scubepid

# Sembab

cw // kinda disgusting i guess

Semua ini karena terlanjur tersulut emosi.

===

“Daddy, Om Rion kenapa nangis?” Leetha bertanya kala mereka sudah sampai di depan rumah milik Arsen. Leetha menatap kedua pria yang sedang saling bertatap, lalu kembali menanyakan perihal yang sama.

“Dadd, Om Rion kenapa nangis?” Kini Leetha sedikit menarik ujung baju yang dikenakan oleh Arsen. Arsen tersenyum, “Ga kenapa-napa kok sayang, kamu masuk ke rumah duluan ya? Daddy mau bicara dengan Om Rion.”

Karena mengerti, tanpa basa-basi Leetha hanya mengangguk dan pergi meninggalkan Arsen dan Rion.

“Kamu kenapa nangis?” Arsen mulai membuka topik yang sedari tadi menghantui pikirannya. Seandainya Rion menangis karena Arsen, begitu mudah baginya untuk meminta maaf, dan memberikan apa yang Rion mau sebagai permintaan maaf.

Rion menunduk, “Gapapa Pak, bukan salah bapak juga kok.” Rion menyeka air mata yang mulai terjatuh, dirinya tak kuasa menahan dinding pertahanan agar tidak menangis lagi.

“Gapapa Rion, cerita aja.” Arsen tersenyum, didongaknya dagu Rion agar mereka kembali bertatap menggunakan jari telunjuknya. “Ayo cerita, jadi saya tau apa yang kamu butuhin, Rion. Saya setelah ini meninggalkan kamu dan Leetha, apakah saya rela meninggalkan kamu dalam keadaan menangis? Sedangkan kamu juga harus menjaga Leetha.”

Rion terdiam, sangat bimbang ingin bercerita atau tidak. Lidahnya saja begitu kelu untuk mengeluarkan sepatah kata.

Satu detik, dua detik, tiba-tiba saja tangisan kembali pecah dari Rion. Sontak ia memeluk tubuh Arsen dengan sangat erat.

“Tadi saya ketemu sama si bapak, atasan saya. Dia cerita kenapa setiap ada karyawannya yang izin libur, sebisa mungkin ia balas dengan cepat. Ternyata dibalik itu semua, ada cerita yang sangat amat menyedihkan..” Rion menenggelamkan wajahnya pada bahu Arsen, kedua pipinya memerah panas selepas ia bercerita.

“Jadi kamu nangis gara-gara itu diang, hm?” Arsen mulai membalas pelukan Rion, disusul dengan tawaan kecil. “Terus ending dari cerita atasan kamu gimana?”

“Sedih.. Intinya atasan ku pernah telat pulang, padahal ibunya sudah sekarat. Saat beliau pulang, ibunya udah gak ada. Sedih.. Padahal dia udah berusaha izin sama atasannya, tapi telat diaccept.. Ya begitu deh,” jelas Rion yang diselingi segukan kecil.

“Terus apa yang kamu tangisin?” Arsen kembali bertanya.

“Selama ini atasan ku selalu lambat dalam membalas pesan.. Saya suka kesal jika beliau slowrespon. Tapi ternyata saat saya izin mengambil cuti, beliau fastrespon. Ternyata dibalik itu semua ada cerita yang kelam..” Rion menghela nafas panjang dan tak sengaja ingusnya keluar, dengan sigap ia tak sengaja mengusap hidungnya dengan baju yang dikenakan oleh Arsen, menyebabkan bekas lendir menempel pada baju Arsen.

Menyadari hal itu, Arsen hanya mengusak pucuk kepala Arion dengan gemas. “Kamu kotorin baju aku pakai ingus kamu,” tutur Arsen yang disambung oleh gelak tawa.

Mendengar ucapan Arsen, Rion sontak mendorong tubuh Arsen dengan kencang. “Udahlah Pak, malu saya.” Kedua pipi Rion memanas, memerah seperti merah jambu.

“Gapapa Rion, baju saya banyak kok di lemari.”

'Dasar Rion, gemes banget kalau salting.' -Arsen.

-Redamancy.

Raiden POV.


“MAMAH!”

Suara gua menggema seantero rumah, memanggil sebutan yang bikin gua muak sejak kemarin. Bukannya apa-apa, tetapi ini tentang harga diri.

“Kamu kenapa sih teriak-teriak?” Tanya mamah, berjalan mengarah ke gua dengan raut wajah tak menyenangkan. “Sampai kapan pun Raiden gamau mah dijodohin sama pilihan mamah.”

