sebuahpercakapan

sebuahpercakapan

-this is a random scene, not related to #sebuahpercakapan storyline. i just let out my midnight thought and write.


the first time someone kissed him on the forehead (the one that first appeared in his memory, that is), was his mom.

he was 6 years old and came home with a bloody forehead because someone had pushed him down the steps in front of the school yard.

his mom rushed him to wash the wound on his forehead and applied a bandage on it. they sat across each other and the woman asked,

“did you cried?”

“no! i'm a big boy!!”

his mother lets a laugh before reminded him to be careful and to take care of himself next time.

she then had her hands on the back of his head, pulled him towards her and gave him a kiss on the forehead.

“Kala, you know that it's okay to cry, right?”

“but my friends said boys don't cry!”

the woman laughed, “next time, cry.”

so more than 25 years later, after he left a kiss on Aine's forehead as a symbol of comforting, adoring, apology and all of his feelings he could mustered;

Ransi Kalandra lets a silent sob as he strolled his way along the airport hallway, not minding the cold that struck his body because of his soaking wet tuxedo jacket. yeah, he ran his ass off here from the parking lot not minding the rain.

because all he could feel right now is a huge pang on his chest.

and then he cried.

a more little glimpse from the wedding date

***29***

“Jadi, gimana rasanya?” Danish menyodorkan air mineral ke tangan kiri Aine yang menganggur. Di tengah pandemi dunia yang saat ini sedang mewabah, waiting room bandara Soetta hari ini terlihat cukup sepi. Aine memasuki libur semester bersama Danish yang mengambil cuti kerja selama satu minggu akan pulang ke kampung halaman mereka di Lampung.

“Apanya?” Tanya Aine sambil membuka tutup botol dan menarik maskernya ke bawah untuk menegak air mineral, kehausan.

“Kondangan sama Pak Kala.” Muncul senyum kecil di balik masker yang dikenakan Danish.

Hari ini mereka sama-sama pakai jaket denim, janjian, Aine yang minta supaya keliatan keren ala airport fashionnya idol-idol kpop. Iya, Aine serandom itu. Danish yang sudah khatam tingkah anak itu dari jaman SMA nurut aja.

“Enak, ada zuppa soup.”

“Lo diajak nikah juga ga?”

Yang bertanya ngakak, Aine kesedak minumannya sendiri. “Hahaha panik lu.” Danish membantu Aine menepuk-nepuk punggungnya.

“Tolong mulut lo di sekolahin.” Aine bercanda. “Gak ada ngajak nikah, dia cuma nawarin pudding. Terus abis itu kan acara bebas, gue kayak kambing bego gitu abisnya temen-temennya becanda bapak-bapak semua, gue kabur aja hunting makanan, eh terus dia naik ke panggung kecil gitu buat speech. Ganteng banget, Dan. Asli, ganteng, banget. Gue sampe bengong pas dia nyamperin gue habis turun panggung.”

Kalau ditanya bagaimana perasaan Danish melihat sahabatnya satu ini, dia sayang sekali, sampai rasanya melihat Aine yang antusias tiap cerita tentang sosok pria berumur 32 tahun yang dikaguminya itu menaruh afeksi berlebih terhadap Aine, Danish bersyukur luar biasa. Perempuan di sebelahnya ini tidak tau bagaimana rupa asli kedua orang tua yang melahirkannya dan bagaimana dia bisa diletakkan begitu saja di depan pintu panti duapuluh tahun yang lalu tapi tidak pernah sekalipun dia merasa pantas membenci mereka dan selalu bilang 'mereka pasti punya alasan kenapa tidak punya kuasa untuk membesarkan gue'. Aine punya banyak alasan untuk benci pada dunia tapi urung dilakukannya dan Danish sebegitu bersyukur sahabatnya punya sosok yang bisa diandalkan di perantauan selain dirinya, yang sampai saat ini masih bergelut dengan proses aktualisasi diri, baik untuk karir dan hubungannya sendiri.

“Tapi serius deh, kalau diajak nikah, lo mau gak?”

“Ya maulah, tapi nggak sekarang, Dan. Enggak dengan gue yang masih kaya oncom gini.”

Danish mengangguk, “I see.

Aine melihat sekeliling dan menghembuskan napas, melanjutkan.

“Gak tau sih, Dan. Kayak, as much as I want to be with someone, gue harus stabil dulu gak sih? Harus tau bakal menetap dimana, kerja dimana. Kangen tuh gaenak.”

“Iya paham sih, Ne.”

“Kalau lo semua nikah, gue nangis kayaknya.”

Panggilan untuk masuk ke gate pesawat menggaung di sudut-sudut hall waiting room, orang-orang di kanan kiri mereka bergegas berdiri dan mengangkat bawaan masing-masing tak terkecuali kedua sahabat itu. Untuk rehat dari riuhya ibukota dan gedung-gedung tingginya, dari tumpukan buku-buku di perpustakaan yang harus di tandai kutipan-kutipannya, dari makanan cepat saji yang dipesan lewat aplikasi online sebab tidak ada ibu dan dapurnya yang setiap pagi mengepulkan asap, dari selipan selipan tangis di kamar mandi kantor dan sudut ruang bimbingan dosen.

-

Di pesawat, kepala Aine berputar bagai menampilkan kaleidoskop, kepingan-kepingan kecil yang terjadi di hari sebelumnya.

-

Aine Fala

Rasanya tempat pernikahan berlangsung ada di dunia yang berbeda dengan tempat lainnya di seluruh bumi yang sudah mau mati. Maaf menyinggung mati di kalimat yang sama dengan pernikahan. Ini pasti efek mendengar playlist punya Nabil yang dinamai jujur capek tapi gak boleh mati. Namanya aneh tapi gue rasa sangat sesuai dengan kehidupan sehari-hari.

Haha, lebay ya. Padahal yang gue tanggung di atas kedua kaki cuma badan sendiri. Sesekali nilai kelompok yang gue ketuai. Selebihnya, ya, cuma diri. Yang gue khawatirkan cuma nilai dan acap memilih kabur ketika semesta terasa gelap sedangkan mama dan papa yang tetap bekerja apa pun yang terjadi karena memikirkan dua mulut yang harus disuapi.

Mama, papa, yang bersedia membesarkan gue yang mereka panggil dengan 'kakak' yang bahkan bukan tercipta dari darah dan daging kalian sendiri, sejak pertama kali menikah hingga sekarang, sudah berapa banyak kesedihan yang kalian teguk sendiri karena ternyata janji berbagi suka duka kadang tidak begitu berarti? Berapa banyak kebahagiaan yang mengisi relung hati karena melihat orang yang dicintai begitu bangun pagi? Apa rasanya masih sama setelah bertahun-tahun?

Mama, papa, apa yang membuat kalian berani berjanji sehidup semati? Karena di kepala kakak, konsepnya masih abstrak sekali.

Ada tepukan di bahu tanda gue sudah terlalu lama memperhatikan dekorasi dan melanglang buwana di pikiran sendiri. Kalandra, sosok yang acapkali gue panggil sesukahati dengan Pak, Om, Mas seringnya Bang, melambaikan tangan dengan cengiran yang timpang, meledek. Tanpa suara dia bertanya apa gue sudah kembali fokus. Gue mengangguk lalu dia mengusak rambut yang pontang-panting gue jaga supaya tetap rapi di tengah sesaknya KRL.

Jujur, pria umur tiga puluhan ini acap bikin emosi tapi gue gak bisa gak membayangkan bagaimana jika gue dan dia bisa berjalan bersama dengan status lain minimal dua kali sehari. Seringnya pas boker dan lupa bawa ponsel, sih. Kamar mandi tuh magis.

“Pestanya dimulai kapan?”

“Undangan jam sepuluh, sih.” Gue hampir emosi karena ini masih jam delapan dan buat sampai ke sini ada kereta paling pagi yang harus dikejar. “Tapi mau foto-foto panitia dulu. nanti gue gandeng dikit santai, ya?”

Kalau gak ingat Pak Kala punya apart di thamrin dan bisa melindas gue tanpa masuk penjara, gue mau mencakar mukanya. Gue bukan lagi anak-anak tapi tahu kan mempermainkan anak kecil itu ilegal? Bagaimana kalau tiba-tiba jantung gue yang berharga, karena sudah didaftarkan untuk donor sejak gue punya ktp, gagal berdetak dan gak ada lagi yang membantu gue bernafas.

Oke, memang kata orang kaulah separuh nafasku tapi paham kan kenapa dia gak seharusnya dengan santai menaruh kedua tangan di dalam saku celana bahan dan terlihat seperti lukisan setelah melempar canda yang hampir, hampir, melewati batas.

Sebut gue bodoh karena begitu saja ambyar, tapi bisa apa ketika berminggu-minggu ini gue kangen sama dia, gue lelah dan resah karena kuliah dan lama-lama hubungan kami makin kabur. Rasanya gue sendiri yang membuat garis merah menyala di kepala saat pertama kalinya dia membasuh ragu di kepala dengan sejuta kata yang buat gue gagal paham. Bagaimana bisa gue gak pernah terpikir dengan caranya?

Jam rolex di tangannya menunjuk angka delapan dan satu. Gue hafal betul jam yang ini adalah model lama yang dibeli second. hanya dipakai oleh Pak Kala di okasi-okasi istimewa. Jam bermerek pertamanya. Dibeli karena dia perlu tampil rapi dan menawan di depan partner. Sekarang dia sendiri adalah partner, konsultan berlisensi paling muda di Indonesia.

Lebih dari itu semua, Kalandra hadir dengan berbagai cara di saat gue susah. Kata-kata yang gue ingat sampai sekarang, yang gue baca lagi di kala resah, buku-buku mahal yang memotivasi gue belajar, ajakan-ajakan makan yang membuat gue punya semangat untuk kembali duduk tegak sampai kelas selesai, mobil yang gue dan tiga sahabat gue pakai ke Bandung, rumah ketika gua gak punya tempat pulang (figuratively dan literally), dan sosoknya sendiri.

“Mau minum gak?”

“Katanya mau foto?”

“Masih pada ngobrol sama keluarga, tuh. Gue nanti gabung kalau Bang Bimo gabung, dah.”

Bimo yang dimaksud oleh Kala adalah pemuda tiga puluh empat tahun yang sudah punya anak satu. Anaknya lucu banget, deh. berisik, tidak punya takut dan banyak bertanya. Gue kayak melihat diri sendiri di dalam Cindy. Bedanya gue gak seberani bocah keren itu.

“Itu yang gandeng Cindy mantan istrinya Bang Bimo?”

“Iya. Dulu paling rajin jewer Gara kalau males kuliah.”

“Wah?”

“Biasa, Gara maunya kuliah di kampus lain tapi dipaksa masuk kampus kita. Padahal keluarganya mampu nyekolahin di tempat lain. Kalau gak ada Dian, anak itu gak lulus. ralat, kalau gak ada Dian, gue, Gara sama Bang Bimo mana ada yang lulus.”

“Lo tukang bolos juga, Bang?”

“Kadang laper sampai gak bisa bangun.” Kala mengingat dengan senyum miris. Hati gue teremas. Manusia ini cuma 182 sentimeter tapi apa-apa yang dia simpan dalam sosoknya jauh, jauh, jauh lebih besar dari itu. Gue gak tau harus melebarkan langkah bagaimana lagi supaya bisa memperkecil jarak antara kami setengahnya saja. “Gue dulu miskin tapi gak suka dikasianin. Lagian jaman dulu mana ada yang benar-benar kaya gitu, paling Gara. Yang punya motorola cuma dia.”

“Terus? Dibangunin Dian Dian ini?”

Kala ketawa dan menoyor gua pelan. “Mamanya Cindy itu.”

Benih benih iblis dalam diri gue mulai cemburu gak tau diri. Padahal waktu Kala kuliah, gue masih SD kelas satu dan gak bisa ngapa-ngapain walau kami sudah berkenalan saat itu.

“Dian sering datang bawa nasi bungkus. disumputin dalam baju karena di kosan cowok mana ada yang bisa tenang dengar suara plastik. Pasti dikerubutin buat minta isinya.” Kala ketawa kecil. “I owe her a lot.

Like I owe you.

“Gue gak berjasa banyak, Ne.”

Salah.

“Lo dari awal punya semuanya. Gue cuma bantuin biar lo pakai aja.” Kala menepuk bahu gue dalam tepukan pelan yang dari luar gak ada rasanya, tapi di dalam sini gue rasa semesta gue dihujani tanda tanya. “Lagian, gue yang belajar banyak dari lo.”

