sebuahpercakapan

sebuahpercakapan

*******1********

Pewangi ruangan kafe kalah dengan meyeruaknya harum versace blue jeans, kemeja marunnya dan celana rapi bersanding di tubuhnya, sabuk dan sepatu dengan warna matching yang Aine rasa punya harga hampir sama dengan uang jajan bulanannya dan teman teman satu gengnya selama setahun. Di gedung tempat Kala bekerja ada toko buku sampai kafe, Aine mikir sesibuk apa orang-orang di sini sampai tidak sempat ke toko buku atau kafe yang jauhan dikit.

Tapi Kala disini, meluangkan waktu untuknya. Dia makin merasa kecil, dan sedikit merasa bersalah.

“Bengong aja?” “Eh” jawaban Aine singkat, dia kehilangan kata-kata, IPKnya boleh bagus, project tugasnya selalu dapat pujian, tapi semuanya kehilangan nilai di depan Kala yang tidak melakukan apapun.

Waktu pelayan datang, Aine diam melihat halaman depan menu, benar-benar cuma diam aja. Kala menyuruh yang lebih muda untuk memesan semaunya. Aine agak tidak terima pada harga menu disitu, rasanya mau ajak Kala ke mekdi aja tapi tidak mungkin, Kala tidak punya banyak waktu untuk berpindah tempat cuma untuk meladeni dia.

Satu porsi kebab dan teh tawar dipesan Kala, Aine memesan kentang goreng dan milkshake coklat.

“Jadi mau belajar apa?”

Buku hard cover Foss edisi kesebelas dikeluarkan Aine dari tasnya, original, bukan hasil fotokopian di dekat parkir pintu keluar kecil di samping kampus seperti yang biasa dia dan teman-temannya pakai. Kado dari Kala karena nilai proposal magangnya mendapat A.

“Jarang dibaca ini sih.”

“Pak sekarang semua pake ppt,” langsung merasa tidak enak, Aine langsung menambahkan “but thanks, the original one is easier to read. “

“Right?” jawab yang lebih tua disertai anggukan, suara Kala tidak berat dan mengintimidasi tapi Aine merasa kehilangan kuasa atas kesadarannya pada suara itu. Dia merasa seperti gelas kosong setiap bersama Kala, yang anehnya menyenangkan. “Sekarang belajar lebih gampang you guys have to be grateful, dulu kita di kelas ada ayam terbang lewat jendela.”

Yang mendengarkan cuma bisa ketawa kecil, Kala bisa cerita soal hal remeh seperti melihat ayam terbang di kelas, sambil bertelur di sana sekalipun tapi tetap terdengar pintar.

Kala minum tehnya, cakep. Melihat hapenya, cakep. Bertanya apa lagi yang mau ia pelajari, cakep. Berulang-ulang disebut, seolah kata itu kehilangan maknanya tapi Aine tidak bisa berhenti. Dia berharap detik tidak perlu terburu-buru untuk berjalan supaya dia bisa berlama-lama dengan Kala.

Tapi Aine tau, yang membutuhkan Kala banyak. Tiap detik putaran jam di pergelangan tangannya berbanding lurus dengan satu halaman riset bisapula risalah klien yang menunggu untuk ia beri approval akan kalkulasi biaya produksinya.

“Coba minum ini deh, Ne” Kala menyodorkan teh pahitnya. “Kalo pake gula baru mau.” “You got a tongue of a kid.”

Aine mencoba mencari jawaban yang sepadan dengan kata-kata Kala tapi tiba-tiba hape Kala bedering.

“Ya?” Kala menyatukan kedua alisnya, “extend aja, Gar, gua di bawah.”

Terdengar nada sambung, terdengar lebih formal dan tegas, nada bicara Kala berubah.

“—if you ask us to cut the method into a simplier one to deliver those key message I'm not joking when I said we can't continue to work on these project further, Sir, another organization out there are investing a lot and keep developing their content, we don't need to waste our time and ripped our goodwill if this one ends up as another mediocre campaign-”

Kenyataan bahwa usia mereka terpaut sejauh satu putaran shio, kadang sering Aine abaikan karena dia tidak mau terus-terusan merasa kecil, namun mendengar percakapan di telfon ini ia tidak bisa menghindar. Aine merasa begitu jauh dan awam. Mereka hanya duduk bersebrangan tapi di detik ini Aine menyaksikan sejauh apa tiga belas tahun itu.

“God..” Kala menghebuskan napas berat.

Aine mendekatkan teh tawar yang masih diminum setengah kepada Kala, siapa tahu dosennya itu memerlukannya. Kala menegaknya sampai habis. Ia senang bisa bermanfaat juga untuk dosen yang jarang ia jumpai di kampusnya itu.

“They're a total headache,” keluh Kala. “Besok-besok hati-hati if you're happen to be a part of the goverment.”

Aine menangguk. Pelayan datang untuk mengangkat gelas ketika tau teh tawar Kala sudah kandas.

“Adiknya ya, Mas?” tanya pelayan itu. “Iya, kenalin, Aine. Kalau dia mampir sendiri kesini, titip ya.” “Sip, Mas”

Tiga menit selanjutnya dihabiskan Kala dengen mengobrol dengan pelayan yang mungkin dia temui hampir tiap hari sementara Aine yang jauh pergi kesini naik kereta malah didiamkan bersama gelas milkshake coklatnya yang ternyata enak juga.

“Asik ngobrolnya, Pak. Eh, I'm your sister. Asik banget ngobrolnya, Bang.”

Dahi Aine didorong kecil dengan telunjuk Kala. “In my circle, yang tau kamu muridku cuma Gara. Bilang adik aja ke yang lain ya?”

“Oke.” Aine menjawab ragu.

#sebuahpercakapan