方便: histrionic
histrionic (adj.): overly theatrical or melodramatic in character or style.
Seluruh Oreka tidak ceria pagi ini.
— être dans la lune
histrionic (adj.): overly theatrical or melodramatic in character or style.
Seluruh Oreka tidak ceria pagi ini.
Mendung sejak pagi membuahkan hujan deras yang menyambut Taehyung di tengah perjalanan.
Tidak hanya dilengkapi kantung berisi baju basah, surat dari Jeon Alen dan pipi semerah stroberi sisa chat dengan Park Jimin (sahabat merangkap buku harian yang merekam jejak perasaan-perasaan tak biasa Taehyung), ada hal lain yang melekat di tubuhnya.
tags: fantasy, romance; same-aged!taekook; established relationship!taekook; jealous!tae, firebender!tae; whipped!gguk, woodbender!gguk.
#. a very happy birthday fic for my dearest, sweetest ain @sunflotaes ❤️
Mulanya begini; semester kali ini terasa sejuta kali lebih sibuk karena Taehyung sok-sokan mengambil tiga mata kuliah tambahan yang seharusnya dia pelototi saja!
solace (n.): comfort or consolation in a time of distress or sadness.
Pintu ruang rapat bergaya modern itu terbuka otomatis. Pantofel-pantofel hitam mengetuk lantai marmer, bersusulan dan saling mengejar waktu. Ketua Dewan, pemegang saham terbesar perusahaan Jeon sekaligus ayah dari sang CEO, melangkah keluar penuh kekuatan dan dominasi. Umur seolah gagal meluruhkan karisma dan kekuasaan beliau sebagai pemegang komando tertinggi di jajaran direktur dan eksekutif. Keriput tidak menghilangkan tegas di sepanjang torehan tulang pipi aristokratis Jeon Seokho. Rambut hitam dengan bayang-bayang uban tak melemahkan figur beliau sebagai Chairman dari Perusahaan Jeon. Ketampanan yang seakan abadi dan diwariskan pada anak laki-lakinya.
Persis, Taehyung bisa membayangkan Pak Jeon menua dengan elegan seperti ayahnya, dan masih sibuk bolak-balik perusahaan karena mereka berdua tipikal pemimpin yang tidak akan bisa diam digerogoti usia di rumah.
Udara di seluruh lantai 32A Jeon Headquarter seolah menunduk pada Ketua Dewan Jeon. Ditambah dengan para bodyguard yang mewaspadai setiap gerakan, Taehyung merasa terintimidasi sekalipun yang dia lakukan hanya merapat pada dinding memeluk tablet dan mendoakan kelancaran urusan dan keselamatan Pak Jeon.
Rasanya, belanja dan memesan setelan bersama Pak Satpam tadi pagi terasa seperti beberapa hari lalu. Memasuki kantor tiga kali lipat lebih menegangkan dengan kehadiran jajaran Dewan Pengawas.
Taehyung tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan udara di dalam ruang rapat. Taehyung hanya berharap Pak Jeon bisa keluar dengan wajah datar seperti biasa, bukan wajah sedikit kusut atau sedikit marah yang beliau tampilkan usai rapat gabungan dua bulan lalu.
Taehyung berharap Pak Jeon tidak mendapatkan tekanan lebih banyak dari rapat ini. Mustahil? Tidak. Pak Jeon akan baik-baik saja, Taehyung tahu atasannya pasti akan baik-baik saja.
Begitu figur-figur penting yang memegang saham terbesar perusahaan keluar dari ruang rapat dalam diskusi, tawa patah-patah, dan obrolan di sambungan telepon mereka yang super sibuk—Taehyung menemukan sang atasan.
Pak Jeon keluar dari ruangan. Paling akhir. Setelannya serba hitam dengan dasi bergaris merah. Rambut tertatanya jadi berantakan saat telapaknya menyisir ke belakang. Kancingnya rapi dan terpasang dengan baik. Pak Jeon tampan, sedikit acak-acakan (selalu begitu), tapi tidak terlihat seperti tengah menahan marah atau membanting sesuatu.
