senofyou

“ARRRGGGHHH!”

Akibat teriakan keras Juna yang tiba-tiba itu suasana berubah hening. Seluruh atensi jatuh pada sosok Arjuna yang berdiri dengan wajah mengkerut tidak enak.

“Kamu kenapa, Jun?” tanya Mama, terdengar khawatir.

Alih-alih menjawab Juna justru melempar ponselnya ke atas sofa sembarangan, lalu berpindah hingga berdiri tepat di depan Jian—yang mendongak guna menatapnya.

“Lo... ikut gue!” titah Juna.

Jian mendelik. “Kemana? Ngapain?”

“Argh!” kesal dengan respon lambat sang manajer, Juna lebih dulu menarik kerah kaus polo hitam yang Jian kenakan. Kemudian menyeret yang lebih tua keluar dari rumah. “Pokoknya ikut gue!”

“Juna! Arjuna! Mau kemana?” suara Mama terdengar nyaring tapi Juna sama sekali gak peduli, fokus nyeret Jian sampai ke halaman rumah.

Memaksa Jian berdiri di samping motor matic tua milik Papa—yang sehari-hari dipakai mengantar Mama ke pasar atau bolak-balik ke kebun.

“Naik!” perintah Juna lagi, ia sudah naik ke atas motor tengah menyalakan mesinnya.

Jian lagi-lagi mendelik, berpikir bagaimana bisa Juna mendapat kunci motor? Perasaan yang tadi pemuda itu pegang hanya ponselnya, dan tadi di meja sama sekali tidak ada kunci motor tergeletak.

Ini anak dapet kunci dari mana deh? batin Jian.

“Naik!!” seruan Juna berhasil menyadarkan Jian, dengan wajah ditekuk akhirnya si Nataprawira terpaksa naik ke jok belakang motor matic tua itu.

Membiarkan Juna mengendarai kendaraan roda dua itu entah kemana.



“Heh! Lo mau bawa gue kemana?!” Jian akhirnya bertanya setelah hampir mati karena rasa penasaran.

“Diem.” respon Juna.

“Jawab dulu! Lo mau bawa gue kemana hah?!” Jian mengeraskan suaranya, tidak mau kalah dengan suara semilir angin yang menerpa wajahnya.

“Terminal.” jawab Juna.

“Ngapain??!!!”

“Ngusir lo pulang ke jakarta!”

“Tapi mobil gue ada di rumah lo anjrit!!”

Kesal, Jian menoyor kepala Juna yang tidak terlindungi oleh helm. Iya betul, si Mahardika ini nekat banget naik motor tanpa helm mana cuma kaosan dan pake celana pendek, gak pake masker atau topi.

Kayanya beneran lupa deh kalau dia itu public figure.

“Lo ngatain gue sinting—TAPI LO LEBIH SINTING!” seru Jian, masih gemas noyor kepala Juna.

“Anj—LO MAU KITA CELAKA HAH?!!”

Motor agak oleng dikit, Jian melotot.

“Minggir! Minggir dulu!” seru Jian.

“Lo diem makanya—”

“Minggir Juna! Minggir!”

Pengang juga kesal diteriakin di depan kuping akhirnya Juna minggir.

“Lo kalo gak punya SIM gak usah nekat bawa motor!” begitu motor berhenti kerah kaus Juna ditarik ke belakang, Jian maksa dia turun dari atas motor. “Minggir! Biar gue yang bawa motornya—”

“Emangnya lo tahu jalanan sini?!” tapi Juna gak mau turun semudah itu, berusaha kukuh di atas motor.

“Tahu! Gue masih inget jalan balik! Cepetan turun!”

“Gue gak mau balik—niat gue kan mau ngusir lo ke terminal!”

“Bener-bener ini anak!” toyoran berubah jadi jitakan.

“Argh!” ringis Juna.

“Lo kalo kesel gara-gara gue paksa keluar kamar, gak gini caranya.” sungut Jian. “Sekarang lo turun, gue yang bawa motornya!”

“Gak—”

“Nurut gak lo!” Jian refleks melotot.

Juna gak takut sebenarnya, tapi agaknya dia sadar kalau mereka jadi tontonan orang. Ya iya jadi tontonan orang, toh mereka ribut di pinggir jalan raya, ya jadi tontonan gratis orang-orang dong.

Atas dasar malu akhirnya Juna ngalah, biarin Jian ambil alih motornya.

“Deket sini ada pasar malem gak?” tanya Jian di tengah jalan.

Setelah dipikir-pikir sayang juga kalau langsung balik, mereka udah keburu di luar gini, Jian jadi kepengen keliling kampung halaman Juna deh.

“Heh, gue nanya, dijawab!” karena gak ada respon Jian mundurin badannya, sesekali tangan kirinya colek-colek paha Juna.

“Apaan sih?!”

“Sekitar sini ada pasar malem gak?”

“Gak ada.”

“Serius anjir,”

“Iya.”

Merasa gak bisa mengandalkan Juna yang mode ngambek akhirnya Jian milih selusur sendiri. Untung tangki bensin motor dalam keadaan penuh jadi Jian gak takut motor mogok di tengah jalan.

Jian gak nemu pasar malam tapi angkringan pinggir jalan.

“Lo lapar?” Juna bertanya heran saat mereka turun dari motor. “Kan tadi kita udah makan malem,”

“Gue mau beli wedang ronde,” kata Jian, jalan duluan masuk ke dalam angkringan. “Mas wedang ronde dua,” pesannya seraya ambil spot lesehan yang agak pojok.

“Kok dua? Gue gak mau wedang ronde,” komentar Juna.

“Yang pesen buat lo siapa?” sahut Jian. “Buat gue semua, lo pesen sendiri sana.”

“Sialan!” Juna yang hendak duduk mendengus, terpaksa jalan ke depan buat pesan susu jahe.

Jian diam-diam ketawa, jahilin Juna ternyata asik juga.

“Jun! Sekalian bilangin wedang rondenya satu aja, gak jadi dua!”

“Bilang sendiri!” sungut Juna, tapi akhirnya tetep batalin satu wedang ronde yang terlanjur dipesan.

“Padahal kalo mau makan wedang ronde gue tahu tempat yang enak,” kata Juna sembari duduk bersebrangan dengan Jian yang fokus pada gawainya.

“Elo ditanya diem aja,” respon Jian. “Yaudah suka-suka gue, gak usah protes.”

Lihat Jian asik sama gawainya Juna jadi nyesel ngelempar hapenya tadi sebelum berangkat, tahu bakal begini mending hapenya dikantongin dari pada dilempar.

“Ngomong kek,” celetuk Juna. “Jangan asik sama hape, gue dianggurin.”

Jian jadi melirik sekilas. Melihat muka asem Juna, dia ketawa. “Nanti kalo gue ajak ngobrol malah ribut, jadi mending gue diem.” sahutnya.

Jian emang ngomong gitu tapi dia menlock gawainya, dilesakkan ke dalam saku celana, beralih tatap-tatapan sama Juna yang masih pasang wajah asem.

“Kadang gue heran deh,..” dengan jari telunjuk mengetuk-ketuk permukaan meja Jian memulai obrolan. “Lo itu gak gampang ditebak—maksudnya perubahan emosi lo tuh cepet banget, wajar kan kalo gue kira lo punya riwayat gangguan kepribadian ganda.”

Juna jadi teringat kejadian waktu itu—dimana Jian hendak mendaftarkannya sebagai pasien ke salah satu psikiater—mukanya tambah asem aja.

“Gue wajarin kalo sikap lo di depan kamera sama di belakang kamera beda, tapi sehari-hari gue ketemu lo beneran swing banget mood lo. Kenapa deh?”

“Kepo.” cetus Juna.

“Tuh kan, tadi minta ngobrol tapi giliran diajak ngobrol gitu responnya.” lama-lama Jian kesel juga sih, ya siapa yang gak kesel kalo respon Juna selalu marah, ngegas, terus cuek jutek kalo sama dia. Gak ada ramah-ramahnya.

Jian jadi mikir, “gue tuh ada salah apa deh sama lo? Sampai lo se-sensi itu kalo sama gue?”

Sadar akan nada frustasi di balik ucapan barusan Juna melirik orang di depannya, menghela napas pendek setelahnya. “Gak tahu, akhir-akhir ini mood gue emang naik-turun. Kayanya gue tertekan.”

“Kalo ada masalah tuh cerita, bukan dipendem.” kata Jian.

“Biar apa?” tanya Juna. “Biar orang-orang prihatin terus iba dan simpati sama gue, gitu?”

Jian mendelik. “Gak gitu juga, lo mikir kejauhan. Orang cerita masalah hidupnya ya supaya dapet saran atau solusi.”

Pemuda Nataprawira itu sekarang menatap Juna lekat. “Lo terlalu banyak numpuk beban pikiran, lihat kan jadinya gimana? Lo tertekan terus emosi lo naik-turun.”

“Gua tanya deh sekali lagi,” perkataannya terjeda ketika pesanan mereka datang.

“Apa?”

“Lo mau gue daftarin gak, ketemu psikiater?” tanya Jian.

Juna mendelik geram. “Gue gak gila ya!” sungutnya hampir nyiram susu jahe panas punyanya ke muka Jian.

“Jun, orang yang ketemu psikolog atau psikiater itu gak semuanya gila. Konsultasi maksudnya, lo bisa konsultasi sama ahlinya.”

“Gak. Makasih.” tolak Juna mentah-mentah.

“Ya terus—”

“Lo... bisa dipercaya gak sih?” potong Juna.

“Apa? Soal apa?”

“Soal semuanya,” Juna menjeda, menyesap sedikit susu jahe miliknya. “Kalo gue cerita semuanya sama lo, lo janji gak akan ember atau bereaksi macem-macem?”

“Tergantung—” Jian membaca cepat raut wajah si Mahardika. “Oke, oke gue janji.”

“Bener?”

“Iya bener,”

“Oke, nanti gue cerita.”

“Kapan?”

“Nanti kalau gue inget apa yang mau diceritain,”

Gantian Jian yang gregetan pengen siram muka Juna pake kuah wedang rondenya.


Jihoon mendengar dengan jelas suara kokang pistol yang ditarik, menandakan kunci pistol yang dipegang perempuan itu sudah terlepas. Timah panas itu mungkin akan mendarat di perut Jihoon kalau saja Yoshi tidak muncul dan berteriak, “kalian ngapain diem? Bantuin gue diluar sampai bala bantuan datang!”

Laki-laki sentimen itu—itu panggilan khusus yang Jihoon berikan—mendecih dan mengikuti langkah Yoshi, sementara Jihoon mengambil pistol miliknya yang tadi terlempar. “Kenapa sih cowok itu sentimen terus sama gua? Heran,”

•^•

“I will kill them if something happen to him.”

“Count me in,” perkataan Jihoon membuat laki-laki itu menoleh dengan raut wajah tidak setuju. “Apa? Gak ada yang bisa jamin lo keluar dari sana hidup-hidup kalau kabur aja lo gak bisa.”

Ekspresi wajah si laki-laki terlihat masam kontras dengan rahangnya yang mengeras, tapi melihat itu Jihoon justru tersenyum penuh kemenangan.

“Kalo aja lo bukan patner gue, pasti udah gue bunuh dari kapan tau.” cetus Kim Junkyu.

“Kalo aja gue bisa bujuk Choi Hyunsuk, gue gak mau satu tim sama cowok sentimen kayak lo.” Jihoon balas mencetus tak kalah tajam.

Junkyu itu tersenyum miring, Jihoon balas tersenyum kecut.

•^•

Jihoon tahu Junkyu akan menembak dan membabi buta semua yang ada di sekitarnya, makanya laki-laki Park itu berusaha keras menahan tangan partnernya. “Bisa gak sih sehari aja lo gak bikin misi kita amburadul?!!!”

Junkyu tak mengatakan apapun tapi Jihoon bisa melihat kedua matanya berkaca-kaca hingga tanpa sadar genggaman pada pistolnya mengendur.

Memanfaatkan keadaan, Jihoon segera menepis kasar tangan Junkyu. Pistol di tangan cowok itu jatuh ke lantai, Jihoon menendang benda itu jauh-jauh lalu menarik sosok itu ke pelukannya.

“Lepas gak—”

“Marahnya nanti aja, sekarang kalo mau nangis ya nangis aja yang bener.”

Ujungnya Junkyu menangis hebat dalam pelukan Jihoon. Berkahir Jihoon harus berkulang kali menghela nafas kasar sambil membatin 'Nasib gue bener-bener sial dapet patner sentimen yang hobi bikin repot'.

•^•

Jihoon melirik patnernya, wajahnya keliatan lempeng tanpa ekspresi lalu atensinya kembali jatuh pada target misi mereka yang tengah bercengkrama dengan seorang laki-laki.

