senofyou

Ini cerita Junkyu yang naksir karyawan sorum steam mobil.

“Nunggu lama ya, Junkyu?”

Atensi Junkyu teralihkan sempurna lalu jatuh pada sosok Jihoon yang sedikit berlari menghampirinya, dan berhenti tepat di depannya.

Rambut laki-laki itu tampak basah dan Junkyu kira mungkin memang sengaja dicuci untuk menghilangkan bau keringat setelah seharian bekerja. Dan jangan lupakan bau parfum maskulin yang membuat hidung Junkyu tanpa sadar kembang-kempis, berusaha menghirup sebanyaknya bau maskulin si pemuda Park.

Duh alamak, bau parfumnya cowok banget, mati gue lama-lama kalo gini caranya! Batin Junkyu menjerit-jerit.

“Engga juga kok, gue baru aja datang.” jawab Junkyu tak lama kemudian Jihoon sengaja mendudukan diri di kursi samping.

“Mau bicara apa Jun, kalo boleh tahu?”

“Hngㅡbentar ya Junkyu,” Jihoon meraih handuk kecil dari dalam tasnya, setelah menarik kain warna putih itu Jihoon mengusak rambutnya.

Junkyu mengangguk kecil sebagai tanda ia mengizinkan Jihoon untuk mengeringkan rambutnya lebih dulu. Mungkin rasanya gak nyaman kali ya, soalnya Junkyu bisa lihat masih ada tetesan air yang menetes dari rambut Jihoon.

Dia mandi buru-buru apa ya saking gak mau bikin gue nunggu lama, Junkyu membatin hingga tak sadar telah menahan senyum lebarnya.

“Nih,”

Junkyu menoleh, menemukan kaleng kopi dalam tangan Jihoon disodorkan padanya. Tanpa pikir panjang Junkyu menerima kopi kaleng itu,

“Thank's.”

Hening sejenak menyelimuti dua orang itu. Jihoon masih belum mau mengutarakan maksudnya yang meminta Junkyu untuk datang ke sini dan Junkyu sendiri tidak mau memaksa Jihoon untuk langsung bicara. Jujur, Junkyu menikmati keadaan saat ini. Jantungnya berdetak tidak karuan di dalam sana padahal yang ia lakukan hanya duduk di samping Jihoon tanpa melakukan banyak atau hal aneh.

Ia hanya menyesap kopinya sedikit demi sedikit, seolah ia menikmati keheningan yang menyelimuti mereka.

“Junkyu, kamu suka sama saya?”

DUARR!!!!

Rasanya seperti telah disambar petir, Junkyu tidak bisa menahan diri dari rasa kagetnya berakhir tersedak dengan cairan kopi yang baru saja ia sesap ke dalam mulut.

“Uhuk! Uhuk!” tangannya yang bebas memukul dadanya dengan agak brutal, padahal kenyataannya itu cuma bentuk salah tingkahnya karena panik mendadak.

Jihoon meringis tapi menyodorkan beberapa lembar tisu yang kebetulan dia punya di dalam tas. “Maaf, kamu pasti kaget banget saya ngomong kaya gitu. Maaf ya Junkyu.” sesalnya kemudian.

Junkyu membersihkan noda kopi di sekitar mulutnya dengan tisu pemberian Jihoon, terkekeh kaku dan canggung. “Hmㅡhehe,”

Kemudian hening lagi.

Jihoon sengaja membiarkan Junkyu mengatasi diri, karena apa yang akan dia bicarakan nanti pasti lebih jauh mengagetkan.

“Junkyu, saya tanya sama kamu. Kamu suka sama saya?” hingga pertanyaan yang sama terulang dari mulut Jihoon.

Meski sudah pernah mendengar beberapa saat lalu, tetap saja rasa kaget itu tidak bisa Junkyu tutupi.

Kepala Jihoon menoleh hingga dua orang yang kembali diam itu sama-sama saling melempar tatapan yang berbeda arti.

“Jangan suka saya, Junkyu.” kata Jihoon sambil membuang wajah ke arah lain.

Junkyu tercenung. Barusan laki-laki di sampingnya ini tersenyum tapi senyumnya berbeda dari biasanya, yang tadi itu terlihat miris, sedih, marah atau apa??? Junkyu tak bisa mengartikan senyum tadi dengan tepat.

“Gue ehmㅡmaaf,” Junkyu menelan ludah kasar. Ia ingin bicara lebih banyak dari itu tapi tenggorokan mendadak kering hingga suara yang keluar terdengar serak.

“Jadi benar, kamu suka saya?” kepala Jihoon menoleh cepat. Junkyu bisa lihat matanya membulat kaget.

Junkyu mengerjab pelan dan mengangguk kecil. “Maaf ya, gue lancang banget udah naksir elo.”

Bukan amarah yang Junkyu terima setelahnya. Pemuda itu justru melihat Jihoon tertawa begitu lepas.

“Jangan salahkan perasaan, Junkyu.”

Setelah puas tertawa tanpa alasan yang jelas Jihoon mengucap satu kalimat tadi. Junkyu merenung sejenak, menyimak kalimat barusan yang ia rasa sering sekali lewat di beranda akun Instagram nya.

Jangan-jangan Jihoon juga follow akun quotes di Instagram? Batin Junkyu gak nyambung.

Pemuda itu berdecak pelan pun tak segan menampar pipinya sendiri.

Fokus Junkyu! Fokus! Ini lagi serius! Jerit batin si pemuda.

Kelakuan aneh Junkyu barusan tak luput dari perhatian Jihoon. Pemuda itu bertanya-tanya apa isi kepala pemuda di sampingnya ini sampai tiba-tiba rela menampar pipinya sendiri.

Jihoon meringis, dari suara tamparannya sih agaknya cukup sakit, tapi kemudian terkekeh kecil.

Aneh, tapi lucu juga. Begitu batin Jihoon.

“Terimakasih sudah suka saya,” kata Jihoon. Junkyu menoleh lalu keduanya saling menatap dalam diam, hingga si pemuda menambahkan. “Tapi maaf, saya gak bisa balas suka kamu.” Junkyu melihatnya tersenyum tak enak hati. Membuat bibirnya ikut melengkung tipis disusul dengan tangannya yang bergerak-gerak di udara.

“Gak apa-apa, Jihoon. Gue juga gak berharap suka gue dibales,” sahut Junkyu. “Karena sebenarnya gue juga udah ada pacar.”

Imbuhan si pemuda membawa reaksi kaget dari si pemuda. Jihoon beneran kaget dong, kaget yang benar-benar kaget sampai matanya melotot terus mulutnya menganga.

Junkyu pengen ketawa tapi di tahan soalnya, Kaget aja masih ganteng, batinnya.

“Hahaha, gue gak tahu diri gak sih?” Junkyu terkekeh niatnya mau mencairkan suasana. “Udah punya pacar tapi masih aja punya waktu buat naksir yang lain.”

“Jangan bilang gitu, mungkin kamu gak benar-benar naksir saya.” kata Jihoon. “Bisa aja kamu cuma kagum sama saya, karena saya ganteng gitu misalnya...”

“Bukan misalnya ganteng lagi, tapi emang ganteng kok.” ceplos Junkyu.

Jihoon kaget, lagi. Sumpah dia tuh gak niat pede narsis gitu, niatnya bercanda aja tapi mana tahu kalo diceplosin serius sama Junkyu.

Tersipu malu Jihoon tuh tapi ditutupin sama kekehan. “Haha bisa aja.”

“Syukurlah kalo gitu...,” ucap Jihoon tiba-tiba.

“Syukur???”

“Seperti yang saya bilang, jangan suka saya, saya gak bisa balas suka kamu. Saya takut kamu patah hati, sakit hati, tapi karena kamu bilang sudah punya pacar jadi mungkin kamu gak benar-benar patah hati.”

“Oohh...”

“Kalau kamu punya pacar...” Jihoon sengaja menjeda ucapannya, menunduk dengan tangan yang merogoh kerah kausnya. Menarik keluar kalung yang sempat bersembunyi. “Saya sudah punya tunangan.”

