souljaehyunn

jika dia adalah aku, lantas siapa sebenarnya aku?

“Jadi gitu kak. Pasti lo juga ngerasain kalo gue sering berubah-ubah pendapat, tindakan atau apapun. Semua diluar kendali gue.”

Jeno menyelesaikan ceritanya. Benar apa yang ia katakan bahwa sering kali Jeno terlihat seperti bukan dirinya. Tapi itu dulu. Dan bagaimana caranya meyakinkan diriku sendiri bahwa lelaki yang sedang ada dihadapanku saat ini sudah menyelesaikan tugas terakhirnya?

Kini aku hanya berusaha mencerna semua cerita dari Jeno.

Cerita tentang Jeno yang tak memihak mereka, tentangnya yang lebih memilih untuk dibunuh ketimbang harus melakukan hal-hal yang bukan keinginannya. Tentang hari itu, dimana ia melihat dengan mata kepalanya sendiri ketika jiwa-jiwa orang terdekatnya melayang percuma.

Hari dimana ia menyaksikan dengan jelas bagaimana jiwa Injun— hanya dengan membayangkannya saja membuat air mataku lolos dengan sendirinya.

“Sekali lagi, gue minta maaf kak....”

Aku merotasikan bola mataku. Jeno menutupi wajah dengan telapak tangannya. Bahunya terlihat naik turun seperti menahan isakan. Lantas aku berdiri dari tempat dudukku untuk meraihnya.

“Ternyata apa yang gue rasa gak seberat apa yang lo rasa— sini biar gue peluk.”

Sontak Jeno menenggelamkan wajahnya tepat di perutku, membuatku mendesis kesakitan.

“Kenapa kak?!” Tanya Jeno.

“Gak tau, gue akhir-akhir ini sering ngerasa sakit disini.”

Beberapa detik setelah aku menunjuk perut kananku, ia tertegun.

Apalagi yang lo ketahui? Yang belum gue tau, Jeno?

Malam ini, aku memutuskan untuk tidur di kamar Injun. Aku rindu aromanya. Aku rindu semua hal tentang Adikku. Namun ketakutan itu datang lagi. Beberapa kali aku mengingat apakah cermin yang ada di dalam kamarnya sudah tertutup atau belum.

Apa kalian ingin tau?

Setelah keluar dari Rumah Sakit, aku benar-benar takut melihat cermin.

Apa kalian ingin tau apa yang aku lihat? Semua makhluk menyeramkan. Itu seperti terpantul dalam cermin, atau mereka memang berada di dalam cermin? Aku tak terlalu paham.

Kadang perempuan berambut panjang menutupi sebagian wajahnya yang rusak, kadang seorang lelaki dengan kedua mata melotot, kadang pula sosok gadis cantik yang wajahnya hampir mirip denganku— atau memang itu aku, mereka semua muncul secara bergantian di setiap cermin yang aku temui.

Ada lagi sosok anak kecil yang rambutnya tergurai indah, aku tak bisa melihatnya karna ia tak pernah menolehkan wajahnya. Tapi sepertinya aku pernah melihatnya—

Dan parahnya lagi, sosok bayang hitam selalu berada di sudut kamarku. Tidak, lebih tepatnya sudut langit-langit kamar. Itu membuatku teringat kejadian dimana pertama kalinya Injun berteriak histeris melihat sesuatu, ketika kedua bola matanya berubah menjadi— masih terpapar jelas di otakku.

Satu minggu, dua minggu, rasa takut menguasai diriku hingga akhirnya Doyoung menutup semua cermin yang ada di rumah. Ia buang beberapa cermin yang dianggap sebagai 'rumah mereka'.

Percaya atau tidak, sampai detik ini aku sama sekali tak pernah melihat diriku sendiri. Bercermin; hal yang paling aku sukai, kini menjadi hal yang paling aku takuti.

Bagaimana caraku memoles makeup? Tenang, aku handal meskipun tanpa bercermin. Meski sesekali dandananku yang terlihat menor akan dihapus paksa oleh Doyoung.

“Kak....”

Aku berjingkat kaget ketika Jeno menepuk bahuku. “Kenapa Jen?”

“Lo ngapain diem disini?”

Oh tentu saja ia mempertanyakan aku yang sedang berada di depan pintu kamar Renjun. Baru saja aku melamun— lagi.

“Gue? Mau tidur. Lo ngapain disini? Kamarnya berdebu banget ya Jen?”

Jeno menggeleng. “Enggak kok, gue disuruh Kak Doyoung mastiin pintu udah kekunci apa belum.”

“Ohhh.”

“Kak Ze mau tidur di kamar Injun?” Pertanyaan Jeno yang susah untuk dijawab.

“Iya, tapi— lo balik ke kamar gih.”

Jeno mengangguk paham, ia membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju kamar meski sesekali ia menoleh dan menatap nanar pintu coklat Injun.

Aku memberanikan diriku untuk masuk ke dalam.

Ceklek

Terbuka. Atmosphere kamar membuat bulu halus ditanganku menegang. Dingin. Itu yang kurasa. Sesuatu berusaha mendesak kantong mataku.

“Injun....” Aku menyapanya lirih.

“Mau goreng nugget gak?”

Langkahku semakin masuk ke dalam. Mendekat kearah ranjang yang tertutup lemari pakaian.

Kedua kakiku terhenti.

Cermin.

Aku melihat bayanganku disana. Tidak itu bukan aku. Perempuan itu menyeringai. Kami bertatapan. Seketika nafasku tersenggal. Tubuhku kaku, tapi aku berusaha berjalan mundur— dia keluar dari sana.

Perempuan itu melambaikan tangannya. Seakan menyuruhku untuk mendekat. Lantas aku memberanikan diriku. Melangkah mendekatinya. Semakin dekat. Hingga aku dapat melihat jelas Renjun membersamainya.

“Dek....” Seulas senyumku tumbuh ketika melihatnya.

Aku membungkam mulutku. Menahan jeritanku ketika dengan cepat perempuan itu menarik jantung Injunku dari tubuhnya.

Demi Tuhan aku tak percaya dengan apa yang aku lihat.

Tubuhku mulai bergetar, tetapi entah mengapa kedua kakiku semakin mendekat kearah cermin. Bayanganku kembali menyeringai. Tidak tidak itu bukan aku. Bukan!!!

Look at his heart still beating” ujarnya.

image

can i say that i'm the luckiest girl in the world to have you?

Di luar langit tampak biru berkilauan. Kicauan burung yang terdengar semakin nyaring menggantikan suara-suara mahasiswa yang mulai menghilang di Auditorium. Lampunya dibiarkan menyala padahal langit masih biru-birunya.

“Boros listrik!” Decak seorang gadis yang duduk di bangku paling atas.

“Ze?! Gak keluar?” Gadis lain meneriaki namanya dari balik pintu. “Jan galau mulu ah malu sama Jaehyun!” Suaranya menggema di seluruh ruangan, hingga lelaki yang duduk paling depan menoleh kearah Zemira.

Selepas seminar, seluruh mahasiswa berlomba-lomba untuk segera meninggalkan ruangan. Hanya tersisa Zemira dan satu lelaki yang tak pernah ia temui.

Ia tak tau harus menepuk jidatnya berapa kali saking malunya. Zemira buru-buru bangkit dari duduk dan bermaksud mengikuti temannya; Irene, yang sudah menghilang dari sana. Setelah berteriak mempermalukannya tentu saja.

Sial. Sejak kapan kaki meja menghalangi langkah Zemira? Ia tersandung dan hampir saja terjatuh jika lelaki itu tak menarik lengannya.

“Aa— sorry. Makasih.” Ujar Zemira merapikan beberapa anak rambut yang menutupi sebagian wajahnya.

“Hati-hati, Ze.”

Gadis itu melotot kaget. “Kok? Lo tau nama gue?”

Tersenyum simpul. Ah tidak, lelaki itu tertawa. Tanpa merotasikan bola mata yang tetap fokus pada lawannya.

“Temen kamu tadi kan—”

“Ok stop!” Zemira menyela. Ia baru ingat jika Irene meneriaki namanya. “Temen gue emang rada gitu suka malu-maluin temen sendiri jadi ya.... gitu.”

“Kalo gitu gue cabut dulu— makasih.”

Dengan segera ia pergi dari sana. Tampaknya Zemira grogi karena lelaki yang tak sengaja bertemu sapa dengannya tadi tetap lurus menatapnya. Tak seperti orang lain yang jika diajak bicara menoleh ke belakang, atau ke kiri kanannya. Jujur saja, tatapannya itu— melemahkan Zemira.

Taeyong tersenyum. “Mantannya Jaehyun?” Lirihnya.

Sudah satu minggu Zemira sakit, dan selama itu pula Renjun; Adek Zemira, mengomel tak henti-hentinya.

Perihal putus dengan Jaehyun. Lelaki itu menyalahkan mantan kekasih Kakaknya karena telah membuat si sulung sering jatuh sakit.

“Dek, ini gue sakitnya bukan karna putus cinta Gusti.... emang jatahnya sakit—”

“Udah hampir setengah tahun kak Ze putus, dan sakit keberapa kalinya ini?! Kenapa sih lagian kak Jaehyun mutusin?” Omelnya.

“Sibuk Injun sibuk— Jaehyun sibuk.”

“Susah pacaran sama orang sibuk ditambah terlalu pinter. Tapi kak Ze kan fine fine aja kalo kak Jaehyun sibuk, alah paling juga punya cewe lain.” Protesnya lagi.

Terserah. Terserah apa kata Renjun kala itu, yang jelas saat ini Zemira tengah berdiri di depan ruang dosen untuk mengerjakan ujian yang ia lewatkan.

Dan lagi kenapa Kampus seluas ini bisa mempertemukan seorang Jaehyun dengan Zemira di dalam ruang dosen? Padahal selama enam bulan belakangan, gadis itu hampir lupa karena mereka berdua tak pernah bertemu disana.

“Kenapa harus sekarang sih?” gumamnya.

Sepanjang ujian, tangan Zemira terus meraba-raba dahinya yang tidak gatal. Ia hanya menutupi sebagian penglihatannya agar tak kecolongan melirik lelaki yang ada di sampingnya.

. . .

“Zemira—”

“Gue duluan Je, dah....” Zemira melambaikan tangannya dan tak mengindahkan panggilan dari Jaehyun.

Sudah cukup. Gadis itu telah berhasil move on meski ia belum bisa menganggap Jaehyun seperti teman pada umumnya. Iya, mereka berdua berganti status menjadi teman bukan?

. . .

Zemira berdecak sebal di tengah kegiatannya menyalin catatan. Ia menerima sambungan telfon dari seseorang.

“Naon sih?”

“Teh help me teh!!!”

“To the point Dek! Gue sibuk nih.”

“Gawat ieu mah Injun ditinggalin temen-temen pada kerumah Jeno!!”

Gadis itu mengusap wajahnya kasar.

“Ya terus?”

“Kak Ze bawa motor kan— AH IYA GAK BAWA KAN BANNYA BOCOR!!!”

Demi Tuhan suara Renjun memekik telinga Zemira hingga ia menjauhkan ponsel dari daun telinganya.

“Naik angkot aja Dek—”

“LAMA ATUH NYAMPENYA”

“Injun lo ngegas sekali lagi, pulang gak gue bukain pintu ye! Udah pikir aja sendiri orang lo mau main ke rumah Jeno nyusahin gue ah.”

Sambungan di putus sepihak oleh Zemira. Lantas melemaskan bahunya dan menenggelamkan wajah cantiknya di lengan tangan.

Kini lengan kanannya ia jadikan bantal untuk kepalanya. Pandangannya menyamping tertuju pada lelaki yang duduk sendiri menunggu pesanannya datang.

image

Hanya memandangnya saja membuat degup jantung Zemira berdebar. Padahal baru sekali itu mereka berinteraksi.

