souljaehyunn

Mirror

i woke up to hear knocking on glass. At first, i thought it was the window until i heard it come from the mirror again.

Tetesan merah milik Zemira masih bercecer di atas lantai rumahnya. Sahabatnya sudah tak ada lagi disana entah sejak kapan. Tanpa berniat mengganti baju atau mengobati lukanya, gadis itu langsung menyambar kunci motor yang tergeletak di atas meja. Mengingat pesan yang ia terima, juga kepulangan adiknya.

Selepas subuh, ia pergi menuju Sekolah. Dengan keadaan apa adanya, baju kotor bercak merah di bagian punggung, luka-lukanya yang belum mengering mengakibatkan empunya meringis kesakitan saat angin pagi menelusup pori-pori kulitnya, juga mata sembab yang sudutnya masih membasah.

Di depan gerbang Sekolah, beberapa murid ada disana, rupanya ia cukup terlambat. Padahal ia sudah mengendarai motornya dengan cepat.

Memarkir motor di sembarang tempat, lantas Zemira pergi menghampiri kerumunan siswa untuk menanyakan adiknya. Namun baru saja ia akan pergi, lengannya lebih dulu ditarik oleh seseorang.

“Kak....”

“Jeno? Injun mana? Dia sama lo kan?” Zemira memegang tangan Jeno yang masih berada di lengannya. “Jen? Jeno jawab.”

“Temen-temen lo yang lain mana?”

“Kok lo cuma sama Nana?”

“Na? Injun dimana? Dia nungguin gue dimana?”

Jeno tak sendiri, ia bersama Jaemin saat ini. Keduanya hanya saling tukar pandang, bingung dengan apa yang harus dikatakan. Jeno merasakan tangan Zemira bergetar, menelusuri tiap jengkal wajahnya yang pucat, lantas bola matanya terpusat pada bercak merah di bahu lawannya.

“Kak, obatin dulu luka lo.... gak mungkin kan lo ketemu Injun kayak gini? Bisa gimana dia mikirnya entar.” Ujar Jeno santai. “Ke UKS dulu kak, gue obatin.”

Zemira mengusap kasar wajahnya sembari menggelengkan kepala. “Injun dimana, Jeno?”

Menghela nafas. “Renjun gak sama gue kak, dia sama Haechan, Chenle.” Jawab Jeno singkat.

“Iya terus dimana mereka? Lagi di dalem Sekolah?”

“Gak ada tanda kepulangan Haechan, Chenle kak.” Sahut Jaemin.

Zemira kebingungan. “M-maksud lo?! Jeno? Lo gak jadi bantuin gue? Jeno jawab jangan diem aja!”

“Kak Ze....”

“Semalem gue berantem sama mereka berdua. Renjun pun nyuruh gue buat gak ikut campur urusannya. Jadi, gue balik ke tenda. Gue pikir mereka bertiga bakal balik, tapi....”

“Tapi apa?” Bentak Zemira.

“Tapi mereka gak balik, senior yang lain masih ada yang disana buat nyari mereka pagi ini—”

“Kak?!”

“Kak Ze mau kemana?!” Teriak Jeno.

Tanpa ingin mendengar penjelasan Jeno lagi, Zemira pergi dari sana. Tak ada lagi yang bisa ia percayai, semua, teman-teman Renjun pun. Bahkan Jeno, satu-satunya orang yang ingin dipercaya penuh oleh Zemira, sudah mematahkan kepercayaannya.

Dibalik helm bogo, ia menangis sejadi-jadinya. Pikirannya tak bisa lagi fokus ke jalan raya yang mulai penuh kendaraan. Ia melajukan motornya dengan suasana hati yang tak karuan. Tujuannya saat ini adalah pergi ke tempat dimana Renjun berada.

'

“Taeyong!! Keluar lo!!”

“Yong keluar gak!!”

“Taeyong!”

Itu suara Zemira yang sudah berada di depan kos. Sebenarnya ia pun tak sudi memanggil iblis itu dengan nama kekasihnya, tapi bagaimana ia harus memanggilnya?

Sekali lagi ia mengetuk – atau lebih tepatnya menggedor pintu utama. Mendengar kegaduhan itu salah satu penghuni kos membukakan pintu. Sempat terkejut dengan perempuan yang berpenampilan acak-acakan.

“Cari siapa sih?” Tanyanya.

“Taeyong! Taeyong mana suruh keluar.”

“Taeyong?” Yang ditanya malah melemparkan pertanyaan. “Maksud lo anak lantai dua? Udah dua hari dia keluar tapi gak keliat balik.”

