scubepid

tw // second character dead, mention of blood

image


“Kakak duluan aja ke balkon lantai sepuluh untuk menemui Anggun.”

“Kamu mau kemana ki emangnya?” Tanya Sunoo sembari mengernyitkan dahinya.

“Gua mau kesana dulu.” Riki menunjuk ke arah minimarket yang ada didalam rumah sakit.

“Oh oke deh kalau begitu. Aku duluan ya?”

“Iyaa kak, hati hati jalannya.”

Setelah mendengar hal itu, Sunoo memutar balikan badannya, kemudian ia bergegas menuju lift rumah sakit.

Riki memang benar dirinya ingin ke minimarket itu dengan niat membawa buah tangan untuk Anggun. Dirinya langsung bergegas masuk ke dalam minimarket itu.

Setelah selesai membeli beberapa snack untuk Anggun, dirinya niat hati segera langsung menyusul Sunoo di lantai sepuluh.

Disaat dirinya sedang berjalan menuju lift, tiba tiba saja ada yang memanggilnya.

“Riki!”

Riki menoleh ke arah sumber suara. Dirinya mengerutkan dahinya serta menyipitkan kedua matanya dengan maksud untuk memperjelas pandangannya siapa yang baru saja memanggilnya.

Ayah Anggun?

“Kamu kesini mau jenguk Anggun kan?” Tanya Gilbert ayahnya Anggun ketika sudah sampai dihadapan Riki.

“Ah iya..” Jawab Riki dengan singkat. Dirinya entah merasa sangat malas bertemu dengan ayahnya Anggun.

“Kalau begitu ayo kita kesana bebarengan” ajak Gilbert kepada Riki.

Riki tersenyum kecil lalu mengangguk anggukan kepalanya.

Kedua pintu terbuka tepat dilantai sepuluh, Riki dan Gilbert bebarengan melangkahkan kedua kakinya keluar dari lift itu.

Disaat mereka berdua ingin berbelok ke arah lorong kanan, tiba tiba saja langkah mereka berdua terhenti disaat melihat diujung lorong lantai sepuluh tepatnya di balkon, terlihat Sunoo dan Anggun sedang beradu mulut.

“ANGGUN?!”

Gilbert berteriak karena sangat terkejut disebabkan Anggun bukannya diam di kamar terapi tetapi malah beradu mulut dengan Sunoo.

Anggun yang mendengar teriakan itu sontak menoleh ke arah sumber suara.

Anggun terkejut disaat melihat ayahnya datang bersama Riki.

Ini harus diselesaikan bagaimanapun caranya. Riki i'm still loving you.

Anggun dengan cepat mengambil ancang ancang untuk mendorong Sunoo dari balkon itu untuk jatuh ke bawah dari lantai sepuluh.

Sunoo yang sadar akan hal itu dengan cepat menjauhi Anggun yang ingin mendorongnya itu.

“TIDAAKK ANGGUN!”

Ayah Gilbert berteriak dan berlari yang disusul oleh Riki. Saat sudah sampai di balkon, ayahnya itu langsung melihat ke bawah dari atas lantai sepuluh.

Riki yang mengikuti dari belakang Gilbert, langsung ternganga karena melihat jauh di bawah sana kepala Anggun pecah dan dilumuri oleh darah.

Perempuan gila, batin Sunoo disaat melihat Anggun sudah tak bernyawa di bawah sana.

Spontan Gilbert menangis melihat putrinya di bawah sana dilumuri oleh darah.

“Riki.” Panggil Gilbert dengan nada datar sekaligus diselingi isakan tangis.

“Ya?”

“Asal kamu tahu Anggun memilik penyakit obsessive love disorder (OLD). Dia ingin sekali memiliki kamu, Riki!”

Mendengar penjelasan itu, Riki terdiam dan bingung ingin menanggapi seeperti apa.

Setelah ayah Gilbert menjelaskan langsung pergi meninggalkan Riki dan Sunoo di balkon.

Bayangan buruk serta wisata masa lalu bersama Anggun kini menghantui pikiran Riki.

“Riki.. Mending sekarang kita turun ke bawah untuk membantu Anggun. Di bawah sudah ramai dipenuhi orang.” Sunoo meraih tangan Riki lalu menatap yakin untuk segera membantu orang orang yang dibawah sana.

“Ayo..” Balas Riki dengan nada pelan.

image


“Sudah hampir terhitung 5 tahun semenjak saudara Richard tidak membayar hutang kepada saudara Gilbert. Maka dari itu saudara Gilbert menuntut saudara Richard untuk dihukum mati.”

Richard duduk sembari menekukkan kakinya lalu ia mendudukinya di hadapan sang hakim.

Suasana di ruangan itu semakin terasa menegangkan ditambah banyak sanksi yang melihat kejadian yang sedang terjadi sekarang.

Ayah Gilbert atau ayah kandung dari anggun turut hadir sebab dirinya tidak rela uang sebanyak itu tidak dikembalikan.

Bahkan perjanjian dari awal begitu bukan? Terlepas Anggun sangat mencintai Riki, Richard pun menyetujui jika Anggun dan Riki hidup bersama agar hutang hutang Richard dimaafkan begitu saja.

Tetapi tidak dengan Riki. Dalam pikirnya, bagaimana bisa ayah nya yang melakukan hal itu tetapi yang menanggung semuanya malah anaknya?

Apakah pantas seorang anak ditumbalkan oleh sang ayah karena disebabkan kesalahannya? Tentu jawabannya tidak bukan?

Bregg

Riki memasuki ruang pengadilan itu dengan tatapan tajam kepada audiens yang hadir dalam pertemuan itu. Dan diikuti oleh langkahan Sunoo persis dibelakangnya.

Sang ayah menoleh ke belakang dan mendapati Riki yang sedang berjalan mendekatinya.

Ayahnya langsung bangkit dari duduknya lalu menghampiri anak semata wayangnya itu lalu berlutut dihadapannya.

“Nak, kamu mau kan dijodohkan dengan Anggun?” Tanya Richard dengan suara pasrah seraya mengenggam tangan Riki.

“Nggak mau.”

Riki menatap tajam kepada ayahnya seolah jawaban yang keluar dari mulutnya adalah jawaban yang tidak bisa diubah.

“Apakah kamu tidak kasihan sama ayah, nak?” Tanya Richard dengan nada memelas dan membuat gestur memohon dihadapan anak semata wayangnya itu.

“Tidak.”

Tiba tiba saja sang hakim memukul palu keputusan.

Tok, tok.

“Kepada algojo yang terhormat, silahkan membawa terdakwa ke tempat hukuman mati sekarang juga. Dikarenakan terdakwa tidak bisa menepati janjinya lalu juga tidak bisa membayar hutang hutangnya, maka dari itu saudara Gilbert meminta hukuman mati kepada terdakwa.”

Algojo yang mendengar hal itu langsung saja bergegas menghampiri Richard, kemudian dengan paksa menyeret Richard ke tempat eksekusi.

“TIDAAAAKKKK!” Richard berteriak dan memberontak karena tidak mau dihukum mati.

Riki yang mendengar itu sangat malu. Malu karena mempunyai ayah yang kelakuannya diluar pikirannya selama ini.

“Kak ayo kita balik sekarang juga.”

Riki memutar balikan badannya lalu meraih tangan Sunoo, kemudian menuntutnya keluar dari ruangan meja hijau.

Ketika pawang ular dan pawang tokek menyetujui menjalani hubungan..

image


Janji sudah terucap dari masing masing mempelai wanita dan pria, diatas altar.

Seketika ruangan itu dipenuhi dengan tepuk tangan dan sorakan dari hadirin yang datang ke acara pernikahan itu.

Aki tersenyum lalu ikut bertepuk tangan karena merasakan kebahagiaan juga.

Kapan ya ayah bisa nikah lagi.. Biar seenggaknya bisa ngerasain punya seorang ibu lagi gitu..

“Aki!”

Sontak lamunan Aki buyar tatkala mendengar ada yang memanggil namanya.

“Iya, kenapa?” Aki menoleh ke arah sumber suara.

“Ki ayo makan, mumpung makan makan gratis nih!” Ajak Eja disertai juluran tangan dengan maksud untuk mengandeng tangan Aki.

Peka aja lagi si kakak mah.

“Ayo kak!” Aki menjawabnya dengan antusias sekaligus membalas juluran itu.


Setelah Aki dan Eja sudah selesai menghabiskan makanan yang mereka ambil di meja prasmanan, entah kenapa tiba tiba saja terbesit Aki ingin mengajak Eja ke tempat yang lumayan sepi.

“Kak”

“Hm?”

