sobkoos

“Kenapa, Kak?” tanya Eyza saat melihat Dio menatap layar handphone-nya selama berapa menit.

“Huh?” Dio mengerjap, ia menatap ke arah Eyza yang duduk di hadapannya sambil menyeruput hot caramel latte yang ia pesan tadi, “Gapapa, kok. Cuman Jevan tadi ngomong sesuatu di dm terus buat gue keinget sesuatu,” jawab Dio sambil tersenyum kepada Eyza. Mendegar jawaban Dio, Eyza hanya mengangguk dan kembali fokus kepda minumannya.

Apa yang ia bicarakan dengan Jevan di dm instagram tadi membuat Dio teringat dengan perempuan itu lagi, Lulla. Perempuan yang dulu selalu menemani hari-harinya selama ia berada di Bandung pada bulan November hingga Desember tahun lalu. If he can be honest, he used to think about that girl a lot. Iya, dulu. Especially when he wanted to go to her house—to meet her and talk about everything that needs to be explain, tapi ia membatalkan pertemuan tersebut karena Eyza yang sakit dan jelas membutuhkannya. Sejujurnya, Dio merasa sangat bersalah. Mungkin banyak yang mengatainya brengsek—dan Dio tidak akan mengelak apabila mendengar hal tersebut, namun ia juga mempunyai hati dan rasa bersalah. Kalau ia boleh jujur, sebenarnya besoknya ia ingin menghampiri Lulla dan meminta maaf kepadanya karena apa yang ia lakukan sangat salah—membatalkan pertemuannya begitu saja dengan Lulla, bahkan dia hanya membaca pesan dari Lulla dan tidak memberikan perempuan itu penjelasan. Namun, teman-temannya menahannya. Mereka bilang dia keterlaluan—Dio akui itu benar, dan lebih baik bila ia tidak berhubungan dengan Lulla lagi. Apalagi sampai sahabat dari perempuan itu—Bryan, meminta hal yang serupa.

At first, he thinks after that moment Lulla blocked him on Instagram, since he can’t find her account for months. But the truth is Lulla only deactivated her account, karena saat ia sidang skripsi Lulla tiba-tiba mengucapkan selamat kepadanya—yang dimana hal tersebut membuatnya kaget, karena pertama ia kira Lulla memblokirnya dari instagram, dan kedua ia tidak menyangka Lulla dengan baik hati tetap mengucapkan selamat kepadanya setelah apa yang Dio dan mungkin Eyza lakukan kepada perempuan itu. Saat Lulla menanyakan kabarnya, sebenarnya Dio ingin sekali menjawab ‘Gue kangen lo.’ Tolong jangan katakan dirinya brengsek dulu, ia memang benar-benar merindukan perempuan itu. Ia tidak bisa mengelak bahwa ia pernah menghabiskan dua bulan bersama perempuan itu, dimana Dio tiba-tiba sudah berada di depan rumah Lulla dan menculiknya—itu yang selalu Lulla katakan padanya. Begitu juga di Bandung, Dio hampir setiap hari membawa Lulla pergi ke tempat-tempat menarik yang ada di Bandung. Perempuan itu yang selalu menamaninya disaat dia bosan dan ingin mengintari kota Bandung, perempuan itu yang selalu menamaninya saat awal-awal dia menyusun skripsi. Jadi tidak salah kalau Dio merindukan Lulla, kan?

Saat Jevan secara tiba-tiba membawa nama Lulla ke dalam percakapan mereka di dm tadi, membuat Dio yang awalnya sudah tidak terlalu mengingat Lulla lagi menjadi teringat kembali dengan perempuan itu. God damn, he truly misses her a lot. He really wishes someday he can fix his relationship with her and then he can be friends with her. If only he wasn’t dumb enough, if only he can fix everything that happened and make it up to her. Maybe she’s still here, strolling around Bandung with him again. But it’s just a pitiful wish that maybe never be come true, because right now all he can do is just wonder. He wonders how’s her life after the chaos that he made. Does she still drink a lot of alcohol because of him?—He really feels bad for it, he swears. Are her friends—Bryan and Jian still accompany her when she wants to drink? When she’s drunk, are her friends still hold her whenever she cries and rambling about what is her feelings right now? He wonders too, what is she doing right now? Is she doing well? Is she happy right now? Because he wishes nothing but only happiness for her. Karena menurut Dio, dia tidak bisa memberikan kebahagiaan kepada Lulla. Hell, he knows he only good at making her cry—gave her pain and sadness. Because of that, he wishes Lulla can find someone or something that can give happiness for her.

Walaupun perasaan dia kepada Lulla sudah hilang, tapi ia boleh merindukan Lulla sebagai temannya, bukan? Because even Lulla was shy at first, the truth is she is very a fun person. When you get to know her more, you will realize how fun she is. She talks a lot, and Dio always think she is cute. That’s why he always smile whenever he was with her. Just by looking at her can make him smile like a fool.

Dio bersumpah sebenarnya ia ingin sekali tetap bersama Lulla, namun apa daya sahabat perempuan itu—Eyza, muncul begitu saja di hadapannya. Dan entah mengapa membuat Dio seketika melupakan Lulla begitu saja, dan hebatnya lagi perasaannya dari Lulla pindah ke Eyza. Mungkin memang awalnya Dio penasaran dengan Eyza, karena apa yang ia dengar dari Lulla dan teman-temannya kalau Eyza merupakan pribadi yang mandiri—bisa dibilang independent woman. Dio memang tertarik kepada Eyza, tapi hanya sekedar tertarik ingin bertemu dan berbicara secara langsung saja, tidak lebih. Tapi setelah bertemu dengan Eyza, rasa tertariknya kepada Eyza semakin bertambah dan terus bertambah, hingga fokusnya hanya pada Eyza saja.

