a more little glimpse from the wedding date
***29***
“Jadi, gimana rasanya?” Danish menyodorkan air mineral ke tangan kiri Aine yang menganggur. Di tengah pandemi dunia yang saat ini sedang mewabah, waiting room bandara Soetta hari ini terlihat cukup sepi. Aine memasuki libur semester bersama Danish yang mengambil cuti kerja selama satu minggu akan pulang ke kampung halaman mereka di Lampung.
“Apanya?” Tanya Aine sambil membuka tutup botol dan menarik maskernya ke bawah untuk menegak air mineral, kehausan.
“Kondangan sama Pak Kala.” Muncul senyum kecil di balik masker yang dikenakan Danish.
Hari ini mereka sama-sama pakai jaket denim, janjian, Aine yang minta supaya keliatan keren ala airport fashionnya idol-idol kpop. Iya, Aine serandom itu. Danish yang sudah khatam tingkah anak itu dari jaman SMA nurut aja.
“Enak, ada zuppa soup.”
“Lo diajak nikah juga ga?”
Yang bertanya ngakak, Aine kesedak minumannya sendiri. “Hahaha panik lu.” Danish membantu Aine menepuk-nepuk punggungnya.
“Tolong mulut lo di sekolahin.” Aine bercanda. “Gak ada ngajak nikah, dia cuma nawarin pudding. Terus abis itu kan acara bebas, gue kayak kambing bego gitu abisnya temen-temennya becanda bapak-bapak semua, gue kabur aja hunting makanan, eh terus dia naik ke panggung kecil gitu buat speech. Ganteng banget, Dan. Asli, ganteng, banget. Gue sampe bengong pas dia nyamperin gue habis turun panggung.”
Kalau ditanya bagaimana perasaan Danish melihat sahabatnya satu ini, dia sayang sekali, sampai rasanya melihat Aine yang antusias tiap cerita tentang sosok pria berumur 32 tahun yang dikaguminya itu menaruh afeksi berlebih terhadap Aine, Danish bersyukur luar biasa. Perempuan di sebelahnya ini tidak tau bagaimana rupa asli kedua orang tua yang melahirkannya dan bagaimana dia bisa diletakkan begitu saja di depan pintu panti duapuluh tahun yang lalu tapi tidak pernah sekalipun dia merasa pantas membenci mereka dan selalu bilang 'mereka pasti punya alasan kenapa tidak punya kuasa untuk membesarkan gue'. Aine punya banyak alasan untuk benci pada dunia tapi urung dilakukannya dan Danish sebegitu bersyukur sahabatnya punya sosok yang bisa diandalkan di perantauan selain dirinya, yang sampai saat ini masih bergelut dengan proses aktualisasi diri, baik untuk karir dan hubungannya sendiri.
“Tapi serius deh, kalau diajak nikah, lo mau gak?”
“Ya maulah, tapi nggak sekarang, Dan. Enggak dengan gue yang masih kaya oncom gini.”
Danish mengangguk, “I see.“
Aine melihat sekeliling dan menghembuskan napas, melanjutkan.
“Gak tau sih, Dan. Kayak, as much as I want to be with someone, gue harus stabil dulu gak sih? Harus tau bakal menetap dimana, kerja dimana. Kangen tuh gaenak.”
“Iya paham sih, Ne.”
“Kalau lo semua nikah, gue nangis kayaknya.”
Panggilan untuk masuk ke gate pesawat menggaung di sudut-sudut hall waiting room, orang-orang di kanan kiri mereka bergegas berdiri dan mengangkat bawaan masing-masing tak terkecuali kedua sahabat itu. Untuk rehat dari riuhya ibukota dan gedung-gedung tingginya, dari tumpukan buku-buku di perpustakaan yang harus di tandai kutipan-kutipannya, dari makanan cepat saji yang dipesan lewat aplikasi online sebab tidak ada ibu dan dapurnya yang setiap pagi mengepulkan asap, dari selipan selipan tangis di kamar mandi kantor dan sudut ruang bimbingan dosen.
-
Di pesawat, kepala Aine berputar bagai menampilkan kaleidoskop, kepingan-kepingan kecil yang terjadi di hari sebelumnya.