“Gue pengen ngomong deh kak”

“Ngomong apa? Kalau ngomong disini aja, ini udah posisi nyaman soalnya.”

“Bilang aja mager kak.” Celetuk Aki sembari memutarkan kedua bola matanya.

“Iyaa aslinya saya mager banget.” Tutur Eja yang diakhiri sedikit cengengesan kecil.

“Kak ceritain dong kenapa kakak gabales pesan gue di whatsapp?” Aki mengerutkan dahinya, ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.

“Oh ituu.. Iya jadi semenjak pas banget baru aku pulang tuh, aku sempet disuruh beli lele hidup sama ibun, nah pas udah sampai di tempat jual lele hidup, hp ku kecebur di kolam lele, gitu ki.”

“Terus kakak beli handphone baru?” Tanya Aki lagi. Seolah seperti banyak pertanyaan yang ingin ditanyakan oleh sang lawan bicara.

“Huum. Makanya itu aku minta bang satria untuk undang kamu ke acara pernikahan ibundadari.”

Aki yang mendengar itu hanya mengangguk anggukan kepalanya tanda ia mengerti.

“Oh iya kak, tau ga sih? Gue sempet ngira yang pesawat jatuh tuh kak Eja ada didalem pesawat itu tau.”

“Ohh itu, sebenernya itu kejadian pas aku udah sampai di Jakarta, ki.”

“Nah bagus deh kalau begitu. Soalnya udah negative thinking juga kemarin tuh.”

“Oh iya kak, nanti setelah selesai acara gue boleh lihat si pengganti ucok ga kak?”

“Boleh, eh btw aku juga mau dong lihat si ucup.. Aku sepertinya belum lihat secara langsung deh.”

“Boleh banget dong kak, atau nanti kita ngedate nya sambil belajar hewan hewan reptil gimana? Kebetulan di rumah gue ada ular kobra si Jupri sama Iguana namanya kambing.”

Iguana dinamain kambing? Ga salah denger nih? -Eja.

“Wah sangat menarik! Boleh nanti kita ngedate sambil belajar hewan reptil.” Eja tersenyum sembari menatap sang lawan bicara.

“Ngedate? Kenapa kita ga pacaran aja sih kak?” Aki membalas tatapan Eja dengan pandangan serius.

“Eh.. Emang kamu suka aku dari kapan?”

“Gatau. Pokoknya kak Eja dimata Aki sungguh amat menggemaskan.” Jelas Aki dengan singkat.

“Hmm..Walaupun kamu sangat meresahkan, jamet, serta terlihat selengean, sebenarnya itu baru terlihat diluar saja bukan? Aku juga sebenarnya tertarik untuk kenal sama kamu lebih dalam-”

Saat Eja belum selesai penjelasannya, tiba tiba Aki menyela.

“Jadi?”

“Aki maunya gimana? Aku gatau harus mau jawab apa..”

Dengan sangat percaya dirinya, Aki menjawab, “Aki sih maunya kita pacaran kak!”

“Gimana?” Tanya Aki untuk kembali meyakinkan keputusan yang akan diambil oleh Eja.

Eja tersenyum lalu mengangguk anggukan kepalanya. “Yaudah kita jalanin dulu aja ya.”

YES JADI HAK PATENNYA KAK EJA! MISI SELESAI MENDAPATKAN HATI KAK EJA.

Puddle

Dengan tergesa gesa, Heeseung memegang knop pintu rumah lalu membuka pintu dengan cepat. Kemudian ia melangkahkan kaki masuk kedalam rumah dengan perasaan resah.

“Babe? Are you there?” Tanya Heeseung bermonolog dengan intonasi sedikit mengeras disertai kedua netranya mencari keberadaan Jay.

Dirinya takut jika Jay kekasihnya itu melakukan hal yang aneh aneh. Pasalnya kekasihnya itu sedang dilanda kesedihan yang disebabkan kurang perhatian dari Heeseung.

Hati dan pikiran Heeseung seolah menuntutnya untuk pergi ke kamar yang berada di lantai dua.

I'm sorry babe..

Saat kaki kanan Heeseung ingin didaratkan ke anak tangga pertama, tiba tiba kedua netranya teralihkan ke salah satu pintu kamar mandi yang tertutup rapat.

Terbesit dalam pikiran Heeseung untuk mengecek apakah Jay ada didalam kamar mandi atau tidak.

Aku tahu kamu sangat suka bermain air, Jay. Jika kamu sedih, kamu akan pergi ke kamar mandi, lalu meratapi kesedihan di atas lantai kamar mandi sembari memeluk dengkul kedua kaki. Dan pastinya diatasnya air yang keluar dari shower. Aku sudah hafal dirimu.

Heeseung mengurungkan niatnya untuk pergi ke kamar atas. Dirinya langsung pergi ke sofa ruang tamu dengan tujuan menaruh tas kerja, sekaligus membuka atribut yang ia kenakan saat pergi ke kantor.

Kini ia hanya menggunakan kemeja putih serta celana panjang kerjanya.

Kedua kaki panjangnya kini ia arahkan pergi ke kamar mandi.

Ckelek

Ternyata pintu kamar mandi itu tidak dikunci.

“Babe? Are you there?”

Kedua netra Heeseung mendapati kegelapan didalam kamar mandi.

Dengan cepat, tangan kanannya meraba saklar lampu yang menempel pada dinding tepat disebelah pintu kamar mandi kamar.

Cklek

Lampu menyala, walaupun terlihat remang remang, pandangan Heeseung masih bisa terlihat jelas benda apa saja yang ada di kamar mandi.

“Babe?”

Heeseung mengerutkan dahinya tatkala ia melihat Jay yang sudah bertelanjang bulat dan disertai basah kuyup diseluruh badannya.

Dan benar saja Jay melamun diatas lantai kamar mandi sembari memeluk dengkul kedua kakinya.

“Baby..” Panggil Heeseung dengan nada rendah.

Heeseung masuk kedalam kamar mandi, lalu menutup pintu dan menguncinya.

Setelah itu Heeseung menghampiri Jay yang sedang terlamun.

“Saya minta maaf. Bukannya saya akhir akhir ini tidak ingin memperhatikan kamu. Tetapi saya akhir akhir ini banyak tugas dari atasan. Kamu marah?”

Heeseung menjelaskan alasan kenapa dirinya jarang merespon celotehan Jay di imess maupun secara langsung. Kemudian Heeseung duduk tepat di hadapan kekasihnya itu.

“Kamu beneran marah?” Tanya Heeseung yang diikuti kedua netranya menatap sang lawan bicara.

Jay sedikit mendongak, lalu menatap alih alih yang baru saja melontarkan pertanyaan.

“Kamu pikir saja sendiri!” Cibir Jay yang setelah itu diiringi cemberutan dari kedua belah bibirnya.

Heeseung tertawa kecil melihat hal itu. “Kamu kenapa gemes banget sih?” Tanya Heeseung, kemudian ia menarik pergelangan tangan Jay dengan masuk memangku tubuh mungil itu.

Jay menurutinya. Kini ia sudah duduk diatas pangkuan san suami yang masih mengenakan pakaian.

“Ok, sekarang kamu mau apa?” Tanya Heeseung sembari menatap dalam wajah milik Jay.

Jay tidak mengubris pertanyaan itu, melainkan ia menarik kerah baju Heeseung, kemudian ia menempelkan bibirnya pada bibir kenyal milik Heeseung.

Entah kenapa rasa rindu berhasil menguasai pikiran serta hati Jay saat ini. Dirinya dengan cepat mempercepat tempo ciuman yang sedang berlangsung itu.

“Hngghhh”

Lenguhan itu berhasil keluar dari mulut Jay. Ia berhasil menguasai atas ciuman itu.

Disela sela ciuman, Jay berusaha membuka kancing kemeja yang dikenakan oleh Heeseung. Satu persatu kancing yang bertaut pada lubang baju itu terlepas.

Setelah kancing baju sudah terlepas semua, disibaknya kemeja itu hingga terlepas ke bawah.

Ketika nafas di paru paru sudah menipis, Jay dengan paksa melepas ciuman panas itu yang sedari tadi mereka lakukan.

Keduanya mengambil nafas diselingi deruan nafas yang terengah engah.

Selang berapa menit, Jay dengan cepat menidurkan tubuh Heeseung diatas lantai kamar mandi yang dipenuhi genangan air.

“I miss you, babe. Can i to be your kitten for tonight? I'm a good boy and of course naughty boy just for you!”

Jay menyeringai setelah berbicara seperti itu. Dirinya sangat merindukan Heeseung akhir akhir ini.

