souljaehyunn

“Apapun yang gue lakuin, gue minta maaf.”

“Kak Ze maafin gue kan?”


Memandangi kendaraan yang lalu lalang tak membuat Zemira tenang. Mereka bertiga baru saja sampai di UK. Berada di Halte, menunggu bis datang.

Dari tadi ia hanya menghela nafas kasar, terkadang bergumam sendiri, dan sesekali mendengus kesal. Rupanya ia sedang berperang dengan pikirannya sendiri.

Pun Renjun. Sejak malam dimana Jeno mengunjungi rumahnya, sebelum keberangkatan mereka ke UK, ia tampak berbeda. Zemira menyadari itu.

Malam itu, Jeno memiliki waktu berbicara dengan Renjun, diawasi Zemira tentunya. Dan Doyoung. Ya, itu ulah sang kakak yang berinisiatif untuk memanggil Doy kesana. Bahkan pandangan mereka berdua malam itu terus tertuju pada Jeno dan Renjun.

Jeno tak banyak bicara, ia hanya mengatakan kalimat yang sampai saat ini masih terus terngiang di otak Zemira.

“Ze, bis nya udah dateng.” Lelaki itu menepuk bahu Zemira dan menyadarkannya dari lamunan.

“Kak gak mau.” Cegah Renjun menahan lengan Kakaknya.

“Lo mau gue tinggal disini?”

“Dia ngeliatin gue kak. Gak mau....”

Pandangan Renjun tak berkutik. Lantas ia menunjuk salah satu kursi di dalam bis yang jelas-jelas tak ada seorang pun yang duduk disana.

“Kak gak mau!” Rengeknya lagi.

Doyoung mengernyit. Menoleh ke arah bis, menoleh ke arah Renjun lagi, berulang-ulang seperti itu.

“Mana yang ngeliatin lo?”

“I-itu kak serem.” Sudut matanya mulai membasah. “Kak dia berdiri....”

“Injun mana deh gak ada astaga, lo kenapa ih?”

Zemira menggoyangkan lengannya, pasalnya Renjun terlalu mencengkeram sembari menyembunyikan wajahnya disana.

Mengintip lagi.

“Kak!! Kak!!! Dia ngedeket kak!!”

Ia mulai berteriak histeris. Zemira yang panik langsung memeluk sang Adik. Bahkan Doyoung pun tak tau harus berbuat apa. Lelaki itu hanya menyuruh sopir bis untuk meninggalkan mereka, dan tak lupa meminta maaf.

“U-udah udah Injun gak papa ada gue disini udah.”

“Gak ada udah pergi dia udah pergi....”

Memeluk Renjun dengan erat. Ia menepuk pelan punggung Adiknya, mengusap lembut surai hitamnya, meloloskan butiran bening yang kini membasahi pipi putihnya.

“Injun?”

“Dek? Udah jangan nangis. Ada gue. Ada Doyoung. Jangan takut ya? Kalo lo takut coba tutup mata aja.”

“Pegang tangan gue terus. Ya?”

“Injun???”

Tak ada jawaban darinya. Kalimat penenang Zemira mampu membuat Renjun mengangguk meski ia masih terisak.

“Doy, gimana?” Tanya Zemira penuh kekhawatiran.

“Gue coba telfon Paman, semoga bisa jemput kita disini.”

Gadis itu mengangguk. Terus mengusap pelan punggung Renjun. Tubuhnya pun bergetar, ia ingin saja menyembunyikan ketakutannya, tapi rasanya sudah tak mampu.

Rumah Paman Doyoung terletak di sebuah desa, membutuhkan waktu yang cukup lama untuk sampai disana.

Tepat pukul 11 malam, sebuah mobil klasik berwarna hitam dengan garis kecoklatan berhenti di depan Halte.

“Paman!” Doyoung menghampiri Pamannya saat kaca mobil diturunkan oleh empunya.

Lelaki yang sudah berumur itu kemudian mematikan mesin mobil dan keluar dari sana. Memeluk keponakannya, lantas memandang kakak beradik yang tengah duduk di Halte. Melempar senyuman.

Zemira kesusahan untuk sekedar membungkukkan badannya, karena Renjun sedang bersandar di bahunya. Ia terlelap dengan nyaman.

Tak berlama-lama, Doyoung membantunya membopong sang Adik. Zemira tak tega bila harus membangunkan Renjun.

Selama di mobil, tak banyak yang mereka bicarakan. Hanya Paman yang sesekali melirik ke kursi belakang.

'

“Lo ke kamar dulu, ntar gue nyusul.” Pinta Doyoung.

“HAH?! Ya ngapain lo nyusul?”

“Sekamar—”

“KAK?! JANGAN MESUM LU YA!”

Itu teriak Renjun setelah memotong perkataan Doyoung. Ia terbangun setelah sampai. Dan kini mereka bertiga berdiri di ruang tengah.

Tak lama, Paman masuk ke dalam rumah dan mendapati ketiganya belum juga masuk ke kamar.

“Kok belum masuk kamar?” Tanyanya.

“Paman kenapa Kak Doyoung sekamar sama Kak Ze?” Renjun bertanya dengan polosnya.

“Kalian bertiga tidur satu kamar. Gak ada kamar lain lagi, Doyoung bisa jaga kalian juga. Sudah sana.” Titah Paman.

“Tenang, ada dua kasur Ze. Gue tidur sama adek lo.”

“Ya iya! Masa mau tidur sama teteh?” Lirik Renjun sembari mendahului keduanya pergi ke kamar.

image

Bohong jika tak ada kamar lain. Rumahnya cukup besar dan Zemira pun terkejut dengan rumah mewah model kuno ini. Memang banyak ruangan-ruangan yang pintunya tertutup rapat. Jika itu sopan, ia akan bertanya pada Doyoung tentang rumah sebesar ini yang hanya dihuni oleh Paman saja.

Mereka sudah berada di kamar. Gadis itu tengah sibuk melihat barang-barang antik disana. Berbeda dengan Renjun yang sudah lebih dulu tertidur karena tubuhnya cukup lelah.

“Gue tau lo pasti heran kenapa rumah segede ini kamar yang bisa dipake cuma ini doang.” Suara Doyoung memecahkan lamunannya. Zemira menoleh dan mendapati lawannya bertelanjang dada.

“Doy itu—”

Ia terbelalak ketika melihat banyak bekas luka bersarang di tubuh Doyoung. Sadar akan itu Doy buru-buru memakai bajunya, tapi Zemira lebih dulu menahannya.

“A-apa sih lo—”

“Ini kenapa?” Tuntut Zemira dengan tatapan tajam. “Kenapa banyak bekas jahitan di tubuh lo?”

“Nanti, Ze. Tunggu nanti pagi. Kita ngobrol sama Paman juga. Udah lo tidur sana.” Ia kembali memakai bajunya dan menepis tangan Zemira.

“Lo gak mau ke kamar mandi dulu? Gue anter.”

Zemira menggeleng.

“Serius? Ya udah. Jangan keluar kamar sendiri. Bangunin gue kalo lo mau keluar.”

Mendengar itu, Zemira malah menatapnya dengan penuh tanda tanya. “Kenapa?”

“Gapapa.” Jawab Doyoung singkat sembari merebahkan dirinya disamping Renjun, namun tetap menyamping menghadap ke arah Zemira.

“Udah tidur.” Titahnya lagi.

Suasana hati dan pikiran Zemira akhir-akhir ini memang tak tenang. Ia merasa bahwa tidak ada lagi orang yang bisa dipercaya, bahkan ia tak bisa mempercayai dirinya sendiri.

Kedua matanya sudah terpejam, namun pikirannya masih terbang jauh entah kemana. Meski tubuhnya lelah, ia tetap kesusahan mengantar jiwanya ke alam mimpi. Sudah hampir satu jam ia terus merubah posisi tidurnya. Ke kanan, ke kiri, tidur terlentang, segala posisi telah ia coba.

Tak tahan dengan itu, Zemira mendudukkan dirinya dan melihat kearah sekitar. Renjun dan Doyoung tertidur dengan pulasnya. Melirik ke jam dinding kuno, jarum jam menunjuk angka 2 dan 12 yang artinya ia masih berjaga di jam 2 pagi.

“Doy....” panggilnya lirih.

“Doyoung!”

Lelaki itu tak mendengar. Zemira mendengus. Sebenarnya ia mau saja mencoba untuk tidur lagi, tapi baginya akan percuma jika usahanya sia-sia. Ia putuskan untuk turun dari ranjang dan keluar kamar.

Ada taman kecil yang ia lihat di samping rumah Paman. Mungkin ia bisa duduk santai disana dan menikmati beberapa jam menuju sang fajar tiba.

Nyalinya sedikit menciut saat berada di depan kamar. Ia baru saja menutup pintu dan melihat merotasikan bola matanya kearah sekitar.

Sebuah lorong yang cukup panjang harus ia lewati hingga sampai ke anak tangga. Zemira menggeleng cepat dan mengurungkan niatnya untuk keluar rumah. Tapi saat knop pintu kamar ia putar, suara pukulan lonceng memekik telinganya, bahkan membuatnya terjingkat kecil.

Tiga kali lonceng berbunyi, kemudian kembali sepi. Bukan Zemira namanya jika ia tidak memiliki tingkat penasaran yang tinggi. Berjalan mencari sumber suara di jam 3 pagi membuatnya bergidik ngeri.

Beberapa pintu kamar terlewati. Sesaat langkahnya terhenti ketika sosok lelaki berdiri di bawah tangga. Sosok yang ia kenali tentunya.

“T-Taeyong?” Panggil Zemira lirih.

Kulitnya pucat, bahkan tatapannya kosong. Melihat lelaki itu, ia berjalan turun kearahnya.


April 2020

Taeyong terduduk lemas usai para mahasiswa menghajarnya secara brutal. Tidak hanya sekali dua kali ia diperlakukan seperti ini dan tanpa alasan yang jelas.

Pelipisnya sobek, matanya lebam, bahkan ia telah memuntahkan darah hingga membuat bibirnya basah dengan cairan merah.

