sebuahpercakapan

sebuahpercakapan

***11***

Suatu sore di Jakarta, waktu dimana Aine mengajak Kala kembali menyicip rasanya menjadi muda dengan ikut latihan supporteran putra putri bangsa. Setelahnya, Aine mengajak Kala untuk makan spaghetti di kontrakannya.

Kamar Aine rapi dan wangi lavender dari pengusir nyamuk elektrik. Ada snowglobe di atas meja kayu dan cover kulkas dipakai menghias rak portable alih alih kulkas satu pintu yang bertengger di sebelah lemari baju. Nuansanya putih dengan banyak foto di dinding. Kala takes his sweet time to observe each pictures on the wall.

“Ini ngapain?” tanya Kala pada satu foto di mana Aine dan Nabil mengapit Ryan dengan selimut menutupi kaki mereka.

“Waktu kemah. Dingin banget tapi yang bawa selimut cuma Ryan jadi gue dan Nabil numpang di tenda sebelah.”

“Sounds wrong.”

“Kotor banget otak lo.”

Aine berjinjit mengambil karpet bulu marun di atas lemari lalu menggelarnya supaya Kala bisa duduk tapi yang lebih tua masih asik mengamati tiap sudut kamar Aine. Ada baju kotor di kotak sampah yang digunakan sebagai pengganti bak cucian ikea. Magic com yang lampunya menyala oranye di sebelah lampu belajar berbentuk sapi. Ada berbagai pewangi pakaian di slot paling bawah rak abu-abu. Buku-buku yang rapi di rak besar. Kala senang mendapati kebiasaan Aine membaca tidak berubah.

“Itu album foto?”

“Iya bang. Dari gue kecil.”

“Liat, ya?”

“Silakan. Duduk aja dulu. Gue mau ke dapur rebus spaghettinya.”

“Okay.”

Kala menunggu Aine mengurus makanannya dengan album foto kuning gading di pangkuan.

“Hari pertama jadi anak mama dan papa.”

Kala menghormati keputusan orang tua Aine untuk terbuka. Cara mereka menyampaikan dan mendidik Aine pasti terlampau baik karena nyatanya keterbukaan itu membuat Aine dipenuhi lebih banyak cinta untuk dibagi pada orang disekitarnya.

Lalu foto-foto Aine di sekolah, ke taman bermain, ulang tahun kesepuluh, wisuda smp, geng remajanya, wisuda sma, foto di kampus sama orang tuanya.

“Gue baru tau orang tua lo kuliah di sini juga.”

Aine datang ke kamar membawa dua mangkuk dengan asap yang mengepul. Kalau dia makan sendiri, biasanya makan langsung dari pancinya supaya gak banyak cucian piring. Kali ini diambilnya dua mangkuk dan sendok garpu.

“Iya, makanya diarahin masuk ke sini—bang tolong ambilin lap di deket kaki lo dong.”

“Sering terjadi.” Kala menghamparkan lap bermotif kotak ke atas karpet. “Bimo sama Mamanya Cindy juga begitu. Gue inget dateng ke nikahan mereka naik travel, bolos kuliah.”

“Lah?? Cepet ya nikahnya?”

“Pacaran dari pertama masuk kampus, wisuda bareng terus nikah tiga bulan setelahnya.”

“Sounds lovely,” Aine memuji. “Mama dan Papa ketemu di kantor tapi Mama gak lanjut kerja setelah habis masa bakti sepuluh tahun. Mengadopsi gue lalu fokus ngurus rumah.”

“She must love you so much.” Kala bertukas. Aine mengangguk. “Understandable, tho.”

Aine menggosok hidungnya agak rikuh. Kala merasakan jantungnya teremat tangan tak kasat mata.

-

Aine berakhir di antara kaki Kala. Supaya muat di satu kasur, dalih yang lebih tua. Padahal Kala sudah menawarkan diri untuk turun ke kasur bawah.

“Ngapain jauh-jauh?” Dan Aine ditarik supaya masuk ke selimut juga.

Wangi downy ungu dari pakaian yang Aine kenakan bisa Kala cium dari jarak sedekat ini. Yang lebih tua terlihat santai memilih tayangan di televisi tiga puluh dua inchi sementara yang terjebak di antara kakinya nyaris lumer seperti salju yang ditangkap lidah anak kecil.

“We bare bears?”

“Tontonanmu.”

“Mu???”

Aine tidak dijawab, hidungnya dicubit biar diam. Sampai sekarang nalar Aine masih gagal memberi rasional atas segala perilaku Kala. Mungkin kebiasaan begini biasa di Melbourne, mungkin juga mungkin yang lain.

Aine enggan berpikir jauh-jauh maka selalu disalahkannya pergaulan di Australia.

“Jangan bergerak-gerak. Rambut kamu nusuk.”

“Maaf.”

Aine menyerah, menyamankan diri di dada Kala yang bidang. Kala mengusap rambutnya.

“Jangan, nanti gue tidur.”

Benar saja. Setengah episode kemudian, Aine tidur dibawa kenyang.

-

Jakarta, April 2019

“Pa, kak Nabil sama bang Danish mantanan loh.”

“Hm.. Kamu emang udah paham mantanan itu apa?”

“Pernah punya hubungan tapi pisah. Kata kak Nabil namanya mantanan.” Cindy menunduk lesu. Bimo tetap terlihat santai menyetir padahal hatinya tergerus akibat perkataan anak perempuannya itu.

“Kak Nabil sama bang Danish masih liburan bareng. Papa sama Mama kenapa nggak begitu juga? Cindy kan kangen makan bertiga lagi.”

-

TWITTER

@bimowicak tweeted: “Sejam main sama adiknya @ransikalandra dan temen-temennya, sekarang anak gue tau ada istilah hts.” @ransikalandra replied: “Sama istilah sokin.” @bimowicak replied: “Di mobil dia terus-terusan bilang sokin artinya ayo jalan Pa penggunaannya, contoh sokin Bandung.”

@ransikalandra tweeted: “Sokin Bandung.” @gara_s replied: “timesheet buat kita ajuin tender ke marketers dah gue email bos.”

Kala menghembuskan nafas berat, baru saja terlintas niat ingin menyusul ke Bandung, sayang, uang tetap harus dicari.

- Bandung, April 2019.

Trip mereka ke Bandung jauh dari destinasi normal, kalau kebanyakan orang akan langsung mendatangi kawasan lembang, kawah putih, atau sekedar berjalan di dago. Aine sadar perjalanan bersama teman-temannya ini akan berbeda. Benar saja, mereka malah motoran ke buah batu padahal sudah pinjam mobilnya Kala, makan bakso aci dan ngopi di Sejiwa. Waktu ngopi mas gebetannya Nabil nyamperin setelah itu Nabil pamit meninggalkan Aine, Danish dan Ryan. “Nanti malam langsung ketemu di southbank aja ya guys!” Celetuk Nabil sebelum beranjak.

-

22.20

Bunyi dentuman musik saling bersahut-sahutan. Nabil duduk di salah satu meja bersama seorang pria yang akhir-akhir ini memenuhi pikiran dan kesehariannya. Mereka saling menatap lekat, seperti akan berpisah untuk waktu yang cukup lama.

“So.. goodbye for now? My flight is in 1 hour.”

“Iya bawa oleh-oleh.” Nabil tertawa kecil.

“Pasti.”

Pria itu mengencangkan pegangan pada tasnya bersiap untuk beranjak, ada pekerjaan untuk mendokumentasikan sebuah trip ke timur Indonesia selama 2 minggu, katanya. Ia mengelus pucuk kepala Nabil yang sedari tadi rasanya ingin mengatakan sesuatu, membuka kecil bibirnya kemudian menutupnya lagi ragu-ragu. Nabil tidak pernah merasa segentar ini menyampaikan apa yang ia rasakan, kalau dia suka dia setidaknya tidak menahan diri untuk memberi petunjuk bahkan mengatakan langsung. Tapi di hadapan pria satu ini, dia menciut. Entah kenapa. Ia pikir, ini saatnya, sebelum jarak membuat mereka menjadi orang asing.

“Uhm, I have something to tell you.”

“Iya?” Pria itu duduk kembali.

“I like you,” Nabil menunduk dan berkata seolah berbisik. Suaranya menyatu dengan deru musik yang semakin kencang.

Pria itu tersenyum. Manis, manis sekali.

-

“Distance sucks.” Seorang perempuan berambut coklat muda yg diikat satu keatas itu memangku dagu dengan lemah di atas meja.

“Iya,” Danish bergumam, sedikit pusing karena alkohol sudah menjalar di nadinya, “tapi kamu disini, aku disini.”

“Hari ini, nggak tau besok. Gue bisa aja ada di kota lain, pulau lain, atau ujung paling selatan negara ini.”

“I managed to secure a place in Jakarta.” Tatapan Danish tajam ke arah perempuan itu, seolah memberi afirmasi bahwa ia mampu menjadi sebuah rumah untuk si petualang menetap.

“I wish I can say the same.”

Tatapan mereka terkunci pada satu sama lain. Bau alkohol dari nafas masing-masing saling menyahut. Danish meletakkan tangannya di tengkuk perempuan yang entah kapan mampu ia gapai itu. Their lips locked in a mind-blowing kiss. Danish tidak pernah mencium siapapun selain dia.

“I wish I could stay near, the world is a lot calmer around you.”

Danish tertawa di atas ironi tersebut. DJ memutarkan beat yang lebih menggebu. Ia mengedarkan pandangan dan menemukan teman-temannya di sebelah meja bar.

-

WHATSAPP

Pak Kalndra strakom: jangan tidur di southbank

Aine F: apaan malah kepingin marah pada bucin semua sialan

Pak Kalndra strakom: language

Aine F: maaf abisnya emosi

Pak Kalndra strakom: kenapa sih emg? kan nabil doang yg bawa pacar?

Aine F: nabil sm masnya dari siang emg gabisa dipisah ini malah danish ketemu cemcemannya trs cabut duluan gatau kemana tdnya yauda mau disini aja nemenin ryan di habitatnya tau ga bang southbank punya keluarganya ryan buka meja disini mahal bener pantes tuh anak banyak duitnya

Pak Kalandra strakom: terus kamu ngapain?

Aine F: nunggu ryan bentar lg dia tbtb ketemu mantannya?? aneh bgt tempat apaan nih semua org jd bucin mau balik duluan tp kan gue gamungkin ke rumah ryan gabawa ryan nya

Pak Kalndra strakom: Ne I wish I was there..

-

Trivia:

  1. Yes, Aine anak adopsi dari dia berusia 7 tahun. Sekarang orang tua nya tinggal di Sumatra karena Papa nya ditugaskan di Palembang. Sehingga, Aine tinggal sendirian di Depok.

  2. Cem-cemannya Danish pembawa acara program travelling di satu televisi swasta. Mereka lagi ada di tahap open relationship gitu? Intinya kalo ketemu ya kaya orang pacaran.

  3. Danish memakai gajinya buat: transfer ke adiknya, bayar kosan & listrik, nabung buat dp KPR rumah.

  4. Ryan dan mantan urusannya belum selesai. Masih sama-sama sayang tapi karena mba mantan nggak bisa LDR jadi mereka putus.

  5. Pewangi pakaian yang Aine pakai downy ungu yg perfume collection. Kalau lagi malas, pakai yang 1x bilas.

  6. Please don't yet expect clearer relationship between any pairing I write on sebuahpercakapan. Soalnya komitmen menakutkan. Some people are just aren't ready for it walau pun ada yg eager mau pacaran kayak Nabil.

#sebuahpercakapan

***10***

WHATSAPP 15:36

Anak-anak Bapak Danish (Bilbil, ryan ganteng, danish, me)

Danish: kabur yuk mo mati

Bilbil: dosa lo dari nonton anime ga beradab banyak Dan jgn mati dulu

Aine: atasan lo kenapa lagi?

Danish: aneh dah udah mau setahun kerja disini masih aja KAPAN TERBIASANYA CUUUK udah biasa sih tapi tetep aja capek capek bgt

Ryan ganteng: liburan yuk gue sama bilbil minggu ini kelasnya cuma sampe kelas pagi

Me: gue dari jumat udah libur

Danish: jumat masih kerja 😣 sisa cuti gue mau dipake cuti akhir tahun agak lama

Ryan ganteng: bandung lah libur kemaren pada gak jadi gue nyetir

Bilbil: gak ada duit eh tapi boleh dah biar gue minta kirim duit 🐣

Danish: serius gak nih kalau serius gue izin rapat komunitas dari sekarang

Me: gue sih ayuuk

Bilbil: kata papa nanti ditransfer guys gue bisa

Me: mobil? sewa/minjem?

Ryan ganteng: sewa truk juga bisa gue nyetirnya

Bilbil: mau dong naik truk, pick up isi kasur lah kek di pinterest

Danish: gue skip ya kalo mobilnya ga bener

Me: pesen hotel ga?

Ryan ganteng: rumah gue aja selaw

Bilbil: IHIYYY FIX NIH

Danish: gue pulang jam 4 ketemuan dimana?

Ryan ganteng: kosan gue, kita berangkat maleman aja, sampe Bandung subuh

Aine: ngikut

Bilbil: asik

Danish: yaudah gue kerja dulu

-

20.50

Pak Kalndra strakom: Ne, sabtu libur gak? Dufan yuk Gue punya 2 tiket

Aine F: Yah sabtu di bandunh *bandung

Pak Kalndra strakom: Panik ya

Aine F: Wkwkw baru bangun Abis kelas sore ketiduran

Pak Kalndra strakom: Bandung sama siapa?

Aine F: Temen temen

Pak Kalndra strakom: Rame?