Gua menatap mamah dengan perasaan dongkol. Pikiran pun semerawut, tak bisa berpikir jernih atas dasar apa mamah menjodohkan gua sama Lio(?) yang bahkan gua sendiri baru dengar nama itu.

“Putusin pacar kamu, nurut apa kata mamah. Mamah tau apa yang terbaik buat kamu.”

Gua melotot, apa katanya? 'yang terbaik?' “Mah! Jangan gitu dong. Ini hidup Raiden mah, masih jaman kah main asal jodoh-jodohin begini?! Kalo mamah tetap maksa, kenapa mamah aja yang dijodohin sama pilihan mamah? Lagian papah udah gak ada.”

Mendengar kalimat yang gua lontarkan, reflek nafas mamah tak beraturan. “Udah deh Raiden, mamah gak mau berdebat lagi. Kamu pokoknya harus tetep putusin pacar kamu.” Tutur mamah, kemudian ia pergi meninggalkan gua seorang di ruang tamu.

'Selene, gua bingung. Alasan mamah jodohin gua sama orang yang gua gak kenal tuh atas dasar apa? Bagaimana pun gua masih sayang Karina..'

ㅡ Cromulent.

cw // profanity


Sekarang mereka bertiga sedang berada disebuah kafe yang ramai akan pengunjung. Ditengah pembicaraan antara Rion dan Arsen, seringkali Rion merasa tak pantas dengan penampilan selepas bekerja, untuk bertemu dengan Arsen.

'Duh njir, gue merasa gak pantes. Kayak gembel gue, sedangan tuh bapak-bapak sama anaknya cakep, wangi. Lah gue, wangi keringet.'

Dengan terpaksa Rion menyunggingkan bibirnya, menatap Arsen dengan perasaan tak enak. “Pak, saya izin pulang duluan ya? Saya tidak bisa lama-lama,” Rion bangkit dari duduknya, “Terim kasih atas traktir minumannya.” Rion menundukan badannya dengan sopan.

“Tunggu dulu,” Arsen menyanggah, “Kamu beneran gamau imbalan selain saya traktir minuman? Kamu jajanin anak saya dua kali, masa saya baru jajanin kamu satu kali?” Sambung Arsen, atensinya tak lepas dari Rion yang sedang memegangi tali tas selempangnya.

Rion kembali tersenyum, “Gausah pak, simpan saja uangnya untuk kebutuhan rumah tangga bapak.” Rion mengangguk dengan yakin. Tetapi anggukan itu tidak lama, sontak Arsen terkekeh.

“Uang milik saya, saya gunakan cuma untuk membiayai hidup Leetha. Jadi kalaupun saya membelanjakan barang untuk kamu, saya gak rugi.” Arsen melipat kedua tangannya di depan dadanya, menatap Rion dengan rasa kemenangan.

“Om Rion, Leetha mau beli ice cream yang kemarin sama Om Rion!”

Suara Leetha yang begitu lantang membuat Arsen dan Rion menatap Leetha bebarengan. Arsen melirik ke arah Rion, “Oh bagus, ayo kita beli bareng-bareng.” Atensi Arsen kini sepenuhnya memandang wajah Rion, “Kamu tau di mana tempatnya?”

Rion menelan salivanya dengan kasar, sejujurnya ia tak suka diberi imbalan dengan seperti ini. Tapi mau gimana lagi? Rejeki belum tentu datang dua kali.

“Akan saya tunjukan jalannya.”

ㅡ Redamancy.


“DADDY!!” Leetha berteriak kala melihat daddy nya berlari menuju arahnya. Rion yang tersentak kaget, reflek melihat ke-arah daddy nya leetha.

“Leetha, maafin daddy yaa.” Arsen mulai menggendong tubuh Leetha, “Terima kasih banyak ya Rion, saya sudah takut banget kehilangan Leetha.”

“Daddy mau main itu!” Leetha menunjuk ke-arah timezone yang sedang ramai pengunjung. “Iya sayang, tunggu sebentar yaa.”

“Gapapa pak, lagian saya juga gak sengaja menemukan Leetha yang sendirian yang berkali-kali memanggil 'Daddy'. Untungnya aja di dalam tas Leetha, tertera nomor bapak.”

“Kalau gitu, saya izin pamit ya pak. Saya harus kembali bekerja. Permisi pak.” Rion menundukan badannya, kemudian dengan kilat ia berlari meninggalkan Leetha dan daddy nya itu.

“Tapi Rion, saya belum menggantikan uang kamu!” Nihil, Arsen berteriak kala Rion sudah tak terlihat lagi batang hidungnya.

