lari cukup ngeshoot aja. Plis..”

“Oke.. semua jaga Singto ya.”

Disisi lain, Janhae mendatangi salah satu pemain tim lawan yang bertubuh kekar.

“Lu jangan biarin Singto ngeshoot bola itu ke ring kalo bisa dorong dia terus sampe jatoh.”

“Untungnya gw apa main curang?”

“Duit gimana? Gw bisa kasi berapa pun duit yang lu mau.”

“10 juta?”

“Deal.”

“Ok.”

Pertandingan dimulai lagi, Singto sungguh geram sekarang. Ia benar-benar tidak diberi cela untuk melemparkan bola ke ring.

Singto akhirnya mendapat bolanya. Namun, saat ia berlompat untuk melemparkan bolanya, seseorang mendorongnya hingga ia terjatuh.

“Foul.” Kata wasitnya

Singto akhirnya diberi kesempatan untuk melempar bola itu ke ring. Poin mereka masih jauh tapi jika ia bisa memasukan 3 bola itu ke ring, mereka bisa menang.

Bola pertama. Masuk.

Bola kedua. Masuk.

Bola ketiga-

“Krist udah gak cinta lagi sama lo. Percuma juga menang.” Kata pemain tim lawan.

“Nyerah ajalah!”

“Lu gak bakal bisa dapetin dia lagi.”

“Dia gak cinta lu lagi.”

Berbagai bisikan mulai muncul dia kepalanya dan hal ini sangat mengganggu pikirannya.

Bola ketiga. Meleset. Ia kalah.

Terdengar penonton dari tim lawan bersorak sorai sedangkan Singto terjatuh ke lantai dan tak sadarkan diri.

Singto pun dibawa ke UKS oleh teman-temannya.

“Dia kenapa sih? Tumben banget tegang pas pertandingan.” Tanya salah satu pemain.

“Gw gatau tapi dia bilang pertandingan ini menentukan masa depan dia.” Kata Joss

“Krist jangan tinggalin aku...jangan...” gumam Singto.

“Sekarang kita tau kenapa...” Kata Joss yang dijawab dengan anggukan pemain lain.

Singto pun sadar dari tidur lelapnya. Ia langsung bangun dengan raut muka panik.

“Krist mana? Joss? Krist kesini gak?”

Joss hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan ekspresi muka sedih. Ia turut prihatin dengan nasib temannya ini.

Tiba-tiba teman-teman Singto datang dengan panik.

“Woi lu gapapa?” Tanya Off

“Kok bisa sih lu pingsan?” Tanya Tay

“Lu kok bisa kalah sih?” Tanya Lee yang dijawab dengan pukulan di kepala oleh Arm.

“Gw mau pulang.” Kata Singto dengan tatapan kosong dan nada dingin.

“Gw anter.” Kata Off

“Gausah, gw bisa sendiri.” Singto beranjak dari kasur UKS lalu berjalan keluar dengan langkah lemah.

“Kita harus gimana ini?” Tanya Arm

“Ikutin dia sampe rumah biar gak kecelakaan.” Kata Tay

“Makasih Joss, kita cabut dulu.” Kata off sambil menepuk pundah Joss.

“Sip. Jangan ngomongin kalah ke dia karena keknya ada hubungannya sama Krist.” Kata Joss

“Kita udah tau kok.” Balas Arm.

Off, tay, Arm, dan Lee mengikuti Singto hingga sampai rumah, untungnya tidak terjadi apa-apa selama diperjalanan. Singto yang suka mengebut jadi berkendara dengan sangat lambat.

Singto masuk ke rumahnya dan disambut oleh ayahnya yang telah menunggunya sejak tadi.

“Singto... tadi katanya kamu pingsan ya?”

Singto berhenti lalu berkata,

“Apakah anda puas menghancurkan hidup saya? Anda sungguh kejam karena lebih memilih menepati janji orang yang sudah mati ketimbang kebahagiaan anak kandung anda sendiri.” Kata Singto dengan dingin.

“Singto, ini demi kebaikanmu juga.”

“Untuk kebaikan saya atau hanya demi menjaga image anda sebagai orang yang bertanggung jawab?”

“....” Pho hanya terdiam mendengarkan Singto

“Anda dengar ya. Saya sampai kapanpun tidak akan menikahi anak dari tante Thana dan om Natee.”