Setelah mengenal Eyza berapa bulan ini, Dio sadar bahwa perempuan dihadapannya sekarang mempunyai karakter yang sangat seru dan gampang untuk bersosialisasi dengan orang baru, sehingga tidak membutuhkan waktu lama bagi Dio dan Eyza untuk akrab. Belum lagi ternyata mereka memiliki banyak sekali kesamaan, dimana Eyza suka sekali berpergian—ke luar kota, ia juga tidak takut untuk mencoba hal-hal baru, sama seperti Dio. He can’t lie, he is so happy for the relationship that he has with Eyza. Walaupun memang Dio dan Eyza belum menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih—karena Dio belum mau dengan hal itu, perlu diingatkan bahwa dia tidak terbiasa dengan hal seperti itu, Dio lebih sering menjalani hubungan tanpa status karena tidak ada beban dan komitmen, karena Dio bukan orang yang dengan mudah memberikan komitmen dalam suatu hubungan. Tapi walaupun begitu, Eyza tidak masalah dengan hal itu. Karena ternyata Eyza mempunyai latar belakang sehingga membuatnya juga takut untuk mempunyai hubungan dengan komitmen. He doesn't know he should be happy with this information or not, but he is grateful to know that Eyza can understand him when he said commitment is not his thing.

Namun, setelah berhari-hari, atau mungkin berminggu-minggu memikirkan hubungannya dengan Eyza, he starts to think that maybe he wants to give it a try. Realizing how comfortable he is with Eyza right now, makes him think that maybe Eyza is someone he can commit to. He knows that they met at the wrong time, because Eyza is Lulla’s bestfriend and his relationship with Eyza now makes Eyza stop talking with Lulla. But life works in such a funny way, he can’t guess what happens next. So the best thing he can do right now is focus on things that he has right now—and he has Eyza right now, Eyza is her antidote. Eyza really makes him happy and makes his feelings begin to grow more—more than just being interest like he had on her at first before. Because for the first time in his life he's scared for the thought of being alone. He used to be okay when people left him, since he knows that people come and go, so it's a normal thing. But now, he thinks he will not be able to be okay if Eyza leaves him. He doesn't want her to leave him, he's scared. So it’s not a crime to take it into the next time right? He deserves to give a shot on it? He knows he will look like a fool after this, but like he has said before; Life works in such a funny way.

So he stares at the girl in front of him, the golden light from the sun in today's afternoon makes her even more prettier than before. So here he goes,

“Eyza, lo mau jadi pacar gue, gak?”

Setelah membaca pesan dari Mika, Ai melihat ke arah sekitar. Ia tidak mau Mika mempergokinya yang sedang menangis, walaupun sepertinya Mika sudah tau tapi tetap saja.

Saat masih melihat ke arah sekitar—berusaha mencari keberadaan Mika, tiba-tiba suara orang yang ia cari daritadi muncul, “Aiko.”

Ai menoleh ke belakang dan mendapati Mika yang sedang berjalan ke arahnya, kemudia duduk di sebelahnya. Melihat Mika terus menatapnya, Ai berusaha menghapus air matanya yang sedari tadi mengalir di kedua pipinya yang memerah.

Why are you crying?” tanya Mika dengan raut wajah bertanya-tanya.

Ai membuang muka, “Gue gak nangis.”

Mendengar jawaban Ai, Mika mendengus, “Lo nangis karena debat tadi?”

Why do you care?” tanya Ai lirih, “Oh. Because you wanna say that what you have said this morning is true right? Yeah, you won. Thank you for making me aware of that, you can laugh at me now.

What the hell, Aiko? Gue cuman nanya kenapa lo nangis? Kalau lo emang nangis karena tadi, gue gak bakal ngetawain lo. ”

“Kenapa enggak? Gue pantes kok diketawain,” Ai terdiam sebentar lalu menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan mulai menangis kembali, “Gue malu banget tadi.”

Hey, why are you crying again?

“Gue kesel banget, kenapa gue tadi diem. Gue bener-bener nge blank pas kelompok lawan matahin argumen gue, gue gatau harus bales apa lagi. Malu-maluin banget,” jelas Aiko frustasi.

So it’s because of that?

Aikok mengangguk, “I really feel bad for our group, i mean you and the rest of the group really work hard for this and i fucked it up.

You’re not, itu hal biasa, Aiko,” entah mengapa Mika terus memanggilnya dengan nama itu, “You were taken aback, lo gak nyangka lawan lo tadi bakal ngomong kayak gitu, makanya lo seketika blank. Tapi tadi masih bisa gue cover kan? So everything is fine, gue yakin tadi yang lain juga gak nyadar kok.”

Ai menoleh ke arah Mika yang berada di sebelahnya, “Are you sure?

Mika menatap Ai balik, “I’m sure. Kenapa lo khawatir banget, sih?” Mika terkekeh, “Sampe nangis gini,” sahutnya sambil menghapus air mata dari wajah Ai dengan kedua tangannya.

Ai kaget saat kedua tangan Mika berada di wajahnya, namun ia membiarkan hal itu, “Karena tadi pagi lo bilang percuma jadi anak hukum kalo gak bisa ngomong di depan banyak orang, and i think it’s true. Ngapain ya gue jadi anak hukum kalau gabisa ngelak pas argumen gue dipatahin. Dan dengan gue diem tadi juga bikin malu banget gak sih? Padahal lo udah bilang jangan malu-maluin,” jawabnya.

Mika terkejut, tidak menyangka apa yang ia katakan tadi pagi membuat Ai kepikiran seperti ini, “I’m sorry, Aiko. Gue gak maksud buat lo kepikiran sampe kayak gini. Tadi pagi mood gue gatau kenapa lahi jelek, dan itu buat gue ngomong hal yang gak gue maksud. I didn’t mean it, really. Tapi gaada pembelaan dari apa yang udah gue bilang ke lo, gue salah. And for that, i’m truly sorry.

Do you really mean it?

What? Things that i’ve said right now?” Ai mengangguk, “I truly mean it, sorry, Aiko.

Okay.

Kedua tangan milik Mika masih berada di sepasang pipi Ai, ia mengusap kedua pipi perempuan itu pelan, “Jangan nangis lagi, ok?”