“Choi Hyunsuk tuh gak bisa kasih misi yang lain apa, masa iya kita disuruh culik remaja labil???!” kesal Jihoon.

Patnernya itu hanya mengendikkan bahu acuh. “Hyunsuk cuma suruh kita awasin target, kapan dan bagaimana kedepannya tinggal tunggu perintah lagi.”

Jihoon mengusap wajah kasar lalu mendudukkan diri di atas salah satu kursi dekat bar. Niatnya mau pesan minuman sambil menunggu perintah kapan harus bergerak, tapi urung kala suara Hyunsuk tiba-tiba terdengar.

“Guys, ready to rocking tonight?”

Ready terosss,” Jihoon membenarkan letak earrings yang sudah Hyunsuk adaptasi agar terlihat menjadi earphone wireless biasa dan menggerutu sebal. “Please kasih misi tuh yang menantang dikit kek, ya kali gue turun kelas jadi harus culik remaja labil.”

Samar-samar terdengar suara tawa Hyunsuk. “Asal lo tau, target yang barusan lo sebut remaja labil nyatanya lebih berbahaya dari buronan manapun.”

“Hah?”

“Kalau Yoshi udah tiba di lokasi kalian langsung bawa target pergi, jangan buat keributan besar, and i hope you guys still alive after this night. Goodluck!”

Jihoon langsung melayangkan puluhan kalimat kasar untuk Choi Hyunsuk yang seenaknya memutus sambungan tanpa menjelaskan detailnya.

“Park Jihoon…”

Jihoon melirik partnernya yang berdiri tak jauh darinya. “Apa?”

“Tutup mulut atau besok-besok gue jahit aja mulut lo.” katanya penuh penekanan.

Jihoon mendengus. “Kalo lo jahit mulut gue, gantinya gue jahit aja kelopak mata lo biar kalo ngeliat gue lebih nyantai dikit, mau gak?”

Junkyu maju mendekat kearah Jihoon dengan rahang mengeras. “Elo...” tangannya sudah terkepal dan siap meninju wajah menyebalkan Jihoon.

“Calm down guys!”

Dua orang itu sama-sama menoleh mendapati Yoshi dan Ben yang berjalan mendekat.

“Kalian tuh sehari aja gak ribut, gak bisa ya?” tanya Ben heran.

Junkyu hanya mendengus lalu berjalan lebih dulu mendekati target mereka yang ternyata sudah meluncur ke dance floor.

“Heh Barbara mau kemana lo??!!!”

Langkah kaki Junkyu berhenti sejenak, “kita harus bawa target pergi dari sini kan?” tanyanya entah pada siapa.

Jihoon yang diam-diam mengiyakan lekas menyusul langkah Junkyu. “Lo diem sini aja, biar si remaja labil gue yang urus.”

Junkyu hendak protes kalau saja Ben tidak berdiri menghalang jalannya. “Lo ikut gue, target diurus Jihoon sama Yoshi.”

Kalau Junkyu dan Jihoon bagaikan magnet kutub Utara dan Utara yang saling tolak-menolak, kalau dengan Ben lain lagi ceritanya.

Tanpa harus Ben mengulangi perkataan atau berkata dengan keras—seperti apa yang biasanya Jihoon lakukan—Junkyu justru menurut, mengikuti langkah kaki Ben menuju pintu keluar.

“Tuh kan… giliran sama Ben tuh anak nurut banget, kenapa kalo sama gua dia malah sentimen?!” tanya Jihoon, kesal sendiri melihat Junkyu yang akur dengan Ben.

“Udah sih biarin aja,” Yoshi merangkul pundak Jihoon lalu menyeretnya ke arah dance floor. “Prioritas kita sekarang target… mumpung dia lagi di dance floor kita bisa sekalian cuci mata lah dikit.”

•^•

Ben diam-diam melirik Junkyu, heran dan bingung. “Kenapa sih tiap sama Jihoon lo ribut terus?” tanyanya kemudian.

“Park Jihoon itu orang paling nyebelin,” kata Junkyu menatap Ben sekilas. “Gak ada orang yang gak sebel kalau ada di jarak dekat sama dia.”

Ben terkekeh kecil, mau tidak mau dia ikut membenarkan perkataan orang ini kalau Jihoon memang orang yang semenyebalkan itu.

“Tapi biar kalian keliatan gak akur gitu nyatanya diam-diam kalian saling peduli satu sama lain,” ucap Ben.

Junkyu tidak langsung menyahut atau lebih tepatnya dia tidak tahu harus menyahut bagaimana.

“Sadar gak sih kalau kalian itu secara gak langsung saling membuka diri satu sama lain, cuma caranya lebih ekstrem.”

Langkah kaki Junkyu berhenti saat itu juga, Ben jadi ikut berhenti dan menatap Junkyu itu intens.

“Gue gak ngerti kenapa lo tiba-tiba bahas hal gak penting kaya gini,” ucap Junkyu. “Yang gue tahu gue atau Jihoon gak seperti apa yang lo katakan barusan. Di mata gue Jihoon cuma laki-laki nyebelin yang sialnya harus jadi patner gue, udah itu aja.”

Berbanding terbalik dengan Junkyu yang sudah serius Ben justru tertawa, tidak keras sih, hanya saja terdengar menyebalkan di telinga Junkyu.

“Lo tahu gak, tom and jerry yang setiap hari berantem aja diem-diem saling tahu celah satu sama lain, tapi mereka cuma kartun yang dibuat untuk hiburan jadi gak punya perasaan. Beda sama kalian yang setiap hari ketemu meski sama-sama suka ribut kalian jelas beda sama tom and jerry.”

“Kalian itu manusia yang punya perasaan, bukan kartun.” imbuh Ben kemudian.

Junkyu mengernyit saat menatap lawan bicaranya. “Terus masalahnya dimana, Ha Yoonbin??”

“Kenapa di mata gue sekarang lo keliatan seperti laki-laki yang gak suka orang lain lebih tahu banyak hal soal pacarnya ketimbang dia sendiri???”

Ben terdiam sejenak, dia terhenyak. Tapi tiba-tiba tangannya menyentuh sebelah pundak Junkyu lalu mengusaknya pelan. “Kalo ternyata apa yang lo katakan benar, gimana?”

Bola mata Junkyu melebar dengan sendirinya, lidahnya mendadak kelu dan perasaan tidak enak langsung menjalar ke seluruh rongga dada kala netranya menangkap senyum lembut milik Ha Yoonbin.

“Kalian kenapa malah diem sih?!”

Dua orang itu lekas menoleh, melihat Yoshinori yang tampak kesulitan memapah seorang perempuan tinggi semampai yang tak sadarkan diri. Dan di sampingnya ada Park Jihoon yang menggerutu sambil memegangi wajahnya yang tampak memar kebiruan.

“Ha Yoonbin, Kim Junkyu! Cepet ambil mobilnya!” teriak Yoshinori.

Ben langsung melesat ke arah mobil, menyalakan mesinnya lalu membiarkan Yoshi membawa masuk target mereka.

“Muka lo kenapa?” tanya Ben saat Jihoon ambil tempat duduk di samping kemudi.

“Ceritanya nanti aja,” seloroh Yoshi menginterupsi. “Cepetan pergi dari sini sebelum si remaja labil plus bar bar ini sadar!”

Dengan begitu mobil sedan hitam itu langsung melesat pergi dari kawasan klub malam, membelah jalan raya yang terlihat sepi.

“Gue udah bilang ratusan kali, jangan terlalu dekat sama Kim Seunghun!”

Yang diteriaki dengan begitu keras hanya diam memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong. Melihat bagaimana menyedihkannya perempuan itu justru membuat amarah Park Jihoon mendidih.

“Gara-gara lo—misi kita gagal total!! Dan Junkyu nyaris mati!” hardik Jihoon masih dengan teriakan penuh penekanan di setiap kata.

Kalau saja perempuan ini bukan bagian dari tim kerjanya, kalau saja Jihoon tidak punya hutang budi karna perempuan ini sempat menyelamatkan nyawanya dan kalau saja Jihoon tidak ingat itu semua sudah pasti dia mengangkat senjatanya lalu tanpa rasa kemanusiaan menghabisi perempuan ini.

“Jihoon jaga bicara lo,”

Jihoon menoleh saat sebuah suara menginterupsi, mendapati Junkyu yang dipapah oleh Yoshi. “Lo gak berhak marahin dia kalau kenyataannya di sini lo yang lebih sering bikin masalah, dan hampir setiap masalah yang lo buat hampir bikin misi kita gagal total.”

Jihoon mendecih. “Lo masih belain dia?” tangannya menunjuk perempuan yang masih terdiam di tempatnya. “Lo hampir mati gara-gara ulah dia, Kim Junkyu!”

Alih-alih menyahuti Jihoon dengan amarahnya yang meluap-luap Junkyu justru menatap perempuan tadi. Bibirnya tersenyum sedikit disusul dengan tangannya yang terbuka lebar.

“Gue gak papa… sini,”

Satu-satunya perempuan di sana berdiri, dengan langkah pasti mendekati Junkyu lalu memeluk laki-laki Kim itu erat. Sangat erat sampai Junkyu hampir terjungkal kalau saja Yoshi tidak menahan punggungnya dari belakang.

Samar-samar terdengar suara isak tangis.

Jihoon mendengus kasar diam-diam melirik perempuan dalam pelukan Junkyu yang saat ini menangis kencang. Entah kenapa mendengar suara tangisannya justru memunculkan rasa bersalah di rongga dadanya.

“G-gue minta maaf…” ucap Jihoon tiba-tiba.

Junkyu dan Yoshi melirik laki-laki Park itu, melempar tatapan bingung.

“Apa? Lo minta maaf ke siapa?” tanya Yoshi.

Alih-alih menjawab Jihoon justru memeluk Junkyu sekaligus perempuan dalam pelukan Junkyu. “Gue minta maaf…” gumamnya. “Gue... cuma gak mau kehilangan orang yang gue sayang.”

Meski bingung dengan tingkah Jihoon, Yoshi ikut melakukan hal serupa. Dengan tangannya yang panjang Yoshi memeluk ketiga orang itu sekaligus.

“We're doing well guys, don't say sorry cause we work hard!!” seru Yoshi mencoba menghibur tiga orang dalam pelukannya yang ternyata sama-sama menangis.

“Jangan nangis dong aduh gak malu apa kerjaan kita bunuhin orang tapi kaya gini aja kita nangis sih?!!” kesal Yoshi kemudian. Padahal dia sendiri juga diam-diam ikut menangis.

Choi Hyunsuk hanya memperhatikan anak buahnya dari jauh, diam-diam dia mengulas senyum tipis.

Masih jelas dalam ingatan Hyunsuk bagaimana keras kepalanya Park Jihoon hingga tidak mau kalah dengan siapa pun, bagaimana konyolnya Kim Junkyu saat bertingkah, bagaimana buruknya Yoshinori saat bicara dan bagaimana dingin serta sentimennya Son Kayra dengan orang lain.

Rasanya baru kemarin Hyunsuk mempertemukan empat orang itu, membentuk mereka ke dalam tim yang hampir setiap harinya tiada hari tanpa bertengkar.

Ternyata waktu berlalu dengan cepat sampai Hyunsuk tidak sadar ada benang merah yang mengikat erat empat orang itu,

Ralat.

Mungkin bukan hanya empat orang, tapi lima.

Mungkin Hyunsuk tidak sadar kalau Tuhan yang gemar bermain-main justru mengikat mereka dengan benang merah bernama keluarga.

jihoon berdiri di depan jendela kamar inapnya yang terbuka lebar. semilir angin menerpa wajahnya, membuat anak rambutnya menari-nari mengikuti arah angin.

pemuda itu bertanya-tanya sampai kapan ia akan terus mendekam di rumah sakit? ini sudah genap dua minggu lebih ia menjalani serentetan pengobatan.

ia tak pernah mengerti sakit apa yang ia derita. dokter lee memang sempat menjelaskan kondisinya, tapi percuma jihoon hanya pemuda yang tumpul pengetahuan.

bunyi pintu yang ditutup perlahan dan suara langkah kaki terdengar di telinganya. Jihoon tak bergeming, ia tetap menatap lurus ke depan hingga sepasang tangan melingkari pinggangnya.

“kau bisa masuk angin.” suara itu begitu jelas di telinganya. pundaknya terasa berat karna dagu laki-laki itu disandarkan di sana.

“semilir angin tidak bisa membuatku sakit.” kata jihoon. “jauh sebelum itu aku sudah lebih dulu sakit, bukan kah begitu?”

helaan napas itu menerpa lehernya, bersamaan dengan itu tangan yang melingkari pinggangnya mengerat dari sebelumnya.

“kau pasti sembuh dan bersikaplah optimis, semangati dirimu bukan pesimis begitu.” ujarnya.