Ia terengah-engah dan mencoba mengatur nafasnya. Ia bahkan sudah terbiasa menyeka lukanya, dan menyamarkannya agar tidak ada seseorang yang tau. Tapi sepertinya salah satu sahabatnya tau jika Taeyong tengah menjadi korban bullying oleh para mahasiswa disana.

Mark. Saat Taeyong di keroyok, ia sempat melihat Mark berdiri tak jauh darinya. Melihatnya dengan tatapan miris lantas ia hanya lewat begitu saja.

Taeyong beranggapan bahwa apa yang dilakukan Mark benar. Mark tidak boleh ikut campur atau bahkan membelanya, yang ada malah sahabatnya itu akan menjadi korban juga.

Sebenarnya bisa saja Taeyong membalas menghajar mereka, telat terbesit juga pikiran untuk membunuh, tapi ia ingat statusnya disini adalah mahasiswa asing yang ingin mendapatkan ilmu lebih untuk menyelesaikan perkuliahannya.

Mei 2020

Gereja tua.

Jangan salahkan Taeyong yang saat ini berada disana. Usai menerima pesan dari salah satu mahasiswa yang menghajarnya ia langsung pergi menemui mereka di Gereja tua.

Tempat ibadah ini terletak cukup jauh dari pemukiman warga. Berada di bukit dengan halaman rumput yang luas, juga terdapat satu pohon besar di sisi Gereja membuat bangunannya terlihat cantik dari luar.

Ia masuk ke dalamnya. Taeyong salah telah beranggapan bahwa tempat ibadah ini masih aktif digunakan, nyatanya sama sekali tak pernah dijamah manusia. Buktinya saat ia membuka pintunya, aroma debu, tanah, dan hawa dingin bercampur jadi satu menelusup pori-pori kulitnya.

Duakk!!

Tubuh Taeyong tersungkur ke depan ketika punggungnya dihantam dari belakang.

Open it!” Titah mereka sembari menjunjuk box berukir bunga mawar.

Taeyong terdiam dan masih menelisik kotak yang tertutup penuh dengan rantai besi. Bagaimana ia bisa membukanya?

Ia melempar pandangan tak mengerti kearah mereka.

How? Where's the key?

JUST OPEN IT JERK!

Taeyong tak mengerti salahnya dimana. Ia hanya menanyakan kunci untuk membuka kotak itu. Bagaimana bisa ia membuka dengan kedua tangannya sendiri? Ia bukan Limbad yang bisa memutus rantai dengan kedua tangan telanjang.

Hanya karena pertanyaannya, mereka menendangi Taeyong yang masih terduduk di atas lantai tak beralas. Kakinya, perutnya, ia hanya bisa meringkuk dan menyembunyikan wajahnya. Sakit? Jangan ditanya.

Taeyong terbatuk-batuk dan memuntahkan darah, lagi. Mengetahui itu mereka menghentikan kegiatannya lantas pergi dengan nafas yang masih menggebu.

“Kenapa lo gak ngebunuh gue sekalian.”

'

Dengan perasaan kesal setengah mati, juga rasa ingin membunuh mereka, Taeyong berusaha menenangkan dirinya. Duduk di bawah pohon linton yew, diatas kursi kayu yang terlihat rapuh, dan kotak berukiran bunga mawar di pangkuannya.

Dukk!!

Dukk!!

Dukk!!

Taeyong memukulkan sebuah batu besar untuk melepaskan rantai-rantainya. Cukup lama dan butuh tenaga yang kuat untuk membukanya. Telapak tangannya sampai banyak goresan dan pucuk jarinya terluka ketika berusaha membukanya.

Ctakk!

Terbuka.

Cermin, bunga mawar, dan banyak botol berisi cairan merah. Ia semakin tak mengerti kotak apa ini.

Menutup kembali kotak itu, sembari memejamkan mata dan menghela nafas kasar. Angin kencang seketika datang dan berhembus disekitarnya.

Tanpa ia sadari, he has freed someone who has long been trapped in the mirror.

And that's where it started.

image

Derap langkah kaki Renjun yang menggebu-gebu terdengar dari kamar Zemira. Mengharuskannya untuk menyusul sang Adik. Sepertinya ia kesal karena suara berisik yang dihasilkan seseorang di luar sana.

Klang! Klang!

“AAHH BERISIK!!!” Teriak Renjun yang menghampiri pagar tanpa alas kaki.

“INJUN!!!” Teriakan Zemira tak kalah kerasnya hingga yang memiliki nama menoleh ke belakang.

Ia menahan lengan Renjun untuk tidak membukakan gerbang. Adiknya menautkan kedua alis. Menatap Zemira penuh keanehan. Pasalnya gadis itu sudah siap siaga membawa cairan pembasmi serangga di tangannya.

“Kak lo ngapain sih?”

“Apa?” Gadis itu malah kembali bertanya.

“Itu.” Tunjuk Renjun dengan dagu.

“Oh, jaga-jaga.”

“Buat?”

“Ahhh pokoknya mah buat jaga-jaga! Gue juga gak tau tiba-tiba aja ngasal ambil.”

Renjun mendengus. “Dasar aneh!” Ia sudah berancang-ancang melangkahkan kaki lagi untuk membuka pagar rumah. Tapi Zemira mengambil kunci itu ditangan Adiknya, lantas menarik sang Adik untuk berada di belakangnya.

Klangg!! Klangg!!

Demi Tuhan suaranya nyaring memekik telinga.

“Doy??”

“Lo anjir Zemira gue capek berdiri disini woy! Bukain!!” Protes lelaki itu.

“Lo beneran Doyoung?”

“Iya Zemira gue beneran Doyoung elah bukain cepet!”

“Beneran?” Tanyanya lagi.

“Udah lah kak bukain aja itu kesian dari tadi temennya berisik di depan.” Tukas Renjun.

“Beneran Doyoung bukan?”

“Ze demi Tuhan lo gue sumpahin kunci pager lo ilang, kagak bisa keluar rumah selamanya!”

Zemira mendengus kesal mendengarnya. Lantas dengan sangat terpaksa ia buka gerbang besi itu. Muncullah lelaki tampan yang sejak tadi menunggu.

Doyoung berdecak. “Lo kira gue serangga apa? Segala bawa bay—”

“Dilarang sebut merk!”

Jika saja Zemira bukan perempuan, Doyoung sudah pasti menjitak bahkan memukulnya. Seperti yang biasa ia lakukan ketika kesal dengan teman-temannya.

'

Kedua mata Doyoung benar-benar menjelajahi tiap sudut ruangan rumah itu. Menurutnya aneh saja karena beberapa benda disana diselimuti oleh kain-kain putih.

“Kenapa?” Tanya Doyoung dengan menunjuk beberapa barang disana.

“Apanya kenapa?” Zemira merotasikan bola matanya sembari meletakkan minuman di meja. “Sok minum.”

“Itu maksud gue kenapa ditutup kain?”

“Ngehindari cermin, kak.” Sahut Renjun.

“Kenapa?”

“Ih lo mah kebanyakan tanya! Sok minum, gue tau lo haus.”

“Ya gara-gara lo gak ngebukain gue, jadi buang tenaga buat teriak-teriak.” Protes Doyoung.

Zemira benar-benar menatap tajam lelaki yang ada di hadapannya. Menelisik dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Kak dia beneran manusia kak, gue jamin!” Renjun berbisik, menutupi mulutnya agar suaranya tidak terdengar.

“Gue denger ya.”

Doyoung yang sudah menghabiskan minumannya itu menaruh gelasnya perlahan.

“Lo beneran haus ya?”

“Menurut lo?” Ia berdecak. Menyandarkan dirinya dengan nyaman di sofa, dan melipat kedua tangannya. “Jelasin.”

Zemira menghela nafas kasar. “Lo gak mau cerita dulu kitu kenapa lo tiba-tiba gak di Indo, dan hilang kontak?”

“Iya nanti. Lo jelasin dulu. Semua. Tuntut Doyoung.

“Semua?”

Mengangguk.

Mau tak mau gadis itu menceritakan semua kejadian yang sudah terjadi. Tentang Mark yang ternyata belum meninggal, kematiannya yang sesungguhnya, tentang Jaehyun, tentang Taeyong, dan tentang dirinya sendiri yang terjebak di lingkaran, yang bahkan tak tau motif dibalik kejadian ini.

Doyoung hanya mengangguk mendengarkan, tatapannya tetap sama. Ia sangat fokus tak menyela cerita dari Zemira sama sekali. Jangan tanya Renjun ada dimana, ia sedang asik bermain game di samping Kakaknya. Tapi sebenarnya ia pun mendengarkan cerita Zemira.

“Udah.” Ia sudah menyelesaikan penjelasan yang dituntut oleh Doy.

Lelaki itu terlihat mengusap wajahnya beberapa kali.

“Bener kata Paman gue.” Gumamnya.

“Gimana?”

Gumamannya terdengar jelas di telinga Zemira. “Apa maksud lo bener?”

Doyoung tampak ragu mengatakan ini, tapi sebenarnya ia ingin mengatakan terlebih membuktikan apa yang ia katakan.

“Lo mau gak ikut gue ke rumah Paman di UK?”

Sontak Zemira maupun Renjun terbelalak kaget. Renjun pun sampai menaruh ponselnya kasar saking kagetnya.

“Suddenly??”

“Ngapa dah kak?”

Kakak beradik itu hanya mematung menatap Doyoung.

“Gue gak bisa ceritain semua disini, singkatnya, Paman gue ikut andil dalam peristiwa pemusnahan itu.”

“Dan Irena Jeyrose cukup terkenal pada era itu.”

“Gimana, lo mau ikut gue ke UK?” Tanya Doyoung lagi.

“Gue bahkan belum ngurusin apa-apa Doy. Terus Injun juga gimana?”

Lelaki itu mendengus. “Oke, dalam dua minggu gue bantu lo ngurusin semuanya. Gue harap baik lo, ataupun Adik lo, ada di pihak gue. Dan please gue mohon kerja samanya.”

