scubepid

Wildan POV


Makanan yang dipesan Zaidan untuk gue sudah habis, dimakan bersama sampai tidak menyisakan satupun. Sengaja, selama makan berlangsung gue gak mulai membicarakan topik dengan judul permintaan maaf.

Setelah dirasa semua sudah dibereskan; pun sampah-sampah makanan sudah dibuang, kini saatnya gue memulai topik yang sangat sensitif. Topik yang dimana mengungkapkan rasa kesalahan gue selama tiga hari.

“Zaidan, maafin aku ya? Maaf kalau kemarin kesannya aku kayak anak kecil banget, yang gamau dengerin kamu bercerita terlebih dahulu. Aku merasa bersalah..” Gue mengulum senyum, menunduk karena merasa menyesal telah mengambil tindakan yang mungkin bikin Zaidan bingung.

“Dan, maaf kalau kamu cemburu saat aku berduaan sama Kak Naren. Jujur kemarin aku tersulut emosi sampai gabisa mengekspresikan didepan kamu, Zaidan..”

“Semoga kamu mengerti.” Gue mulai mengenggam kedua telapak tangan Zaidan, menatap wajahnya lamat-lamat seolah mengatakan gue menyesali apa yang telah gue perbuat.

“Nooo, kamu gak salah!” Zaidan melepas paksa genggaman yang gue berikan, memeluk tubuh gue dengat begituu erat. “Aku yang harusnya minta maaf karena gak sempet menceritakan kenapa aku bisa ciuman dengan Rona sesama SMP..”

Gue menelan saliva dengan kasar. “Kalau kamu mau cerita, ceritain aja. Aku gamau ada salah paham lagi diantara kita, sayang.” Gue perlahan mengelus pucuk kepala sang empu, tak sesekali gue mencium bekas elusan itu.

“Waktu itu saat kelulusan SMP, malamnya aku minum banyak sampai gak sadarkan diri bersama teman sepenongkrongan.” Zaidan bercerita, menyamankan senderannya pada dada gue; membuat gue memberi wadah agar Zaidan leluasa untuk menyender dengan nyaman.

“Terus?”

“Yaudah, aku gak sadarkan diri sampai bisa ciuman sama Rona.. Maafin aku ya karena sebelumnya gaada cerita tentang ini,” Zaidan mulai menenggelamkan wajahnya, mengeratkan pelukan yang tertaut pada pinggang ramping gue. Melihat hal itu membuat gue sedikit terkekeh, sebab Zaidan diwaktu bersamaan ternyata bisa juga menjadi menggemaskan.

“Ah, gitu ya? Permintaan maaf mu, ku terima manis. Lagipula itu kejadian masa lalu, tAPIII..” Gue mulai meninggikan nada suara diakhir kalimat, sembari sedikit menunduk gue melanjutkan kalimat yang sempat terpotong.

“Kamu nakal juga ya, masih SMP tapi udah berani minum-minum.” Ujar gue memakai nada seperti emak-emak yang sedang memarahi anaknya.

“Jangan marahin aku, aku kan sekarang udah gede! Gausah ungkit-ungkit masa lalu ih, waktu itu aku kan masih menjadi remaja polos dan masih labil.” Cibir Zaidan yang diakhiri cemberutan kecil.

“Gemes banget marahnya” gue menekan kedua pipi Zaidan agar kedua belah bibirnya makin maju, lalu gue kecup bibir itu dengan rasa gemas.

“Kamu homo banget!”

Wildan POV


Makanan yang dipesan Zaidan untuk gue sudah habis, dimakan bersama sampai tidak menyisakan satupun. Sengaja, selama makan berlangsung gue gak mulai membicarakan topik dengan judul permintaan maaf.

Setelah dirasa semua sudah dibereskan; pun sampah-sampah makanan sudah dibuang, kini saatnya gue memulai topik yang sangat sensitif. Topik yang dimana mengungkapkan rasa kesalahan gue selama tiga hari.

“Zaidan, maafin aku ya? Maaf kalau kemarin kesannya aku kayak anak kecil banget, yang gamau dengerin kamu bercerita terlebih dahulu. Aku merasa bersalah..” Gue mengulum senyum, menunduk karena merasa menyesal telah mengambil tindakan yang mungkin bikin Zaidan bingung.

