souljaehyunn

it's sad when you feel alone in a room full of people


Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya berada dalam posisi seperti ini. Biasanya Renjun yang selalu berkhayal bagaimana jika kami berada di tengah-tengah kejadian yang tak pernah kami bayangkan. Tentu saja kami berdua sering menonton film horror, dimana pemainnya cukup apik dan cukup pintar dengan segala usahanya lepas dari 'mereka'.

Bunda juga sering memarahiku karena aku selalu membuat si bungsu ketakutan. Ck! Lelaki apa yang takut dengan kegelapan? Ah sungguh Renjun membuatku frustasi karena sikap penakutnya. Lepas dari orang tua, tinggal berdua, ia sangat merepotkanku. Bayangkan saja! Ke kamar mandi, mengambil sesuatu diluar, bahkan tak jarang aku menemaninya di kamar sampai ia benar-benar tertidur. Melelahkan bukan?

Hingga akhirnya aku memiliki seorang kekasih yang sangat amat perhatian kepadaku, juga Renjun.

Taeyong. Aku tak bisa mendeskripsikannya. Menurutku, ia terlalu sempurna. Rasa sayangnya pada Adikku pun sangat tulus, hingga ia berhenti mengusikku dan malah meminta tolong apapun sesukanya pada Taeyong. Renjun sudah menganggapnya sebagai kakak keduanya. Itu sudah cukup melengkapi kebahagiaanku.

Dan tentu saja! Teman-teman terdekatku menjadi alasan mengapa aku bisa bertahan hidup berdua tanpa orang tua. Awalnya home sick melandaku, bukan hanya aku, tapi juga Renjun. Ia sering merengek ingin bersama Bunda dan Ayah saja. Tapi karena kami sudah menemukan teman terdekat yang bisa dikatakan keluarga baru, membuat segalanya berjalan seperti tanpa ada hambatan.

“Kak! Weh jangan ngelamun aja ayo kak Taeyong udah nunggu diluar ih!”

Benar, aku terkejut ketika tangan seseorang menarik lenganku tiba-tiba. Siapa lagi kalau bukan Renjun, adik tersayangku.

Berjalan keluar rumah, aku tak bisa menyembunyikan senyumku saat Taeyong melambaikan tangannya kearahku. Tak lupa dengan senyumnya yang sangat manis. Sungguh siapapun yang melihatnya akan jatuh cinta—

“KAK ZE!!!!”

“Naon si anjing!” Jujur saja, bocah satu ini selalu mengagetkanku.

Renjun melingkarkan tangannya di lenganku dengan sedikit menggoyang-goyangkannya. “Hehe gapapa biar fokusnya kak Ze buyar.”

Ctak!!

“Aduh kak Ze paan sih!” Ia mengeluh kesakitan. Ya dia pantas mendapatkan jitakan dari tangan saktiku. Itu setimpal dengan rasa kaget yang sudah beberapa kali aku rasakan.

“Mampus sukurin!” Kataku.

“Udah sih, Ze.”

“Yah? Apaan kamu malah ngebela si tuyul ini.”

“Kan aku cuma bilang, udah sih Ze? Aku gak ngebela.” Ujar Taeyong dengan nada yang sedikit— lucu menurutku.

“Tuyul? Tuyul paan tuyul?! Ih gak inget apa waktu gue dirasukin, lu nya nangis-nangis? Kak Ze tuh ya emang orangnya suka gengsi mana gak mau ngakuin kalo kak Ze—”

“Gue apa?”

Perkataan Renjun sengaja ia gantung untuk memancing keributan tentu saja.

“Mau aku tinggal aja?” Taeyong sudah berada di dalam mobil, di kursi pengemudi. Dan mendengar itu, kami buru-buru masuk ke dalam mobil.

Di perjalanan, Taeyong dan Renjun banyak sekali bicara. Membicarakan kejadian-kejadian yang mereka lalui satu bulan yang lalu.

Jika kalian ingin tau, semuanya sudah berakhir. Aku rasa begitu. Buktinya selama satu bulan aku terus bersama Renjun juga Taeyong. Yang lain? Entahlah aku tak menemui mereka dan aku sudah tak ingin bertemu siapapun lagi. Hanya dua orang yang aku sayang ini saja sudah cukup. Aku tak membutuhkan orang lain lagi.

Kami pergi ke— tempat dimana Taeyong pernah mengajakku. Hutan Pinus. Tubuhku seperti menolak untuk keluar dari mobil. Pandanganku terlalu terpaku pada tempat itu. Trauma? Bisa dibilang begitu.

Tok tok

“Kak? Ayo turun.” Renjun mengetuk kaca mobil, sedangkan Taeyong sudah berjalan dulu memasuki tempat itu.

“Kak? Buru ih apa gue tinggal?”

Mau tak mau aku keluar dari mobil. Memandang Renjun yang raut wajahnya berubah lebih berseri dari biasanya. Ia meraih tanganku untuk digenggam. Lantas berjalan sejajar denganku, menyusul langkah Taeyong yang jauh di depan sana.

“Jun.... pulang aja yuk?” Ujarku ketika tiba-tiba hembusan angin kencang menerjangku. Menerbangkan rambut yang sengaja tak kuikat. “K-kayaknya cuaca lagi—”

“Gak mau pulang. Disini aja kak, aku mau disini sama Kak Taeyong.”

“Cuacanya Jun astaga ini kayak mau hujan deh.”

Sungguh, aku tak berbohong. Langitnya memang tak menunjukkan tanda kecerahan. Hanya semburat abu keputihan yang terlukis disana. Tanda akan turun hujan bukan?

“Kak Taeyong!!”

Renjun berlari kearah Taeyong. Padahal ia tengah berjalan kearahku yang sedang duduk di sebuah batang pohon besar. Ia tersenyum kepadaku dengan kedua tangannya yang sengaja ia sembunyikan di balik tubuhnya.

“Apa?” Tanyaku pada Renjun yang berjalan sejajar dan tengah menutupi mulutnya dengan sesekali melirik ke belakang tubuh Taeyong.

“Apa sih???” Tanyaku kebingungan.

“Ze....”

“Aku habis metik ini, buat kamu.”

Mawar putih.

Entah mengapa hatiku terasa sakit ketika melihat bunga mawar. Ada rasa sakit, juga sedih yang luar biasa ketika melihat bunga cantik ini.

“Ecie kak Ze!!! Ayo dong terima dong!!!” Sorak Renjun dengan tepuk tangannya.

Taeyong masih berdiri di hadapanku dengan kedua tangan yang terulur menggenggam beberapa tangkai mawar putih.

“Ze, maaf selama ini aku gak bisa jaga kamu....”

Tiba-tiba?

“Maaf karena gara-gara aku, kamu jadi ngelewatin semua yang gak kamu mau.”

“Tolong maafin aku....”

“Aku gak bisa bantu kamu, aku ngebiarin kamu berjuang sendiri, aku juga yang bahkan ngerenggut orang-orang yang kamu sayang.”

“Ze, andai dulu aku bisa lebih terbuka sama kamu, dan andai aku gak nemuin cermin itu.... apa kita bisa hidup tenang dan baik-baik aja?”

Demi Tuhan, mendengar itu semua darinya membuat kedua mataku terasa panas. Aku merasa sudut mataku mulai membasah.

“Kak Ze....”

Hal yang jarang terjadi adalah, Renjun memelukku. Dengan sangat erat, seperti ia sedang menyalurkan rasa sedihnya. Semua air mata yang tertahan akhirnya lolos juga. Aku menangis di rengkuhan Renjun.

Renjun melepaskan pelukannya ketika sebuah tangan menarik lengannya pelan; Taeyong.

Ia menyodorkan lagi bunganya. Lantas aku mengambil mawar itu dari tangannya. Taeyong tersenyum.

“Kak Ze, maaf kalo Injun banyak ngerepotin lo.... Injun jadi cowok penakut yang gak bisa Kak Ze andelin.”

“Gue mah percaya banget kalo kak Ze tuh orangnya pemaaf, ye kan? Buktinya gue yang nyebelin, rese, gangguin kak Ze mulu, tetep aja di maafin. Apalagi orang lain?”

Tunggu— lidahku kelu untuk sekedar mengatakan satu kata saja. Aku hanya terus menangis tak henti-hentinya.

“Renjun sama aku ya, Ze?”

Apa maksudnya?!

“Aku bawa Renjun.... aku minta maaf.”

Keduanya berbalik dan berjalan membelakangiku. Siapapun tolong aku yang tak bisa bergerak sama sekali. Aku ingin meneriaki mereka berdua tapi Demi Tuhan aku kesusahan untuk mengucap.

Renjun menoleh ke belakang, ia menatapku dengan kedua sudut bibirnya tertarik. Tersenyum sembari melambaikan tangan.

“NOOOOOOO!!!!!!!!!”

Apa aku berada di alam mimpi? Jika iya, tolong segera bangunkan aku. Dan jika tidak, aku berharap ini benar-benar mimpi, sebuah mimpi buruk.

Baik Renjun maupun Taeyong terjatuh ke tanah, ketika tiba-tiba sebuah tangan menembus tubuh mereka. Aku yakin, hanya dengan sebuah tangan. Dengan seringai di wajahnya, ia terlihat sangat puas melihatku kacau dan putus asa.

Jeno.

. . . . .

“Zemira....”

“Ze???”

Tepat satu bulan. Gadis yang tubuhnya penuh luka itu akhirnya terbangun. Ia mengerjapkan matanya berulang kali. Berusaha beradaptasi dengan lingkungan yang telah lama ia tinggalkan.

Lelaki yang menemaninya di ruang putih selama satu bulan sontak berlari keluar ruangan untuk memanggil Dokter yang tak kunjung datang.

Bola matanya berotasi ke kanan, ke kiri, dengan tatapan lemah. Ia menjelajahi tiap sudut ruangan.

Setelah beberapa saat Dokter telah memeriksa keadaannya, barulah lelaki itu duduk di dekat bangsalnya.

“Akhirnya lo sadar....”

Zemira hanya menatapnya. Tubuhnya lumpuh karena sebulan lamanya ia koma.

Sreggggg

Suara gesekan pintu menyita atensi Zemira. Menampakkan seorang lelaki yang tampak tergesa-gesa masuk ke dalam ruangan.

“Kak!!!! Kak Ze udah sadar?!”

Tatapan Zemira berubah.

“Pelan-pelan ngapa Jen.”

“Kak Ze udah diperiksa Dokter? Apa belum?”

“Udah, udah dari tadi juga.”

“Terus kak Doy ngapain masih disini?”

“Ck! Bilang aja lo mau gantian jagain.”

Doyoung melepas tautannya di jemari Zemira, namun gadis itu menahannya. Mengeratkan genggamannya meski dengan susah payah.

“R-renjun.... m-mana?” Tanya Zemira dengan suara serak dan terbata-bata. Kedua manik hitamnya berkaca-kaca.

Doyoung dan Jeno saling melempar tatapan. Tak ada yang menjawab beberapa detik setelahnya.

“Biar Jeno yang jawab. Dia— gak mau ketemu lo, kalo lo nya belum sembuh.” Tukas Doyoung dengan memaksakan senyumnya, kemudian pergi meninggalkan Zemira dan Jeno.

Jeno menggantikan Doyoung, duduk di kursi dekat bangsal. Zemira tak mengindahkannya. Ia terpaksa memejamkan kedua matanya. Rasa benci, bahkan rasa ingin membunuh seseorang yang sedang bersamanya itu semakin kuat.

“Kak....”

“It's over.”

“Gue gak punya siapa-siapa lagi.”

“Gue udah sendirian.”

“Makasih karena kak Ze berhasil mutus sesuatu hal yang mengerikan ini.”

“Pasti kak Ze benci sama gue dan itu wajar.... lo gapapa benci gue kak, tapi maafin gue.”

“M-maaf....”

Suara Jeno bergetar, ia menyembunyikan wajahnya. Menangis tersedu di perpotongan lengannya.

“Kak Ze koma selama sebulan, dan gue harus ngomong ini sekarang kalo Renjun....”

Mendengar nama sang Adik, Zemira langsung membuka matanya dan melihat kearah Jeno yang masih menyembunyikan wajahnya.

Kalimatnya menggantung cukup lama, membuat jantung gadis itu berdegup semakin kencang. Ia takut dengan kenyataan yang tak sesuai dengan ekspektasinya.

Zemira menggoyangkan lengan Jeno. Membuat lelaki itu mendongakkan kepalanya. Matanya memerah dan basah penuh dengan air mata.

“K-kenapa?! In-jun k-kena-pa?!” Ia sudah meloloskan beberapa butiran bening.

“Maafin gue kak.... maafin kak Irene, maafin mama gue....”

“KENAPA?! ADEK GUE KENAPA?!”

Tak dapat disangka Zemira mampu berteriak dengan suara seraknya.

“Renjun udah gak ada kak....”

“Dia meninggal.”

image

“Gue mah percaya banget kalo kak Ze tuh orangnya pemaaf, ye kan? Buktinya gue yang nyebelin, rese, gangguin kak Ze mulu, tetep aja di maafin. Apalagi orang lain?”

Part 5 – Sell your soul

“Kak.... nggak aktif....”

“Gak. Gak. Coba telfon lagi.”

Percobaan kedua.

“Gak aktif kak....”

“Telfon lagi Na!!”

“Ze...” Lucy mengusap bahu Zemira.

“CEPET TELFON LAGI!!!”

Doyoung berusaha menenangkan Zemira yang terus saja berontak. Seperti lupa bahwa ia baru saja terluka, ia berlari sekencang-kencangnya kearah Gereja itu. Paman dan yang lain pun segera menyusulnya.

