It's over
it's sad when you feel alone in a room full of people
Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya berada dalam posisi seperti ini. Biasanya Renjun yang selalu berkhayal bagaimana jika kami berada di tengah-tengah kejadian yang tak pernah kami bayangkan. Tentu saja kami berdua sering menonton film horror, dimana pemainnya cukup apik dan cukup pintar dengan segala usahanya lepas dari 'mereka'.
Bunda juga sering memarahiku karena aku selalu membuat si bungsu ketakutan. Ck! Lelaki apa yang takut dengan kegelapan? Ah sungguh Renjun membuatku frustasi karena sikap penakutnya. Lepas dari orang tua, tinggal berdua, ia sangat merepotkanku. Bayangkan saja! Ke kamar mandi, mengambil sesuatu diluar, bahkan tak jarang aku menemaninya di kamar sampai ia benar-benar tertidur. Melelahkan bukan?
Hingga akhirnya aku memiliki seorang kekasih yang sangat amat perhatian kepadaku, juga Renjun.
Taeyong. Aku tak bisa mendeskripsikannya. Menurutku, ia terlalu sempurna. Rasa sayangnya pada Adikku pun sangat tulus, hingga ia berhenti mengusikku dan malah meminta tolong apapun sesukanya pada Taeyong. Renjun sudah menganggapnya sebagai kakak keduanya. Itu sudah cukup melengkapi kebahagiaanku.
Dan tentu saja! Teman-teman terdekatku menjadi alasan mengapa aku bisa bertahan hidup berdua tanpa orang tua. Awalnya home sick melandaku, bukan hanya aku, tapi juga Renjun. Ia sering merengek ingin bersama Bunda dan Ayah saja. Tapi karena kami sudah menemukan teman terdekat yang bisa dikatakan keluarga baru, membuat segalanya berjalan seperti tanpa ada hambatan.
“Kak! Weh jangan ngelamun aja ayo kak Taeyong udah nunggu diluar ih!”
Benar, aku terkejut ketika tangan seseorang menarik lenganku tiba-tiba. Siapa lagi kalau bukan Renjun, adik tersayangku.
Berjalan keluar rumah, aku tak bisa menyembunyikan senyumku saat Taeyong melambaikan tangannya kearahku. Tak lupa dengan senyumnya yang sangat manis. Sungguh siapapun yang melihatnya akan jatuh cinta—
“KAK ZE!!!!”
“Naon si anjing!” Jujur saja, bocah satu ini selalu mengagetkanku.
Renjun melingkarkan tangannya di lenganku dengan sedikit menggoyang-goyangkannya. “Hehe gapapa biar fokusnya kak Ze buyar.”
Ctak!!
“Aduh kak Ze paan sih!” Ia mengeluh kesakitan. Ya dia pantas mendapatkan jitakan dari tangan saktiku. Itu setimpal dengan rasa kaget yang sudah beberapa kali aku rasakan.
“Mampus sukurin!” Kataku.
“Udah sih, Ze.”
“Yah? Apaan kamu malah ngebela si tuyul ini.”
“Kan aku cuma bilang, udah sih Ze? Aku gak ngebela.” Ujar Taeyong dengan nada yang sedikit— lucu menurutku.
“Tuyul? Tuyul paan tuyul?! Ih gak inget apa waktu gue dirasukin, lu nya nangis-nangis? Kak Ze tuh ya emang orangnya suka gengsi mana gak mau ngakuin kalo kak Ze—”
“Gue apa?”
Perkataan Renjun sengaja ia gantung untuk memancing keributan tentu saja.
“Mau aku tinggal aja?” Taeyong sudah berada di dalam mobil, di kursi pengemudi. Dan mendengar itu, kami buru-buru masuk ke dalam mobil.
Di perjalanan, Taeyong dan Renjun banyak sekali bicara. Membicarakan kejadian-kejadian yang mereka lalui satu bulan yang lalu.
Jika kalian ingin tau, semuanya sudah berakhir. Aku rasa begitu. Buktinya selama satu bulan aku terus bersama Renjun juga Taeyong. Yang lain? Entahlah aku tak menemui mereka dan aku sudah tak ingin bertemu siapapun lagi. Hanya dua orang yang aku sayang ini saja sudah cukup. Aku tak membutuhkan orang lain lagi.
Kami pergi ke— tempat dimana Taeyong pernah mengajakku. Hutan Pinus. Tubuhku seperti menolak untuk keluar dari mobil. Pandanganku terlalu terpaku pada tempat itu. Trauma? Bisa dibilang begitu.
