.
.
.
“Renjun udah gak ada kak....”
“Dia meninggal.”
Kenapa selalu pemeran utama dalam cerita berakhir seperti ini? Bagaimana menurutmu? Apakah ini akhir yang bahagia atau menyedihkan? Siapa yang harus Zemira salahkan?
Zemira baru saja tiba di Indonesia, bersama dengan Doyoung juga Jeno. Ia berpijak memasuki sebuah pemakaman, dimana Jaehyun dan Mark dimakamkan. Duduk di kursi roda, ia menatap nanar jajaran gundukan tanah dengan bunga kamboja di tiap sudutnya.
Satu per satu batu nisan ia tatap. Lucy, Jisoo, Taeyong, dan Renjun.
“Doy, lo ke parkiran dulu aja.” Titahnya.
“Lo yakin? Gue tunggu sampe lo selesai gapa—”
“Yakin. Gue mau sendiri. Sama mereka....” mata Zemira mulai berkaca-kaca.
Doyoung berjongkok menghadapnya, mengusap bahu yang mulai bergetar. “Kalo udah selesai, telfon gue. Biar gue samperin lo kesini.”
Zemira mengangguk. Meski sudah beberapa kali terapi, tubuhnya masih kesusahan untuk pulih kembali. Ia masih membutuhkan seseorang untuk membantunya; mendorong kursi roda, misalnya.
“K-kak—”
“Jen, ayo.” Doyoung menarik lengan Jeno.
Selama itu pun usaha Jeno untuk dimaafkan terasa sia-sia. Terlebih setelah Zemira mengetahui fakta bahwa Renjun menyelamatkannya dari kutukan, hingga kematian.
Bahu Zemira mulai bergetar naik turun. Melihat keempatnya kini berada di alam yang tak bisa ia gapai lagi, membuatnya menangis.
“Dek....”
“Apaan ih gak lucu tau!”
“Dek.... Injun.... gue pengen direpotin lagi sama lo, gue pengen nemenin lo goreng nugget lagi malem-malem.... gue pengen lo ngerusuhin jam tidur gue.”
“Gue gak akan marah,”
“Dek ayo pulang....”
“Sini ketemu gue dulu, pamit dulu yang bener kalo mau pergi tuh!”
“Gak sopan pamit lewat chat....” lirihnya.
Zemira mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. Menghapus sebagian air matanya.
“Gue pengen meluk lo, gue pengen bilang kalo gue sayang banget sama lo Injun....”
“Gue bangga punya Adek kayak lo.”
“Thank you for being born into the world as my lil bro....”
Angin semilir memainkan rambutnya. Seperti menandakan seseorang tengah hadir di sekitarnya, ia memejamkan matanya. Meloloskan lagi butiran bening yang sempat tertahan. Gadis itu merasa hangat, seperti tengah ada seseorang yang merengkuh tubuhnya.
.
.
.
.
Mereka sampai di sebuah lorong panjang, yang akan mengantarkan mereka ke ruangan terlarang. Jantung Zemira berdegup cukup kencang hingga ia kesulitan mengatur nafasnya.
“Tenang Ze, ada gu— Akh shit!” Tiba-tiba saja Doyoung mengumpat. “Satu obor mati—”
“Lo harus balik!” Ujar Jaehyun.
Gadis itu tak mengerti apa yang terjadi dan mengapa Doyoung harus kembali padahal mereka belum sampai pada tujuan.
Doyoung melepas ikatan tangannya dan berlari ke tempat dimana mereka berdua terbangun.
“DOY!!!” Teriak Zemira. Ia membalikkan tubuhnya dan akan lari menyusul Doyoung, tapi ia menabrak tubuh Jaehyun yang sedang menghadangnya. “JAE!”
Doyoung terbangun, kembali ke alamnya. Ia melihat Jisoo sudah terbaring lemah dengan luka di dadanya. Matanya menelisik disekitar sana namun tak ada orang lain lagi selain—
Jaemin.
