souljaehyunn

”Kamu tidak akan berhenti melihat hal ini.”

”… aku tidak tau apakah kau akan bisa mengubahnya.”

Seorang lelaki keras kepala yang selalu tidak memperdulikan sekitarnya. Semena-mena keluar masuk ruang kelas, dan meski begitu ia cukup pintar untuk dapat mempertahankan IPK tingginya. Mungkin beberapa dosen gemas dengannya, membuatnya harus pergi menemui dosen untuk mendengarkan segala ucapan-ucapan.

“Pak kalau sudah selesai saya ijin kembali ke kelas.” Pamitnya sembari membungkukkan badan.

Itu bukan alasan utama, melainkan kejadian setelah ini di ruang dosen akan merusak konsentrasi juga merubah moodnya lagi.

Kedua orang tua Mark baru saja masuk ke dalam ruangan ketika Dejun melangkahkan kaki keluar.

Segala kejadian yang belum terjadi telah dilihatnya meski semua tumpang tindih. Berjalan sendiri di trotoar dengan menghimpit ponsel diantara bahu dan telinga. Sedang mencoba menghubungi seseorang.

Duduk di sebuah cafe yang cukup ramai dengan segelas lemon tea hangat, Dejun sebenarnya menunggu seseorang datang.

Klinggg

Zemira.

Gadis itu yang sedang ia tunggu. Tak ada maksud lain selain melihat pembuktian atas apa yang sudah ia lihat lebih dulu.

Zemira duduk menunggu seseorang pula. Tampak gelisah ketika tiba-tiba saja ia berbincang dengan kekasihnya—Taeyong. Tidak. Itu bukan Taeyong, Dejun bisa melihat dengan wujud aslinya.

Beranjak dari tempatnya, Zemira pergi menuju toilet. Mata Dejun menyipit untuk memperjelas penglihatannya. Wanita itu, yang duduk bersama Zemira tadi menolehkan kepalanya. Menatap Dejun tajam. Ia sendiri tak tau pasti apa maksud tatapannya. Kemudian sosok wanita itu hanya berlalu pergi.

Tak lama, Jaehyun; lelaki yang Zemira tunggu datang. Celingukan mencari gadis itu di setiap sudut cafe yang ramai. Entah tergesah atau apa, ia hampir keluar dari sana tapi Dejun lebih dulu menahannya.

“Cari Zemira? Dia di toilet.” Ujar Dejun singkat.

Berdiri di koridor kampus dengan menenteng tas punggung, Dejun berjalan fokus pada ponsel yang menyala. Ia tak sengaja melihat Zemira berlarian menuju anak tangga dengan nafas yang tersenggal-senggal.

Dejun sungguh ingin mengabaikannya. Tetapi sosok setelahnya yang menyita atensi lelaki itu.

Taeyong berjalan dengan angkuhnya. Itu benar kekasih Zemira, namun sosok lain di sampingnya melayangkan tatapan tajam lagi kepada Dejun.

Acara untuk segera pergi menemui temannya; Kun, terhambat karena rasa penasaran yang semakin mendalam.

Tiba-tiba saja Lucy berdiri mengatur nafas di samping Dejun. Diikuti dua bocah laki-laki berseragam putih abu.

“Zemira tadi keatas?” Tanya Lucy pada Dejun yang hanya dibalas anggukan.

“Sama kak Taeyong?!” Renjun melempar pertanyaan pula.

Dejun mengangguk lagi. Raut wajah Renjun mulai resah, ia dapat melihat itu. Sesuatu yang buruk akan terjadi, dan akan selalu jika Zemira tak mengetahui siapa lawannya.

“Kak, panggilin kakak gue dong please please. Ajakin turun kemari.” Renjun memohon pada Dejun. “Sorry ieu tiba-tiba minta tolong gini. Tapi teh Lucy kagak berani.”

”Sumpah bukan urusan gue, bukan urusan gue, bukan urusan gue.” batin Dejun.

“Gue minta nomer lo.” Dejun menyodorkan ponselnya pada Adik dari Zemira.

“Panggilin Kak Ze tapi ya kak??? Yaaaa???”

Tanpa jawaban dari Dejun, ia sudah mengetikkan nomornya dan kemudian menyerahkan benda itu pada pemiliknya.

Lelaki itu menarik lengan Lucy dan pergi dari sana. Bukan, bukan pergi untuk menjemput Zemira di rooftop, tapi pergi untuk pulang.

“LAH? KAK!!! Katanya mau nolongin gue?” Protes Renjun.

“Gue gak bilang iya.”

“AWAS AJA LU KAK GUE SUMPAHIN GAK BISA KENTUT SEBULAN.” Teriak Renjun kesal yang kemudian di tenangkan oleh Jeno.

. . .

Sejak saat itu Dejun mencoba menggali sesuatu dari Renjun. Dirinya sendiri yang menyuruh Renjun untuk tidak menamai kontak dengan nama aslinya.

Dejun.

Hidup seperti manusia normal pada umumnya— tidak. Tak ada harapan bagi Dejun untuk itu. Setiap malam ia harus terbangun dengan keringat yang bercucuran, nafas yang tersenggal-senggal, pikiran yang kacau tak karuan.

Sudah lama mimpi itu menghantui malamnya. Seorang gadis kecil yang selalu menyita perhatiaannya. Gadis kecil yang entah berada dimana. Ruang gelap bawah tanah dengan satu jendela untuk masuknya kehangatan yang selalu jadi sandarannya. Meringkuk di lantai dingin tanpa alas. Menyerukan satu nama yang tak terdengar. Dan setiap kali Dejun mencoba mendekat, gadis itu sudah bersiap menancapkan benda tajam pada lehernya.

Satu langkah saja, ia akan menggoreskannya. Mengingatkannya pada Zemira yang selalu ingin melukai dirinya maupun orang sekitarnya.

Kali ini Dejun tengah menyendiri di kamarnya setelah ia bertemu dengan Kun, Jisung, juga Jaemin. Ia tampak lega karena ketiganya kembali kepadanya.

Siapa sangka Dejun benar-benar nekat membawa tiga tubuh itu kembali padanya. Iya. Renjun, Jaemin, Taeyong, yang sempat dikabarkan tubuhnya menghilang itu Dejun lah yang membawa mereka— kita bahas lain waktu.

Jaemin, benar-benar selamat dengan jiwanya sendiri. Meski Dejun tau luka yang terdapat di lehernya cukup dalam dan menyakitkan. Keajaiban? Atau memang Tuhan terlalu Maha Penyayang hingga memberikan kehidupan kedua untuk Jaemin?

Dejun semakin sering melihat sesuatu yang tumpang tindih, seperti ada dua kejadian yang berbeda terjadi bersamaan.

Kini, seseorang telah membawa Zemira pergi—sangat jauh hingga siapapun tak bisa menjangkaunya. Kejadian yang lain, Zemira pergi untuk menyelamatkan dirinya namun dengan melepaskan jiwanya pergi. Hal yang tidak seharusnya dilihat, maka kejadian selanjutnya adalah pembuktian.

Kontak dengan nama Jeno tertera di layar ponselnya. Dejun sudah ingin menghubunginya, namun ponselnya lebih dulu berdering.

”Halo, kak….”

Panggilan tersambung. Itu suara Jeno sedikit bergetar.

”Kak Ze gak ada di kamarnya.”

Setelah itu hanya helaan nafas gusar. Dejun tak mengatakan apapun. Ia langsung memutus sepihak sembari menyambar kunci motor yang menggantung di dinding kamar.

_ “Kamu tidak akan berhenti melihat hal ini.”_

”Kamu akan melihat sekelebat masa depan yang buruk terjadi. Aku tidak tau apakah kau akan bisa mengubahnya.”

”Kamu bahkan tidak meminta ini kan? Jadi nikmatilah saja.”

“DIEM LO!”

Memiliki ketajaman indera keenam membuat Dejun harus mendengar kalimat-kalimat itu lagi, setiap kali dirinya melihat atau mendengar kekerasan, kehancuran, dan kekejaman, ia pun akan merasa sedih dan marah juga.

. . .

“Awalnya gue ngobrol lewat chat, karena waktu itu pintu kamar gue kebuka, gue ngelihat Kak Doy masuk kamar Kak Ze.”