Aneh.

Tiba-tiba lelaki itu merotasikan bola matanya. Ia menemukan Zemira yang tengah sendiri, dengan kepala menempel meja. Sadar karena gadis itu memperhatikannya, Taeyong melambaikan tangan dan tersenyum manis.

Sontak Zemira menegakkan dirinya. Salah tingkah, namun akhirnya ia balas lambaian tangan lelaki itu.

“Ih bodoh Ze bodoh bisa-bisanya lu ah!” Gumamnya sembari merapikan beberapa buku di meja.

“Zemira,”

Ia dikagetkan lagi dengan seorang lelaki yang tiba-tiba ada dihadapannya.

“Adek lo nelfon gue, minta tolong ngejemput—”

“Injun elah— sekali aja Dek lo gak nyusahin gini.” Lirihnya. Zemira kembali menundukkan kepalanya. “Malu gue malu....”

“Rumahnya—”

“Jaehyun. Sorry banget sorry hapus aja nomernya Injun. Ini gue mau ngejemput dia kok, jadi lo gak perlu repot-repot—”

“Kata Injun lo gak bawa motor karna ban lo bocor. Gak papa kalo lo butuh bantuan juga gue masih bisa—”

“Zemira sama gue, Je.” Entah sudah berapa kali dalam sehari gadis itu terkejut. Kini Taeyong menghampiri mereka dengan dua gelas es coklat di tangannya. “Si anak sibuk.” Ujarnya pada Jaehyun dengan tawa yang tak pernah surut.

“Udah gue balik dulu.” Taeyong menepuk bahu Jaehyun, kemudian memberikan segelas es pada Zemira, dan menyambar lengannya.

. . .

Semerbak wangi air freshener terhirup lekat-lekat masuk ke rongga hidung Zemira. Beberapa kali ia mengerjapkan matanya seakan tak percaya dirinya bisa berada di mobil lelaki asing yang belum ia kenal.

“Mm... gue harus bilang makasih lagi soalnya lo—”

Kalimatnya menggantung. Membuat lelaki yang sibuk menyetir itu terkekeh. Entah apa yang menurutnya lucu, tapi ia benar-benar tertawa.

“Kok lo ketawa sih?”

“Kamu mantannya Jaehyun? Lagi berusaha ngelupain ya?”

“K-kok tau— ah iya lo kenal sama Jaehyun? Atau deket sama dia?” Kelewat penasaran hingga ia sedikit memiringkan tubuh menghadap lawan bicaranya.

Taeyong menoleh dan tersenyum lagi. “Jaehyun temen deket aku. Toh kita juga sering ketemu kan? Cuma kamu aja yang gak pernah merhatiin.”

“HAAAAHHHHH.”

Zemira bersyukur karena jantungnya itu diciptakan Tuhan. Jika tidak, mungkin saja jantungnya telah rusak akibat ledakan sejak kejutan pertama.

“Aku udah ngerasa kalo kamu gak pernah ngenotice aku.”

“T-tunggu— your name?”

“Taeyong.”

“Gue Zemira.”

“Iya aku tau.” Ia tersenyum.

Perasaan itu muncul lagi. Perasaan hangat yang tiba-tiba datang ketika Taeyong tersenyum padanya.

Beberapa kali mengerjapkan matanya. Manik hitam mereka berdua bertemu tatap. Mata indah Taeyong mampu menyihir siapapun yang menatapnya.

Lelaki itu semakin menarik ujung bibirnya. Mengusap pucuk kepala Zemira— memecahkan atensinya.

“Udah nyampe Adeknya yang mana?”

“O-oh iya bentar gue keluar.”

Gadis itu terlalu tergesa hingga melupakan sesuatu.

“Zemira, seatbelt—” Lagi, Taeyong menarik lengan Zemira. Kemudian membantu melepaskan.

Tersipu malu. Ia menepuk dahinya sendiri sembari keluar dari mobil. Lawannya hanya terus terkekeh melihat tingkah lucu gadisnya— ralat, calon gadisnya.

Baru saja Zemira menampakkan diri, Renjun dengan kaki yang di hentak-hentakkan berjalan kearahnya.

“Hai!” Suara lembut Taeyong menyapa si bungsu. Lelaki itu pun ikut menampakkan diri keluar dari mobilnya.

Raut wajah Renjun yang awalnya kusut lambat laun berubah.

“Oh hai kak!” Renjun menerima baik sapaan dari lelaki berparas tampan. Lantas melempar senyum jail kearah Kakaknya. “Pacar baru ya?” Bisiknya.

. . .

Selama perjalanan, lelaki yang duduk di bangku belakang sopir terus tersenyum di sela obrolannya bersama Taeyong. Entahlah, mereka berdua sudah seperti teman dekat.

“Ahhh gue berharap kak Ze punya pacar kayak lo kak! Kalo enggak pacarin aja kakak gue.” Tukasnya saat turun dari mobil. “Thank you kak!!” Ia melambai dari luar.

Zemira sudah menggerutu dalam hati. Memikirkan perang yang akan terjadi di rumah nanti. Renjun benar-benar mengibarkan bendera perang dengan mempermalukannya di depan—

“Mau langsung balik?” Tanya Taeyong memecahkan lamunannya.

“Iya kan udah kelar kelas juga masa mau balik ke kampus?”

“Gak lagi ada acara?”

“Enggak, kenapa sih?”

“Mau ngajak kamu makan diluar.”

“Ya ayo.” Jawab Zemira singkat yang membuat senyum Taeyong merekah lagi.

“Kamu—”

“Tunggu deh. Lo perasaan sama gue doang manggil aku-kamu?”

“Ya emang kenapa?”

“Aneh.”

“Aneh gimana?”

“Aneh karna disekitar gue gak ada yang pake aku-kamu. Bahkan jarang. Tapi lebih aneh lagi, lo! Padahal ngobrol sama Jaehyun pake gue-lo, ngobrol sama Adek gue pun— oh sama cewe doang lo pake—”

“Cuma sama kamu.”


Cuma sama kamu euy aa kasep sa ae🥺🥺🥺

Suasana canggung menyelimuti kedua insan yang tengah berada di dalam mobil. Sejak gadis itu berangkat hingga perjalanan pulang, tak ada satu patah kata yang terucap. Ia hanya terus berdiam diri.

Pun lawannya yang tak ingin salah ucap atau salah tingkah yang dapat memicu rasa benci Zemira muncul kembali.

Lelaki itu ingat betapa marahnya Zemira tadi sore saat ponselnya di ambil alih oleh Doyoung. Dengan mudahnya pula ia mencekik leher lawannya meski Doyoung tetap mempertahankan keputusannya.

Jeno pikir itu salahnya, karena ia telah memberitahu Doyoung perihal usaha Zemira yang ingin kembali menjamah alam lain. Juga perihal kecurigaan mereka berdua terhadap Dejun; teman satu fakultas Zemira.

Sesekali Jeno meliriknya. Gadis itu selalu saja melamun. Melihat kearah jalanan kota yang tak seramai biasanya. Zemira mengepalkan tangannya. Jeno beberapa kali menoleh melihatnya. Sadar bila kepalan tangannya semakin erat, dengan berani lelaki itu menyambar tangan mungil Zemira.

“Kak!” Jeno benar-benar mengagetkan Zemira.

Kuku-kuku jarinya hampir saja menggores telapak tangannya yang sudah memerah. Tangan kiri Jeno mengisi telapak tangan Zemira. Jangan salah paham, ia hanya tidak ingin gadis itu mengepalkan tangannya lagi hingga kuku tajamnya menusuki kulitnya.

“APAAN SIH LO?!” Zemira menarik tangannya meski tak berhasil lolos dari genggaman Jeno. “Jen lo ngapain anjir!”

“Kak lihat ini tangan lo sampe merah gini! Sadar gak sih lo ngelukain diri sendiri?!”

Zemira menarik tangannya hingga lepas dari genggaman Jeno. Ia mendengus kesal sembari memposisikan dirinya menghadap kearah samping.

“Sorry kak....” ucap Jeno yang sama sekali tak di gubris oleh lawannya.

Kembali hening, Jeno kira gadis itu sudah terlelap dalam tidurnya karena tak ada pergerakan pun darinya.

“JENOO!!! Berhenti!!!”

Ckiiiiittt

Jedugggg!!

Rem mobil dengan cepat ia injak ketika Zemira berteriak. Membuat tubuh mereka berdua terhuyung ke depan akibat rem dadakan. Bersyukur tak ada kendaraan lain yang berada di belakang mobil mereka.

Melepas sabuk pengaman, Zemira buru-buru keluar dan membanting pintu mobil.

Bingung dengan tingkah gadis itu, Jeno pun ikut mengejar Zemira yang sudah berlari ke arah taman pinggir jalan yang lampunya meremang.

“Kak Ze!!!” Panggil Jeno.

Apakah Zemira seorang atlet lari? Hingga Jeno tak mampu memangkas jarak diantara mereka?

Tampak Jeno berusaha pula menghubungi seseorang.

“Buka chat gue!”

tuutt

Jeno memutus sambungan sepihak.

Duduk di sebuah ayunan, ia menunggu seseorang datang. Tak sanggup lagi mengejar Zemira yang entah lari kemana. Ia pun semakin khawatir karena sudah menyusuri taman tapi tak ada Zemira disana.

Tinggal beberapa kilometer lagi mereka berdua sampai di rumah, tapi mengapa ada saja kejadian tak terduga.

“Jen!!”

Si empunya nama berdiri ketika seseorang yang ia tunggu memanggilnya, berlari kearahnya.

“Dimana?!”

“Gue gak tau kak, gue udah muterin taman tapi—”

“Lo tunggu sini, biar gue yang cari. Kalo Zemira udah balik duluan kesini, hubungi gue.”

Jeno mengangguk saja membiarkan Doyoung berlarian mencari Zemira.

Beberapa kali tersandung bebatuan tak membuat Doyoung menyerah. Ia meneriaki nama Zemira sembari berlarian mencarinya.

“Ze!! Lo dimana sih?!”

Doyoung membenci kejadian seperti ini. Mengingatkannya atas tragedi itu lagi. Taman yang cukup luas itu membuatnya kewalahan mencari Zemira di malam hari.

“Zemira!!”

“Lo denger gue gak? Lo dima—”

Demi Tuhan Doyoung terkejut dan langsung berlari menabrakkan tubuhnya pada Zemira. Membawa tubuh gadis itu ke dalam rengkuhan dan menenangkannya.

“Ze ini Doy, gue disini....” Doyoung terus mengusap punggung Zemira. “Zemira!! Udah udah—”

Siapapun yang melihat Zemira juga akan terkejut. Ia berjongkok dengan menyandarkan dirinya di pohon. Menggigil ketakutan dengan telapak tangan berlumuran darah menutupi wajahnya.

image

“D-dia disini Doy— dia disini....” ujar Zemira dalam tangis.

“Dia siapa?! Siapa yang—”

“Dia disini.... gue ngeliat sendiri....”

“Siapa? Jawab gue— udah gapapa gue disini.” Doyoung semakin mengeratkan rengkuhan, hingga Zemira akhirnya membalas peluknya dengan wajah yang sengaja ia sembunyikan. “Ayo kita pulang.”

Zemira menggeleng. “Gue takut buat buka mata, gue— takut ngeliat dia....”

Penasaran setengah mati, lelaki itu tak bisa melempar segala pertanyaannya saat ini. Ia hanya berusaha berdiri dengan Zemira yang masih bersembunyi di dadanya.

“Tutup mata lo— jangan dibuka.”

. . . .

Luka di kedua telapak tangan Zemira sudah berhasil diseka. Kini gadis itu pelan-pelan membaringkan tubuhnya.