“....”

“Saya tidak meminta hal-hal aneh dari anda, bahkan walau anda selalu sibuk dengan pekerjaan anda sejak ibu saya meninggal, saya tidak pernah merengek anda untuk pulang dan memberi saya kasih sayang. Saya hanya minta satu saja untuk kali ini yaitu dapat memilih pendamping hidup saya sendiri.” Bahu Singto mulai bergetar bersamaan dengan air mata yang turun.

“Apakah kebahagiaan Sing gak pernah penting untuk pho?” Seiring dengan perkataan tadi Singto terjatuh ke lantai sambil meluapkan semua patah hatinya.

Pho berjalan mendekati Singto dan memeluk anaknya erat. Singto menangis keras hingga akhirnya tak terdengar lagi.

“Singto? Singto. Bangun, nak!” Teriak Pho dengan nada panik.

“Ada apa om?” Tanya Off yang masuk ke dalam rumah Singto karena mendengar teriakan pho Singto.

“Tolong... Singto pingsan lagi.”

“Dia pasti kelelahan. Latihan basket dia buat dia banyak gak tidur trus kejadian hari ini pasti buat dia stress berat.” Kata Off sambil mencoba menggendong Singto ke kamarnya.

“Bukannya sudah biasa kalau kalah di pertandingan?” Kata pho setelah meletakan Singto di kasurnya.

“Yang buat dia stress berat bukan kekalahannya tapi akibat dari kekalahannya.”

“Maksudnya?”

“Krist dan Singto membuat perjanjian. Kalau Singto menang, Krist akan kembali jadi pacar dia tapi kalo Singto kalah, Singto harus ngejauhin Krist dan fokus dengan tunangan dia.”

Pho menunduk dengan tatapan sedih.

“Saya pulang dulu om.”

“Terima kasih nak Off.”

Pho masuk ke kamar Singto dan melihat Singto sudah kembali sadarkan diri. Ia melihat anaknya rapuh dan hancur. Ia melihat untuk kedua kalinya Singto menangis.

“Singto... nak..” Panggil pho

“....” Singto masih tenggelam dengan tangisannya

“Maafin pho.. makan dulu yuk. Pho beliin kamu nasi goreng kesukaan kamu.”

“Aku gak laper... aku mau tidur.” Singto langsung membaringkan dirinya dari tertidur.

Terakhir kali Singto seperti ini adalah pada hari setelah Ibunya dikuburkan. Tak terlintas dipikiran ayahnya bahwa hal ini akan terulang kembali.

Singto memegang dagu Krist dan mengecup pipi Krist yang telah basah dengan air mata.

“Asin.” Ejek Singto

“Siapa suruh cium pipi aku?” Kata Krist sambil memajukan bibirnya.

“Imut banget pacar siapa sih? Hm?”

“Pacar Singto Prachaya.” Kata Krist dengan nada malu-malu.

“Iya dong! Cowok imut ini cuma punya Singto seorang.” Kata Singto sambil mengecup pipi Krist yang memerah.

“Stop ish! Kamu mah.”

“Kenapa? Aku ganteng ya?”

“Kamu jelek.”

“Tapi sayang kan?”

“Gak!”

“Sayang kan?” Bisik Singto di telinga Krist yang membuat sang pemilik merinding.

“Iya ih jangan bisik gitu! Telinga aku sensitif.” Krist mendorong Singto pelan

“Yaudah kita turun yuk.”

“Iya.”

Singto turun terlebih dahulu dan membukakan pintu untuk Krist. Singto dan Krist berjalan ke depan pintu rumah sambil tangan saling bertautan.

“Pho.” Kata Singto sambil mengetuk pintu rumahnya.

“Tumben ngetuk pintu biasa langsung ma-“ Ucapan Pho terhenti saat melihat anaknya menggandeng seseorang.

“Kenalin ini pacar aku pho, namanya Krist Perawat Sangpotirat.”

“Sangpotirat?

“Halo om. Maaf mengganggu pagi-pagi.”

“Kamu dari keluarga Sangpotirat?”

“I-iya om.” Kata Krist dengan gugup.

Pho memandang Krist dengan tatapan menyelidik dan hal itu membuat Krist jadi takut.

