setetesmatcha

Pantry dan romansanya di ujung hari

Setelah hampir seharian acara outing kantor, tibalah kalanya sang mentari beristirahat, digantikan dengan binar bulan yang hias gelapnya gulita malam, semua orang bersiap dengan jaket yang membungkus badan agar tetap hangat sebab angin malam yang cukup membuat sekujur tubuh merinding. Layar ponsel menunjukan jika udara malam itu mencapai 19 derajat.

Pukul sembilan, setelah makan malam, satu persatu mulai ke luar, menuju halaman villa, beberapa orang terlihat sibuk menyiapkan acara paling akhir, api unggun. Rasanya tidak cukup jika tidak ada gitar. Dan dilaksanakanlah agenda terakhir mereka. Lantunan lagu terdengar beriringan dengan petikan gitar.

Entah berapa lama mereka bernyanyi dan itu cukup membuat Wonwoo haus. Lantas ia berdiri, melangkah menuju dapur villa yang ternyata disana sudah ada seniornya sedang membuat kopi. Jarinya mengapit sebuah rokok yang sepertinya baru saja ia sesap beberapa kali sebab batang nikotin tersebut terlihat masih panjang.

“Eh, Mas Mingyu.” Sosok yang disapa tersenyum. Wonwoo cukup kikuk karena ia bingung harus membicarakan apa lagi.

“Mas gak ikut nyanyi-nyanyi?” Tanya Wonwoo akhirnya berbasa-basi.

“Bikin kopi dulu. Kamu sendiri kenapa kesini?” Mingyu menyandarkan tubuhnya pada pantry sambil menyesap kopinya.

“Mau ambil minum.” Mingyu menganggukkan kepalanya.

Hening. Mingyu masih di tempatnya sambil sesekali menyesap batang nikotinnya dan Wonwoo juga hanya diam di tempatnya. Suasana begitu canggung hingga Wonwoo sedikit batuk sebab asap rokok Mingyu

“Maaf maaf.” Mingyu langsung mematikan rokok yang masih panjang itu dan membuat Wonwoo refleks menggelengkan kepalanya.

“Eh, gak apa-apa, Mas. Saya juga mau ke depan lagi kok.” Wonwoo merasa tidak enak.

“Kamu gak capek?” Tanya Mingyu. Wonwoo bingung harus jawab apa, karena dia masih terhitung anak baru disana. Jika ia berkata lelah, ia takut jika Mingyu akan menilainya negatif. Namun, tampaknya Mingyu mengerti kebingungan Wonwoo, senyum kecil jadi reaksinya.

“Gak apa-apa kalau capek, saya juga capek sebenernya, makanya kesini dulu.” Ucapan Mingyu membuat Wonwoo tertawa malu.

“Jujur iya, Mas. Saya juga capek, energinya udah kekuras.” Mingyu terkekeh, lantas mengacak surai hitam Wonwoo.

“Ya udah disini aja dulu sama saya.” Anggukan dijadikan respon oleh Wonwoo. Keduanya terdiam tanpa ada kata yang terucap.

Selama beberapa menit hanya ada suara samar nyanyian dari depan sana namun tetap tak bisa menyamarkan suara nafas panjang yang keluar dari mulut Wonwoo dan membuat Mingyu menoleh.

“Bosen, ya?” Tanya Mingyu. Wonwoo gelagapan sembari menggelengkan kepalanya.

“Gak kok, Mas. Beneran gak bosen.” Jawab Wonwoo.

Kalau boleh jujur, Wonwoo terlalu gugup berada dalam satu ruangan dengan senior yang selalu ia kagumi dari hari pertama ia bekerja. Bagaimana Mingyu yang selalu siap menolong kala Wonwoo butuh bantuan. Bagaimana Mingyu yang selalu sabar menjawab ketika Wonwoo memiliki banyak pertanyaan. Bagaimana kedua sudut bibir Mingyu yang naik dengan berbagai macam apresiasi dan afirmasi yang keluar dari bibirnya saat Wonwoo berhasil melewati masa probation.

Bahkan setelah tiga bulan Wonwoo resmi bekerja, Mingyu masih selalu membantunya. Tanpa sadar, Wonwoo tersenyum kecil mengingat setiap kebaikan Mingyu.

“Kenapa?” Tanya Mingyu yang menyadari jika juniornya itu tersenyum.

“Iya? Gak apa-apa, Mas.” Jawab Wonwoo yang wajahnya menjadi merah.

“Kok kita jadi canggung gini, biasanya juga santai.” Kekeh Mingyu. Wonwoo terdiam, lalu kekehan keluar.

Since we never had time for us alone, perhaps?” Netra Mingyu menatap Wonwoo untuk beberapa detik.

Now we have. Just two of us. Alone.” Balasan Mingyu sudah lebih dari cukup untuk menciptakan rona merah muda pada pipi Wonwoo.

“Eh... Maksudnya gak gitu. Gimana, ya...” Wonwoo semakin gelagapan dan menimbulkan tawa gemas dari Mingyu.

“Terus maksudnya gimana? Gak seneng, ya, berdua aja sama saya?” Goda Mingyu, tatapannya tidak ia lepas dari sosok berkaca mata di hadapannya itu.

“Eh... Gak juga. Gak gitu, Mas.”

“Padahal saya seneng.” Mingyu menyesap kopinya dan menatap ke arah jendela dapur.

“Seneng kenapa, Mas?”

Ada hening untuk beberapa saat. Wonwoo menatap Mingyu bingung sementara yang ditatap masih diam lantas kembali menyesap kopinya dan menatap ke arah Wonwoo.

Alone with you.” Mingyu tersenyum.

Detik itu Wonwoo menyadari jika rasa yang ia punya pada Mingyu bukan hanya sekedar kagum, tapi sudah melebihi kapasitasnya. Tanpa ia sadari, selalu ada letupan kembang api dalam dirinya ketika lengkung senyum itu tertuju untuknya.

Wonwoo telah jatuh pada sosok Mingyu.

Seakan jarum jam berhenti berkutik. Samar suara nyanyian tak lagi terdengar. Semesta berhenti berotasi. Seluruh atensi Wonwoo terfokus pada Mingyu. Hanya Mingyu.

“Kita kayaknya gak pernah ngobrol hal lain di luar kerjaan, ya?” Tanya Mingyu memecah keheningan.

“Pernah, tapi hal-hal basic aja, Mas.”

“Kalau gitu saya tanya-tanya di luar kerjaan boleh?”

“Selama gak terlalu privasi, boleh kok, Mas.”

“Kalau nanya kamu udah ada pacar atau belum itu termasuk privasi atau bukan?” Wonwoo tersedak ludahnya sendiri saat mendengar pertanyaan Mingyu.

“Bukan privasi, dan belum punya.” Jawab Wonwoo.

Thanks.” Wonwoo mengerutkan keningnya bingung.

“Buat apa, Mas?”

For give me the answer I wanna hear.” Wonwoo tersipu mendengarnya sementara Mingyu tersenyum lebar.

“Kalau Mas udah ada?” Tanya Wonwoo.

“Udah.” Jawaban Mingyu membuat Wonwoo mengerjapkan matanya.

“Udah punya kalau kamu mau.” Dan Wonwoo hanya melongo tanpa mengedipkan matanya. Kepalanya rasanya pusing, wajahnya panas, jantungnya memompa darah lebih cepat dari biasanya hingga ia merasa ingin meledak.

“Gimana?” Tanya Mingyu.

“Apanya?” Mingyu terkekeh karena Wonwoo terlihat salah tingkah.

“Mau gak?” Mingyu kembali bertanya.

“Mau apa?” Namun Wonwoo membalasnya dengan pertanyaan.

“Jadi pacar aku?” Dan Mingyu bertanya lagi.

“Aku?” Dan lagi-lagi Wonwoo membalikkan pertanyaannya lagi.

Sepertinya akan selalu ada lonjakan endorfin, serotonin, dan berbagai hormon kebahagiaan lainnya kala Mingyu membagi waktu hanya dengan Wonwoo. Mingyu tertawa lagi dan perlahan mendekat ke arah Wonwoo yang sebenarnya tidak terlalu jauh jaraknya.

“Ini saya cuma mau confess dulu, gak apa-apa kalau belum mau jawab atau kamu mau nolak. No hard feeling.” Ucap Mingyu.

“Wonwoo...” Jantung Wonwoo rasanya semakin berdegup dengan kencang.

“Iya, Mas?” Kali ini jantung Mingyu yang berdesir mendengar betapa lembutnya suara Wonwoo.

Despite how corny it may seem, I have been drawn to you ever since our first meeting. You've been successful in making my heart beat faster.

Wonwoo mematung mendengar pengakuan Mingyu. Jangan tanyakan bagaimana debaran jantungnya saat ini.

“Setiap kamu ada dalam radar saya, rasanya mau berhentiin waktu sejenak buat habisin waktu sama kamu. And I just understand when people say that time goes faster when you spend your time with someone precious. Saya paham setelah ketemu kamu. And that's why I wil always cherish every moment with you.

“Kalau liat kamu senyum, gak tau kenapa selalu nular, saya pasti ikut senyum juga. It's given me bliss to see you smile. It's probably the most adorable smile I've ever seen, and I want to see it every day. I want to be the one who creates that beautiful curve on your lips.

Once I saw you sad it's also make me hurt. I will never I won't stop you from being sad, it's normal, dan Tuhan juga emang ciptain sedih supaya kita tau gimana rasanya bahagia. But, at least, when you sad, I'll come to hug you tight, give you a comfort words and make sure everything will be fine. Gak apa-apa kalau kamu mau rayain kebahagiaan kamu sendiri, tapi tolong bagi sedihnya kamu sama saya. I won't let you feel it alone.

Tak sekalipun Mingyu memalingkan pandangannya dari netra Wonwoo. Jika ditanya bagaimana perasaan Mingyu saat ini, tentunya ia gugup setengah mati. Meskipun ia terlihat tenang, sebenarnya ada hati dengan gundah yang menyerang. Meskipun senyumnya terpatri dengan lembut, sebenarnya ada rasa takut yang membalut dengan asa yang terus terajut.

“Sebentar, Mas...” Otak Wonwoo seperti kehilangan fungsinya. Lidahnya terasa kelu. Segala ototnya terasa lemas.

“Mas... Gak lagi ngigo kan, ya?” Mingyu tersenyum dan menjawabnya dengan sangat lembut, “gak ngigo, Wonwoo. 100% sadar.” Jawab Mingyu.

“Mas, sebelumnya makasih udah jujur.” Wonwoo menarik nafasnya. Mencoba menetralkan debaran jantungnya.

“Boleh gak ngomongnya pake 'aku' aja gak pake 'saya'? Soalnya terlalu kaku kalau buat orang pacaran.”

Netra Mingyu membelo mendengar ucapan Wonwoo, sementara orang yang mengucapkannya hanya terkekeh dan melanjutkan ucapannya.

“Mas, jujur aku juga kaget waktu kamu bilang tertarik sama aku di hari pertama kita ketemu, because it means we've had mutual feelings since day one. I do give all my attention to you.” Wonwoo menjeda kalimatnya, terlalu gugup.

“Ketika Mas jelasin ke aku tentang kerjaan atau ketika Mas presentasi di depan semua orang atau waktu Mas serius dengerin orang-orang diskusi atau gimana Mas memperlakukan orang-orang, you'll always be the center of my attention. You'll always be the main character in my romantic scenario inside my head.

“Karena Mas udah nyatain perasaan Mas, aku juga mau, biar kita bisa sama-sama rasain gugupnya, sama-sama rasain gimana gelinya kupu-kupu yang sibuk kepakin sayapnya di dalam perut, biar sama-sama rasain gimana lemesnya aku karena semua kalimatnya Mas.” Mingyu senyum dan anggukin kepalanya.

“Mas, aku juga suka Mas Mingyu. Aku suka gimana cara Mas natap aku kalau kita lagi ngobrol. Aku suka waktu mata Mas berbinar setiap kita ngomongin mau makan siang apa. Aku suka ketika Mas menggebu-gebu ceritain film yang baru Mas tonton. Aku suka gimana seriusnya Mas kalau udah bersangkutan sama kerjaan, gimana Mas ngebimbing semua junior dengan sabar.” Mingyu merasakan jika hatinya menghangat mendengar segala ucapan Wonwoo.

“Aku juga suka gimana Mas Mingyu ngasih efek yang udah lama gak pernah aku rasain. Gimana Mas bikin aku deg-degan karena Mas ngusap kepala aku. Gimana Mas bikin aku ngerasa dihargai eksistensinya cuma karena pertanyaan 'kerjaannya lancar?' atau sesederhana nanyain aku makan apa.” Wonwoo mengambil jeda. Rasanya ada banyak sekali untaian kalimat yang ingin ia keluarkan.

“Aku suka gimana Mas bikin aku senyum karena apresiasi dari Mas. Aku suka gimana Mas bikin seluruh otot aku disfungsi karena semua pengakuan Mas ke aku. Aku suka semuanya tentang Mas Mingyu.”

Atmosfer dalam ruangan kecil itu terasa menghangat. Ada rona merah muda yang hiasi kedua pipi, senyum malu yang tak bisa ditahan, netra yang mengisyaratkan jika mereka jatuh cinta.

Satu langkah kecil diambil oleh Mingyu, sementara Wonwoo tetap pada tempatnya. Pinggang ramping Wonwoo didekap. Lantas jemari lentik Wonwoo mengusap pipi Mingyu dengan lembut dan Mingyu mengecupi telapak tangan, setiap jemari panjang Wonwoo, dan punggung tangannya.

“Boleh gak sih... Mas cium kamu?” Wajah Wonwoo semakin merah, namun ia tetap menganggukkan kepalanya.

Mingyu mengangkat tubuh Wonwoo dan mendudukannya di pantry agar tinggi mereka sejajar. Telapak tangannya mengusap pipi Wonwoo. Wajahnya semakin mendekat, dan sekon selanjutnya, ada kedua ranum yang bertemu, saling melumat dengan lembut menyalurkan kasih sayang, memberikan rasa hangat.

Mingyu semakin mendekap pinggang Wonwoo, sementara Wonwoo mengalungkan tangannya pada leher Mingyu.

Bibir mereka saling memagut, merasakan manis yang membuai mereka dengan lembut.

Wonwoo melepas lumatan mereka. Keduanya saling menatap lalu tertawa kecil. Dari jarak sedekat ini, keduanya saling menatap, enggan melepas pandang barang sejenak.

I love you. Even words can't describe how much I love you.” Ucap Wonwoo sembari mengusap pipi Mingyu dengan ibu jarinya.

I'll forever cherish our moment with my soul full of love and my brain filled by you.” Balas Mingyu dengan tangan yang semakin mendekap pinggang Wonwoo.

Dan bibir mereka kembali bertemu, dengan pipi yang bersemu, dan hati yang menyatu.

Dan mereka saling melumat, dengan hangat. Ada raga yang saling terikat, dengan asa yang digenggam erat.

Jam 7:20 Seungcheol udah sampai di apartemen Wonwoo. Setelah dikabarin, gak lama Wonwoo keluar dan segera masuk ke mobilnya Seungcheol.

“Temen kamu mau bareng juga gak?” Tanya Seungcheol.

“Dia sendiri aja katanya.” Jawab Wonwoo.

Setelah itu mereka segera jalan. Wonwoo udah tentuin mau makan dimana dan dia segera kasih tau Shua. Wonwoo juga gak lupa buat kabarin mas dosennya kalau dia udah berangkat.

“Mas besok gak kerja?” Tanya Wonwoo.

“Kenapa? Mau ditemenin? Mau jalan-jalan?”

“Mas, aku tuh nanya, dijawab bukan malah dibales pertanyaan.” Jawab Wonwoo.

“Kalau kerjaan tiap hari juga ada, dek, tapi kalau kamu mau ditemenin jalan atau sekedar ditemenin di apartemen juga Mas bisa samperin kamu.”

“Masa CEO bolos mulu.” Seungcheol terkekeh dengernya.

“Gak bolos mulu. Mas aja kan selalu di kantor kalau gak lagi sama kamu.” Wonwoo cuma anggukin kepalanya aja denger jawaban Seungcheol.

“Kamu tuh udah magang, ya?”

“Udah.”

“Padahal kalau belum mau diajak di kantor Mas, kan jadinya tiap hari ketemu.” Kekeh Seungcheol.

“Modus banget bapak CEO.” Bales Wonwoo.

“Kan enak tiap hari ketemu, makan bareng, berangkat bareng, pulang bareng.”

“Muter gak sih, Mas, kalau mau berangkat sama pulang bareng?”

“Gak apa-apa.” Bales Seungcheol sambil senyum. Wonwoo natap laki-laki yang lebih tua itu buat waktu yang cukup lama sampai Seungcheol-nya juga salting sendiri.

“Kenapa sih, dek? Ada sesuatu di muka Mas?” Seungcheol usap-usap pipinya sendiri dan Wonwoo ketawa kecil.

“Gak ada, Mas.” Jawabnya.

“Terus kenapa kamu liatin terus?”

“Gak apa-apa juga. Emang gak boleh?”

“Ya, boleh. Tapi nanti jadi greget Masnya.”

“Kenapa?”

“Pengen cium.”

“Ya tinggal cium.” Jawab Wonwoo santai.

“Kamu tuh hobinya bikin orang pusing, ya?”

“Mas aja yang pusing kali.”

“Oh iya, jangan bikin orang lain pusing, ya, dek. Mas aja yang dibikin pusing.”

Wonwoo cuma diem aja sambil senyum kecil dan sesekali dia bales chat dari mas dosennya.

“Disini kan?” Setelah 20 menitan, mereka sampe di suatu kafe yang udah jadi tujuan mereka dan Wonwoo juga udah kasih tau Joshua.

“Iya, Mas.” Jawab Wonwoo. Mereka berdua segera turun dan masuk me kafenya sekalian pesen makan buat mereka dan Joshua yang masih di jalan.

“Wonyu!” Gak lama, Joshua datang dan segera duduk di samping Wonwoo.

“Temennya Wonwoo, ya?” Tanya Seungcheol.

“Oh iya, Joshua. Masnya Wonwoo kan yang waktu itu pamit dari mobil?” Seungcheol senyum dan anggukin kepala.

“Panggil aja Seungcheol.” Balesnya.

“Eh, gak apa-apa? Kakak aja deh, soalnya kalau manggil Mas nanti diomelin Wonwoo.” Denger ucapan Joshua, Wonwoo langsung natap dia sebel. Sementara Joshua santai aja dan Seungcheol ketawa.

“Oh iya, makanan gue berapa?” Tanya Joshua ke Wonwoo.

“Gak apa-apa, Joshua.” Ini Seungcheol yang jawab.

“Eh, kakak yang bayar? Berapa, kak?”

“Gak usah, gak apa-apa. Kamu kan temennya Wonwoo.”

“Masa baru ketemu udah dibayarin, Kak.”

“Gak apa-apa kok, santai aja.”

“Makasih banyak, ya, Kak.” Kata Joshua sambil senyum.

“Besok lu gak ada kelas?” Tanya Joshua ke Wonwoo.

“Gak ada.”

“Sama dong. Main lagi, yuk?”

“Gak bisa.”

“Yah, kenapa?” Tanya Joshua kecewa. Wonwoo diem sebentar buat mikir alesan, gak mungkin kalau dia bilang dia mau beli sepeda sama Mingyu.

“Mau tidur seharian. Tenaga gue pasti kekuras abis malem ini.” Jawab Wonwoo.

