Mirror
i woke up to hear knocking on glass. At first, i thought it was the window until i heard it come from the mirror again.
—
Tetesan merah milik Zemira masih bercecer di atas lantai rumahnya. Sahabatnya sudah tak ada lagi disana entah sejak kapan. Tanpa berniat mengganti baju atau mengobati lukanya, gadis itu langsung menyambar kunci motor yang tergeletak di atas meja. Mengingat pesan yang ia terima, juga kepulangan adiknya.
Selepas subuh, ia pergi menuju Sekolah. Dengan keadaan apa adanya, baju kotor bercak merah di bagian punggung, luka-lukanya yang belum mengering mengakibatkan empunya meringis kesakitan saat angin pagi menelusup pori-pori kulitnya, juga mata sembab yang sudutnya masih membasah.
Di depan gerbang Sekolah, beberapa murid ada disana, rupanya ia cukup terlambat. Padahal ia sudah mengendarai motornya dengan cepat.
Memarkir motor di sembarang tempat, lantas Zemira pergi menghampiri kerumunan siswa untuk menanyakan adiknya. Namun baru saja ia akan pergi, lengannya lebih dulu ditarik oleh seseorang.
“Kak....”
“Jeno? Injun mana? Dia sama lo kan?” Zemira memegang tangan Jeno yang masih berada di lengannya. “Jen? Jeno jawab.”
“Temen-temen lo yang lain mana?”
“Kok lo cuma sama Nana?”
“Na? Injun dimana? Dia nungguin gue dimana?”
Jeno tak sendiri, ia bersama Jaemin saat ini. Keduanya hanya saling tukar pandang, bingung dengan apa yang harus dikatakan. Jeno merasakan tangan Zemira bergetar, menelusuri tiap jengkal wajahnya yang pucat, lantas bola matanya terpusat pada bercak merah di bahu lawannya.
“Kak, obatin dulu luka lo.... gak mungkin kan lo ketemu Injun kayak gini? Bisa gimana dia mikirnya entar.” Ujar Jeno santai. “Ke UKS dulu kak, gue obatin.”
Zemira mengusap kasar wajahnya sembari menggelengkan kepala. “Injun dimana, Jeno?”
Menghela nafas. “Renjun gak sama gue kak, dia sama Haechan, Chenle.” Jawab Jeno singkat.
“Iya terus dimana mereka? Lagi di dalem Sekolah?”
“Gak ada tanda kepulangan Haechan, Chenle kak.” Sahut Jaemin.
Zemira kebingungan. “M-maksud lo?! Jeno? Lo gak jadi bantuin gue? Jeno jawab jangan diem aja!”
“Kak Ze....”
“Semalem gue berantem sama mereka berdua. Renjun pun nyuruh gue buat gak ikut campur urusannya. Jadi, gue balik ke tenda. Gue pikir mereka bertiga bakal balik, tapi....”
“Tapi apa?” Bentak Zemira.
“Tapi mereka gak balik, senior yang lain masih ada yang disana buat nyari mereka pagi ini—”
“Kak?!”
“Kak Ze mau kemana?!” Teriak Jeno.
Tanpa ingin mendengar penjelasan Jeno lagi, Zemira pergi dari sana. Tak ada lagi yang bisa ia percayai, semua, teman-teman Renjun pun. Bahkan Jeno, satu-satunya orang yang ingin dipercaya penuh oleh Zemira, sudah mematahkan kepercayaannya.
Dibalik helm bogo, ia menangis sejadi-jadinya. Pikirannya tak bisa lagi fokus ke jalan raya yang mulai penuh kendaraan. Ia melajukan motornya dengan suasana hati yang tak karuan. Tujuannya saat ini adalah pergi ke tempat dimana Renjun berada.
'
“Taeyong!! Keluar lo!!”
“Yong keluar gak!!”
“Taeyong!”
Itu suara Zemira yang sudah berada di depan kos. Sebenarnya ia pun tak sudi memanggil iblis itu dengan nama kekasihnya, tapi bagaimana ia harus memanggilnya?
Sekali lagi ia mengetuk – atau lebih tepatnya menggedor pintu utama. Mendengar kegaduhan itu salah satu penghuni kos membukakan pintu. Sempat terkejut dengan perempuan yang berpenampilan acak-acakan.
“Cari siapa sih?” Tanyanya.
“Taeyong! Taeyong mana suruh keluar.”
“Taeyong?” Yang ditanya malah melemparkan pertanyaan. “Maksud lo anak lantai dua? Udah dua hari dia keluar tapi gak keliat balik.”
“Gue- gue mau masuk.”
Tanpa basa-basi Zemira menerobos masuk dan berlarian menaiki anak tangga untuk sampai ke kamar Taeyong.
Ia menoleh ke bekas kamar Jaehyun yang masih tertutup tanpa penghuni di dalamnya. Seketika hatinya tersayat.
