Beginning
“Apapun yang gue lakuin, gue minta maaf.”
“Kak Ze maafin gue kan?”
Memandangi kendaraan yang lalu lalang tak membuat Zemira tenang. Mereka bertiga baru saja sampai di UK. Berada di Halte, menunggu bis datang.
Dari tadi ia hanya menghela nafas kasar, terkadang bergumam sendiri, dan sesekali mendengus kesal. Rupanya ia sedang berperang dengan pikirannya sendiri.
Pun Renjun. Sejak malam dimana Jeno mengunjungi rumahnya, sebelum keberangkatan mereka ke UK, ia tampak berbeda. Zemira menyadari itu.
Malam itu, Jeno memiliki waktu berbicara dengan Renjun, diawasi Zemira tentunya. Dan Doyoung. Ya, itu ulah sang kakak yang berinisiatif untuk memanggil Doy kesana. Bahkan pandangan mereka berdua malam itu terus tertuju pada Jeno dan Renjun.
Jeno tak banyak bicara, ia hanya mengatakan kalimat yang sampai saat ini masih terus terngiang di otak Zemira.
“Ze, bis nya udah dateng.” Lelaki itu menepuk bahu Zemira dan menyadarkannya dari lamunan.
“Kak gak mau.” Cegah Renjun menahan lengan Kakaknya.
“Lo mau gue tinggal disini?”
“Dia ngeliatin gue kak. Gak mau....”
Pandangan Renjun tak berkutik. Lantas ia menunjuk salah satu kursi di dalam bis yang jelas-jelas tak ada seorang pun yang duduk disana.
“Kak gak mau!” Rengeknya lagi.
Doyoung mengernyit. Menoleh ke arah bis, menoleh ke arah Renjun lagi, berulang-ulang seperti itu.
“Mana yang ngeliatin lo?”
“I-itu kak serem.” Sudut matanya mulai membasah. “Kak dia berdiri....”
“Injun mana deh gak ada astaga, lo kenapa ih?”
Zemira menggoyangkan lengannya, pasalnya Renjun terlalu mencengkeram sembari menyembunyikan wajahnya disana.
Mengintip lagi.
“Kak!! Kak!!! Dia ngedeket kak!!”
Ia mulai berteriak histeris. Zemira yang panik langsung memeluk sang Adik. Bahkan Doyoung pun tak tau harus berbuat apa. Lelaki itu hanya menyuruh sopir bis untuk meninggalkan mereka, dan tak lupa meminta maaf.
“U-udah udah Injun gak papa ada gue disini udah.”
“Gak ada udah pergi dia udah pergi....”
Memeluk Renjun dengan erat. Ia menepuk pelan punggung Adiknya, mengusap lembut surai hitamnya, meloloskan butiran bening yang kini membasahi pipi putihnya.
“Injun?”
“Dek? Udah jangan nangis. Ada gue. Ada Doyoung. Jangan takut ya? Kalo lo takut coba tutup mata aja.”
“Pegang tangan gue terus. Ya?”
“Injun???”
Tak ada jawaban darinya. Kalimat penenang Zemira mampu membuat Renjun mengangguk meski ia masih terisak.
“Doy, gimana?” Tanya Zemira penuh kekhawatiran.
“Gue coba telfon Paman, semoga bisa jemput kita disini.”
Gadis itu mengangguk. Terus mengusap pelan punggung Renjun. Tubuhnya pun bergetar, ia ingin saja menyembunyikan ketakutannya, tapi rasanya sudah tak mampu.
Rumah Paman Doyoung terletak di sebuah desa, membutuhkan waktu yang cukup lama untuk sampai disana.
Tepat pukul 11 malam, sebuah mobil klasik berwarna hitam dengan garis kecoklatan berhenti di depan Halte.
“Paman!” Doyoung menghampiri Pamannya saat kaca mobil diturunkan oleh empunya.
Lelaki yang sudah berumur itu kemudian mematikan mesin mobil dan keluar dari sana. Memeluk keponakannya, lantas memandang kakak beradik yang tengah duduk di Halte. Melempar senyuman.
Zemira kesusahan untuk sekedar membungkukkan badannya, karena Renjun sedang bersandar di bahunya. Ia terlelap dengan nyaman.
Tak berlama-lama, Doyoung membantunya membopong sang Adik. Zemira tak tega bila harus membangunkan Renjun.
Selama di mobil, tak banyak yang mereka bicarakan. Hanya Paman yang sesekali melirik ke kursi belakang.
'
“Lo ke kamar dulu, ntar gue nyusul.” Pinta Doyoung.
“HAH?! Ya ngapain lo nyusul?”
“Sekamar—”
“KAK?! JANGAN MESUM LU YA!”