“Okay.”

“Lo udah siapin presentasi buat nanti kan, Ai,” tanya Mika kepada Ai. Hari ini mereka akan mewakili kelompok mereka untuk mempresentasikan semua draft yang sudah mereka susun dari hari pertama workshop.

“Udah,” jawab Ai, ia menatap Mika, “Mik, ini harus gue banget ya? Kenapa gak Ryan aja kayak kemarin, atau yang angkatan 2019 tuh kayak Jenar sama Azka,” ujar Ai yang dibalas gelengan kepala dengan cepat dari Jenar dan Azka.

“Anggep aja bayaran karena lo sering telat dan kabur kemarin-kemarin,” jawab Mika.

“Gue udah ngebayar itu dengan ngerjain draft kemarin ya, Mik. Gue gak bisa presentasi.”

“Kenapa sih?”

“Gue takut, kalau nanti gue salah ngomong gimana? Gue gak mau ya karena gue gak maksimal kelompok kita jadi kalah, terus lo bakal nyalahin gue,” kata Ai kesal. Sebenarnya, alasan Ai tidak mau karena pada dasarnya dia tidak terlalu biasa untuk berbicara di depan umum seperti ini. Kalau orang-orang tau pasti mereka menjawab dengan ‘Percuma dong jadi anak hukum kalau ngomong di depan umum aja gak berani?’ Yeah, sorry for being an introvert and full of anxiety if i have to speak in front of a lot of people. But it doesn’t stop me to be a law student, tho. Ai sangat suka hukum, tidak ada kata terpaksa untuk menjadi mahasiswa hukum, yang menjadi permasalahan hanya ia selalu takut untuk berbicara di depan umum, tapi Bang Jo selalu berkata kepadanya, ‘it’s okay you will get used to it,’ jadi Ai tetap berpegang teguh dengan pilihannya.

Mika mendengus kesal, “Funny that you’re a law student, but you still scared to talk in front of a lot of people. Cabut aja lo.”

Fuck you, i’m sorry i can’t be like you Mr. Who Can Do Everything. But at least i’m trying here,” sahut Ai, berusaha menutup rasa sakit hatinya setelah mendegar perkataan Mika. Ai tidak menyangka ternyata Mika merupakan salah satu orang yang berfikir seperti itu.

If you’re trying then try harder, jangan nolak disaat gue suruh jadi perwakilan kelompok. Selama ini juga lo masih sering kabur selama workshop gak menunjukkan kalo lo berusaha,” balas Mika dan nada seperti biasa—merendahkan.

“Gaada hubungannya ya sama gue males ikut workshop, lo udah tau kan gue ikut kepaksa. So you better be grateful gue masih mau ngerjain ini workshop dari hari pertama.”

I don’t care the reason why you join this workshop, karena yang gue peduli kalau lo udah join ya lo harus lakuin kewajiban lo. So you better do it right, jangan malu-malu in nanti,” jelas Mika lalu meninggalkan Ai.

Anggota kelompok yang sedari tadi melihat adu mulut antara Ai dan Mika hanya bisa menggeleng tidak percaya. Bukannya tadi malam mereka jalan berdua? Dan jangan lupakan Mika yang terus menggoda Ai dan tampak biasa saja saat anggota kelompoknya membicarakan mereka berdua di group. Lalu mengapa Mika kembali seperti biasa dan bahkan menjadi lebih menyebalkan, mengingat Ai sama sekali tidak memancing emosi Mika sama sekali.

“Bang Mika kok gitu, sih? Gausah dimasukkin hati Kak, kayaknya mood Bang Mika lagi jelek,” ujar Jenar, berusaha menenangkan Ai yang semua oramg juga tahu ia sedang berusaha menahan emosinya apabila melihat muka Ai sekarang.

Ai hanya terdiam, ia juga masih bertanya-tanya ada apa dengan Mika. Bukannya kemarin mood nya sangat bagus? Lantas ada apa dengan Mika hari ini? Did he sleep on the wrong side of bed again or what? Since she 1000% sure, she hasn’t do anything wrong.

Tapi ia berusaha tidak peduli karena pada dasarnya Mika itu manusia brengsek, apalagi mulutnya. Semua perkataan yang keluar dari mulutnya itu sampah. Kata-kata itulah yang selalu berputar di kepala Ai supaya ia tidak lengah dan selalu sadar bahwa pada dasarnya manusia di hadapannya ini memang laki-laki menyebalkan.

“Sumpah, taichan nya enak banget! Kok gue baru tau ada taichan seenak itu di bandung, sih?” entah mengapa mood Ai menjadi jauh lebih bagus saat mereka berdua mencicipi sate taichan, sekarang mereka sedang berada di salah satu tempat makan di Bandung.

“I know, kemarin yang punya acara workshop ngobrol sama gue dan kebetulan dia nyaranin tempat makan enak, terus dia nyaranin ini deh,” jelas Mika kepada Ai.

Ai mengangguk mengerti, “Cabut, yuk. Tapi nanti kita ke indomaret samping dulu ya, atau gue aja sendiri gapapa kok.”

“Mau ngapain?”

“Rokok gue habis,” jawab Ai.

Mika tampak sedikit terkejut, “Oh? I didn’t knew you’re smoking?

Is there something wrong with me being a smoker?” tanya Ai kesal.

Mika tertawa, “Chill, Ai,” kata Mika sambil mengangkat kedua tangannya, “I’m just being surprised because i’ve never seen you smoke atau nitip rokok ke LO pas lagi LO Mart.

“Oh, karena gue beli sendiri and actually gue biasanya nge-vapekarena gadibolehin Bang Jo ngerokok, makanya gue gak sesering itu ngerokok, ini aja abis karena Henry sialan,” jelasnya sambil mengeluarkan umpatan saat mengingat alasan mengapa rokoknya habis.

Mika tersenyum saat mendengar umpatan dari mulut Ai yang sudah mulai terasa tidak asing di telinganya, “Who’s Bang Jo?

