43
she's back? Or did she never die?
—
Upaya membuat dirinya tenang sama sekali tidak berhasil sejak pesawat lepas landas. Pun beberapa kali bahunya di tepuk-tepuk ringan oleh lelaki di sebelahnya.
“Lo kalo gini terus kenapa dilakuin?”
“Ya biar bisa kabur lah.” Ujar Zemira dengan kedua mata tertutup.
—
Bising. Banyak jenis suara yang menelusup ke dalam gendang telinga. Asing. Seperti sudah bertahun-tahun lamanya tak mengunjungi negara ini. Beberapa kali Zemira terjingkat akibat suara-suara aneh yang ia dengar.
Ia menyadari bahwa indera pendengarannya mulai berubah tajam seiring berjalannya waktu.
“Masih lama?” Tanya Zemira pada Kun.
Kun mengangguk. “Nikmatin aja, lo pasti gak pernah naik bis waktu sore-sore gini.”
“Lo bener, this is my first time naik bis disini.”
“Serius? Bukannya lo udah pernah kesini?”
Pertanyaan itu membuat Zemira dipaksa mengingat segala kejadian buruknya.
“Iya, tapi waktu itu gue gak jadi naik bis, soalnya—” Memberi jeda, ia menghela nafas perlahan sembari memutar kembali sesuatu yang terekam dalam memorinya. “Adek gue ngeliat sesuatu di dalem bis.”
Kun terdiam karena tak sengaja membuka luka lama gadis itu. Ia hanya menganggukkan kepala dan kemudian mencoba membahas topik lainnya.
Tak lama bagi mereka untuk sampai di tempat tujuan. Bis itu berhenti di salah satu halte yang tak jauh dari rumah. Kurang lebih 5 meter dari halte yang harus mereka tempuh dengan berjalan kaki untuk masuk ke area pemukiman.
Tepat di depan pintu rumah dengan dinding putih, seorang lelaki berdiri memamerkan seulas senyum hingga kedua matanya menghilang.
Jisung. Sosok yang dianggap hilang itu terlihat segar bugar meski jika dilihat dengan seksama, tersirat wajah kelelahan.
Suara gemericik air hujan menggema di sebuah ruangan minimalis dengan lampu yang terang benderang.
Duduk bertiga bersama Kun dan Jisung adalah salah satu hal tak terduga bagi Zemira. Bila diingat gadis itu tak terlalu dekat dengan keduanya, kemudian suasana canggung diantara mereka mulai terasa. Ia hanya ingin segera membicarakan hal yang selama ini belum Zemira ketahui.
“Oh iya kak Ze ini.... punya Renjun.” Jisung menginterupsi. Lelaki itu menyerahkan ponsel milik si bungsu. “Kak, lo harus cek kalo Renjun beberapa kali dapet telfon dari kak Doy, dan sebaliknya.”
Mendengar itu, Zemira langsung menggulir log panggilannya. Apa yang Jisung katakan benar. Bukan hanya beberapa, tapi sering kali si bungsu menerima panggilan dari Doyoung.
Lebih mengejutkannya lagi, pada hari itu, Renjun beberapa kali mencoba menyambungkan telponnya pada Doyoung. Namun sepertinya Doyoung tak mengindahkan panggilan dari Renjun.
Tapi mengapa Doyoung tak menjawab satu pun panggilan dari Renjun di hari itu?
Zemira semakin menggulir layar ponsel milik Renjun. Jemarinya terhenti ketika tampilan layar ponselnya berubah.
Panggilan masuk.
+62xxxx is calling...
Kedua bola mata Zemira membulat. Kun yang duduk di sampingnya pun terkejut.
Ponsel berdengung monoton sekali.
Satu kali.
Dua kali.
Berhenti berbunyi.
“Siapa kak?” Tanya Jisung melihat gelagat Zemira.
“Gue gak tau—”
Ponsel Renjun berdering lagi.
“Gak mau diangkat aja Ze?” Tukas Kun.
“Selama ini juga ada yang nelfon Renjun ya?” Tuduh Zemira yang langsung di jawab gelengan kepala dari Jisung.