Doyoung mengusap wajahnya kasar. Sekarang keyakinannya semakin kuat bila ada yang tidak beres dengan gadis yang sampai saat ini tak membuka matanya.

“Tiap malem dia muncul di jendela kamar gue dan baru aja dia muncul disini— padahal gue yang cari dia tapi kenapa gue takut ketemu dia....”

Lelaki itu teringat kembali pengakuan Zemira tadi.

“Doy?” Panggilnya. “Lo masih disini?”

“Iya gue disini. Kenapa Ze?”

“Jangan tinggalin gue.”

“Gue harus jemput Paman di Bandara habis ini. Gue pergi dulu—”

“P-paman kesini?”

“Iya, gue telfonin Jeno lagi biar dia kesi—”

“Gak!!!” Tolak Zemira tanpa membuka matanya. “Gue cuma butuh lo....”

Tenang Doy, ini bukan saatnya jantungmu berdegup kencang karena terbawa perasaan.

“Tapi lo jadi sendiri,”

“Gapapa, gue juga mau tidur. Lo jemput Paman aja gih.” Titah gadis itu dengan gerak tangan mengusir. “Tapi balik kesini lagi....” ucapnya lirih.

Senyum lelaki itu merekah, meski Zemira tak dapat melihatnya. Ia menggusak rambut gadis itu, lantas pergi meninggalkannya.

“Iya, gue balik kesini lagi. Don't open your eyes.”

Zemira mengangguk.

. . . .

tok tok

Suara ketukannya terdengar jelas.

Jendela kamar sudah tertutup dengan tirai. Belum lama Doyoung pergi, Zemira sudah mendengar suara ketukan yang ia yakini berasal dari jendela.

“Don't open your eyes, Ze....” gumamnya sendiri.

tok tok tok

Zemira kurang beruntung, ia mendengar seperti suara kerikil di jendelanya lagi.

“Itu bukan temen lo, Ze. Don't open your eyes.”

Tok!! Tok!! Tok!!

Suara itu semakin keras, ketukannya semakin cepat. Jangan biarkan rasa ingin tahu Zemira menguasainya.

Tubuhnya berkeringat. Ia sama sekali tidak bergerak dari tempat tidurnya.

TOK!!! TOK!!!! TOK!!!

Seperti orang kehilangan kesabaran, 'ia' mulai memukul jendela. Jendelanya bergetar dan bergetar dan suara-suara itu semakin keras. Menggedor jendela dan mengguncangnya.

“Don't worry, Ze.... jendela lo gak akan pecah tapi demi Tuhan, don't open your eyes.” Zemira meyakinkan dirinya sendiri. Tidak peduli seberapa takutnya, tidak peduli seberapa inginnya berteriak, gadis itu berpura-pura tidak mendengar, berpura-pura tidur.

Setelah beberapa saat, suara-suara itu berhenti.

“Jangan jatuh, tutup mata lo Ze....”

Ia mencoba untuk tidur jika bisa.

“Jangan bangun, jangan buka mata....” gumamnya lagi.


If you hear a knocking sound....

Don't fall for it, keep your eyes shut. Try to sleep if you can. Don't get up, don't open your eyes, until the sun comes up, Those who do open their eyes... Well, no one really knows what happens.

Hasrat untuk menjamah yang bukan alamnya kembali terbesit di benak Zemira. Obrolan bersama Dejun di Kampus tadi siang membuatnya terus berfikir dengan keras.

Fakta bahwa Dejun adalah seorang indigo memang benar. Bahkan dengan matanya sendiri Zemira melihat lelaki itu berbincang dengan sosok yang tidak bisa dilihat. Awalnya gadis itu tak percaya, namun saat Dejun meminta 'nya' untuk memberi tanda kehadiran, sontak Zemira yang tengah duduk di depan Gedung Rektorat terkejut ketika tiba-tiba angin kencang berhembus menerbangkan anak-anak rambutnya.

Benar atau tidak, gadis itu hanya ingin mempercayainya.

Mandi dengan berendam di bathup sudah menjadi kebiasaannya sejak ia tau bila itu bisa mengantarkannya pada gerbang alam lain.

“Gue tanya lagi, kenapa Adek lo masih disini?”

“Dia gak mau ngomong sama gue, Ze.”

Kalimat Dejun terus berputar di otaknya.

Kembali, setelah berfikir beberapa lama, ia menyeka tubuhnya, kemudian memakai bajunya. Lantas menyalakan kran air untuk mengganti air di bathup. Mengisinya hingga penuh.

Zemira sudah menggenggam cutter untuk menggores tangannya. Benda itu sengaja disembunyikan di tempat yang hanya ia ketahui. Beberapa kali Doyoung atau Jeno pergi ke kamar mandi, mereka berdua tak melihat ada benda tajam disana.

Ia memainkan cutter itu sembari masuk ke dalam bathup yang krannya masih menyala. Gadis itu sudah duduk dengan tubuh yang terendam sampai dagunya.

“Injun.... lo ngapain masih disini?”

“Lo ngapain dek?” Gumam dalam lamunannya.

Ia menenggelamkan diri. Menggoreskan benda tajam pada kulit tangannya. Melihat darah yang keluar membuat mata Zemira seketika mengatup. Ia merasakan perih yang luar biasa. Sesekali Zemira mengintip, airnya mulai keruh karena cairan merah. Lantas ia tutup matanya lagi dengan mengucap dalam hati.

“Siapapun, gue mau ketemu Injun....”

Air di dalam bathup mulai keluar dari wadahnya. Genangan cairan merah pun semakin deras ketika air terasa semakin hangat. Zemira mulai kehabisan nafas, ia masih sadar dan hampir mengeluarkan diri dari sana. Dengan kuat, tubuhnya ia tahan untuk tetap berada di dalam sampai ia terbangun di alam lain.

Namun usahanya sia-sia. Seperti sudah tak ada lagi jembatan yang mengantarkan kesana.

Tubuhnya melemas, bukan hanya karena kehabisan nafas, tapi bisa jadi ia kehabisan darah. Atas kesalahannya sendiri.

BRUAAAAKKK!!

“KAK ZE!!!”

Seorang lelaki berlarian. Mengangkat tubuh Zemira dari sana dan seketika memeluk tubuh yang basah itu.

Berulang kali Zemira menarik nafas dalam-dalam kemudian mengeluarkannya. Ia tersenyum sembari menyeka wajah yang basah.

“I-injun?” Lirihnya yang masih berada dalam pelukan.

Lelaki itu menjauhkan tubuhnya. Menatap Zemira dengan mata yang berkaca-kaca. “Kak lo ngapain gini lagi?!”

. . .

Jeno yang sudah terbiasa pergi ke rumah Zemira saat itu menyadari jika pemilik rumah sedang berada di kamar mandi. Lelaki itu hanya sekedar mengantar makanan, dan menunggu untuk bertemu sebentar dengan Zemira.

”....Zemira mandi normal tuh paling lama 20 menit.”

Kalimat Doyoung yang Jeno ingat. Ia melirik ke arah jam dinding.

“S-satu jam?”

Lelaki berhoodie hitam itu beranjak dari kursi ruang tengah. Berlari menuju kamar mandi, kemudian mencoba mengetuk pintu dan memanggil Zemira di dalam sana.

Panik setengah mati karena tak ada jawaban dari sang pemilik rumah, Jeno nekat mendobrak pintu.

Jika kalian membayangkan ia kuat mendobraknya, kalian salah. Jeno telah menjadi manusia yang benar-benar lemah. Seperti semua kekuatannya menghilang begitu saja.

Lelaki itu mencoba menghentakkan tubuhnya di pintu, percobaan pertama gagal. Tendangan kakinya pun tak cukup kuat untuk membukanya. Beberapa kali ia coba, hingga percobaan ke sebelasnya, pintu coklat itu terbuka.

. . .

“K-kakkk....”

Gadis itu terdiam sembari menatap sendu kedua mata Jeno. Meski tubuh mungil itu diguncang-guncang oleh lawannya, ia tetap diam.

“Jangan gini, ayo gue obatin.” Jeno menelusuri tangan Zemira, kemudian berjongkok dan memunggunginya. “Ayo kak....”

Lemas. Gadis itu tak percaya bila dirinya tak bisa dengan cepat pergi kesana. Ia pikir usahanya sedikit lagi akan berhasil jika Jeno tak mengeluarkannya dari bathup. Bahkan ia pikir.... yang baru saja ia peluk adalah si bungsu, Renjun.

Zemira jatuhkan dirinya di punggung Jeno. Mengalungkan kedua lengannya. Cairan merah tak henti-hentinya keluar. Bau khas darah juga menyelimuti tubuhnya yang basah.

Perlahan, Jeno menggendongnya dan berjalan menuju kamar Zemira. Gadis itu menyandarkan kepalanya di bahu Jeno. Melewati ruang kamar Renjun, ia kembali menangis.

'

Butuh waktu cukup lama bagi Jeno untuk mengobati tangan Zemira. Karena pada dasarnya ia hanya mengetahui bagaimana cara menghentikan pendarahan, tanpa tau ilmu yang lain.

“Makasih, Jen.” Ujar Zemira yang tengah duduk di tepi ranjang. Melihat Jeno dengan telaten menyeka tangannya.

Jeno mengangguk tanpa melihat ke arah Zemira.

“Kak jangan gini lagi. Renjun malah sedih ngelihat lo gini.”

“Gue cuma mau ketemu Adek gue.” Jawabnya. “Kata Dejun....”

Kalimatnya menggantung, membuat Jeno mendongakkan kepalanya. Menatap kedua mata Zemira yang sendu. Tatapan kosongnya kembali, seperti beberapa bulan yang lalu.

“Nggakpapa,”

Sadar bila Jeno menatapnya penuh dengan tanda tanya, ia mengurungkan niatnya untuk berbagi cerita.

“Lo boleh gak maafin gue kak, tapi jangan lagi buat penawaran sama mereka.”

Zemira tak mengindahkan perkataan Jeno. Gadis itu malah melempar sebuah pertanyaan yang mampu membuat lawannya tercekat. Bahkan ia sudah memprediksi jika pertanyaannya tidak akan dijawab.

“Jen, gue mau tanya sama lo. Gue harap pertanyaan gue ini bisa lo jawab.”

“A-apa kak?” Ia ragu.

“Silent hill—”

Mendengar nama tempat itu saja Jeno terkejut dan seketika menghentikan aktivitasnya.

“Lo, atau Doyoung, gak nyembunyiin sesuatu dari gue kan?”

“I mean, yang ada kaitannya sama Silent Hill?”

Prediksi Zemira tidak meleset. Jeno terdiam. Beberapa kali ia merotasikan bola matanya. Wajahnya terlihat gugup, dan terbesit rasa takut.


lo gak bisa jawab...

apa yang kalian sembunyiin dari gue?

Hasrat untuk menjamah yang bukan alamnya kembali terbesit di benak Zemira. Obrolan bersama Dejun di Kampus tadi siang membuatnya terus berfikir dengan keras.

Fakta bahwa Dejun adalah seorang indigo memang benar. Bahkan dengan matanya sendiri Zemira melihat lelaki itu berbincang dengan sosok yang tidak bisa dilihat. Awalnya gadis itu tak percaya, namun saat Dejun meminta 'nya' untuk memberi tanda kehadiran, sontak Zemira yang tengah duduk di depan Gedung Rektorat terkejut ketika tiba-tiba angin kencang berhembus menerbangkan anak-anak rambutnya.

Benar atau tidak, gadis itu hanya ingin mempercayainya.

Mandi dengan berendam di bathup sudah menjadi kebiasaannya sejak ia tau bila itu bisa mengantarkannya pada gerbang alam lain.

“Gue tanya lagi, kenapa Adek lo masih disini?”

“Dia gak mau ngomong sama gue, Ze.”