Aine F: Berempat Buffalo gathering 😬

Pak Kalndra strakom: Oh

Aine F: Btw bang kala Mau nyusahin boleh gak

Pak Kalndra strakom: Ga Gue ditinggal ke bandung

Aine F: Yaudah

Pak Kalndra strakom: Lah nurut amat

Aine F: Ini masalah bandung soalnya

Pak Kalndra strakom: Kenapa? Mau minjem mobil?

Aine F: Kok tau :( Ryan yg nyetir ntar

Pak Kalndra strakom: Emojinya Kebayang muka kamu merengut

Aine F: Boleh gaa?

Pak Kalndra strakom: Iya boleh Ryan biasa nyetir mobil apa?

Aine F: Dia nyetir truk juga bisa

Pak Kalndra strakom: Hahaha yaudah ntar jumat malem ke apart ya

-

Rencana mereka perlu revisi.

Atasan Danish memang selalu terdengar nyebelin tapi trio kwek-kwek baru sadar senyebelin apa punya atasan terbang-terbangan ketika yang sudah kerja tiba-tiba bilang harus pulang telat di grup. Padahal semua sudah siap dari sore. Nabil malah sudah hampir ketiduran di sofa kosan Ryan yang luas. Mas gebetan pasti rewel nyuruh pulang kalau sampai tahu Nabil gabut di kosan cowok sebesar itu.

Akhirnya diputuskan bahwa semuanya bakal naik kereta ke kosan Danish lalu bersama-sama ambil mobil Kala di apartemen yang bersangkutan. Danish iya-iya saja waktu tiga anak berisik yang bosan menunggu di koridor kosannya merengek minta langsung berangkat.

“Gak usah mandi,”

“Iya,”

“Capek banget?” tanya Ryan pada Danish yang cuma bengong sambil melihat jalan dari jendela mobil grab yang gelap. Nabil lanjut tidur, kepalanya di bahu Ryan. Aine duduk di depan sebagai penunjuk jalan. “Tidur aja. Gue kuat, kok.”

Danish melirik Nabil yang mulutnya setengah terbuka lalu menggeleng. Kasian juga Ryan.

“Gak bisa tidur,” Danish mengusap mukanya. “Capek banget padahal udah pulang.”

Selembar tisu ditarik Aine dari wadah coklat bulu yang menempel di kepala jog pengemudi.

“Nangis aja sekarang daripada di tempatnya Pak Kala.”

-

“Perlu banget touch up, Bil?” tanya Aine pada Nabil yang mengeluarkan liptint di lift. Kala ternyata ada tamu sehingga gak bisa jemput ke bawah tapi ada penghuni baik yang mengajak empat anak itu masuk ke gedung.

Aine cemburu dikit. Dikit. Beneran dikit. Kepikiran kalau Kala suka sama Nabil gimana, ya.

“Cemburu ya lo?” Nabil menyikut Aine. Yang disikut gegalapan. “Santai, lah. Gue udah sama mas gebetan, besok nyusulin lagi ke Bandung.”

“Hah?”

“Lah cemcemannya Danish di nangor. Mantan jadi-jadiannya Ryan di buah batu. Nabil disusulin mas. Gue?” Aine tidak terima.

-

“Abang ganteng?!”

“Lah kenal?”

Danish bisa melihat Aine minta penjelasan dari matanya. Masalahnya dia sendiri juga gak tau kenapa makhluk mungil yang sering ngobrol sama dia di dekat warung lumpia langganan pegawai kantor ada di sini.

“Siapa, Bang? Anak lo?” tanya Aine.

“Sembarangan. Anaknya temen.” Kala menjelaskan sebelum mengenalkan diri. “Kalandra.”

“Pak, saya Nabil, LO waktu festival Pancasila.” Nabil nyengir sebelum menjabat tangan Kala. “Bapak pasti lupa, sih.”

“Inget, kok. Kamu yang bawain saya pocari, kan?”

Nabil memerah sampai telinga. Aine sering abai bahwa Kala punya karisma sebesar itu karena yang lebih tua acapkali berseloroh padanya.

Ryan dan Danish juga berjabatan dengan Kala. Semuanya kompak memanggil Kala pakai bapak. Kala kayaknya gak begitu suka dan minta dipanggil mas. Aine mau ketawa mengingat dirinya sendiri yang kalang kabut waktu Kala pertama kali menolak dipanggil bapak.

Ha, rasain lu semua.

Semakin ke dalam. Semakin terlihat bahwa hunian di lantai empat puluh dua salah satu gedung apartemen paling mewah di ibukota ini gak akan bisa dibeli bocah bocah berkepala dua dalam waktu sepuluh tahun ke depan. Kala adalah pekerja keras. Terlihat dari chandelier di langit-langit, ornamen eksotis yang bersebelahan dengan gitar akustik yang di pajang di dinding, karpet impor di tengah ruangan.

It must be lonely living here all alone, pikir Aine. Terakhir menghabiskan waktu di sini, dia setengah sadar, tidak sempat benar-benar menangkap seluruh isi rumah yang cantik.

“Pah, liat itu abang yang suka beliin Cindy cakwe.”

Bimo menatap Danish. Danish mengumpat mampus dalam hati takut disalahkan kalau Cindy, si anak bos, jadi sakit tenggorokan karena cakwe mamang-mamang yang dibungkus pakai kertas bekas lembar ujian dan plastik hitam.

“Bang Danish abis nangis lagi, ya?” Cindy bertugas polos. “Bang Danish jangan dikasih kerjaan susah-susah loh, Pah. Waktu itu air matanya masuk ke plastik gorengan.”

Danish ketawa kering. Kalau situasinya gak canggung karena ada dua bos di dalam ruangan, trio kwek-kwek pasti sudah ketawa sambil saling pukul bahu satu sama lain.

“Kamu Danish dari umum kan?”

“Iya, Pak Bimo.”

Danish mau nambahin, yang suka ngaret pulang karena nungguin tanda tangan bapak, tapi takut kena mutasi. Danish sering ditumbalin ngurus persuratan yang berhubungan sama Bimo karena dia ada di paling bawah hierarki sub bidang keuangan.

“Cepet banget udah sampe sini.” Kala berkomentar. “Danish tadi gak disuruh istirahat dulu?”

“Mandi juga enggak,” Aine berkomentar pendek.

“Mandi aja dulu di kamar tamu,” Kala menuding kamar yang berada di sebelah kamarnya sendiri dengan dagu. “Bandung jauh.”

Danish gak menolak karena kunci mobil masih di tangan Kala. Dia tahu persis orang-orang di bidang yang Kala tekuni tidak biasa diam saja kalau maunya ditolak. Kala tampak puas ketika Danish membawa tasnya ke kamar tamu.

“Cindy juga mau dong liburan ke Bandung, Pa.” Cindy menarik dasi ayahnya.

“Nanti aja, ya. Tahun baru kita ke Hongkong sekalian.”

“Papa kerja terus.” Cindy mengeluh. “Kita ke Bandung aja gak usah jauh-jauh. Siapa tau ketemu Mama.”

“Ndy...” Bimo menggeleng. Kali ini suaranya tegas.

Cindy mendengus malas lalu beringsut ke arah trio kwek-kwek yang main ponsel. “Kakak kakak pacaran, ya?”

“Idih,” ini suara Nabil. “Memang kakak kelihatan mau sama mereka, ya?”

Nabil turun dari sofa dan berjongkok supaya matanya sejajar dengan mata Cindy.

“Kakak gak mau?”

“Kakak punya cowok, Cin. Nama kamu Cindy kan? Nama kakak Nabil. Yang mukanya kayak angry bird bengong itu bang Ryan, kalau yang mukanya kayak macan bloon Aine.”

“Kalau kak Nabil mirip bebek, Cin.”

“Manusia apa suaka margasatwa.”

Cindy tampak heran tapi mengangguk begitu saja. Selanjutnya Kala bertanya apa ada yang lapar. Salah banget Danish mandi karena tiga anak bebek gak ada yang mengatur.

Kala dan Bimo ke dapur untuk membuat sesuatu. Cindy agak rewel soal makanan makanya Bimo find Cindy's bonding over cakwe mamang-mamang with the so called abang-abang ganteng amusing.

Dari berisik-berisiknya kayak ada empat Cindy di meja makan. Nabil mulai menirukan suara Coca-Cola dituang ke dalam gelas dan Cindy heboh minta diajari caranya. Kala melihat Aine tertawa di tengah-tengah lingkaran yang sewajarnya dan merasakan hatinya teremat. Ada pilu yang berbisik bahwa di sanalah Aine seharusnya berada. Sedikit berjarak darinya, di tengah teman-temannya, menikmati masa muda.

Manis sekali. Aine is always beautiful. Beautiful in a way flowers can't be compared with. Beautiful in a way poets struggle to describe.

Bimo dan Kala terlibat pembicaraan mereka sendiri. Tentang perusahaan Lidya, kasus bank mandiri, rencana Bimo mengambil ujian aktuaria tahun depan.

“Kalau ujian sih gua dukung tapi gua gak menyarankan lo mulai ambil job di swasta.” Kala mengaduk pasta di teflon besar sambil berkomentar. “Lo dengar kata Cindy tadi. Jangan kasih kerjaan susah-susah ke bawahan. Lo tuh pejabat pembuat komitmen, Bang. Ada yang susah kalau lo jarang di kantor.”

“Gue keliatan banget nyari distraksinya, ya, Kal?”

“Malah keliatan kayak nyari duit.” Kala berkata jujur. “Gua yakin banyak yang bilang ngapain eselon masih jadi dosen. Lo ketua komunitas juga, ngajar di sekolah pegawai juga.”

“Udah gua duga.”

“Jangan lari terus, nanti juga lupa. Ambilin piring, Bang.”

“Yang mana?”

“Yang mana aja.”

“Gua gak tau, ya. Gua belum pernah cerai sebelumnya.” Kala memindahkan isi teflon ke atas piring dengan spatula. “Yang pasti nyembuhin diri setelah ditinggalin istri karena lo sibuk tuh bukan dengan makin sibuk. Cindy bahkan jadi ngikutin lo ke kantor gini biar bisa ketemu papanya.”

Ngomongin Cindy, dia sekarang sedang main ABC lima dasar lawan tiga kakak-kakak yang terlihat gak punya masalah menyamakan sudut pandang dengan anak umur sebelas tahun. Berisik dan asik. Kala tersenyum melihat Aine pura pura kesulitan mencari nama binatang lain yang diawali huruf S.

“12 years, huh?” Bimo memanuver arah pembicaraan. “Setahun lagi baru legal.”

“Iya.” Kala gak membantah.

Selain Gara, cuma Bimo yang tidak disodori bohong kalau Aine itu adiknya. Bimo abai sama urusan kamar orang lain, ia vokal tapi dewasa makanya Kala bisa membaginya rahasia. Untuk teman-teman di kantor sendiri cuma Gara, rekan ambisiusnya, yang tahu karena modelnya Fani misalnya bisa bikin anak magang sekali pun tahu Kala punya hubungan sama anak kuliah.

Halah. Padahal antara dia dan Aine cuma ada batas yang mengabur abu-abu dan semakin bias seiring berjalannya waktu.

Nabil izin mau ke kamar tamu juga karena ada telfon.

“Angkat di sini aja lah. Kayak ditelpon pacar aja.” Ini Aine.

“Tau, tuh. Pacaran juga engga.”

“Tetep cowok gua.” Nabil bertukas tegas lalu ngacir begitu Kala memberikan anggukan konfirmatif.

Cindy riuh menyambut pasta sambil bertanya bagaimana bisa orang cowokan tapi gak pacaran kayak kak Nabil atau udah pisah tapi masih temenan kayak bang Ryan. Bimo pusing anaknya tiba-tiba jadi banyak pertanyaan dewasa.

“Jadi Kak Nabil punya pacar atau enggak?”

“Kamu tau aja pacar-pacaran, ey.” Kala menjawil Cindy.

-

“Yan, nanti mas gebetan boleh numpang bentar gak kalau dia sampenya kepagian?” tanya Nabil yang kembali ke meja makan bersama Danish.

Danish sudah selesai mandi dan sekarang dia bau sabunnya Kala.

“Beneran disusulin lu?”

“Kagak, dia ada job di Bandung.”

“Kalau lo ke Bandung terus dia tiba-tiba ada job di Bandung juga namanya disusulin, Nabil.” Danish bertukas retoris. “Suruh pulang ajalah. Repot banget ni cowok gua liat-liat.”

“Pulang gimana? Kan dia ada kerjaan.”

“Pacarnya Nabil udah kerja?” selidik Kala.

“Masih kuliah, Pak—hehe, Bang. Cuma suka freelance jadi fotografer.” Nabil mengoreksi.

“Jangan dipanggil pacar. Nanti gede kepalanya Nabil!” larang Aine. Nabil menginjak kakinya di bawah meja.

“Memang kalau pacaran kepalanya jadi gede?” ini pertanyaan Cindy.

“Maksudnya jadi sombong, Ndy.” Bimo menjelaskan.

Cindy tampak menikmati pertemuannya dengan kwartet karena di rumah biasanya cuma ada papa dan mbak yang menganggapnya anak kecil terus. Daritadi dia belajar bahasa-bahasa aneh. Bimo merasa usahanya melarang Cindy pakai sosial media sampai sekarang sia-sia karena sekarang anaknya bertemu langsung dengan konten sosial media itu sendiri.

“Oh,” Cindy kembali memusatkan pandangan pada Nabil. Daritadi dia paling suka Kak Nabil karena kelakuannya paling macam-macam. “Kak Nabil, kok bisa pacaran tapi gak jadian?”

