sobkoos

“Bodo gak takut,” ujar Ai sambil menatap layar handphonenya—membaca pesan dari Mika. Setelah itu, ia me-lock handphone nya dan menyimpannya dalam kantong.

“Gak takut apaan?” tanya Henry yang datang sambil membawa dua minuman dan dua slice cheesecake untuk mereka berdua.

“Mika nge chat gue marah-marah soalnya gue kabur,” jawab Ai sambil menatap Henry yang duduk di hadapannya.

“Terus lo bales apa?”

“Gak gue bales lah, gak penting juga,” jawab Ai sambil memotong cheesecake di hadapannya lalu memasukkan potongan tersebut ke dalam mulutnya.

“Lo gila ya? Berani banget,” kata Henry sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Lagian gua gak suka sama dia marah-marah mulu kerjaannya. Ya gue tau sih gue salah, cuman gausah lebay anjir ini workshop doang bukan kerja. Kalo kerja juga gue gak bakal kaya gini kali,” jelas Ai kesal.

“Tapi lo cabut definisi cabut, Ai. Gue udah izin sama kelompok gue, mereka juga beberapa ada yang cabut soalnya. Ini lo mah kabur, anjir. Gak pake izin.”

“Ya emang kenapa, sih? Lebay banget—“

“Bagus ya, yang lain lanjut dengerin seminar lo malah kabur asik makan kue.”

Sumpah, Ai hampir loncat saat mendengar suara itu. Ia menoleh dan mendapati Mika sudah berada di belakangnya sambil melipat kedua tangannya dengan raut wajah kesal.

“Mau gak?” tanya Ai dengan wajah tidak bersalah sambil menyodorkan piring cheesecakenya.

Menghiraukan tawaran Ai, ia malah menatap Ai dengan tajam, “Lo mau balik sekarang atau gue seret?” tanya Mika.

“Apaan sih lo, aneh.”

Mendengar jawaban dari Ai, Mika langsung menarik satu tangan Ai yang langsung ditahan oleh Ai—namun sayangnya, tenaga laki-laki itu lebih besar, sehingga mau tidak mau ia bangkit berdiri.

“Apaan sih, lo?” tanya Ai kesal.

“Ayo balik,” jawab Mika datar.

Stop anjir, lo lebay banget. Kelompok lain aja pada cabut, masa gue gak boleh?”

“Itu kelompok lain, bukan kelompok gue. Sekarang balik,” jawab Mika sambil menarik tangan kanan Ai.

“Bentar, at least gue habisin dulu cheesecake gue—“

“Gak,” potong nya dengan nada tegas, “Ayo balik.”

Ai menoleh ke arah Henry yang dari tadi hanya menontoninya, “Hen, bantuin gue, dong!” ujar Ai kesal.

“Kan gue udah bilang kalo ketua lo ngamuk gue gak ikutan,” jawab Henry.

“Hen!”

“Lo attention seeker banget tau ga?” kata Mika tiba-tiba.

Ai kembali memusatkan fokusnya kepada Mika, “Maksud lo apa?!”

“Lo gak nyadar dari tadi diliat orang-orang café? Gue sih jadi lo malu terus cabut, bukannya ngulur waktu begini.”

Ai melihat kesekitar dan memang benar—orang-orang menatap ke arahnya sekarang.

Sialan, batin Ai.

“Lo juga harusnya malu lah, kan lo juga diliatin!” kata Ai yang tidak mau kalah.

Mika mendengus kesal, “Yang kabur kan lo, gue cuman kesini jemput lo biar balik. Jadi yang harusnya yang malu lo lah, nyusahin orang,” jelas Mika yang kemudian tersenyum meremehkan, “Atau kata gue tadi bener ya? You are an attention seeker? So you enjoy it a lot?

Fuck you!” umpat Ai kesal sambil melepaskan tangannya dari Mika secara kasar, “Gue bisa balik sendiri!” teriak Ai sambil berjalan keluar dari café dengan perasaan kesal—bukan, marah.

Demi Tuhan, Mikael Antoine Yann, awas aja lo. Gue buat lo kesusahan selama workshop nanti, since you like to called me nyusahin so much.

Aiko berjalan masuk ke ruangan seminar yaitu tepat di ballroom hotel yang sudah di atur menjadi tempat seminar. Seminar sudah mulai sejak tadi, sehingga saat Aiko masuk ke ruangan tidak sedikit orang yang melihat ke arahnya. Sumpah Aiko sebenarnya malu, tapi bukan salahnya kan karena bangun kesiangan? Oke, mungkin itu memang salahnya karena ia tidur pukul 4 pagi walaupun Gyanna sudah memperingatkan, namun Aiko kira ia akan dibangunkan—walaupun kenyataannya memang iya dibangunkan, namun Aiko si manusia bodoh lupa melepas headset yang berada di sepasang telinganya diiringi dengan musik ber-volume full.

Aiko menghampiri tempat dimana kelompoknya berada dan duduk di sebelah yang ia tebak bernama Keyandra karena mirip dengan profile picture yang dia liat sebelumnya, “Keyandra, bukan?” tanya Aiko.

Keyandra tersenyum sambil mengangguk menatap Aiko, “Yes, lo Aiko, kan?”

The one and only, but you can call me ai for short,” jawab Aiko.

Btw, ini Azka, Ai,” ujar Key kepada Ai sambil menyenggol sebelahnya. Yang disenggol pun menoleh, “Halo, Kak Aiko! Aku Azka, hehehe,” katanya sambil memamerkan senyum giginya.

“Lo lucu banget,” ucap Ai spontan.

“Iya, kan! Gue juga bilang sama dia gemes banget kaya anak kecil,” jelas Key dengan semangat, “Btw, Ai. Lo kenapa telat?” tanya Key kepada Ai.

“Sumpah, sorry banget. Gue baru tidur jam empat pagi kan, terus begonya gue tidur ga lepas headset gue. Jadi, pas temen-temen gue gedor-gedor pintu kamar gue, gue ga denger,” jawab Ai.