Baguslah. Syukurlah, Taehyung menghela nafas. Besok mereka berdua berangkat dan hari itu akan jadi penerbangan perdana Taehyung, si anak desa yang hidup sederhana dari beasiswa semasa kuliahan, dan cukup beruntung untuk menembus posisi istimewa di kantor elit ini.
Taehyung menghampiri Pak Jeon. Hatinya sedikit berdegup senang karena bayangan business trip yang menolak pergi dari benak, tanpa menyadari bahwa Jeon Seokho, sang Ketua Dewan, berjalan dibantu tongkatnya menuju ke arah yang sama.
Yang Taehyung tahu, atmosfir formal, kaku, dan sibuk itu mendadak jeda begitu bunyi tamparan keras memantul di setiap permukaan 32A.
Aliran darahnya seolah membeku. Taehyung tercekat melihat tangan penuh cincin Jeon Seokho masih terangkat di udara setelah menampar Pak Jeon di hadapan publik. Kilatan biru dari batu mulia di cincinnya melesat lagi saat Jeon Seokho mendaratkan tamparan kedua di sisi wajah yang sama.
“Berani-beraninya,” suara Jeon Seokho menggetarkan rongga dada, menggeram rendah. Taehyung bisa mendengar artikulasinya karena jarak yang cukup dekat—dan itu membuatnya takut. Teramat takut. “Melepaskan cincin keluarga bahkan di hadapan ayahmu, setelah semua kesalahan fatal yang kau perbuat!”
Taehyung menggigit bibir bawahnya. Hatinya serasa hancur menyadari banyak pasang mata yang tak berkedip merekam kejadian ini. Pikirannya berlarian dari nama baik Pak Jeon, pada kesalahan yang disebutkan oleh Jeon Seokho, pada tanggung jawabnya sebagai Asisten Pribadi dari pria yang kini dipermalukan di depan figur-figur berkuasa.
“Aku belum memaafkanmu, Jeongguk, belum,” Jeon Seokho dan Pak Jeon masih bertaut dalam tatap saling mengancam yang tak pernah Taehyung lihat dalam sebuah keluarga. “Tidak akan kubiarkan kau bisa melakukan kesalahan berikutnya. Sekalipun kau adalah pewaris utama keluarga ini, kesalahan tetaplah kesalahan yang harus dibayar sepadan.”
Taehyung menahan nafasnya begitu Jeon Seokho berbalik perlahan-lahan. Gerakannya begitu lambat tapi pasti, mematikan, seperti predator tua yang masih punya taring berbisa. Mata Jeon Seokho melewatinya seperti bilah pedang dan Taehyung menundukkan tubuhnya, sejuta kali memilih untuk menghindari pandangan daripada harus membalas sorot mata Jeon paling berkuasa di sini.
Langkah Jeon Seokho mengetuk pualam lambat. Begitu punggungnya mulai nyeri dan tak ada lagi langkah kaki yang menyeret menjauh, Taehyung menegakkan tubuh.
Pak Jeon sudah menghilang. Taehyung mengecek jam, dan tahu harus pergi ke mana untuk mendampingi beliau.
•••
Pak Jeon tidak baik-baik saja. Taehyung bisa merasakannya. Beliau tidak mengkritik habis-habisan presentase mengerikan dari tim proyek tadi, tidak sama sekali menunjukkan ada kesalahan di jenis bahan baku yang Taehyung bahkan tahu itu perlu dikoreksi. Sepanjang hari, Pak Jeon lebih banyak menunjukkan lelah dari performa biasanya—dan Taehyung tidak mau ada siapapun yang menyadari ini selain dirinya...
Usai rapat terakhir, pukul 17:45, Taehyung mengekori Pak Jeon masuk ke ruang kantornya—tak sekalipun membalas tatap dari Bu Yura yang menusuk-nusuknya dengan sorot mata penasaran.
“Pak—“
“Tinggal.”
Taehyung mematung. “Ya, Pak?”
“Duduk di sini.”
‘Di sini’ adalah kata yang ambigu. Taehyung memilih untuk tetap berdiri tak jauh dari Pak Jeon yang kini duduk di kursi kerja dalam diam.