Nabil mencubit lengan Ryan dan Aine di bawah meja. Pertanyaan ini pasti muncul karena ulah mereka.

“Ya.. bisa. Dia gak bilang suka sama kak Nabil tapi kak Nabil tau”

“Kak Nabil bisa baca pikiran?”

Polos. Polos sekali. Nabil sampai gak enak hati mau menjelaskan pada Cindy.

“Gak ada manusia yang bisa baca pikiran, Ndy.” Bimo menjelaskan. Dari dulu dia paling anti berbohong pada anaknya. Anak seusia Cindy masih belum punya fondasi pemahaman yang memadai. Kalau sudah dicekoki bohong karena orang dewasa di sekitarnya malas mencari penjelasan ilmiah, kedepannya akan sulit memperbaiki mindsetnya. “Nanti kalau kamu sudah gede akan ngerti apa maksud Kak Nabil.”

“Iya, benar kata Papa kamu.” Nabil mencari jawaban paling aman.

“Gimana Cindy bisa cepet gede kalau dianggap anak kecil terus.”

Tapi kamu memang anak kecil! Pikir semua orang di meja. Cindy tidak tahu seistimewa apa menjadi anak-anak.

“Habis makan ke parkiran, ya. Liat mobilnya.” Kala mengalihkan pembicaraan.

“Okurr!”

“Apaan, tuh?”

“Maksudnya Oke.”

Cindy mencoba meniru bilang okurr. Menggemaskan. Bimo mengakui anaknya kelihatan bahagia tapi kalau lebih lama lagi main sama Nabil dia bisa kelimpungan menghadapi bahasa Cindy.

-

Aine sudah pernah menaiki ketiga mobil Kala jadi dia tidak ikut-ikutan ketika teman-temannya yang lain minta izin mau lihat-lihat. Cindy dan Bimo menunggu di unit apartemen Kala karena ayah satu anak yang masih pakai seragam kerja itu khawatir Cindy makin merengek minta ke Bandung kalau melihat sekumpulan remaja antusias mau liburan. Pilihan Ryan sebagai supir untuk perjalanan mereka jatuh pada Hummer yang jognya muat untuk Nabil dan Aine duduk dalam satu kursi.

“Mobil-mobil begini kenapa luas banget bangkunya?”

“Biar enak.”

“Ha?”

Aine betulan gak paham, Kala gak tega mau mengelaborasi sehingga tangannya yang mampir ke puncak kepala Aine menjadi pengganti jawaban verbal.

“Kursinya luas banget, muat dua orang kali, ya. Kalau kecil kayak Nabil.”

“Aku sama kamu juga muat.”

“Ya?” Aine duduk di kursi pengemudi dan menimbang-nimbang. “Enggaklah. Gue aja udah segini.”

“Bukan gitu. Sini gue tunjukkin.”

Aine menurut ketika Kala menariknya berdiri. Yang lebih tua gantian duduk di kursi pengemudi lalu menepuk pahanya sendiri.

“Apaan?”

Kursi dimundurkan lalu Aine lagi-lagi ditarik. Suara teman-temannya heboh mencoba Rover mengecil menjadi getar kecil tidak penting yang kalah sama suara jantungnya sendiri begitu tubuhnya mendarat di pangkuan Kala. Aine berat dan Kala kurus tapi nyatanya yang lebih tua mampir memanuver Aine di pangkuannya hingga dadanya bertemu punggung Aine.

Kepala Kala di bahu Aine. Kedua tangannya berada di kemudi, menjebak Aine di antaranya.

Bohong kalau Kala sendiri gak deg-degan pada posisi ini. Yang membuat Kala bisa tetap tenang cuma pengalamannya yang cukup banyak dalam menggunakan mobil ini untuk hal-hal bertanda kutip.

“Bisa. Nanti nyetirnya gini.”

“Oke..”

Bahu Aine dicium. Kala menghirup lekat-lekat wangi tubuhnya dari sela-sela rambutnya yang tergerai dan telinganya yang memerah. Sebelum ditinggal ke Bandung, pikirnya.

Jantung Aine hampir melompat keluar.

“Gimana? Muat kan?” Kala berbisik.

Suara Ryan memanggil nama Aine memberinya peluang untuk kabur. Kala tertawa kering.

Ah, youngsters.

#sebuahpercakapan

***9***

Aine jarang merasa iri.

Banyak, banyak sekali hal yang perlu disyukuri di dunia ini. Mama papa yang membawanya ke rumah ketika dia kecil dan melimpahinya dengan semua yang mereka punya membuat Aine tidak perlu melihat dengan iri pada mereka yang tahu mereka dilahirkan oleh siapa. Segenap kesibukan himpunan kemahasiswaan dan project tugas yang penuh pengalaman membuat Aine tidak sempat iri pada Danish yang sudah punya gaji sendiri. Aine tahu dia punya banyak hal meski pun bukan yang paling banyak.

She is fine. She is happy.

Tidak pernah terbesit di kepala Aine romansa menye bisa membuat iri hadir di kepalanya sampai Nabil menyalakan siaran langsung instagram untuk membuka keluhan tentang mas gebetan yang batal mengajaknya jalan. Aine menggelengkan kepalanya. Konyol sekali, sih. Dia tiba tiba kepikiran mau mengeluh soal Kalandra di linimasa.

Aine tidak malu soal Kala, sungguh. Bisa kenal yang lebih tua adalah hadiah kecil yang Tuhan berikan untuknya. Hanya saja dia tidak yakin semua orang akan mengerti posisinya sekarang. Tidak seperti Nabil yang dengan bebas mengatai mas gebetannya main-main sambil ditonton dua ratus orang lebih.

“Gak takut mas gebetannya nonton, kak?” Nabil membaca salah satu komentar. “Enggaklah, dia sibuk kok. Live yang ini gak akan gua save!”

Lalu Nabil tertawa. Kecil dan kasmaran. Kelihatan sekali. Pipinya naik, bibirnya mencucu, wajahnya merah walau tertutup filter bunga yang dia gunakan. Berkali kali Nabil mengangkat tangannya ke pipi, pasti menghangat.

“Dia bilang maaf ya sibuk mau lain kali gak? YA GUA TOLAKLAH ENAK AJA DIA NOLAK GUA DULUAN GITU KAN?!” Nabil menggelengkan kepala. “Kalau lo berani sibuk ke gue, gue juga bisa sibuk.”

Ponsel Nabil jatuh karena empunya tertawa sendiri sampai dengkulnya menubruk meja tempat ponselnya ditaruh. Aine tak kuasa menahan tawanya. Nabil salah tingkah mengingatkannya pada dirinya sendiri.

“Mas gebetan kuliah apa kerja? Kuliah!! Sambil kerja. Dia fotografer.” Nabil nyengir lalu membaca komentar lain. “Mau dong kak difotoin masnya. Enak aja lu.”

Mudah, ya. Menjawab pertanyaan seputar umur dan trivia ketika yang kamu bicarakan memang sewajarnya kamu bicarakan. Nabil, mahasiswa menuju tingkat akhir, menyukai mahasiswa lain lalu tertawa tawa salah tingkah di instagram.

Aine gak akan tertawa-tawa salah tingkah di Instagram, dong, tapi kepikiran saja rasanya bisa bragging soal kebahagiaan yang seseorang kasih ke kamu pada semua orang.

Memamerkan kebahagiaan adalah lumrahnya kelakuan remaja jaman sekarang. Aine di semesta yang ini gak bisa ikutan karena acapkali kebahagiaannya berporos pada pria berdasi di Sudirman.

Mungkin di semesta lain dia bisa nge-tweet “Hai, hari ini ada yang jauh jauh dari Sudirman ke sini buat nganter gua pulang.” Dengan foto Kala sedang menyetir di bawahnya. Hehe. Lucu.

Tapi gak mungkin. Dr. Strange boleh menjelaskan keberadaan multiverse tapi toh Aine terdampar di semesta yang ini.

“Pada penasaran tadi muka gebetan yang mana. Hehe nanti ya kalau udah ketemu”

Aine juga jadi mau ketemu.

“Tapi bohong! Belum jadian udah pamer nanti gak jadi lagi.” Suara Nabil mengembalikan fokus Aine. “Enggak, Ryan, lo gak akan nemu mukanya di following gua. Instagram dia cuma buat portofolio kerjaan.”

“Gantengan mas gebetan atau oppa, Bil?” Nabil tampak berpikir. “Gini, ya. Oppa ganteng, ganteng banget tapi mas gebetan tuh—” Nabil menyipitkan matanya. Tampak overwhelmed hanya karena memikirkan orang yang disukainya. “—manis, manis banget. Baik banget. Atleast how he treats me. Sayangnya gak bisa sering kan dia suka sibuk kerja.”

Manis, manis banget. Baik banget. Atleast how he treats me. Sayangnya gak bisa sering kan dia suka sibuk kerja.

Damn, Nabil. That hits home.

“Gue udah ngewarnain kuku. Kapan lagi gua centil abis soalnya mau jalan sama dia terus..” Nabil mengangkat kukunya yang bagus sambil mencebik hingga Aine teringat pada bebek melihatnya. Suaranya naik. “Dianya sibuk gimana, dong. Padahal kangen, ya? Tapi bukan pacar gak bisa bilang. Sedih banget. HU NYEBELIN DAH MEMANG YANG BENER PUNYA COWOK KOREA AJA.”

Padahal sudah menyingkirkan gengsi supaya bisa ketemu.

Hanya saja dunia gak selalu memberimu apa yang kamu mau. Bahkan sebentuk pembayaran atas rindu.

“Haha,” Aine tertawa. Bukan karena Nabil tapi karena dirinya sendiri. Kalau dunia bikin lelucon kenapa dia acapkali jadi badutnya. “Masa ginian aja bikin iri, sih.”

“Well, dia jelas gak sekaya atau seganteng itu tapi beneran kalau kenal tuh gak mungkin gak suka.” Nabil meracau. “Gua dibeliin minum, dianterin jalan, terus didengerin.. pada tau kan gue serandom apa terus dia tuh—”

Aine kali ini ngetawain Nabil yang menubrukkan mukanya ke meja. Overwhelmed by her own feeling.

“—dia tuh mau dengerin semuanya, mau ikutan semuanya. Gua gak pernah ketemu yang sebaik ini selain kakak sendiri.”

“KAK KALAU NONTON LIVE INI JANGAN NGADU KE MAMA, PLIS!”

Mau. Mau pamer juga. Mau cerita bagaimana Kala membuatnya tertawa dengan cerita waktu dia seumuran Aine. Mau berbagi lucunya yang lebih tua langsung mengganti lagu di spotify tapi terpaku ketika menonton video klip Blackpink.

Mau mengeluh soal perbedaan umur mereka, mau membanggakan bagaimana Kala susah payah untuknya juga memberi apresiasi lebih pada si lelaki, mau orang-orang tahu soal Kala walau sebenarnya gak ada nama atas apa yang terjadi di antara mereka. Seenggaknya bisa dengan bebas berekspresi seperti Nabil pasti melegakan.

Aneh. Aneh sekali. Perasaan yang mencekat di dadanya.

Kedekatan Aine dan Kala. Teman-temannya saja baru tahu persis akhir-akhir ini. Orang lain tidak ada yang tahu karena Aine sejarang itu bercerita. Cemen memang.

“Gue pasti akan nyesel udah ngelive gini besok.” Nabil meringis. “Tapi gimana, dong, abisan sebel banget!! Kalau bahas dia tuh gak mau seneng apa sedih atau dua duanya. Jujur hari ini ngelive bukan mau cerita soal dia tapi kalian nanyain dia terus!”

Nabil mengacak rambutnya yang tergerai lurus. Aine senang lihat Nabil bisa sesenang ini di tengah kebingungan mereka yang sebentar lagi akan UAS dan mulai magang. Siapa pun itu mas gebetan yang mungkin daritadi bersin karena diomongin, Aine berterimakasih.

“Kak, tumben musingin cowok.” Nabil membaca komentar. “Iya, sekali-sekali. Gue hidup seperti semestinya cuma kadang pengen aja ada pacar, ya. Kalau liat mas gebetan tuh pasti tiba-tiba pengen. Kayak otomatis, wah, ni cowok udah begini kalau bukan buat gua lalu buat apa. Hahaha,”

Aine ikut tertawa. Iya, ya. Kadang pengen aja, pikirnya. Punya pacar.

“Kalau HTS gini, iri gak sama yang jadian?” Nabil membaca komentar lain, Aine mencebik lagi. “Iri sih pasti. Cuma gua udah terlalu gede buat merengek minta status walaupun kadang mau banget ngomong “gila lu gak macarin gua dasar kufur nikmat” kayak sekarang.”

“Asal gue tau dia gak punya siapa-siapa selain gua dan cara kita komunikasi bikin seneng, sih. Udah cukup.” Nabil menyimpulkan. Aine menyalin senyum Nabil di wajahnya sendiri. “Danish bilang gua kalau lagi suka sama orang jadi goblok dan pinter bersamaan.”

“Alhamdulillah, biasanya gue bego selalu. Ih jangan deng. Amit, amit, amit, amit, mau MAGANG. Nabil pinter, Nabil pinter, Nabil pinter, Nabil lulus, Nabil lulus, Nabil lulus.” Nabil merapal mantranya. Aine ketawa. Pantas yang menyaksikan siaran langsung Nabil gak pernah kurang dari ratusan. Anaknya semenghibur ini. “Eh apa, nih, Ryann bikin esai.”

“Buat yang mau Nabil jadian cepet ayo serbu Instagram behindtheshutter itu mas gebetannya si bebek. ANYING YA LO YAAAN!”