“bagaimana caraku bisa optimis kalau saat ini aku tak lagi punya tujuan untuk hidup.”

tubuhnya diputar hingga matanya kini bertemu tatap dengan iris teduh milik junkyu. laki-laki itu mengelus pipinya lembut.

“aku bisa menjadi tujuan hidupmu.”

“kenapa kau selalu bersikeras untuk memaksakan kehendak?? kita tak pernah ditakdirkan untuk bersama.”

“kalau kita tak pernah ditakdirkan kenapa malam itu kita pertemukan, bukan hanya sekali, apa itu bukan sebuah takdir?”

“itu hanya sebuah kebetulan—”

“tidak ada kebetulan yang terjadi terus menerus. sekali dua kali itu memang kebetulan, tapi kalau terus menerus apa namanya kalau bukan takdir?”

jihoon memang selalu kalah, junkyu selalu bisa membalas setiap perkataannya dan itu terdengar masuk akal. tentu saja, laki-laki ini bertahun-tahun menghabiskan waktunya untuk belajar sedang ia hanya seorang pemuda kampung yang terdampar di ranah gelap ibu kota.

“berhenti khawatir. selama aku masih ada bersamamu, tidak ada yang perlu kau khawatirkan.” tangan itu turun ke daerah lehernya.

hari ini jihoon mengikat rambut depannya menjadi satu—tunas kecil seolah tumbuh di kepalanya, tampak lucu hingga membuat junkyu agak lupa diri—dan lagi, leher jenjang pemuda park itu terlihat jelas.

suasananya begitu mendukung dan junkyu tak bisa menahan diri lagi. laki-laki itu membunuh jarak yang ada, beralih memiringkan kepala dan memejamkan mata saat bibirnya bertemu dengan bibir jihoon.

itu ciuman kedua mereka. terasa berbeda karena tidak disertai dengan paksaan.

lainnya, bedanya, tidak seperti pertama kali, kali ini bibir itu bergerak, memberikan lumatan-lumatan kecil. gerakannya tidak terburu-buru justru tekesan begitu lembut.

jihoon sampai merasakan ribuan kupu-kupu berterbangan dari perutnya. semilir angin dingin dari jendela membuatnya semakin merapatkan diri hingga tak ada lagi jarak yang tersisa.

tidak pernah ia rasakan sebelumnya sensasi seperti ini. laki-laki itu memperlakukannya dengan begitu lembut seolah ia adalah benda yang mudah rapuh.

lalu apa yang harus ia ragukan lagi?? ia telah menemukan laki-laki yang bersedia menerima dirinya apa adanya, dan yang terpenting laki-laki itu mencintainya dengan tulus.

haruskah jihoon menerimanya?

keduanya sama-sama menarik napas sebanyak mungkin saat pagutan itu terlepas.

jihoon merasa seluruh wajahnya berubah merah padam, ia bahkan tak mampu menatap mata itu.

sedangkan junkyu tersenyum begitu lebar. tangannya kembali mengangkat dagu jihoon, mata itu kembali berpandangan.

“jihoon……”

“hm?”

“may i kiss you longer?”

wajah itu bertambah merah. jihoon memang bodoh, tapi ia masih mengerti arti dari kalimat tadi. junkyu jadi tertawa kecil.

matanya tak lepas menatap bibir tebal dan merah yang kini terlihat basah itu. jantungnya berdegup cepat, seolah tak mau melewatkan kesempatan ia kembali mencumbu bibir itu.

sudah di luar paham, Jihoon kini melingkarkan tangannya di leher junkyu, sedikit menarik untuk memperdalam ciuman mereka.

dunia terasa milik berdua itu lah yang mereka rasakan. mereka lupa kalau bisa saja sewaktu-waktu seseorang masuk dan memergoki mereka.

“aakh!”

Junkyu refleks melepaskan diri, wajahnya berubah khawatir melihat jihoon yang tiba-tiba meringis.

“ada apa?” tanya junkyu.

Jihoon menarik tangannya, memperhatikan tangannya yang tersambung dengan selang infus. beberapa centi di selang itu kini terisi darah.

“sakit??” junkyu mengelus tangan itu. “akan kuganti—”

“tidak usah,” sela jihoon. “aku baik-baik saja.”

“tapi—”

“darahnya akan hilang dengan sendirinya, biarkan saja.”

junkyu tak bisa memaksa, laki-laki itu menuntun jihoon duduk di atas ranjang.

“maaf… aku merusak suasana.” ujar jihoon.

junkyu tersenyum kecil ia lalu mengusap puncak kepala jihoon. “istirahatlah.,”

“kau akan pergi?” tanya jihoon, mendongak menatap laki-laki itu.

“hanya berkeliling untuk mengecek pasien, setelah itu kembali lagi ke sini.” mendadak merasa gemas, junkyu mencubit pipi jihoon. “aku janji akan kembali dengan cepat.”

“kalau begitu pergilah,”

“istirahat saja kau tidak boleh kelelahan.”

jihoon mengangguk. Junkyu membantunya berbaring dengan nyaman, menarik selimut dan menyempatkan diri untuk mengecup dahi jihoon.

“aku pergi dulu.”



dokter lee bilang kondisi jihoon mulai membaik dan mungkin tak lama lagi pemuda itu diperbolehkan pulang.

junkyu melangkah dengan begitu semangat menuju kamar inap jihoon. laki-laki itu tak sabar ingin memberi tahu kabar baik ini, karena ia tahu jihoon kerap kali menanyakan kapan ia bisa pulang.

“jihoon?”

sosok yang tengah menonton TV itu menoleh, lantas tersenyum saat melihat eksistensi junkyu di depan pintu.

“pekerjaanmu sudah selesai?” tanya jihoon. junkyu duduk di kursi samping ranjang lalu mengangguk.

“ini waktuku istirahat.”

“istirahat lah kalau begitu.” ujar jihoon. dia segera menarik salah satu bantal miliknya dan disodorkan pada junkyu. “tidur saja di sofa.”

junkyu menggeleng. “tidak, aku tidak mengantuk.”

“yasudah kalau begitu.”

kemudian hening. jihoon kembali menatap layar TV sedang Junkyu memperhatikan sosok jihoon dari samping.

ia baru sadar kalau akhir-akhir ini jihoon terlihat lebih kurus dari biasanya. junkyu paham karena itu mungkin saja efek dari setiap pengobatan yang pemuda itu lalui.

tapi agaknya junkyu tak tega melihat wajah tirus jihoon. park jihoon terlihat lebih baik dengan pipi chubby.

“jangan menatapku seperti itu.” tegur jihoon kemudian, merasa diperhatikan dan itu membuatnya gelisah.

gelisah karena jantungnya mendadak berdetak cepat.

“jihoon...”

“hm?”

“kau mau makan?” tanya junkyu.

jihoon menggeleng. “aku tidak lapar.”

“tapi kau harus makan. makan ya, apa yang kau inginkan?”

“kenapa sih, aku tidak lapar. jangan memaksa.”

tangan Junkyu terulur mengusap pipi tirus jihoon “kau terlihat kurusan.”

“benarkah?”

“hm,” laki-laki itu mengubah posisi menjadi duduk di pinggiran ranjang milik jihoon. “katakan apa yang kau inginkan. aku akan membelikannya untukmu.”

jihoon memegangi tangan junkyu yang masih bertengger di pipinya, kemudian tersenyum tipis. “tapi aku tidak lapar.”

“tapi—”

“kau sendiri, sudah makan?” tanya jihoon.

junkyu menggeleng. “aku tidak sempat makan.”

“kalau begitu kau yang seharusnya makan, makan sana.”

“tidak lapar. nanti saja.”

“lihat kan kita sama-sama keras kepala.”

junkyu menghela nafas pendek. “maaf…” ia menyenderkan kepalanya ke pundak jihoon, sengaja membenamkan wajahnya di perpotongan ceruk leher itu. “terkadang aku memang keras kepala.”

jihoon menunduk, mencoba menatap wajah junkyu tapi yang bisa ia lihat hanya dagu dan rahang tegas laki-laki itu. “tidak perlu meminta maaf, manusia memang keras kepala.”

nyaman.

itulah yang junkyu rasakan saat ini. matanya terpejam dengan sendirinya dan tangannya kini sudah melingkari pinggang jihoon. jika dibiarkan terlalu lama ia bisa saja tertidur.

jihoon sendiri sudah tak bisa mengontrol detak jantungnya. ia tak mau munafik, jujur saja junkyu berhasil membangkitkan kembali debaran jantungnya.

meski merasakan berat di pundaknya, jihoon tak peduli. ia membiarkan junkyu bersandar lebih lama karena ia tahu laki-laki itu pasti merasa lelah. mungkin tidak apa-apa membiarkannya memejamkan mata sebentar.

pintu kamar inap terbuka seorang perawat muncul dari sana. cukup terkejut melihat pemandangan itu.

jihoon menoleh, melempar senyum tipis pada si perawat. jihoon tak mengusir perawat itu tapi perawat itu mengerti dan memutuskan untuk menutup kembali pintu kamar inap.

jihoon melirik junkyu yang ternyata tak merasa terusik.

tangannya terangkat untuk mengusap rambut bagian belakang laki-laki itu. junkyu bergerak kecil, membenarkan letak kepalanya dan mengeratkan pelukannya.

mungkin mereka akan berada di posisi itu selama beberapa jam ke depan.

Gerah dengan suasana gor serta tidak mau berebut napas bersama banyaknya orang yang menonton di tribun—akhirnya Junkyu mengalah, berjalan keluar sambil sesekali menyeka keringat.

Babak penyisihan keduanya baru saja selesai dan Junkyu berhasil mengamankan posisinya di semifinal, sedangkan teman taekwondo lainnya tengah sibuk memonitoring Hangyul yang baru saja tanding dan nanti menyusul Yohan yang kembali bertanding untuk penyisihan kedua.

Makanya lebih baik Junkyu keluar mencari udara—toh ia sedang tidak dibutuhkan.

Masih dengan dobok yang lumayan basah oleh keringat Junkyu melangkah menuju salah satu warung kopi di depan gor, seraya tangannya menguncir rambut bagian depan menjadi satu.

Sampai di warung kopi yang menarik perhatian Junkyu adalah punggung lebar berbalutkan almamater kampusnya dengan banyak bet nama organisasi—seperti Himpunan Mahasiswa, Badan Eksekutif Mahasiswa, juga bet warna biru gelap bertuliskan Dewan Perwakilan Mahasiswa yang membuat ramai lengan sebelah kirinya. Oh, Junkyu tahu itu punggung milik siapa.

“Sendirian aja Kak?”

Punggung itu bergerak disusul dengan kepala yang menoleh, “eh, Jun...”

“Sendirian aja, Kak?” ulang Junkyu sambil ambil tempat di sebrang Jihoon. Matanya melirik ke arah jari tangan Jihoon, “saya baru tahu kakak ngerokok.”

“Jaman sekarang mana ada sih cowok yang gak ngerokok?” Jihoon menyahut, menempelkan batang rokoknya pada bibir.

“Bener sih, rokoknya apa?” tanya Junkyu lagi.

Mild,”

“Enak gak?”

“Perasaan rasa rokok sama aja deh,” balas Jihoon.

“Beda. Marlboro merah sama Marlboro putih aja beda rasanya,” Junkyu merogoh kantung dobok nya, sepertinya ia menyimpan beberapa lembar uang di sana. “Kalo Mild belum pernah coba, jadi kepo.”

“Lo ngerokok juga?” tanya Jihoon, agak kaget tapi raut wajahnya tidak benar-benar memperlihatkan dia kaget.

Junkyu mengangguk. “Gak sering, ngerokok cuma buat nemenin aja.”

“Nemenin?” dahi Jihoon berkerut halus.

“Gak enak kan ngerokok sendirian,” cowok itu tiba-tiba bangkit sambil memegang uang lima puluhan.

“Mau ngapain?” tanya Jihoon, menginterupsi Junkyu.

“Beli rokok?”

“Gak usah,” Jihoon tiba-tiba mengeluarkan rokok miliknya dari saku almamater. “Punya gua aja nih, toh, buat nemenin gue ngerokok kan?”

Junkyu senyum. “Yakin nih? Ada yang bilang cowok kalo ngasih rokoknya tuh sama aja ngasih hatinya?????”

Sambil membuang abu rokoknya Jihoon tertawa. “Ngaco, udah ambil aja.”

Rejeki mana boleh ditolak kan, yaudah Junkyu kemudian buka bungkus rokoknya. Masih banyak ternyata, kayanya Jihoon baru beli, pikir Junkyu.

“Hm... aneh,” Junkyu tiba-tiba bergumam.

“Apanya aneh?” tanya Jihoon.

“Enggak, ini udah lama gak ngerokok rasanya aneh.” Junkyu nyengir.

“Besok lo masih ada semifinal, apa gak masalah ngerokok?”

“Kalo cuma sebatang gak ngaruh sih, Kak.” sahut Junkyu. “Paling abis ini saya batuk-batuk wkwk...”