-
Aine Fala
Rasanya tempat pernikahan berlangsung ada di dunia yang berbeda dengan tempat lainnya di seluruh bumi yang sudah mau mati. Maaf menyinggung mati di kalimat yang sama dengan pernikahan. Ini pasti efek mendengar playlist punya Nabil yang dinamai jujur capek tapi gak boleh mati. Namanya aneh tapi gue rasa sangat sesuai dengan kehidupan sehari-hari.
Haha, lebay ya. Padahal yang gue tanggung di atas kedua kaki cuma badan sendiri. Sesekali nilai kelompok yang gue ketuai. Selebihnya, ya, cuma diri. Yang gue khawatirkan cuma nilai dan acap memilih kabur ketika semesta terasa gelap sedangkan mama dan papa yang tetap bekerja apa pun yang terjadi karena memikirkan dua mulut yang harus disuapi.
Mama, papa, yang bersedia membesarkan gue yang mereka panggil dengan 'kakak' yang bahkan bukan tercipta dari darah dan daging kalian sendiri, sejak pertama kali menikah hingga sekarang, sudah berapa banyak kesedihan yang kalian teguk sendiri karena ternyata janji berbagi suka duka kadang tidak begitu berarti? Berapa banyak kebahagiaan yang mengisi relung hati karena melihat orang yang dicintai begitu bangun pagi? Apa rasanya masih sama setelah bertahun-tahun?
Mama, papa, apa yang membuat kalian berani berjanji sehidup semati? Karena di kepala kakak, konsepnya masih abstrak sekali.
Ada tepukan di bahu tanda gue sudah terlalu lama memperhatikan dekorasi dan melanglang buwana di pikiran sendiri. Kalandra, sosok yang acapkali gue panggil sesukahati dengan Pak, Om, Mas seringnya Bang, melambaikan tangan dengan cengiran yang timpang, meledek. Tanpa suara dia bertanya apa gue sudah kembali fokus. Gue mengangguk lalu dia mengusak rambut yang pontang-panting gue jaga supaya tetap rapi di tengah sesaknya KRL.
Jujur, pria umur tiga puluhan ini acap bikin emosi tapi gue gak bisa gak membayangkan bagaimana jika gue dan dia bisa berjalan bersama dengan status lain minimal dua kali sehari. Seringnya pas boker dan lupa bawa ponsel, sih. Kamar mandi tuh magis.
“Pestanya dimulai kapan?”
“Undangan jam sepuluh, sih.” Gue hampir emosi karena ini masih jam delapan dan buat sampai ke sini ada kereta paling pagi yang harus dikejar. “Tapi mau foto-foto panitia dulu. nanti gue gandeng dikit santai, ya?”
Kalau gak ingat Pak Kala punya apart di thamrin dan bisa melindas gue tanpa masuk penjara, gue mau mencakar mukanya. Gue bukan lagi anak-anak tapi tahu kan mempermainkan anak kecil itu ilegal? Bagaimana kalau tiba-tiba jantung gue yang berharga, karena sudah didaftarkan untuk donor sejak gue punya ktp, gagal berdetak dan gak ada lagi yang membantu gue bernafas.
Oke, memang kata orang kaulah separuh nafasku tapi paham kan kenapa dia gak seharusnya dengan santai menaruh kedua tangan di dalam saku celana bahan dan terlihat seperti lukisan setelah melempar canda yang hampir, hampir, melewati batas.
Sebut gue bodoh karena begitu saja ambyar, tapi bisa apa ketika berminggu-minggu ini gue kangen sama dia, gue lelah dan resah karena kuliah dan lama-lama hubungan kami makin kabur. Rasanya gue sendiri yang membuat garis merah menyala di kepala saat pertama kalinya dia membasuh ragu di kepala dengan sejuta kata yang buat gue gagal paham. Bagaimana bisa gue gak pernah terpikir dengan caranya?
Jam rolex di tangannya menunjuk angka delapan dan satu. Gue hafal betul jam yang ini adalah model lama yang dibeli second. hanya dipakai oleh Pak Kala di okasi-okasi istimewa. Jam bermerek pertamanya. Dibeli karena dia perlu tampil rapi dan menawan di depan partner. Sekarang dia sendiri adalah partner, konsultan berlisensi paling muda di Indonesia.