Kalimat Dejun terus berputar di otaknya.

Kembali, setelah berfikir beberapa lama, ia menyeka tubuhnya, kemudian memakai bajunya. Lantas menyalakan kran air untuk mengganti air di bathup. Mengisinya hingga penuh.

Zemira sudah menggenggam cutter untuk menggores tangannya. Benda itu sengaja disembunyikan di tempat yang hanya ia ketahui. Beberapa kali Doyoung atau Jeno pergi ke kamar mandi, mereka berdua tak melihat ada benda tajam disana.

Ia memainkan cutter itu sembari masuk ke dalam bathup yang krannya masih menyala. Gadis itu sudah duduk dengan tubuh yang terendam sampai dagunya.

“Injun.... lo ngapain masih disini?”

“Lo ngapain dek?” Gumam dalam lamunannya.

Ia menenggelamkan diri. Menggoreskan benda tajam pada kulit tangannya. Melihat darah yang keluar membuat mata Zemira seketika mengatup. Ia merasakan perih yang luar biasa. Sesekali Zemira mengintip, airnya mulai keruh karena cairan merah. Lantas ia tutup matanya lagi dengan mengucap dalam hati.

“Siapapun, gue mau ketemu Injun....”

Air di dalam bathup mulai keluar dari wadahnya. Genangan cairan merah pun semakin deras ketika air terasa semakin hangat. Zemira mulai kehabisan nafas, ia masih sadar dan hampir mengeluarkan diri dari sana. Dengan kuat, tubuhnya ia tahan untuk tetap berada di dalam sampai ia terbangun di alam lain.

Namun usahanya sia-sia. Seperti sudah tak ada lagi jembatan yang mengantarkan kesana.

Tubuhnya melemas, bukan hanya karena kehabisan nafas, tapi bisa jadi ia kehabisan darah. Atas kesalahannya sendiri.

BRUAAAAKKK!!

“KAK ZE!!!”

Seorang lelaki berlarian. Mengangkat tubuh Zemira dari sana dan seketika memeluk tubuh yang basah itu.

Berulang kali Zemira menarik nafas dalam-dalam kemudian mengeluarkannya. Ia tersenyum sembari menyeka wajah yang basah.

“I-injun?” Lirihnya yang masih berada dalam pelukan.

Lelaki itu menjauhkan tubuhnya. Menatap Zemira dengan mata yang berkaca-kaca. “Kak lo ngapain gini lagi?!”

Jeno yang sudah terbiasa pergi ke rumah Zemira saat itu menyadari jika pemilik rumah sedang berada di kamar mandi. Lelaki itu hanya sekedar mengantar makanan, dan menunggu untuk bertemu sebentar dengan Zemira.

”....Zemira mandi normal tuh paling lama 20 menit.”

Kalimat Doyoung yang Jeno ingat. Ia melirik ke arah jam dinding.

“S-satu jam?”

Lelaki berhoodie hitam itu beranjak dari kursi ruang tengah. Berlari menuju kamar mandi, kemudian mencoba mengetuk pintu dan memanggil Zemira di dalam sana.

Panik setengah mati karena tak ada jawaban dari sang pemilik rumah, Jeno nekat mendobrak pintu.

Jika kalian membayangkan ia kuat mendobraknya, kalian salah. Jeno telah menjadi manusia yang benar-benar lemah. Seperti semua kekuatannya menghilang begitu saja.

Lelaki itu mencoba menghentakkan tubuhnya di pintu, percobaan pertama gagal. Tendangan kakinya pun tak cukup kuat untuk membukanya. Beberapa kali ia coba, hingga percobaan ke sebelasnya, pintu coklat itu terbuka.

“K-kakkk....”

Gadis itu terdiam sembari menatap sendu kedua mata Jeno. Meski tubuh mungil itu diguncang-guncang oleh lawannya, ia tetap diam.

“Jangan gini, ayo gue obatin.” Jeno menelusuri tangan Zemira, kemudian berjongkok dan memunggunginya. “Ayo kak....”

Lemas. Gadis itu tak percaya bila dirinya tak bisa dengan cepat pergi kesana. Ia pikir usahanya sedikit lagi akan berhasil jika Jeno tak mengeluarkannya dari bathup. Bahkan ia pikir.... yang baru saja ia peluk adalah si bungsu, Renjun.

Zemira jatuhkan dirinya di punggung Jeno. Mengalungkan kedua lengannya. Cairan merah tak henti-hentinya keluar. Bau khas darah juga menyelimuti tubuhnya yang basah.

Perlahan, Jeno menggendongnya dan berjalan menuju kamar Zemira. Gadis itu menyandarkan kepalanya di bahu Jeno. Melewati ruang kamar Renjun, ia kembali menangis.

'

Butuh waktu cukup lama bagi Jeno untuk mengobati tangan Zemira. Karena pada dasarnya ia hanya mengetahui bagaimana cara menghentikan pendarahan, tanpa tau ilmu yang lain.

“Makasih, Jen.” Ujar Zemira yang tengah duduk di tepi ranjang. Melihat Jeno dengan telaten menyeka tangannya.

Jeno mengangguk tanpa melihat ke arah Zemira.

“Kak jangan gini lagi. Renjun malah sedih ngelihat lo gini.”

“Gue cuma mau ketemu Adek gue.” Jawabnya. “Kata Dejun....”

Kalimatnya menggantung, membuat Jeno mendongakkan kepalanya. Menatap kedua mata Zemira yang sendu. Tatapan kosongnya kembali, seperti beberapa bulan yang lalu.

“Nggakpapa,”

Sadar bila Jeno menatapnya penuh dengan tanda tanya, ia mengurungkan niatnya untuk berbagi cerita.

“Lo boleh gak maafin gue kak, tapi jangan lagi buat penawaran sama mereka.”

Zemira tak mengindahkan perkataan Jeno. Gadis itu malah melempar sebuah pertanyaan yang mampu membuat lawannya tercekat. Bahkan ia sudah memprediksi jika pertanyaannya tidak akan dijawab.

“Jen, gue mau tanya sama lo. Gue harap pertanyaan gue ini bisa lo jawab.”

“A-apa kak?” Ia ragu.

“Silent hill—”

Mendengar nama tempat itu saja Jeno terkejut dan seketika menghentikan aktivitasnya.

“Lo, atau Doyoung, gak nyembunyiin sesuatu dari gue kan?”

“I mean, yang ada kaitannya sama Silent Hill?”

Prediksi Zemira tidak meleset. Jeno terdiam. Beberapa kali ia merotasikan bola matanya. Wajahnya terlihat gugup, dan terbesit rasa takut.


lo gak bisa jawab...

apa yang kalian sembunyiin dari gue?

Langit malam cukup menakutkan bagi Zemira kini. Tidak hanya karena kegelapan, tapi juga karena ia takut akan sosok yang tiba-tiba datang ditengah-tengah kegelapan itu sendiri.

Berbulan-bulan, bahkan sebentar lagi akan menginjak satu tahun akan tragedi itu, gadis yang kini tinggal sendiri, masih tak bisa melupakan kesedihan, bahkan rasa sakitnya ditinggalkan.

Sudah tiga bulan berselang, ia tak lagi mengunjungi Dokter yang mengontrol kejiwaannya. Zemira hampir gila. Setiap harinya ia melamun dengan pandangan yang kosong, sesekali ia menangis, bahkan berteriak ketika entah sosok apa yang selalu menghantuinya. Dengan bantuan obat-obatan yang ia konsumsi setiap hari, gadis itu berhasil bertahan dan kembali seperti Zemira. Tak heran bila Doyoung pun memperlakukannya seperti itu.

Gadis dengan baju tidur warna abu tengah berjalan ke pelataran rumahnya. Sembari menggigiti kuku jarinya, ia membukakan pagar dengan susah payah.

Doyoung tiba disana. Setelah memarkirkan mobilnya, ia keluar dari sana dan berlari menghampiri Zemira. Diraihnya kedua tangan gadis itu, lantas ia sapu dengan ibu jarinya sembari menatap tiap sudut telapak tangannya.

“A-apaan?!” Zemira menarik kedua tangannya.

“Lo beneran mandi selama itu?”

Zemira hanya berdecak dan menarik Doyoung untuk masuk ke dalam rumah.

Dingin.

Padahal hampir setiap hari lelaki itu mengunjungi rumah ini, namun masih saja terasa dingin.

Doyoung duduk di ruang tengah. Menunggu Zemira yang entah mengambil apa di kamarnya.

Tak lama, gadis itu datang dan duduk bersila di depan Doyoung. Hanya dengan beralas karpet bulu, itu tak membuat mereka merasa hangat. Zemira sengaja membawa dua selimut untuk dirinya dan juga temannya— iya teman.

“Jawab gue, Ze....” Doyoung menginterupsi. “Lo beneran mandi sampe 3 jam? Lo berendem? Tangan lo keriput noh— jangan bilang kalo pikiran gue bener?!”

“Pikiran lo tentang apa?”

“Tentang— lo yang nyoba masuk lagi?! Dengan cara berendem di bathup.”

“Iya bener.” Jawab Zemira singkat yang langsung di sahut oleh Doyoung.

“LO GILA?! Lo apa-apaan sih Ze?! Kan udah gue bilang jangan pernah lagi nyoba buat kesana. Ze gue udah bilang berapa kali ke lo sih?” Lelaki itu mengacak-acak rambutnya sendiri. “No words lah gue.”

“Udah?” Tanya gadis di hadapannya.

“Hm.”

“Iya bener gue berendem di bathup tapi gak lagi buat nyoba— gue cuma lagi mikir.”

“Bohong.”

“Ih serius Doy. Gue mikir karena ini nih.”

Zemira menunjukkan benda yang sedang ia pegang di tangan kanannya.

image

“Ini apa?” Tanya Doyoung sembari meraih bendanya. “Isinya apa Ze?”

Zemira mengangkat kedua bahunya. “Gue juga gak tau. Makanya gue mikir ini isinya apa, dan gue takut buat muternya.”

“Lo dapet dari siapa?”

“Dejun ngasih itu ke—”

“Tuh kan kata gue juga temen lo itu rada aneh.”

Zemira mendengus sebal ketika perkataannya tiba-tiba di sambar begitu saja. “Gue boleh cerita dulu gak?”

“Gih.”

“Jadi, Dejun ngasih ini ke gue, titipan dari Kun. Nah Kun sendiri juga titipan dari orang cenah.”

“Gimana sih? Orangnya ini siapa? I mean yang nitipin ke Kun.”

“Kata Dejun sih Kun juga gak tau. Orang itu tadi ada di dalem kotak kado gitu tapi gue buang kotaknya.”

Doyoung membolak-balikkan benda itu beberapa kali. Ia terlihat berpikir dengan cukup keras. Dahinya mengernyit. Sesekali melirik Zemira yang juga penasaran sekaligus takut dengan isi dari CD itu.

“Lo simpen dulu, jangan dibuka. Besok gue bilang Paman sama yang lain.” Final Doyoung.

“Eh tapi Doy, kalo yang ngasih orang yang suka sama gue gimana? Tau-tau isinya apa gitu yang romantis-romantis.” Ujar Zemira dengan senyum yang tak dapat diartikan.

“Beneran gila kata gue, lo mah.”

Gadis itu masih saja tersenyum dengan beberapa kali merotasikan bola matanya. Hingga seketika raut wajahnya berubah. Senyumnya luntur, pandangannya tak lepas dari satu sudut di ruangan itu. Tatapannya kosong.

He saw me....” gumamnya.

this is everything i didn't say

Langit malam cukup menakutkan bagi Zemira kini. Tidak hanya karena kegelapan, tapi juga karena ia takut akan sosok yang tiba-tiba datang ditengah-tengah kegelapan itu sendiri.