“Pho! Berhenti menatap pacarku seperti itu.”

“Ayo masuk.” Pho mempersilahkan mereka untuk masuk.

“Maaf om, apakah aku boleh meminjam dapurnya?”

“Mau ngapain?”

“Saya mau buatkan sesuatu buat om.”

“Biar bibi bantu kamu.” Kata pho lalu ia memanggil asisten rumah tangga disana untuk membantu Krist selama di dapur.

“Kenapa kamu punya pacar tapi gak bilang?” Tanya pho kepada Singto

“Gapapa belum siap aja.”

“Kamu taukan kamu udah tunangan sama Janhae? Kamu cuma bakal nyakitin dia aja.”

“Kenapa harus nyakitin dia? Aku kan gak terima pertunangan itu. Aku malah kesini pengen ajak dia tunangan.”

“Kamu jangan macam macam ya Singto! Kamu sudah menjadi tunangannya Janhae!”

“Aku tidak peduli. Aku tidak mau.”

“Pho sudah janji sama tante Thana dan om Natee. Kita berhutang budi sama mereka yang udah mau bantu kita waktu masa terpuruk.”

“Janji itu lebih penting buat pho daripada kebahagiaan aku?”

“Bukan begitu nak tapi memang itu sudah hutang budi. Kamu harus menikah dengan Janhae.”

“Sudah aku bilang berapa kali Janhae itu bukan anak kandung tante Thana!”

“Mereka tidak mungkin berbohong.”

“Terserah pho saja. Pokoknya aku tidak mau.”

Keadaan jadi canggung dan aura-aura gelap dapat dirasakan diantara pho dan Singto.

Krist tiba-tiba datang membawa sepiring brownies yang terlihat sangat lezat.

“Ini brownies khusus buat om tadi kata Kak Singto om suka brownies.”

“Saya tidak makan brownies lagi sejak istri saya meninggal dan saya hanya memakan brownies buatan istri saya.”

Perkataan pho membuat Krist sedih, ia pun hanya dapat tersenyum pahit melihat brownies yang telah susah-susah ia buat tidak akan tersentuh.

“Singto tolong kamu ambilkan berkas-berkas pho di ruang kerja.”

“Mau buat apa?”

“Ambilkan saja.”

Singto pergi untuk mengambil berkas-berkas milih phonya.

“Saya sungguh minta maaf karena Singto memacarimu. Saya benar-benar tidak mau melukai hati anak polos sepertimu tapi Singto sudah mempunyai tunangan yang akan dia nikahi setelah lulus kuliah.”

Hati Krist berdegub kencang bersamaan dengan luka yang mulai timbul.

“Saya tau ini susah tapi bisakah kamu meninggalkannya dan memintanya untuk menikahi tunangannya? Saya mohon sekali, hanya kamu yang ia dengarkan.”

“....” Krist hanya diam membeku. Sungguh sakit karena calon mertuanya tidak memberinya kesempatan untuk bersanding dengan anaknya dan malah menyuruhnya untuk meminta kekasihnya menikah dengan orang lain.

Singto datang dengan membawa banyak berkas milik pho nya. Pho hanya menghela napasnya sambil memandang Singto dengan permohonan maaf yang tersirat.

“Terima kasih om untuk semuanya, sepertinya saya akan pulang duluan.” Krist berdiri dari tempat duduknya

“Ayo aku antar.” Kata Singto sambil merangkul pinggang Krist

“Gak usah aku bisa sendiri kok.” Krist mencoba melepaskan rangkulan Singto sambil tersenyum manis.

“Gapapa biar Singto anterin kamu. Kalian memang harus membicarakan sesuatu kan?” Kata Pho

Krist menghelas napasnya lalu mengangguk pelan.

Selama perjalanan Krist hanya terdiam, Singto yang bingung kenapa Krist menjadi pendiam pun bertanya,

“Kamu kenapa sayang?”

Krist tidak menjawab, ia hanya menggelengkan kepalanya lalu kembali menatap keluar jendela.

“Kamu kenapa sayang?” Tanya Singto lagi.

“...”

“Ini udah nyampe. Kamu cerita dong kamu kenapa?” Tanya Singto sambil mencoba membuat Krist menatapnya.

