Rosie

Krist berjalan menuju kantin dengan langkah yang sedikit cepat karena ia tau ada yang menunggu dokumen yang digenggamnya saat ini.

Sesampainya disana, ia melihat seseorang melambaikan tangannya dan memanggilnya. Krist dengan senang hati berjalan ke meja yang telah disediakannya oleh kakak kelasnya.

“Loh... lu pada kok disini?” Tanya Krist kepada teman-temannya yang ternyata duduk di meja yang sama dengan Singto dan teman-temannya.

“Ya pacar gw disini trus yang lain anak-anak osis jadi ya wajar aja sih.” Kata Gun yang dijawab dengan anggukan kepala oleh yang lain.

Tiba-tiba Singto menarik Krist untuk duduk disebelahnya lalu bertanya,

“Mana dokumen sama laporan yang kita buat kemarin?”

“Ini.” Kata Krist sambil menyodorkan sebuah amplop besar berwarna coklat.

“Oh kemarin nolak tawaran hangout bareng kita karena mau sama Krist berduaan?” Kata Off dengan nada mengejek.

“Gw kerja ya bangsat bukan main-main.” Jawab Singto

“Oh kerjanya sampe jam 11 malem ya? Lama juga kerjanya.” Sekarang giliran Tay yang mengejeknya.

“Emang sukanya berdua aja ya padahal kan bisa aja laporannya dikerjain bareng-bareng.” Timpal Nammon

“Lebih enak berdua karena kalo mau cari kesempatan pun gak diledek sama lu pada.” Kata Singto sambil melirik ke arah Krist.

“CIEEEEEE” Kata semua orang di meja itu secara serempak.

Krist selama perbincangan itu hanya tersenyum malu dan terus mengalihkan perhatiannya ke kertas-kertas laporan di depannya.

Tiba-tiba seorang perempuan datang dan Secara tidak sopan duduk di tengah-tengah Krist dan Singto.

Krist sempat terkejut karena perempuan itu mendorong dirinya untuk bergeser sedangkan Singto diam saja seperti sudah terbiasa dengan perilaku perempuan di sebelahnya ini.

“Hai sayang.” Kata si perempuan berambut pendek ini.

“Hai.” Kata Singto dengan nada malas tanpa berniat menoleh.

Teman-teman Singto hanya diam saja bahkan menjadi hening setelah tadi dipenuhi canda tawa.

“Eh kamu udah siapin aku soda gembira ya? Ih kamu perhatian banget sih.” Kata perempuan itu sambil menganyunkan lengan Singto dengan manja.

“Itu buat Krist bukan buat kamu, janhae.”

Krist yang terpanggil namanya menoleh ke arah Singto.

“Dia mah bisa beli lagi. Kalo ini buat aku aja ya.”

“Terserah.”

“Nih duitnya, lu beli lagi aja. Oh ya, sekalian beliin gw nasi goreng.” Kata perempuan itu sambil menyodorkan uang 50 ribu kepada Krist.

“Gw gak minat dan gw bukan pembantu elu. Jadi, beli aja sendiri.” Kata Krist tanpa melihat ke arah cewe disebelahnya yang sudah menunjukan muka marah.

“Lu kan sekretaris Singto. Jadi, gw berhak suruh-suruh lu juga.”

“Lu kan bukan Singto. Jadi gak berhak.”

“Sayang... suruh dia dong.”

“Dia gak akan ma-“

“Krist, tolong beliin aja makanan yang dia mau.” Singto memotong omongan Krist.

Deg.

Krist kesal karena omongan Singto tadi mampu menusuk hatinya. Singto tidak membantu dirinya sama sekali padahal sudah jelas perempuan di sebelahnya sedang merendahkannya.

Tanpa ingin berdebat lagi, Krist beranjak pergi membeli 1 porsi nasi goreng dan 1 gelas soda gembira.

Krist meletakkan semua itu dihadapan perempuan bernama Janhae itu dengan sedikit kasar.

“Udah gw mau balik.” Krist berniat untuk pergi tapi Janhae menahan lengannya.

“Eits lu lupa soda gembira lu.” Kata Janhae sambil menuangkan gelas soda gembira yang baru saja dibeli Krist tadi ke atas kepala Krist.

Krist yang diperilakukan seperti itu hanya diam menunduk. Kantin itu bahkan menjadi hening, tak ada yang berani berkata apapun. Teman-teman Krist dan Singto masih terdiam karena terkejut.

Singto yang melihat aksi Janhae juga terdiam sesaat. Krist tiba-tiba menatap langsung ke arah Singto dengan ekspresi kecewa dan terluka. Singto terkejut dipandang seperti itu, ia ikut merasa terluka. Ia langsung menarik tangan Janhae.

“Kamu apa apaan sih?” Bentak Singto

“Dia pantes kok.” Kata Janhae dengan santai.

“Kit lu gapapa?” Kata Singto sambil mencoba menggenggam tangan Krist.

“Gapapa. Saya permisi.”

“Kit!” Singto mencoba mengejar Krist tapi Janhae menahannya dan Krist juga sudah berlari jauh.

Krist pergi ke salah satu bilik toilet lalu menangis disana. Ia menangis karena malu dan juga terluka karena sekarang ia tau betul bahwa perasaannya itu tidak terbalas. Sungguh ia salah mengartikan perilaku Singto selama ini.

Sebuah ketukan pintu terdengar dari luar.

“Kit.. maaf.”

“...” Krist tak menjawab apa-apa

“Ini gw bawain baju buat lu ganti. Gw tadi beliin buat elu.”

“...”

“Gw bener-bener tadi gatau harus apa. Gw-“

Krist tiba-tiba membuka pintu toiletnya, merampas baju yang telah dibelikan Singto tadi, dan kembali ke menutup pintunya lagi.

“Thanks. Besok gw ganti.”

“Gaus-“

“Udah balik aja nanti lu telat. Gw ijin gak ikut rapat hari ini mau langsung pulang aja.”

“Gw-“

“Gw gapapa, gausah minta maaf lu gak salah.”

“Gw anterin-

“Gausah, lu kan harus mimpin rapat.”

Krist keluar dari toilet dengan keadaan sudah bersih.

“Kit..” Kata Singto sambil mencoba mengusap kepala Krist yang masih basah karena dicuci tadi. Namun, Krist dengan cepat mundur.

“Lainkali jangan kasi gw harapan kalo emang elu udah punya pacar.”

“Lu suka gw?” Tanya Singto tiba-tiba hingga membuat Krist bingung.

“Udah nggak.” Kata Krist sambil mencoba menghindari tatapan tajam Singto.

“Berarti sebelumnya iya?”

“Terus apa urusan elu?”

“Gw-“

“Gw mau balik.” Kata Krist sambil berlari keluar. Ia tidak siap dengan apa yang akan dikatakan Singto tentang perasaannya. Ia tau betul bahwa Singto tak mungkin menyukainya.

Sudah terbukti hari ini – Krist

Krist duduk di pinggir jalan, menunggu seseorang yang ia sangat rindukan saat ini. Seminggu sudah mereka tidak bertemu, sungguh ini membuatnya sakit. Rindu serta sakit yang selama ini ia tahan telah meluap.

“Kit”

“Kak Singto?” Krist mendongakan kepalanya sambil tersenyum. Namun, senyuman itu luntur bersamaan dengan kecewa yang datang.

“Kenapa sih masih nyari cowok itu?” Kata mama Krist

“Ma..”

“Pulang.”

“Aku mau nunggu kak Singto.”