“Ih masa gitu aja capek?”

“Ya beda tenaganya gue sama lu.” Jawab Wonwoo.

“Susah banget punya temen introvert.” Seungcheol ketawa denger percakapan mereka.

“Kalau Kak Seungcheol yang ajak pasti gak akan ditolak, ya?”

“Wonwoo sering kok nolak ajakan saya main.” Joshua keliatan kaget.

“Serius, kak? Kirain kalau sama kakak bakal mau-mau aja.” Timpal Joshua lagi.

“Makanya jangan sok tau.” Kata Wonwoo yang gak dipeduliin Joshua.

“Wonwoo galak juga ke kakak?” Tanya Joshua.

“Hahaha sedikit.” Jawaban Seungcheol bikin Wonwoo langsung natap dia.

“Kapan aku galakin Mas?”

“Pernah tuh waktu ke Jogja, Mas dijutekin.” Jawab Seungcheol. Wonwoo langsung ngelirik Joshua sekilas. Waktu itu dia pake alesan cemburu sama Joshua karena Seungcheol nyapa dia.

“Kalian ngapain aja di Jogja? Wonwoo gak mau cerita tuh, kak. Jadi aku nanya Kak Seungcheol aja.”

“Gak usah kepo.” Bales Wonwoo dingin.

“Cuma jalan-jalan aja kok kita.”

“Kalian sering jalan-jalan ke luar kota berdua, ya?” Tanya Joshua lagi.

“Gak kok, baru dua kali.” Jawab Seungcheol.

Kalau boleh jujur, Wonwoo agak takut kalau Joshua bakal cerita juga ke Mingyu, soalnya dia tau kalau mereka berdua deket.

“Ke Bali sama kemaren ke Jogja.” Mata Joshua membelo.

“Ke Bali juga? Seru banget! Pengen juga liburan sama gebetan.” Kata Joshua.

“Ajak dong gebetan kamu.”

“Kalau ada sih udah aku ajak, kak.” Joshua ngehelas nafasnya lesu.

“Mas ada sepupu gak? Dia pengen pacaran sama mas-mas Jawa katanya.” Wonwoo alihin topik biar mereka bahas Joshua aja jangan dirinya.

“Hehehe ada gak, kak?” Seungcheol ketawa dengernya, sementara Joshua natap Seungcheol penuh harap.

“Aduh, saya anak tunggal, sepupu-sepupu saya udah pada nikah.” Harapan Joshua langsung pupus setelah denger jawaban Seungcheol.

“Coba nanti saya tanya ke temen-temen saya.” Joshua senyum lagi.

“Tolong, ya, Kak. Makasih banyak.” Katanya Joshua lagi.

“Kalian tuh udah lama temenan?”

“Gak temenan.” Jawab Wonwoo.

“Baru sih kita temenannya. Selama tujuh semester pengen deket sama Wonwoo tuh susah banget, untungnya sekarang deket gara-gara ada matkul yang sekelas sama satu bimbingan.” Joshua gak peduli sama ucapan Wonwoo, dia tetep cerita.

“Hahaha emang susah deket sama Wonwoo? Saya sekali ketemu langsung deket.” Seungcheol malah pamer.

I bet he likes hot guy.” Wonwoo noleh waktu Joshua bilang gitu apalagi waktu Seungcheol ketawa-ketawa.

“Padahal gue juga hot gak sih?” Canda Joshua. Wonwoo cuma ngedelik.

“Kamu lebih ke pretty, Joshua.” Kekeh Seungcheol dan lagi-lagi Wonwoo ngelirik Seungcheol sekilas dan gantian ke Joshua.

“Wonwoo pernah bilang gitu.” Lanjut Seungcheol dan Joshua membelo kaget sambil ngeguncang tubuh Wonwoo.

“SERIUS?” Tanya Joshua sambil senyum lebar.

“Gak tau. Gak pernah sih seinget gue.”

“Bilang aja gengsi.” Ledek Joshua dan Seungcheol ikutan ketawa liat Wonwoo yang sebel karena digodain Joshua.

Gak lama, makanan mereka datang, dan lagi-lagi acara makan malem itu lebih banyak diisi percakapan antara Joshua dan Seungcheol. Gak tau kenapa, Wonwoo ngerasa kesel ngeliat gimana Seungcheol yang terus nanggepin ucapan Joshua.

“Makannya kok gak diabisin?” Tanya Seungcheol.

“Kenyang.” Jawab Wonwoo pendek.

“Lu udah makan duluan, ya?” Tanya Joshua.

“Gak, gak enak aja perut gue kalau kebanyakan.” Jawab Wonwoo.

“Sakit lagi? Nanti kamu gak usah minum, ya, atau mau pulang aja?” Tanya Seungcheol yang mulai khawatir.

“Gak apa-apa, Mas. Gak sakit.” Jawab Wonwoo.

“Beneran, Won? Gak apa-apa kok kalau gak jadi, bisa kapan-kapan lagi.” Joshua juga ikut khawatir.

“Gak apa-apa. Ayok deh cepet makannya, biar bisa langsung pergi.”

“Kalau nanti sakit, bilang Mas, ya.” Perkataan Seungcheol itu cuma dibales anggukan sama Wonwoo.

Setelah selesai, mereka bertiga bergegas ke club yang mereka tuju. Udah ada banyak orang disana. Seungcheol segera arahin mereka ke tempat yang udah dia pesen.

“Kalian open table?” Tanya Joshua.

“Mas Seungcheol yang open table.” Jawab Wonwoo.

“Gak apa-apa kok, santai aja.” Katanya Seungcheol.

Mereka bertiga duduk sambil ngobrol yang lagi-lagi lebih banyak percakapan antara Joshua dan Seungcheol.

“Kesana, yuk?” Ajak Joshua sambil nunjuk dance floor pake dagunya.

“Gak ah, rame. Lu aja.” Katanya Wonwoo.

“Ih, gak asik.” Joshua cemberut tapi akhirnya dia pergi ke dance floor sendirian. Wonwoo perhatiin Seungcheol yang lagi perhatiin Joshua sambil ketawa kecil. Wonwoo lagi-lagi neguk satu sloki sekaligus.

“Kamu udah minum berapa banyak?” Tanya Seungcheol yang sadar kalau Wonwoo baru minum satu sloki lainnya.

“Gak tau.” Jawab Wonwoo dingin.

“Jangan kebanyakan, dek. Nanti sakit lagi.” Katanya Seungcheol tapi Wonwoo acuhin omongannya dan minum satu sloki lainnya.

“Dek, kenapa?” Tanya Seungcheol yang makin khawatir karena gak biasanya Wonwoo minum sebanyak itu.

“Lagi pengen aja.” Jawab Wonwoo.

“Udah ah, berhenti minumnya.” Seungcheol ngambil sloki yang dipegang Wonwoo dan jauhin botol alkoholnya.

“Kenapa sih?” Ketus Wonwoo.

“Nanti sakit lagi, adek sayang.” Kata Seungcheol yang sabar banget ngehadapin Wonwoo.

“Ya terus ngapain kesini kalau gak minum?” Wonwoo masih aja bales ucapan Seungcheol.

“Kan biasanya juga kamu gak minum sebanyak ini, dek. Bisa kan?”

“Ya sekarang lagi pengen minum.” Seungcheol natap Wonwoo sambil hela nafasnya, sementara Wonwoo bales tatapannya Seungcheol dingin.

“Wonwoo, kamu mau sakit lagi?” Seungcheol ngerendahin nada suaranya. Wonwoo ngedelik dan ngehela nafas panjang.

“Kemana?” Tanya Seungcheol yang liat Wonwoo masukin barangnya ke dalem tas.

“Pulang.” Jawab Wonwoo.

“Loh kok pulang? Kan baru kesini?”

“Ya kalau Mas masih mau disini, silakan. Aku mau pulang.” Wonwoo berusaha buat tetep tenang walaupun gak tau kenapa rasanya kepala dia panas.

“Terus itu Joshua gimana?” Wonwoo ngelirik ke arah Joshua yang kebetulan nengok ke arah Wonwoo.

“Loh mau kemana, Won?” Tanya Joshua.

“Balik.” Jawaban Wonwoo bikin Joshua kaget.

“Balik? Belum juga sejam.” Bales Joshua.

“Ya udah lu aja disini.” Joshua cemberut.

“Kok gitu sih?” Joshua keliatan sedih, soalnya dia emang seseneng itu bisa main sama Wonwoo.

“Atau lu mau jalan ke tempat lain aja? Gak apa-apa kok kalau mau ke tempat lain, gue ikut!” Katanya Joshua.

“Iya, dek. Kalau kamu emang lagi gak pengen clubbing, kita ke tempat lain aja.” Seungcheol ikutan ngomong. Wonwoo ngehembusin nafasnya dan kembali duduk lagi.

“Ya udah lu lanjut aja, gue cuma pengen duduk.” Kata Wonwoo.

“Lu mau balik karena sedih gak gue temenin, ya?” Joshua nyengir lebar.

“Jangan sampe gue balik beneran.” Joshua ketawa dengernya, Seungcheol juga senyum.

“Gue mau duduk dulu, capek ternyata.” Joshua segera neguk satu sloki alkoholnya.

“Tadi ada yang ajak gue kenalan.” Kata Joshua antusias.

“Waduh, siapa tuh?” Seungcheol ikutan nimbrung.

“Dia udah kerja, Kak. Katanya sih punya kafe gitu.” Jawab Joshua. “Liat deh kafenya.” Joshua ngeliatin akun media sosialnya ke Wonwoo sama Seungcheol.

“Tadi dia ngajak gue buat datang ke kafenya kapan-kapan.” Joshua keliatan seneng banget.

“Terus sekarang mana?” Tanya Wonwoo.

“Ada sih tadi masih di dance floor.” Jawab Joshua.

“Mas-mas?” Kekeh Seungcheol.

“Sayangnya bukan.”

“Ya udah cari lagi.” Celetuk Wonwoo.

“Enteng banget lu ngomong gitu. Lu gitu, ya? Cari yang banyak biar ada cadangan?” Celetukan Joshua itu bikin Wonwoo keselek ludahnya sendiri dan Joshua langsung ketawa.

“Nah loh didenger Kak Seungcheol.” Katanya Joshua, sementara Seungcheol cuma senyum aja sambil liatin Wonwoo. Dalem hatinya, dia juga pengen tau apa ada orang yang deket sama Wonwoo selain dirinya.

“Gak usah ngaco.” Bales Wonwoo sebel dan bikin ketawanya Joshua makin kenceng.

Mereka kembali ngobrol-ngobrol, dan Wonwoo juga beberapa kali neguk alkoholnya lagi. Seungcheol udah pasrah buat kasih tau dia, takut Wonwoonya marah lagi dan mau pulang.

“Jangan kebanyakan!” Joshua mukul lengannya Wonwoo yang mau nuangin lagi alkoholnya.

“Nah kan, kasih tau tuh, Joshua. Susah banget dibilanginnya.” Timpal Seungcheol.

“Udah udah, ah. Minum yang lain.” Joshua jauhin alkoholnya dari Wonwoo dan dia pesen mocktail buat mereka bertiga.

“Lu yang ngajak minum, ya, tadi.”

“Lu tadi bilang gak akan minum.” Wonwoo muter bola matanya malas, tapi sejujurnya Wonwoo juga udah mulai ngerasa kalau kepalanya pusing dan kayaknya dia sedikit mabuk.

“Mas ke toilet dulu.” Wonwoo cuma ngangguk.

“Sebentar, gue mau samperin cowok tadi hehehe.” Lagi-lagi Wonwoo cuma ngangguk aja.

Dia mijit pelipisnya, nyoba buat tetep sadar, takut kalau Joshua tau kalau sebenernya Wonwoo yang mabuk itu bisa bertingkah konyol yang gak akan orang lain sangka (jadi lebih menye). Dan seketika dia inget ucapannya Mingyu yang bilang kalau dia suka banget skinship kalau lagi mabuk.

“Hai...” Wonwoo nengok ke sebelah kanan waktu dia liat seorang cowok yang gak dia kenal nyapa dia.

Gak ada jawaban dari Wonwoo, dia cuma perhatiin orang itu aja, berusaha inget-inget siapa orang itu, takutnya dia sebenernya kenal tapi karena mabuk, dia lupa.

“Boleh kenalan?” Tanyanya canggung.

Ah, orang gak dikenal.

“Gak boleh.” Bukan Wonwoo yang jawab, tapi Seungcheol.

“Siapa?” Tanya orang itu.

“Pacarnya.” Jawab Seungcheol sambil ngerangkul Wonwoo.

“Oh, maaf. Gak tau. Sorry sorry.” Setelah itu orangnya pergi.

“Gak bisa ditinggal sendirian sih kamu.” Katanya Seungcheol.

“Ada aja yang naksir.” Wonwoo terkekeh liat Seungcheol yang ngomong sambil cemberut.

“Kan udah aku bilang, who doesn't?” Bales Wonwoo dan bikin Seungcheol makin cemberut.

“Paling bener kita di rumah Mas aja atau di apartemen kamu, gak usah keluar.” Katanya Seungcheol.

Gosh... This possessive side of you.” Bales Wonwoo.

“Kenapa? Kamu gak suka, ya, dek?” Tanya Seungcheol.

Genuinely speaking, it's really cute.” Kekeh Wonwoo sambil pijit pelipisnya.

“Tuh kan, pusing kan kebanyakan minum. Perutnya sakit gak?” Tanya Seungcheol.

“Nggak, Mas. Cuma pusing aja.” Jawab Wonwoo.

“Bener? Mau pulang aja?”

“Tunggu Joshua aja.” Jawab Wonwoo.

Setelah menunggu Joshua selama 20 menit, akhirnya Joshua kembali. Senyumannya lebar.

“Mau balik.” Katanya Wonwoo.

“Ya udah duluan aja.” Jawab Joshua masih dengan senyumnya.

“Kenapa sih?” Tanya Wonwoo yang heran liat Joshua gak berhenti senyum.

“Besok mau main sama cowok tadi.” Wonwoo cuma muter bola matanya males.

“Lu nanti balik sendiri?” Tanya Wonwoo.

“Iya, mau sama siapa lagi?”

“Kali aja sama cowok tadi.”

“Dia bawa mobil juga.” Jawab Joshua.

“Oh. Ya udah gue sama Mas Seungcheol balik duluan.”

“Mau kelon, ya?”

Wonwoo refleks melototin Joshua. Sementara Seungcheol cuma ketawa aja dan Joshua juga ikutan ketawa.

“Ya udah, hati-hati, ya, Joshua. Saya pulang duluan sama Wonwoo. Dari tadi ngerengek pengen dikelonin.” Seungcheol malah ikutan ledekin Wonwoo.

“Ih, Mas!” Protes Wonwoo sebel.

“Puas-puasin deh, ya, Kak. Hati-hati juga kalian. Dadah!”

Akhirnya mereka misah. Joshua masih tetep di club, Seungcheol anterin dulu Wonwoo pulang.

Selama di jalan, Wonwoo cuma pejamin matanya sambil senandung kecil ngikutin lagu dari daftar putar Seungcheol. Sementara Seungcheol cuma senyum aja, dia tau kalau Wonwoo udah tipsy makanya senandung gitu, soalnya kalau masih sadar, dia lebih milih diem aja walaupun tau lagunya.

30 menit, akhirnya mereka sampe apartemen Wonwoo. Seungcheol segera turun buat bukain pintu mobilnya Wonwoo dan dia langsung gendong karena Wonwoo keliatan pusing banget.

Sesampenya di kamar Wonwoo, Seungcheol segera ngerebahin tubuh Wonwoo dan ambilin Wonwoo segelas air anget.

“Tidur langsung, ya, dek.” Katanya Seungcheol sambil ngusap pipinya Wonwoo.

“Mas mau pulang?” Tanya Wonwoo.

“Mas besok ada meeting pagi, dek.” Jawab Seungcheol.

“Harus Mas yang dateng?”

“Mau ditemenin?” Tanya Seungcheol. Wonwoo ngangguk.

“Ya udah Mas nginep, tapi besok Mas pulangnya pagi, ya?” Wonwoo ngangguk lagi.

“Mas pake aja baju punya aku.”

“Mas pinjem, ya. Sekalian mau ikut mandi.”

“Iya, Mas. Anduknya ada di paling atas.”

Selama nunggu Seungcheol mandi, Wonwoo ganti bajunya dan balik lagi rebahan, gak ada niat buat mandi soalnya kepalanya kerasa pusing banget. Wonwoo cuma rebahin badannya sambil pejamin mata.

“Dek, udah tidur?” Seungcheol yang baru selesai mandi ngundang Wonwoo buat buka matanya.

“Gak bisa tidur.” Rengek Wonwoo yang bikin Seungcheol gemes.

Seungcheol segera simpen anduknya dan duduk di sampingnya Wonwoo yang rebahan.

“Pusing banget?” Tanya Seungcheol sambil usap-usap kepalanya Wonwoo.

“Makin pusing...” Jawab Wonwoo.

“Loh kok bisa? Mau minum obat?” Tanya Seungcheol khawatir.

It's become more dizzy because of your wet hair and your smell. Gosh, your perfume really makes you even hotter.” Jawab Wonwoo.

“Jeon Wonwoo...” Seungcheol ikut pusing denger ucapan Wonwoo.

“Ya, Mas?” Wonwoo natap Seungcheol dengan matanya yang sedikit sayu.

Hold your headache for a couple of minutes.

Dan Seungcheol segera angkat tubuh Wonwoo yang entah gimana sekarang Wonwoo udah ada di pangkuannya. Gak ada protes dari Wonwoo, dia cuma natap Seungcheol dengan intens.

“Bener-bener, ya, Jeon Wonwoo.”

Detik selanjutnya, ada bibir mereka yang saling memagut. Wonwoo lingkarin tangannya ke tengkuk Seungcheol. Kedua sama-sama nikmatin rasa pahit yang bercampur manis sisa dari alkohol dan mocktail.

Seungcheol ngusap punggung Wonwoo lembut sementara Wonwoo sedikit ngeremat rambut basahnya Seungcheol waktu bibirnya rasain ada sengatan dari gigitan Seungcheol.

“Hmm...” Lenguhan Wonwoo keluar. Seungcheol semakin liar lumat bibir Wonwoo. Hisap, jilat, dan lidahnya bergerak, mengeksplor mulut Wonwoo dan dia lilit lidah Wonwoo sampai saliva mereka saling bertukar.

Seungcheol posisiin tubuh Wonwoo jadi berbaring lagi, tapi tautan bibir mereka sama sekali gak lepas. Keduanya masih betah buat saling menghisap bibir.

Tangan Wonwoo ngeremat rambut Seungcheol makin kuat, sementara Seungcheol ngusap pinggang Wonwoo perlahan.

“M—mas...” Ada benang transparan yang terbentuk waktu Wonwoo lepas tautan mereka. Laki-laki yang lebih muda itu ngatur nafasnya, sementara laki-laki yang ada di atas cuma senyum sambil ngusap ujung bibir Wonwoo yang sedikit berantakan karena saliva mereka.

“Masih pusing?” Tanya Seungcheol masih dengan senyumnya.

“Makin pusing.” Kekehan keluar dari bibir Seungcheol setelah denger jawaban Wonwoo.

“Kamu sih enak makin pusing aja, kalau Mas makin pusing iya, makin sayang juga iya.” Wonwoo ketawa kecil dan dia segera kecup bibirnya Seungcheol.

“Mas besok harus ngantor pagi.” Seungcheol segera cubit hidung bangirnya Wonwoo.