Zemira menelan ludah kasar. Ibu jarinya sudah menggeser layarnya. Ia bawa ponsel itu mendekat dan menempel telinga. Gadis itu sengaja tak bicara, hanya untuk memastikan jika itu—
“Zemira....”
“Gue tau ini lo.”
“Bisa-bisa nya lo matiin hp?”
“Lo udah nyampe Inggris?”
Gadis itu menjauhkan ponsel dari telinganya, melihat layar dengan nomor tak tersimpan disana. Dahinya mengernyit. Sambungannya masih belum terputus. Suara berat di seberang sana terdengar jelas. Ia kembali menempelkan ponsel itu.
“Ze kok lo diem aja? Gue gak nyangka lo kasih obat tidur ke Jeno.”
“Lo ke Inggris sama siapa? Sebenernya gue udah tau kalo lo bakal kabur gini. Lo tuh ahh.”
Doyoung. Jelas itu suara Doyoung. Tapi mengapa nomornya tak tersimpan di ponsel Renjun? Lantas siapa yang selalu menghubungi si bungsu?
“ZEMIRA!”
“AAAAA—” Prakkk!!! Zemira seketika melempar ponsel Renjun ke lantai.
“Ze?!!”
“Kak Ze kenapa?”
—
Setelah kejadian semalam, Zemira tertidur pulas. Bukan tanpa alasan ia tiba-tiba melempar ponsel dan menjerit seperti orang kerasukan. Melainkan, suara terakhir yang Zemira dengar adalah suara perempuan yang sangat ia kenali; Rose.
Pukul 4 pagi. Dimana belum ada satu pun penghuni rumah yang terbangun, Zemira menyelinap pergi dari kamarnya bahkan ia sudah berhasil berdiri di balik pintu utama. Dengan pelan ia putar kunci, lalu knop pintunya.
Seseorang menahan lengan Zemira. Terkejut bukan main saat gadis itu membalikkan tubuh. Pasalnya Kun telah lebih dulu memergoki dirinya yang sedang menyelinap keluar.
“Kun! Gue beneran kaget anjir.” Lirih Zemira sembari melepaskan lengannya dari Kun.
“Lo mau kemana?”
“Ke tempat tujuan gue.”
“Tunggu disini, gue ambil—”
“Gak usah! Lo gak usah ikut....”
“Gue bukan tipe cowok yang ngebiarin cewek keluar sendirian. Apalagi sepagi ini.” Tukas Kun sesekali mengucek matanya. “Tunggu, gue ambil mantel.”
Jujur saja Zemira tak ingin siapapun ikut campur dalam segala urusannya. Terlebih ini menyangkut kejadian tragis satu tahun yang lalu.
Jisung yang masih mengantuk itu terpaksa ikut menemani Kun juga Zemira.
“Ji, soal video yang lo kasih—” Zemira yang duduk di samping Kun kini membalikkan tubuhnya menghadap ke belakang untuk bisa berbicara dengan lawannya. “Kok lo kepikiran ngerekam itu?”
Lelaki dengan setengah sadar itu hanya mengangguk-anggukkan kepala.
“Ji? Kok bisa kepikiran?” Tanya Zemira lagi.
“Kinda sus kak.” Jawabnya singkat. Namun berniat melanjutkan. “Gak masuk akal banget rumah sebesar itu cuma dihuni Paman aja. Dan terlebih, kita gak tau latar belakangnya Paman yang jelas.”
Zemira menyetujuinya. “Tapi tiap ruangan kosong? Padahal dulu Paman— Doyoung juga bilang, kalo kamar-kamar itu ada isinya. Gue gak tau apa maksudnya.”
“Sorry nih, kalian berdua gak ada yang mau cerita ke gue?” Kun merasa tak dianggap keberadaannya itu menyela obrolan mereka.
“Ji, lo beneran belum cerita apa-apa ke dia?” Tunjuk Zemira. “Padahal dia Kakak lo kan?”
“Step brother, Ze.” Tukas Kun.
Jisung menghela nafas. Kemudian memutuskan untuk menceritakan semua hal menyangkut dirinya, Zemira, juga kejadian tragis yang dimaksud gadis itu.