“Gak usah pake Kak, kesannya gue gila hormat banget. Lagian Seunghun bilang kita seumuran.”

“Tetep aja Kakak kan kakak tingkat saya, harus sopan kalo sama kating—”

“Jun...” panggilan dari Jihoon menyela, Junkyu melihat perubahan di raut wajah yang lebih tua. Entah kenapa matanya tiba-tiba terlihat sayu.

“Ya?”

“Gue minta maaf...”

“Buat?”

“Buat tragedi proposal waktu itu,” sadar rokoknya telah habis, Jihoon membuang puntung rokoknya ke dalam asbak. “Gue sadar—waktu itu gue selfish banget, bener kata lo, gue gila hormat.”

“Yang lalu biar aja berlalu...” sahut Junkyu. “Toh proposalnya langsung diacc sama pihak kampus.”

“Iya, soalnya gue maksa BAUM dan Puket III biar proposal lo langsung diacc.” ceplos Jihoon tanpa sadar.

Junkyu kaget. “Wah the power of orang dalam ternyata,”

“Gue ngerasa bersalah aja sih, dari pada gue gak bisa tidur karena kepikiran terus.”

Overthinking lo kejauhan,” celetuk Junkyu. “Aduh boleh gak sih kita ngomong santai aja?”

Jihoon senyum. “Boleh, senyamannya lo aja.”



Jihoon pikir ia akan canggung saat ngobrol dengan Junkyu. Gimana ya, sejak awal Junkyu muncul dengan rambut tunasnya Jihoon merasa dia bukan dirinya yang biasanya.

Jihoon yang biasanya pasti akan mengoceh soal banyak hal, pokoknya bibirnya gak mau berhenti bergerak. Tapi dengan Junkyu, ia seolah harus hati-hati saat memilih topik obrolan—juga diam-diam harus menjaga sikap supaya Junkyu tidak menganggapnya orang aneh.

Iya, ini mode Park Jihoon jaim di depan orang yang akhir-akhir ini berhasil bikin dia salting.

“Mau kopi?” tawar Junkyu tiba-tiba.

Jihoon lantas menggeleng. “Gue gak suka kopi.” tolaknya halus.

“Baru kali ini ada yang ngerokok tapi gak minum kopi,” kata Junkyu aneh.

Dan Jihoon hanya memberi respon sekedar mengangkat bahu acuh. Bola matanya bergulir ke layar ponsel, jari tangannya bergerak guna membalas pesan singkat dari Seunghun.

“Mau minum apa?” tanya Junkyu kemudian. Cowok itu berdiri di depan rak berisi snack. “Nutrisari? Pop ice atau Teh Sisri?”

“Gak usah,” jawab Jihoon tanpa melirik. “Air minum gue masih ada.”

“Kalo kacang mau?”

“Enggak,”

“Permen?”

Jihoon menatap Junkyu. “Kenapa?”

Yang ditatap balas menatap dengan sebelah alis terangkat. “Apanya?”

“Kenapa baik banget,” selesai dengan pesan singkatnya Jihoon menaruh ponsel itu ke atas meja—dalam keadaan mati. Mendadak ia tidak ingin ada yang mengganggu.

“Apasih, biar asik aja gitu ngobrolnya sambil ngemil.” dengan santai Junkyu kembali duduk di tempat semula, membuka bungkus kacang polong dan menaruhnya di tengah-tengah.

“Di luar mendung, makan mie rebus pakai telur kayanya enak.” gumam Junkyu. “Tapi besok harus nimbang lagi, berat badan gue gak boleh naik. Ya kali kalah sama timbangan, malu-maluin banget.”

“Minum dulcolax aja biar perut lo kosong,” saran Jihoon.

Junkyu menggeleng keras. “Gak, dulcolax di gue pengaruhnya delay. Gak lucu kalau mau tanding tiba-tiba gue malah ngerasa mules.”

“Pernah kejadian?”

“Hampir sih, setengah jam sebelum tanding gue bolak-balik kamar mandi berakhir dibabat habis di atas gelanggang.”

Tawa kecil lolos dari mulut Jihoon—dibayangkan saja sudah lucu.

“Rokok lo habis?” tanya Junkyu.

Jihoon menggeleng. “Belum nih, masih ada. Mau lagi?”

“Satu batang lagi deh,”

Pemilik rokok menyerahkan satu batang beserta koreknya. “Awas batuk-batuk,” peringatnya.

Sambil menyalakan rokoknya Junkyu terkekeh, “Gue gak sepayah itu.” cetusnya kemudian melihat Jihoon mulai membuka almamater miliknya, menyisakan kaus hitam polos tanpa lengan.

Kaus sleeveless itu mempertontonkan lengan berisi Jihoon—dan Junkyu tahu itu bukan lengan yang sekedar berisi, Junkyu yakin ada otot kuat di sana.

“Olahraga apa kalau boleh tahu?” tanya Junkyu tiba-tiba, masih dengan mata yang melirik ke arah lengan Jihoon.

Sadar kemana mata Junkyu melirik, sudut bibir Jihoon berkedut menahan senyum. “Boxing,” jawab Jihoon.

“Sejak kapan kampus punya club boxing?”

“Gak ada club boxing di kampus, gue join komunitas boxing.”

“Atlet boxing dong?”

“Gak juga, dulu sih aktif tanding tapi sejak tingkat dua gue udah gak pernah tanding lagi. Cuma latihan beberapa kali kalo luang,”

“Oh gitu...” dengan kepala yang mengangguk-angguk Junkyu menarik kerah dobok nya ke atas, membiarkan seragam putih yang agak basah dengan keringat itu lolos dari tubuhnya.

Melihat itu Jihoon menaikkan satu alisnya. “Tiba-tiba gerah?????”

“Hah, iya nih...” Junkyu menyengir lebar seraya menarik lengan kausnya sampai ke pundak. “Liat lo pamer lengan gitu gue jadi gerah, gerah mau pamer otot lengan juga.”

Tidak sampai sedetik tawa Jihoon pecah. Tangannya refleks bertepuk tangan—gerak refleks atau kebiasaannya saat tertawa—hingga tak sadar rokok yang semula dijepit jarinya kini jatuh entah kemana.

“Apa-apaan...” masih dengan sisa tawanya Jihoon menatap Junkyu lekat.

Junkyu juga sama tertawa.

“Lo aneh.” kata Jihoon, ia telah puas tertawa. Lantas mengusak rambut bagian depan ke belakang, anak rambutnya itu sedikit menghalangi pandangan.

“Justru aneh kalo gak ada yang bilang gue aneh,” sahut Junkyu dengan tangan merogoh-rogoh saku celananya.

“Jadi lo mengakui kalo lo itu aneh?”

Fifty fifty sih,” balas Junkyu agak ngawur. “Kadang gue mikir, gue ini tipe anak yang lempeng tapi karna punya temen yang aneh jadi kebawa anehnya.”

“Risih?”

Jihoon angkat kepala dengan ekspresi wajah bingung. “Hah?”

“Itu rambut lo... risih?” Junkyu menunjuk poni Jihoon dengan dagu.

“Dikit sih,”

“Nih,” tiba-tiba banget Junkyu nyodorin karet jepang.

Karet jepang? Iya, karet jepang yang buat iket rambut itu loh yang kecil-kecil terus banyak warnanya.

Jihoon berkali-kali melihat karet jepang di telapak tangan Junkyu, terus melihat wajah sang empunya tangan. Terus seperti itu sampai akhirnya Junkyu terkekeh, dan memaksa Jihoon menerima tiga biji karet jepang itu.

“Kenapa lo bisa punya benda kaya gini sih?” tanya Jihoon, terdengar tidak habis pikir. “Oh, jaga-jaga buat cewek lo ya?” tebaknya kemudian.

“Cewek apaan,” Junkyu mendengus. “Jangan salah paham, anak taekwon kan rambutnya pada agak gondrong makanya setok karet jepang di sekret.”

“Sengaja biar gak kena omel Sabeum kalo-kalo rambut ngalangin proses latihan.”

Jihoon menyerukan kata 'Ohh...' sebagai respon lalu atensinya jatuh pada rambut tunas Junkyu. “Lo tadi tanding kaya gitu?”

“Ini?” Jihoon mengangguk saat Junkyu menunjuk rambut tunasnya. “Jelas enggak lah... ini tadi gue iket rambut waktu otw sini.”

“Kenapa diem?”

“Hah?”

“Lo gak mau iket rambut lo? Katanya risih?” tanya Junkyu. “Eh, apa gak bisa iket rambut?”

“Ya kali gak bisa,” dengan bibir tersenyum sedikit akhirnya Jihoon mengikat rambut bagian depannya, persis menyerupai rambut tunas Junkyu. “Gue punya ponakan cewek, dia sering minta gue buat kepangin rambutnya.”

“Anak kakak lo?”

“Iyalah, gak mungkin juga kalo anak adek gue kan???”

Junkyu terkekeh lagi. “Yaaaa mungkin aja kann...”

“Gue anak bungsu sih, gak ada adik.”

“Gue juga anak bungsu.” imbuh Junkyu, sangat too much information padahal Jihoon sama sekali gak nanya. “Tapi kakak gue masih sendiri—padahal nyokap bokap udah nyuruh nikah, kepengen punya cucu katanya.”

“Kenapa gak lo aja yang ngabulin?” tanya Jihoon asal.

Sekali lagi Junkyu ketawa. “Duh berat. Gue kalo bisa sih mending gak usah nikah,”

“Kenapa gitu?”

“Ribet.” Junkyu sedikit menunduk dengan atensi yang jatuh pada asbak. “Yang ada di otak gue wanita dan pernikahan itu merepotkan, pokoknya ribet.”

Jihoon tidak ingat siapa yang membuat topik obrolan mereka semakin ngalor-ngidul tapi yang Jihoon tahu, lawan bicaranya ini sama sekali tidak terlihat keberatan menanggapi topik obrolan yang terbilang aneh untuk ukuran dua orang yang baru saling mengenal.

Obrolan mereka benar-benar mengalir bagaikan arus sungai.

“Tadi, Seunghun nembak gue.” kata Jihoon tiba-tiba.

Junkyu sama sekali tidak kaget. Agaknya sudah menduga kalau sepupunya itu pasti melakukan itu setelah dia dinyatakan lolos ke semifinal, Junkyu sempat melihat Seunghun yang keluar gelanggang langsung menarik Jihoon entah kemana.

“Oh congrats, Seunghun gentleman kok agaknya cocok sama lo.” respon Junkyu.

“Tapi masalahnya...” dengan kalimat yang menggantung Jihoon menatap wajah Junkyu lekat—tidak peduli dengan asap rokok yang membuat matanya perih, nyatanya sesuatu yang lain justru membuat hatinya perih. “Masalahnya gue suka sama orang lain...”

Junkyu terdiam. Terlalu bingung harus merespon bagaimana.

Ini sudah masuk ke dalam ranah perasaan, dan Junkyu tidak punya hak hanya untuk sekedar berkomentar.

“Jujur aja.” respon Junkyu seadanya. “Seunghun pasti ngerti.”

“Gitu ya?”

Junkyu mengangguk kecil. Agaknya mata Jihoon yang berubah sendu itu sedikit membuatnya simpati, pasti cowok itu bingung banget sekarang.

“Terkadang jujur itu menyakitkan, tapi itu lebih baik dari pada lo berbohong.”

Jihoon memaksakan senyum. “Oke, thank's sarannya.”

“Udah jangan galau,” Junkyu tiba-tiba bangkit berdiri. “Mau makan? Di depan ada mie ayam yang lumayan enak, mau?”

Belum sempat Jihoon menjawab Junkyu sudah lebih dulu menariknya lengannya, memaksa si Park bangkit dari duduknya.

“Oh—wow Park Jihoon...” tapi si cowok Kim sekarang menatapnya dengan pandangan takjub.

“Apa?” bingung Jihoon.

Selanjutnya Jihoon merasa lengannya dicubit. Ia mau tak mau melihat ke arah lengannya. Ternyata itu ulah Junkyu.

“Heh!”

Junkyu menyengir lebar. “Otot lo keras juga ternyata... punya gue gak ada apa-apanya.” katanya seraya menarik turun lengan kausnya yang semula tergulung sampai ke pundak.

Jihoon terkekeh. “Lo aneh, gak jelas, tapi gue suka.”

“Makasih.” sahut Junkyu, lalu berjalan lebih dulu keluar dari warung kopi. “Ayo makan mie ayam, gue yang traktir.”

Are you okay?

Jihoon sedikit berbisik, menyadarkan Junkyu dari rasa gugup yang mulai menelan fokusnya. Diam-diam Jihoon mengulurkan tangan, mengusap punggung lebar Junkyu, mencoba menenangkan kekasihnya yang dilanda gugup.

