dio's point of view:
“Kenapa, Kak?” tanya Eyza saat melihat Dio menatap layar handphone-nya selama berapa menit.
“Huh?” Dio mengerjap, ia menatap ke arah Eyza yang duduk di hadapannya sambil menyeruput hot caramel latte yang ia pesan tadi, “Gapapa, kok. Cuman Jevan tadi ngomong sesuatu di dm terus buat gue keinget sesuatu,” jawab Dio sambil tersenyum kepada Eyza. Mendegar jawaban Dio, Eyza hanya mengangguk dan kembali fokus kepda minumannya.
Apa yang ia bicarakan dengan Jevan di dm instagram tadi membuat Dio teringat dengan perempuan itu lagi, Lulla. Perempuan yang dulu selalu menemani hari-harinya selama ia berada di Bandung pada bulan November hingga Desember tahun lalu. If he can be honest, he used to think about that girl a lot. Iya, dulu. Especially when he wanted to go to her house—to meet her and talk about everything that needs to be explain, tapi ia membatalkan pertemuan tersebut karena Eyza yang sakit dan jelas membutuhkannya. Sejujurnya, Dio merasa sangat bersalah. Mungkin banyak yang mengatainya brengsek—dan Dio tidak akan mengelak apabila mendengar hal tersebut, namun ia juga mempunyai hati dan rasa bersalah. Kalau ia boleh jujur, sebenarnya besoknya ia ingin menghampiri Lulla dan meminta maaf kepadanya karena apa yang ia lakukan sangat salah—membatalkan pertemuannya begitu saja dengan Lulla, bahkan dia hanya membaca pesan dari Lulla dan tidak memberikan perempuan itu penjelasan. Namun, teman-temannya menahannya. Mereka bilang dia keterlaluan—Dio akui itu benar, dan lebih baik bila ia tidak berhubungan dengan Lulla lagi. Apalagi sampai sahabat dari perempuan itu—Bryan, meminta hal yang serupa.
At first, he thinks after that moment Lulla blocked him on Instagram, since he can’t find her account for months. But the truth is Lulla only deactivated her account, karena saat ia sidang skripsi Lulla tiba-tiba mengucapkan selamat kepadanya—yang dimana hal tersebut membuatnya kaget, karena pertama ia kira Lulla memblokirnya dari instagram, dan kedua ia tidak menyangka Lulla dengan baik hati tetap mengucapkan selamat kepadanya setelah apa yang Dio dan mungkin Eyza lakukan kepada perempuan itu. Saat Lulla menanyakan kabarnya, sebenarnya Dio ingin sekali menjawab ‘Gue kangen lo.’ Tolong jangan katakan dirinya brengsek dulu, ia memang benar-benar merindukan perempuan itu. Ia tidak bisa mengelak bahwa ia pernah menghabiskan dua bulan bersama perempuan itu, dimana Dio tiba-tiba sudah berada di depan rumah Lulla dan menculiknya—itu yang selalu Lulla katakan padanya. Begitu juga di Bandung, Dio hampir setiap hari membawa Lulla pergi ke tempat-tempat menarik yang ada di Bandung. Perempuan itu yang selalu menamaninya disaat dia bosan dan ingin mengintari kota Bandung, perempuan itu yang selalu menamaninya saat awal-awal dia menyusun skripsi. Jadi tidak salah kalau Dio merindukan Lulla, kan?
Saat Jevan secara tiba-tiba membawa nama Lulla ke dalam percakapan mereka di dm tadi, membuat Dio yang awalnya sudah tidak terlalu mengingat Lulla lagi menjadi teringat kembali dengan perempuan itu. God damn, he truly misses her a lot. He really wishes someday he can fix his relationship with her and then he can be friends with her. If only he wasn’t dumb enough, if only he can fix everything that happened and make it up to her. Maybe she’s still here, strolling around Bandung with him again. But it’s just a pitiful wish that maybe never be come true, because right now all he can do is just wonder. He wonders how’s her life after the chaos that he made. Does she still drink a lot of alcohol because of him?—He really feels bad for it, he swears. Are her friends—Bryan and Jian still accompany her when she wants to drink? When she’s drunk, are her friends still hold her whenever she cries and rambling about what is her feelings right now? He wonders too, what is she doing right now? Is she doing well? Is she happy right now? Because he wishes nothing but only happiness for her. Karena menurut Dio, dia tidak bisa memberikan kebahagiaan kepada Lulla. Hell, he knows he only good at making her cry—gave her pain and sadness. Because of that, he wishes Lulla can find someone or something that can give happiness for her.