My step brother,” jawab Ai seadanya.

“Oh,” Mika menganggug mengerti, “Terus, kenapa lo gak bawa pod lo? Kenapa malah ngerokok?”

Ai memutar kedua matanya, “Banyak nanya lo ya,” mendengar perkataan Ai, Mika hanya tertawa, “Soalnya, lebih enak bisa ngebakar.”

“Hah, lo suka nge ganja?”

“Apaan sih, lo?!” tampaknya Mika sudah kembali normal, menjadi manusia menyebalkan lagi bagi Ai.

“Ya, lo bilang enak nge bakar, jadi gue pikir lo suka nge ganja kan sama-sama ngebakar,” jelas Mika tanpa rasa bersalah sambil mengangkat kedua bahunya.

Ai menatap Mika dengan heran, “You… and that smart brain of yours, gue gak ngerti cara pikir lo,” Ai menghela nafas, “Tapi, gak. Maksud gue ya it feels different? Kayak lebih enak aja sensasinya, ngerti gak? Walaupun baju dan jari gue jadi bau banget, tapi tetep aja enakan ngerokok, ngerti gak?”

“Ngerti, lo gak usah nanya ngerti gak berkali-kali gue gak bego ya.”

Ai menatap Mika sinis, “Ya, abisnya lo aneh. Jadi gue konfirmasi aja lo ngerti atau engga, biar gaada lagi persepsi aneh dari lo.”

Lagi, Mika tertawa. Tampaknya mood Mika sangat bagus seharian ini, melihat sedari tadi ia banyak sekali tertawa, “Sorry, Ai. Rokok lo apa? Gue juga mau beli soalnya, lo tunggu di mobil aja.”

Ice Burst,” jawab Ai.

Malboro, huh?

“Kenapa?”

“Gak, gue kira rokok lo esse.”

Ai memasang wajah tersinggung, “Sialan, lo. Lo pikir gue cewe cupu yang demennya rokok begituan?”

“Yakan, biasanya cewe sukanya itu, Ai. Gausah defensif gitu, dong. Btw, rokok kita sama.”

“Lo ice burst juga?”

“Gak, sama malboro nya maksud gue. Gue malmer.”

“Ini kita mau kemana sih, Mik?” tanya Ai, keduanya sudah berada di dalam mobil Mika dan dari tadi Mika hanya menyetir tanpa tujuan yang pasti.

I told you i just want to strolling around Bandung, jadi ya gak kemana-mana, keliling biasa aja,” jawabnya dengan mata yang mengarah ke jalanan sedari tadi.

Ai hanya menghela nafas, lebih baik ia diam menurut dan mengamati suasana Bandung di malam hari saja.

Keduanya diselimuti suasana hening, hanya lagu dari playlist Aiko yang terdengar di dalam Mobil itu—tentunya dengan ada ribut kecil terlebih dahulu dan akhirnya Mika membiarkan Ai menang setelah Ai berkata, “Lo udah maksa gue buat jalan sama lo malem ini.”

Namun keheningan itu tidak berujung lama saat lagu dari Cigarettes After Sex berjudul Affection terputar.

It's affection, always
 Ooh, you're gonna see it someday
 My attention's on you
 Even if it's not what you need

Tanpa Ai sadari ia ikut menyanyikan chorus dari lagu itu, Mika yang berada di sebelahnya tersenyum sambil melirik Ai, “Oh, you listen to Cigarettes After Sex?

“Anjir, gue nyanyi ya?”

Mika terkekeh, “It’s ok, you have a nice voice, Ai.

Ai membuang muka ke arah jendela mobil—ia malu, “Of course i listen to CAS, it’s on my playlist, you dummy. Tapi, gue emang suka banget sama CAS, lagunya enak-enak. Dan salah satu wish list gue adalah midnight drive while listen to their songs, thanks for making my wish come true, by the way.

Wow, Ai just thanked me? I feel so honored,” goda Mika sambil menyikut lengan Ai pelan.

“Gausah mulai ya!” gerutu Ai, even though he is in a good mood, he still has a way to annoy her.

Mika tertawa, “Gue juga suka CAS loh, Ai.”

Mendengar perkataan Mika, Ai menatap ke arah Mika yang masih fokus menyetir, “Serius? Lo suka lagu yang mana?”

“Hmm, yang mana ya,” Mika terdiam sebentar, tampak berfikir terlebih dahulu, “Oh, yang judulnya Apocalypse,” katanya kemudian secara tiba-tiba menyanyikan salah satu part dari lagu tersebut sambil menatap ke arah Ai, “Your lips, my lips; Apocalypse.”

Mikael sialan.

Ai keluar dari lift, kemudian segera melangkah ke arah lobby. Benar bukan, Mika pasti sudah tidak ada. Lagi pula tidak mungkin laki-laki yang seharian ini memporak-porandakan perasaanya akan menunggunya selama itu. Memangnya Ai siapa?

“Woy.”

Demi Tuhan ini sudah kedua kalinya Ai kaget—hampir saja ia loncat dan menjatuhkan handphonenya karena orang yang sama. Ia menengok ke arah suara sialan itu dan mendapati Mika berjalan ke arahnya sambil tersenyum miring.

Did i surprised you?

Ai mendengus mendengar pertanyaan Mika, “Menurut lo? Udah dua kali lo buat jantung gue copot, ini lo lagi percobaan pembunuhan atau gimana?”

Mika tertawa, “Gak gitu, Ai. Lo anaknya kagetan ya?” tanya Mika lagi.

Ai mengangguk, “Sadly yes,” ia terdiam sebentar lalu menatap Mika, “Btw, lo kenapa disini?”

“Kan kita emang mau jalan, Ai.”

But it’s 11 p.m, lo gak mungkin nunggu gue selama itu kan?”

I’m a man with words.

Ai menggigit bibir bawahnya, ia jadi tidak enak, “Sorry, didn’t mean to make you wait. I mean, yes, secara langsung gue buat lo nunggu. Tapi, gue gak mikir lo akan nungguin gue,” jelasnya.