“Daddy ayo main ituu!” Leetha mulai merengek, dirinya tak berhenti menunjuk ke-arah timezone.

“Iya sayang, ayo kita main!”

'Nanti gua chat aja deh si Rion, gua harus ganti uang dia.'

ㅡ Redamancy

cw // profanity, mention of kiss


“Ardo kamu kenapa sampai bisa mabuk begini?” Raka menepuk-nepuk kedua pipi Ardo, kini posisi mereka sudah di atas kasur milik Ardo.

Dua detik, empat detik, dan seterusnya tidak ada jawaban dari Ardo, justeru ia hanya memeluk erat tubuh Raka, mendongak untuk menatap sang empu. “Ardo..” Raka menghela nafas panjang, dirinya sudah kehabisan akal dengan sikap Ardo yang labil seperti ini.

“Can u tell me? Why you do something yang bisa mencelakai kamu, hm?” Raka bertanya, berharap ada jawaban dari Ardo. Kata orang sih kalau lagi mabuk, bisa menjawab dengan jujur kan ya.

“Raka kenapa bohongin Ardo? Kemarin Raka nggak sibuk kan pas Ardo ajakin nonton bioskop.” Ardo sedikit terkekeh, yang mendengar pun hanya bisa terpaku.

“Padahal kamu tau sendiri, aku gasuka kalau dibohongin..” Sambungnya, kini posisi sudah berubah. Ardo yang tadinya berada dihadapan Raka, sekarang sudah berada di samping Raka sembari menatapnya.

Raka kaku, dalam pikirnya berkecamuk, bingung ingin membual apalagi.

'Kok Ardo bisa tau kalau kemarin gue nonton bioskop sama Kak Marcoz? Ini antara ada yang cepuin, atau dia liat sendiri sih.'

“Ardo, maaf..”

Raka menundukan kepalanya, mengambil ancang-ancang untuk berkata jujur.

“Ardo, harusnya kamu sadar. Kita udah gaada hubungan apa-apa, kamu yang putusin aku, tapi kamu sendiri yang bertingkah seperti ini. Seolah kamu gabisa move on dari aku.” Raka mendongak membalas tatapan Ardo dengan serius.

“Aku kemarin bohongin kamu, karena aku gamau bikin kamu makin larut gamonin aku. Ini demi kebaikan kamu, Ardo.” Raka menangkup wajah Ardo, kemudian memeluk tubuh Ardo dengan erat.

“Sekali lagi maafin aku ya, aku tau banget kamu gasuka dibohongin orangnya.”

Tak ada jawaban dari Ardo, justeru ia membalas pelukan yang diberikan oleh Raka.

“Bagaimana pun, status kita udah jadi mantan, Do. Kalo boleh jujur aku sebenernya kurang suka sifat posesif kamu masih ada..” Sambung Raka yang sebenernya ia tak mau mentuturkan kalimat ini.

“Kalau gitu, aku juga gasuka kamu minum-minum kayak gini. Apalagi kayak tadi selama perjalanan ke rumah, kamu berisik banget minta cium,” Air mata Raka mulai menetes, ia tak kuasa membendung rasa ini lagi. “Harusnya kamu tau aku gasuka kalo kamu minum alkohol..” Sambungnya lagi dengan suara yang mulai parau.

Raka merenganggkan pelukannya, “Lagian kamu minum tuh gak nyelesaiin masalah Do! Kamu kenapa gak langsung bilang aja sih?” Tangisan mulai pecah, lengan Raka pun mulai menjadi bahan penghapus air mata. Bagaimana pun walau status mereka sudah menjadi mantan, Raka masih memikirkan kesehatan Ardo.

Ardo yang melihat hal itu makin tak tega, ada benarnya juga yang dilontarkan oleh Raka. Tapi disituasi ini, mereka sama-sama salah.

“Raka, kalau begitu aku juga minta maaf..” Ardo mulai mengenggam erat kedua tangan Raka.

'Raka, salahkah jika gue minta balikan? Gak munafik, gue cemburu liat lo jalan sama orang lain.'

image


“Rove, aku harus gimana? Aku selalu jadi korban keegoisan ayah. Sedangkan Kak Zizi, selalu dibebaskan oleh ayah, lama-lama aku benci sama diriku sendiri. Kenapa aku harus terlahir menjadi omega..” Lio menyenderkan tubuhnya pada dinding, pandangannya kosong menatap ke arah depan.

“Kak, jangan ngomong begitu.” Rove mulai mengenggam tangan Lio dengan erat, menatap wajah Lio dengan tatapan yang tulus. Kini senyuman terukir pada wajahnya, membuat sang empu membalas tatapan itu dengan tatapan putus asa.