Siaran langsung yang berjalan setengah jam terakhir langsung mati. Aine membolakan mata. Perasaannya campur aduk.

-

-

Bau daging dan bumbu, lalu bunyi terbakar. Kala membiarkan Aine membakar irisan daging sapi yang tipis-tipis. Baru saja kemarin Aine ngerasa ingin sekali bertemu Kala setelah tiga minggu lamanya saat menonton live nya Nabil, sore ini tiba-tiba Kala mengajukan diri untuk menjemputnya sehabis kelas. Iya, dunia sebercanda itu. Mereka makan malam all you can eat. Promosi cashback lima puluh persen. Aine yang bayar.

Aine memindai kode bar di atas meja kasir sebelum Kala sempat protes.

“Ini hadiah hasil lomba esai bahasa inggris kemarin.” Aine mengaku.

Kala menjawil hidung Aine. Gemas. Mengingatkannya pada kucing yang pulang membawa ular atau tikus mati sebagai balas budi karena sudah diberi makan.

“Harusnya dibelikan buku.”

“Berhenti ngomong kayak om om,” keluh Aine. “I want to—”

Aine memelototi daging yang tidak salah apa-apa. Tangannya kencang memegang pencapit besi. Kala menyatukan alis—nyaris mengusap muka karena kepalang gemas.

Kala yakin anak ini tinggal di rumah yang hangat hingga keberadaannya yang penuh kasih jadi magnet orang orang yang baik pula. Setidaknya, Aine membuat orang lain dengan senang hati bersikap baik padanya.

”—I want to tell you I am no longer a kid. I can even get my own money. You can lean on me too.” Aine kali ini menatap Kala. Matanya rabun terlihat begitu jernih. “Lo juga gak ngerti kalau gue cerita tentang film atau masalah milenial. You just can't relate. However, you still listen to everything. Gue juga bisa. Seenggaknya gue bisa jadi telinga walau pun belum tentu bisa diajak diskusi. Gue juga mau nemenin lo ke Timezone kalau suntuk. Gua bisa ke Sudirman kalau memang lo mau temen ngomong langsung. Bahkan kalau gue ada kelas, jatah absen ada dua—”

“Nah, stop di situ.” Kala menghentikan gerakan bibir Aine dengan jarinya. “Angkat dulu dagingnya, udah matang.”

“Nyebelin dah lu, Pak.”

Aine bete. Beneran bete karena barusan jantungnya berhenti berdegup tapi seperti biasa Kala selalu bercanda. Sepertinya masih butuh sepuluh dua puluh tahun sampai Kala berhenti menganggapnya anak-anak.

Kala menyumpit sepotong daging, mencelupkannya pada bumbu lalu meniupnya sampai dingin sementara Aine membakar potongan potongan daging yang masih mentah di atas teflon besi yang jelas terlihat murahan dibanding teflon keramik di restoran berbintang. Yang Aine tidak tahu adalah Kala pernah jadi mahasiswa rantau yang miskin sekali. Bahkan sate kambing dan teh tubruk di warung tenda adalah kemewahan yang gak akan dia tolak sampai hari ini tapi Aine berusaha menyenangkan hatinya dengan makanan buffet yang belum tentu sebulan sekali si mahasiswa temui.

Senang. Hangat. Bersama Aine dunia jadi jauh lebih simpel makanya Kala mau jauh-jauh ke sini di waktu senggangnya yang jarang-jarang.

“Nih,” Kala menyuapi Aine, yang lebih muda menerima tanpa protes. “Maaf ya kalau gue terlalu bayi-bayiin lo.”

“Enggak apa-apa.” Aine mengoreksi. “Gue seneng, kok, ada yang ngurusin tapi gak perlu setiap waktu. Gak perlu kirim uang sering-sering juga. Ujungnya bukan buat gue tapi gue sumbangin di kitabisa atas nama lo.”

“Okay,” alis Kala naik satu. “Gue lumayan kaget dengernya.”

“Mama sama Papa pasti sedih kalau tahu ada orang dewasa lain ngirimin gue uang terus. Lo ngasihnya as reward for my academic achievements and I can't thank you enough for that tapi gak perlu tiap kuis jadi ovo juga.”

“Nilai lo bagus terus, sih” Kala tertawa jahil seraya mengambil satu potong daging lagi lalu menyuap ke mulutnya sendiri. “Makasih tawarannya by the way. Bakal dipertimbangkan.”

“Jangan lama lama mikirnya. Gue bisa berubah pikiran.”

Kala tertawa. “Wah, gimana, nih? Kok, ada tenggat waktunya ya kayak voucher grab? Kirain tawaran berlaku seumur hidup.”

“Kayak panjang aja umur Bang.”

“Sembarangan, ya, tuh mulut.” Kala menegaskan kata mulut dengan memberikan satu daging lagi ke depan bibir Aine. Dia senang-senang saja disuapi sementara dia sendiri sibuk menata jamur dan bawang putih di atas pemanggang. “Sekolah tetep nomor satu, lho. Kalau sampai lo bolos karena nemenin gue ke Timezone..”

“Apa? Apa yang bakal lo lakuin kalau gue bolos?”

Aine mengangkat wajahnya, menemui pandangan Kala yang lekat ke arahnya. Entah kemana kecanggungan yang tadi memenuhi sosoknya.

“Banyak, Ne.” Kala menyuapkan potongan daging lain meskipun yang sebelumnya belum selesai Aine kunyah. Sumpitnya berhenti begitu masuk ke mulut Aine.

Tangan Kala kokoh menahan sumpit di mulutnya, Aine enggan memundurkan kepala karena rasanya seperti kalah di adu dominasi melalui tatapan mata ini.

“I've been working for more than a decade,” Kala tersenyum miring. Aine bersumpah pria paruh baya di depannya sangat-sangat sengaja memainkan sumpit di dalam mulutnya dengan gerakan begitu lamban seolah-olah tidak bermaksud apa-apa. Aine seperti diacak-acak. “I'm a way or two to handle any kind of kids. Have meet many of them.”

Aine menarik kepalanya ke belakang. Mengaku kalah dengan gumaman “iya, iya,” pelan yang cuma terdengar oleh Kala. Pemuda yang lebih tua tertawa puas. Sekali lagi ada potongan daging disodorkan tepat di depan bibir Aine.

Aine menggeleng, bibirnya menumbur daging yang berbumbu. Kala dengan santai menarik tangannya untuk menyuap ke mulut sendiri. Aine memerah sampai telinga.

#sebuahpercakapan

***8***

TWITTER

@ryanisti tweeted: “Ada temen gua gak balik-balik kirain diculik tAUNYA NGAMAR” @ainee_ replied: “wkwk siapa tu” @ryanisti replied: “ELU”

-

WHATSAPP

Anak-anak Bapak Danish (Bilbil, ryan ganteng, danish, me)

Me: wah rame

Bilbil: WAH RAME KATA LO

Danish: kemana aja hah

Me: hehehe

Ryan ganteng: abis enaena

Me: adab lo yan adab lo

Bilbil: LU YANG GAK PUNYA ADAB GAK PUNYA AKHLAK dichat gak dibales, ditelpon gak diangkat padahal online KESEL BAT ULAT BULU

Me: BANG KALA GAK PUNYA CASAN ANDROID MAAP YAK HEMAT BATRE

Bilbil: LAH BENERAN NGAMAR?

Me: kagak bilbiiiil gue kan gabisa mabok

Bilbil: terus ngapain lo minta kemaren cil

Ryan ganteng: wkwk aine segede baliho pasar senen dibilang kecil

Me: stop ngeledek! gue sleding lu berdua gue literally 155cm emg kecil lucu menggemaskan kok

Danish: lu yang gua sleding ya Ne

Me: dengerin gue dulu gue gak bisa mabok tapi mau paham ga

Danish: terus

Me: biar ditemenin sama bang kala kalo sama lo pada gue dijambakin

Danish: lo kan mabok emang ngerasa dijambakin

Me: jejak digital speaks volume Dan

Ryan ganteng: bilang aja snepgram nabil sok jejak digital

Me: equil apartnya bang kala bikin pinter nanti juga abis minum le minerale balik lagi

Danish: lo minum sampe teler banget? bego

Me: ada botol jadi pajangan di minibar kayaknya buat estetika doang isi rumahnya random bgt kayak ada piringan hitam di sebelah boneka jerapah tapi tetep cakep

Ryan ganteng: lo wondering gak sih dia bayar pajak setahun berapa

Me: ratusan juta sih gue rasa tax envasion must be against his principle

Danish: apa hubungannya botol pajangan sama lo mabok

Me: gue minta.. lah dikasih gue cek besoknya ternyata vodka gak ada akhlaknya tuh omom bukannya ngasih tau

Bilbil: lo ngasih dia bir gratisan terus minta vodkanya lo teler bukan karna low alcohol tolerance, begog, lu teler karna azab

Ryan ganteng: AWOKWOWKWOK

-

April, 2019.

Tiga minggu setelah Aine mabuk di apartemen Kala, mereka tidak pernah bertemu secara khusus lagi. Sekali dua kali berpapasan di koridor kampus sisanya bertukar cerita lewat chat saja seperti biasa, selain karena memang Aine tidak mendapat mata kuliah yang Kala ajar lagi, juga Kala sedang sibuk-sibuknya di kantor. Jujur, mereka sama-sama rindu. Tapi ada batas abu-abu yang membuat keharusan mereka untuk bertemu dan kata 'rindu' untuk terucap rasanya cukup sulit.

“Pak, anak magangnya udah di dalem.” Fani, salah satu karyawan di kantor Kala menunjuk ruangan meeting. Kala yang baru selesai mengajar kelas pagi di kampus mengangguk dan segera menuju ruang kaca tersebut. Sudah ada tiga orang, dua perempuan dan satu laki-laki, sedang duduk berjajar di meja panjang menunggu kedatangan Kala untuk menyambut mereka selaku atasan.

“Hei, siang.” Sapa Kala terlebih dulu begitu masuk ke ruangan. Ketiga anak itu langsung berdiri dan membalas sapaan Kala kemudian langsung menyalaminya. Nampak sedikit tegang, maklum hari pertama magang. “Langsung aja ya, perkenalkan saya Kalandra, selamat datang dan thank you udah memilih CHAD ya, really. I appreciate you guys a lot, banyak yang ke goverment tapi kalian memilih disini, swasta yang masih seumur jagung.”

Ketiga anak itu tersenyum. Mereka paham Kala hanya merendah, seumur jagung sih iya, tapi logonya sering muncul di event/campaign yang banjir tokoh masyarakat dan press release mereka dipakai di berbagai lini.

“Boleh saya minta kalian cerita mengenai tujuan kalian masing-masing?”

Kala awalnya cuma mau mendengar suara mereka, menceritakan tentang diri masing-masing, tapi Kala dibuat takjub dengan ketiga anak ini yang sudah tau secara spesifik apa yang ingin mereka cari dan pelajari di sini.

“Saya kepingin tau, Pak, waktu rupiah anjlok tahun 2015 lalu kan berbarengan sama awal mulainya campaign gerakan non tunai, gimana bisa media gathering saat itu diadain di waktu yang bersamaan tanpa adanya crash informasi ke wartawan? Saya dengar CHAD jadi salah satu anggota di tim khusus media monitoringnya BI waktu itu.” Perempuan dengan kacamata bulat bersuara pertama kali.

“Kamu nanti banyak-banyak ngobrol sama Gara aja ya, itu kerjaan dia dulu. Sudah kenal kan kemarin pas interview? Dia co-founder juga disini.”

“Sudah, Pak.” Perempuan itu mengangguk.

“Kalau saya penasaran, spoke person of the year 2 tahun belakangan ini sampai dapat julukan juara kembar tuh ngebriefnya gimana, Pak?” Kali ini si laki-laki jangkung bertanya.

Kala tertawa kecil, pertanyaannya terdengar polos tapi cerdas. Mengingatkan Kala pada seseorang.

“Kalian tau nggak kalau beliau punya nomor khusus untuk balesin whatsapp dan telepon dari wartawan yang pertanyaannya nggak bisa dijawab on the spot?” Ketiga anak itu menggeleng. “Spokeperson itu wajib nyiptain simbiosis mutualisme sama wartawan buat membangun citra positif. Walaupun sepele, harus dijawab. Ketua tim spesialist PRnya itu dipegang sama Fani, nanti saya minta dia untuk buka sharing session ya. Saya ikut juga nanti.”

Suara Kala ramah, kata demi kata terdengar begitu lugas meskipun disampaikan dengan nada bicara yang lembut.

Giliran anak perempuan terakhir yang daritadi hanya mengangguk dan mendengar sesi tanya jawab tersebut bertanya, “Pak, apa sih personal branding itu terus seberapa penting ngebangun persona di depan khalayak?”

Kala bukannya bingung mau menjawab apa, tapi pertanyaan anak ini cukup membuat dia seperti sedang berkaca. Dia seolah sedang di wawancara mengenai hal yang telah dilakukannya selama satu dekade, membangun persona hingga kadang lupa ia yang sebenarnya itu yang seperti apa?

“Siniin deh tangan kamu.” Kala mengulurkan tangan kanannya ke arah perempuan itu, agak terkejut dan tidak siap dengan jawaban yang akan di berikan sosok yang akan menjadi atasannya selama satu setengah bulan ke depan ini. Ia terdiam beberapa saat sebelum meletakkan tangannya di atas meja. Kemudian jari telunjuk Kala maju untuk menyusuri telapak tangannya seperti pena, pergelangannya dipegang. Tentunya Kala minta izin dan mengucapkan maaf terlebih dahulu.