“Emang sarjana ngalihin pembicaraan.” Kekeh Seungcheol.

Seungcheol segera tarik selimut buat tutupin tubuh mereka berdua. Wonwoo segera pejamin mata, dan Seungcheol peluk badannya Wonwoo.

“Selamat tidur, dek.” Bisik Seungcheol yang masih bisa didenger Wonwoo.

“Selamat tidur juga, Mas.” Bales Wonwoo.

Jam 10, Seungcheol udah kabarin ke Wonwoo kalau dia udah ada di depan apartemennya. Wonwoo yang udah selesai siap-siap segera turun dan naik mobilnya Seungcheol.

“Laptopnya simpen di belakang aja, dek.” Wonwoo ngangguk dan simpen laptopnya di jok belakang.

“Kamu mau sarapan apa?” Tanya Seungcheol.

“Kalau ke daerah Paskal, keburu gak? Aku lagi pengen smoked salmon crowich-nya.”

“Keburu kok, ya udah kesana aja.”

Seungcheol segera jalanin mobil ke tempat yang Wonwoo tuju. Selama di perjalanan, Wonwoo sedikit senandung karena denger lagu. Seungcheol sesekali curi pandang sambil senyum karena jarang ngeliat pemandangan yang gini. Apalagi Wonwoo keliatan ceria walaupun tetep gak banyak senyum, tapi menurut Seungcheol, beda aja auranya.

“Lagi seneng, ya, dek?” Tanya Seungcheol dan bikin Wonwoo noleh.

“Kenapa emang, Mas?”

“Gak apa-apa, beda aja keliatannya.” Wonwoo terkekeh dengernya.

“Tuh kan. Ada apa tuh?”

“Gak ada apa-apa ah, aku gak ngerasa beda juga deh, Mas.” Seungcheol senyum aja dengernya.

You're prettier when you smile.” Puji Seungcheol dan bikin Wonwoo noleh dan senyum.

And you're hotter when you drive.” Bales Wonwoo iseng buat godain Seungcheol yang sekarang senyum salting.

“Haduh, salah emang godain kamu tuh.” Wonwoo ketawa kecil denger ucapannya.

Gak berselang lama, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan yang ada di daerah Pasir Kaliki. Keduanya segera turun dan masuk kesana.

“Rekomendasiin dong, Mas baru pertama kali kesini.”

Truffle gyuniku toast-nya enak menurut aku.” Jawab Wonwoo.

“Ya udah itu aja.”

Wonwoo segera pesen makanan mereka, selagi nunggu, keduanya ngobrol-ngobrol, kebanyakan flashback waktu ke Jogja sih.

“Kapan-kapan mainnya ke luar negeri gak sih, dek?” Kata Seungcheol iseng.

“Boleh.” Dan Seungcheol malah kaget ketika Wonwoo nge-iya-in.

“Serius?”

Why not? I guess it'll be fun. Kita kan udah jalan-jalan dua kali ke tempat jauh. Ya, aku seneng aja jalan sama Mas soalnya Mas iya iya aja.” Kekeh Wonwoo dan bikin senyum Seungcheol makin lebar.

“Mau kapan?”

“Aku rasa abis aku selesai skripsi sih, Mas. Karena kan gak mungkin kalau ke luar negri cuma 4 hari atau 5 hari.” Jawab Wonwoo.

“Emang maunya berapa lama?”

At least a month, perhaps?” Mata Seungcheol ngebelalak.

“Eh Mas gak bisa, ya? Mas kerja sih.” Seungcheol langsung gelengin kepalanya.

“Bukan gitu, Mas kira malah kamu gak mau lama-lama. Mas sih bisa aja kerja dari manapun.”

Good, then. Tapi masih lama kalau nunggu aku kelar skripsi.” Seungcheol usap rambutnya Wonwoo.

“Mas tungguin. Kan bisa juga sambil jalan-jalan eksplor Indonesia dulu.” Wonwoo ngangguk.

“Ya betul, kalau mau abroad, mungkin Asia dulu, tetangga. Tapi gak deh.”

“Kenapa?”

“Bosen aja.”

“Sering, ya, kamu?”

Quiet often.

“Dalam satu tahun pasti ada? Singapur? Malay? Thailand?” Tanya Seungcheol.

Singapore and Thailand, at least... Four time in a year?” Wonwoo coba inget-inget.

“Sering, ya. Sama siapa? Keluarga?”

Wonwoo yang tadinya lagi minum langsung berhenti dan natap Seungcheol terus gelengin kepala.

“Sendiri aja.” Jawabnya dengan senyum tipis.

“Kamu tuh dibebasin, ya, sama orang tuanya? Seru banget pasti, ya? Hahaha.” Wonwoo bales tawa Seungcheol pake senyum tipis, karena ya dia maklum karena Seungcheol gak tau kisahnya dia.

“Ya gitu, Mas. They're busy with their own business.” Wonwoo yang tadinya cerah, sekarang sedikit mendung suasana hatinya, tapi dia gak mau terlalu nunjukin, dan beruntungnya makanan mereka datang, dan Wonwoo langsung setir obrolan mereka ke topik lain.

Sekitar jam 12, mereka akhirnya selesai makan dan pergi dari kafe itu.

“Mas, nanti berhenti dulu, ya, aku mau beli kopi.” Katanya Wonwoo.

“Oke, dek.”

Di perjalanan menuju kampus, Wonwoo kembali diem lagi. Mood dia jadi jelek karena pembahasan orang tua tadi.

“Kok diem lagi? Tadi nyanyi-nyanyi.” Kata Seungcheol.

“Kekenyangan, Mas.” Jawaban Wonwoo bikin Seungcheol gemes dan ngusak rambutnya.

Selang sepuluh menit, Seungcheol berhenti di gerai kopi yang dibilang Wonwoo, dan setelahnya mereka langsung pergi ke kampus.

“Eh, Mas, gak usah sampe depan kampus, aku ada keperluan dulu sebelum masuk kelas.”

“Ya udah gak apa-apa, Mas anterin aja.”

“Gak apa-apa, Mas. Deket kok cuma lima menitan dari kampus. Mas pulang aja.”

“Oke kalau gitu, nanti bilang ya turunin dimana.” Wonwoo anggukin kepalanya. Dia agak takut kalau Seungcheol ketemu Joshua lagi, and worst case, ketemu mas dosennya walaupun dia tau kalau Mingyu lagi ngajar, tapi ya namanya juga jaga-jaga.

“Disini aja, Mas.” Katanya Wonwoo. Seungcheol berhentiin mobilnya dan Wonwoo segera ambil laptop di jok belakang.

“Boleh cium dulu gak sih?” Tanya Seungcheol.

Which part?” Entah ke berapa kalinya Seungcheol dibuat kaget sama ucapan Wonwoo.

“Bolehnya dimana?”

Anywhere, as long as you didn't leave a mark.” Dan ucapan itu sukses bikin Seungcheol keselek ludahnya sendiri. Wonwoo ketawa kecil.

My cheeks.” Jawab Wonwoo. Dan sedetik kemudian, ada bibir tebal Seungcheol yang mendarat di pipi Wonwoo.

Thank you for the meal, Mas. See you.” Wonwoo segera keluar dan pura-pura masuk ke tempat fotocopy yang gak jauh dari kampusnya. Dia sebenernya bingung juga mau ngapain disana, dan Wonwoo putusin buat beli stabilo, kertas binder, dan pulpen. Waktu dia keluar, akhirnya dia bisa bernafas lega karena mobilnya Seungcheol udah pergi.

Wonwoo segera memasuki area kampusnya dan jalan menuju ke kelasnya. Waktu dia liat, sepuluh menit lagi udah jam masuk. Ketika dia masuk kelas, dia belum liat ada tanda Joshua datang. Akhirnya dia duduk di baris ke dua dan sekalian tempatin buat Joshua.

Jujur aja, Wonwoo ngerasa sedikit... Aneh? Karena dalam hatinya dia ngebatin, 'oh, jadi gini rasanya punya temen, ya.'

Pas dosennya udah masuk, lima menit kemudian, Joshua baru datang dan dia segera minta maaf dan langsung duduk di kursinya yang udah ditempatin Wonwoo.

“Makasih, sahabat.” Kekeh Joshua ngeledek Wonwoo. Sementara cowok itu gak nanggepin, fokus sama kuliahnya.

Sekitar jam empat lewat, akhirnya kuliah mereka selesai. Wonwoo dan Joshua segera datang ke perpus buat bimbingan dengan agak terburu-buru, soalnya udah lumayan telat.

“Sore, pak. Maaf telat, baru banget selesai kuliahnya.” Katanya Joshua ketika masuk ruangannya.

“Maaf telat, pak.” Mingyu senyum ketika Wonwoo masuk dan gak berani tatap matanya.

“Gak apa-apa kok, santai aja.” Jawab Mingyu.

“Siapa yang mau duluan?” Tanya Mingyu.

“Joshua, pak.” Jawab Wonwoo dan bikin Joshua melotot.

“Ih, lu aja duluan. Gue belum selesai revisi.” Bisik Joshua yang sebenernya kedenger sama Mingyu.

“Gak apa-apa, sini sekalian saya bantu.” Joshua noleh dan nyengir sambil garuk tengkuknya. Dia segera keluarin netbooknya dan kasih liat hasil revisiannya.

“Masukin teori komunikasi pemasaran terpadu, ya, karena itu teori dasarnya, ewom sendiri kan masuk ke marketing mix yang mana salah satu sub dari komunikasi pemasaran terpadu.”

“Oke, pak.”

“Yang ini pernyataan dari siapa? Kalau kata kamu, gak bisa dong, harus berdasarkan ahli, jadi harus kamu cantumin sumbernya dari mana, kalau cuma menurut kamu gak valid datanya.”

Tanpa sadar, Wonwoo perhatiin Mingyu yang lagi serius ngebimbing Joshua.

And he found it so hot of him. Yes, he loves guy with sexy brain.

Atau itu cuma berlaku buat Pak Mingyunya aja.

“Wonwoo, gimana?” Lamunannya buyar dan Wonwoo gak tau kenapa tiba-tiba ngerasa jantungnya berdegup gak karuan.

Entah karena ketauan karena udah ngeliatin atau karena confess semalem?

Or, simply, it's because he's Mingyu?

“Ada yang belum juga.” Jawab Wonwoo.

“Coba saya liat dulu yang udah kamu revisi, Wonwoo.”

Mingyu segera baca-baca hasil revisi Wonwoo, dan lagi-lagi si mahasiswa ini malah ngeliatin Mingyu dari jarak yang dekat karena sekarang mereka posisinya sebelahan.

“Oke, hasil revisinya udah bagus kok, kalau yang belum yang mana?”

“Ehm... Yang digaris merah ini, pak.”

“Pak, maaf interupsi, saya izin beli cemilan boleh gak, ya?” Mingyu ketawa kecil denger izinnya Joshua.

“Boleh, Joshua.”

“Makasih, pak! Bapak sama Wonwoo ada mau titip gak? Siapa tau laper.”

“Gak ada, Shua.” Jawab Wonwoo.

“Saya juga gak ada, makasih, ya.” Joshua segera ngangguk dan pergi ke luar ruangan.

“Revisi kerangka pemikiran cuma perlu ganti aja kok, Wonwoo. Ini kan kamu tentang negative ewom, ya, kamu cari aja teorinya, atau udah ada?”

“Udah ada kok, pak.”

“Oke kalau udah ada, kamu ganti aja pake itu sebagai variabel x terus di bagian variabel y juga ganti langsung pake teorinya, gak perlu dari komunikasi pemasarannya.”

“Oh iya, pak.”

“Ya udah ganti aja sekalian, soalnya kan cuma itu aja revisinya, bisa langsung bab 3 loh kamu.”

Wonwoo segera ganti apa yang disuruh sama dosennya itu. Dan sekarang giliran Mingyu yang perhatiin Wonwoo yang serius revisi.

“Atau gak mau lanjut bab 3 dulu?” Pertanyaan Mingyu bikin Wonwoo noleh.

“Kenapa? Masih ada yang salah, ya?” Mingyu senyum.

“Gak ada yang salah, tapi last night, one of my students said that he wanted to take this slowly, and I don't know what the reason is.” Wonwoo yang denger itu langsung ngedelik dan lanjutin revisiannya tanpa dia sadar kalau telinganya merah.

“Dingin?” Mingyu usap telinganya Wonwoo dan lagi-lagi bikin jantung Wonwoo deg-degan.

“Mas nanti ada Shua.” Wonwoo segera gigit bibir bawahnya waktu dia salah panggil sementara Mingyu langsung berhenti usapin telinga mahasiswanya itu.

“Maaf, maksud saya 'pak'.” Bales Wonwoo yang seketika salting.

Tapi Wonwoo gak tau kalau yang salting bukan cuma dirinya aja, tapi dosennya juga yang sekarang telinganya ikutan merah.

“Ini ada lagi yang harus direvisi gak, pak?”

“Eh?” Mingyu sedikit gelagapan waktu Wonwoo noleh ke arahnya.

“Oh... Udah kok. Udah udah. Udah aman.” Wonwoo ngerutin dahinya tapi sedetik kemudian dia ketawa kecil.

“Kenapa?” Tanya Wonwoo.

“Apanya? Apanya yang kenapa? Saya gak apa-apa.” Jawab Mingyu.

“Wajahnya merah, Mas.” Kata Wonwoo pelan tapi masih bisa didenger Mingyu. Dosennya itu segera malingin wajah sambil longgarin dasinya.

“Panas.” Jawab Mingyu.

“AC-nya aja 18 loh, Mas.” Bales Wonwoo lagi. Mingyu natap Wonwoo yang sekarang lagi senyum. Dosennya tau kalau mahasiswanya ini lagi godain dia.

Mingyu tarik kursinya Wonwoo sampai kursi mereka saling beradu dan otomatis lengan mereka juga saling bersentuhan. Seketika Wonwoo diem mematung, senyumnya hilang. Dia neguk ludanya sendiri.

“Parfum kamu beda.” Ucapan Mingyu itu bikin Wonwoo semakin gelagapan. Karena kok Mingyu bisa tau kalau Wonwoo emang pake parfum yang beda hari ini.

Dark chocolate?” Wonwoo cuma anggukin kepalanya.

“Manis.”

Wonwoo gak jawab apapun. Dia terlalu gugup saat ini bahkan dia sampai tahan nafasnya saking gak karuannya detak jantung dia. Di jarak sedekat ini dengan detail wajah sang dosen yang jadi pemandangannya sukses bikin pandangan Wonwoo terkunci seakan dia gak mau ngelewatin karya Tuhan di depannya ini.

“Wajah kamu merah, Wonwoo.” Mingyu senyum dan kembali tegakin lagi badannya dan fokusnya kembali ke laptop Wonwoo. Sementara si mahasiswa masih diem mematung, gak nyangka kalau dosennya itu bisa bikin dia segugup itu.

“Kerangka pemikirannya gak usah pake pengertian, ya, Wonwoo. Cukup tulis teorinya aja, kan penjelasannya udah ada di landasan teori.” Mingyu dengan santainya komentarin lagi hasil revisi Wonwoo.

Karena gak nyaut, Mingyu noleh ke arah Wonwoo dan dia ketawa kecil.

“Wonwoo, denger saya ngomong apa?” Tanya Mingyu. Wonwoo langsung berdehem dan ngalihin pandangannya ke laptop.

“Maaf, gak denger, pak.” Mingyu terkekeh karena gemes liat Wonwoo gelagapan.

“Makanya fokus dong.” Ledek Mingyu.

“Iya maaf, pak.”

“Belum selesai?” Wonwoo dan Mingyu noleh ke arah Joshua yang baru aja datang dengan sekresek makanan.

“Belum nih, temen kamu kebanyakan bengong.” Mingyu lagi-lagi ngeledek Wonwoo.

“Lagi jatuh cinta dia tuh, pak.” Kekeh Joshua sambil makan jajanannya dan seketika Wonwoo natap Joshua tapi yang ditatap malah ketawa.

“Jatuh cinta sama siapa emangnya?” Mingyu malah makin iseng.

“Gak usah ngaco.” Wonwoo berusaha tenang walaupun dalam hatinya ketar ketir takut Joshua kasih tau tentang Seungcheol.

“Sama bapak sih kayaknya.” Celetukan Joshua malah bikin Wonwoo mukul dia secara refleks sementara dosennya itu cuma ketawa sambil geleng-geleng.

“Iya, boleh.” Bales Mingyu dan bikin Joshua juga ikutan ketawa tanpa dia tau kalau sebenernya emang keduanya ada sesuatu walaupun belum pasti. Wonwoo cuma ngelirik aja sambil masukin laptopnya.

“Loh kok laptopnya dimasukin? Kan belum selesai?” Kata Mingyu.

“Maaf, pak. Kirain udah selesai.” Waktu Wonwoo mau keluarin lagi laptopnya, Mingyu ketawa.

“Becanda kok, Wonwoo. Udah selesai, boleh lanjutin bab tiga.”

“HAH? BAB TIGA?” Joshua kaget karena progress Wonwoo yang cepet banget.

“Cepet banget? Baru bimbingan berapa kali sih? Kok udah bab tiga?”

“Ya gue pinter.” Bales Wonwoo.

“Wonwoo kan sering bimbingan sama saya.” Mingyu ikutan nyaut dan bikin Wonwoo was-was, takut aja Mingyu ngomong sesuatu yang bikin Joshua curiga.

“Loh iya?”

“Gue sering tanya-tanya ke Pak Mingyu di luar jam bimbingan lewat chat.” Jawab Wonwoo cepet.

“Gue juga sering tapi kok gak secepet lu sih?”

“Kapasitas otaknya beda.” Celetukan Wonwoo bikin Mingyu ketawa.

“Eh, Won, bawa mobil?” Tanya Joshua.

“Gak bawa, kenapa?” Mingyu ngelirik ke arah Wonwoo sekilas.

“Mau bareng gak?” Tawar Joshua. Wonwoo agak kaget karena dia kira Joshua mau nebeng.

“Gak usah, sendiri aja.” Jawab Wonwoo.

“Ih sesekali, kan kita searah gak sih?”

“Gue mau ke tempat lain dulu.”

“Kemana? Mau ikut dong, bosen langsung pulang.” Wonwoo berdehem, Mingyu sedikit panik, dalam hatinya ia agak takut kalau agenda mereka bakal gagal.

“Kapan-kapan aja.”

“Lu bilang gitu mulu tapi gak pernah tuh kita main bareng.”

“Lu atur deh kapan, asal gak sekarang aja.”

“Emang kalau sekarang kenapa sih?” Wonwoo diem sebentar terus narik tangannya Joshua keluar.

“Mau ketemu Mas gue, udah ah lu jangan banyak tanya, di dalem tuh ada dosen.” Kata Wonwoo.

“Mau kelon lagi?”

“Bacot ah, pulang pulang.” Wonwoo dorong Joshua yang cekikikan karena berhasil godain Wonwoo.

“Pak, izin pulang duluan, ya. Makasih bimbingannya, pak.” Setelah itu Joshua pulang dan Wonwoo masuk lagi ke dalem ruangannya.

“Bilang apa ke Joshua?” Tanya Mingyu.

“Mau ketemu Mas saya.” Jawaban Wonwoo bikin Mingyu senyum lebar.

“Ya udah, yuk?”

Seriously? Gak mungkin kita pulang barengan. Masih daerah kampus.” Kata Wonwoo pelan.

“Terus gimana?” Tanya Mingyu.