Salah.

“Belajar apa?”

“Jadi bocah.”

“Dih, ngeledek.”

“Beneran.” Kala melayangkan tangannya. hampir mengusak rambut gue, tapi urung. Sepertinya dia ingat sehabis ini kami bakal foto bersanding dengan mempelai. “Gue gak begitu tahu rasanya... suporteran, excited nunggu film dirilis, mencoba-coba rasa boba, menyambung-nyambungkan lirik lagu dengan hidup, ngumpulin sesuatu, dan banyak lagi. Kalau kita gak pernah kenal, belum tentu gue belajar itu semua.”

“Lo punya banyak mahasiswa, pasti ketemu, Bang. Kebetulan aja gue jadi penanggung jawab waktu lo pertama kali ngajar.”

Tuh kan. Bayi dajjal dalam kepribadian gue menjawab dengan insekyur. Kata Nabil, harusnya gue menjawab dengan terimakasih semanis-manisnya saat dipuji, tapi gak bisa. Rasanya geli sebadan-badan ketika dipuji lebih dari yang gue rasa gue lakukan. Beberapa geli gue nikmati, sih, tapi tetap aja reaksi otomatis gue untuk pujian adalah menggeleng kecuali dipuji paling jago main sepeda di antara anak-anak sekomplek.

“Engga, kok, gue juga gak kepikiran mau kenal sama mahasiswa kalau yang gue kenal pertama kali bukan lo.” Kala nyengir. “Tau sendiri gue bapak-bapak. Rasanya gak bakal nyambung kalau ngobrolnya sama maba. Makasih ya udah cocok sama gue.”

Bayi dajjal dalam kepribadian gue salto ke kawah gunung yang meletup karena Kala tidak terdengar berdusta.

Lampu-lampu yang bergantung di pepohonan menyala. Pahatan angsa dari es dikelilingi buah-buahan yang terlihat segar, ada air mancur coklat kecil yang buat gue diketawain Kala karena tak bisa melepaskan mata. Ada zuppasoup dan starbucks. Gue sampai memijat kepala. Ini yang katanya menghemat budget karena cuma modal berdua. Duit mereka sebanyak apa, sih?

Gue tahu dunia tidak adil, tapi melihat dua manusia rupawan yang sama-sama mapan menemukan kepingan puzzle pelengkap mereka di dalam satu sama lain membuat gue merasa... iri. Gue jarang sekali merasa ingin memiliki yang orang lain punya, tapi hari ini gue ingin memiliki keberanian sepasang pengantin di atas sana.

Pasti banyak, banyak sekali yang harus dipertimbangkan ketika ingin menyatukan linimasa hidup dengan orang lain. Menikah bukan cuma berjanji lalu tidur bareng. Menikah artinya terikat, artinya mau membagi dan mau menerima.

Orang suka beranekdot tentang kehidupan rumah tangga. Bagaimana bila setelah menikah baru ketahuan ternyata dia tidurnya ngangkang kaya kodok atau punya kebiasaan menumpuk cucian sampai seharian. Gue sendiri lebih takut kalau harus membagi yang jelek-jelek dalam diri gue. Bagaimana bila seseorang menikah setelah bertahun-tahun menjaga kekurangannya rapat-rapat dan gagal menemukan cara untuk membagi gelisahnya bahkan setelah janji sehidup semati lalu tersiksa selama pernikahannya? Bagaimana bila cinta itu terbakar habis seperti matahari yang suatu hari akan mati?

Pertanyaan-pertanyaan itu berhasil dilawan dengan tangan orang lain dalam genggam dan rasanya gue gak pernah seingin ini punya keberanian orang lain.

“Ada yang nanya kenapa buru-buru amat nikahnya. Kalau kagak buru-buru Cecil keburu waras, dah. Gak mau sama gua.”

Gue ketawa. Semua hadirin kecuali beberapa orang tua yang mesem-mesem juga.

“Alasan seriusnya, sih, gue gak pernah bayangin bangun pagi terus liat muka lain. Sumpah, Cil, mending bangun liat kamu tidurnya mangap dikit daripada liat luna maya.”

Gue mendengar Pak Kala mengumpat sambil melepas kacamatanya buat ketawa. Pemain piano dan biola yang disewa bersama pemusik lain untuk memeriahkan suasana sengaja memainkan nada-nada yang pilu. Entah gagal menangkap humornya atau sengaja karena gue merasa mata gue memanas.

“Aku seneng sebenarnya dimarahin kamu biar inget pulang soalnya sewa apartemen mahal. Sayang kalau ditidurin cuma pas sakit, ya? Aku inget banget kamu dateng-dateng ke apart masih pake celana tidur saking sayangnya sama aku—”

“Lebay, apart kita satu gedung.”

“Kondusif, dong, istri.”

Rasanya hangat. Hangat sekali mendengar panggilan istri. Seolah diingat mereka sudah di titik yang begitu jauh dari awal berkenalan. Gue gak bisa gak melirik Pak Kala. Kedua matanya juga sedang menatap ke sini.

Tiga detik. Tiga detik sampai Bang Gara kembali bicara dan kami lagi-lagi membuang muka.

“Waktu itu, aku takut. takut kamu marah, aku sendiri lagi emosi, kalau denger kamu ceramah perkara kesehatan kayanya kita gak nikah sekarang, tapi yang pertama kamu lakuin adalah ambilin aku obat. Tahu aku gak bisa minum obat kalau gak digerus terus kita dimarahin dokter kamu soalnya obat gak boleh digerus sembarangan. Tapi, toh, aku sembuh. Kayanya aku sembuh karena kamu, deh, selama ini.”

“Cil, waktu pertama kali ketemu. Aku masih lulusan gak tau diri yang cabut dari kewajiban kerja sama negara. Gak punya apa-apa. Kamu beneran gak tau siapa cowok lusuh yang dicopet di jatinegara tapi gak ragu ngasih gua duit buat balik. Kalau waktu itu gua tukang tipu kan rugi banget cepek, Cil.”

“Untung gua kepikiran lari ngejer lu buat minta kontak waktu itu. Kalau gak, gua di bawah sana kali nonton lu nikah sama orang lain. Kalau gak, gua nangis kali di luar gedung karena bukan mantennya.”

“Lebay.”

Waktu Kak Cecilia nyedot ingus, gue bisa dengar banyak tamu di sekeliling nyedot ingus mereka juga. Terkutuk background musik yang sedih banget padahal gue yakin cewek-cewek yang nangis make up-nya minimal setengah juta sendiri. Gue mengusap pipi dan merasakan bekas jerawat yang mengering. Keapa gue gak minta dandanin lebih tebal sedikit ya sama Nabil.

Habisnya, suasana ini begitu magis. Latarnya, cahayanya, atmosfernya. Bagaimana gue bisa melupakan sedikit tentang ujian yang baru selesai dan fokus berangan-angan apa bagaimana nanti kalau gue yang jadi mempelai. Pakai adat gak, ya? Tapi, gue juga mau pernikahan yang cuma berisi teman-teman. Gue mau menyapa semua orang dan bercengkrama. Sekalian pamerlah!! Liat gue kawin!! Gitu.

Gue menoleh dan lagi-lagi menemukan Pak Kala sudah melihat ke sini lebih dulu.

Lagi-lagi gue berandai kalau tadi pagi minta didandani Nabil dengan foundationnya, warna lipstik yang lebih bold dan maskaranya. Mungkin gue dicium kali, ya.


Kala membuka jendela di belakang meja kerjanya. Langit mulai berubah warna menjadi oranye dan suara orang-orang mengaji sudah menderu di berbagai penjuru pertanda hari sudah hampir malam. Ingin pulang tapi ia malas menghadapi macet yang sudah mutlak di jam segini. Saat ini, Aine pasti sudah duduk manis di dalam pesawat menuju kota kelahirannya. Libur semester selama 3 minggu dan selama itu Kala harus tahan-tahan untuk tidak impulsif membeli tiket yang saat ini sedang mengalami penurunun harga setengahnya untuk beberapa destinasi, termasuk ke Lampung.

-

Ransi Kalandra

Gara brengsek. Gua gak tau bisa sebangga ini sama orang cuma karena dia menikah. Orang yang benar-benar gua sayangi selain keluarga di dunia ini cuma segelintir dan yang menikah di antara mereka baru Bimo dan Gara. Di pernikahan Bimo dulu, gua cuma fokus ke makan gratisnya aja. Gua gak memikirkan susahnya mau kawin dengan legal begini. Tiga belas tahun setelah pernikahan Bimo, gua disuguhi lagi pemandangan orang nangis di altar, tapi bedanya kali ini gua paham sedikit resahnya.

Gara berkali-kali mau nyerah. Bukan karena Cecil, tapi karena dirinya sendiri, karena semesta. Bocah sombong itu tidak mau menemui orang tua Cecil tanpa apa-apa. Padahal memulai bisnis gak mudah, gak cepat. Gara takut Cecil ia buat menunggu terlalu lama, padahal gua yang gak kenal-kenal amat sebelumnya aja bisa lihat Cecil mau menunggu lima puluh tahun lagi sekalipun.

Lebay.

Tapi, kalau liat bagaimana mereka saling tatap di ruangan ramai seolah dunia ini kosong dan yang berarti cuma hadir satu sama lain, kalian bakal paham.

Cinta semagis itu. Pernikahan yang ruah diisi cinta semagis itu. Rasanya gua mau menarik bahu perempuan di samping gua dan mengajaknya begini juga.

Aine pernah memaksa gua marathon marvel dan menjelaskan konsep multi semesta. Mungkin di semesta lain yang iron man-nya masih terbang di langit sana, gua berlutut di hadapan Aine lalu dia bilang iya.

Lampu-lampu yang menggantung di pepohonan pesta ini pasti ketawa kalau bisa ketawa. Gua sayang banget sama anak ini. Sesayang itu sampai mencapai lampu di atas kalau ditegakkan, tapi sayang itu membuat gua ingin menjaganya dengan berbagai cara termasuk dari diri gua sendiri.

Gua gak selalu orang dewasa baik hati yang bisa menangkap semua gelisahnya. Gua sendiri punya emosi, punya masalah dan kekurangtahuan gua akan cinta membuat gua gak bisa menilai apakah Aine dan letupan-letupan masa remajanya bisa tetap baik-baik saja bila bertemu gua dalam versi lagi gak waras juga.

Makanya gua sempat dan sering menghilang apalagi beberapa minggu terakhir. Makanya gua gak mengirim pesan panjang yang isinya setelah gua baca lagi sampah abis padahal gua sudah janji akan jujur padanya juga.

Gua sayang sekali sama sosok ini sampai gak tahu gua lebih banyak betulan sayang sama sosoknya atau semua keremajaannya yang memerangkap. Gua sayang sekali pada pemilik dua bola mata yang begitu polosnya menatap ke sini sampai gak bisa berpikir bagaimana kalau dia dewasa dibawa dunia dan gua gak mampu menjaganya.

Bagaimana kalau gua bukan lagi orang yang superior darinya dan dia kehilangan tempat buat bertanya. Dia bilang senang kenal gua karena selama ini tidak banyak lagi yang bisa dia jadikan tempat bertanya. Tidak banyak lagi yang bisa beri dia validasi salah dan benar. Gua tahu dibalik sosoknya yang tegak terbentuk, dia gak suka disuruh membuat keputusan besar tanpa supervisi.

Lini pekerjaan yang gua jalani membuat angan-angan tidak boleh dilakukan tanpa dasar kalkulatif. Tapi, lihat gua sekarang, duduk di pernikahan sahabat sendiri dan berangan, bertanya-tanya, dan meragu ini itu soal tahun-tahun ke depan yang belum tahu bakal terjadi atau enggak.

“Sedih banget.” Aine berkata pada akhirnya. “Nanti giliran angkatan gue nikah bumi udah kiamat belum, ya.”

Gua gak kuasa lagi melihat matanya. memang boleh, ya, ada manusia segini berharganya.

“Lihat sekarang bencana di mana-mana karena bumi gak dijaga. Gue gak akan pakai plastik lagi dan isi seluruh petisi lingkungan di dunia supaya Nabil tetap bisa kawin. Kasian banget anak itu kalau keburu kiamat sebelum dia pakai gaun pengantin.”