“Jangan gegabah, jangan ngelakuin apapun yang gak gue minta.”

“Kabarin terus gue.”

“Sebelum Rose menitiskan dirinya, kita harus cepet bawa dia balik, ngurung dia, kalo bisa musnahin dia.”

“T-tapi kak apa itu bakal berdampak ke darah dagingnya? Maksud gue, kalo Rose musnah, apa anak-anaknya bakal baik-baik aja? Dan semua balik seperti semula?” Renjun yang melemparkan pertanyaan tiba-tiba membuat Doyoung membungkam.

Hanya anggukan ragu yang di dapat. Membuat Zemira maupun Renjun menghela nafas lega. Pasalnya Irene dan Jeno adalah sahabat terdekat mereka.

“Semoga....” Doyoung bergumam lirih.

image

“Ke-kenapa mama balik—”

Plakkk

Sebuah tamparan mendarat lagi di wajah tampannya. Sekujur tubuhnya pun telah banyak luka yang masih basah. Luka karena kuku tajam, sayatan pisau, juga lebam karena benda keras.

“Lo harus gue gampar berapa kali biar sadar?”

“Bunuh aja gue.”

“Oke kalo itu mau lo.”

Ia mengambil pisau lantas mengayunkan ke arah dada lawannya. Seakan ia dapat membidik jantungnya, pisau itu hampir menancap jika sosok mamanya tidak muncul.

“Ma....”

”...”

“Jeno yang nyuruh gue ngebunuh.”

”...”

“Iya oke.”

Kemudian Irene menatap Adiknya yang tengah menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Ia menarik lengannya dan membawanya masuk ke kamar mandi yang cukup luas.

“Sini lo.”

Apalagi sekarang? Tentu saja, Jeno pergi ke alam lain dengan cara yang sama. Cara yang Zemira lakukan untuk pergi kesana. Merendamkan dirinya dengan darah sendiri ataupun darah orang lain.

Jeno sudah melakukannya beberapa kali, mengingat dirinya yang dibutuhkan disana. Memangnya selama ini siapa yang menjadi mata-mata sang Tuan?

Sekedar mengingatkan, niat baik seseorang bisa saja berubah seiring berjalannya waktu. Bukankah begitu? Tebakan Zemira tentang Jeno yang membunuh mereka semua.... bisa dibilang cukup benar karena ia yang membantu secara tidak langsung.

Saat Jaehyun terluka di kamar kosnya, siapa yang membawanya pergi? Jeno. Kemana? Ke rumahnya yang lain, yaitu rumah orang tuanya, rumah yang Irene tinggali sendirian. Lantas ia terbunuh oleh sosok yang mirip Zemira. Siapa lagi yang bisa menyerupainya?

Mark terbunuh karena Taeyong. Ya itu benar, tapi siapa yang membantunya? Jeno tentu saja. Tak mungkin tiba-tiba Taeyong mengetahui keberadaan Mark. Ia tau bahwa hari itu adalah hari sesembahan. Dan Zemira yang sudah ia anggap sebagai Kakaknya sendiri tengah berada di alam lain. Tentu saja Jeno lebih memilih melindungi Zemira , dan menyuruh Mark untuk ikut ke alam lain.

Meski begitu, memang sudah waktunya mereka berdua mati. Pikir Jeno.

Apa motifnya? Tunggu, sebentar lagi kalian akan tau.

“Kenapa harus gue?”

Pertanyaan itulah yang setiap kali dilontarkan Jeno saat ia harus pergi ke alam lain. Lagi, dan lagi.

Pasalnya ia akan berubah 360 derajat disana.

“Bunuh gue aja.”

“Jen lo bebel amat sih!” Irene menenggelamkan kepala Jeno di bathup dan menahannya hingga lawannya hilang kesadaran.

'

“Anakku....”

Jeno mengejapkan matanya, dan ia sudah berada di hutan lepas dengan rasa sakit di punggungnya.

image

“When i rise, you will have all my strength, my lovely son.”

“But you know right?”

“Penghalang harus dimusnahkan?”

Jeno mengangguk.

“You know who's next?”

“Zemira.... Renjun....”

Rose tersenyum miring, diikuti Jeno yang menarik sudut bibirnya.

image

“Nih kak.”

Zemira menoleh saat seseorang memberikan segelas teh hangat untuknya. Lantas tersenyum.

“Thanks, Na.”

“Renjun ketiduran di kamar lo, kak.”

“Iya, biarin aja.”

Jaemin duduk menemani Zemira yang melamun sendirian di teras. Mereka berdua sama melamunnya selepas acara tahlil yang diselenggarakan di rumah barusan.

“Kak Ze, yang tadi itu...”

“Jangan bahas itu, biarin gue nafas dulu.” Jawab Zemira tanpa melihat lawan bicaranya. “Dan.... gue gak percaya sama siapapun, semua temen gue, semua temen Injun, termasuk lo, jadi—”

“Iya kak gue tau.”

“Oke.”

“Gue boleh cerita gak sih kak?” Tanya Jaemin sembari menoleh kearah Zemira yang sama sekali tak melihatnya.

Zemira diam saja.

“Dulu gue juga punya kakak, persis kayak kak Ze. Sifatnya, semuanya....”

“Dan gue juga sama kayak Injun yang selalu mengagungkan kakak gue. Gue sayang banget sama dia.”

“Sampai suatu ketika kakak gue meninggal....”

Gadis itu menoleh saat mendengar perubahan suara Jaemin. Melihat lawannya menunduk, Zemira mengerti bahwa hatinya terluka. Namun suara yang dihasilkan....

“Gue yang paling sensitif kalo ngebahas tentang kakak, karena gue gak ada tempat lagi buat berbagi keluh kesah, atau tempat buat gue sekedar nyender aja di bahunya, gue gak punya....”

“Mungkin karna itu gue berantemin anak-anak selama diklat.”

“Bohong kalo gue bilang gue gak iri sama Renjun. Gue iri, sama kayak Jeno, gue iri....”

Setelahnya Jaemin terdiam dan menatap kosong ke depan. Ternyata itu sebabnya keadaan 'chaos' yang dilaporkan Renjun pada Zemira selama diklat. Mereka berdua bersandar pada kursi di teras rumah, dengan menikmati hembusan angin malam, memang cukup untuk self healing.

“Kak, tehnya diminum dulu keburu dingin.”

Zemira sadar dan mengambil secangkir teh hangat buatan Jaemin untuk diteguknya.

“Jeno....”

“Kenapa kak?” Tanya Jaemin mendengar kalimat lawannya menggantung.

“Lo tau kalo dia punya kakak?”

Jaemin mengangguk.

“Tau kalo dia Adiknya Irene, sahabat gue?”

Menggeleng. “Gue tau baru-baru ini kalo dia punya kakak. Ya gue pikir hal yang wajar dia sembunyiin itu karna gue pun juga sembunyiin kakak gue dari mereka.”

“Mereka?”

“Iya, mereka.”

“Temen-temen lo maksudnya?”

“Haechan, Chenle....”

Zemira mengernyit menatap Jaemin yang tetap fokus memandang ke depan. Ia ingin bertanya karena sepertinya Jaemin mengerti sesuatu, atau lebih tepatnya banyak yang ia pendam sendiri dalam diamnya.

Baru saja gadis itu membuka mulutnya dan akan melempar pertanyaan, seketika terhenti saat melihat gerak bibir Jaemin mengatakan sesuatu dengan cukup pelan.

“Gue ada disana....” kalimat Jaemin menggantung, ia berbisik. “Gue... Haechan... Chenle... nyaksiin kematian kakak gue....”

Gadis itu mengerjap. Membuang muka sebentar dan mendengus tak mengerti. Saat ia kembali menoleh kesamping, entah sejak kapan Taeyong yang duduk bersamanya. Dengan tawa yang tiba-tiba memekik telinganya.

image

“What the f—” Zemira berjingkat kaget. Sontak memundurkan tubuhnya, ritme jantungnya pun sudah tak normal lagi. Ia ketakutan, bahkan untuk berteriak pun tak bisa.

Taeyong masih duduk ditempatnya, menatap Zemira dengan tatapan yang sulit diartikan. Kedua bola matanya menghitam berkilat tajam.

Dan Demi Tuhan rasanya ia ingin mengutuk dirinya sendiri yang meninggalkan Adiknya sendirian di kamarnya. Di depannya saat ini adalah Taeyong, ia ingin berlari masuk ke dalam, tapi memikirkan bagaimana ia bisa saja dihadang, atau yang lebih menakutkan bisa saja ia yang lebih dulu mendahuluinya dan mencelakai Adiknya, Zemira menggeleng cepat.

Why are you so attractive” timpanya dengan tawa yang menggema.

“PENGHALANG!” Ia menggeram.

Siapapun tolong selamatkan Zemira saat ini, karena lehernya tengah dicekik oleh tangan kekar lawannya. Gadis itu berusaha melawan. Memukuli lengan dengan kedua tangannya, dengan sesekali mencengkeramnya.

Percuma. Itu semakin membuat lawannya mengeratkan tangannya. Taeyong tak menyurutkan tawanya. Ia hanya terus tertawa melihat 'si penghalang' meronta-ronta dan semakin kehabisan pasokan oksigen.

Zemira menutup kedua matanya, membuat setetes air matanya lolos. Dan kenapa disaat seperti ini ia malah mengelukan nama Irene, juga Jeno agar mereka membantunya.

Munafik memang, padahal baru sore tadi ia mengusir Jeno, membentaknya di depan banyak orang bahkan tak sekali Zemira memukul dan menampar anak itu.

Tapi tak dapat dipungkiri, ia masih membutuhkan Jeno. Meski kecil harapannya.

“Mama....”

Bias suara itu mampu membuat Taeyong mengendurkan kemudian melepaskan tangannya pada leher Zemira. Ia terbatuk-batuk saat lehernya bebas. Memegangi lehernya sendiri dan mengeluh kesakitan.

Tubuh Taeyong tak berjiwa itu tersentak lemas ketika jiwa yang lain keluar dari sana.