Gadis itu sudah menarik pagar pembatasnya hingga terbuka, namun Doyoung menangkapnya. Menarik tubuh mungil itu dan merengkuhnya.

“Ze! Sumpah lo jangan gegabah please gue mohon sama lo.” Bisik Doyoung di telinga Zemira.

“Lepasin gue!! Lepasin!!!” Ia masih terisak sembari memukuli punggung lawannya.

“DOY GUE BILANG LEPASIN!! Adek gue Doy!! Renjun ada di dalem gue mau kesana— gue mau nyusulin dia tolong lepasin gue!!”

Bibirnya bergetar. Doyoung pun tak bisa menahan tangis yang sudah berada di ujung matanya. Tak tega mendengar suara serak Zemira yang hampir hilang.

“Lo mau nyelametin adek lo? Gue bantu, lo tenang....” bisiknya lagi. “Lo tenang, ikut gue.... lo harus tenang.”

Tubuhnya melemah lagi. Ia tenggelamkan wajahnya di dada Doyoung dan menggenggam erat bajunya.

“Kita punya waktu 30 menit sebelum gerhana bulan. Waktu dimana dia akan menitiskan dirinya dan terlahir kembali.”

“Dua cermin mawar harus sama-sama dipecahin di waktu yang tepat. Saat upacara penyerahan jiwa dan penitisan nanti, mereka akan fokus pada mangsa, juga ritualnya.”

“Mangsa?” Tanya Lucas pada Paman. “Will there be more prey?

Paman mengangguk. “Ya, setidaknya mereka membutuhkan tiga mangsa.”

Semua menyimak penjelasan Paman, kecuali satu orang yang diam-diam menyeringai kecil di balik wajah seriusnya.

“Zemira, Paman harap kamu bisa berkontribusi dengan baik. Jangan gegabah. Apapun itu Doyoung bakal temenin kamu. Kalian berdua cari cermin itu di alam mereka. Jangan terkecoh dengan keadaan disana—”

“Biar gue sendiri yang pergi ke—”

“GAK!! Gila aja lo mau kesana sendiri?” Lucy menyambar. “Gue gak percaya kalo lo mau pergi kesana sendiri!”

“Kita berdua, Ze. Lo sama gue. Gak usah nyalahin aturan.” Tukas Doyoung.

Zemira menyerah. Ia hanya bisa menghela nafas pasrah. “Injun.... Renjun gimana Paman? Apa dia bakal baik-baik aja?”

“Iya.” Jawab Paman singkat. Entah jawabannya memang benar Renjun akan baik-baik saja atau sebaliknya? Jawaban yang hanya untuk melegakan hati Zemira saja.

'

Lima buah obor telah dinyalakan di sekeliling Doyoung dan Zemira. Kini mereka berdua duduk di tengah-tengah lima obor itu. Saling berhadapan. Bahkan kini Doyoung mengikat tangan kirinya dengan tangan kanan Zemira.

“Kalo gini lo gak bakal bisa lari sendiri.” Ujarnya sembari mengikat tangan gadis yang ada dihadapannya.

Darah dari telapak tangannya terus saja mengalir meski tak sebanyak tadi. Ia sama sekali tak mengkhawatirkan jika darahnya bisa saja habis.

“Doy—”

“Hm?”

“Lo belum cerita kenapa lo bisa dapetin banyak luka di tubuh lo.”

Doyoung tersenyum masam. “Perjuangan gue buat Ibu. Gue udah pernah ngalamin apa yang lo alamin kayak gini. Bedanya, gue yang harus berhadapan sama Ibu.”

Zemira tercekat.

“Kenapa? Haha. Iya Ibu gue pernah ada di sekte yang sama kayak mereka, dia pernah kayak Taeyong, Ze. Dan karena kecerobohan gue, Ibu meninggal. Alurnya semua sama kayak yang lo jalani sekarang.”

“Jadi sebelumnya ini udah terjadi? Maksud gue Rose udah ngelakuin ini dua kali?”

Doyoung menggelengkan kepalanya. “We're all in the same game, just different levels. Dealing with the same hell, just different devils. Sampe sini paham?”

Zemira hanya mengangguk. Banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan tapi mengingat waktu yang singkat ini, ia harus segera mungkin memecahkan cermin dan kembali menyelamatkan satu-satunya orang yang tersisa di hidupnya.

Pergi ke alam lain, mereka berdua memilih untuk menggunakan cara yang tidak menyakiti mereka. Kelima obor harus tetap menyala hingga mereka kembali.

“Ze, siap? Apapun yang kita hadapi disana, gue mohon tetep fokus sama tujuan kita.”

Ia mengangguk meski dirinya ragu.

Kedua mata mereka tertutup. Doyoung merapalkan sesuatu yang tak dimengerti Zemira. Bahasa Yunani. Ia memfokuskan dirinya hingga akhirnya mereka menjelajah alam yang berbeda.

. . . .

“Kenapa gue jadi penakut gini?” Bisik Winwin pada Jungwoo.

“Gue merinding disko sih.” Sahut Lucas.

“Lo berdua bisa diem fokus aja gak?!” Jungwoo memukul kedua lengan temannya itu.

Mereka bertiga berjalan dibarisan paling belakang. Sedangkan Paman dan yang lain sudah bersiap untuk masuk ke Gereja.

Benar kata Paman. Mereka terlalu fokus pada ritualnya hingga tak menyadari bahwa ada orang yang tengah membuka pintu dan memasuki Gereja.

Lucas, Winwin, Jungwoo, Lucy, dan Paman yang masuk kesana, sedangkan yang lain berjaga dan berkeliling di sekitar bangunan. Mereka semua tercekat melihat lelaki yang ada di tengah lingkaran pentagram. Kondisi yang cukup membuat siapapun yang melihatnya bergidik ngeri, membuat Lucy membungkam mulutnya dan menahan tangisnya.

What the hell?!” bisik Lucas.

Jungwoo benar-benar kesal dengannya. Ia menoleh cepat dengan jari telunjuk menempel bibir. “Lu bisa diem gak?” Ujarnya tanpa mengeluarkan suara.

Berjalan mendekat. Paman menyusuri tiap sudut ruangan bersama Jungwoo. Sedangkan Lucas dan Winwin mencari sebuah cermin di sudut yang lain. Berbeda dengan Lucy, gadis itu mendekati mereka yang sedang melakukan ritual.

Haechan, Jeno, Chenle, Irene, dan Taeyong berdiri di sekeliling Renjun, dengan kedua mata tertutup. Ia mendekati Taeyong, berada di belakangnya, melihat tepat di depan Renjun; adik dari sahabatnya. Butiran air mata Lucy lolos begitu saja. Ia keluarkan benda yang sengaja ia bawa di saku celananya. Pisau lipat. Tangannya bergetar ketika mengarahkan benda itu pada leher Taeyong.

“Semua gara-gara lo...” ujarnya lirih. “Gue gak salah kan kalo ngebunuh lo?”

Jemarinya semakin mengerat meski tangannya bergetar. Benda itu benar-benar menyentuh kulit leher Taeyong. Lucy memajukan wajahnya agar bisa membisikkan sesuatu pada telinganya.

Go to hell— AKKGHHH!!!” Pekiknya saat dengan cepat tubuh Taeyong berbalik dan menancapkan kuku tajamnya ke leher Lucy.

“LUCY!!!!” Teriak Jungwoo dan yang lain saat mendengar suara teriakannya.

Bahkan Jeno, Irene, Haechan, dan Chenle membuka kedua matanya, membuat Renjun terjatuh dan terkulai. Jangan bayangkan wujud mereka masih sama seperti manusia biasa. Tidak. Wujud mereka jauh dari kata manusia. Kulit mereka putih pucat, kedua mata mereka seluruhnya menghitam.

Taeyong menyeringai melihat lawannya mengeluarkan cukup banyak darah dari mulutnya karena cekikannya.

“T-tae—”

Sell your soul!” suara Taeyong menggelegar membuat Jungwoo, Lucas, Winwin, dan Paman tercekat dan tak bergerak sama sekali.

Lucas menggeram, ia tak percaya bila sahabatnya bisa melakukan ini. Hampir saja ia menghampiri Taeyong dan menghajarnya, namun Winwin mencegahnya.

Lelaki itu menggeleng. “Cas! Kata Paman apa? Mereka fokus sama mangsa dan—”

“HAHAHA.”

Kini suara tawa seseorang menggema di seluruh ruangan; Jeno. Berjalan menghampiri Lucas dan Winwin. Sedangkan Haechan dan Chenle menghampiri Jungwoo dan Paman di sudut lain. Mereka terkepung, bahkan Taeyong telah melumpuhkan Lucy yang sudah bersimbah darah di atas lantai. Kesadarannya pun mulai menghilang.

“Oh Paman? Kau berusaha menghentikanku lagi?”

“Usahamu sia-sia.”

“Aku sudah menitiskan diriku.” Ia menunjuk dirinya sendiri dengan telunjuknya. Membuat Paman berdesis.

“I-Irene.... lo masih disana! Gue tau lo— ARGHH!” Jungwoo menggerang ketika tangan Haechan mencekiknya dengan cepat.

Irene menggeleng sembari menyeringai. Ah bukan, dia Rose yang sudah berhasil menitiskan dirinya.

Tanpa disadari, Lucas dan Winwin telah dilumpuhkan oleh Jeno. Tersisa Jungwoo dan Paman yang belum tersentuh sama sekali. Seperti mereka berdua memiliki perisai yang cukup kuat untuk melindungi dirinya sendiri.

Paman tersenyum remeh, mengangkat tangan kanannya yang kini memegang cermin mawar. Tempat dimana Rose terkurung sebelumnya.

“Kau lupa bagaimana rasanya terkurung?”

“Jika perantaramu hancur, tubuh yang sedang kau tempati itu juga akan hancur. Sama saja kau— AKKHGGG!!”

“BERHENTI MENGANCAM!”

Pergerakan Taeyong cukup cepat. Secepat ia kini mencengkeram leher Paman. Baik Jungwoo atau Paman, kini berada dalam bahaya yang dapat merenggut nyawa mereka.

Lantas kemana perginya Jisoo, Jaemin dan Jisung? Harusnya mereka mendengar suara teriakan mereka dari dalam Gereja. . . . .

“Zemira!! Gue kaget kenapa Adek lo ada disini!”

“Doy! Lo harus cepet keluarin Adeknya Ze dari sana! Lo harus selametin dia sebelum dia jadi—”

“Berhenti meracau Jae!” Doyoung berdecak kesal mendengar Jaehyun yang heboh sejak ia sampai disana.

Dahi Zemira mengernyit. Bukankah seharusnya ia tak boleh berbicara di alam ini? Tapi mengapa Doyoung berbicara seenaknya?Bahkan dirinya tak berani mengucap satu patah kata pun, karena takut akan terjadi sesuatu setelahnya— ia trauma.

Tangan kanan Zemira tertarik ketika Doyoung bergegas, itu karena ikatan yang ada di pergelangannya. Tentu saja Jaehyun berada bersama mereka.

“Napa sih lo diem aja?” Tanya Jaehyun pada Zemira. Gadis itu hanya melirik tanpa berniat menjawab. “Ih bisu.”

“Jae? Lo makin berisik.” Tukas Doyoung.

“Ya abisnya Ze kayak orang bisu dari tadi gak ada ngobrol sama sekali.”

“Lo boleh ngomong, Ze. Tenang, gak ada siapa-siapa disini, mereka fokus sama ritualnya.”

Tak ada jawaban. Ia hanya terus mengikuti langkah Doyoung.

Mereka sampai di sebuah lorong panjang, yang akan mengantarkan mereka ke ruangan terlarang. Jantung Zemira berdegup cukup kencang hingga ia kesulitan mengatur nafasnya.

“Tenang Ze, ada gu— Akh shit!” Tiba-tiba saja Doyoung mengumpat. “Satu obor mati—”

“Lo harus balik!” Ujar Jaehyun.

Gadis itu tak mengerti apa yang terjadi dan mengapa Doyoung harus kembali padahal mereka belum sampai pada tujuan.

Doyoung melepas ikatan tangannya dan berlari ke tempat dimana mereka berdua terbangun.

“DOY!!!” Teriak Zemira. Ia membalikkan tubuhnya dan akan lari menyusul Doyoung, tapi ia menabrak tubuh Jaehyun yang sedang menghadangnya. “JAE!”

“Lo harus pecahin kacanya, Ze!”

“T-tapi Doyoung kenapa ninggalin gue? Gue gak bi—”

“Bisa! Lo pasti bisa!”

Jaehyun meyakinkan Zemira yang wajahnya penuh ketakutan dan kekhawatiran. Ia takut berhadapan dengan siapapun. Ia takut tindakannya salah. Ia takut bila akan merugikan dirinya dan orang lain lagi.

“Ayo!”

Nafasnya berderu, membuat tubuhnya bergetar dan Jaehyun dapat merasakan itu.

“Doy belum cerita?”

“Dia punya kemampuan melihat dua arah.”

“Dia bisa lihat sesuatu yang terjadi disekitar tubuhnya disana, saat dia ada di alam ini.”

“Tapi Doy bakal balik bantu gue kan?” Tanya Zemira.

“Gue gak tau, yang jelas sekarang lo harus berjuang sendiri.”

Kedua mata mereka bertemu. Berhasil melewati lorong panjang itu, Jaehyun berhenti di depan anak tangga.

“Gue tunggu sini.”