Banyak sekali yang gua kerahkan untuk gak mengecup pipinya.

“Kenapa Nabil?”

“Dia yang bakal nikah pertama. Gue yakin.”

Gua ketawa. Membiarkan Aine meracau tentang rasa sayangnya terhadap sahabat-sahabatnya, terhadap bumi dan pikiran-pikiran lain yang lewat di kepalanya. Rasanya seperti dipeluk dan ditepuk di punggung.

Dunia akan mendewasakan Aine, itu pasti, tapi biarlah itu untuk nanti. Hari ini, salah satu hari termanis yang pernah gua lewati, dia duduk di samping gua, di tengah pernikahan, terus berbicara sampai gua menawarinya pudding.

Dia mengangguk.

-

#sebuahpercakapan

***28***

“Ini helm susah amat bukanya kayak brankas bank.”

Bibir Shanna mencebik lucu saat tangannya yang tidak juga dapat membuka ceklekan di tali helmnya. Ini helm yang Danish pinjam dari teman kos perihal kemarin saat team building kantor helm miliknya yang satu lagi terletak di beranda kos dan diguyur hujan. Kuyup. lalu sampai sekarang berakhir lembap karena matahari menghemat sinarnya sejak fajar hingga kunjung tenggelam.

Tadi siang, ada pesan yang masuk ke ponsel Danish berisi ajakan makan malam bersama sebelum besok Danish pulang ke kampung halaman di warung makan dekat rumah produksi tempat Shanna bernaung. Beberapa menit sejak adzan isya dari masjid sebelah berhenti, maka saat itu juga Danish menelepon Shanna. “Jadi mau makan geprekan?”

Disambut jawaban ragu dari Shanna. Lah, gimana. Gumam Danish dalam hati, namun cukup untuk Danish pahami.

“Makan nasi kulit yuk.” Wajah Shanna di seberang sambungan telepon makin keruh karena ia ingat betul perkara helm kekasihnya yang kemarin malam diguyur hujan. Sudah gapunya helm, pengennya makan yang jauh lagi. Lalu terdengar; pinjem helm anak kosan aja sih. Begitu kata Danish seakan paling solutif.

Jadi mereka disini, berdiri berhadapan dengan motor Danish yang telah terparkir rapih. Selepas rambut Danish yang kini bebas diterpa angin, helm di kepala Shanna belum juga lepas.

“Lo tuh ngelawak terus, sih.” Bola mata Shanna memutar malas saat Danish menghela napasnya kasar.

“Bantuin kek, Dan.”

“Sini.”

Bersama Danish adalah rentetan bahagia yang Shanna tidak pernah ekspektasikan. Jadi, ketika pinggir jari kelingking Danish tak sengaja bertemu dengan punggung tangannya, tepat di bawah dagunya sendiri, Shanna merasa ini semua lebih dari cukup.

Kaca depan pada helm yang Shanna kenakan sengaja dinaikkan. Kata Danish, dia tidak suka potrait yang dapat ia nikmati kala naik motor dihalangi apapun. Jadi, ketika pandangannya bertemu dengan bola mata Shanna karena dirinya terpaksa merunduk untuk membantu membuka kait tali helm, Danish bingung untuk meminta apa lagi jika sekarang Shanna bebas direngkuhnya.

Sepuluh detik.

Atau mungkin lebih dan kurang, Shanna tak tahu pasti. Yang jelas, sepuluh detik yang dia bulatkan itu adalah sekon yang rasanya entah mengapa jadi lebih panjang serta padat maknanya. Ada bunyi 'klek' hingga kaitan itu benar-benar terlepas. Ada banyak pilihan yang Danish lakukan pada Shanna namun malam itu, di malam sehabis adzan isya, tepat di depan kedai nasi kulit, Danish mengecup hidung Shanna sebelum helm itu benar-benar dilepas.

Toh, tukang parkirnya sudah kabur entah kemana. Memang ya, tukang parkir tuh datengnya waktu mau pulang aja. Danish bicara. Dan Shanna merasa itu cukup pantas untuk ditertawakan.

-

Jakarta di guyur hujan lagi saat Shanna memesan kulit ayam krispi untuk kedua kalinya. Beberapa menit lalu ada Danish yang berlari ke parkiran warung untuk menyelamatkan dua helm yang terletak di jok dan spion motor. Tergopoh-gopoh masuk kembali dengan dua tangannya yang penuh. Shanna, dengan sudut bibirnya berhias bekas sambal kini merapihkan poni laki-laki yang menjatuhkan bulir air itu.

Musim penghujan dimana air turun dengan awet-awetnya. Semoga hubungan mereka lebih dari bagaimana hujan turun di musim yang semestinya.

Dua es teh manis dengan gula pasir yang menumpuk di dasar gelas jadi saksi betapa Shanna enggan melepaskan pandang dari orang yang ia sayang. Entah Shanna sadar bahwa selama ini obrolan Danish lah yang paling betah ia dengarkan selain lagu-lagu kpop di playlist spotifynya dan cerita ibunya saat dirinya membantu memasak di dapur.

Danish punya rasa suka berlebih pada es batu. Dikunyah. Ada bunyi yang menyenangkan saat kekasihnya menggigit es itu sebelum melanjutkan candaannya yang ada-ada saja variannya setiap hari meski hanya lewat di chat dan obrolan via telepon karena mereka sama sibuknya.

Hah. Shanna ingin punya pabrik es batu jika Danish memang sebegini sukanya.

Saat tak lagi banyak tetes yang jatuh, Danish dan Shanna keluar dari warung membawa dua koin lima ratusan di tangan yang jika dikocok akan berbunyi kring kring menyenangkan. Untuk diberikan ke tukang parkir yang tadi ternyata melihat adegan kecup hidung. Dasar abege.

Lumayan larut setelah dua pasang kaki mereka memilih minggat. Selain itu, efek sehabis hujan. Mungkin. Oleh karena itu, harusnya Danish bisa jalan saja menembus rambu lalu lintas yang menyalang merah karena tidak ada kendaraan lain.

Namun siapa lah mereka jika tidak menyayang-nyayang waktu berdua. Motor Danish bahkan melaju sedikit terlambat meskipun rambu berganti hijau.

“Jalan, Dan.”

“Lah iya lupa.” Keasikan ngobrol. Keasikan mendengarkan. Keasikan berdua.

Keasikan jatuh cinta.

Ada Shanna yang terpantul dari kaca spion ketika Danish melirik. Tatapan yang bertumbukan dan meledak dengan transformasi paling sempurna dari kata cukup. Dari kata pantas. Dari kata layak. Dari kata yang belum ada di kamus besar bahasa indonesia karena mereka berdua bingung pula mendeskripsikannya.

“Dingin ga?”

“Lumayan.”

“Lagian gapake jaket.” Shanna punya hobi menggelitiki lutut Danish dengan jemarinya jika dibonceng. Namun Danish tidak masalah karena tidak ada kejut yang mengganggu saat Shanna melakukan itu.

Dagu Shanna ditaruh di pundak Danish, bertengger nyaman. “Gatau kalau bakal ujan lagi.”

“Yeee.”

Helm mereka sengaja diantukkan. Shanna pelakunya. “Gapapa. Nanti nyampe depan apart peluk. Dinginnya ilang.”

“Bisaan deh lo.”

“Bisa lah.”

. . .

“Iya, bisa.” Angguk Danish.

-

#sebuahpercakapan

***27***

“Udah cakep, kenapa sih?”

Aine berhenti mengusap lengan pakaiannya yang bebas dari kusut ketika jari-jari Kala melingkari pergelangan tangannya, setengah menahan agar Aine tak lagi merepetisi apa yang sudah ia lakukan sejak menit pertama mereka menginjakkan kaki di venue pernikahan Gara.

“Gue bau gak, Bang? Heels nya kurang tinggi nggak sih ini? Gue kayak kecil sendiri disini.” Aine bertanya khawatir.

“Mana ada bau deh, Ne. Gak perlu tinggi-tinggi juga, kita bukan mau fashion show.” Seolah memberi bukti lebih, Kala mendekatkan wajah untuk mendengus bahu Aine yang tegang.

“Bohong.”

Kala menghembuskan nafas, ingin bilang kalau anak ini cantik luar biasa hari ini, pakai baju terusan merah marun, kontras dengan hari-hari lain yang diisi dengan sepatu converse, celana jeans dan polesan lipstik seadanya. “Buat apa juga gue bohong? Udah gak perlu nervous.” Kata Kala diiringi kekeh pelan. Tangan Aine masih di dalam genggamannya, dan ibu jari Kala bergerak menenangkan.

Aine berusaha mengambil napas panjang, bahunya dipaksa lebih relaks—ada Kala, she'll be fine.

Aine tidak tau apa yang ia khawatirkan dari menemani Kala disini. Aine kenal Gara walau tidak dengan pasangan pengantinnya, harusnya tidak ada takut atas prasangka yang akan ia terima dari orang lain. Toh kalau ditanya, dia bisa memakai kartu dirinya sebagai adik perempuan Kalandra dan masalah selesai.

Lagi pula, Aine takut apa.

Ada senyum di wajah Kala, samar suaranya menyapa kolega dan kawan lama yang melewati mereka berdua dengan sepiring fillet ikan di tangan.

Atensi Aine turun ke sepatunya sendiri.

Aine takut ia tidak pantas berada di sini.

-

Aine menjauh perlahan dari gerombolan ramai, ingin berburu makanan enak di nikahan orang kaya. Gara dan pasangannya selesai mengucap janji. Kala dengan para bestman lain saat ini sedang mengabdikan momen, tidak ada pilihan lain untuk Aine selain menarik diri menuju meja buffet.

Garden party yang dihadiri beberapa kolega serta kerabat dekat Gara yang otomatis dikenal Kala juga, sehingga Kala bukan hanya jadi best man yang tugasnya jadi pelengkap di video cinematic berdurasi satu menit yang diposting di instagram saja namun ia senantiasa kesana kemari mengobrol dengan beberapa kolega yang datang, sudah seperti LO di acara kepanitiaan pikir Aine.

Aine terpaku menatap tumpukan pudding di meja, franchise kopi dan sushi ternama yang penuh antrian, tenant zuppa soup dan dimsum yang mengepul. Coba saja bisa mengajak Nabil, Ryan dan Danish kesini, pasti mereka sudah team up untuk antri di semua tenant.

“Ne?”

Terkejut, Aine menoleh kebelakang. Dari segala probabilitas yang mungkin terjadi di dunia, bertemu dengan teman kampusnya hari ini adalah satu yang tidak pernah Aine rencanakan sebelumnya.

“Eh, Rachel?” Aine gelagapan.

“Sama siapa, Ne? Lo temenan sama Mas Gara atau sama kakak gue?”

“Hah bride nya kakak lo, Chel?”

“Lah iya, makanya gue kaget kok lo bisa disini. Berarti lo temennya Mas Gara?”

Aine bingung harus menjawab apa, “G- gue... yaa kenal sama Bang Gara, tapi gue,” Ia menghembuskan nafas panjang, “Chel, please banget ya ini lo jangan bilang anak-anak, tapi gue disini nemenin Pak Kala.”

Bola mata Rachel membesar, luar biasa terkejut, “Anjir, lo nggak lagi bercanda kan, Ne?”

Aine menggeleng pasrah. “Sumpah.. Lo sama Pak Kala? Pacaran?” Rachel melihat kesekeliling venue mencari sosok dosen sekaligus sahabat kakak iparnya itu.

“Kagak, Chel, suer.”

I mean.. Gue sama anak-anak sih kan pada tau lo sama Pak Kala akrab tapi ya kalau gini ceritanya apalagi kalau bukan PACARAN tulul.” Suara Rachel meninggi, menarik sedikit atensi orang-orang di sekeliling mereka.

Aine pusing, bingung harus menjelaskan posisinya bagaimana pada temannya ini. “Chel, gue kepingin banget ngelakban mulut lo deh asli.”

“Um... Good day everyone.”

Aine dan Rachel menoleh ke arah sumber suara. Di sudut sana, di panggung kecil itu ada satu figur yang matanya tersenyum cerah menyapa para hadirin. Kala, yang tampak menawan dalam balutan serba hitam dan kaca mata yang bertengger di hidungnya.

Ia menarik nafas sebelum mengangkat microphone, digenggaman.

I would like to make a toast to the Grooms. I'm Kala, the groom's bestfriend. Before I start, I just wanted everyone to take a look at how beautiful this lovebird.