“Gue- gue mau masuk.”

Tanpa basa-basi Zemira menerobos masuk dan berlarian menaiki anak tangga untuk sampai ke kamar Taeyong.

Ia menoleh ke bekas kamar Jaehyun yang masih tertutup tanpa penghuni di dalamnya. Seketika hatinya tersayat.

“Taeyong!” Gadis itu membuka daun pintu dengan kedua bola mata yang terkejut saat ia tak mendapati seseorang yang dicari di dalam sana.

“Udah gue bilang gak ada.”

“Terus kemana?”

“Gue gak tau.”

Zemira menyibakkan rambutnya ke belakang. Menatap sekitar, frustasi.

“Sorry itu luka lo gak mau diobatin dulu? Gak mau ganti baju dulu?”

Pertanyaan dari lelaki itu tak digubris. Sungguh Zemira hanya terus berjalan keluar dan langsung pergi dari sana.

“Gak mungkin....” Entah kenapa pikirannya mendadak tertuju pada bangunan tua di sekitar pemakaman.

'

Rasa takutnya terhadap Taeyong seakan menghilang. Buktinya ia berani pergi sendiri untuk menemui sosok itu. Yakin bahwa adiknya sedang bersamanya.

Motornya sudah ia parkirkan, dan sekarang Zemira berjalan menuju bangunan tua itu. Sungguh tampak sepi. Sesekali bulu halus di lengannya bergidik saat angin kencang berhembus.

Ponsel Zemira terus berbunyi, tapi itu bukan notifikasi dari Renjun, melainkan dari Jeno yang sedari tadi menanyakan keberadaannya, menghimbau agar Zemira tetap berhati-hati juga tidak gegabah.

Harapan terakhirnya, ia bisa menemui Renjun di dalam sana. Dengan nafasnya yang terengah dan sisa-sisa dari kekuatannya, Zemira mendorong pintu bangunan itu.

Krieettt

Bunyi pintu terdengar cukup ngeri, hingga Zemira sontak menaikkan bahunya.

Sepi.

Tak ada tanda siapapun ada disini. Matanya mulai basah, sembari membuka ponselnya. Ia menghubungi nomor itu. Lantas alunan lagu Efek Rumah Kaca-Putih terdengar nyaring.

Zemira mengernyit. Saat sambungan telfon sengaja ia matikan, alunan itu tak terdengar. Ia coba menelfon lagi, dan tebak apa yang terjadi?

Alunan itu terdengar lagi.

Dengan cepat gadis itu mencari dari mana suara itu.

Dan mendapati ponsel milik Taeyong berada di satu ruangan dekat pintu belakang. Ponsel yang sengaja ditinggalkan di atas meja kayu penuh debu.

Menangis lagi. Bahkan saat panggilan masuk, nama Zemira dengan waru dibelakangnya terpampang jelas di layar ponsel. Benar. Itu ponsel Taeyong. Lockscreen, hingga homescreen pun foto mereka bertiga, Zemira, Taeyong dan Renjun, yang tengah tersenyum menampakkan barisan gigi rapi. Itu foto mereka saat berlibur ke puncak. Gadis itu mengingatnya.

“Taeyong...”

Zemira terduduk lemas dengan ponsel yang ada di dekapannya kini.

“Injun lo dimana sih?!”

“Kenapa hp lo mati gini gak lucu!”

Sembari menyeka wajahnya dengan kedua lengannya, atensinya berpindah ke satu cermin di ruangan itu. Seperti diawasi, Zemira mendekatkan dirinya.

“Taeyong?”

Sekelebat bukan bayangannya yang terlihat, melainkan bayangan Taeyong. Ingatannya terfokus pada apa yang pernah Zemira lakukan untuk melihat kejadian yang sudah terjadi. Terbesit lagi ingatan bila ia pun harus memecahnya cermin bermotif sama seperti kepunyaannya.

Ia berlarian ke arah kamar mandi, dengan dua buah ponsel yang masih ia genggam.

“Satu jam disana sama dengan satu hari disini, jadi sebisa mungkin gue harus cepet.” Gumam Zemira dengan menggigiti kuku jarinya, sembari menunggu air di bathup penuh.

“Terus cairan merah itu?”

“Blood, right?”

Celingukan. Dengan tanpa persiapan gadis itu kebingungan lantas mendapati pecahan kaca di dekat jendela.

Gegabah.