“Lo yakin itu Doyoung?”

“Ya gue yakin karena emang itu dia, tapi Kak Ze bales gini.” Jeno menunjukkan ponselnya.

“Dia bukan Doyoung.”

Jeno mengernyit tak paham. Dejun memberikan jeda cukup lama sembari menelisik sudut-sudut kamar Zemira yang kini tak berpenghuni. Lantas kalimat selanjutnya yang terucap membuat Jeno terkesiap.

“Jungwoo—kakak sepupunya Doy.”

“Dia yang dateng kesini.”

Jeno meraih ponselnya. Beberapa kali ia menghubungkan panggilan pada Zemira namun tak ada jawaban.

”Nomor yang anda tuju sedang tidak dapat dihubungi, cobalah beberapa saat lagi.”

Mencari nama kontak yang lain ‘kak Doyoung’.

Tersambung.

Namun hanya nada tunggu yang ia dengar. Doyoung tak mengindahkan panggilan masuk dari Jeno.

Sekali lagi.

”Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, cobalah—“

“ANJING!” Lelaki itu mengusap wajahnya kasar. “Kak terus dimana kak Ze?! Bantu gue cari please.”

Dejun mengangguk cepat. “Pasti.”

Memiliki intuisi dan persepsi yang tajam juga membuat Dejun sangat intuitif. Ia dapat sering mengintuidasi tindakan terbaik serta mengetahui hal-hal tentang orang lain yang rahasia atau tersembunyi.

Mengendarai motornya dengan laju secepat kilat membuat Jeno yang duduk dibelakangnya memegang bahu Dejun erat. Aneh. Tak ada kejadian yang ia lihat sejauh ini mengenai Zemira. Dirinya mulai gusar melajukan motornya ke tempat yang akan ia tuju.

“Kak gila gue sesek napas.” Eluh Jeno ketika mereka berdua baru saja sampai di sebuah rumah dengan halaman yang luas. “Ieu rumah siapa dah?”

“Rumah Kun.” Jawab Dejun singkat sembari beranjak mendekat pintu depan.

Memencet bel beberapa kali kemudian tak lama Kun muncul dari balik pintu. Terkejut dengan hadirnya Jeno disana.

“Jun…. Lo udah cerita ke dia?” Tunjuk Kun yang langsung menutup rapat pintu depan.

Dejun menggeleng.

“Cerita apa?” Jeno linglung tentu saja.

“Jen sebelum masuk, gue mau bilang ini ke lo. Kalo jangan tanya tentang apapun sekarang. Dan jangan kasih tau apa yang lo lihat ke orang lain, termasuk Zemira.” Dejun mempertegas ucapannya.

“Kenapa gue gak boleh bilang ke kak Ze?”

“Lo mau masuk apa diem diluar aja?!” Tukas Kun yang langsung membuat Jeno mengatup. Lantas mengangguk.

Kun mempersilahkan keduanya masuk ke rumah. Bertemu dengan Jisung, lantas Dejun mendahului langkah mereka menuju ke satu ruangan.

Seketika tubuh Jeno terjatuh. Berlutut memandang tak percaya. Jaemin yang duduk di kursi roda, kemudian Renjun dan Taeyong yang terbaring dengan banyaknya selang dan suara ventilator menguasai ruangan.

Rasanya seperti mimpi ketika melihat tiga orang ini. Berusaha menegakkan tubuh dan berjalan kearah bangsal, Jeno menangis. Ia tak bisa menahan perasaan sedih bercampur bahagia. Bahkan ia sendiri tak tau mana perasaan yang harus lebih dulu ia utarakan.

Jeno menggenggam tangan Renjun. Mengucap kata maaf berulang kali. Melihat itu, Dejun menjauhkan Jeno dari sana agar lelaki itu menenangkan dirinya lebih dulu.

Lantas mereka semua pergi meninggalkan Dejun sendiri di ruangan. Hanya ada Dejun, dan kedua tubuh yang terbaring lemah.

“Kakak lo hilang, sorry gue gak bisa ngerubah alur kehidupan sekalipun gue pengen.”

“Firasat gue dia dibawa ke Inggris, tapi gue gak tau. Belum ada kejadian yang gue lihat, tapi firasat gue….”

Untuk pertama kalinya, Renjun menjawab ucapan Dejun membuat lelaki itu tertegun.

“Akhirnya lo ngomong setelah sekian lamanya.”

“Iya, gue bakal cari dia.”

cicatrize – home

“Mbak, tolong kemasi baju Sandika dan masukkan ke dalam koper.” Ujar sang kepala keluarga sambil meninggalkan ruang makan.

Setengah berlari Sandika menuruni anak tangga menuju lantai bawah. Padahal ia tengah bersantai di kamar yang sudah lama tak terjamah. Pintu kamarnya terbuka membuat lelaki itu mendengar suara lantang Ayahnya.

“Yah?!” Panggil Sandika menatap selidik. “Ngapain si Mbak suruh ngemasin barang Dika?”

“Ayah daftarin kuliah di Jogja.”

“Emang Dika setuju? Ayah gak ada bilang apa-apa sama Dika!” Sandika menjawab kesal.

“Terus mau jadi apa kamu? Pengangguran! Gak kerja, gak kuliah, kerjaannya balap mulu!” Ayah membentaknya.

“Kuliah ya? Ikutin saran Ayahmu.” Seorang wanita merangkul bahu Sandika dan mengusapnya. Namun tak lama lengan itu ditepis.

“Ada hak apa lo nyentuh gue?”

“SANDIKA!!”

Plakk!

Sebuah teriakan disertai tamparan jatuh mengenai Sandika hingga tembus ke ulu hatinya. Membuat pipi kirinya berubah kemerahan.

“Ini kenapa Ayah nyuruh kamu kuliah! Biar kamu lebih berpendidikan! Biar kelakuan kamu gak liar kayak binatang buas gini!”

“Minta maaf sama Bunda kamu!”

Tangan Sandika mengepal menahan geram. Ia memangkas jarak antara dirinya dengan sang Ayah. Matanya memerah.

“Bunda?” Tersenyum tanpa dosa. “Bunda udah lama mati.”

“ANAK SETAN LO!!” Kini suara lantang itu datang dari ruang makan. Jean beranjak ketika mendengar kalimat yang dilontarkan Sandika.

“Jean!” Teriak Ayah.

Setelah itu, Sandika menghilang dari pandangan, membalikkan badan berlalu menuju kamar. Mengambil ponsel dan kunci mobil yang tergantung di dinding.

“Nak Dika mau kemana?” Tanya si Mbak.

“Balik.” Jawabnya singkat.

Jean menghadang Sandika di anak tangga bawah tetapi lelaki itu tak mengindahkannya. Ia menerobos hingga tubuhnya terbentur keras tubuh Jean.

“Lo mau kemana?”

“Bukan urusan lo!”

“KEMANA?!” Jean meraih lengan Sandika yang langsung terhempas.

“BUKAN URUSAN LO ANJING!” Teriak Sandika tak kalah.

Dengan kecepatan tinggi, ia mengendarai mobilnya meninggalkan rumah mewahnya.

Mobil Sandika menerobos masuk pelataran sebuah rumah sederhana dengan halaman luas. Deru mobilnya membuat sang pemilik rumah muncul di pintu untuk melihat siapa yang datang.

“Sandika?” Bunda Alisha terkejut melihat kehadirannya.

“Caca ada Bunda?” Sandika— sembari mencium tangan.

“Haduh Caca kalau jam segini masih tidur, kan lagi libur kerja dia.” Ujar Bunda sambil mengajak masuk ke dalam. “Kamu bangunin sendiri gih.” Titahnya.

Sandika mengangguk, kemudian melangkahkan kakinya membuka pintu kamar kekasihnya. Gadis itu masih meringkuk tidur.

“Caaa….” Tangannya menempel pada pipi Alisha. “Bangun.”

Alisha merasakan hangat di wajahnya, mengerjapkan mata. “Caca masih ngantuk Bunnnnnn.” Merengek manja.

Sandika terkekeh. Gadis itu malah semakin mengeratkan selimutnya, berat untuk membuka mata.