It’s ok, i only waited for 3 hours,” ucap Mika sambil mengangkat bahunya. So he knows how to makes her feel guilty, huh?

I feel bad, sorry, Mik. My bad, gue kira lo gak bakal nunggu, jadi gue gak turun-turun kebawah.”

If you truly feel bad, then let’s strolling around Bandung with me,” ajak Mika.

“Gue laper tapi,” berusaha menolak Mika secara halus.

“Ya, makan dulu baru kita jalan-jalan, i know a good taichan in Bandung.

Ai menghela nafas, “Yeah, sure. Let’s go,tampaknya ia tidak bisa menolak Mika lebih lama lagi.

“Woy.”

Ai hampir saja menjatuhkan handphonenya saat mendengar suara tersebut. Ia menoleh dan melihat Mika yang duduk di depannya sambil tersenyum menyebalkan ke arahnya.

“Sejak kapan lo disini?” tanya Ai, sumpah orang dihadapannya ini manusia atau bukan sih? Ai bahkan tidak sadar kapan orang ini datang dan duduk di depannya.

“Serius banget sampe gak sadar gue disini.”

“Lo ngapain ke sini?” tanya Ai lagi.

“Mau jemput orang yang katanya suka sama gue lah,” jawab Mika, masih dengan senyum menyebalkannya itu.

“Gausah kepedean ya lo, itu ulang Henry,” kata Ai kesal.

“Masa?”

“Iya lah! Lo pikir gue suka beneran sama lo?”

Mika mengangkat kedua bahunya, “Who knows.

“Lo gila ya?”

Mika tertawa—looks like someone is on the good mood right now, “Ayo.”

Ai mengangkat salah satu alisnya, “Ayo apaan?”

“Balik lah, bentar lagi mau mulai dan gue belum liat drafting lo tadi.”

“Gak, kerjain aja sendiri.”

“Lo beneran mau gue cium ya?”

“Apaan sih, lo!”

“Ayo, Ai. Kalo lo ga gerak-gerak gue cium beneran ya.”

Ai memutar kedua bola matanya, “Stress lo ya.”

Mika tersenyum, “Looks like someone really want to get a kiss from me,” ia memajukkan badannya ke arah Ai yang membuat Ai mundur—terlalu dekat, batin Ai. “Was my kiss really that good on that night? You don’t even move your body at all.

Ai membelakkan kedua matanya, kemudian ia berdiri, “Apaan sih, lo?!”

Mika berdiri menghampiri Ai sambil terkekeh geli, “Never knew you’d look this cute when you’re panicked.

Ai membuang muka, “Bentar lagi workshopnya mulai, gue cabut,” katanya sambil pergi meninggalkan Mika yang masih tertawa geli melihat kelakukan Ai barusan.

Sekarang Ai berada di mobil Henry bersama dengan Mika. Iya, Mika. Alasannya hanya karena Mika kalah suit dengan Xavi sehingga ia harus di mobil Henry, padahal saat berangkat ke tempat makan ia menang sehingga ia di mobil Lucas bersama dengan Gyanna. Untuk permainan suit ini Xavi yang mengusulkan, karena Mika tidak mau naik mobil Henry—awalnya tidak mau naik mobil Henry dan Lucas, ia lebih memilih membawa mobilnya sendiri, namun Lucas berkata “Ngapain sih bawa mobil banyak-banyak? Orang cuman mau makan doang.” Karena itu ia harus memilih untuk menumpang di mobil siapa—yang pastinya dari awal dia tidak mau di mobil Henry karena jelas ada Ai. Oleh sebab itu Xavi mengusulkan untuk melakukan suit dengan siapa yang kalah harus di mobil Henry, walaupun sebenarnya Xavi tidak masalah, namun hanya ingin membuat Mika satu mobil dengan Ai saja yang akhirnya tercapai saat mereka ingin pulang ke hotel.

Dan seperti biasa bukan Mika dan Aiko namanya apabila mereka tidak beradu mulut apabila berada di satu tempat yang sama. Henry berkali-kali menahan untuk tidak berteriak mendengar Mika dan Aiko yang bertengkar hanya karena lagu—astaga, bisa tidak langsung ganti aja kalau gak suka? Gausah pake ribut dulu. Itu yang selalu Henry ucapkan, namun selalu diabaikan oleh keduanya.

Setelah setengah perjalanan mereka habiskan dengan pertengkaran, akhirnya mereka bisa mendengarkan lagu di dalam mobil Henry dengan tenang. Namun, hal itu tidak bertahan lama karena tiba-tiba lagu Do It Again yang dinyanyikan oleh Pia Mia, Chris Brown dan Tyga terputar begitu saja.

Hey baby, are you sure that you want it? Or caught up in the moment? Let me know now Oh baby, it got a little crazy on the first night So I'ma have to do you better than the first time—

Saat di pertangahan lagu, Ai langsung mengganti lagu itu begitu saja.

“Kok diganti, sih?” tanya Mika yang duduk di belakang dengan nada kesal.

“Jelek lagunya,” jawab Ai asal. Sumpah, Ai sebenarnya biasa aja awalnya, namun saat ia mulai memperhatikan liriknya, entah kenapa itu sangat menganggu sehingga lebih baik ia mengganti dengan lagu lain. Lagi pula, kenapa bisa ada lagu ini di playlistnya sih?

“Hah, jelek darimana?” tanya Mika bingung, “Balik lagi ga? Gue pengen denger lagunya sampe habis.”

“Gamau.”

“Ganti ga?” paksa Mika.

“Kenapa sih emangnya?” tanya Ai kesal.

“Gue pengen denger lagunya sampe habis kan gue bilang.”

“Ya gue gamau, bisa kan denger lagu yang sekarang aja,” ujar Ai.

“Gue juga gamau, gue maunya denger lagu yang tadi.”

“Gak,” tolak Ai.

“Ganti gak?”