“Terus aku harus bagaimana Rove?! Aku gamau dijodohin, aku juga masih mau sekolah, Rove.” Air mata mulai membasahi kedua pipi gembil miliknya. Rove yang melihat hal itu sangat mengerti, tapi dirinya tak bisa melakukan apa-apa selain menjadi teman cerita buat Lio.

Rove mulai memeluk erat tubuh mungil Lio, telapak tangannya yang kekar, mulai menjamah punggung Lio. Tak munafik, hanya diperlakukan seperti ini dengan Rove, benteng yang dibangun oleh Lio seketika bisa hancur lebur.

“Aku harus gimana Rove? Aku capek hidup..” Lio membalas pelukan yang diberikan oleh Rove, wajahnya ditenggelamkan pada pundak kiri milik Rove. Tak memakan waktu lama, sekejap Lio dibuat nyaman oleh Rove. Pasalnya, Rove mengeluarkan feromon, dengan wangi yang begitu segar, nan tegas.

Lio sangat menyukai bila dirinya sudah didominasi oleh Rove, seperti saat ini.

“Ikhlasin aja ya kak? Kakak percaya karma kan? Lagian jodoh diatur sama selene, kita gaada yang tau apa yang terjadi dengan ayah lo, atau nasib lo sendiri kedepannya.” Rove mengelus surai hitam milik Lio, sesekali menciumnya dengan begitu tulus.

“Gapapa, nangis aja kak sepuasnya. Gua bersedia jadi tempat pelampiasan lo kak. Tapi janji ya jangan berlarut-larut?”

Lio tak langsung menjawab, dirinya sangat begitu lemah diperlakukan oleh sang alpha. Pikirannya mulai kacau, ia terus-menerus memikirkan bagaimana nasib Rove jika dirinya (Lio) menikah dengan jodoh yang diberikan oleh ayah.

“Kak? Kok diem aja sih?”

Lio mendongak, menatap sang lawan dengan tatapan sayu. “Rove, terima kasih ya udah selalu menjadi tempat cerita aku..” Tutur Lio dengan nada begitu parau.

Rove terkekeh, “Sampai kapanpun gua bakal senang kalo lo yang cerita kak.”

“Oh iya kak, lo mau ice cream mintcho gak? Gua traktik, biar lo gak sedih terus.”

“Boleh.. Aku juga gak betah jika pulang ke rumah, rasa-rasanya rumah ku seperti neraka.” Lio menunduk, “Apalagi pas tau ayah menyewa bodyguard buat memata-matai aku..” Sambungnya.

“Owalah, gapapa kak. Kalo gitu, anggap aja gua lagi nyulik lo dari kejamnya peraturan ayah lo.”

“Rove!” Kedua mata Lio terbelalak saat mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Rove.

“Apa?”

Lio mengalihkan pandangannya ke sembarang arah, kedua pipinya memanas, sepertinya ia kembali memerah.

'Salah kah jika aku menyukai mu, Rove?'

cw // profanity, pls aku nulisnya gak nafas ini loh 😭 semoga ngefeel yh...


Riki masuk ke dalam rumah Sunoo tanpa mengetuk pintu, atau mengabari Sunoo terlebih dahulu lewat imess. Entah, kini amarah pada dalam tubuh Riki membeludak, dalam pikirnya 'bisa-bisanya Sunoo berduaan dengan Jungwon tanpa sepengetahuannya.'

Langkah Riki terhenti tepat di depan kamar Sunoo. Dengan degupan jantung yang begitu cepat serta amarah yang tak terbendung, ia buka pintu kamar milik Sunoo dengan kasar.

'CKREKK'

Pandangannya disuguhi kedua anak adam yang sedang saling berpelukan. Yang satu seperti memiliki asa yang sudah putus, yang satunya lagi sedang menenangkan jiwa-jiwa yang sudah kalangkabut.

Kini pandangan Jungwon dan Riki saling beradu, pun kedua tangan Riki sontak mengepal dengan kasar sampai memperlihatkan urat-urat miliknya. Seolah paham dengan situasi, Jungwon berbisik pada telinga Sunoo untuk pamit pulang ke rumah.

'Sun, gue izin pamit ya. Pacar lo udah nyampe tuh.'

Jungwon kemudian bangkit dari duduknya, melangkahkan kedua kakinya menuju pintu kamar.