Walaupun perasaan dia kepada Lulla sudah hilang, tapi ia boleh merindukan Lulla sebagai temannya, bukan? Because even Lulla was shy at first, the truth is she is very a fun person. When you get to know her more, you will realize how fun she is. She talks a lot, and Dio always think she is cute. That’s why he always smile whenever he was with her. Just by looking at her can make him smile like a fool.
Dio bersumpah sebenarnya ia ingin sekali tetap bersama Lulla, namun apa daya sahabat perempuan itu—Eyza, muncul begitu saja di hadapannya. Dan entah mengapa membuat Dio seketika melupakan Lulla begitu saja, dan hebatnya lagi perasaannya dari Lulla pindah ke Eyza. Mungkin memang awalnya Dio penasaran dengan Eyza, karena apa yang ia dengar dari Lulla dan teman-temannya kalau Eyza merupakan pribadi yang mandiri—bisa dibilang independent woman. Dio memang tertarik kepada Eyza, tapi hanya sekedar tertarik ingin bertemu dan berbicara secara langsung saja, tidak lebih. Tapi setelah bertemu dengan Eyza, rasa tertariknya kepada Eyza semakin bertambah dan terus bertambah, hingga fokusnya hanya pada Eyza saja.
Setelah mengenal Eyza berapa bulan ini, Dio sadar bahwa perempuan dihadapannya sekarang mempunyai karakter yang sangat seru dan gampang untuk bersosialisasi dengan orang baru, sehingga tidak membutuhkan waktu lama bagi Dio dan Eyza untuk akrab. Belum lagi ternyata mereka memiliki banyak sekali kesamaan, dimana Eyza suka sekali berpergian—ke luar kota, ia juga tidak takut untuk mencoba hal-hal baru, sama seperti Dio. He can’t lie, he is so happy for the relationship that he has with Eyza. Walaupun memang Dio dan Eyza belum menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih—karena Dio belum mau dengan hal itu, perlu diingatkan bahwa dia tidak terbiasa dengan hal seperti itu, Dio lebih sering menjalani hubungan tanpa status karena tidak ada beban dan komitmen, karena Dio bukan orang yang dengan mudah memberikan komitmen dalam suatu hubungan. Tapi walaupun begitu, Eyza tidak masalah dengan hal itu. Karena ternyata Eyza mempunyai latar belakang sehingga membuatnya juga takut untuk mempunyai hubungan dengan komitmen. He doesn't know he should be happy with this information or not, but he is grateful to know that Eyza can understand him when he said commitment is not his thing.
Namun, setelah berhari-hari, atau mungkin berminggu-minggu memikirkan hubungannya dengan Eyza, he starts to think that maybe he wants to give it a try. Realizing how comfortable he is with Eyza right now, makes him think that maybe Eyza is someone he can commit to. He knows that they met at the wrong time, because Eyza is Lulla’s bestfriend and his relationship with Eyza now makes Eyza stop talking with Lulla. But life works in such a funny way, he can’t guess what happens next. So the best thing he can do right now is focus on things that he has right now—and he has Eyza right now, Eyza is her antidote. Eyza really makes him happy and makes his feelings begin to grow more—more than just being interest like he had on her at first before. Because for the first time in his life he's scared for the thought of being alone. He used to be okay when people left him, since he knows that people come and go, so it's a normal thing. But now, he thinks he will not be able to be okay if Eyza leaves him. He doesn't want her to leave him, he's scared. So it’s not a crime to take it into the next time right? He deserves to give a shot on it? He knows he will look like a fool after this, but like he has said before; Life works in such a funny way.
So he stares at the girl in front of him, the golden light from the sun in today's afternoon makes her even more prettier than before. So here he goes,
“Eyza, lo mau jadi pacar gue, gak?”