“Ca, ini Sandika. Kalo kamu gak bangun aku pulang nih.” Bisiknya tepat di telinga Alisha.

Kedua matanya terbuka lebar, melonjak bangun. “Loh? Loh????” Tunjuknya.

Melihat kekasihnya terbangun. Bertumpu pada lutut, ia membawa dirinya masuk ke celah tubuh Alisha. Membuat gadis itu terkejut, namun membalas pelukan Sandika sembari menepuk pelan punggungnya.

“San?”

Just let me be like this for 5 minutes.” Ujar Sandika sembari mencari posisi nyamannya.

“Yahhh capek dong gue…”

“Caaaaa.” Rengeknya.

“Hehe iya iya.”

soulless -2

“Zemira ini gue!” Suara lantang Dejun dari luar pintu kamar.

Ceklek

Gadis itu menatap sayup Dejun yang sedang membuka pintu dan menjulurkan kepalanya. Lelaki itu tersenyum. Bukan tersenyum senang atau bahagia melihat temannya duduk bersandar seperti itu, melainkan senyuman miris yang ia lemparkan.

Ruang kamar Zemira tampak berbeda. Sepertinya Doyoung maupun Jeno telah merapikan isi ruangan. Bahkan ini bukan seperti ruang kamar, lebih ke ruang isolasi yang hanya berisi tempat tidur, juga meja kecil tanpa laci.

Lelaki itu berdiri di depan jendela kamar. Memperhatikan luka-luka Zemira yang masih basah. Wajah putih nan elok dihiasi luka memar, sayatan di pelipisnya, lengan tangan yang diperban akibat pecahan kaca pigura, dan masih banyak lainnya.

“Gimana lo sekarang?” Dejun memecahkan lamunan Zemira.

“Gak gimana-gimana.” Jawabnya singkat. “Cariin kunci, please.”

Dejun mengangguk. Bertemu tatap dengan Zemira membuat dirinya gugup. Tatapan kosong.

“Jun....”

“Iya gue cariin.” Tukasnya sembari berjalan keluar kamar dan mengunci pintu itu kembali.

Sebenarnya Dejun tau letak disimpannya kunci itu, namun ia hanya berpura-pura berpihak pada Zemira. Berpura-pura agar gadis itu lega. Dirinya memang tak berniat untuk membebaskan Zemira dari sana.

Dejun merangkai kalimat agar tak menyakiti hati Zemira. Kemudian saat rangkaian kata telah tertancap di pikirannya, ia buka kembali pintu kamar.

Terkejut dengan apa yang dilihat.

Zemira berdiri di samping ranjangnya, menatap kosong Dejun yang terdiam di ambang pintu.

“Z-Ze?....” sapa Dejun memastikan. Namun tak ada jawaban, dengan setianya ia menatap Dejun. Kosong—

“Ze?! Lo masih sadar kan?”

Satu langkah Dejun membuat gadis itu mengangkat tangan yang ia sembunyikan di punggungnya.

“ZEMIRA!” Dejun tercekat mengetahui apa yang Zemira genggam. Pisau lipat yang entah mengapa bisa ada disana. “Ze-Zemira lo harus sadar!”

Zemira mengarahkan benda itu sejajar dengan lehernya. Menyeringai. Dejun panik setengah mati. Keringatnya bercucuran. Terdiam mematung. Ia takut jika melangkah sedikit saja temannya itu akan berbuat lebih.

“Zemira, if it's not you, please don't hurt her.” Suara Dejun bergetar.

Tawanya menggelegar. “Kenapa? Wouldn't it be better if she died?”

“Ze, lo harus sadar.” Lirih Dejun.

Deru mobil yang masuk ke dalam pelataran membuat atensi Zemira pada Dejun terganggu. Di saat itu lah dengan berani lelaki itu menabrakkan tubuhnya pada Zemira untuk mengambil pisau.

Tubuh Zemira tersentak ke lantai. Membuat dirinya tertindih tubuh Dejun. Terus berusaha merampas benda itu dari tangannya. Zemira benar-benar kuat hingga beberapa kali ia berontak dan menendangi tubuh lelaki diatasnya.

Tangan Zemira sudah hampir menusukkan benda itu pada lengan lawannya, namun dengan sekuat tenaga Dejun menahan kedua tangan Zemira.

“ZEMIRA SADAR ZE!!”

“DENGERIN GUE! DENGERIN SUARA GUE LO HARUS SADAR ZEMIRA PLEASE LAWAN!”

Buaghhh!!!

Buaghhh!!!

“ANJING LO!!”

Buaghhhh!!!

Dejun tersungkur karena tubuhnya tiba-tiba di tendang habis-habisan.

“Jen! Lo apa-apan anjir!”

Jeno— yang baru saja menghujani Dejun dengan tendangan. Membuat Zemira meloloskan dirinya. Lelaki itu berdiri dengan nafas menggebu.

Gadis itu beranjak berdiri di belakang Jeno, dengan sebilah pisau yang masih berada di genggamannya. Ia menyeringai lagi ketika bertemu tatap dengan Dejun.

“JENO DI BELAKANG LO—”

Dejun menarik tangan Jeno hingga terjatuh. Zemira memburu Jeno lagi. Terus menyerangnya karena lelaki itu berhasil menghindar. Dejun mencoba membantu Jeno meski dirinya mengeluh sakit, memegang sekitar perut.

Tak ada jalan keluar bagi Jeno ketika dirinya dihimpit oleh meja kecil dengan Zemira dihadapannya.

Lelaki itu ketakutan. Tubuhnya bergetar tak sanggup beranjak. “K-kak....”

Mereka bertemu tatap, dengan mata Jeno yang membasah. Memelas di depan Zemira. Seketika tubuh gadis itu melemas. Benda yang ada di genggamannya terjatuh.

“Dek— Injun....”

image

soulless.

Duduk perlahan dan hati-hati di tengah dua gundukan tanah. Sambil memangku beberapa tangkai bunga, gadis cantik itu menengadahkan wajahnya ke atas. Langit biru dengan cahaya mentari yang tersenyum menenangkan. Angin sejuk bergulir lembut menerbangkan sisa-sisa daun kering.

Pipi putih Zemira juga basah. Ia termangu dalam sendunya. Sayup-sayup menatap dua batu nisan milik orang yang sangat berharga dalam hidupnya.

Satu bulan? Mungkin sudah satu bulan ia hidup patuh pada aturan yang Doyoung berikan. Mungkin sudah satu bulan juga Jeno kembali pulih. Mungkin sudah satu bulan, ia memutuskan untuk hilang kontak dengan semua orang.

Pagi tadi gadis itu pergi ke Kampus. Bukan untuk dirinya, tapi untuk mengantar Jeno yang baru saja resmi menjadi mahasiswa baru disana.

Disaat teman satu jurusannya mendapat gelar Sarjana, ia hanya bisa mengucap selamat tanpa tau bagaimana rasanya. Ya, Zemira melepas pendidikannya. Ia sudah kehilangan banyak hal, termasuk semangat hidupnya.

Ia sudah menyerah dengan kutukan atau jiwa lain yang tengah menguasai diri. Segala harap tentang ditemukannya tubuh sang Adik pun pupus. Miris. Kini gadis itu hidup hanya untuk menikmati sisa waktunya. Tak ada alasan lain.

“Udah lama lo gak nampakin diri.”

“Cih. Nyenyak banget pasti tidurnya. Dasar!”

Zemira berdecih menghapus air matanya. Mengusap perlahan nisan milik si bungsu. Bayangan yang biasa ia lihat sudah tak pernah lagi menampakkan diri. Apa Dokter benar? Bila selama ini ia mengalami gangguan jiwa sehingga terus melihat bayangan sang Adik, juga terkadang bayangan dirinya sendiri. Jika benar, itu hanya halusinasi yang timbul akibat guncangan dan rasa rindunya pada Renjun.

Zemira tidak menoleh sama sekali. Ia tekun menunduk merapikan tangkaian bunga untuk diletakkan di atas gundukan tanah milik Taeyong juga Renjun. Setelah selesai dengan itu, barulah ia membersihkan sisa-sisa tanah yang menempel di celananya. Berdiri dengan pikirannya yang gundah sudah berlari entah ke mana.