“Taeyong!” Gadis itu membuka daun pintu dengan kedua bola mata yang terkejut saat ia tak mendapati seseorang yang dicari di dalam sana.
“Udah gue bilang gak ada.”
“Terus kemana?”
“Gue gak tau.”
Zemira menyibakkan rambutnya ke belakang. Menatap sekitar, frustasi.
“Sorry itu luka lo gak mau diobatin dulu? Gak mau ganti baju dulu?”
Pertanyaan dari lelaki itu tak digubris. Sungguh Zemira hanya terus berjalan keluar dan langsung pergi dari sana.
“Gak mungkin....” Entah kenapa pikirannya mendadak tertuju pada bangunan tua di sekitar pemakaman.
'
Rasa takutnya terhadap Taeyong seakan menghilang. Buktinya ia berani pergi sendiri untuk menemui sosok itu. Yakin bahwa adiknya sedang bersamanya.
Motornya sudah ia parkirkan, dan sekarang Zemira berjalan menuju bangunan tua itu. Sungguh tampak sepi. Sesekali bulu halus di lengannya bergidik saat angin kencang berhembus.
Ponsel Zemira terus berbunyi, tapi itu bukan notifikasi dari Renjun, melainkan dari Jeno yang sedari tadi menanyakan keberadaannya, menghimbau agar Zemira tetap berhati-hati juga tidak gegabah.
Harapan terakhirnya, ia bisa menemui Renjun di dalam sana. Dengan nafasnya yang terengah dan sisa-sisa dari kekuatannya, Zemira mendorong pintu bangunan itu.
Krieettt
Bunyi pintu terdengar cukup ngeri, hingga Zemira sontak menaikkan bahunya.
Sepi.
Tak ada tanda siapapun ada disini. Matanya mulai basah, sembari membuka ponselnya. Ia menghubungi nomor itu. Lantas alunan lagu Efek Rumah Kaca-Putih terdengar nyaring.
Zemira mengernyit. Saat sambungan telfon sengaja ia matikan, alunan itu tak terdengar. Ia coba menelfon lagi, dan tebak apa yang terjadi?
Alunan itu terdengar lagi.
Dengan cepat gadis itu mencari dari mana suara itu.
Dan mendapati ponsel milik Taeyong berada di satu ruangan dekat pintu belakang. Ponsel yang sengaja ditinggalkan di atas meja kayu penuh debu.
Menangis lagi. Bahkan saat panggilan masuk, nama Zemira dengan waru dibelakangnya terpampang jelas di layar ponsel. Benar. Itu ponsel Taeyong. Lockscreen, hingga homescreen pun foto mereka bertiga, Zemira, Taeyong dan Renjun, yang tengah tersenyum menampakkan barisan gigi rapi. Itu foto mereka saat berlibur ke puncak. Gadis itu mengingatnya.
“Taeyong...”
Zemira terduduk lemas dengan ponsel yang ada di dekapannya kini.
“Injun lo dimana sih?!”
“Kenapa hp lo mati gini gak lucu!”
Sembari menyeka wajahnya dengan kedua lengannya, atensinya berpindah ke satu cermin di ruangan itu. Seperti diawasi, Zemira mendekatkan dirinya.
“Taeyong?”
Sekelebat bukan bayangannya yang terlihat, melainkan bayangan Taeyong. Ingatannya terfokus pada apa yang pernah Zemira lakukan untuk melihat kejadian yang sudah terjadi. Terbesit lagi ingatan bila ia pun harus memecahnya cermin bermotif sama seperti kepunyaannya.
Ia berlarian ke arah kamar mandi, dengan dua buah ponsel yang masih ia genggam.
“Satu jam disana sama dengan satu hari disini, jadi sebisa mungkin gue harus cepet.” Gumam Zemira dengan menggigiti kuku jarinya, sembari menunggu air di bathup penuh.
“Terus cairan merah itu?”
“Blood, right?”
Celingukan. Dengan tanpa persiapan gadis itu kebingungan lantas mendapati pecahan kaca di dekat jendela.
Gegabah.
Zemira menggoreskan pecahan kaca itu ke lengannya. Kesakitan. Darah yang keluar begitu banyak hingga dirinya mengerjapkan matanya berulang kali.
Masuk ke dalam bathup dan menenggelamkan dirinya.
Sakit yang luar biasa ia rasakan di punggung juga lengan tangannya. Air mulai keruh akibat darahnya sendiri. Ini terlihat seperti percobaan bunuh diri, tapi itulah nyatanya. Zemira menahan dirinya untuk tidak keluar dari air.
Menahan dirinya, meski kakinya menggeliat.
Airnya mulai masuk ke dalam rongga mulut.
Zemira kehabisan oksigen.
Dan tak sadarkan diri....