“Gak.”

“Ganti gak?”

“Gak!”

“Gue matiin ajalah, anjir,” ucap Henry tiba-tiba, ia mematikan pemutar musik di mobilnya itu.

“Kok dimatiin, sih?!” tanya Mika dan Ai bersamaan, yang setelah itu keduanya saling melemparkan tatapan sinis.

“Abisnya lo berdua berisik banget daritadi, dengerin lagu doang pake acara ribut segala,” jawab Henry dengan kesal.

“Lo sih pake acara ganti-ganti lagu mulu daritadi!” kata Mika sambil mendorong bahu Ai.

Tidak mau disalahkan, Ai langsung menoleh ke arah Mika, “Kok gue? Lo lah apa yang gue lakuin selalu di comment, kan ini pake handphone gue!”

“Gua juga mau pake handphone gue kali, tapi lo yang gamau pake handphone gue!”

“Terus? Salah gue?”

“Iyalah!”

“Apaan, sih? Kok jadi salah gue?”

“Soalnya lo—“

“DIEM WOY!” teriak Henry, “Udah ya, Mika, Ai. Udah sampe, gausah berantem lagi, please. Kepala gue mau meledak denger kalian berantem mulu daritadi.”

Keduanya menoleh ke arah jendela mobil dan benar, mereka sudah sampai di depan lobby hotel.

Thanks, Hen,” kata Mika kepada Henry, kemudian ia menatap Ai, “mana kartu hotel lo?”

“Hah? Maksud lo?” tanya Ai bingung.

“Kartu hotel dikasih dua, kan? Gue bagi satu, biar kalau lo gak bisa dibangunin gue langsung samperin kamar lo gak perlu nelfon-nelfon atau spam chat lo lagi,” jelas Mika. Ia menjulurkan tangannya ke arah Ai, “Sini kartu lo.”

“Gak mau,” tolak Ai mentah-mentah. Enak saja, terus nanti Mika bisa masuk ke kamarnya dengan seenaknya begitu? Lebih baik Ai telat setiap hari.

“Lo sadar gak sih selalu telat? Gua gak mau kita gak dapet best group award gara-gara lo gak disiplin.”

“Tetep gue gak mau.”

“Kasih sini.”

“Gak.”

“Ai.”

“Apaan sih—“

For fuck sakes, just give it to him, Ai,” ujar Henry. Sumpah, Henry turut prihatin dengan anggota kelompok mereka berdua, harus mendengar mereka ribut setiap saat. Henry yang hanya merasakannya selama setengah hingga satu jam saja sudah ingin menyumpal mereka dengan kaos kaki miliknya.

“Kok lo malah mihak dia sih, Hen?” tanya Ai kesal.

He got the point, biar lo gak telat lagi. Gue sama Gyanna juga cape kali gedor-gedor pintu kamar lo setiap hari,” jelas Henry, “Jadi mending lo kasih aja,” suruh Henry kepada Ai.

Ai mendengus kesal namun akhirnya tetap memberikan kartu kamarnya ke Mika, “Jangan aneh-aneh lo,” ancam Ai.

Mika tertawa mengejek, “Siapa juga yang mau aneh-aneh sama lo? Gue ga nafsu kali,” jawabnya lalu keluar dari mobil Henry begitu saja.

Ai menurunkan jendela mobil Henry, “You know what, Mika? Go fuck yourself!

Henry tertawa dengan kencang, tidak percaya apa yang baru saja ia saksikan.

“Kok lo ketawa sih, Hen?!”

“Sumpah, Ai. Semoga lo sama dia gak end up pacaran ya, karena gue yang ngetawain paling kenceng kalo iya.”

Malam ini mereka—seperti biasa Ai, Henry, Gyanna, Lucas serta kedua temannya yaitu Mika sam Xavi sedang berada di Paskal Food Market, tepatnya di BBQ Mountain Boys Burger—salah satu burger terenak yang pernah Ai coba menurutnya. Mereka sedang mengobrol dan seperti biasa Ai hanya bagian mendengarkan—terlalu malas untuk berbicara, katanya. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama saat mereka sedang menyinggung asal sekolah mereka dan Lucas menyebutkan nama sekolah yang familiar baginya, “Hah, lo anak PL?” tanya Ai kepada Lucas.

Lucas mengangguk, “Iya, emang kenapa?”

“Kenal Yosse dong?”

“Temen deket gue, gila!” jawab Lucas dengan semangat, “Kok lo kenal dia? Emang lo SMA dimana, Ai?”

“Dia temen gue dari kecil,” jelas Ai kepada Lucas, “Btw, sekolah gue pasangannya sekolah lo.”

Mendengar ucapan Ai, Lucas melebarkan kedua matanya—terlalu kaget, “Demi apa? Lo anak pulor?”

Ai terkekeh, “Ya, emang apa ada sekolah lain selain itu yang jadi pasangan sekolah lo?”

“Anjir! Kok gue gak kenal lo? Lebih tepatnya kok gue gatau lo temen Yosse?”

“Gue emang ansos, sih. Semenjak ada kejadian yang gak jelas menurut gue, gue jadi gak mau terlalu keliatan,” jelas Ai.

“Bentar, deh. Nama panjang lo siapa, Ai?”

“Aduh, pasti lo langsung tau deh. Nama gue cukup terkenal waktu kelas 10 dulu.”

Lucas jadi semakin penasaran, “Siapa?”

“Aiko Louise Hi—“

“Anjing, lo Aiko si anak Jepang itu?” tanya Lucas tidak percaya.

“Ya, kayak nya muka gue cukup menjelaskan deh gue orang Jepang.”

“Iya, tapi gue selama ini taunya lo Ai doang bukan Aiko. And turns out lo Aiko Hideki mantannya Bang Jeffrey?”

“Gausah disebut namanya!”

“Ya gimana ga disebut? Gua kaget jir! Waktu kita kelas satu dulu lo terkenal banget karena ketahuan pacaran sama Bang Jeffrey kakak kelas gue kan di SMA dulu, yang megang angkatan 2016 lagi. Gokil lo,” jelas Lucas sambil menggelengkan kepalanya.