Itu teriak Renjun setelah memotong perkataan Doyoung. Ia terbangun setelah sampai. Dan kini mereka bertiga berdiri di ruang tengah.
Tak lama, Paman masuk ke dalam rumah dan mendapati ketiganya belum juga masuk ke kamar.
“Kok belum masuk kamar?” Tanyanya.
“Paman kenapa Kak Doyoung sekamar sama Kak Ze?” Renjun bertanya dengan polosnya.
“Kalian bertiga tidur satu kamar. Gak ada kamar lain lagi, Doyoung bisa jaga kalian juga. Sudah sana.” Titah Paman.
“Tenang, ada dua kasur Ze. Gue tidur sama adek lo.”
“Ya iya! Masa mau tidur sama teteh?” Lirik Renjun sembari mendahului keduanya pergi ke kamar.
Bohong jika tak ada kamar lain. Rumahnya cukup besar dan Zemira pun terkejut dengan rumah mewah model kuno ini. Memang banyak ruangan-ruangan yang pintunya tertutup rapat. Jika itu sopan, ia akan bertanya pada Doyoung tentang rumah sebesar ini yang hanya dihuni oleh Paman saja.
Mereka sudah berada di kamar. Gadis itu tengah sibuk melihat barang-barang antik disana. Berbeda dengan Renjun yang sudah lebih dulu tertidur karena tubuhnya cukup lelah.
“Gue tau lo pasti heran kenapa rumah segede ini kamar yang bisa dipake cuma ini doang.” Suara Doyoung memecahkan lamunannya. Zemira menoleh dan mendapati lawannya bertelanjang dada.
“Doy itu—”
Ia terbelalak ketika melihat banyak bekas luka bersarang di tubuh Doyoung. Sadar akan itu Doy buru-buru memakai bajunya, tapi Zemira lebih dulu menahannya.
“A-apa sih lo—”
“Ini kenapa?” Tuntut Zemira dengan tatapan tajam. “Kenapa banyak bekas jahitan di tubuh lo?”
“Nanti, Ze. Tunggu nanti pagi. Kita ngobrol sama Paman juga. Udah lo tidur sana.” Ia kembali memakai bajunya dan menepis tangan Zemira.
“Lo gak mau ke kamar mandi dulu? Gue anter.”
Zemira menggeleng.
“Serius? Ya udah. Jangan keluar kamar sendiri. Bangunin gue kalo lo mau keluar.”
Mendengar itu, Zemira malah menatapnya dengan penuh tanda tanya. “Kenapa?”
“Gapapa.” Jawab Doyoung singkat sembari merebahkan dirinya disamping Renjun, namun tetap menyamping menghadap ke arah Zemira.
“Udah tidur.” Titahnya lagi.
Suasana hati dan pikiran Zemira akhir-akhir ini memang tak tenang. Ia merasa bahwa tidak ada lagi orang yang bisa dipercaya, bahkan ia tak bisa mempercayai dirinya sendiri.
Kedua matanya sudah terpejam, namun pikirannya masih terbang jauh entah kemana. Meski tubuhnya lelah, ia tetap kesusahan mengantar jiwanya ke alam mimpi. Sudah hampir satu jam ia terus merubah posisi tidurnya. Ke kanan, ke kiri, tidur terlentang, segala posisi telah ia coba.
Tak tahan dengan itu, Zemira mendudukkan dirinya dan melihat kearah sekitar. Renjun dan Doyoung tertidur dengan pulasnya. Melirik ke jam dinding kuno, jarum jam menunjuk angka 2 dan 12 yang artinya ia masih berjaga di jam 2 pagi.
“Doy....” panggilnya lirih.
“Doyoung!”
Lelaki itu tak mendengar. Zemira mendengus. Sebenarnya ia mau saja mencoba untuk tidur lagi, tapi baginya akan percuma jika usahanya sia-sia. Ia putuskan untuk turun dari ranjang dan keluar kamar.
Ada taman kecil yang ia lihat di samping rumah Paman. Mungkin ia bisa duduk santai disana dan menikmati beberapa jam menuju sang fajar tiba.
Nyalinya sedikit menciut saat berada di depan kamar. Ia baru saja menutup pintu dan melihat merotasikan bola matanya kearah sekitar.
Sebuah lorong yang cukup panjang harus ia lewati hingga sampai ke anak tangga. Zemira menggeleng cepat dan mengurungkan niatnya untuk keluar rumah. Tapi saat knop pintu kamar ia putar, suara pukulan lonceng memekik telinganya, bahkan membuatnya terjingkat kecil.
Tiga kali lonceng berbunyi, kemudian kembali sepi. Bukan Zemira namanya jika ia tidak memiliki tingkat penasaran yang tinggi. Berjalan mencari sumber suara di jam 3 pagi membuatnya bergidik ngeri.