“Personal branding itu acuannya value khas dari kekuatan sama kompetensi,” jari telunjuk Kala bergerak seperti seolah sedang menarik garis horizontal, “terus didukung gambaran kepribadian dari gaya busana dan penampilan fisik,” jari telunjuknya kemudian menarik garis vertikal diatas garis horizontal palsu.

Mulut anak perempuan yang tangannya dipegang oleh Kala sedaritadi cuma melongo, pipinya merah jambu.

“Saya cuma mau bilang, besok kalau kamu udah kerja,” Kala memandangi mereka satu persatu, “lakuin aja apa yang perlu kalian lakuin. Punya personal brand sendiri bukan berarti semua orang bakal suka sama kalian.”

“Jujur aja semisal kalian bekerja untuk mengejar sesuatu yang profitable. Asal beneran serius and make sure people that you guys aim for it with your skill and curiousity to learn. Gak susah kok, ikuti prosedur aja, bilang kalau butuh bantuan, ya?”

Mereka bertiga mengangguk dan tersenyum. Anak perempuan yang tangannya dipegang Kala langsung mengelus-elus dada seakan takut jantungnya melompat saat Kala izin keluar dari ruangan meeting.

-

Seringkali orang-orang terlalu khawatir untuk berbagi pengetahuan karena mereka tidak mau terlihat arogan. Mereka yang jahat, tidak mau membiarkan orang lain 'mengintip' dan meniru cara mereka yang berhasil. Kala mungkin bukan satu-satunya di dunia, namun dia termasuk salah satu yang berbeda. Semua aturan yang ada dia terobos, sikapnya tidak pernah malu-malu, pun jika ia dituntut untuk jaga sikap, perhatiannya selalu fokus pada audiens. Tidak pernah pada dirinya sendiri.

-

WHATSAPP

16.40

Pak Kalndra strakom: Ne mau dijemput nggak? Kelas sore kan?

Aine F: Wa tumben Kangen ya Maulah, jam 6 nanti ya ini masih di kelas

Pak Kalndra strakom: Oh di kelas main hape

Aine F: Kelas etika bang Ngantuk bgt

Pak Kalndra strakom: Pantes kamu nggak ada etikanya

Aine F: Hehe

Pak Kalndra strakom: Nanti tunggu di 88 aja (attached a picture) Cukup kan buat kopi

Aine F: APAAN TBTB NGASI DUIT

Pak Kalndra strakom: Hadiah Kata pak wisnu kuis lo A

Aine F: Kok lo bisa kenal pak wisnu sih

Pak Kalndra strakom: Rekan gue dulu di bumn

Aine F: Hehe suka lupa lo orang bener

Pak Kalndra strakom: Gajadi gue jemput ya

Aine F: 😪

#sebuahpercakapan

***7***

Weekend terakhir sebelum trio kwek-kwek memasuki semester lima. Ini hari Sabtu, kwartet janjian untuk menonton Pretty Boys. Idenya Ryan karena dia ngefans berat sama danilla riyadi, pokoknya setiap danilla konser, Ryan nggak pernah absen untuk nonton, dia juga borong sepuluh kaos kucing yang danilla jual buat donasi beberapa pekan lalu. Aine, Nabil dan Danish iyain aja, toh film yang sedang tayang selain itu juga tidak ada yang menarik.

Selesai nonton, mereka makan di mekdi Sarinah. Kali ini permintaan Danish. Trio kwek-kwek nggak habis pikir kenapa Danish hobi sekali makan disini. Ya selain kantornya dekat, tapi apa tidak bosan? Mereka sering meledeknya dengan sebutan 'yang punya mekdi Sarinah' tapi Danish tidak peduli. Micin is life, more over, the nearest one from your workplace, prinsipnya.

“Kalo gue nggak sanggup menghadapi semester lima kayanya gue mau nikah aja, sama auditor.” Celetuk Nabil yang memang suka random tidak kenal waktu.

“Pak Dirga tuh auditor.” Ryan menimpali enteng.

“Ya nggak Pak Dirga juga gublu, kalo nggak auditor koas di rs deh.”

“Gue barusan kepikiran hal yang sama.” Aine menyahut sambil membagi rata kulit ayam miliknya ke tiga temannya, ia tidak suka.

“Gaya lo, Ne. Gue jadi lo sih langsung ambil judul magang praktek peran pr di CHAD. Udah ada copywriternya.”

“Nanggung, yan. Gue jadi Aine sih nggak ngerjain laporan magang, langsung aja pindah ke apartemen di sebelah tuh.” Nabil menegak habis sodanya.

“Lo bertiga tuh ya, gemes gue, belom aja dijalanin udah pada ngeluh. Ribet amat tinggal belajar doang.” Danish kali ini buka suara, maksudnya memang bercanda, tapi berbanding terbalik dengan hitam kantung mata akibat lembur kepanitiaan acara perayaan hari jadi ke dua puluh kantornya.

Trio kwek-kwek tertawa berbarengan. Mereka tidak bisa bantu apa-apa untuk lelahnya Danish, namun setidaknya mereka mampu meringankan lewat candaan yang saling terlontar dan kegiatan random yang sering mereka lakukan bersama.

“Istirahat lo Dan, kantong mata lo udah kek pak sby. Atau mau ikut gue spa nggak ntar? Kebetulan gue dapet voucher diskon 50%.” Nabil menawarkan.

“Tuh, Dan ikut sana, biar rileks.” Aine yang khawatir ditambah sedikit merasa bersalah karna tadi malam sudah menambah susah Danish untuk meladeni curhatannya sampai larut.

“Boleh deh.”

Trio kwek-kwek tersenyum lega mendengar jawaban Danish sambil berharap semoga setelah ini teman mereka satu itu lebih sering menyediakan waktu untuk memanjakan diri sendiri.

Sementara itu Ryan meminta Aine untuk menemaninya berbelanja. Tumben, pikir Aine.

-

TWITTER

@ainee_ tweeted: “Gue udah feeling, nemenin @ryanisti belanja adalah kesalahan.” @ryanisti replied: “😭 ayam gue... sayur gue...”

-

WHATSAPP

Aine F: Bang Kala, mau heineken ga?

Pak Kalndra strakom: Waduh Kenapa tibatiba Belajar nakal ya, cil

Aine F: Cal cil cal cil

Pak Kalndra strakom: Iya lo kan kecil

Aine F: Apaan Lagian emang udah nakal 🙄 Ini si ryan goblok plastik belanjaannya ketuker sama punya orang

Pak Kalndra strakom: Hah kok bisa?

Aine F: Isinya bir sama sosis doang lagi

Pak Kalndra strakom: Ketuker dimana? Simfoni?

Aine F: Bisa dininuninu kalo simfoni jual bir Di hero nih

Pak Kalndra strakom: Jauh amat belanja Ya udah besok gue ke kosan ya Agak malem mungkin

Aine F: Nggak usah Ini gue ke apart lo ya Dari kosan temen gue di jakpus

Pak Kalndra strakom: Jauh amat temen lo ngekos di jakpus

Aine F: Dah kerja dia, deket kantornya Tadi belanjaan ryan digantiin semua Keren ya

Pak Kalndra strakom: Kerenan gue

Aine F: Iya tau..

Pak Kalndra strakom: Ya udah kabarin aja kalo udah mau kesini Siapa nama temen lo yg di jakpus?

Aine F: Danish

Pak Kalndra strakom: Cowok? Lo main di temen kosan cowok?

Aine F: Berempat sama nabil ryan juga

Pak Kalndra strakom: Ne, kalo berempat namanya gangbang

Aine F: Buffalo gathering

Pak Kalndra strakom: Apaan

Aine F: Kumpul kebo elah

Pak Kalndra strakom: Did you just admit it?

Aine F: Ya nggaklah! Biasa kita makan, main kartu, mabok

Pak Kalndra strakom: Mabok

Aine F: Kadang-kadang Ini enggak

Pak Kalndra strakom: Halah

Aine F: (attached a picture) Tuh

Pak Kalndra strakom: Apaan kirim selfie?

Aine F: Bukti gue masih sober and fine

-

21:46. Lantai 24 di sebuah unit apartemen di Thamrin.

If there's a thing Kalandra liked the most about Aine, it's her eyes.

Matanya selalu terlihat seperti teropong mengarah pada bimasakti. Kaki-kakinya dibawa ke sana ke sini, sedikit terperangah oleh interior rumah satu orang yang peculiar atau memang dasarnya Aine melihat semua tempat baru layaknya dunia fantasi. Toh Kala mengizinkan sepenuh hati.

Gelas bir murah dibuka, diminum sekenanya. Kala bingung kenapa kaleng-kaleng ini benar benar bisa sampai ke tangan Aine dengan cara yang tidak disangka tapi toh itulah masa muda. Letak kebodohan bermuara dan harapmu kamu masih punya waktu untuk memperbaiki semuanya.

Aine tampak menaruh minat pada botol minuman berusia belasan tahun di atas meja. Kala menaruhnya disitu.

“Kalau mau, buka aja.”

Aine membolakan mata. Dua gigi depan yang lebih panjang terlihat dan Kala nyaris tersedak heineken yang secara ajaib masih berembun. Awalnya yang lebih muda menggeleng tapi toh anak kecil memang selalu kalah pada keingintahuannya.

-

When you're above 30, ciuman bukan bahasa dua orang yang meluap emosinya. Bukan satu-satunya. Ada yang meletup dan terbakar rendah di dalam Kala saat Aine mulai meringsut ke pangkuannya seperti anak pada induk. Mencari hangat untuk tubuhnya yang panas tapi kedinginan.

Kala tau toleransi Aine rendah tapi dibiarkannya anak itu berbuat semaunya. penasaran saja sampai mana dia baru berhenti. Untuk orang-orang di bidang yang Kala geluti, rasa penasaran tidak muncul setiap hari. He has seen so much during the last decade—

“Hei,” Kala mengusap kedua kelopak mata Aine. Yang berada di pangkuan melempar cengiran. “Ne..”

—yet he can't help but look at Aine a little too long to be categorized as something so ordinary.

“Kalau di film,” Kala menangkap silabel demi silabel yang keluar dan cara lidah Aine bergerak ketika dia bicara. Lidahnya menabrak barisan gigi bawahnya yang rapi. “it's the time to kiss.”

Aine memiringkan wajah lalu serak suaranya ketawa. Kala melihat ada yang lebih terang dari lampu kristal di pangkuannya. Rasanya sulit bernafas padahal yang Kala tahu dia membayar jutaan untuk air purifier. Mungkin asisten rumah tangganya korupsi anggaran atau mungkin sosok yang kini masih cengengesan seperti di taman bermain ini sukses membuat pikiran Kala terdistorsi sedemikian rupa.

Drunk Aine groans when Kala flick her forehead. Her damp hair sticked to the said forehead. Kala can't help but smile and brush the younger's adorable fringe.

“Kamu harus potong poni.”

“Nanti,”

“Hmm,” Kala bergumam. Aine mengusapkan pipi pada dada yang lebih tua tanpa tau apa efek yang dimilikinya.

Jujur, Aine berat. Adapun Kala tetap gak akan melepasnya. Suara penyanyi yang tidak begitu Kala kenal menggantikan suara michael bubble. Playlistnya sudah habis, dilanjutkan rekomendasi radio otomatis spotify. Sengaja.

Kala suka lagu baru. Berkenalan dengan orang baru. Usia yang tidak lagi remaja membuat sedikit hal benar-benar memberinya kejutan. Orang-orang seperti Kala, menghargai rasa antusias seperti anggur yang mahal.

Aine epitome dari banyak hal baru. Kejutan demi kejutan dan rasa antusias.

“Kalau gue baru lulus kemarin,” Aine ketawa lagi waktu Kala mencubit pipinya. “kita lakuin semua yang di film.”

Aine tampaknya tidak menangkap semua yang Kala katakan.

“Mau minum lagi,”

Aine merajuk karena tidak dicium. Kala nyaris mengacak rambut karena betapa, betapa, situasi ini menyiksanya dalam berbagai arti. butuh luar biasa banyak kontrol diri dan jam terbang yang tidak main main tingginya untuk tetap setenang Kala di situasi ini.

Aine bergerak lambat, kali ini pangkuan Kala dijadikan bangku setelah sebelumnya dia duduk menyamping. Setelah mengisi gelas, setengahnya tumpah, Aine menempelkan punggungnya di dada Kala.

Kala benar benar mengerang saat Aine menumpahkan sebagian isi gelasnya lagi. Kali ini ke pakaiannya sendiri.

“Udah, Ne.” Kala menarik gelas dan menaruhnya di meja. “Tidur, ya?”

Aine menolak tentu saja. Sisa isi gelas tumpah di sofa.

#sebuahpercakapan

*****6*****

Januari, 2019. Awal semester 5.

23:45 WHATSAPP

Me: Dan.

Danish: Ya, ne? Sorry baru bales kerjaan gue baru beres

Me: Gila malem amat. Jgn sampe sakit lo Gue udah kelar nyusun sks, fix dah gue markom

Danish: Ryan sama nabil?

Me: Ryan sama, nabil pr

Danish: Wkw trio kwekkwek mencar Dah ga bingung lagi dong berarti

Me: 😂 Masih sih, dikit Dikit doang Segini 👌

Danish: Napa lagi

Me: Gpp sih cuma gue takut salah ambil langkah aja

Danish: Gue inget lo pernah breakdown di twitter gegara ga kelar-kelar nulis berita yang deadlinenya lusa And I recall you're slightly scared of a responsiblity maintaining a certain image Gue rasa pilihan lo udah cukup tepat

Me: Iya sih Dan Gue gamau mengulang masa-masa itu Tapi lo tau kan gue payah bgt sama yg berbau ngekonsep

Danish: Ne I believe people learn as they live, yang artinya gak semua yg baik buat orang bakal baik buat lo juga, kek interest dan luck tuh beda-beda Kalo gue dulu ngikut omongan org, kenapa ambil d1 disini padahal gue keterima s1 di Bandung, gue gabakal find out ternyata ayah gue mau resign krn kesehatannya, gue gabisa bantuin bayar sekolah adek gue Kayak ya pasti ada aja hal yg bikin lo ga yakin Jalanin aja.