Hm.. Tidak, tidak. Yang benar itu Jay sangat merindukan penis Heeseung.

Heeseung terkekeh mendengar itu. “Sure. You just do what you like, bitch.”

Seperti lampu hijau yang menyala, Jay mendengar itu sungguh sangat senang. Dirinya langsung memosisikan badannya tepat di atas paha Heeseung.

Jay dengan penuh semangat membuka resleting celana yang dipakai oleh Heeseung, kemudian membukanya ke bawah sekaligus membuka celana dalam yang Heeseung kenakan.

Sekarang sudah sangat jelas penis Heeseung yang sudah menegang. Karena dirasa risih dengan celana Heeseung yang belum sepenuhnya dilepas dari kedua kaki Heeseung, kini Jay sengaja meninggikan bongkong nya, lalu kedua tangannya sibuk melepaskan kedua celana itu dari kaki Heeseung.

Setelah semua terlepas, Jay melempar kedua celana itu kesembarang arah.

Let's start.

Jay langsung menjatuhkan badannya tepat di paha Heeseung lalu mengulum penis Heeseung dengan tempo yang cepat.

“AKHHHHH”

Heeseung yang merasakan itu meringis kesakitan. Sebab, Jay mengulum disertai memberikan gigitan gigitan kecil.

Heeseung memejamkan kedua matanya, kedua tangannya pun berusaha meraih surai hitam yang ada di bawahnya.

“Jeyihh.. Please pelan pelan.”

Jay sebenarnya mendengar hal itu, tetapi ia tidak mengubrisnya.

Jay kembali meninggikan bongkongnya. Ia memaju mundurkan bongkongnya itu sembari mengulum penis Heeseung.

“Shhhhhh.. Hnggggg”

Seketika satu ruangan kamar mandi itu dipenuhi suara desahan serta decitan kulit antar kulit dari mereka berdua.

Karena Heeseung sudah merasa frustasi, kini tanpa ampun ia meraih surai hitam milik Jay, lalu dicengkramnya, dengan paksa ia angkat agar Jay berhenti mengulumi dan menggigit penis miliknya.

Heeseung bangkit dari tidurnya, ia yang masih mengenggam rambut Jay kini ia hempaskan Jay ke bawa lantai.

“AGHHHHH”

Jay berteriak tatkala wajahnya terbentur lantai kamar mandi.

Kedua telapak tangan Heeseung memukul keras kedua belah pantat sintal milik Jay. Reflek, Jay menungging tepat dihadapan Heeseung.

Tanpa berpikir panjang, telapak tangan kanan Heeseung didaratkan tepat ke penis Jay yang menggantung ke bawah.

Heeseung meremas penis Jay dengan sangat kencang dan dengan perlahan memijit penis Jay.

“Aakkkhhhh.. Byhhh..”

Jay sangat menikmati remasan yang diberikan oleh Heeseung. Ia memejamkan mata sekaligus meracau tak karuan.

Karena tangan kiri Heeseung menganggur, terbesit dalam pikiran untuk memasukan jari kirinya ke lubang anal milik Jay.

Heeseung memasukan dua jari kanan ke dalam lubang Jay lalu mengocoknya didalam lubang itu.

Tubuh Jay bergetar hebat disaat jari Heeseung masuk kedalam lubang analnya. Jay merasakan kenikmatan serta menahan perih dan sakit karena gesekan kulit jari tangan Heeseung mengenai kulit kemaluannya.

Setelah merasa cukup puas dengan apa yang Heeseung kerjakan, kini tanpa mengocok penis miliknya terlebih dahulu, ia mengambil ancang ancang untuk memasukan penis nya ke dalam lubang milik Jay.

JLEBB.

“AAAKKHHH”

Jay berteriak disaat Heeseung memasukan kejantanannya ke dalam lubang milik Jay.

“G-gerak.. Please..”

“Gamau. Tadi katanya siapa yang bilang nakal?”

“A-aku..”

“Good. Kamu berarti yang gerak.”

Jay pun menurutinya, kini ia menggerakkan pinggulnya dengan tempo awal pelan, kemudian makin lama mempercepat temponya.

Jay juga memaju mundurkan pinggulnya serta membuka tutup lubangnya agar memberikan pijitan pada penis milik Heeseung.

“Ahhhhh.. Your hole make me a crazy, bitchh.”

Heeseung melontarkan kata kata itu disaat merasakan penisnya dipijit didalam lubang.

Heeseung yang merasakan penisnya membesar didalam lubang itu serta mendekati orgasme, dirinya tidak terima penis Jay menganggur begitu saja.

Disaat Jay sibuk memaju mundurkan pinggulnya, Heeseung berusaha untuk meraih penis milik Jay.

“AKHHHH”

Heeseung menekan keras penis sang kekasih, lalu meremasnya dengan penuh nafsu.

Bunyi decitan antar kedua kulit disertai suara desahan yang memenuhi ruangan itu membuat mereka berdua hampir ditahap ingin orgasme.

“Byhh.. I wanna cum”

“Yes, me too baby boy”

CROTT

Tiba tiba saja cairan milik Heeseung memenuhi lubang anal milik Jay, sedangkan cairan Jay mengotori telapak tangan Heeseung.

Selang beberapa detik setelah keduanya orgasme, tiba tiba saja Jay ambruk diatas lantai kamar mandi yang dipenuhi air menggenang.

Heeseung yang melihat itu, dengan cepat bergegas mendekat ke sang kekasih yang sudah ambruk diatas lantai.

Heeseung menidurkan diri tepat disamping kekasihnya itu.

Heeseung mengelus surai hitam sang kekasih dengan lembut. “Maafin saya ya? Saya terlalu sibuk bekerja sampai tidak sempat membalas pesanmu.”

Heeseung melingkarkan tangannya tepat dipinggang ramping milik Jay.

“I love you.”

Cup

Heeseung mencium pucuk kepala Jay dengan lembut. Diperlakukan seperti itu, Jay membalas pelukan yang diberikan oleh Heeseung.

“Aku awalnya sedih kamu mengabaikan ku akhir akhir ini, tapi bagaimana pun caranya aku harus mengerti kalau kamu itu kan bekerja juga buat kehidupan kita sehati hari. Maaf ya kalau aku egois..”

Jay hampir saja meloloskan air matanya berjatuhan, tetapi ia tahan dengan cara mengusap menggunakan tangannya.

“Jangan nangis.. Kalau gitu kita bersihin diri yuk? Hari sudah semakin larut malam, nanti bisa bisa kita sakit kalau tidur di kamar mandi begini sampai pagi”

Heeseung tersenyum sembari mengelus surai hitam yang ada dihadapannya.

Jay yang mendengar itu mengangguk, “Ayo!”

Puddle

Dengan tergesa gesa, Heeseung memegang knop pintu rumah lalu membuka pintu dengan cepat. Kemudian ia melangkahkan kaki masuk kedalam rumah dengan perasaan resah.

“Babe? Are you there?” Tanya Heeseung bermonolog dengan intonasi sedikit mengeras disertai kedua netranya mencari keberadaan Jay.

Dirinya takut jika Jay kekasihnya itu melakukan hal yang aneh aneh. Pasalnya kekasihnya itu sedang dilanda kesedihan yang disebabkan kurang perhatian dari Heeseung.

Hati dan pikiran Heeseung seolah menuntutnya untuk pergi ke kamar yang berada di lantai dua.

I'm sorry babe..

Saat kaki kanan Heeseung ingin didaratkan ke anak tangga pertama, tiba tiba kedua netranya teralihkan ke salah satu pintu kamar mandi yang tertutup rapat.

Terbesit dalam pikiran Heeseung untuk mengecek apakah Jay ada didalam kamar mandi atau tidak.

Aku tahu kamu sangat suka bermain air, Jay. Jika kamu sedih, kamu akan pergi ke kamar mandi, lalu meratapi kesedihan di atas lantai kamar mandi sembari memeluk dengkul kedua kaki. Dan pastinya diatasnya air yang keluar dari shower. Aku sudah hafal dirimu.

Heeseung mengurungkan niatnya untuk pergi ke kamar atas. Dirinya langsung pergi ke sofa ruang tamu dengan tujuan menaruh tas kerja, sekaligus membuka atribut yang ia kenakan saat pergi ke kantor.

Kini ia hanya menggunakan kemeja putih serta celana panjang kerjanya.

Kedua kaki panjangnya kini ia arahkan pergi ke kamar mandi.

Ckelek

Ternyata pintu kamar mandi itu tidak dikunci.

“Babe? Are you there?”

Kedua netra Heeseung mendapati kegelapan didalam kamar mandi.