Zemira menatap Jaehyun dan anak tangga itu secara bergantian. “G-gue kesana sendiri?”

Jaehyun mengangguk seraya melepaskan tautan jemarinya dengan gadis itu. “Lo pasti bisa.”

“Gue denger disana ada ruangan penuh dengan tubuh manusia yang ketutup kain putih. Lo gak perlu khawatir, mereka udah mati. Katanya sih tubuh dari rekan-rekannya Rose. Gue pun gak tau.”

“Setelah ruangan itu, barulah ada ruangan penyimpanan— ah gue pun lupa.”

image

Tanpa pikir panjang, ia langkahkan kakinya. Menaiki beberapa anak tangga yang entah akan menuju ke tempat apa. Dengan penuh keyakinan, sesekali ia merapal doa dalam hatinya. Doa untuk dirinya, Adeknya, Doyoung, dan semua orang yang saat ini berjuang.

Sinar rembulan menyinari sebuah ruangan yang tertutup pintu kayu yang rapuh. Pintu yang penuh dengan tulisan menyala. Entah karena sinar, atau memang seseorang menulisnya dengan tinta khusus?

Tidak. Itu sebuah ukiran tak beraturan. Bahasa yang pernah ia jumpai di kotak yang diberikan Mark kala itu. Ah ia sampai lupa menanyakan pada Jaehyun bagaimana Mark sekarang.

Zemira membuka pelan pintu itu. Dan demi Tuhan ia menelan ludah kasar dan terbelalak melihat isi ruangan.

image

“What the—”

Ia membungkam mulutnya. Merasakan kepalanya begitu pening. Tubuhnya lemas, ia bersandar pada dinding di belakangnya.

“I-ini a-apa—”

Zemira mengusap wajahnya kasar. Ia tersadar mengingat ucapan Jaehyun sebelumnya. Menelan ludahnya kasar, ia terpaksa melakukannya sendiri. Berjalan melewati tubuh-tubuh yang tertutup kain putih. Sesekali merotasikan kedua matanya dan membalikkan tubuhnya. Takut-takut ada seseorang yang mungkin bisa saja mengikutinya.

Tak cukup disitu, ia kembali dikejutkan dengan ruangan gelap dengan lampu yang meremang. Ia meremat surai hitamnya.

“G-gimana gue bisa nemuin ini sendiri sih?!”

Ia sudah frustasi melihat banyaknya cermin tergantung di atas langit-langit ruangan.

Menarik nafas, kemudian membuangnya perlahan. Mencoba menenangkan dirinya sendiri dan mengingat perkataan-perkataan yang pernah ia dengar dari seseorang.

”...lo cuma perlu cari kaca besar yang bentuk dan ukirannya sama kayak punya lo ini...”

Mark pernah berkata seperti itu. Zemira dapat mengingatnya dengan jelas. Tapi yang ia lihat saat ini adalah semua kacanya terlihat sama. Besar kecilnya, namun ada satu yang menarik perhatiannya.

Ia melihat bayangan dirinya terpantul pada cermin itu— kecuali satu cermin yang Zemira yakini bahwa benda ini yang ia cari. Dan sepertinya ia berhasil mengambil benda itu. Ia tersenyum simpul meski peluhnya bercucuran deras.

Bergegas membalikkan tubuhnya dan berlari keluar dari sana, tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka.

Kriekkk

Zemira menghentikan langkahnya ketika seseorang masuk ke dalam ruang itu. Dengan wajah dinginnya, ia menatap Zemira tajam.

“M-ma— Tae-yong?” Seseorang masuk lagi.

Mark dan Taeyong. Berdiri di dekat pintu, sedangkan Zemira terhenti di tengah ruangan yang penuh dengan tubuh tertutup kain putih tadi.

“Aku udah bilang jangan kesini lagi, Ze....” Taeyong melangkah menghampiri Zemira, namun gadis itu berjalan mundur.

“B-ber-henti....” suara Zemira bergetar.

“Ini aku....”

Taeyong menatapnya sendu ketika lawannya menggelengkan kepala dengan tubuh yang bergetar ketakutan.

“Kamu harusnya—” ucapannya terhenti ketika menyadari sosok lain mendekat.

BRAKKKK!!!

Pintu itu terbuka kasar. Menampakkan sosok yang membuat kedua bola mata Zemira membulat, kemudian beberapa tetes beningnya lolos membasahi pipi putihnya. Tudung jubahnya sengaja ia singkap untuk memperlihatkan wujudnya dengan jelas. Sosok berkulit putih dengan otot-ototnya terlihat jelas. Matanya menghitam, dan jemarinya berlumuran darah dengan kuku-kuku yang tajam. Ia mendekat kearah Zemira. Membuat gadis itu terhuyung dan terjatuh.

image

Taeyong dan Mark diam tak menolong, ketika tangan itu meremat leher Zemira hingga tubuhnya terangkat keatas.

Zemira menangis, memegang tangan lawannya dan berusaha melepaskan.

“I-Injun... hiks.”

Ia berhadapan dengan dengan si bungsu. Satu-satunya orang yang tersisa dalam hidupnya. Tapi ia meyakinkan dirinya bahwa itu bukan Renjun.

Renjun semakin mengeratkan cekikannya membuat Zemira memukuli tangannya dengan benda yang ia bawa.

“Serahkan!”

Ia menggeleng. Lantas Renjun melemparkan tubuh Zemira dengan entengnya hingga kepalanya terbentur dinding sangat keras.

Tangan Zemira mengusap kepalanya dan cairan merah melekat di telapak tangannya. Ia menangis. Tak tau harus berbuat apa. Pandangannya terfokus pada pintu. Ia hanya perlu berlari dan keluar.

Dengan yakinnya ia bangkit dan berlari menabrakkan dirinya ke Renjun meski kehilangan keseimbangan. Namun sayang, Mark menggagalkan aksinya hingga ia jatuh tersungkur dan cerminnya terlepas dari genggaman tangannya.

“Mark— ARRRKGH!!! Sakit—”

Kaki Mark menginjak lengan Zemira yang sedang mencoba meraih cermin itu. Taeyong lebih dulu mengambilnya.

“Tae-yong... please—” Zemira terbatuk-batuk sembari meminta belas kasihan pada kekasihnya.

Berusaha mendudukkan dirinya, Mark membantu— ah tidak ia tidak membantu, ia hanya membuat Zemira berhadapan dengan Renjun lagi, kini.

Renjun berjongkok di hadapan Zemira sembari menyeringai.

“Injun.... ini gue. Kakak lo, Zemira.” Ujarnya dengan isak tangis yang tak dapat dibendung lagi.

Mengingat kejadian dimana Renjun pernah seperti ini kala itu, Zemira yakin dapat menyadarkan dan mengembalikan si bungsu.

“Gue tau lo masih disana.... gue tau Adek gue gak mungkin nyakitin orang lain, apalagi Kakaknya sendiri.”

Dengan berani tangan Zemira menyentuh pipi Renjun tanpa penolakan. Renjun diam dan tetap menatap lawannya tajam.

Dingin. Kulit Renjun sangat dingin.

“Injun ayo sadar!!” Zemira merengek. “Mana Adek gue yang penakut? Mana Adek gue yang selalu ikut kemanapun gue pergi?”

Kini ia merotasikan bola matanya dan menunjuk Taeyong. “Udah ketemu sama Abang lo kan? Dia yang pengen lo temuin? Udah kan? Ayo pulang....”

Renjun menggeram, mencengkeram tangan Zemira hingga kulitnya tergores kuku tajamnya.

Gadis itu meringis kesakitan tanpa menghentikan tangisnya.

Renjun mengarahkan setangkai bunga mawar ke telapak tangan Zemira. Namun terhenti ketika—

“Lo ditipu! Taeyong gak bisa balik lagi mesikpun lo nyerahin jiwa lo! SEMUA YANG UDAH MATI GAK BISA BALIK LAGI INJUN!!!”

Zemira menendang dada Renjun ketika melihat celah, kemudian merampas cermin dari tangan Taeyong dan berlari sekuat tenaga keluar dari sana.

Tubuhnya kesakitan. Ia tak peduli. Berlari melewati lorong panjang dan melihat Doyoung berlari pula kearahnya.

“HANCURKAN SEKARANG!!!”

“ZEMIRA HANCURKAN!!!”

Suara Doyoung tak begitu jelas. Mungkin karena kepala Zemira yang terbentur dan membuat pendengarannya terganggu.

Gadis itu terhenti ketika melihat Doyoung kesakitan. Tubuhnya lemas melihat sosok yang pernah ia temui sebelumnya di alam ini; Rose.

Mark, Taeyong dan Renjun datang dari arah belakang. Seperti terkepung, Zemira tak dapat berbuat apa-apa ketika kuku panjang Rose hampir mengenai kulit leher Doyoung.

“Serahkan cerminnya.” Ujar Rose.

Doyoung menggeleng. “Hancurkan!!! Hancurkan, Ze—Arrghh!!”

Zemira melihat kuku itu menggores kulit Doyoung, membuat darah segar mengalir.

“STOP!!!! Ja...ngan...” isak Zemira.

“SERAHKAN!!!”

Tubuh Zemira bergetar lagi. Ia sangat ketakutan. Luka-lukanya mulai terasa perih. Membalikkan tubuhnya, ia melihat tiga orang berjalan semakin mendekati dirinya. Ia benci situasi ini. Situasi dimana ia harus memilih. Bahkan nyawanya sendiri pun sedang terancam. Bagaimana ia harus menyelamatkan Doyoung, sedangkan disisi lain cermin yang sedang ia genggam harus segera dihancurkan.

“ARRRHHHHHHGGG!!” Doyoung memekik kesakitan, menatap Zemira penuh harap. “HANCURKAN SEKARANG ZEMIRA!!!!”

Zemira menutup kedua mata dengan air mata yang masih mengucur deras. Ia hentakkan cermin itu ke tanah dan menghancurkannya dengan batu yang sudah ia siapkan di sakunya. Menghancurkan cermin itu menjadi kepingan-kepingan kecil.

Kemudian tubuhnya terjatuh lemas dengan deru nafas yang tak beraturan. Ia tersenyum lega ketika berhasil menghancurkan benda itu.

Selesai bukan?

Tanpa berniat membuka matanya, kesadarannya menghilang.

to be continue- sabar:)

Part 4 – Sell your soul

image

Udara disekitarnya mulai terasa menyesakkan. Dingin, namun bisa membuat keringat Zemira bercucuran. Suara-suara aneh yang ia dengar lah yang menjadi salah satu penyebab ia berkeringat.

Berkali-kali ia membalikkan tubuhnya, tapi tak ada seorang pun disana.

Pelan-pelan gadis itu mencoba berjalan kembali. Ritme jantungnya melampaui batas normal ketika ia mendengar suara langkah kaki di belakangnya.

“D-doy? I-itu lo di be-lakang g-gue?” Ucapnya terbata.

Hening.

“O-oh bu-kan y-ya?”

Ia terus berjalan dengan kepala menunduk. Lagi-lagi ia kembali dikejutkan oleh seseorang yang tengah berjalan ke arahnya.

image

Sesak. Rasanya ia hampir kehilangan nafas. Itu Jeno. Yang berjalan menuju Zemira adalah Jeno. Dirinya sendiri yakin meski sedikit tertutup kabut.

Kebingungan. Apakah ia harus terus berjalan? Apakah ia berdiam diri saja di tempat? Apakah ia harus lari ke sembarang arah agar tak bertemu dengan Jeno?

Tubuhnya terasa kaku ketika telinganya menangkap suara gumaman dari balik tubuhnya. Seperti sedang merapal mantra? Tak begitu jelas.

“Aaaarrgh!!!”

Sontak Zemira berteriak ketika tubuhnya serasa di tusuk dengan belati dari arah belakang. Rasa sakitnya dari punggung hingga menembus ke jantung.

Jangan.... gue mohon jangan sekarang... keluhnya dalam hati.

Tak ada benda apapun yang menusuk dirinya. Sungguh tak ada. Ia meraba tubuh bagian depannya dengan tangan gemetar. Seketika ia tersungkur ke depan. Rasa sakitnya melebihi rasa sakit apapun yang pernah Zemira rasa.

Bertumpu pada lutut dan kedua lengannya, ia terbatuk-batuk hingga darah keluar dari mulutnya.

Ia ingin menangis, sungguh. Ketika seorang lelaki dari balik tubuhnya menjajari dirinya.

Taeyong— bukan, entah makhluk apa yang sekarang berada dalam tubuh orang yang Zemira cintai, atau mungkin Rose? Dengan seringai di wajahnya. Kilat tajam matanya menjerumuskan gadis itu ke alam lain.

“Ze, bunuh tubuhku...”

“Aku hanya ingin istirahat dengan tenang...

“Bunuh aku, dan makamkan dengan baik..”

Suara itu.... entah datang darimana memenuhi ruang pikiran Zemira. Pada saat yang bersamaan Taeyong menggoreskan batang bunga mawar ke kulit tipis milik lawannya.

Kejadian itu sama persis dengan kejadian dimana Taeyong melumpuhkan Jaehyun di kamar kosnya. Zemira pun dipaksa menggenggam beberapa tangkai bunga mawar, hingga telapak tangannya mengucur deras cairan merah.

Zemira tak bisa berbuat apa-apa karna tubuhnya benar-benar terasa kaku. Ia sangat kesulitan menggerakkan tubuhnya.

“T-tae-yong.... Aaaaarghhh!!!” Ia menangis tersedu dan hanya teriakan yang mampu keluar dari mulutnya.