“Cantik kaaaannn?” Ia tersenyum meski sudut matanya masih basah. “Tidur nyenyak ya Injunnya Kakak. Hehe. Taeyongnya aku juga.”

Padahal ia tau gundukan tanah itu tak berpenghuni, tapi Zemira terus mencoba untuk berfikir bahwa mereka ada disana.

Jika sang surya sudah mulai bersembunyi seperti ini, hal yang harus Zemira lakukan adalah pergi ke kantor tempat dimana Doyoung bekerja. Seperti sudah kebiasaan, gadis itu menunggu disana sampai jam pulang.

Tentang hubungan mereka berdua— entahlah Zemira masih belum mengakui bila ia pun menaruh harap.

Berjalan santai menunduk dengan kedua tangan di dalam saku, membuatnya tak menyadari apa yang ada di depan sana. Dua orang mendekat. Satu duduk di kursi roda, dan satunya berjalan mendorongnya.

“Kak Ze!!!” Panggilan seorang lelaki membuat Zemira mengangkat wajahnya.

“Loh?! Jisung!!!”

Zemira melambai dengan senyum merekah ketika bertemu tatap dengan Jisung. Ia mempercepat jalannya guna memangkas jarak mereka.

Terhenti.

Jarak mereka tersisa 6 meter namun gadis itu tak melanjutkan langkahnya. Senyumnya pun pudar saat menyadari siapa yang duduk di kursi roda. Tubuhnya lemas dan terjatuh begitu saja.

Kenapa? Kenapa Semesta seakan mempermainkan dirinya? Zemira sudah berusaha menata hidup barunya, menghapus ingatan akan hal buruk yang pernah terjadi. Tapi kenapa ia harus dihadapkan kembali dengan seseorang yang telah lama menghilang?

Jaemin.

Lelaki itu diam saja tak mengucap sepatah kata pun. Beradu tatap dengan Zemira, hingga gadis itu harus merotasikan matanya. Kembali menunduk.

“Kak Ze pasti kaget banget?” Tanya Jisung seraya mendekat. “Lo kenapa ngehindarin gue mulu kak?”

Hening. Jisung berjongkok di depan Zemira. Sedangkan lawannya tekun menunduk.

“Kenapa dia hidup?”

Pertanyaan yang lolos dari mulut Zemira membuat sudut mata Jaemin membasah.

“Ji, jawab gue kenapa dia masih hidup?” Ia menatap Jisung dengan tatapan kosong.

“Kak, Jaemin lumpuh.”

Tanpa diberi tau pun Zemira sudah berfikir seperti itu. Dilihat dari Jaemin yang hanya duduk disana, menatap mereka berdua.

“Jadi kenapa dia bisa sama lo?”

Jisung menoleh ke belakang, menatap Jaemin yang hanya mengedipkan matanya cukup lama. Sepertinya ia mempersilahkan Jisung untuk menjawab pertanyaan Zemira.

Adik dari Kun itu menghirup nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Jisung mulai bercerita tentang Jaemin. Menceritakan kejadian dengan runtut. Pertemuan dengan temannya yang telah lama menghilang itu, dan juga mengatakan beberapa kejadian yang membuat Zemira terkejut hingga menutup mulut dengan tangannya.

“Ngelamun aja sih? Kesambet lu ntar.” Doyoung mengusap wajah Zemira, kemudian duduk dan merebahkan dirinya di sofa empuk. “Kenapa?”

Zemira menggelengkan kepala sembari tersenyum. “Gak papa.”

Bohong! Pikirannya penuh dengan cerita Jisung. Mencoba mengaitkan sendiri dengan kejadian di masa lalu. Pikirannya sesak.

“Gimana tadi? Cerita apa aja sama Renjun?”

“Rahasia dong!”

Doyoung tak bisa menyembunyikan senyumnya. Beranjak dari sofa lantas menarik tangan Zemira. “Balik sekarang yuk laper.” Ajaknya.

Gadis itu mengangguk dan mengimbangi langkah Doyoung keluar dari ruang kerjanya.

“Gue masih rapi gak?” Tanya Zemira ketika Doyoung membukakan pintu mobil untuknya.

“Masih sangat amat rapi banget.”

“Lebay!”

Keduanya tertawa. Jika orang lain melihat mereka berdua seperti ini, pasti sudah dianggap bak relationship goals. Pulang kerja bersama orang kesayangannya, saling melempar tawa, sungguh siapapun iri melihatnya.

Zemira merapikan rambutnya di dalam mobil. Menyisir dengan jari-jari lentiknya. Menyita atensi Doyoung di lampu merah.

”....”

Gadis itu merasa dirinya diperhatikan. “Apa? Muka gue lusuh ya?”

Doyoung mengangguk.

“Kata lo tadi masih rapi?!”

“Lo mau lusuh juga tetep rapi. Maksud gue— cantik.”

“Ngalus terus lu mah.” Zemira melayangkan tinjunya di lengan kiri Doyoung.

“Sini liptint lo.”

Zemira merogoh benda kecil itu di saku celananya. Kemudian memberikannya pada Doyoung. Menggeser tubuhnya menghadap lelaki di kursi kemudi.

Doyoung memoles bibir ceri Zemira dengan hati-hati. Ia tatap lamat-lamat bibir itu. Dan berakhir dengan mengusap kedua sudut bibir Zemira dengan ibu jarinya.

“Udah.”

Zemira menyimpan kembali barangnya.

“Mulai besok lawan rasa takut lo.”

“Apa?”

“Balik jadi Zemira yang suka ngaca dong! Balik jadi diri lo. Masa gue terus yang ngebantu molesin.... bibir lo.”

“Lo gak mau? Ya udah sih gue minta tolong Jeno aja mulai be—”

“Ze! Lo tuh.” Doyoung menghela nafas. “Lo gak tau aja apa yang ada di pikiran cowok.”

“Emang apa?” Nada Zemira mengejek.

“Pikir sendiri.”

Gadis itu tertawa, melempar pandangannya kearah jalanan kota. Pikirannya kembali sesak. Ia ingin melihat dirinya sendiri di cermin. Pun memoles dirinya sendiri. Tapi ia terlalu takut. Takut melihat pantulan dirinya yang lain.

Pain.

Dentuman langkah kaki menggema di suatu ruang bawah tanah. Ruangan yang sengaja di bangun untuk tempat pelarian dari rasa kalut berlebihan. Tempat pelarian seorang lelaki yang menyimpan segalanya sendiri.

Rasa sakit, hingga sebuah kebenaran.

Buagh!!

Buagh!!

“Bangun! Bangun gue bilang!!”

Lelaki dengan balutan kain flanel beberapa kali melayangkan pukulan tepat di wajah seorang lelaki yang tak memiliki kesadaran diri.

Sering kali ia melakukannya bukan sebagai tindak kekerasan, melainkan pelampiasan akan keputusasaan.

Tiga orang diatas pembaringan tak pernah membuka matanya, meski pasokan oksigen di dalam tubuhnya telah kembali normal. Banyak bekas jahitan di tubuh mereka, luka-lukanya mulai mengering seiring berjalannya waktu.

Lelaki itu duduk di sebelah alat monitor, memperhatikan gelombang denyut jantung, tekanan darah, hingga frekuensi pernapasan.

Suara ponsel berdering nyaring memecahkan kesunyian ruangan. Satu panggilan masuk, sorot matanya berubah tajam menatap layar ponsel. Sempat mengurungkan niatnya untuk menerima panggilan itu, namun—

“Halo?”

”...”

“Dibawa ke rumah sakit? Lo gila?!”

”...”

“Terus buat apa gue ngerelain waktu satu tahun lebih buat ngurus mereka disini anjir?!”

”...”

“Terserah lo!”

Ia memutus sambungan sepihak. Menghempaskan lengannya dengan ponsel yang masih ia genggam. Kembali merotasikan bola matanya bergantian menatap lelaki yang terbaring disana.

Taeyong...

Renjun...

Jaemin...

Lelaki itu lantas menghampiri sebuah cermin besar di atas meja dengan tiga lilin yang sudah terkikis. Menggantinya dengan lilin baru, kemudian menyulutkan api pada sumbu-sumbu lilin.

