The Last Day
tw // major character dead, childhood, angst, broken home, mention of blood
Hujan lebat kala itu mengguyur kota pada sore hari. Terlihat Riki dan ayahnya sedang membereskan barang barang yang berada didalam kafe, sebab kafe akan tutup jika sudah menginjak pukul 6 sore hari.
Suara gemuruh hujan yang jatuh mengenai atap dan jalanan di luar sangat terdengar jelas. Embun pun hadir menyelimuti tiap tiap permukaan barang yang terbuat dari kaca.
“Nak, tolong taruh kardus yang berisikan sampah didekat pinggiran pintu ya? Nanti jika sudah hujannya sudah berhenti, tolong kamu buang kardus itu ya?” Suruh ayahnya itu sembari membereskan gelas gelas yang sudah dicuci olehnya.
Riki tersenyum tatkala mendengar perintah dari ayah nya itu. “Oke yah, aku bakal taruh kardus ini didekat pinggiran pintu kafe!” Jawab Riki dengan nada antusias sekaligus diiringi kegiatan mengangkat kardus yang berisikan sampah.
Riki bergegas menuju dekat pintu sembari membawa kardus yang berisikan sampah. “Nah, sudah selesai!” Ujarnya saat sudah meletakkan kardus itu didekat pinggiran pintu kafe. Saat ia ingin kembali bergegas menuju ayahnya, tak sengaja kedua matanya melirik kaca jendela yang dipenuhi embun. Ia mengernyitkan dahinya tatkala mendapati seorang anak kecil yang mungkin umurnya sama dengannya.
Karena penasaran dan timbul rasa iba terhadap anak itu, dirinya memutuskan keluar dari kafe dan menghampiri anak itu dengan maksud menanyakan kenapa ia diluar disaat hujan lebat begini?
“Haloo.. Kamu kenapa diluar sendirian? Ini lagi hujan loh.. masuk yuk kedalam kafe ayah ku..” Tanya Riki disaat sudah sampai dihadapan anak itu sembari menatap polos ke anak lelaki yang sedang duduk seraya memeluk kedua dengkulnya.
Anak itu tersenyum diiringi suara gemuruh hujan. Bukannya membalas, malah dia berdiri menyamakan posisinya dengan Riki.
“Ayo masuk kedalam kafe ayah ku, diluar dingin loh.” Ajak Riki sembari menyulurkan tangannya dengan maksud biar bisa menuntutnya ke dalam kafe.
“Tapi apa gapapa jika aku masuk kedalam kafe ayah mu? Baju ku basah dan kotor, aku takut kafe milikmu jadi kotor nantinya..” Anak itu berbicara dengan nada sedikit ragu dan takut. Ia juga menundukkan kepalanya sembari kedua tangannya memegangi baju yang lepek karena air hujan.
“Ahh tidak apa apa, lagipula kafe ayahku sebentar lagi mau tutup. Kamu bisa berteduh didalam hingga hujan berhenti.” Jelas Riki yang diakhiri senyuman tulus.
Anak itu tersenyum, tanpa berpikir panjang ia pun memegang tangan Riki yang masih disulurkan dihadapannya. “Ayo!” Ajak anak itu dengan perasaan senang.
“Oh iya nama kamu siapa?” Tanya Riki sembari menaruh secangkir teh buatan ayahnya untuk anak itu. Ya semoga saja teh itu membuat badan anak bersurai hitam dengan baju yang basah kuyup menjadi lebih hangat. Setelah menaruh secangkir teh dihadapan sang lawan bicara, kini ia duduk di kursi kafe tepat disamping anak itu.
“Sebelumnya terima kasih sudah memberikan secangkir teh hangat.. Kenalin nama ku Kim Sunoo! Panggil saja Sunoo yaa. Kalau kamu namanya siapa?” Sunoo menoleh ke arah Riki lalu diakhiri dengan senyuman manisnya.
“Aku Riki, kamu bisa memanggil ku Riki.” Timpal Riki yang juga membalas senyuman Sunoo.
“Oh iya kamu kenapa sendirian diluar kafe? Emangnya kamu gapunya rumah?” Sambung Riki dengan sebuah pertanyaan.