“Dia yang nyuruh mama jemput kamu disini.”

Segitu bencinya kamu sama aku? Kenapa? Aku cuma butuh kamu... – Krist

Krist tiba-tiba memuntahkan isi perutnya sebagai tanda bahwa alerginya terhadap alkohol sedang kambuh.

“Mama kan udah bilang jangan minum alkohol, Kit. Kenapa kamu gak bisa dengerin omongan mama sih?!”

Krist menunduk memandangi tanah yang terlihat lebih menarik baginya saat ini.

“Kenapa mama harus balik saat aku bahagia sama Singto?” Kata Krist sambil memandangi tangannya yang terus bergerak dengan resah.

“Kamu ngusir mama?! Ini mama kamu yang Kit!”

“Mama buang aku waktu masih bayi. Aku gak pernah punya sosok mama sejak aku masih kecil, ma.”

“...”

“Sekarang mama kembali dan bilang kalo mama tau yang terbaik buat aku. Mama putusin pertunangan aku sama Singto yang udah jadi tunangan aku selama 2 tahun. 2 FUCKING YEARS MA!” Teriak Krist dengan air mata yang mulai berjatuhan bersama dengan memori dimana mereka memutuskan untuk berpisah. Hari dimana Singto memutuskan untuk melepas Krist.

“Kita udah mau nikah tapi mama tiba-tiba dateng dan hancurin semuanya! Aku yatim piatu sampe akhirnya orang tua Singto yang bantu ngerawat aku dan aku malah sekarang ngerusak hubungan aku sama mereka.”

“Kit..”

“Mama tau gimana sakitnya aku waktu aku tau mama kandung aku gamau aku hidup? Mama bahkan jual aku ke orang lain!” Krist berdiri dan meneriaki semua lukanya selama ini dengan mata yang tak luput dari genangan air.

“Maaf, mama-“

“Sampe akhirnya aku ketemu pasangan hidup aku, my love life, my world, my everything....” Krist terjatuh ke tanah sambil memegang dadanya yang sakit sekali sekarang. Sungguh sakit. Krist terus menangis pilu seperti puluhan jarum menusuknya.

“...”

“Aku cuma butuh Singto, ma.” Kata Krist dengan nada lemah dan rapuh.

“Maaf, Kit.”

“Aku gak pernah marah sama mama. Aku udah maafin mama tapi tolong jangan ambil kebahagiaan aku. Jangan ambil dia ma...”

“Kit..” tiba-tiba terdengar sebuah suara di belakang mereka.

“KAK SINGTO!” Krist berlari sekencang mungkin dan memeluk laki-laki di depannya dengan erat. Tak rela untuk melepasnya lagi.

“Jorok! Muntah kamu kena baju aku.”

“Ish!” Kata Krist sambil memukul dada Singto.

“Jangan minum-minum lagi ya? Aku khawatir.” Singto menghapus air mata Krist yang masih mengalir.

“Aku kangen kamu. Jangan pergi.” Krist mengecup Singto lama sambil terus meneteskan air matanya.

“Maafin mama Kit, bahagialah.” Ucap mama Krist

Krist duduk di pinggir jalan, menunggu seseorang yang ia sangat rindukan saat ini. Seminggu sudah mereka tidak bertemu, sungguh ini membuatnya sakit. Rindu serta sakit yang selama ini ia tahan telah meluap.

“Kit”

“Kak Singto?” Krist mendongakan kepalanya sambil tersenyum. Namun, senyuman itu luntur bersamaan dengan kecewa yang datang.

“Kenapa sih masih nyari cowok itu?” Kata mama Krist

“Ma..”

“Pulang.”

“Aku mau nunggu kak Singto.”

“Dia yang nyuruh mama jemput kamu disini.”

Segitu bencinya kamu sama aku? Kenapa? Aku cuma butuh kamu... – Krist

Krist tiba-tiba memuntahkan isi perutnya sebagai tanda bahwa alerginya terhadap alkohol sedang kambuh.

“Mama kan udah bilang jangan minum alkohol, Kit. Kenapa kamu gak bisa dengerin omongan mama sih?!”

Krist menunduk memandangi tanah yang terlihat lebih menarik baginya saat ini.

“Kenapa mama harus balik saat aku bahagia sama Singto?” Kata Krist sambil memandangi tangannya yang terus bergerak dengan resah.

“Kamu ngusir mama?! Ini mama kamu yang Kit!”

“Mama buang aku waktu masih bayi. Aku gak pernah punya sosok mama sejak aku masih kecil, ma.”

“...”

“Sekarang mama kembali dan bilang kalo mama tau yang terbaik buat aku. Mama putusin pertunangan aku sama Singto yang udah jadi tunangan aku selama 2 tahun. 2 FUCKING YEARS MA!” Teriak Krist dengan air mata yang mulai berjatuhan bersama dengan memori dimana mereka memutuskan untuk berpisah. Hari dimana Singto memutuskan untuk melepas Krist.

“Kita udah mau nikah tapi mama tiba-tiba dateng dan hancurin semuanya! Aku yatim piatu sampe akhirnya orang tua Singto yang bantu ngerawat aku dan aku malah sekarang ngerusak hubungan aku sama mereka.”

“Kit..”

“Mama tau gimana sakitnya aku waktu aku tau mama kandung aku gamau aku hidup? Mama bahkan jual aku ke orang lain!” Krist berdiri dan meneriaki semua lukanya selama ini dengan mata yang tak luput dari genangan air.

“Maaf, mama-“

“Sampe akhirnya aku ketemu pasangan hidup aku, my love life, my world, my everything....” Krist terjatuh ke tanah sambil memegang dadanya yang sakit sekali sekarang. Sungguh sakit. Krist terus menangis pilu seperti puluhan jarum menusuknya.

“...”

“Aku cuma butuh Singto, ma.” Kata Krist dengan nada lemah dan rapuh.

“Maaf, Kit.”

“Aku gak pernah marah sama mama. Aku udah maafin mama tapi tolong jangan ambil kebahagiaan aku. Jangan ambil dia ma...”

“Kit..” tiba-tiba terdengar sebuah suara di belakang mereka.

“KAK SINGTO!” Krist berlari sekencang mungkin dan memeluk laki-laki di depannya dengan erat. Tak rela untuk melepasnya lagi.

“Jorok! Muntah kamu kena baju aku.”

“Ish!” Kata Krist sambil memukul dada Singto.

“Jangan minum-minum lagi ya? Aku khawatir.” Singto menghapus air mata Krist yang masih mengalir.

“Aku kangen kamu. Jangan pergi.” Krist mengecup Singto lama sambil terus meneteskan air matanya.

“Maafin mama Kit, bahagialah.” Ucap mama Krist

Janji

Singto berlari ke arah ruangan penyeleksian anggota osis. Namun sebelum ia masuk, ia mengunjungi meja pendaftaran tempat teman-temannya berkumpul.

“Udah lama?” Tanya Singto

“Belom, udah cepet masuk sana.” Kata Arm.

“Thanks bro.”

“You better explain to us what actually happened to you guys ya.” Kata Off

“Iya...kalo gw sendiri bisa jelasin.” Kalimat terakhir hanya berupa bisikan untuk dirinya sendiri.

Singto dengan perlahan membuka pintu ruang seleksi.

“Lho Singto? Kamu udah beres rapatnya?” Tanya Pak Rafi.

“Baru aja pak. Maaf ganggu.”