Beberapa kali Kun terlihat kaget dan tak percaya bila hal itu ada, namun siapa yang tau jika lelaki itu pun menyembunyikan sesuatu dari mereka berdua.
Mereka bertiga sampai di kaki bukit. Memarkirkan mobil di sembarang tempat. Zemira melihat di sekitar, menerawang tiap sudut-sudut pepohonan yang masih berdiri kokoh disana.
“Ayo kak.” Jisung menepuk pelan bahu Zemira dan berjalan mendahuluinya.
Selama berjalan menuju Silent Hill, gadis itu hanya menunduk, tak berani menatap ke depan. Ia hanya sesekali melirik ke kanan maupun kirinya.
Tempat ini masih sama. Tak ada yang berubah, hanya atmosphere yang mendadak dingin karena tak pernah dijamah manusia. Tubuh Zemira sudah bergetar ketika dirinya memijakkan kaki di pelataran bangunan bekas Gereja itu.
“Tunggu, lo gak papa Ze?” Tanya Kun. Ia melihat kulit wajah gadis itu memucat. “Lo gak perlu maksain masuk.”
Zemira menggeleng. “Gue gak papa, gue bakal tetep masuk.”
“Kak gue tunggu diluar aja ya, gue takut mau ke dalem.” Ijin Jisung sembari memegang lengan Kun.
“Iya, gue masuk sendiri aja. Lo temenin Adek lo.” Titah Zemira pada Kun.
“T-tapi....”
Gadis itu sudah lebih dulu melangkahkan kakinya menjauh dari Kun dan Jisung. Berdiri di depan pintu bangunan, ia menghela nafas panjang. Menelan ludah kasar, menelisik garis polisi yang menutupi jalannya.
Krieekkk
Gelap. Tak ada cahaya yang masuk ke dalam. Tiap jendela rupanya telah ditutupi kayu tebal yang terpaku menembus dinding. Zemira menghirup aroma debu juga amis bercampuran. Keringatnya pun mulai bercucuran ketika ia tetap memaksakan diri untuk masuk ke dalam.
Sepi. Tak ada suara sekalipun burung berkicau. Hanya terdengar suara sepatunya yang bergesekan dengan lantai. Dengan perasaan was-was juga degup jantung yang melampaui ritme normal, Zemira berjalan menuju altar.
Ada tiga buah guci disebelah meja altar. Ia usap debu yang bersarang disana. Menunjukkan sebuah nama yang pastinya Zemira kenal. Guci berisikan abu milik Irene, Haechan, dan Chenle. Di sampingnya terdapat tiga guci kosong lainnya yang sudah diukir nama empunya. Renjun, Taeyong, Jaemin. Ketiga tubuh yang belum ditemukan.
Mata Zemira berkaca-kaca ketika mengusap guci milik si bungsu. Ia tak bisa menahan. Tangisnya pecah sudah. Ribuan pertanyaan akan ia tanyakan pada Doyoung ataupun Jeno selepas ini.
“Kalaupun tubuh kalian berdua ditemuin juga gue gak bakal terima kalo harus di kremasi.” Lirih Zemira yang langsung meraih kedua guci milik Taeyong dan Renjun.
Zemira membawa benda itu dan berniat pergi dari sana. Langkahnya terhenti di tengah jalan ketika mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Mencoba tak mengindahkan suara itu, tapi terdengar cukup jelas di telinga Zemira.
“S-siapa?” Tanya gadis itu tanpa menoleh.
Bisa saja Zemira berlari keluar karena dirinya cukup dekat dengan pintu. Tapi ia memilih diam dengan kedua tangan yang penuh, juga wajah yang dibasahi keringat.
Langkah itu terdengar semakin dekat.
Kemudian tak bersuara.
Nafas Zemira mulai memburu. Ia putuskan melangkahkan kaki, namun suara itu terdengar lagi. Tak peduli, ia berhasil keluar dengan jiwa tak tenang.
“Lo bawa apa—”
“Kak itu kan—”
“Ayo balik.”
Titah Zemira yang tak bisa ditentang.
.
.
.
.
.
.
.
Setan itu seperti anjing penurut, mereka datang saat dipanggil