Dengan cepat, tangan kanannya meraba saklar lampu yang menempel pada dinding tepat disebelah pintu kamar mandi kamar.

Cklek

Lampu menyala, walaupun terlihat remang remang, pandangan Heeseung masih bisa terlihat jelas benda apa saja yang ada di kamar mandi.

“Babe?”

Heeseung mengerutkan dahinya tatkala ia melihat Jay yang sudah bertelanjang bulat dan disertai basah kuyup diseluruh badannya.

Dan benar saja Jay melamun diatas lantai kamar mandi sembari memeluk dengkul kedua kakinya.

“Baby..” Panggil Heeseung dengan nada rendah.

Heeseung masuk kedalam kamar mandi, lalu menutup pintu dan menguncinya.

Setelah itu Heeseung menghampiri Jay yang sedang terlamun.

“Saya minta maaf. Bukannya saya akhir akhir ini tidak ingin memperhatikan kamu. Tetapi saya akhir akhir ini banyak tugas dari atasan. Kamu marah?”

Heeseung menjelaskan alasan kenapa dirinya jarang merespon celotehan Jay di imess maupun secara langsung. Kemudian Heeseung duduk tepat di hadapan kekasihnya itu.

“Kamu beneran marah?” Tanya Heeseung yang diikuti kedua netranya menatap sang lawan bicara.

Jay sedikit mendongakkan kepalanya lalu menatap alih alih yang baru saja melontarkan pertanyaan.

“Kamu pikir saja sendiri!” Cibir Jay yang setelah itu diiringi cemberutan dari kedua belah bibirnya.

Heeseung tertawa kecil melihat hal itu. “Kamu kenapa gemes banget sih?” Tanya Heeseung, kemudian ia menarik pergelangan tangan Jay dengan masuk memangku tubuh mungil itu.

Jay menurutinya. Kini ia sudah duduk diatas pangkuan san suami yang masih mengenakan pakaian.

“Ok, sekarang kamu mau apa?” Tanya Heeseung sembari menatap dalam wajah milik Jay.

Jay tidak mengubris pertanyaan itu, melainkan ia menarik kerah baju Heeseung, kemudian ia menempelkan bibirnya pada bibir kenyal milik Heeseung.

Entah kenapa rasa rindu berhasil menguasai pikiran serta hati Jay saat ini. Dirinya dengan cepat mempercepat tempo ciuman yang sedang berlangsung itu.

“Hngghhh”

Lenguhan itu berhasil keluar dari mulut Jay. Ia berhasil menguasai atas ciuman itu.

Disela sela ciuman, Jay berusaha membuka kancing kemeja yang dikenakan oleh Heeseung. Satu persatu kancing yang bertaut pada lubang baju itu terlepas.

Setelah kancing baju sudah terlepas semua, disibaknya kemeja itu hingga terlepas ke bawah.

Ketika nafas di paru paru sudah menipis, Jay dengan paksa melepas ciuman panas itu yang sedari tadi mereka lakukan.

Keduanya mengambil nafas diselingi deruan nafas yang terengah engah.

Selang berapa menit, Jay dengan cepat menidurkan tubuh Heeseung diatas lantai kamar mandi yang dipenuhi genangan air.

“I miss you, babe. Can i to be your kitten for tonight? I'm a good boy and of course naughty boy just for you!”

Jay menyeringai setelah berbicara seperti itu. Dirinya sangat merindukan Heeseung akhir akhir ini.

Hm.. Tidak, tidak. Yang benar itu Jay sangat merindukan penis Heeseung.

Heeseung terkekeh mendengar itu. “Sure. You just do what you like, bitch.”

Seperti lampu hijau yang menyala, Jay mendengar itu sungguh sangat senang. Dirinya langsung memosisikan badannya tepat di atas paha Heeseung.

Jay dengan penuh semangat membuka resleting celana yang dipakai oleh Heeseung, kemudian membukanya ke bawah sekaligus membuka celana dalam yang Heeseung kenakan.

Sekarang sudah sangat jelas penis Heeseung yang sudah menegang. Karena dirasa risih dengan celana Heeseung yang belum sepenuhnya dilepas dari kedua kaki Heeseung, kini Jay sengaja meninggikan bongkong nya, lalu kedua tangannya sibuk melepaskan kedua celana itu dari kaki Heeseung.

Setelah semua terlepas, Jay melempar kedua celana itu kesembarang arah.

Let's start.

Jay langsung menjatuhkan badannya tepat di paha Heeseung lalu mengulum penis Heeseung dengan tempo yang cepat.

“AKHHHHH”

Heeseung yang merasakan itu meringis kesakitan. Sebab, Jay mengulum disertai memberikan gigitan gigitan kecil.

Heeseung memejamkan kedua matanya, kedua tangannya pun berusaha meraih surai hitam yang ada di bawahnya.

“Jeyihh.. Please pelan pelan.”

Jay sebenarnya mendengar hal itu, tetapi ia tidak mengubrisnya.

Jay kembali meninggikan bongkongnya. Ia memaju mundurkan bongkongnya itu sembari mengulum penis Heeseung.

“Shhhhhh.. Hnggggg”

Seketika satu ruangan kamar mandi itu dipenuhi suara desahan serta decitan kulit antar kulit dari mereka berdua.

Karena Heeseung sudah merasa frustasi, kini tanpa ampun ia meraih surai hitam milik Jay, lalu dicengkramnya, dengan paksa ia angkat agar Jay berhenti mengulumi dan menggigit penis miliknya.

Heeseung bangkit dari tidurnya, ia yang masih mengenggam rambut Jay kini ia hempaskan Jay ke bawa lantai.

“AGHHHHH”

Jay berteriak tatkala wajahnya terbentur lantai kamar mandi.

Kedua telapak tangan Heeseung memukul keras kedua belah pantat sintal milik Jay. Reflek, Jay menungging tepat dihadapan Heeseung.

Tanpa berpikir panjang, telapak tangan kanan Heeseung didaratkan tepat ke penis Jay yang menggantung ke bawah.

Heeseung meremas penis Jay dengan sangat kencang dan dengan perlahan memijit penis Jay.

“Aakkkhhhh.. Byhhh..”

Jay sangat menikmati remasan yang diberikan oleh Heeseung. Ia memejamkan mata sekaligus meracau tak karuan.

Karena tangan kiri Heeseung menganggur, terbesit dalam pikiran untuk memasukan jari kirinya ke lubang anal milik Jay.

Heeseung memasukan dua jari kanan ke dalam lubang Jay lalu mengocoknya didalam lubang itu.

Tubuh Jay bergetar hebat disaat jari Heeseung masuk kedalam lubang analnya. Jay merasakan kenikmatan serta menahan perih dan sakit karena gesekan kulit jari tangan Heeseung mengenai kulit kemaluannya.

Setelah merasa cukup puas dengan apa yang Heeseung kerjakan, kini tanpa mengocok penis miliknya terlebih dahulu, ia mengambil ancang ancang untuk memasukan penis nya ke dalam lubang milik Jay.

JLEBB.

“AAAKKHHH”

jay berteriak disaat Heeseung memasukan kejantanannya ke dalam lubang milik Jay.

“G-gerak.. Please..”

“Gamau. Tadi katanya siapa yang bilang nakal?”

“A-aku..”

“Good. Kamu berarti yang gerak.”

Jay pun menurutinya, kini ia menggerakkan pinggulnya dengan tempo awal pelan, kemudian makin lama mempercepat temponya.

Jay juga memaju mundurkan pinggulnya serta membuka tutup lubangnya agar memberikan pijitan pada penis milik Heeseung.

“Ahhhhh.. Your hole make me a crazy, bitchh.”

Heeseung melontarkan kata kata itu disaat merasakan penisnya dipijit didalam lubang.

Heeseung yang merasakan penisnya membesar didalam lubang itu serta mendekati orgasme, dirinya tidak terima penis Jay menganggur begitu saja.

Disaat Jay sibuk memaju mundurkan pinggulnya, Heeseung berusaha untuk meraih penis milik Jay.

“AKHHHH”

Heeseung menekan keras penis sang kekasih, lalu meremasnya dengan penuh nafsu.

Bunyi decitan antar kedua kulit disertai suara desahan yang memenuhi ruangan itu membuat mereka berdua hampir ditahap ingin orgasme.

“Byhh.. I wanna cum”

“Yes, me too baby boy”

CROTT

Tiba tiba saja cairan milik Heeseung memenuhi lubang anal milik Jay, sedangkan cairan Jay mengotori telapak tangan Heeseung.

Selang beberapa detik setelah keduanya orgasme, tiba tiba saja Jay ambruk diatas lantai kamar mandi yang dipenuhi air.