Zemira menggoreskan pecahan kaca itu ke lengannya. Kesakitan. Darah yang keluar begitu banyak hingga dirinya mengerjapkan matanya berulang kali.

Masuk ke dalam bathup dan menenggelamkan dirinya.

Sakit yang luar biasa ia rasakan di punggung juga lengan tangannya. Air mulai keruh akibat darahnya sendiri. Ini terlihat seperti percobaan bunuh diri, tapi itulah nyatanya. Zemira menahan dirinya untuk tidak keluar dari air.

Menahan dirinya, meski kakinya menggeliat.

Airnya mulai masuk ke dalam rongga mulut.

Zemira kehabisan oksigen.

Dan tak sadarkan diri....

Irene.

'

Sendiri di ruang kamar, Zemira menangis sejadi-jadinya. Bahkan pandangannya tetap fokus pada langit malam dengan bulan purnama sebagai penghiasnya. Sudah satu bulan, sejak ia menemui bulan purnama. Bukan Zemira namanya jika ia tak memikirkan hal-hal yang diluar nalarnya. Takut karena segala kemungkinan buruk dapat terjadi, di malam dimana bulan purnama tengah bersinar dengan cantiknya.

Gadis itu sudah kembali ke rumahnya sore tadi, karena besoknya adalah kepulangan sang Adik. Orang tua mereka yang katanya akan berkunjung pun tak terdengar kabar baiknya lagi. Zemira sudah tak peduli, yang ia pikirkan kini adalah si bungsu. Yang entah kenapa memiliki pikiran akan melawan rasa takutnya. Tak mengapa jika Zemira terus direpotkan dengan ketakutan Renjun, asalkan Adiknya baik-baik saja.

“Please Injun angkat telfon gue please....” Zemira mondar-mandir di ruang kamarnya, dengan mata yang mulai membengkak akibat tangisannya.

“Injun.... ya Allah Adek.... bisa-bisanya lo kayak gini?!”

Dirinya yang tengah disibukkan dengan ponsel itu tak sadar bila ada seseorang mengetuk pintu rumahnya. Beberapa kali suara ketukan pintu terdengar, Zemira lantas pergi untuk membuka.

Tak disangka, Irene ada di depan pintu dan langsung memeluk sahabatnya yang tengah menangis itu.

“Ze....”

“Ren.... Injun gak ada kabar gue takut.”

Irene mengusap rambut belakang Zemira hingga turun ke punggungnya.

“Sabar Ze, sebentar lagi ya....”

“Gue takut dia kenapa-kenapa Ren sumpah dari tadi gue telfon juga gak diangkat. Gak biasanya adek gue gini....”

“Ze, lo sahabat gue, gue sayang sama lo.” Tiba-tiba saja Irene mengatakan hal ini. “Tapi gue lebih sayang adek gue....”

Zemira mencoba melepaskan rengkuhannya, namun Irene menahannya. “Ren? Maksud lo apa?”

“Lo ngedapetin semua atensi adek gue, Ze....”

“Dari awal dia kenal lo, dia mulai bandingin gue sama lo....”

“Gue pikir emang lo kakak terbaik yang pantes semua orang banggain. Tapi kenapa adek gue ngebanggain lo juga?”

“R-ren sakit....” Rengkuhan Irene yang semakin erat membuat Zemira tak nyaman. “Lepas dulu.... g-gue mau ngomong....”

“Bener kata lo kalo seharusnya gue gak jahatin adek gue. Terlambat, Ze.... harusnya lo ngomong kayak gitu sebelum gue mulai benci sama lo...”

“I-rene....”

“Lo gak tau rasanya kehilangan orang tua lo sendiri kan? Kehilangan mama, kehilangan papa disaat lo belum pulih dari rasa kehilangan mama lo....”

“Terus lo kehilangan adek lo juga....”

“Lo gak tau rasanya kan?”

“Lo mau ngerasain gak, Ze?” Irene menyeringai.

Mendengar itu Zemira semakin memberontak, ia memukul pelan punggung sahabatnya itu agar Irene melepaskan dirinya.

“Enggak.. enggak Ren gue gak mau ngerasain.... lepasin gue dulu, gue mau ngomong, please gue mau ngelihat lo....”

Irene tertawa. Suaranya menggema di seluruh ruangan. “Sakitnya kayak lo ditusuk-tusuk gini.”

