Kantin
Krist berjalan menuju kantin dengan langkah yang sedikit cepat karena ia tau ada yang menunggu dokumen yang digenggamnya saat ini.
Sesampainya disana, ia melihat seseorang melambaikan tangannya dan memanggilnya. Krist dengan senang hati berjalan ke meja yang telah disediakannya oleh kakak kelasnya.
“Loh... lu pada kok disini?” Tanya Krist kepada teman-temannya yang ternyata duduk di meja yang sama dengan Singto dan teman-temannya.
“Ya pacar gw disini trus yang lain anak-anak osis jadi ya wajar aja sih.” Kata Gun yang dijawab dengan anggukan kepala oleh yang lain.
Tiba-tiba Singto menarik Krist untuk duduk disebelahnya lalu bertanya,
“Mana dokumen sama laporan yang kita buat kemarin?”
“Ini.” Kata Krist sambil menyodorkan sebuah amplop besar berwarna coklat.
“Oh kemarin nolak tawaran hangout bareng kita karena mau sama Krist berduaan?” Kata Off dengan nada mengejek.
“Gw kerja ya bangsat bukan main-main.” Jawab Singto
“Oh kerjanya sampe jam 11 malem ya? Lama juga kerjanya.” Sekarang giliran Tay yang mengejeknya.
“Emang sukanya berdua aja ya padahal kan bisa aja laporannya dikerjain bareng-bareng.” Timpal Nammon
“Lebih enak berdua karena kalo mau cari kesempatan pun gak diledek sama lu pada.” Kata Singto sambil melirik ke arah Krist.
“CIEEEEEE” Kata semua orang di meja itu secara serempak.
Krist selama perbincangan itu hanya tersenyum malu dan terus mengalihkan perhatiannya ke kertas-kertas laporan di depannya.
Tiba-tiba seorang perempuan datang dan Secara tidak sopan duduk di tengah-tengah Krist dan Singto.
Krist sempat terkejut karena perempuan itu mendorong dirinya untuk bergeser sedangkan Singto diam saja seperti sudah terbiasa dengan perilaku perempuan di sebelahnya ini.
“Hai sayang.” Kata si perempuan berambut pendek ini.
“Hai.” Kata Singto dengan nada malas tanpa berniat menoleh.
Teman-teman Singto hanya diam saja bahkan menjadi hening setelah tadi dipenuhi canda tawa.
“Eh kamu udah siapin aku soda gembira ya? Ih kamu perhatian banget sih.” Kata perempuan itu sambil menganyunkan lengan Singto dengan manja.
“Itu buat Krist bukan buat kamu, janhae.”
Krist yang terpanggil namanya menoleh ke arah Singto.
“Dia mah bisa beli lagi. Kalo ini buat aku aja ya.”
“Terserah.”
“Nih duitnya, lu beli lagi aja. Oh ya, sekalian beliin gw nasi goreng.” Kata perempuan itu sambil menyodorkan uang 50 ribu kepada Krist.
“Gw gak minat dan gw bukan pembantu elu. Jadi, beli aja sendiri.” Kata Krist tanpa melihat ke arah cewe disebelahnya yang sudah menunjukan muka marah.
“Lu kan sekretaris Singto. Jadi, gw berhak suruh-suruh lu juga.”
“Lu kan bukan Singto. Jadi gak berhak.”
“Sayang... suruh dia dong.”
“Dia gak akan ma-“
“Krist, tolong beliin aja makanan yang dia mau.” Singto memotong omongan Krist.
Deg.
Krist kesal karena omongan Singto tadi mampu menusuk hatinya. Singto tidak membantu dirinya sama sekali padahal sudah jelas perempuan di sebelahnya sedang merendahkannya.
Tanpa ingin berdebat lagi, Krist beranjak pergi membeli 1 porsi nasi goreng dan 1 gelas soda gembira.
Krist meletakkan semua itu dihadapan perempuan bernama Janhae itu dengan sedikit kasar.
“Udah gw mau balik.” Krist berniat untuk pergi tapi Janhae menahan lengannya.
“Eits lu lupa soda gembira lu.” Kata Janhae sambil menuangkan gelas soda gembira yang baru saja dibeli Krist tadi ke atas kepala Krist.
Krist yang diperilakukan seperti itu hanya diam menunduk. Kantin itu bahkan menjadi hening, tak ada yang berani berkata apapun. Teman-teman Krist dan Singto masih terdiam karena terkejut.
Singto yang melihat aksi Janhae juga terdiam sesaat. Krist tiba-tiba menatap langsung ke arah Singto dengan ekspresi kecewa dan terluka. Singto terkejut dipandang seperti itu, ia ikut merasa terluka. Ia langsung menarik tangan Janhae.
“Kamu apa apaan sih?” Bentak Singto
“Dia pantes kok.” Kata Janhae dengan santai.
“Kit lu gapapa?” Kata Singto sambil mencoba menggenggam tangan Krist.
“Gapapa. Saya permisi.”
“Kit!” Singto mencoba mengejar Krist tapi Janhae menahannya dan Krist juga sudah berlari jauh.
Krist pergi ke salah satu bilik toilet lalu menangis disana. Ia menangis karena malu dan juga terluka karena sekarang ia tau betul bahwa perasaannya itu tidak terbalas. Sungguh ia salah mengartikan perilaku Singto selama ini.
Sebuah ketukan pintu terdengar dari luar.
“Kit.. maaf.”
“...” Krist tak menjawab apa-apa
“Ini gw bawain baju buat lu ganti. Gw tadi beliin buat elu.”
“...”
“Gw bener-bener tadi gatau harus apa. Gw-“
Krist tiba-tiba membuka pintu toiletnya, merampas baju yang telah dibelikan Singto tadi, dan kembali ke menutup pintunya lagi.
“Thanks. Besok gw ganti.”
“Gaus-“
“Udah balik aja nanti lu telat. Gw ijin gak ikut rapat hari ini mau langsung pulang aja.”
“Gw-“
“Gw gapapa, gausah minta maaf lu gak salah.”
“Gw anterin-
“Gausah, lu kan harus mimpin rapat.”
Krist keluar dari toilet dengan keadaan sudah bersih.
“Kit..” Kata Singto sambil mencoba mengusap kepala Krist yang masih basah karena dicuci tadi. Namun, Krist dengan cepat mundur.
“Lainkali jangan kasi gw harapan kalo emang elu udah punya pacar.”
“Lu suka gw?” Tanya Singto tiba-tiba hingga membuat Krist bingung.
“Udah nggak.” Kata Krist sambil mencoba menghindari tatapan tajam Singto.
“Berarti sebelumnya iya?”
“Terus apa urusan elu?”
“Gw-“
“Gw mau balik.” Kata Krist sambil berlari keluar. Ia tidak siap dengan apa yang akan dikatakan Singto tentang perasaannya. Ia tau betul bahwa Singto tak mungkin menyukainya.
Sudah terbukti hari ini – Krist