Gantian Junkyu yang kaget.

Pemuda itu melongo saat memandangi kalung silver tanpa liontinㅡgak, bukan kalungnya, tapi sebuah cincin yang sengaja dijadikan liontin.

Belum sempat Junkyu mengatakan apapun Jihoon kembali menyembunyikan kalungnya, dengan senyum tipis.

“Kenapa mukanya kaya gitu?” tanya Jihoon.

“Gak nyangka aja, ternyata si ganteng udah sold out.” jawab Junkyu sedih.

Jihoon tertawa. “Jadi beneran di mata kamu saya seganteng itu?” dijawab anggukan kepala sama Junkyu.

“Itu alasan kenapa gue naksir sama lo, Hoon.” imbuh Junkyu, sangat too much information. “Berarti udah gak bisa ditikung lagi ini mah...”

“Jadi kalau saya belum ada status kamu beneran mau berjuang buat saya?”

“Tergantung.”

“Hm?”

“Kalo gue punya kesempatan, mungkin gue bakal berjuang.”

“Tapi kamu sudah punya pacar, Junkyu.” sahut Jihoon sedikit tak habis pikir.

Aneh, tapi lucu. Tapi jalan pikirnya juga gak bisa ditebak, agak bar-bar juga. Jihoon menambahkan dalam hatinya.

“Pacar gue pernah sekali ketahuan selingkuh sama gue, jadi gue pikir gak apa-apa kali ya kalo gue selingkuh jugaㅡ”

“Junkyu, yang bener aja?????????” Jihoon segera menyela, ekspresi wajahnya kelihatan benar-benar gak habis pikir. “Kamu mau jadiin saya selingkuhan??????”

Junkyu ketawa kecil. “Itu baru rencana kali, lagian kalau dipikir ulang yang kaya elo terlalu bagus kalo cuma dijadiin selingkuhan.”

“Bagusnya dijadiin suami aja.” ceplos Junkyu kemudian.

Jihoon sempet lupa cara bernapas. Pemuda itu menghempas punggung ke kursi, memegangi dadanya.

“Sumpah Junkyu, kasih saya peringatan kalau mau bicara kaya gitu.” dengus Jihoon kesal.

Junkyu menoleh, sengaja menopang dagu pada tangannya. Mata bulatnya menatap Jihoon intens dan jangan lupa dengan senyum cantiknya yang terluas indah. “Kenapa.., jantung lo sekarang jedag-jedug gak jelas ya?” katanya jahil.

“Bukan jedag-jedug lagi, barusan sempat mau merosot sampai ke ginjal.” Jihoon menyahut asal, direspon suara tawa renyahsi pemuda.

“Itu Hoon yang gue rasain setiap kali lihat elo.”

“Sudah Junkyu, jangan bikin jantung saya beneran merosot sampai ke ginjal.”

“Serius Jihoon. Di mata gue elo se-bersinar itu sampai bikin gue lupa diri siapa dan bagaimana jati diri gue yang sebenarnya.”

“Lebay,” respon Jihoon seadanya. Gak tahu lah dia mau respon apa lagi denger pujian Junkyu yang gak ada habisnya.

“Elo tuh tinggi, terus ganteng, punya senyum yang lebih indah dari senja yang kadang bikin gue mikir mungkin suatu hari senyum itu bakal jadi salah satu alasan kenapa gue bisa gila,”

”...”

“Alis lo juga sempet mengalihkan dunia gue, padahal sebelumnya gue selalu gak suka lihat cowok punya alis lebat kaya ulat bulu.”

“Junkyu udahㅡ”

“Suara elo lembut banget, sampai kadang gue berekspektasi gue bakal semeleleh apa kalau denger lo nyanyi buat gue.”

“Junkyuㅡ”

Sorry Hoon, mungkin kedengarannya cringe dan hiperbola banget tapi gue ngomong apa adanya. Sekarang gue lagi tumpahin semua apa yang selalu kepala gue pikirin akhir-akhir ini.”

”...”

“Gak apa-apa kalo elo mau ngatain gue tukang halu, emang bener kok. Sekarang aja gue gak tahu diri banget ini mikir gimana rasanya dipeluk sama elo, pasti hangat dan wangi banget. Sumpah, gue beneran gak kuat sama cowok hangat dan wangi kayak elo Hoon.”

“Junkyu...”

“Apa?” sahut Junkyu. Aslinya Junkyu masih mau ngoceh, tapi ngelihat muka pucet Jihoon gak jadi deh.

“Hubungin 911ㅡ”

“Hah, elo kenapa?!!! Ada yang sakit?!!” Junkyu panik.

“Lemes nih, mleyot kayanya.” Jihoon noleh lemas dengan tangan yang masih bertengger di dadanya. “Terus ini jedag-jedug nya makin menjadi-jadi.”

“Hah?”

“Tanggungjawab, Junkyu. Minta maaf sekarang juga, barusan kamu bikin saya jadi kepikiran kalau saya juga naksir sama kamu.”

Junkyu apa kabar?

Gak baik-baik aja sih, sudah dipastikan oknum Kim Junkyu ikut mleyot bersama.

Forever (3)

“PARK JIHOON!!!”

Jihoon yang semula sibuk merapikan meja berjengit kaget ketika seruan keras Junkyu mengudara, tanpa perlu menyahut tungkai kakinya segera menghampiri Junkyu ke dalam Kokpit—nama mesin waktu yang mereka buat.

“Apa?! Ada apa?!” laki-laki Park itu menyahut panik.

Tapi yang membuat kehebohan justru tersenyum begitu lebar. “Benda ini bekerja,” jari-jari tangan Junkyu menari-nari di atas keyboard, tampak lihai meski matanya tidak melihat kemana arah jarinya menekan.

“Apa?”

“Mesin waktunya bekerja!” Junkyu menoleh senang. Senyum laki-laki Kim itu benar-benar lebar. “Algoritmanya berhasil! Aku berhasil menyelesaikannya!”

Jihoon masih mencerna situasi saat tiba-tiba Junkyu berhambur memeluknya erat—bahkan membubuhkan berapa kecupan pada pelipisnya.

“Sungguh?”

Mendengar respon kaku Jihoon, Junkyu melepas pelukannya, mengernyit kesal. “Kamu tidak percaya padaku huh?”

Sebelum menjawab Jihoon menyempatkan diri melirik ke arah layar komputer. Tampilan layar itu tidak lagi simbol-simbol yang tidak Jihoon pahami, tapi kini menampilkan beberapa menu bar.

Yang paling menonjol adalah pilihan menu bar mengenai tenggat waktu, di antara beberapa kolom kosong tertulis Future or Past.

Kepalanya langsung menoleh ke arah Junkyu—otaknya telah selesai memahami situasi—senyum Jihoon kini mengembang lebar. “Junkyuku berhasil!”

Dan ya, mereka kembali berpelukan. Ralat, saling memeluk seolah sedang berlomba-lomba siapa yang paling memeluk dengan erat.

“Mau mencoba menggunakannya?” tanya Jihoon setelah pelukan mereka terurai.

Junkyu tidak langsung menjawab, dia melirik layar komputernya sembari tangannya bergerak mengusak rambutnya ke belakang.

“Masa depan atau masa lalu?” tanya Junkyu balik.

“Masa depan?” ujar Jihoon, terdengar tidak terlalu yakin. “Sebenarnya aku ingin melihat apa yang terjadi pada tanggal 14 Mei.”

Atensi Junkyu kembali jatuh pada Jihoon. Kekasihnya itu menyengir—lebih tepatnya tersenyum miring. “Aku hanya ingin tahu kamu sungguhan sepupu jauh Noa atau bukan,”

Gelak tawa Junkyu mengudara, mengisi keheningan di dalam laboratorium mewah milik perusahaan mereka bekerja. Sambil menggeleng kecil, Junkyu mendekat ke arah komputer.

Mensetting waktu sesuai dengan keinginan Jihoon. 14 Mei, dua bulan dari masa kini.