Saat ini mereka tidak hanya berdua di dalam laboratorium, ada Ketua song beserta lima orang anggota pengawas yang akan menjadi audience persentasi project mesin waktu oleh Junkyu dan Jihoon.

“Releks, by.” lagi, bisikan itu anehnya sedikit demi sedikit membuat Junkyu meraih ketenangannya.

Dan berkat perhatian kecil Jihoon, Junkyu berhasil membuka persentasi dengan baik.

“Ada dua rules yang perlu diperhatikan selama menggunakan mesin waktu. Pertama, jangan berbuat sesuatu yang bisa merubah masa lalu atau masa depan. Kedua, jangan biarkan dirimu bertemu dengan dirimu yang lainya.” jelas Junkyu.

“Maksudnya, kita tidak boleh bertemu dengan diri kita di masa lalu atau masa depan?” tanya Ketua Song.

“Benar, sesuatu yang buruk mungkin akan terjadi jika hal itu terjadi.”

“Selanjutnya,” Junkyu melangkah masuk ke dalam Kokpit, diikuti dengan Jihoon dan juga yang lainnya. “Ini Kokpit, mesin waktu yang telah kami rancang.”

“Bentuknya unik,” komentar salah satu anggota pengawas. “Tidak seperti mesin waktu yang ada di film.”

Perkataan itu direspon dengan tawa renyah.

“Kami mencari design unik yang tidak biasa,” sahut Jihoon. “Untuk membuktikan kalau alat kami lain dari yang lain.”

Junkyu tersenyum. “Selanjutnya kami akan melakukan percobaan kembali ke masa lalu.”

“Ketua Song beserta anggota pengawas silahkan duduk di kursi yang telah kami sediakan,” Jihoon mempersilahkan para petinggi perusahaan itu duduk di atas kursi di dalam Kokpit.

Kokpit yang mereka rancang lebih lebar dan luas dari yang kalian bayangkan.

“Kalian bisa menyaksikan perjalanan kami,” Junkyu menerima gopro yang Jihoon sodorkan. “Kamera ini telah kami setting secara live.”

“Apa sudah terhubung?” tanya Junkyu pada Jihoon.

“Sudah, lihat, wajahmu tertampang jelas di layar.” ujar Jihoon.

Wajah Junkyu yang bulat tertampang jelas di layar, kebetulan laki-laki itu mengangkat gopro nya tepat ke depan wajahnya. Tawa renyah kembali menguar di dalam Kokpit.

Mereka memulai dengan suasana hangat, tanpa tahu kalau sebuah musibah menanti mereka.


“25 juni 2021, pukul 10.42.”

Jihoon membacakan keterangan waktu yang tertera di layar ponsel orang asing-yang tadi Jihoon berhentikan untuk bertanya perihal sekarang tanggal berapa dan jam berapa.

“Kita benar kembali ke masa lalu, Kyu.” ujar Jihoon setelah tadi mengucapkan kalimat 'Terimakasih' pada orang asing yang berbaik hati meminjamkan ponselnya.

“Bukankah hari ini, hari festival project perusahaan?” tanya Junkyu.

“Benar,” Jihoon merangkul Junkyu. “Waktu itu kita sama-sama tidak bisa datang karena ada masalah di lab, iya kan?”

Junkyu merespon dengan anggukan. “Mau kesana? Kalau tidak salah ingat, Hyunsuk bilang festivalnya sangat meriah.”

“Sure,”

Besoknya Jihoon beneran ngampus pakai masker. Temen-temennya sempet heran dikit, aneh banget gak sih orang yang biasanya paling pede sama wajahnya meskipun dalam keadaan terjelek sekalipun tiba-tiba seharian penuh pakai masker.

Bahkan di dalam sekret pun masker putih itu gak lepas dari wajah Jihoon.

“Lo sakit apa begimana dah?” tanya Sunwoo, udah kepo tingkat akut makanya nanya.

“Kagak juga, di pipi gue ada jerawat baru numbuh makanya gue pake masker.” jawab Jihoon. Asal. Padahal semalam wajahnya masih mulus banget.

Sunwoo heran dong.

Masalahnya hampir seluruh anak organisasi pernah liat muka belernya Jihoon waktu baru bangun tidur, atau muka meme yang bener bener jelek banget waktu Jihoon dikerjain pas ultah. Dan anak itu fine fine aja, bahkan gak masalah kalo anak-anak post gambarnya di medsos.

Lah ini, pake masker seharian karena jerawat?

Sangat amat bukan Park Jihoon.

Sunwoo udah mau ngoceh tapi Jihoon keburu bangkit berdiri, beranjak menjauh.

“Mau kemana lo?” tanya Sunwoo, agak kesel dikit kan dia belum selesai nanya-nanya.

Jihoon melambaikan tangan tanpa menoleh. “Gua ada rapat sama Puket III bahas anggaran organisasi.”



“Sialan!”

Junkyu gak berhenti mengumpat, sesekali menyumpahi kakak tingkatnya yang tega banget kunciin dia di sekret sendirian.

Jadi, tadi siang selepas selesai kelas Junkyu ngadem di sekret sekalian nyicil tugas yang udah deket deadline-nya. Gak tanggung-tanggung ada tiga tugas makalah yang deadline-nya lusa besok.

Mati gak tuh Junkyu? Untung masalah proposal lomba udah kelar jadi Junkyu gak begitu pusing.

Baru dua tugas yang selesai Junkyu ketiduran, dan emang kakak-kakak tingkatnya setan semua, dia dikunciin dari luar.

“Untung gua pegang kunci cadangan punya Sabeum,” iya, untungnya Junkyu pegang kunci sekret yang seharusnya jatah pelatihnya.

Gak sengaja sih, soalnya waktu itu Hony Sabeum sendiri yang nitip kuncinya ke dia.

Begitu keluar dari sekret Junkyu disambut dengan hujan yang deras banget. Beneran deras dan disertai dengan petir gluduk gitu.

Junkyu melirik jam tangan yang melingkar di tangan kiri, jam sembilan kurang lima menit. Kalo aja masih sore mungkin Junkyu lebih milih masuk lagi ke sekret, nunggu hujan reda.

Tapi ini udah malem, Junkyu males kalo dia diganggu sama penunggu gedung lama kampusnya.

“Trabas ajalah!”

Berakhir Junkyu nekat trabas hujan sampai ke parkiran mobilnya.



Hari yang sial. Rutuk Jihoon dalam hati.

Berjam-jam debat dengan civitas kampus soal anggaran organisasi juga UKM, ternyata gak membuahkan hasil.

Pihak kampus tuh masih aja keukeuh mau ngurangin anggaran untuk segala kegiatan organisasi atau UKM. Dan apakah pihak mahasiswa akan menerima itu?

Jelas enggak.

Makanya tadi berjam-jam lamanya Jihoon berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan haknya. Mana tadi dia sendirian, kalau tahu bakal berdebat kolot gitu Jihoon bawa pasukan biar makin seru.

Pikir Jihoon selesai rapat dia bisa langsung pulang terus rebahan di atas kasur, taunya memang kenyataan kadang tidak mengikuti ekspektasi. Hujan deras membasahi kota hujan, cih, mentang-mentang namanya kota hujan, hujan bisa datang seenak hati.

Buruknya Jihoon terjebak di basement B2, parkiran mobil yang jarang Jihoon injak—kecuali pulang bareng Seunghun karena cowok itu setiap ngampus pasti bawa mobil.

Jihoon tuh akrabnya sama penjaga parkiran B1, parkiran motor. Kalo di B2 gini dia gak kenal jadi agaknya sangsi mau diajak ngobrol juga toh gak begitu kenal. Yaudah ujungnya Jihoon mojok sendiri di depan mobil orang, milih meluk kakinya sendiri.

Sial banget sumpah, hujan kali ini hawanya dingin banget mana Jihoon cuma pakai kaus sama cardigan garis-garis tipis.

Pip pip!

“Anjing!” pekik Jihoon kaget.

Kaget karena tiba-tiba mobil di depannya ini tiba-tiba bunyi—tanda kalau yang punya mobil baru aja membuka kuncinya.

“Eh maaf,”

Jihoon mendongak. 'Sialan!' dan langsung mengumpat dalam hati begitu tahu siapa cowok yang sekarang berdiri dua meter darinya.

Itu maba taekwondo yang tempo hari datengin Jihoon di sekret DPM. Kim Junkyu.

“Maaf Kak, saya gak tahu kalau di situ ada orang.” kata Junkyu menyesal.

“Iya, gak apa-apa.” sahut Jihoon. Padahal dalam hati menggerutu, 'Sialan masker gua tadi taro mana ya? Percuma anjing gua pake masker seharian kalau ujungnya dia liat gua tanpa masker!'

“Gak pulang Kak?” tanya Junkyu basa-basi.

Jihoon melirik, melihat cowok itu membuka pintu belakang, melepas dan menaruh tas ransel hitam itu di jok belakang.

“Masih hujan.” jawab Jihoon sambil lalu. Suaranya pelan banget bahkan tersamarkan dengan suara derasnya hujan.

“Mau bareng?”

Jihoon kaget dong. Yang bener aja, ini maba yang seharusnya benci banget sama dia malah nawarin tumpangan?

“Ayo bareng, saya antar sampai ke rumah kakak.” kata Junkyu.

Tahu gak sih apa yang selanjutnya terjadi?

Junkyu nyamperin Jihoon, jongkok di depan aktivis organisasi itu sambil nyodorin jaket bombernya.

“Dingin, nih pake jaket saya.”

Terus cowok itu berdiri, bukain kursi penumpang di samping kemudi. “Ayo Kak, udah makin malem hujannya juga makin deres.”

Bukannya jawaban atas pertanyaan yang keluar dari mulut Jihoon, tapi kalimat yang diluar dugaan Junkyu—maupun Jihoon sendiri.

“Lo, gak benci sama gue?”



“Lo, gak benci sama gue?”

Junkyu hanya tertawa saat mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Jihoon.

“Saya bukan orang yang pendendam, dan saya gak punya alasan benci sama kakak.”

Benar kok, Junkyu jujur saat bicara begitu. Dia beneran gak benci sama Jihoon. Rasa kesalnya perihal proposal itu langsung sirna begitu proposalnya langsung diacc pihak kampus.

Setelah obrolan singkat itu Jihoon berakhir di kursi penumpang, tepat di sebelah Junkyu yang fokus menyetir.

Jihoon akhirnya menoleh—capek juga dari tadi hanya melirik-lirik atau mencuri-curi pandang ke arah Junkyu.

“Masih kedinginan?” cowok itu tiba-tiba noleh, Jihoon yang kaget refleks melihat setir mobil.

“Enggak,” jawab Jihoon seraya memeluk erat jaket bomber milik Junkyu.

“Rumahnya dimana?” tanya Junkyu, cowok itu mengusak-usak rambutnya yang terasa basah sisa menerjang hujan dari sekret taekwondo ke parkiran.

“Kandang roda,”

“Daerah sentul?”

“Bukan, daerah stadion Pakansari.”

Bola mata Junkyu melebar. “Jauh banget,” komentarnya.

“Iya makanya turunin gue di jambu dua aja—”

“Gak gitu maksudnya.” seloroh Junkyu, diam sejenak karena cowok di balik kursi kemudi itu sibuk memutar arah mobilnya. “Lewat tol aja ya biar cepet.”

“Padahal gak apa-apa kalo lo turunin gue di jambu dua atau terminal baranangsiang.”

“Jam segini gak ada bis kan,” kata Junkyu, tiba-tiba menyodorkan ponselnya yang terus menyala pada Jihoon.

“Minta tolong boleh?” tanya Junkyu.

“Hah?”

“Mama saya telfon, tolong diangkat. Saya gak multitasking dan kakak agaknya gak mau kan kalo kita celaka?”

Yasudah Jihoon terima benda kotak berlayar lebar itu dan dengan ragu menggeser ikon hijau ke samping.

“Halo?”

“Loh, bukan suara Junkyu. Ini siapa ya? Junkyu-nya mana?”

“Saya Jihoon, Tante, katingnya Junkyu. Junkyu lagi nyetir sekarang, gak bisa terima telfon katanya.”

“Oh, pantes telepon Mama dianggurin. Tolong sampaikan ke Junkyu ya Nak Jihoon, sebelum pulang mampir ke tukang martabak langganan. Mama nya mendadak kepengen martabak manis.”

“Oh, iya Tante nanti saya sampaikan.”

“Makasih banyak ya Nak Jihoon, bilang sama Junkyu hati-hati nyetirnya.”

“Iya Tante.”

“Yaudah ditutup ya teleponnya.”

“Gimana?” Junkyu bertanya setelah Jihoon meletakkan ponselnya di atas dashboard.

“Mama lo minta dibeliin martabak manis katanya.” jawab Jihoon.