Sunoo yang mendengar hal itu yang tadinya senyum sumringah, kini mencemberutkan bibirnya dan diikuti menundukkan kepalanya. Seolah pertanyaan Riki yang dilontarkan seperti ada yang salah. Seperti hati yang tergores menggunakan silet, secara tak sadar air mata Sunoo lolos
“Loh? Kamu kenapa? Kan aku cuma nanya, emangnya salah ya dengan pertanyaan ku?” Riki mengernyitkan dahinya yang dibarengi oleh tatapan kebingungan.
“K-kamu ga salah Rik, emang bener aku udah gapunya rumah. Ibu ku menikah lagi dengan pria baru, dan ayah kandungku pergi ke Qatar dan tidak memperdulikan keadaanku sekarang.. Makanya aku sedang mencari panti asuhan yang bisa menerimaku, Riki..” Jelas Sunoo sembari menyeka air matanya yang membasahi kedua pipinya.
Deg
Riki yang mendengar itu bagai sebutir batu yang terlindas ban mobil. Seolah dirinya merasa bersalah, sebab dilain waktu dirinya suka khilaf melawan ayah kandungnya itu. Fyi, Riki seorang anak piatu. Ya, ibunya meninggal yang disebabkan tabrakan lari. Sang pelaku lolos begitu saja dari hukuman, sebab mereka adalah orang orang yang termasuk anggota meja hijau.
“Tapi aku gapapa kok Rik, aku kan anak hebat!” Ujar Sunoo dengan penuh antusias, kemudian ia kembali menujukkan senyumannya, namun kali ini senyum yang mengartikan bahwa everything is gonna be okay.
“Oh iya, ini aku minum ya tehnya? Nanti keburu dingin. Hihi”
Sunoo meraih cangkir yang berisikan teh, lalu menyereputnya. Riki yang melihat itu benar benar merasa iba terhadap Sunoo. Kali ini ia merasa terpukul sangat dalam bahwa merasa ada yang lebih parah darinya.
Hari sudah mulai gelap. Matahari pun sudah meninggalkan singgasananya. Suara gemuruh hujan sudah tidak lagi terdengar. Sekarang hanya menyisakan genangan air ditiap tiap jalan.
“Riki, ayo kita pulang. Kafe sudah seharusnya tutup. Takut nanti jika kemalaman jalanan menuju rumah sudah diberi pembatas agar tidak ada lagi yang bisa lewat situ.” Ujar ayahnya yang dibarengi mematikan lampu kafe yang ada didalam. Kini yang tersisa hanya lampu bercahaya redup alias remang remang.
Mendengar hal itu, Riki dihantam keresahan tentang Sunoo. Mau tidur dimana dia jika tidak punya rumah? Apakah dia sudah mendapati panti asuhan yang layak untuk bisa ditempati? Pikirnya kala itu.
“Oh kamu mau pulang ya? Kalau begitu aku pamit ya.. Terima kasih sudah mengizinkan aku teduh sejenak di dalam kafe ayah mu. Dan terimakasih banyak atas teh yang sudah diberikan pada ku.”
“Nak Sunoo, kamu pulang kemana kalau boleh tahu?” Tanya ayahnya Riki yang tiba tiba saja sudah berada didekat meja yang diduduki oleh Riki dan Sunoo.
Sunoo hanya menggelengkan kepalanya tanda ia beneran tidak tahu ingin pulang kemana. Riki yang melihat hal itu langsung melontarkan ajuan kepada ayahnhya agar Sunoo sementara tinggal di rumahnya.
“Ayah, Sunoo sudah tidak ada siapa siapa lagi, terus dia juga sudah tidak punya rumah. Orang tuanya berpisah dan dia ditelantarkan. Hmm.. Gimana kalau Sunoo tinggal sementara di rumah kita, yah?” Jelas Riki dengan nada sedikit meyakinkan kalau Sunoo boleh sementara tinggal di rumah mereka berdua.
Ayahnya Riki mengangguk anggukan kepala tanda ia mengerti. “Ohh begitu ya? Yaudah yuk nak Sunoo ikut kami pulang. Hitung hitung menemani Riki di rumah untuk bermain.” Jelas ayahnya Riki. Dirinya juga mengambil cangkir teh bekas Sunoo minum.
Mendengar hal itu, Sunoo bangkit dari duduknya lalu menghampiri ayahnya Riki. Kemudian ia memeluk pinggang ayahnya Riki dengan sangat erat. Seolah pelukan itu mempunyai banyak makna.
“YEAY! Terima kasih banyak paman!” Ujar Sunoo dengan antusias.