Key dan Azka tertawa, “Lo ada-ada aja deh, Kak,” ujar Azka.

“Can all of you shut up?”*

Ketiganya menoleh ke depan dan mendapatin Mikael yang menengoj ke arah belakang dengan wajah kesal. Kemudian ia menatap Ai dengan sini, “Lo juga, udah telat malah ngobrol lagi. Tau diri lah,” kata Mikael ketus lalu berbalik menghadap ke depan.

Ai melebarkan kedua matanya, “Anj—“

“Udah biarin aja, Ai. Dia emang galak gitu,” potong Key.

Ai menoleh ke arah Key, “Lo kenal dia?”

“Hah, emang kakak ga kenal Bang Mika?” tanya Azka.

“Oh, panggilnya Mika?” tanya Ai, lalu kedua teman barunya itu mengangguk. “Engga, gue taunya dia temen cowonya sahabat gue. Tapi itu aja gue baru tau orangnya yang mana sekarang, gamau tau juga sih,” jawab Ai sambil mengedikkan kedua bahunya.

“Ai, dia terkenal banget gila. Dia aja dari awal udah diomongin orang-orang disini,” bisik Key.

“Karena dari UGM?”

“Bukan! Okay, maybe that’s one of the reasons. Tapi alasan utamanya karena dia anaknya Alfred Yann, yang punya lawfirm Yann & Partners,” jelas Key.

“Hah?!” Ai membelakkan kedua matanya, “Anjir, that famous corporate law firm? Cita-cita gue kerja disana, jir.”

“Iya, Ai. Lo bayangin katanya dia keterima di Yale University tapi ga boleh sama mamanya, nanti aja pas S2.”

“Anjir, sayang banget.”

“Emang, namanya juga anak satu-satunya, mamanya belum mau anaknya pergi jauh kali. Tapi biarin lah, udah orang kaya, anak tunggal, ganteng, pinter banget lagi.”

“Damn, but he has a bad attitude though, galak banget, gue gasuka,” ujar Ai sewot.

“Yah, itu mah emang salah lo selalu ketiduran dua hari ini,” jawab Key sambil menyikut lengan Ai pelan, “Tapi dia emang strict banget anaknya, tegas gitu dan terkenal galak kalo ada yang ga disiplin. Ajaran keluarganya kali ya.”

“Lo bisa diem ga, sih?”

Ai menoleh dan mendapati Mikael untuk kedua kalinya menghadap belakang sambil menatap sinis ke arahnya—Wait, only her?

Why you only look at me?” tanya Ai dengan wajah kesal.

“Karena emang lo biang masalahnya,” jawab Mika.

“Kok gue?!” tanya Ai sewot.

“Daritadi mereka berdua diem-diem aja, merhatiin seminar. Tapi semenjak lo dateng mereka jadi berisik, and you still ask why i’m blaming you?” tanya Mika sewot.

Fuck you,” umpat Ai.

Language, kita di acara formal kalo lupa. Jangan kayak orang yang gapernah diajarin sopan santun,” kata Mika sambil kembali menghadap depan.

What the fu—

“Udah, Ai. Daripada masalahnya lebih panjang, diem aja,” kata Key sambil menahan Ai yang sempat ingin berdiri tadi.

Ai hanya bisa menghembuskan nafasnya kesal sambil membuang kedua mukanya.

What a nice first impression, she thinks.

Untuk pertama kalinya setelah berapa kali Bryan dan Jian minum bersama Lulla, ia melihat Lulla sekacau ini.

Biasanya Lulla akan tertawa dan melakukan hal konyol seperti orang yang mabuk namun sedang bahagia pada umunya. Ya, setelah kejadian Lulla menangis selama perjalanan pulang dari Bandung ke Jakarta, Bryan dan Jian tidak pernah melihat Lulla menangis lagi. Bryan dan Jian mengira Lulla akan menangis kembali dan akhirnya bercerita kepada mereka beberapa hari kemudian. Namun setelah kejadian itu itu, ia malah bersikap biasa saja, seolah apa yang terjadi di kosan Jian tidak berarti apa-apa.

Namun, hal itu lah yang mebuat Bryan dan Jian khawatir. Jian menganggap bahwa Lulla seolah mati rasa, sedangkan Bryan mengira mungkin Lulla berusaha menutupi kesedihannya? Karena mereka berdua yakin kalau Lulla pasti sedih setengah mati. Apalagi Bryan, Bryan sudah mengenal Lulla dari SMA, sehingga ia tau apa kebiasaan Lulla apabila ia sedih, yaitu berusaha terlihat bahwa dia biasa saja—karena Lulla tidak mau dikasihani, dan lari dari permasalahan tersebut dengan meminum minuman alkohol agar ia lupa akan permasalahannya untuk sejenak.

Namun, entah mengapa dari awal Lulla mengirim pesan kepada Jian supaya segera menjemputnya, yang kemudian mereka berdua datang ke rumah Bryan—yang dimana Lulla datang sambil membawa dua botol Captain Morgan sambil berkata, “Duit gue habis tapi gue mau minum lagi, jadi gue beli ini aja gausah pt-pt, gue yang bayar, biarin gue mau chaos malem ini,” Bryan tau kalau Lulla sudah tidak bisa berusaha untuk terlihat baik-baik saja, sehingga ia memilih alkohol untuk mengambil alih malam itu.

Ya, memang itu tujuan Lulla dari awal. Selama ini alkohol hanya membantu dia untuk melupakan hal itu sejenak. Oleh karena itu, setiap ia minum ia selalu mengontrol berapa banyak yang boleh dia minum sehingga setidaknya dia bisa tertawa tanpa beban untuk selam semalam. Tidak lebih dari itu. Tapi untuk sekarang Lulla tidak bisa menahan lagi, beban yang terangkat sehingga dia bisa tertawa untuk semalah sudah tidak cukup lagi baginya. Ia benar-benar ingin melupakan segalanya, hingga ia tidak bisa mengingat satu nama yang membuatnya seperti ini.