“Haduh, Mama ada-ada aja sih.” cowok Kim itu tiba-tiba menoleh, menatap Jihoon barang beberapa detik.

“Lapar gak Kak?” tanyanya.

“Hah?”

“Mau mampir dulu gak?”

Pukul lima lewat sepuluh sore, terhitung setengah jam aku menunggu Jihoon di lobby kantor tempatnya berkerja.

Dari mana aku bisa tahu alamat kantor Jihoon? Tentu saja dari Jihoon langsung, terimakasih pada ingatan tajamku yang mengingat dengan baik alamat kantor Jihoon saat laki-laki itu bercerita mengenai hari pertamanya bekerja di Jepang lewat sambungan Facetime. Dan terimakasih kepada bapak supir taxi yang mengantarku ke sini tanpa lecet sedikit pun.

Lima belas menit pertama aku habiskan untuk memperhatikan suasana lobby kantor yang bernuansa vintage, sesekali mengulas senyum sopan pada pegawai yang berlalu-lalang. Syukurnya orang-orang di sini terlihat ramah, dan sepuluh menit setelahnya terlewatkan dengan membaca kamus sederhana bahasa jepang.

Kemampuan bahasa jepangku tidak sehebat Jihoon. Kalau dia sudah sampai pada level N5, aku harus puas dengan level N1—yang mana untuk sampai di sana pun butuh perjuangan mengeluarkan keringat dan darah, iya seburuk itu kemampuanku kalau sudah menyangkut belajar bahasa.

Hampir empat puluh menit menunggu, aku menghela napas panjang lantas mengeluarkan ponsel dari saku celana. Terpaksa harus menghubungi Jihoon, padahal niatku ingin memberinya surprise.

ji, gue di lobby kantor lo.

Pesan singkat itu berkahir tak terbalas—meski sudah menunggu selama sepuluh menit—kembali menghela napas, aku beranjak bangkit. Menyampirkan tas ransel ke atas pundak lalu berjalan gontai menuju pintu keluar, dengan ponsel menempel di telinga—masih berusaha menghubungi Jihoon kali ini lewat panggilan telepon.

Dering pertama masih belum ada jawaban.

Dering kedua pun begitu.

Dering ketiga, aku mulai dirundung rasa kecewa.

Dering keempat, seseorang menubruk pundakku hingga—Pats! ponsel yang semula berada dalam genggaman tangan meluncur jatuh, mendarat ke atas lantai setelah terdengar bunyi benturan.

Gomennasai...” ucapku seraya memungut ponsel yang terjatuh.

“Junkyu??”

Saat mendongak aku melihatnya, melihat sosok Jihoon yang berdiri tegak di depanku. Wajahnya terlihat kaget—yang mungkin tak jauh berbeda dengan wajahku saat ini.

Hi, Jihoon.” bedanya adalah aku segera mengulas senyum lebar, ikut berdiri dengan pandangan yang tidak lepas dari wajah Jihoon. “Apa kabar?”

“Lo... kenapa bisa ada di sini?!” tanya Jihoon, nada bicaranya masih terdengar kaget.

Senyuman—tepatnya cengiranku—semakin bertambah lebar. “Surprise?


“Kenapa gak ngabarin kalau mau datang ke sini?” tanya Jihoon tak habis pikir.

Laki-laki yang sudah menemaniku sejak masa putih abu-abu itu terus saja mengulang pertanyaan yang sama, sampai aku hampir dibuat bosan mendengarnya.

Surprise Ji, udah gue bilang kan surprise.” aku menjawab gregetan. Saking parnonya Jihoon akan bertanya hal yang sama, aku segera menjejalkan sepotong roti ke dalam mulutnya. “Jangan nanya hal yang sama terus, gue capek jawabnya.”

Jihoon dengan kening mengkerut sebal terpaksa mengunyah potongan roti yang tadi kujejalkan ke dalam mulutnya. “Lo tuh nekat banget tau gak?! Kalo aja kejadian hal yang gak diinginkan terus lo kesasar di negeri orang gimana Kyu???!”

“Tapi gue buktinya ada di sini kan, Ji. Ada sama lo tanpa lecet sedikitpun.” cecarku. “Lagian gue tuh udah dua puluh lima tahun, gue bukan anak kecil lagi!”

“Lo emang bukan anak kecil tapi tuh—”

“Tapi apa???!”

“Udahlah lupain aja,” samar aku mendengar decakan keluar dari mulut Jihoon. “Buruan makannya, gue capek. Pengen cepet-cepet baring di kasur.”

I'm okay

Empat puluh lima menit setelah pesan terakhir dari Junkyu diterima, nyatanya Jihoon gak bisa berhenti berpikir tentang apa yang terjadi hari ini sampai Junkyu terus memutar lagu yang sama selama lebih dari lima jam.

Warrior judul lagunya, dinyanyikan oleh penyanyi ternama Demi Lovato.

Tentu Jihoon tahu siapa Demi Lovato, tentu Jihoon pernah dengar lagunya, dan Jihoon juga tentu saja tahu apa makna dari lagu itu.

All the pain and the truth I wear like a battle wound So ashamed, so confused I was broken and bruised

“He's not okay,” pikir Jihoon.

Maka dari itu Jihoon beranjak dari tempat ternyaman—kasur empuk yang telah rapi dengan selimut tebal—meraih paper bag yang ada di atas meja lalu keluar dari apart.

Angin malam yang dingin langsung menusuk sampai ke dalam tulang. Jihoon hampir saja kembali ke dalam—sekedar mengambil jaket atau pakaian tebal lainnya—tapi mengingat tujuannya hanya berjarak lima langkah—bahkan kurang—dari pintu apartnya, Jihoon mengurungkan niat.

Lima menit pertama Jihoon hanya berdiri di unit apartment nomor 80. Memandangi pintu coklat tua dengan isi kepala yang berkecamuk.

Menunduk sebentar, menyalakan ponselnya dan masuk ke salah satu roomchat dengan kontak bernama Junkyu.

Berpikir keras apakah ia harus meminta dibukakan pintu—”Tapi kalau dia tidur bagaimana?” gumamnya.

“Ah, masa bodoh!” akhirnya benda kotak itu kembali masuk ke dalam saku celana pendeknya.

Tangannya yang bebas—yang tidak memegang paper bag langsung memasukan kata sandi pada alat yang terpasang di pintu.

“Gak mungkin kan dia gak ganti sandi apartemen—”

Plip!

Entah Jihoon harus senang atau marah saat pintu apartemen nomor 80 itu terbuka dengan satu kali percobaan.

“Kim Junkyu gila, bisa-bisanya dia tetap menggunakan sandi yang sama setelah dua tahun berlalu???” sambil menggumam Jihoon melangkah masuk ke dalam.

Gelap. Adalah hal pertama yang Jihoon lihat ketika dirinya berada di dalam apartemen Junkyu.

Suasananya remang dan terkesan dingin. Hanya lampu tidur yang dipasang di ruang tengah yang menyala, Jihoon melirik dinding—tepatnya pada air conditioner yang menyala. Oh pantas saja dingin.

Tanpa ragu Jihoon berjalan menuju kamar, tangannya telah ada di atas kenop—Klek! dan ia berakhir tertarik ke depan ketika pintu tiba-tiba terbuka dengan sendirinya.

Tidak, ternyata sang pemilik kamar yang membuka pintu lebih dulu.

“Jihoon?!” bisa Jihoon dengar nada keterkejutan dari panggilan barusan.

Duh, niat hati hanya ingin memastikan Junkyu telah tertidur lalu menaruh sushi yang tadi dibeli setelah pulang kerja—yang mana masih jadi misteri kenapa Jihoon tanpa niat dan keinginan tiba-tiba mampir ke restoran sushi, anehnya, ia membeli dua porsi padahal satu porsi saja sudah lebih dari cukup.

“Lo ngapain di sini? Kenapa bisa masuk—”

“Sandi apartemen lo masih sama kaya dua tahun lalu,” selak Jihoon sukses membawa perubahan pada raut wajah Junkyu. “Sorry., maaf kalau gue lancang—”

“Lo mau ngapain ke sini?” tanya Junkyu.

Laki-laki itu tiba-tiba bergerak maju membuat Jihoon langsung menarik langkah mundur guna tetap menjaga jarak.

Buah-buahan.

Sial, Junkyu pasti baru selesai membersihkan diri buktinya wangi sabun mandinya sampai tercium oleh indra penciuman Jihoon. Ah benar, rupanya Junkyu baru selesai mandi—barusan tetesan air dari rambutnya jatuh mengenai kulit tangan Jihoon.

“Jihoon?”

“Oh—anu, gue mau ngasih ini,” buru-buru Jihoon menyodorkan paper bag yang sejak tadi ia pegang.

Sushi, barang kali lo belum makan malam,” imbuh Jihoon ketika menyadari arti tatapan yang Junkyu berikan seolah mengatakan, 'Itu apa?'.

“Makasih?” Junkyu ragu, entah itu saat berujar ataupun saat menerima paper bag yang Jihoon sodorkan.

“Ada perlu lagi?” tanya Junkyu, jelas sekali terdengar keraguan di balik kalimat tanyanya.

“Enggak sih,” dan terdengar kecanggungan di balik jawaban yang Jihoon berikan.

“Masih mau di sini?”

“Emang boleh?”

Jihoon melirik Junkyu was-was, yang dilirik dengan cepat mengalihkan pandangan pada hal lain.

“Mau bir?” tawar Junkyu tiba-tiba.

“Boleh,”

Dengan itu Junkyu melangkah menjauh, mendekati saklar dan menyalakan satu lampu di ruang tengah. “Duduk aja, sorry berantakan.” adalah kalimat terakhir sebelum punggung Junkyu menghilang di balik dinding dapur.

Jihoon masih diam di tempatnya. Memperhatikan ruang tengah apartemen Junkyu yang sedikit berantakan dengan sampah kaleng bir juga bungkus camilan yang telah kosong. Menghela napas sebentar sebelum akhirnya ia meraih kantung sampah yang biasa Junkyu simpan di laci paling atas meja nakas ruang tengah, kemudian mulai memunguti sampah-sampah itu.


Jihoon tidak tahu kalau seseorang ternyata bisa berubah.

Di tengah kepulan asap yang mulai memenuhi ruangan, ada Jihoon yang diam-diam keheranan sendiri.

Mata—tepatnya atensinya—penuh dengan sosok Junkyu yang bersandar pada kaki sofa. Kaki kirinya diluruskan, kaki kanan yang ditekuk dan dijadikan tumpuan bagi tangannya. Sedang tangan kiri tidak berhenti mengusak-usak rambut yang masih setengah basah, di tangan kanannya—di sela jari telunjuk dan jari tengah—sebatang rokok terjepit di sana.

Junkyu merokok.

Padahal terakhir kali Jihoon ingat, laki-laki itu sangat menghindari rokok. Selain karena masalah kesehatan Jihoon ingat Junkyu sangat benci dengan orang yang merokok.

“Jun, are you okay?”

Sumpah, Jihoon bersumpah kalimat itu lolos begitu saja dari mulutnya tanpa sempat ia tahan.

As you look, I'm fine.” di luar dugaan Junkyu menjawab pertanyaannya.

Persetan.

Agaknya Jihoon mulai muak mendengar 'I'm fine' dari mulut Junkyu.

Perlahan tapi pasti Jihoon bergerak mendekati sosok Junkyu, mengambil tempat tepat di sebelah si laki-laki Kim. Bahu mereka sempat berbenturan sedikit, tapi Jihoon acuh, memilih meraih—tepatnya merebut—batang nikotin di tangan Junkyu.

Menekan bara api batang rokok ke dalam asbak lalu melempar benda berbau itu agar bergabung bersama sampah putung rokok lainnya.

Need some hug?


Junkyu mendengus. Kepalanya berpaling dari sosok Jihoon yang dengan sangat tiba-tiba merebut rokoknya lalu membuka kedua tangan lebar-lebar, menatapnya seolah menyuruh Junkyu segera masuk ke dalam pelukan.

Junkyu dua tahun lalu mungkin akan melakukan hal itu, tidak dengan Junkyu yang sekarang.

After all this time, kenapa baru sekarang?” tanya Junkyu setelah ia selesai menyesap setengah dari isi kaleng bir yang baru ia buka. “Kemana aja lo dua tahun ke belakang?”

Dari banyaknya topik obrolan Junkyu pun bingung kenapa ia memilih untuk menggali masa lalu yang mati-matian coba dilupakan. Dari pada itu ada baiknya ia bertanya kenapa pria itu bisa datang sambil membawa satu set sushi, atau sekedar meminta maaf telah mengganggu pria itu dengan suara musik yang tadi malam sengaja ia putar keras-keras.

Diamnya si pria Park agaknya membuat Junkyu sangsi dan sedikit menyesal. Ayolah, ia sendiri merasa risih kalau diungkit masa lalunya dan pasti Jihoon juga—

I always been here, Kyu.”