Heeseung yang melihat itu, dengan cepat bergegas mendekat ke sang kekasih yang sudah ambruk diatas lantai.

Heeseung menidurkan diri tepat disampinh kekasihnya itu.

Heeseung mengelus surai hitam sang kekasih dengan lembut. “Maafin saya ya? Saya terlalu sibuk bekerja sampai tidak sempat membalas pesanmu.”

Heeseung melingkarkan tangannya tepat dipinggang ramping milik Jay.

“I love you.”

Cup

Heeseung mencium pucuk kepala Jay dengan lembut. Diperlakukan seperti itu, Jay membalas pelukan yang diberikan oleh Heeseung.

“Aku awalnya sedih kamu mengabaikan ku akhir akhir ini, tapi bagaimana pun caranya aku harus mengerti kalau kamu itu kan bekerja juga buat kehidupan kita sehati hari. Maaf ya kalau aku egois..”

Jay hampir saja meloloskan air matanya berjatuhan, tetapi ia tahan dengan cara mengusap menggunakan tangannya.

“Jangan nangis.. Kalau gitu kita bersihin diri yuk? Hari sudah semakin larut malam, nanti bisa bisa kita sakit kalau tidur di kamar mandi begini sampai pagi”

Heeseung tersenyum sembari mengelus surai hitam yang ada dihadapannya.

Jay yang mendengar itu mengangguk, “Ayo!”

cw // major character dead , mention of kuburan , angst

image


Kedua netra Alina terfokus pada jalanan ketika alih alih mengendarai sepeda motor menuju tempat dimana Sunoo tinggal.

Tatkala Riki terkejut disaat Alina mengendarai motornya itu memasuki kawasan tempat pemakaman umum.

Riki mengerutkan dahinya lalu bertanya kepada Alina mengenai hal yang ia sadari sekarang. “Kak, kok malah ke kuburan sih?”

Alina yang mendengar itu sontak terkejut karena pertanyaan yang dilontarkan oleh Riki.

“Iyaa.. katanya kamu mau kenalan sama Sunoo kan?” Tanya Alina yang fokus nya dibelah menjadi dua, sebab ia juga mencari tempat parkir kosong untuk menaruh sepeda motornya.

“Tapi kak? Oh, atau jangan jangan?” Riki bertanya dengan nada mulai ragu.

“Apa? Yaudah ayo aku kenalin sama Sunoo.” Cibir Alina tatkala ia sudah memberhentikan motornya di tempat parkir, lalu ia turun dari sepeda motornya.

Riki menuruti perintah yang diberikan Alina. Ia turun dari motor, lalu melangkahkan kakinya mendekat ke arah Alina.

“Ayo” Alina menyodorkan tangannya dengan maksud menggandeng tangan Riki.

Riki yang mengerti isyarat yang diberikan oleh Alina langsung membalas sodoran tangan Alina itu. Kemudian ia pegang dengan erat. “Ayo kak.”

Alina berjalan dengan perlahan sembari menuntun Riki ke tempat dimana Sunoo tinggal sekarang.

“Riki, kenalin ini Sunoo!” Ujar Alina dengan nada antusias sekaligus diiringi senyuman miris disaat sudah sampai dimana Sunoo tinggal sekarang.

“K-kak? Kakak nggak bercanda kan?” Tanya Riki sembari menatap kuburan yang terlihat masih ditimbun dengan tanah baru.

“Nggak. Ngapain aku bercanda? Kurang kerjaan banget.” Celetuk Alina yang hampir saja mengeluarkan air matanya.

Riki terjatuh di atas tanah, dirinya mulai merasakan panas di sekitar area kedua netranya. Dirinya sangat bingung ingin memberikan reaksi apa. Yang ia rasakan kini adalah rasa menyesal.

Riki teringat dia waktu itu ingin dikenalkan oleh Sunoo melalui Alina, sudah ada sepuluh bulan yang lalu. Terbesit dipikirannya untuk bertanya kapan Sunoo meninggal pada Alina.

“Kak.. Jawab jujur. Sunoo meninggal kapan?” Tanya Riki yang dimana air matanya mulai bercucuran membasahi kedua pipinya.

“Tiga hari yang lalu.. Ki..” Jawab Alina dengan suara yang rendah sekaligus serak.

Riki tercengang mendapati jawaban itu. Ia bangkit dari duduk nya, lalu mencengkram kasar kedua masing masing pundak Alina. Sepertinya banyak pertanyaan yang akan dilontarkan oleh Riki saat ini.

“TAPI KAK, KENAPA? KENAPA KAKAK GA KENALIN AKU DARI AWAL AKU MINTA? INGAT BUKAN KALAU AKU MINTA DIKENALKAN OLEHNYA DISAAT SEPULUH BULAN YANG LALU?”

Sang amarah berhasil menguasai pikiran Riki. Ia berteriak, mencengkram dengan kasar pundak Alina sekaligus menggoyang goyangkan tubuh Alina yang terdiam membeku dan pastinya ia menangis dalam diam.

“KAK, JAWAB! KENAPA KAKAK TEGA BANGET SAMA AKU? K-KAK.. SEPULUH BULAN YANG LALU KEMANA AJA KAK? KAKAK JAHAT BANGET!”

“DAN SATU LAGI KAK, KENAPA KAKAK JADI ORANG YANG PEMBUAL? KENAPA KAK?!” Sambung Riki. Amarah yang memuncak sekaligus dicampur dengan tangisan, menambah kesan bahwasanya hari ini Riki menyesal telah berekspetasi tinggi tentang Sunoo.

“Ok, ok. Aku akan menjawab semua ini ki. Pertama sepuluh bulan yang lalu asal kamu tahu Sunoo sedang dirawat di Bulgaria. Lalu kenapa aku ga kenalin Sunoo sama kamu dari awal?” Penjelasan Alina terputus, ia mengelap kasar air mata yang membasahi kedua pipinya.

“Sebab, ia punya penyakit kanker otak. Aku gamau kamu kenal sama Sunoo tetapi pada akhirnya kalian tetap tidak bisa bersama. Aku tahu Sunoo adalah cinta pandangan pertama kamu. Tetapi melihat kondisi ini, maaf aku jadi seorang pembual dimata kamu, ki.”

Alina sangat puas menjawab pertanyaan yang dilontarkan Riki. Ia menarik nafas lalu membuangnya dengan kasar.

Riki yang mendengar jawaban itu langsung melepas kasar cengkraman yang ia berikan ke Alina. Ia menangis sejadi jadinya ketika mendapati jawaban itu.

Riki perlahan jatuh diatas tanah pinggiran kuburan milik Sunoo. Alina yang melihat itu juga ikut menangis. Dirinya juga perlahan menjatuhkan badannya diatas tanah tepat di samping Riki.

Alina mengelus punggung Riki yang sedang menangis karena menyesal dengan apa yang sudah terjadi.

“Maafin aku ki.. tapi bukannya sama saja ya? Jika aku nanti memperkenalkan Sunoo kepadamu, pada akhirnya bakal begini juga tetapi beda alur cerita saja. Bukan, bukannya aku sok tahu atau menerka. Tetapi lihat apa yang sudah terjadi, Riki!” Alina menjelaskan itu semua diselingi isak tangis.

Riki memeluk erat Alina sembari menangis kejer tak karuan. “K-kak.. Tapi kenapa? Kenapa semua ini bisa terjadi?” Tanya Riki diselingi isakan tangis.

Alina memeluk tubuh adik semata wayangnya itu, dirinya tidak tega melihat adiknya itu menangis. Mungkin Riki bisa dibilang jarang menangis bahkan tidak pernah, tetapi kali ini ia merasa terbohongi dengan ekspetasinya.

“Maafin Alina ya? Maaf kalau terkesan sangat jahat, tetapi mau gimanapun pada akhirnya akan sama.. Sekarang kamu hanya bisa ikhlasin dan mendo'a kan Sunoo agar ia tenang di alam sana ya?”

Riki tidak menanggapi pertanyaan yang di lanturkan oleh Alina, justru ia sibuk menangis disertai tangannya mengusap permukaan tanah kuburan milik Sunoo.

Terima kasih Sunoo, walaupun kita bertemu hanya sebatas tatapan mata dan sebuah percakapan kecil di trotoar perempatan jalan, aku sangat bersyukur walau tidak sempat mengenal mu secara lebih.

Semoga kamu disana istirahat dengan damai. I love you Sunoo -Riki.

image


Alunan musik yang berasal dari gramofon itu kini bergema nyaring di satu ruangan. Terlihat Jake yang sedang memilah barang lama mana yang masih layak dipakai dan mana yang seharusnya dibuang.