Entah sudah berapa gelas yang Lulla teguk dan jangan lupakan bahwa ia tidak mencampur minumannya dengan mixerseems like she really wants to get drunk real soon, yang akhirnya membat Lulla sudah mulai kehilangan kesadarannya. Dan setelah dua atau mungkin hampir tiga minggu akhirnya Bryan dan Jian melihat Lulla menangis kembali, “Gue sedih banget, anjing,” umpatnya.

Bryan dan Jian yang sudah yakin saat seperti ini akan datang sehingga mereka sudah siap meladeni Lulla, “Sedih kenapa, Lull?” tanya Bryan.

“Gue cape banget, I'm so tired to pretending like I am okay because the truth is I swear to God I'm not okay at all,” jawab dengan air mata yang membasahi kedua pipi Lulla, ia kemudian melanjutkan perkataannya, “Kenapa, sih? Kenapa harus sama Eyza? Kenapa harus sama Eyza, Ji? Bry? Gue sedih banget. Lo tau kan gue se-insecure apa, gue dari awal udah insecure karena Kak Dio tuh social butterfly banget, temennya dimana-mana. Dari awal dia deketin gue tuh gue udah ngerasa aneh banget, gue kan anaknya awkward banget kalo awal-awal kenal, gabisa kaya dia yang langsung akrab kalo ketemu orang baru. Kita beda banget. Makanya gue udah prepare, if one day he gets bored of me and he will finds someone new. Gue gapapa banget, gue berani sumpah. Tapi kenapa harus sama Eyza? Gue dari awal emang udah feeling, tapi gue ga nyangka ini bakal kejadian beneran. Eyza sahabat gue, kembaran gue. Satu fakultas juga tau kali gue sama Eyza itu mirip. Dan dengan Dio malah end up sama Eyza itu buat gue insecure banget, lebih insecure daripada sebelumnya. Karena dengan begini gue jadi mikir berarti ada sesuatu dari Eyza yang gue gapunya atau yang gaada di gue tapi ada di dia, since kita itu mirip banget. Gue sedih banget.”

“Za…” Sumpah kalau begini jadinya, Bryan dan Jian tidak tau harus bagaimana, mereka tau Lulla sedih dan kecewa, namun mereka tidak tau bahwa separah ini dampak yang diberikan Dio kepada Lulla.

“Gue sedih banget,” lanjut Lulla, “Why the person that I like have to like my bestfriend? Why he has to end up with my bestfriend? My fucking bestfriend! My twin! Kalo kaya gini caranya gue harus nyalahin siapa? Gue kesel banget sama Eyza, bahkan kalo bisa gue pengen banget ngebenci dia. Tapi, dia sahabat gue, dan gue tau ini bukan salah dia, jadi sekarang yang gue bisa lakukan cuman nyalahin diri gue sendiri. Gue jelek ya? Pasti dia ninggalin gue karena I'm not pretty enough, kan?” tanya Lulla.

“Lulla, you're drunk—”

Yes, I am. Terus kenapa?' tanya Lulla kepada Jian.

You're talking nonsense now, you are pretty enough, Lull,” jawab Jian.

No, you are a liar. Stop lying, if I am pretty enough then he will never left me. Kak Dio ga bakal ninggalin gue dan malah jadi sama Eyza. If only I was fun enough, pretty enough, independent enough and maybe funny enough, pasti Kak Dio ga akan ninggalin gue. Because the reason why he left me is because I am not enough and Eyza has something that I will never have! Eyza has something that makes Kak Dio wanna stay with her. Oh my god, I am so sad. Why I can't make him stay like Eyza did? Why I am not enough?

“Lull, udah stop nyalahin diri lo sendiri. Please, Lull. Ini semua bukan salah lo, kalo ada yang bisa disalahin disini itu cuman Kak Dio. Lo ga salah sama sekali,” jelas Bryan.

“Gue salah,” jawab Lulla, kemudian ia terdiam lalu menggelengkan kepalanya, “Engga, mau gue salah atau bener intinya gue akan tetap sedih. Orang kaya gue selalu ditakdirkan untuk sedih. People like me only live to suffer, even when we feel happy it was just only for a moment, after that reality hits us hard and we end up to be sad again. Gue emang gapantes bahagia.

Yeah maybe it's not because she wasn't enough and else, but it's because life will never let her to be happy forever. She deserves nothing, but to be sad all over again.

After that Bryan and Jian continued to seen how much Dio broke her. Bryan could have sworn he'd never seen Lulla like this before—maybe he ever seen her like this for once, but the last time she was like this was two or three years ago. And now Lulla's heart is torn apart again. They can make sure it will takes so much time for Lulla to recover.

“I'm sorry, Lull. You don’t deserve all of these, gue berani bersumpah lo ga pantes dapetin ini semua, lo berhak bahagia. And it's will never be your part, it's Dio. And I swear I will make him pay.”

Mendengar semua perkataan yang keluar dari mulut keempat temannya itu, Lulla hanya bisa terdiam. Dibanding shock dengan apa yang baru ia dengar tadi, ia lebih shock dengan segala hal yang menjadi bahan overthinkingnya tiap malam malah menjadi kenyataan. Ketakutannya terjadi, dan Lulla benar-benar tidak tau harus menjawab apa.

“Lull,” ucap Elle pelan-pelan, “Jadi gitu.”

Lulla mengerjap beberapa kali, berusaha memastikan bahwa ini bukan mimpi, “Oh, yaudah. Terus mau gimana?” tanya Lulla, nadanya masih tenang.

“Hah? Maksud lo?” tanya Gaia bingung.

“Ya, yaudah. Emang mau gimana?” ulang Lulla.

“Kok lo malah gitu sih, Lull? Lo ga kaget? Ga marah?” tanya Giselle bingung.

Lulla tertawa pelan, “Kalo lo mau tau, gua udah bisa nebak dari awal. Ya bisa dibilang feeling gue kali ini bener lah ya, makanya gue ga kaget. Kalo marah, ya yaudah. Emang gue harus marah ya?”