“Dan, maaf kalau kamu cemburu saat aku berduaan sama Kak Naren. Jujur kemarin aku tersulut emosi sampai gabisa mengekspresikan didepan kamu, Zaidan..”

“Semoga kamu mengerti.” Gue mulai mengenggam kedua telapak tangan Zaidan, menatap wajahnya lamat-lamat seolah mengatakan gue menyesali apa yang telah gue perbuat.

“Nooo, kamu gak salah!” Zaidan melepas paksa genggaman yang gue berikan, memeluk tubuh gue dengat begituu erat. “Aku yang harusnya minta maaf karena gak sempet menceritakan kenapa aku bisa ciuman dengan Rona sesama SMP..”

Gue menelan saliva dengan kasar. “Kalau kamu mau cerita, ceritain aja. Aku gamau ada salah paham lagi diantara kita, sayang.” Gue perlahan mengelus pucuk kepala sang empu, tak sesekali gue mencium bekas elusan itu.

“Waktu itu saat kelulusan SMP, malamnya aku minum banyak sampai gak sadarkan diri bersama teman sepenongkrongan.” Zaidan bercerita, menyamankan senderannya pada dada gue; membuat gue memberi wadah agar Zaidan leluasa untuk menyender dengan nyaman.

“Terus?”

“Yaudah, aku gak sadarkan diri sampai bisa ciuman sama Rona.. Maafin aku ya karena sebelumnya gaada cerita tentang ini,” Zaidan mulai menenggelamkan wajahnya, mengeratkan pelukan yang tertaut pada pinggang ramping gue. Melihat hal itu membuat gue sedikit terkekeh, sebab Zaidan diwaktu bersamaan ternyata bisa juga menjadi menggemaskan.

“Ah, gitu ya? Permintaan maaf mu, ku terima manis. Lagipula itu kejadian masa lalu, tAPIII..” Gue mulai meninggikan nada suara diakhir kalimat, sembari sedikit menunduk gue melanjutkan kalimat yang sempat terpotong.

“Kamu nakal juga ya, masih SMP tapi udah berani minum-minum.” Ujar gue memakai nada seperti emak-emak yang sedang memarahi anaknya.

“Jangan marahin aku, aku kan sekarang udah gede! Gausah ungkit-ungkit masa lalu ih, waktu itu aku kan masih menjadi remaja polos dan masih labil.” Cibir Zaidan yang diakhiri cemberutan kecil.

“Gemes banget marahnya” gue menekan kedua pipi Zaidan agar kedua belah bibirnya makin maju, lalu gue kecup bibir itu dengan rasa gemas.

“Kamu homo bgt!”

cw // slight angst, mention of drunk

image


Jungwon POV

Malam ini sangat meriah, walau malam ini bisa dibilang konser kecil-kecilan dari band forsten. Kini tersisa hanya puluhan orang yang masih berada didalam gedung , mungkin sisanya pulang karena mengalami tipsy.

Aku bersama Riki turut bahagia, malam halloween yang ku kira biasa-biasa saja menjadi sangat luar biasa. Sebab bisa melihat kak crush tampil dengan begitu profesional. Ah, ingin rasanya aku maju ke depan untuk bilang kalo aku sangat mencintainya.

“Kak, ayo pulang, udah makin larut nih.” Riki menatap ku dengan tatapan datarnya. Aku membalas tatapan itu, “Tunggu sebentar ya Rik? Aku masih mau melihat kak Sunoo..” Pandangan ku kembali mencari kebradaan Kak Sunoo.

Riki mengulum senyum, “Kalau mau cari dia tuh jangan andelin mata doang. Sini ikut gue.” Riki menarik tangan ku, mengajak ku ke tempat yang aku sendiri tak tau namanya apa.

Di sepanjang jalan pandangan ku hanya lurus ke depan, yang dimana jalan yang kulewati dihiasi lampu tumblr berwarna orange khas halloween; serta labu yang menyala di tiap-tiap pinggirannya.

'Brukk'

Badan ku menabrak badan Riki yang mendadak terhenti tepat di depan ku. “Kenapa berhenti?” Tanya ku yang masih sedikit terkejut akan kejadian tadi.