Lebih dari itu semua, Kalandra hadir dengan berbagai cara di saat gue susah. Kata-kata yang gue ingat sampai sekarang, yang gue baca lagi di kala resah, buku-buku mahal yang memotivasi gue belajar, ajakan-ajakan makan yang membuat gue punya semangat untuk kembali duduk tegak sampai kelas selesai, mobil yang gue dan tiga sahabat gue pakai ke Bandung, rumah ketika gua gak punya tempat pulang (figuratively dan literally), dan sosoknya sendiri.
“Mau minum gak?”
“Katanya mau foto?”
“Masih pada ngobrol sama keluarga, tuh. Gue nanti gabung kalau Bang Bimo gabung, dah.”
Bimo yang dimaksud oleh Kala adalah pemuda tiga puluh empat tahun yang sudah punya anak satu. Anaknya lucu banget, deh. berisik, tidak punya takut dan banyak bertanya. Gue kayak melihat diri sendiri di dalam Cindy. Bedanya gue gak seberani bocah keren itu.
“Itu yang gandeng Cindy mantan istrinya Bang Bimo?”
“Iya. Dulu paling rajin jewer Gara kalau males kuliah.”
“Wah?”
“Biasa, Gara maunya kuliah di kampus lain tapi dipaksa masuk kampus kita. Padahal keluarganya mampu nyekolahin di tempat lain. Kalau gak ada Dian, anak itu gak lulus. ralat, kalau gak ada Dian, gue, Gara sama Bang Bimo mana ada yang lulus.”
“Lo tukang bolos juga, Bang?”
“Kadang laper sampai gak bisa bangun.” Kala mengingat dengan senyum miris. Hati gue teremas. Manusia ini cuma 182 sentimeter tapi apa-apa yang dia simpan dalam sosoknya jauh, jauh, jauh lebih besar dari itu. Gue gak tau harus melebarkan langkah bagaimana lagi supaya bisa memperkecil jarak antara kami setengahnya saja. “Gue dulu miskin tapi gak suka dikasianin. Lagian jaman dulu mana ada yang benar-benar kaya gitu, paling Gara. Yang punya motorola cuma dia.”
“Terus? Dibangunin Dian Dian ini?”
Kala ketawa dan menoyor gua pelan. “Mamanya Cindy itu.”
Benih benih iblis dalam diri gue mulai cemburu gak tau diri. Padahal waktu Kala kuliah, gue masih SD kelas satu dan gak bisa ngapa-ngapain walau kami sudah berkenalan saat itu.
“Dian sering datang bawa nasi bungkus. disumputin dalam baju karena di kosan cowok mana ada yang bisa tenang dengar suara plastik. Pasti dikerubutin buat minta isinya.” Kala ketawa kecil. “I owe her a lot.“
“Like I owe you.“
“Gue gak berjasa banyak, Ne.”
Salah.
“Lo dari awal punya semuanya. Gue cuma bantuin biar lo pakai aja.” Kala menepuk bahu gue dalam tepukan pelan yang dari luar gak ada rasanya, tapi di dalam sini gue rasa semesta gue dihujani tanda tanya. “Lagian, gue yang belajar banyak dari lo.”
Salah.
“Belajar apa?”
“Jadi bocah.”
“Dih, ngeledek.”
“Beneran.” Kala melayangkan tangannya. hampir mengusak rambut gue, tapi urung. Sepertinya dia ingat sehabis ini kami bakal foto bersanding dengan mempelai. “Gue gak begitu tahu rasanya... suporteran, excited nunggu film dirilis, mencoba-coba rasa boba, menyambung-nyambungkan lirik lagu dengan hidup, ngumpulin sesuatu, dan banyak lagi. Kalau kita gak pernah kenal, belum tentu gue belajar itu semua.”
“Lo punya banyak mahasiswa, pasti ketemu, Bang. Kebetulan aja gue jadi penanggung jawab waktu lo pertama kali ngajar.”