Berbulan-bulan, bahkan sebentar lagi akan menginjak satu tahun akan tragedi itu, gadis yang kini tinggal sendiri, masih tak bisa melupakan kesedihan, bahkan rasa sakitnya ditinggalkan.

Sudah tiga bulan berselang, ia tak lagi mengunjungi Dokter yang mengontrol kejiwaannya. Zemira hampir gila. Setiap harinya ia melamun dengan pandangan yang kosong, sesekali ia menangis, bahkan berteriak ketika entah sosok apa yang selalu menghantuinya. Dengan bantuan obat-obatan yang ia konsumsi setiap hari, gadis itu berhasil bertahan dan kembali seperti Zemira. Tak heran bila Doyoung pun memperlakukannya seperti itu.

Gadis dengan baju tidur warna abu tengah berjalan ke pelataran rumahnya. Sembari menggigiti kuku jarinya, ia membukakan pagar dengan susah payah.

Doyoung tiba disana. Setelah memarkirkan mobilnya, ia keluar dari sana dan berlari menghampiri Zemira. Diraihnya kedua tangan gadis itu, lantas ia sapu dengan ibu jarinya sembari menatap tiap sudut telapak tangannya.

“A-apaan?!” Zemira menarik kedua tangannya.

“Lo beneran mandi selama itu?”

Zemira hanya berdecak dan menarik Doyoung untuk masuk ke dalam rumah.

Dingin.

Padahal hampir setiap hari lelaki itu mengunjungi rumah ini, namun masih saja terasa dingin.

Doyoung duduk di ruang tengah. Menunggu Zemira yang entah mengambil apa di kamarnya.

Tak lama, gadis itu datang dan duduk bersila di depan Doyoung. Hanya dengan beralas karpet bulu, itu tak membuat mereka merasa hangat. Zemira sengaja membawa dua selimut untuk dirinya dan juga temannya— iya teman.

“Jawab gue, Ze....” Doyoung menginterupsi. “Lo beneran mandi sampe 3 jam? Lo berendem? Tangan lo keriput noh— jangan bilang kalo pikiran gue bener?!”

“Pikiran lo tentang apa?”

“Tentang— lo yang nyoba masuk lagi?! Dengan cara berendem di bathup.”

“Iya bener.” Jawab Zemira singkat yang langsung di sahut oleh Doyoung.

“LO GILA?! Lo apa-apaan sih Ze?! Kan udah gue bilang jangan pernah lagi nyoba buat kesana. Ze gue udah bilang berapa kali ke lo sih?” Lelaki itu mengacak-acak rambutnya sendiri. “No words lah gue.”

“Udah?” Tanya gadis di hadapannya.

“Hm.”

“Iya bener gue berendem di bathup tapi gak lagi buat nyoba— gue cuma lagi mikir.”

“Bohong.”

“Ih serius Doy. Gue mikir karena ini nih.”

Zemira menunjukkan benda yang sedang ia pegang di tangan kanannya.

image

“Ini apa?” Tanya Doyoung sembari meraih bendanya. “Isinya apa Ze?”

Zemira mengangkat kedua bahunya. “Gue juga gak tau. Makanya gue mikir ini isinya apa, dan gue takut buat muternya.”

“Lo dapet dari siapa?”

“Dejun ngasih itu ke—”

“Tuh kan kata gue juga temen lo itu rada aneh.”

Zemira mendengus sebal ketika perkataannya tiba-tiba di sambar begitu saja. “Gue boleh cerita dulu gak?”

“Gih.”

“Jadi, Dejun ngasih ini ke gue, titipan dari Kun. Nah Kun sendiri juga titipan dari orang cenah.”

“Gimana sih? Orangnya ini siapa? I mean yang nitipin ke Kun.”

“Kata Dejun sih Kun juga gak tau. Orang itu tadi ada di dalem kotak kado gitu tapi gue buang kotaknya.”

Doyoung membolak-balikkan benda itu beberapa kali. Ia terlihat berpikir dengan cukup keras. Dahinya mengernyit. Sesekali melirik Zemira yang juga penasaran sekaligus takut dengan isi dari CD itu.

“Lo simpen dulu, jangan dibuka. Besok gue bilang Paman sama yang lain.” Final Doyoung.

“Eh tapi Doy, kalo yang ngasih orang yang suka sama gue gimana? Tau-tau isinya apa gitu yang romantis-romantis.” Ujar Zemira dengan senyum yang tak dapat diartikan.

“Beneran gila kata gue, lo mah.”

Gadis itu masih saja tersenyum dengan beberapa kali merotasikan bola matanya. Hingga seketika raut wajahnya berubah. Senyumnya luntur, pandangannya tak lepas dari satu sudut di ruangan itu. Tatapannya kosong.

He saw me....” gumamnya.

. . . “Renjun udah gak ada kak....”

“Dia meninggal.”


Kenapa selalu pemeran utama dalam cerita berakhir seperti ini? Bagaimana menurutmu? Apakah ini akhir yang bahagia atau menyedihkan? Siapa yang harus Zemira salahkan?

Zemira baru saja tiba di Indonesia, bersama dengan Doyoung juga Jeno. Ia berpijak memasuki sebuah pemakaman, dimana Jaehyun dan Mark dimakamkan. Duduk di kursi roda, ia menatap nanar jajaran gundukan tanah dengan bunga kamboja di tiap sudutnya.

Satu per satu batu nisan ia tatap. Lucy, Jisoo, Taeyong, dan Renjun.

“Doy, lo ke parkiran dulu aja.” Titahnya.

“Lo yakin? Gue tunggu sampe lo selesai gapa—”

“Yakin. Gue mau sendiri. Sama mereka....” mata Zemira mulai berkaca-kaca.

Doyoung berjongkok menghadapnya, mengusap bahu yang mulai bergetar. “Kalo udah selesai, telfon gue. Biar gue samperin lo kesini.”

Zemira mengangguk. Meski sudah beberapa kali terapi, tubuhnya masih kesusahan untuk pulih kembali. Ia masih membutuhkan seseorang untuk membantunya; mendorong kursi roda, misalnya.

“K-kak—”

“Jen, ayo.” Doyoung menarik lengan Jeno.

Selama itu pun usaha Jeno untuk dimaafkan terasa sia-sia. Terlebih setelah Zemira mengetahui fakta bahwa Renjun menyelamatkannya dari kutukan, hingga kematian.

Bahu Zemira mulai bergetar naik turun. Melihat keempatnya kini berada di alam yang tak bisa ia gapai lagi, membuatnya menangis.

“Dek....”

“Apaan ih gak lucu tau!”

“Dek.... Injun.... gue pengen direpotin lagi sama lo, gue pengen nemenin lo goreng nugget lagi malem-malem.... gue pengen lo ngerusuhin jam tidur gue.”

“Gue gak akan marah,”

“Dek ayo pulang....”

“Sini ketemu gue dulu, pamit dulu yang bener kalo mau pergi tuh!”

“Gak sopan pamit lewat chat....” lirihnya.

Zemira mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. Menghapus sebagian air matanya.

“Gue pengen meluk lo, gue pengen bilang kalo gue sayang banget sama lo Injun....”

“Gue bangga punya Adek kayak lo.”

“Thank you for being born into the world as my lil bro....”

Angin semilir memainkan rambutnya. Seperti menandakan seseorang tengah hadir di sekitarnya, ia memejamkan matanya. Meloloskan lagi butiran bening yang sempat tertahan. Gadis itu merasa hangat, seperti tengah ada seseorang yang merengkuh tubuhnya.

. . . .

Mereka sampai di sebuah lorong panjang, yang akan mengantarkan mereka ke ruangan terlarang. Jantung Zemira berdegup cukup kencang hingga ia kesulitan mengatur nafasnya.

“Tenang Ze, ada gu— Akh shit!” Tiba-tiba saja Doyoung mengumpat. “Satu obor mati—”

“Lo harus balik!” Ujar Jaehyun.

Gadis itu tak mengerti apa yang terjadi dan mengapa Doyoung harus kembali padahal mereka belum sampai pada tujuan.

Doyoung melepas ikatan tangannya dan berlari ke tempat dimana mereka berdua terbangun.

“DOY!!!” Teriak Zemira. Ia membalikkan tubuhnya dan akan lari menyusul Doyoung, tapi ia menabrak tubuh Jaehyun yang sedang menghadangnya. “JAE!”

Doyoung terbangun, kembali ke alamnya. Ia melihat Jisoo sudah terbaring lemah dengan luka di dadanya. Matanya menelisik disekitar sana namun tak ada orang lain lagi selain—

Jaemin.

Berdiri disamping pohon, dengan membawa sebilah pisau ditangannya. Lelaki itu tersenyum miring.

Teori tentang gerhana bulan, benar adanya, tak disangka, Jaemin mengungkapkan apa yang tersembunyi tentangnya— yang belum pernah terungkap sebelumnya.

“So, apa yang gue pikirin tentang lo itu bener?” Doyoung menginterupsi.

“Lo yang ngebunuh kakak lo sendiri, dan lo yang hampir ngebunuh Zemira di rumahnya. Lo—”

Tawa Jaemin menggelegar. “Hahaha. Gue kira lo bodoh percaya sama semua cerita gue kak.”

“Ah andai kak Taeyong gak ke rumah gue waktu itu, gue gak bakal balik gini lagi.” Imbuhnya. “Tapi, gapapa, kalo gini gue bisa jadi diri sendiri.”

“Mau gue kasih tau gak? Kalo di dalem, Rose udah nitisin dirinya.... dan lagi, Renjun sebagai wadahnya—”

“APA MAKSUD LO?!”

“Santai kak, dia yang mau sendiri.”

Doyoung mengeratkan rahangnya tak percaya. Bukankah Rose hanya bisa menitiskan dirinya pada keturunannya saja? Itu berarti hanya Irene dan Jeno yang bisa—

Kini kedua bola mata Jaemin berubah. Doyoung yakin ia sedang berusaha melawan dirinya sendiri. Lelaki itu mengerang, kulitnya berubah putih pucat dengan otot-ototnya yang hampir keluar. Sebilah pisau itu ia arahkan pada lehernya, namun sesekali tangan yang lain menahan aksinya.

“JAEMIN!!!!” Teriak Doy ketika benda itu lolos menembus lehernya.

Sebuah kematian yang diinginkan. Pengabdian, juga jiwa-jiwa yang ditukar percuma.

Bukan tak peduli dengan Jaemin, tapi ada hal lain yang harus segera ia selesaikan. Doyoung berlari menuju Gereja.

Matanya terbelalak melihat suasana di dalam sana. Paman, Jungwoo, Lucas, juga Winwin berlumuran darah bersandar lemas di sebuah papan. Lantas Lucy.... ia sudah kehilangan nyawanya.

Mereka masih berusaha menyelesaikan upacaranya.

“Kak tolong....”

Suara yang baru saja Doyoung dengar, ia yakini bahwa suara itu milik Jeno. Tapi bukankah ia sedang berada dalam upacara itu—

“What the fuck?!” Umpatnya lirih. Penglihatan dua sisinya— menampakkan jiwa Jeno yang akan diserahkan pada si Tuan. Jika itu seharusnya jiwa Renjun, maka benar kata Jaemin bila Renjun lah yang akan menjadi wadah bagi Rose.

Tak ingin itu terjadi, Doyoung mencari letak cermin mawar dengan hati-hati. Suara langkah kakinya membuat seseorang menyadari kedatangannya.

Jeno.

Entah bagaimana bisa ia yang sedang berada di lingkaran pentagram bersama Renjun itu lepas dari upacara.

Lelaki itu menunjuk sudut dimana cermin itu diletakkan. Dan sialnya, cermin itu terikat di meja altar dan terhubung dengan tangan Taeyong.

Gimana bisa? pikir Doyoung.