“Noh liat, itu crush lo bukan?” Riki menunjuk, kedua mata ku mengikuti apa yang Riki tunjuk. Damn, bagai petir yang menyambar, sontak tubuh ku lemas tak berdaya. Aku melihat ada seorang perempuan yang sedang mencium kedua pipi Kak Sunoo.

“Rik.. Itu Kak Sunoo habis dicium ya pipinya?” Tanya ku dengan tubuh yang gemetar. Katakanlah aku egois, ya memang benar aku egois. Kak Sunoo bukan siapa-siapanya aku tapi entah kenapa aku merasa tidak rela kedua pipi Kak Sunoo dicium oleh seseorang.

“Iyaa kak. Lo liat sendiri kan? Sekarang mending kita pulang.” Riki menggandeng tangan ku layaknya menggandeng anak kecil yang menangis tidak mau pulang. Hati ku sangat sakit; tercabik dengan kejadian apa yang ku lihat.

Ingin rasanya sekarang memeluk tubuh Riki, tapi aku segan untuk melakukannya. Biarkan apa yang ku rasakan hanya Tuhan dan mamah yang tau. Sisanya lihat saja nanti; jika aku menyerah, mungkin ada saatnya aku kalah dengan permainan yang ku buat sendiri.

'Mamah, aku harus bagaimana? Perjuangin rasa ini atau menyerah saja yah mah? Haha, terhitung sudah kedua kali melihat Kak Sunoo seperti itu..'

tags : profanity, mention of blood, Sunghoon as Steve (alpha werewolf), pls ini isinya heereun alias jayseung & hoonseung. kalau tidak berkenan baca, boleh diskip yaa ^^

image


Hexa terbaring lemah, kekuatan alpha nya telah dihabiskan hanya untuk melawan Steve, yang dimana Steve adalah sosok alpha werewolf yang pernah mengisi hari-hari Hexa. Kasarnya adalah, ia mantan gebetan dari Hexa.

“L-lo mau apalagi?” Hexa memegangi perutnya yang sudah berdarah, serta menatap Steve dengan tatapan ketakutan.

Steve tidak bergeming, justeru ia melangkahkan empat kaki serigalanya menghampiri Hexa. Kedua mata serigalanya menyala berwarna merah, seolah ia tak puas akan kemenangan yang ia peroleh.

Langkah demi langkah membuat Hexa semakin tidak berani untuk menatap wajah Steve yang sedang menjelma serigala seutuhnya.

Saat Steve ingin membuka suara, tiba-tiba dari arah kanan ada seseorang yang mencakar wajahnya dengan sangat kasar, mengakibatkan darah dari wajah Steve muncrat ke lantai.

'SRETTT'

“Jangan ganggu Hexa!” Ucap Jeffry dengan tegas, suaranya pun menggema satu ruangan. Dengan cepat ia mengungkung tubuh Hexa, kemudian ia menjauh dari jangkauan Steve.

Seketika hening, terlihat hanya sinar bulan yang berani hadir diantara suasana yang sedang menegangkan ini.

“Cih, kau tak berhak ikut campur. Ini bukan urusan mu!” Steve perlahan merubah menjadi sosok manusia sembari memegangi pipinya yang berdarah.

“Gua gaada waktu untuk melawan lo. Sampai jumpa dilain waktu, rival.” Jeffry dengan lihai terbang sembari mengungkung Hexa yang sedari tadi memegangi perutnya.


Jeffry POV

Gue meletakkan tubuh Hexa diatas kasur secara perlahan. “Lo kenapa bisa ketemu mantan gebetan lo njir? Gue khawatir sama lo tau gak.” Gue mengambil kursi, kemudian duduk dipinggir kasur milik Hexa.

Hexa menyamankan badannya diatas kasur, dengan maksud meminimalisirkan luka pada badannya tak tertekan saat ia berbaring. Hexa menghembuskan nafasnya dengan begitu berat.

“Sebelumnya.. Gue udah bukan jadi alpha vampire lagi, Jeff..” Jelas Hexa dengan ragu sembari menatap wajah Jeffry.

“Pantesan tadi gue cium aroma feromon lo agak sedikit berbeda.” Jefrry menyilangkan kedua tangannya didepan perutnya. “Terus kenapa lo bisa ketemu sama mantan gebetan?” Sambung Jeffry dengan nada penasaran.