“Eh gapapa. Lebih bagus kalo kamu ikut menyeleksi agar kamu tau sifat-sifat anggotamu nanti.”

Singto sempat melirik sebentar ke Krist lalu balik menatap Pak Rafi. Krist hanya terdiam menatap interaksi mereka.

“Iya pak makasih. Saya mungkin hanya bisa ikut satu ini lalu harus pergi lagi.”

“Oh begitu ya.. baiklah. Krist kamu bisa perkenalkan dirimu lagi.”

“Saya Krist Perawat dari 10A3.” Kata Krist sambil tersenyum ramah

“Krist ini Singto. Mungkin kamu udah tau dari waktu ospek.”

Singto menjulurkan tangannya dan berkata.

“Singto Prachaya dari 11A1.”

Krist membalas jabatan tangan Singto lalu mengangguk.

“Oke kita mulai aja ya.”

Interview dengan Pak Rafi berjalan lancar. Saat Krist grogi ia akan melirik ke Singto dan Singto akan mengangguk sambil tersenyum, meyakinkan Krist bahwa dia pasti bisa.

“Oke, cukup sampai sini saja. Kamu sudah boleh balik ke kelas.” Kata Pak Rafi.

“Baik, terima kasih Pak. Saya permisi.” Kata Krist sambil tersenyum ke arah Singto.

Setelah Krist pergi dari ruangnya itu, Singto sudah bersiap-siap untuk pamit. Namun, Pak Rafi menahannya untuk pergi.

“Jadi kamu mau anak itu ditempatkan di mana?”

“Hah? Maaf maksudnya apa ya pak?”

“Dia special kan? Saya tahu. Dari awal interview sampai akhir kamu fokus sekali dengan dia dan dia juga kadang melirik kamu.”

“Ummm..”

“Saya sudah jadi guru mu sejak SMP Singto, saya tahu.”

“Ah iya pak. Dia umm teman saya.”

“Teman? Yakin teman?”

“Iya pak. Kami teman dekat.”

“Oh begitu... jadi kamu pengen dia jadi apa? Saya yakin kamu gak pengen dia hanya sekedar anggota.”

“Saya boleh pilih pak?”

“Kamu seperti baru pertama kali Osis saja ya. Kamu kan memang selalu memilih tim intimu sendiri. Saya selalu percaya dengan kamu bahwa kamu akan selalu memilih orang-orang yang tepat dan bertanggung jawab.”

“Saya ingin dia jadi sekretaris saya saja Pak dan untuk tim inti lain menurut saya, lebih baik yang mengurus tetap orang orang lama karena mereka sudah tau alurnya bagaimana. Biar yang baru belajar dulu dengan yang sudah senior supaya saat giliran mereka yang menggantikan kami mereka sudah tau bagaimana cara mengurus semuanya.”

“Bagus bagus. Jadi dia sebenernya siapa kamu? Gak mungkin teman.”

“Ke..kenapa pak? Siapa ya?”

“Krist siapa kamu? Sampe bisa jadi sekretaris kamu? Biasa yang yang harus jadi sekretaris kamu itu orang terdeket karena harus ikutin kamu kemana mana sampai kayak jadi asisten pribadi.”

“Teman pak, dia beneran teman saya. Dia temen deket saya yang baru pindah.”

“Bukannya dia anak yang berulah pas ospek?”

“Iya pak tapi dia berulah untuk kebaikan kok kayak waktu itu buat bantu temen doang.”

“Oke oke. Yaudah pokoknya kamu bimbing dia aja ya.”

“Terimakasih pak. Saya permisi keluar ya.”

“Oke.”

Singto keluar dari ruangan dan melihat bahwa Krist sedang duduk di pinggir ruangan tadi. Singto menghampirinya dengan perlahan.

“DORR!” Teriak Singto

“ANJING SUMPAH KAGET GW.” Kata Krist sambil mengusap dadanya.

“Wkwkwk lagian tegang banget sih.”

“Gw takut tadi hasilnya jelek.” Kata Krist sambil menundukan kepalanya.

Singto berlutut di depan Krist lalu menggenggam tangannya.

“Bagus kok tadi. Gw yakin lu masuk.”

“Tau darimana lu.”

“Gw kan ketuanya.”

“Iya moga deh..”

Pengumuman

Anak yang telah ikut seleksi dan lolos dipanggil kembali ke ruangan yang sama saat mereka diseleksi.

“Selamat yang saya panggil kembali disini berhasil lolos seleksi.” Kata Pak Rafi

Krist sungguh senang ia tidak berhenti tersenyum sejak Pak Rafi bilang bahwa ia lolos.

“Baik kita akan kenalan terlebih dahulu dengan anak osis lainnya dari tim inti.”

“Hai semua, selamat karena udah berhasil lolos. Perkenalkan nama gw Singto Prachaya. Kalian bisa panggil gw Singto. Gw akan menjadi ketua osis. Gw memang galak tapi gw cuma galak kalo kalian salah aja. Gw harap setiap dari kita bisa bekerja sama dengan baik.”

“Hai nama gw Arm Weerayut. Panggil aja Arm. Gw wakilnya Singto jadi kalo ada apa-apa tapi gak ada Singto kasi tau langsung ke gw.”

“Hai nama gw Lee Thanat. Panggil aja gw sayang. Gw bendara osis jadi semua keuangan diurus gw dan Tay juga. Gw juga bersedia mengurus keuangan rumah tangga kita.” Kata Thanat sambil mengedipkan matanya hingga membuat beberapa perempuan langsung tersenyum malu-malu.

“Hai nama gw Tay Tawan. Jangan panggil gw sayang karena pacar gw pencemburu. Gw bakal jadi bendahara.”

“Hai nama gw Off Jumpol. Panggil gw Off karena gw udah off limit ya. Gw wakil Singto juga kayak Arm.”

“Biasanya osis tidak ada sekretaris karena gw cukup selektif. Orang yang akan jadi sekretaris gw harus siap dengan segala kebutuhan acara dan ikut kemana pun gw pergi. Gw tau gw akan sibuk tahun ini jadi gw memutuskan untuk pilih orang buat jadi sekretaris gw. Ada yang mau?” Kata Singto.

Semua perempuan dan laki-laki mengangkat tangan mereka. Ada juga yang teriak-teriak agar mendapat perhatian Singto. Namun, perhatian Singto langsung tertuju pada Krist yang hanya diam saja tak bergeming.

Singto melihat ke arah Krist lalu menaik-turunkan alisnya. Krist melotot untuk memberi peringatan bahwa ia tidak mau dijadikan babu oleh Singto.

“Oke, Krist lu akan jadi sekretaris gw.” Kata Singto sambil memberi senyum jahil.

“Tai lu. Gw gamau.” Kata Krist tanpa suara.

“Oke. Pertemuan pertama akan diadakan besok untuk persiapan Music Fess. Terimakasih semuanya.” Kata Pak Rafi.

Semua anak-anak keluar dari ruangan tapi saat Singto melihat Krist akan beranjak pergi, ia menahannya.

“Yuk keluar aja. Disini nanti jadi nyamuk.” Kata Off kepada yang lain sambil tertawa.

“Apa?!” Kata Krist dengan nada ketus

“Lu kan sekretaris gw sekarang jadi harus ikut gw kemana-mana.”

“Napa gw sih yang lu pilih!”

“Karena gw maunya elu.”

“Tapi gw gamau jadi sekretaris. Gw tau lu mau jadiin gw babu elu.”

“Tepat sekali.”

Dada Krist sedikit sakit saat mendengar ucapan Singto. Namun Krist menghiraukannya.