Me: Gue bingung.

Danish: 🙃

Me: Bang kala ngomong yg sama kaya lo.

Danish: Wow terharu nih gue sepemikiran sama orang sekeren pak kala.

Me: 🙄

Danish: Okelah dia ga ngerti jokes midsommar, mobilnya bau kopi But have you ever visit his linked in profile??

Me: I visit his workplace😄

Danish: Ok stop with the I got a gadun I gotta flaunt him to danish who pays his own bill

Me: eXCUSE ME HE ISN'T A GADUN. Dia my morale support man

Danish: t e r s e r ah

-

Sementara itu di Kemang. Salah satu meja di sebuah restoran seafood yang tidak terlalu ramai pun tidak sepi sudah terisi tiga orang. Si empunya, Gara, sedari kemarin sibuk menitah Kala dan Bimo untuk berkumpul makan malam pada hari itu. Bachelor party, katanya. Biarlah orang di luar sana mengisinya dengan pesta sampai teler atau menghamburkan uang untuk mengundang 'tamu undangan', bagi ketiga laki-laki di awal kepala tiganya ini, definisi pesta lajang mereka sesederhana makan malam saja. Sudah terlalu 'renta' untuk yang gila-gila kata mereka.

“Lo gaada makasih-makasihnya ke gue, Gar.” Cetus Bimo seusai melahap habis piringnya yang berisi cumi saus padang. “Lo jadi nikah karna gua.”

“Certain digits added to your account says so, bro.” Sahut Gara yang memasang muka malas. Kala menggulung kemeja putihnya sampai ke siku, dasinya sudah ditanggalkan sedari tadi, konsentrasi memakan kepiting yang lebih besar dari tangannya sendiri. Tapi ia masih sempat-sempatnya menimpali, “Lu udah tau nasib financial sheet kantor masih di tangan Bang Bimo, masih sempet cari gara-gara.”

Pertengahan tahun 2017 lalu Gara meminta tolong Bimo agar laporan keuangan teraudit CHAD bisa rampung di awal tahun depan. Tapi Gara sempat-sempatnya register profil Bimo ke tinder, supaya Cindy, anak perempuan Bimo, segera punya mama baru katanya. Bimo kesal dan mandek nurutin deadline nya Gara. Hubungannya apa? Bimo mandek ngerjain laporan keuangan sama dengan tidak bisa jual saham sama dengan tidak dapat modal sama dengan Gara makin lama lamar pacarnya. Kira-kira begitu.

“Inget ga dulu lo sama Kala pas ngekos pernah masak mie dibagi dua buat sore sama malem, sekarang udah mau nafkahin isi perut anak orang seumur hidup ya Gar.” cetus Bimo. Mereka bertiga tertawa.

“Cindy dimana Bang?” tanya Kala.

“Di mamanya. Udah mau kelas 4 sd dia, pertanyaannya makin aneh-aneh tiap hari.”

“Kangen gue main sama Cindy bang, ajak main ke apart lah.”

“Bikin sendiri lah Kal.”

“Lemes banget mulut lo, Gar.”

Piring-piring bekas berganti menjadi tiga cangkir kopi panas yang dihidangkan di atas meja mereka.

“By the way, inget ga kasus kemaren? Gila ya, gue hampir jadi temen narapidana.” Gara melirik Kala.

“Baru ketauan sekarang?” tanya Bimo.

Kala mengangguk sambil menyesap kopinya. Gara tau, Bimo pun tau, Kala isn't one with rich family background hence he got a bit carried away when he got batshit access to goverment's money. Untungnya waktu itu dia beruntung karena diberi kesadaran di waktu yang tepat, Kala mengembalikan gratifikasi besar-besaran yang kemudian hari jadi kasus itu.

“Kantor lo aman bang?” tanya Kala.

“Gue sekarang gak ambil banyak kerjaan jadi tax consultant.”

“Sebagian dari diri lo masih mau goverment dapet share of tax ya, Bang?” Kala kembali bertanya. Gara sudah sedikit ngantuk jadi hanya bisa mendengarkan saja.

“Lagian serem juga, you can't really know how the tables turn. Inget ga Lidya pernah punya pajak 200 juta jadi naik 1,5 m abis banding.”

“Iya sih.” Kala mengangguk sepaham.

Malam semakin larut, berbagai 'ingat tidak' saling dilayangkan, gelak tawa bersahut-sahutan, gelas kopi sudah tinggal ampas. Uapan-uapan kecil tanda mereka ingin segera memeluk kasur pun menyusul. Pesta lajang Gara yang sederhana berakhir tepat pukul 12 malam.

-

00:35 am WHATSAPP

Pak Kalndra strakom: Ne udah tidur?

Aine F: Belom Udah pulang dari kemang bang?

Pak Kalndra strakom: Ini lagi otw Udah kelar nyusun sks?

Aine F: Oh tiati Udah tadi siang

Pak Kalndra strakom: Baguslah..

Aine F: Lo nggak marah kan gue gak ambil pr?

Pak Kalndra strakom: Enggalah Tetep gue bantu kalau bisa bantu

Aine F: Makasih kak Kala

Pak Kalndra strakom: Gak tidur? Besok weekend kemana?

Aine F: Mau nonton Pretty Boys sama anak-anak 😄

Pak Kalndra strakom: Masih ada jajan?

Aine F: Bang gue masih punya mak bapak 😪

Pak Kalndra strakom: Just want to spoil you, kiddo

Aine F: Gausaaah, beneran

Pak Kalndra strakom: Ok, almost arrived home, still have work to do Night

Aine F: Jangan capek-capek Good night

#sebuahpercakapan

**5**

Youth is Irreversible.

Atleast before Kalandra meet a student named Aine, youth is irreversible. Matanya terang menyala seperti usia belasan yang Kala sudah lupakan. Celotehnya cerdas tanpa disaring ilmu yang cuma bisa diraih kedewasaan. Sifatnya kelewat penurut. Kadangkala mengkhawatirkan karena dia terlampau tidak enak hati, mudah disetir sedimikian rupa, hobi lalai dalam menjaga diri sendiri.

-

September, 2018.

“Aine yang jadi capres!!” teriak Ryan.

Dalam konteks demonstrasi kegiatan kampanye. Kelas yang Kala ajar bermain peran sebagai tim sukses calon pemimpin negara di bidang keuangan, titik beratnya sektor utang yang makin mengkhawatirkan orang awam. Tugas mereka adalah bagaimana cara mengkomunikasikam solusi dengan cara sekreatif mungkin menggunakan macam-macam media. Masing-masing tim diwajibkan menunjuk satu anak sebagai calon presiden. Kala menugaskan anak-anak didiknya untuk memproyeksikan utang lima tahun ke depan dan menjelaskan dengan sederhana apa solusi dan idealisme yang ditawarkan si calon presiden.

Suara-suara mengelukan namanya. Aine memiringkan kepala meminta bantuan supaya teman temannya diam tapi nihil. Tak lama perempuan berambut pendek itu menyerah nyaris tanpa perlawanan. How selfless, pikir Kala.

Suatu hari di bulan juni usia keduapuluhnya, Aine datang ke kelas strategi komunikasi dengan kaki dibebat sambil menjelaskan kalau dia jatuh saat pulang dari kelas malam. Kala punya dua jurnal yang diterbitkan dalam skala internasional tapi untuk sekali itu dia kehilangan diksi untuk menyampaikan khawatir. Ingin melindungi Aine. Perasaan sederhana itu menggerakannya hingga hari ini.

“Dalam hal meningkatkan produksi negara di bidang industri migas, sawit dan tambang, Indonesia membutuhkan infrastruktur yang tidak murah, karenanya kami memproyeksikan—”

Kala merasakan sudut bibirnya berkedut. Satu senyuman merekah ketika Aine menyelesaikan kampanyenya. Ketegasan di wajah itu hilang sedetik begitu eluan sejawatnya terdengar bersorak sorai. Cengiran bloon yang mengingatkan Kala pada anak kecil muncul di wajah Aine. Kala pura pura memberi penilaian di kertas ketika remaja itu nyaris memukul kepalanya sendiri dengan spidol karena salah tingkah—dia tidak boleh tampak menumpahkan perhatian istimewa hanya untuk satu murid.

Tidak etis.

-

Penghujung 2018.

Parfait strawberry yang harga satu porsinya bisa untuk makan anak kos dua hari hingga sate kambing berlemak dan teh tubruk di warung tenda yang mejanya berminyak. Perpustakaan besar di dekat kedubes belanda yang nyaris semua bukunya tidak bisa Aine baca hingga taman menteng yang tidak pernah kehilangan pamornya. Kala seperti bintang utara yang lebih terang dari bulan dan Aine mengikuti semua ajakannya seperti pelaut.

Kala tidak pernah merasa benar benar sudah tua tapi Aine adalah epitome masa muda yang dilewatkannya. Aine yang cantik ketika tertawa dan setengah sebal saat lagi-lagi dihadiahi diktat asli dari gramedia adalah bioskop yang mementaskan segala yang hanya bisa Kala dapat bila dia pergi ke semesta yang lain.

Aine seperti mimpi indah dalam bentuk manusia..

Setidaknya kalau mulutnya sedang tidak kurang ajar dan melontarkan kalimat polos setengah menyebalkan. Sebal yang membuat Kala mau mematikan mobil untuk menguleni pipinya atau menggaruk gemas lemak di bawah dagunya.

“Lo gak begitu tua tapi kupernya luar biasa.”

“Di jajaran yang sejawat gue paling muda,” aku Kala. Setengah lelah karena tidak bisa menjawab teka teki keren-kerenan yang dikurasi sendiri oleh Aine. “Yang kedua paling muda lima tahun lebih tua. Sisanya di atas empat puluh.”

“Pantesan mobil lo bau kopi. Lo mainnya sama kakek kakek.”

Pun Kala seorang pengecut. Hal paling jauh yang bisa dilakukannya saat itu cuma menjawil hidung Aine. Empunya hidung mengerucutkan wajahnya, lucu pikir Kala.

-

Januari, 2019.

Aine mengabari Kala kalau indeks prestasinya di semester empat tetap membanggakan walau tidak lagi sempurna. Kala merasakan kelegaan melepas duri yang melingkari saluran respirasinya. Nafasnya lega saat dia menitah Aine berhenti memanggilnya pak mulai dari sekarang.

“Gua bukan dosen lu lagi.”

“Lah?”

Seperti kertas yang siap ditulis, mudah mengajari Aine banyak hal. Dengan cepat Aine terbiasa memanggil Kala dengan sebutan abang tanpa canggung seperti dulu. Dengan cepat pula yang lebih muda terbiasa dengan segala cara Kala menghujaninya afeksi.

-

Juni, 2019.

Aine sekali lagi dipaksa melakukan hal yang tidak ingin dilakukannya. Kali ini diminta jadi peserta kompetisi pageant di acara kampus. Kata Aine ini karma karena sudah berada di garda terdepan meledek Ryan yang diikutkan lomba yang sama tahun lalu. Kala setuju saja ketika Aine memintanya datang ke kampus.

Kala pikir ini murni karena Aine mau diajari berpidato. Bolehlah sedikit pakai bumbu kangen karena mereka absen bertemu terimakasih pada Lidya, klien sekaligus teman kampusnya dulu dan rengekan mau bisa cepat-cepat mensosialisasikan campaign start up-nya awal bulan depan. Kala harus merelakan sekitar dua puluh jam memastikan seluruh kerja tim nya sesuai porsi tanpa pengecualian.

Beberapa digit bertambah ke rekening ketika Kala membawa presensinya pergi dari Sudirman.

Sosok yang dicari ternyata berada di dekat pos satpam. Beramah tamah dengan bapak-bapak berseragam yang langsung nyengir begitu Kala menyalami mereka dengan uang seratus ribu.

“Lain kali kalau adek saya lagi di sini jangan ngerokok ya, Pak. Nanti batuk ini.”

Aine mengerung dipanggil adik.

“Ayo, Bang. Jadi muda lagi.”

“Ngapain lagi kali ini?”

Kala diajak nonton sheila minggu lalu dan diajak minum kopi sambil berayun di kafe yang ada ayunan di interiornya pada minggu sebelumnya lagi. Menyenangkan sekali. Kali ini, ia diajak meramaikan gladiresik acara putra putri sebagai supporter.

Kala tak pernah abai menyampaikan terimakasih kalau Aine berhasil membuatnya senang. Lalu yang lebih tua bisa menikmati ekspresi kelewat transparan di wajah Aine.

How can Kala helps himself when Aine looks so delighted from being a good girl. Aine turns into a dreamy doll once being told she's doing a great job. A part of Kala's mind told him this is what keeps makes Aine can't really say no to anyone—she likes making people happy.

“Waktu lo kuliah belum ada suporteran kan?”

Boro-boro suporteran bahkan wisuda resmi waktu Kala dan teman-temannya menyelesaikan pendidikan masih sekedarnya.

“Acara yang bisa disupport juga gak ada, Ne”

“Makanya ayo suporteran.”

“Lah memang boleh?”

“Apa, sih, yang gue gak bisa?”