“Pokoknya pas gue mau ke gudang belakang tuh tiba-tiba mencium aroma feromon si Steve, terus gue ke-trigger. Dan asal lo tau ya Jef, gue mati-matian buat tahan rasa sakit perut gue karena proses beralihnya dari vampire alpha menuju vampire omega. Dan sialnya gue jadi berkelahi, dan perut gue jadi korbannya.” Hexa membuka baju kaosnya, menunjukkan luka goresan dari kuku serigala milik Steve.

“Kasihan.. jadinya lo sekarang omega nih?” Jeffry mengelus luka yang menghiasi permukaan kulit perut milik Hexa.

“Iya tapi gue gatau Jeff.. Besok lo mau temenin gue ke dokter vampire gak? Gue mau ngecek status gue sekarang apa..” Hexa mencemberutkan bibirnya, sejujurnya ia pun tak terima bila dirinya berubah menjadi omega.

“Iya besok malam gue temenin Hex. Sekarang lebih baik lo tidur dah.”

'Semoga kata dokternya besok si Hexa berubah jadi omega deh, hahaha.'

Wildan POV

cw // harshword, mention of kiss


Selama perjalanan pulang, gue mencoba untuk tidak membuka suara dengan Zaidan. Usut punya usut, ternyata kami mengantar kue pesanan ke rumah gebetan Zaidan semasa SMP nya dulu. Dan yang paling bikin gue kesal adalah ternyata mantan gebetannya itu pernah cium bibir si Zaidan. Gatau tuh disengaja apa nggak, pokoknya gue kesel.

'Kesel banget gue. Ibun kenapa sih gak bilang kalo anter kue ke rumah mantan gebetan si Zaidan?'

'Mana tadi mantan gebetannya sinis banget ke gue. Paling bener tadi gue minta Kak Naren buat temenin gue. Halahh perek.'

Motor yang gue tumpangi kini sudah sampai didepan rumah gue. Dengan keadaan gondok gue turun dari motor, melepas helm yang gue pakai. Saat gue ingin melangkahkan kedua kaki untuk masuk ke dalam rumah, tiba-tiba tangan gue ditahan paksa oleh Zaidan.

“Wil, maafin aku ya tentang tadi di rumah mantan gebetan aku.. Aku gatau kalau kita antar kue ke rumah mantan gebetan ku.” Zaidan mengenggam tangan gue dengan erat.

Karena gue sudah terlanjur kesal, akhirnya gue membalas kalimat dari Zaidan dengan nada jutek. “Lepas.” Gue menarik paksa lengan yang digenggam oleh Zaidan.

Zaidan melepaskan genggamannya, “Oke..” Jawabanya dengan nada pelan. Setelah dilepas, gue dengan angkuh berjalan masuk ke dalam rumah dengan hati yang tidak berhenti mengata-ngatai apa yang barusan terjadi di rumah mantan gebetan Zaidan.

'Wildan, maafin Zaidan..'

Kalau tidak hari ini, masih ada hari esok.

Jungwon POV


'Tek, tek, tek..'

Gue mengetuk-ngetuk permukaan meja kafe menggunakan jari-jemari secara bergantian. Yang kini gue rasakan adalah rasa...

Canggung.

Ya, itu yang gue rasakan sekarang. Sudah hampir tiga puluh menit gue dan Kak Sunoo di kafe, tetapi pembicaraan ini selalu terhenti disaat merasa sudah basi untuk dibahas.

Disaat gue mau nyeruput es kopi yang gue pesan, tiba-tiba Kak Sunoo angkat bicara; membuat gue nggak jadi nyeruput es kopi.

“Lo tadi mau ngomong apa?”

Mendengar lontaran pertanyaan itu sontak gue menatap wajah Kak Sunoo dengan antusias. Jantung gue mulai berdebar saat ingin menjawab pertanyaan Kak Sunoo. “Eumm.. Gue tadi mau ngomong kalo gue tuh sebenernya-”

'Tutt, tutt, tutt..'

“Bentar dek, ada telpon dari anak band.”

“Halo?”

Kak Sunoo perlahan bangkit dari duduknya; melangkahkan kedua kaki jenjangnya sembari menjawab telpon dari temannya itu.

Gue menghembuskan nafas sekaligus menetralkan detak jantung yang mulai berdetak secara tak beraturan.

'Cuma bilang kangen kenapa susah banget sih? ARGHHH.'