“Mas... Maksudnya bapak tunggu aja agak depanan, asal gak depan kampus deh.”

“Kamu gimana?”

“Ya jalan.”

“Kamu aja yang naik motornya, saya yang jalan.”

“Kecelakaan yang ada. Saya gak bisa bawa motor.”

“Gak apa-apa jalan?”

“Gak apa-apa.”

“Ya udah sini laptopnya, biar gak berat.” Mingyu ambil laptop Wonwoo.

“Makasih. Kalau gitu saya duluan.”

“Hati-hati, ya.” Wonwoo cuma ngangguk dan segera jalan keluar kampus.

Sebenernya jam segitu udah sepi, apalagi fakultas mereka jarang banget ada kelas yang sampe sesore ini, tapi tetep aja Wonwoo takut ada yang liat mereka dan ujungnya jadi bahan omongan orang lain.

Sekitar 5 menit Wonwoo jalan, akhirnya dia ketemu Mingyu yang udah nunggu. Si dosen langsung senyum dan pasangin helmnya dan Wonwoo diem aja terus naik ke jok belakang dan mereka berangkat.

“Ada destinasi gak?” Tanya Mingyu setengah teriak.

“Ke alun-alun kan?” Wonwoo bales sedikit teriak.

“Kalau mau ke tempat lain bilang aja, ya.” Dan Wonwoo cuma ngangguk yang bisa Mingyu liat dari spion.

Sekitar 15 menitan, keduanya sampe di alun-alun. Wonwoo langsung pake masker karena takut ada anak kampusnya dan Mingyu cuma ketawa aja liatnya.

“Saya juga perlu pake?” Tanya Mingyu.

“Gak usah, saya aja.” Jawab Wonwoo.

“Ya udah kalau gitu, nanti kalau sesek, buka aja. Biar saya yang pake.”

“Pake masker ini?” Tanya Wonwoo kaget, Mingyu ngusak rambut mahasiswanya itu.

“Ya beli lagi dong, Wonwoo.” Jawabnya dan Wonwoo yang malu segera jalan duluan tanpa nungguin Mingyu.

Mereka jalan-jalan keliling sambil sesekali beli jajanan. Sebenernya gak sekitar alun-alun aja, karena Wonwoo ngerasa terlalu banyak orang, dia mutusin pengen jalan sekitar Asia Afrika dan Mingyu turutin maunya Wonwoo.

“Mau coba cuanki?” Tanya Mingyu.

“Boleh.” Jawab Wonwoo.

Dan mereka beli cuanki di sekitar taman Cikapundung dan duduk disana sambil ngobrol-ngobrol. Setelah selesai, mereka putusin ke daerah Lengkong Kecil karena daerah sana lebih banyak lagi jajanannya.

“Banyak banget?” Wonwoo natap sekitar jalanan yang bener-bener isinya jajanan.

“Kayaknya ini salah satu pusat street food di Bandung deh.” Jawab Mingyu.

“Mas sering kesini?”

“Hahaha gak sering juga, tapi kalau mau jajan sukanya kesini.” Wonwoo anggukin kepalanya dan mereka mulai jalan.

Ada banyak yang menarik perhatian Wonwoo dan dia langsung beli aja tapi dia sendiri panik karena dia gak bawa uang cash.

“20, ya, A?” Mingyu segera bayarin makanannya Wonwoo. Sementara yang dibayarin langsung buka notes hp-nya buat catat jumlah jajanannya.

“Mau apalagi?” Tanya Mingyu.

“Mas, ke ATM dulu, ya?”

“Kenapa emangnya?”

“Saya gak bawa cash.” Mingyu ketawa kecil.

My treat.

“Gak, Mas. Waktu ke Jakarta juga Mas yang bayar.”

“Gak apa-apa, Wonwoo. Lagian saya juga gak keberatan.” Bales Mingyu.

As long as we can spend time together.” Lanjut Mingyu yang keliatan sedikit malu waktu bilangnya. Wonwoo? Sama, telinga dia keliatan merah.

“Yuk, jajan lagi.” Ajak Mingyu. Wonwoo cuma ngangguk.

“Wonwoo...” Mingyu garuk tengkuknya.

“Kenapa, Mas?”

“Boleh gak kalau saya izin pegang tangannya?”

Meskipun Wonwoo pake masker, tapi bisa diliat dari matanya yang menyipit kalau dia lagi senyum.

“Boleh.”

“Makasih, ya.” Mingyu senyum lebar dan genggam tangannya Wonwoo. Sesekali keduanya gak sengaja saling tatap dan ujungnya sama-sama ketawa karena salting.

Setelah hampir 20 menit mereka jalan-jalan, akhirnya Wonwoo ngerasa kalau dia udah puas jajannya, dia beli banyak makanan, tapi Mingyu lebih banyak lagi.

“Mas, makannya jangan disini boleh gak?” Tanya Wonwoo.

“Takut ada anak kampus, ya?”

“Iya, Mas.”

“Boleh kok, Wonwoo. Mau makan dimana?”

“Apartemen gimana?”

“Apartemen kamu, ya? Soalnya kayaknya mau hujan.” Jawab Mingyu.

“Emang kenapa kalau hujan?”

“Ya... Gak akan kehujanan soalnya kamu kan udah di apartemen.” Wonwoo ketawa kecil.

“Ya udah yuk, Mas.”

Keduanya segera kembali ke tempat motor Mingyu parkir. Gerimis mulai turun, mereka buru-buru buat pergi ke apartemennya Wonwoo. Walaupun gak begitu jauh, tapi ternyata hujan semakin deras. Pas sampai apartemennya, baju mereka berdua juga basah meskipun gak terlalu kuyup.

“Sebentar, Mas.”

Wonwoo segera masuk ke dalem kamarnya dan keluar dalam keadaan bajunya udah ganti dan dia bawa hoodie dan celana lengkap sama handuknya.

“Pake dulu aja. Saya gak tau ini pas di Mas atau kekecilan.”

“Makasih, ya. Saya ganti dulu.”

“Mas kalau mau mandi juga boleh.”

“Nanti aja deh, soalnya nanti pulang juga kayaknya kehujanan lagi.”

“Tunggu aja sampe reda.”

“Nanti ganggu kamu, Wonwoo.”

“Gak kok.” Mingyu senyum.

“Ya udah saya mandi dulu, izin ya.” Wonwoo ngangguk dan dia juga mandi di toilet yang ada di dalem kamarnya.

Selang 20 menit, keduanya selesai, Wonwoo perhatiin Mingyu yang pake bajunya.

“Pas, ya, bajunya?”

“Pas kok, Wonwoo.”

“Bagus deh.”

“Makanannya mau dipanasin dulu gak?” Tanya Mingyu.

“Kayaknya gak perlu, Mas. Ini banyak banget makanannya, kelamaan kalau diangetin dulu.”

“Ya udah kalau gitu.”

Wonwoo segera ambil piring, sendok, dan gelas buat mereka berdua. Mingyu segera ikut ambilin piringnya.

“Makasih, Mas.”

Mingyu buka satu persatu makanannya, dan Wonwoo cuma bisa perhatiin satu persatu, antara kaget makanannya murah tapi porsinya banyak, dan aneh karena ada beberapa makanan yang dia gak familiar.

“Selamat makan.”

Wonwoo pilih katsu yang ukurannya lebih besar dari telapak tangannya buat dia cobain, karena itu salah satu makanan yang dia familiar. Dan reaksi Wonwoo bikin Mingyu ketawa karena gemes. Wonwoo keliatan kaget dan dia makan lagi katsunya.

“Enak kan?” Tanya Mingyu. Wonwoo cuma ngangguk sambil kunyah katsunya.

“Cobain yang lainnya juga.” Wonwoo ngangguk dan cobain satu persatu makanannya.

“Mas tau dari mana jajanan-jajanan gini?”

“Dari dulu Lengkong Kecil kan emang terkenal sama jajanannya, Wonwoo.”

“Mas suka eksplor, ya?”

“Iya, soalnya emang dari dulu hobinya jajan.” Mingyu jeda omongannya, sebelum akhirnya dilanjut lagi. “Kadang sambil olahraga, terus sambil sepedaan juga waktu CFD.”

“Oh, Mas suka sepedaan?”

“Suka, Wonwoo. Kadang kan saya bawa sepeda ke kampus.”

“Masa sih? Kok saya gak pernah liat?”

“Sekarang udah jarang sih, kalau dulu lumayan sering, seminggu busa 3x bawa sepeda ke kampus.”

“Emang gak keringetan?”

“Keringetan dong, tapi saya ikut mandi lagi di toilet dosen.” Jawab Mingyu sambil ketawa kecil.

“Kalau CFD masih sering?”

“Setiap minggu pasti CFD, Wonwoo.”

“Mas rajin olahraga, ya?”

“Iya, soalnya selain bagus buat fisik, ya bagus juga buat mental karena kan sekresi hormon endorfin, jadinya lebih tenang kalau selesai olahraga.” Wonwoo anggukin kepalanya setelah denger jawaban Mingyu.

“Selain ke CFD, Mas suka kemana lagi?”

“Ke daerah yang masih ijo-ijo, hahaha. Since I once read some sentences that nature can heal physical numbness from traumatic experiences.

“Ah... I see.” Wonwoo sebenernya kagum banget sama penjabarannya Mingyu, tapi dia terlalu malu dan gengsi buat puji dosennya itu.

“Kamu suka olahraga?” Giliran Mingyu yang tanya.

“Jarang.”

“Hari Minggu mau ikut CFD?”

“Boleh.”

“Oke, nanti saya jemput jam 6.”

“Sepagi itu?”

“Sepagi itu.” Kekeh Mingyu.

I'll think again.” Dan Mingyu ketawa lagi.

Keduanya kembali makan lagi. Gak begitu banyak obrolan. Di luar hujan makin deras. Mingyu natap jendela dan Wonwoo natap Mingyu.

“Hujannya makin besar.” Kata Wonwoo, Mingyu noleh.

“Iya, untung saya bawa jas hujan.”

“Ah gitu... Syukur kalau gitu.” Wonwoo mau nawarin biar Mingyu nginep aja, tapi gak bisa keluar dari bibirnya, alhasil cuma kalimat itu yang jadi balesannya.

Setelah makanannya abis, Mingyu beresin sampah-sampahnya, abis itu dia bawain semua piringnya dan dia cuci.

“Mas, gak usah.”

“Gak apa-apa, lagian ini gak terlalu kotor kok, jadi gak perlu banyak tenaga.” Jawab Mingyu. Entah buat yang ke berapa kalinya Wonwoo dibikin kagum dan berdegup karena personaliti Mingyu.

“Saya pulang dulu, ya. Makasih banyak udah mau diajak keliling-keliling.” Kata Mingyu dengan senyumnya yang tulus.

“Harusnya saya yang makasih. Mas gak akan tunggu reda?” Tanya Wonwoo.

“Gak apa-apa, Wonwoo. Kayaknya hujannya awet, saya trobos aja. Kamu juga udah ngantuk dari tadi nahan nguap kan?” Mingyu senyum liat Wonwoo yang kaget karena ternyata dia ketauan nahan nguap dari tadi. Emang Wonwoo udah sedikit ngantuk, mungkin karena efek kehujanan juga, karena biasanya dia belum ngantuk di jam 9 malem.

“Ya udah, saya pamit, ya. Hati-hati, pastiin semua pintu sama jendela dikunci. See you... Kitten.” Mingyu ngusap kepalanya Wonwoo dan segera pergi.

Sementara Wonwoo, rasa kantuknya ilang diganti sama rasa geli di perutnya ditambah rona merah yang ngehias wajahnya.

Wonwoo ngerutukin dirinya sendiri, bisa-bisanya dia lupa kalau dia punya agenda ke Jogja bareng Seungcheol dan malah bikin janji sama dosennya sendiri. Meskipun Mingyu bilang gak apa-apa, rasa bersalahnya masih nyelimutin hatinya.

Wonwoo segera ke depan kampus. Dia celingak celinguk buat cari mobilnya Seungcheol. Untungnya dia hari ini gak bawa mobil.

“Wonyu!” Yang dipanggil segera noleh ke belakang, sumber suara yang panggil.

Gak tau kenapa, tiba-tiba Wonwoo gugup sendiri ngeliat Jisoo. Dia sesekali ngelirik ke arah mobil Seungcheol yang ada di radius lima meter aja dari tempat mereka berdiri. Wonwoo senyum tipis ke arah Jisoo.

“Kenapa?” Tanya Wonwoo.

“Gak bawa mobil?”

“Nggak.”

“Yah, tadinya mau nebeng hehehe.”

“Ah... Gak bawa.” Lagi. Wonwoo ngelirik ke arah mobil yang kini ngelaju semakin dekat. Dadanya bergemuruh. Wonwoo gigit bibir bawahnya.

“Kenapa sih, Won?” Tanya Jisoo yang ngerasa aneh sama gelagat Wonwoo. Biasanya temennya itu tenang, tapi sekarang keliatan panik.

Waktu mobil udah tepat di depan mereka, Wonwoo segera masuk tanpa pamitan sama sekali.

“Jalan, Mas.” Suruh Wonwoo.

“Loh gak pamit dulu sama temen kamu?” Tanya Seungcheol.

“Emang harus?” Wonwoo balik bertanya dan Seungcheol terkekeh. Dia buka jendela mobilnya.

“Duluan, ya.” Pamit Seungcheol.

“Iya, hati-hati Mas, Won.” Jisoo ngelirik Wonwoo sambil senyam senyum.

“Itu tadi temen kamu yang waktu itu?” Tanya Seungcheol.

“Iya.” Gak tau kenapa, Wonwoo ngerasa sebel karena Seungcheol pamit dulu ke Jisoo.

“Dek, kayaknya kalau balik ke apartemen kamu dulu gak bisa, nanti ketinggalan pesawat.” Kata Seungcheol sambil ngelirik jam tangannya.

“Nanti Mas beliin baju aja di Jogja, ya?” Kata Seungcheol lagi.

“Terserah.” Jawab Wonwoo.

Seungcheol ngelirik ke arah Wonwoo. Dia agak heran kenapa Wonwoo keliatan kesel.

“Kamu ada masalah di kampus, dek?” Tanya Seungcheol.

“Gak ada.” Balas Wonwoo pendek.

“Ya udah gak apa-apa kalau belum mau cerita.”

Wonwoo gak nimpalin ucapan Seungcheol lagi. Dia cuma natap jalanan Kota Bandung yang cukup padat itu sampai akhirnya mereka sampe di bandara. Wonwoo pergi buat beli charger dan earphone. Selama nunggu pesawat, Seungcheol berkali-kali coba ajakin Wonwoo ngobrol, tapi laki-laki yang lebih muda lebih milih buat jawab singkat atau bahkan cuma ngangguk dan gelengin kepala aja.

“Kamu mau deket jendela, dek?” Tanya Seungcheol. Wonwoo ngangguk dan dia segera duduk di samping jendela. Selama penerbangan, Wonwoo milih buat tidur. Seungcheol maklum, mungkin karena capek pulang kuliah.

Kurang lebih satu jam, akhirnya mereka sampai di Jogja. “Mau beli baju dulu atau mau ke hotel dulu?” Tanya Seungcheol.

“Hotel dulu aja. Aku mau tidur.” Jawab Wonwoo tanpa melirik Seungcheol. Lagi, Wonwoo ketus lagi dan Seungcheol masih gak paham kenapa sikap Wonwoo begitu, tapi dia tetep ikutin maunya Wonwoo. Seungcheol masih mikir kalau Wonwoo emang capek banget karena baru pulang kuliah.

Sampe jam 7 malem, Wonwoo belum ngehubungin Seungcheol, akhirnya yang lebih tua coba buat ngetuk pintu kamar Wonwoo, Seungcheol juga khawatir karena takutnya Wonwoo kenapa-napa di dalem, apalagi Wonwoo juga belum makan.

Karena pintunya gak dibuka dan Wonwoo gak angkat telepon darinya, Seungcheol minta ke resepsionis buat bawain kunci cadangan, setelah dapet akses, Seungcheol bilang makasih dan bolehin staffnya itu kembali ke kerjaannya.

“Wonwoo?” Seungcheol jalan masuk dan pemandangan yang ia dapetin adalah Wonwoo gak ada di kasurnya.

“Won? Wonwoo?” Seungcheol panggilin dia lagi dan gak lama Wonwoo keluar dari kamar mandi pakai bathrobenya.

“Kok bisa masuk?” Tanya Wonwoo sambil ngerutin dahinya. “Oh iya, Mas yang punya.” Tapi dia langsung sadar kalau hotel itu punya keluarga Seungcheol.

“Kemana aja sih, Won?” Seungcheol ngehela nafasnya. Sementara Wonwoo ambil bajunya yang udah dia beli duluan, soalnya hotel mereka cukup deket sama pusat perbelanjaan.

“Kamu kapan belinya?” Tanya Seungcheol.

“Sebelum mandi.” Jawab Wonwoo.

“Kok gak bilang Mas?”

“Gak apa-apa, lagian deket juga.” Wonwoo segera ambil bajunya dan dia pake di dalam toilet, setelah itu dia kembali lagi.

“Kamu kenapa sih, dek?” Seungcheol yang perhatiin Wonwoo bener-bener heran kenapa cowok yang lebih muda itu dari berangkat diemin dia. Wonwoo emang cuek, tapi dia bakal tetep jawab atau ngobrolin apapun sama Seungcheol, tapi sekarang Seungcheol tau kalau ada sesuatu yang bikin Wonwoo diemin dia.

“Aku? Perasaan biasa aja.” Bales Wonwoo sambil mainin hp-nya.

“Wonwoo.”

“Apa sih, Mas?”

“Kalau Mas ada salah bilang, jangan diem aja. Mas juga jadi bingung salahnya apa.”

“Apa sih, gak jelas tau gak?” Wonwoo bales makin sewot. Seungcheol cuma ngehembusin nafasnya.

“Emangnya Mas gak sadar apa kalau kamu diemin? Mas sadar, dek. Coba bilang dong biar Mas tau salahnya dimana.” Wonwoo natap Seungcheol tanpa ngomong apapun tapi akhirnya dia puter bola matanya males dan simpen hp-nya.

“Ngapain sih tadi Mas pamit-pamit ke temen aku? Gak penting.” Kata Wonwoo datar. Seungcheol ngerutin dahinya dan selanjutnya dia ketawa. Tadinya Seungcheol udah frustasi tapi gak jadi karena dia pikir Wonwoo tuh, “kamu... Cemburu?” Tanya Seungcheol sambil terkekeh.

Wonwoo cuma ngedelik dan main hp-nya lagi. Seungcheol duduk deket Wonwoo dan perhatiin cowok yang lebih muda itu sambil senyum-senyum. Wonwoo itu orangnya sebenernya gampang salting, jadi dia gak bisa diliatin lama-lama gitu.

“Apa sih?”

“Gemes, dek.”

“Lebay.” Seungcheol malah cekikikan karena respon Wonwoo, dan dia nyuri kecupan dari bibirnya Wonwoo, dan gak ada protes sama sekali dari pihak yang dicium.

“Makan, yuk? Mas laper.” Wonwoo cuma ngangguk karena dia juga sebenernya laper.

“Mau makan apa? Mas yang bayarin, sogokan biar dimaafin.” Katanya Seungcheol sambil natap Wonwoo lembut.

“Belum tau, liat aja nanti sambil jalan.” Seungcheol cuma ngangguk dan ulurin tangannya ke Wonwoo.