Berdiri disamping pohon, dengan membawa sebilah pisau ditangannya. Lelaki itu tersenyum miring.
Teori tentang gerhana bulan, benar adanya, tak disangka, Jaemin mengungkapkan apa yang tersembunyi tentangnya— yang belum pernah terungkap sebelumnya.
“So, apa yang gue pikirin tentang lo itu bener?” Doyoung menginterupsi.
“Lo yang ngebunuh kakak lo sendiri, dan lo yang hampir ngebunuh Zemira di rumahnya. Lo—”
Tawa Jaemin menggelegar. “Hahaha. Gue kira lo bodoh percaya sama semua cerita gue kak.”
“Ah andai kak Taeyong gak ke rumah gue waktu itu, gue gak bakal balik gini lagi.” Imbuhnya. “Tapi, gapapa, kalo gini gue bisa jadi diri sendiri.”
“Mau gue kasih tau gak? Kalo di dalem, Rose udah nitisin dirinya.... dan lagi, Renjun sebagai wadahnya—”
“APA MAKSUD LO?!”
“Santai kak, dia yang mau sendiri.”
Doyoung mengeratkan rahangnya tak percaya. Bukankah Rose hanya bisa menitiskan dirinya pada keturunannya saja? Itu berarti hanya Irene dan Jeno yang bisa—
Kini kedua bola mata Jaemin berubah. Doyoung yakin ia sedang berusaha melawan dirinya sendiri. Lelaki itu mengerang, kulitnya berubah putih pucat dengan otot-ototnya yang hampir keluar. Sebilah pisau itu ia arahkan pada lehernya, namun sesekali tangan yang lain menahan aksinya.
“JAEMIN!!!!” Teriak Doy ketika benda itu lolos menembus lehernya.
Sebuah kematian yang diinginkan. Pengabdian, juga jiwa-jiwa yang ditukar percuma.
Bukan tak peduli dengan Jaemin, tapi ada hal lain yang harus segera ia selesaikan. Doyoung berlari menuju Gereja.
Matanya terbelalak melihat suasana di dalam sana. Paman, Jungwoo, Lucas, juga Winwin berlumuran darah bersandar lemas di sebuah papan. Lantas Lucy.... ia sudah kehilangan nyawanya.
Mereka masih berusaha menyelesaikan upacaranya.
“Kak tolong....”
Suara yang baru saja Doyoung dengar, ia yakini bahwa suara itu milik Jeno. Tapi bukankah ia sedang berada dalam upacara itu—
“What the fuck?!” Umpatnya lirih. Penglihatan dua sisinya— menampakkan jiwa Jeno yang akan diserahkan pada si Tuan. Jika itu seharusnya jiwa Renjun, maka benar kata Jaemin bila Renjun lah yang akan menjadi wadah bagi Rose.
Tak ingin itu terjadi, Doyoung mencari letak cermin mawar dengan hati-hati. Suara langkah kakinya membuat seseorang menyadari kedatangannya.
Jeno.
Entah bagaimana bisa ia yang sedang berada di lingkaran pentagram bersama Renjun itu lepas dari upacara.
Lelaki itu menunjuk sudut dimana cermin itu diletakkan. Dan sialnya, cermin itu terikat di meja altar dan terhubung dengan tangan Taeyong.
Gimana bisa? pikir Doyoung.
Proses penitisan sedang berlangsung, jika Doyoung nekat mengambil sebuah cermin itu apakah nantinya ia yang akan menjadi sasaran?
Seperti ia menjadi satu-satunya orang yang bisa diandalkan saat ini, Doyoung berjalan mengarah pada meja altar. Meneguk ludahnya kasar. Merasakan peluh mengucur deras akibat kegelisahannya.
Ingin sekali ia membantu Paman dan teman-temannya lebih dulu, tapi ia sadar bahwa sudah tak tersisa cukup banyak waktu untuk itu.