-

Namanya Refal, pasangan Aine di acara putra putri apalah itu. Kala lalai mengingatnya. Intinya Aine akan menggandeng laki-laki ini selama nyaris setengah jam dan mereka akan punya satu panggung bersama untuk talent show. How fucking great.

Yang menahan Kala untuk gak mencari tahu siapa saja yang mengajar Refal dan memastikan anak ini tidak bisa mengikuti rangkaian kegiatan apa pun karena tiba tiba punya tugas segunung hanyalah jam terbangnya yang tinggi. Kala is 32 for godness sake. Bersama Aine memang membuatnya menyesap kemudaan yang sudah melewati jemarinya tapi bukan berarti dia bisa ceroboh.

Karenanya Kala tetap ramah membalas jabatan tangan Refal. Tetap berbasa-basi ketika Refal bilang dia yang akan membawa protokol saat gladiresik supporteran kali ini.

“Ref, nih.” Aine menyodorkan botol air mineralnya yang masih penuh saat melihat Refal sepertinya kehausan.

Kala selalu menyukai kebaikan hati Aine. Terlampau suka hingga hatinya tidak diberi ruang untuk cemburu. Aine perhatian pada semua orang disekitarnya tanpa pemilik afeksi sendiri sadari.

Kala cuma bersemoga laki-laki yang sedang diberi afeksi itu tidak menyalahartikan kekhawatiran yang Aine sodorkan.

“Btw, yuk masuk.”

Dibawa masuk ke gedung yang dicat putih gading, Kala merasa asing. Entah kapan terakhir kali dia masuk lewat pintu samping yang lazimnya dilewati panitia alih alih pintu belakang yang menyambung dengan ruang VIP seperti biasanya ia mengisi seminar-seminar. Aine mendorong Kala supaya berjalan lebih dulu.

“Kalau ditanya, bilangnya Pak Kala orang dari vendor spotlight, ya.”

“Tuh, Bang. Lo tukang lampu hari ini.”

Kala menjawil hidung Aine. Kali ini murni gemas karena dia bahkan tidak sadar Refal belum pamit mau turun ke panggung.

-

Suporteran mahasiswa ternyata bisa semeriah ini. Padahal cuma latihan untuk menghadapi pertandingan yang betulan dan pemuda-pemudanya masih seplontos bakso tapi semangat mereka sejak awal asap warna warni membumbung ke udara mampu membuat Kala sedikit merinding. Youngsters who gather are truly coming from another planet. Lagu pertama terkesan lambat tapi khidmat.

Lirik cheesy yang sesuai dengan keremajaan audiens. Kepercayaan diri untuk menang. Mengasosiasikan atlet dengan pahlawan. Usia awal dua puluh memang umur di mana segala hal terlihat bisa diusahakan. Di mana semua kemenangan masih bisa diembel-embeli predikat mungkin.

Dalam diri Kala adalah seorang konsultan yang konservatif. Semua yang terlampau ideal sebenarnya adalah bohong. Optimismenya harus didasari alasan signifikan.

Pun di detik ini dia dibawa mengecil menjadi pemimpi sekali lagi oleh remaja tanggung yang sibuk bernyanyi.

“Hafal banget, Ne.”

“Tahun kemarin Ryan megang bendera, tuh. Tiap suporteran gue sama Nabil harus ikut atau dia gak berhenti ngeluh sampai suporteran berikutnya.”

“Segitunya?”

“Segitunya.”

Kala menggeleng lalu kembali fokus ke depan. Akan sulit kembali fokus kalau menatap wajah dari samping Aine yang ditimpa cahaya kuat dari spotlight berlama-lama. Padahal panggungnya di sana tapi bintangnya ada di sisi Kala sedang mengangkat tangan gonta ganti kanan kiri.

Refal mengambil mic dan meminta audiens ikut melompat. Terdengar seruan dari para maba cowok dan suasana makin ruah. Kala lagi-lagi dibuat terkesima. Rasanya seperti dibawa ke semesta lain di mana dia masih bisa jadi bagian dari riuh rendah ini.

Entah sejak kapan, dia ikut membaca lirik yang dipamerkan di proyektor dan sesekali mengikuti Aine.

Suara perkusi berbarengan tepuk tangan di udara dari audiens dua kali diikuti tabuhan drum sekali. Kala pikir gestur ketika drum ditabuh mirip orang memasukan bola ke ring tapi toh tetap menyenangkan karena ketika cheering captain melompat meminta semuanya bersuara; kita jadi satu.

Cheering captain naik ke ujung panggung yang lebih tinggi dari sisanya, Refal melompat-lompat tanpa henti sambil memegang bendera. Aine sedikit takut Refal tiba-tiba pingsan saking semangatnya, namun siapa yang peduli jika suasanya begini bahagia. Anak anak yang apes kebagian barisan di belakang mulai naik ke bahu teman-temannya. Kala tak kuasa menahan tawa.

“Kenapa?”

“Rasanya kebayang Gara dan Lidya begitu.” Tudingnya pada anak anak yang sekarang mulai saling dorong dari atas bahu temannya. Chaos yang menyenangkan. Pemandangan ini menyorakkan kebandelan yang begitu muda. Sesuatu di perasaan Kala disetir.

“Kalau temen-temen Bang Kala yang lain gimana?”

“Maksudnya?” Tanya Kala agak keras melawan suara perkusi.

“Ya.. Kak Lidya, Mas Gara atau siapatuh yang anaknya lucu itu, Mas Bimo ya? Kalau kalian masih kuliah dan ada di sini, bakal di mana.”

“That Refal kid is definitely Gara. Free spirit,” Kala mulai menerima Refal memang asik ketika anak itu mulai melompat dengan tangan terangkat lalu menunduk ke kanan kiri mengikuti irama lagu selebrasi.

“Bimo.. yang itu,” Kala menuding pemimpin suporteran yang dengan mudah membelah audiens dan membagi mereka menjadi dua suara bersahut-sahutan. “A leader.”

“Itu yang rambutnya coklat terus poninya nutupin muka, Lidya.”

“Temen lo jamet banget apa?”

“Gua gak tau apa definisi jamet lo tapi Lidya dulu tomboy dan begitu model rambutnya.”

Lalu Kala mengabsen teman-temannya dengan senyum terbubuh di wajahnya yang sempurna. Aine tidak kenal tapi kebahagiaan Kala menular dan setiap inci kulit yang lebih muda seolah dipeluk kebahagiaan itu. He glows, his happy mind oozes such energy that makes the younger one beside him feels warm all over.

Kala can have anyway his want to be happy. Life probably bored him out. Itu kan sindrom orang yang sudah berkecukupan. Aine gak tau perasaan campur aduk apa ini tiap melihat Kala senang karenanya tapi yang pasti dia teradiksi pada rasanya.

Semakin lama tensinya semakin tinggi. Gedung yang luasnya tidak ada setengah hektar seolah bisa membumbung ke langit. Enam lagu sorakan selesai tanpa Kala sadari.

Waktu Kala dan Aine melangkah keluar gedung lewat pintu VIP terdengar gema jargon fisip yang sudah ada sejak Kala masih mahasiswa. Rasanya rindu sekaligus sesak.

Waktunya memang sudah lewat. Estafet generasi sudah diserahkan dan tugasnya sekarang adalah membantu yang sedang mengemban masa depan bangsa bisa mendapatkan hak mereka sepantasnya. Untuk Kala sendiri, sentimennya bukan sekedar berderma. Dia tahu senangnya makan enak karena diajak dosen pergi seminar. Dia pernah melewati malam malam lapar karena uang makannya dipakai untuk menelfon rumah.

Sekarang Kala punya uang dan setidaknya dia mau satu dua atau lima anak bisa menuntut ilmu dengan lebih layak.

Aine adalah pengecualian yang manis. Perempuan itu lahir dari keluarga yang cukup. Dia tidak kurang materi atau pun kasih sayang tapi mampu membuat Kala dipenuhi ingin untuk menyiraminya dengan afeksi dan materi. Apapun.

Apa pun yang Aine butuhkan.

“Kenapa?”

“Enggak.”

Aine menyipitkan mata ketika matahari menyapa kepalanya. Cantik. Rambutnya hitam pekat. Sosoknya benderang di bawah lampu sorot.

“Cafe di depan buka gak?”

“Entah, tapi gak mau ngafe. Laper.”

Ingin memanjakan Aine dan memastikan senyum itu muncul setiap harinya. Ingin ini dan itu yang membuat Kala nyaris jadi posesif.

“Ya, udah. Mau makan apa?”

Kala memberanikan diri merangkul Aine. Yang lebih pendek tidak menolak. Pura pura berpikir.

“Kepingin spaghetti, tapi homemade.”

Jam terbang Kala selama tiga puluh dua tahun hidup gak memberinya kuasa untuk menolak.

#sebuahpercakapan

*****4*****

Jakarta, 2018. Akhir semester 4.

WHATSAPP

Aine F: Pak Kala, kayanya gue telat.

Pak Kalndra strakom: Hah kok bisa?

Aine F: Telat ngisi survey peminatan elah mikir apa lo om

Pak Kalndra strakom: Ya kirain. Isi aja sekarang, survey online juga kan

Aine F: Bingung. Kok bisa ya gue udah mau magang aja

Pak Kalndra strakom: Ya kan semester 5

Aine F: Maksudnya kok udah mau semester 5 aja gue maunya nontonin bts

Pak Kalndra strakom: Mabok ya, tidur sana Besok terakhir uas kan

Aine F: Iya kap

Pak Kalndra strakom: kap apaan?

Aine F: Komunikasi antar pribadi

Pak Kalndra strakom: Oh ipc

Aine F: Beda ya bahasa lulusan melbourne

Pak Kalndra strakom: Kamu juga s2 melbourne yuk

Aine F: Yak yuk yak yuk S1 aja belom tau kelar apa engga

Pak Kalndra strakom: Kelar lah Makanya ambil PR biar gue bantu

Aine F: Emg kalo engga gabakal dapet matkul yg kelas lo lagi ya pak?

Pak Kalndra strakom: Iya gabakal ketemu lagi Di kelas sih

Aine F: Oh hmm Kommas skip, jurnalistik b PR skip, nanti ketemu bu iren

Pak Kalndra strakom: Santailah, bu iren doang She likes me, i like you, get it?

Aine F: Pahubna

Pak Kalndra strakom: Pahubna apaan? Matkul peminatan baru?

Aine F: Apa hubungannya Yaelah kenapa saya harus chat sama om om kudet

Pak Kalndra strakom: Gue revoke ya tawaran bantuannya

Aine F: Bang kala 😩

Pak Kalndra strakom: Terus gimana?

Aine F: Hehehe bingung Nikah aja apa ya gue

Pak Kalndra strakom: What's with the students and their likings to get married if things went rough Lo tuh kalo nikah mau ngapain emang?

Aine F: Jual buah-buahan Sama temen, dia punya kebon

Pak Kalndra strakom: Gue punya kebon duit

Aine F: Percaya

Pak Kalndra strakom: Makanya yang bener aja Ambil pr atau mankom deh gue masih bisa bantu

Aine F: Ya the last choice cuma mankom doang Gue ngebayangin dibimbing bu iren aja merinding

Pak Kalndra strakom: Santai aja dibilang Dulu dia bimbing gue kok tahun 2007

Aine F: Kalo diingetin gini berasa bgt tuanya pak Eh salah om kala 😌

Pak Kalndra strakom: Revoked.

Aine F: Yah kok baper...

-

Dua minggu UAS berjalan begitu cepat. Rencana empat sekawan untuk liburan ke Bandung dan menginap di rumah Danish terpaksa di undur. Alasannya? Kantor Danish sedang mempersiapkan event perayaan anniversary yang ke dua puluh, dia sebagai anak bawang dengan berat hati harus terlibat sebagai panitia. Trio kwek-kwek menyusun rencana masing-masing mau melakukan apa satu bulan ini. Sembari memikirkan mau ambil peminatan apa ke depannya. Selama semester satu sampai empat, mereka masih menjalani mata kuliah umum, memasuki semester lima mereka harus memilih salah satu dari tiga peminatan yang ada di jurusan. Nantinya dari 24 sks, mata kuliah umum yang ada hanya seperempatnya saja, sisanya mata kuliah peminatan masing-masing. Ryan akhirnya kembali ke Bandung sendirian. Nabil ikut kepanitiaan jurusan yang akan mengadakan seminar nasional sebagai LO. Sedangkan Aine memilih untuk di rumah saja, belajar untuk tes TOEFL katanya.

-

Sementara suatu siang, di antara deretan gedung perkantoran Sudirman dan di salah satu tenant dimana Kalandra sedang duduk santai bersama rekan kerjanya, Gara.

“You know, Gar, you're one of the very 'agency suits' whom I deeply respect that's why I choose you to be my partner.”

“Boss, I respect you a lot too. But, you have to take a look at your huge desk right now. Masih ada empat map kerjaan lo ya please jangan main izin setengah hari aja.”

Gara tau sebenarnya alasan di balik izinnya Kala, toh bagaimanapun dia tau, Kala sadar prioritas, dia akan menyelesaikannya hari ini juga biarpun itu berarti akan kembali ke apartemen jam 11 malam.

“Gue juga nggak kemana-mana, di bawah doang.”

Gara ingat sekali saat awal mereka memulai CHAD. Sama-sama baru resign dari bumn karena tidak betah, young and reckless. Sama-sama lulusan ilkom, mereka kepingin punya sebuah konsultan PR berbasis ad-hoc, mitra kreatif yang solusinya relevan untuk kebutuhan klien. Goverment, organisasi non-profit, kesehatan, sampai bimbel pun ya mereka garap saja. Like, once they have scripts they want to produce, they assemble crew that are right for the creative visions and the budget. Makanya nggak heran kalo Gara harus punya koneksi dimana-mana, Kala bagian yang mikir skripnya. Dulu mereka masih kerja di co-working space, sekarang sudah punya kantor sendiri. Kala nyambi jadi dosen, Gara punya resto seafood di Kemang. They both a hardworker and have a bright vision.