“Krist, tatap aku sayang.”

Krist akhirnya menatap mata Singto dengan air mata yang mulai keluar. Ia terlihat rapuh.

“Hei, kamu kenapa sayang?” Singto berucap dengan nada khawatir sambil mencoba menghapus setiap air mata Krist yang jatuh. Namun, air mata itu malah turun semakin deras.

“Sayang... kok kamu begini sih? Cerita dong babe.”

Singto menarik Krist ke dalam pelukan dan hal ini membuat Krist menangis keras. Ia benar-benar terlihat hancur.

Singto yang bingung hanya bisa mendekapnya erat sambil mengelus punggungnya.

“Singto..”

Singto menunjukkan muka kagetnya. Krist hanya memanggilnya “Singto” jika dalam keadaan sangat serius.

“Kenapa sayang? Kok serius banget sih.”

“Kamu inget janji kamu gak?”

“Yang mana sayang?”

“Yang janji buat lepas tangan aku kalo aku yang minta.”

“Iya..” Kata Singto dengan detak jantung yang terus berdetak kencang.

“Aku mau minta lepas sekarang boleh?”

“Hah?”

“Aku mau minta kamu lepas tangan aku terus gandeng tangan tunangan kamu sampe ke pernikahan. Kamu gak bisa gandeng 2 orang sekaligus, singto.”

“Tapi aku selama ini cuma gandeng kamu sayang.”

“Aku tahu. Mangkannya aku minta kamu lepasin tangan aku hari ini.”

“Kamu kenapa sih? Cerita dong jangan begini.”

“Aku gapapa.”

“Kalo gapapa kenapa minta aku lepasin tangan kamu?”

“Karena aku mau kamu sama yang lebih baik dari aku.”

“Omong kosong. Orang yang terbaik buat aku cuma kamu, Krist.”

“...” Krist hanya menundukkan kepalanya.

“Apa pho yang suruh kamu begini?” Terlihat sorotan mata Singto yang penuh amarah.

“Nggak kok. Aku cuma pengen kita break aja dulu.”

“Yaudah break berarti abis break kamu balik lagi kan sama aku?”

“Aku mau turun aja kayaknya mama nyariin aku.”

“Krist.” Singto menahan tangan Krist untuk tidak pergi.

“...” Krist tak berani menatap mata Singto yang terlihat sedih.

“Balik sama aku kan?”

“Aku cinta kamu.” Krist dengan paksa melepaskan tanganya dari genggaman Singto lalu berlari masuk ke rumah.

Singto menatap tangannya yang kosong itu. Tiba-tiba kekosongan ikut mengalir ke hatinya.

Singto pulang dengan tatapan kosong dan langkah yang lemah. Singto seperti orang yang baru saja disambar petir hebat. Namun, bukan ditubuhnya melainkan di hatinya.

“Singto.”

Singto hanya menengok sedikit ke pho nya lalu lanjut berjalan ke kamarnya.

Krist berlari ke halaman belakang sekolah secepat mungkin. Selama berlari, ia terus memikirkan alasan Singto bisa marah besar.

Singto bukan tipe orang yang gampang tersulut emosi setelah ia kenal selama 4 bulan ini. Krist jadi khawatir akan keadaan Singto.

Krist akhirnya sampai di halaman belakang sekolah. Namun, ia tidak melihat siapapun disana. Ia pun mengambil ponselnya dan mulai mengirim pesan ke Gun tapi sebelum ia berhasil mengirimnya, Krist mendengar suara musik merdu.

Saat Krist mendongakkan kepalanya, ia melihat sesosok laki-laki berkulit tan sedang berdiri di tengah halaman sambil memainkan gitarnya.

Loving can hurt, loving can hurt sometimes Mencintai bisa menyakitkan, mencintai terkadang bisa menyakitkan

But it's the only thing that I know Tapi itulah satu-satunya yang kutahu

When it gets hard, you know it can get hard sometimes Saat keadaan terasa sulit, kau tahu kadang keadaan bisa sulit

It is the only thing that makes us feel alive Inilah satu-satunya yang membuat kita merasa hidup

Tiba-tiba seseorang dibelakang Krist mendorong Krist untuk maju lebih dekat.