“Pake jaket dulu.” Kata Wonwoo tanpa bales uluran tangan Seungcheol. Laki-laki yang lebih tua cuma ngangguk aja sambil senyum karena gemes liat Wonwoo ngerajuk. Setelahnya, mereka berdua pergi keliling buat cari makan.

Us, Warm, and Cold

Sejak semalam, Mingyu diserang demam. Sepanjang malam keningnya itu dikompres oleh Wonwoo menggunakan fever patch karena katanya terlalu merepotkan jika harus menggonta-ganti handuk dengan air panas.

“Mas, gak usah ngajar dulu.” Wonwoo terduduk di tepi ranjang dan membuka bubur yang baru saja sampai ke apartemen mereka.

Iya, setelah Wonwoo lulus, mereka berdua memutuskan untuk tinggal bersama. Sebenarnya Mingyu yang bersikeras ingin satu atap, karena ia terlalu gelisah jika meninggalkan Wonwoo sendirian, sebab lelaki yang lebih muda itu tidak pernah makan teratur, setidaknya jika mereka berdua satu atap, Mingyu bisa mengawasi dan memasak untuk Wonwoo.

“Tapi Mas udah baikan kok, gak pusing lagi.” Balas Mingyu dan mencoba untuk duduk.

“Gak boleh.” Wonwoo menatapnya galak dan berhasil membuat Mingyu terkekeh.

“Nanti harus ada pengganti, sayang. Ke kampus aja, ya?”

“Kan Mas bisa kasih tugas aja. Lagian aku tuh udah izin WFH biar bisa ngurusin Mas, masa Mas malah ngajar?” Mingyu mengerjap, sedikit kaget karena kekasihnya yang gila kerja itu memutuskan untuk WFH agar bisa merawatnya. Hatinya menghangat, Mingyu tersenyum dan mengusap pipi Wonwoo.

“Makasih, ya.” Ucap Mingyu.

“Jangan ke kampus.”

“Iya, Wonwoo. Ini Mas ngasih tugas dulu ke mahasiswa, ya.” Ujarnya lembut.

Wonwoo mengangguk dan membiarkan dosen muda itu untuk membuka gawainya sejenak. Ia sendiri sibuk membuka makanan untuk Mingyu dan dirinya sendiri.

“Udah.” Mingyu kembali menyimpan

Setelah chat Dino, gue udah gak bisa lagi fokus sama dosen gue. Pikiran gue jadi mumet. Kenapa juga nyokap gue harus dateng sama nyokapnya Naya. Gue sebel banget demi apapun. Mana nanti pulang harus ketemu lagi, gue males banget. Apa mending gue gak usah kesana, ya?

Akhirnya gue chat Naya dan untungnya ini anak juga bisa diajak kompromi. Dan akhirnya gue segera keluar kelas setelah dosen kelar ngajar. Gue tadinya mau ke cafe gitu, tapi takut ketemu bokap nyokap gue, akhirnya gue putusin buat ke apartemen si Mingyu, mumpung orangnya disana, soalnya apartemen itu sekarang emang disewa sama Teh Audrey, jangan tanya alesannya soalnya yang tau cuma si Mingyu.

Setelah gue beli pizza sama minumnya, gue langsung menuju ke apartemen Mingyu yang disana ternyata udah ada si Dikey yang lagi rebahan di sofa, dan Teh Audrey yang mainin hp-nya di bean bag. Sementara si Kiming kayaknya lagi ngerjain revisi, soalnya dia mau daftar sempro.

“ASIK DATANG JUGA ABANG GOFOOD.” Kata si Dikey berisik.

“AKHIRNYA NYOBAIN PIZZA MAHAL.” Si Kiming ikutan, dilupain tuh sempro, padahal tadi dia serius banget.

“Norak anjir.” Cibir gue dan langsung simpen pizza sama minumnya di meja makan. Mereka bertiga ikut duduk di meja makan.

“Eh jangan disini ngapa, kursinya cuma dua biji.” Akhirnya Dikey bawa lagi itu pizza sama minuman ke lantai dan kita makan sambil duduk di lantai juga.

“MASYAALLAH NIKMAT MANA LAGI YANG KAU DUSTAKAN.”

“Anjir sumpah untung makan disini gak di tempat, malu gue, Key.” Kata gue dan bikin Teh Audrey ngakak.

“Kocak, hiburan banget anjir si Dikey.” Teh Audrey ngomong gitu sambil ketawa sambil ngunyah.

“Enak banget abisnya, kalau udah makan ini udah kembali titel gue sebagai si paling pizza.”

“Anjir lebay.”

“Sirik aja sih lu, Ming.”

“Gelut dah lu berdua, hiburan gue itu doang.” Kata gue sambil makan juga.

“Gak ada tenaga, tenaga gue kekuras buat ngerjain sempro.” Jawab si Kiming dengan mulut penuh.

“Lu kapan daftarnya?”

“Kalau revisian sekarang di approve dosbing gue, ya daftar sekarang atau besok.” Jawabnya lagi.

“Ngebut banget dah.” Kata si Dikey.

“Bosen kali kuliah lama-lama.”

“Tapi bilangnya pengen S3, plin plan lu.” Ini Teh Audrey yang bilang. Gue sama Dikey langsung nengok ke si Kiming.

“Lah mau lanjut?” Tanya Dikey.

“Masih rencana doang sih, tapi gak akan tahun ini juga, soalnya gue mau gawe dulu, terus pengennya sih ngejar di luar negri.” Jawaban si Mingyu bikin gue ngangguk-ngangguk. Keren sih emang temen gue satu itu. Walaupun slengean dan keliatannya santai, Mingyu tuh selalu punya tujuan hidupnya, dan dia kalau udah yakin banget pasti beneran dikejar sampe dapet. Kata gue sih di antara anak-anak kontrakan, Mingyu yang paling ambis walaupun di luar keliatan chill. Gue juga diyakinin buat bikin butik sama dia sebenernya. Waktu itu gue masih maju mundur karena gue mikirnya pasti pusing ngurusnya, tapi kata Mingyu kalau misalnya gue cinta banget sama apa yang gue kerjain, gak akan dipusingin. Kalaupun emang ada masalah, pasti bisa dilewatinnya gampang, kalau kitanya cinta dan tulus ngejalaninnya, dan setelah itu, gue jadi mantap mau bikin butik.

“Ldr dong nanti.” Kata gue.

“Ldr sama siapa anjir?”

“Binar.”

“ANJINGG, KELUAR LU.” Gue langsung ngakak kenceng, Teh Audrey juga ngakak liat Mingyu panik. Si Dikey ngelirik si Mingyu, terus Mingyunya gelegapan.

“KAGAK SUMPAH, KEY. NGACO SI HAO, PLIS LAH.” Terus si Dikey ikutan ngakak sampe keselek pizzanya.

“ANJIR NGAKAK KOMUKNYE.” Kata Dikey setelah dia neguk air putih.

“Badan doang lu gede, tapi takut sama si Dikey.”

“Bacot lu anjing.” Cibir Mingyu. Teh Audrey masih ngakak, malah sampe tiduran di lantai sambil megangin perutnya.

“Awas aja lu gue omongin tentang Naya depan si Dino.” Kata Mingyu. Mukanya keliatan sebel banget.

“LAH KAN TADI GUE MAU BALIK KE KONTRAKAN GARA-GARA ADA EMAK SI HAO NGASIH MAKANAN.” Gue bekep mulutnya Dikey, soalnya anjir berisik banget capek gue.

“Pasti disisain gak sih sama si Dino lagian.” Bales Mingyu.

“Ah, kenapa sih lu ngomongin itu, jadi kepikiran lagi gue.”

“Kenapa lagi?” Tanya Teh Audrey.

“Tadi nyokap gue sama nyokapnya Naya ke kontrakan ngasih makanan, terus yang nerima si Dino.”

“Terus masalahnya apa?”

Gue, Mingyu, sama Dikey refleks nengok ke Teh Audrey yang kalem aja sambil ngunyah pizza.

“Masa lu gak paham sih, Teh?” Tanya Dikey.

“Ya emang kenapa kalau Dino yang terima? Dia udah tau kan?” Tanya Teh Audrey lagi.

“Ya udah tau sih, Teh.”

“Ya terus kenapa lagi?”

“Teh, MBTI lu T, ya?” Pertanyaan si Dikey dijawab pake anggukan.

“Gue juga T.” Mingyu ikut nimpalin.

“T-nya lu mah tai, Gyu.”

“Gue gebug lu.” Gue cuma bisa gelengin kepala aja liat kelakuan itu bocah dua.

“Ya gini, paham sih lu ngerasa gak enak sama si Dino, tapi ya emang mau gimana lagi? Si Dino sekarang biasa aja kan?” Tanya Teh Audrey.

“Ya dia bilangnya biasa aja, tapi kan gak tau sebenernya gimana.” Jawab gue.

“Ya itu, dia mau coba move on dan ya udah biarin aja karena dia juga gak bisa ngapa-ngapain kan?” Gue ngangguk.

“Kalau dia move on dan udah rela, kenapa juga lu masih harus pikirin? Hidup lu gak selamanya harus dirundung rasa gak enak kali. Malah kalau lu terus-terusan gak enak sama si Dino, selamanya hubungan lu bakal jadi canggung.” Gue diem. Ada benernya sih. Akhir-akhir ini juga Dino emang keliatan lebih santai ke gue dari pada sebelumnya.

“Terus gue harus gimana? Gue tetep susah ngilangin rasa bersalahnya, Teh.”

“Padahal gampang jawabannya. Ngobrol, lu berdua ngobrol, yang lain kagak usah ikutan, berdua aja.” Gue diem lagi.

“Masalahnya Dino gak mau ngobrol sama gue.”

“Udah coba tanya?” Sekarang Mingyu yang nanya.

“Belum sih.”

“Ya tanya dulu lah, anying. Jangan main simpulin sendiri. Mungkin sebelumnya iya Dino gak mau ngobrol sama lu karena masih marah, tapi kan setelah kemaren tuh ngobrol semuanya, udah pada mendingan, udah pada dingin juga kepalanya, ya lu ajaklah.” Timpal Mingyu.

Setelah makan-makan itu, gue balik ke kontrakan, Dikey sama Mingyu juga balik. Dan pas sampe kontrakan, udah ada beberapa anak kontrakan juga yang udah balik kuliah sama ngantor, ya udah jam 4 juga sih, jadi udah pada balik kecuali yang kelas sore. Dino juga ada di kontrakan.

“Bang, itu makanannya, tadi gue comot hehehe.” Gue agak kaget tapi langsung senyum juga pas Dino bilang gitu. Kayaknya bener kata Teh Audrey, Dino udah coba buat move on.

“Gak apa-apa, Din. Kan emang buat anak kontrakan.” Jawab gue.

“Bilangin makasih sama nyokap lu sama nyokap Kak Naya juga.”

Nah ini, gue masih gak bisa bahas Naya sama Dino. Perasaan bersalah gue masih ada, padahal tadi udah diceramahin Teh Audrey.

Sampe akhirnya malem tiba, gue ke kamarnya Mingyu karena bingung.

“Gyu, gimana ya caranya gue ajakin Dino ngobrol berdua.” Tanya gue. Mingyu diem aja, terus ngajakin gue ke balkon sambil terus mainin hp-nya.

“Ngapain sih anjir?” Tanya gue. “Bukannya kasih gue solusi malah main hp aja lu.” Mingyu tetep gak jawab, tapi gak lama ada si Dikey bareng... Dino.

Gue noleh ke Mingyu, dia cuma nepuk bahu gue doang abis itu dia drama.

“Anjir laper, gue ke bawah dulu mau ambil makanan nyokap lu.” Katanya terus turun ke ruang makan.

“Bujang ngelamun aje.” Si Dikey juga kata gue sih lagi drama biar gak canggung-canggung amat.

“Udah makan lu?” Tanya Dikey ke gue.

“Gak butuh perhatian lu.”

“Bjir, masa gitu sama sahabat?” Gue jijik banget denger si Dikey gitu.

“Najis banget, Bang, sumpah.” Ini Dino yang nyaut.

“Gak ada yang sayang gue. Kayaknya gue harus ambil gitar dan nyanyi lagu Bunda.”

“Apaan sih anying kagak nyambung.” Bales Dino lagi.

“Gue ambil gitar dulu.” Si Dikey masuk dan gue sekarang berdua doang sama Dino.

Freak banget temen lu, Bang.” Katanya Dino.

“Abang lu sih, Din. Gue mah ogah.” Dino ketawa kecil abis itu kita berdua sama-sama diem.

Gue natap ke bawah, sementara Dino natap ke langit gelap yang kosong tanpa ada bintang satupun. Gue tiba-tiba aja gugup, susah banget mau buka mulut.

“Kalau lu mau minta maaf karena bohongin gue, gue udah maafin, Bang.” Katanya Dino dan bikin gue nengok. Dia masih sama, natap ke langit yang kosong.

“Tapi kalau lu minta maaf karena perjodohan itu, gue gak terima, soalnya lu gak salah, Kak Naya juga gak salah. Perasaan gue bukan tanggung jawab kalian.” Ada perasaan lega dari dalem diri gue. Bener kata Teh Audrey, Dino juga udah rela, udah mau move on.

“Udah dewasa lu, Din.” Kata gue sambil nepuk bahu Dino. Dia natap gue sambil ngerutin dahi.

“Geli anjir, Bang. Kagak usah bilang gitu ngapa? Gue udah gede kali dari dulu juga.” Gue ketawa dengernya.

“Tapi serius, lu gak usah ngerasa bersalah lagi dah. Gue jadi gak enak kalau lu canggung gini sama gue, ngerasa bersalah juga gue jadinya.”

Thanks, Din.” Bales gue.

“Yoi, bang.”

“Tapi, bang...” Gue nengok lagi, natap Dino penasaran.

“Gue boleh gak sih ngabisin waktu berdua dulu sama Kak Naya? Buat terakhiran.” Gak tau kenapa, gue sakit banget dengernya. Miris banget dah mereka berdua. Gue yang gak ngerasain aja ikut nyesek.

“Boleh lah, Din. Gue santai banget mau lu berduaan sama Naya, gue aja kagak demen.”

“Aneh lu, Bang. Secakep itu padahal calon mantan gebetan gue.” Dino ketawa, tapi ketawa pahit.

Gue sama Dino lagi-lagi balik cuma diem aja. Sama-sama natap kosong ke arah langit. Dalam hati gue berharap Dino bisa nemuin pengganti Naya, dan gue juga berharap buat diri gue sendiri semoga itu perjodohan gak jadi. Plis aminin.

“Bang...” Dino manggil lagi.

“Kenapa?” Gue nengok.

“Kalau seandainya emang nanti perjodohan lu sama Kak Naya berhasil, tolong jangan mikir gue gak seneng, ya. Gue seneng kok, gue bahagia buat lu dan buat Kak Naya, selama kalian bahagia. Dan tolong banget jangan mikirin perasaan gue gimana, karena gue janji gue bakalan udah biasa aja kalau emang kalian ditakdirin sama-sama.” Kata Dino sambil senyum.

“Udah ah anjir geli. Mana sih Bang Dikey sama Bang Mingyu, jelek banget akting mereka.” Gue ngakak setelah denger ucapan Dino, tapi dalam hati gue bersyukur juga karena gue punya adek yang bener-bener sebaik dan sepengertian Dino.

Hari ini Wonwoo udah dibolehin pulang. Dia beresin barangnya dan masukin baju-bajunya ke dalam tas jinjing yang dia bawa. Setelah selesai, dia rebahan dulu sambil nunggu Mingyu datang karena mobilnya bakal dibawa dosennya itu.

Sekitar jam 2, pintunya diketuk, dan seseorang muncul dari balik pintu. Wonwoo langsung diem waktu liat orang yang datang. Tangannya ngepal kuat. Tiba-tiba dadanya bergemuruh, ruangannya kerasa sesak.

“Ngapain kesini?” Tanya Wonwoo berusaha setenang mungkin.

“Kata temen aku yang kerja disini, kamu sakit.” Jawab dia.

“Terus apa peduli lu? Gue gak butuh lu kesini.” Wonwoo natap cowok di hadapannya nyalang.

“Won, masa masih marah gara-gara kejadian 4 tahun yang lalu?” Mata Wonwoo membelo dan dia ketawa sarkas, gak percaya kalau mantannya se-gak tau diri itu.

“Lu tolol apa gimana sih, anjing?” Nada bicara Wonwoo makin tinggi saking keselnya.

“Lu tanya ke orang-orang, siapa yang gak marah mergokin pacarnya... Fuck with their own mother?” Suara Wonwoo bergetar. Kepala dia mendadak pusing.

“Won, waktu itu aku khilaf.”

“Khilaf? Bukannya lu cuma butuh duit nyokap gue?”

“Wonwoo!”

Wonwoo lagi-lagi ketawa sarkas. Dia ngehembusin nafasnya dalam-dalam dan natap lelaki di hadapannya itu dingin.

“Pergi. Gue gak mau liat lu lagi.” Usir Wonwoo, tapi laki-laki itu malah samperin Wonwoo.

“Pergi, Ben!” Bentak Wonwoo, tapi tetap gak digubris.

“Wonwoo maaf agak telat—”

Wonwoo dan Ben nengok ke arah Mingyu yang baru datang. Sementara Mingyu natap keduanya secara bergantian.

“Mas Mingyu...” Panggil Wonwoo lemes.

“Kamu siapa?” Tanya Mingyu.

“Dia siapa, Won?” Bukannya jawab, Ben malah balik nanya.

“Pacar gue.” Jawaban spontan Wonwoo bikin Ben maupun Mingyu kaget.

“Pacar?”

“Iya, lu gak denger? Jadi tolong lu pergi sekarang juga, gue benci banget liat lu.” Suara Wonwoo sedikit bergetar.

“Tolong pergi sebelum saya panggilin satpam.” Mingyu ikutan ngomong.

Akhirnya Ben pergi dari sana, dan Wonwoo ambruk ke lantai. Dia nangis sejadi-jadinya. Mingyu langsung hampirin Wonwoo dan peluk Wonwoo, ngebiarin lelaki itu nangis di dadanya. Mingyu gak nanya apapun, dia cuma diem disana sambil ngusapin punggung Wonwoo yang nangis sesenggukan.

Mingyu baru liat sisi Wonwoo yang satu ini. Sisi rapuh Wonwoo. Mingyu gak tega liatnya. Denger Wonwoo nangis sampai sesak nafas aja bikin dia ikut ngerasa pilu. Wonwoo nangis keras banget sampai satu ruangan luas itu diisi suara tangisannya. Mingyu bener-bener ikut ngerasa sedih, gak sanggup kalau ke depannya Wonwoo bakal nangis kayak gini lagi.

Sekitar 15 menit, akhirnya Wonwoo udah mulai tenang. Mingyu nepuk-nepuk punggungnya, dan Wonwoo lepasin pelukannya.

“Maaf.” Kata Wonwoo pelan sambil nundukin kepalanya.

No worries.” Jawab Mingyu sambil senyum. Mingyu narik kedua bahu Wonwoo biar berdiri, dan dia suruh Wonwoo duduk di kasurnya. Waktu Mingyu mau ngelangkahin kakinya, Wonwoo langsung narik kemejanya.

“Mau kemana?” Tanya Wonwoo.

“Mau ambil minum aja, Wonwoo.” Jawab Mingyu lembut. Wonwoo lepasin tangannya dan cuma ngangguk. Mingyu ambil sebotol air minum yang ada di tasnya yang disimpen di sofa.