Gue merasa diri gue didesak oleh keadaan untuk mengatakan yang sejujur-jujurnya apa yang ingin gue sampaikan.

'Gue harus mulai darimana..'

“Dek, maaf ya gua balik duluan. Lo gapapa kan gue tinggal sendiri disini? Tadi kawan telpon katanya menejer kecelakaan. Makanya gua mau ke rumah sakut buat jenguk.”

Gue terdiam, menatap lawan bicara dengan sedikit kaku. “Ah.. Iya gapapa kak. Gue juga bisa pulang sama ojol kok. Hati-hati ya kak dijalan, masih ada hari esok untuk bermain kok.” jawab gue yang diakhiri senyuman terpaksa.

“Iya dek. Makasih ya atas waktunya. Gua pamit.” Kak Sunoo ambil tas selempangnya, kemudian meninggalkan gue seorang diri di kafe ini.

“Yah oke, padahal gue baru mau jawab pertanyaan nya. Gue gapapa.”

'Masih ada hari esok kan?'

Kalau tidak hari ini, masih ada hari esok.

Jungwon POV


'Tek, tek, tek..'

Gue mengetuk-ngetuk permukaan meja kafe menggunakan jari-jemari secara bergantian. Yang kini gue rasakan adalah rasa...

Canggung.

Ya, itu yang gue rasakan sekarang. Sudah hampir tiga puluh menit gue dan Kak Sunoo di kafe, tetapi pembicaraan ini selalu terhenti disaat merasa sudah basi untuk dibahas.

Disaat gue mau nyeruput es kopi yang gue pesan, tiba-tiba Kak Sunoo angkat bicara; membuat gue nggak jadi nyeruput es kopi.

“Lo tadi mau ngomong apa?”

Mendengar lontaran pertanyaan itu sontak gue menatap wajah Kak Sunoo dengan antusias. Jantung gue mulai berdebar saat ingin menjawab pertanyaan Kak Sunoo. “Eumm.. Gue tadi mau ngomong kalo gue tuh sebenernya-”

'Tutt, tutt, tutt..'

“Bentar dek, ada telpon dari anak band.”

“Halo?”

Kak Sunoo perlahan bangkit dari duduknya; melangkahkan kedua kaki jenjangnya sembari menjawab telpon dari temannya itu.

Gue menghebuskan nafas sekaligus menetralkan detak jantung yang mulai berdetak secara tak beraturan.

'Cuma bilang kangen kenapa susah banget sih? ARGHHH.'

Gue merasa diri gue didesak oleh keadaan untuk mengatakan yang sejujur-jujurnya apa yang ingin gue sampaikan.

'Gue harus mulai darimana..'

“Dek, maaf ya gua balik duluan. Lo gapapa kan gue tinggal sendiri disini? Tadi kawan telpon katanya menejer kecelakaan. Makanya gua mau ke rumah sakut buat jenguk.”

Gue terdiam, menatap lawan bicara dengan sedikit kaku. “Ah.. Iya gapapa kak. Gue juga bisa pulang sama ojol kok. Hati-hati ya kak dijalan, masih ada hari esok untuk bermain kok.” jawab gue yang diakhiri senyuman terpaksa.

“Iya dek. Makasih ya atas waktunya. Gua pamit.” Kak Sunoo ambil tas selempangnya, kemudian meninggalkan gue seorang diri di kafe ini.

“Yah oke, padahal gue baru mau jawab pertanyaan nya. Gue gapapa.”

'Masih ada hari esok kan?'

image

jujur admin kangen selca sunki coyy. kapan sih mereka selca sekalian bikin thread? 😭 btw, ini admin ngetiknya sambil denger lagu fever (part sunki, YTTA) 😭


Hembusan angin malam begitu kencang, membuat Ravi mau tidak mau harus mengenakan jaket untuk menghampiri seseorang yang tengah duduk sendiri di rooftop sekolah.

Saat langkahnya mulai mendekati sosok yang ia tuju, tiba-tiba saja angin yang mengenai wajahnya membawa aroma feromon yang tak asing baginya. Wanginya sangat manis, membuatnya tak sabar bertemu dengan sosok ber-feromon manis itu.

Sayup-sayup terdengar suara isak tangis, membuat Ravi mempercepat langkahnya. Kedua matanya membulat kala mengetahui siapa yang menangis.