“Tidak mau duduk?” Pak Jeon mengusap wajahnya dan memutar bangku ke arah jendela raksasanya yang menampilkan bentangan gedung-gedung bercahaya di distrik bisnis Oreka. Tanpa menunggu jawaban, Pak Jeon bertanya lagi. “Apa yang terjadi hari ini, Asisten Kim?”
Taehyung masih cemas akan keadaan Pak Jeon saat dia menjawab, “Pak Jeon butuh mengeluarkan emosi yang teredam supaya bisa merasa lebih baik.”
Kantor Pak Jeon selalu hening. Bernuansa gelap dan tenang, terlalu sunyi untuk kepala Taehyung yang berisik dan selalu menyuarakan kemungkinan-kemungkinan.
“Emosi apa,” Pak Jeon berujar. Suaranya kasar dan rendah. Malas-malasan. “Kalau kamu merujuk pada kejadian usai rapat Dewan tadi, itu tidak valid. Jeon Seokho memperlakukan saya begitu bahkan sejak kamu belum ada di sini.”
Alis Taehyung bertaut. Semakin khawatir. Matanya tak lepas dari belakang kursi Pak Jeon yang masih menghadap pada tampilan ekstravagan ibukota. “Bapak tidak marah dipermalukan begitu?” Taehyung tidak bisa menahan gejolak emosi menguntai ucapan. “Bapak berhak marah. Bapak berhak mengeluarkan emosi. Bapak tahu istilah psikosomatik?”
Hening.
“Saya baca, kalau ada orang yang tidak mengeluarkan emosi negatif, lalu jadi stres, kemudian stres itu ditumpuk di dalam tanpa pernah diobati... itu bisa menyebabkan sakit fisik, Pak. Pikiran Bapak bisa menyebabkan Bapak sakit kalau dibiarkan tanpa disalurkan keluar,” Taehyung berceloteh, mengisi sunyi dari Pak Jeon yang tak kunjung bergerak mengeluarkan balasan. “Saya—saya lihat Bapak hari ini tidak baik-baik saja. Saya, um, jujur, khawatir dengan Bapak. Mungkin bukan tempat saya buat menaruh simpati pada Bapak, atau mungkin ini menyinggung Bapak—tapi, saya sungguh-sungguh berharap Bapak baik-baik saja.”
Hening.
Taehyung memainkan tepian jasnya yang tak lagi berbahan mahal seperti kemarin. Setelan Pak Jeon sudah Taehyung kembalikan pada Pak Satpam diam-diam di Hajeonsu, dan Taehyung masih ingat betapa malunya begitu Pak Satpam mengatakan kalau pipi Taehyung semerah tomat masak.
Taehyung selalu menunjukkan apa yang dia rasakan seperti buku terbuka. Pak Jeon kebalikannya—seperti punya tembok yang dilapisi tembok, tembok dan tembok. Kalau pun marah tidak pernah meledak seperti bom nuklir. Pak Jeon marah dalam diam yang mencekam, dan itu yang membuat Taehyung khawatir.
Apa Taehyung berlebihan?
“Saya memang tidak baik-baik saja, tapi, saya tidak psikosomatik.”
Taehyung memainkan tepian setelannya lebih intens, berbicara pada benang dan jarinya yang terus bergerak gelisah. “Bapak bisa jadi psikosomatik nanti saat tua. Karena terus-terusan memendam energi negatif, lalu stres berlebih, terus jadi. Sakit. Berbahaya, tahu, Pak.”
“Saya harus melakukan apa.”
Taehyung baru menyadari Pak Jeon telah memutar kursinya dan kini menatapnya di bawah sorot mata hitam menelisik. Tuturannya lebih jelas, biarpun masih rendah dan ditarik asal-asalan dari pita suara. Mata bundar sang asisten bertemu pandang, melihat lelah dan jenuh yang kini jujur terlukis di wajah bergaris tegas itu, dan menunduk lagi pada jari-jarinya.
“Kim punya ide apa?”
