Pantry dan romansanya di ujung hari
Setelah hampir seharian acara outing kantor, tibalah kalanya sang mentari beristirahat, digantikan dengan binar bulan yang hias gelapnya gulita malam, semua orang bersiap dengan jaket yang membungkus badan agar tetap hangat sebab angin malam yang cukup membuat sekujur tubuh merinding. Layar ponsel menunjukan jika udara malam itu mencapai 19 derajat.
Pukul sembilan, setelah makan malam, satu persatu mulai ke luar, menuju halaman villa, beberapa orang terlihat sibuk menyiapkan acara paling akhir, api unggun. Rasanya tidak cukup jika tidak ada gitar. Dan dilaksanakanlah agenda terakhir mereka. Lantunan lagu terdengar beriringan dengan petikan gitar.
Entah berapa lama mereka bernyanyi dan itu cukup membuat Wonwoo haus. Lantas ia berdiri, melangkah menuju dapur villa yang ternyata disana sudah ada seniornya sedang membuat kopi. Jarinya mengapit sebuah rokok yang sepertinya baru saja ia sesap beberapa kali sebab batang nikotin tersebut terlihat masih panjang.
“Eh, Mas Mingyu.” Sosok yang disapa tersenyum. Wonwoo cukup kikuk karena ia bingung harus membicarakan apa lagi.
“Mas gak ikut nyanyi-nyanyi?” Tanya Wonwoo akhirnya berbasa-basi.
“Bikin kopi dulu. Kamu sendiri kenapa kesini?” Mingyu menyandarkan tubuhnya pada pantry sambil menyesap kopinya.
“Mau ambil minum.” Mingyu menganggukkan kepalanya.
Hening. Mingyu masih di tempatnya sambil sesekali menyesap batang nikotinnya dan Wonwoo juga hanya diam di tempatnya. Suasana begitu canggung hingga Wonwoo sedikit batuk sebab asap rokok Mingyu
“Maaf maaf.” Mingyu langsung mematikan rokok yang masih panjang itu dan membuat Wonwoo refleks menggelengkan kepalanya.
“Eh, gak apa-apa, Mas. Saya juga mau ke depan lagi kok.” Wonwoo merasa tidak enak.
“Kamu gak capek?” Tanya Mingyu. Wonwoo bingung harus jawab apa, karena dia masih terhitung anak baru disana. Jika ia berkata lelah, ia takut jika Mingyu akan menilainya negatif. Namun, tampaknya Mingyu mengerti kebingungan Wonwoo, senyum kecil jadi reaksinya.
“Gak apa-apa kalau capek, saya juga capek sebenernya, makanya kesini dulu.” Ucapan Mingyu membuat Wonwoo tertawa malu.
“Jujur iya, Mas. Saya juga capek, energinya udah kekuras.” Mingyu terkekeh, lantas mengacak surai hitam Wonwoo.
“Ya udah disini aja dulu sama saya.” Anggukan dijadikan respon oleh Wonwoo. Keduanya terdiam tanpa ada kata yang terucap.
Selama beberapa menit hanya ada suara samar nyanyian dari depan sana namun tetap tak bisa menyamarkan suara nafas panjang yang keluar dari mulut Wonwoo dan membuat Mingyu menoleh.
“Bosen, ya?” Tanya Mingyu. Wonwoo gelagapan sembari menggelengkan kepalanya.
“Gak kok, Mas. Beneran gak bosen.” Jawab Wonwoo.
Kalau boleh jujur, Wonwoo terlalu gugup berada dalam satu ruangan dengan senior yang selalu ia kagumi dari hari pertama ia bekerja. Bagaimana Mingyu yang selalu siap menolong kala Wonwoo butuh bantuan. Bagaimana Mingyu yang selalu sabar menjawab ketika Wonwoo memiliki banyak pertanyaan. Bagaimana kedua sudut bibir Mingyu yang naik dengan berbagai macam apresiasi dan afirmasi yang keluar dari bibirnya saat Wonwoo berhasil melewati masa probation.
Bahkan setelah tiga bulan Wonwoo resmi bekerja, Mingyu masih selalu membantunya. Tanpa sadar, Wonwoo tersenyum kecil mengingat setiap kebaikan Mingyu.
“Kenapa?” Tanya Mingyu yang menyadari jika juniornya itu tersenyum.
“Iya? Gak apa-apa, Mas.” Jawab Wonwoo yang wajahnya menjadi merah.
“Kok kita jadi canggung gini, biasanya juga santai.” Kekeh Mingyu. Wonwoo terdiam, lalu kekehan keluar.
“Since we never had time for us alone, perhaps?” Netra Mingyu menatap Wonwoo untuk beberapa detik.
“Now we have. Just two of us. Alone.” Balasan Mingyu sudah lebih dari cukup untuk menciptakan rona merah muda pada pipi Wonwoo.
“Eh... Maksudnya gak gitu. Gimana, ya...” Wonwoo semakin gelagapan dan menimbulkan tawa gemas dari Mingyu.
“Terus maksudnya gimana? Gak seneng, ya, berdua aja sama saya?” Goda Mingyu, tatapannya tidak ia lepas dari sosok berkaca mata di hadapannya itu.