“Iya, tapi lo tau kan…” Ai tidak mau melanjutkan perkataannya—terlalu malas menjelaskan.

“Yang lo dilabrak kakak kelas lo sendiri? Si Kak Sandra? Kakel cantik yang udah suka Bang Jeffrey dari kelas satu sampe kelas tiga tapi gak pernah dilirik?”

“Anjing lo, malah dijelasin lagi,” kata Ai kesal.

Lucas tertawa, “Keren banget, gue ketemu orang yang selalu diomongin selama gue kelas sepuluh dulu.”

Xavi—dan yang lain, yang sedari tadi hanya mendengar percakapan mereka berdua, akhirnya tertarik untuk bertanya, “Emang Ai kenapa, Cas?”

“Soalnya kata orang-orang lo cantik banget, tapi gue gak pernah liat lo. Mana dulu kelas sepuluh instagram lo gak ada fotonya lagi,” jawab Lucas kepada Xavi.

“Lebay lo,” kata Ai kepada Lucas, “Lagian gak boleh ada post di instagram waktu kelas satu emang wajib, bego. Lo mau gue dilabrak karena ada post di instagram? Udah cukup karena gue pacaran sama Kak Jeffrey.”

“Iya, makanya gue gak pernah tau lo yang mana. Btw, kok lo putus sama Bang Jeffrey, deh? Bukannya dia sayang banget sama lo? Kan dia marah-marah tuh ke Kak Sandra pas tau lo dilabrak.”

Ai mendengus, “Dia selingkuh sama Kak Sandra.”

“Hah? Demi apa lo?” tanya Lucas tidak percaya, karena pasalnya memang kakak kelasnya yang satu itu terbukti sayang sekali sama pacarnya yaitu Ai, dia rela menghampiri Sandra dan memarahinya habis-habisan di depan sekolah Sandra setelah mendengar bahwa Sandra melabrak kekasihnya itu.

“Iya, karena prom bareng itu lah. Lo tau kan, after party nya ngapain? They got drunk and yeah, you can guess what happened. Terus semenjak itu mereka sering main di belakang gue, terus ketahuan abis itu gue putusin deh.”

“Anjing, parah banget Bang Jeffrey pantes waktu naik kelas dua si Yosse sempet gak mau ke tongkrongan kalo ada Bang Jeffrey.”

“Iya, sebenernya dia mau ngajakin ribut. Tapi gue larang, ngapain juga? Gak penting. Tapi yang gue nyeselin kenapa gue pernah sama Kak Jeffrey kalo dia end up sama Kak Sandra akhirannya, anjing. Gue waktu kelas satu dulu beneran kayak neraka di kenain kakel kelas tiga terus setiap hari karena gue cewenya Kak Jeffrey, sialan,” keluh Ai.

Yang lain tertawa mendengar perkataan Ai, “Gapapa, Ai. Bisa diambil hikmahnya,” sahut Henry.

Ai menatap Henry sinis, “Ya, makasih ya.”

“Eh, Ai. Kok kita gak ketemu pas prom ya? Kan sekolah kita selalu prom bareng. Terus kok kita gak pernah ketemu ya setiap selolah gue sama lo ngadain kumpul-kumpul bareng gitu,” tanya Lucas lagi.

“Gue gak ikut prom, kebetulan gue liburan ke luar sama keluarga gue. Gak mau ikut prom juga sih sebenernya. Semenjak gue dikerjain mulu sama kakak-kakak kelas gue selama satu tahun, gue gak mau terlalu menonjol lagi pas kelas dua sampe kelas tiga. Lebih tepatnya gak mau berurusan lagi deh sama orang-orang di sekolah gue dan sekolah lo selain soal sekolah kayak pelajar and stuffs, males banget. Makanya lo juga gatau kan gue sahabatnya Yosse? Itu gue yang minta, gue males dikepoin. Udah cukup di sekolah gue dicari-cari mulu setiap hari,” jelas Ai.

“Kasian banget lo, Ai.”

Ai hanya mengangkat kedua bahunya malas. Memang benar, sih. Kehidupan Ai selama SMA sangat menyedihkan dan patut dikasihani. Temannya di sekolah tidak ada, karena hampir semua alasan setiap kakak kelasnya menghukum angkatannya karena Ai. Karena itu, Ai dianggap sampah angkatan dan hal lain semacamnya, karena bagi teman-teman seangkatan Ai, Ai itu selalu menyusahkan mereka selama kelas satu. Ai adalah beban angkatan 2018.

Makanya Ai hanya bisa tertawa apabila semasa SMA kemarin Bang Johnny selalu bertanya kenapa Ai selalu pergi bersama teman-teman dari sekolah internya yang dulu buka teman-teman SMA nya, karena pada kenyataannya dia tidak mempunyai teman dari tempat SMA nya itu.

Sorry, telat,” kata Ai saat tiba di meja kelompoknya.

“Lo telat dua setengah jam, Ai. Bentar lagi juga break,” ujar Ryan kepada Ai. Perlu diketahui bahwa Ryan memang ambis dan galak juga—sama seperti Mika namun setidaknya tidak menyebalkan seperti Mika dengan kata-kata pedas andalannya.

Sorry banget ya, Ry. Sumpah ini salah gue banget,” ucap Ai yang tidak enak hati sedari tadi. Menurutnya, kali ini ia memang agak kelewatan, sih.

“Jadi yang kemarin-kemarin juga bukan salah lo?” tanya Mika tiba-tiba.

Ai menoleh ke arah Mika yang menatapnya dengan tatapan sinisnya—seperti biasa, “Bukan gitu maksud gue—“

Don’t need your defense, keep it to yourself,” potong Mika, “Mending sekarang lo cari peraturan hukum tentang UMKM aja, nanti lo ketik di gdocs yang udah dikasih sama LO—Liaison Officer kita dari hari pertama, dan jangan lupa sesuai sama kaspos yang gue kirim di group kemarin sore kalau lo baca,” ujarnya sambil menekan kata kalau.