“Iya sama sama Sunoo. Kalau begitu Riki dan kamu tunggu diluar kafe ya? Paman mau menaruh cangkir teh yang bekas kamu minum.” Ucap ayahnya Riki sembari mengelius surai hitam milik Sunoo dengan lembut.
Sunoo mendongak lalu mengangguk anggukan kepalanya tanda ia mengerti. Kemudian ia melepas pelukan dari pinggang ayahnya Riki, lalu dengan cepat memegang lengan Riki yang mengisyaratkan untuk keluar bersama sama.
“Oke yah, kalau begitu aku dan Sunoo akan tunggu diluar. Ayo Sunoo kita tunggu diluar.”
Riki berdiri dari duduknya, kemudian mengandeng tangan Sunoo, lalu menuntun nya keluar dari kafe.
Setelah dirasa semua sudah beres, ayahnya Riki mengunci pintu kafe lalu mencabut kuncinya dari lubang kunci pintu. Setelah itu menghampiri kedua bocah laki laki yang sedang berdiri menunggunya. “Riki Sunoo ayo kita menyebrang. Tapi hati hati ya.”
Sunoo yang mendengar hal itu langsung mengeratkan gandengannya pada Riki. Lalu menariknya untuk menyebrangi jalan bersama. “Ayo Rikiii.”
Pandangan Riki sontak mengarah ke sumber cahaya yang berasal dari arah kanan. Riki menyipitkan matanya dengan maksud memperjelas pandangannya. Menyadari hal itu, Riki langsung melepaskan gengaman yang Sunoo berikan dan membiarkan Sunoo berjalan menyebrangi jalan dengan sendirian.
BUMMM CIIITTT.
Sunoo tertabrak mobil, dirinya terpental lumayan jauh yang mengakibatkan kepalanya terbentur keras oleh jalanan aspal yang masih basah. Membuat kepala Sunoo mengeluarkan darah dengan cepat. Sedangkan mobil yang menabrak seperti membanting stir.
“NAK SUNOO!”
Ayahnya Riki sontak berteriak sembari berlari menghampiri Sunoo yang jatuh tertabrak. Darah berlumuran disekitar kepalanya. Orang yang menabrak anak malang itu keluar dari mobilnya. Untung saja yang menabrak tidak melarikan diri.
Riki yang melihat kejadian itu terbeku dan tak tahu harus berbuat apa. Sebenarnya ia tadi ingin menarik Sunoo agar tidak menyebrang terlebih dahulu. Tetapi rasa panik seketika menyambar dalam dirinya.
Riki berlari dengan penuh hati hati menuju tempat kejadian. “SUNOO MAAFKAN AKU.. AKU GAMAKSUD UNTUK MENCELAKAI KAMU!”
Riki menjatuhkan badannya tepat disamping tubuh Sunoo yang sudah tidak lagi bernafas. Dirinya masih tidak terima kalau kejadian ini benar terjadi. Riki memegangi tangan Sunoo sembari menangis kejer. Dirinya merasa bersalah karena tidak menarik tangan Sunoo disaat ingin menyebrangi jalan.
“Riki sudah ya? Kita bawa Sunoo ke rumah sakit untuk dibersihkan.. Nadi Sunoo sudah tidak berdenyut, secepatnya kita harus membawanya ke rumah sakit.”
Riki pura pura tidak mendengar apa yang diucapkan oleh ayahnya, justru ia menangis diatas jasad Sunoo yang sedang berbaring. Ia menangis sejadi jadinya.
“Pak maafkan saya sudah menabrak anak bapak..” Ucap sang supir yang sudah menabrak Sunoo.
“Dia bukan anak saya pak.”
“Ahh begitu ya? Kalau gitu izinkan saya bawa ke rumah sakit ya pak?
Riki yang mendengar percakapan ayahnya dengan sang supir langsung mendongak dan menatapi wajah Sunoo yang dilumuri oleh darah.
Sunoo, kamu tidak bernafas aja masih tersempatnya tersenyum. Tapi semoga aku harap ini bukan hari terakhir kita bertemu ya? Sedih orang yang baru saja ku kenal langsung pergi begitu saja.. Aku turut bersedih atas perlakuan kedua orang tuamu, serta kepedihan yang kamu alami. Aku harap hidup yang sebenarnya dimulai dari dimana detak jantungmu berhenti.. Aku sayang kamu Kim Sunoo.
– Selesai ; The Last Day!