Tuh kan. Bayi dajjal dalam kepribadian gue menjawab dengan insekyur. Kata Nabil, harusnya gue menjawab dengan terimakasih semanis-manisnya saat dipuji, tapi gak bisa. Rasanya geli sebadan-badan ketika dipuji lebih dari yang gue rasa gue lakukan. Beberapa geli gue nikmati, sih, tapi tetap aja reaksi otomatis gue untuk pujian adalah menggeleng kecuali dipuji paling jago main sepeda di antara anak-anak sekomplek.
“Engga, kok, gue juga gak kepikiran mau kenal sama mahasiswa kalau yang gue kenal pertama kali bukan lo.” Kala nyengir. “Tau sendiri gue bapak-bapak. Rasanya gak bakal nyambung kalau ngobrolnya sama maba. Makasih ya udah cocok sama gue.”
Bayi dajjal dalam kepribadian gue salto ke kawah gunung yang meletup karena Kala tidak terdengar berdusta.
—
Lampu-lampu yang bergantung di pepohonan menyala. Pahatan angsa dari es dikelilingi buah-buahan yang terlihat segar, ada air mancur coklat kecil yang buat gue diketawain Kala karena tak bisa melepaskan mata. Ada zuppasoup dan starbucks. Gue sampai memijat kepala. Ini yang katanya menghemat budget karena cuma modal berdua. Duit mereka sebanyak apa, sih?
Gue tahu dunia tidak adil, tapi melihat dua manusia rupawan yang sama-sama mapan menemukan kepingan puzzle pelengkap mereka di dalam satu sama lain membuat gue merasa... iri. Gue jarang sekali merasa ingin memiliki yang orang lain punya, tapi hari ini gue ingin memiliki keberanian sepasang pengantin di atas sana.
Pasti banyak, banyak sekali yang harus dipertimbangkan ketika ingin menyatukan linimasa hidup dengan orang lain. Menikah bukan cuma berjanji lalu tidur bareng. Menikah artinya terikat, artinya mau membagi dan mau menerima.
Orang suka beranekdot tentang kehidupan rumah tangga. Bagaimana bila setelah menikah baru ketahuan ternyata dia tidurnya ngangkang kaya kodok atau punya kebiasaan menumpuk cucian sampai seharian. Gue sendiri lebih takut kalau harus membagi yang jelek-jelek dalam diri gue. Bagaimana bila seseorang menikah setelah bertahun-tahun menjaga kekurangannya rapat-rapat dan gagal menemukan cara untuk membagi gelisahnya bahkan setelah janji sehidup semati lalu tersiksa selama pernikahannya? Bagaimana bila cinta itu terbakar habis seperti matahari yang suatu hari akan mati?
Pertanyaan-pertanyaan itu berhasil dilawan dengan tangan orang lain dalam genggam dan rasanya gue gak pernah seingin ini punya keberanian orang lain.
“Ada yang nanya kenapa buru-buru amat nikahnya. Kalau kagak buru-buru Cecil keburu waras, dah. Gak mau sama gua.”
Gue ketawa. Semua hadirin kecuali beberapa orang tua yang mesem-mesem juga.
“Alasan seriusnya, sih, gue gak pernah bayangin bangun pagi terus liat muka lain. Sumpah, Cil, mending bangun liat kamu tidurnya mangap dikit daripada liat luna maya.”
Gue mendengar Pak Kala mengumpat sambil melepas kacamatanya buat ketawa. Pemain piano dan biola yang disewa bersama pemusik lain untuk memeriahkan suasana sengaja memainkan nada-nada yang pilu. Entah gagal menangkap humornya atau sengaja karena gue merasa mata gue memanas.
“Aku seneng sebenarnya dimarahin kamu biar inget pulang soalnya sewa apartemen mahal. Sayang kalau ditidurin cuma pas sakit, ya? Aku inget banget kamu dateng-dateng ke apart masih pake celana tidur saking sayangnya sama aku—”
“Lebay, apart kita satu gedung.”
“Kondusif, dong, istri.”
Rasanya hangat. Hangat sekali mendengar panggilan istri. Seolah diingat mereka sudah di titik yang begitu jauh dari awal berkenalan. Gue gak bisa gak melirik Pak Kala. Kedua matanya juga sedang menatap ke sini.