“Tai banget sih jadi orang. Labil banget kadang baik kadang nyebelin.”

“Ayo temenin gw makan di kantin.” Singto menarik tangan Krist menuju kantin.

Krist memandang tautan tangan mereka sambil tersenyum. Perlakukan manis Singto selalu berhasil membuat kupu-kupu di perutnya berterbangan.

Di saat sedang mengerjakan tugas, perut Krist mulai sakit. Maagnya pasti kambuh lagi.

Memang salahnya sendiri malas memasak makanan untuk mengisi perutnya yang kosong. Krist turun ke dapur untuk mencari obat maagnya.

Obat maag sudah menjadi makanan setiap hari untuk dirinya. Krist terus menjelajah kotak obatnya tapi tetap saja tidak menemukan obat yang ia sedang butuhkan.

“Masa abis sih obatnya.” Krist bermonoton.

Sakitnya mulai menjadi-jadi sampai Krist mulai berkeringat dingin. Dia terus meremas bagian perutnya.

Aduh sakit banget gw harus apa – Krist

Krist yang masih berjongkok sambil menahan sakit tiba-tiba mendengar bunyi bel rumah.

“Siapa malem-malem ke rumah?”

Krist berjalan ke arah pintu dengan sakit yang luar biasa. Krist membuka pintu rumahnya tapi belum sempat melihat siapa tamu yang datang ke rumahnya, Krist sudah terjatuh lemas.

“Krist!” Orang itu menangkap Krist sebelum ia terjatuh ke lantai.

“Krist bangun!” Orang itu menepuk-nepuk pipi Krist.

“Krist? Bangun! Hei!” Orang itu mengguncang guncangkan tubuh Krist.

Krist tidak merespon sama sekali membuat tamu itu panik dan segera menggendongnya ke kamar. Jangan tanya bagaimana orang itu tau kamar Krist.

Dia merebahkan Krist di kasur empuk lalu mengelap keringat pada dahinya. Setelah beberapa saat, Krist terbangun dengan keadaan sangat lemas.

Tangannya terasa hangat seperti sedang digenggam. Ia melirik ke arah tangannya dan terkejut.

“Singto?” Krist menatap sosok yang sedang tertidur sambil menggenggam tangannya ini dengan tatapan bingung.

“Singto..bangun” Krist menepuk-nepuk tangan Singto agar terbangun. Namun, Singto masih enggan terbangun.

Krist sungguh merasa hangat. Bukan di tangannya tapi di hatinya. Selain mamanya, ia tidak punya siapa siapa lagi. Ia sudah kehilangan sosok ayah sejak SMP. Ayahnya meninggal karena penyakit jantung yang menyerangnya secara tiba-tiba.

Mamanya yang sibuk bekerja untuk memastikan segala kebutuhan Krist tercukupi menjadi sosok wanita yang sibuk sehingga terkadang Krist merasa sendiri. Krist sudah terbiasa hidup sendiri tanpa mamanya yang selalu menemani. Jadi, perhatian Singto kali ini cukup menyentuh hatinya.

Krist yang masih berkutat dengan pikirannya mulai mengusap pelan kepala Singto. Tanpa sadar Krist tersenyum tulus melihat kakak kelasnya masih tertidur lelap.

Gw kenapa sih.. – Krist

“Jangan kasi gw harapan. Nanti kalo gw minta lebih gimana?” Kata Krist sambil masih membiarkan tangannya melewati setiap helai rambut Singto yang lembut.

Singto tiba-tiba menggeliat tanda bahwa ia terbangun. Krist dengan cepat menarik kembali tangannya dari kepala Singto.

“Eh lu dah bangun. Bentar gw ambilin obat sama makanan.”

“Obatnya udah abis.”

“Gw udah beli tadi.”

Singto keluar dari kamar Krist dan mengambil obat serta makanan yang tadi ia pesan.

“Nih minum obatnya. Jangan suka makan telat Kit. Kalo misalnya gak ada makanan lu chat gw aja nanti gw bawain makanan.”

“Hm.” Krist hanya mengangguk.

Krist memakan KCF yang dibelikan Singto untuk dirinya.

“Mau?” Krist menawarkan Singto sepotong ayam.

Singto hanya tersenyum lalu berucap

“Gausah. Lu aja makan yang banyak. Makannya juga jangan belepotan dong.” Singto mengelap saos tomat yang berada di pipi Krist.

Krist yang diperlakukan seperti itu hanya terdiam membeku sambil mencoba mengatur detak jantungnya. Mereka bertatap tatapan selama beberapa saat hingga akhirnya Singto memutuskan kontak mereka.

“Lu besok ada urusan apa sampe gak bisa ikut dalam penyeleksian” Krist mencoba mencairkan suasana canggung mereka.

“Gw harus ngurus Music Fess buat bulan depan jadi agak sibuk.”

“Ooo..”

“Kenapa? Lu gugup buat besok?”

“Iya hehe.”

“Gausah gugup, Pak Rafi gak galak kok.”

“Tapi diliat banyak orang gw takut..”

“Mana nih Krist yang berani ngelawan gw kok jadi ciut gini.”

“Gatau..”

“Yaudah karena lu beraninya kalo ada gw mau gw temenin besok?”

“Tapi lu sibuk jangan.”

“Gapapa kan cuma dateng pas giliran elu aja.”

“Beneran boleh?”

“Iya boleh.”

“Makasih kak.”

Singto sedikit terbatuk, ia tidak terbiasa dengan sikap Krist yang mulai melembut ini.

“Eh kenapa lu gamau tampil buat music fess Kit?” Singto mencoba mengganti topik.

“Ummm... gw punya demam panggung.”

“Kalo tampil depan gw doang boleh kali.”

“Huh?”

“Gw pengen denger lu nyanyi sambil main gitar.”

“Gak ah malu gamau.”

“Ayolahh at least sebagai tanda terima kasih gitu.”

“Mmm ok.”

Krist mengambil gitarnya lalu duduk di hadapan Singto. Singto mengambil HPnya dan berniat merekam Krist.

“Eh lu mau ngapain?”

“Gw mau rekam.”

“Duh jangan.”

“Gapapalah buat gw simpen pribadi kok.”

“Oh..ok.”

Teman-teman Singto sudah di cafe sejak 2 jam yang lalu. Namun, Singto masih tidak menunjukkan tanda-tanda akan aktif.

“Sumpah aneh banget si Singto. Biasanya dia pasti online di grup kalo ortunya lagi gak di rumah.” Kata Off

“Iya dia selalu minta kita temenin kemana gitu biar gak kesepian. Ini sih tumben banget.” Kata Nammon.

Tiba-tiba terdengar suara notifikasi hp dari off.

(Bold : Off ; Italic : Singto)

Sorry Off, gw tadi sibuk sampe akhirnya ketiduran. Kenapa telepon ya?

Sibuk ngapain anjir? Bukannya kalo ortu lu gak ada di rumah lu gabut?

Ada lah. Jadi, napa tadi telpon?

Lah lu gak baca grup?

Gw belum buka grup sama sekali. Males gw

Tumben banget lu! Sibuk apa sih sampe yang biasanya selalu buka grup tiba -tiba gak buka?

Sibuk osis ada lah pokoknya

Osis gak ada apa apa woi! Lu lupa gw osis juga?

Ya pokoknya ada urusan gw tadi.

Tumben banget main rahasia-rahasiaan sih.

Udah ih rese banget lu asli. Jadi, di grup kenapa?