Saat dirinya berpapasan dengan Riki, kedua mata kucing miliknya yang tajam, tak luput melihat ke arah Riki yang sedang terdiam, terpaku menatap dirinya juga (intinya mereka saling tatap lah).

Tanpa berlama-lama, Jungwon keluar dari kamar Sunoo, menyisakan sepasang kekasih yang sedang dirundung masalah. Tak lupa ia kembali menutup pintu kamar untuk menjaga privasi hububgan kedua insan itu.


“Kamu ngapain ke sini?” Tanya Sunoo yang sedang merangkul kedua dengkulnya di atas kasur. Mendengar pertanyaan itu, Riki mendekat untuk duduk tepat di samping kekasihnya.

“Kamu kalo gamau denger aku cerita, maunya ngelakuin seenak jidat, mending kita putus aja deh. Aku udah capek, muak sama kamu, Ki.” Sunoo mengeraskan suaranya, tanda ia sudah sangat lelah dengan semua ini.

“Kak,” Riki mulai mengenggam erat tangan Sunoo, tetapi nihil. Genggaman itu ditepis oleh Sunoo.

“Cukup! Karena kamu gamau denger penjelasan aku, aku juga gamau dengar penjelasan kamu.”

“Sekarang kamu bisa pergi”

“PERGIII!” Sunoo meracau, berteriak, serra mendorong tubuh Riki agar menjauh dari badannya.

“Kak, maafin aku,” Riki menahan paksa tangan Sunoo untuk berhenti mendorongnya.

“Ng-sggak! Kamu harus pergiii!” Sunoo kembali terisak, dirinya menarik dengan paksa agar cengkraman yang diberikan oleh Riki terlepas.

“Kamu harus pergii Rikiiiii..” Sunoo kembali menangis, dirinya sudah gaada tenaga buat kembali meracau.

Melihat situasi ini, Riki mulai merengkuh tubuh mungil milik Sunoo ke dalam dekapannya. “Kak, aku minta maaf. Maaf kalau aku annoying, atau sejenisnya. Aku kali ini turunin gengsi, karena gak mau hubungan kita berakhir. Aku sayang sama kamu, Kak. Aku posesif karena menurut ku itu baik-”

“Baik menurut kamu! Aku nya yang tersiksa. Sebenernya mau kamu apa sih? Tadi kamu kemana? Aku udah dateng ke rumah kamu, tapi kamu gaada.” Sunoo membalas kalimat Riki tanpa jeda.

“Oke, aku jelasin. Aku tadi bantu Kak Vania buat tambel ban mobilnya. Udah itu doang kok, tapi seenggaknya gaada tuh kami berdua pegangan tangan.” Tutur Riki yang dimana kalimat terakhir menggunakan nada tajam, untuk menyudutkan Sunoo.

“Ohhh, jadi kamu cemburu karena aku pegangan tangan sama Jihan kemarin?” Sunoo mulai tatap wajah Riki dengan sayu.

“Tapi seenggaknya aku gak selingkuh, Riki. Kalo aku selingkuh, gak mungkin aku nangis kayak gini daritadi.” Sunoo mengusap air matanya menggunakan lengannya, ia sedikit tertawa karena merasa ini hal yang sangat lucu.

Bagaikan panah yang menancap mengenai sasaran, Riki terdiam. Kalimat Sunoo yang barusan terucap, ada benarnya dalam pikirnya.

“Kak, aku gamau putus. Kemarin aku khilaf, aku sadar posesifnya aku tuh udah gak wajar. Besok-besok kalo aku begini lagi, marahin aku aja kak, gapapa.” Riki mulai mencemberutkan bibirnya, menatap kedua netra Sunoo dengan penuh arti.

Melihat hal itu, timbul tanda tanya pada dalam dirinya. Bagaimana bisa seorang Riki yang keras kepala, sudi menurunkan egoisnya hanya dalam waktu beberapa menit saja?

Apakah ini yang dinamakan cinta buta? Padahal hubungan mereka berdua terhitung baru satu bulan loh.

Sunoo menarik ingusnya, sedikit tertawa geli kala melihat kelakuan Riki yang berubah drastis. “Hahaha, kalo aku gamau maafin kamu gimana?”

“Aku beliin mintcho kak, sekalian pabriknya gimana?”

Hidup dipenuhi rasa sayang, yang terbalas.

image


Sore hari yang begitu tampak murung, akibat dari hujan yang kunjung henti, membuat lelaki jangkung masuk ke dalam rumah sang kekasih dengan keadaan basah kuyup. Hoodie yang ia kenakan, ia lepas sehingga hanya tersisa kaos oblong berwarna hitam.