Tiga detik. Tiga detik sampai Bang Gara kembali bicara dan kami lagi-lagi membuang muka.
“Waktu itu, aku takut. takut kamu marah, aku sendiri lagi emosi, kalau denger kamu ceramah perkara kesehatan kayanya kita gak nikah sekarang, tapi yang pertama kamu lakuin adalah ambilin aku obat. Tahu aku gak bisa minum obat kalau gak digerus terus kita dimarahin dokter kamu soalnya obat gak boleh digerus sembarangan. Tapi, toh, aku sembuh. Kayanya aku sembuh karena kamu, deh, selama ini.”
“Cil, waktu pertama kali ketemu. Aku masih lulusan gak tau diri yang cabut dari kewajiban kerja sama negara. Gak punya apa-apa. Kamu beneran gak tau siapa cowok lusuh yang dicopet di jatinegara tapi gak ragu ngasih gua duit buat balik. Kalau waktu itu gua tukang tipu kan rugi banget cepek, Cil.”
“Untung gua kepikiran lari ngejer lu buat minta kontak waktu itu. Kalau gak, gua di bawah sana kali nonton lu nikah sama orang lain. Kalau gak, gua nangis kali di luar gedung karena bukan mantennya.”
“Lebay.”
Waktu Kak Cecilia nyedot ingus, gue bisa dengar banyak tamu di sekeliling nyedot ingus mereka juga. Terkutuk background musik yang sedih banget padahal gue yakin cewek-cewek yang nangis make up-nya minimal setengah juta sendiri. Gue mengusap pipi dan merasakan bekas jerawat yang mengering. Keapa gue gak minta dandanin lebih tebal sedikit ya sama Nabil.
Habisnya, suasana ini begitu magis. Latarnya, cahayanya, atmosfernya. Bagaimana gue bisa melupakan sedikit tentang ujian yang baru selesai dan fokus berangan-angan apa bagaimana nanti kalau gue yang jadi mempelai. Pakai adat gak, ya? Tapi, gue juga mau pernikahan yang cuma berisi teman-teman. Gue mau menyapa semua orang dan bercengkrama. Sekalian pamerlah!! Liat gue kawin!! Gitu.
Gue menoleh dan lagi-lagi menemukan Pak Kala sudah melihat ke sini lebih dulu.
Lagi-lagi gue berandai kalau tadi pagi minta didandani Nabil dengan foundationnya, warna lipstik yang lebih bold dan maskaranya. Mungkin gue dicium kali, ya.
Kala membuka jendela di belakang meja kerjanya. Langit mulai berubah warna menjadi oranye dan suara orang-orang mengaji sudah menderu di berbagai penjuru pertanda hari sudah hampir malam. Ingin pulang tapi ia malas menghadapi macet yang sudah mutlak di jam segini. Saat ini, Aine pasti sudah duduk manis di dalam pesawat menuju kota kelahirannya. Libur semester selama 3 minggu dan selama itu Kala harus tahan-tahan untuk tidak impulsif membeli tiket yang saat ini sedang mengalami penurunun harga setengahnya untuk beberapa destinasi, termasuk ke Lampung.
-
Ransi Kalandra
Gara brengsek. Gua gak tau bisa sebangga ini sama orang cuma karena dia menikah. Orang yang benar-benar gua sayangi selain keluarga di dunia ini cuma segelintir dan yang menikah di antara mereka baru Bimo dan Gara. Di pernikahan Bimo dulu, gua cuma fokus ke makan gratisnya aja. Gua gak memikirkan susahnya mau kawin dengan legal begini. Tiga belas tahun setelah pernikahan Bimo, gua disuguhi lagi pemandangan orang nangis di altar, tapi bedanya kali ini gua paham sedikit resahnya.
Gara berkali-kali mau nyerah. Bukan karena Cecil, tapi karena dirinya sendiri, karena semesta. Bocah sombong itu tidak mau menemui orang tua Cecil tanpa apa-apa. Padahal memulai bisnis gak mudah, gak cepat. Gara takut Cecil ia buat menunggu terlalu lama, padahal gua yang gak kenal-kenal amat sebelumnya aja bisa lihat Cecil mau menunggu lima puluh tahun lagi sekalipun.