“Eh... Gak juga. Gak gitu, Mas.”
“Padahal saya seneng.” Mingyu menyesap kopinya dan menatap ke arah jendela dapur.
“Seneng kenapa, Mas?”
Ada hening untuk beberapa saat. Wonwoo menatap Mingyu bingung sementara yang ditatap masih diam lantas kembali menyesap kopinya dan menatap ke arah Wonwoo.
“Alone with you.” Mingyu tersenyum.
Detik itu Wonwoo menyadari jika rasa yang ia punya pada Mingyu bukan hanya sekedar kagum, tapi sudah melebihi kapasitasnya. Tanpa ia sadari, selalu ada letupan kembang api dalam dirinya ketika lengkung senyum itu tertuju untuknya.
Wonwoo telah jatuh pada sosok Mingyu.
Seakan jarum jam berhenti berkutik. Samar suara nyanyian tak lagi terdengar. Semesta berhenti berotasi. Seluruh atensi Wonwoo terfokus pada Mingyu. Hanya Mingyu.
“Kita kayaknya gak pernah ngobrol hal lain di luar kerjaan, ya?” Tanya Mingyu memecah keheningan.
“Pernah, tapi hal-hal basic aja, Mas.”
“Kalau gitu saya tanya-tanya di luar kerjaan boleh?”
“Selama gak terlalu privasi, boleh kok, Mas.”
“Kalau nanya kamu udah ada pacar atau belum itu termasuk privasi atau bukan?” Wonwoo tersedak ludahnya sendiri saat mendengar pertanyaan Mingyu.
“Bukan privasi, dan belum punya.” Jawab Wonwoo.
“Thanks.” Wonwoo mengerutkan keningnya bingung.
“Buat apa, Mas?”
“For give me the answer I wanna hear.” Wonwoo tersipu mendengarnya sementara Mingyu tersenyum lebar.
“Kalau Mas udah ada?” Tanya Wonwoo.
“Udah.” Jawaban Mingyu membuat Wonwoo mengerjapkan matanya.
“Udah punya kalau kamu mau.” Dan Wonwoo hanya melongo tanpa mengedipkan matanya. Kepalanya rasanya pusing, wajahnya panas, jantungnya memompa darah lebih cepat dari biasanya hingga ia merasa ingin meledak.
“Gimana?” Tanya Mingyu.
“Apanya?” Mingyu terkekeh karena Wonwoo terlihat salah tingkah.
“Mau gak?” Mingyu kembali bertanya.
“Mau apa?” Namun Wonwoo membalasnya dengan pertanyaan.
“Jadi pacar aku?” Dan Mingyu bertanya lagi.
“Aku?” Dan lagi-lagi Wonwoo membalikkan pertanyaannya lagi.
Sepertinya akan selalu ada lonjakan endorfin, serotonin, dan berbagai hormon kebahagiaan lainnya kala Mingyu membagi waktu hanya dengan Wonwoo. Mingyu tertawa lagi dan perlahan mendekat ke arah Wonwoo yang sebenarnya tidak terlalu jauh jaraknya.
“Ini saya cuma mau confess dulu, gak apa-apa kalau belum mau jawab atau kamu mau nolak. No hard feeling.” Ucap Mingyu.
“Wonwoo...” Jantung Wonwoo rasanya semakin berdegup dengan kencang.
“Iya, Mas?” Kali ini jantung Mingyu yang berdesir mendengar betapa lembutnya suara Wonwoo.
“Despite how corny it may seem, I have been drawn to you ever since our first meeting. You've been successful in making my heart beat faster.“
Wonwoo mematung mendengar pengakuan Mingyu. Jangan tanyakan bagaimana debaran jantungnya saat ini.
“Setiap kamu ada dalam radar saya, rasanya mau berhentiin waktu sejenak buat habisin waktu sama kamu. And I just understand when people say that time goes faster when you spend your time with someone precious. Saya paham setelah ketemu kamu. And that's why I wil always cherish every moment with you.
“Kalau liat kamu senyum, gak tau kenapa selalu nular, saya pasti ikut senyum juga. It's given me bliss to see you smile. It's probably the most adorable smile I've ever seen, and I want to see it every day. I want to be the one who creates that beautiful curve on your lips.“
“Once I saw you sad it's also make me hurt. I will never I won't stop you from being sad, it's normal, dan Tuhan juga emang ciptain sedih supaya kita tau gimana rasanya bahagia. But, at least, when you sad, I'll come to hug you tight, give you a comfort words and make sure everything will be fine. Gak apa-apa kalau kamu mau rayain kebahagiaan kamu sendiri, tapi tolong bagi sedihnya kamu sama saya. I won't let you feel it alone.“
Tak sekalipun Mingyu memalingkan pandangannya dari netra Wonwoo. Jika ditanya bagaimana perasaan Mingyu saat ini, tentunya ia gugup setengah mati. Meskipun ia terlihat tenang, sebenarnya ada hati dengan gundah yang menyerang. Meskipun senyumnya terpatri dengan lembut, sebenarnya ada rasa takut yang membalut dengan asa yang terus terajut.