Kyu.

Astaga, hanya dengan satu panggilan akrab seluruh kenangannya bersama Jihoon terkuak tiba-tiba dalam ingatan.

“Gue bahkan gak punya tujuan buat pergi,” lagi, setelah rokok kini kaleng bir di tangannya direbut.

Junkyu melirik pada Jihoon yang tanpa ragu menghabiskan sisa cairan di dalam kaleng. Tak! adalah bunyi permukaan bawah kaleng yang membentur permukaan meja.

Napas Junkyu sempat terhenti ketika Jihoon di luar dugaan tiba-tiba memeluknya dari samping. Pria itu bahkan mencari posisi nyaman di atas pundaknya yang mendadak dijadikan sandaran kepala.

“Gue gak tahu kalau dua tahun sangat amat cukup bikin lo berubah drastis.”

Shit deru napas Jihoon yang membentur kulit lehernya terasa hangat sukses membuatnya meremang.

“Tadinya gue gak berniat bahas masa lalu—tapi berhubung lo duluan yang singgung hal ini, sorry.”

“Gak ada kata lain selain kata maaf yang terpikirkan di kepala gue, maaf Kyu, maaf atas kesalahan gue dua tahun lalu—”

“Kita gak akan bisa merubah masa lalu, udahlah, yang lalu biar aja berlalu.” Junkyu menyela cepat.

Ia alasan kenapa topik perihal masa lalu kembali mengudara, tapi ia sendiri yang tidak siap jika harus mendengar lebih banyak lagi kata maaf keluar dari mulut Jihoon.

Karena Jihoon sama sekali tidak melakukan kesalahan.

Dirinya sendiri lah satu-satunya pihak yang pantas dilimpahkan tuntutan kata maaf.

It's my fault, dua tahun lalu itu kebodohan gue—bah, bisa-bisanya gue nyalahin lo atas kebodohan gue sendiri.” tangan Junkyu bertemu dengan telapak tangan yang lebih besar.

Jari-jari tangannya langsung meringsek masuk, mengisi rongga pada jari-jari tangan lainnya. Ugh, bahkan sensasinya masih terasa familiar, seperti tidak ada yang berubah setelah dua tahun berlalu.

Our fault... exactly.”

“Tapi gue alasan lo berubah semarah itu, dan gue juga alasan kenapa lo milih lompat dari balkon—”

Enough,”

Kalimatnya terputus saat pelukan Jihoon dirasa tambah erat. Tidak hanya itu, Junkyu jelas merasakan ujung hidung Jihoon berkali-kali bergesekan dengan kulit lehernya.

“Jihoon... kalau lo lupa, gue ini alasan elo hampir mati dua tahun yang lalu—”

Selanjutnya Junkyu tidak lagi bisa bicara. Bukan karena lidahnya mendadak terasa kelu, atau karena ia mendadak kehilangan kata-kata.

Tapi karena ada bibir lain yang membungkam mulutnya.


Melihat orang tersayang terluka atau terluka karena orang tersayang.

Jelas Jihoon akan memilih pilihan yang kedua.

Rasa sayangnya pada Junkyu terlalu besar sampai-sampai ia rela melompat dari balkon lantai tiga.

Saat itu keduanya terlibat cekcok, benar-benar cekcok sampai harus beradu nada tinggi di setiap kalimat tuntutan mereka. Ingat sekali waktu itu keduanya saling perang saraf, bahkan tak segan menunjuk-nunjuk atau bahkan mendorong-dorong dengan agak kasar.

“Pacar aku itu aku atau atasan kamu hah?!!!!! Jawab!! Kenapa kamu selalu nurut setiap kali dimintai tolong atasan sialan kamu itu padahal jelas-jelas di luar jam atau permasalahan kantor???!”

“Karena dia atasan aku!! Aku gak ada di posisi dimana aku bisa nolak permintaan dia—”

“Halah, bisa aja kamu selingkuh dengan jadiin urusan kerjaan sebagai alasan!”

“KIM JUNKYU!!!”

“APA?!! OMONGAN AKU BENAR KAN?!”

“Jaga omongan kamu—”

“Aku capek!” Junkyu nyaris menjerit keras. “Aku capek dijadikan yang kedua setelah atasan sialan kamu itu!”

Klise.

Alasan mereka bertengkar saat itu benar-benar klise yang tidak lebih dari prasangka dan kesalahpahaman semata.

Entah bagaimana ceritanya Junkyu mulai mengungkit-ukit masalah bukti, apa bukti kalau Jihoon benar-benar hanya sayang dan cinta padanya.

“Kalo kamu beneran cuma sayang dan cinta sama aku, lompat dari balkon sekarang juga.”

Junkyu bersumpah ia hanya membual. Tapi Jihoon yang sama-sama sudah termakan emosi dan amarah di luar dugaan langsung berlari dan benar melompat dari balkon lantai tiga.

Jihoon nyaris kehilangan nyawanya karena Junkyu.

Berbekal pemikiran itu Junkyu langsung menarik diri. Sehari setelah Jihoon melewati masa kritisnya Junkyu hanya sempat mengucap satu kata maaf sebelum akhirnya menghilang bak ditelan bumi.

Butuh berbulan-bulan bagi Jihoon untuk pulih sepenuhnya. Terhitung delapan bulan setelah kejadian Jihoon memutuskan untuk menetap di lingkungan yang baru, tapi takdir memang terlalu konyol.

Dia yang Jihoon cari-cari keberadaannya justru tinggal di sebelah tempat tinggalnya yang baru.

Junkyu juga tahu dengan fakta bahwa dia yang Junkyu mati-matian coba lupakan nyatanya tinggal di sebelahnya.

Tapi baik Jihoon maupun Junkyu tidak melakukan apapun. Keduanya memilih bertingkah bagai orang asing yang tidak pernah saling mengenal.

Ironis sekali.

Dua orang yang dulu sedekat nadi sekarang terlalu gengsi dan sangsi hanya untuk sekedar menyapa.


No cigarettes after sex.”

Suara berat itu menghentikan gerak tangan Junkyu yang hendak menarik satu batang rokok dari dalam bungkusnya.

“Asem, Ji.” keluh Junkyu.

No.” tapi Jihoon tetap bersikeras, dengan mudahnya menarik Junkyu kembali masuk ke dalam gelungan selimut tebal. “Gara-gara rokok napas lo jadi pendek-pendek, terus gue gak suka ada sisa rokok yang ketinggalan di mulut lo.”

“Ck,” Junkyu berdecak kesal. Mulutnya benar-benar terasa asam sekarang, dia butuh rokok sekarang juga. “Satu batang aja—”

No.” nyatanya kekeraskepalaan Junkyu menguap ketika Jihoon meremat sebelah pahanya.

“Besok kita olahraga—”

“Kan tadi udah,” selak Junkyu.

Jihoon mengernyit. “Kapan?”

“Barusan, lo sama gue.”

“Itu dua hal berbeda, Kim Junkyu!”

TAK! satu sentilan mendarat di atas dahi mulus Junkyu.

“Aw! Lagian kan sama aja sama-sama pake banyak tenaga—”

“Justru itu,” bibir bawah Junkyu yang telah membengkak digigit pelan. “Supaya lo bisa tahan banting butuh olahraga lebih.”

“Gak asik banget baru dua ronde udah k.o.” imbuh Jihoon setengah mengejek.

Fuck! Itu sih elonya aja yang nafsuan!” sungut Junkyu.

Suara tawa yang dibarengi dengan dumalan sebal selanjutnya mengudara.

Jihoon kembali masuk ke dalam rengkuhan hangat Junkyu, dengan puas menghirup banyak-banyak aroma tubuh si pujaan hati tak lupa memberikan beberapa kecupan di atas kulit badan Junkyu.

Let's try again,” pinta Jihoon.

Sex?” canda Junkyu.

“Kalo masih kuat ya ayo—”

“Gak makasih! Besok gue ada rapat sama direksi.” tolak Junkyu mentah-mentah.

Jihoon terkekeh. “Lo ngerti maksud gue, Kyu. Ayo coba lagi, kita mulai dari awal lagi.”

Senyum lebar terpatri di wajah rupawan Jihoon. “No” aura cerah beberapa detik itu langsung berubah masam mendengar penolakan dari Junkyu.

“Kyu???? Kenapa???”

Junkyu mendusalkan wajahnya pada leher panjang Jihoon. “Gue takut hal yang sama terulang lagi,”

“Dua tahun agaknya cukup buat kita introspeksi diri, gue akan berusaha hal itu gak terulang—” Jihoon tiba-tiba tersendat di tengah kalimat. “Gue gak bisa selamanya bertingkah seakan-akan kita gak pernah saling mengenal.”

“Udah cukup dua tahun kemarin gue menggila—”

Marry me, Park Jihoon.” bisikan Junkyu tepat di depan daun telinganya sukses memotong. “Let me be your one and only one person who you love 'till the that day we die.”

Yes! Yes let's get married, Kyu!”

Dan malam itu jadi malam paling membahagiakan bagi Jihoon setelah dua tahun menderita karena disiksa rindu.


Btw, alasan gue maksa masuk ke apart lo karena gue khawatir.”

Tiba-tiba di tengah pergulatan nafsu mereka yang kesekian kalinya, mendadak Jihoon teringat dengan alasan kenapa ia bisa ada di dalam apartemen Junkyu.

Did something bad happened, hm?”

Yes—fuck!” dengan napas tersenggal Junkyu menggeram. “G-gue hampir bikin hm, perusahaan rugi besar—ah!”

Jihoon tertawa pelan. “Pantes lo besok ada rapat sama direksi.”

I hate this position!” Junkyu tiba-tiba memekik kesal.

Then, wanna try riding me, Mr. Kim?”

Setelah kejadian malam itu kira-kira apa yang terjadi?

Gak ada apa-apa sih. Setelah dua orang itu mleyot bareng mereka sempet ngobrol dikit lalu pamit pulang ke rumah masing-masing, soalnya gak kerasa udah malem banget.

Apa Junkyu masih berusaha mendatangi sorum Hyunsuk untuk bertemu Jihoon?

Ya, tentu saja. Junkyu masih datang di tanggal-tanggal tertentu untuk melihat Jihoon. Kemajuan, sekarang Junkyu gak cuma melihat Jihoon nyuci mobilnya tapi pemuda itu kadang nyamperin Jihoon buat ngobrol sama cowok itu.

Jihoon gak masalah dan malah merespon Junkyu dengan baik. Kadang juga Junkyu balik lagi ke sorum Hyunsuk kalau jam tutup sorum, bukan buat minta garansi hujan kok, tapi emang sengaja datang buat ngobrol sama Jihoon. Kadang juga makan nasi goreng bareng, atau nongki dulu di tempat sekoteng samping sorum.

Sebuah kemajuan yang sangat pesat buat Junkyu.

Kalau ditanya senang atau tidak?

“SENENG BANGET LAH ANJIR! GILAK GUE GAK EXPECT BAKAL SEMAJU INI SETELAH CONVO WAKTU ITU!!” kaya gitu respon Junkyu. Heboh banget teriak sampai satu komplek denger suaranya.

Tapi kayanya Tuhan gak kasih Junkyu waktu buat bahagia terlalu lama.

Hari itu tanggal tiga belas. Seharusnya Jihoon ada di sorum milik Hyunsuk, tapi sosok yang membuat Junkyu gila itu tidak datang.

“Jihoon cuma bilang dia gak bisa datang,” begitu jawaban Hyunsuk setelah Junkyu tanya kenapa Jihoon gak datang.

Di tanggal setelahnya, tepatnya tanggal 23 Junkyu kembali datang dengan harapan besar bisa bertemu Jihoon.

Rindu banget soalnya, udah kaya sewindu tidak bertemu.

“Kalo lo nyuci mobil cuma buat ketemu Jihoon, mulai sekarang elo jangan lakuin itu lagi.” kata Hyunsuk, menyambut Junkyu yang baru saja turun dari mobil kotornya.

“Apasih??????”

“Jihoon gak akan ke sini lagi, Jun.”

“HAH?!” Junkyu memekik kaget. “Elo mau bohongin gue kan????”

“Jangan bercanda Choi Hyunsuk, kalo lo mau nyembunyiin Jihoon gue bakal cari sendiriㅡ”

“Pernikahan Jihoon dipercepat,” ucapan dari mulut Hyunsuk menahan gerakan kaki Junkyu yang akan pergi. “Elo tahu kan selama ini Jihoon udah punya tunangan?”

“Gue tahu,”

“Harusnya Jihoon menikah tahun depan, tapi gak tahu kenapa pernikahan nya dipercepat.”

“Elo udah gak punya kesempatan lagi, Junkyu.” Hyunsuk menepuk pundak kawannya. “Lebih baik elo mundur sebelum hancur lebih parah, gue juga tahu elo cowok baik-baik kan?”