Cahaya pada layar komputer berubah menjadi kebiruan saat Junkyu menekan tombol enter pada keyboard. Pun Jihoon tengah mengernyit ketika tiba-tiba Junkyu menarik tangannya ke sudut Kokpit.

“Apa yang kamu lakukan?!” Jihoon refles menepis tangan Junkyu yang sempat menarik turun resleting wearpack yang ia gunakan. Melotot kaget.

“Ganti bajumu, Park.” gantian tangan Jihoon yang ditepis dan sekarang jari tangan Junkyu menarik turun resleting wearpack Jihoon, melucuti pakaian berbahan parasut itu.

“Junkyu—”

“Kita tidak bisa datang ke pesta perayaan dengan wearpack kusam begini kan, sayang?” Junkyu mengedip saat dirinya melepas wearpack miliknya, membiarkan lengan putih mulusnya terekspos sebab dia hanya mengenakan kaus tipis tanpa lengan. Sama seperti Jihoon.

“Ayo cepat ganti baju!” Junkyu melempar setelan kemeja beserta celana jeans milik Jihoon. “Waktu kita tidak banyak!”


Mesin waktu yang mereka buat benar-benar berfungsi.

Jihoon dan Junkyu pergi ke masa depan, tepatnya tanggal 14 Mei, dua bulan dari waktu yang seharusnya.

“Sungguh, sekarang sungguhan tanggal 14 Mei.” Jihoon terperangah ketika berkali-kali menatap jam digital yang ada di halte bus.

Tadi setelah masuk ke ruang Kokpit, dan menekan tombol ruin pada jam pengatur waktu yang Junkyu buat sebagai remote, tubuh keduanya menghilang bersamaan dengan debu. Dalam sekali kedipan mata lokasi mereka berdiri telah berubah, keduanya berada di pinggir jalan.

“Acaranya mungkin sudah dimulai sejak setengah yang lalu,” Junkyu memutuskan untuk menarik tangan Jihoon setelah tadi memberhentikan taxi. “Ayo!”

Berbeda dari Junkyu yang tampak antusias, selama di dalam taxi Jihoon berulangkali menggigiti bibir bagian dalamnya-sebuah kebiasaan yang muncul kalau dirinya merasa gelisah.

Syukurnya Junkyu menyadari itu. “Everythings gonna be okay,” sengaja menyandarkan kepala pada pundak Jihoon, Junkyu juga meraih tangan sang kekasih. Dielus pelan. “Kita gak akan mendekat, cukup lihat aja dari jauh.”

“Lagian kita masih belum tahu, mesin waktu ini punya efek samping yang seperti apa.”

Jihoon sama sekali tidak menjawab, tapi tubuhnya merespon dengan merangkul Junkyu pun mengecup singkat puncak kepala si Kim.


Seperti apa yang Junkyu katakan, mereka hanya bisa melihat dari jauh acara yang digelar di rumah Kakek Junkyu. Itu pesta perayaan merayakan umur panjang sang Kakek yang berhasil melewati usia seratus tahun.

Mereka tidak bisa masuk ke dalam—sebenarnya bisa, hanya saja tidak ingin membuat kekacauan di sana jika tiba-tiba Junkyu atau Jihoon bertemu dengan dirinya yang lain. Bisa heboh kalau orang lain melihat ada dua Junkyu.

“Itu mobil Noa,” ujar Junkyu, menunjuk ke luar dimana sebuah mobil Jeep hitam memasuki pekarangan rumah sang Kakek yang luas.

Kedatangan Noa disambut hangat oleh orang tua Junkyu yang ternyata berada di teras rumah.

“Andai Ayahmu bisa se-welcome itu denganku,” Jihoon hanya berbisik, pun mulutnya terbenam di antara rambut coklat Junkyu.

Tapi sepelan apapun itu, suaranya masih sampai ke telinga Junkyu. Dan Junkyu tidak bisa merespon—tepatnya terlalu bingung harus merespon bagaimana.

Perkara hubungan mereka yang tidak direstui sang Ayah itu, perkara yang menyebalkan, membingungkan dan membuat frustasi. Makanya sebisa mungkin mereka menghindari topik sensitif tersebut.

“Aduh...”

Jihoon meregangkan pelukannya saat Junkyu tiba-tiba meringis. “Kenapa?”

“Aku ingin buang air kecil,” Junkyu menyengir lebar.

“Lalu?”

“Aku harus masuk ke rumah Kakek, meminjam toilet.”

“Sendirian?” tanya Jihoon lagi.

“Kamu mau ikut?”

“Itu pilihan yang buruk,” Jihoon terkekeh. “Aku akan tunggu di sini saja.”

Sesuai kesepakatan Junkyu masuk ke dalam rumah sang Kakek tapi Jihoon menunggu di luar—tepatnya bersandar pada badan taxi yang parkir di sebrang rumah besar bak istana milik keluarga besar Kim.


“Jihoon?”

Merasa terpanggil, Jihoon menoleh. Pikirnya itu Junkyu, tapi ia salah besar.

Itu Noa, Noa Kazama. Menatapnya dengan tatapan yang sangat amat terkejut.

“Kau Park Jihoon?” tanya Noa.

Jihoon mengernyit, diam-diam meraba wajahnya sendiri. Ia tidak ingat pernah merubah wajahnya sedikit pun, terakhir berkaca wajahnya masih sama seperti biasanya kok. Lalu kenapa Noa tampak begitu terkejut?

“Memang siapa lagi?” respon Jihoon, lalu sengaja menunjuk dirinya sendiri. “Kau pernah lihat wajah seperti ini dengan nama lain huh?”

“Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa kau bisa berada di sini? Bagaimana bisa?”

Rentetan pertanyaan itu membuat Jihoon menarik senyum miring. “Memangnya orang sepertiku dilarang berada di sini ya?”

“Bukan begitu tapi—”

“Noa, aku mencarimu—”

Keduanya menoleh, mendapati sosok Junkyu yang lain—itu bukan Junkyu yang datang bersama dengan Jihoon, karena pakaian berbeda—menatap Jihoon dengan tatapan yang sama seperti pertama kali Jihoon melihat Noa.

Bedanya, Jihoon menemukan sesuatu yang mengganggu dari tatapan Junkyu yang ini.

“Jihoon—”

“Junkyu kita harus pergi.” itu Noa, tiba-tiba menarik Junkyu yang lain pergi.

Junkyu sempat memberontak, tapi tubuhnya yang lebih pendek tetap terseret oleh badan Noa yang jauh lebih tinggi. Jihoon berniat melerai tapi ia tidak melakukan apapun, kecuali memperhatikan pertengkaran kecil Noa dengan Junkyu.

Entah apa yang mereka ributkan tapi,

“Jihoon! Apapun yang terjadi jangan pernah melakukan sesuatu yang bisa merubah masa lalu atau masa depan!” tiba-tiba Jihoon mendengar dan melihat Junkyu yang diseret Noa menjauh, berteriak keras. “Yang terpenting jangan sampai bertemu dengan dirimu yang lainnya!”

Jihoon mendengar dengan jelas, tapi ia benar-benar tidak mengerti.

Delapan menit berselang setelah pesan singkat terakhir dari Jihoon, Junkyu melihat laki-laki kelahiran empat belas maret itu melenggang masuk ke dalam laboratorium lengkap dengan cup holder di tangan kanan, dan paper bag di tangan lainnya.

Junkyu mengernyit saat menyambut kedatangan Jihoon. “Aku kan cuma titip beliin kopi,” tatapan matanya merendah, melirik ke arah paper bag di tangan kiri Jihoon. “Itu apa?”

“Croissant sama cookies,” Jihoon menjawab sambil lalu, meletakkan barang bawaannya ke atas meja setelah tadi menyingkirkan kertas-kertas yang sempat berserakan.

“Buat siapa?”

“Buat kamu lah,” sahut Jihoon. “Kamu tahu sendiri aku gak begitu suka makanan manis.”