Ai terlihat kebingungan namun berusaha memasang wajah yakin dan menganggukkan kepalanya, “Gue baca kok.”

Melihat raut wajah Ai yang tidak bisa bohon, Mika menghela nafas, “Gue tau lo belum baca, Ai. Why i have to deal with you, percuma almet kuning tapi kerjaannya nyusahin.”

Mendengar ucapan Mika, Ai langsung memasang wajah kesal, siap untuk mengeluarkan pembelaaan dari mulutnya, “Gue ga bego ya!”

“Siapa yang bilang lo bego, Aiko?” tanya Mika sambil menaikkan alis kanannya, “I know you’re smart enough to get that yellow jacket, but that doesn’t mean anything if you don’t use it on workshop. So you better do you task now,” jelasnya sambil memberikan berkas-berkas kepada Ai.

“Harus banget gue ya, Mik?” tanya Ai malas.

Mika menatap Ai seolah-olah pertanyaan yang keluar dari mulut Ai tadi merupakan pertanyaan konyol dan aneh, “Lo udah telat dan masih nanya harus banget lo?” tanya Mika, “Kalo lo mau tau jawaban gue; Iya, harus banget lo. Now do it, gak pake lama.”

“Gue udah kelar.”

“Demi apa, Kak Ai?” tanya Azka tidak percaya, mengingat peraturan hukum yang harus dilampirkan sangat banyak dan Ai telah menyelesaikannya dalam waktu kurang dari 30 menit.

“Iya,” jawab Ai, “Gue juga sekalian jelasin argumentasinya apa aja.”

“Anjir, lo keren banget, Kak,” kata Jenar sambil menatap Ai dengan takjub, “Ga heran sih, anak UI never disappoints.”

Ai mendegus, “Lebay lo,” ia menatap ke arah Mika yang ternyata sudah lebih dulu menatapnya, “Gue boleh keluar, kan? Bentar lagi break.”

“Gak, tunggu sampe emang waktunya break. Jangan kemana-mana,” jawab Mika.

Ai memutar kedua bola matanya, “Yaelah, gue udah selesai, Mik. Gue harus ngapain sekarang kalo ga keluar?”

“Bantuin anak-anak yang masih belum kelar lah, lo pikir kalo tugas lo udah selesai lo bisa leha-leha gitu aja?”

You don’t need to be so annoying, i’m just asking—

And i answered it already, now go help Key or Azka,” potong Mika yang sepertinya hobi sekali memotong perkataan Ai.

Whatever,” ucap Ai, walaupun setelah itu ia langsung berjalan ke arah Key dan Azka.

What drink do you guys want to order?” tanya Lucas kepada orang-orang yang berada di table tersebut. Sekarang mereka sudah berada di salah satu club di Bandung.

Jager aja, Cas,” usul Mika kepada Lucas.

“Gue gak suka Jager!

Mendengar perkataan Ai, Mika menatapnya dengan sinis, “Yang lain suka semua, it doesn’t matter just order Jager.”

“Terus gue ga minum gitu? Gue kan ikut bayar!” ujar Ai kesal.

“Yaudah gausah, gue ganti uang lo tadi,” jawab Mika.

“Enak aja, gue juga mau minum!”

Okay, okay. Guys, calm down,” kata Lucas berusaha menenangkan keduanya yang sudah mulai panas—karena emosi, “Lo beneran gasuka Jager, Ai? Atau karena Mika yang ngusulin buat itu, makanya lo gamau?” tanya Lucas kepada Ai.

What the hell? Gue beneran gasuk Jager, Cas. Tanya aja Gyanna atau Henry, yakan?”

Yes, she doesn’t like Jager, Cas. You can order something other than that,” kata Gyanna kepada Lucas.

Oh, okay,” Lucas mengangguk lalu tersenyum kepada Ai, “Sorry, Ai. I thought you don’t want to have Jager because of Mika, since you always fight with him,” jelas Lucas kepada Ai.

Mendengar hal tersebut, Ai memutar kedua bola matanya, “I’m not that low.

Yeah, my bad, sorry. How about Smirnoff, you okay with that?

Ai mengangguk, “Yes.

Okay, Smirnoff it is.

Shots after shots, finally when Ai thinks she is high enough she goes to the dance floor—gonna have some fun before tomorrow’s workshop right?

She moves her body freely, this is the best part when you’re drinking. Getting high enough and then now you can dance without being awkward and else. She enjoyed it so much until she realizes someone’s standing behind her. When she looks to the back, she can’t believe what she finds. It was Mika, the one who always annoyed her from the very first day.

“What the fuck are you doing?” she asks, she knows Mika doesn’t like her, so it’s a very questioning for her to find him on the dance floor with her—and the distance is too close.

“Someone’s looking at you, since you stepped on the dance floor,” he answers.

“And you have a problem with that?”

Mika rolls his eyes—can this girl stop asking him with too much questions? “You can answer it yourself,” he says while pointing at the person he referred to with his chin.

Ai looks at where he pointed to, and turns out it was a guy who’s sitting on the sofa with girls on his both sides, but his eyes is on Ai—with the nasty look that Ai hates the most.

She looks back at Mika, “Okay, thank you for saving my life,” she says.

He chuckles, “You’re exaggerating.”

She rolls her eyes, “Whatever,” she says, “But anyway, since you’re here you should dance with me,” she pulls his hand and bring him to the center.

She thoughts Mika would refuse and go back to their table, but turns out he just laugh and let her be.

Another surprise, he dances with her and another surprise—again he is good, “Never thought you can dance,” she says to him.

He laughs—oh my god, this is the second time he laughs at her, is it because the alcohol? “Is that a compliment?”

“Yes.”

After that, they keep dancing and dancing. She never knew Mika and alcohol is such a good combination. And it was all fun until she feels his lips pressed against her.

Well shit.