Seorang wanita berparas cantik dengan dibalut jubah hitam bermotif bunga mawar, berjalan memunggungi Zemira, membuatnya tak bisa melihat siapa yang tengah memanggil dengan sebutan 'Mama' tadi.

Ia tak bisa menahan tangisannya saat melihat tubuh kekasihnya tak berjiwa. Ditatapnya wajah itu lamat-lamat. Jemarinya hampir menyentuh wajah Taeyong sebelum akhirnya di tepis oleh seseorang yang berusaha membopong tubuh kekasihnya.

“J-Jeno....” Zemira tercekat.

“Jangan bawa tubuhnya lagi, gue mo—Akhh!”

Zemira terdorong dan jatuh ke lantai ketika tangannya menarik lengan Jeno.

“He's made a deal.” Melirik Zemira dan melempar sebuah buku keatas meja teras, kemudian Jeno berjalan pergi dari sana.

'

Menghela nafas lega melihat Adiknya meringkuk dengan pulasnya diatas kasur miliknya. Tak lupa ia menyelimuti Renjun sebelum akhirnya duduk manis di pinggir jendela.

Tenang saja, rumahnya sudah ia kunci, bahkan pagarnya pun, juga kamarnya sendiri. Ia sudah kelewat parno kini.

Di tengah malam seperti ini, harusnya Zemira tidur seperti Renjun. Seharusnya ia mengistirahatkan diri atau setidaknya membiarkan luka disekujur badannya sembuh, tapi nyatanya ia malah fokus membuka lembaran-lembaran buku yang ada di tangannya.

Sebuah buku diary, daily life, milik Taeyong. Yang baru saja diserahkan oleh Jeno.

Februari,2020

Capek. Ini Asrama ketiga yang harus ditempatin. Oke ini bukan ulah gue, tapi ini ulah Lucas hanya karena tempatnya tidak cukup luas untuk dirinya berolahraga di dalam ruangan.

. .

Zemira rindu, katanya. Ya gue tau karena gue ngerasain juga. Tapi tidak bisakah dia berhenti merengek di telpon? Kelewat gemas!

. .

Maret,2020

Bertengkar masalah sepele. Hm.... Maaf Ze, sekalipun banyak wanita cantik disini, gue sama sekali gak tertarik. Injun pernah bilang, kalo kakaknya itu kayak martabak pake tiga telur bebek. Special! Iya bener, Ze, lo kayak martabak special buat gue. Kurangin ah negthink lo:(

Dengan mata yang berkaca-kaca, Zemira tersenyum simpul, sesekali tertawa kecil karena tulisan Taeyong yang menggelitik perutnya.

Ia bahkan tak menyangka jika kekasihnya bisa menuliskan hal semacam ini. Ya, ya, Zemira melupakan fakta bahwa kekasihnya itu memiliki hati yang cukup lembut. Jadi, memungkinkannya untuk menulis dan mencurahkan segala sesuatunya di sebuah buku diary.

Zemira curiga jika buku setebal ini hanya berisi tentang kerinduan, dan keluh kesahnya menjalani LDR.

Tak ada yang aneh, tapi saat ia mulai membaca di pertengahan bulan April, mendadak dirinya terhenyak.

April,2020

Punya banyak teman? Haha iya itu gue di Indonesia. Berbanding terbalik dengan gue di UK.

. .

....berkali-kali di serang dengan orang yang sama? Siapapun tolong tahan gue buat gak....

. .

Mark, gue tau lo ngeliat tapi lo.... diem aja?

. .

....mahasiswa asing yang gak bisa ngapa-ngapain karena bukan di negaranya sendiri, gue. Gue pengen ngebales, but i knew it would be fatal if i did. Gue disini cuma belajar.

. .

Mei,2020

Gereja tua......gue kenapa? Ini apa? Dia siapa?

. .

....I have accepted the offer.

. .

Sebagian kertas banyak yang sobek, hancur. Entah Taeyong atau orang lain yang melakukan ini untuk menghilangkan jejak tulisannya.

Lantas ia meraih ponselnya untuk menghubungi seseorang.

Jeno.

“What the fuck?!” Zemira mengumpat lirih melihat isi ponselnya yang benar-benar bersih. Riwayat chat, riwayat panggilan, semuanya bersih.

Ia melirik pada tubuh kecil yang kini memunggungi dirinya.

“Jun! Dek bangun!”

“Injun!”

“Bangun gak?!”

Gadis itu membangunkan paksa Adiknya. Tidak. Ia yakin bahwa Renjun belum tidur. Menarik paksa lengan Adiknya hingga ia tersentak.

“Iya iya kak.” Renjun mendengus dan mendudukkan dirinya.

“Hp gue lo restart pabrik ya?” Itu bukan pertanyaan, tapi tuduhan. “Lo apaan sih Jun!”

Renjun diam saja. Menyatukan alis dengan memajukan bibir bawahnya. Lucu.

“Lucu lo kayak kitu! Ih Injun mah aya aya wae— gak usah ngeliatin kayak gitu!”

Bagaimana Zemira bisa marah jika melihat Adiknya yang mengeluarkan jurus andalannya. Seperti anak kucing.

“Sini mana hp lo?”

“Gak ada kak.”

“Sini gak!”

“Ih Demi Allah deh kak hp Injun gak ada.” Renjun memelas. “Hp gue hilang waktu hari terakhir diklat.”

Zemira berdecak.

“Kak....”

“Hm.”

“Pergi dari sini yuk? Gue takut. Ternyata dua temen gue budaknya— gue gak sadar kalo keluarga mereka pun ada di dalam lingkaran itu.”

Sang kakak mengangguk paham. Meraih Renjun untuk di dekapnya, sesekali mengusap punggungnya pelan.

“Gue tau, Taeyong yang kasih tau—”

“Maksud kak Ze?” Renjun mengendurkan pelukan. Lantas menatap Zemira dengan ribuan pertanyaan.

“Jangan bilang kak Ze kesana lagi ya?!”

Ia mengangguk.

“Kak Ze! Kan udah gue bilang jangan ke—”

“Terus gue harus gimana Jun? Gue harus gimana waktu ada yang mau ambil Adik gue? Ada yang mau nyakitin Adik gue? Gue harus gimana waktu gue tau kalo lo hilang di tengah hutan, gue harus gimana?!”

“Gue harus gimana kalo besoknya gue gak bisa ngeliat lo lagi.... gue harus gimana?”

“Orang yang gue percaya disini udah gak ada Jun. Gue gak bisa percaya sama siapa-siapa termasuk gue. Gue bahkan takut sama diri gue sendiri....”

Emosinya tak bisa ia kendalikan lagi. Zemira menangis seperti anak kecil. Kemudian Renjun masuk dalam pelukannya. Memeluk kakaknya dan merasa hangat disana.

“Maafin gue kak, maafin gue....”

“Ayo kita pergi dari sini....”

Zemira menggeleng. Sembari mengusap sisa air matanya, ia memegang kedua tangan Adiknya.

“Gue gak bisa pergi kalo jiwa lo setengahnya diambil mereka. Gue gak bisa.”

Ia sadar sejak kepulangan Renjun, di sudut matanya ada luka berbentuk bunga mawar. Meski samar, sepenuhnya Zemira menyadari bahwa ia hampir kehilangan Adiknya.

Awalnya ia hanya ingin memendam itu sendiri, namun ia berubah pikiran, Zemira ingin Renjun pun berjuang, bukan hanya dirinya, tapi mereka berdua.

“Maksud kak Ze apa? Jiwa gue kenapa?”

“Ini.” Sentuh Zemira pada sekitar matanya. “Ada bekas luka disini. Ini sama kayak kepunyaan Taeyong, Mark, tapi punya lo masih samar dan hampir gak terlihat.”

Renjun bingung.

“Dek, sebelum kita pergi, gue harap kita bisa sama-sama beresin apa yang udah terlanjur ada disini. Jangan percaya siapa-siapa. Sama gue pun jangan. Percaya sama diri lo sendiri ya?”

“Tetep jaga kesadaran lo, gue mohon....”

Zemira POV


Apa aku terlalu gegabah menjamah yang bukan alamku? Apa itu keputusan yang salah? Pasalnya saat aku kembali dari sana, selalu saja aku kehilangan seseorang.

Seperti aku menyesali perbuatanku kali ini. Entah bagaimana bisa aku terbangun hanya dengan satu notif dari salah satu sahabatku; Lucy.

Aku tak melihat keseluruhan isi pesannya, tapi hanya dengan membaca beberapa kata saja sudah membuatku bergidik, lemas, bahkan menangis pun rasanya tak sanggup.

Lucy

|Knp banyak karangan bunga di depan rumah lo....

Aku tak berani menebak, pun bertanya.

Aku hanya ingin mencoba untuk berfikir bahwa ada seseorang yang sedang meneror atau hanya sekedar iseng menaruh karangan bunga yang Lucy maksud.

Tapi,

Nyatanya tak sesuai ekspetasiku.

Karangan bunga, benar adanya. Bahkan itu terlalu banyak menurutku, karena hey aku masih belum masuk ke dalam pelataran, tapi karangan bunga itu sudah berjajar sekitar 10m dari rumah.

Mobil berplat merah pun banyak berjajar. Jujur saja kali ini keringatku mengucur deras. Tubuhku sangat dingin, aku tak bisa merasakan apapun. Aku mati rasa.

Di depan gerbang, tentu saja banyak orang yang aku kenal. Itu teman-teman ayah dan bunda. Memakai pakaian bernuansa sama. Hitam. Juga Lucy, yang langsung berlari kearahku untuk menyadarkanku dari lamunan.

“Zemira....”

“Lo kenapa kacau gini, lo dari mana?”

Setidaknya itu yang aku dengar darinya, dengan kedua matanya yang berkaca-kaca. Ia segera menarikku masuk ke dalam halaman rumah. Sungguh betapa leganya aku melihat Adikku berada disana bersama Jeno dan Jaemin.

Namun detik berikutnya hatiku tersayat ketika Injun berlari kearahku dengan wajah yang sembab dan air mata yang masih membasahi pipi putihnya.