Hampir saja tangan itu menyentuh lehernya. Padahal tangannya yang lain sudah terulur, dengan kuku tajam yang sudah menempel di kulit leher Zemira.

Jeno menghentikan aksinya.

Zemira mendongak. Betapa terkejutnya gadis itu dengan rupa Jeno. Lelaki itu sama sekali tak terlihat seperti Jeno yang ia kenal. Mulutnya penuh dengan cairan merah, bola matanya berubah menjadi kemerahan.

“J-Jen....”

Jeno menyingkap tudung yang menyelimuti kepalanya. Gadis itu semakin dibuat terkejut dan seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat.

image

Tanduk itu menandakan bahwa—

Taeyong beranjak dari sana, meninggalkan Jeno untuk menuntaskan sisanya.

Zemira masih terisak dan semakin terisak melihat seseorang yang pernah ia anggap Adik sendiri berubah menjadi makhluk yang menyeramkan.

“Kak...”

“Jangan cari Renjun.”

He's already part of my family.”

Zemira menggelengkan kepalanya.

“Percuma lo kesana. Lo gak bakal bisa jemput Renjun pulang.”

He'a not himself anymore.

“Eng-gak Jen! J-jangan....” Hanya itu yang mampu keluar dari mulutnya. Susah. Sangat susah. Ia terlalu lemah dengan cairan merah yang terus keluar dari telapak tangannya, juga mulutnya yang masih merah membasah.

Someone will sell his soul demi menghidupkan kembali jiwa yang telah mati.”

“Dan lo tau itu siapa.”

Jeno memakai tudungnya lagi. Kini lelaki itu berdiri dengan menatap Zemira datar. Bagaimana pun ia juga pernah menganggap Zemira sebagai Kakaknya.

Jeno meninggalkan Zemira sendiri disana. Dengan keadaannya yang mengerikan.

. . . .

Atmosfere di dalam Gereja berubah ketika Taeyong datang. Renjun yang sejak tadi menaburkan kelopak bunga mawar disana menghentikan kegiatannya saat menyadari seseorang menepuk bahunya.

“Kenapa teh?” Tanyanya pada Irene.

“Yuk kita mulai.”

“Tapi Jeno belum balik.”

“Gak papa, lo gue bawa ke alam lain dulu.”

Renjun mengernyit. Ia kebingungan karena tak tau menau bila hal seperti ini ada di dunia.

Irene menarik pergelangan tangan Renjun agar lelaki itu mengikuti langkahnya. Dan kini ia berdiri tepat di sebuah lingkaran pentagram. Bola matanya merotasi kearah Taeyong yang berdiri tak jauh di depannya.

“Kak Taeyong....” Sapanya, yang hanya dibalas tatapan tajam dan dingin.

Ah bukan Kak Taeyong ya? batinnya.

Chenle membantu Irene menyalakan lilin-lilin di sekitar lingkaran itu, membuat Renjun terheran-heran mengapa mereka harus menyalakan lilin.

Krieeettt

Jeno dan Haechan muncul bersamaan. Masuk ke dalam bangunan itu dengan ekspresi wajah yang berbeda. Tidak seperti saat Renjun datang.

Renjun merogoh ponselnya ketika mereka sedang sibuk memposisikan diri mereka. Menyalakan ponsel yang sengaja ia non-aktifkan.

50 Panggilan tak terjawab dari si sulung. 99+ Pesan dari Jaemin, Jisung, Doyoung, juga Zemira.

Renjun tersenyum melihat mereka mengkhawatirkannya. Jemarinya bergerak cepat untuk membalas pesan-pesan mereka. Setelah kemudian suara Taeyong yang menggelegar membuat ponselnya terlempar, dan tubuhnya terguncang hebat.

. . . .

“Lo sumpah bebel banget bangsat nyusahin!” Umpat Doyoung pada Zemira.

Paman dan semua orang telah menemukan Zemira. Kini mereka berjalan bersama menuju tempat dimana Rose akan menitiskan dirinya.

“Doy! Udah kenapa sih?!” Protes Jisoo.

Doyoung dan Jisoo membopong Zemira bersama. Gadis itu seperti sudah tak bernyawa lagi— maksudnya ia hanya diam, berjalan sekenanya, dengan tatapan kosong tentu saja.

“Kak kalo kak Taeyong bisa balik, kak Ze bakal seneng gak?”

“Kalo gue bakal seneng banget kak.”

“Ya karna dia udah kayak Abang gue sendiri. Gue bakal ngelakuin apa aja sih yang bisa bikin dia balik.”

”....Gue udah bukan Injun si penakut, hehe.”

“Tapi ya kak, gue serius pengen kak Taeyong balik. Seenggaknya dia lebih bisa ngejaga lo daripada gue.”

Mata Zemira yang kering itu kembali basah. Mengingat obrolan singkatnya bersama si bungsu di sore hari, membuat dadanya sesak sekali.

“Kak Ze!!! Renjun bales chat gue!”

Jaemin berlari mendahului yang lain dan menghentikan langkah Zemira. Gadis itu langsung menyambar ponsel yang sedang dilayangkan di depan wajahnya.

Dengan tangan gemetar, ponsel miliknya ia buka. Sayang, sepertinya Semesta tak berpihak kepadanya. Ponselnya mati. Entah karena insiden itu atau baterai ponselnya.

“Na.... telfon. Gue mohon telfon Renjun.”

Jaemin mengangguk dan langsung menyetujui permintaan Zemira.

“Kak.... gak aktif....”

“Gak. Gak. Coba telfon lagi.”

Percobaan kedua.

“Gak aktif kak....”

“Telfon lagi Na!!”

“Ze...” Lucy mengusap bahu Zemira.

“CEPET TELFON LAGI!!!”

to be continue – Part 5

Part 3 – Welcome to Silent hill

”.....gerhana bulan mengungkapkan apa yang tersembunyi tentang lo— yang belum pernah terungkap sebelumnya.“”

“A-apa maksudnya?!”

“Ya— lo bisa berubah jadi siapa lo sebenernya. Lebih simple nya lagi, di diri lo 60% jahat 40% baik, lo jadi jahat, vice versa.”

. . .

“I-itu Renjun—”

“INJUN GAK ADA DIRUMAH KAK!!”

. . .

Apa yang mereka rencanakan, Renjun sama sekali tak mengerti. Ia hanya fokus pada game yang ia mainkan di ponselnya. Dengan sesekali mendecih mendengar beberapa kalimat yang ia tangkap dari obrolan mereka.

“Cih! Mitos gerhana bulan.” Gumamnya. “Kenapa dah orang-orang kuno percaya banget sama mitos.” Ucapnya lirih.

Satu notifikasi masuk. Membuatnya melirik kearah jam. Buru-buru ia matikan ponselnya dan beranjak dari kursi empuk yang sedari tadi mampu membuatnya duduk nyaman.

Mereka semua sibuk berdiskusi hingga tak menyadari seorang lelaki berusaha melarikan diri.

Rasa takutnya seperti menghilang begitu saja. Ia bukan lagi Renjun si penakut. Buktinya, kali ini ia berjalan sendiri menuju Silent Hill. Tanpa penerangan apapun. Ia hanya mengandalkan cahaya rembulan. Meski beberapa kali ia terkejut akan suara-suara yang masih terasa menyeramkan baginya.

Sebelum pergi tadi, ia membawa jubah hitam yang Jeno berikan satu hari sebelum keberangkatannya ke UK. Entah bagaimana caranya ia bisa menyembunyikan barang itu dari Zemira. Padahal baju mereka berdua dikemas dalam satu koper.

Di tengah perjalanan yang ia yakini sudah setengah jalan, Renjun berhenti sejenak. Ia mengenakan jubah hitamnya tanpa melepas sehelai pakaian yang ia kenakan.

image

Kembali berjalan, ia menundukkan pandangannya. Terbesit segala rasa bersalahnya terhadap sang Kakak. Ia lupa untuk berpamitan— ah Renjun memang sengaja menyembunyikannya dari Zemira. Karna ia yakin bahwa Kakaknya tak akan setuju dengan keputusan yang ia buat.

Sebenarnya ia sendiri ragu. Apakah ini sebuah keputusan, atau memang jalan takdir hidupnya?

Dugh!!

Ujung kakinya tak sengaja menendang sebuah pagar yang rupanya ia telah sampai di tempat tujuan.

Mendongakkan kepalanya, Renjun berjingkat kecil ketika di balik pagar telah ada seseorang yang mungkin sedari tadi menunggu hadirnya.

“Kaget gue!” Protes Renjun sembari mengusap dadanya.

“Dih? Udah nyampe sini sendirian baru ngerasa kaget karna ngeliat gue? Lo di jalan apa gak kaget sama—”

“YA LO PIKIR SENDIRI CHAN!”

“Haha chill Jun! Etdah.” Tawa Haechan. “Lo masuk aja sono, Jeno di dalem Gereja sama kakaknya.”

Renjun mengangguk. “Berdua doang? Maksud gue bertiga doang sama lo?”

“Gak lah. Chenle sama.... bentar deh lo gak ketemu sama kak Taeyong di bawah tadi?”

“Gak tuh.”

Haechan hanya ber-oh ria dengan sedikit mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya udah.” Ia berjalan berlawanan arah dengan Renjun.

“Lah lo mau kemana?”

“Ke bawah.”

“Ngapain?”

“Cari makan. Laper.” Jawab Haechan singkat dan membalikkan tubuhnya. Tangannya menarik tudung jubah untuk menyembunyikan wajahnya disana.

Beberapa langkah menuju Gereja, barulah Renjun tersadar dengan kalimat yang dilontarkan Haechan. 'Lapar' dalam artian apa yang dimaksud? Apakah itu lapar yang sesungguhnya atau—

Tepat di depan bangunan, pikiran polosnya kembali menyelimuti lelaki itu. Pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan dirinya sendiri, seperti,

“Kenapa gue disini?”

“Lah kalo gue masuk ke tempat ibadah orang lain, gue dosa gak sih?”

“Ngapa dah Jeno juga ada di dalem?”

Renjun! Enyah saja kau dari bumi! Kenapa bisa pikiran polos baru saja datang disaat kau sendiri sudah percaya dengan jiwa yang bisa kembali dihidupkan!

Sudah tinggal saja putar tubuhmu dan kembali pada Kakakmu yang sekarang sedang mengkhawatirkan keberadaanmu! Setelah itu mintalah maaf pada Tuhanmu!

Krieetttt....

Rupanya bangunan ini sudah benar-benar berumur. Pintunya saja dapat menghasilkan suara se-nyaring itu. Jika dilihat dari luar, tampak sangat menyeramkan karena tak ada satu pun pencahayaan. Berbeda ketika Renjun memasuki Gereja itu.

Semua obor dinyalakan— mungkin karena listriknya sudah di putus sejak lama. Dan ketiga orang yang sibuk menyiapkan segala sesuatunya mengarahkan atensi pada seseorang yang baru saja masuk.

“Jun!” Sapanya.

Ia menghampiri dan membawakan dua tangkai bunga mawar untuk Renjun. Dan satu tangan lainnya menggenggam sebuah kalung yang entah untuk apa.

Menyelipkan dua tangkai itu pada saku dalam jubah Renjun.

“Buat paan dah?”

“Syarat.” Jawabnya singkat. “Lo kesini sendirian kan?”

“Ya menurut lo aja ini emangnya gue keliatan bawa orang sekampung?”

“Kak Ze?”

“Di rumah.”

“Lo bilang sama kak Ze kalo mau ketemu gue?”

“Emang gue harus bilang?”

“Ya bilang aja kalo lo mau. Harusnya sih lo pamit sama kakak lo.”

Renjun berdecak. “Kenapa gak dari tadi aja lo bilangnya Jeno?? Gue udah disini yang ada kak Ze nyariin gue kalo gue ngabarin sekarang.” Ucapnya gemas.

“Ya emang dia bakal nyariin lo gak sih?”

“Si anjir lo emang sengaja banget ye bikin ribut!”

Jeno tertawa. Rasanya begitu menggelikan menggoda sahabatnya itu— iya sahabat. Lawannya pun ikut tertawa dan beberapa saat memandang Jeno, ia merasa seperti ada sesuatu yang aneh.

Tangan kanannya meraih tudung Jeno yang menutupi kepalanya itu. Ia ingin menyingkap tudungnya, namun tangan kekar Jeno lebih dulu menghempaskan tangan Renjun dengan cepat.

“Sakit bangsat!”

“Lo gak sopan!” Sembari membenarkan tudungnya yang hampir tersingkap. Lantas ia berjalan keluar dari bangunan tua itu.

Renjun menyipitkan matanya untuk memperjelas penglihatannya.

Aneh. Kenapa kepala Jeno—

. . . .

Kalut. Tubuhnya bagai dihempas oleh angin ribut. Rasanya sesak sekali. Tanpa berpikir panjang Zemira menerobos Lucy dan Jaemin yang ada di depannya.

“ZEMIRA!!”

“KAK ZE!”

Ia lari dengan sekuat tenaganya. Menuju pada bukit diatas sana. Doyoung tengah mengejarnya, namun entah kenapa jarak diantaranya tak dapat dikikis.

“ZE!!” Teriak Doyoung yang nampaknya tak didengar oleh gadis itu.

Katakanlah Zemira keras kepala. Tapi memang itu sifat alamiah yang ada dalam dirinya. Ia tak peduli dengan siapa ia akan berhadapan. Ia tak peduli lagi bila harus bertaruh nyawa lagi. Yang jelas, tidak boleh ada satu pun yang bersamanya. Meski ia sendiri takut, namun ia tak ingin bila orang yang bersamanya nanti akan direnggut nyawanya.