A true match made in heaven.

I’m honored to be able to stand up here, having the privilege to let everyone know what I see in them.

Well, Gara. It’s been more than a decade for you and me. And once you finally met your muse, Cecilia. For the first time I had to learn how to, how does it feels, to share.

What can I say, we’ve been through it all… college days, sleepless nights of giving birth to CHAD, the drama, the laugh, the tears, even our lovelife..

As we grew up together through the years, you always by my side. In all honesty, I couldn’t ask for anything.. more in a brother like you.

Cecilia, I'm confidently to say, that he is the most heart warming, caring, a lovable person I have ever met. He knows how to get things done, and on top of that..

He is gonna be the best husband ever..”

Kala memasang senyum jahil sambil mengedipkan mata pada sepasang yang berdiri bergandeng tangan di pelaminan itu, “I'd swear on that. Enjoy the good also the bad ones, make sure you two will always have each other close by. Through the years, I have never seen Gara so happy as when he is with you, Cecilia.

Separately, you two are special, remarkable people, but together you are complete. My greatest wish for the two of you is that through the years, your love for each other will deepen and grow.

Now, I’d like to ask everyone to stand and raise their glasses for a toast to the happy couple.

So here’s to love, laughter, and happily ever after. I love you.. both, Very much.

Gelas champagne di tangan, alunan musik di telinga. Riuh hadirin mulai berbaur, berdansa dan bercanda.

Rachel menyikut lengan Aine yang matanya sedikit berkaca-kaca dan terbengong. Aine mengerjap dan menoleh.

Damn, Ne. You're so whipped.” Rachel bersiul.

Aine tidak pernah merasa ingin mengubur diri sendiri lebih dari detik ini juga.

-

Kala menarik tangan Aine untuk menuntunnya ke beberapa kerumunan rekan kerjanya, ia pikir Kala akan melepas tangannya setelah lima menit, atau paling lama sepuluh menit. Tapi sejauh ini Aine salah, sudah lewat lima belas menit—dari lima lagu yang dinyanyikan penyanyi akustik disudut sana—tapi tangan Kala masih betah, bahkan jari-jarinya turun ke bawah untuk bertaut dengan milik Aine sejak lagu keempat.

Ketika mereka menghampiri Gara dan Cecil yang sudah tidak duduk di pelaminan lagi namun kali ini pasangan itu membaur dengan tamu-tamu yang hadir, Kala tidak tampak ragu mengeratkan taut tangan mereka dan merekah senyum paling lebar.

Cecilia yang cantik dengan gaun yang tidak kalah cantik adalah yang pertama menyadari sosok Kala yang mendekat. “Kalaaa, what a speech.” Cecil menepuk bahu Kala. Yang dikatain hanya terkekeh kecil.

Cecil juga menyadari Kala tidak sendirian dan tampaknya punya literal gandengan.

Bahu Aine ditepuk Cecil beberapa kali. “Makasih ya Aine udah dateng,” sapa Cecil ramah. Aine merasa bingung sekaligus senang, presensinya tidak sia-sia.

“Selamat ya, kak Cecil. Gue satu kampus sama Rachel loh, Kak.”

I know, tapi lo kesini kan dateng bukan sebagai temennya Rachel.”

Aine menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, “Iya, gue diajak Bang Kala makan gratis, Kak.”

Gara mengulum senyum sementara Cecil menahan pekik senang sambil tertawa kecil.

“Kala, tahun depan, mau dibawain hadiah nikahan apa lo?” ini Cecil.

“Ngawur.” ini Kala, salah tingkah.

-

So....” Kala mendongak untuk menatap Aine yang masih saja merona meski sekarang matanya terpaku pada semangkuk zuppa soup di tangan.

Aine, merasa ditatap, ikut mendongak. Mata keduanya bertemu canggung beberapa detik sebelum seringai kecil muncul di wajah Kala, yang kemudian memicu gelak tawa lolos dari mulut Aine. Awalnya lirih, namun lama kelamaan menjadi tawa senang yang menulari lawan bicaranya.

Feel better now?” tanya Kala kemudian.

Aine mengangguk kecil. “Gue keliatan tegang ya?”

Antsy. Kenapa?”

“Entah. Aneh ya? Maaf, it probably ruined this whole wedding date, ya?”

Ada gelengan terburu-buru dan bibir yang mecucu. “Siapa bilang sih. Our date was fine, it still is. Makasih udah nemenin gue hari ini.“

“Bagus deh,” Aine mendesah kecil, “Lega.”

“Yang tadi, jangan dimasukin hati ya?”

Aine masih mengunyah. “Yang mana?”

“Omongan Cecil. Tentang nikahan itu, dia becanda doang kok.”

“Oh, tau kok.”

Mereka berdua sama sama memandang ke sekeliling sebisa mungkin menghindari kontak mata lagi.

Lagian mana mungkin tahun depan? Nanti aja kita pikirin abis lo wisuda. – Ini suara Kala, di dalam kepalanya.

-

#sebuahpercakapan

***26***

Danish yakin bahwa revolusi berawal dari kafe-kafe kecil pinggir kota.

Tentang segelas kopi hitam dengan asap mengepul di udara.

Juga tentu saja rindu yang mengalir tanpa muara.

Sebab sekarang banyak pemikiran lahir dari kedai, kafein dianggap lebih pandai sembuhkan pikiran yang lalai saat inspirasi tak urung jua singgah untuk berdamai. Tapi demi Tuhan pencipta Adam dan Hawa, eksistensi kedai tanpa presensi Shanna adalah dusta semata.

“Gak ketemu satu bulan terus ketemunya disini dan besok lo nya yang pergi.” adalah satir yang pertama diucapkan Shanna yang duduk dengan entah berapa gelas kopi ia habiskan hanya demi menunggu Danish tiba.

“Tadi persiapan buat outing kantor ke Curup besok, Shanna, aku juga belum packing buat balik ke rumah lusanya. But forget it, aku mau protes.”

Shanna mengangkat sebelah alisnya. Danish? Dari semua orang yang ada di dunia ini? Protes? ────────────────────────

Danish dan Shanna tidak terlalu intens berkomunikasi saat Shanna berada di sisi benua lain untuk shooting selama satu bulan sementara Danish sedang sibuk-sibuknya menjalani musim audit di kantornya. Hari Sabtu pagi saat Shanna berangkat, Danish mengingkari janji. Sebab awan hitam setelah hujan membasahi terlalu tebal menutupi. Shanna harus berangkat tepat pukul lima pagi, dan tadi malam Danish sudah berjanji…

“Biar aku antar.”

Shanna tau, dari semua pertanda akhir dunia yang orang bilang sudah dicantum dalam kitab, satu tanda yang mugkin luput dari penulisan adalah ’Danish susah bangun pagi kalau kelelahan apalagi akhir pekan’. Benar saja, Danish bangun setelah ayam jago lelah berkokok.

Tidak datangnya Danish pukul lima membuat Shanna memanggil taksi dan berangkat ke bandara tanpa pamit. Hal biasa dan sepele memang.

Shanna adalah serangkaian friksi pada sumbu kembang api yang beradu dengan kobaran api. Menunggu momen untuk meledak dan melesat cepat. Danish adalah air yang bergerak tenang. Bergerak dengan ancang-ancang, dipenuhi bimbang, namun enggan biarkan kesempatan menghilang.

Jadi satu minggu awal mereka terpisah jarak dalam keadaan beradu, minggu selanjutnya berjalan dingin namun terima kasih pada sejuknya telaga yang Danish tawarkan pada kobaran Shanna sehingga enggan untuk meledak dan melesat.

Danish pikir, mencintai tanpa sinergi itu hanya membuat genggaman mereka semakin kendur. Terlebih, genggaman mereka belum punya nama.

────────────────────────

“Mau protes apa?”

”Aku udah perhatiin tiga barang bukti.”

Shanna bingung. Danish melipat dua lengan di depan dada, punggungnya bersandar pada bagian belakang kursi yang terbuat dari kayu jati.

”Hi, Wira. Tanda hati. Have a nice day,” Danish menengok ke kanan dan membaca tulisan tangan Shanna di gelas kopi seorang laki-laki berjarak dua meja dari mereka. ”Hello, Radit. Tanda hati. I seem to have lost my phone number. Can I have yours?” Kali ini gelas kopi di meja sebelah kiri mereka, empunya terkekeh geli.

Shanna menyandarkan kepalanya pada kaca di samping meja. Menatap Danish yang marah untuk alasan sepele. Memangnya dia siapa? Ini hari kasih sayang, bukannya menebar cinta untuk penggemarnya itu hal biasa? Toh mereka sendiri yang meminta.

”Ya terus kenapa? Fans ini. Half of people in this coffee shop recognize me, Dan.”

Danish mengangkat gelas Americano miliknya. Spidol yang dipakai untuk menulis berwarna hitam, pekat pada cairan dalam gelas Danish yang membuat goresan tangan Shanna yang barusan disematkan menjadi samar terlihat. Namun jika diperhatikan, mata telanjang pasti bisa membaca kalimat itu dengan jelas.

”Bisa-bisanya kamu nulis beginian di gelas ku.”

”Emang gue nulis apaan, Dan? Coba baca.”

“Dua tiga tutup botol.”

”Ya terus emang kenapa kalau dua tiga tutup botol? Emang lo tau apa terusannya?”

”Apaan? Kenapa sih gue tuh tolol?”

Shanna menendang tulang kering pada kaki kanan Danish kurang dari satu sekon setelah kalimat pria itu diucapkan.

”Muka lo tuh tolol.”

Danish tertawa, diikuti dengan kekehan Shanna yang setengah mati ia tahan. Gengsi.

“Jangan bikin orang resah setengah mampus lah dikasih emot cinta.”

”Demi Tuhan, it’s valentine! Apa salahnya sih?”

”Salah. Orang beli kopi nyari yang pait, tapi ketemu kamu malah jadi manis.”

Danish dengan kata-kata manisnya sudah jadi kelemahan Shanna sejak kali pertama mereka membina percakapan. Yang mengherankan bagi Shanna adalah bagaimana jantungnya masih berdetak secepat 150 BPM tiap kata-kata geli itu terlontar bahkan setelah mereka sudah setahun menjalani hubungan entah apa namanya ini.

”Dan, seharian ini gue keteteran banget.” Shanna menyesap kopinya dengan getir. “Tadi pagi gue nangis kejer banget. Tau gara-gara apa? Kunci apart ilang, lagi, dan gue baru nyadar di jalan. Waktu gue balik, kunci gak nempel di pintu. Gue cari di mobil juga gak ada.”

”Kebiasaan. Kenapa gak ke kosan sambil nunggu duplikat? Kunci masih aku tinggalin di tempat biasa padahal.”

“Lo nya gaada, percuma. Mending gue nunggu disini.”

“Tinggal bilang? Aku bisa kesana, naik motor. Izin enam puluh menit gak akan bikin outing kantor besok batal kok.”

Dan semudah itu, Danish menghapus gusar pada setiap perkara yang menghadang Shanna. Danish selalu ada. Selalu hadir sebelum dering ke tiga panggilan ponsel berakhir. Shanna itu sebenarnya penuh rencana, namun ketika semesta hadir untuk mengingatkannya untuk tidak hanyut dalam wacana…ketika dunia secara adikara menunjukkan kuasa padanya bahwa rencana hanya tinggal rencana jika yang maha─segala sudah berkata, Danish selalu ada untuk memperbaiki semua. Untuk memberi tepukan penenang dan jalan keluar paling sederhana.

”Setelah satu tahun…jadi lucu gak sih?”

”Lucu gimana, Dan?”

”Lucu, aku sama kamu.”

”No, you’re not. Aku yang gak jelas. Aku selalu anggap enteng omongan kamu. Aku selalu invalidate kekhawatiran kamu, keresahan kamu, aku gak sadar sama semua yang udah aku lakuin sampai aku nyesel sendiri,” Shanna menatap kopinya yang mulai dingin, disusul tatapan nanar yang betul-betul dibenci Danish sebelum melanjutkan kalimat, “selama satu tahun ini, aku marah-marah sama diri aku sendiri, aku masih denial. Aku masih gak terima kalau aku sebenernya sebutuh itu sama kamu, Dan.”