“Kak Ze...!!”

Hanya itu yang diucapkan Injun sembari menabrakkan tubuhnya dan menyembunyikan wajahnya di perpotongan leherku.

Hanya suara tangis yang aku dengar. Aku bahkan belum menanyakan apakah ia baik-baik saja? Apakah ia sudah makan? Apakah ia....

Kemudian bola mataku memberanikan diri melihat nama di karangan bunga itu. Hampir saja aku terjatuh jika Injun tak menyangga tubuhku.

“Kak Ze... bunda... ayah...”

Apa kalian tau betapa ingin marahnya aku pada Tuhan? Apakah kalian tau betapa ingin marahnya aku pada diriku sendiri?

Sepertinya aku sudah kehabisan air mata karena aku sama sekali tidak menangis. Disisi lain hatiku tersayat, di satu sisi penuh amarah yang entah ingin aku luapkan sekarang juga.

Menyingkirkan tubuh Injun, aku berjalan sembari mengepalkan kedua tanganku. Kudengar langkah kaki Injun juga Lucy mengekor di belakangku.

Lihatlah mereka yang ada di halaman rumahku sedang menatapku bingung, juga dengan tatapan aneh atau mungkin takut? Bagaimana tidak? Bajuku yang masih membasah dengan banyak noda darah, luka di tanganku yang belum kering, juga langkah dan wajahku yang seperti ingin membunuh.

Grepp

“K-kak Ze....” Jeno tercekat.

Aku menarik kerah bajunya. Berdiri dengan jarak yang cukup dekat.

“Lo!” Tunjukku.

“Yang ngebunuh orang tua gue kan!”

Jeno mendelik kaget, pun Jaemin, Injun dan juga Lucy.

“Kak Ze kok main tuduh temen—”

“Diem lo Injun!” Aku mengibaskan lenganku saat Adikku menahan tanganku.

“Jawab gue Jen!”

“Lo yang ngebunuh orang tua gue! Lo yang ngebunuh Jaehyun! Lo yang ngebunuh Mark! Dan lo yang hampir ngebunuh temen lo sendiri! Adek gue!”

“Apa gue salah?!”

Aku tak peduli dengan banyaknya pasang mata yang menatapku. Mereka yang berada disana mungkin terkejut. Terlebih Injun dan Jaemin.

Jeno hanya diam, tak membenarkan, juga tak menyangkal perkataanku. Seperti kerasukan, tubuhku terlalu menggebu untuk menghajar anak yang ada di hadapanku sekarang.

“KENAPA? KENAPA LO GANGGU HIDUP GUE ANJING!”

“KENAPA LO NGAMBIL ORANG-ORANG YANG GUE SAYANG KENAPA!”

Aku mendorong-dorong tubuhnya cukup keras hingga tubuhnya hampir terjatuh jika saja Injun tak menahannya.

“Kak Ze apa-apaan sih kak? Kenapa main tuduh sembarangan!”

Injun menyembunyikan Jeno di belakang tubuhnya. Aku hanya merasa.... tubuhku bergetar hebat.

“Zemira.... Ze, lo harus tenang.” Lucy mengusap kedua bahuku.

Aku menangis. Rupanya pasokan air mataku masih tersedia untuk menangisi sosok yang sudah aku anggap sebagai Adik sendiri.

“Jeno! Lo tau gak? Gue udah nganggep lo kayak adek gue sendiri! Even tho gue bilang gak percaya sama lo, gue gak sependapat sama lo, atau bahkan gue nolak semua saran dari lo, gue tetep mikirin.”

“Gue tetep mikir semua yang lo bilang. Kadang dorongan dari lo pun bikin gue makin percaya diri, bikin gue kuat.”

“Lo inget gak waktu gue bilang kalo lo ragu, lo gak yakin, lo bikin gue ragu dan gak yakin juga. Seberpengaruh itu lo ke gue!”

Aku bisa melihat perubahan wajah Jeno saat aku mengatakan hal ini. Tatapannya mulai melemah, atau bahkan sendu yang tak bisa diungkapkan.

“Kak tapi gue gak ngebunuh orang tu—”

Plakk!!

“KAK ZE!!!!”

“ZEMIRA!!!”

Injun dan Lucy berteriak bersamaan saat aku memotong perkataan Jeno dengan melayangkan satu tamparan.

“Jeno, adik dari Irene, dan anak dari....”

“Irena Jeyrose....”

“Pergi lo dari sini....” Titahku dengan nada serendah mungkin.

Zemira POV


Apa aku terlalu gegabah menjamah yang bukan alamku? Apa itu keputusan yang salah? Pasalnya saat aku kembali dari sana, selalu saja aku kehilangan seseorang.

Seperti aku menyesali perbuatanku kali ini. Entah bagaimana bisa aku terbangun hanya dengan satu notif dari salah satu sahabatku; Lucy.

Aku tak melihat keseluruhan isi pesannya, tapi hanya dengan membaca beberapa kata saja sudah membuatku bergidik, lemas, bahkan menangis pun rasanya tak sanggup.

Lucy

|Knp banyak karangan bunga di depan rumah lo....

Aku tak berani menebak, pun bertanya.

Aku hanya ingin mencoba untuk berfikir bahwa ada seseorang yang sedang meneror atau hanya sekedar iseng menaruh karangan bunga yang Lucy maksud.

Tapi,

Nyatanya tak sesuai ekspetasiku.

Karangan bunga, benar adanya. Bahkan itu terlalu banyak menurutku, karena hey aku masih belum masuk ke dalam pelataran, tapi karangan bunga itu sudah berjajar sekitar 10m dari rumah.

Mobil berplat merah pun banyak berjajar. Jujur saja kali ini keringatku mengucur deras. Tubuhku sangat dingin, aku tak bisa merasakan apapun. Aku mati rasa.

Di depan gerbang, tentu saja banyak orang yang aku kenal. Itu teman-teman ayah dan bunda. Memakai pakaian bernuansa sama. Hitam. Juga Lucy, yang langsung berlari kearahku untuk menyadarkanku dari lamunan.

“Zemira....”

“Lo kenapa kacau gini, lo dari mana?”

Setidaknya itu yang aku dengar darinya, dengan kedua matanya yang berkaca-kaca. Ia segera menarikku masuk ke dalam halaman rumah. Sungguh betapa leganya aku melihat Adikku berada disana bersama Jeno dan Jaemin.

Namun detik berikutnya hatiku tersayat ketika Injun berlari kearahku dengan wajah yang sembab dan air mata yang masih membasahi pipi putihnya.

“Kak Ze...!!”

Hanya itu yang diucapkan Injun sembari menabrakkan tubuhnya dan menyembunyikan wajahnya di perpotongan leherku.

Hanya suara tangis yang aku dengar. Aku bahkan belum menanyakan apakah ia baik-baik saja? Apakah ia sudah makan? Apakah ia....

Kemudian bola mataku memberanikan diri melihat nama di karangan bunga itu. Hampir saja aku terjatuh jika Injun tak menyangga tubuhku.

“Kak Ze... bunda... ayah...”

Apa kalian tau betapa ingin marahnya aku pada Tuhan? Apakah kalian tau betapa ingin marahnya aku pada diriku sendiri?

Sepertinya aku sudah kehabisan air mata karena aku sama sekali tidak menangis. Disisi lain hatiku tersayat, di satu sisi penuh amarah yang entah ingin aku luapkan sekarang juga.

Menyingkirkan tubuh Injun, aku berjalan sembari mengepalkan kedua tanganku. Kudengar langkah kaki Injun juga Lucy mengekor di belakangku.

Lihatlah mereka yang ada di halaman rumahku sedang menatapku bingung, juga dengan tatapan aneh atau mungkin takut? Bagaimana tidak? Bajuku yang masih membasah dengan banyak noda darah, luka di tanganku yang belum kering, juga langkah dan wajahku yang seperti ingin membunuh.

Grepp

“K-kak Ze....” Jeno tercekat.

Aku menarik kerah bajunya. Berdiri dengan jarak yang cukup dekat.

“Lo!” Tunjukku.

“Yang ngebunuh orang tua gue kan!”

Jeno mendelik kaget, pun Jaemin, Injun dan juga Lucy.

“Kak Ze kok main tuduh temen—”

“Diem lo Injun!” Aku mengibaskan lenganku saat Adikku menahan tanganku.

“Jawab gue Jen!”

“Lo yang ngebunuh orang tua gue! Lo yang ngebunuh Jaehyun! Lo yang ngebunuh Mark! Dan lo yang hampir ngebunuh temen lo sendiri! Adek gue!”

“Apa gue salah?!”

Aku tak peduli dengan banyaknya pasang mata yang menatapku. Mereka yang berada disana mungkin terkejut. Terlebih Injun dan Jaemin.

Jeno hanya diam, tak membenarkan, juga tak menyangkal perkataanku. Seperti kerasukan, tubuhku terlalu menggebu untuk menghajar anak yang ada di hadapanku sekarang.

“KENAPA? KENAPA LO GANGGU HIDUP GUE ANJING!”

“KENAPA LO NGAMBIL ORANG-ORANG YANG GUE SAYANG KENAPA!”

Aku mendorong-dorong tubuhnya cukup keras hingga tubuhnya hampir terjatuh jika saja Injun tak menahannya.

“Kak Ze apa-apaan sih kak? Kenapa main tuduh sembarangan!”

Injun menyembunyikan Jeno di belakang tubuhnya. Aku hanya merasa.... tubuhku bergetar hebat.

“Zemira.... Ze, lo harus tenang.” Lucy mengusap kedua bahuku.

Aku menangis. Rupanya pasokan air mataku masih tersedia untuk menangisi sosok yang sudah aku anggap sebagai Adik sendiri.

“Jeno! Lo tau gak? Gue udah nganggep lo kayak adek gue sendiri! Even tho gue bilang gak percaya sama lo, gue gak sependapat sama lo, atau bahkan gue nolak semua saran dari lo, gue tetep mikirin.”