Siapa yang berpikir Junkyu akan menyerah? Kalian mungkin berpikir begitu, tapi Junkyu tetap datang setiap tanggal 3, 13, dan 23.

Junkyu berharap setidaknya ia akan bertemu dengan Jihoon meski kemungkinan nya terbilang kecil.

Tidak tahu diri. Iya, mungkin Junkyu tidak tahu diri masih mengharapkan laki-laki yang jelas-jelas akan menikah dengan orang lain.

Sejujurnya dari pada berharap lebih Junkyu lebih ingin hubungannya dengan Jihoonㅡyang tidak jelas ituㅡberakhir dengan baik. Dengan kata lain Junkyu mengharapkan salam perpisahan yang layak.

Pertemuan terakhirnya dengan Jihoon memang terlalu manis tapi Jihoon belum menjelaskan apapun. Pokoknya Junkyu hanya ingin salam perpisahan dari si laki-laki.

“Jun...” panggilan dari Hyunsuk menghentikan gerak Junkyu yang bersiap naik ke mobil.

Mobilnya selesai dicuci dan dia tak menemukan secercah peluang untuk kemunculan Jihoon.

“Kenapa?” tanya Junkyu. “Kalo lo mau nyuruh gue nyerah, oke gue nyerah sekarang. Bilangin ya sama temen lo itu, makasih udah mau respon gue maaf karena udah jadi pemuda gak tahu diri dan selamat buat pernikahan nya. Long last.”

Junkyu mempertontonkan wajahnya yang datar. Dengan gerak cepat ia sedikit loncat masuk ke dalam mobil, menutup pintu agak keras, menyalakan mesinnya lalu tanpa menunggu melajukan si kesayangan keluar dari sorum.

Meninggalkan Hyunsuk yang menghela napas berat. “Padahal bukan itu maksud gue...”


Padahal cuma perasaan sesaat tapi galaunya Junkyu lumayan parah.

Pulang dari sorum Hyunsuk pemuda itu ngurung diri di dalam kamar dengan semua pemikiran buruk yang bersarang di dalam kepalanya. Alunan musik yang kelewat nge-beat sengaja di putar dengan volume paling keras itu hanya sebuah alibi untuk menutupi suara jeritan hatinya.

Junkyu menangis hebat. Oke ini agak terkesan lebay buat cowok yang nangis gini karena masalah hati. Tapi persetan! Ini masalah hati bro! Cowok juga manusia jadi kalian yang ngatain Junkyu cengeng, fix kalian harus ngerasain gimana sakitnya patah hati.

Padahal saat pergokin Noa selingkuh atau bahkan waktu putus sama Noa pertama kalinya, nangisnya gak sehebat ini.

Junkyu rasanya mau gila.

Ngerti gak sih dia udah nangis kenceng banget tapi sesak di dadanya itu masih saja mengganggu, sampai dia sendiri aja dengan tega memukulin keras dadanya sendiri.

Berharap sesak di dadanya itu sirna.

Kim Junkyu saat itu menyadari, bahwa perasaan yang dinilai cuma sesaat itu membawanya pada patah hati terbaiknya.


Terbangun karena suara dering ponsel yang ke sekian kalinya, Junkyu dengan sangat amat malas dan lemas meraih benda kotak di bawah bantalnya.

Satu panggilan masuk dari Hyunsuk.

Junkyu gak suka diganggu saat galau gini, biasanya pasti telepon nya akan sengaja di reject terus dinyalain mode pesawatnya.

Tapi Junkyu memilih untuk menerima panggilan itu.

“Junkyu?”

Bukan Hyunsuk, tapi suara Jihoon.

Kamarnya sekarang bising sama suara musik rock yang lagi terputar, tapi Junkyu yakin itu suara Jihoon.

“Junkyu, hei., kamu dengar saya?”

“Junkyu ini Jihoon....”

Tuh kan, benar Jihoon.

“Kenapa?” Junkyu menjawab dengan susah payah. Meski yang keluar dari mulutnya hanya suara serak yang agak tersendat-sendat.

Maklum tadi habis menangis hebat.

“Bisa keluar sebentar?”

Junkyu mengernyit. Keluar?

“Saya di depan rumah kamu, Junkyu.”

Dalam hitungan detik Junkyu melompat turun dari tempat tidur. Menyibak gorden lalu mendapati sosok Jihoon yang juga melihat ke arah jendelanya, kini melambaikan tangan.

Samar-samar, dengan mata yang berat karena kantung mata serta kelopak mata yang membengkak, Junkyu melihat senyum tipis Jihoon.

“Bisa kita bicara sebentar, Junkyu?”


Di bawah langit Junkyu sore hari itu dua anak manusia terduduk dalam diam di atas trotoar depan rumah.

Tidak ada yang bersuara, jangankan bersuara membuka mulut pun keduanya masih berpikir-pikir.

Junkyu dengan penampilannya yang berantakanㅡrambut disisir asal, wajah sembab agak bengkak karena dibawa tidur setelah habis menangis, dan baju kusut yang belum diganti sepulang dari sorum. Berbanding terbalik dengan Jihoon yang rapi dan wangi.

“Junkyu maaf...” akhirnya dua kata dari Jihoon memecah keheningan yang sebelumnya menyelimuti mereka.

“Saya datang untuk mengucapkan ucapan selamat tinggal????” entahlah, nada bicara si pemuda terdengar tidak yakin dan penuh keraguan.

“Salam perpisahan,” ralat Junkyu.

Seperti yang Jihoon duga, pemuda di sampingnya ini suaranya terdengar lebih berat dan serak.

“Maaf...”

“Gue gak mau dengar kata maaf lagi. Salam perpisahan harus diisi dengan kata lain selain maaf.” sungut Junkyu.

Jihoon terbatuk kecil. Salah tingkah karena sejak awal pembicaraan dia sudah digas duluan oleh lawan bicaranya.

“Pernikahan saya dipercepat, bulan depan saya menikah.” berakhir Jihoon mengatakan tmi miliknya karena sungguh dia bukan tipikal laki-laki yang bagus dalam merangkai kata. “Selepas pulang dari percetakan saya datang ke sorum Hyunsuk, kamu gak ada, makanya saya minta antar Hyunsuk ke rumah kamu.”

“Cantik gak? Ganteng gak?” tiba-tiba Junkyu menodongkan satu pertanyaan tidak terduga.

“Apa?”

“Calon pengantin lo,” jelas Junkyu.

Jihoon menoleh dan malah memperhatikan wajah Junkyu lamat-lamat. “Semua perempuan itu cantik, dan semua laki-laki itu ganteng.”

Junkyu mendengus kecil. Jihoon tersenyum lalu mengalihkan tatapan ke depan. “Tapi kamu lebih dari dia, bahkan di saat suasana kacau seperti saat ini.” ceplos Jihoon kemudian. “Kamu masih aja keliatan menarik sekarang.”

“Jihoon, perasaan lo ke gue tuh sebenarnya gimana sih?” Junkyu yang sempat dibuat merona sesaat itu kembali melontarkan pertanyaan. “Ada gak sih sedikittt aja rasa suka di hati lo?”

Jihoon menangkup wajahnya sendiri. “Ada. Jelas ada.” tanpa menoleh dia menjawab. “Kalau tidak ada saya gak mungkin terbayang-bayang wajah kamu setiap saat.”

“Brengsek.” umpat Junkyu sukses membuat Jihoon sekarang menoleh dengan wajah tak terbaca.

“Elo brengsek.” Junkyu dengan jari telunjuknya menunjuk ke depan hidung Jihoon. “Gue gak tahu diri.” lalu menunjuk wajahnya sendiri.

Alih-alih tersinggung Jihoon justru meloloskan sebuah tawa kecil.

“Saya gak ngerti sejak kapan merasa kaya giniㅡsegini Junkyu, segini saya naksir kamu.” Jihoon menjulurkan jari telunjuk dan ibu jarinya yang membentuk sedikit ruang pada Junkyu. “Sedikit tapi sukses bikin saya uring-uringan.”

“Selamat Junkyu, kamu berhasil buat saya merasa bingung.”

“Selamat juga Jihoon, elo jadi patah hati terbaik gue.”

“Maㅡduh!” mulut Jihoon tiba-tiba ditampar pelan oleh telapak tangan Junkyu.

“Bilang maaf sekali lagi elo gue cium!” ancam si pemuda sukses buat yang diancam menegang di tempat.

“Junkyu jangan seperti itu.” keluh Jihoon tapi dibawa santai dengan diakhiri oleh tawa.

Gak tahu ya hati dan aslinya kaya gimana.


“Boleh peluk?”

Hening sejenak.

Junkyu menunduk sambil memainkan ujung kausnya sendiri sedangkan Jihoon berpikir sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Junkyu?” yang dipanggil mengangkat kepala, melihat lawan bicaranya membuka lebar dua tangannya. “Kenapa diam, gak jadi peluk?”

Ragu tapi mau serta malu akhirnya Junkyu bergerak memeluk Jihoon. Untuk ukuran seorang cowok Junkyu termasuk tinggi tapi saat masuk dalam pelukan Jihoon, dirinya sudah seperti anak kecil yang memeluk boneka besar ukuran dua meter.

Hangat dan wangi.

Ulas senyum tipis terlukis indah di bibir Junkyu. Bersamaan dengan tangannya yang merengkuh tambah erat senyumnya kian melebar.

“Makasih Jihoon, makasih banyak sudah sempat singgah meski hanya sejenak.” ujar Junkyu tulus dari hati. “Elo patah hati terbaik gue tapi gue sama sekali gak pernah menyesal pernah ketemu sama elo.”

“Saya juga gak pernah menyesal kenal kamu Junkyu, juga terimakasih banyak sudah menyukai laki-laki seperti saya.” sadar atau tidak Jihoon ikut merengkuh tak kalah erat, bahkan dagunya sudah bersandar di atas kepala Junkyu.

Keduanya sama-sama merasa nyaman sampai rasanya tidak mau saling melepaskan dan tidak ingin momen seperti ini berakhir dengan cepat.


“Jangan saling melupakan ya Junkyu, meski cuma sebentar dan tidak begitu berarti saya punya banyak kenangan unik dengan kamu.”

“Gak mungkin, semua tentang lo sangat amat berarti buat gue.”

“Kita bisa jadi teman kan?”

“Ya.”

“Suatu saat nanti kalau kita bertemu lagi jangan ragu untuk menyapa ya?”

“Tentu. Nanti gue bakal menyapa kaya gini, Hello, Jihoon.”

Hi, Junkyu. Nanti saya akan balas menyapa seperti itu.”

Keduanya saling membagi tawa, untuk yang terakhir kalinya.

“Saya pamit ya. Good bye, Junkyu.”

Good bye, Jihoon.”

Matahari yang baru saja tenggelam adalah saksi bisu Junkyu berpisah dengan Jihoon.

“Jadi gini ya, akhirnya?”


Someday... can we touch again?

Yes, If God say so

Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni Dirahasiakannya rintik rindunya Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu

Tahu apa, Junkyu baru saja menutup buku berjudul Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono tapi tiba-tiba rintik hujan datang tanpa diminta.

Sepasang mata bulatnya menatap keluar. Lewat kaca jendela transparan Honey Bomb ia bisa melihat orang-orang yang berlalu lalang dengan tergesa, menghindari pasukan rintik hujan yang semakin tak terhingga jumlahnya.

Kemudian matanya berpendar pada sekitar. Memindai suasana cafe yang terlihat tetap tenang seolah tidak terganggu dengan keributan orang-orang di luar sana.

20 Juni, pukul 13.15 siang saat mata Junkyu kembali menatap keluar jendela, di sana berdiri satu sosok laki-laki. Tampak tengah berteduh seraya mengibas-kibas kain kemeja yang separuh basah.

Napas Junkyu berhenti sejenak.

Itu sosok yang Junkyu rindukan, sosok yang membuatnya tanpa sadar menghapal puisi Hujan Bulan Juni.

“Park Jihoon...,”

Junkyu hanya berbisik tapi sosok di depan jendela tiba-tiba melihat ke dalam jendela, matanya bertemu tatap dengan milik Junkyu.

Senyum itu mengembang lebar. Bukan milik Junkyu, tapi milik Jihoon yang sosoknya tiba-tiba menghilang dari jendela.

Hi, Junkyu.”

Tepukan pelan serta suara lembut yang mengalun pelan itu mengejutkan Junkyu. Sosok Jihoon kini berdiri di depannya, tersenyum begitu lebar.

Hello, Jihoon.”

Dan senyum Junkyu merekah tidak kalah lebar.

Fin.


Sorry nih Hoon, gue gak lihat ada cincin di jari lo.”

“Oh itu—”

“Pasti cincinnya lo jadiin liontin ya, kaya waktu itu.”

It's broke, Jun.”

“Hah?”

“Sekarang gue single.”