Bagi Danish, semua butuh alasan. Bagi Danish, semua butuh kejelasan. Jadi ia tidak bisa berdiam diri, menunggu Shanna merubah keadaan setelah berkali-kali diberi kesempatan. Satu bulan mereka berjarak dan besok jarak akan memisahkan mereka lagi, hari ini keputusan paling final atas rangkaian alasan yang masuk akal harus tercetus.

”You know, I’m not giving up on you, Shanna. Not even once. Not even when you told me to.”

Shanna tersenyum. Kalimat itu begitu menenangkan, meski sebagian dari dirinya mempertanyakan alasan dari senyuman yang baru saja melengkung pada bibirnya.

”Buat aku, kita baru memulai.”

“Kamu dan pikiran kamu, Dan. Kamu gila.”

Iya, gila. Dari sekian banyak pujian yang mungkin dilontarkan tiap kali Danish dan mulut indahnya berbicara, gila sudah menjadi pujian paling paripurna yang bisa disematkan Shanna kepada Danish.

”Kalau aku gila, berarti Julian Barnes waktu nulis buku The Sense of An Ending dan Gabriel Garcia Marques juga gila.”

”We’re talking about our relationship, not books, Danish.”

”Tapi serius! Di tulisan mereka, semuanya itu selalu digambarkan sebagai awal yang baru. Jadi gak ada akhir yang bener-bener akhir. Hubungan kamu sama aku emang belum tau apa namanya. Tapi coba liat, aku masih di sini, masih di depan kamu. Masih memperjuangkan awal yang lain untuk kita berdua.”

“Awal yang lain gimana? Awal yang lain sebagai temen, Dan?”

”Emang harus banget dikasih nama? Gak bisa kita lakuin pakai cara aku aja? Spontan, tanpa rencana, tanpa perlu kasih label untuk ‘kita’?” Shanna tau, yang baru saja dikatakan Danish adalah persis kata-katanya di awal mereka menjalani hubungan ini. Shanna diam sejenak.

”Harus. Harus dikasih nama,” bola mata Danish melebar, ia tidak menyangka kata-kata itu keluar dari seorang Shanna. Sempat terlintas di pikirannya bahwa perempuan yang dihadapannya ini tidak sedang dalam kesadaran penuh. So this is it? Pikirnya.

Jadi, Danish menarik kursinya lebih dekat kepada Shanna, menarik tangan kanan perempuan itu dan menempelkan bagian telapak pada pipi bagian kiri Danish, ”Oracle Delphi, peramal dari Delphi beberapa abad sebelum masehi aja selalu bilang ‘kenali dirimu sendiri’. Kalimat itu jadi kunci dari filsafat manusia. Jadi kunci dari penjelasan tentang ‘siapa aku’. Dari pertanyaan yang sama, di Prancis lahir konsep filsafat ‘cogito ergo sum.’”

”Hmm, terus?” Shanna memejamkan matanya, tangan Danish tidak lagi berada di pipi melainkan diarahkan tepat ke depan bibir untuk dikecup. “Kamu pikir kamu lebih superior dari filsuf? Sampe berani ngelewatin pertanyaan ‘kita ini apa’ tapi udah berani cium-cium tangan aku begini?”

Shanna memutar bola mata, jengkel dengan Danish.

”Kebiasaan. Pinter banget beretorika. Jauh banget sampe bilang aku merasa superior, sampe bawa-bawa konsep filsafat. Bilang aja kamu kepingin aku panggil ‘pacar'.”

Shanna kerap menyamarkan hubungan mereka dengan caranya.

Cara yang penuh dengan perhitungan dan pertimbangan.

Satu tahun berlalu, Shanna seharusnya tau, bahwa ketidaksempurnaan dalam percintaan mereka justru merupakan muara dari kesempurnaan-kesempuranaan paling realistis dalam hidupnya.

Kesempurnaan yang tidak sempurna.

Kesempurnaan yang cocok bersanding dengan manusia.

Kesempurnaan yang tidak mengekang.

Jadi, jika kisah mereka disamarkan dengan cara paling dewasa,

Ia tidak keberatan memulai semua dengan cara paling tidak dewasa.

Spontan. Impulsif. Dilakukan tanpa kalkulasi.

Maka saat ini Shanna menarik kerah kemeja Danish. Menggenggam bagian itu hingga lusuh sampai bibir mereka beradu tanpa ragu.

”Now, answer your own question. What are we, Shanna?”

“I don’t know? Friends?”

“Nice try but friends don’t kiss.”

“They do, because it’s valentine.”

Jika Shanna menyamarkan hubungan dengan seratus alasan, maka kali ini ia memulai dengan tanpa alasan. Dan jika selama ini Danish kerap bertahan dengan seribu satu alasan, maka kali ini gilirannya untuk diam tanpa memberi sanggahan.

-

#sebuahpercakapan

***25***

(sila buka thread #sebuahpercakapan di twitter dulu sebelum baca chapter ini untuk tau mereka jalan kemana ya!)


Kala menarik tangan Aine keluar dari barisan begitu petugas dengan bahasa Indonesia sepatah-patah menjelaskan bahwa tiket pertunjukkan sudah habis dan yang tersisa hanya waiting list. Padahal dia punya tiket ungu yang direbutkan di tasnya sendiri tapi Aine tidak perlu tahu.

She was excited with the play Kala can't help himself but playalong.

Seseorang dengan jas formal dan istrinya yang mengenakan gaun merah dengan bahu terbuka menyapa Kala. Aine ingin bergerak mundur tapi ditahan. Mereka bicara dalam bahasa belanda yang paling muda tidak mengerti. Pria Belanda yang tampaknya orang penting tertawa pelan lalu menepuk-nepuk bahu Kala sebelum melenggang.

“Ngomongin apa?”

“Urusan orang dewasa.”

“Dih.”

“Mau ke lapangan banteng lagi?”

“Pasti penuh orang pacaran sama nyamuk.” Aine menolak.

“Laper gak?”

Ditanya begitu, perut Aine yang jawab dengan kerucuk menggemaskan. Kala tertawa. Hari ini tidak bawa mobil, lagi lagi Aine yang minta. Terakhir dia naik kereta adalah hari di mana Aine membawakan lebih indah milik Adera bersama Refal di kontes putra putri bangsa. Not a so fun experience jadi dia cukup kaget waktu merasakan kereta arah manggarai di jam sepuluh yang lumayan sepi dan masih wangi. Keabsenan mobil milik Kala membuat mereka berjalan kaki hingga menyerah mencari kedai kopi yang masih buka karena filateli tutup jam delapan malam lalu memesan mobil ke atrium.

“Capek, ya?”

“Enggak, sih. Lo capek?”

“Banget.” Kala mengaku. Ini kali pertama dia dibawa berjalan lagi setelah berhari hari cuma duduk di kursi. “Tapi seneng gak?”

Aine menepis prasangka bahwa dia dengar gugup di kalimat yang lebih tua. Seolah tidak ada yang lebih penting di dunia selain perasaannya.

“Senang. Bulannya cakep, langitnya juga.” Aine mengaku. “Seminggu ini gue gak jalan kaki sambil ngobrol. Semua orang kalau jalan ke kampus tuh sambil bawa buku jadi kakinya gerak tapi kepalanya nunduk. Kalau pulang dari ujian, semuanya bahas soal yang barusan. Mana macet lagi di gang padahal yang lewat cuma orang.”

Kala membiarkan Aine menceritakan keluh kesanya. Membayangkan Aine terjebak di antara ratusan manusia yang ingin pulang dan ingin berangkat sambil mendengarkan orang-orang debat kusir perkara jawaban ujain. He can't help but ruffle the younger's hair.

“Harusnya kita datang lebih sore biar dapat tiket, ya.”

“It's okay. Gak ada yang tahu hari ini undangannya banyak.” Aine berujar tulus. “Lagian.. katedral yang lampunya hidup jadi cantik sore-sore begitu, burung-burung terbang berkoloni terus ada yang ketinggalan, belum lagi anak anak di ayunan.. mereka juga bagus.”

“Besok mau ke sana lagi?” tawar Kala. Siap menghubungi Gara kalau Aine mengiyakan.

“Revisiiii.” Aine mengeluh. “Bisa mati berdiri gua kalau gak dikerjain malam ini.”

“Hush.” Kala tertawa kecil. “Lain kali, ya?”

“Ya.”

Lain kali, lain kali. Selalu menyenangkan memikirkan lain kali.


(Chapter 25.1 – dst setelah ini ada di twitter, guys!)

#sebuahpercakapan

***24***

-Tentang sebab akibat dan terakhir.-

Ryan itu orangnya ilmiah banget, selalu ada sebab akibat, sekalipun dibalik sikapnya. Nggak ada yang namanya gatau di kamus hidup seorang Ryan. Semua tentang Ryan selalu punya sebab.

Naya baru sadar waktu Ryan nonjok dua temennya yang tengkar gara-gara rebutan cewek. Dua-duanya ditonjok pake kedua tangan. Iya, Ryan bisa pake kedua tangannya sama kuat.

Waktu bantuin Ryan ngobatin kedua temennya, Naya akhirnya tanya kenapa Ryan tiba-tiba nonjok. “Biar ga goblok lagi.” Udah. Simple aja jawabannya, tapi Naya udah ngerti.

Menurut Ryan, selagi bisa dijawab atau diusahain kenapa harus dijawab gatau. Pernah sekali kejadian, Naya tanya jawaban tugas lks matematikanya lewat chat. Ryan cuma jawab, “Bentar dicari dulu.” Terus gak lama ngirim foto lks, padahal Naya cuma iseng nanya satu nomer itu juga buat mastiin doang jawabannya bener atau enggak, karena Naya aslinya lebih pinter dari Ryan. Naya tau kok kalo itu bukan lks Ryan, keliatan dari tulisannya. Nggak tau itu foto lks dapet darimana.

Naya padahal juga tau kalo lks matematika Ryan lagi dikumpul dan Ryan bukan tipe orang yang suka nyontek tugas orang. Tapi, Naya lebih tau, kalo Ryan bisa diandelin.

Semua tentang Ryan selalu memiliki sebab akibat.

Makanya nggak heran, waktu Ryan ditanya sama temen sekelas Naya, Ayu namanya, kok Ryan lebih milih macarin Naya, padahal Naya orangnya galak, beda sama Ryan yang soft-soft ambyar gitu. Beda banget pokoknya.

Hari itu Naya kerkel di rumah Ayu, dan Ryan nawarin buat jemput. Naya sih iya-iya aja, lumayan hemat ongkos. Jadilah Ryan duduk di sofa, sama Ayu di depannya. Bukannya jawab menye-menye, Ryan justru jawab, “Soalnya dia yang terakhir, Yu.”

Ayu total bingung. Apalagi Ryan nggak keliatan mau lanjutin kata-katanya. Naya yang baru aja keluar dari kamar mandi dan lagi beresin barangnya, ketawa dalam hati dengernya. Cuma Naya yang ngerti.

Ryan pernah bilang, kalo Naya itu udah sama kayak terakhir. Ibaratnya, kalo bagi Naya, Ryan itu sebab akibat; bagi Ryan, Naya itu terakhir. Semua yang terakhir selalu tentang Naya.

Ryan itu suka banget makan kerang. Ada dua minggu, paling nggak sekali dia makan kerang. Mamanya aja sampe muak liat Ryan seringkali pulang bawa kerang, entah mentah entah mateng, padahal sekeluarga yang doyan kerang ya dia sendiri.

Pertama kali jaman pacaran, Ryan ngajak Naya ke tempat langganan kerangnya. Naya sih oke-oke aja soalnya menunya macem-macem. Naya pesen aja spaghetti bolognese. Tau-tau waktu jalan pulang di perempatan deket restoran, Naya minta ke tepi jalan, muntah-muntah dia disana.

Waktu ditanya Ryan, ternyata Naya alergi kerang. Kalo makan kerang, respon tubuhnya justru muntah-muntah gatau kenapa. Naya juga baru tau kalo di tempat itu semua menu makanan ada kerangnya. Naya bilang dia nyesel kenapa nggak nanya dulu. Sejak itu, Ryan gapernah lagi makan kerang.

Masih tentang makanan, Ryan pernah ngajak Naya ke depot deket rumah Ryan. Baru buka sebulan, tapi masih sepi pelanggan. Ryan pengen nyobain, siapa tau enak, kan bisa sering makan disini dia. Ryan sama Naya sama-sama pesen soto ayam.