“Lull, lo mending nangis aja deh atau teriakkin kita atau apapun kita ga masalah. Daripada liat lo kaya seolah-olah gapapa gini,” kata Gaia, sumpah nada bicara Lulla dari tadi kelewat santai—seolah dia memang sudah tau dari awal. Jadi bagaimana keempat temannya itu tidak takut?

“Kok lo malah maksa gue, sih? Yaudah kan, ada yang mau kalian omongin lagi ga ke gue?”

“Lull, gue minta maaf,” akhirnya Eyza bersuara, setelah menceritakkan kejadian Dio confess kepadanya, dia memilih untuk diam—terlalu takut, “Sumpah Lull, gue ga suka sama Kak Dio.”

“Lebay, lo. Suka juga gapapa,” canda Lulla yang membuat Eyza menatapnya kaget, “Udah kan? Gue pasti udah ditungguin sama Jian sama Bryan, nih,” katanya sambil berjalan menuju pintu kamar Elle.

Sebelum ia benar-benar keluar, Lulla berbalik menatap mereka berempat, “Gue beneran punya feeling dari awal Kak Dio nanya Eyza mulu, bahkan sebelum itu. Gapapa, kok i saw it coming. Tapi, Za,” Lulla menatap ke arah Eyza, “Gue pegang omongan lo.” ujarnya lalu keluar dari kamar Elle.

“Yuk, pulang,” ajak Lulla kepada Bryan dan Jian saat dia sudah berada di teras depan kosan.

“Lo gapapa, Lull?” tanya Bryan khawatir.

“Gue mau pulang,” ucapnya dengan suara yang bergetar, dia tidak bisa menahan lagi, tapi dia tidak mau menangis di sini.

Bryan langsung mengangguk mengerti, “Yuk.”

Lulla masuk ke dalam mobil, akhirnya ia pulang ke Jakarta. Meninggalkan Bandung, meninggalkan segala kenangannya bersama Dio selama satu bulan penuh. Yang berakhir sia-sia.

Sekarang Lulla dan yang lain sedang berada di kosan Jian, lebih tepatnya kosan Jian, Elle, Giselle, Gaia dan Eyza. Karena kosan mereka merupakan kosan campur dan banyak anak-anak dari fakultas hukum yang tinggal disitu jadi mereka memutuskan untuk mengadakan closing party ala-ala untuk proker Lulla disana.

Ya seperti anak mahasiswa pada umumnya, botol-botol alkohol sudah siap berada di meja besar, makanan junk foods dan beberapa cemilan yang lain. Sekarang mereka sedang duduk mengelilinhi meja kayu besar yang panjang. Awalnya semua baik-baik saja, hingga Dio yang tadinya berada di belakang kursi Lulla pindah menjadi di depan Lulla, yang membuat Lulla heran adalah Dio duduk satu kursi dengan Eyza. Memang tidak pangku-pangkuan atau apa—kalau iya pun Lulla sudah lebih dulu mendorong mereka berdua, tapi tetap saja duduk berdempetan? Satu kursi? Hal konyol apalagi ini?

Sumpah Lulla sudah berusaha untuk mengontrol raut wajahnya tapi jangan salahkan matanya yang kadang suka melihat ke arah mereka berdua, tolong jangan salahkan Lulla karena mereka berada di depannya persis jadi Lulla tidak salah kan? Ia hanya melihat apa yang ada di depan matanya.

“Eh, daripada ngomongin hal ga jelas mending kita ngomongin hubungan orang aja ga sih?” tanya Jian tiba-tiba, sumpah Lulla yakin 100% kalau Jian sudah tipsy sekarang makanya dia menjadi menyebalkan.

Anak-anak yang berada disitu tertawa, “Boleh, Ji. Emang lo mau ngomongin hubungan siapa, Ji? Kan ada dua pasangan nih disini,” jawab Nathan.

“Kalo Elle sama Kak Rendy mah gausah diomongin, Kak. Gue yakin mulus mulu sampe akhir. Lagian Elle kan dikamar gamau ikut,” jawabnya yang kemudian ia menoleh ke arah Lulla—sumpah Lulla rasanya ingin mengutuk Jian sekarang juga, “Gimana nih Luella Zuri sama Dio Alviero? Gue liat-liat gini-gini aja hubungan lo berdua.”

Sebenarnya ingin sekali Lulla berkata 'bisa diem ga lo', namun entah mengapa Lulla malah menjawab, “Hah? Apaan? Hubungan apaan?”

“Ya hubungan lo sama Kak Dio gimana? Kan udah disurprise-in tuh dua kali lagi satunya salah tanggal—”

“Anjing lo, Ji,” potong Dio tiba-tiba dengan nada bercanda.

Jian tertawa, “Maap, Bang. Tapi emang bener kan? Terus kemarin-kemarin jalan mulu gue liat-liat, jadi ada kemajuan ga? Masa gini-gini doang? Gimana Lull?”

“Ya mana gue tau? Kok malah nanya gue?” tanya Lulla.

Beberapa pertanyaan berkali-kali dilontarkan oleh Jian ke Lulla—dimana Dio hanya menatapnya saja tidak membantu sama sekali, sehingga Lulla selalu mengelak. Mengelak merupakan salah satu bentuk pertahanan diri Lulla. Satu hal yang ia harapkan yaitu semoga ia tidak mental breakdown dan mengeluarkan semua isi hatinya disini, apalagi banyak sekali orang-orang disini bukan teman-temannya saja tapi juga ada katingnya.

Entah berapa banyak alkohol yang ia teguk karena orang-orang terus menberikannya dengan alasan 'proker lo kan baru kelar, Lull' sehingga kepalanya terasa pusing sekarang, saat ia merasakan perutnya bergejolak seolah isi perutnya ingin naik, ia segara berdiri dan pergi ke kamar Elle yang untungnya berada di lantai satu sehingga ia tidak perlu naik tangga.