“Tapi kan aku gak minta,” ujar Junkyu tapi pada akhirnya dia orang pertama yang membongkar paper bag bertuliskan Honey Bomb dan membuka bungkus cookies warna coklat.

Jihoon hanya tersenyum tipis. Kekasihnya itu memang terkenal dengan sifat tsundere, untung Jihoon telah mengenal Junkyu selama bertahun-tahun sehingga semua hal yang menyangkut Kim Junkyu, apasih yang tidak Jihoon ketahui?

Tidak ada.

Jihoon tahu semua tentang Junkyu, luar dan dalam.

“Jihoon, sudah hubungi pihak supplier?” tanya Junkyu tiba-tiba.

“Sudah,” Jihoon segera menjawab, Junkyu kalau sudah bertanya perihal masalah pekerjaan harus cepat-cepat ditanggapi sebelum laki-laki itu marah dan bersungut-sungut kesal. “Mereka bilang akan mengirimkan barangnya besok lusa.”

“Begitu ya... apa tidak bisa lebih cepat lagi?”

“Itu terhitung sudah cepat sih, biasanya mereka mengirim barang seminggu setelah order di acc.”

“Lalu, kok bisa punya kita dikirim sangat cepat?”

Jihoon menunda sejenak pekerjaannya, beralih memutar badan hingga menghadap ke arah Junkyu. Lantas memukul dadanya sendiri sambil tersenyum congak, “Siapa dulu yang menghandle? Park Jihoon...”

“Cih, dasar congak.” Junkyu merespon masam, melengos begitu saja ke sudut laboratorium. Baru teringat bahwa tadi dia sempat mengirim pesan singkat pada Ketua Song, dan dia butuh tahu apa balasan si Ketua.

Jihoon mendecih tapi akhirnya terkekeh pelan. Sebelum kembali melanjutkan pekerjaannya, ia membenarkan keras kaus polo yang ia pakai. Baru sadar kalau kerahnya hanya terlipat sebelah. Kemudian mengusak rambutnya yang mulai panjang.

Tangannya merogoh saku wearpack—yang sejak tadi ia biarkan dipakai sebelah, hanya sebatas pinggang—mendapatkan satu buah karet gelang. Akhirnya ia menguncir rambut bagian depannya ke atas, karena dirasa mengganggu dan menghalangi pandangan.

“Pfft! Apa-apaan rambutmu itu?”

“Astaga!” Jihoon terlonjak kecil, agaknya kaget dengan kehadiran Junkyu yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelahnya—melihat ke arah rambutnya yang dikuncir—tampak menahan tawa yang akan meledak.

“Kenapa tertawa sih, memangnya ada yang lucu?” tanya Jihoon sewot.

Junkyu menunjuk rambutnya yang dikuncir bagai tunas tumbuhan. “Terlihat seperti antena robot, ppfftt! Menggelikan!”

Bola mata Jihoon memutar malas. “Ya tertawa saja sepuasmu, aku tidak peduli~”

Dan benar, setelah kalimat terakhir itu Jihoon terlihat fokus dengan pekerjaannya—mulai merangkai mesin waktu sesuai dengan desgin yang Junkyu pilih.

Kalau Junkyu adalah otak yang mengkonsep project, maka Jihoon adalah alat gerak yang mengeksekusi konsep. Meski secara sifat, ketertarikan, juga karakter mereka yang sangat bertolak belakang nyatanya tidak ada yang lebih kompak lagi dari keduanya.

Apalagi kalau sudah menyangkut pekerjaan, duh, mereka terhitung anggota berusia muda yang perusahaan rekrut. Lalu lihat, seminggu yang lalu mereka telah resmi menyandang status Anggota Elite.

Anggota Elite, adalah anggota spesial yang mengerjakan project khusus yang berpotensial besar. Rata-rata umur anggota elite sebelumnya sekitar 35 sampai dengan 40 tahun, tapi Jihoon dan Junkyu memecahkan rekor dimana mereka resmi menjadi anggota elite saat umur dua puluh enam tahun.

Dan lagi proposal mereka tentang mesin waktu—teknologi yang orang-orang pikir tidak akan pernah bisa dibuat—ternyata diacc oleh Ketua Song.

Mesin waktu. Kedengarannya mustahil ya?

Benar, terdengar mustahil. Tapi, tidak ada yang mustahil jika Kim Junkyu telah turun tangan.

“Tanganmu bisa terluka, pakai sarung tangan sana.” tegur Junkyu.

Belum ada satu menit setelah Junkyu berkata begitu, telapak tangan Jihoon tergores besi tajam. Robekannya agak lebar dan sedikit dalam.

Jihoon meringis. “Aduh...”

Junkyu berdecak, kesal, tapi tetap berjalan untuk meraih tisu dan menyeka darah yang keluar dari luka menganga di telapak tangan sang kekasih.

“Lukanya cukup dalam,” komentar Junkyu sembari berusaha menghentikan aliran darah dari luka Jihoon. “Sepertinya harus dijahit.”

“Gak usah,” tolak Jihoon. “Nanti juga sembuh sendiri.”

Gerakan tangan Junkyu berhenti pun kepala si Kim sekarang mendongak, menatap Jihoon lamat-lamat. “Nanti menghambat pekerjaan, lebih baik dijahit—”

“Enggak kok, gak akan—”

“Pilih pergi ke klinik kesehatan di lantai dua atau aku yang akan menjahit lukamu dengan jarum perkakas?”

Glup!

Jihoon menelan ludahnya kasar. Agaknya ngeri saat membayangkan Junkyu yang akan menjahit lukanya dengan jarum besar setebal obeng perkakas.

“I-iya aku pergi sekarang!” lalu tanpa banyak bicara lagi segera melenggang keluar laboratorium dengan langkah kaki terburu-buru.

“Jun... udah jam sepuluh, lo mau tidur sampe jam berapa??” Jian berdiri di depan pintu kamar tamu, tempat Juna tidur semalam.

Seonggok badan manusia yang menggelepar di atas kasur—plus bergelung dengan selimut—tetap diam tidak bergerak.

Sambil menghela napas Jian terpaksa mendekat, menarik selimut dan menggoyangkan badan yang lebih muda.

“Heh! Bangun! Udah siang!” seru Jian.

Juna masih dengan mata terpejam erat mendelik, “hhmmnnggggagajsghahagag,” racau si Mahardika.

Jian mendecih, tapi diam-diam tertawa. 'Apa banget dah dia dibangunin malah meracau dengan suara gak jelas.' batin Jian.

“Bangun Arjuna Mahardika!” kali ini Jian meraih dua tangan Juna, ditarik sampai sang empunya terduduk lemas.

“Gueee masihh ngantukkkkkkk~~” kata Juna, suaranya serak khas orang bangun tidur.

“Bangun dulu, sarapan, baru tidur lagi.” kata Jian masih memegangi tangan Juna, ini kalau dilepas si Juna pasti balik tiduran lagi.

“Buruan buka mata lo sebelum gue siram pake air!”

Beneran langsung ngaruh, Juna langsung melek—atau tepatnya melotot. “Emangnya gue taneman pakai harus disiram air???” dengusnya.

“Ya makanya bangun dulu, cuci muka sana. Buruan keluar gue nungguin buat sarapan.” kata Jian sambil beranjak keluar kamar. Sebelum benar-benar keluar dia berbalik sebentar, menatap Juna. “Beneran kalo lo tidur lagi, gua siram air!”

Terpaksa Juna beranjak dari atas kasur, melangkah keluar menuju kamar mandi. Dengan mulut berceloteh, “sarapan apaan jam sepuluh siang gini. Dasar orang aneh.”


“Beneran gak mau ganti baju?” tanya Jian, terus mengulang pertanyaan yang sama dalam kurun waktu lima menit terakhir.

Juna kembali menggeleng sebagai jawaban.

“Nanti lo bisa sakit, Jun.” kata Jian. Ia segera menarik kursinya sampai ke depan Juna. “Ganti baju ya?”

“Cuma celana gue yang basah, Ji. Nanti juga kering kok...” sahut Juna.