Kedua netra Jake terfokus. Dalam pikirannya masih berpikir keras, barang mana yang masih layak disimpan olehnya.

“Mungkin kaset serta buku lama ini lebih baik di jual atau dirongsokan.” monolog Jake.

Kedua tangan Jake menutup masing masing penutup kardus, lalu ia mengambil ancang ancang untuk mengangkat kardus itu dan dibawanya ke luar apartemen.

Setelah selesai membuang kardus yang berisikan kaset serta buku lama dari apartemennya, ia kembali memilah barang barang lainnya.

Disaat sedang asik memilah, tiba tiba saja indra pendengarannya mendengar alunan lagu yang berasal dari gramofon itu, memutarkan sebuah lagu yang berjudul “Gramofon” dimana lagu ini sering ditampilkan pada acara orkestra pada zaman dahulu.

Jake sontak tersenyum tipis, ia teringat lagu ini pernah ditampilkan saat acara teater bersama Jay. Entahlah, saat itu teman sekelasnya banyak yang memilih Jay dan Jake untuk menjadi pemeran utama pada teater saat itu.

Sedikit demi sedikit senyuman yang sebelumnya terukir dari kedua belah bibir Jake, kini sedikit demi sedikit mengerucut. Seketika air mata dari kedua netranya ingin sekali turun untuk membasahi kedua pipinya.

Kenangan lama itu ternyata merobek luar dari apa yang sudah terbalut lama di pikirannya.

Jay..

Ya, nama pria itu kembali memutari pikiran Jake setelah sekian lama tidak kembali berotasi dalam pikirannya.

Air mata Jake lolos begitu saja tanpa seizinnya membasahi kedua pipi gembil nya.

Jay.. Aku kangen kamu..

“Jake?”

Sontak Jake dengan cepat mengelap air mata yang membasahi pipinya menggunakan sikut nya dengan kasar.

“Iya?”

Jake membalas nya dengan intonasi rendah dan menoleh ke arah sumber suara.

Kedua netra Jake sontak membulat terkejut karena apa yang ia lihat kini adalah sesosok yang sedari tadi berotasi didalam pikirannya.

“Jay?” Tanya Jake sembari ia bangun dari duduknya lalu bergegas menghampiri Jay yang sedang berdiri di ambang pintu apartemennya.

“Kamu kesini sama siapa?” Tanya Jake yang sedikit mendongakkan kepalanya sembari melihat sang lawan bicara.

“Sendiri.” Jawab Jay dengan singkat dan menggunakan nada datar.

“Ohh, sebentar.” Jawab Jake. Lalu dirinya menutup pintu apartemen kemudian ia meraih telapak tangan Jay dan mengenggamnya dengan erat.

Jake sedikit menarik gengamannya itu, lalu memeluk erat orang yang selama ini ia rindukan tetapi sudah terkubur amat dalam tentangnya. Sebab ia timbun dengan kenangan baru.

I miss you” tutur Jake sembari menenggelamkan kepalanya pada dada bidang Jay.

Yeah, i miss you too Jake.” Jawab Jay dengan singkat sembari membalas pelukan yang diberikan oleh Jake.

Pandangan Jake tidak terlepas dari wajah Jay. Ia merasa cukup senang ternyata orang yang ia rindukan selama ini kini ada dihadapannya.

Alunan lagu yang keluar dari gromofon itu masih terdengar tepat di indra pendengaran kedua insan itu.

“Kamu pasti tahukan lagu ini?” Tanya Jake tanpa mengalihkan pandangannya ke lawan bicara.

Yes, i know it. Kenapa aku harus lupa?” Tanya Jay sembari mengerutkan dahinya.

Mendengar hal itu Jake spontan merasa senang dan sedikit menghentak hentakan kakinya seperti anak kecil yang baru saja diberi hadiah.

“Apakah kamu masih ingat gerakan tari saat tampil di teater dulu di sekolah?” Jake bertanya lalu diikuti senyuman kecil.

Yes, i'm still remember that.” Jawab Jay yang dirinya mulai mengambil ancang ancang untuk bergerak sesuai irama alunan nada yang keluar dari gramofon itu.

Jake mengerti apa yang Jay isyaratkan. Dirinya perlahan bergerak memberi jarak terhadap Jay, lalu mereka berdua berdansa sesuai alunan nada lagu yang menyelimuti satu ruangan.

Kala itu Jake merasa dirinya seperti jatuh dalam jurang yang dipenuhi bunga bunga bermekaran. Dirinya sangat merindukan momen momen dimana waktu miliknya dihabiskan berdua dengan partner teater di saat SMA dulu.

Jika kalian bertanya apakah Jake memiliki hubungan dengan Jay, Jawabannya tidak. Mereka tidak pernah mengikat janji bahkan menjalani hubungan layaknya dua remaja yang berpacaran. Tetapi entah kenapa mereka saling menaruh hati dan bisa dibilang mereka terjebak friendzone.

Disaat alunan nada instrumental dari lagu berjudul 'Gramofon' ingin berakhir, Jake mengambil ancang ancang untuk memutarkan badannya persis dimana dahulu ia tampilkan di acara teater.

Jake tersenyum sumringah sambil diiringi badannya sedikit menjauhi Jay yang sedang membentuk pose untuk siap menangkap Jake disaat dia selesai memutar balikkan badannya seperti penari balet.

Jay, i'm coming!

Setelah melontarkan kalimat itu, Jake memejamkan matanya kemudian memutar balikan badannya dan menghempaskan badannya ke arah Jay dengan harap Jay menangkapnya.

“Jay?” Tanya Jake yang merasa heran karena tidak ada reaksi dari Jay. Ia kemudian membuka kedua matanya lalu menoleh ke belakang, samping kanan dan kiri. Dirinya mendadak bingung sebab dia tidak melihat siapapun selain dirinya.

“J-jay?” Tanya Jake yang terdengar seperti suara putus asa.

Air mata mulai berjatuhan tatkala ia merasa tidak terima dengan kenyataan. Terbesit dalam pikirannya jika Jay sudah tidak ada di dunia ini, sebab Jay mengalami kecelakaan enam bulan yang lalu.

Seketika tangisannya pecah. Jake menangis sejadi jadinya disaat ia tahu dirinya sedari tadi hanya berhalusinasi.

“GUE KANGEN LO, JAY! ASAL LO TAHU SETIAP LAGU GRAMOFON TERPUTAR DENGAN SENDIRINYA GUE SELALU TERINGAT LO!”

Jake berteriak dengan deru nafas tak karuan disertai sesakan yang disebabkan tangisannya.

“DAN SATU HAL LAGI YANG LO HARUS TAHU, BAHWASANYA SEMENJAK LO MENINGGAL GUE UDAH GA DENGERIN LAGI LAGU GRAMOFON. ENTAH KENAPA SETIAP GUE DENGER ITU LAGU GUE MERASA SAKIT HATI, J-JAY!”

Jake menjatuhkan badannya tepat diatas lantai. Duduk sembari memeluk dengkul kedua kakinya. Ia masih menangis sejadi jadinya.

Biarkan dirinya meratapi apa yang sudah terjadi. Sejatinya perasaan itu tidak bisa dibohongi. Mungkin jika lagu dengan berjudul gramofon itu tidak berputar, mungkin hal ini bisa saja tak terjadi.

Terima kasih sudah pernah singgah dalam hidupku Jay. Walaupun terhitung sebentar, tetapi bagiku ini adalah sebuah hal yang berarti. I love you Jay and i'll always miss you.

image


Alunan musik yang berasal dari gramofon itu kini bergema nyaring di satu ruangan. Terlihat Jake yang sedang memilah barang lama mana yang masih layak dipakai dan mana yang seharusnya dibuang.

Kedua netra Jake terfokus. Dalam pikirannya masih berpikir keras barang mana yang masih layak disimpan olehnya.

“Mungkin kaset serta buku lama ini lebih baik di jual atau dirongsokan.” Ujar Jake bermonolog dengan sendirinya.

Kedua tangan Jake menutup masing masing penutup kardus, lalu ia mengambil ancang ancang untuk mengangkat kardus itu dan dibawanya ke luar apartemen.

Setelah selesai membuang kardus yang berisikan kaset serta buku lama dari apartemennya, ia kembali memilah barang barang lainnya.

Disaat sedang asik memilah, tiba tiba saja indra pendengarannya mendengar alunan lagu yang berasal dari gramofon itu, memutarkan sebuah lagu yang berjudul “Gramofon” dimana lagu ini sering ditampilkan pada acara orkestra pada zaman dahulu.