Awalnya gak ada yang mencurigakan, sampe pas soto ayam Ryan tinggal setengah, Ryan ngerasa ada yang beda di salah satu ayamnya. Waktu diangkat, ternyata itu cicak. Ryan langsung ke kamar mandi buat muntah-muntah, lanjut ke kasir buat marah-marah. Udah kayak kesetanan kalo kata Naya. Itu terakhir kali Ryan doyan soto ayam dan ke depot deket rumahnya. Ryan mending mati kelaparan daripada makan di depot itu lagi.

Pernah lagi, waktu jaman belum pacaran alias pedekate. Naya dideketin anak baru, Willy namanya. Naya cerita, katanya dia gak suka, risih. Willy itu tipe orang yang blak-blakan, pertama kali kenal langsung bilang Naya itu manis. Sering juga Willy gombalin Naya, tiap hari ada kali. Naya itu ga demen digombali, apalagi digombali sama orang yang dia ga demen. Ryan sebenernya juga merasa cringe kok, soalnya dia pernah liat pake mata kepalanya sendiri, waktu jemput Naya di kelas.

Ryan itu iseng, jail banget orangnya. Bukannya jadi idaman yang bilang ke Willy buat ga godain Naya lagi, Ryan justru kompor. Dia godain Naya terus, jodoh-jodohin Naya sama Willy.

Puncaknya di kantin, Ryan sengaja manggil Willy yang lagi mesen bakso, terus bilang disuruh Naya gabung meja mereka aja. Naya refleks langsung nonjok Ryan tepat di pipi. Nggak main-main, pipi Ryan sampai biru. Sejak itu, Ryan gamau godain Naya tentang orang yang gak disuka lagi, trauma ditonjok.

Semua yang terakhir tentang Ryan, selalu tentang Naya.

-

Makanya, nggak heran kenapa sekarang, Ryan yang baru saja keluar ruang dosen habis bimbingan proposal magangnya yang di acc untuk sidang minggu depan, tiba-tiba ngerasa sedih, ingat mimpi naif-nya pas SMA dulu buat nunjukkin cincin sambil bilang, “Would you be my last?” Berlutut, di depan Naya kalau saja mereka bertahan sampai lulus kuliah, mimpinya itu, harus Ryan singkap jauh-jauh.

#sebuahpercakapan

***23***

// Author's note:

(Read part 22.1-22.6 on my twitter @febiolaaditya first before started reading this chapter, enjoy! ❤) //


“Kapan deadline proposal.”

“Jangan dibahas, deh.”

Aine akhirnya mau duduk di depan Kala setelah jam menunjuk pukul tujuh. Akhirnya jam kelas malam di mulai dan Aine cukup yakin gak ada lagi mahasiswa mau ke Indomaret.

Kalau ini bukan Aine yang sedang letih dalam berbagai arti mana mau Kala duduk satu jam lebih, menunggu Aine mau kembali ke depannya. Gak mampu membuang waktu, konsultan bersertifikat itu membuka ponsel, menyicil pekerjaan yang omong-omong luar biasa banyaknya. Akan semakin banyak lagi mengingat ini awal tahun.

Harus cek darah, pikir Kala. Pekerjaan sebagai konsultan PR sekaligus dosen benar-benar silent killer. Bahkan junior seperti Fani, Axel, Naura dan Bertha dipaksanya rajin kontrol karena kita tidak pernah tau apa yang dihasilkan pekerjaan yang bertubi dan stress yang konstan. Dulu Kala iseng cek darah ketika kebetulan menjenguk salah satu klien di rumah sakit. Hasilnya cukup mencengangkan walau dia merasa badannya baik baik saja.

Dokter bilang, memang begitu. Tubuh yang konstan diforsir akan mati rasa, lalai pada tanda dari organ-organ. Bertahun-tahun kemudian baru terlihat efeknya.

Waktu itu Kala langsung terbayang wajah ibunya.

“Dikerjain, yuk.” Kala terdengar seperti rintik hujan di hari libur.

Menenangkan.

“Kalau dihindari terus, nanti gak selesai.”

“Iya, tau..”

Aine tampak seperti anak anjing yang terbuang. Kala siap bertengkar dengan siapa pun yang memberinya segini banyak beban.

“Kapan ngajar part time lagi?”

Oh iya, Aine satu semester ini mulai part time mengajar bahasa Inggris di salah satu bimbel dekat kampus.

“Besok.” aku Aine. “Besok juga bimbingan. jujur bingung. Gue udah dua kali ganti jadwal ngajar karena tabrakan sama ini itu. Besok bisa, sih, cuma bakal mepet banget. Gue takut nanti malah gak fokus dikeduanya but I can't afford giving up any of them.“

“Ne, once you try to hold everything at once. you will lose everything.” Tegur Kala. “Memang guru bahasa Inggris cuma satu? Ngajar bisa digantikan tapi yang bisa bimbingan tugas akhir cuma lo sendiri.”

“Tapi anak-anak itu bayar biar gua ajarin.” Aine bersikukuh. “Ada guru satu lagi tapi gue gak suka ngerepotin orang.”

“Toh gajinya jadi punya dia kan?”

“Pak, lo tau kan ini bukan soal gaji? Tanggung jawab. Kepercayaan orang.” Aine menghela nafas. “I don't want to fail anyone.”

“But failing yourself in the process?” Kala mengusap ujung jemari Aine. Gestur yang bisa membuat seisi dunia Aine seolah berhenti dan yang berarti cuma cara yang lebih tua menjatuhkan pandang padanya. “When you're older, you will find yourself in these kind of situation or even more confusing. As an consultant and someone 12 years older, gua bisa bilang gak semua hal sama berartinya. Kadang melepas satu dua hal dan ngasih diri Lo sendiri kesempatan buat nafas tuh efeknya signifikan in the long run.“

“Jadi.. gue izin ngajar besok?”

“Belajar percaya sama orang lain. Lo memang hebat, lo anak pinter tapi apa semua harus lo kunyah sendiri?” Sebelah alis Kala yang cuma seratus sekian puluh helai naik. “Kalau gue pakai cara lo, nih, gua bisa mati.”

“Lebay.”

“Iyalah. Kalau semua proses campaign dan event gua yang kerjain karena ngerasa gue yang paling bisa ya gak bakal selesai atau gue mati konyol.” Kala ketawa. Tawanya menular. “Makanya ada Gara, ada Fani ada tim lain, ada banyak anak-anak yang gue kasih kepercayaan. Mungkin lo belum waktunya berbagi kepercayaan ke bawahan tapi kalau konsepnya gak dicoba dari sekarang, you won't go anywhere.“

Aine mengangguk pada akhirnya. Kala menahan tangan untuk gak mengusap surainya yang lepek karena lelah.

“Gue bakal coba kontak orang lain.”

“Good. Kapan deadline proposal?”

“DITANYA LAGI.”

“Sst.”

“Ish,”

“Tinggal jawab.” Kala terkekeh. “Besok bimbingan udah harus bawa proposal belum?”

“Udah.” Aine mengaku. “Mau gue kerjain malam ini tapi deadline buat tim pendidikan juga malam ini. Kayak semuanya crash dan kepala gue penuh.”

Dahi Aine disentil.

“Terus lu malah kabur?”

“Maaf. Gua overwhelmed.”

“Udah makan belum?”

“Tadi onigiri.”

“Mana kenyang.”

Habis dibilang begitu, perut Aine bunyi. Kala ketawa lagi. Segampang itu. Segampang itu dibuat terhibur di samping Aine.

“Geprek, yuk.” ajak Kala. “Atau lo mau makan yang lain?”

“Mau sate.”

“Di mana?”

“Depan kampus.”

“Gak malu, nih, makan sama dosen?” Ledek Kala.

“Lo malu gak makan sama gue?”

“Mana pernah.”

Sekarang bulan sudah tinggi tapi seunyum Aine secerah matahari.

#sebuahpercakapan

***22***

Tentang Nabil dari kacamata levis Mas.

Arya Putra Ravindra. Anak-anak bebek biasa memanggilnya dengan, Mas.

Hanya karena Arya adalah senior satu tingkat di atas mereka. Padahal, saat berdua, Nabil tidak pernah memanggil Arya dengan, Mas.


Untuk Arya, Nabil adalah pelancongan yang bibir pantainya perawan. Satu tempat yang tidak awam, digapai dengan informasi dari banyak orang yang kebetulan tahu. Tidak istimewa, memang. Di halte bus yang Arya sambangi semenjak peperangan terakhir dengan orang tuanya, dia bertemu dengan Nabila Khairina.

Pertemuan pertama mereka mudah saja. Hujan sejak pukul lima sore membuat bus melambat. Bus terakhir yang lewat lima belas menit lalu terlampau penuh. Waktu itu Arya masih tidak terbiasa berdesakkan di kendaraan umum sehingga pikirnya, jika dia mau menunggu, akan segara datang bus yang lebih baik. Nyatanya semua bus jam pulang kerja memang selalu penuh sesak dan terus begitu sampai mendekati bus terakhir tapi setidaknya di bus setelah itu ada Nabil yang meminjami Arya kartu bus. Busnya memang lebih baik.

Arya percaya pada intuisinya. Terbukti ada sesuatu yang dibawa pilihannya menaiki bus untuk pertama kali seumur hidup meski banyak yang menawarkan Arya tumpangan selama masa detensi dari Ayahnya. Arya punya teman dimana-mana, kemampuan berteman yang luar biasa di atas ekonominya yang juga serupa membuat kawan mengerubunginya seperti semut menemukan gula. Nabil yang hadir tanpa tau itu semua meski mereka menuntut ilmu di kampus yang sama membuat Arya ingin menyelaminya.

Nabil banyak bicara, apalagi di antara ketiga teman-teman dekatnya, namun dengan Arya, seringnya cuma tersenyum lucu dengan kedua alis naik bila Arya muncul dengan pakaian yang sama persis dengan kemarin dari kaki hingga kepala. Arya terang menjawab dia habis tidak pulang. Nabil tidak bertanya kenapa. Dua bulan lebih semenjak mereka berkenalan, Arya sendiri yang bercerita tentang orang tuanya. Nabil mendengar dengan seksama seperti biasa.


Saat Nabil menggeleng kecil ketika dimintai kontak untuk penggantian kartu bus di pertemuan pertama mereka, seolah pertemuan mereka hanya satu kebetulan berpahala bukannya gerbang hubungan yang akan berjalan panjang. Pun di pertemuan kedua mereka, di tahun dimana Nabil memasuki semester tiga dan Arya di semester lima, ketika Nabil melindungi laporan tulis tangannya dari hujan yang mengetuk-ngetuk atap halte dengan brutal, Arya mendapati dirinya tidak diberi ruang oleh buwana untuk bermimikri jadi reptil hijau karnivora.

Arya tidak pernah sok pahlawan selain ketika lagi cari perhatian atau memberi perhatian pada yang cari. Ada pun di pertemuan keduanya dengan Nabil, jaket balenciaga-nya membungkus totebag putih Nabil. Nabil memberinya permen jahe supaya tidak kedinginan. Mereka resmi berteman.

Sore kesekian, memasuki bulan ketiga semenjak mobilnya disita. Arya mendapati mobil yang puluhan hari sudah tidak lagi dia jamah setirnya terpakir di pelataran kos mewah yang dia tinggali. Keesokan harinya langit kembali menangis seperti biasa tapi kali ini Nabil pulang dengan mobil Arya. Mobil itu juga saksi bisu Arya membuka cerita yang selama ini hanya diketahui teman terdekatnya saja.


“Tato baru.” ucap Nabil, menyadari tinta yang mengintip dari balik kaus lengan pendek Arya. Lagi-lagi si pemuda telat setengah jam padahal dia yang minta ditemani makan. Makanan yang Nabil pesankan sudah dingin tapi toh nanti Arya akan menambah makanan sebelum Nabil menghabiskan isi piringnya.

Nabil makannya lama.

“Lucu gak?”

“Hm,” Nabil mengangguk melirik tinta hitam berbentuk inisial nama belakang keluarga lelaki itu, R.

“Biar mereka tahu gua masih inget gua anak siapa,” Arya bercerita tanpa diminta.

Nabil tidak bertanya. Karenanya Arya memberi tahu. Nabil tidak menuntutnya. Karenanya Arya memberinya semua.

“Kalau mau kasih tau mereka, cukup dengan pulang lagi.” Nabil akhirnya berkomentar. memberi rasional pada kegilaan Arya. “Lo tau sendiri pada akhirnya mereka cuma gak mau lo sakit.”