“Mau kemana, La?” ternyata Dio mengikutinya, sungguh untuk malam ini Lulla kesal dengan katingnya yang satu itu. Bukan hanya karena ia duduk satu kursi dengan Eyza saja, namun yang menyebalkannya lagi teman-temannya tadi mengoloknya dengan “Jangan cemburu gitu, Lull.” “Itu dari tadi diliatin mulu dua orang di depannya.” “Za, parah banget lo itu udah panas Lullanya masa sahabat gitu sih? Pindah dong.” Bagaimana Lulla tidak panas?

Oleh karena itu, dengan kedua kaki yang masih berjalan menuju kamar Elle, Lulla menjawab “Gausah ngikutin gue.” Namun, Dio masih mengikutinya dan memanggil namanya.

Sampai di kamar Elle—yang segera disambut dengan Elle yang sudah paham kenapa Lulla datang ke kamarnya, Lulla segera menuju kamar mandi, menutup pintu dan memuntahkan isi perutnya di kloset. Setelah selesai, ia segera memencet tombol flash lalu terdiam sebentar menunggu apakah ia masih ingin memuntahkan isi perutnya lagi atau tidak.

After that, everything feels so blurry.

Yang Lulla tau, tadi ia masih berada di kamar mandi kamar kosan Elle dimana Dio berkali-kali mengetuk pintunya sambil berkata, “Ella, lo gapapa kan?” yang dijawab teriakan ketus oleh Lulla, “berisik, gausah ganggu gue.” Namun sekarang ia berada di atas tempat tidur Elle menangis sambil memeluk Elle. Dan entah bagaimana ceritanya hingga sekarang kamar Elle sudah penuh dengan Elle, Giselle, Eyza, Dio, Rendy dan Nathan.

“Elle, thank you for taking care of me. I'm sorry for throwing up,” kata Lulla sambil menangis. Lulla memang begitu whenever she was drunk and there's semone who taking care of her, pasti ia akan emosional dan merasa bersalah.

Hey, it's ok, Lull,” jawab Ella sambil mengelap air mata Lulla dengan tissue.

I'm still feel sorry though, I'm sorry for being a burden.

No, Lulla. You never be a burden for me. Gapapa kok wajar, you're drunk right now, and it's my job to take care of my friends when they were drunk.

Thank you—

“Jangan nangis lagi, Ella.” Lulla menoleh dan mendapati Dio berada di sebelah Elle.

Oh jadi daritadi yang berisik itu Kak Dio, pikirnya. Ia segera memalingkan muka dan berkata, “Berisik lo, lo aja daritadi sama Eyza mulu.”

Setelah Lulla melontarkan kalimat tersebut, seketika kamar Elle menjadi sunyi. Rendy yang berada disebelah Eyza segera memukul lengan Eyza pelan dan melotot kepadanya, Eyza menjadi merasa bersalah sehingga ia keluar dari kamar Elle.

“Anjing, bener kan kata gue, Di. Lo sih goblok,” ujar Nathan.

“Jangan gitu, Nath.” tegur Dio, ia kembali menatap Lulla sambil mengusap kepala Lulla pelan, “Hey, Ella. Emang gue salah apa?” tanya nya dengan lembut.

Setelah melihat kejadian malam itu Elle dan Giselle bisa menyimpulkan bahwa mungkin Dio katingnya yang satu itu memang buaya, namun malam ini dia patut diapresiasi karena dengan sabar masih berusaha mengurus Lulla dan terus mengajak ngobrol Lulla dengan nada yang lembut walaupun di tolak habis-habisan dan Lulla.

“Ella, bangun yuk.”

Suara itu berkali-kali memanggilnya, sehingga mau tidak mau Lulla membuka kedua matanya dan mendapati Dio berdiri di samping tempat tidur yang ia tiduri.

“Pagi, Ellaaaa,” ujar Dio sembil tersenyum, “Pulang yuk, udah jam 10 nih.”

Lulla dengan rasa kantuk yang masih menyelimuti dia menarik selimut hingga menutupi setengah wajah Lulla, “Hmmm.”

“Ayo, La. Itu si Elle mau jalan sama Rendy,” Lulla melihat ke arah Elle yang sibuk dengan makeupnya di depan meja rias, “Cuci muka gih, gue tunggu di depan ya,” ujar Dio sambil mengusap kepala Lulla lalu keluar dari kamar Elle.

Instead worries about something that bother her mind, she should be happy when she knew that he’s still here, woke her up and now he drives her to her dorm. But she doesn't even know why she feels something heavy on her chest, something that she can't even explain.

“Malu banget,” gerutu Lulla sambil membalas chat di group.

Dio yang memperhatikan Lulla sedari tadi terkekeh, “Tadi katanya ada yang kesel, Lull.”

Lulla menoleh ke arah Dio, “Hah, siapa, Kak?”

Mendengar pertanyaan Lulla, Dio semakin tertawa geli, “Gatau, tapi katanya karena ga gue ucapin hbd seharian tadi,” jawab Dio.

Sialan, batin Lulla.

“Oh… Oke, hahahaha. Siapa ya, hahahaha,” demi apapun tolong kubur Lulla sekarang juga. Dia malu sekali, dan ia yakin mukanya sudah merah pada sekarang.

“Lo lucu banget sih, Lulla,” kata Dio sambil tersenyum lebar.

“Uhm, Kak. Tadi abis dari mana?” tanya Lulla.

“Gue abis ngurus proker Aubrey tadi, kan hari terakhir ya closing gitu. Cape banget sumpah,” curhat Dio, “Mana nanti gue harus balik lagi, males banget, nasib rumah jauh.”

“Rumah Kak Dio di Depok bukan, sih?”

“Iya, tapi ada juga di Jakarta Timur. Tapi mau pulang ke yang mana pun sama aja, sama-sama jauh. Ngantuk banget lagi,” jelas Dio.

“Lagian lo ngapain kesini sih, Kak. Gue jadi ga enak, walaupun rumah gue searah pun kan tetep jauh kalo lo mampir kesini dulu,” kata Lulla, sumpah dia jadi tidak enak. Muka Kak Dio keliatan banget lelahnya.