Tapi sekarang Gara cuma bisa menyesap kopi nya, pahit, sepahit bagaimana ceritanya CHAD punya tiga hipotesis bisnis yang terpampang jelas di depan pintu masuk tapi yang capek-capek menyusunnya sendiri kali ini tidak punya hipotesis apapun untuk urusan hati.

“You sounds like a youngsters boss.” Gara bergumam.

“Well, I'm just 32 tho.” Kala bangkit dari duduknya dan segera menuju ke kafe di lantai bawah.

Menemui Aine yang jauh-jauh naik kereta untuk meminta pencerahan dari yang lebih tua, urusan akademis, katanya.

- WHATSAPP

Anak-anak Bapak Danish (Bilbil, ryan ganteng, danish, me)

Bilbil: lo semua harus tau

Me: apa

Ryan ganteng: apa

Bilbil: telur gulung enak bgt

Me: kalo lagi gini gue kepingin sibuk kerja aja kayak danish biar gak ketemu bacotnya nabil

Bilbil awokwowkwok serius nih kayaknya ada yg suka sm gue

Ryan ganteng: wadoo perasaan april mop masi taun depan

Bilbil: ikut seneng kek temennya laku 🐶🐶

Me: bil lo bilang gini ada 5kali setaun gak ada yg jadi

Bilbil: yg ini juga gak jadi kayaknya... tapi dia suka sama gue! ketauan bgt!!

Ryan ganteng: emang tanda org suka sama lo tuh apa sih?

Danish: gue baru balik kerja udah ngadepin kehaluan nabil

Bilbil: modusnya ketauan bgt tiap hari nanya bil udah kelar nugas apa belom padahal tau gue males suka tbtb bawain thai tea red velvet

Danish dih thai tea tergaenak

Bilbil: yakan?! kayak tautauan yg suka rasa itu cuma gue sering ngajak pergi. nganter balik. nonton konser, seru juga

Me: ini sih lo yg suka sm dia 😑

Danish: enak ya anak kuliah sempet mikirin sukasukaan

Ryan ganteng: kuliah lagi lah dan

Danish: tahun depan gue tes, doain ya. btw bil kenapa yg ini fix gajadi?

Bilbil: ya dia modus bgt. tiap diajak bahas soal pacaran reaksinya cuma dua, pura pura bego atau bercanda

Me: kayak bang kala

Danish: unsent gublu

Me: sial mau gue unsent malah keapus

Bilbil: wkwk tolol bentar, bang kala siapa? masteng indomaret?

Danish: wkwkw masteng indomaret

Me: masteng apaan?

Ryan ganteng: yang suka siul-siul kalo bilbil jajan telur gulung

Bilbil: tuh lo tau gue dalam bahaya tiap jajan TETEP GAK MAU NEMENIN BANG KALA SIAPA?

Danish: pak kalandra

Ryan ganteng: an

Bilbil: jing gue ngatain om om bercanda doang taunya beneran maaf pak kala 🙏

Danish: sumpah lo udah di tahap minta status ne?

Me: KAGAK dianya aja yang jamet

Danish: ne, lo jauh jauh ke sudirman terus mimik di kafe mahal by people standard lo jametnya

Bilbil: dia keren bgt cuk mau jadi aine

Ryan ganteng: gue mau jadi pak kala mau tau rasanya tinggal di apart thamrin

Me: lo pada gak freak out gue punya affair sama om om?

Bilbil: kaget tapi ya emang udah tau lo demen

Danish: he's only 32 lagian nanti kayak gue sama ryan juga bakal jadi om-om ne masalahnya ne, yang disana ngerasa punya affair sama lo gak?

Bilbil: dulu lo ngerasa punya affair sama gue nggak dan?

Ryan ganteng: CIAAA DIBALIKIN DAN

Bilbil: lo wisuda gue foto sama keluarga lo dan

Me: maksudnya kita berempat foto sama keluarga danish

Danish: tuh denger bil

Bilbil: lo udah gue selametin juga @ aine

Me: awokwokwowk

-

(p.s: – ipc : inter personal communication – pr : public relation – kommas : komunikasi massa – mankom : manajemen komunikasi – CHAD : sebenarnya diambil dari nama satu negara di afrika yang terhimpit daratan, dia ada di tengah-tengah, tidak punya wilayah lautan. Kala suka saja sama nama negara itu, jadilah dia sarankan ke Gara dan di approved.)

#sebuahpercakapan

********3********

Jakarta, 2018. Menuju UAS semester 4.

“Aine, Pak!” Seru Nabil dari pojok kelas. Aine cuma bisa menunduk.

Ceritanya mereka baru saja membentuk kelompok yang masing-masing berisi lima orang untuk tugas UAS strakom nya Pak Kala. Tentu saja karena bebas menentukan, Ryan dan Nabil langsung mendatangi Aine yang telat dan kebagian duduk di pojokan kelas siang itu. Teman-teman lain sering menyebut mereka trio kwek-kwek, mereka sih setiap dibilang begitu cuma cengengesan aja. Dua teman lain mendatangi mereka untuk melengkapi tim tersebut.

Pak Kala memberikan tugas roleplay sebagai tim sukses calon presiden. Bagaimana mereka menyusun strategi agar visi misi capres yang mereka usung tersampaikan dengan cara sekreatif mungkin, medianya bebas dan bentuknya juga, mereka juga harus membentuk citra capres sedemikian rupa.

Yang Aine tidak paham adalah apa yang ada di otak teman-teman satu tim nya saat mereka sebegitu yakinnya menunjuk Aine menjadi capres. Pak Kala memberikan waktu lima menit untuk diskusi masing-masing tim menentukan calonnya. Tim lain sih rembukan dulu, tim Aine tidak.

“Asik banget dah gue jadi timses nya Aine.” Kata Ryan cengar-cengir.

“Gue mah kalo jadi tim hore nggak usah diragukan lagi.” Nabil sudah siap-siap ambil bagian bikin akun twitter, instagram dan youtube untuk promo konten kampanye mereka, sungguh calon-calon content creator.

Pak Kala membuka slide presentasi teknis yang harus mereka kerjakan dan tampilkan selama masa kampanye. Aine senyam-senyum (bukan, bukan karna Pak Kala) sementara Nabil dan Ryan bengong.

Karena mereka baru sadar, capres kan bagian kampanye aja. Saya berjanji blablablabla lengkap dengan tampilan menarik dan akting buat konten kampanye, yang bagian jelasin soal penanganan hutang di imf, prediksi ke depannya, latar-belakang memilih media kampanye tertentu, ya timses. Ryan menyesal, harusnya dia aja yang jadi capres, kan ganteng.

- TWITTER

@danishakbar tweet: “Kenapa ya orang kalo udah jadi pejabat tuh gak suka MIKIR. Pak, yang punya kerjaan bukan cuma bapak. Saya mo pulang, kudu jemput nakanak bebek yg kelaparan lagi 😭” @ainee_ replied: “minta gaji lembur lah” @danishakbar replied: “Apaan gaji lembur tadi aja hampir potong gaji lupa absen sore @ainee_ replied: “susah ya cari duit..”

-

“Danish lama banget, asli dah.” Keluh Nabil. Mereka bertiga sedang duduk di dekat air mancur fakultas menunggu jemputan Danish. Rencananya mau makan malam bareng. Karena sudah hampir tiga minggu nggak kumpul berempat. Danish berbeda fakultas dengan trio kwek-kwek, lulusan D1 akuntansi jadi sekarang sudah kerja di Sudirman. Akrab berempat karena Aine dan Danish sahabatan sejak SMA, jadi sering diajak Aine kumpul bareng Nabil dan Ryan waktu semester 1 & 2. Akhirnya terbentuklah circle ini. Nabil kepingin mepet Danish waktu itu, maklum Nabil anaknya agak agresif dan kentara banget kalo suka sama orang. Sadly, things just don't go well when you're struggling with 3 deadly course which is statistic, politics, journalistic in one semester and your crush got batshit amount of work so they choose to be friend. Sama-sama mau membenarkan hidup dulu. And it works well until now.

Dari balik kaca mobil, Danish sampai di depan gedung fisip dan melihat tiga teman-temannya terduduk sambil masing-masing melihat ke layar hp. Mungkin sudah bete dan kelaparan karena Danish terlambat. Aine dengan rambut pendek yang sudah lepek dan jaket denimnya, Ryan dengan kemeja flanel, satu tangan memegang hape satunya lagi mengapit sebatang rokok, Nabil dengan rambut cepol, sweater kebesaran dan duduknya agak jauhan sedikit dari Ryan, mungkin takut rambutnya bau asap rokok. Danish memandangi mereka sebentar dari kejauhan dan rasa lelahnya begitu saja menguap entah kemana. Di tengah hitam putih kehidupan karirnya, dia yang lebih dulu meninggalkan warna-warni perkuliahan yang seperti pelangi, ketiga temannya ini jadi salah satu alasan yang membuatnya tetap waras.

-

Sepulang makan mie ayam, 21:35

@nabilakhairina tweet: “yang nemenin gue jajan telur gulung besok masuk surga cc @ainee_ @ryanisti” @ainee_ replied: “gabisa bil gue dekor buat event manev” @ryanisti replied: “Udah gede jajan sendiri.”

@nabilakhairinna tweet: “semoga kosan ryan rubuh 😌”

@danishakbar tweet: “Perasaan tadi gue abis kasi liat video pembuatan sambal kiloan deh ke temen-temen gue. Tapi apakah mereka berhenti jajan telur gulung setelahnya?” @ryanisti replied: “Tentu saja tidak bapak danish yth”

-

Trivia: 1. Ryan tuh pinter, sebelas dua belas sama Aine, dia tahun lalu runner up di kompetisi duta daerah festival budaya kampus. 2. Trio kwek-kwek tuh terkenal tapi buat hal-hal nggak penting gitu. Aine punya akun youtube yang sering react video klip grup-grup kpop terbaru. Ryan jago futsal, terus pernah masuk postingan instagram kampus kayak @hitskampus gitu pas masih maba, terus followers ig nya langsung meroket dan jadi 2017's it boy. Nabil punya ribuan followers tiktok, padahal waktu itu iseng aja bikin, eh taunya viral jadi keterusan. 3. Ryan rumahnya di Bandung. Mereka udah planning mau jalan berempat ke Bandung habis UAS pas liburan semester 4. 4. Kalo weekend lumayan sering kumpul di kosan Nabil, karena sudah pasti ngobrol gajelas kadang sambil minum juga (iya meraka tuh sedikit bandel emang), kemaleman ujung-ujungnya nginep. Ryan sama Danish digelarin karpet bulu terus tidur di ruang tamu.

#sebuahpercakapan

*******2********

Jakarta, 2018. Semester 4, sehabis uts. Kala disini masih jadi dosen strakom nya Aine.

(p.s: – sks: seksi komunikasi sosial – asn: aparatur sipil negara – kudet: kurang update)

WHATSAPP

Aine F: Pak Kala

Pak Kalndra strakom: Ya, Ne? Mau nanya apa

Aine F: Kenapa bapak cabut dari kantor lama? Bentar banget di diskominfo cuma 2 tahun

Pak Kalndra strakom: Udah cerita deh kayanya

Aine F: Cerita gak mau mutasi ke sumatra doang Selain itu Ga banyak duitnya ya jadi sks

Pak Kalndra strakom: Evironmentnya sih tbh Godaannya ya banyak Kalo di swasta at least I have more power to refuse Ada kerjaan yg bahaya gue kasih ke Gara, ibarat mafia buat fraud, he's cold blooded killer Jadi asn lo terikat sama negara dan atasan

Aine F: Jadi kepikiran Gue bisa nahan goodaan gak ya

Pak Kalndra strakom: Bisa Kamu anak baik

Aine F: Lo pas muda nakal ya pak?

Pak Kalndra strakom: I was.. wild Kalo ada yg ngasih ya gitu Harus bantu

Aine F: Gratifikasi ✨✨

Pak Kalndra strakom: Buat gue dulu lumayan bgt lah, bisa kirim keluarga, traktir pacar Tapi ya namanya uang ga bener ya abisnya juga ga keliatan Gue balik jkt cuma bawa dispenser doang

Aine F: Lah kenapa berani resign? Kan bayar

Pak Kalndra strakom: 300jt haha 2009 lagi bayangin aja

Aine F: Dibeli swasta ya pak

Pak Kalndra strakom: Tau aja istilah dibeli haha

Aine F: Iya kating sering cerita banyak alumni yg gitu karna gamau penempatan jauh

Pak Kalndra strakom: Iya I was young and take everything as challenges. Emang gue jadi asn ga cocok aja, lingkungannya sempit, aturannya susah dibend

Aine F: Pak lo pinter banget ya

Pak Kalndra strakom: Kemana aja

Aine F: Like, I know you must be smart sMART Kadang suka kaget kalo inget

Pak Kalndra strakom: Lo keseringan manggil gue om kudet sih

- Trivia: 1. Aine manggil Kala semaunya tergantung mood, pak, bang, mas, kak, semua dia sebut. Kala santai aja. 2. Pas awal ditunjuk jadi pic kelas strategi komunikasinya Pak Kala, Aine sempet typo ngesave nama kontaknya, “Pak Kalndra strakom” 3. Aine F : Aine Fala

#sebuahpercakapan