“Iya kali.” Arya bergumam.

Nabil menjatuhkan sendoknya ke piring lalu menjulurkan lengan. Mengusap darah yang merembes sedikit dari tato yang tintanya hitam. Alisnya nyaris menyatu. Arya mengusak puncak kepala Nabil pelan.

“Kalau dipegang nanti infeksi, Bil. Gue aja nahan-nahan gak ngelus.”

Nabil menarik tangannya. Arya agak menyesal habis bercanda gitu. “Eh sorry, sorry.”

“Hehe, gemes deh lu.” Kalau tatonya udah gak berdarah, Nab pasti mencubit lengannya. “Enggak sakit, kok, Bil.”

“Ish itu berdarah!” Mulut Nabil mencucu seperti bebek. Kebiasaannya kalau sedang kesal.

“Gak ada rasanya dibanding yang pistol.”

“Lo memang sinting.”

Arya tertawa seperti deru yang halus kali ini. Arya tertawa seperti mesin mobil mahal dihidupkan, nyaris tidak berasa. Nabil ikut tertawa.


Evan, teman satu kos Arya setengah misuh menyerahkan perban yang lumayan besar untuk menutupi tato si goblok Arya. Dosen tidak memperbolehkannya mengikuti kelas selama tatonya masih terlihat. Daripada membuka gulungan lengan kemejanya yang panjang, Arya lebih suka menyulitkan kawannya. Makanya Evan nyaris meledak dipenuhi emosi begitu sadar baju model apa yang Arya kenakan.

Maba yang barusan lewat sampai kabur begitu mendengar cowok yang tingginya hampir dua meter mengumpat di pelataran gedung H.

“Nyusahin lo,” Evan mengumpat lagi. Arya nyengir.

“Biar gua bisa lama di luar.”

“Semoga lo wisuda bareng maba.” Evan menyumpah. “Lah, jangan. Nanti makin banyak yang gue php in.”

Arya menoyor lengan Evan tapi sepertinya yang dipukul masih punya banyak amunisi untuk menohok Arya.

“Atau lo baru mau lulus kalau udah bikin Nabil nangis?”

“Jangan ngasal lu.”

“Temen gua di dpm ada yang mau deketin Nabil.” Tukas Evan membuat Arya makin beringas menyobek perban rekat yang akan dipakai menutup tatonya. “Kebetulan sekelas juga, dia ngerasa ada kesempatan.”

“Wajar. Nabil kan cakep, lucu dan kelewat ramah.”

Evan gak menahan ketawa mendengar kesal di suara Arya. Gak bohong, menyenangkan menyaksikan Arya yang punya kepercayaan diri seperti tembok china jadi cemburu mendengar temannya mau dideketin cowok.

“Kalau dia ngegas, gua gak akan larang.”

“Tapi lo gak akan bantu.” Tegas Arya pada Evan. “Sebutin gua perlu transfer ke mana.”

Evan mengangkat kedua tangan jenaka. “Gua gak sematre itu kali.”

“Tumben.”

Evan bergumam soal pricelist brand lokal ternama yang belum keluar, tidak keras-keras tapi cukup untuk Arya dengar. Satu toyoran kembali mampir di bahu yang lebih tinggi.


“Bego banget sih!” Nabil menuding perban yang sudah lepas separuh lalu mencopotnya cepat. Arya mengerang. Bulunya pasti tercabut beberapa. “Jangan kayak orang gak tau internet deh. Ke kampus tuh pakai concealer!”

“Mana gue ngerti pakai begituan, tuan putri.”

“Stop sampe disitu.”

Nabil tidak suka dipanggil tuan putri dan karenanya Arya gak akan berhenti memanggilnya tuan putri. Setidaknya sampai Nabil menolak naik ke mobilnya.

“Buat kelas nanti pakai ini dulu.” Nabill mengeluarkan concealer maybelline dari dalam tasnya. “Nanti gue beliin yang dermacoal.“

“Ada kelas gak abis ini? Cari bareng aja.”

“Harus online tauuu.”

“Yah, there goes my chance to ask you out.”

“Dangdut banget lu!”

Nabil membuka telapak tangannya di depan muka Arya yang menyetir.

“Harus banget, ya?”

“Harus. Gue gak mau temenan sama orang bego yang pakai plester di atas tato ke kampus.”

Arya dan prioritasnya yang anomali lebih sayang custom ciggaretes case-nya daripada banyak hal. Hal ini dimanfaatkan Nabil untuk menyatukan hal-hal yang boleh Arya lupa dengan si kotak sigaret di dalam laci dasbornya. Entah fotocopy tugas yang deadline-nya hari itu banget, kotak bekal yang harus Arya habiskan isinya, flashdisk berisi film yang mau dikasih ke Nabil. Sejauh ini cara ini selalu berhasil karena Arya akan selalu sadar kalau kotak sigaretnya gak ada.


Di kamar kosnya, Nabil mengangkat pantat pop mie pedasnya hingga menghadap langit-langit lalu menegak kuahnya sampai habis. Arya yang berniat menjenguk perempuan yang katanya sedang tidak enak badan itu menyaksikan itu semua dengan senyum terhibur.

“Rough day?” tanya Arya.

“A total batshit crazy.” Nabil mengeluh.

Arya menarik tangan Nabil supaya menjauhi meja belajarnya untuk menyeduh satu pak pop mie pedas lagi. Besok Nabil masih ada kelas dan Arya paham dia tipe mahasiswa yang panik kalau bolos padahal sudah semester sekian gak seperti dirinya yang peduli setan sama nilai dari semester pertama.

“Nanti makan lagi.” Arya mengusap kepala Nabil. “Gak boleh sakit perut. Besok kelas.”

Nabil jarang mengeluh soal hari buruk pada orang selain ketiga sahabatnya. Arya takut dia gila kalau sampai disuguhi Nabil dengan kesadaran tidak ada di bumi.

Nabil boleh jadi pengecualian untuk banyak hal dan karenanya Arya gak mau merusak pengecualian yang dengan hati-hati dibuatnya karena kelalaian kecil begini.

“Mau bolos.”

Arya membolakan mata lalu menyeringai. Dagu Nabil diangkat meskipun daritadi terang dia tidak suka.

“Ada apa, sih?”

“Cowok tolol.” Nabil membuang muka. “Stupid boy wants attention so bad he ruins my whole internship proposal. The core idea worth almost fifty shots caffeine intake. I want to ruin his face.”

Tapi gue gak bisa, adalah suara yang bisa Arya dengar.

Siapa namanya?” Tangan Arya di dagu Nabil. bergerak ke pipi yang tulangnya tinggi. Semburat alami yang memenuhi kulit terang itu ditelusurinya dengan ibu jari. “Biar gua yang beresin. Siapa namanya?”

Setelah Nabil menyebutkan namanya, Arya mengizinkan perempuan itu makan pop mie pedas dan minum air es sesuka hatinya.

Waktu keluar kosan Nabil, Arya bertemu dengan Aine dan Ryan, masing-masing membawa Chatime dan dimsum sebagai 'sogokan' untuk Nabil di tangan mereka.


//

Author's note:

You can visit my twitter @febiolaaditya to read continuation of chapter 22 of #sebuahpercakapan dalam bentuk visualisasi whatsapp conversation ❤ start from now, urutan posting bakal mengikuti thread di twitter ya!

//

#sebuahpercakapan

***21***

“Kok nangis?”

Kala menemukan jemari Aine di antara jemarinya. Ada pasang yang menyurut di dada Aine begitu kuku-kukunya menggaruk pelan kulit yang lebih tua. Tidak ada maksud apa-apa. Setelah membaca surat dari Mama, ia hanya ingin memastikan lelaki di sebelahnya ini benar-benar nyata. Ada di sini, untuknya. Ingin bilang ke Mama kalau dia tidak pernah merasa sendiri dan telah merasakan cinta yang banyak, walau belum tersampaikan pada lelaki ini.

“Abis baca surat dari Mama, asli dah, kalo lagi di rumah gue di ledekin mulu pas lagi jauh tiba-tiba melankolis. Gue ga suka nangis-nangis gini.” Aine melepaskan kontak fisik dan segera menyeka air matanya mencoba terlihat tegar. Memang benar kata Danish kalau Aine itu seperti bayi macan. She likes being potrayed tough and strong dari luar tapi sebenarnya dia cengeng dan gampang tersentuh.

Kala tertawa, gemas.

“Malas jadi anak-anak.” Aine berucap. “i want to be an adult quickly, i want to be numb“

“Feelings are gift, tho, terutama yang gue rasain setiap lo bernafas.”

“Huek.”

“Sialan.”

Keduanya tertawa. “Lagian geli banget.”

“Tapi lo butuh.”

“Apa?”

“Words of affirmation.“

“Keliatan, ya?”

“Your eyebags,” Kala mengusap bantal yang menghitam di bawah mata Aine alih alih menjawab pertanyaan yang lebih muda. “Habis ngelawan naga, ya?”

“Ngasal,” Aine menoyor bahu Kala yang omong-omong semakin bidang. “Ngaca, lo yang abis ngelawan naga. Keliatan banget belom ada tidur.” Aine memperhatikan wajah Kala sedari awal kejutan ulang tahunnya dimulai.

Kala menoleh ke kaca besar di sudut kiri kamar Aine. Kantung matanya lebih parah dari Aine, baru ingat dia belum tidur dari sebelum berangkat ke Bogor.

“Kata Nabil lo skip ngajar dua kelas. Kemana?”

“Kalau sudah umur tigapuluhan,” Kala membawa tangan Aine ke dalam tangannya. “Banyak naga di mana-mana.”

Aine sedikit kecewa, Kala tidak menjawab pertanyaannya. Barangkali, dia tidak berhak tau urusan orang dewasa.

“Seram, ya? Jadi tua?”

“Sial, gue terdengar kayak udah sekarat kalau lo yang bilang.”

“Gue nanya betulan.”

“Ya, seenggaknya kalau bisa mengulang waktu gue mau sehari jadi umur duapuluh lagi.” Kala nyengir. Tiba-tiba ada yang menyala di atas kepalanya tapi hanya menyinari wajahnya saja atau memang mata Aine saja. “Nanti langsung nyamperin lo ke sekolah. Biar kita ketemu lebih awal.”

“Fyi, waktu lo duapuluh, gue masih delapan tahun, buaya banget mau nyamper anak kelas tiga SD.”

“Galak dah, beneran habis ngelawan naga ya?”

“Deadline proposal dimajuin seminggu sama dosbing, gue stress banget.”

“Makanya jangan kebiasaan deadline.”

“Gimana ya, gue tuh masih kesel sektor gue seenak jidat dipindah, kebawa kesel tiap ngerjain, jadinya stuck. Nabil yang idenya diambil orang dan harus mulai dari awal aja udah mau kelar bab satunya.”

“Wah seneng dengernya, berasa liat anak sendiri.”

“SAMA.” Aine melonjak antusias. Bisa ya ada manusia yang lupa sama sedihnya secepat kilat begitu temannya mendapat atensi. “Dia dua hari di perpus sampe malem pulang kosan lanjut ngerjain lagi sampe jadi zombie. Plis nanti pas sidang proposal lo nguji dia yang manusiawi ya, Pak.”

“Perhatian banget.”

“Nabil kan anak gue.”

“Kayanya gue duluan yang claim.”

“Tetep anak gue.”

“Kamu tuh bocil, Ne.”

Aine merengut. “Ini kenapa kita rebutin Nabil deh, jadi anak pula.”

Kala mulai menguap, kantuk menggerogotinya, ia menggeleng sambil menaikkan kedua bahu. Kali ini kepala Aine dibawa berlabuh di dada. Omong-omong posisi ini romantis tapi bikin sakit punggung jadi Aine menarik kepalanya setelah lima kali ditepuk-tepuk oleh Kala.

“Sakit.”

“Maaf.”

Kali ini yang ditawarkan pelukan. Aine suka yang ini karena kepala Kala yang berlabuh di bahunya bau sampo mint dan semua yang aman. Rasanya dunia berhenti sebentar dan yang ada hanya detak jantung keduanya. Ritmenya tidak sama, tidak seperti yang dibilang para pujangga. Pelukan juga gak sebegitu enaknya di tengah kota yang lebih dari tiga puluh derajat suhunya.