“Tapi—”

“Gue mau naik sepeda, Ji.” pinta Juna tiba-tiba. “Boleh???”

Jian mau marah tau gak sih, pertama Juna susah banget dibujuk. Sebenarnya gak cuma celana cowok itu aja yang basah, semua bajunya basah juga kan tadi sempet hampir mau keseret ombak.

Tapi Juna tuh batuuuuu banget dikasih tau, Jian sampe kesel sendiri deh asli.

“Ganti baju dulu, baru gue bolehin naik sepeda.” kata Jian tidak terbantahkan.

Juna menghela napas. Menumpukan punggung pada kursi, lalu mengusak rambutnya yang basah, pun mengusap wajahnya yang terasa bengak.

Oh iya, dia baru ingat tadi nangis kejer sampai di peluk Jian.

Bola mata Juna bergulir, kini menatap balik Jian yang ternyata sejak tadi menatapnya.

“Ji...” panggil Juna.

“Hmm??” Jian berdeham pelan sebagai respon.

“Soal yang tadi, jadi rahasia kita berdua aja ya.” mohon si Mahardika. Bola mata bulat itu menatap dengan binar memohon, membuat Jian lekas menghela napas.

“Kenapa deh, tiba-tiba lo nangis kaya tadi??” tanya Jian, kini ikut menyandarkan punggungnya pada kursi. Bedanya dua tangannya dilipat di depan perut.

“Pasti ada sesuatu kan???” Jian menatap penuh selidik. “Ayo cerita sama gue.”

Alih-alih menjawab Juna justru menarik dirinya mendekat ke arah Jian, badannya kini condong ke depan sampai wajahnya berhadapan sempurna dengan wajah Jian.

Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut Juna. Si Mahardika hanya mengerjapkan mata pelan, lalu mengulas senyum.

Sebuah senyum yang tidak bisa Jian artikan apa maknanya.

Jian hendak membuka mulut, tapi Juna sudah menarik diri lebih dulu. Beranjak bangkit.

“Oke. Kita ganti baju, habis itu naik sepeda, ya?” Juna menunduk menunggu jawaban dari Jian.

Jian menghela lagi. “Iya. Terserah.”

“Elo juga,” Juna mengulurkan tangannya untuk Jian gunakan sebagai pegangan saat bangkit. “Baju lo juga basah tuh. Ganti juga.”

Lagi, belum sempat Jian merespon Juna sudah lebih dulu beranjak. Membiarkan Jian menatap punggung lebar yang bergerak menjauh itu, menyadari kalau tetesan air dari celana si Mahardika kini membentuk jejak di atas tanah.

Helaan napas kembali Jian hembuskan, kali ini lebih panjang dari sebelumnya.

“Masalah apa lagi sih astaga...” tanyanya entah pada siapa. “Belum sebulan gue kerja, udah banyak aja masalah. Heran.”

“Jian! Ayo cepetan!!!” jauh di sana Juna berteriak sambil melambaikan tangan.

Karena itu Jian akhirnya bergerak menghampiri yang lebih muda.


“Jangan cepet-cepet terus jangan—ASTAGA ARJUNA DENGERIN GUE DULU!!”

Jian mengumpat sebentar. Barusan ia hendak memperingati Juna untuk tidak mengayuh sepeda terlalu jauh atau memacu kecepatan tinggi, tapi belum selesai mulutnya bicara Juna sudah lebih dulu pergi.

Mengayuh sepeda dengan kecepatan tinggi.

Shit! Udah lama gue gak olahraga, badan jadi kaku!” dengus Jian, susah payah mengejar laju sepeda Juna.

“Juna! Pelan-pelan gak—”

“Dadahh Jian bawelll~~~”

Lagi, Juna melengos dengan menambah kecepatan sepedanya.

Fuck you Arjuna Mahardika!!” sungut Jian keras.

Sampai ke telinga Juna tentunya, makanya Juna sekarang tertawa keras. Menertawakan si manajer yang susah payah menyeimbangi laju sepedanya.

Merasa tidak tega, sebab Jian yang terlihat ngos-ngosan, akhirnya Juna berhenti di pinggir. Jian ikut menepi, langsung menarik napas dengan rakus.

Begitu menoleh pada Juna, si Nataprawira dengan mata melotot berseru. “LO TUH—Haaahhhhhh, fuck capek banget!”

Juna tertawa. “Apasih, baru segitu udah kepayahan.” komentarnya.

Jian melotot. “Diem! Gue tuh udah lama gak olahraga, sibuk menyesuaikan diri sama lingkungan kerja yang baru.”

“Alasan...” Juna mendecih, langsung direspon tonjokan pelan di lengannya dari Jian. “Ahahaha bercanda doang Ji, gak usah baper.”

“Diem deh, denger lo ngomong gue makin kesel.” sungut Jian.

Juna tertawa pelan. “Yaudah lo di sini aja, gue mau lanjut sepedahan. Janji kali ini gak akan jauh-jauh.”

“Awas aja lo kalo bohong, besok-besok gue iket pake rantai kalo keluar.” ancam Jian.

“Emangnya gue anjing????”

“Tingkah lo kaya anjing soalnya,” cetus Jian.

Biasanya Juna akan merespon dengan nada kesal, tapi Juna malah merespon dengan tawa kecil.

“JANGAN JAUH-JAUH YA!” teriak Jian.

“IYA DASAR MANAJER BAWEL!!” Juna balas berteriak.

Menjelang sore Jian habiskan untuk memantau Juna yang mengayuh sepeda sambil tertawa lepas—entah karena alasan apa cowok itu tertawa, Jian tidak tahu.


“Lo mau gue anter pulang kemana?” tanya Jian, melirik Juna yang duduk di kursi samping kemudi.

Sejak tadi sibuk berkutat dengan gawainya.

“Ke dorm atau apartemen?” tanya Jian lagi.

“Hmm..,” Juna berdeham. “Ke tempat lo aja deh, gimana?”

Jian mendelik. “Tempat gue? Maksudnya???”

“Lo tinggal dimana? Masih sama orang tua?” alih-alih menjawab Juna memberikan pertanyaan yang lain.

“Orang tua gue gak di sini, ada di luar kota.” jawab Jian. “Gue anak rantau sih,”

Good, gue ikut lo pulang aja ya kalo gitu.” putus Juna.

“LAH KOK GITU?????!!!!” Jian merespon heboh.

Juna terkekeh. “Gue lagi bosen sama suasana dorm atau apartemen.”

“Bosen gimana????”

“Ya gitu, pokonya gue mau ikut lo ya, Ji.”

Jian menghela napas panjang. “Hadehhhhhh bisa gak sih luuu gak ngerepotin gue sehariiii ajaa????” candanya kemudian.

Syukur Juna menangkap canda Jian dengan baik. Sebab Juna sambil tertawa membalas, “eheheheheh hadehhhhh kayanya gua gak bisa dahhh gak ngerepotin elu sehariiiii ajaaa...”

Harusnya Jian emosi.

Tapi yang terjadi setelahnya adalah keduanya yang sama-sama tertawa.

Sadar tidak akan mendapat respon dari Juna lewat pesan singkat, dengan sangat amat terpaksa Jian menghampiri sang vokalis Orenji.

Wajah yang semula datar kini tersenyum lebar, Jian berdiri mendekati kerumunan yang mengoceh membicarakan Juna. Ah, memotret juga.

“Maaf... tolong untuk tidak mengambil gambar artis kami. Mohon maaf, tolong beri ruang pribadi untuknya.” ujar Jian ramah, senyumnya tidak luntur sampai seseorang tiba-tiba mengambil gambar dirinya sendiri.

“Kak Manajer ganteng deh!” seru si pengambil gambar.

Jian terkejut sebentar tapi langsung berhasil menguasai wajahnya, kembali tersenyum lebar.

“Tolong ya, jangan memotret lagi. Tolong kerjasamanya...”

Selesai memberi peringatan Jian menghampiri Juna yang hanya mengerjap dengan wajah datar.

“Elo kenapa sih?” tanya Jian setelah duduk di sebrang Juna.