We keep this love in a photograph Kita simpan cinta ini di dalam foto

Tiba-tiba foto-foto polaroid yang berisikan Krist dan Singto jatuh bertebaran. Krist mengambil beberapa foto-foto mereka sambil tersenyum manis.

We made these memories for ourselves Kita buat kenangan ini untuk diri kita sendiri

Singto meletakkan gitarnya lalu berjalan maju, mendekati Krist dan menaikkan dagu Krist yang sedang tertunduk sambil bernyanyi

Where our eyes are never closing Dimana mata kita tak pernah terpejam

Our hearts are never broken Hati kita tak pernah patah

And time's forever frozen, still Dan waktu selamanya beku, diam

Setelah menyanyikan itu, Singto membiarkan keheningan menyelimuti mereka sejenak. Singto tenggelam dalam keindahan mata Krist. Ia dapat merasakan hatinya yang terus berdetak kencang.

“Will you dance with me?” Singto mengulurkan tangannya dan Krist dengan lembut menggenggamnya.

Singto menarik Krist ke tengah halaman luas lalu ia menuntun tangan Krist untuk dikalungkan di lehernya dan tangannya menggenggam pinggang ramping Krist.

Singto menempelkan dahinya ke dahi Krist lalu mulai bernyanyi lagi mulai bergerak ke depan, ke belakang, ke kanan, dan ke kiri.

So you can keep me jadi, kau bisa menyimpanku

Inside the pocket of your ripped jeans Di dalam saku celana robekmu

Holding me close until our eyes meet Mendekapku erat hingga mata kita bertemu

You won't ever be alone, wait for me to come home Kau takkan pernah sendiri, tunggulah aku pulang

“Krist Perawat, will you be mine? Aku tau aku gak pantes. Aku tau aku banyak salah. Aku tau aku bohong dan lain-lain but semua yang aku bilang bahwa aku cinta itu gak ada yang bohong. I do love you and I will always do. Aku gatau kamu-“

Krist membungkamkan mulut Singto dengan mulutnya dan setelah beberapa lumatan, Krist memutuskan ciuman mereka.

“Yes, I’m yours now.” Kata Krist dengan mata berkaca-kaca.

Tiba-tiba suara sorakan dari teman-teman di sekitarnya mulai bermunculan. Seseorang memberi Singto satu batang mawar dan Singto memberikannya kepada Krist.

“I love you.” Kata Singto

“I love you more.” Mereka tertawa bahagia.

Singto dengan malas masuk ke dalam rumahnya yang disambut dengan pemandangan keluarga Janhae sudah duduk di ruang tamu.

“Singto ayok duduk sini.” Kata pho sambil menepuk-nepuk kursi di sampingnya.

“Sayang.” Kata Janhae sambil berjalan ke arah Singto dan mengecup pipinya.

“Jangan cium sembarangan.” Kata Singto dengan nada ketus.

“Kok gitu sih kamu sama aku.” Kata Janhae sambil memanyunkan bibirnya.

Singto sungguh jijik dengan perilaku Janhae yang sekarang. Semua tingkahnya membuatnya ingin muntah.

Palsu. Itu satu kata yang dapat menggambarkan Janhae dengan sempurna.

Singto berjalan ke arah phonya tanpa menghiraukan omongan Janhae. Dia tersenyum kecil kepada orang tua Janhae.

“Nah, Janhae sama keluarganya kesini buat bahas tunangan kamu sama jan.”

“Aku masih SMA pho. Aku mau merintis karierku dulu.”

“Sing, kamu kan bisa merintis karier sambil berkeluarga.”

“Aku gak mau dijodohkan.” Kata Singto dengan tegas.

“Gak bisa gitu dong! Kan pho kamu sudah berjanji dengan keluarga kami untuk menikahkan kamu dengan anak kami.” Kata papa Janhae.

“Mohon maaf ya om tapi pho saya berjanji kepada tante Thana dan om Natee.”

“Janhae ini anak Thana dan Natee! Kamu kan tau sendiri ayah dan ibu kandung Janhae meninggal karena kecelakaan mobil dan kami yang merawatnya.” Kata mama Janhae.

“Bagaimana saya bisa tau bahwa Janhae benar benar anak kandung tante Thana? Kalian bahkan tak mau menunjukan akte lahir Jan.”