Baru kali ini gadis itu berlari sekencang-kencangnya. Seperti pelari profesional, ia sama sekali tak kenal lelah.

“Jun angkat!! Injun angkatttt!!”

Menatap layar ponsel, kemudian mendekatkan kembali pada telinganya. Hanya itu yang ia lakukan beriringan dengan langkah kakinya.

Semakin ia masuk ke bukit itu, semakin susah ia mendapatkan sinyal. Terakhir, Zemira mendapat panggilan dari Doyoung yang hanya mampu berkata,

Ze! Jangan terusin jalan sendiri! Diem disitu, gue—

Lantas sambungan terputus. No signal. Ia menghempaskan ponselnya lalu membawa benda itu ke dalam sakunya.

Jemarinya meremat surai hitam miliknya. Merotasikan bola matanya ke kanan kemudian ke kiri, hingga akhirnya ia berjongkok dan menangis. Menenggelamkan wajahnya di perpotongan lengannya. Memeluk kedua kakinya dengan bahu yang naik turun tanda tangisnya semakin dalam.

“Injun gue cuma punya lo doang....”

“Gue takut....”

Gumamnya di tengah isakannya.

Angin kencang tiba-tiba saja berhembus, melewati gadis yang tengah berjongkok itu. Membuat Zemira mendongakkan kepalanya. Netra hitamnya menelisik ke depan. Rupanya kabut mulai turun.

Tak ingin menyia-nyiakan waktu lagi, Zemira bangkit dan menyeka wajahnya dengan telapak tangannya. Nafasnya bahkan belum teratur, tapi ia sudah kembali nekat melangkahkan kakinya.

Harusnya ia sadar bahwa ada sepasang mata yang sedang mengawasinya tak jauh dari tempat dimana ia berdiri.

to be continue – Part 4

Part 3 – Sell your soul

”.....gerhana bulan mengungkapkan apa yang tersembunyi tentang lo— yang belum pernah terungkap sebelumnya.“”

“A-apa maksudnya?!”

“Ya— lo bisa berubah jadi siapa lo sebenernya. Lebih simple nya lagi, di diri lo 60% jahat 40% baik, lo jadi jahat, vice versa.”

. . .

“I-itu Renjun—”

“INJUN GAK ADA DIRUMAH KAK!!”

. . .

Apa yang mereka rencanakan, Renjun sama sekali tak mengerti. Ia hanya fokus pada game yang ia mainkan di ponselnya. Dengan sesekali mendecih mendengar beberapa kalimat yang ia tangkap dari obrolan mereka.

“Cih! Mitos gerhana bulan.” Gumamnya. “Kenapa dah orang-orang kuno percaya banget sama mitos.” Ucapnya lirih.

Satu notifikasi masuk. Membuatnya melirik kearah jam. Buru-buru ia matikan ponselnya dan beranjak dari kursi empuk yang sedari tadi mampu membuatnya duduk nyaman.

Mereka semua sibuk berdiskusi hingga tak menyadari seorang lelaki berusaha melarikan diri.

Rasa takutnya seperti menghilang begitu saja. Ia bukan lagi Renjun si penakut. Buktinya, kali ini ia berjalan sendiri menuju Silent Hill. Tanpa penerangan apapun. Ia hanya mengandalkan cahaya rembulan. Meski beberapa kali ia terkejut akan suara-suara yang masih terasa menyeramkan baginya.

Sebelum pergi tadi, ia membawa jubah hitam yang Jeno berikan satu hari sebelum keberangkatannya ke UK. Entah bagaimana caranya ia bisa menyembunyikan barang itu dari Zemira. Padahal baju mereka berdua dikemas dalam satu koper.

Di tengah perjalanan yang ia yakini sudah setengah jalan, Renjun berhenti sejenak. Ia mengenakan jubah hitamnya tanpa melepas sehelai pakaian yang ia kenakan.

image

Kembali berjalan, ia menundukkan pandangannya. Terbesit segala rasa bersalahnya terhadap sang Kakak. Ia lupa untuk berpamitan— ah Renjun memang sengaja menyembunyikannya dari Zemira. Karna ia yakin bahwa Kakaknya tak akan setuju dengan keputusan yang ia buat.

Sebenarnya ia sendiri ragu. Apakah ini sebuah keputusan, atau memang jalan takdir hidupnya?

Dugh!!

Ujung kakinya tak sengaja menendang sebuah pagar yang rupanya ia telah sampai di tempat tujuan.

Mendongakkan kepalanya, Renjun berjingkat kecil ketika di balik pagar telah ada seseorang yang mungkin sedari tadi menunggu hadirnya.

“Kaget gue!” Protes Renjun sembari mengusap dadanya.

“Dih? Udah nyampe sini sendirian baru ngerasa kaget karna ngeliat gue? Lo di jalan apa gak kaget sama—”

“YA LO PIKIR SENDIRI CHAN!”

“Haha chill Jun! Etdah.” Tawa Haechan. “Lo masuk aja sono, Jeno di dalem Gereja sama kakaknya.”

Renjun mengangguk. “Berdua doang? Maksud gue bertiga doang sama lo?”

“Gak lah. Chenle sama.... bentar deh lo gak ketemu sama kak Taeyong di bawah tadi?”

“Gak tuh.”

Haechan hanya ber-oh ria dengan sedikit mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya udah.” Ia berjalan berlawanan arah dengan Renjun.

“Lah lo mau kemana?”

“Ke bawah.”

“Ngapain?”

“Cari makan. Laper.” Jawab Haechan singkat dan membalikkan tubuhnya. Tangannya menarik tudung jubah untuk menyembunyikan wajahnya disana.

Beberapa langkah menuju Gereja, barulah Renjun tersadar dengan kalimat yang dilontarkan Haechan. 'Lapar' dalam artian apa yang dimaksud? Apakah itu lapar yang sesungguhnya atau—

Tepat di depan bangunan, pikiran polosnya kembali menyelimuti lelaki itu. Pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan dirinya sendiri, seperti,

“Kenapa gue disini?”

“Lah kalo gue masuk ke tempat ibadah orang lain, gue dosa gak sih?”

“Ngapa dah Jeno juga ada di dalem?”

Renjun! Enyah saja kau dari bumi! Kenapa bisa pikiran polos baru saja datang disaat kau sendiri sudah percaya dengan jiwa yang bisa kembali dihidupkan!

Sudah tinggal saja putar tubuhmu dan kembali pada Kakakmu yang sekarang sedang mengkhawatirkan keberadaanmu! Setelah itu mintalah maaf pada Tuhanmu!

Krieetttt....

Rupanya bangunan ini sudah benar-benar berumur. Pintunya saja dapat menghasilkan suara se-nyaring itu. Jika dilihat dari luar, tampak sangat menyeramkan karena tak ada satu pun pencahayaan. Berbeda ketika Renjun memasuki Gereja itu.

Semua obor dinyalakan— mungkin karena listriknya sudah di putus sejak lama. Dan ketiga orang yang sibuk menyiapkan segala sesuatunya mengarahkan atensi pada seseorang yang baru saja masuk.

“Jun!” Sapanya.

Ia menghampiri dan membawakan dua tangkai bunga mawar untuk Renjun. Dan satu tangan lainnya menggenggam sebuah kalung yang entah untuk apa.

Menyelipkan dua tangkai itu pada saku dalam jubah Renjun.

“Buat paan dah?”

“Syarat.” Jawabnya singkat. “Lo kesini sendirian kan?”

“Ya menurut lo aja ini emangnya gue keliatan bawa orang sekampung?”

“Kak Ze?”

“Di rumah.”

“Lo bilang sama kak Ze kalo mau ketemu gue?”

“Emang gue harus bilang?”

“Ya bilang aja kalo lo mau. Harusnya sih lo pamit sama kakak lo.”

Renjun berdecak. “Kenapa gak dari tadi aja lo bilangnya Jeno?? Gue udah disini yang ada kak Ze nyariin gue kalo gue ngabarin sekarang.” Ucapnya gemas.

“Ya emang dia bakal nyariin lo gak sih?”

“Si anjir lo emang sengaja banget ye bikin ribut!”

Jeno tertawa. Rasanya begitu menggelikan menggoda sahabatnya itu— iya sahabat. Lawannya pun ikut tertawa dan beberapa saat memandang Jeno, ia merasa seperti ada sesuatu yang aneh.

Tangan kanannya meraih tudung Jeno yang menutupi kepalanya itu. Ia ingin menyingkap tudungnya, namun tangan kekar Jeno lebih dulu menghempaskan tangan Renjun dengan cepat.

“Sakit bangsat!”

“Lo gak sopan!” Sembari membenarkan tudungnya yang hampir tersingkap. Lantas ia berjalan keluar dari bangunan tua itu.

Renjun menyipitkan matanya untuk memperjelas penglihatannya.

Aneh. Kenapa kepala Jeno—

. . . .

Kalut. Tubuhnya bagai dihempas oleh angin ribut. Rasanya sesak sekali. Tanpa berpikir panjang Zemira menerobos Lucy dan Jaemin yang ada di depannya.

“ZEMIRA!!”

“KAK ZE!”

Ia lari dengan sekuat tenaganya. Menuju pada bukit diatas sana. Doyoung tengah mengejarnya, namun entah kenapa jarak diantaranya tak dapat dikikis.

“ZE!!” Teriak Doyoung yang nampaknya tak didengar oleh gadis itu.

Katakanlah Zemira keras kepala. Tapi memang itu sifat alamiah yang ada dalam dirinya. Ia tak peduli dengan siapa ia akan berhadapan. Ia tak peduli lagi bila harus bertaruh nyawa lagi. Yang jelas, tidak boleh ada satu pun yang bersamanya. Meski ia sendiri takut, namun ia tak ingin bila orang yang bersamanya nanti akan direnggut nyawanya.

Baru kali ini gadis itu berlari sekencang-kencangnya. Seperti pelari profesional, ia sama sekali tak kenal lelah.

“Jun angkat!! Injun angkatttt!!”

Menatap layar ponsel, kemudian mendekatkan kembali pada telinganya. Hanya itu yang ia lakukan beriringan dengan langkah kakinya.

Semakin ia masuk ke bukit itu, semakin susah ia mendapatkan sinyal. Terakhir, Zemira mendapat panggilan dari Doyoung yang hanya mampu berkata,

Ze! Jangan terusin jalan sendiri! Diem disitu, gue—

Lantas sambungan terputus. No signal. Ia menghempaskan ponselnya lalu membawa benda itu ke dalam sakunya.

Jemarinya meremat surai hitam miliknya. Merotasikan bola matanya ke kanan kemudian ke kiri, hingga akhirnya ia berjongkok dan menangis. Menenggelamkan wajahnya di perpotongan lengannya. Memeluk kedua kakinya dengan bahu yang naik turun tanda tangisnya semakin dalam.

“Injun gue cuma punya lo doang....”

“Gue takut....”

Gumamnya di tengah isakannya.

Angin kencang tiba-tiba saja berhembus, melewati gadis yang tengah berjongkok itu. Membuat Zemira mendongakkan kepalanya. Netra hitamnya menelisik ke depan. Rupanya kabut mulai turun.

Tak ingin menyia-nyiakan waktu lagi, Zemira bangkit dan menyeka wajahnya dengan telapak tangannya. Nafasnya bahkan belum teratur, tapi ia sudah kembali nekat melangkahkan kakinya.

Harusnya ia sadar bahwa ada sepasang mata yang sedang mengawasinya tak jauh dari tempat dimana ia berdiri.

to be continue – Part 4

Part 2 — Moon Children

Konon, anak yang dijuluki moon children akan terlahir dengan setan jahat yang merasuk di dalam diri mereka.

Rose— hasil dari hubungan seksual saat gerhana bulan; yang konon katanya akan berdampak buruk pada anak yang dihasilkan dari hubungan suami istri itu.

Lahir di benua Eropa, gadis itu tumbuh tanpa kedua orang tua. Ia tumbuh tak seperti anak pada umumnya. Di usia 17 tahun, ia bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit. Hingga lima tahun lamanya, masyarakat meyakini bahwa dirinya adalah seseorang yang diciptakan oleh Tuhan dengan sangat special.

Masyarakat semakin bergantung kepadanya. Meski tak ada yang tau bagaimana ia bisa mendapatkan kelebihan itu.

. . .

Ia adalah penyihir yang telah melakukannya dengan baik untuk dirinya sendiri. Atau mungkin kedua orang tuanya yang mewariskan itu kepadanya.

Rose juga bagian dari sekte pemuja setan di California yang terdiri dari orang-orang cantik dan kaya. Keadaan menjadi lebih rumit bagi lelaki biasa yang jatuh cinta pada Rose. Hingga mereka berdua menikah di Indonesia dan memiliki dua anak.

Irene dan Jeno.

Rose menyembunyikan identitas dari suaminya bertahun-tahun lamanya. Hingga ia harus kembali ke California untuk mengikuti Ritual of Evil.

Mengenakan jubah hitam dan mengorbankan manusia untuk tuannya, adalah hal yang wajib dari Ritual tersebut.

Masyarakat yang semakin resah, terlebih dengan adanya penemuan mayat yang tak henti-hentinya. Merasa janggal dengan Rose yang hampir setiap hari pergi ke bukit diatas sebuah pedesaan itu, beberapa orang— Paman, juga kedua orang tua Jungwoo membuntutinya.

Silent Hill. Bukit yang sunyi, bahkan hampir tak pernah dijamah manusia, ternyata memiliki satu bangunan kokoh yang tak banyak orang tau.