Tangannya berhasil memegang cermin, tapi apakah bisa ia membawa lari benda itu? Dadanya terasa sesak, ia mulai menoleh ke semua arah. Merencanakan bagaimana agar ia bisa langsung keluar.
Jeno masih tersadar disana, memperhatikan Doyoung dan menganggukkan kepala, seperti berkata “cepat ambil dan hancurkan!”
Doyoung meremat rambutnya. Penglihatan dua arahnya yang masih terhubung dengan Zemira membuatnya bingung harus berbuat apa.
“Ze.... lo pasti bisa Ze, lo pasti bisa....” ujarnya lirih.
Ia ingin membantu Zemira saat ini karena gadis itu dihadapkan oleh si bungsu yang jiwanya sudah dikuasai oleh makhluk menyeramkan.
Menunggu waktu yang tepat, Doyoung sesekali melihat kearah Renjun yang tengah mengerang sembari mencengkeram lengannya sendiri. Doyoung yakin, Renjun masih ada disana. Setidaknya ia melawan agar makhluk itu tak sepenuhnya menguasai dirinya. Agar dirinya tak menyakiti Kakak tersayangnya.
Gerakan tiba-tiba membuat jantungnya berhenti berdetak.
Haechan, Chenle, dan Irene bersamaan menyingkap tudung. Rupanya mereka merasa ada hal yang salah.
“Shit!” Umpat Doyoung ketika ketiganya menoleh bersamaan dengan sorot mata yang tajam.
Lelaki itu seketika menarik cerminnya, membuat Taeyong pun terhenyak. Secepat kilat, Taeyong mencengkeram leher Doyoung dengan kuku-kuku tajamnya yang berhasil menancap disana. Membawanya ke dalam lingkaran pentagram dengan lilin-lilin disekitarnya yang mulai redup.
Lelaki itu berusaha menghempaskan cerminnya, namun tertahan karena Irene lebih dulu merampasnya dari genggaman.
Doyoung melihat Zemira berhasil lari membawa cermin disana, namun ia sendiri yang terperangkap. Nafasnya sudah tersenggal-senggal karena cekikan hebat dari Taeyong.
Brugggg!!!
Jeno menabrakkan dirinya ke tubuh Taeyong. Dengan sempoyongan ia mendorong Irene dan menarik Doyoung untuk keluar dari bangunan itu.
“KAK BIAR GUE YANG MECAHIN CERMINNYA!!”
“SEKARANG LO BALIK KESANA TOLONGIN KAK ZE!!”
Doyoung sudah diambang pintu, ia menatap Jeno tak percaya.
“PERCAYA SAMA GU—E AAKHGG!!” Erangnya ketika Taeyong dengan mudahnya menyeret tubuh Jeno.
Sebagian tubuh Jeno rasanya sudah tak berfungsi lagi karena ia pun mulai dikuasai oleh makhluk lain yang akan memakan jiwanya.
Cermin yang ada digenggamannya, ia percaya bahwa dirinya mampu menghancurkan benda itu dan membiarkan semua berakhir.
Jeno tak peduli bila ia harus kehilangan sosok Ibu untuk selama-lamanya, karena baginya sosok Ibu telah lama mati. Ia mengerti konsekuensi ketika cermin dihancurkan, ia sudah siap bahkan kehilangan Kakak dan orang terdekatnya, ia sudah siap.
Tapi, ada satu hal yang tak bisa lepas dari pikirannya kini. Dengan tubuh lemah, ia menoleh kearah sahabatnya; Renjun. Jeno merasa sangat bersalah dan takut apabila sahabatnya itu tak tertolong.
Sebelumnya, Renjun mengerti apabila Rose akan menitiskan dirinya pada tubuh Jeno. Renjun pun mengerti bagaimana perasaan Jeno. Ia tak sepenuhnya bersalah, karena ia sedang dikendalikan oleh sesuatu hal yang tidak ia inginkan.
