Angkringan
“ARRRGGGHHH!”
Akibat teriakan keras Juna yang tiba-tiba itu suasana berubah hening. Seluruh atensi jatuh pada sosok Arjuna yang berdiri dengan wajah mengkerut tidak enak.
“Kamu kenapa, Jun?” tanya Mama, terdengar khawatir.
Alih-alih menjawab Juna justru melempar ponselnya ke atas sofa sembarangan, lalu berpindah hingga berdiri tepat di depan Jian—yang mendongak guna menatapnya.
“Lo... ikut gue!” titah Juna.
Jian mendelik. “Kemana? Ngapain?”
“Argh!” kesal dengan respon lambat sang manajer, Juna lebih dulu menarik kerah kaus polo hitam yang Jian kenakan. Kemudian menyeret yang lebih tua keluar dari rumah. “Pokoknya ikut gue!”
“Juna! Arjuna! Mau kemana?” suara Mama terdengar nyaring tapi Juna sama sekali gak peduli, fokus nyeret Jian sampai ke halaman rumah.
Memaksa Jian berdiri di samping motor matic tua milik Papa—yang sehari-hari dipakai mengantar Mama ke pasar atau bolak-balik ke kebun.
“Naik!” perintah Juna lagi, ia sudah naik ke atas motor tengah menyalakan mesinnya.
Jian lagi-lagi mendelik, berpikir bagaimana bisa Juna mendapat kunci motor? Perasaan yang tadi pemuda itu pegang hanya ponselnya, dan tadi di meja sama sekali tidak ada kunci motor tergeletak.
Ini anak dapet kunci dari mana deh? batin Jian.
“Naik!!” seruan Juna berhasil menyadarkan Jian, dengan wajah ditekuk akhirnya si Nataprawira terpaksa naik ke jok belakang motor matic tua itu.
Membiarkan Juna mengendarai kendaraan roda dua itu entah kemana.
“Heh! Lo mau bawa gue kemana?!” Jian akhirnya bertanya setelah hampir mati karena rasa penasaran.
“Diem.” respon Juna.
“Jawab dulu! Lo mau bawa gue kemana hah?!” Jian mengeraskan suaranya, tidak mau kalah dengan suara semilir angin yang menerpa wajahnya.
“Terminal.” jawab Juna.
“Ngapain??!!!”
“Ngusir lo pulang ke jakarta!”
“Tapi mobil gue ada di rumah lo anjrit!!”
Kesal, Jian menoyor kepala Juna yang tidak terlindungi oleh helm. Iya betul, si Mahardika ini nekat banget naik motor tanpa helm mana cuma kaosan dan pake celana pendek, gak pake masker atau topi.
Kayanya beneran lupa deh kalau dia itu public figure.
“Lo ngatain gue sinting—TAPI LO LEBIH SINTING!” seru Jian, masih gemas noyor kepala Juna.
“Anj—LO MAU KITA CELAKA HAH?!!”
Motor agak oleng dikit, Jian melotot.
“Minggir! Minggir dulu!” seru Jian.
“Lo diem makanya—”
“Minggir Juna! Minggir!”
Pengang juga kesal diteriakin di depan kuping akhirnya Juna minggir.
“Lo kalo gak punya SIM gak usah nekat bawa motor!” begitu motor berhenti kerah kaus Juna ditarik ke belakang, Jian maksa dia turun dari atas motor. “Minggir! Biar gue yang bawa motornya—”
“Emangnya lo tahu jalanan sini?!” tapi Juna gak mau turun semudah itu, berusaha kukuh di atas motor.
“Tahu! Gue masih inget jalan balik! Cepetan turun!”
“Gue gak mau balik—niat gue kan mau ngusir lo ke terminal!”
“Bener-bener ini anak!” toyoran berubah jadi jitakan.
“Argh!” ringis Juna.
“Lo kalo kesel gara-gara gue paksa keluar kamar, gak gini caranya.” sungut Jian. “Sekarang lo turun, gue yang bawa motornya!”
“Gak—”
“Nurut gak lo!” Jian refleks melotot.
Juna gak takut sebenarnya, tapi agaknya dia sadar kalau mereka jadi tontonan orang. Ya iya jadi tontonan orang, toh mereka ribut di pinggir jalan raya, ya jadi tontonan gratis orang-orang dong.
Atas dasar malu akhirnya Juna ngalah, biarin Jian ambil alih motornya.
“Deket sini ada pasar malem gak?” tanya Jian di tengah jalan.
Setelah dipikir-pikir sayang juga kalau langsung balik, mereka udah keburu di luar gini, Jian jadi kepengen keliling kampung halaman Juna deh.
“Heh, gue nanya, dijawab!” karena gak ada respon Jian mundurin badannya, sesekali tangan kirinya colek-colek paha Juna.
“Apaan sih?!”
“Sekitar sini ada pasar malem gak?”
“Gak ada.”
“Serius anjir,”
“Iya.”
Merasa gak bisa mengandalkan Juna yang mode ngambek akhirnya Jian milih selusur sendiri. Untung tangki bensin motor dalam keadaan penuh jadi Jian gak takut motor mogok di tengah jalan.