“Banting meja,” Taehyung jawab asal. “Atau—entah. Cerita? Dengar radio, podcast, diam dan berusaha menenangkan diri.”
“Hm,” Pak Jeon menyandar pada kursi kerjanya. Taehyung mengutuk refleksnya untuk menunduk—dia tidak boleh melakukan hal disrespek dengan mengalihkan pandangan dari lawan bicara. Apalagi di saat genting begini! “Pipi saya sakit.”
Taehyung melotot. “Psikosomatik!”
Pak Jeon mendengus geli. “Tampar.”
“O-oh,” pipi Taehyung memanas. “S-saya—saya akan minta antarkan kotak P3K—“
“Di sini saja.”
Taehyung bungkam.
“Pipi saya masih sakit. Coba cek.”
“Kalau separah itu—“ Taehyung berdiri kaku. “Ya, Pak?”
“Cek ke sini. Lihat pipi saya.”
Taehyung sempat berpikir untuk kabur, lari sekuat tenaga karena jantungnya tidak akan mampu menahan adrenalin yang menyerbu dadakan. Di lain sisi, kepeduliannya pada Pak Jeon menggerakkan kakinya untuk menurut, berjalan mendekat pada sosok yang duduk di sanaㅡtapi, terasa jauh, jauh lebih tinggi dan besar.
Pak Jeon mengamatinya dalam diam. Wajahnya datar, seperti biasa tak pernah bisa ditafsir dengan intuisi atau logika. Matanya mengisap kesadaran dan Taehyung butuh waktu lama untuk mengangkat tangannya yang terasa seberat batu seratus ton, dan berujar lirih.
“Yang mana, Pak?”
Rasanya terlalu dekat. Terlalu intim. Berbagi ruang sempit, dengan kepala Taehyung sedikit menunduk dan kepala Pak Jeon sedikit mendongak. Seakan terperangkap, seolah ada hal lain yang hadir di antara mereka detik ini.
Tangan Pak Jeon terulur untuk menyentuh tangan Taehyung. Panas, telapak tangan Pak Jeon panas, atau dirinyalah yang terlalu gugup sampai keringat dingin keluar dari pori-pori. Taehyung membisu saat beliau mengantarkan tangan Taehyung pada pipi yang ditampar dua kali oleh ayahnya sendiri.
“Di sini sakit.”
Telapak Taehyung menyentuh pipi itu. Hangat. Normal. Taehyung meraba perlahan, merasa matanya memanas karena perkataan Pak Jeon adalah kalimat paling jujur dalam sebelas bulan pengabdiannya pada beliau. Taehyung mengusap perlahan, tidak ingin menyakiti bagian yang terasa membengkak.
Jutaan perasaan menusuk-nusuk hatinya. Pak Jeon tidak melepaskan genggamannya pada tangan Taehyung; Taehyung masih ingin mengirimkan nyaman dan aman untuk Pak Jeon.
Pak Jeon yang galak. Yang punya segudang masalah dan bertindak penuh perhitungan setiap hari. Yang punya keluarga dan tidak punya keluarga sekaligus.
“Masih sakit?” Taehyung berbisik.
Pak Jeon berdengung. Taehyung bisa merasakan getarannya dari sentuhan yang asing dan intim ini. “Lebih baik.”
Taehyung tersenyum tipis. Pak Jeon tidak melepaskan pandangannya barang sedetik. Gugup, takut, khawatir dan segala yang menggangguㅡmeleleh bersamaan. Masih tersisa sedikit ragu dan tanda tanya, tapi Taehyung tidak ingin sifat buruknya mengganggu momen ini.
Ini satu-satunya waktu di mana Pak Jeon lebih jujur dari apapun. Taehyung akan menjaga momen ini sampai Pak Jeon merasa jauh lebih baik.
Taehyung berjanji.
“Kamu hangat.”
Taehyung menunduk, melepaskan tatap seperti langit yang membiarkan awan untuk berarak.
“Pak Jeon juga.”