Razkal namanya, ia rela hujan-hujanan demi pergi, menuju rumah sang kekasih.

“Kak Rei?” Razkal bergegas mencari sosok yang ia panggil namanya itu. Hatinya sangat bersalah, karena ia telah mengingkar janji.

Sayup-sayup terdengar suara tangisan kecil dari dalam kamar, membuat lelaki jangkung itu dengan cepat masuk ke dalam kamar.

“Kak?”

“Kak aku minta maaf karena telah mengingkar janji,” Razkal dengan sigap duduk samping badan Kak Rei yang sedang menaruh kepalanya tepat diatas kedua kakinya yang terlipat diatas.

“Kak..” Razkal menggoyangkan tubuh Kak Rei, memasang wajah cemas agar sang lawan menatap wajah miliknya.

“Kak, maaf aku telat..”

“Tadi aku disuruh sama mamah buat jaga rumah, aku gaboleh ke rumah kamu kalau mamah ku belum pulang,” Razkal mencemberutkan bibirnya, ia pasrah ocehan yang dilontarkan olehnya, membuat Kak Rei dengan lemas menatap kekasihnya yang sedang mencemberutkan bibirnya.

“Iyaa gapapa bekcil, lagian aku ngerti kok. Gausah cemberut gitu ah.” Kak Rei tersenyum tipis, tangan kanannya mulai mengelus surai hitam milik Razkal dengan amat lembut.

“Kak,” kedua tangan Razkal mulai merengkuh pinggang ramping milik Kak Rei, menatap wajahnya dengan lamat-lamat, seolah memberikan seribu makna.

Dengan manja, Razkal mulai membalas pelukan Kak Rei, menenggelamkan wajahnya pada pundak kiri Kak Rei.

'Kak, sampai kapanpun aku sayang Kak Rei, maafin aku ya sekali lagi..'

Razkal berbisik tepat diindera pendengar Kak Rei, membuat sang empu hanya menahan tawa.

Lucu.

Ya, baginya Razkal itu sangat lucu. Entahlah, diluar terlihat sangat sangar, tapi jika sudah bersamanya bisa berubah drastis.

“Bekcil, harus aku katakan berapa lagi? Gausah minta maaf-minta maaf terus lah. Mending kita tepatin janji buat netflix and chill.

“Nggak ah, aku maunya cuddle aja sama Kak Rei.” Razkal menggelengkan kepalanya, menyamankan posisinya, kedua tangannya pun tak mau melepas pada kaitan dipinggang milik sang kekasih.

“Haha yaudah iya, malam ini kita cuddle aja ya sama deeptalk” Kak Rei membalas pelukan Razkal dengan tak kalah erat, biarkan suara rintikan hujan diluar sana menjadi alunan yang indah bagi kedua insan yang sedang menaburkan rasa kasih sayang, satu sama lain.

'Kak Rei, aku sayang Kak Rei. Sehat-sehat terus ya, jika suatu hari kita berpisah, aku mau mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya.'

I really love you, -bekcil.

Alvin POV.

cw // profanity.


“Lo ngapain sih pegang tangan gue mulu?” Raqi bertanya dengan nada kesal, akibat gue tak mau melepaskan lengan Raqi.

Karena tak mau mengalah, akhirnya gue membalas ocehan yang keluar dari mulut Raqi. “Eh mahkluk asteral, salah sendiri kalo ternyata lo pelihara reptil sebanyak ini njir.” Kedua mata gue melotot mengarah ke Raqi.

Raqi menarik paksa lengannya sampai pegangan yang gue berikan terlepas. “Diem. Gausah bawel. Lo duduk dulu disofa, kalo takut sama peliharaan gue, apalagi uler kobra punya bapak gue, gausah ditatap matanya. Gue mau ambil buku lo di kamar.”

Raqi dengan cepat meninggalkan gue seorang diri di ruang tamu. 'Anjir Raqi. Cepetan gak lu, ini rumah macem taman safari asuu.'


Setelah gue menununggu lima menitan, dari kejauhan Raqi datang sembari membawa buku tulis milik gue. Dengan perasaan euforia, gue berdiri, lalu sedikit berlarian kecil menuju Raqi.

“SINII BUKUN-”

'Crekkk.'

“SUPRIIIII!!”

“EH APAAN ITU?! GELI ANYINGG.” Gue reflek mengangkat kaki kanan gue, sedangkan kedua mata menatap apa yang baru saja gue injek.

“SUPRIII!!!” Tubuh Raqi seketika ambruk tepat didepan hewan yang baru saja gue injek. Gue yang cuma penasaran sama hewan yang gue injek, dengan nada santai gue nanya ke Raqi.