“Sam?” Ravi langsung duduk tepat disamping Sam yang sedang menangis. “Lo kenapa nangis?”

Sam sontak menoleh, menghapus air mata serta ingus yang menghiasi wajahnya. Saat ingin menjawab pertanyaan Ravi, Sam tak kuasa mengeluarkan satu kalimat dari mulutnya. Sebagai gantinya, Sam ekspresikan jawaban yang tertahan dengan memeluk erat tubuh Ravi.

Ia menangis sejadi-jadinya.

“RAVIIII!” Sam berteriak, wajahnya ia tenggelamkan pada dada Ravi. Ia tak pedulu jika ingusnya menempel pada baju Ravi nantinya.

“Eh lo kenapa?” Tanya Ravi, dengan ragu; perlahan ia membalas pelukan yang diberikan oleh Sam.

Sam melepaskan pelukannya, sembari menetralkan nafasnya; ia perlahan mulai bercerita apa yang kini ia rasakan; rasa dimana ia sangat khawatir akan kedua orang tuanya, serta nasib dunia hybrid dalam waktu dekat.


“Ah, i know what you feel baby.” Ravi kembali memeluk erat tubuh Sam; ia memeluk tubuh Sam seolah masalah kemarin dengan Sam sudah sirna begitu saja.

“Aku mau pulang tapi gak dibolehin, Ravi..” Tutur Sam diselingi suara sesenggukan, ciri khas setelah orang menangis.

“Jangan sayang. Jangan. Turut sama orang tua lo ya? Gua gabisa bantu apa-apa selain bisa bantu do'a serta memeluk lo kalo lo lagi butuh.” Ravi mengelus lembut punggung Sam.

“Gua juga mau minta maaf selaku warga vampire, karena kaum gua suka adu bacot sama warga werewolf, jadinya kalangan lo yang jadi imbasnya.” Ravi mengulum senyum, “Dan ya, gua yakin petinggi hybrid pasti dapat persetujuan kok dari petinggi vampire atau werewolf. Aneh gak sih kalau para petinggi dari dua kubu nolak kehadiran kaum hybrid untuk tinggal di bumi mereka? Padahal gara-gara mereka kaum lo terancam dibumi hanguskan oleh selene.” Sambung Ravi.

“Lo nurut ya? Percaya sama gua. Kalo tebakan gua salah, lo bebas buat caci maki gua, Sam. Anggap aja cacian itu balasan dari rasa egois gua tepat sebulan yang lalu.” Ravi mengusak gemas pucuk kepala Sam, pun secara tak sadar Ravi diam-diam mengeluarkan feromon dominan nya; dengan maksud memberi peringatan jika ada alpha vampire atau werewolf ingin mendekat.

“Gak perlu minta maaf Rav, rasa egois mu juga aku udah maafin dari lama. Jujur ku kira kamu bakal kenapa-napa tapi ternyata dugaan ku salah.” Sam melepaskan pelukannya, mengusap air mata yang sudah mengering; begitupun ingus yang ingin keluar dari lubang hidungnya.

“Lo gatau aja semenjak lo pindah kamar, gua makin berubah. Bahkan pernah disuatu hari gua hampir kejang-kejang kayak waktu itu tapi untungnya langsung ditangani sama tim PMR.” Ravi mengalihkan pandangannya pada langit malam yang dihiasi jutaan bintang yang menyala dengan cantik.

“Iyakah? Aku.. Gatau..”

“Gapapa manis. Gua juga sekarang gapapa kok.. Oh ya, nanti saat halloween mau bareng gak?” Ravi kembali menatap wajah Sam, dikukir dengan senyuman kecil dari bibirnya.

“Boleh, tapi aku gapunya kontak kakao kamu Ravi..” Jawab Sam dengan nada polos.

“Mana hape lo? Sini gua save nomor kakao punya gua.”

“Ini” Sam mengasongkan handphonenya ke Ravi. Tanpa basa-basi Ravi meraih handphone Sam, lalu mengetik nomor miliknya sembari tahan tawa.

“Dah. Yuk balik ke asrama. Udah larut malam nih, gabaik buat lo karena malam rawan banyak vampire yang berlalu lalang.” Ajak Ravi sembari menyodorkan handphone Sam. Saat Sam ingin mengambil handphone miliknya, tiba-tiba ditarik lagi oleh Ravi.