Dia tertawa, “Apaan sih, lo. Lebay banget, bisa aja kali, Lull. Mending lo nanti anterin gue pulang. Nih, bawa mobil gue,” canda Dio sambil memberikan kunci mobilnya kepada Lulla.

Lulla menghela nafasnya, “Boro-boro bawa mobil, Kak. Aku aja gabisa bawa sepeda.”

Dio melebarkan kedua matanya, “Sumpah demi apa, Lull?” tanyanya.

“Iya,” jawabnya, ia melihat Dio yang menahan tawanya, “Ih, jangan diketawain!”

Dio tidak mampu menahan tawanya lagi, “Hahaha, lo lucu banget, sih,” ujarnya, “Btw, itu lo gamau buka kado dari gue?” sambil mengarahkan dagunya ke kotak yang berada di meja.

Lulla mengambil kotak tersebut, “Ini apa, Kak?” tanya Lulla.

“Coba buka aja.”

Lulla membuka kotak tersebut, sumpah Dio Alviero dengan segala kejutannya. Sekarang memenjamkan matanya, tidak habis pikir dengan jalan pikir Dio.

“Kenapa ini, sih?” tanya Lulla—speechless. Ia tidak menyangka Dio Alviero memberikan kado yang sungguh aneh, yaitu kaca mata renang perlu digarasi bawahi untuk anak kecil berwarna pink dengan hiasa lucu diframenya.

“Coba pake dulu, Lull,” pinta Dio sambil tersenyum lebar.

“Kak, ini buat anak kecil! Lagian kenapa kadoin ini, sih? Malu banget,” ujar Lulla kesal.

“Katanya minggu depan mau ke Bali, biar nanti pas renang mata lo ga merah, Lull. Biar ga kemasukan air,” jelas Dio sambil tertawa.

“Aneh banget, kenapa modelnya kaya gini?”

“Lucu, kan? Pake dong, Lull.”

“Gamau, lah.”

“Kok gitu, sih? Udah gue beliin juga, Lull.”

“Malu, Kak!”

“Pake dulu coba, sebentar aja deh. Gue cuman mau liat secara langsung kalo lo pake ini,” paksa Dio.

Ini dia ke sini mau nge bully gue ya, pikir Lulla. Dengan setengah hati ia memakai kacamata renang tersebut. Perlu diakui modelnya memang lucu, tapi lucu apabila dipakai anak kecil, bukan dia yang sudah berumur 19 tahun. Astaga, dia pasti terlihat konyol sekarang.

Melihat Lulla dengan kacamata renang pink tersebut Dio tertawa kencang, “Lulla, lo lucu banget, sih. Ga habis pikir gue.”

Sebenarnya setelah kejadian tersebut Lulla dan Dio masih sering pergi entah kemana bersama, namun sekarang mereka sudah jarang pergi berdua, pasti selalu ada Elle, Giselle, Gaia, Hany, Bryan, Jian lalu juga ada Rendy, Nathan dan Jevan yang entah mengapa pasti ikut juga dengan alasan ‘biar enak kalo tiba-tiba mau bahas proker’ sehingga mau tidak mau Lulla jadi dekat dengan ketiga teman Dio yang ternyata lucu dan aneh menurut Lulla

Siapa yang menyangka Rendy si ketua Neo yang selalu serius ternyata sangat seru apabila diajak bercanda dan gossip? Lalu Jevan yang tidak pernah bisa mengontrol kata-kata yang keliar dari mulutnya dan ada Nathan yang menurut Lulla paling aneh tapi paling lucu—mungkin karena selera humor mereka yang sama yaitu receh menurut anak-anak.

Walaupun begitu, Lulla tidak terlalu mempermasalahkan, lagian dia masih berhubungan dengan Dio lewat chat atau dm di instagram—karena salah satu dari mereka ada yang me-reply story pastinya.

Oh ya, Eleyza sudah berada di Bandung kalau kalian tidak tahu. Memang sih tidak ada yang mencurigakan, walaupun Dio kadang suka mengajak ngobrol Eyza tapi menurut Lulla itu masih dalam batas wajar seperti Dio mengajak ngobrol teman-temannya Lulla yang Lain. Meskipun begitu, tetap saja dari hati Lulla yang paling dalam dia tetap berfikir yang tidak-tidak. Walaupun Dio tidak menunjukkan gelagat yang mencurigakan, but she still feels small somehow everytime she watches Dio and Eyza having an interaction, you know? But anyway, don’t mind that maybe she just being stupid, so she better stops the overthinking season every night real soon.

Bagi dia apa yang dia urus sekarang sudah melelahkan—yaitu prokernya, jadi dia tidak mau menambah beban dengan pikiran-pikirannya yang tidak jelas. Lebih baik dia menangis di kosan setiap malam karena perkara proker, bukan hal konyol yang lain.

“Mukanya cape banget, Lulla,” ujar Nathan menghampiri Lulla. Sekarang mereka sedang berada di cafe, namun karena Lulla sedang merokok jadi Lulla keluar ke tempat outdoor.

Lulla tersenyum ke arah Nathan, melihat Lulla tidak menjawab ucapannya ia berbicara lagi, “Kusut banget lo gue liat-liat, kenapa? Cape proker? Hidup? Kuliah? Tapi gamungkin soalnya lo masih semester 3,” Nathan terdiam sebentar sambil menyalakan rokok yang ia pegang sedari tadi, “Atau Dio?” tanyanya.

Lulla tertawa saat mendengar nama Dio keluar dari mulut Nathan, “Ga kok, Kak. Cape karena proker aja, lusa udah hari pertama prokerku jadi deg-degan,” jelas Lulla.

“Oh,” Nathan mengangguk paham sambil menghembuskan asap rokok yang baru ia hisap, “Gimana sama Dio?”

“Ya, ga gimana-gimana, Kak,” jawab Lulla sambil terkekeh geli menatap Nathan, “Emang mau gimana?”

“Pasrah banget jawaban lo, Lull.”