Tak lama sebuah bayangan lain memantul pada cermin itu. Diam mematung di belakang seorang lelaki yang tengah menatapnya melalui pantulan cermin.

Menunggu saudaranya pulang, lelaki itu duduk di teras dengan sebatang cerutu menyala yang ia apit diantara jari telunjuk dengan jari tengahnya.

Pukul dua belas malam, kejadian tragis kembali terputar bebas. Hampir dua tahun sudah ia membawa tiga tubuh itu. Entah keajaiban Tuhan, atau memang sisa jiwanya belum berpulang, ketiganya masih bisa terselamatkan. Meski kondisi mereka tak pernah ada kemajuan.

Menghela nafas kasar sembari menyibakkan rambut, ia bergumam sendiri. Mengeluh karena banyak waktu ia korbankan hanya untuk membuat mereka bertahan hidup. Mengeluh karena ia harus mengorbankan ruangan favoritnya tersita untuk merawat mereka.

“Zemira.... lo harus bertahan juga.”

Pain.

Dentuman langkah kaki menggema di suatu ruang bawah tanah. Ruangan yang sengaja di bangun untuk tempat pelarian dari rasa kalut berlebihan. Tempat pelarian seorang lelaki yang menyimpan segalanya sendiri.

Rasa sakit, hingga sebuah kebenaran.

Buagh!!

Buagh!!

“Bangun! Bangun gue bilang!!”

Lelaki dengan balutan kain flanel beberapa kali melayangkan pukulan tepat di wajah seorang lelaki yang tak memiliki kesadaran diri.

Sering kali ia melakukannya bukan sebagai tindak kekerasan, melainkan pelampiasan akan keputusasaan.

Tiga orang diatas pembaringan tak pernah membuka matanya, meski pasokan oksigen di dalam tubuhnya telah kembali normal. Banyak bekas jahitan di tubuh mereka, luka-lukanya mulai mengering seiring berjalannya waktu.

Lelaki itu duduk di sebelah alat monitor, memperhatikan gelombang denyut jantung, tekanan darah, hingga frekuensi pernapasan.

Suara ponsel berdering nyaring memecahkan kesunyian ruangan. Satu panggilan masuk, sorot matanya berubah tajam menatap layar ponsel. Sempat mengurungkan niatnya untuk menerima panggilan itu, namun—

“Halo?”

”...”

“Dibawa ke rumah sakit? Lo gila?!”

”...”

“Terus buat apa gue ngerelain waktu satu tahun lebih buat ngurus mereka disini anjir?!”

”...”

“Terserah lo!”

Ia memutus sambungan sepihak. Menghempaskan lengannya dengan ponsel yang masih ia genggam. Kembali merotasikan bola matanya bergantian menatap lelaki yang terbaring disana.

Taeyong...

Renjun...

Jaemin...

Lelaki itu lantas menghampiri sebuah cermin besar di atas meja dengan tiga lilin yang sudah terkikis. Menggantinya dengan lilin baru, kemudian menyulutkan api pada sumbu-sumbu lilin.

Tak lama sebuah bayangan lain memantul pada cermin itu. Diam mematung di belakang seorang lelaki yang tengah menatapnya melalui pantulan cermin.

Menunggu saudaranya pulang, lelaki itu duduk di teras dengan sebatang cerutu menyala yang ia apit diantara jari telunjuk dengan jari tengahnya.

Pukul dua belas malam, kejadian tragis kembali terputar bebas. Hampir dua tahun sudah ia membawa tiga tubuh itu. Entah keajaiban Tuhan, atau memang sisa jiwanya belum berpulang, ketiganya masih bisa terselamatkan. Meski kondisi mereka tak pernah ada kemajuan.

Menghela nafas kasar sembari menyibakkan rambut, ia bergumam sendiri. Mengeluh karena banyak waktu ia korbankan hanya untuk membuat mereka bertahan hidup. Mengeluh karena ia harus mengorbankan ruangan favoritnya tersita untuk merawat mereka.

“Zemira.... lo harus bertahan juga.”

🔞🔪

Angin kencang disertai hujan tiba-tiba mengguyur sebagian kota tanpa diminta. Cuaca buruk memaksa warga untuk tetap berada di dalam rumah. Memaksa warga untuk menghentikan hari sibuknya.

Banyak yang berkeyakinan bila angin kencang disertai hujan datang setelah pertengahan bulan, menandakan akan datangnya keberuntungan.

Keyakinan dari mana? pikir Zemira.

Bukan hujan di dunia nyata. Hanyalah bunga tidur Zemira semalam. Gadis itu bermimpi berjalan bersama seseorang di bawah derasnya hujan.

Mimpi sering dikatakan sebagai cerminan dari keinginan atau harapan seseorang yang belum terwujud di dunia nyata. Hujan dalam mimpi mengindikasikan perlunya untuk mengkomunikasikan sesuatu— itu benar.

Pun hujan deras dalam mimpi sering kali menjadi indikasi seseorang mengalami depresi. Namun seseorang yang berjalan bersamanya di bawah hujan deras dalam mimpi itu yang menjadi fokus utamanya.

Zemira duduk di dekat altar dengan mendekap tubuhnya yang menggigil kedinginan. Ia hanya menggunakan blouse hitam tipis tanpa outer.

Sejak pukul 1 siang gadis itu berada di bangunan yang sebenarnya tak ingin ia kunjungi lagi. Berkunjung sebentar. Ia hanya ingin memulangkan dua guci milik Adik juga kekasihnya.

Bola matanya menelisik tiap sudut ruangan. Beberapa kali dadanya sesak ketika memori masa lalu terputar. Kedua telapak tangan yang menggosok-gosok lengannya itu berhenti ketika seseorang dengan jubah hitam masuk ke dalam.

Langkahnya terhenti ketika menyadari tengah ada orang lain di dalam. Ia semakin menurunkan tudung yang menutupi kepalanya, berniat menyembunyikan wajahnya.

“Eh? S-siapa?!” Tanya Zemira yang langsung bangun dari duduknya.

“Lo— EH?!!”

Lelaki. Zemira yakin itu seorang lelaki. Belum sempat pertanyaannya di jawab, lelaki itu sudah berlari keluar. Gadis itu tak mengejarnya, ia hanya berjalan kearah pintu untuk menutupnya— memberikan dirinya waktu untuk sendiri lagi.

Pandangan yang menunduk ke bawah membuat Zemira menemukan secarik kertas di tempat dimana sosok lelaki tadi berdiri mematung. Ia ambil kertas itu dan mengantunginya di saku. Melirik kearah jam yang melingkar di tangannya, dengan jarum menunjuk angka 3 dan 12. Pukul tiga sore. Teringat obrolan chat dengan Kun, ia memutuskan untuk pergi dari sana.

Zemira membalikkan badannya sebelum angkat kaki dari bangunan itu, menatap altar dan keenam guci. Semakin ditatap, semakin memberikan luka. “Assalamualaikum....” ujarnya sembari menutup pintu.

Kepulangan Zemira bersama Kun dan Jisung cukup membuat pria yang tengah membukakan pintu itu mengerjapkan matanya beberapa kali. Jeno mematung di ambang pintu rumah. Melihat kakak angkatnya datang bersama dua orang tak terduga.

Jisung menampakkan seulas senyum dengan melambaikan tangan kanannya. “Jeno!”

“Oy Jen! Long time no see.” Timpa Kun.

Hembusan angin kencang siang itu membuat Zemira bergidik dan mengusap-usap kedua lengannya.

“Udah sih? Lo mau berdiri disini berapa lama, Jeno?” Gadis itu sudah membalikkan tubuh bongsor Jeno kemudian mendorongnya masuk ke dalam. “Kun, Ji, masuk.”

Mereka berdua hanya mampir sebentar. Sekedar memberi kabar pada Jeno bila salah satu temannya itu hidup dengan baik. Saking senangnya, Jeno meminta ijin pada Zemira agar Jisung menginap semalam. Dan tentu saja gadis itu memperbolehkannya.

“Kak kok lo potong rambut? Kenapa?” Tanya Jeno yang tengah asik bermain PS bersama Jisung. Namun sesekali memperhatikan Zemira yang duduk tak jauh darinya.