Tok tok
“Kak? Ayo turun.” Renjun mengetuk kaca mobil, sedangkan Taeyong sudah berjalan dulu memasuki tempat itu.
“Kak? Buru ih apa gue tinggal?”
Mau tak mau aku keluar dari mobil. Memandang Renjun yang raut wajahnya berubah lebih berseri dari biasanya. Ia meraih tanganku untuk digenggam. Lantas berjalan sejajar denganku, menyusul langkah Taeyong yang jauh di depan sana.
“Jun.... pulang aja yuk?” Ujarku ketika tiba-tiba hembusan angin kencang menerjangku. Menerbangkan rambut yang sengaja tak kuikat. “K-kayaknya cuaca lagi—”
“Gak mau pulang. Disini aja kak, aku mau disini sama Kak Taeyong.”
“Cuacanya Jun astaga ini kayak mau hujan deh.”
Sungguh, aku tak berbohong. Langitnya memang tak menunjukkan tanda kecerahan. Hanya semburat abu keputihan yang terlukis disana. Tanda akan turun hujan bukan?
“Kak Taeyong!!”
Renjun berlari kearah Taeyong. Padahal ia tengah berjalan kearahku yang sedang duduk di sebuah batang pohon besar. Ia tersenyum kepadaku dengan kedua tangannya yang sengaja ia sembunyikan di balik tubuhnya.
“Apa?” Tanyaku pada Renjun yang berjalan sejajar dan tengah menutupi mulutnya dengan sesekali melirik ke belakang tubuh Taeyong.
“Apa sih???” Tanyaku kebingungan.
“Ze....”
“Aku habis metik ini, buat kamu.”
Mawar putih.
Entah mengapa hatiku terasa sakit ketika melihat bunga mawar. Ada rasa sakit, juga sedih yang luar biasa ketika melihat bunga cantik ini.
“Ecie kak Ze!!! Ayo dong terima dong!!!” Sorak Renjun dengan tepuk tangannya.
Taeyong masih berdiri di hadapanku dengan kedua tangan yang terulur menggenggam beberapa tangkai mawar putih.
“Ze, maaf selama ini aku gak bisa jaga kamu....”
Tiba-tiba?
“Maaf karena gara-gara aku, kamu jadi ngelewatin semua yang gak kamu mau.”
“Tolong maafin aku....”
“Aku gak bisa bantu kamu, aku ngebiarin kamu berjuang sendiri, aku juga yang bahkan ngerenggut orang-orang yang kamu sayang.”
“Ze, andai dulu aku bisa lebih terbuka sama kamu, dan andai aku gak nemuin cermin itu.... apa kita bisa hidup tenang dan baik-baik aja?”
Demi Tuhan, mendengar itu semua darinya membuat kedua mataku terasa panas. Aku merasa sudut mataku mulai membasah.
“Kak Ze....”
Hal yang jarang terjadi adalah, Renjun memelukku. Dengan sangat erat, seperti ia sedang menyalurkan rasa sedihnya. Semua air mata yang tertahan akhirnya lolos juga. Aku menangis di rengkuhan Renjun.
Renjun melepaskan pelukannya ketika sebuah tangan menarik lengannya pelan; Taeyong.
Ia menyodorkan lagi bunganya. Lantas aku mengambil mawar itu dari tangannya. Taeyong tersenyum.
“Kak Ze, maaf kalo Injun banyak ngerepotin lo.... Injun jadi cowok penakut yang gak bisa Kak Ze andelin.”
“Gue mah percaya banget kalo kak Ze tuh orangnya pemaaf, ye kan? Buktinya gue yang nyebelin, rese, gangguin kak Ze mulu, tetep aja di maafin. Apalagi orang lain?”
Tunggu— lidahku kelu untuk sekedar mengatakan satu kata saja. Aku hanya terus menangis tak henti-hentinya.
“Renjun sama aku ya, Ze?”
Apa maksudnya?!
“Aku bawa Renjun.... aku minta maaf.”
Keduanya berbalik dan berjalan membelakangiku. Siapapun tolong aku yang tak bisa bergerak sama sekali. Aku ingin meneriaki mereka berdua tapi Demi Tuhan aku kesusahan untuk mengucap.
Renjun menoleh ke belakang, ia menatapku dengan kedua sudut bibirnya tertarik. Tersenyum sembari melambaikan tangan.
“NOOOOOOO!!!!!!!!!”