“Ya abisnya gimana ya, gini-gini aja, Kak. I mean if you know dulu dia nge gas banget kan awalannya, tapi sekarang yaudah gitu doang gaada kemajuan,” jelas Lulla.

Just Dio being Dio, Lull. Sampe sekarang gue juga gapernah ngerti jalan pikir dia, walaupun gue bisa nebak kelakukan dia abis ini apa. Saran gue sih don’t expect too much about him,” ujar Nathan.

Maybe if she listened to him and could control her feelings, perhaps things wouldn't have turned so chaotic later.

“Kai, lo beneran ga balik lagi?” tanya Danica, “Gue aja kalo ada tanggal kejepit bakal pulang!”

Kaia tertawa, “Gausah lebay, deh. Gue di Surabaya doang, ga pergi jauh masih satu pulau.”

“Ya tetep aja lo gamau pulang sampe liburan!”

“Kai,” panggil Raihan.

“Kenapa, Han? Janji kan bakal bareng gue di Surabaya? Awas lo ya ga keterima mandiri!” ancam Kaia.

Raihan terkekeh, “Iya, iya. Gue pasti nyusul lo kak doain aja.”

Kaia mengangguk mengerti, “Btw, tadi mau ngomong apa?” tanya Kaia.

Raihan mengeluarkan sebuah surat dan memberikan kepada Kaia, “Dari Leon. Kaya bocah lo berdua main surat-suratan.”

Kaia tertawa sambil menerima surat dari tangan Raihan, “Biarin, sih!” Ia melihat ke sekitarnya, “Dia beneran ga dateng ya, Han?”

“Enggak, Kai. Gausah berharap.”

Kaia menatap Raihan kesal, “Yaudah, sih. Nanya doang.”

“Kak, udah dipanggil tuh!”

Ia menoleh ke arah mama, “Oke, ma!” Lalu kembali menatap Raihan, “Gue duluan ya, Han. Bye, see you!” sambil berjalan meninggalkan Raihan.

“Kai,” panggil Raihan.

Kaia berbalik, “Kenapa?”

He said he proud of you, always.

Kaia tersenyum, “Thank you.” Kemudian berjalan meninggalkan Raihan, teman-temannya, dan keluarganya.

Dearest, Leon. Until we meet again.

Awkward, itu yang ada di pikiran Kaia. Saat Leon menjemputnya benar-benar tidak ada sepatah kata yang terucap selain, makasih leon dan sama sama. Di cafe sekarang pun Kaia hanya berbicara dengan Danica dan teman-temannya yang lain. Sedangkan Leon sibuk bermain video games dari handphone nya dengan Raihan dan Jevan.

“Kai, gue mau balik, lo pulang sama siapa?” tanya Danica.

“Demi apa lo balik sekarang, Dan?”

“Iya, gue dari kemarin kan udah keluar mulu ini bentar lagi nyokap gue ngamuk jadi mending balik sekarang,” jelasnya, “makanya gue tanya lo balik sama siapa? Mau bareng gue sama Raihan? Dia bawa mobil soalnya.”

“Kaia balik sama gue,” jawab Leon yang berada di depannya, masih sibuk bermain dengan handphone nya.

Danica mengangguk, “Oke, berarti aman. Ayo, Han, gue udah dicariin nyokap.”

Sama seperti Leon, Raihan masih sibuk dengan handphone nya, “Bentar, Dan, dikit lagi—AH ELAH JEVAN KALAH KAN SUMPAH NOOB BANGET LO.”

Jevan yang mendengar teriakan Raihan hanya tertawa sambil berusaha membela diri, “Sumpah tadi gue ga fokus! Ayo main lagi.”

“Ga, males gue paling kalah lagi. Gue juga mau nganterin Danica pulang,” jawab Raihan dengan raut muka yang masih kesal.

Leon yang melihat kedua temannya itu hanya bisa terdiam—tidak peduli. Ia berdiri menghampiri Kaia, “Mau balik sekarang, ga?” tanya nya.

Kaia yang dari tadi sibuk melihat Raihan yang masih marah-marah ke Jevan menoleh, “Boleh.”

“Yuk.”

“Kai,” panggil Leon. Sekarang mereka berdua sudah berada di depan rumah Kaia, dimana Leon masih berada di atas vespa nya dan Kaia berdiri menghadap Leon.

“Kenapa, Le?”

Congrats, ya. I’m sorry i say it late, i feel bad aja kalo ngucapinnya lewat chat.”

Kaia tersenyum setelah mendengar ucapan Leon, at least he congratulates her, right?It’s okay, Leon.”

“Lo ke Surabaya kapan?” tanya Leon.

“Senin besok, soalnya gue harus ngumpulin berkas-berkas gitu sekalian pendaftaran ulang,” jawab Kaia.

Will you come home?

“Ga, gue ga balik lagi. Gue mau disana aja sampe kuliah mulai, paling gue balik Desember pas liburan semester.”

“Lo beneran gamau nyoba simak UI, Kai?”

“Gamau, lah. Gue udah dapet apa yang gue mau, lagian gue beneran gamau kuliah di Jakarta, Le. Gue beneran pengen tinggal sendiri, jauh dari keluarga.”

Leon mengangguk mengerti, beneran gaada harapan ya, pikirnya.

Kaia menatap Leon yang dari tadi tidak pernah menatap mata Kaia saat berbicara, “Le,” panggil Kaia.

“Hmm?”

What i said on last december, i really mean it. I’m sorry if it makes you—

Stop it, Kai.” potong Leon.

I just wanna explain,” ujar Kaia.

I don’t wanna hear it.

Do you hate my feelings that much?” tanya Kaia. Leon akhirnya menatap Kaia, namun ia diam tidak mengeluarkan satu kata sedikit pun.

Kaia menghela nafas, “You still owe me an explanation tho,” ujarnya.

About what?

Why you ignored me and pushed me away for months,” jawab Kaia.

Stop, Kai. There’s nothing more to explain, i thought we are good?