“Gue tetep mikir semua yang lo bilang. Kadang dorongan dari lo pun bikin gue makin percaya diri, bikin gue kuat.”

“Lo inget gak waktu gue bilang kalo lo ragu, lo gak yakin, lo bikin gue ragu dan gak yakin juga. Seberpengaruh itu lo ke gue!”

Aku bisa melihat perubahan wajah Jeno saat aku mengatakan hal ini. Tatapannya mulai melemah, atau bahkan sendu yang tak bisa diungkapkan.

“Kak tapi gue gak ngebunuh orang tu—”

Plakk!!

“KAK ZE!!!!”

“ZEMIRA!!!”

Injun dan Lucy berteriak bersamaan saat aku memotong perkataan Jeno dengan melayangkan satu tamparan.

“Jeno, adik dari Irene, dan anak dari....”

“Irena Jeyrose....”

“Pergi lo dari sini....” Titahku dengan nada serendah mungkin.

Zemira POV


Apa aku terlalu gegabah menjamah yang bukan alamku? Apa itu keputusan yang salah? Pasalnya saat aku kembali dari sana, selalu saja aku kehilangan seseorang.

Seperti aku menyesali perbuatanku kali ini. Entah bagaimana bisa aku terbangun hanya dengan satu notif dari salah satu sahabatku; Lucy.

Aku tak melihat keseluruhan isi pesannya, tapi hanya dengan membaca beberapa kata saja sudah membuatku bergidik, lemas, bahkan menangis pun rasanya tak sanggup.

Lucy

|Knp banyak karangan bunga di depan rumah lo....

Aku tak berani menebak, pun bertanya.

Aku hanya ingin mencoba untuk berfikir bahwa ada seseorang yang sedang meneror atau hanya sekedar iseng menaruh karangan bunga yang Lucy maksud.

Tapi,

Nyatanya tak sesuai ekspetasiku.

Karangan bunga, benar adanya. Bahkan itu terlalu banyak menurutku, karena hey aku masih belum masuk ke dalam pelataran, tapi karangan bunga itu sudah berjajar sekitar 10m dari rumah.

Mobil berplat merah pun banyak berjajar. Jujur saja kali ini keringatku mengucur deras. Tubuhku sangat dingin, aku tak bisa merasakan apapun. Aku mati rasa.

Di depan gerbang, tentu saja banyak orang yang aku kenal. Itu teman-teman ayah dan bunda. Memakai pakaian bernuansa sama. Hitam. Juga Lucy, yang langsung berlari kearahku untuk menyadarkanku dari lamunan.

“Zemira....”

“Lo kenapa kacau gini, lo dari mana?”

Setidaknya itu yang aku dengar darinya, dengan kedua matanya yang berkaca-kaca. Ia segera menarikku masuk ke dalam halaman rumah. Sungguh betapa leganya aku melihat Adikku berada disana bersama Jeno dan Jaemin.

Namun detik berikutnya hatiku tersayat ketika Injun berlari kearahku dengan wajah yang sembab dan air mata yang masih membasahi pipi putihnya.

“Kak Ze...!!”

Hanya itu yang diucapkan Injun sembari menabrakkan tubuhnya dan menyembunyikan wajahnya di perpotongan leherku.

Hanya suara tangis yang aku dengar. Aku bahkan belum menanyakan apakah ia baik-baik saja? Apakah ia sudah makan? Apakah ia....

Kemudian bola mataku memberanikan diri melihat nama di karangan bunga itu. Hampir saja aku terjatuh jika Injun tak menyangga tubuhku.

“Kak Ze... bunda... ayah...”

Apa kalian tau betapa ingin marahnya aku pada Tuhan? Apakah kalian tau betapa ingin marahnya aku pada diriku sendiri?

Sepertinya aku sudah kehabisan air mata karena aku sama sekali tidak menangis. Disisi lain hatiku tersayat, di satu sisi penuh amarah yang entah ingin aku luapkan sekarang juga.

Menyingkirkan tubuh Injun, aku berjalan sembari mengepalkan kedua tanganku. Kudengar langkah kaki Injun juga Lucy mengekor di belakangku.

Lihatlah mereka yang ada di halaman rumahku sedang menatapku bingung, juga dengan tatapan aneh atau mungkin takut? Bagaimana tidak? Bajuku yang masih membasah dengan banyak noda darah, luka di tanganku yang belum kering, juga langkah dan wajahku yang seperti ingin membunuh.

Grepp

“K-kak Ze....” Jeno tercekat.

Aku menarik kerah bajunya. Berdiri dengan jarak yang cukup dekat.

“Lo!” Tunjukku.

“Yang ngebunuh orang tua gue kan!”

Jeno mendelik kaget, pun Jaemin, Injun dan juga Lucy.

“Kak Ze kok main tuduh temen—”

“Diem lo Injun!” Aku mengibaskan lenganku saat Adikku menahan tanganku.

“Jawab gue Jen!”

“Lo yang ngebunuh orang tua gue! Lo yang ngebunuh Jaehyun! Lo yang ngebunuh Mark! Dan lo yang hampir ngebunuh temen lo sendiri! Adek gue!”

“Apa gue salah?!”

Aku tak peduli dengan banyaknya pasang mata yang menatapku. Mereka yang berada disana mungkin terkejut. Terlebih Injun dan Jaemin.

Jeno hanya diam, tak membenarkan, juga tak menyangkal perkataanku. Seperti kerasukan, tubuhku terlalu menggebu untuk menghajar anak yang ada di hadapanku sekarang.

“KENAPA? KENAPA LO GANGGU HIDUP GUE ANJING!”

“KENAPA LO NGAMBIL ORANG-ORANG YANG GUE SAYANG KENAPA!”

Aku mendorong-dorong tubuhnya cukup keras hingga tubuhnya hampir terjatuh jika saja Injun tak menahannya.

“Kak Ze apa-apaan sih kak? Kenapa main tuduh sembarangan!”

Injun menyembunyikan Jeno di belakang tubuhnya. Aku hanya merasa.... tubuhku bergetar hebat.

“Zemira.... Ze, lo harus tenang.” Lucy mengusap kedua bahuku.

Aku menangis. Rupanya pasokan air mataku masih tersedia untuk menangisi sosok yang sudah aku anggap sebagai Adik sendiri.

“Jeno! Lo tau gak? Gue udah nganggep lo kayak adek gue sendiri! Even tho gue bilang gak percaya sama lo, gue gak sependapat sama lo, atau bahkan gue nolak semua saran dari lo, gue tetep mikirin.”

“Gue tetep mikir semua yang lo bilang. Kadang dorongan dari lo pun bikin gue makin percaya diri, bikin gue kuat.”

“Lo inget gak waktu gue bilang kalo lo ragu, lo gak yakin, lo bikin gue ragu dan gak yakin juga. Seberpengaruh itu lo ke gue!”

Aku bisa melihat perubahan wajah Jeno saat aku mengatakan hal ini. Tatapannya mulai melemah, atau bahkan sendu yang tak bisa diungkapkan.

“Kak tapi gue gak ngebunuh orang tu—”

Plakk!!

“KAK ZE!!!!”

“ZEMIRA!!!”

Injun dan Lucy berteriak bersamaan saat aku memotong perkataan Jeno dengan melayangkan satu tamparan.

“Jeno, adik dari Irene, dan anak dari....”

“Irena Jeyrose....”

“Pergi lo dari sini....” Titahku dengan nada serendah mungkin.

Zemira POV


Apa aku terlalu gegabah menjamah yang bukan alamku? Apa itu keputusan yang salah? Pasalnya saat aku kembali dari sana, selalu saja aku kehilangan seseorang.

Seperti aku menyesali perbuatanku kali ini. Entah bagaimana bisa aku terbangun hanya dengan satu notif dari salah satu sahabatku; Lucy.

Aku tak melihat keseluruhan isi pesannya, tapi hanya dengan membaca beberapa kata saja sudah membuatku bergidik, lemas, bahkan menangis pun rasanya tak sanggup.

Lucy

|Knp banyak karangan bunga di depan rumah lo....

Aku tak berani menebak, pun bertanya.

Aku hanya ingin mencoba untuk berfikir bahwa ada seseorang yang sedang meneror atau hanya sekedar iseng menaruh karangan bunga yang Lucy maksud.

Tapi,

Nyatanya tak sesuai ekspetasiku.

Karangan bunga, benar adanya. Bahkan itu terlalu banyak menurutku, karena hey aku masih belum masuk ke dalam pelataran, tapi karangan bunga itu sudah berjajar sekitar 10m dari rumah.

Mobil berplat merah pun banyak berjajar. Jujur saja kali ini keringatku mengucur deras. Tubuhku sangat dingin, aku tak bisa merasakan apapun. Aku mati rasa.

Di depan gerbang, tentu saja banyak orang yang aku kenal. Itu teman-teman ayah dan bunda. Memakai pakaian bernuansa sama. Hitam. Juga Lucy, yang langsung berlari kearahku untuk menyadarkanku dari lamunan.

“Zemira....”

“Lo kenapa kacau gini, lo dari mana?”

Setidaknya itu yang aku dengar darinya, dengan kedua matanya yang berkaca-kaca. Ia segera menarikku masuk ke dalam halaman rumah. Sungguh betapa leganya aku melihat Adikku berada disana bersama Jeno dan Jaemin.

Namun detik berikutnya hatiku tersayat ketika Injun berlari kearahku dengan wajah yang sembab dan air mata yang masih membasahi pipi putihnya.

“Kak Ze...!!”

Hanya itu yang diucapkan Injun sembari menabrakkan tubuhnya dan menyembunyikan wajahnya di perpotongan leherku.

Hanya suara tangis yang aku dengar. Aku bahkan belum menanyakan apakah ia baik-baik saja? Apakah ia sudah makan? Apakah ia....

Kemudian bola mataku memberanikan diri melihat nama di karangan bunga itu. Hampir saja aku terjatuh jika Injun tak menyangga tubuhku.

“Kak Ze... bunda... ayah...”