“Emang itu hewan apa njir? Geli anying, kenyel-kenyel gitu.” Tangan gue sibuk membersihkan telapak kaki gue yang dimana gue sendiri masih terbayang-bayang sama kekenyalan dari badan hewan itu.

“Udah deh, gue males sama lo pin. Pulang deh lu.”

'Supriii..'

“Raqii maaf..” Gue mengambil buku tulis gue yang tepat disamping tubuh Raqi. “Kalo gitu, gue izin cabut ya.”

“Sekali lagi minta maaf..”

cw // kissing


Sam POV

Tanpa rasa takut, aku berjalan menyusuri koridor asrama vampire. Rasa kagum pada diri ku mendadak bergejolak kala melihat disepanjang koridor asrama, disetiap sisinya dihiasi askesoris halloween; seperti lampu tumblr, gantungan labu khas halloween ataupun yang lainnya.

Berbeda dengan asrama werewolf yang kosong melompong tak dihiasi apa-apa. Oh, atau mungkin baru esok hari dipasang aksesoris yang serupa dengan asrama vampire.. Entahlah, aku pun tak bisa menerka-nerka.

Sejauh ini aku bersyukur karena di asrama vampire jarang alpha yang berlalu lalang, jadi aku bisa leluasa mempercepat langkah menuju kamar Ravi.

Langkah ku terhenti tepat didepan pintu kamar milik Ravi. Bagai angin yang berhembus kencang mengenai muka ku, tiba-tiba saja aku mengingat kejadian tempo hari yang membuat ku memutuskan untuk pindah asrama.

'Huftt..'

'Tok, tok, tok..'

Aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu, degupan yang kurasakan tak bisa dikontrol. Entah aku yang lebay atau gimana, tapi aku merasa takut.

Tak lama kemudian, terdengar teriakan dari dalam kamar yang sontak membuat ku sedikit terkejut. “Masuk aja, gak dikunci pintunya!”

Dengan ragu, aku membuka pintu itu secara perlahan, melangkahkan kedua kaki untuk masuk, kemudian kembali menutup pintu kamar dengan sempurna.

Saat badan ku berbalik, kedua pandangan ku disambut dengan dekorasi kamar yang membuat ku terkagum. “Ravi, ini kamu yang hias sendiri?” Tanya ku tanpa menatap lawan bicara; alih-alih masih disibukkan memandang dekorasi halloween yang begitu cantik.

“Iya.” Jawab Ravi dengan ketus. “Kenapa? Lagipula barang-barang yang ku jadiin dekorasi bekas tahun lalu kok.” Sambung Ravi sembari berjalan tegak menghampiri ku.

Sontak atensi ku teralihkan pada sosok Ravi yang sedang berjalan menghampiri ku. Dinginnya AC, serta aroma feromon Ravi yang begitu kuat membuat bulu kuduk ku berdiri. “Ah gitu ya? Vibes halloween di kamar mu dapet soalnya..” Jawab ku yang diakhiri menelan saliva dengan kasar.

“Gua minta lo kesini bukan komentarin dekorasi kamar gua.” Ravi menatap tajam mengarah ku, membuat ku melangkah mundur sampai tubuh ku mengenai pintu kamar. “Ravi maaf.. Aku hanya begitu antusias melihat dekorasi kamar mu.” Jawab ku dengan perasaan takut, bahkan nafas dari paru-paru Ravi bisa ku rasakan; bisa dibayangkan bukan sebeberapa dekatnya kita?

Ravi merotasikan kedua bola matanya, “Sini ikut gua!” Ravi menggandeng tangan gua menuju lemari pakaian miliknya.

Cengkraman tangan Ravi pada pergelangan tangan ku terlepas, kemudian Ravi membuka lemari pakaiannya, mengeluarkan dua baju yang digantung menggunakan gantungan baju.

“Coba pilih, bagusan yang mana?” Ravi menunjukkan dua kostum halloween yang berbeda pada ku. “Yang satu model kostum raja iblis, yang satu lagi model pangeran vampire.” Sambungnya.

Aku memperhatikan kedua kostum yang berbeda dengan lamat-lamat. Menurut ku entah kenapa Ravi lebih cocok pakai kostum pangeran vampire ketimbang raja iblis.. Entahlah, apa mungkin karena Ravi spesies vampire makanya cocok?

“Yang ini menurut ku” aku menunjuk model kostum pangeran vampire. “Alasannya kenapa?” Tanya Ravi sembari melihat apa yang aku tunjuk.