“Gue masih ga terima, jawaban lo kemarin ga masuk akal. Lo tuh kebiasaan, gapernah bilang kalo ada apa-apa. Selama ini selalu gue yang cerita, tapi lo gapernah. Gue kaya ga kenal lo sama sekali, padahal udah tiga tahun kita bareng. Apa susah nya sih cerita? Lo tinggal bilang kalo lo emang risih sama gue, atau mungkin gue buat salah, atau gue ganggu lo atau—“

Leon yang merasa terpojokan dengan segala kata yang keluar dari mulut Kaia segera memotong ucapan Kaia, “I said stop! You don’t even listen. Percuma kalo lo selalu mau di denger tapi lo gabisa dengerin orang lain. Lo juga kebiasaan, selalu ungkit-ungkit hal kecil yang sebenernya ga kenapa-kenapa tapi lo besar-besarin. You always thing that you are the one who gets hurt the most in this world, and you want people to understand you, but you never try to understand them first. Lo selalu ngeluh apa yang orang-orang udah perbuat ke lo, tapi lo gapernah nyadar lo emang udah ngapain? Emang lo gapernah buat salah? Gapernah nyakitin orang lain? Lo egois, ngerasa paling tersakiti dan selalu minta di kasihanin. Selalu gitu, kaya apa yang lo lakuin setiap orang tua lo berantem—” Leon terdiam sebentar, ia sadar ia telah melewati batas, “Fuck, Kai. I don’t mean it.

Mata Kaia sudah berkaca-kaca dari tadi, ia tidak menyangka orang yang ia anggap selalu mengerti dan mendengarkan cerita nya baru saja mengatakan hal yang paling ia benci. Ia tidak pernah minta untuk dikasihani, “Fuck you, Leon. I hate you so much,” ucap nya sambil berjalan masuk ke rumah, meninggalkan Leon.

Yeah, fuck me. I’m the worst person ever,” ucap Leon sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

And we’re back to square one, pikir mereka berdua.

gue di depan ada mama lo malah disuruh masuk

Kaia segera keluar dari kamar nya dan turun menuju ruang tamu setelah membaca pesan dari Leon.

Elah kenapa pake acara ketemu mama sih, pikirnya.

“Hi, Le.”

Leon segera berdiri dari sofa saat ia melihat Kaia, ia memberikan beberapa—semua buku les nya kepada Kaia, “Nih, Kai. Semua buku-buku les gue.”

“Semuanya, Le? Ini gapapa?” Kaia jadi merasa tidak enak, lagian kenapa malah dikasih semuanya sih? Gerutu Kaia dalam hati.

“Gapapa, Kai. Kan gue udah bilang ga make,” jawab Leon santai.

Kaia mengambil buku-buku itu dari Leon, berusaha mengontrol mukanya yang sebenarnya deg-degan daritadi, ia rindu Leon tau walaupun baru saja ketemu saat wisuda kemarin tapi itu kan hanya sebentar, mereka juga tidak mengobrol. “Makasih ya, Le.”

Leon mengangguk, “Yaudah gue cabut ya.”

“Loh, Leon kamu langsung pulang? Tante udah suruh mba bikin minuman, kamu gamau main dulu gitu sama Kaia?” tanya Mama Kaia sambil membawa gelas yang entah isinya apa Kaia tidak tau.

“Ga, tante. Lagian Kaia juga pasti mau belajar,” jawab Leon sambil tersenyum.

“Kamu kemana aja deh? Tante udah jarang liat kamu main sama Kaia, ini Kaia belajar mulu sih gapernah main lagi kan jadinya. Biasanya kan dia pergi-pergi mulu sampe malem, sekarang kerjaan dia cuman pergi les terus belajar di kamar,” Kaia memutar kedua bola matanya saat mendengar ucapan mama nya, pasti mama nya akan bawel dan terlalu oversharing kalau kata Kaia. Ingin sekali Kaia jawab ‘Leon juga gapeduli kali, Ma’ tapi pasti dia akan dimarahi mamanya.

“Yang lain juga begitu kok tante, lagi pada belajar. Anak-anak udah pada jarang main soalnya sibuk les buat masuk ptn.”

Bohong, pikir Kaia. Mereka hampir setiap hari main, entah ke cafe, mall atau hanya ke rumah Leon. Sudah beribu-ribu kali Danica, Raihan bahkan Jevan mengajaknya main semenjak prom, bahkan semenjak setelah UN. Tapi Kaia selalu menolak dengan alasan sibuk belajar, ya memang benar sih, tapi 30% nya karena takut ketemu Leon. Soalnya lingkaran pertemanan mereka berdua sama, jadi pasti ketemu.

Mama Kaia mengangguk mengerti, “Hmm, gitu ya. Nanti kalo udah pada keterima ajak main ya Kaia nya, kasian jadi introvert gini padahal kan dia aslinya panjang kaki.

Duh mama bisa diem ga sih, gerutu Kaia.

“Hahaha, iya tante. Nanti aku ajak Kaia main lagi sama yang lain kalau anak-anak udah pada ga sibuk.”

“Ya sudah, tante masuk ke kamar dulu ya. Leon kalau masih disini gausah sungkan, tapi kalo emang harus pulang hati-hati di jalan ya. Suruh Kaia anterin kamu kedepan,” ucap Mama.

“Iya, tante. Aku langsung balik aja, duluan ya tante.”

Sekarang Kaia dan Leon sudah berada di depan rumah Kaia, Leon naik ke atas vespa warna kuning nya itu, ia memakai helm nya sambil menoleh ke arah Kaia, “UTBK kapan?”

“Tanggal 11,” jawab Kaia.

Goodluck, ya. Don’t push yourself too hard. Jangan bergadang juga, kebiasaan. Pas ngerjain nanti santai aja gausah mikir aneh-aneh, jangan sampe anxiety,Aduh gue siapa bego kok bacot banget dah, pikir Leon. Ia berdehem, “Gue duluan.”

Tanpa melihat Kaia, ia langsung menjalankan vespa nya pergi dari rumah perempuan yang sering ia buat nangis. Menurut Leon sih begitu.