Tadi anak-anak ngajak ke cafe biasa. Lu mau nyusul gak?

Skip gw. Gw mau lanjut ngurus urusan tadi.

Tumbe-

Singto memutuskan telepon secara sepihak.

“Sumpah Singto napa sih anjir.” Kata Off.

“Napa dia? Nyusul gak?” Tanya Arm.

“Nggak mau nyusul ada urusan katanya.” Jawab Off

“Eh tumben banget biasanya kalo lagi sendiri maunya pergi terus.” Kata Tay

“Iya mangkannya gw kaget juga.”

“Urusan apa sih?” Tanya Nammon

“Dia gamau kasi tau tapi kata dia berhubungan dengan osis.”

“Lah osis kan gak ada apa apa.” Kata Arm

“Mangkannya itu gw heran banget. Dia kek nutupin banget urusan dia.”

“Wah gak beres ini. Dia gak pernah sembunyi sembunyi sama kita.” Kata Thanat.

Selamat Malam

2 Jam Sebelum

Tiba-tiba handphone Krist berbunyi menandakan ada seseorang yang meneleponnya.

Krist mengangkat panggilan itu lalu berkata

“Gw kan belum bales boleh anjir.”

“Tapi lu jawab call gw.”

“Ya kan...soalnya..”

“Apa?”

“Ish tau ah kesel bodo amat. Lagian napa sih call? Gw lagi nugas.”

“Ya gapapa pengen aja. Gw kan nemenin lu nugas juga.”

“Bukannya nemenin yang ada lu ganggu gw.”

“Kita kan simbiosis mutualisme. Lu bisa tanya gw kalo ada yang gak bisa dan lu nemenin gw ngegabut sendirian di rumah.”

“Iya iya yaudah diem gw mau ngerjain.”

Krist kembali dengan buku serta pensil di hadapannya sedangkan Singto memerhatikan wajah serius Krist yang terlihat imut.

hah? Apa? Imut? Gak mungkin gw mikir gitu. – Singto

“Lu kenapa panik gitu? Lu sakit?” Tanya Krist tiba-tiba saat melihat Singto memukul mukul kepalanya.

“Ah.. enggak kok tadi ada nyamuk aja. Lu lanjut aja kalo ada yang gak bisa tanya aja.”

Krist kembali mengerjakan tugas sedangkan Singto masih berkutat dengan pikirannya.

Tapi emang kalo gw liat lagi dia emang manis. Terlalu manis buat jadi cowok. – Singto

Krist yang terus merasa diperhatikan merasa gugup. Jantungnya berdetak cukup kencang.

“Lu...lu napa mandangin gw kek gitu sih?” Kata Krist dengan sedikit tergagu gagu.

“Lu manis.”

“Hah?”

“Eh maksudnya Lu sadis” Kata Singto dengan sedikit nada panik.

“Lu aneh sumpah. Eh, boleh bantu gw nomor ini gak?”

“Coba lu fotoin ke gw.”

Krist memfoto soalnya lalu mengirimnya kepada Singto via pesan pribadi.

“Oh ini gampang.”

Singto mulai menjelaskan cara mengerjakan soal tersebut kepada Krist. Namun, Krist terlihat tidak fokus ia terus menatap Singto lewat layar hp.

ganteng. – Krist

Krist tiba-tiba terlihat panik.

“Lu dengerin gw gak sih? Eh napa lu kek gitu?”

“Eh gapapa gw tadi inget ada ulangan minggu depan.”

“Masih minggu depan bisalahh. Gausah terlalu stress nanti kalo gak bisa minta ajarin gw aja.”

“Iya thanks.”

“Tadi udah ngerti gak?”

“Gak hehe” Krist menggaruk tengkuknya yang tidak gatal merasa malu karena tidak mendengarkan sama sekali perkataan Singto.

Panggilan video ini terus berlangsung hingga sekitar 2 jam. Kadang mereka mengobrol dan terkadang mereka diam dalam keheningan. Namun, bukan keheningan yang canggung tapi keheningan yang nyaman.

“Ini udah malem lanjut besok aja kit.”

“Gamau nanggung banget ini.”

“Kasian itu mata lu dah merah gitu. Lu juga udh nguap-nguap terus.”

“Tapi-“

“Udah tidur. Besok lagi aja nanti gw temenin lagi.”

“Ok..makasih kak.”

“Iya udah tidur ya. Good night.”

“Good night.” Krist tersenyum manis lalu mematikan sambungannya.

Anjir... cantik bat. – Singto

Saat Singto sedang ingin mengirim pesan selamat malam kepada Krist, ia melihat bahwa Off meneleponnya berkali-kali.

Singto pun menelepon Off. Ia dihantam dengan berbagai pertanyaan yang ia tidak mau jawab. Singto takut jika ia memberitahu ke teman-temannya ia akan dibuat berpikir lagi semalaman.

Singto salah. Ternyata walau dia tidak memberitahukan urusannya kepada teman-temannya akibat takut ditanya tentang perasaannya, Singto tetap saja overthinking tentang perasaannya.

Makanan

Krist jujur senang karena kali ini ada yang menemaninya mengerjakan tugas. Singto ternyata tidak seburuk yang ia kira, bahkan hari ini dia mengakui bahwa Singto terlihat keren dan sangat wajar jika perempuan-perempuan menyukainya.

“Gw pengen bikinin dia bekal lagi. At least, buat bilang makasih.” Kata Krist pada dirinya sendiri sambil terus tersenyum.

Pada saat makan siang, Krist pergi ke kantin tempat biasa Singto dan teman-temannya memakan makanan mereka.

Krist berjalan ke arah Singto dengan berbagai tatapan dari penggemar Singto.

“Nih, katanya mau irit duit kan? Gw bikinin nasi rendang.” Kata Krist sambil memberikan kotak makan ke Singto

Singto yang diperlakukan seperti itu sangat terkejut. Namun, tersenyum sambil mengambil kotak makan di tangan Krist.

“Eh sejak kapan Singto ngirit?” Kata Nammon

“Dia mah kebanyakan duit, bahkan sering traktir kita di restaurant mahal.” Kata Thanat.

Singto menatap tajam ke arah Thanat, mencoba memberi sinyal untuk diam.

“Ohh jadi boong ya?” Kata Krist dengan sinis

“Ah nggak kok! Mereka emang suka bercanda.” Singto menggaruk tengkuknya yang tidak gatal

“Yaudah gw anggepnya rasa terima kasih kemarin udah ajarin gw.”

Singto panik karena sekarang giliran teman-temannya yang menatapnya dengan tatapan tajam.

“Iy..iya sama-sama.” Kata Singto dengan sedikit ada rasa panik.

“Yaudah gw balik.” Krist membalikan badannya.

“Kit!” Teriak Singto.

“Iya?”

“Hari ini jangan lupa.” Kata Singto tanpa suara hanya mulutnya saja yang bergerak.

Krist pun menjawabnya dengan anggukan lucu.

Saat Singto kembali menghadap dengan teman-temannya, ia sudah dihidangkan dengan tatapan-tatapan ingin tahu.

Singto menghela napas dan menunjukan muka panik. Namun, ia kembali tersenyum saat melihat kotak makan Krist.

Teman-teman Singto sudah di cafe sejak 2 jam yang lalu. Namun, Singto masih tidak menunjukkan tanda-tanda akan aktif.

“Sumpah aneh banget si Singto. Biasanya dia pasti online di grup kalo ortunya lagi gak di rumah.” Kata Off

“Iya dia selalu minta kita temenin kemana gitu biar gak kesepian. Ini sih tumben banget.” Kata Nammon.