Jian gak nemu pasar malam tapi angkringan pinggir jalan.
“Lo lapar?” Juna bertanya heran saat mereka turun dari motor. “Kan tadi kita udah makan malem,”
“Gue mau beli wedang ronde,” kata Jian, jalan duluan masuk ke dalam angkringan. “Mas wedang ronde dua,” pesannya seraya ambil spot lesehan yang agak pojok.
“Kok dua? Gue gak mau wedang ronde,” komentar Juna.
“Yang pesen buat lo siapa?” sahut Jian. “Buat gue semua, lo pesen sendiri sana.”
“Sialan!” Juna yang hendak duduk mendengus, terpaksa jalan ke depan buat pesan susu jahe.
Jian diam-diam ketawa, jahilin Juna ternyata asik juga.
“Jun! Sekalian bilangin wedang rondenya satu aja, gak jadi dua!”
“Bilang sendiri!” sungut Juna, tapi akhirnya tetep batalin satu wedang ronde yang terlanjur dipesan.
“Padahal kalo mau makan wedang ronde gue tahu tempat yang enak,” kata Juna sembari duduk bersebrangan dengan Jian yang fokus pada gawainya.
“Elo ditanya diem aja,” respon Jian. “Yaudah suka-suka gue, gak usah protes.”
Lihat Jian asik sama gawainya Juna jadi nyesel ngelempar hapenya tadi sebelum berangkat, tahu bakal begini mending hapenya dikantongin dari pada dilempar.
“Ngomong kek,” celetuk Juna. “Jangan asik sama hape, gue dianggurin.”
Jian jadi melirik sekilas. Melihat muka asem Juna, dia ketawa. “Nanti kalo gue ajak ngobrol malah ribut, jadi mending gue diem.” sahutnya.
Jian emang ngomong gitu tapi dia menlock gawainya, dilesakkan ke dalam saku celana, beralih tatap-tatapan sama Juna yang masih pasang wajah asem.
“Kadang gue heran deh,..” dengan jari telunjuk mengetuk-ketuk permukaan meja Jian memulai obrolan. “Lo itu gak gampang ditebak—maksudnya perubahan emosi lo tuh cepet banget, wajar kan kalo gue kira lo punya riwayat gangguan kepribadian ganda.”
Juna jadi teringat kejadian waktu itu—dimana Jian hendak mendaftarkannya sebagai pasien ke salah satu psikiater—mukanya tambah asem aja.
“Gue wajarin kalo sikap lo di depan kamera sama di belakang kamera beda, tapi sehari-hari gue ketemu lo beneran swing banget mood lo. Kenapa deh?”
“Kepo.” cetus Juna.
“Tuh kan, tadi minta ngobrol tapi giliran diajak ngobrol gitu responnya.” lama-lama Jian kesel juga sih, ya siapa yang gak kesel kalo respon Juna selalu marah, ngegas, terus cuek jutek kalo sama dia. Gak ada ramah-ramahnya.
Jian jadi mikir, “gue tuh ada salah apa deh sama lo? Sampai lo se-sensi itu kalo sama gue?”
Sadar akan nada frustasi di balik ucapan barusan Juna melirik orang di depannya, menghela napas pendek setelahnya. “Gak tahu, akhir-akhir ini mood gue emang naik-turun. Kayanya gue tertekan.”
“Kalo ada masalah tuh cerita, bukan dipendem.” kata Jian.
“Biar apa?” tanya Juna. “Biar orang-orang prihatin terus iba dan simpati sama gue, gitu?”
Jian mendelik. “Gak gitu juga, lo mikir kejauhan. Orang cerita masalah hidupnya ya supaya dapet saran atau solusi.”
Pemuda Nataprawira itu sekarang menatap Juna lekat. “Lo terlalu banyak numpuk beban pikiran, lihat kan jadinya gimana? Lo tertekan terus emosi lo naik-turun.”
“Gua tanya deh sekali lagi,” perkataannya terjeda ketika pesanan mereka datang.
“Apa?”
“Lo mau gue daftarin gak, ketemu psikiater?” tanya Jian.
Juna mendelik geram. “Gue gak gila ya!” sungutnya hampir nyiram susu jahe panas punyanya ke muka Jian.
“Jun, orang yang ketemu psikolog atau psikiater itu gak semuanya gila. Konsultasi maksudnya, lo bisa konsultasi sama ahlinya.”
“Gak. Makasih.” tolak Juna mentah-mentah.
“Ya terus—”
“Lo... bisa dipercaya gak sih?” potong Juna.
“Apa? Soal apa?”
“Soal semuanya,” Juna menjeda, menyesap sedikit susu jahe miliknya. “Kalo gue cerita semuanya sama lo, lo janji gak akan ember atau bereaksi macem-macem?”
“Tergantung—” Jian membaca cepat raut wajah si Mahardika. “Oke, oke gue janji.”
“Bener?”
“Iya bener,”
“Oke, nanti gue cerita.”
“Kapan?”
“Nanti kalau gue inget apa yang mau diceritain,”
Gantian Jian yang gregetan pengen siram muka Juna pake kuah wedang rondenya.