Halo! Fine Print sedang di tahap editing, jadi beberapa part narasi akan hilang. Tapi tenang, part lainnya masih bisa dibaca, kok. Tahun ini, Fine Print akan dirilis dalam bentuk fisik yaitu jadi fanbook. Temen-temen bisa menghubungi Hanap lewat DM kalau berminat ya, kemungkinan tanggal PO-nya ada di pertengahan tahun 2022 ini... terima kasih! <3
fenestra (n.): window.
Perjalanan benar-benar di depan mata. Pukul tujuh pagi, Pak Satpam menjemput Taehyung dengan senyuman teduh dan memasukkan koper dan tas jinjing ke bagasi. Menanyakan sarapan apa yang tadi dimakan dan bagaimana perasaannya sebelum berangkat perdana melintasi langit menuju negara yang terpisah empat belas jam jauhnya. Taehyung masih gugup, masih gatal ingin mengeluh pada Jimin dan melingkar dalam tempat persembunyiannya—tapi, ingin sebatas ingin; kehidupannya sebagai Personal Assistant tidak mengizinkan Taehyung untuk mengambil waktu tenang.
itaidōshin (n.): harmony of mind between two persons; two persons acting in perfect accord.
Taehyung merasakan punggungnya menyentuh sesuatu yang lembut. Matanya semakin sulit dibuka, mual kembali membuatnya panik. Tapi, di sisi lain, pikirannya kosong dan tenang. Tidak ada yang dia pikirkan selain matras empuk ini, lalu perutnya yang bergejolak berusaha mengeluarkan alkohol yang dikonsumsi, lalu bantal di kepalanya yang bersih dan wangi.
Lalu lengan yang kini dia peluk seperti guling. Taehyung tengah berusaha meng-smack down lengan ini supaya bisa berada di kasur. Taehyung ingin lengan ini, bukan guling. Taehyung ingin melingkarkan kedua kakinya pada lengan di pelukannya ini dan menggosok-gosokkan tubuhnya.
Keras.
Lengan ini keras dan ada gumpalan kokoh di bagian atasnya. Ada wangi parfum maskulin yang membuat Taehyung betah menempelkan wajahnya di sana.
Tapi, sebelum terlalu lama, lengan itu pergi meninggalkannya. Taehyung berteriak seperti komandan pasukan tempur, sebelum sebuah tangan membekap mulutnya dan suara yang dingin berbisik.
“Patuhi ini. Diam di tempat, Kim Taehyung.”
Nada penuh peringatan yang terkandung dalam suara rendah itu membuat tangan Taehyung mengepal mungil. Mengangguk sambil memandangi puncak kepala Pak Jeon dengan tidak fokus, Taehyung menurut.
Pak Jeon melepaskan sepatunya. Taehyung tertawa karena jari Pak Jeon tak sengaja menyentuh tumitnya. Taehyung melipat tubuh lagi sedemikian rupa supaya Pak Jeon tidak berhasil melepaskan satu sepatu dari kaki kiri, tapi tawanya langsung lenyap begitu tangan beliau mendarat di betisnya dan menarik paksa Taehyung sampai tubuhnya terseret ke tepian kasur.
“Berhenti bercanda, sebelum saya paksa.”
Mulut Taehyung melengkung ke bawah dan terkatup rapat. Mengangguk, menatap balik pasang mata yang masih sama menusuknya di visual mabuk, Taehyung duduk di tepian kasur dengan patuh dan membiarkan Pak Jeon, yang berlutut dengan satu kaki di lantai hotel, melepaskan sepatunya.
Taehyung dan Pak Jeon saling menatap. Sorot mata beliau penuh konsentrasi dan lurus menembus bola mata, masuk ke benaknya; menyentuh sesuatu di saraf yang membuat Taehyung merinding dan sedikit lebih sadar dari kabut mabuk.
Taehyung memejamkan mata saat telunjuk Pak Jeon menyentuh puncak hidungnya.
“Karena kamu, mobil ditinggal di sana.”
Taehyung membuka matanya dan telunjuk itu menjauh. Telunjuk itu dilingkari cincin keluarga Jeon yang berbatu hitam dengan aura misterius.
Taehyung menangkap jari itu. Dalam diam, matanya memandangi batu hitam yang tersemat, sebelum kembali menatap mata Pak Jeon yang sama hitamnya.