Jake sontak tersenyum tipis, ia teringat lagu ini pernah ditampilkan saat acara teater bersama Jay. Entahlah, saat itu teman sekelasnya banyak yang memilih Jay dan Jake untuk menjadi pemeran utama pada teater saat itu.

Sedikit demi sedikit senyuman yang terukir dari kedua belah bibir Jake, kini sedikit demi sedikit mengerucut. Seketika air mata dari kedua netranya ingin sekali turun untuk membasahi kedua pipinya.

Kenangan lama itu ternyata merobek luar dari apa yang sudah terbalut lama di pikirannya.

Jay..

Ya, nama pria itu kembali memutari pikiran Jake setelah sekian lama tidak kembali berotasi dalam pikirannya.

Air mata Jake secara tidak sengaja tanpa seizinnya lolos berjatuhan membasahi kedua pipinya.

Jay.. Aku kangen kamu..

“Jake?”

Sontak Jake dengan cepat mengelap air mata yang membasahi pipinya menggunakan sikut nya dengan kasar.

“Iya?”

Jake membalas nya dengan intonasi rendah dan menoleh ke arah sumber suara.

Kedua netra Jake sontak membulat terkejut karena apa yang ia lihat kini adalah sesosok yang sedari tadi berotasi didalam pikirannya.

“Jay?” Tanya Jake sembari ia bangun dari duduknya lalu bergegas menghampiri Jay yang sedang berdiri di ambang pintu apartemennya.

“Kamu kesini sama siapa?” Tanya Jake yang sedikit mendongakkan kepalanya sembari melihat ke sang lawan bicara.

“Sendiri.” Jawab Jay dengan singkat dan menggunakan nada datar.

“Ohh, sebentar.” Jawab Jake. Lalu dirinya menutup pintu apartemen kemudian ia meraih telapak tangan Jay dan mengenggamnya dengan erat.

Jake sedikit menarik gengamannya itu, lalu memeluk erat orang yang selama ini ia rindukan tetapi sudah terkubur amat dalam tentangnya. Sebab ditimbun dengan kenangan baru.

“I miss you” tutur Jake sembari menenggelamkan kepalanya pada dada bidang Jay.

“Yeah, i miss you too Jake.” Jawab Jay dengan singkat sembari membalas pelukan yang diberikan oleh Jay.

Pandangan Jake tidak terlepas dari wajah Jay. Ia merasa cukup senang ternyata orang yang ia rindukan selama ini kini ada dihadapannya.

Alunan lagu yang keluar dari gromofon itu masih terdengar tepat di indra pendengaran kedua insan itu.

“Kamu pasti tahukan lagu ini?” Tanya Jake tanpa mengalihkan pandangannya ke lawan bicara.

“Yes, i know it. Kenapa aku harus lupa?” Tanya Jay sembari menyerengitkan dahinya.

Mendengar hal itu Jake spontan merasa senang dan sedikit menghentak hentakan kakinya seperti anak kecil yang baru saja diberi hadiah.

“Apakah kamu masih ingat gerakan tari saat tampil di teater dulu di sekolah?” Jake bertanya lalu diikuti senyuman kecil.

“Yes, i'm still remember that.” Jawab Jay yang dirinya mulai mengambil ancang ancang untuk bergerak sesuai irama alunan nada yang keluar dari gramofon itu.

Jake mengerti apa yang Jay isyaratkan. Dirinya perlahan bergerak memberi jarak terhadap Jay, lalu mereka berdua berdansa sesuai alunan nada lagu yang menyelimuti satu ruangan.

Kala itu Jake merasa dirinya seperti jatuh dalam jurang yang dipenuhi bunga bunga bermekaran. Dirinya sangat merindukan momen momen dimana waktu miliknya dihabiskan berdua dengan partner teater di saat SMA dulu.

Jika kalian bertanya apakah Jake memiliki hubungan dengan Jay? Jawabannya tidak. Mereka tidak pernah mengikat janji bahkan menjalani hubungan layaknya dua remaja yang berpacaran. Tetapi entah kenapa mereka saling menaruh hati dan bisa dibilang mereka terjebak friendzone.

Disaat alunan nada instrumental dari lagu berjudul 'Gramofon' ingin tamat, Jake mengambil ancang ancang untuk memutarkan badannya persis dimana dahulu ia tampilkan di acara teater.

Jake tersenyum sumringah sambil diiringi badannya sedikit menjauhi Jay yang sedang membentuk pose untuk siap menangkap Jake disaat dia selesai memutar balikkan badannya seperti penari balet.

“Jay, i'm coming!”

Setelah melontarkan kalimat itu, Jake memejamkan matanya kemudian memutar balikan badannya dan menghempaskan badannya ke arah Jay dengan harap Jay menangkapnya.

“Jay?” Tanya Jake yang merasa heran karena tidak ada reaksi dari Jay. Ia kemudian membuka kedua matanya lalu menoleh ke belakang, samping kanan dan kiri. Dirinya mendadak bingung sebab dia tidak melihat siapapun selaim dirinya.

“J-jay?” Tanya Jake yang terdengar seperti suara putus asa.

Air mata mulai berjatuhan tatkala ia merasa tidak terima dengan kenyataan. Terbesit dalam pikirannya jika Jay sudah tidak ada di dunia ini, sebab Jay mengalami kecelakaan enam bulan yang lalu.

Seketika tangisannya pecah. Jake menangis sejadi jadinya disaat ia tahu dirinya sedari tadi hanya berhalusinasi.

“GUE KANGEN LO, JAY! ASAL LO TAHU SETIAP LAGU GRAMOFON TERPUTAR DENGAN SENDIRINYA GUE SELALU TERINGAT LO!”

Jake berteriak dengan deru nafas tak karuan disertai sesakan yang disebabkan tangisannya.

“DAN SATU HAL LAGI YANG LO HARUS TAHU, BAHWASANYA SEMENJAK LO MENINGGAL GUE UDAH GA DENGERIN LAGI LAGU GRAMOFON. ENTAH KENAPA SETIAP GUE DENGER ITU LAGU GUE MERASA SAKIT HATI, J-JAY!”

Jake menjatuhkan badannya tepat diatas lantai. Duduk sembari memeluk dengkul kedua kakinya. Ia masih menangis sejadi jadinya.

Biarkan dirinya meratapi apa yang sudah terjadi. Sejatinya perasaan itu tidak bisa dibohongi. Mungkin jika lagu dengan berjudul gramofon itu tidak berputar, mungkin hal ini bisa saja tak terjadi.

Terima kasih sudah pernah singgah dalam hidupku Jay. Walaupun terhitung sebentar, tetapi bagiku ini adalah sebuah hal yang berarti. I love you Jay.

image


Cklek

Sunoo membuka pintu rumahnya dan ia dikejutkan oleh Riki yang sudah berpakaian rapih.

Sunoo melihat hal itu menyerengitkan dahinya disertai oleh cemberutan kecil dari bibirnya.

“Mau kemana?” Tanya Sunoo yang sedari tadi kedua netranya memandangi Riki dari atas kepala hingga ujung kaki.

“Ke pasar malam. Emangnya kamu gamau?” Riki bertanya dan sembari mengangkat alis kirinya.

“Mau.. Tapi sebentar aku ganti baju dulu.”

Disaat Sunoo ingin memutar balikan badannya, tiba tiba dengan cepat Riki memegang erat lengan kanan milik Sunoo.

“Udah begitu aja, gausah ganti baju. Kotor kotorin baju aja.” Cibir Riki dengan memakai nada judes.

Setelah mendengar apa yang Riki lanturkan kepadanya, ia kembali memutar balikan badannya dan menghadap lagi ke arah Riki.

“Tapi masa aku ke pasar malam cuma pakai kaos berukuran besar disertai lengan panjang, sama celana pendek selutut sih?”

Sunoo memasang raut wajah kesal karena dia merasa tidak nyaman jika keluar pakai celana pendek selutut.

“Udah gapapa. Ayo cepet keburu malam.” Riki menghempaskan lengan Sunoo kemudian ia bergegas menuju mobilnya.

Riki.. Kamu kalau marah kenapa harus dipaksain pergi ke pasar malam sih?


Kedua netra Sunoo membulat, tatkala rasa kagum disebabkan melihat pemandangan ramai di pasar malam menyerbunya.

“Mau main apa?” Tanya Riki dengan cepat sembari melihati sang pacar.

Sunoo menoleh dan diikuti senyuman lebar. “Ayo kita naik komidi putar. Gimana?” Tanya Sunoo dengan antusias.

“Terserah.”