Pun mereka tetap berbagi hangat. Lebih kepada hati yang dingin dan kepala yang lelah. Pada urusan masing-masing, pada hal-hal yang gak semuanya bisa diceritakan satu sama lain.

“Manusiawi, kok,” Kala memainkan kaos Aine yang baunya seperti deterjen berwarna merah. “Capek.”

“Ya.”

“Nanti juga lewat, Ne.”

“Kalau gak lewat gimana?”

“Gue tendang biar pergi.”

Aine ketawa. Kala selalu terdengar seperti janji yang pasti ditepati.

//

Trivia: You can find Aine's mom letter on my twitter since write.as doesn't allow me to post a picture here 🙏

//

-

Januari, 2020

23:10

WHATSAPP

Kalandra: gar ini maksudnya mau bikin gue marah atau gimana

Gara S: di kantor lo?

Kalandra: iya dari dua hari lalu udah gue wanti-wanti ke mereka jangan dadakan dikira tim kita nganggur semua dan intern ada 10 apa

Gara S: ya emang sampah gue kepingin nolak itu project dari awal tapi after damage nya lo tau sendiri kan they've got goverment higher up's back up

Kalandra: tapi gue pantes kesel kan?

Gara S: ya pantes but your power lies in your response

Kalandra: for the first time, let me be lah ya, kesel banget gue

Gara S: ya tapi ini lo kesulutnya cepet banget saran gue sih, ini yang unclear masalah ownership aja which is an asshole move but maybe there is bandwidth issue on their side

Kalandra: atau time constraint menurut gue

Gara S: yap we still can ask, right? niatnya gue mau nyampein ke lo ntar senin lo ngapain dah bukannya balik ke apart

Kalandra: fable mau gak sekarang

Gara S: no thanks velvet aja lebih kalem

Kalandra: ok

-

Kala teler. Empat belas tahun berteman dengan Kalandra, Gara hakikatnya sudah paham ia harus melakukan apa saat temannya itu impulsif mengajaknya mencari distraksi seperti ini. Kala tidak pernah semuak ini menghadapi klien, tapi yang kali ini punya history yang cukup buruk namun punya nama besar sehingga untuk ditolak rasanya kelewat sayang karna bagaimanapun, CHAD masih butuh reputasi. Maka dibiarkan Gara temannya itu minum sepuasnya malam ini, harus tahan melihat Kala meracau hingga pipinya merah padam dengan cuma makan kentang goreng plus jus semangka saja. Dia harus diantar pulang.

“Gara?” pundak Gara ditepuk pelan oleh suara di sampingnya. Gara menoleh.

“Li. Udah lama?”

“Udah ini mau balik, acara ultah temen.” Lia tidak lepas memperhatikan sosok yang ada di hadapan Gara, menopang dagu sambil memejam. “Teler dia?”

Gara mengangguk. “Stress doi.”

Lia tertawa, “I guess so, biasa gak gini.”

Gara mengiyakan, tidak ada yang lebih tau kebiasaan Kala di kota ini selain Gara dan mantannya yang satu ini.

“Papa lo gimana?”

“He's getting better, Gar. Thanks ya, thanks to him too. Gaenak banget gue kemarin minta dianter tengah malem haha.”

Gara punya ide cemerlang. “Halah, ini lo pulang bareng siapa?”

“Nebeng temen sih. Jangan bilang lo mau nitip Kala ke gue?”

“Kalo lo mau. Mager banget gue besok pagi, balik lagi ambil mobil dia kesini.”

Lia mikir, toh besok weekend dan Kala hangover nya butuh treatment yang gak bisa dikerjakannya sendiri.

“Yaudah siniin kuncinya. Gue bilang temen gue dulu.”

Gara tersenyum penuh kelegaan. Dia terbebas dari Kala yang dipastikan akan rewel keesokan harinya.

-

Tubuh Kala yang sudah separuh mabuk disandarkan pada kasur besarnya. Tadi Lia bertanya pass code apartemen Kala dan belum berubah dari dua tahun yang lalu. Masih deretan angka ulang tahun ibu nya. Ada senyum kecil yang lolos dari wajah Lia mengingat betapa tidak banyak yang begitu berubah dari Kala dan isi tempat tinggalnya ini. Masih random dalam menempatkan barang namun tetap terlihat estetik.

Lia mengelus surai hitam Kala hingga empunya membuka mata perlahan, “Udah oke?”

Ada dengus halus lolos seiring Lia yang memerhatikan air muka Kala lebih dekat. Sunyi. Mata itu terkatup lagi. “Hei.” dan ia terpaksa mengguncang bahunya pelan. Erangan lemah datang dari lelaki yang terbaring dengan kemeja yang sudah kusut disana sini, lantas tanpa dinyana, “Anj-,” lengan Lia ditarik, membuat keduanya bertumpuk diatas kasur.

Lidah Lia kelu. Tubuhnya yang lebih kecil raup dalam rengkuh mantan kekasihnya itu. Wajah keduanya terlalu dekat sampai Lia bisa mendengar deru halus napas Kala. Paras apiknya berhasil mengantarkan nyeri di dada, membuat jantungnya bertalu-talu tanpa kenal lalu. Dentumannya beringas sampai Lia kira Kala akan dengar bila ia berlama-lama dalam posisi ini. “Bangsat, masih cakep banget kamu, padahal teler gini.” Sampai tanpa sadar, itu terucap.

“Hei..” Kala memanggil lemah, dua pasang mata itu bertemu dalam serobok yang entah apa namanya, mungkin bagi yang satunya rasa rindu yang lama tidak bersua bagi yang satunya semacam distraksi tanpa rasa sadar. Berengsek pada jantungnya, pada panas yang menjalar di telinga serta wajah, sebab wajah Kala mendekat hingga hidung keduanya bersentuhan.

“Kamu jauh lebih indah dilihat sedekat ini.”

“Kala, kamu mabok.”

Kala menggeleng. Lia mengumpat pelan. “Kalau aku cium kamu sekarang,” kalimat Kala seperti memaksa isi perut Lia bergulat lantaran terlalu panik mendengar lanjutannya. “Kamu biarin apa tampar?”

Ada saliva diteguk. Lia hanya mendengus.

“Aku biarin.”

Per menit itu, mereka lalu lupa apa saja batasan yang sudah keduanya lewati. Bibir, rahang, leher, hingga bagian lain tak luput dari tangan serta bibir Kala; diklaim tanpa ampun, ditelanjangi usai diberi izin. Lia hanya pasrah dan ribut sendiri kala menikmati. Setidaknya sampai pagi datang dan batin Lia tertawa lirih; pasrah.

-

WHATSAPP Anak-anak Bapak Danish (Ryan ganteng, bilbil, danish, aine f)

Bilbil: ryan mana

Ryan ganteng: hadir

Bilbil: explain whom did you watch movie with kemaren

Ryan ganteng: DIPAKSA beneran, naya tbtb muncul, katanya lg ada urusan di jkt

Bilbil: tapi seneng

Ryan ganteng: ya..

Aine f: katanya udah move on move on, tolol

Ryan ganteng: ngaca tolol

Danish: berisik dah tapi gue kalo jadi Ryan sebenernya juga bakal sama sih sent a picture look at her, she got that brain and beauty ryan, you lucky b*trd

Ryan ganteng: lo dapet aja foto dia

Danish: bilbil yg kirim ke gue, dia follow naya di akun gembokan

Aine f: btw, explain gue harus move on sama siapa @ ryan

Bilbil: om sudirman lach

Aine f: KENAPA

Bilbil: yeu bucin si jamet

Aine f: elu jamet

Ryan ganteng: emang lu liat prospek bisa sama dia apa, Ne? model elu

Aine f: explain “model elu”

Ryan ganteng: bocil 👧

Aine f: jangan menabur garam di atas luka gue

Danish: ne lo ke pak kala itu suka “aduh dia harus jadi pacar gue” atau sukanya nabil tiap liat orang kaya

Bilbil: anjinh gue terlihat richsexual

Ryan ganteng: apaan richsexual anjir. matre.

Aine f: kagak tau asli kagak tau, Dan suka yang kalau jadi pacar dia ya mau tapi kalau dia punya pasangan ya.. seneng juga kek tu orang udah lama bgt keasikan kerja. kalau dia punya pacar kan ada yg urus gitu

Danish: jadi lo gak pernah cemburu

Aine f: ya pernah sama waiter aja gue pernah bete bgt tapi sekarang gue mikirnya who doesn't want him? everyone who wants him simply chase him and there is nothing I can do about that

Danish: AH KOK EMO tapi sama

Aine f: gak usah ikut-ikutan lo sama shanna adalah case yg berbeda

Bilbil: kok lo udah dewasa aja si kalo ada waiter genit sama mas tipnya gue kurangin dari sepuluh ribu jadi lima ribu

Aine f: lah gimana ya gue udah mikirin lama. dari lo live instagram dulu itu. kadang gue wondering kapan gue bisa openly cerita gue suka sama siapa ke mama atau pdkt kayak anak kuliahan lain dulu gue denial juga sekarang daripada nuntut atau ngehindar gue lebih pengen ngerangkul perasaan itu? bisa kenal orang sebaik dia aja udah privilege

Danish: ah nangis nih gua gak nyangka anak yg dulu roknya robek di pantat karena ngelompatin pagar sekolah sekarang segede ini

Aine f: gukguk inget aja lo

Danish: INGETLAH gue yg lari ke koperasi beliin lo rok baru

Bilbil: kok kita jadi jujur-jujuran gue juga mau jujurlah sebenernya gue sama mas paling jauh pegangan tangan tapi kalau diledek ngamar-ngamar gue iya iya aja soalnya seru

Ryan ganteng: APA SERUNYA

Aine f: itu yg lo ga pulang pas di bandung?

Bilbil: midnight drive asliii gue sama dia tu kalo ngobrol emang kayak gue sm kalian bisa sampe pagii terus yakali gue balik ke rumah ryan pagi-pagi

Danish: pegel-pegel itu?

Bilbil: coba lu tidur di mobil?! pegel!

Ryan ganteng: tidur di belakang lah

Bilbil: gue ketiduran terus mas tuh gak berani megang gue walau sesimpel gendong ke jok belakang DIA TUHHH CUPAPSSS JADINYA LUCU

Danish: bukan cupaps bego, sopan

Bilbil: gue tuh ginigini punya abang protektif bgt. jd ya doktrin cowok tu serem masih kenceng di kepala gue tapi ngeliat mas nahan gue biar gak jauh-jauh pas nyeberang aja gak nyentuh siku.. gue kayak 🙁🙁 ...gue tuh sepuluh tahun lagi mau punya rumah bareng org ini tapi dia gak pede buat jagain gue AAAAAAAAA

Aine f: kemaren pas kita berantem itu mas mau nonjok ryan

Bilbil: AAAAAAAAAA

Danish: anak-anak gue dah dewasa ya

Aine f: dan, lo inget ga dulu tiap upacara sekalipun lo gak punya duit terus minjem gue demi beliin topi buat cewek lo paham bgt guaaa terus abis topi nya dibalikin lo cium-cium “hehe bau dia, Ne” GELI BANGETTT BUCIN BGT ga nyangka sekarang lu bisa tahan di php in sama tuh cewe bolang

Danish: sialan lu

Ryan ganteng: LAH DAN SAMA

Bilbil: sinting

Ryan ganteng: gue dulu mau disuprise ultah ala-ala sama Naya, mata gue ditutup dasi dan gue tau itu dasi siapa karna ya gue hapal baunya Naya saking bucinnya

Aine f: SMA memang peak tolol ya

Danish: sebenarnya kita tolol sampe sekarang tapi waktu SMA waktu luangnya banyak kaya istirahat betingkah, jam kosong betingkah, kabur dari sekolah

Bilbil: gue dulu ya saking seringnya bolos sekolah pake mobil temen yg dianter supir SATPAMNYA SAMPE NGECEK. di stop gitu mobil temen gue disuruh buka kaca. gue pernah masuk bagasi cuk pernah tiduran di lantai mobil terus di atas gue ada dua anak lagi terus sm supir ditutup pake karpet

Ryan ganteng: ribet bgt tinggal lompat pager

Aine f: lucu deh pengen cerita ke om kala

Bilbil: OM

Aine f: maksudnya bang

Danish: lo ngejual aib temen buat ngobrol sama gebetan

Bilbil: gue juga gitu kalau lagi sama mas

Aine f: TUH

-

#sebuahpercakapan