Tiba-tiba terdengar suara notifikasi hp dari off.

(Bold : Off ; Italic : Singto)

Sorry Off, gw tadi sibuk sampe akhirnya ketiduran. Kenapa telepon ya?

Sibuk ngapain anjir? Bukannya kalo ortu lu gak ada di rumah lu gabut?

Ada lah. Jadi, napa tadi telpon?

Lah lu gak baca grup?

Gw belum buka grup sama sekali. Males gw

Tumben banget lu! Sibuk apa sih sampe yang biasanya selalu buka grup tiba -tiba gak buka?

Sibuk osis ada lah pokoknya

Osis gak ada apa apa woi! Lu lupa gw osis juga?

Ya pokoknya ada urusan gw tadi.

Tumben banget main rahasia-rahasiaan sih.

Udah ih rese banget lu asli. Jadi, di grup kenapa?

Tadi anak-anak ngajak ke cafe biasa. Lu mau nyusul gak?

Skip gw. Gw mau lanjut ngurus urusan tadi.

Tumbe-

Singto memutuskan telepon secara sepihak.

“Sumpah Singto napa sih anjir.” Kata Off.

“Napa dia? Nyusul gak?” Tanya Arm.

“Nggak mau nyusul ada urusan katanya.” Jawab Off

“Eh tumben banget biasanya kalo lagi sendiri maunya pergi terus.” Kata Tay

“Iya mangkannya gw kaget juga.”

“Urusan apa sih?” Tanya Nammon

“Dia gamau kasi tau tapi kata dia berhubungan dengan osis.”

“Lah osis kan gak ada apa apa.” Kata Arm

“Mangkannya itu gw heran banget. Dia kek nutupin banget urusan dia.”

“Wah gak beres ini. Dia gak pernah sembunyi sembunyi sama kita.” Kata Thanat.

Selamat Malam

2 Jam Sebelum

Tiba-tiba handphone Krist berbunyi menandakan ada seseorang yang meneleponnya.

Krist mengangkat panggilan itu lalu berkata

“Gw kan belum bales boleh anjir.”

“Tapi lu jawab call gw.”

“Ya kan...soalnya..”

“Apa?”

“Ish tau ah kesel bodo amat. Lagian napa sih call? Gw lagi nugas.”

“Ya gapapa pengen aja. Gw kan nemenin lu nugas juga.”

“Bukannya nemenin yang ada lu ganggu gw.”

“Kita kan simbiosis mutualisme. Lu bisa tanya gw kalo ada yang gak bisa dan lu nemenin gw ngegabut sendirian di rumah.”

“Iya iya yaudah diem gw mau ngerjain.”

Krist kembali dengan buku serta pensil di hadapannya sedangkan Singto memerhatikan wajah serius Krist yang terlihat imut.

hah? Apa? Imut? Gak mungkin gw mikir gitu. – Singto

“Lu kenapa panik gitu? Lu sakit?” Tanya Krist tiba-tiba saat melihat Singto memukul mukul kepalanya.

“Ah.. enggak kok tadi ada nyamuk aja. Lu lanjut aja kalo ada yang gak bisa tanya aja.”

Krist kembali mengerjakan tugas sedangkan Singto masih berkutat dengan pikirannya.

Tapi emang kalo gw liat lagi dia emang manis. Terlalu manis buat jadi cowok. – Singto

Krist yang terus merasa diperhatikan merasa gugup. Jantungnya berdetak cukup kencang.

“Lu...lu napa mandangin gw kek gitu sih?” Kata Krist dengan sedikit tergagu gagu.

“Lu manis.”

“Hah?”

“Eh maksudnya Lu sadis” Kata Singto dengan sedikit nada panik.

“Lu aneh sumpah. Eh, boleh bantu gw nomor ini gak?”

“Coba lu fotoin ke gw.”

Krist memfoto soalnya lalu mengirimnya kepada Singto via pesan pribadi.

“Oh ini gampang.”

Singto mulai menjelaskan cara mengerjakan soal tersebut kepada Krist. Namun, Krist terlihat tidak fokus ia terus menatap Singto lewat layar hp.

ganteng. – Krist

Krist tiba-tiba terlihat panik.

“Lu dengerin gw gak sih? Eh napa lu kek gitu?”

“Eh gapapa gw tadi inget ada ulangan minggu depan.”

“Masih minggu depan bisalahh. Gausah terlalu stress nanti kalo gak bisa minta ajarin gw aja.”

“Iya thanks.”

“Tadi udah ngerti gak?”

“Gak hehe” Krist menggaruk tengkuknya yang tidak gatal merasa malu karena tidak mendengarkan sama sekali perkataan Singto.

Panggilan video ini terus berlangsung hingga sekitar 2 jam. Kadang mereka mengobrol dan terkadang mereka diam dalam keheningan. Namun, bukan keheningan yang canggung tapi keheningan yang nyaman.

“Ini udah malem lanjut besok aja kit.”

“Gamau nanggung banget ini.”

“Kasian itu mata lu dah merah gitu. Lu juga udh nguap-nguap terus.”

“Tapi-“

“Udah tidur. Besok lagi aja nanti gw temenin lagi.”

“Ok..makasih kak.”

“Iya udah tidur ya. Good night.”

“Good night.” Krist tersenyum manis lalu mematikan sambungannya.

Anjir... cantik bat. – Singto

Saat Singto sedang ingin mengirim pesan selamat malam kepada Krist, ia melihat bahwa Off meneleponnya berkali-kali.

Singto pun menelepon Off. Ia dihantam dengan berbagai pertanyaan yang ia tidak mau jawab. Singto takut jika ia memberitahu ke teman-temannya ia akan dibuat berpikir lagi semalaman.

Singto salah. Ternyata walau dia tidak memberitahukan urusannya kepada teman-temannya akibat takut ditanya tentang perasaannya, Singto tetap saja overthinking tentang perasaannya.

Makanan

Krist jujur senang karena kali ini ada yang menemaninya mengerjakan tugas. Singto ternyata tidak seburuk yang ia kira, bahkan hari ini dia mengakui bahwa Singto terlihat keren dan sangat wajar jika perempuan-perempuan menyukainya.

“Gw pengen bikinin dia bekal lagi. At least, buat bilang makasih.” Kata Krist pada dirinya sendiri sambil terus tersenyum.

Pada saat makan siang, Krist pergi ke kantin tempat biasa Singto dan teman-temannya memakan makanan mereka.

Krist berjalan ke arah Singto dengan berbagai tatapan dari penggemar Singto.

“Nih, katanya mau iri duit kan? Gw bikinin nasi rendang.” Kata Krist sambil memberikan kotak makan ke Singto

Singto yang diperlakukan itu sangat terkejut. Namun, tersenyum sambil mengambil kotak makan di tangan Krist.

“Eh sejak kapan Singto ngirit?” Kata Nammon

“Dia mah kebanyakan duit, bahkan sering traktir kita di restaurant mahal.” Kata Thanat.

Singto menatap tajam ke arah Thanat, mencoba memberi sinyal untuk diam.

“Ohh jadi boong ya?” Kata Krist dengan sinis

“Ah nggak kok! Mereka emang suka bercanda.”

“Yaudah gw anggepnya rasa terima kasih kemarin udah ajarin gw.”

Singto panik karena sekarang giliran teman-temannya yang menatapnya dengan tatapan tajam.