Mendengar jawaban itu, Sunoo bukannya merasa terbebani malah ia menarik tangan Riki menuju ke permainan komidi putar. Ia sangat senang karena baginya jawaban 'terserah' berarti sama saja mengiyakan ajakannya.

Dasar bayi.

Kini tempat duduk yang mereka berdua tempati perlahan demi perlahan naik ke atas. Sunoo semakin sangat kagum melihat pemandangan di bawah dari atas komidi putar.

Ketika sudah sampai di tempat paling atas, tiba tiba saja komidi putar yang mereka tumpangi mati dengan sendirinya.

Reflek Sunoo memeluk pinggang Riki dengan erat dan disertai menenggelamkan wajahnya di pundak Riki.

Grebb

“Riki aku takut.” Tutur Sunoo dengan menggunakan nada rendah.

“Jangan takut, ini kan emang udah rutinitas di komidi putar.” Balas Riki sembari mengelus kepala Sunoo dengan lembut.

Di saat Sunoo merasakan hal itu, terbesit di dalam pikirannya untuk meminta maaf atas kesalahan apa yang ia berbuat kemarin.

“Aku mau minta maaf atas kesalahan ku yang kemarin.” Ucap Sunoo seraya sedikit mendongakkan kepalanya dan menatap wajah Riki dari samping.

Riki yang mendengar hal itu langsung memabalas tatapan yang diberikan oleh Sunoo.

“Iya sayang, aku udah maafin kok. Yang terpenting adalah kejujuran serta mengakui kesalahan apa yang sudah diperbuat.” Jawab Riki sembari mengelus kembali pucuk kepala Sunoo.

Cup

Kecupan kecil mendarat pada kening Sunoo. Untungnya saja di atas gelap dan Riki tidak bisa melihat wajah Sunoo yang memerah.

Kamu kenapa selalu bikin aku salah tingkah? Bahkan cuek nya kamu disaat marah masih sempat sempat nya bikin aku salah tingkah.

Akan dipastikan detak jantung Sunoo berdegup kencang setelah mendapati perlakuan seperti itu dari pacarnya.

Lampu komidi putar yang mereka naiki tiba tiba saja menyala dan kembali berputar seperti roda. Tatapan dari masing masing dari kedua belah pihak tidak teralihkan.

Riki yang baru bisa melihat jelas pipi merah Sunoo langsung mencibir. “Pipinya kenapa merah?”

Sunoo mendadak gelagapan. Dirinya langsung membuang muka ke sembarang arah dan dia menunduki kepalanya.

Aku malu sebenarnya Riki..

Gemas.


Sunoo menoleh dan menatap sang kekasih yang pastinya kedua netranya terfokus pada jalanan.

“Aku mau mintchoco, boleh? Aku beli sendiri pakai uang aku, ya?”

Tidak ada jawaban dari Riki. Dirinya hanya terfokus pada jalanan.

Karena sudah beberapa detik tidak ada jawaban dari Riki, ia melontarkan perkataan dengan nada rendah. “Oh oke.”

Sudah hampir 10 menit tidak ada pembicaraan diantara mereka berdua sampai tiba tiba saja Riki memberhentikan mobil nya tepat di depan kedai ice cream.

“Tunggu sini, jagain mobil. Jangan kemana mana.”

Setelah melontarkan intruksi kepada Sunoo, ia langsung membuka pintu mobil lalu bergegas masuk ke dalam kedai itu.

Riki aku gatau kamu kenapa, tapi kenapa aku semakin sayang sama kamu? Apakah cuek nya kamu itu termasuk love language kamu? Entahlah, aku sangat pusing.

image


Hembusan angin yang lumayan sangat kencang itu tak sengaja mengenai kulit Riki dan Sunoo yang sedang berduduk santai di atas tikar lipat.

Kala itu kedua netra Sunoo sangat terkagum melihat ikon negeri belanda. Apa lagi kalau bukan kincir angin dan bunga tulip.

Hamparan bunga tulip serta di pinggirnya ada kincir angin sangat terasa melengkapi hari dua cucu anak adam yang dimana sedang bersama dibawah sinar matahari disertai hembusan angin.

Walaupun mereka terkadang bisa dibilang pasangan absurd, tetapi jika sudah suasananya seperti ini entah kenapa menimbulkan rasa kesan romantis dengan sendirinya.

Riki menarik lengan Sunoo dengan begitu kencang dan membuat reaksi dari yang ditarik olehnya.

“Apaan sih? Lo ganggu aja orang lagi liatin pemandangan juga.” Cerutu Sunoo sembari mencemberutkan bibirnya.

“Ihh galak banget kea maung. Padahal aku mau rebahan di paha kamu tau!” Riki dengan cepat menidurkan kepalanya pada paha Sunoo dengan paksa.

“Ihh apa sih? Emangnya gacukup cuddle semaleman, hah?” Tanya Sunoo dengan nada judes.

“Nggak” Riki tersenyum sembari melihati wajah Sunoo yang cantik dan indah. Dan jangan lupa angin yang berhembusan di pagi menjelang siang itu menyapu rambut Sunoo dan sedikit menampakkan kening nya.

“Apasih?” Tanya Sunoo lagi dengan nada suara sedikit gelagapan. Sebenarnya ia malu menatap balik ke Riki yang ada di bawahnya. Maka dari itu ia menoleh ke sembarang arah agar degupan jantungnya tidak bertambah kencang.

Riki sudah hafal jika pacarnya sedang salah tingkah, kini ia bangkit dari tidurnya lalu menoleh dan sembari melihat ke Sunoo yang sedang mengalihkan pandangannya.

“Kak coba lihat sini deh bentar” Riki masih menunjukkan senyumnya, berharap Sunoo memandangnya balik.

“Apa?” Sunoo menoleh tepat ke arah Riki dan diikuti oleh tatapan sinis. Sejujurnya dia sangat malas kalau sudah dibikin salah tingkah begini oleh pacarnya.

“Ihh jangan galak galak dong. Coba deh lihat baling baling yang sedang bergerak itu” Riki menunjuk ke arah kincir angin yang sedang menggerakan baling balingnya.

“Kenapa emangnya?” Sunoo mengarahkan pandangannya yang Riki tunjuk.

“Kincir kincir itu berputar dan membuat angin berhembusan mengenai kulit kita, begitu pun dengan cintaku kepadamu.” Riki tersenyum lebar sembari menoleh menatap sang kekasih yang memasang wajah kebingungan.

“Maksudnya?” Tanya Sunoo yang masih tidak mengerti imbuhan yang dituturkan oleh Riki.

Riki terkekeh mendengar itu. “Cinta ku kepadamu bagaikan angin, love. Begini, cinta ku berhembusan merasuki hati mu yang ada di dalam.“Jelasnya sambil menaruh jari telunjuk kanannya pada dada Sunoo.

Mendengar hal itu kedua pipi Sunoo mulai memerah. Dirinya lagi lagi dibikin salah tingkah oleh pacarnya itu. Spontan ia menenggelamkan wajahnya pada pundak Riki.

“Rikii.. aku malu ihh.” Tutur Sunoo sambil melingkarkan kedua tangannya di pinggang Riki.

“Kenapa kamu suka buat aku salting sih? Aku kan gakuat..” Sambung Sunoo dengan nada suara rendah dan sedikit bergetar. Sepertinya dia sangat dibuat pusing oleh sikap bucin pacarnya itu sendiri.

“Anything for you, babe. Aku kan begini cuma ke kamu doang, aku beneran sayang sama kamu, love.” Ucap Riki sembari merengkuh pinggang Sunoo.

“Ki.. mending kita pulang yuk? Aku udah gakuat salting di tempat umum begini.. Malu diliatin banyak orang.” Sunoo mengembungkan kedua pipinya sembari melihati sang pacar.

“Ciee yang di dalem perutnya ada banyak kupu kupu” Setelah mengutarakan hal itu, tawa Riki pecah karena baginya melihat Sunoo malu dibuatnya adalah hal yang sangat tergemas.

“Rikiii.. Aku nangis nih?”

Hampir saja air mata Sunoo terjatuh, Riki langsung mengusap pipi Sunoo dengan lembut.

“Jangan nangis, ayo kita balik ke apartemen.”

“Ayoo” Jawab Sunoo dengan nada manja.

Riki.. Memang kita sudah tidak bertemu hampir 4 bulan. Tetapi entah apa yang salah didiriku setiap kamu melontarkan gombalan atau imbuhan, aku selalu saja merasa salah tingkah. Perasaan sebelum kamu ke negeri kincir angin, aku biasa saja jika kamu melakukan seperti itu.

Aku sangat mencintaimu, Riki.