“Sebentar, Mas...” Otak Wonwoo seperti kehilangan fungsinya. Lidahnya terasa kelu. Segala ototnya terasa lemas.
“Mas... Gak lagi ngigo kan, ya?” Mingyu tersenyum dan menjawabnya dengan sangat lembut, “gak ngigo, Wonwoo. 100% sadar.” Jawab Mingyu.
“Mas, sebelumnya makasih udah jujur.” Wonwoo menarik nafasnya. Mencoba menetralkan debaran jantungnya.
“Boleh gak ngomongnya pake 'aku' aja gak pake 'saya'? Soalnya terlalu kaku kalau buat orang pacaran.”
Netra Mingyu membelo mendengar ucapan Wonwoo, sementara orang yang mengucapkannya hanya terkekeh dan melanjutkan ucapannya.
“Mas, jujur aku juga kaget waktu kamu bilang tertarik sama aku di hari pertama kita ketemu, because it means we've had mutual feelings since day one. I do give all my attention to you.” Wonwoo menjeda kalimatnya, terlalu gugup.
“Ketika Mas jelasin ke aku tentang kerjaan atau ketika Mas presentasi di depan semua orang atau waktu Mas serius dengerin orang-orang diskusi atau gimana Mas memperlakukan orang-orang, you'll always be the center of my attention. You'll always be the main character in my romantic scenario inside my head.“
“Karena Mas udah nyatain perasaan Mas, aku juga mau, biar kita bisa sama-sama rasain gugupnya, sama-sama rasain gimana gelinya kupu-kupu yang sibuk kepakin sayapnya di dalam perut, biar sama-sama rasain gimana lemesnya aku karena semua kalimatnya Mas.” Mingyu senyum dan anggukin kepalanya.
“Mas, aku juga suka Mas Mingyu. Aku suka gimana cara Mas natap aku kalau kita lagi ngobrol. Aku suka waktu mata Mas berbinar setiap kita ngomongin mau makan siang apa. Aku suka ketika Mas menggebu-gebu ceritain film yang baru Mas tonton. Aku suka gimana seriusnya Mas kalau udah bersangkutan sama kerjaan, gimana Mas ngebimbing semua junior dengan sabar.” Mingyu merasakan jika hatinya menghangat mendengar segala ucapan Wonwoo.
“Aku juga suka gimana Mas Mingyu ngasih efek yang udah lama gak pernah aku rasain. Gimana Mas bikin aku deg-degan karena Mas ngusap kepala aku. Gimana Mas bikin aku ngerasa dihargai eksistensinya cuma karena pertanyaan 'kerjaannya lancar?' atau sesederhana nanyain aku makan apa.” Wonwoo mengambil jeda. Rasanya ada banyak sekali untaian kalimat yang ingin ia keluarkan.
“Aku suka gimana Mas bikin aku senyum karena apresiasi dari Mas. Aku suka gimana Mas bikin seluruh otot aku disfungsi karena semua pengakuan Mas ke aku. Aku suka semuanya tentang Mas Mingyu.”
Atmosfer dalam ruangan kecil itu terasa menghangat. Ada rona merah muda yang hiasi kedua pipi, senyum malu yang tak bisa ditahan, netra yang mengisyaratkan jika mereka jatuh cinta.
Satu langkah kecil diambil oleh Mingyu, sementara Wonwoo tetap pada tempatnya. Pinggang ramping Wonwoo didekap. Lantas jemari lentik Wonwoo mengusap pipi Mingyu dengan lembut dan Mingyu mengecupi telapak tangan, setiap jemari panjang Wonwoo, dan punggung tangannya.
“Boleh gak sih... Mas cium kamu?” Wajah Wonwoo semakin merah, namun ia tetap menganggukkan kepalanya.
Mingyu mengangkat tubuh Wonwoo dan mendudukannya di pantry agar tinggi mereka sejajar. Telapak tangannya mengusap pipi Wonwoo. Wajahnya semakin mendekat, dan sekon selanjutnya, ada kedua ranum yang bertemu, saling melumat dengan lembut menyalurkan kasih sayang, memberikan rasa hangat.
Mingyu semakin mendekap pinggang Wonwoo, sementara Wonwoo mengalungkan tangannya pada leher Mingyu.
Bibir mereka saling memagut, merasakan manis yang membuai mereka dengan lembut.
Wonwoo melepas lumatan mereka. Keduanya saling menatap lalu tertawa kecil. Dari jarak sedekat ini, keduanya saling menatap, enggan melepas pandang barang sejenak.
“I love you. Even words can't describe how much I love you.” Ucap Wonwoo sembari mengusap pipi Mingyu dengan ibu jarinya.
“I'll forever cherish our moment with my soul full of love and my brain filled by you.” Balas Mingyu dengan tangan yang semakin mendekap pinggang Wonwoo.
Dan bibir mereka kembali bertemu, dengan pipi yang bersemu, dan hati yang menyatu.
Dan mereka saling melumat, dengan hangat. Ada raga yang saling terikat, dengan asa yang digenggam erat.