“Iy..iya sama-sama.” Kata Singto dengan sedikit ada rasa panik.

“Yaudah gw balik.” Krist membalikan badannya.

“Kit!” Teriak Singto.

“Iya?”

“Hari ini jangan lupa.” Kata Singto tanpa suara hanya mulutnya saja yang bergerak.

Krist pun menjawabnya dengan anggukan lucu.

Saat Singto kembali menghadap dengan teman-temannya, ia sudah dihidangkan dengan tatapan-tatapan ingin tahu.

Singto menghela napas dan menunjukan muka panik. Namun, ia kembali tersenyum saat melihat kotak makan Krist.

BREAKFAST

Krist berjalan menuju kelas Singto dengan menggenggam sebuah kotak makanan berisi nasi goreng.

Krist sungguh kesal dengan kakak kelasnya yang satu ini. Ia harus bangun 1 jam sebelum waktu biasanya ia bangun hanya untuk memasakkan nasi goreng untuknya.

Sebenarnya ia bisa minta ke pembantunya saja. Namun, tak tahu ada apa dengannya sehingga ia bersih keras untuk memasaknya sendiri.

“Nih, sarapan elu.” Kata Krist sambil menyodorkan kotak makan ke Singto yang sedang bermain game.

Krist kesal ia sudah susah-susah masak dan berjalan ke kelas Singto tapi Singto malah menghiraukannya.

“Gw balik.”

Saat Krist sudah berniat berjalan keluar, Singto menahan tangannya dan berkata,

“Duduk.”

“Gak! Gw abis ini masuk. Kelas lu tuh jauh dari gw.”

Singto langsung menarik kursi di dekatnya dan menarik Krist untuk duduk disitu.

“Gw bilang duduk.”

“Ish gw bilang gamau. Lu tuh nyebelin banget sih.”

“Suapin gw.”

“HAH?!”

“Aduh telinga gw sakit anjir.” Kata Singto sambil mengusap-usap telinganya.

“Lagian lu gila ya? Lu denger gak sih lu ngomong apa?”

“Denger kok. Suapin gw, gw mau main game.”

“Gamau bodo amat.” Krist mencoba untuk berdiri. Namun, ditahan lagi dengan Singto.

Tiba-tiba di luar kelas sudah terdengar desas-desus orang. Krist yang merasa diperhatikan melihat keluar dan ternyata banyak orang yang memerhatikan mereka.

“Gw balik.”

“Suapin gw dulu baru balik.”

“Lu liat gak sih banyak orang di depan?”

“Ya terus kenapa?”

“Lu gila sumpah!”

“Cepetan gw laper.”

“GAMAU! ISH!” Krist dengan kasar mencoba berdiri tapi dia tidak sengaja terpeleset.

Singto dengan cepat menangkap pinggangnya sebelum ia jatuh terkena lantai. Mereka bertatapan untuk beberapa detik tapi dengan cepat mereka berdua menjauh.

“Gw kan udah bilang kalo jalan tuh liat liat. Kalo gak ada gw gimana?”

“Makasih.” Kata Krist dengan suara kecil.

Singto hanya menghela napasnya. Tidak tau kenapa Singto takut melihat Krist terjatuh. Mungkin karena ia trauma karena pernah melihat Krist terjatuh lemas akibat hukumannya yang terlalu keras.

Singto menghampiri Krist lalu mengusap-usap pelan kepalanya.

“Udah balik sana. Makasih sarapannya.”

“Hm.” Krist langsung keluar dari kelas.

PULANG

Krist dan Singto saling menjauh untuk satu hari penuh itu. Krist tidak berulah dan Singto tidak berinteraksi sama sekali dengannya. Mereka masih sama-sama berkutat dengan pikiran mereka masing-masing akibat dari perkataan teman-teman mereka.

Hari itu benar-benar menjadi hari yang berbeda, bahkan anak-anak lain juga ikut heran dengan keheningan Krist dan Singto yang selama ini mewarnai acara ospek mereka. Beberapa diantaranya senang karena Singto tidak lagi diganggu dan beberapa diantara mereka juga ada yang sedih karena Krist dan Singto tidak lagi berinteraksi.

Acara ospek akhirnya selesai dan Krist sudah bersiap untuk pulang. Saat pulang ia melewati sebuah lapangan basket. Tiba-tiba tanpa ia sadari, sebuah bola melayang ke arahnya.

BRUKKK

Terdengar suara tubuh Krist yang menghantam tanah.

“WOI HATI-HATI DONG ANJING! SAKIT NIH!”

Si pelaku yang tidak sengaja menghantam Krist dengan bola dengan segera berlari ke arah Krist dengan ekspresi khawatir.

“Mana yang sakit? Mau ke rumah sakit gak? Sorry gw gak liat lu disitu. Mau gw anter pulang?” Singto, sang pelaku, mengecek seluruh tubuh Krist dengan seksama, memastikan sang pemilik tidak terluka.

Krist yang tiba-tiba dibombardir dengan puluhan pertanyaan hanya diam membeku. Namun, setelah beberapa saat ia mulai tersadar dan menepis tangan Singto yang daritadi memegang tubuhnya.

“Gausah.” Singto cukup terkejut dengan Krist yang bersikap dingin tapi ia tetap ini memastikan bahwa dia tidak apa apa karena ia tau pukulan bola itu cukup keras.

“Lu ada yang sakit gak? Mau ke UKS gak?”

“Apaan sih Singto! Gw gapapa udah ih gw mau pulang.” Krist mencoba untuk berdiri. Namun, kembali terjatuh karena ternyata kakinya terkilir.

“Aduhh” Krist mengeluh kesakitan sambil memegangi pergelangan kakinya.

“Tuh kan! Gw tanya tadi gak jawab sih. Batu emang orang.”

“Yakan salah lu juga anjing! Jangan gw doang yang lu salahin terus! Gw emang selalu salah di mata elu.” Krist membentaknya sambil terlihat ada genangan air di matanya.

“Sorry sorry yaudah yuk gw anter pulang aja. Jangan nangis. Lu jelek kalo nangis.”

“Bodo. Gw males sama elu.”

Singto mengadahkan tangannya lalu membantu Krist untuk berdiri dengan pelan kemudian Singto berjongkok di hadapan Krist dengan posisi membelakangi Krist.

“Ayo naik.”

“Gak! Apaan sih lu anjir! Gw bisa jalan sendiri.”

“Kaki udah mau bengkak gitu masih aja gengsinya tinggi. Cepet naik.”

Krist yang merasa kakinya mulai sakit karena berdiri terlalu lama akhirnya memutuskan untuk menurut saja. Krist menempelkan tubuhnya ke punggung Singto lalu mengalungkan tangannya di leher Singto. Singto dengan pelan berdiri dan menggendong Krist ke arah mobilnya.

“Eh! Mama gw nunggu di halte sana!”

“Udah gw anter pulang aja.”

“GAK GAK GAMAU.” Krist menggoyangkan tubuhnya ke kanan dan kiri membuat Singto sedikit kewalahan.

“DUH DUH DIEM WOI NANTI JATOH.”

BRUKKK

Mereka berdua terjatuh ke samping.

“Tuh kan udh gw bilang juga!”

“Ya mangkannya turunin gw.”

“Sakit gak tangannya?” Singto mengecek lengan Krist yang jatuh terkena aspal.

“Gak. Gausah sok perhatian deh.”

“Ini namanya BERTANGGUNG JAWAB Krist Perawat.”