“Apaaa lagi Ravi?” Cibir Sam dengan kesal karena handphone miliknya ditarik, tak sempat ia raih.

“Gua anterin ya ke asramanya?” Tanya Ravi dengan nada sedikit ngeledek.

“Iya boleh, tapi siniin gak hape kuuu!!!” Sam cemberut kesal, mencoba meraih handphone miliknya yang digenggam oleh Ravi.

'Sam lo gemes banget sih cemberutnya. Haha..'

Zaidan POV

image


Kali ini gue sama Wildan singgah di rumah makan yang dimana tempat duduknya lesehan (duduk di lantai). Terlihat ramai pembeli, entah makan di tempat atau dibawa pulang.

Kini gue duduk didepan meja yang dimana kedua mata gue bisa saling tatap dengan Wildan. Sebenarnya yang bikin gue kesal adalah, kenapa Wildan selalu mempamerkan hasil dari gymnya? Jujur ini sedikit bikin gue gondok.

Selama menunggu pesanan makanan tiba, kedua mata gue tak lepas dari layar handphone. Padahal apa yang gue lakuin hanya alibi untuk mengelabui Wildan (padahal gue cuma geser-geser layar hape demi gak natap muka si Wildan).

Setelah seperkian detik, gue mencoba sedikit melihat apa yang sedang dilakukan oleh Wildan. Sontak pandangan gue menatap sepenuhnya ke arah Wildan.

“Jangan dilepas jaketnya!” Perintah gue dengan nada sedikit keras. Melihat Wildan melepas jaket, dan memamerkan ototnya kembali membuat gue kesal.

“Gamau ah, gerah nih” Wildan menimpali perintah gue sembari mengelap keringat yang keluar dari tengkuknya. Melihat hal itu gue makin geram. Gue langsung pindah posisi duduk tepat disamping Wildan.

“Pakek gak jaketnya!” Gue mengasongkan jaket yang dilepas oleh Wildan. Memasang wajah ngeledek, jujur gue liatnya makin kesal. Gue menghirup nafas dengan dalam, kemudian gue hembuskan dengan kasar. “Wildan, pakai ya jaketnya? Banyak orang yang liat loh. Jangan pamerin otot sembarangan ih!” Katakanlah gue kehabisan kesabaran, memang benar. Seketika gue memasang wajah masam kepada Wildan.

Wildan yang sedang melihat gue hanya tahan tawa. Entahlah, bagi gue sedaritadi gak ada yang lucu. “Kenapa cemberut gitu sih? Kan jadi keliatan lucunya tau.” Ledek Wildan. Entah gue yang lagi moodnya jelek atau emang gabisa kontrol emosi, akhirnya gue peluk erat tubuh Wildan.

“Jangan bikin aku nangis..” Gue menenggelamkan wajah pada dada bidang Wildan, serta menyamankan posisi. Mendengar celotehan gue, Wildan sontak mengelus pucuk kepala gue dengan begitu lembut.

“Sayang ak-”

“Mas ini pesanan makanannya.”

Mendengar suara servant mengantarkan makanan milik kami berdua, gue sengaja makin larut dalam dekapan Wildan. Mengerti akan hal itu, Wildan langsung meminta servant untuk membungkus makanan dan minuman.

“Maaf mas, tolong dong makanan sama minumannya dibungkus aja. Sepertinya saya dan kekasih saya makan dan minum di rumah aja.” Pinta Wildan dengan nada sopan. Mendengar permintaan Wildan, awalnya ekspresi sang servant sedikit terkejut saat mendengar kata 'kekasih', karena yang ia liat kekasih Wildan tuh cowok.

“Ah baik, nanti mas langsung ke meja kasir aja ya untuk mengambil pesanannya.” Sang servant sedikit menunduk, lalu membawa pergi pesanan Zaidan dan Wildan untuk dibungkus.

“Sayang, ayo kita pulang. Jangan nangis. Nanti aku pake jaketnya deh.” Tutur Wildan saat merasakan bajunya lepek akibat dari air mata gue. Gue melepaskan pelukannya, lalu menatap wajah Wildan sembari mengusap air mata di pipi.