“AAAA!!! Irene.... Ren.... sakit....” Zemira menjerit kesakitan saat ia merasakan punggungnya ditusuk dengan sesuatu yang tajam. Ia memukuli punggung sahabatnya lagi, kini lebih keras. Saking kerasnya Zemira memberontak, tubuh sang lawan pun ikut terkoyak. Menjatuhkan beberapa kelopak bunga mawar yang sepertinya ada dalam saku belakang celana sahabatnya.

“I-Irene.... ini bukan lo.... ini bukan sahabat gu— AAAAA!!!” Kesakitan lagi. Dua kali ia merasa punggungnya ditusuk. “Irene.... sadar Ren.... ini bukan lo....”

Zemira merasakan punggungnya membasah. Benar saja, cairan merah membasahi bajunya. Irene melukainya dengan kuku jarinya sendiri.

“Ze, ini gak seberapa....” Irene tersenyum miring. “Lo bakal tau sakitnya kalo lo kehilangan Renjun....”

“IRENE??? Apa maksud lo?? Please lepasin gue... ini bukan sahabat gue. Lo bukan Irene....” Zemira semakin menangis mendengar kalimat terakhir Irene. “Jangan apa-apain Injun please.... lo gak boleh ngambil dia dari gue.”

“Irene, kalo lo masih di dalem diri lo.... gue minta maaf dari lubuk hati gue. Kalo lo benci gue, lo bisa bilang....”

“Lo sahabat gue, Ren. Kenapa lo gak bilang kalo lo benci gue? Kenapa lo gak bilang kalo ternyata adek lo kenal sama gue.... siapapun adek lo, gue gak bakal ngerebut dia dari lo....”

“Dengerin gue. Adek lo gak ada niat ngebandingin, dia cuma minta perhatian lo, dia pengen lo cemburu ke dia.... dia cuma pengen deket sama kakaknya dengan cara itu. Ren, gak dengan cara itu lo ngebales gue yang gak tau apa-apa soal ini. Gue sayang sama lo, gue bakal sayang juga sama adek lo, gue gak bakal nyakitin lo, adek lo pun....”

Dengan menahan rasa sakit, Zemira mengatakan segala ucapannya dengan tenang, meski matanya terus membasah.

“Irene, lo gak sendiri, lo punya gue. Gue sayang sama lo....”

Tubuh Irene melemas, ia kehilangan kesadarannya, bersamaan dengan kalimat terakhir yang diucapkan Zemira. Dengan tubuh yang masih bergetar, Zemira menumpu dirinya dengan kedua lututnya. Memeluk sahabatnya, lantas membaringkan di pangkuannya.

“Ren.... bangun....”

“Jangan apa-apain adek gue....”

“Jangan ambil Injun dari gue....”

Lemas. Tubuh Zemira sangat lemas hingga ia tak mampu untuk sekedar menyeka punggungnya yang masih mengeluarkan cairan merah. Ia hanya bisa duduk dengan kepala Irene yang ada diatas pangkuannya.

“Ma...mama....” Irene menyebut mamanya diatas ketidaksadarannya.

Eternal Sleep

—Day 03

here in the forest, dark and deep, i offer you, eternal sleep

'

Hari terakhir diklat. Penentuan para senior untuk merekrut anggota baru mereka. Mengumumkan dan memberikan kartu identitas para juniornya, juga menutup kegiatan diklat dengan bersuka ria.

Harusnya.

Tapi pada kenyataannya, pukul 10 pagi mereka sudah dibuat ribut dengan adanya penemuan tubuh manusia yang mengapung dengan luka dibagian dada yang sudah membeku.

Proses evakuasi di lokasi juga terhambat karena hujan deras dan petir yang bersahutan. Kini masing-masing dari mereka hanya mampu berdiam diri di tenda sembari berdoa supaya hujan segera mereda.

Renjun dan kelima temannya duduk merapat dan saling melempar pandangan. Mereka tak habis pikir dengan sesekali curiga satu sama lain. Dua peserta yang ditemukan meninggal itu dari kelompok terakhir yang hanya mampu menyelesaikan kegiatannya di Pos 7 saja. Mereka dinyatakan menghilang saat menuju ke Pos 8.

Bila diingat, semalam yang menjadi pemandu menuju pos berikutnya adalah Jeno dan Jaemin. Harusnya mereka berdua tau apa yang terjadi jika memang mereka kehilangan dua anggota di perjalanan. Tapi baik Jeno maupun Jaemin tak mengetahui bila dua peserta itu hilang.

“Jen, Na, lo berdua mending jujur deh.” Tukas Haechan.