Rose pergi kesana untuk bertemu dua perempuan lainnya. Mereka tengah merencanakan ritual di bulan purnama. Yang mereka yakini akan bisa hidup abadi.

Mendengar itu, Paman dan kedua orang tua Jungwoo yang memang adalah anggota dari salah satu perkumpulan penentang sekte tak tinggal diam. Mereka pun menambah target pemusnahan massal.

Gereja Setan- Silent hill.

Saat mereka berkumpul di malam purnama, Paman dan hampir seluruh masyarakat setempat menghancurkan ritualnya. Dan ketiga perempuan— Rose, Ibunya Haechan, juga Ibunya Chenle, yang sangat berperan itu kedua tangannya di ikat dan di gantung di sebuah pohon linton yew samping Gereja.

Dan hanya Rose, yang jiwanya terjebak di sebuah cermin. Lantas mereka memasukkan cermin dan semua barangnya dalam satu box besi yang terikat dengan lilitan rantai.

Mensucikan Gereja itu— agar bisa dipakai masyarakat untuk beribadah.

Mass extermination of satanic cults menghebohkan seluruh warga dari belahan dunia. Siaran tv, koran, radio, dan media yang lain telah mengabarkan adanya pemusnahan massal yang terjadi di Benua Eropa.

. . . .

Lantas seseorang dengan sengaja membuka kotak besi tersebut.

Rose kembali untuk anaknya. Ia akan menitiskan dirinya dan membentuk sekte baru yang akan menguasai dunia. Balas dendam, motif utamanya.

Namun sebelum itu, ia harus menyingkirkan orang yang akan menghalangi jalannya.

Jaehyun— anak dari pasangan suami istri yang sempat ikut sekte yang sama. Namun mereka lebih dulu meninggalkan sekte itu dan siapapun yang pernah masuk atau dealing with devil, mereka harus disembuhkan. Dan saat itu rumah Paman adalah rumah penyembuhan bagi mereka.

Lantas kedua orang tuanya meninggal setelah ikut serta dalam pemusnahan massal. Rose mengincar Jaehyun karena dirasa ia akan menghalangi jalan kedua anaknya jika ia berhasil menitiskan dirinya.

Jaehyun terbunuh.

. . . .

Tentang Jeno, awalnya ia tidak tau menahu jika Mamanya adalah penyihir/ketua sekte yang disegani/bahkan iblis. Ia hanya membantu dan menggali informasi. Namun semenjak Taeyong balik ke Indonesia, ia sadar bila dirinya mulai berbeda.

Zemira mengerjap beberapa saat.

“Jadi, gue pun harus disembuhin?” Tanyanya.

Doyoung mengangguk. “Terlebih.... Adek lo yang jiwanya—”

Gadis itu tercekat. Menatap kedua mata Doyoung dengan tatapan— ketakutan, kekhawatiran, yang tak dapat di definisikan.

“J-jangan bilang....” kalimatnya menggantung. Zemira mengingat lagi kejadian dimana si bungsu pergi ke tengah hutan, dan—

“DOY! Apa pengaruhnya sama gerhana bulan gini?!”

Doyoung tersentak dan menahan pergelangan lawannya ketika Zemira sontak berdiri sembari melemparkan pertanyaannya.

“Ze....”

“JAWAB!”

“Bisa mempengaruhi aura manusia. Khususnya bagi mereka yang memang jiwanya sudah berada dalam lingkaran. Gerhana bulan mengungkapkan apa yang tersembunyi tentang lo— yang belum pernah terungkap sebelumnya.”

“A-apa maksudnya?!”

“Ya— lo bisa berubah jadi siapa lo sebenernya. Lebih simple nya lagi, di diri lo 60% jahat 40% baik, lo jadi jahat, vice versa.”

Zemira menelan ludahnya kasar. Ia hanya berharap semoga saja Adiknya—

“Zemira!!! Doyoung!!!”

Itu suara Lucy. Ia berlarian dengan Jaemin dan Jisung di belakangnya. Menghampiri Zemira dan Doyoung tentunya. Namun belum sempat Lucy bicara, Zemira lebih dulu membombardirnya.

“APA?!”

“KENAPA?!”

AYA NAON?!

“IH NGOMONG CEPET ATUH!”

Ia menggoyangkan tubuh Lucy yang masih sibuk mengatur nafasnya.

“I-itu Renjun—”

“INJUN GAK ADA DIRUMAH KAK!!” Teriak Jaemin yang baru saja sampai dan membuat jantung Zemira seakan berhenti berdetak.

“A-apa?”

Kalut. Tubuhnya bagai dihempas oleh angin ribut. Rasanya sesak sekali. Tanpa berpikir panjang Zemira menerobos Lucy dan Jaemin yang ada di depannya.

“ZEMIRA!!”

“KAK ZE!”

Ia lari dengan sekuat tenaganya. Menuju pada bukit diatas sana. Doyoung tengah mengejarnya, namun entah kenapa jarak diantaranya tak dapat dikikis.

“ZE!!” Teriak Doyoung yang nampaknya tak didengar oleh gadis itu.

to be continue — Part 3

Part 2 — Moon Children

Konon, anak yang dijuluki moon children akan terlahir dengan setan jahat yang merasuk di dalam diri mereka.

Rose— hasil dari hubungan seksual saat gerhana bulan; yang konon katanya akan berdampak buruk pada anak yang dihasilkan dari hubungan suami istri itu.

Lahir di benua Eropa, gadis itu tumbuh tanpa kedua orang tua. Ia tumbuh tak seperti anak pada umumnya. Di usia 17 tahun, ia bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit. Hingga lima tahun lamanya, masyarakat meyakini bahwa dirinya adalah seseorang yang diciptakan oleh Tuhan dengan sangat special.

Masyarakat semakin bergantung kepadanya. Meski tak ada yang tau bagaimana ia bisa mendapatkan kelebihan itu.

. . .

Ia adalah penyihir yang telah melakukannya dengan baik untuk dirinya sendiri. Atau mungkin kedua orang tuanya yang mewariskan itu kepadanya.

Rose juga bagian dari sekte pemuja setan di California yang terdiri dari orang-orang cantik dan kaya. Keadaan menjadi lebih rumit bagi lelaki biasa yang jatuh cinta pada Rose. Hingga mereka berdua menikah di Indonesia dan memiliki dua anak.

Irene dan Jeno.

Rose menyembunyikan identitas dari suaminya bertahun-tahun lamanya. Hingga ia harus kembali ke California untuk mengikuti Ritual of Evil.

Mengenakan jubah hitam dan mengorbankan manusia untuk tuannya, adalah hal yang wajib dari Ritual tersebut.

Masyarakat yang semakin resah, terlebih dengan adanya penemuan mayat yang tak henti-hentinya. Merasa janggal dengan Rose yang hampir setiap hari pergi ke bukit diatas sebuah pedesaan itu, beberapa orang— Paman, juga kedua orang tua Jungwoo membuntutinya.

Silent Hill. Bukit yang sunyi, bahkan hampir tak pernah dijamah manusia, ternyata memiliki satu bangunan kokoh yang tak banyak orang tau.

Rose pergi kesana untuk bertemu dua perempuan lainnya. Mereka tengah merencanakan ritual di bulan purnama. Yang mereka yakini akan bisa hidup abadi.

Mendengar itu, Paman dan kedua orang tua Jungwoo yang memang adalah anggota dari salah satu perkumpulan penentang sekte tak tinggal diam. Mereka pun menambah target pemusnahan massal.

Gereja Setan- Silent hill.

Saat mereka berkumpul di malam purnama, Paman dan hampir seluruh masyarakat setempat menghancurkan ritualnya. Dan ketiga perempuan— Rose, Ibunya Haechan, juga Ibunya Chenle, yang sangat berperan itu kedua tangannya di ikat dan di gantung di sebuah pohon linton yew samping Gereja.

Dan hanya Rose, yang jiwanya terjebak di sebuah cermin. Lantas mereka memasukkan cermin dan semua barangnya dalam satu box besi yang terikat dengan lilitan rantai.

Mensucikan Gereja itu— agar bisa dipakai masyarakat untuk beribadah.

Mass extermination of satanic cults menghebohkan seluruh warga dari belahan dunia. Siaran tv, koran, radio, dan media yang lain telah mengabarkan adanya pemusnahan massal yang terjadi di Benua Eropa.

. . . .

Lantas seseorang dengan sengaja membuka kotak besi tersebut.

Rose kembali untuk anaknya. Ia akan menitiskan dirinya dan membentuk sekte baru yang akan menguasai dunia. Balas dendam, motif utamanya.

Namun sebelum itu, ia harus menyingkirkan orang yang akan menghalangi jalannya.

Jaehyun— anak dari pasangan suami istri yang sempat ikut sekte yang sama. Namun mereka lebih dulu meninggalkan sekte itu dan siapapun yang pernah masuk atau dealing with devil, mereka harus disembuhkan. Dan saat itu rumah Paman adalah rumah penyembuhan bagi mereka.

Lantas kedua orang tuanya meninggal setelah ikut serta dalam pemusnahan massal. Rose mengincar Jaehyun karena dirasa ia akan menghalangi jalan kedua anaknya jika ia berhasil menitiskan dirinya.

Jaehyun terbunuh.

. . . .

Tentang Jeno, awalnya ia tidak tau menahu jika Mamanya adalah penyihir/ketua sekte yang disegani/bahkan iblis. Ia hanya membantu dan menggali informasi. Namun semenjak Taeyong balik ke Indonesia, ia sadar bila dirinya mulai berbeda.

Zemira mengerjap beberapa saat.

“Jadi, gue pun harus disembuhin?” Tanyanya.

Doyoung mengangguk. “Terlebih.... Adek lo yang jiwanya—”

Gadis itu tercekat. Menatap kedua mata Doyoung dengan tatapan— ketakutan, kekhawatiran, yang tak dapat di definisikan.

“J-jangan bilang....” kalimatnya menggantung. Zemira mengingat lagi kejadian dimana si bungsu pergi ke tengah hutan, dan—

“DOY! Apa pengaruhnya sama gerhana bulan gini?!”

Doyoung tersentak dan menahan pergelangan lawannya ketika Zemira sontak berdiri sembari melemparkan pertanyaannya.

“Ze....”

“JAWAB!”

“Bisa mempengaruhi aura manusia. Khususnya bagi mereka yang memang jiwanya sudah berada dalam lingkaran. Gerhana bulan mengungkapkan apa yang tersembunyi tentang lo— yang belum pernah terungkap sebelumnya.”

“A-apa maksudnya?!”

“Ya— lo bisa berubah jadi siapa lo sebenernya. Lebih simple nya lagi, di diri lo 60% jahat 40% baik, lo jadi jahat, vice versa.”

Zemira menelan ludahnya kasar. Ia hanya berharap semoga saja Adiknya—

“Zemira!!! Doyoung!!!”

Itu suara Lucy. Ia berlarian dengan Jaemin dan Jisung di belakangnya. Menghampiri Zemira dan Doyoung tentunya. Namun belum sempat Lucy bicara, Zemira lebih dulu membombardirnya.

“APA?!”

“KENAPA?!”

AYA NAON?!

“IH NGOMONG CEPET ATUH!”

Ia menggoyangkan tubuh Lucy yang masih sibuk mengatur nafasnya.

“I-itu Renjun—”

“INJUN GAK ADA DIRUMAH KAK!!” Teriak Jaemin yang baru saja sampai dan membuat jantung Zemira seakan berhenti berdetak.

“A-apa?”

Kalut. Tubuhnya bagai dihempas oleh angin ribut. Rasanya sesak sekali. Tanpa berpikir panjang Zemira menerobos Lucy dan Jaemin yang ada di depannya.

“ZEMIRA!!”

“KAK ZE!”

Ia lari dengan sekuat tenaganya. Menuju pada bukit diatas sana. Doyoung tengah mengejarnya, namun entah kenapa jarak diantaranya tak dapat dikikis.

“ZE!!” Teriak Doyoung yang nampaknya tak didengar oleh gadis itu.

to be continue — Part 3

Part 1

“Kak kalo kak Taeyong bisa balik, kak Ze bakal seneng gak?”

Renjun dan Zemira duduk di ruang makan dengan pandangan kosong dan hanyut dalam lamunannya sendiri. Tak disangka si bungsu melontarkan pertanyaan yang bahkan Zemira sendiri tidak tau harus menjawab apa.

“Kalo gue bakal seneng banget kak.”

“Ya karna dia udah kayak Abang gue sendiri. Gue bakal ngelakuin apa aja sih yang bisa bikin dia balik.” Suaranya semakin lirih. Menopang dagu sembari mendengus. Tatapannya sendu, jemarinya aktif bergerak mengetuk-ngetuk meja.

“Gak bisa Dek, kita gak perlu ngusahain sesuatu yang gak bakal bisa balik.”

“Tapi kak Taeyong bisa!” Renjun menggebrak meja makan. Tak begitu keras, namun mampu membuat Zemira tersentak. “Orang kata Jeno bisa....”

Gumaman terakhir, gadis itu sangat yakin bahwa Adiknya tengah terpengaruh oleh seseorang yang pernah ia percaya─Jeno.

“Apaan sih lo? Kemaren-kemaren aja takut sama Taeyong, kenapa sekarang sok sok an mau bikin dia balik? Dasar aneh.”

“Beda kak. Gue udah bukan Injun si penakut, hehe.” Entah sejak kapan tawa Renjun terasa menyesakkan. “Tapi ya kak, gue serius pengen kak Taeyong balik. Seenggaknya dia lebih bisa ngejaga lo daripada gue.”