Apa kalian tau betapa ingin marahnya aku pada Tuhan? Apakah kalian tau betapa ingin marahnya aku pada diriku sendiri?

Sepertinya aku sudah kehabisan air mata karena aku sama sekali tidak menangis. Disisi lain hatiku tersayat, di satu sisi penuh amarah yang entah ingin aku luapkan sekarang juga.

Menyingkirkan tubuh Injun, aku berjalan sembari mengepalkan kedua tanganku. Kudengar langkah kaki Injun juga Lucy mengekor di belakangku.

Lihatlah mereka yang ada di halaman rumahku sedang menatapku bingung, juga dengan tatapan aneh atau mungkin takut? Bagaimana tidak? Bajuku yang masih membasah dengan banyak noda darah, luka di tanganku yang belum kering, juga langkah dan wajahku yang seperti ingin membunuh.

Grepp

“K-kak Ze....” Jeno tercekat.

Aku menarik kerah bajunya. Berdiri dengan jarak yang cukup dekat.

“Lo!” Tunjukku.

“Yang ngebunuh orang tua gue kan!”

Jeno mendelik kaget, pun Jaemin, Injun dan juga Lucy.

“Kak Ze kok main tuduh temen—”

“Diem lo Injun!” Aku mengibaskan lenganku saat Adikku menahan tanganku.

“Jawab gue Jen!”

“Lo yang ngebunuh orang tua gue! Lo yang ngebunuh Jaehyun! Lo yang ngebunuh Mark! Dan lo yang hampir ngebunuh temen lo sendiri! Adek gue!”

“Apa gue salah?!”

Aku tak peduli dengan banyaknya pasang mata yang menatapku. Mereka yang berada disana mungkin terkejut. Terlebih Injun dan Jaemin.

Jeno hanya diam, tak membenarkan, juga tak menyangkal perkataanku. Seperti kerasukan, tubuhku terlalu menggebu untuk menghajar anak yang ada di hadapanku sekarang.

“KENAPA? KENAPA LO GANGGU HIDUP GUE ANJING!”

“KENAPA LO NGAMBIL ORANG-ORANG YANG GUE SAYANG KENAPA!”

Aku mendorong-dorong tubuhnya cukup keras hingga tubuhnya hampir terjatuh jika saja Injun tak menahannya.

“Kak Ze apa-apaan sih kak? Kenapa main tuduh sembarangan!”

Injun menyembunyikan Jeno di belakang tubuhnya. Aku hanya merasa.... tubuhku bergetar hebat.

“Zemira.... Ze, lo harus tenang.” Lucy mengusap kedua bahuku.

Aku menangis. Rupanya pasokan air mataku masih tersedia untuk menangisi sosok yang sudah aku anggap sebagai Adik sendiri.

“Jeno! Lo tau gak? Gue udah nganggep lo kayak adek gue sendiri! Even tho gue bilang gak percaya sama lo, gue gak sependapat sama lo, atau bahkan gue nolak semua saran dari lo, gue tetep mikirin.”

“Gue tetep mikir semua yang lo bilang. Kadang dorongan dari lo pun bikin gue makin percaya diri, bikin gue kuat.”

“Lo inget gak waktu gue bilang kalo lo ragu, lo gak yakin, lo bikin gue ragu dan gak yakin juga. Seberpengaruh itu lo ke gue!”

Aku bisa melihat perubahan wajah Jeno saat aku mengatakan hal ini. Tatapannya mulai melemah, atau bahkan sendu yang tak bisa diungkapkan.

“Kak tapi gue gak ngebunuh orang tu—”

Plakk!!

“KAK ZE!!!!”

“ZEMIRA!!!”

Injun dan Lucy berteriak bersamaan saat aku memotong perkataan Jeno dengan melayangkan satu tamparan.

“Jeno, adik dari Irene, dan anak dari....”

“Irena Jeyrose....”

“Pergi lo dari sini....” Titahku dengan nada serendah mungkin.

Who?

Seseorang menarik tubuh Zemira lantas membawanya ke dalam rengkuhan yang sudah tak terasa hangat lagi.

“Ze....”

“Sayang....”

Zemira membuka matanya. Dagunya masih menempel pada bahu seseorang yang entah siapa. Ia hanya mendengar suara lembut dari lelaki yang—

“Zemira kan aku udah bilang jangan lakuin ini lagi.”

Mendelik kaget. Bola mata Zemira berkaca-kaca. Ia langsung menjauhkan tubuhnya dari rengkuhan laki-laki yang tak tau siapa.

“Ta—” hampir saja Zemira bersuara. Mulutnya terbuka dan langsung dibungkam oleh tangan kekasihnya.

“Taeyong....” ia malah menangis sejadi-jadinya. Menahan suara isakannya sendiri sangatlah sulit, apalagi bertemu dengan seseorang yang selama ini ingin ia temui. Seperti banyak yang ingin ia ceritakan.

Zemira ingin mengadu betapa kehilangannya dia, betapa terpukulnya dia saat mengetahui bahwa ia lah yang membunuh lelaki dihadapannya. Dalam artian, jiwanya yang tak bisa lagi menemuinya di dunia sana.

Taeyong mengusap lembut surai hitam milik kekasihnya. Mereka berdua masih sepasang kekasih bukan?

“Kamu kenapa kesini lagi?”

“Injun ya?”

Zemira mengangguk lemah, dengan matanya yang tak henti-hentinya mengeluarkan butiran bening.

“Ze, lukamu....”

“Maaf ya...”

“Ngapain minta maaf? Bodoh! Aku kangen kamu!” tenang, Zemira berbicara dalam hati.

“Injun hampir jadi seserahan, Ze....”

Zemira tersentak kaget. Ia langsung bangun dan berlari keluar. Namun lengannya lebih dulu ditahan.

“Zemira....”

“Jangan ulangi kesalahan yang sama.” Pintanya.

“Aku temenin.”

Keluar dari ruangan itu, Zemira sudah seperti kebal dipandang oleh banyak makhluk disana. Ia semakin tidak takut karena Taeyong bersamanya, bahkan lelaki itu tak melepas genggamannya.

'

Malam dimana Renjun dan Jeno hanya berdua menjaga Pos, Jeno tak salah lihat bila sosok Taeyong ada disana.

“Maaf....” katanya lagi.

Zemira mengernyit dan menggelengkan kepalanya, tanda ia tak setuju mengapa Taeyong harus minta maaf?

Kala itu Haechan berpamitan untuk merokok bukan? Nyatanya ia malah pergi ke balik pohon besar, menunggu kedatangan iblis yang memakai tubuh Taeyong itu.

Gadis itu terbelalak dan tersentak kaget saat mengetahui percakapan keduanya.

“Treis” yang artinya tiga. Ia berbicara menggunakan bahasa Yunani.

Haechan hanya mengangguk. Kemudian dahinya disentuh oleh sosok Taeyong, lantas beberapa saat kemudian simbol satanic itu menyala di dahinya, redup, dan menghilang.

Tak percaya, Zemira hanya membungkam mulutnya dengan meloloskan butiran bening, lagi. Kekasihnya menoleh, lantas mengeratkan genggamannya.

Berikutnya, benar saja dua jasat manusia ditemukan mengambang di sungai dengan luka tusuk di bagian dada. Itu ulah Haechan, yang ternyata ada di pihak mereka. Ia yang membunuh, atau bahkan menyerahkan pada Tuannya.

“Ze, dia salah satu budak setianya Rose. Dia bisa berubah jadi makhluk paling menyeramkan, kalau kamu mau tau.”

Penjelasan Taeyong membuat Zemira kembali bingung.

“Apa kamu inget, waktu aku—”

Zemira tak ingin diingatkan dengan peristiwa itu, gadis itu menggeleng cepat sembari telunjuknya ia tempatkan di depan bibirnya.

“Iya waktu itu ada empat sosok kan? Si Tuan, Rose, dan kedua budak setianya....”

“Salah satu budaknya itu dia. Dia bisa jadi makhluk menyeramkan. Orang tuanya pun termasuk dalam lingkaran.” Tunjuk Taeyong pada Haechan.

“Dan satu lagi, dia....”

Jarinya menunjuk ke arah Chenle yang saat itu tengah mengajak Renjun pergi ke dalam hutan. Bersama dengan Haechan tentunya. Itu berarti, malam dimana Renjun menghilang.

Melihat bagaimana Jeno yang tengah melarangnya, hingga berakhir baku hantam.

“Ze... kamu yakin?”

“Aku takut kamu kelepasan lagi.”

“Jangan ya? Nanti kejadian yang udah terjadi berubah la—”

Zemira menggeleng cepat, menarik Taeyong untuk tetap bersamanya berjalan mengikuti mereka bertiga.

“Injun bodoh! Kenapa lo ikut mereka sih?”

“Kenapa lo malah sok sok an mau bantuin gue? Lo pikir lo bisa ngatasin ini?”

Mengusap matanya yang membasah dengan lengannya. Lalu Zemira memperhatikan gerak-gerik Renjun dan kedua temannya.

Demi Tuhan rasanya ia ingin mengutuk Haechan dan Chenle yang membiarkan Renjun berjalan melewati sungai untuk menghampiri—

“Rose....”

“Dia meminta sesembahannya lagi.”

“Untuk apa? Kenapa dia terus minta sesembahan? Kenapa—”

“Balas dendam, juga—”

“Untuk dibangkitkan kembali...”

“Sebagai manusia.”

Kalimat Taeyong barusan sungguh mengalihkan atensiku dan terbelalak kaget.

“Kamu balik lagi ya?”

“Ke dunia kamu.”

“Injun masih disana, dia cuma hampir jadi—”

Taeyong menangkup wajah Zemira dan mengalihkannya saat gadis itu akan melihat kejadian Renjun.

“Gak perlu kamu lihat, kamu udah tau prosesnya.”

“Kamu cepet balik ke dunia.”

“Gimana caranya?” gadis itu mengangkat kedua lengannya, ia bahkan tidak tau bagaimana cara ia untuk kembali sadar.