“Terserah gw mau pulang!” Krist mencoba berdiri tapi dia lupa kalau kakinya baru saja terkilir. Ia hampir jatuh tapi Singto dengan cepat menariknya hingga Krist kini dalam pelukan Singto.

“Awas jatoh! Mau jatoh berapa kali sih?”

Krist masih membeku, berkutat dengan segala pikiran yang muncul dalam benaknya. Jantungnya juga tak berhenti berdetak kencang.

Belum sempat Krist mencerna pikirannya, Singto sudah menggendongnya lagi. Namun, kali ini Bridal Style. Krist hanya membeku ditempat tak dapat bergerak atau berkata apapun.

“Pegangan ke leher gw nanti jatoh.”

“Turunin gw!”

“Jangan goyang-goyang nanti jatoh lagi.”

“Gw gak perlu di gendong SINGTO!”

“Gausah belagu, lu gak bisa jalan gini...masih aja.”

“Tapi-”

“Lu gak diem gw cium.”

Anjir..gw gak salah denger kan? – Krist

Hah? Gw ngomong apa.. – Singto

Karena Krist takut akan segala kemungkinan yang ada ia pun langsung mengalungkan tangannya ke leher Singto. Singto menggendongnya sampai masuk mobil. Singto memakaikan sabuk ke Krist lalu berjalan ke kursi pengemudi.

Selama di perjalanan mereka diselimuti oleh keheningan. Mereka merasa canggung setelah percakapan yang tidak disengaja itu. Masing-masing kembali berkutat dengan pikiran mereka sendiri, mencoba mencerna apa yang telah terjadi.

CAFE

Krist datang ke cafe yang terletak dekat kampus tempat ia menuntut ilmu. Ia membawa beberapa buku SMP dan SMAnya lalu tidak lupa membawa kertas soal yang berjumlah sekitar 10 lembar.

Krist melihat seorang laki-laki melambaikan tangannya dari sebuah meja di ujung cafe.

Krist duduk di hadapan laki-laki itu dengan muka masam dan seperti siap untuk membunuh orang kapan saja.

“Udah mau dibantuin kok mukanya gitu.” Tanya Singto

“Yakan ini ulah lu juga! Kalo lu gak kasi kita-kita anak maba soal segini banyak, gw juga gak bakal minta bantu elu.”

“Sengaja emang.” Singto tersenyum jahil.

“Senyum doang lu kerjaannya. Lagian napa punya gw juga elu bedain sih soalnya sama bentuknya. Dendam banget keknya sama gw.” Kata Krist dengan geram.

“Ya biar elu tanya gw or minta gw buat ajarinlah.”

“Hah? Pede banget lu!”

“Buktinya sekarang elu ketemu gw buat apa?” Kata Singto sambil memberi senyum nakalnya

“Tai.”

“Udah ah mulai aja daripada lama lama. Lu kan males ketemu gw kan?”

“Iya deh, biar cepet pulang. Males gw disini lama-lama.”

Singto berjalan dan duduk disamping Krist membuat laki-laki disampingnya terkejut.

“Ngapain elu pindah sini?!”

“Lebih enak ngajarinnya.”

“Ya kan di seberang gw juga bisa!”

“Gak ah jauh males.”

“Ya kalo jauh soalnya kan tinggal dideketin anjir.”

“Dari elu maksudnya.”

Krist terdiam sambil mencoba mencerna maksud Singto. Tiba-tiba ia tersadar lalu langsung memukul lengan Singto dengan keras.

“Anjir! Sakit kit!” Kata Singto sambil mengusap bagian yang baru saja kena pukulan Krist.

“Anjing! Yaudah kalo lu gak pindah gw aja yang pindah. Minggir!”

“Gamau males berdiri.”

“Gw mau pindah!”

“Tapi gw males.”

“Nyesel gw kesini, emosi banget gw.”

“Nih biar lu gak nyesel, gw udah rangkumin semua rumus yang harus lu pake disini. Coba kerjain dulu nanti baru tanya gw.” Singto memberikan sebuah buku kepada Krist dan Krist menerimanya dengan muka yang masih cemberut.

“Gausah cemberut gitu napa sih. Jelek tau gak.”

“Ya kalo jelek gausah dilihat susah banget sih hidup lu.”

Krist langsung mengerjakan soal dengan rumus yang Singto berikan. Sudah 2 jam lebih ia mengerjakan soal-soal itu, ia sudah mulai lelah dan mengantuk.

“Cafe ini tutup jam berapa?” Tanya Krist

“Jam 11 tenang aja. Ini masih jam 6.”

“Gw laper.”

“Mau makan? Gw beliin ya?”

Sebelum Krist menjawab, Singto sudah berjalan ke kasir untuk memesan makanan.

Krist yang ditinggal sendirian mulai mengantuk hingga akhirnya kantuknya tak dapat ditahan lagi. Krist tertidur dengan posisi kepala bertumpu pada lengannya.

“Kit ini mak- lah tidur anaknya. Tadi katanya laper.”

Singto meletakkan makanan mereka lalu mencoba membangunkan Krist. Namun, Krist tetap enggan untuk bangun.

“Cape pasti. Soal yang gw kasi keknya emang terlalu banyak.” Singto bermonoton sendiri

Singto mengambil buku dibawah Krist dengan pelan dan mengerjakannya.

Setelah satu jam berlalu, Krist tiba-tiba terbangun dari tidur nyenyaknya.

“Eh udah bangun?”

“Gak, masih tidur. Ya iyalah.”

“Yaudah makan gih, tadi katanya laper.”

“Lu lagi ngapain?”

“Ngerjain soal elu.”

“Eh gausah. Gapapa biar gw aja.”

“Gausah gapapa. Salah gw juga ngasinya kebanyakan.”

“...” Krist hanya terdiam dan menatap Singto dengan ekspresi bingung.

“Eh makanannya mau dipanasin gak? Itu udah dari satu jam yang lalu.”

“Gausah gapapa masih bisa dimakan kok.”

“Gausah gw suruh panasin aja.”

“Gapapa gausah. Lagian lu berlagak banget sih minta panasin.”

“Ya kan cafe gw sendiri emang apa salahnya?”

“Oh ini cafe elu?”

“Iya. Yaudah gw panasin dulu.”

Singto pergi sebentar lalu balik dengan makanan yang tadi telah dihangatkan kembali.

“Makasih kak.”

Singto terkejut lalu tersenyum jahil seperti biasanya.

“Coba ngomong lagi.”

“Gak, males. Bodo.”

“Ayo dong. Sekali aja.”

“Gak akan. Gausah ngarep.”

Singto tertawa lalu mengusap pelan kepala Krist sambil berkata.

“Yaudah, makan gih.”

Krist sempat membeku tapi dengan cepat menepis tangan Singto.

“Gw bukan anjing.”

“Lu anjing gw tapi.” Singto tersenyum manis.

Krist hanya terdiam dan memakan makanannya untuk menutupi pipinya yang mulai memerah.

———————

“Nih PRnya udh beres.”

“Iya makasih. Lain kali gausah ngadi ngadi kasi tugas beginian lagi, repot sendiri kan jadinya.”

“Buat elu mah gak repotlah.”

Lagi-lagi pipinya memerah.

“Terserah. Gw mau pulang.”

“Mau gw anter gak?”

“Gamau gw sama pedofil. Maap aja.”

“Emang pedofil mau sama elu?” Singto lagi-lagi berlari dari pukulan Krist.

“Oh bangsat banget ya.” Krist lagi-lagi mengejar Singto.