“KAMU ANGGAP SAYA PENIPU?!” Bentak papa Janhae.

“Cukup Singto. Cepat minta maaf.” Kata pho

“Apa pho gak heran kenapa dokumen-dokumen lahir Jan gak ditunjukin ke kita waktu kita minta buat liat?”

“SINGTO!”

“Maaf.” Kata Singto dengan nada malas.

“Bagaimana sih pak? Katanya mau menepati janji tapi kayaknya gak niat banget. Thana akan sangat kecewa dengan anda.” Kata papa Singto dengan nada geram.

“Maafkan anak saya. Pertunangan akan tetap berlanjut.” Kata pho

“PHO! AKU TIDAK MAU!” Bentak Singto

“SINGTO! Jangan berani-berani kamu lawan pho ya! Sana keluar ajak Janhae, biar pho yang urus semuanya.”

“Tapi-“

“Ayo sayang.” Kata Janhae sambil menarik Singto keluar.

Sesampainya mereka di luar, Singto melepas gandengan Janhae dengan paksa.

“Lu gausah deh pura-pura! Gw tau elu bukan anaknya tante Thana. Gw udah liat dokumen-dokumen lahir lu beda sama yang punya anak tante Thana.”

“Kalo emang beda kenapa? Lu gak bisa ngapa ngapain juga Sing. Pho lu akan tetep tepatin janji walau lu coba buktiin segalanya.”

“Gw gak akan biarin keluarga elu manfaatin keluarga gw.”

“Singto Singto... lu liat gak sih tadi pho lu? Dia lebih percaya siapa? Udahlah go with the flow aja. Nikah sama gw banyak untungnya kok.”

“Gw gak suka sama elu. Gw udah ada calon yang bakal gw kenalin ke pho.”

“Krist? Lu pasti gak disetujuinlah. Lu cowok dan dia cowok. You guys are not meant to be together.”

“Shut your filthy mouth.”

Janhae tiba-tiba melihat ke suatu arah dan ia dengan sigap langsung memutarkan badan Singto untuk menghadapnya. Dia tiba-tiba memeluk Singto dan berkata

“Sayang, aku cinta kamu.”

“Gw-“

“Hai Krist!” Teriak Janhae

Singto dengan cepat memutarkan badannya dan melihat Krist yang sedang diam membeku. Singto dengan cepat berjalan ke arah Krist dan mencoba menggenggam tangannya. Namun, Krist dengan cepat menarik tangannya.

“Aku bisa jelasin Krist.”

“Lu sebenernya gak perlu bohong. Gausah mencoba buat nyenengin hati gw dengan bilang kalo lu sayang.” Kata Krist dengan dingin

“Aku minta maaf tapi aku beneran gak bohong sama kamu aku beneran sayang sama kamu.”

Krist hanya tertawa kecil dengan mata yang telah tergenang air. Singto mencoba menghapus air mata Krist yang jatuh. Namun, Krist menepis tangan Singto dengan kasar.

“Jangan pegang gw.”

“Jangan marah sama aku. Aku beneran minta maaf. Besok kita ngedate ya.”

“Gw gak marah... toh gw gak punya hak buat marah. Besok gw sibuk. Gw mau pulang.”

Singto mencoba menahan Krist untuk tidak pergi tapi Krist lagi-lagi menepis tangan Singto.

“GW BILANG JANGAN PEGANG GW! Gw benci pembohong! Gw benci pengkhianat!”

“Kamu salah paham Krist. Aku ngelakuin ini buat buktiin-“

“Semua di depan mata aku Singto... just let me go.”

“No! Aku bakal buktiin kalo kamu salah paham.”

“Terserah.”

“Please percaya sama aku... please tunggu aku selesain semua urusan aku. Aku pasti nanti kasi tau kamu semua yang kamu pengen tau.”

“Kenapa sih aku harus lemah banget di depan kamu?” Krist mulai meneteskan air mata yang tadi ia coba tahan.

“Jangan nangis. Aku yang salah, maaf ya.” Singto menarik Krist ke dalam pelukan erat.

Gw janji bakal buktiin semua kalo Janhae itu salah. – Singto

Sebuah ketukan pintu terdengar dari luar. Krist mendiamkannya, ia malas membukakan pintu karena ia tau siapa yang ada di luar.