“Gak papa,” jawab Juna malas.

“Terus ngapain di sini??” tanya Jian lagi.

Juna menoleh, agaknya kesal Jian terus saja bertanya padanya. “Gabut. Gue bosen di dorm makanya keluar.” sahutnya sinis.

“Harusnya lo ngomong sama gue,”

“Ngapain, kan sekarang hari libur.”

“Tetep aja. Toh member lain yang keluar juga kasih kabar sama gue, biar kalau ada sesuatu gue gak panik.” jelas Jian.

Juna hanya mengedikkan bahu acuh. Lalu kembali lanjut melamun.

Jian mendelik dan menatap Juna aneh. Beneran deh baru kali ini Jian ketemu sama orang seaneh Juna.

“Lo ada rencana keluar gak sih?” tanya Jian lagi.

“Gak.”

“Keluar dadakan?”

“Iya.”

“Terus lo gabut?”

“Iya.”

“Mau—”

“Elo bisa diem aja gak sih? Jangan nanya-nanya mulu, berisik.” sembur Juna, menyela Jian yang hendak menawarkan pertimbangan pada si Mahardika.

Jian mengerjap kaget. “Sumpah,” ia berusaha menahan kesal di dada. “Seenggaknya kalau mau keluar pakai penyamaran dikit, biar gak dikerubungin orang gini. Inget lo itu public figure.”

“Hm..”

Jian berdecak. Tangannya sedikit menghentak meja sampai Juna sedikit bergidik kaget.

“Ikut gue,”

“Ha?”

“Lo bilang gabut, butuh hiburan kan? Ayo ikut gue, kita cari tempat hiburan.” ajak Jian.

“Kelab malam maksud lo?” tebak Juna.

Jian melotot. “Kagak lah!!!”

“Terus?”

“Ke pantai mau gak?”

Juna mendelik. “Kan lusa kemarin baru dari kawah putih????”

“Ya gak papa, pantai di sini kan beda sama kawah putih.” Jian sudah bangkit berdiri, menunggu respon dari Juna. “Mau gak?”

Juna ingin sekali menggeleng tapi gerak tubuhnya justru sebaliknya. Ia ikut beranjak dan malah menyeret Jian keluar dari cafe—meski harus susah payah sebab kerumunan fans.

“Bener ya ke pantai?” tanya Jian sebelum melajukan mobil miliknya.

Juna memandang Jian. “Gue pengen naik sepeda deh...” gumamnya pelan.

Meski pelan di dalam mobil hanya ada mereka, tentu, Jian mendengarnya dengan jelas. Maka dari itu Jian segera melajukan mobilnya.


“Nanti dulu,” Jian mencekal tangan Juna yang hendak keluar mobil.

Juna menoleh, dengan wajahnya seolah berkata 'Kenapa sih?'

Jian menarik Juna mendekat lalu memakaikan topi warna hitam di kepala Juna. “Biar elo gak langsung dikenalin gitu aja,” katanya sambil merapikan hoodie bertuliskan Essentials yang Juna gunakan. Menarik tudungnya ke atas kepala.

“Gue tau lo risih,” Jian menatap Juna langsung pada iris matanya. “Tapi ini harus, demi mencegah sesuatu yang gak diinginkan.”

Juna mengangguk kecil lalu keluar dari mobil dengan gerakan kaku, membuat Jian yang melihatnya sempat mendelik heran.

“Mau ngapain dulu?” tanya Jian saat keduanya berjalan menuju bibir pantai.

Juna gak menjawab tapi mempercepat langkah kakinya, sampai di bibir pantai Juna berhenti. Membiarkan ombak menyapu kedua kakinya.

Juna menunduk, sepatunya kini sudah basah oleh air laut. Ia kemudian menoleh ke belakang, menatap Jian yang berhenti beberapa meter darinya.

Si Mahardika memiringkan wajah, lalu mulutnya bergerak, “boleh?” dengan mata yang kemudian melirik air laut.

Jian mendengus, tapi sudut bibirnya berkedut. Menahan senyum. Tak lama kepalanya mengangguk. “Jangan masuk terlalu jauh,” seru Jian.

Dapat lampu hijau Juna segera berlari menerjang ombak yang datang, membiarkan air membasahi setengah kakinya.

Angin berhembus kencang, menjatuhkan tudung hoodienya, Junkyu memegangi topi hitam Jian, tapi tak menyerah untuk masuk lebih jauh ke laut.

Entahlah. Juna suka sensasinya saat ombak menyapu badannya, rasa dinginnya seolah meruntuhkan sesuatu yang mengganjal di dadanya. Makanya, tanpa sadar Juna melangkah terlalu jauh.

Tubuh semampai itu kini dihempas ombak yang agak besar, Juna hampir terbawa kalau saja dua tangan tidak merengkuhnya dengan erat.

Juna menoleh. Bola matanya menangkap wajah cemas dan khawatir Jian. Iya, Jian yang menahan badannya agar tidak terbawa ombak.

“Udah gue bilang, jangan masuk terlalu jauh.” kata Jian.

Juna tersenyum. Senyum kecilnya lambat lain semakin melebar, dan senyum lebar itu kini dibarengi dengan tawa.

Tawa yang semakin mengeras.

Jian merinding. Pasalnya, suara tawa keras itu menguap dalam sedetik. Digantikan dengan isakan tangis yang mati-matian di tahan.

Jian tidak mengerti. Ada apa?

Kenapa Juna tiba-tiba menangis???

Meski bingung, Jian akhirnya memutar badan yang lebih muda. Kali ini merengkuh Juna dengan benar, membiarkan Juna menjadikan bahunya sebagai sandaran wajahnya.

Tangan si Nataprawira tidak diam, justru memberi elusan dan tepukan pada punggung Juna yang mulai bergetar lembut.

Jian ikut menyandarkan dagu pada pundak lebar Juna, kemudian berbisik di telinga Juna. “Ssstt, jangan ditahan. Nangis aja. Keluarin semuanya.”

Tidak sampai tiga detik isakan tangis yang mati-matian Juna tahan kini keluar.

Jian meringis saat isakan pilu itu menyapa indra pendengarannya, yah meski tersamarkan dengan bunyi deburan ombak.

Tapi satu yang Jian simpulkan, sesuatu telah terjadi.

Sesuai permintaan Daniargo—atau yang akrab disapa Dani—Jian sampai di Honey Bomb pukul sepuluh kurang lima.

Jian pikir Dani mungkin masih di jalan, tapi perkiraannya meleset sebab Dani sudah duduk di salah satu meja di sudut cafe. Dari jauh Jian bisa lihat pakaian sang atasan terlihat santai—meski aksesoris di lehernya tetap melimpah ruah—tampak sibuk dengan tab di tangannya.

“Hoi, udah nunggu lama?” sapa Jian ketika ia sampai di meja yang Dani tempati.

Dani mendongak, tersenyum lebar sambil membenarkan letak kacamatanya yang melorot sampai pangkal hidung. “Engga, baru lima menit gue duduk kok.”

“Udah pesen?” tanya Jian.

Dani menggeleng. “Sengaja nunggu lo biar sekalian,”

“Americano kaya biasa kan? Ada tambahan?”

“Waffle coklat dong, gue lagi pengen sesuatu yang manis.” balas Dani.

“Oke.” Jian yang belum sempat duduk itu kembali beranjak ke meja kasir, memesan minuman untuknya dan Dani.

“Jadi... ada masalah apa nih?” pertanyaan dari Dani membuka pembicaraan. Yang lebih tua kini melepas kacamatanya, menaruh benda berbingkai bulat itu ke atas meja.

“Kenapa juga Jiandra Nataprawira yang gue kenal penyabar tiba-tiba minta resign setelah seminggu lebih kerja???”

Jian menghela napas. Bola matanya bergerak menghindari kontak mata dengan Dani, diam-diam tengah merancang kalimat karena jujur Jian tidak tahu mau menceritakan apa.