“Hehe. Jelek?”

Jeno menggeleng. “Bagus bagus.”

Zemira beranjak dari tempatnya, menuju kamar untuk mengistirahatkan dirinya. “Dekkk nanti kalau mau makan goreng nugget aja yaaa?” Ujarnya pada Jeno di ambang pintu kamar.

“Siap kak!!” Teriak Jeno dari ruang tengah.

Tak biasanya Zemira merasa lelah. Ia merasa tubuhnya lemas tak berdaya. Tanpa berganti baju dan melepas mantel, ia merebahkan diri di kasur empuknya. Memejamkan mata hingga ia tertidur dengan sendirinya.

Seperti baru lima menit, Zemira terbangun dengan keringat bercucuran, nafas tersenggal-senggal dan jantung yang berdegup cukup kencang.

“Mimpi— hh sakit.” Eluhnya.

Tangannya menyingkap selimut yang menutupi kaki. Meraba mantel untuk dilepasnya, seketika teringat tentang secarik kertas yang masih ada di sakunya. Duduk di tepi ranjang, menatap nanar kertas lusuh itu, kemudian ia buka perlahan lipatan-lipatannya.

Demi Tuhan. Dadanya sesak membaca beberapa kalimat yang tertulis disana hingga ia meloloskan beberapa air matanya. Diraihnya ponsel yang berada di meja. Mencari satu nama untuk ia sambungkan dalam panggilan.

“Lo dimana?”

“Gue lagi diluar, lo kenapa Ze? Lo nangis?”

“Cepet kerumah.”

“Iya gue kesana, lo kenapa?”

Zemira tak menjawab, ia langsung memutus sambungan sepihak. Kepalanya pening. Tubuhnya terasa lengket karena keringat, dan mau tak mau ia harus membasuh dirinya.

“Jeno? Jisung? Udah makan belum?” Baru saja keluar dari kamar dan menutup pintunya. Tak ada satu orang yang menjawab. “Jenooooo? Adekkkkkk?” Teriaknya panjang.

Masih di depan pintu kamar Zemira. Terdapat beberapa bercak merah di lantai. Dahinya mengernyit. Mereka berdua sedang bermain apa hingga bercak-bercak itu berada disana.

Berjalan ke ruang tengah, bercak merah itu semakin jelas menggenang. Pikirannya semakin kacau perihal mimpi, dan secarik kertas yang baru saja ia baca.

“JENOO!!!!”

“Jeno? Jeno bangun! Please please....” pintanya dengan air mata yang sudah membasahi pipi putihnya.

Zemira benar-benar kalut. Tangannya masih mencoba menepuk pelan pipi Jeno. Merangsang kesadarannya. Namun kesadaran lelaki yang sudah berlumuran darah itu menghilang.

Mata Zemira semakin basah, mencari seseorang yang harusnya berada disini bersama Jeno. Beberapa kali gadis itu memanggil namanya, Jisung tak muncul. Pikiran buruk terus menyelimuti Zemira. Tak mungkin. Bukan Jisung yang melakukan ini.

Panik setengah mati melihat Jeno tergeletak di atas karpet, dengan beberapa luka tusuk di punggung dan sebilah pisau yang masih menancap di perutnya. Gadis itu gemetar, sama sekali tak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya melemas. Ia menangis sejadi-jadinya.

“Jeno.... keep breathing.” Pintanya lagi sembari tangannya mengecek detak jantungnya.

Prakkkk!!

Zemira menoleh ke sumber suara. Jisung berdiri di belakangnya, dengan dua kantung plastik penuh terjatuh dari tangannya. Wajahnya memucat dan terkejut dengan apa yang dilihat.

“Ji....” rengek Zemira.

“Jeno? Kak? Jeno kenapa?!” Jisung panik.

“Lo dari mana?” Pertanyaan yang di lontarkan Zemira hanya untuk memastikan jika bukan Jisung yang melakukannya.

“Gue habis ke warung beli jajanan disuruh Jeno tadi— Kak sumpah gak penting, ini Jeno kenapa? Lo udah telfon ambulance?”

Zemira menggeleng. “Tolongin gue....”

image

Doyoung datang tepat waktu, bahkan sebelum ambulance datang. Beruntungnya Jeno langsung cepat ditangani.

Zemira berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi. Menggigiti kuku jari dengan tangis yang tak henti-hentinya. Doyoung yang tengah duduk gelisah bersama Jisung, menangkap pergelangan tangan Zemira.

“Duduk Ze.”

Zemira menggeleng. “G-gue takut—” Matanya merah dan terus basah.

Doyoung berdiri sejajar dengan Zemira, mendudukkan gadis itu lantas berjongkok dengan kedua tangannya menggenggam tangan lawannya.

“Jeno gak papa.” Ibu jari Doyoung terus mengusap punggung tangan Zemira. Gadis itu hanya menunduk dan terus menangis. “Lo nelfon gue tadi kenapa gak bilang kalau Jeno—”

“Enggak. Bukan karna itu. Gue nelfon lo karena hal lain, tapi waktu gue keluar kamar, gue— gue ngeliat Jeno—”

Doyoung mengangguk paham. “Udah Ze jangan nangis. Mata lo bengkak.”

Beberapa menit berlalu. Doyoung, Jisung, Zemira disibukkan dengan pikirannya sendiri.

“Mau makan gak?” Doyoung memecahkan keheningan. “Ze udah dong jangan nangis— eh ini kuku lo lama-lama habis lo gigitin.” Ia menahan tangan Zemira lagi.

“Lo gak pulang?” Tanya Doyoung pada Jisung.

“Enggak kak. Gue disini.”

“Zemira gue anter pulang ya, lo perlu isti—”

“Doy gue takut....” sela Zemira.

“Apa yang lo takutin? Jeno gak akan kenapa-kenapa. Dia ditangani dengan baik kan? Kita tinggal nunggu—”

“Gue takut karena mimpi gue jadi kenyataan.”

Doyoung terdiam. Jisung menoleh kearah Zemira.

“Gue mimpi, gue ngebunuh Jeno.”

43

she's back? Or did she never die?

Upaya membuat dirinya tenang sama sekali tidak berhasil sejak pesawat lepas landas. Pun beberapa kali bahunya di tepuk-tepuk ringan oleh lelaki di sebelahnya.

“Lo kalo gini terus kenapa dilakuin?”

“Ya biar bisa kabur lah.” Ujar Zemira dengan kedua mata tertutup.

Bising. Banyak jenis suara yang menelusup ke dalam gendang telinga. Asing. Seperti sudah bertahun-tahun lamanya tak mengunjungi negara ini. Beberapa kali Zemira terjingkat akibat suara-suara aneh yang ia dengar.

Ia menyadari bahwa indera pendengarannya mulai berubah tajam seiring berjalannya waktu.

“Masih lama?” Tanya Zemira pada Kun.

Kun mengangguk. “Nikmatin aja, lo pasti gak pernah naik bis waktu sore-sore gini.”

“Lo bener, this is my first time naik bis disini.”

“Serius? Bukannya lo udah pernah kesini?”

Pertanyaan itu membuat Zemira dipaksa mengingat segala kejadian buruknya.

“Iya, tapi waktu itu gue gak jadi naik bis, soalnya—” Memberi jeda, ia menghela nafas perlahan sembari memutar kembali sesuatu yang terekam dalam memorinya. “Adek gue ngeliat sesuatu di dalem bis.”

Kun terdiam karena tak sengaja membuka luka lama gadis itu. Ia hanya menganggukkan kepala dan kemudian mencoba membahas topik lainnya.

Tak lama bagi mereka untuk sampai di tempat tujuan. Bis itu berhenti di salah satu halte yang tak jauh dari rumah. Kurang lebih 5 meter dari halte yang harus mereka tempuh dengan berjalan kaki untuk masuk ke area pemukiman.

Tepat di depan pintu rumah dengan dinding putih, seorang lelaki berdiri memamerkan seulas senyum hingga kedua matanya menghilang.

Jisung. Sosok yang dianggap hilang itu terlihat segar bugar meski jika dilihat dengan seksama, tersirat wajah kelelahan.

Suara gemericik air hujan menggema di sebuah ruangan minimalis dengan lampu yang terang benderang.