Proses penitisan sedang berlangsung, jika Doyoung nekat mengambil sebuah cermin itu apakah nantinya ia yang akan menjadi sasaran?

Seperti ia menjadi satu-satunya orang yang bisa diandalkan saat ini, Doyoung berjalan mengarah pada meja altar. Meneguk ludahnya kasar. Merasakan peluh mengucur deras akibat kegelisahannya.

Ingin sekali ia membantu Paman dan teman-temannya lebih dulu, tapi ia sadar bahwa sudah tak tersisa cukup banyak waktu untuk itu.

Tangannya berhasil memegang cermin, tapi apakah bisa ia membawa lari benda itu? Dadanya terasa sesak, ia mulai menoleh ke semua arah. Merencanakan bagaimana agar ia bisa langsung keluar.

Jeno masih tersadar disana, memperhatikan Doyoung dan menganggukkan kepala, seperti berkata “cepat ambil dan hancurkan!”

Doyoung meremat rambutnya. Penglihatan dua arahnya yang masih terhubung dengan Zemira membuatnya bingung harus berbuat apa.

“Ze.... lo pasti bisa Ze, lo pasti bisa....” ujarnya lirih.

Ia ingin membantu Zemira saat ini karena gadis itu dihadapkan oleh si bungsu yang jiwanya sudah dikuasai oleh makhluk menyeramkan.

Menunggu waktu yang tepat, Doyoung sesekali melihat kearah Renjun yang tengah mengerang sembari mencengkeram lengannya sendiri. Doyoung yakin, Renjun masih ada disana. Setidaknya ia melawan agar makhluk itu tak sepenuhnya menguasai dirinya. Agar dirinya tak menyakiti Kakak tersayangnya.

Gerakan tiba-tiba membuat jantungnya berhenti berdetak.

Haechan, Chenle, dan Irene bersamaan menyingkap tudung. Rupanya mereka merasa ada hal yang salah.

“Shit!” Umpat Doyoung ketika ketiganya menoleh bersamaan dengan sorot mata yang tajam.

Lelaki itu seketika menarik cerminnya, membuat Taeyong pun terhenyak. Secepat kilat, Taeyong mencengkeram leher Doyoung dengan kuku-kuku tajamnya yang berhasil menancap disana. Membawanya ke dalam lingkaran pentagram dengan lilin-lilin disekitarnya yang mulai redup.

Lelaki itu berusaha menghempaskan cerminnya, namun tertahan karena Irene lebih dulu merampasnya dari genggaman.

Doyoung melihat Zemira berhasil lari membawa cermin disana, namun ia sendiri yang terperangkap. Nafasnya sudah tersenggal-senggal karena cekikan hebat dari Taeyong.

Brugggg!!!

Jeno menabrakkan dirinya ke tubuh Taeyong. Dengan sempoyongan ia mendorong Irene dan menarik Doyoung untuk keluar dari bangunan itu.

“KAK BIAR GUE YANG MECAHIN CERMINNYA!!”

“SEKARANG LO BALIK KESANA TOLONGIN KAK ZE!!”

Doyoung sudah diambang pintu, ia menatap Jeno tak percaya.

“PERCAYA SAMA GU—E AAKHGG!!” Erangnya ketika Taeyong dengan mudahnya menyeret tubuh Jeno.

Sebagian tubuh Jeno rasanya sudah tak berfungsi lagi karena ia pun mulai dikuasai oleh makhluk lain yang akan memakan jiwanya.

Cermin yang ada digenggamannya, ia percaya bahwa dirinya mampu menghancurkan benda itu dan membiarkan semua berakhir.

Jeno tak peduli bila ia harus kehilangan sosok Ibu untuk selama-lamanya, karena baginya sosok Ibu telah lama mati. Ia mengerti konsekuensi ketika cermin dihancurkan, ia sudah siap bahkan kehilangan Kakak dan orang terdekatnya, ia sudah siap.

Tapi, ada satu hal yang tak bisa lepas dari pikirannya kini. Dengan tubuh lemah, ia menoleh kearah sahabatnya; Renjun. Jeno merasa sangat bersalah dan takut apabila sahabatnya itu tak tertolong.

Sebelumnya, Renjun mengerti apabila Rose akan menitiskan dirinya pada tubuh Jeno. Renjun pun mengerti bagaimana perasaan Jeno. Ia tak sepenuhnya bersalah, karena ia sedang dikendalikan oleh sesuatu hal yang tidak ia inginkan.

Jeno banyak bercerita pada Renjun, bagaimana ia hidup sendiri, bagaimana rasanya tak diakui oleh sosok Kakak satu-satunya yang ia miliki, dan bagaimana hancurnya ketika mengetahui hal-hal buruk tentang Ibunya.

Renjun hanya merasa bahwa setiap orang itu berjuang, setiap orang punya hasrat untuk melangkah dengan cara dan dengan pilihannya masing-masing. Inilah cara dan pilihan yang diambil oleh Renjun. Jeno orang yang baik, tapi ia belum sempat menjalani hidup yang baik. Terasa kurang adil jika ia berakhir menjadi seseorang yang sama sekali tidak menggambarkan Jeno yang Renjun kenal.

Jeno terus memandangi sahabatnya lamat-lamat. Memandanginya yang sudah putih kepucatan, mengerang kesakitan, pun menatap Jeno dengan mata yang tajam.

Tanpa pikir panjang, Jeno menghancurkan cermin di tangannya dengan sekali hentakan.

image

“HANCURKAN SEKARANG ZEMIRA!!!!”

Zemira menutup kedua mata dengan air mata yang masih mengucur deras. Ia hentakkan cermin itu ke tanah dan menghancurkannya dengan batu yang sudah ia siapkan di sakunya. Menghancurkan cermin itu menjadi kepingan-kepingan kecil.

Kemudian tubuhnya terjatuh lemas dengan deru nafas yang tak beraturan. Ia tersenyum lega ketika berhasil menghancurkan benda itu. . . . . . Suara erangan kesakitan, bahkan suara makhluk mengerikan sahut menyahut menggema di seluruh ruangan. Jeno menjadi saksi bagaimana Haechan dan Chenle membunuh dirinya sendiri, mencakar kulit-kulit tangannya hingga mengelupas. Saksi bagaimana Kakak yang ia sayang mendongakkan kepala seperti ingin mencabut lehernya. Saksi bagaimana tubuh Taeyong terhempas kesana kemari hingga Rose keluar dari tubuhnya dan seketika lenyap.

Dan saksi bagaimana Renjun berjuang mati-matian dengan kesadaran yang mulai menghilang, ia tersenyum menghadap Jeno dengan bola mata yang masih menghitam—

Suasana mendadak sepi dan sunyi, hanya ada Jeno tersadar sendiri. Ia ketakutan, menangis merengkuh kedua kakinya. Menenggelamkan wajahnya disana, dengan keadaan bersimbah darah.

Krieett

Doyoung membuka pintu dengan susah payah. Zemira sudah tak sadarkan diri berada di punggungnya. Mereka berdua pun keadaannya tak jauh berbeda dengan Jeno. Bahkan gadis itu bisa saja kehilangan nyawanya karena ia lebih dulu tak sadarkan diri di alam sana.

Lelaki itu tersenyum kearah Jeno, sembari menyandarkan tubuh Zemira pelan.

Thank you for being an angel, Jeno....

Sudah lewat tengah malam. Doyoung menghubungi tim evakuasi agar dirinya dan juga yang lain dapat tertolong.

Malam itu, Silent Hill menjadi saksi bisu untuk kesekian kalinya atas perjuangan melawan sesuatu yang tak seharusnya ada di dunia....

Sesuatu yang tak seharusnya menghancurkan sebuah hubungan manis yang telah lama tercipta; Ghost Hunter Genk. Sebuah hubungan romantis yang baru saja dirajut; Zemira, Taeyong. Sebuah hubungan solid nan berbobot; Mental Breadtalk Genk.

Dan sebuah hubungan Kakak-Adik yang mengambil jalan berbeda dan kini kehidupan memisahkan mereka; Zemira, Renjun. Tetapi mereka berdua akan selamanya terikat, because being brother and sister means being there for each other. . . . . .


©️ souljaehyunn

Seorang gadis masih berjongkok membelakangi sebuah pagar hitam yang kokoh. Satu tangan menopang dagunya. Sedangkan tangan yang lain menggenggam ponsel yang layarnya masih menyala.

Ia tak menyadari bila seseorang sudah berdiri di balik tubuhnya dengan tatapan yang—

“Don't wanna rep?”

“Kaget!!” Gadis itu menoleh kasar saat deep voice mengacaukan lamunannya.

“Lah malah diasikin jongkok?”

Mark yang awalnya menyandarkan sebagian tubuhnya di pagar, kini mendekat dan ikut berjongkok.

“Gugup?” Tersenyum simpul sembari mengeluarkan pemantik dari saku. “Sal, gue ngudud dulu ya?”

Salma; teman dekat Mark sejak duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama itu menahan tangannya, ketika ujung cerutu ia bakar.

“Jantung lo! Don't you remember the pain you felt? Ck!” Ia berdiri, seketika merebut cerutu yang dipegang Mark. Membuang, lantas menginjaknya dengan heels hitam yang ia pakai.

Raut wajah Salma berubah kesal. Terlihat dari bibirnya yang datar tak berekspresi sama sekali. Sontak Mark berdiri menegakkan tubuhnya ketika gadis itu membalikkan badan dan memasuki pelataran.

Mark meraih lengannya dengan cepat, sehingga tubuh Salma tertarik kearahnya. Ia ubah posisi tangannya mengelilingi pinggang lawannya.

Mereka saling berhadapan dengan jarak yang cukup dekat. Bahkan pori-pori kulit wajah Salma menangkap kehangatan nafas milik Mark.

Salma tak mengindahkan tatapan lelaki yang ada dihadapannya itu. Ia terus merotasikan bola matanya kebawah.

“Don't you feel.... you have debt? Hm?”

Deep voice yang dihasilkan oleh Mark benar-benar membuat sekujur tubuh merinding. Mendengarnya saja, jantung Salma seketika berdebar hebat.

Mark mendengus. “Kalo ada yang ajak ngobrol tuh ditatap.”

“Ya.” Jawab Salma singkat.

Kini mereka saling tatap dengan jarak yang semakin dekat, karena tangan Mark semakin merengkuh pinggangnya.

“Mana? Gantinya rokok gue?”

Salma terdiam sesaat.

“Iya. Di dalem ajalah ntar ada yang liat.” Buru-buru ia dorong dada bidang Mark dan melepaskan diri dari rengkuhannya.

Seperti sudah menjadi sesuatu yang biasa bagi Salma, ia langsung masuk ke dalam. Meninggalkan teman dekatnya itu sendiri disana. Tapi rupanya ia mulai berjalan masuk mengikuti Salma.

Mark adalah seorang pecandu cerutu yang bisa menghabiskan tiga sampai empat kotak dalam sehari. Kebiasaan buruknya itu mengantarkannya pada penyakit yang hampir merenggut nyawanya sendiri.

Sangat sulit baginya untuk melepas hal gilanya.

“Bibir gue kerasa pahit Sal, kalo gak ngudud. Gue gapapa mati dari pada lepas dari benda ini. I can't.”

Kalimat yang dilontarkan Mark tiga tahun yang lalu terasa menyesakkan. Salma hanya ingin temannya mampu untuk sembuh dan lepas dari sesuatu yang dapat merenggut nyawanya.

“Bisa! Cari sesuatu yang bisa bikin lo berhenti.”

“I think i've found it Sal, but can i?”

“Apa?”

“Your lips.”

. . .

Kedua sosok itu tengah melakukan rutinitasnya. Bercumbu di dalam kamar kos milik Mark. Lelaki itu terus melumat bibir manis Salma dan semakin memperdalam ciumannya. Tangan kanan Mark berada di tengkuk lawannya, sedangkan tangan yang lain mengusap lembut punggung hingga pinggang ramping itu.