Zemira mengernyit. “Maksud lo?”

ting tong

Suara bel rumah menggema di seluruh ruangan. Tanpa berniat menjawab pertanyaan Zemira, Renjun lebih memilih memusatkan atensinya ke arah pintu utama.

Gadis itu tercekat ketika si bungsu berdiri dari kursinya. Menahan lengannya agar ia tidak se gegabah itu membuka pintu. Zemira menggelengkan kepalanya pelan ketika kedua netra hitam bertemu. Seakan tau maksudnya, Renjun menghela nafas.

“Kalo tamunya Paman yang dateng gimana kak? Masa mau gak dibukain?”

“Ya tapi siapa? Doy gak bilang kalo bakal ada tamu. Gak perlu dibuka Jun.... udah sore, gue takut kalo—”

Drrt drrtt

Getar ponsel di atas meja makan membuat mereka berdua menoleh bersamaan. Itu ponsel Zemira, dengan nama seseorang muncul di layarnya yang menyala.

Doyoung.

“Halo? Doy ini—”

Lo ada dirumah gak sih?!” bentaknya dari seberang sana.

“Santai aja anjir! Iya ini gue dirumah napa sih? Lo kapan mau balik? Gue beneran laper keburu ma—”

Bukain pintu rumah, ada temen Paman dateng. Bawain lo makanan juga.

“Oh jadi temennya Paman?”

Zemira melirik Renjun dan memberi isyarat dengan tangannya untuk membukakan pintu.

“Gue kira—”

Lo tuh udah kena parno akut kayaknya! Dikit-dikit mikir yang enggak-enggak!” Terdengar suara Doyoung yang terus mengomel dan sesekali berdecak.

“Ish! Ya lo gak tau apa yang gue rasain sih! Udah lo buru pulang deh! Gue beneran kayak tahanan disini berdua sama Renjun mana—”

tutt tutt tutt

Ia menjauhkan ponselnya dari telinga dan melihat sambungannya diputus sepihak.

“Si anjing!” Ucap Zemira kesal yang langsung mengantongi ponselnya.

Tersadar dengan tak adanya suara Renjun semenjak ia pergi ke depan untuk membukakan pintu, Zemira berlari menghampiri.

Langkahnya terhenti ketika melihat Adiknya mematung di ambang pintu yang sudah ia buka.

Renjun masih saja mengerjapkan matanya dengan cepat, takut-takut ia salah lihat. Tapi sejak kapan....

“Injun kenapa gak disuruh masuk sih tamunya? Kenapa diem aja di—”

“Kak,”

Sama seperti si bungsu, ia mendelik kaget ketika Renjun membalikkan badan dan terlihat dua orang yang ia kenal berdiri disana.

. . . .

Sampai saat ini kakak beradik itu masih terus terdiam dan sesekali saling menatap satu sama lain. Mereka duduk di sebuah ruangan luas. Bukan hanya mereka berdua, ada Doyoung, Paman dan juga teman-teman Paman— ah teman Zemira dan Renjun juga.

Bagaimana mereka tidak bingung ketika satu persatu temannya datang ke rumah Paman. Awalnya hanya Jaemin dan Jisung, tapi beberapa menit kemudian ada Lucas, Winwin, Jisoo, Lucy, juga Jungwoo yang tak pernah ada sedikit kabar dari teman kekasihnya itu.

Mereka tak sendiri, ada yang bersama orang tua, Bibi atau Paman mereka yang memang adalah teman dari Pamannya Doyoung.

“Kenapa?” Itu yang tertangkap dibibir sahabatnya— Jisoo, ketika gadis itu bertemu tatap dengannya. Ia hanya menggeleng.

“Paman....” ucap Zemira lirih, namun tatapannya menuntut.

Ia sudah tak bisa menerka-nerka dan cukup pusing bagaimana bisa semua orang yang ia kenal berada dalam satu ruangan ini. Yang ada dipikirannya saat ini, jika mereka ada hubungannya dengan semua kejadian, lantas mengapa mereka diam saja? Mengapa tak ada satu pun orang yang setidaknya menjelaskan pada Zemira, mengapa mereka tak membantunya disaat ia kebingungan dan tersesat?

“Teman-teman Paman ini ikut andil dalam pemusnahan massal.” Jelasnya singkat.

Tepat sekali! Tebakan Zemira tidak meleset bahwa mereka ada hubungannya dengan ini. Ia memijat pelipisnya sembari memejamkan mata.

18.00

Suara jam kuno berdentang nyaring. Membuat semua orang menghentikan obrolannya sejenak.

Zemira masih disana, dengan posisi Renjun yang bersandar di bahu kanannya. Ia sedang asyik bermain game di ponselnya tentu saja. Meski sesekali lelaki itu melirik kearah jam. Berbeda dengan Zemira yang hanya diam mendengar pembahasan mereka. Memandangi secara bergantian orang-orang yang ada disana.

Ya, mereka tengah membicarakan bagaimana mereka akan mengakhiri Rose.

“Ikut gue.” Pergelangan Zemira tiba-tiba diraih oleh Doyoung. Ia hanya menggenggamnya sembari menunggu persetujuan gadis itu untuk ikut dengannya.

Menangkap itu, tentu saja Zemira tau bahwa Doyoung akan memberikan semua penjelasan yang membuat dirinya kebingungan dan terdiam sejak tadi.

Gerakannya membuat si bungsu menggeser duduknya. “Mau kemana kak?” Cegahnya.

“Gue mau ngobrol sama Ze sebentar.” Pamit Doyoung yang langsung menarik Zemira.

“Sebentar....” itu gerakan tangan kakaknya yang dapat dicerna oleh Renjun. Lantas ia mengangguk.

. . . .

“Gue—”

“Iya sok jelasin.”

Tanpa basa-basi ia langsung to the point meminta penjelasan dari lelaki yang menyeretnya ke luar rumah. Mereka baru saja duduk di sebuah kursi kayu panjang menghadap tepat kearah perbukitan. Meski minim pencahayaan, cahaya alami dari sang rembulan membantu netra hitam Zemira mampu menangkap keresahan di wajah Doyoung.

“Gue mulai dari Lucas, Winwin, yang lo pasti udah tau gimana ceritanya mereka berdua bisa terlibat. Paman yang bawa mereka untuk sembuh. Paman bawa mereka ke rumah ini. Itu alasannya kenapa beberapa kamar sengaja di tutup dan gak bolehin ada orang masuk sembarangan, karena ya....”

Kalimatnya menggantung.

“Masing-masing kamar ada yang huni. Ya lo pasti tau apa maksud gue. Lucas, Winwin, Mark, mereka pernah tinggal disini selepas Taeyong yang sering ngilang dan tiba-tiba balik ke Indonesia.”

“Jungwoo sama Paman yang ngerawat orang-orang disini. Nyembuhin mereka yang—”

“Tunggu!” Sela Zemira. “Jadi selama ini Jungwoo pun? Dan waktu kabar Mark yang ngeheboin Kampus, terus— AH GILA!!”

Zemira berteriak dengan meremat rambutnya. Doyoung menjauhkan dirinya dan menutup kedua telinganya.

“TERUS TEMEN GUE? JISOO, LUCY?”

“Chill anjir!” Doyoung mendorong lengan Zemira, meski tak begitu keras tapi mampu membuat tubuhnya terhuyung. Gadis itu rupanya terlalu lemas dan tak berdaya akibat kejutan yang tak disangka-sangka.

“Ya menurut lo gue deket sama Jisoo karena apa? Ya karena orang tuanya pernah ikut pemusnahan massal lah!”

“Kalo Lucy.... dia cukup pintar buat menelaah semua, tanpa lo sadar.”

Zemira merenung. Sudah lama memang ia tak berkontak dengan Jisoo, bahkan grup yang berisikan empat orang itu seakan lenyap dan tak ada tanda kehidupan dari keempatnya. Berbeda dengan Lucy yang masih menaruh simpati lebih padanya.

Benar juga kata Doyoung jika Lucy cukup pintar. Jadi percuma saja selama ini ia menyembunyikan apapun dari sahabatnya itu.

“Lucy, cuma pengen bantu lo keluar dari circle ini.”

“Terus Jisung, Jaemin? Apa karna mereka berdua temen—”

“Jeno ngebunuh kakaknya Jaemin, kalo Jisung, karena Bibinya temen Paman.”

“HAH? J-jeno?”

Doyoung mengangguk. “Iya Jeno.”

Bibirnya kelu mendengar perkataan Doyoung. Bagaimana bisa Jeno? Ah tidak itu pasti ulah iblis yang bisa menyamar jadi siapa saja. Buktinya, ia bisa duduk berdampingan dengannya yang ia pikir adalah Jaemin. Bahkan dirinya juga hampir— terbunuh.

Mengingat itu, “Jadi itu bukan mamanya Irene atau Jeno kan? I mean itu sebenernya iblis yang nyamar jadi mama mereka? Mereka berdua juga sebenernya kejebak—”

Doyoung menggeleng dan langsung memotong kalimat Zemira. “Rose itu ibu kandung Irene sama Jeno. Dia lahir saat gerhana bulan. Tepatnya hari ini.”

“Ada mitos-mitos yang di yakini masyarakat sini, gue mau cerita tapi apa lo bisa nerima nantinya?”

“Bisa! Gue bisa.”

to be continue— part 2

Menutup kembali kotak itu, sembari memejamkan mata dan menghela nafas kasar. Angin kencang seketika datang dan berhembus disekitarnya.

Tanpa ia sadari, he has freed someone who has long been trapped in the mirror.

And that's where it started.

Tak lama seseorang menghampirinya, duduk di sebelahnya dan tiba-tiba saja memberikan penawaran untuknya.

Penawaran untuk membalaskan dendam tanpa mengotori kedua tangannya.

Perempuan itu menawarkan bantuan tanpa memperkenalkan dirinya terlebih dahulu. Taeyong yang saat itu sudah desperate mengiyakan tawarannya tanpa berpikir panjang.

But you also have to do something for me.

Taeyong mendengus. “Gue tau kalo gak ada yang gratis di dunia ini.” Ucapnya lirih. Ia masih hanyut dalam lamunannya lantas menoleh untuk melihat siapa yang ada di sampingnya.

What am i supposed to do for you?

Perempuan itu menyeringai.

'

Taeyong lah yang membuka gerbang kematiannya sendiri dengan tanpa sengaja membebaskan Rose.

Tanpa ia sadari juga, Taeyong telah menjadi budaknya. Membunuh, membalaskan dendam, meski dirinya tak mengingat bagaimana ia bisa melakukannya.

Cermin itu selalu ia bawa kemana pun ia pergi. Tidak ada yang mengganggunya lagi setelah hari dimana he made a deal with her. Taeyong tak merasa aneh selama ia bisa menjalani hari-harinya seperti biasa lagi.

Disisi lain teman-temannya lah yang merasa bahwa Taeyong semakin aneh. Terkadang ia pulang membawa bunga mawar dan botol kecil berisi cairan merah, atau hanya bunga mawarnya saja.

Setelah hari itu, Taeyong tak pernah lagi melihat perempuan yang telah membantunya, meski dirinya masih menjalankan apa yang diperintah diluar kesadarannya.

Sampai saat dimana akhirnya mereka berdua bertemu di Ancient Ram Inn. Bertatap muka, Taeyong merasa bahwa dirinya pernah bertemu dengan perempuan yang ada di hadapannya.

Mari kita ulang kembali.

Di dalam ruangan itu, hanya Rose dan Taeyong yang saling berhadapan untuk mengobrol. Bukan mengobrol, lebih tepatnya Rose memberikan kilas balik pertemuan mereka.

Seperti tersihir, Rose juga memberi tau apabila darah para korbannya yang selama ini Taeyong kumpulkan itu untuk dirinya sendiri. Tentu saja, tujuan awal kebebasan Rose mencari sesembahan untuk dijadiin budak setianya.

Harusnya hanya Taeyong saja yang dijadikan budak oleh Rose, tapi ada Mark bersamanya. Mau gak mau, lelaki itu pun terlibat juga.

Tapi pada saat penawaran, Taeyong menolak saat Mark akan dijadikan budak Rose juga. Ia meminta agar dirinya saja yang mati lalu dihidupkan kembali.

Dihidupkan kembali disini maksudnya Taeyong dihidupkan jadi budaknya Rose. Ya yang namanya iblis, penyihir, juga gak bakal nepatin omongannya, dia juga jadiin Mark sebagai budaknya.

“Paman? Kak Ze gak kenapa-kenapa kan?!” Tanya Renjun yang sedang melihat Zemira tak terbangun dari ranjang meski sudah beberapa kali ia guncangkan tubuhnya.

“Biar kakakmu istirahat, semalam dia belum tidur.”

Renjun mengangguk. Paman berjalan keluar kamar dan menemui keponakannya di depan.

“Semalem kenapa kamu gak biarin dia tetep di dalem kamar?”

“Maaf Paman, sepertinya aku terlalu kelelahan.”

She touches more than what she sees.

“Jadi Zemira udah tau kalo Taeyong yang ngebebasin Rose?”

Paman mengangguk.

“Kapan Paman mau jelasin tentang Rose ke dia?”

“Nanti, setelah dia sadar.”

“Apapun yang gue lakuin, gue minta maaf.”

“Kak Ze maafin gue kan?”


Memandangi kendaraan yang lalu lalang tak membuat Zemira tenang. Mereka bertiga baru saja sampai di UK. Berada di Halte, menunggu bis datang.