Duduk bertiga bersama Kun dan Jisung adalah salah satu hal tak terduga bagi Zemira. Bila diingat gadis itu tak terlalu dekat dengan keduanya, kemudian suasana canggung diantara mereka mulai terasa. Ia hanya ingin segera membicarakan hal yang selama ini belum Zemira ketahui.

“Oh iya kak Ze ini.... punya Renjun.” Jisung menginterupsi. Lelaki itu menyerahkan ponsel milik si bungsu. “Kak, lo harus cek kalo Renjun beberapa kali dapet telfon dari kak Doy, dan sebaliknya.”

Mendengar itu, Zemira langsung menggulir log panggilannya. Apa yang Jisung katakan benar. Bukan hanya beberapa, tapi sering kali si bungsu menerima panggilan dari Doyoung.

Lebih mengejutkannya lagi, pada hari itu, Renjun beberapa kali mencoba menyambungkan telponnya pada Doyoung. Namun sepertinya Doyoung tak mengindahkan panggilan dari Renjun.

Tapi mengapa Doyoung tak menjawab satu pun panggilan dari Renjun di hari itu?

Zemira semakin menggulir layar ponsel milik Renjun. Jemarinya terhenti ketika tampilan layar ponselnya berubah.

Panggilan masuk.

+62xxxx is calling...

Kedua bola mata Zemira membulat. Kun yang duduk di sampingnya pun terkejut.

Ponsel berdengung monoton sekali.

Satu kali.

Dua kali.

Berhenti berbunyi.

“Siapa kak?” Tanya Jisung melihat gelagat Zemira.

“Gue gak tau—”

Ponsel Renjun berdering lagi.

“Gak mau diangkat aja Ze?” Tukas Kun.

“Selama ini juga ada yang nelfon Renjun ya?” Tuduh Zemira yang langsung di jawab gelengan kepala dari Jisung.

Zemira menelan ludah kasar. Ibu jarinya sudah menggeser layarnya. Ia bawa ponsel itu mendekat dan menempel telinga. Gadis itu sengaja tak bicara, hanya untuk memastikan jika itu—

“Zemira....”

“Gue tau ini lo.”

“Bisa-bisa nya lo matiin hp?”

“Lo udah nyampe Inggris?”

Gadis itu menjauhkan ponsel dari telinganya, melihat layar dengan nomor tak tersimpan disana. Dahinya mengernyit. Sambungannya masih belum terputus. Suara berat di seberang sana terdengar jelas. Ia kembali menempelkan ponsel itu.

“Ze kok lo diem aja? Gue gak nyangka lo kasih obat tidur ke Jeno.”

“Lo ke Inggris sama siapa? Sebenernya gue udah tau kalo lo bakal kabur gini. Lo tuh ahh.”

Doyoung. Jelas itu suara Doyoung. Tapi mengapa nomornya tak tersimpan di ponsel Renjun? Lantas siapa yang selalu menghubungi si bungsu?

“ZEMIRA!”

“AAAAA—” Prakkk!!! Zemira seketika melempar ponsel Renjun ke lantai.

“Ze?!!”

“Kak Ze kenapa?”

Setelah kejadian semalam, Zemira tertidur pulas. Bukan tanpa alasan ia tiba-tiba melempar ponsel dan menjerit seperti orang kerasukan. Melainkan, suara terakhir yang Zemira dengar adalah suara perempuan yang sangat ia kenali; Rose.

Pukul 4 pagi. Dimana belum ada satu pun penghuni rumah yang terbangun, Zemira menyelinap pergi dari kamarnya bahkan ia sudah berhasil berdiri di balik pintu utama. Dengan pelan ia putar kunci, lalu knop pintunya.

Seseorang menahan lengan Zemira. Terkejut bukan main saat gadis itu membalikkan tubuh. Pasalnya Kun telah lebih dulu memergoki dirinya yang sedang menyelinap keluar.

“Kun! Gue beneran kaget anjir.” Lirih Zemira sembari melepaskan lengannya dari Kun.

“Lo mau kemana?”

“Ke tempat tujuan gue.”

“Tunggu disini, gue ambil—”

“Gak usah! Lo gak usah ikut....”

“Gue bukan tipe cowok yang ngebiarin cewek keluar sendirian. Apalagi sepagi ini.” Tukas Kun sesekali mengucek matanya. “Tunggu, gue ambil mantel.”

Jujur saja Zemira tak ingin siapapun ikut campur dalam segala urusannya. Terlebih ini menyangkut kejadian tragis satu tahun yang lalu.

Jisung yang masih mengantuk itu terpaksa ikut menemani Kun juga Zemira.

“Ji, soal video yang lo kasih—” Zemira yang duduk di samping Kun kini membalikkan tubuhnya menghadap ke belakang untuk bisa berbicara dengan lawannya. “Kok lo kepikiran ngerekam itu?”

Lelaki dengan setengah sadar itu hanya mengangguk-anggukkan kepala.

“Ji? Kok bisa kepikiran?” Tanya Zemira lagi.

“Kinda sus kak.” Jawabnya singkat. Namun berniat melanjutkan. “Gak masuk akal banget rumah sebesar itu cuma dihuni Paman aja. Dan terlebih, kita gak tau latar belakangnya Paman yang jelas.”

Zemira menyetujuinya. “Tapi tiap ruangan kosong? Padahal dulu Paman— Doyoung juga bilang, kalo kamar-kamar itu ada isinya. Gue gak tau apa maksudnya.”

“Sorry nih, kalian berdua gak ada yang mau cerita ke gue?” Kun merasa tak dianggap keberadaannya itu menyela obrolan mereka.

“Ji, lo beneran belum cerita apa-apa ke dia?” Tunjuk Zemira. “Padahal dia Kakak lo kan?”

“Step brother, Ze.” Tukas Kun.

Jisung menghela nafas. Kemudian memutuskan untuk menceritakan semua hal menyangkut dirinya, Zemira, juga kejadian tragis yang dimaksud gadis itu.

Beberapa kali Kun terlihat kaget dan tak percaya bila hal itu ada, namun siapa yang tau jika lelaki itu pun menyembunyikan sesuatu dari mereka berdua.

Mereka bertiga sampai di kaki bukit. Memarkirkan mobil di sembarang tempat. Zemira melihat di sekitar, menerawang tiap sudut-sudut pepohonan yang masih berdiri kokoh disana.

“Ayo kak.” Jisung menepuk pelan bahu Zemira dan berjalan mendahuluinya.

Selama berjalan menuju Silent Hill, gadis itu hanya menunduk, tak berani menatap ke depan. Ia hanya sesekali melirik ke kanan maupun kirinya.

Tempat ini masih sama. Tak ada yang berubah, hanya atmosphere yang mendadak dingin karena tak pernah dijamah manusia. Tubuh Zemira sudah bergetar ketika dirinya memijakkan kaki di pelataran bangunan bekas Gereja itu.

“Tunggu, lo gak papa Ze?” Tanya Kun. Ia melihat kulit wajah gadis itu memucat. “Lo gak perlu maksain masuk.”

Zemira menggeleng. “Gue gak papa, gue bakal tetep masuk.”

“Kak gue tunggu diluar aja ya, gue takut mau ke dalem.” Ijin Jisung sembari memegang lengan Kun.

“Iya, gue masuk sendiri aja. Lo temenin Adek lo.” Titah Zemira pada Kun.

“T-tapi....”

Gadis itu sudah lebih dulu melangkahkan kakinya menjauh dari Kun dan Jisung. Berdiri di depan pintu bangunan, ia menghela nafas panjang. Menelan ludah kasar, menelisik garis polisi yang menutupi jalannya.

Krieekkk

Gelap. Tak ada cahaya yang masuk ke dalam. Tiap jendela rupanya telah ditutupi kayu tebal yang terpaku menembus dinding. Zemira menghirup aroma debu juga amis bercampuran. Keringatnya pun mulai bercucuran ketika ia tetap memaksakan diri untuk masuk ke dalam.

Sepi. Tak ada suara sekalipun burung berkicau. Hanya terdengar suara sepatunya yang bergesekan dengan lantai. Dengan perasaan was-was juga degup jantung yang melampaui ritme normal, Zemira berjalan menuju altar.