“Jangan nangis ya, nih aku pake lagi jaketnya.” Wildan kembali memakai jaket milik gue dengan ekspresi wajah tersenyum.

“Dah, ayo kita pulang. Kita makan di rumah aja biar aku pamer ototnya ke kamu aja. Haha”

“Ayo.” Jawab gue dengan nada melas.

Zaidan POV

image


Kali ini gue sama Wildan singgah di rumah makan yang dimana tempat duduknya lesehan (duduk di lantai). Terlihat ramai pembeli, entah makan di tempat atau dibawa pulang.

Kini gue duduk didepan meja yang dimana kedua mata gue bisa saling tatap dengan Wildan. Sebenarnya yang bikin gue kesal adalah, kenapa Wildan selalu mempamerkan hasil dari gymnya? Jujur ini sedikit bikin gue gondok.

Selama menunggu pesanan makanan datang, kedua mata gue tak lepas dari layar handphone. Padahal apa yang gue lakuin hanya alibi untuk mengelabui Wildan (padahal gue cuma geser-geser layar hape demi gak natap muka si Wildan).

Setelah seperkian detik, gue mencoba sedikit melihat apa yang sedang dilakukan oleh Wildan. Sontak pandangan gue menatap sepenuhnya ke arah Wildan.

“Jangan dilepas jaketnya!” Perintah gue dengan nada sedikit keras. Melihat Wildan melepas jaket, dan memamerkan ototnya kembali membuat gue kesal.

“Gamau ah, gerah nih” Wildan menimpali perintah gue sembari mengelap keringat yang keluar dari tengkuknya. Melihat hal itu gue makin geram. Gue langsung pindah posisi duduk tepat disamping Wildan.

“Pakek gak jaketnya!” Gue mengasongkan jaket yang dilepas oleh Wildan. Memasang wajah ngeledek, jujur gue liatnya makin kesal. Gue menghirup nafas dengan dalam, kemudian gue hembuskan dengan kasar. “Wildan, pakai ya jaketnya? Banyak orang yang liat loh. Jangan pamerin otot sembarangan ih!” Katakanlah gue kehabisan kesabaran, memang benar. Seketika gue memasang wajah masam kepada Wildan.

Wildan yang sedang melihat gue hanya tahan tawa. Entahlah, bagi gue sedaritadi gak ada yang lucu. “Kenapa cemberut gitu sih? Kan jadi keliatan lucunya tau.” Ledek Wildan. Entah gue yang lagi moodnya jelek atau emang gabisa kontrol emosi, akhirnya gue peluk erat tubuh Wildan.

“Jangan bikin aku nangis..” Gue menenggelamkan wajah pada dada bidang Wildan, serta menyamankan posisi. Mendengar celotehan gue, Wildan sontak mengelus pucuk kepala gue dengan begitu lembut.

“Sayang ak-”

“Mas ini pesanan makanannya.”

Mendengar suara servant mengantarkan makanan milik kami berdua, gue sengaja makin larut dalam dekapan Wildan. Mengerti akan hal itu, Wildan langsung meminta servant untuk membungkus makanan dan minuman.

“Maaf mas, tolong dong makanan sama minumannya dibungkus aja. Sepertinya saya dan kekasih saya makan dan minum di rumah aja.” Pinta Wildan dengan nada sopan. Mendengar permintaan Wildan, awalnya ekspresi sang servant sedikit terkejut saat mendengar kata 'kekasih', karena yang ia liat kekasih Wildan tuh cowok.

“Ah baik, nanti mas langsung ke meja kasir aja ya untuk mengambil pesanannya.” Sang servant sedikit menunduk, lalu membawa pergi pesanan Zaidan dan Wildan untuk dibungkus.

“Sayang, ayo kita pulang. Jangan nangis. Nanti aku pake jaketnya deh.” Tutur Wildan saat merasakan bajunya lepek akibat dari air mata gue. Gue melepaskan pelukannya, lalu menatap wajah Wildan sembari mengusap air mata di pipi.

“Jangan nangis ya, nih aku pake lagi jaketnya.” Wildan kembali memakai jaket milik gue dengan ekspresi wajah tersenyum.

“Dah, ayo kita pulang. Kita makan di rumah aja biar aku pamer ototnya ke kamu aja. Haha”

“Ayo.” Jawab gue dengan nada melas.