“Bertahun-tahun loh Ji, elo bertahan jadi budak korporat yang ditekan sana-sini. Masa baru seminggu kerja jadi manajer Orenji lo mau resign juga?” Dani mengetuk meja dengan jari telunjuknya, berusaha menarik atensi yang lebih muda.

“Ini lo gak mau cerita apapun sama gue????” tanya Dani bingung. “Anak-anak kayanya gak mungkin berbuat keterlaluan sih, terus ada apa nih?”

“Gak tahu.” akhirnya Jian bersuara. Helaan napasnya terdengar berat dan kasar. “Kayanya gue agak kaget dengan perubahan lingkungan kerja, lo tahu sendiri kan dulu gue duduk di depan komputer, berurusan sama dokumen.”

“Sekarang gue jadi penengah artis sama pihak lain,”

“Tapi elo itu Jiandra, orang yang gue tahu paling bagus saat berinteraksi sama orang banyak.” sahut Dani. “Gue minta lo jadi manajer Orenji bukan tanpa alasan Ji, gue tahu elo gimana. Dan gue juga ngerasa kerjaan itu cocok buat lo.”

“Mungkin.” Jian meraih gelas lemon tea miliknya, menyesap cairan coklat itu sedikit demi sedikit. “Mungkin gue belum terbiasa.”

“Gue wajarin sih, ini minggu pertama lo kerja. Dan gue denger dari Yosi, udah ada insiden aja. Juna ya????”

“Iya, sumpah.... gak tahu perasaan gue doang atau emang dia anaknya ngeribetin???” gelas bening itu kembali Jian letakkan di atas meja. “Tapi si Juna ini emang anaknya rada sensitif, iya gak?”

Dani yang tengah memotong waffle coklat miliknya menarik senyum. “Juna itu spesial, Ji. Dia spesial banget buat Orenji, terutama gue.”

“Semua member udah gue anggep adik sendiri, tapi kasusnya Juna dia beneran udah kaya adik kandung buat gue.” Dani mulai bercerita, dan Jian kini menumpukan punggungnya pada kursi. Menyimak cerita singkat Dani soal si pemuda Mahardika.

“Anaknya tertutup banget, dan gak terbiasa sama orang asing atau orang banyak. Lebih senang sendiri dibanding keluar rumah kumpul sama teman-teman. Dia juga kurang percaya diri—”

“Tapi setiap di atas panggung dia justru yang bersinar paling terang,” potong Jian.

Benar, Jian selalu melihat Juna bersinar paling terang di atas panggung. Tampak begitu percaya diri setiap kali memegang mic, bahkan tanpa canggung berinteraksi dengan para penonton. Agaknya berbanding terbalik dengan yang Dani bicarakan.

“Panggung itu sebuah pengecualian.” Dani menaruh garpu di atas piring waffle, beralih menyesap sedikit americano miliknya.

“Terlepas gimana sensitifnya Juna, gue rasa dia lahir untuk menyanyi.”

Jian menganggukkan kepala.

“Bentar, kenapa malah bahas Juna???? Gue ngajak lo ketemuan kan mau ngobrol masalah elo, Ji.” heran Dani kemudian, tersadar kalau mereka agak melenceng dari tujuan awal.

Jian terkekeh pelan. Tiba-tiba teringat satu hal,

“Sorry nih Dan, gue mau nanya. Orenji tuh dapet alokasi dana sendiri gak sih?” tanya Jian.

“Alokasi dana gimana???” tanya Dani balik, tak paham.

Jian mengusap lehernya dan tersenyum canggung. “Gue tahu elo kasih gaji gue gak sedikit tapi agaknya lama-lama gue bisa miskin kalo terus-terusan diporotin anak-anak...”

Tangan Dani yang hendak menyuap sepotong waffle berhenti di udara. Dahi si Bartakadira mengkerut sebentar, tapi tiba-tiba langsung tertawa keras.

“Ahahahahahah astagaaaa ahahhahahahaa.....” yang lebih tua tertawa begitu puas sampai garpu di tangannya kini terjatuh.

“Jadi...” Dani menarik napas, berusaha meredakan tawanya. “Elo minta resign karna kesel diporotin anak-anak?????”

Meski malu, Jian terpaksa mengangguk. Ia buru-buru memalingkan wajah, mengindari wajah Dani yang kembali tertawa puas.

“Astaga Ji.... kenapa lo gak terus terang aja sih?? Ahahahaha....”

“Gue kira mereka cuma sekali aja kaya gitu. Gak semua suka morotin gue sih, si Kevin Aljhani nih, ngeselin banget tuh anak. Gara-gara dia duit gue abis lima juta dalam sehari.” curhat si manajer baru Orenji.

“Kevin emang gitu, usil.”

Dani mengeluarkan dompetnya, tidak tanggung-tanggung menyodorkan dua kartu warna hitam pada Jian.

“Bawa nih, sorry gue lupa kasih ini pas hari pertama lo kerja.” kata Dani.

“Anak-anak emang udah terbiasa selalu gue bayarin sewaktu gue masih jadi manajer dulu,”

“Ini apa gak berlebihan???” tanya Jian, menunjuk dua kartu yang disodorkan Dani.

“Gak. Yang satu kartu kredit pake aja buat bayarin anak-anak, satu lagi kartu pribadi gue. Elo pegang aja, itung-itung gantiin lima juta lo yanh habis dalam sehari.”


Satu jam setelah tiba pertama kali di Honey Bomb akhirnya Jian berniat pergi.

Dani sudah pamit lebih dulu sebab ada urusan dengan kantor, tadi Jian sengaja tinggal lebih lama, katanya gabut juga di hari libur begini.

Terakhir Jian ingat suasana cafe masih tenang, tapi ketika Jian hendak pergi suasana berubah sangat ramai. Dipenuhi dengan anak hawa, bahkan sampai di luar pintu masuk pun sesak dengan orang banyak.

Jian mendelik bingung. “Ada apa sih?”

Ketika ia berjalan lebih jauh barulah Jian temukan penyebabnya.

Di tengah cafe Jian melihat Juna. Iya Arjuna si vokalis Orenji.

Duduk santai tanpa penyamaran, membiarkan orang-orang memotret nya secara terang-terangan.

Jian menghela napas. “Hadehhhhh....”

🐯 : “Sepatu kamu kenapa?” 🐷 : “Oh ini—oh! Hai Yoshinori!” 🐯 : “Iya hai, sepatunya kenapa?” 🐷 : “Gak tahu tiba-tiba jebol nih.” 🐯 : “Kok bisa?” 🐷 : “Gak tahu, padahal baru beli seminggu yang lalu.” 🐯 : “Itu merk mahal, harusnya awet.” 🐷 : “Ahahaha harusnya gitu ya...” 🐯 : “Nih, kamu pakai sendal saya aja kalo gitu.” 🐷 : “Eh???” 🐯 : “Kebetulan tadi saya dari sekret mapala, ngambil sendal. Pake nih.” 🐷 : “Makasih ya Yoshinori...” 🐯 : “Yoshi,” 🐷 : “Huh?” 🐯 : “Panggil Yoshi aja,” 🐷 : “Oh—iya, makasih ya Yoshi...”

“Jadi gimana, udah tau mau kemana?” tanya Jian saat mereka berkumpul untuk sarapan.

“Semalem gue sama Mahes udah search tempat-tempat wisata, tapi ya gitu, kebanyakan cuma buat spot foto aja.” jawab Kevin. “Gue pribadi sih gak begitu tertarik, mending sekalian ke kawah putih aja gak sih?”

“Dari kota ke kawah putih bisa makan waktu dua jam,” Angkasa yang baru menyuap sepotong roti menyahut pelan.

“Agak jauh, tapi bakal terbayar sama pemandangan di sana. Iya gak sih?” tanya Mahesa, si mungil mendorong piring isi potongan buah ke arah Juna.

“Kak Juna makan buah juga jangan lupa,”

Juna menoleh, tersenyum tipis. “Oh makasih ya Mahes,”

Mahesa mengangguk sambil menyuap satu potong buah ke dalam mulut.