“Minum dulu, kamu pasti capek.” Mingyu bukain tutup botolnya dan serahin minumnya ke Wonwoo.

“Makasih.” Mingyu ngangguk dan tutup lagi botolnya.

Hening sesaat. Mingyu nungguin Wonwoo ngomong, sementara Wonwoo masih coba buat tenangin dirinya sendiri sampai kedenger hembusan nafas panjang.

“Mau cari angin?” Tawar Mingyu. Wonwoo diem sebentar, dan akhirnya ngangguk. Mingyu senyum.

“Mau kemana?” Tanya Mingyu.

“Kemana aja yang jauh.” Jawab Wonwoo.

“Keluar Bandung?” Wonwoo natap Mingyu.

“Bapak— Maksudnya Mas besok gak ngajar.” Mingyu ngulum senyumnya.

“Gak kok.” Bohong. Padahal Mingyu punya dua kelas besok.

“Boleh kalau gitu.” Mingyu senyum lebar dan dia segera bawain tasnya Wonwoo.

“Yuk.”

Mingyu dan Wonwoo segera keluar dari rumah sakitnya. Mingyu bukain pintu mobil buat Wonwoo dan dia simpen tas Wonwoo di jok belakang, sementara dia kembali nyetir lagi.

“Gak apa-apa kalau Mas nyetir?”

“Gak apa-apa kok. Kamu kalau mau tidur, tidur aja.”

“Tapi nanti Mas ikutan ngantuk.”

“Gak akan kok, nanti bisa beli kopi dulu.” Jawab Mingyu.

“Ya udah saya juga beli kopi.” Mingyu cuma senyum aja dan segera jalanin mobilnya.

Selama di jalan, keduanya cuma diem. Wonwoo masih kepikiran mantannya yang brengsek tadi, tapi sebenernya hal yang makin bikin dia kepikiran itu, kenapa harus Mingyu yang liat. Meskipun Wonwoo tau Mingyu gak akan nanya apapun, tapi tetep aja dia ngerasa kalau sisi rapuhnya tadi gak boleh ada yang tau, dia ngerasa ketangkap basah.

“Beli kopi dulu, ya.” Wonwoo gak sadar kalau mereka ada di rest area.

“Kamu mau apa? Biar saya pesenin.” Katanya Mingyu.

“Mas, kita mau kemana?” Tanya Wonwoo.

“Jakarta.” Mata Wonwoo tiba-tiba membelo, kaget karena dia gak punya ekspektasi kalau Mingyu bakal bawa dia ke Jakarta.

“Tadi katanya mau ke tempat jauh? Meskipun Jakarta gak jauh-jauh banget sih, tapi seenggaknya gak di Bandung.” Balas Mingyu sambil senyum. Wonwoo anggukin kepalanya.

“Atau mau di Bandung aja? Masih belum kejauhan kalau puter balik.” Sekarang Wonwoo gelengin kepalanya.

“Ke Jakarta aja.”

“Kamu mau beli apa? Biar saya beliin.”

“Mau ikut turun.” Mingyu senyum denger nada suara Wonwoo yang tiba-tiba jadi manja. Bukan cuma Mingyu, tapi Wonwoo sendiri juga sedikit kaget dan bahkan dia sampai malu sendiri, dan dia langsung turun. Mingyu ketawa kecil dan dia ikutan turun dari mobil.

Keduanya beli kopi dan cemilan buat dimakan selama di mobil, karena pasti sampainya malem kalau ke Jakarta.

“Mas.” Panggil Wonwoo dan bikin Mingyu batuk.

“Iya?”

“Biar aku aja yang nyetir.”

“Gak usah, Wonwoo. Kamu istirahat aja. Kamu tuh baru pulang dari rumah sakit, masih harus banyak istirahat.”

“Ya udah, tapi kalau Mas capek bilang aja, biar saya yang bawa.”

“Iya, Wonwoo. Ya udah yuk berangkat aja.” Wonwoo ngangguk dan mereka berdua segera naik mobil.

“Mas, kalau mau denger lagu boleh.”

“Kamu gak akan tidur?”

“Nanti aja.”

Dan akhirnya perjalanan mereka diisi sama lagu. Sementara keduanya cuma diem aja. Wonwoo dengan pikiran kusutnya, Mingyu yang fokus perhatiin jalan dan diem-diem curi pandang ke Wonwoo.

Sekitar jam 7 malam, akhirnya mereka sampai di Jakarta. Jalanan cukup macet karena jam pulang kerja. Mingyu ngelirik Wonwoo yang sedari tadi diem liatin jendela.

“Laper gak?” Tanya Mingyu. Wonwoo noleh dan ngangguk.

“Mau makan apa?”

“Gak tau.”

“Saya cari dulu tempat makan yang enak.” Mingyu ambil hp-nya dan dia segera cari-cari rekomendasi tempat makan. Lagi asik cari, tiba-tiba mobil di belakang mereka klakson kenceng banget karena ternyata mobil depannya udah maju.

“Mas, maju.” Wonwoo yang kaget langsung ngasih tau Mingyu.

“Oh iya, maaf.” Mingyu langsung injek lagi gasnya.

Ngeliat bapak dosennya yang panik itu bikin Wonwoo bisa sedikit ketawa kecil.

“Saya aja yang cari.” Wonwoo buka hp-nya dan cari-cari tempat makan buat mereka.

“Mas sukanya apa?” Mingyu natap Wonwoo sejenak terus senyum.

“Saya omnivora, bisa makan apa aja kok.” Jawabnya dan ngundang kekehan Wonwoo.

“Sebentar, ternyata Joshua chat sama miss call banyak banget.” Katanya Wonwoo.

“Iya, tadi juga dia chat saya.” Wonwoo nengok.

“Loh iya?”

“Iya, mungkin karena dia tau kalau kamu sama saya.” Wonwoo ngangguk.

“Coba balas dulu Joshuanya, dia kayaknya khawatir banget. Tadi saya bingung mau jawab apa ke Joshua, jadinya saya cuma bilang kamu baik-baik aja.” Lanjut Mingyu.

Wonwoo segera balas chat Joshua dan gak lama temen barunya itu segera nelpon dan langsung nanya rentetan pertanyaan.

“Bawel banget.” Katanya Wonwoo setelah selesai telpon. Mingyu ketawa dengernya.

“Kenapa?”

“Nanya aja kenapa gak ngabarin, kenapa chat baru dibales, kenapa telpon gak diangkat, ujungnya kenapa gak ngajakin ke Jakarta.” Mingyu ketawa renyah.

“Lucu banget Joshua.” Wonwoo cuma senyum aja. Tapi beberapa menit setelahnya ponselnya bunyi lagi. Wonwoo malah diem, gak angkat dan bikin Mingyu noleh.

“Kenapa gak diangkat?” Tanya Mingyu.

“Oh iya.” Wonwoo segera angkat.

Halo, Mas.

Mingyu langsung noleh, cuma beberapa detik, tapi setelahnya fokus lagi ke jalanan. Wonwoo juga ngecilin volume suaranya. Cuma 5 menit, dan akhirnya Wonwoo matiin sambungan telponnya.

Hening. Mingyu gak nanya apapun, Wonwoo juga niat buat jelasin karena gak penting juga. Tapi gak tau kenapa tiba-tiba mereka jadi canggung.

“Udah nemu mau makan dimana?” Tanya Mingyu mecah keheningan.

“Oh iya, tadi keburu ditelpon. Maaf maaf.” Wonwoo langsung cari tempat buat mereka makan.

“Bingung deh.” Mingyu senyum kecil liatin Wonwoo yang terus scroll layar ponselnya.

“Kamu suka makanan pinggir jalan?” Tanya Mingyu.

“Gak pernah coba.” Mata Mingyu langsung membelo karena kaget.

“Kamu gak pernah makan makanan pinggir jalan? Nasi goreng gitu?” Tanya Mingyu lagi.

“Kalau nasi goreng pernah sekali, tapi kalau kayak angkringan gitu belum pernah, atau jajanan-jajanan gitu.” Jawab Wonwoo.

“Mau coba gak?” Wonwoo diem sejenak, tapi akhirnya anggukin kepalanya.

Mereka akhirnya sampe ke daerah Tebet, dan keduanya langsung turun. Mingyu udah cukup sering pergi ke angkringan itu, dan Wonwoo ngerutin dahinya karena bener-bener asing.

“Ini kita ambil sendiri?” Tanya Wonwoo.

“Iya, ambil mau apa aja.” Jawab Mingyu.

Mata Wonwoo nelisik semua makanan yang ada disana, dia gak familiar sama jenis-jenisnya, dan berakhir dia nyerahin semuanya ke Mingyu.

“Semuanya aja ya? Sekalian biar kamu cobain.” Wonwoo membelo, karena ada banyak banget jenisnya.

“Mas, ini banyak banget loh.” Katanya Wonwoo dan ngundang kekehan Mingyu.

“Gak apa-apa. Kamu suka jeroan gitu gak?” Tanya Mingyu.

“Suka.”

“Tempe mendoan?”

“Belum pernah coba.”

“Ada alergi gitu gak atau kamu gak suka makan apa?”

“Gak ada sih.”

“Oke kalau gitu, kamu duduk aja, Wonwoo.”

“Bentar.”

Wonwoo keluarin lima lembar uang 100 ribu dan malah bikin Mingyu, bahkan abang yang jualnya ketawa. Wonwoo ngerjapin matanya karena bingung.

“Gak apa-apa, saya aja yang bayar.” Mingyu ambilin dulu makanan-makanannya sementara Wonwoo cari tempat duduk. Setelahnya, Mingyu ikut duduk di sebrang Wonwoo.

“Kamu sama sekali gak pernah ke angkringan gini, ya?” Wonwoo gelengin kepalanya.

“Aduh, saya takut bikin kamu sakit perut.”

“Mas, gak selebay itu juga.” Jawaban Wonwoo bikin Mingyu kembali ketawa renyah.

“Emang biasanya makan apa kalau di apartemen?”

Junk food.” Jawab Wonwoo.

“Kalau jalan-jalan biasanya kemana selain clubbing?” Wonwoo ngedelik denger pertanyaan iseng Mingyu.

Cafe hopping aja sih paling.” Mingyu anggukin kepalanya.

Gak lama, pesenan mereka datang. Wonwoo ngerutin dahinya karena saking banyaknya makanan di hadapan dia sekarang.

“Mas, banyak banget.” Kata Wonwoo.

“Makan dulu coba.” Mingyu senyum sambil kasih nasi kucing ke Wonwoo.

Mingyu natap Wonwoo penasaran, dia nungguin reaksinya Wonwoo. Lelaki yang lebih muda itu segera ngelahap masinya. Gak tau kenapa Mingyu ngerasa deg-degan, takut Wonwoo gak suka.

“Gimana?”

“Bisa dibungkus kan?” Mingyu senyum lebar dan secara refleks dia ngusak rambut Wonwoo karena gemes liat pipinya yang ngunyah makanan.

“Bisa, nanti saya pesenin.”

Akhirnya mereka berdua makan dengan Wonwoo yang selalu nanya apa nama makanannya ke Mingyu setiap dia nyobain makanan lain. Sampe akhirnya semua makanan di atas meja mereka abis.

“Tunggu, saya pesenin dulu nasi kucingnya, mau sama kulit sama telur puyuh?”

“Kok Mas tau saya suka itu?” Tanya Wonwoo kaget.

“Soalnya lahap banget makannya, sampe punya saya aja kamu makan.” Wajah Wonwoo bersemu ketika denger ucapan Mingyu.

“Tunggu, ya.” Mingyu segera pesen lagi.

“Berapa, Mas? Sama yang ini juga.” Tanya Wonwoo.

“Tebak.” Jawab Mingyu sambil senyum usil, karena sebelumnya Wonwoo keluarin uang 500 ribu.

“Berapa sih? Tadi saya mau bayar 500 malah diketawain. Lebih dari 500, ya?” Wonwoo ngerjap polos, sementara Mingyu lagi-lagi ngetawain Wonwoo sambil ngacak rambutnya.

“200 ribu doang.” Jawaban Mingyu bikin Wonwoo kaget.

“Gak mungkin. Bohong, ya?” Tanya Wonwo lagi.

“Gak dong, coba aja kamu tanya ke abangnya.”

“Tapi kalau all you can it mahal.”

Dan ketawa Mingyu makin pecah bikin Wonwoo bingung kenapa dosennya itu ketawa sekenceng itu, plus kaget juga karena dia baru ngeliat Mingyu ketawa selepas itu.

“Aduh, gemes banget kamu, Won.” Katanya Mingyu.

“Kenapa sih?” Kata Wonwoo sebel.

“Ya kamu bandingin angkringan sama all you can it, jelas jauh dong, gemes.” Tawa Mingyu. Tapi Wonwoo malah salah fokus sama kata terakhir Mingyu.

Gemes.

Gak tau kenapa, dia malah salah tingkah sendiri dan malingin wajahnya karena kerasa panas.

“Nah pesenan kamu udah selesai. Mau tidur dimana?” Tanya Mingyu setelah nasi kucing Wonwoo udah selesai.

“Hotel aja, bentar saya cari. Sekarang saya aja yang bayar.”

“Gak usah, Wonwoo. My treat.” Wonwoo ngerutin dahinya.

“Mas, jelas-jelas disini tuh Mas yang nemenin saya. Harusnya saya yang traktir.”

“Gak apa-apa, Wonwoo.”

“Gak mau, saya aja.”

“Wonwoo, saya aja.”

“Ya udah gak usah tidur.”

“Gak boleh, kamu baru sembuh.”

“Tapi belum ngantuk.”

“Nanti juga ngantuk kok, minum obatnya.” Titah Mingyu.

“Nah udah dapet hotelnya. Yuk.” Giliran Mingyu yang ngerutin dahi. Wonwoo berdiri sambil ambil kresek yang isinya nasi kucing, sate telur puyuh, dan sate kulit.

Akhirnya mereka berdua pergi ke hotel yang udah Wonwoo pesen secara daring. Di jalan mereka terus debat karena Mingyu pengen bayar, tapi Wonwoo terus nolak.

Sesampainya disana, mereka ke resepsionis buat ambil kuncinya, tapi...

“Loh, kakak di aplikasi cuma pesan 1 kamar kok, coba boleh kakak cek dulu.”

Wonwoo langsung cek ponselnya dengan cepet, dan bener aja, ternyata dia cuma pesen satu kamar karena tadi dia buru-buru pesen, takut keburu Mingyu pesen juga.

“Ah... Iya ternyata, Mbak. Masih ada kamar kosong gak?” Tanya Wonwoo lagi.

“Ada, kak.”

“Saya aja.” Kata Mingyu.

“Nggak, saya.”

“Kan kamu udah dapet kamar.”

“Ih, udah pokoknya saya.”

“Gak usah, Wonwoo.”

Mereka lagi-lagi debat dan bikin resepsionisnya cuma natap mereka bingung. Sampe akhirnya resepsionisnya bilang.

“Udah *full booked”, ini ada yang pesen lagi.” Keduanya langsung membelo.

“Kakak kakaknya sekamar aja, kasurnya luas kok.”

Keduanya malah salah tingkah. Tapi akhirnya mereka naik juga ke lantai lima. Sebenernya itu bukan hotel besar, hotel biasa, Wonwoo booking disitu karena aksesnya deket dari angkringan tadi.

Saat masuk, mereka berdua cuma diem-dieman. Mingyu dan Wonwoo beresin barang-barang mereka tanpa ngomong. Keduanya sebenernya udah capek, tapi mau tiduran di kasur rasanya canggung aja gitu.

“Mas—”

“Won—”

“Duluan aja.”

Mereka ngucap di waktu yang bersamaan dan lagi-lagi bikin mereka salah tingkah sendiri.

“Mas kalau mau mandi, duluan aja.” Katanya Wonwoo.

“Oke.”

Mingyu segera masuk ke kamar mandi, sementara Wonwoo diem dulu, karena dia bingung mau ngapain. Akhirnya dia milih buat ke bawah karena di sebelahnya ada mall, Wonwoo mau beli baju buat dia tidur dan sekalian mau beliin buat Mingyu juga karena dosennya itu juga pasti gak bawa baju ganti.

30 menit berlalu, Wonwoo udah balik ke kamar, dan disana ada Mingyu yang telanjang dada, cuma ada handuk yang tutup tubuh bagian bawahnya.

“Itu bathrobe-nya kamu aja yang pake.” Kata Mingyu. Wonwoo cuma ngangguk, gak tau kenapa dia ngerasa pipinya panas ngeliat pemandangan di depannya itu.

“Kamu abis belanja?” Tanya Mingyu.

“Oh... Iya, ini buat Mas.” Wonwoo simpen satu paper bag yang isinya baju dan celana.

“Ya ampun, kamu tuh—”

“Saya mandi dulu.”

Wonwoo segera masuk kamar mandi karena dia gak mau dengerin omelan Mingyu yang ujungnya bakal bawa mereka ke perdebatan lagi.

Selesai mandi, Wonwoo liat Mingyu tidur di atas sofa sambil mainin hp-nya. Mingyu yang sadar adanya kehadiran Wonwoo langsung senyum.

“Makasih bajunya.” Kata Mingyu.

“Kirain mau protes lagi.” Dosen muda itu ketawa kecil.

“Tidur gih.” Suruh Mingyu.

“Belum ngantuk.”

Hening. Mingyu gak jawab lagi. Wonwoo juga cuma diem aja sambil berdiri mainin hp-nya. Dia gak enak kalau mau tidur di kasur, karena Mingyu tidur di sofa. Agak ngerasa bersalah juga karena kalau Wonwoo tadi bisa pesen dua kamar, harusnya Mingyu bisa tidur di kasur juga.

“Mas, tidur di kasur aja.”

“Kamu aja, saya disini gak apa-apa kok.”

Wonwoo akhirnya naik ke atas kasur, dia sandarin punggungnya head bed dan diem aja gak ngomongin apapun.

“Tadi itu mantan saya.”

Mingyu segera nengok waktu denger Wonwoo buka suara. Wonwoo juga gak tau kenapa tiba-tiba dia pengen ceritain ini. Dia udah ngerasa terlalu sesak nyimpen semuanya sendirian.

“Saya kaget waktu dia datang, soalnya kita udah lost contact selama 4 tahun, tapi saya baru tau kalau ternyata temen dia yang juga kenal saya kerja di rumah sakit itu dan ngasih tau ke mantan saya itu.”

Seluruh atensi Mingyu kini tertuju ke Wonwoo. Dia simpen hp-nya dan natap laki-laki yang lebih muda itu dengan seksama.

We were in a relationship back then when we were in high school, but it turns out he betrayed me. I caught him fucking with... My mom, and it's really disgusting.

Mingyu bener-bener kaget dan sulit buat mencerna cerita Wonwoo. Dia gak tau kalau ada orang sebrengsek itu.

We broke up, and since then, I have never trusted anyone. Actually I'm not in good relationship with my mom since little, but I'm not expect if she destroy me like that.” Wonwoo ngehembusin nafasnya kasar.

“*And that's why I don't believe in love, since my parents never gave me that.”   Nafas Wonwoo tiba-tiba kerasa tercekat, dadanya kembali bergemuruh, kepalanya kerasa pusing.

“Maaf saya jadi ngelantur, saya izin tidur.”

“Boleh saya tidur sama kamu?”

Keduanya saling tatap cukup lama, sampai akhirnya Wonwoo anggukin kepala dan Mingyu segera duduk di samping Wonwoo.