Dari tadi ia hanya menghela nafas kasar, terkadang bergumam sendiri, dan sesekali mendengus kesal. Rupanya ia sedang berperang dengan pikirannya sendiri.

Pun Renjun. Sejak malam dimana Jeno mengunjungi rumahnya, sebelum keberangkatan mereka ke UK, ia tampak berbeda. Zemira menyadari itu.

Malam itu, Jeno memiliki waktu berbicara dengan Renjun, diawasi Zemira tentunya. Dan Doyoung. Ya, itu ulah sang kakak yang berinisiatif untuk memanggil Doy kesana. Bahkan pandangan mereka berdua malam itu terus tertuju pada Jeno dan Renjun.

Jeno tak banyak bicara, ia hanya mengatakan kalimat yang sampai saat ini masih terus terngiang di otak Zemira.

“Ze, bis nya udah dateng.” Lelaki itu menepuk bahu Zemira dan menyadarkannya dari lamunan.

“Kak gak mau.” Cegah Renjun menahan lengan Kakaknya.

“Lo mau gue tinggal disini?”

“Dia ngeliatin gue kak. Gak mau....”

Pandangan Renjun tak berkutik. Lantas ia menunjuk salah satu kursi di dalam bis yang jelas-jelas tak ada seorang pun yang duduk disana.

“Kak gak mau!” Rengeknya lagi.

Doyoung mengernyit. Menoleh ke arah bis, menoleh ke arah Renjun lagi, berulang-ulang seperti itu.

“Mana yang ngeliatin lo?”

“I-itu kak serem.” Sudut matanya mulai membasah. “Kak dia berdiri....”

“Injun mana deh gak ada astaga, lo kenapa ih?”

Zemira menggoyangkan lengannya, pasalnya Renjun terlalu mencengkeram sembari menyembunyikan wajahnya disana.

Mengintip lagi.

“Kak!! Kak!!! Dia ngedeket kak!!”

Ia mulai berteriak histeris. Zemira yang panik langsung memeluk sang Adik. Bahkan Doyoung pun tak tau harus berbuat apa. Lelaki itu hanya menyuruh sopir bis untuk meninggalkan mereka, dan tak lupa meminta maaf.

“U-udah udah Injun gak papa ada gue disini udah.”

“Gak ada udah pergi dia udah pergi....”

Memeluk Renjun dengan erat. Ia menepuk pelan punggung Adiknya, mengusap lembut surai hitamnya, meloloskan butiran bening yang kini membasahi pipi putihnya.

“Injun?”

“Dek? Udah jangan nangis. Ada gue. Ada Doyoung. Jangan takut ya? Kalo lo takut coba tutup mata aja.”

“Pegang tangan gue terus. Ya?”

“Injun???”

Tak ada jawaban darinya. Kalimat penenang Zemira mampu membuat Renjun mengangguk meski ia masih terisak.

“Doy, gimana?” Tanya Zemira penuh kekhawatiran.

“Gue coba telfon Paman, semoga bisa jemput kita disini.”

Gadis itu mengangguk. Terus mengusap pelan punggung Renjun. Tubuhnya pun bergetar, ia ingin saja menyembunyikan ketakutannya, tapi rasanya sudah tak mampu.

Rumah Paman Doyoung terletak di sebuah desa, membutuhkan waktu yang cukup lama untuk sampai disana.

Tepat pukul 11 malam, sebuah mobil klasik berwarna hitam dengan garis kecoklatan berhenti di depan Halte.

“Paman!” Doyoung menghampiri Pamannya saat kaca mobil diturunkan oleh empunya.

Lelaki yang sudah berumur itu kemudian mematikan mesin mobil dan keluar dari sana. Memeluk keponakannya, lantas memandang kakak beradik yang tengah duduk di Halte. Melempar senyuman.

Zemira kesusahan untuk sekedar membungkukkan badannya, karena Renjun sedang bersandar di bahunya. Ia terlelap dengan nyaman.

Tak berlama-lama, Doyoung membantunya membopong sang Adik. Zemira tak tega bila harus membangunkan Renjun.

Selama di mobil, tak banyak yang mereka bicarakan. Hanya Paman yang sesekali melirik ke kursi belakang.

'

“Lo ke kamar dulu, ntar gue nyusul.” Pinta Doyoung.

“HAH?! Ya ngapain lo nyusul?”

“Sekamar—”

“KAK?! JANGAN MESUM LU YA!”

Itu teriak Renjun setelah memotong perkataan Doyoung. Ia terbangun setelah sampai. Dan kini mereka bertiga berdiri di ruang tengah.

Tak lama, Paman masuk ke dalam rumah dan mendapati ketiganya belum juga masuk ke kamar.

“Kok belum masuk kamar?” Tanyanya.

“Paman kenapa Kak Doyoung sekamar sama Kak Ze?” Renjun bertanya dengan polosnya.

“Kalian bertiga tidur satu kamar. Gak ada kamar lain lagi, Doyoung bisa jaga kalian juga. Sudah sana.” Titah Paman.

“Tenang, ada dua kasur Ze. Gue tidur sama adek lo.”

“Ya iya! Masa mau tidur sama teteh?” Lirik Renjun sembari mendahului keduanya pergi ke kamar.

image

Bohong jika tak ada kamar lain. Rumahnya cukup besar dan Zemira pun terkejut dengan rumah mewah model kuno ini. Memang banyak ruangan-ruangan yang pintunya tertutup rapat. Jika itu sopan, ia akan bertanya pada Doyoung tentang rumah sebesar ini yang hanya dihuni oleh Paman saja.

Mereka sudah berada di kamar. Gadis itu tengah sibuk melihat barang-barang antik disana. Berbeda dengan Renjun yang sudah lebih dulu tertidur karena tubuhnya cukup lelah.

“Gue tau lo pasti heran kenapa rumah segede ini kamar yang bisa dipake cuma ini doang.” Suara Doyoung memecahkan lamunannya. Zemira menoleh dan mendapati lawannya bertelanjang dada.

“Doy itu—”

Ia terbelalak ketika melihat banyak bekas luka bersarang di tubuh Doyoung. Sadar akan itu Doy buru-buru memakai bajunya, tapi Zemira lebih dulu menahannya.

“A-apa sih lo—”

“Ini kenapa?” Tuntut Zemira dengan tatapan tajam. “Kenapa banyak bekas jahitan di tubuh lo?”

“Nanti, Ze. Tunggu nanti pagi. Kita ngobrol sama Paman juga. Udah lo tidur sana.” Ia kembali memakai bajunya dan menepis tangan Zemira.

“Lo gak mau ke kamar mandi dulu? Gue anter.”

Zemira menggeleng.

“Serius? Ya udah. Jangan keluar kamar sendiri. Bangunin gue kalo lo mau keluar.”

Mendengar itu, Zemira malah menatapnya dengan penuh tanda tanya. “Kenapa?”

“Gapapa.” Jawab Doyoung singkat sembari merebahkan dirinya disamping Renjun, namun tetap menyamping menghadap ke arah Zemira.

“Udah tidur.” Titahnya lagi.

Suasana hati dan pikiran Zemira akhir-akhir ini memang tak tenang. Ia merasa bahwa tidak ada lagi orang yang bisa dipercaya, bahkan ia tak bisa mempercayai dirinya sendiri.

Kedua matanya sudah terpejam, namun pikirannya masih terbang jauh entah kemana. Meski tubuhnya lelah, ia tetap kesusahan mengantar jiwanya ke alam mimpi. Sudah hampir satu jam ia terus merubah posisi tidurnya. Ke kanan, ke kiri, tidur terlentang, segala posisi telah ia coba.

Tak tahan dengan itu, Zemira mendudukkan dirinya dan melihat kearah sekitar. Renjun dan Doyoung tertidur dengan pulasnya. Melirik ke jam dinding kuno, jarum jam menunjuk angka 2 dan 12 yang artinya ia masih berjaga di jam 2 pagi.

“Doy....” panggilnya lirih.

“Doyoung!”

Lelaki itu tak mendengar. Zemira mendengus. Sebenarnya ia mau saja mencoba untuk tidur lagi, tapi baginya akan percuma jika usahanya sia-sia. Ia putuskan untuk turun dari ranjang dan keluar kamar.

Ada taman kecil yang ia lihat di samping rumah Paman. Mungkin ia bisa duduk santai disana dan menikmati beberapa jam menuju sang fajar tiba.

Nyalinya sedikit menciut saat berada di depan kamar. Ia baru saja menutup pintu dan melihat merotasikan bola matanya kearah sekitar.

Sebuah lorong yang cukup panjang harus ia lewati hingga sampai ke anak tangga. Zemira menggeleng cepat dan mengurungkan niatnya untuk keluar rumah. Tapi saat knop pintu kamar ia putar, suara pukulan lonceng memekik telinganya, bahkan membuatnya terjingkat kecil.

Tiga kali lonceng berbunyi, kemudian kembali sepi. Bukan Zemira namanya jika ia tidak memiliki tingkat penasaran yang tinggi. Berjalan mencari sumber suara di jam 3 pagi membuatnya bergidik ngeri.

Beberapa pintu kamar terlewati. Sesaat langkahnya terhenti ketika sosok lelaki berdiri di bawah tangga. Sosok yang ia kenali tentunya.

“T-Taeyong?” Panggil Zemira lirih.

Kulitnya pucat, bahkan tatapannya kosong. Melihat lelaki itu, ia berjalan turun kearahnya.


April 2020

Taeyong terduduk lemas usai para mahasiswa menghajarnya secara brutal. Tidak hanya sekali dua kali ia diperlakukan seperti ini dan tanpa alasan yang jelas.

Pelipisnya sobek, matanya lebam, bahkan ia telah memuntahkan darah hingga membuat bibirnya basah dengan cairan merah.

Ia terengah-engah dan mencoba mengatur nafasnya. Ia bahkan sudah terbiasa menyeka lukanya, dan menyamarkannya agar tidak ada seseorang yang tau. Tapi sepertinya salah satu sahabatnya tau jika Taeyong tengah menjadi korban bullying oleh para mahasiswa disana.

Mark. Saat Taeyong di keroyok, ia sempat melihat Mark berdiri tak jauh darinya. Melihatnya dengan tatapan miris lantas ia hanya lewat begitu saja.

Taeyong beranggapan bahwa apa yang dilakukan Mark benar. Mark tidak boleh ikut campur atau bahkan membelanya, yang ada malah sahabatnya itu akan menjadi korban juga.

Sebenarnya bisa saja Taeyong membalas menghajar mereka, telat terbesit juga pikiran untuk membunuh, tapi ia ingat statusnya disini adalah mahasiswa asing yang ingin mendapatkan ilmu lebih untuk menyelesaikan perkuliahannya.

Mei 2020

Gereja tua.

Jangan salahkan Taeyong yang saat ini berada disana. Usai menerima pesan dari salah satu mahasiswa yang menghajarnya ia langsung pergi menemui mereka di Gereja tua.

Tempat ibadah ini terletak cukup jauh dari pemukiman warga. Berada di bukit dengan halaman rumput yang luas, juga terdapat satu pohon besar di sisi Gereja membuat bangunannya terlihat cantik dari luar.

Ia masuk ke dalamnya. Taeyong salah telah beranggapan bahwa tempat ibadah ini masih aktif digunakan, nyatanya sama sekali tak pernah dijamah manusia. Buktinya saat ia membuka pintunya, aroma debu, tanah, dan hawa dingin bercampur jadi satu menelusup pori-pori kulitnya.

Duakk!!

Tubuh Taeyong tersungkur ke depan ketika punggungnya dihantam dari belakang.

Open it!” Titah mereka sembari menjunjuk box berukir bunga mawar.

Taeyong terdiam dan masih menelisik kotak yang tertutup penuh dengan rantai besi. Bagaimana ia bisa membukanya?

Ia melempar pandangan tak mengerti kearah mereka.

How? Where's the key?

JUST OPEN IT JERK!

Taeyong tak mengerti salahnya dimana. Ia hanya menanyakan kunci untuk membuka kotak itu. Bagaimana bisa ia membuka dengan kedua tangannya sendiri? Ia bukan Limbad yang bisa memutus rantai dengan kedua tangan telanjang.

Hanya karena pertanyaannya, mereka menendangi Taeyong yang masih terduduk di atas lantai tak beralas. Kakinya, perutnya, ia hanya bisa meringkuk dan menyembunyikan wajahnya. Sakit? Jangan ditanya.

Taeyong terbatuk-batuk dan memuntahkan darah, lagi. Mengetahui itu mereka menghentikan kegiatannya lantas pergi dengan nafas yang masih menggebu.

“Kenapa lo gak ngebunuh gue sekalian.”

'

Dengan perasaan kesal setengah mati, juga rasa ingin membunuh mereka, Taeyong berusaha menenangkan dirinya. Duduk di bawah pohon linton yew, diatas kursi kayu yang terlihat rapuh, dan kotak berukiran bunga mawar di pangkuannya.

Dukk!!

Dukk!!

Dukk!!

Taeyong memukulkan sebuah batu besar untuk melepaskan rantai-rantainya. Cukup lama dan butuh tenaga yang kuat untuk membukanya. Telapak tangannya sampai banyak goresan dan pucuk jarinya terluka ketika berusaha membukanya.

Ctakk!

Terbuka.

Cermin, bunga mawar, dan banyak botol berisi cairan merah. Ia semakin tak mengerti kotak apa ini.

Menutup kembali kotak itu, sembari memejamkan mata dan menghela nafas kasar. Angin kencang seketika datang dan berhembus disekitarnya.

Tanpa ia sadari, he has freed someone who has long been trapped in the mirror.

And that's where it started.

image