Ada tiga buah guci disebelah meja altar. Ia usap debu yang bersarang disana. Menunjukkan sebuah nama yang pastinya Zemira kenal. Guci berisikan abu milik Irene, Haechan, dan Chenle. Di sampingnya terdapat tiga guci kosong lainnya yang sudah diukir nama empunya. Renjun, Taeyong, Jaemin. Ketiga tubuh yang belum ditemukan.

Mata Zemira berkaca-kaca ketika mengusap guci milik si bungsu. Ia tak bisa menahan. Tangisnya pecah sudah. Ribuan pertanyaan akan ia tanyakan pada Doyoung ataupun Jeno selepas ini.

“Kalaupun tubuh kalian berdua ditemuin juga gue gak bakal terima kalo harus di kremasi.” Lirih Zemira yang langsung meraih kedua guci milik Taeyong dan Renjun.

Zemira membawa benda itu dan berniat pergi dari sana. Langkahnya terhenti di tengah jalan ketika mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Mencoba tak mengindahkan suara itu, tapi terdengar cukup jelas di telinga Zemira.

“S-siapa?” Tanya gadis itu tanpa menoleh.

Bisa saja Zemira berlari keluar karena dirinya cukup dekat dengan pintu. Tapi ia memilih diam dengan kedua tangan yang penuh, juga wajah yang dibasahi keringat.

Langkah itu terdengar semakin dekat.

Kemudian tak bersuara.

Nafas Zemira mulai memburu. Ia putuskan melangkahkan kaki, namun suara itu terdengar lagi. Tak peduli, ia berhasil keluar dengan jiwa tak tenang.

“Lo bawa apa—”

“Kak itu kan—”

“Ayo balik.”

Titah Zemira yang tak bisa ditentang.

. . . . . . .

Setan itu seperti anjing penurut, mereka datang saat dipanggil

jika dia adalah aku, lantas siapa sebenarnya aku?

“Jadi gitu kak. Pasti lo juga ngerasain kalo gue sering berubah-ubah pendapat, tindakan atau apapun. Semua diluar kendali gue.”

Jeno menyelesaikan ceritanya. Benar apa yang ia katakan bahwa sering kali Jeno terlihat seperti bukan dirinya. Tapi itu dulu. Dan bagaimana caranya meyakinkan diriku sendiri bahwa lelaki yang sedang ada dihadapanku saat ini sudah menyelesaikan tugas terakhirnya?

Kini aku hanya berusaha mencerna semua cerita dari Jeno.

Cerita tentang Jeno yang tak memihak mereka, tentangnya yang lebih memilih untuk dibunuh ketimbang harus melakukan hal-hal yang bukan keinginannya. Tentang hari itu, dimana ia melihat dengan mata kepalanya sendiri ketika jiwa-jiwa orang terdekatnya melayang percuma.

Hari dimana ia menyaksikan dengan jelas bagaimana jiwa Injun— hanya dengan membayangkannya saja membuat air mataku lolos dengan sendirinya.

“Sekali lagi, gue minta maaf kak....”

Aku merotasikan bola mataku. Jeno menutupi wajah dengan telapak tangannya. Bahunya terlihat naik turun seperti menahan isakan. Lantas aku berdiri dari tempat dudukku untuk meraihnya.

“Ternyata apa yang gue rasa gak seberat apa yang lo rasa— sini biar gue peluk.”

Sontak Jeno menenggelamkan wajahnya tepat di perutku, membuatku mendesis kesakitan.

“Kenapa kak?!” Tanya Jeno.

“Gak tau, gue akhir-akhir ini sering ngerasa sakit disini.”

Beberapa detik setelah aku menunjuk perut kananku, ia tertegun.

Apalagi yang lo ketahui? Yang belum gue tau, Jeno?

Malam ini, aku memutuskan untuk tidur di kamar Injun. Aku rindu aromanya. Aku rindu semua hal tentang Adikku. Namun ketakutan itu datang lagi. Beberapa kali aku mengingat apakah cermin yang ada di dalam kamarnya sudah tertutup atau belum.

Apa kalian ingin tau?

Setelah keluar dari Rumah Sakit, aku benar-benar takut melihat cermin.

Apa kalian ingin tau apa yang aku lihat? Semua makhluk menyeramkan. Itu seperti terpantul dalam cermin, atau mereka memang berada di dalam cermin? Aku tak terlalu paham.

Kadang perempuan berambut panjang menutupi sebagian wajahnya yang rusak, kadang seorang lelaki dengan kedua mata melotot, kadang pula sosok gadis cantik yang wajahnya hampir mirip denganku— atau memang itu aku, mereka semua muncul secara bergantian di setiap cermin yang aku temui.

Ada lagi sosok anak kecil yang rambutnya tergurai indah, aku tak bisa melihatnya karna ia tak pernah menolehkan wajahnya. Tapi sepertinya aku pernah melihatnya—

Dan parahnya lagi, sosok bayang hitam selalu berada di sudut kamarku. Tidak, lebih tepatnya sudut langit-langit kamar. Itu membuatku teringat kejadian dimana pertama kalinya Injun berteriak histeris melihat sesuatu, ketika kedua bola matanya berubah menjadi— masih terpapar jelas di otakku.

Satu minggu, dua minggu, rasa takut menguasai diriku hingga akhirnya Doyoung menutup semua cermin yang ada di rumah. Ia buang beberapa cermin yang dianggap sebagai 'rumah mereka'.

Percaya atau tidak, sampai detik ini aku sama sekali tak pernah melihat diriku sendiri. Bercermin; hal yang paling aku sukai, kini menjadi hal yang paling aku takuti.

Bagaimana caraku memoles makeup? Tenang, aku handal meskipun tanpa bercermin. Meski sesekali dandananku yang terlihat menor akan dihapus paksa oleh Doyoung.

“Kak....”

Aku berjingkat kaget ketika Jeno menepuk bahuku. “Kenapa Jen?”

“Lo ngapain diem disini?”

Oh tentu saja ia mempertanyakan aku yang sedang berada di depan pintu kamar Renjun. Baru saja aku melamun— lagi.

“Gue? Mau tidur. Lo ngapain disini? Kamarnya berdebu banget ya Jen?”

Jeno menggeleng. “Enggak kok, gue disuruh Kak Doyoung mastiin pintu udah kekunci apa belum.”

“Ohhh.”

“Kak Ze mau tidur di kamar Injun?” Pertanyaan Jeno yang susah untuk dijawab.

“Iya, tapi— lo balik ke kamar gih.”

Jeno mengangguk paham, ia membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju kamar meski sesekali ia menoleh dan menatap nanar pintu coklat Injun.

Aku memberanikan diriku untuk masuk ke dalam.

Ceklek

Terbuka. Atmosphere kamar membuat bulu halus ditanganku menegang. Dingin. Itu yang kurasa. Sesuatu berusaha mendesak kantong mataku.

“Injun....” Aku menyapanya lirih.

“Mau goreng nugget gak?”

Langkahku semakin masuk ke dalam. Mendekat kearah ranjang yang tertutup lemari pakaian.

Kedua kakiku terhenti.

Cermin.

Aku melihat bayanganku disana. Tidak itu bukan aku. Perempuan itu menyeringai. Kami bertatapan. Seketika nafasku tersenggal. Tubuhku kaku, tapi aku berusaha berjalan mundur— dia keluar dari sana.

Perempuan itu melambaikan tangannya. Seakan menyuruhku untuk mendekat. Lantas aku memberanikan diriku. Melangkah mendekatinya. Semakin dekat. Hingga aku dapat melihat jelas Renjun membersamainya.

“Dek....” Seulas senyumku tumbuh ketika melihatnya.

Aku membungkam mulutku. Menahan jeritanku ketika dengan cepat perempuan itu menarik jantung Injunku dari tubuhnya.

Demi Tuhan aku tak percaya dengan apa yang aku lihat.

Tubuhku mulai bergetar, tetapi entah mengapa kedua kakiku semakin mendekat kearah cermin. Bayanganku kembali menyeringai. Tidak tidak itu bukan aku. Bukan!!!

Look at his heart still beating” ujarnya.

image