“Udah lega?” Tanya Mingyu sambil natap Wonwoo. Sementara yang ditanya cuma anggukin kepalanya dan lepas kacamatanya.

A bit.” Jawabnya.

Need a hug?

Tatapan mereka kembali ketemu. Mingyu nunggu jawaban Wonwoo dengan sabar. Gak tau kenapa, tiba-tiba mata Wonwoo kerasa panas dan akhirnya dia anggukin kepalanya. Sekon berikutnya, Mingyu langsung peluk Wonwoo dan laki-laki yang lebih muda kembali keluarin air matanya lagi. Udah terlalu sesak buat dirinya nahan semua sendirian. Wonwoo udah capek pura-pura kuat. Untuk saat ini aja Wonwoo pengen keluarin dirinya yang sebenernya. Untuk sementara, Wonwoo pengen istirahat, pengen jadi dirinya sendiri yang sebenernya rapuh. Dia udah terlalu capek bohongin diri sendiri dan orang lain.

Mingyu sekarang paham, dinginnya Wonwoo itu ada penyebabnya. Lukanya udah terlalu banyak dan bikin Wonwoo memasang tembok tinggi buat lindungin dirinya sendiri, jaga-jaga biar dirinya gak lagi terluka.

20 menit berlalu, akhirnya Wonwoo selesai nangis, tapi dia masih belum mau lepasin pelukannya dan Mingyu juga gak keberatan. Dosennya itu cuma usap-usapin punggungnya, berharap bisa salurin rasa tenang.

“Boleh saya bilang sesuatu?” Tanya Mingyu. Wonwoo ngangguk dan itu kerasa di bahunya Mingyu.

I'm so sorry it happened to you. It must have been hard for you through it all. Apalagi kamu mendem semuanya sendirian selama ini.” Mingyu ngejeda kalimatnya. Tangannya bergerak buat usap kepala Wonwoo.

“Tapi Wonwoo, kamu tau gak kalimat yang bilang, everyone has a happy ending, if you're not happy, it's not the end. Mungkin belum saat ini, tapi suatu saat nanti kamu bisa ketemu sama bahagianya kamu.”

Please keep in mind that you deserve love, just like everyone else. And if you still can't find it yet...

Mingyu ngelepas pelukannya. Dia tatap wajah Wonwoo yang merah. Mata rubahnya sembab. Tangan Mingyu bergerak buat belai pipi Wonwoo. Sementara Wonwoo cuma natap Mingyu dengan sisa sesenggukannya.

Perhaps you can find on me.

Good night. Hope you have a sweet dream.

Dan Mingyu kembali ke sofanya diiringi sama detak jantungnya yang gak normal, ninggalin Wonwoo dengan keadaan yang sama dan pipi yang bersemu merah.

Jam 8 malam, akhirnya giliran Seungcheol yang datang jenguk Wonwoo. Laki-laki yang beda 9 tahun dengan Wonwoo itu bawa banyak makanan sampai bikin Wonwoo ngerutin dahinya.

“Banyak banget, Mas?” Yang ditanya cuma senyum sambil rapiin makanannya. Ada banyak cemilan disana.

“Kamu terakhir kali ngeluh karena makanan rumah sakit gak enak. Jadinya Mas beliin tuh makanan enak, tapi tetep sehat kok.” Jawab Seungcheol.

“Makasih, Mas.” Bales Wonwoo.

“Udah makan malem?” Tanya Seungcheol.

“Itu tadi udah dianterin sama susternya, tapi belum aku makan.” Jawab Wonwoo.

“Makan dulu, cantik.”

I'm not pretty.

You are.

Wonwoo muter bola matanya males dan milih buat gak lanjutin perdebatan mereka. Seungcheol ambil tray makanannya dan suapin Wonwoo.

“Gak mau, Mas.” Rengek Wonwoo.

“Sedikit aja, Wonwoo.”

“Gak enak.”

“Sedikit aja, sayang. Nanti makan cemilan dari Mas.” Wonwoo hembusin nafasnya panjang dan akhirnya nurut. Seungcheol suapin Wonwoo dan yang disuapin nurut aja sambil mainin ponselnya.

“Tadi temen kamu lama, dek?” Tanya Seungcheol.

“Gak, kayaknya cuma sejam aja.” Jawab Wonwoo.

“Loh cuma sebentar.”

“Iya, soalnya akunya ngantuk.”

“Sekarang ngantuk?” Wonwoo ngelirik Seungcheol.

“Kalau iya kenapa? Mas mau pulang juga?” Seungcheol senyum.

“Gak, mau nginep lah, ditemenin tidurnya.” Wonwoo simpen ponselnya.

“Sini.” Wonwoo nepuk kasurnya. Niat Wonwoo cuma godain Seungcheol, tapi ternyata laki-laki itu beneran naik dan duduk sebelah Wonwoo.

“Kenapa kaget? Kan kamu yang suruh Mas disini.” Giliran Seungcheol yang godain Wonwoo.

“Soalnya aku tadi cuma becanda.” Bales Wonwoo. Kekehan keluar dari bibir Seungcheol.

“Udah makannya, mau minum.” Tolak Wonwoo saat Seungcheol kasih sesuap nasi lagi. Laki-laki yang lebih tua nurut, dia simpen makanannya dan ambil segelas air putih buat Wonwoo.

“Abisin minumnya.” Wonwoo cuma ngangguk dan abisin segelas air putihnya sekaligus minum obat. Setelah abis, Seungcheol simpen lagi di nakas sebelah kasur Wonwoo.

“Ngantuk?” Tanya Seungcheol sambil usapin pipi Wonwoo.

“Belum ngantuk.” Jawab Wonwoo.

“Mas beneran mau tidur disini?” Tanya Wonwoo karena Seungcheol yang gak turun juga dari kasurnya.

“Sempit, ya? Ya udah duduk disini.” Seungcheol nepuk pahanya sendiri.

“Nanti ada suster.” Jawab Wonwoo.

“Kalau gak ada mau berarti duduk disini?”

“Mau mau aja.” Seungcheol terkekeh dan nyubit pipi Wonwoo.

“Udah dipake?” Mata Seungcheol sekarang tertuju ke ranum Wonwoo.

“Apa? Lipbalm?” Tanyanya.

“Iya, dek.”

“Belum. Sini deh, di meja itu.” Seungcheol lagi-lagi nurut dan ambilin lipbalm Wonwoo yang rasa stroberi itu. Seungcheol perhatiin Wonwoo yang lagi pakein lipbalm di bibirnya.

“Bibir Mas tuh kok plumpy banget? Bibir aku kering gara-gara sakit.” Wonwoo tekan-tekan bibir tebelnya Seungcheol. Sementara yang dipegang cuma senyum dan dengan cepat pindahin badan Wonwoo ke atas pahanya.

“Mas!” Wonwoo mukul bahu Seungcheol, takut ada yang masuk.

“Gak akan ada yang masuk, pintunya udah Mas kunci.” Wonwoo puter bola matanya males.

“Mana? Mas mau cobain.” Ujar Seungcheol sambil usap-usap pipi Wonwoo lagi.

“Ya itu tinggal pake aja punyaku, Mas.” Seungcheol cemberut dan bikin Wonwoo terkekeh.

I don't kiss other people first when I'm sane.” Ucap Wonwoo.

Sekon berikutnya, ada Seungcheol yang meraih tengkuk Wonwoo dengan lembut, mempertemukan bibir mereka dan menjilat bibir Wonwoo yang terasa manis stroberi. Wonwoo mengalungkan tangannya pada leher Seungcheol, sementara tangan Seungcheol mendekap erat pinggang ramping Wonwoo sembari mengusap-ngusapnya lembut. Netra keduanya terpejam, dengan kepala yang sedikit miring, dan bibir yang saling melumat lembut. Seungcheol menggigit pelan bibir Wonwoo dan yang lebih muda membuka mulutnya, memberi akses untuk lidah Seungcheol mengeksplor rongga mulutnya.

Kedua organ tak bertulang itu bergulat dalam ritme pelan. Sesekali, Seungcheol ngisap lidah Wonwoo sampai keduanya bertukar saliva. Ketika Wonwoo lepas tautan bibir mereka, ada benang tipis transparan yang tercipta dari aktivitas mereka.

Seungcheol senyum dan ngusap ujung bibir Wonwoo yang sedikit berantakan. Selanjutnya dia ngecup bibir Wonwoo sekilas dan belai-belai pipinya lembut.

“Bisa gak kita pacaran aja, dek? Mas suka banget sama kamu.” Wonwoo cuma senyum sambil mainin rambut Seungcheol.

Such a sudden confession.” Bales Wonwoo.

“Padahal Mas udah sering bilang.”

“Aku baru denger langsung.”

“Ya udah tiap hari ketemu biar tiap hari denger.”

“Mas kan kerja, aku juga kuliah.”

“Bisa jemput kok.”

“Gak usah, ngerepotin.”

“Mas suka direpotin kamu.”

“Gombal terus nih Om.” Wonwoo kecup bibirnya Seungcheol dan bikin lelaki yang dicium itu senyum lebar.

“Katanya you don't kiss first when you sane?” Tanya Seungcheol. Tangannya semakin ngedekap Wonwoo sambil usapin punggungnya.

“*It's a peck, not a kiss.” Seungcheol terkekeh.

“Nginep boleh?” Tanya Seungcheol sambil ciumin punggung tangannya Wonwoo.

“Iya, boleh. Tapi aku juga mau tidur, gak mau ngapa-ngapain.”

“Emang mau ngapain?” Tanya Seungcheol. Wonwoo mutar bola matanya.

“Ya udah ayok tidur, mata kamu udah merah.” Wonwoo ngangguk. “Dipeluk, ya?” Wonwoo diem sejenak tapi akhirnya ngangguk.

Dan akhirnya mereka tidur dengan Wonwoo yang ada di pelukan Seungcheol.

Wonwoo yang bosen cuma ngotak-ngatik ponselnya sampai suara ketukan pintu ngedistraksi perhatiannya. Muncul satu orang laki-laki yang senyum lebar sambil bawain pizza, dan satu laki-laki lagi yang muncul sambil bawa tas laptop dan paper bag yang gak tau apa isinya.

“Wonwooo.” Joshua segera ngehampirin Wonwoo. Dia simpen pizzanya dan duduk di samping ranjang Wonwoo.

“Ih lu kok sampe drop gini sih? Sakit apa? Pak Mingyu gak ngasih tau gue.” Wonwoo ngelirik Mingyu terus balik lagi natap Joshua sambil senyum tipis.

“Gastritis.” Mata Joshua yang besar itu semakin membelo dengernya. Sedikit aneh karena dia gak pernah ngalamin.

“Kebanyakan alkohol, ya?” Tanyanya. Wonwoo cuma ngangguk.

“Ih, kurangin dong, Won. Demi kesehatan lu, mana lagi skripsian juga kan, harus jaga tuh makanan, soalnya jangan sampe udah stres pikiran, fisik juga jangan sampe ikutan.” Katanya Joshua. Wonwoo ngerasa aneh. Dia udah lama gak punya temen, dan ketika ada yang perhatian gini, Wonwoo kadang ngerasa... Seneng? Tapi dia gak mau nunjukin karena traumanya di masa lalu bikin dia agak sedikit takut buat temenan sama orang lain.

“Ini laptop kamu.”

“Simpen di sofa sana aja, Mas.”

Ruangan tiba-tiba hening. Mingyu natap Wonwoo tanpa berkedip. Wonwoo gigit bibirnya dan ngeremas selimut rumah sakit yang nutupin setengah badannya. Joshua ngerutin dahi denger ucapan Wonwoo.

Mas?” Tanya Joshua.

Wonwoo neguk ludahnya, sementara Mingyu cuma bisa garuk-garuk kepalanya dan diem-diem simpen laptopnya Wonwoo karena dia gak mau ikutan ditanya Joshua.

“Ah... Itu tadi gue abis chat sama Mas gue, makanya kebawa. Maaf, ya, Pak.” Mingyu cuma senyum sambil ngangguk.

“Lu punya Mas? Kakak?” Tanya Joshua.

“Eh? Bukan kakak juga sih. Ya ada kenalan gue, gue manggil dia Mas, since he's older.” Jawab Wonwoo.

“Oh, kirain gue kakak atau saudara lu.” Lanjut Joshua.

“Atau gebetan lu?” Pertanyaan Joshua bikin Wonwoo batuk. Mingyu juga ikutan noleh dan natap Wonwoo.

“Bener, ya?” Kekeh Joshua. Wonwoo gelengin kepalanya sambil minum air putihnya.

“Itu lu sampe batuk gitu. Santai aja, gak akan gue kasih tau orang lain.” Joshua ketawa kecil.

“Bukan gebetan, temenan biasa.” Jawab Wonwoo setelah dia minum airnya.

“Tapi lucu banget manggilnya Mas.”

“Ya karena dia orang Jawa?”

“Punya saudara gak dia? Gue pengen punya pacar yang bisa dipanggil Mas juga.” Wonwoo ketawa dengernya.

“Ih kok ketawa?”

“Gak apa-apa, lucu aja.” Joshua malah ikutan ketawa.

“Tapi bukannya lu ada pacar, ya?” Joshua gelengin kepala.

“Udah gak punya.” Jawabnya.

“Oh... Sorry.” Kata Wonwoo gak enak.

No need. Biasa aja kok.” Bales Joshua sambil senyum.

“Eh tapi, Pak Mingyu juga orang Jawa gak sih? Berarti biasa dipanggil Mas juga?” Mingyu nengok dan dia anggukin kepalanya.

“Kalau lagi pulang ya dipanggil Mas.” Jawab Mingyu.

“Bapak punya saudara gak?” Wonwoo natap Joshua gak percaya, sementara Mingyu malah ketawa.

“Lu sepengen itu manggil orang pake embel-embel Mas?” Tanya Wonwoo.

“Lucu tau!” Bales Joshua.

“Iya, lucu kalau denger orang manggil saya Mas.” Wonwoo ngelirik Mingyu.

“Tuh kan. Bapak kalau dipanggil Mas sama pacar bapak, suka gak?”

“Suka. Gemes soalnya hahaha.” Wonwoo diem aja. Gak tau kenapa dia tiba-tiba ngerasa kalau itu ditujukan buat dia.

“Kalau bukan pacar?” Wonwoo sebenernya gak terlalu peduli sama obrolan itu, tapi dia tetep dengerin.

“Biasa aja sih.” Tanpa sadar, Wonwoo anggukin kepalanya sambil bilang 'oh' dengan suara pelan.

“Kenapa, Won?” Tanya Joshua yang ternyata denger.

“Gak apa-apa. Udah yuk makan aja.” Katanya Wonwoo.

“Gak dibolehin sama Pak Mingyu tuh tadinya.” Adu Joshua. Wonwoo ngelirik Mingyu.

“Gak boleh makan yang aneh-aneh dulu, kamu kan sakitnya pencernaan.” Wonwoo ngedelik sebel.

“Pak, coba bapak makan makanan rumah sakit, pasti bakal minta hal yang sama juga. Lagian kan saya juga udah sembuh.” Bales Wonwoo ngeyel.

“Gak boleh, Wonwoo. Kalaupun udah sembuh, ya ditahan dulu, tunggu bener-bener pulih.” Mingyu kekeh ngelarang Wonwoo buat makan pizza.

“Kan satu slice aja. Gak akan bikin kambuh juga kali.” Mingyu ngehembusin nafas panjang. Joshua cuma natap mereka bolak balik karena gak pernah liat pemandangan dimana Wonwoo yang banyak bicara dan Mingyu yang keliatan kesel.

“Ya udah satu, tapi gak usah pake saosnya.” Wonwoo ngerutin dahinya.

“Mana enak?”

“Gak pake atau gak sama sekali?”

Wonwoo gak ngebales tapi cuma ngedecak sebal sambil ambil pizzanya dan langsung dia makan tanpa saos.

“Kalian pacaran, ya?”

Refleks, baik Wonwoo pun juga Mingyu batuk kenceng sampai keduanya nepuk-nepuk dada mereka sendiri dan langsung minum.

“Joshua! Lu kalau ngomong yang bener aja kenapa sih?” Joshua malah micingin matanya curiga.

“Lagian lucu banget. Pak Mingyu khawatir banget sama lu, terus lu juga nurut-nurut aja sama Pak Mingyu. Gimana gak mencurigakan?” Wonwoo gelengin kepalanya, sementara Mingyu lagi-lagi ngehembusin nafasnya.

“Terus kalau dipikir lagi, Pak Mingyu juga yang kemaren anter Wonwoo.”

“Shua, mending lu stop cocoklogi.” Shua cuma ketawa sambil makan pizzanya.

“Rahasia kalian aman kok kalau sama gue.”

“Gak ada yang pacaran, Joshua.” Yang dikasih tau cuma senyam senyum aja.

“Seru juga ledekin kalian.” Kekeh Joshua.

“Jangan sampe gue usir.” Bales Wonwoo sewot tapi malah bikin ketawanya Joshua semakin kenceng.

“Lagian respon lu lucu banget, Won. Mahasiswa lain mah salting kali dikecengin Pak Mingyu, lu malah gak mau.” Wonwoo mutar bola matanya malas.

“Ya karena Wonwoo-nya gak suka, Joshua.” Bales Mingyu sambil jalan ke arah pintu ambilin makanan Wonwoo yang dianterin suster.

“Pak Mingyu suka?” Tanya Joshua.

“Suka siapa?” Mingyu balik tanya.

“Wonwoo lah.”

“Lu tuh ngaco banget kenapa sih? Balik deh mendingan.” Kata Wonwoo nyoba buat sabar, tapi justru nimbulin tawa dari Joshua dan Mingyu.

“Kalian akrab sejak kapan?” Tanya Mingyu.

“Gak akrab.” Jawab Wonwoo.

“Ih parah. Gue padahal udah seneng kalau gue anggap kita deket.” Bales Joshua cemberut.

“Gak, lu nyebelin.”

“Pokoknya kita deket. Susah banget tau mau deketin lu.” Katanya Joshua.

“Gue dari semester 3 udah kenal lu, tapi pengen deket masih takut.”

“Takut kenapa sih? Gue biasa aja padahal.” Bales Wonwoo santai.

“Lu gak tau kalau anak-anak pada bilang lu itu untouchable?” Wonwoo ketawa.

“Lebay banget.”

But I do agree.” Mingyu nyaut dan bikin Wonwoo ngerutin dahinya.

“Iya kan, Pak? Tuh Pak Mingyu yang dosen aja bisa rasain.” Kata Joshua semangat karena ada yang dukung statement dia.

Perhaps I'm not that close with you, but I do feel as if you're untouchable since you refuse to be close with others.” Lanjut Mingyu.

“Setuju. Lu kayak emang gak mau dideketin orang lain.”

“Ini kita deket.” Mata Joshua berbinar.

“Bener lu anggap kita deket?” Wonwoo ngedelik, karena jauh dalam hatinya dia seneng punya temen yang bisa dia anggap cukup dekat.

“Gengsi tuh.” Ledek Mingyu.

“Bapak bisa ngeledek juga, ya?” Tanya Wonwoo.

“Ih, lu gak tau aja kalau Pak Mingyu di luar jam kuliah mah kayak temen sama mahasiswa.” Mingyu ketawa. Emang di antara mereka bertiga, Joshua yang aktif buat cairin suasana.

“Kalian tuh kenapa sih diem-diem terus? Kalau Wonwoo ya udah emang gak banyak ngomong, tapi Pak Mingyu biasanya sering cerita kalau sama mahasiswa lain.” Wonwoo ngelirik Mingyu lagi entah buat yang ke berapa kali.