Mengusap wajahnya frustasi, bingung bagaimana caranya untuk kembali. Disisi lain ia ingin tetap tinggal, membersamai kekasihnya untuk waktu yang cukup lama. Untuk mendengarkan cerita darinya, tentang bagaimana ia bisa terjebak dalam sebuah lingkaran ini, bagaimana ia— ah sudahlah Zemira akan menemuinya lagi.

“Ayo Ze!”

Taeyong menarik tangan Zemira, membawanya ke sebuah ruangan yang menghantarkannya ke alam yang berbeda.

“Maaf pasti banyak pertanyaan yang pengen kamu tanyain ya?”

“Pasti banyak yang pengen kamu denger dari aku.”

“Ze, cukup kehilangan aku aja, jangan Injun.”

“Aku bakal ikut sakit kalo aku ketemu Injun disini.”

“Jangan ya?”

“Kamu jaga diri baik-baik disana, jangan dateng kesini lagi.”

“Obatin lukamu.” Taeyong mengusap punggung dan tangan Zemira.

“Diary daily life ada di box itu, Ze....”

“Kalo kamu mau, aku ijinin kamu baca....”

Zemira sudah siap di bathup, sebenarnya ia pun tidak yakin apakah ia akan bisa kembali atau tidak.

“Fakta yang harus kamu tau.”

Gadis itu menyimak.

“Irena Jeyrose.”

“Rose memiliki dua keturunan, keduanya sangat amat berpengaruh. Tinggal mereka aja yang milih, mau jadi Angel or Devil? Irene, sahabat kamu—”

Zemira mengangguk, tanda ia sudah tau.

“Dan anak keduanya, yang lebih dipercaya sebagai penerusnya,”

“Je...”

”...no”

Bersamaan dengan diucapkannya kalimat terakhir, tangan Taeyong menahan tubuh Zemira di dalam air.

Entah dengar atau tidak, karena telinganya lebih dulu dipenuhi oleh kemericik air.


Irene?

Jeno?

Who will be the angel?

and who will be the devil?

Seseorang menarik tubuh Zemira lantas membawanya ke dalam rengkuhan yang sudah tak terasa hangat lagi.

“Ze....”

“Sayang....”

Zemira membuka matanya. Dagunya masih menempel pada bahu seseorang yang entah siapa. Ia hanya mendengar suara lembut dari lelaki yang—

“Zemira kan aku udah bilang jangan lakuin ini lagi.”

Mendelik kaget. Bola mata Zemira berkaca-kaca. Ia langsung menjauhkan tubuhnya dari rengkuhan laki-laki yang tak tau siapa.

“Ta—” hampir saja Zemira bersuara. Mulutnya terbuka dan langsung dibungkam oleh tangan kekasihnya.

“Taeyong....” ia malah menangis sejadi-jadinya. Menahan suara isakannya sendiri sangatlah sulit, apalagi bertemu dengan seseorang yang selama ini ingin ia temui. Seperti banyak yang ingin ia ceritakan.

Zemira ingin mengadu betapa kehilangannya dia, betapa terpukulnya dia saat mengetahui bahwa ia lah yang membunuh lelaki dihadapannya. Dalam artian, jiwanya yang tak bisa lagi menemuinya di dunia sana.

Taeyong mengusap lembut surai hitam milik kekasihnya. Mereka berdua masih sepasang kekasih bukan?

“Kamu kenapa kesini lagi?”

“Injun ya?”

Zemira mengangguk lemah, dengan matanya yang tak henti-hentinya mengeluarkan butiran bening.

“Ze, lukamu....”

“Maaf ya...”

“Ngapain minta maaf? Bodoh! Aku kangen kamu!” tenang, Zemira berbicara dalam hati.

“Injun hampir jadi seserahan, Ze....”

Zemira tersentak kaget. Ia langsung bangun dan berlari keluar. Namun lengannya lebih dulu ditahan.

“Zemira....”

“Jangan ulangi kesalahan yang sama.” Pintanya.

“Aku temenin.”

Keluar dari ruangan itu, Zemira sudah seperti kebal dipandang oleh banyak makhluk disana. Ia semakin tidak takut karena Taeyong bersamanya, bahkan lelaki itu tak melepas genggamannya.

'

Malam dimana Renjun dan Jeno hanya berdua menjaga Pos, Jeno tak salah lihat bila sosok Taeyong ada disana.

“Maaf....” katanya lagi.

Zemira mengernyit dan menggelengkan kepalanya, tanda ia tak setuju mengapa Taeyong harus minta maaf?

Kala itu Haechan berpamitan untuk merokok bukan? Nyatanya ia malah pergi ke balik pohon besar, menunggu kedatangan iblis yang memakai tubuh Taeyong itu.

Gadis itu terbelalak dan tersentak kaget saat mengetahui percakapan keduanya.

“Treis” yang artinya tiga. Ia berbicara menggunakan bahasa Yunani.

Haechan hanya mengangguk. Kemudian dahinya disentuh oleh sosok Taeyong, lantas beberapa saat kemudian simbol satanic itu menyala di dahinya, redup, dan menghilang.

Tak percaya, Zemira hanya membungkam mulutnya dengan meloloskan butiran bening, lagi. Kekasihnya menoleh, lantas mengeratkan genggamannya.

Berikutnya, benar saja dua jasat manusia ditemukan mengambang di sungai dengan luka tusuk di bagian dada. Itu ulah Haechan, yang ternyata ada di pihak mereka. Ia yang membunuh, atau bahkan menyerahkan pada Tuannya.

“Ze, dia salah satu budak setianya Rose. Dia bisa berubah jadi makhluk paling menyeramkan, kalau kamu mau tau.”

Penjelasan Taeyong membuat Zemira kembali bingung.

“Apa kamu inget, waktu aku—”

Zemira tak ingin diingatkan dengan peristiwa itu, gadis itu menggeleng cepat sembari telunjuknya ia tempatkan di depan bibirnya.

“Iya waktu itu ada empat sosok kan? Si Tuan, Rose, dan kedua budak setianya....”

“Salah satu budaknya itu dia. Dia bisa jadi makhluk menyeramkan. Orang tuanya pun termasuk dalam lingkaran.” Tunjuk Taeyong pada Haechan.

“Dan satu lagi, dia....”

Jarinya menunjuk ke arah Chenle yang saat itu tengah mengajak Renjun pergi ke dalam hutan. Bersama dengan Haechan tentunya. Itu berarti, malam dimana Renjun menghilang.

Melihat bagaimana Jeno yang tengah melarangnya, hingga berakhir baku hantam.

“Ze... kamu yakin?”

“Aku takut kamu kelepasan lagi.”

“Jangan ya? Nanti kejadian yang udah terjadi berubah la—”

Zemira menggeleng cepat, menarik Taeyong untuk tetap bersamanya berjalan mengikuti mereka bertiga.

“Injun bodoh! Kenapa lo ikut mereka sih?”

“Kenapa lo malah sok sok an mau bantuin gue? Lo pikir lo bisa ngatasin ini?”

Mengusap matanya yang membasah dengan lengannya. Lalu Zemira memperhatikan gerak-gerik Renjun dan kedua temannya.

Demi Tuhan rasanya ia ingin mengutuk Haechan dan Chenle yang membiarkan Renjun berjalan melewati sungai untuk menghampiri—

“Rose....”

“Dia meminta sesembahannya lagi.”

“Untuk apa? Kenapa dia terus minta sesembahan? Kenapa—”

“Balas dendam, juga—”

“Untuk dibangkitkan kembali...”

“Sebagai manusia.”

Kalimat Taeyong barusan sungguh mengalihkan atensiku dan terbelalak kaget.

“Kamu balik lagi ya?”

“Ke dunia kamu.”

“Injun masih disana, dia cuma hampir jadi—”

Taeyong menangkup wajah Zemira dan mengalihkannya saat gadis itu akan melihat kejadian Renjun.

“Gak perlu kamu lihat, kamu udah tau prosesnya.”

“Kamu cepet balik ke dunia.”

“Gimana caranya?” gadis itu mengangkat kedua lengannya, ia bahkan tidak tau bagaimana cara ia untuk kembali sadar.

Mengusap wajahnya frustasi, bingung bagaimana caranya untuk kembali. Disisi lain ia ingin tetap tinggal, membersamai kekasihnya untuk waktu yang cukup lama. Untuk mendengarkan cerita darinya, tentang bagaimana ia bisa terjebak dalam sebuah lingkaran ini, bagaimana ia— ah sudahlah Zemira akan menemuinya lagi.

“Ayo Ze!”

Taeyong menarik tangan Zemira, membawanya ke sebuah ruangan yang menghantarkannya ke alam yang berbeda.

“Maaf pasti banyak pertanyaan yang pengen kamu tanyain ya?”

“Pasti banyak yang pengen kamu denger dari aku.”

“Ze, cukup kehilangan aku aja, jangan Injun.”

“Aku bakal ikut sakit kalo aku ketemu Injun disini.”

“Jangan ya?”

“Kamu jaga diri baik-baik disana, jangan dateng kesini lagi.”

“Obatin lukamu.” Taeyong mengusap punggung dan tangan Zemira.

“Diary daily life ada di box itu, Ze....”

“Kalo kamu mau, aku ijinin kamu baca....”

Zemira sudah siap di bathup, sebenarnya ia pun tidak yakin apakah ia akan bisa kembali atau tidak.

“Fakta yang harus kamu tau.”

Gadis itu menyimak.

“Irena Jeyrose.”

“Rose memiliki dua keturunan, keduanya sangat amat berpengaruh. Tinggal mereka aja yang milih, mau jadi Angel or Devil? Irene, sahabat kamu—”

Zemira mengangguk, tanda ia sudah tau.

“Dan anak keduanya, yang lebih dipercaya sebagai penerusnya,”

“Je...”

”...no”

Bersamaan dengan diucapkannya kalimat terakhir, tangan Taeyong menahan tubuh Zemira di dalam air.

Entah dengar atau tidak, karena telinganya lebih dulu dipenuhi oleh kemericik air.


Irene?

Jeno?

Who will be the angel?

and who will be the devil?