Beberapa pintu kamar terlewati. Sesaat langkahnya terhenti ketika sosok lelaki berdiri di bawah tangga. Sosok yang ia kenali tentunya.
“T-Taeyong?” Panggil Zemira lirih.
Kulitnya pucat, bahkan tatapannya kosong. Melihat lelaki itu, ia berjalan turun kearahnya.
April 2020
Taeyong terduduk lemas usai para mahasiswa menghajarnya secara brutal. Tidak hanya sekali dua kali ia diperlakukan seperti ini dan tanpa alasan yang jelas.
Pelipisnya sobek, matanya lebam, bahkan ia telah memuntahkan darah hingga membuat bibirnya basah dengan cairan merah.
Ia terengah-engah dan mencoba mengatur nafasnya. Ia bahkan sudah terbiasa menyeka lukanya, dan menyamarkannya agar tidak ada seseorang yang tau. Tapi sepertinya salah satu sahabatnya tau jika Taeyong tengah menjadi korban bullying oleh para mahasiswa disana.
Mark. Saat Taeyong di keroyok, ia sempat melihat Mark berdiri tak jauh darinya. Melihatnya dengan tatapan miris lantas ia hanya lewat begitu saja.
Taeyong beranggapan bahwa apa yang dilakukan Mark benar. Mark tidak boleh ikut campur atau bahkan membelanya, yang ada malah sahabatnya itu akan menjadi korban juga.
Sebenarnya bisa saja Taeyong membalas menghajar mereka, telat terbesit juga pikiran untuk membunuh, tapi ia ingat statusnya disini adalah mahasiswa asing yang ingin mendapatkan ilmu lebih untuk menyelesaikan perkuliahannya.
Mei 2020
Gereja tua.
Jangan salahkan Taeyong yang saat ini berada disana. Usai menerima pesan dari salah satu mahasiswa yang menghajarnya ia langsung pergi menemui mereka di Gereja tua.
Tempat ibadah ini terletak cukup jauh dari pemukiman warga. Berada di bukit dengan halaman rumput yang luas, juga terdapat satu pohon besar di sisi Gereja membuat bangunannya terlihat cantik dari luar.
Ia masuk ke dalamnya. Taeyong salah telah beranggapan bahwa tempat ibadah ini masih aktif digunakan, nyatanya sama sekali tak pernah dijamah manusia. Buktinya saat ia membuka pintunya, aroma debu, tanah, dan hawa dingin bercampur jadi satu menelusup pori-pori kulitnya.
Duakk!!
Tubuh Taeyong tersungkur ke depan ketika punggungnya dihantam dari belakang.
“Open it!” Titah mereka sembari menjunjuk box berukir bunga mawar.
Taeyong terdiam dan masih menelisik kotak yang tertutup penuh dengan rantai besi. Bagaimana ia bisa membukanya?
Ia melempar pandangan tak mengerti kearah mereka.
“How? Where's the key?“
“JUST OPEN IT JERK!“
Taeyong tak mengerti salahnya dimana. Ia hanya menanyakan kunci untuk membuka kotak itu. Bagaimana bisa ia membuka dengan kedua tangannya sendiri? Ia bukan Limbad yang bisa memutus rantai dengan kedua tangan telanjang.
Hanya karena pertanyaannya, mereka menendangi Taeyong yang masih terduduk di atas lantai tak beralas. Kakinya, perutnya, ia hanya bisa meringkuk dan menyembunyikan wajahnya. Sakit? Jangan ditanya.
Taeyong terbatuk-batuk dan memuntahkan darah, lagi. Mengetahui itu mereka menghentikan kegiatannya lantas pergi dengan nafas yang masih menggebu.
“Kenapa lo gak ngebunuh gue sekalian.”
'
Dengan perasaan kesal setengah mati, juga rasa ingin membunuh mereka, Taeyong berusaha menenangkan dirinya. Duduk di bawah pohon linton yew, diatas kursi kayu yang terlihat rapuh, dan kotak berukiran bunga mawar di pangkuannya.
Dukk!!
Dukk!!
Dukk!!
Taeyong memukulkan sebuah batu besar untuk melepaskan rantai-rantainya. Cukup lama dan butuh tenaga yang kuat untuk membukanya. Telapak tangannya sampai banyak goresan dan pucuk jarinya terluka ketika berusaha membukanya.
Ctakk!
Terbuka.
Cermin, bunga mawar, dan banyak botol berisi cairan merah. Ia semakin tak mengerti kotak apa ini.
Menutup kembali kotak itu, sembari memejamkan mata dan menghela nafas kasar. Angin kencang seketika datang dan berhembus disekitarnya.
Tanpa ia sadari, he has freed someone who has long been trapped in the mirror.
And that's where it started.