Aku menggelengkan kepala, “Gatau. Dipikiran ku, kamu terlihat cocok memakai itu.” Kata ku yang diakhiri senyuman kecil.

“Hm, oke.” Ravi kembali menggantung kostum model raja iblisnya didalam lemari, kemudian ia masuk ke dalam kamar mandi sambil membawa kostum yang aku pilih.


'Cklekk'

Ravi keluar dari kamar mandi dengan posisi badan tegak; pun memakai kostum pangeran vampire membuat ku sedikit tercengang. Demi apapun Ravi begitu gagah dimata ku.

'Selene, Ravi sangat tampan..'

Begitulah, aku tiada habisnya menjerit, menyebut nama Selene karena melihat Ravi.

“Ravi..” Seperti terhinoptis, aku berjalan mendekat menuju Ravi, memandang wajahnya dengan begitu dalam.

“Hm?” Jawab Ravi dengan singkat. Aku tak menggubrisnya, justeru aku berpura-pura merapihkan kerah baju yang dikenakan oleh Ravi.

“Kau sangat tampan Raviii!” Puji ku secara tak sadar. Aku sebenarnya tak terbendung lagi untuk memberikan pujian untuk Ravi.

“Kamu seperti pangeran vampire sungguhan!” Aku mengelus pipi Ravi dengan pelan.

Aku tidak peduli lagi mau dikata apa, yang aku mau sekarang hanya memuji ketampanan Ravi, serta hasrat untuk memeluk erat tubuh Ravi.

“Terima kasih Sam. Oh ya untuk besok lo pakai kostum apa?” Ravi bertanya kepadaku. Aku sejenak terdiam, memikirkan kostum apa yang akan ku pakai besok saat perayaan halloween berlangsung.

“Besok kamu akan tau, Ravi.” Secara tak sadar atensi ku terfokus pada wajah Ravi, hembusan nafas dari Ravi pun aku masih bisa merasakannya. Entah apa yang ada dipikiran ku, secara tak sadar bibir ku sudah memagut, menempel pada bibir kenyal milik Ravi.

Sontak aku melingkarkan kedua tangan pada leher milik Ravi, memeperdalam ciuman seolah aku dikendalikan oleh nafsu. Ravi dengan sigap memeluk erat pinggang ku, membalas lumatan yang ku beri.

Lenguhan dari aku maupun Ravi saling menyaut; membuat ku hanyut dalam ciuman ini. Feromon dominan dari Ravi dikeluarkan dengan volume yang banyak, mengakibatkan tubuhku terangsang dengan mudah. Akibat dari itu, ciuman yang semula dilakukan tempo pelan, perlahan menjadi agresif.

'Mpphhh'

Kedua lidah saling beradu, sesekali lidah ku melilit lidah Ravi, begitupun sebaliknya. Setelah kantung nafas dirasa habis, aku melepaskan ciuman itu secara paksa. Aku menjauhkan bibir milikku dari sang empu, terlihat benang saliva yang terkena lampu bercahaya remang-remang membuat ku frustasi; pun sembari aku menatap wajah Ravi dengan sayu.

“Ravi, maaf kalau aku lancang, aku gatau apa yang terjadi pada diri ku. Yang aku tau hanya satu, aku ingin dimanja oleh mu.” Aku memeluk tubuh Ravi dengan erat, mendusel pada dada bidang milik Ravi.

Bagaikan petir yang menyambar ke tanah, Ravi tersentak mendengar pernyataan yang dituturkan oleh Sam. “Gua disini..” Ravi membalas pelukan itu tak kalah erat. “Oh ya, lo masih ada hutang cerita, kenapa waktu itu bisa lo jalan sama.. alpha werewolf.” Sambung Ravi, sebelum akhir kalimat ia sempat mengulum senyum, takut ragu katanya.

“Ah iya.. Kayaknya kalo aku cerita pas puncak halloween kelamaan ya? Hahaha. Oke-oke aku akan cerita, sebenarnya aku pergi kemana sama Ivan waktu itu.” Sam melepaskan pelukannya, menatap Ravi dengan rasa yakin, mantap untuk bercerita apa yang sebenarnya.

“Jadi gini..”

Sam mulai bercerita dengan begitu antusias pada Ravi, sedangkan Ravi mendengarkan apa yang diceritakan oleh Sam. Ravi mengernyitkan dahi kala mengetahui apa yang sebenarnya terjadi; pun ia merasa kalah dengan rasa egois, tak mau mendengarkan Sam bercerita saat kejadian.

'Sam, maafkan kesalahan gua..'