Lebay.
Tapi, kalau liat bagaimana mereka saling tatap di ruangan ramai seolah dunia ini kosong dan yang berarti cuma hadir satu sama lain, kalian bakal paham.
Cinta semagis itu. Pernikahan yang ruah diisi cinta semagis itu. Rasanya gua mau menarik bahu perempuan di samping gua dan mengajaknya begini juga.
Aine pernah memaksa gua marathon marvel dan menjelaskan konsep multi semesta. Mungkin di semesta lain yang iron man-nya masih terbang di langit sana, gua berlutut di hadapan Aine lalu dia bilang iya.
Lampu-lampu yang menggantung di pepohonan pesta ini pasti ketawa kalau bisa ketawa. Gua sayang banget sama anak ini. Sesayang itu sampai mencapai lampu di atas kalau ditegakkan, tapi sayang itu membuat gua ingin menjaganya dengan berbagai cara termasuk dari diri gua sendiri.
Gua gak selalu orang dewasa baik hati yang bisa menangkap semua gelisahnya. Gua sendiri punya emosi, punya masalah dan kekurangtahuan gua akan cinta membuat gua gak bisa menilai apakah Aine dan letupan-letupan masa remajanya bisa tetap baik-baik saja bila bertemu gua dalam versi lagi gak waras juga.
Makanya gua sempat dan sering menghilang apalagi beberapa minggu terakhir. Makanya gua gak mengirim pesan panjang yang isinya setelah gua baca lagi sampah abis padahal gua sudah janji akan jujur padanya juga.
Gua sayang sekali sama sosok ini sampai gak tahu gua lebih banyak betulan sayang sama sosoknya atau semua keremajaannya yang memerangkap. Gua sayang sekali pada pemilik dua bola mata yang begitu polosnya menatap ke sini sampai gak bisa berpikir bagaimana kalau dia dewasa dibawa dunia dan gua gak mampu menjaganya.
Bagaimana kalau gua bukan lagi orang yang superior darinya dan dia kehilangan tempat buat bertanya. Dia bilang senang kenal gua karena selama ini tidak banyak lagi yang bisa dia jadikan tempat bertanya. Tidak banyak lagi yang bisa beri dia validasi salah dan benar. Gua tahu dibalik sosoknya yang tegak terbentuk, dia gak suka disuruh membuat keputusan besar tanpa supervisi.
Lini pekerjaan yang gua jalani membuat angan-angan tidak boleh dilakukan tanpa dasar kalkulatif. Tapi, lihat gua sekarang, duduk di pernikahan sahabat sendiri dan berangan, bertanya-tanya, dan meragu ini itu soal tahun-tahun ke depan yang belum tahu bakal terjadi atau enggak.
“Sedih banget.” Aine berkata pada akhirnya. “Nanti giliran angkatan gue nikah bumi udah kiamat belum, ya.”
Gua gak kuasa lagi melihat matanya. memang boleh, ya, ada manusia segini berharganya.
“Lihat sekarang bencana di mana-mana karena bumi gak dijaga. Gue gak akan pakai plastik lagi dan isi seluruh petisi lingkungan di dunia supaya Nabil tetap bisa kawin. Kasian banget anak itu kalau keburu kiamat sebelum dia pakai gaun pengantin.”
Banyak sekali yang gua kerahkan untuk gak mengecup pipinya.
“Kenapa Nabil?”
“Dia yang bakal nikah pertama. Gue yakin.”
Gua ketawa. Membiarkan Aine meracau tentang rasa sayangnya terhadap sahabat-sahabatnya, terhadap bumi dan pikiran-pikiran lain yang lewat di kepalanya. Rasanya seperti dipeluk dan ditepuk di punggung.
Dunia akan mendewasakan Aine, itu pasti, tapi biarlah itu untuk nanti. Hari ini, salah satu hari termanis yang pernah gua lewati, dia duduk di samping gua, di tengah pernikahan, terus berbicara sampai gua menawarinya pudding.
Dia mengangguk.
-
#sebuahpercakapan