“Mhm....” terdengar lenguhan Salma saat dirasa ciumannya kini sedikit menuntut. Ia melepas paksa dengan sedikit mendorong tubuh Mark.

“Why did you stop?” Tanyanya.

“Ya lo yang kenapa? Gak kayak biasanya.”

Salma mendengus. Kedua matanya mulai menyipit karena rasa kantuk yang menyerangnya. Ia mendudukkan dirinya di pinggir ranjang.

Mark kembali mendekatinya. Mengusap pipi putih nan lembut milik gadis yang ada di depannya. Lalu ia rendahkan wajahnya agar sejajar dengan wajah Salma.

“M-mark....” satu lengan Salma menahan tubuh Mark.

Ia jauhkan wajahnya, namun mata dengan bulu lentik itu masih menelisik tiap sudut wajah seorang lelaki dengan nafas yang mulai tak beraturan.

“Cantik,” ujarnya dengan satu sudut bibirnya tertarik. “Apa lo gak bisa suka sama gue aja? Apa lo gak bisa mutusin Hae—”

“To be honest, gue udah putus.”

“Really?”

Salma mengangguk. “Haechan yang mutusin gue.”

“Dan karena itu lo cabut dari kos? Hangout sama temen-temen lo sampe larut malem?”

“Enggak. Tadi gue mau nyamperin dia ke rumahnya, but instead i saw him kissing someone else.” Gadis itu tersenyum nanar. “He cheated on me, tapi dia juga yang mutusin.... gue kurang ap—”

“Hey Sal, don't say like that. Lo gak ada kurang-kurangnya, dia aja yang brengsek.”

Nyatanya mata sendu Salma sedari tadi bukanlah karena kantuk, tapi karena gadis itu tengah merasa sakit dan hatinya terlanjur patah.

“Ada gue,”

Kalimatnya mampu menyita perhatian Salma.

Cupp

Dengan cepat Mark mendaratkan kecupan di bibir manis Salma. Mata elangnya terus tertuju pada bibir gadis itu. Dan tanpa aba-aba, tangan Salma meraih tengkuk kepala Mark sembari membalas kecupan yang ia daratkan.

Keduanya saling melumat lagi. Mark benar-benar meraup bibir ceri itu. Menciumnya begitu mesra.

“From now on i won't let anyone hurt you.” Ucapnya menghentikan aktivitas mereka.

Salma terdiam memandang wajah tampan dihadapannya. Ia takut menyalah-artikan perkataan Mark.

“Will you be mine?” Tanya lelaki itu sembari tangan kirinya menelusup ke dalam baju Salma. Mengusap punggung hingga naik keatas, melepas kaitan bra.

Gadis itu sama sekali tak menjawab. Nafasnya mulai memburu ketika lawannya mengendus ceruk lehernya. Menghirup aroma tubuh yang akan selalu menjadi favoritnya.

Matanya terpejam, menikmati setiap sentuhan. Tangannya reflek meremat rambut milik Mark, ketika lelaki tampan itu mengusap kewanitaan Salma dari dalam rok selututnya.

Tubuhnya terus di desak, hingga Mark berhasil membaringkan tubuh Salma. Lantas ia pandangi lamat-lamat. Kedua matanya saling bertemu.

“I'll play slowly.” Ujarnya dengan melepas kaos hitamnya. Menampakkan tubuh bidang yang membuat Salma menggigit bibir bawahnya.

Tanpa ada penolakan, langsung saja lelaki itu membasuhi bibir Salma. Bibir mereka saling bertemu dan memaut. Tangan Salma bertengger ditengkuk Mark, namun dengan cepat Mark melepaskannya. Menggenggam kedua pergelangan tangannya hanya dengan satu tangan. Membawanya tepat diatas kepala Salma.

Salma sedikit menggelinjang ketika tangan Mark yang lain menyingkap bajunya. Memperlihatkan gundukan indah dengan puting merah muda. Tangannya mengusap dan meremasnya, memilin putingnya tanpa melepas ciumannya. Membuat Salma meloloskan desahan yang sempat ia tahan.

Bibir Mark berlanjut pada pipi, telinga, rahang, leher, kemudian turun mencicipi payudaranya dan tak lupa memberikan kiss mark disana.

Kedua tangan Salma meronta-ronta, namun tangan kekar Mark mampu menahannya.

“M-mark lepas— ahh....” ia merasakan jemari Mark yang lain menggoda kewanitaannya, membuatnya merapatkan kakinya.

Lelaki itu akhirnya melepaskan tangan Salma, lantas menyingkap rok keatas dan memandang keindahannya beberapa detik. Gadis itu merapatkan kakinya lagi, namun tertahan.

“Jangan diliatin gitu.”

Mark melirik gadis itu. Kemudian mengusap kewanitaannya lagi dengan ibu jari dan telunjuknya. Kewanitaan yang berbalut gstring kini menjadi favoritnya.

“Basah.” Ujar Mark sembari menggoda klitoris dengan ibu jarinya.

“Jangan ditahan.”

Kini tubuh Salma benar-benar tertindih. Mark menarik dagunya dan melumat bibirnya dengan kasar. Kedua tangan Salma sontak meremat sprei ketika satu jari panjang Mark masuk tanpa permisi ke lubang kewanitaannya.

“Mmhh....” desahannya semakin terdengar karena lelaki itu merubah tempo jarinya lebih cepat. Ia desakkan satu jari lagi, membuat Salma menggelinjang.

“M-Mark—mmhh....”

“Shout out loud Sal.”

“Jangan— mmhh dicepetin....”

“Yang keras!!”

“No!! M-mark ahhh....” Teriaknya dengan tubuh menggelinjang. Pelepasan pertamanya. Nafas Salma memburu.

Salma menarik tengkuk Mark kemudian melumat bibirnya. Lelaki itu semakin bergairah.

Salma dapat merasakan tegangnya junior itu. Tiba-tiba tangannya mengusap kejantanan Mark dari luar celananya.

“Sshh Sal....” ia menghentikan ciumannya dan saling tatap dengan jarak dekat. Tatapan yang memabukkan.

Mark mengeluarkan juniornya, menggesekkannya di area kewanitaan Salma. Membuat gadis itu meringis dan sesekali menggigit bibirnya. Melihat itu, Mark semakin tergoda dan langsung melesakkan kejantanannya.

“Ahhhhhh m-mark.... ahhh.” Pekik Salma ketika kejantanan Mark menerobos miliknya.

Salma mengeratkan genggamannya di sprei kasur. Merasakan Mark menghentakkan kejantanannya begitu cepat. Desahan-desahan terucap dari bibir mereka berdua.

“Sal shhh sempit....” desah Mark yang meraup puting merah muda itu dan terus menggerakkan pinggul dengan cepat dan dalam.

“J-jangan cepet-cepet— gue mau keluar.... aakhhh!!” Pelepasan kedua Salma.

“Nikmatin banget Sal? Udah keluar dua kali.” Mark tersenyum. Ia membalikkan tubuh Salma, berada di atas pangkuan Mark yang berbaring. “Yang lo minta.... gue dibawah, lo diatas.”

Tanpa perintah, dan sepertinya Salma ketagihan dengan permainan Mark, ia masukkan kejantanan yang masih menegang itu. Mark mengusap kedua paha gadis itu, menambah sensasi yang luar biasa.

Pakaian Salma sama sekali belum ditanggalkan. Lantas Mark terduduk dan melepaskan baju, juga roknya. Kini gadis itu tak tertutupi sehelai benang.

“Go ride, bitch.” Titahnya.

Salma menuruti perintah Mark. Ia goyangkan pinggulnya. Posisi seperti ini membuat kejantanan Mark masuk sempurna.

Ia tampak kelelahan. Temponya mulai turun, namun dengan sergap Mark menggempur milik Salma begitu cepat sembari melumat payudara yang bergoyang-goyang dihadapannya.

“Fuck!!! Gue mau keluar— Ahhhhhh....” lenguhan Salma terdengar lagi. Pelepasan ketiganya.

Mark tersenyum.

Gadis itu ambruk di dada bidang Mark dengan kejantanan yang masih tertancap. Lelaki itu merubah posisinya lagi, membuat Salma harus menungging.

“Mark gue cape— akhhh.”

Mark menegakkan tubuhnya dan terus menggoyangkan pinggulnya.

“Ahhh Mark.... gue capek akhhh.”

“Desahan lo, will be my favorite sound.”

Keringat mereka berdua bercucuran. Suara gesekan kulit mereka semakin terdengar. Lenguhan seksi Salma membuat Mark semakin menghentakkan miliknya hingga gadis itu ambruk membuat kejantanan Mark terlepas.

Salma sangat menikmati permainan Mark, hingga mampu mencapai pelepasan keempat. Padahal lawannya sama sekali belum menyemburkan cairan hangatnya.

“Mark jangan ditahan guenya capek.” Keluh Salma yang kini berbaring dengan dada yang naik turun.

Mark meraup gundukan itu, memainkan putingnya, membuat Salma meremas rambutnya.

“Biar lama main sama lo—” Mark memposisikan dirinya berbaring dibelakang Salma. Memainkan kewanitaan yang basah itu dengan jemarinya.

“Mhhmm Mark— stop it.”

“Satu ronde lagi.”

“Ya lo keluarin dong.”

“Keluarin di dalem?” Bisik Mark tepat di telinga kiri Salma. “Kalo diem gue anggep iya.”

Mark memasukkan kejantanannya lagi ke lubang yang sudah sangat basah itu dan memainkan klitorisnya.

“Mmhhh gue mau keluar....”

“Sshh tahan Sal, keluar bareng.”

Lelaki itu memeluk Salma dari belakang begitu kuat. Menciumi tubuh belakang Salma.

“M-Markkk ahhhh mau keluar.”

“Tahann baby”

Mark semakin mempercepat temponya dan—

“AHhhh Mark!!” Tubuh Salma menggelinjang. Pelepasan kelimanya bersamaan dengan semburan hangat milik Mark.

Keduanya terkapar di ranjang, kejantanan Mark masih belum terlepas. Ia memeluk Salma dari belakang dengan sesekali meremas buah dadanya.

“Thank you love.” Mark mengecupi bahu Salma. “I love your sexy screaming voice.”

“I like your narrow hole....”

“I love your wet hole....”

“And i love you, Salma.”

image

it's sad when you feel alone in a room full of people


Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya berada dalam posisi seperti ini. Biasanya Renjun yang selalu berkhayal bagaimana jika kami berada di tengah-tengah kejadian yang tak pernah kami bayangkan. Tentu saja kami berdua sering menonton film horror, dimana pemainnya cukup apik dan cukup pintar dengan segala usahanya lepas dari 'mereka'.

Bunda juga sering memarahiku karena aku selalu membuat si bungsu ketakutan. Ck! Lelaki apa yang takut dengan kegelapan? Ah sungguh Renjun membuatku frustasi karena sikap penakutnya. Lepas dari orang tua, tinggal berdua, ia sangat merepotkanku. Bayangkan saja! Ke kamar mandi, mengambil sesuatu diluar, bahkan tak jarang aku menemaninya di kamar sampai ia benar-benar tertidur. Melelahkan bukan?

Hingga akhirnya aku memiliki seorang kekasih yang sangat amat perhatian kepadaku, juga Renjun.

Taeyong. Aku tak bisa mendeskripsikannya. Menurutku, ia terlalu sempurna. Rasa sayangnya pada Adikku pun sangat tulus, hingga ia berhenti mengusikku dan malah meminta tolong apapun sesukanya pada Taeyong. Renjun sudah menganggapnya sebagai kakak keduanya. Itu sudah cukup melengkapi kebahagiaanku.