“Hm?”
Taehyung menelan ludah. Matanya besar, tangannya masih memegangi cincin di jari telunjuk Pak Jeon yang tidak merespons. “Cincin ini cocok di Bapak,” Taehyung berujar pelan. Saringan aksaranya hilang dibawa mabuk, membuat ucapan Taehyung meluncur licin tanpa kendala. “Bapak seharusnya pakai cincin ini di manapun. Bukan karena Bapak bagian dari keluarga Jeon. Tapi, karena Bapak adalah pemimpin keluarga Jeon.”
Telunjuk Pak Jeon bergerak. Keempat jarinya mengikuti dan kini tangan Taehyung yang dipeluk oleh jari jemari itu.
Taehyung suka sentuhan dari jari Pak Jeon.
Hangat.
Taehyung selalu melihat tangan itu menandatangi kontrak, atau menuliskan poin-poin utama di sebuah rapat, seminar, atau berita bursa saham di kantor. Kini, melihat jari itu memeluk tangan Taehyung memberikan sensasi aneh yang Taehyung suka.
Alkohol mungkin mengaburkan preferensinya, tapi Taehyung yakin dia akan tetap menyukai ini jikalau sedang tidak mabuk. Sentuhan Pak Jeon yang tegas, hangat, dan terpahat di memori.
“Kamu mau apa lagi, Kim?”
Taehyung kembali menatap iris gelap itu. Kini dengan tanda tanya.
“Sudah mabuk dan merepotkan saya. Apalagi yang mau kamu perbuat malam ini?”
Taehyung mungkin gila, tapi Pak Jeon dalam jarak sedekat ini terlihat seribu kali lebih tampan. Parfum beraroma maskulin masih duduk di indera penciumannya, rambut hitam beliau yang kini mencuat liar dan sebagian jatuh di keningnya yang tegas. Pak Jeongguk terlihat lebih tampan dari foto beliau di media dan siaran televisi manapun.
Jauh lebih tampan. Tatapannya. Bagaimana beliau berkedip dan berbicara. Bagaimana sorot mata itu membuat Taehyung terisap dan menghipnotis.
Taehyung menarik nafas, kemudian menggeleng. Gerakan itu membuat pandangannya berenang-renang lagi.
“S-saya minta maaf, Pak.”
Pak Jeon terdiam dan suasana di antara mereka semakin tegang. Diamnya Pak Jeon bukan berarti beliau kehabisan kata, atau bingung mau membalas apa. Beliau selalu suka meletakkan jeda untuk membiarkan lawan bicara bersuara lagi.
Dan Taehyung adalah lawan bicara tanpa pengecualian.
“Saya capek, Pak.”
Genggaman di jarinya melonggar. Pak Jeon masih memerangkapnya di tatapan.
“S-saya tahu saya salah. Seharusnya saya tidak mabuk malam ini. Tugas saya belum selesai, Pak Jeon meminta saya bertemu di lounge, tapi saya sudah cari ke mana-mana, tapi Pak Jeon malahㅡtapi saya yang malah d-ditemukan Pak Jeon.”
jiànwài (n.): the act of treating someone as an outsider who is supposed to be your friend, especially by being too courteous.
Polaris, or the North Star, is important because the axis of Earth is pointed almost directly at it. during the course of the night, Polaris does not rise or set, but remains in very nearly the same spot above the northern horizon year-round while the other stars circle around it.
Taehyung tidur seolah nyawanya tersesat di dimensi lain dan menolak pulang untuk kembali hidup di bumi.
somnolent (adj.): sleepy; drowsy.
Malam menggusur matahari untuk turun dari horizon. Tanpa sadar, jarum jam di pergelangan tangan menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh. Lampu di dalam pesawat menyala dan jendela tidak lagi memberikan pemandangan permukaan kota atau laut karena pesawat terlalu tinggi—hanya ada awan-awan, yang kini hilang ditelan gelap. Taehyung sudah makan malam, sudah menggosok gigi dan merasa tidak mengantuk karena dia sudah tidur dua kali sepanjang perjalanan.