“Gimana Ji?” tanya Yosi pada Jian.

Jian mendelik. “Kok tanya gue?? Terserah kalian mau kemana, gue cuma nyupirin kalian aja kan.” sahutnya.

“Ya maksud gue lo sanggup gak nyetir jauh?” balas Yosi. “Tapi kalo lo capek bisa gantian sama yang lain sih,”

“Santai aja kalo soal nyetir gue bisa, rembukin aja mau kemana.”

“Udahlah kawah putih aja, dari pada gak jelas.” sahut Kevin. “Sekali-kali main jauh, toh kesempatan kaya gini gak bakal datang dua kali. Iya gak?”

“Yaudah. Checkout sekarang aja, biar sampai tujuan gak siang banget.” saran Angkasa.


“Jaket tebel yang waktu itu gue pinjemin mana?” tanya Jian pada Juna.

Pria kelahiran empat belas maret itu berjalan mendekati Juna, terpaksa menyentuh lengannya saat si Mahardika tak juga memberi respon.

“Jun!”

Juna terkesiap. “Hah! Apa?”

“Jaket tebel yang waktu itu lo pake ada di mana?” tanya Jian.

“Di mobil lo lah,” Juna mendelik. “Kan itu punya lo kok nanya gue???”

Jian berdecak pelan. “Kenapa gak lo bawa aja sih?” lalu terpaksa melepaskan jaket tebal yang ia pakai, menyerahkannya pada Juna. “Nih, pake.”

“Hah?” Juna clueless.

“Daerah Ciwidey dingin, lo kan orangnya gak kuat dingin. Lo pake aja.” setelah berkata begitu Jian melenggang lebih dulu ke arah mobil.

Juna menatap jaket tebal milik Jian di tangannya. “Apaan sih... emangnya gue selemah itu apa???”

Si Mahardika tidak punya pilihan lain, dia memeluk jaket tebal itu dan masuk ke dalam mobil dengan bibir mengerucut.


Para personel band Orenji langsung berpencar ketika telah sampai di Kawah Putih.

Kevin sudah lebih dulu menyeret Angkasa yang lengkap dengan kamera kesayangannya, yang lebih kecil diseret ke arah jembatan dan dipaksa dijadikan tukang foto dadakan. Untungnya Angkasa laki-laki yang baik, meski nyatanya terkadang Angkasa sangat ingin melempar si pemuda Aljhani ke dalam kawah.

Sementara Kevin sibuk bergaya di depan kamera, Yosi dan Mahesa tidak berhenti menatap pemandangan alam. Yosi yang tidak berhenti menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan, dan di sebelahnya ada Mahesa yang jongkok dengan tangan memegang ponsel, berupaya memotret apapun yang menurutnya menarik.

Beda lagi dengan Arjuna. Si Mahardika berdiri tak jauh dari tempat Yosi dan Mahesa berada, tidak ada yang benar-benar dilakukan kecuali sesekali menunduk dan menendang batu kerikil dengan bibir mengerucut.

“Kenapa sih?” entah sengaja atau tidak Jian berbisik di telinga Juna, yang jelas Juna terkejut sampai refleks menoleh.

Wajah keduanya kini sejajar dengan jarak kecil, diam-diam Juna merasakan hembusan napas hangat Jian menerpa wajahnya.

“N-ngagetin aja!” Juna terbatuk kecil sambil melangkah mundur, memalingkan wajah. “Ngapain sih?!”

“Elo kenapa deh, keliatan gak semangat. Sakit?” tanya Jian.

Juna mendelik sebal. “Gue udah sembuh! Jadi stop nanyain 'lo sakit?', gue gak selemah itu!!” katanya bersungut-sungut.

Jian terkekeh sebagai respon.

“Gak ikut foto-foto sama Kevin?” tanya Jian lagi.

Lalu dua orang itu sama-sama memandang ke arah jembatan, dimana Kevin tengah sibuk berpose dan Angkasa sibuk memotret.

“Lagi gak mood foto-foto,” jawab Juna.

“Kenapa?”

“Kepo. Kenapa sih lo nanya-nanya terus?!” Juna kini menoleh dan menatap sang manajer dengan tatapan selidik. “Sana, jangan cuma ngobrol sama gue doang.”

Setelah berkata begitu Juna memilih untuk melengos, menghampiri Yosi yang nampak berkaca lewat laya ponselnya.

“Eh, Jun, kebetulan. Fotoin gue dong!” kata Yosi, belum sempat Juna mengiyakan si leader Orenji sudah lebih dulu menyodorkan ponselnya.

Juna menerima ponsel berlogo apel digigit itu dan mengambil beberapa gambar Yosi dengan kawah sebagai background.

“Mahes lagi apa?” tanya Jian, ikut berjongkok di samping pemuda Bramantyo.

Mahesa menoleh sekilas. “Lagi milih kerikil yang bagus nih kak,”

“Buat apa?”

“Mau dibawa pulang, buat kenang-kenangan.” jawab Mahesa dengan senyum yang merekah lebar.

Jian tertawa dan tidak bisa menahan tangannya untuk tidak mengusak rambut Mahesa, karena terlalu gemas. “Kenapa harus batu kerikil sih, kan bisa beli souvenir nanti di luar.”

“Itu buatan, yang ini akan alami Bang.” Mahesa menunjukkan satu batu kerikil di tangannya pada Jian. “Lagian bentuknya beda sama batu kerikil yang ada di Jakarta.”

Jian lagi-lagi tertawa, kali ini suara tawanya terdengar lebih keras.

Hingga sampai ke telinga Arjuna yang diam-diam melirik ke arah mereka.

Bibirnya makin mengerucut.

“Jangan cemberut gitu dong, senyum!” seru Yosi.

Juna melihat ke arah kamera ponsel Yosi, alih-alih tersenyum Juna justru membiarkan Yosi mengambil potret dirinya berdiri tegak, berwajah sebal,serta bibir mengerucut dengan kawah putih sebagai background.

“Yosi...” panggil Juna kemudian.

“Hm? Kenapa?”

“Kita kapan pulang sih????”

“Baru aja kita sampe, kok pulang??”

Juna berdecak. “Tau gini mending gue balik duluan sama Cak Kusnan...” gumamnya.


Jian tiba-tiba pusing.

“Totalnya dua juta lima ratus empat puluh lima ribu, Mas.” ujar si petugas kasir.

Dengan lemas Jian membuka dompetnya. “Debit bisa gak Mbak?”

“Bisa Mas,” Jian langsung menyodorkan kartu atm miliknya.

Tadi, niat awal Jian ingin membelikan beberapa souvenir untuk Mahesa. Eh, Kevin Aljhani si biang kerok-kalau kata Jian-tiba-tiba ribut minta ditraktir juga.

Yasudah Jian terpaksa mentraktir semua personel Orenji. Ya gitu, tagihannya membengkak dengan sebagian besar berasal dari souvenir mahal yang Kevin beli.

'Emang si bocah Aljani ini nyebelin pake banget, fix, masuk ke daftar hitam!' batin Jian

Pusing di kepala Jian—yang semula sudah pudar—kini kembali saat mobil mampir di salah satu outlet oleh-oleh makanan khas Bandung.

“Bang Jian yang traktir kan?????” tanya Kevin, tersenyum lebar sambil menaikk turunkan alisnya.

Jian baru saja ingin menolak tapi, “Apa? Bang Jian yang traktir??? Waahhh asikkkk~~” si mungil Mahesa sudah terlanjur mendengar dan tersenyum begitu cerah.

Jian tidak berkutik dibuatnya. Terpaksa mengangguk dengan gerakan kaku.

“Totalnya berapa ya, Mbak?”

“Dua juta seratus lima ribu, Mas.”

Jian menahan napas, menoleh ke arah Kevin yang tampak sibuk melihat-lihat etalase coklat. “Hhhhhhh!!!” lalu napasnya dihembuskan dengan kasar.

“Pakai debit ya, Mbak.”

Entahlah sepertinya kartu atm Jian akan terus berkurang nominalnya.