Dan tentu saja! Teman-teman terdekatku menjadi alasan mengapa aku bisa bertahan hidup berdua tanpa orang tua. Awalnya home sick melandaku, bukan hanya aku, tapi juga Renjun. Ia sering merengek ingin bersama Bunda dan Ayah saja. Tapi karena kami sudah menemukan teman terdekat yang bisa dikatakan keluarga baru, membuat segalanya berjalan seperti tanpa ada hambatan.

“Kak! Weh jangan ngelamun aja ayo kak Taeyong udah nunggu diluar ih!”

Benar, aku terkejut ketika tangan seseorang menarik lenganku tiba-tiba. Siapa lagi kalau bukan Renjun, adik tersayangku.

Berjalan keluar rumah, aku tak bisa menyembunyikan senyumku saat Taeyong melambaikan tangannya kearahku. Tak lupa dengan senyumnya yang sangat manis. Sungguh siapapun yang melihatnya akan jatuh cinta—

“KAK ZE!!!!”

“Naon si anjing!” Jujur saja, bocah satu ini selalu mengagetkanku.

Renjun melingkarkan tangannya di lenganku dengan sedikit menggoyang-goyangkannya. “Hehe gapapa biar fokusnya kak Ze buyar.”

Ctak!!

“Aduh kak Ze paan sih!” Ia mengeluh kesakitan. Ya dia pantas mendapatkan jitakan dari tangan saktiku. Itu setimpal dengan rasa kaget yang sudah beberapa kali aku rasakan.

“Mampus sukurin!” Kataku.

“Udah sih, Ze.”

“Yah? Apaan kamu malah ngebela si tuyul ini.”

“Kan aku cuma bilang, udah sih Ze? Aku gak ngebela.” Ujar Taeyong dengan nada yang sedikit— lucu menurutku.

“Tuyul? Tuyul paan tuyul?! Ih gak inget apa waktu gue dirasukin, lu nya nangis-nangis? Kak Ze tuh ya emang orangnya suka gengsi mana gak mau ngakuin kalo kak Ze—”

“Gue apa?”

Perkataan Renjun sengaja ia gantung untuk memancing keributan tentu saja.

“Mau aku tinggal aja?” Taeyong sudah berada di dalam mobil, di kursi pengemudi. Dan mendengar itu, kami buru-buru masuk ke dalam mobil.

Di perjalanan, Taeyong dan Renjun banyak sekali bicara. Membicarakan kejadian-kejadian yang mereka lalui satu bulan yang lalu.

Jika kalian ingin tau, semuanya sudah berakhir. Aku rasa begitu. Buktinya selama satu bulan aku terus bersama Renjun juga Taeyong. Yang lain? Entahlah aku tak menemui mereka dan aku sudah tak ingin bertemu siapapun lagi. Hanya dua orang yang aku sayang ini saja sudah cukup. Aku tak membutuhkan orang lain lagi.

Kami pergi ke— tempat dimana Taeyong pernah mengajakku. Hutan Pinus. Tubuhku seperti menolak untuk keluar dari mobil. Pandanganku terlalu terpaku pada tempat itu. Trauma? Bisa dibilang begitu.

Tok tok

“Kak? Ayo turun.” Renjun mengetuk kaca mobil, sedangkan Taeyong sudah berjalan dulu memasuki tempat itu.

“Kak? Buru ih apa gue tinggal?”

Mau tak mau aku keluar dari mobil. Memandang Renjun yang raut wajahnya berubah lebih berseri dari biasanya. Ia meraih tanganku untuk digenggam. Lantas berjalan sejajar denganku, menyusul langkah Taeyong yang jauh di depan sana.

“Jun.... pulang aja yuk?” Ujarku ketika tiba-tiba hembusan angin kencang menerjangku. Menerbangkan rambut yang sengaja tak kuikat. “K-kayaknya cuaca lagi—”

“Gak mau pulang. Disini aja kak, aku mau disini sama Kak Taeyong.”

“Cuacanya Jun astaga ini kayak mau hujan deh.”

Sungguh, aku tak berbohong. Langitnya memang tak menunjukkan tanda kecerahan. Hanya semburat abu keputihan yang terlukis disana. Tanda akan turun hujan bukan?

“Kak Taeyong!!”

Renjun berlari kearah Taeyong. Padahal ia tengah berjalan kearahku yang sedang duduk di sebuah batang pohon besar. Ia tersenyum kepadaku dengan kedua tangannya yang sengaja ia sembunyikan di balik tubuhnya.

“Apa?” Tanyaku pada Renjun yang berjalan sejajar dan tengah menutupi mulutnya dengan sesekali melirik ke belakang tubuh Taeyong.

“Apa sih???” Tanyaku kebingungan.

“Ze....”

“Aku habis metik ini, buat kamu.”

Mawar putih.

Entah mengapa hatiku terasa sakit ketika melihat bunga mawar. Ada rasa sakit, juga sedih yang luar biasa ketika melihat bunga cantik ini.

“Ecie kak Ze!!! Ayo dong terima dong!!!” Sorak Renjun dengan tepuk tangannya.

Taeyong masih berdiri di hadapanku dengan kedua tangan yang terulur menggenggam beberapa tangkai mawar putih.

“Ze, maaf selama ini aku gak bisa jaga kamu....”

Tiba-tiba?

“Maaf karena gara-gara aku, kamu jadi ngelewatin semua yang gak kamu mau.”

“Tolong maafin aku....”

“Aku gak bisa bantu kamu, aku ngebiarin kamu berjuang sendiri, aku juga yang bahkan ngerenggut orang-orang yang kamu sayang.”

“Ze, andai dulu aku bisa lebih terbuka sama kamu, dan andai aku gak nemuin cermin itu.... apa kita bisa hidup tenang dan baik-baik aja?”

Demi Tuhan, mendengar itu semua darinya membuat kedua mataku terasa panas. Aku merasa sudut mataku mulai membasah.

“Kak Ze....”

Hal yang jarang terjadi adalah, Renjun memelukku. Dengan sangat erat, seperti ia sedang menyalurkan rasa sedihnya. Semua air mata yang tertahan akhirnya lolos juga. Aku menangis di rengkuhan Renjun.

Renjun melepaskan pelukannya ketika sebuah tangan menarik lengannya pelan; Taeyong.

Ia menyodorkan lagi bunganya. Lantas aku mengambil mawar itu dari tangannya. Taeyong tersenyum.

“Kak Ze, maaf kalo Injun banyak ngerepotin lo.... Injun jadi cowok penakut yang gak bisa Kak Ze andelin.”

“Gue mah percaya banget kalo kak Ze tuh orangnya pemaaf, ye kan? Buktinya gue yang nyebelin, rese, gangguin kak Ze mulu, tetep aja di maafin. Apalagi orang lain?”

Tunggu— lidahku kelu untuk sekedar mengatakan satu kata saja. Aku hanya terus menangis tak henti-hentinya.

“Renjun sama aku ya, Ze?”

Apa maksudnya?!

“Aku bawa Renjun.... aku minta maaf.”

Keduanya berbalik dan berjalan membelakangiku. Siapapun tolong aku yang tak bisa bergerak sama sekali. Aku ingin meneriaki mereka berdua tapi Demi Tuhan aku kesusahan untuk mengucap.

Renjun menoleh ke belakang, ia menatapku dengan kedua sudut bibirnya tertarik. Tersenyum sembari melambaikan tangan.

“NOOOOOOO!!!!!!!!!”

Apa aku berada di alam mimpi? Jika iya, tolong segera bangunkan aku. Dan jika tidak, aku berharap ini benar-benar mimpi, sebuah mimpi buruk.

Baik Renjun maupun Taeyong terjatuh ke tanah, ketika tiba-tiba sebuah tangan menembus tubuh mereka. Aku yakin, hanya dengan sebuah tangan. Dengan seringai di wajahnya, ia terlihat sangat puas melihatku kacau dan putus asa.

Jeno.

. . . . .

“Zemira....”

“Ze???”

Tepat satu bulan. Gadis yang tubuhnya penuh luka itu akhirnya terbangun. Ia mengerjapkan matanya berulang kali. Berusaha beradaptasi dengan lingkungan yang telah lama ia tinggalkan.

Lelaki yang menemaninya di ruang putih selama satu bulan sontak berlari keluar ruangan untuk memanggil Dokter yang tak kunjung datang.

Bola matanya berotasi ke kanan, ke kiri, dengan tatapan lemah. Ia menjelajahi tiap sudut ruangan.

Setelah beberapa saat Dokter telah memeriksa keadaannya, barulah lelaki itu duduk di dekat bangsalnya.

“Akhirnya lo sadar....”

Zemira hanya menatapnya. Tubuhnya lumpuh karena sebulan lamanya ia koma.

Sreggggg

Suara gesekan pintu menyita atensi Zemira. Menampakkan seorang lelaki yang tampak tergesa-gesa masuk ke dalam ruangan.

“Kak!!!! Kak Ze udah sadar?!”

Tatapan Zemira berubah.

“Pelan-pelan ngapa Jen.”

“Kak Ze udah diperiksa Dokter? Apa belum?”

“Udah, udah dari tadi juga.”

“Terus kak Doy ngapain masih disini?”

“Ck! Bilang aja lo mau gantian jagain.”

Doyoung melepas tautannya di jemari Zemira, namun gadis itu menahannya. Mengeratkan genggamannya meski dengan susah payah.

“R-renjun.... m-mana?” Tanya Zemira dengan suara serak dan terbata-bata. Kedua manik hitamnya berkaca-kaca.

Doyoung dan Jeno saling melempar tatapan. Tak ada yang menjawab beberapa detik setelahnya.

“Biar Jeno yang jawab. Dia— gak mau ketemu lo, kalo lo nya belum sembuh.” Tukas Doyoung dengan memaksakan senyumnya, kemudian pergi meninggalkan Zemira dan Jeno.

Jeno menggantikan Doyoung, duduk di kursi dekat bangsal. Zemira tak mengindahkannya. Ia terpaksa memejamkan kedua matanya. Rasa benci, bahkan rasa ingin membunuh seseorang yang sedang bersamanya itu semakin kuat.

“Kak....”

“It's over.”

“Gue gak punya siapa-siapa lagi.”

“Gue udah sendirian.”

“Makasih karena kak Ze berhasil mutus sesuatu hal yang mengerikan ini.”

“Pasti kak Ze benci sama gue dan itu wajar.... lo gapapa benci gue kak, tapi maafin gue.”

“M-maaf....”

Suara Jeno bergetar, ia menyembunyikan wajahnya. Menangis tersedu di perpotongan lengannya.

“Kak Ze koma selama sebulan, dan gue harus ngomong ini sekarang kalo Renjun....”

Mendengar nama sang Adik, Zemira langsung membuka matanya dan melihat kearah Jeno yang masih menyembunyikan wajahnya.

Kalimatnya menggantung cukup lama, membuat jantung gadis itu berdegup semakin kencang. Ia takut dengan kenyataan yang tak sesuai dengan ekspektasinya.

Zemira menggoyangkan lengan Jeno. Membuat lelaki itu mendongakkan kepalanya. Matanya memerah dan basah penuh dengan air mata.

“K-kenapa?! In-jun k-kena-pa?!” Ia sudah meloloskan beberapa butiran bening.

“Maafin gue kak.... maafin kak Irene, maafin mama gue....”

“KENAPA?! ADEK GUE KENAPA?!”

Tak dapat disangka Zemira mampu berteriak dengan suara seraknya.

“Renjun udah gak ada kak....”

“Dia meninggal.”


image

“Gue mah percaya banget kalo kak Ze tuh orangnya pemaaf, ye kan? Buktinya gue yang nyebelin, rese, gangguin kak Ze mulu, tetep aja di maafin. Apalagi orang lain?”