Apa aku berada di alam mimpi? Jika iya, tolong segera bangunkan aku. Dan jika tidak, aku berharap ini benar-benar mimpi, sebuah mimpi buruk.
Baik Renjun maupun Taeyong terjatuh ke tanah, ketika tiba-tiba sebuah tangan menembus tubuh mereka. Aku yakin, hanya dengan sebuah tangan. Dengan seringai di wajahnya, ia terlihat sangat puas melihatku kacau dan putus asa.
Jeno.
. . . . .
“Zemira....”
“Ze???”
Tepat satu bulan. Gadis yang tubuhnya penuh luka itu akhirnya terbangun. Ia mengerjapkan matanya berulang kali. Berusaha beradaptasi dengan lingkungan yang telah lama ia tinggalkan.
Lelaki yang menemaninya di ruang putih selama satu bulan sontak berlari keluar ruangan untuk memanggil Dokter yang tak kunjung datang.
Bola matanya berotasi ke kanan, ke kiri, dengan tatapan lemah. Ia menjelajahi tiap sudut ruangan.
Setelah beberapa saat Dokter telah memeriksa keadaannya, barulah lelaki itu duduk di dekat bangsalnya.
“Akhirnya lo sadar....”
Zemira hanya menatapnya. Tubuhnya lumpuh karena sebulan lamanya ia koma.
Sreggggg
Suara gesekan pintu menyita atensi Zemira. Menampakkan seorang lelaki yang tampak tergesa-gesa masuk ke dalam ruangan.
“Kak!!!! Kak Ze udah sadar?!”
Tatapan Zemira berubah.
“Pelan-pelan ngapa Jen.”
“Kak Ze udah diperiksa Dokter? Apa belum?”
“Udah, udah dari tadi juga.”
“Terus kak Doy ngapain masih disini?”
“Ck! Bilang aja lo mau gantian jagain.”
Doyoung melepas tautannya di jemari Zemira, namun gadis itu menahannya. Mengeratkan genggamannya meski dengan susah payah.
“R-renjun.... m-mana?” Tanya Zemira dengan suara serak dan terbata-bata. Kedua manik hitamnya berkaca-kaca.
Doyoung dan Jeno saling melempar tatapan. Tak ada yang menjawab beberapa detik setelahnya.
“Biar Jeno yang jawab. Dia— gak mau ketemu lo, kalo lo nya belum sembuh.” Tukas Doyoung dengan memaksakan senyumnya, kemudian pergi meninggalkan Zemira dan Jeno.
Jeno menggantikan Doyoung, duduk di kursi dekat bangsal. Zemira tak mengindahkannya. Ia terpaksa memejamkan kedua matanya. Rasa benci, bahkan rasa ingin membunuh seseorang yang sedang bersamanya itu semakin kuat.
“Kak....”
“It's over.”
“Gue gak punya siapa-siapa lagi.”
“Gue udah sendirian.”
“Makasih karena kak Ze berhasil mutus sesuatu hal yang mengerikan ini.”
“Pasti kak Ze benci sama gue dan itu wajar.... lo gapapa benci gue kak, tapi maafin gue.”
“M-maaf....”
Suara Jeno bergetar, ia menyembunyikan wajahnya. Menangis tersedu di perpotongan lengannya.
“Kak Ze koma selama sebulan, dan gue harus ngomong ini sekarang kalo Renjun....”
Mendengar nama sang Adik, Zemira langsung membuka matanya dan melihat kearah Jeno yang masih menyembunyikan wajahnya.
Kalimatnya menggantung cukup lama, membuat jantung gadis itu berdegup semakin kencang. Ia takut dengan kenyataan yang tak sesuai dengan ekspektasinya.
Zemira menggoyangkan lengan Jeno. Membuat lelaki itu mendongakkan kepalanya. Matanya memerah dan basah penuh dengan air mata.
“K-kenapa?! In-jun k-kena-pa?!” Ia sudah meloloskan beberapa butiran bening.
“Maafin gue kak.... maafin kak Irene, maafin mama gue....”
“KENAPA?! ADEK GUE KENAPA?!”
Tak dapat disangka Zemira mampu berteriak dengan suara seraknya.
“Renjun udah gak ada kak....”
“Dia meninggal.”
“Gue mah percaya banget kalo kak Ze tuh orangnya pemaaf, ye kan? Buktinya gue yang nyebelin, rese, gangguin kak Ze mulu, tetep aja di maafin. Apalagi orang lain?”