Jeno banyak bercerita pada Renjun, bagaimana ia hidup sendiri, bagaimana rasanya tak diakui oleh sosok Kakak satu-satunya yang ia miliki, dan bagaimana hancurnya ketika mengetahui hal-hal buruk tentang Ibunya.
Renjun hanya merasa bahwa setiap orang itu berjuang, setiap orang punya hasrat untuk melangkah dengan cara dan dengan pilihannya masing-masing. Inilah cara dan pilihan yang diambil oleh Renjun. Jeno orang yang baik, tapi ia belum sempat menjalani hidup yang baik. Terasa kurang adil jika ia berakhir menjadi seseorang yang sama sekali tidak menggambarkan Jeno yang Renjun kenal.
Jeno terus memandangi sahabatnya lamat-lamat. Memandanginya yang sudah putih kepucatan, mengerang kesakitan, pun menatap Jeno dengan mata yang tajam.
Tanpa pikir panjang, Jeno menghancurkan cermin di tangannya dengan sekali hentakan.

“HANCURKAN SEKARANG ZEMIRA!!!!”
Zemira menutup kedua mata dengan air mata yang masih mengucur deras. Ia hentakkan cermin itu ke tanah dan menghancurkannya dengan batu yang sudah ia siapkan di sakunya. Menghancurkan cermin itu menjadi kepingan-kepingan kecil.
Kemudian tubuhnya terjatuh lemas dengan deru nafas yang tak beraturan. Ia tersenyum lega ketika berhasil menghancurkan benda itu.
.
.
.
.
.
Suara erangan kesakitan, bahkan suara makhluk mengerikan sahut menyahut menggema di seluruh ruangan. Jeno menjadi saksi bagaimana Haechan dan Chenle membunuh dirinya sendiri, mencakar kulit-kulit tangannya hingga mengelupas. Saksi bagaimana Kakak yang ia sayang mendongakkan kepala seperti ingin mencabut lehernya. Saksi bagaimana tubuh Taeyong terhempas kesana kemari hingga Rose keluar dari tubuhnya dan seketika lenyap.
Dan saksi bagaimana Renjun berjuang mati-matian dengan kesadaran yang mulai menghilang, ia tersenyum menghadap Jeno dengan bola mata yang masih menghitam—
Suasana mendadak sepi dan sunyi, hanya ada Jeno tersadar sendiri. Ia ketakutan, menangis merengkuh kedua kakinya. Menenggelamkan wajahnya disana, dengan keadaan bersimbah darah.
Krieett
Doyoung membuka pintu dengan susah payah. Zemira sudah tak sadarkan diri berada di punggungnya. Mereka berdua pun keadaannya tak jauh berbeda dengan Jeno. Bahkan gadis itu bisa saja kehilangan nyawanya karena ia lebih dulu tak sadarkan diri di alam sana.
Lelaki itu tersenyum kearah Jeno, sembari menyandarkan tubuh Zemira pelan.
Thank you for being an angel, Jeno....
Sudah lewat tengah malam. Doyoung menghubungi tim evakuasi agar dirinya dan juga yang lain dapat tertolong.
Malam itu, Silent Hill menjadi saksi bisu untuk kesekian kalinya atas perjuangan melawan sesuatu yang tak seharusnya ada di dunia....
Sesuatu yang tak seharusnya menghancurkan sebuah hubungan manis yang telah lama tercipta; Ghost Hunter Genk. Sebuah hubungan romantis yang baru saja dirajut; Zemira, Taeyong. Sebuah hubungan solid nan berbobot; Mental Breadtalk Genk.
Dan sebuah hubungan Kakak-Adik yang mengambil jalan berbeda dan kini kehidupan memisahkan mereka; Zemira, Renjun. Tetapi mereka berdua akan selamanya terikat, because being brother and sister means being there for each other.
.
.
.
.
.
©️ souljaehyunn