Tamu itu terus mengetuk pintu depan rumah Krist. Setelah beberapa menit, ketukan itu berhenti dan suara pintu terbuka terdengar.

“Hah? Siapa yang buka pintu? Aku kan di rumah sendirian. Dia gak mungkin bisa masuk tanpa kunci. Jangan-jangan ada maling.” Krist bermonolog.

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mengarah ke kamar Krist. Suara kaki itu berhenti di depan kamar Krist lalu terdengar secara perlahan suara gagang pintu terbuka.

Krist sudah siap depan pintu dan tanpa melihat siapa yang masuk, Krist menonjok orang itu dengan tangan kosongnya.

“ADUH!” Teriak orang itu.

“Singto!” Krist langsung panik dan menghampiri Singto yang karena terkejut, terjatuh ke lantai.

“Kok lu nonjok gw sih.”

“Gw kira maling tadi lagian gimana coba lu masuk ke rumah gw.”

“Mama lu tadi yang suruh gw masuk.”

Krist ingin sekali mengumpat mamanya tapi ia tidak mau berbuat dosa. Krist lalu mengalihkan pandangannya ke Singto dan ia terkejut karena ujung bibir Singto membiru.

“Aduh sorry banget, lu gapapa?” Kata Krist dengan nada panik.

Ia memegang tempat memar itu dengan lembut. Singto tersenyum sambil melihat Krist yang begitu dekat dengannya saat ini.

Krist yang merasa diperhatikan akhirnya mendongakkan kepalanya dan menatap langsung mata Singto. Ia akhirnya sadar dengan apa yang ia baru saja lakukan. Akhirnya Krist dengan cepat menarik tubuhnya menjauh dari Singto.

Singto yang tau Krist mencoba menjauh, menariknya hingga Krist terjatuh ke dalam pelukan Singto. Krist hanya terdiam membeku, ia tidak menolak maupun membalas pelukan erat Singto.

“Please aku minta maaf. Aku salah aku minta maaf.”

“...”

“Please jangan menjauh dari aku. Aku gak kuat.”

“Tapi lu kan-“

“Aku tau aku denial terus. Aku tau aku kayak kasi harapan buat kamu tapi itu bener bener reflek dari hati aku sendiri yang mau memperlakukan kamu kek gitu.”

“....”

“Aku gatau perasaan apa ini karena jujur walau aku terkesan populer, aku selalu dingin ke orang lain selain temen-temen aku dan aku belum pernah ngerasain perasaan yang kek gini.”

“...”

“Tapi kalo memang cemburu kamu sama orang lain dan sedih karena kamu jauhin aku itu namanya sayang then... aku sayang sama kamu.”

Krist langsung menjauh secara tiba-tiba.

“Kenapa kit?”

“Lu gak boleh gitu kasian pacar elu.”

“Dia bukan pacar aku.”

“Terus siapa?”

“Aku gak bisa kasi tau sekarang tapi aku beneran gak ada perasaan apa-apa sama dia.”

“Tapi-“

“Please percaya sama aku sekali ini aja.”

“Iya gw percaya..”

“Thank you” Singto menarik Krist kembali ke pelukannya.

“...” Krist menutup matanya dan menikmati kehangatan yang baru saja mereka berdua ciptakan.

“Malem ini temenin aku makan di restaurant yuk.”

“Kenapa tiba-tiba?” Krist melepas pelukan mereka.

“Pengen aja makan bareng kamu. Udah 3 hari kamu cuekin aku terus.”

Muka Krist memerah lalu ia mulai tersenyum malu sambil memainkan tangannya.

“Mau kan?” Tanya Singto

“Mau..”

“Aku jemput nanti jam 8 ya.” Singto bangkit berdiri dan memegang gagang pintu kamar Krist untuk bersiap pergi

“Iya..”

“Pake baju yang bagus.”

“IYA SINGTO GW TAU!”

“Mulai sekarang biasain manggil aku Kak dan jangan pake lu gw, pake aku kamu.”

“Kenapa ?”

“Just do it.”

“Iya oke.”

“Aku pulang dulu ya.”

“Iya hati-hati.”

Saat Singto keluar dari kamar Krist, Krist mulai menggila di kamar. Sungguh bahagia sekali dia hari ini.