“Capek, Joshua. Abis ngajar 6 sks saya tuh dari pagi tadi.”

“Lu aja yang terlalu bawel.” Celetuk Wonwoo.

“Kalau gue gak bawel, ruangan ini sepi, gak ada yang ngomong.” Bales Joshua.

“Wonwoo makan dulu.”

“Kenyang, Pak.”

“Sedikit aja, kan harus minum obat.”

“Kan tadi udah makan pizza, bisa minum obat.”

“Gak cukup dong, Wonwoo.”

“3 suap.”

“5 aja.”

“Ya udah 4.”

Mingyu ngehembusin nafas, terus anggukin kepalanya dan dia kasihin tray makanannya yang isinya bener-bener gak menggugah selera.

“Bisa gak makannya?” Tanya Joshua.

“Gue tuh yang sakit lambung, bukan tangan.” Balesan Wonwoo bikin Joshua terkekeh.

“Lu tuh mandiri banget, ya?” Wonwoo ngelirik Joshua. Takut hal yang gak pengen dia denger dibahas.

“Orang tua lu gak kesini?”

Dan bener dugaan Wonwoo. Dia benci banget kalau ditanya soal orang tuanya. Dia akhirnya cuma senyum tipis dan lanjutin makannya, beruntung Joshua gak nanyain hal yang lainnya lagi.

Diem-diem Mingyu perhatiin gelagatnya Wonwoo, dan dia keinget dimana waktu Mingyu nanya hal yang sama lewat chat, Wonwoo langsung alihin topiknya dan pamit.

“Udah selelsai?” Tanya Mingyu.

“Udah.” Jawab Wonwoo.

Mingyu bisa rasain kalau Wonwoo keliatan males setelah Joshua tanyain tentang orang tuanya. Wonwoo yang tadinya cukup bawel karena diledekin Joshua, sekarang balik diem dan pasang ekspresi dingin lagi.

“Minum obatnya jangan lupa. Saya sama Joshua pulang dulu, ya.” Joshua langsung nengok dengan keningnya yang ngerut.

“Sekarang banget, Pak?”

“Kasian Wonwoo-nya harus istirahat, Joshua.” Mingyu ngelirik ke arah Wonwoo, pun sebaliknya. Mereka saling tatap buat beberapa detik dan Wonwoo anggukin kepalanya.

“Ya udah deh kalau gitu. Won, cepet sembuh, ya, biar gue ada temen bimbingan bareng.”

“Temen lu banyak.”

“Maunya sama lu.” Wonwoo senyum tipis.

“Ayok, Joshua.” Ajak Mingyu.

“Gue balik dulu, ya, Won. Dadah.”

“Jangan makan yang aneh-aneh dulu, alkoholnya juga libur dulu, Wonwoo. Saya pamit.” Wonwoo ngangguk dan akhirnya Mingyu juga pergi.

Jam 14:45 gue udah nungguin Kak Kinan di sekitar kampus, bahaya kalau gue jemputnya di dalem kampus. Apa gak langsung jadi bahan omongan ada mahasiswa ngecengin dosennya.

Jam 14:50 gue udah bisa liat Kak Kinan jalan ke arah gue. Gue senyum sambil jalanin motor ke arah dia, mumpung gak banyak yang lewat anak jurusan gue.

“Hati-hati tuh banyak yang galau.” Ledek Kak Kinan. Gue cemberut, Kak Kinan tuh bilang kalau dia sering dicurhatin mahasiswi, katanya banyak yang naksir gue, suka nanyain kenapa gue berhenti jadi asdos. Bisa-bisanya mereka curhat ke orang yang gue gebet.

“Batre kamera aku abis, Gyu.” Katanya Kak Kinan pas kita berdua udah di atas motor.

“Ya udah gak apa-apa, aku aja yang fotoin kakak.” Bales gue.

“Ih, aku juga mau foto tempatnya, bukan aku yang difotoin.” Gue ketawa, soalnya emang kalau Kak Kinan lebih suka fotoin orang atau objek lain, dari pada dia yang dijadiin subjek foto.

“Nanti pake kamera aku aja.”

“Terus kamu pake apa?”

“Pake hp juga bisa kan, nanti tinggal edit lagi aja.” Jawab gue.

“Oke deh.” Bales Kak Kinan.

Kita berdua gak banyak ngobrol selama di jalan, sampe akhirnya kita sampe di lokasi dan cukup banyak orang sih, mungkin karena emang lagi viral juga tuh di tiktok makanya banyak yang kesini padahal ini tuh masih baru kawasannya.

“Lucu banget, Gyu.” Kata Kak Kinan sambil liatin toko-toko yang ada disini.

“Iya kan? Aku juga baru kesini sih kak.” Bales gue.

Gue keluarin kamera, dan foto-fotoin toko-toko yang ada. Jujur, emang ini tuh gemes-gemes banget.

“Kak, sini aku fotoin.” Kak Kinan nengok dan segera senyum sambil ngehadap kamera. Gue senyum liatnya.

“Lagi, kak.” Kata gue.

“Udah ah, Gyu. Malu.” Gue cuma senyum terus liatin hasilnya.

Gue dan Kak Kinan keliling lagi terus gak tau kenapa mata gue langsung tertuju ke satu toko warna ungu, namanya Puka_id.

“Kak, kesitu yuk.” Kak Kinan natap gue bingung tapi akhirnya dia ikut.

Waktu masuk, disana banyak barang-barang gemes yang didominasi sama warna pink. Gue liat-liat dan gak tau kenapa pengen beli banyak.

“Kak, coba deh.” Kak Kinan perhatiin bandana yang gue pegang terus dia pake. Lucu banget ngapa ya ini cewek gue?

“Kenapa sih, kak?” Tanya gue.

“Jelek, ya, Gyu?”

“Kenapa cakep banget?” Kak Kinan cuma ketawa terus simpen lagi bandananya.

“Gak mau beli? Aku yang beliin, soalnya aku suka liatnya.”

“Serius? Terlalu kayak anak muda gak? Emang aku masih cocok pake yang gitu?”

“Cocok lah, lagian kakak keliatan kayak 20 tahunan kok.” Bales gue sambil terkekeh.

“Boong, ya?” Kak Kinan micingin matanya.

“Beneran.” Gue malah ketawa.

Pas gue sama Kak Kinan lagi becanda, ada pelanggan lain masuk.

“Anjir ketemu terus sama lu ngapa sih? Bosen banget gue gak di kontrakan gak lagi jalan, ketemu mulu.” Iya itu si Dikey cuma sendiri. Tapi gak tau kenapa firasat gue bilang kalau bakal ada satu orang lainnya nyusul masuk.

“Aa, aku udah selesai ja—jan...” Bener kan. Ada Kejora.

“Hai, Kak Kinan. Hai, Kak Mingyu.” Sapa Kejora ceria.

“Eh kita ketemu lagi.” Bales Kak Kinan.

“Harus double date gak sih, Kak?” Tanya Kejora sambil ketawa, Kak Kinan juga ikutan ketawa.

“Oh, kalian pacaran?” Tanya Kak Kinan.

“Hehehe iya, kak. Balikan sih lebih tepatnya.” Gue cukup kaget waktu denger jawaban Kejora.

“Oh kalian pernah pacaran?” Mereka malah ngobrol.

“Pernah, kak. Waktu SMA tapi putus soalnya akunya pindah, terus balikan lagi deh sekarang.” Kejora nyengir waktu bilangnya.

“Loh gemes banget. Jadi sekarang lagi ngedate nih ceritanya?” Tanya Kak Kinan.

“Nemenin bocil nih, kak. Pengen jajan disini, katanya lucu-lucu barangnya. Emang cewek kue.” Giliran si Dikey yang nyaut.

“Kakak mau beli juga?” Tanya Kejora.

“Eh? Tadi Mingyu yang ajak kesini, katanya barangnya lucu, jadi mau liat-liat dulu. Tapi saya malu soalnya udah bukan abg kayak Binar.” Jawab Kak Kinan.

“Ih, gak apa-apa tau, Kak. Emang abg aja yang boleh pake? Lucu kok kalau Kak Kinan pake, lagian kakak juga kayak masih 20 tahunan.” Jawaban Kejora bikin Kak Kinan ketawa.

“Sini sini aku pilihin.”

Gak tau kenapa gue merhatiin mereka berdua. Gue cukup kaget pas liat Kejora ngambil bandana yang tadi gue kasih ke Kak Kinan.

“Ini lucu banget.” Katanya Kejora.

“Loh, tadi juga Mingyu kasihnya yang ini.” Kejora ngelirik gue.

“Oh iya? Mungkin selera aku sama Kak Mingyu sama.” Jawab Kejora sambil ketawa.

“Bengong aja lu.” Si Dikey nyenggol gue.

“Kok lu gak bilang mau kesini?” Tanya gue.

“Lah ngapain bilang? Emang ini punya uyut lu?” Bales si Dikey. “Lagian gue cuma nemenin Binar sih, ngebet banget pengen kesini. Ya udah gue nurut aja apa kata cewek gue.” Gue nengok.

“Beneran balikan?” Tanya gue.

“Beneran lah.”

“Kapan balikannya? Kok lu gak bilang gue?”

“Anjir posesif banget. Gue gak nyangka lu seperhatian ini sama gue.” Pengen gue gaplok si Dikey.

“Najis.” Jawaban gue bikin si Dikey ketawa.

“Kemaren sih pas balik rapat itu, pas lu liat gue gendong Binar, nah itu tuh udah balikan.” Bales Dikey. Gue cuma jawab 'oh' doang.

“Abis ini lu mau kemana?” Tanya Dikey.

“Kepo lu.” Bales gue. Gue sesekali ngambil fotonya Kak Kinan pake kamera.

“Fotoin Binar dong.” Gue diem.

“Iye.” Jawab gue. “Candid?” Gue tanya lagi.

“Iya, pacar gue mah mau lagi gimana juga cakep.” Gue muter bola mata gue males, terus ambil foto-fotonya Kejora yang jujur emang dia cakep mau gimana juga.

“Pacar gue juga cakep.” Bales gue.

“Emang udah pacaran?”

“Anjing.” Si Dikey ketawa ngakak. Emang manusia biadab.

“Ini bagus gak?” Gue sama Dikey yang tadinya ngobrol langsung nengok ke Kejora yang lagi pake bandana.

“Ba—”

“Bagus, Nar.” Gue baru aja mau jawab, tapi Dikey juga jawab. “Geulis kamu mah pake apa juga.” Kejora ketawa terus ambil bandananya.

“Euh anjir, lucu banget cewek gue kenapa, ya?” Kata Dikey yang pandangannya gak lepas dari Kejora.

“Bucin.”

“Gimana gak bucin kalau bentukannya segemes Binar?” Kata Dikey.

“Gyu, aku jadi beli bandananya.” Gue senyum pas Kak Kinan liatin bandana yang dia pegang.

“Iya, emang cocok sih sama kakak. Mau beli apalagi? Aku beliin gak apa-apa.”

“Ih gak usah, aku aja.”

“Gak apa-apa tau, kak. Soalnya kan aku yang suka liat kakak pake itu.”

“Geleh anjir.” Bisik Dikey. Untung ada Kak Kinan, jadi gue akan pura-pura baik.

“Aa, tasnya lucu, ya?” Tanya Kejora lagi sambil bawa-bawa tas pink yang penuh manik-manik.

“Lucu semuanya kalau dipake kamu mah.”

“Geleh.” Gue bales tuh si Dikey.

“Sirik aja.” Kayaknya emang gue sama nih kupret satu gak bisa disatuin.

“Udah ah, a. Aku takut makin kalap.” Katanya Kejora.

“Ya udah beli apa aja kamu? Biar aa yang bayar.”

“Serius?” Tanya Kejora. Matanya samper berbinar, emang kebiasaan bocah satu ini, girang banget kala dijajanin.

“Serius atuh, tapi nanti bilang ke si bunda ya kalau aa yang beliin, biar dapet lampu ijo dari si bunda.” Gue muter bola mata males dengerinnya.

“A Dokyeom mah cuma setor muka doang juga udah approved by bunda sih.” Kekeh Kejora.

“Udah kak?” Tanya gue ke Kak Kinan.

“Udah kok gak ada lagi.” Jawab Kak Kinan.

“Ya udah yuk.” Ajak gue.

“Mau kemana lagi?” Tanya Kak Kinan.

“Liat-liat dulu aja mumpung bawa kamera.” Bales gue.

“Boleh gak lu fotoin gue dulu sama Binar? Hehehe, Kak Kinan pinjem si Kiming, ya.” Gue melototin Dikey. Elah, ganggu orang ngedate.

“Boleh kok boleh. Santai aja.” Jawab Kak Kinan.

Akhirnya kita berempat keluar dari tokonya dan gue beneran jadi fotografernya si Dikey kampret sama Kejora.

“Makasih, kak! Nanti kirimin aja ke A Dokyeom foto-fotonya.” Katanya Kejora sambil senyum lebar. Gue ikutan senyum dan gak tau kenapa gue malah refleks ngacak rambutnya Kejora. Kayaknya dia kaget, gue juga kaget dan langsung narik tangan gue dari kepalanya.

Sorry.” Kejora cuma ngangguk.

“Ya udah yuk, A. Takut gangguin Kak Kinan sama Kak Mingyu.” Katanya Kejora.

“Ya udah yuk, kita keliling lagi.” Akhirnya Dikey sama Kejora pamit.

Gue sama Kak Kinan lanjut jalan-jalan juga, tapi gue langsung ajak dia makan, soalnya tiba-tiba aja males buat keliling, terus gue juga udah laper sih.

“Jadi beli udonnya?” Tanya Kak Kinan.

“Kakak mau gak? Kalau mau yang lain gak apa-apa kok, kita cari.” Jawab gue.

“Boleh kok, aku juga penasaran soalnya.”

Akhirnya gue sama Kak Kinan pergi ke daerah Lengkong buat beli udonnya. Selama di jalan, gue cuma diem aja karena ya jujur kadang emang agak bingung juga mau ngobrol apaan sama Kak Kinan.

“Enak deh, Gyu.” Katanya Kak Kinan.

“Iya kan? Aku juga baru nyoba sih, ternyata beneran enak.”

“Kayaknya emang rekomendasi Binar harus diikutin, ya.”

“Hahaha, iya sih. Emang dia ahli nyari makanan enak.”

Gue sama Kak Kinan makan sambil ngobrolin sempro gue, karena kita berdua gak punya topik lain sih selain kampus sama kerjaan.

“Kak, gerimis. Mau ke kontrakan dulu?” Tanya gue.

“Boleh, Gyu. Yuk, sebelum makin besar.”

Akhirnya gue sama Kak Kinan naik motor ke kontrakan. Kenapa gue gak mikir ya di kontrakan ada Bang Seungcheol apa kagak? Tapi kalau gak salah sih dia lembur. Tapi kalau ada juga ya udahlah.

Sesampainya di kontrakan, gue langsung cari anduk, soalnya ternyata hujan besar pas sampe kontrakan.

“Maaf, ya, kak. Jadi kehujanan gini.”

“Hahaha, gak apa-apa kok, Gyu.” Katanya sambil lap bajunya.

“Mau teh, kak?” Tanya gue.

“Aku aja yang bikin.” Jawab dia.

“Ih gak usah, kakak kan tamu. Aku aja yang bikin. Anget kan?”

“Gak ngerepotin?”

“Gak lah, kak.”

“Yang anget aja, makasih, Gyu.”

Gue ke dapur buat bikin teh, eh ternyata Kak Kinan ikutan juga ke dapur.

“Gyu, aku mau di gazebo-nya, boleh?” Tanya Kak Kinan.

“Boleh dong, Kak. Oh iya ini teh-nya. Aku ambil hoodie dulu, sebentar.” Gue kasih teh-nya ke Kak Kinan terus langsung masuk kamar lagi buat bawain hoodie.

“Kakak mending ganti aja pake ini dulu, nanti masuk angin ih.”

“Ya udah deh, aku pinjem, ya, Gyu.” Kak Kinan masuk lagi dan ganti bajunya. Gue ambil sebatang rokok gue dari saku kemeja. Mumet kepala gue, sebatang gak apa-apa lah, ya.

“Gyu, aku tuh udah sering ketemu sama kamu, jalan sama kamu, tapi masih kaget kalau kamu ternyata sebesar ini.” Gue terkekeh liat Kak Kinan yang tenggelem pake hoodie gue.

“Lucu banget sih, kak, ya Allah.” Gue beneran gemes banget liat Kak Kinan. Dia duduk di samping gue sambil minum teh-nya. Gue merhatiin dia terus dari samping.

“Gyu, jangan diliatin.” Gue terkekeh, sadar ternyata dia.

“Naksir berat nih, kak.” Bales gue.

“Yakin?” Tanyanya sambil natap gue.

“Kurang brutal apa ya aku sukanya?” Kak Kinan ketawa.

Gue sama Kak Kinan yang lagi asik ngobrol tiba-tiba ke distraksi waktu denger suara rame di depan. Gue ngerutin dahi waktu denger ada suara Kejora.

“Kayaknya Dokyeom sama Binar, ya?” Tanya Kak Kinan.

Dan suaranya makin jelas. Gue bisa liat Dikey ke dapur diintilin sama Kejora di belakangnya yang hampir semua bajunya basah.

“Lah, ketemu lagi.” Katanya Dikey pas liat gue sama Kak Kinan. Sementara Kejora masuk ke kamar mandi yang kayaknya sih dia ganti baju.

“Ngikutin mulu lu.” Bales gue.

“Hujan besar, ya?” Tanya Kak Kinan.

“Iya euy, kak. Kasian itu Binar basah semua.” Jawab Dikey.

“Udah lu pinjemin baju?” Tanya gue.

“Udahlah, pacar perhatian.” Jawab si Dikey.

“Nar, sini.” Dikey manggil Kejora waktu dia udah keluar dari kamar mandi.

Waktu Kejora mau nyamperin, gue segera matiin rokok gue dan buang ke bawah gazebo.

“Eh, ketemu lagi.” Katanya Kejora sambil senyum lebar. Elah, gak usah senyum mulu napa dah.

“Aa, ini aku pinjem dulu bajunya. Oh iya, bilang ke bunda batre aku abis, hehehe. Tapi janji aku pulang gitu gak akan nginep lagi.”

“Oke, geulis.”

Kak Kinan ketawa liat interaksi Binar sama Dikey.

“Lucu banget ih kalian.” Katanya Kak Kinan sambil nyubit pipinya Kejora.

“Kayak ngasuh anak kecil, ya, Kak?” Bales Dikey.

“Dih, enak aja.” Protes Kejora yang malah bikin dia makin gemes.

“Ada apa sih rame-rame di belak—”

Kita semua nengok ke sumber suara yang berasal dari dapur yang pintunya emang kebuka.

Bang Seungcheol.

“Maaf maaf.” Dan dia masuk lagi. Gue cuma diem doang, termasuk tiga orang lainnya.

“Gyu, hujannya udah reda.” Kata Kak Kinan.

“Oh iya. Mau balik sekarang aja, kak?” Tanya gue.

“Iya deh, aku masih ada kerjaan buat besok meeting sama klien.” Jawab Kak Kinan.

“Oke, ya udah yuk.”

“Binar, Dokyeom, saya pulang duluan, ya.” Pamit Kak Kinan dan gue segera anterin dia balik dengan perasaan yang aneh.