“Jujur sama kita aja apa susahnya?” Imbuh Chenle. “Kayak gak mungkin banget kalo lo berdua gak tau, padahal lo yang mandu.”

“Na, kalo diinget lagi, semalem emosi lo gak kontrol. Gue inget kalo lo marahin junior habis-habisan, kayak bukan lo banget. Gak mungkin kan kalo lo—” Tuduh Jisung yang langsung dilirik oleh Jaemin.

“Lo nuduh gue?” Jaemin bersuara. “Nuduh gue yang ngebunuh mereka berdua? Gue gak segila itu anjing!”

Wajah Jaemin berubah lagi. Ia sangat marah saat teman-temannya malah menyudutkannya. Hanya Renjun saja yang bisa menaruh kepercayaan kepada Jeno juga Jaemin. Tak mungkin bila kedua temannya akan tega melakukan hal seperti itu, pikirnya. Kalau pun dua orang itu hilang dan meninggal, itu murni kecelakaan yang tak bisa dihindari.

“Gak habis pikir sih kenapa kalian malah nyudutin gue sama Jaemin. Apalagi lo Chan, Le, lo berdua yang paling nyudutin kita. Boleh gak sih gue curiga sama lo berdua.” Jeno yang sedari tadi diam menerima, kini ikut membela diri tak terima.

“Udah sih? Lo semua kenapa malah saling nuduh satu sama lain? Itu murni kecelakaan!” Tegas Renjun yang berusaha melerai teman-temannya.

“Haha murni kecelakaan? Yakin? Bisa lo jelasin luka yang sama di dada mereka? Murni kecelakaan atau unsur kesengajaan?” Tukas Haechan yang mampu membuat seisi tenda terdiam.

Kelewat kesal, Jaemin yang merasa tak bersalah itu malah pergi keluar dari tenda. Meski diluar sedang hujan dengan derasnya, ia tetap memaksakan diri untuk keluar. Renjun yang mencegah langkahnya pun kalah karena Jaemin terlalu kuat. Lantas Jeno ikut menyusul temannya itu. Jisung yang tak enak hati pada kedua temannya pun ikut menyusul dengan membawakan payung meski mereka berdua sudah basah kuyup.

Kini hanya tersisa Renjun, Haechan, dan Chenle yang bertahan di tenda.

“Gak ikut ngejar juga lo?” Tanya Chenle pada Renjun.

Renjun menggeleng.

“Udah lama gue curiga sama mereka berdua.”

“Curiga apa, Le?” Mendengar kalimat dari Chenle, membuat rasa penasaran Renjun terpancing.

“Ya curiga. Aneh aja.”

“Gue juga.” Imbuh Haechan. “Apalagi mamanya Jeno kan—”

“Apa? Kenapa?” Desak Renjun.

Seperti sedang menyembunyikan sesuatu, Haechan seketika terdiam dan mengalihkan pembicaraan.

“Jun, soal kak Ze.... selama kita tiga hari disini, lo yakin dia gak balik maksain diri buat masuk dunia lain?”

“Itu yang gue khawatirin, makanya gue gak bisa lepas dari hp dari awal diklat. Gue takut....” jawab Renjun dengan melepaskan wajah murung. “Kalo aja gue bisa masuk kesana.... tapi apa gue berani? Gue penakut gini.”

Renjun berdecak sembari memeluk kedua kakinya, dan menyandarkan dagunya pada lutut mungilnya.

“Gue temenin mau gak?” Tawar Chenle tiba-tiba.

“Bertiga deh sama gue juga.” Imbuh Haechan.

Tawaran dari kedua temannya itu mampu membuat Renjun terharu. Bagaimana bisa ia memiliki teman yang mau membantu dan ikut campur dalam masalahnya, bahkan bisa saja membahayakan diri mereka sendiri.

“Terus soal mecahin kacanya? Dulu kak Ze kesana harus bawa kaca itu kan.”

“Gak perlu bawa kaca juga bisa kali Jun. Kak Mark kesana bawa kaca emang?” Sahut Haechan meyakinkan. “Malem ini mau gak?”

Renjun mendelik kaget. “Malem ini?!”

“Besok pagi kita balik kan, ya bisa tuh balik-balik langsung kasih surprise buat kak Ze.”

“Harus diskusi dulu gak sih sama yang lain soalnya kan—”

“Gak usah Jun, lo gak curiga apa sama Jeno Jaemin? Udah kita bertiga aja. Ya gak, Le?”

Chenle yang sedari tadi menyimak, saat ditanya Haechan ia hanya menganggukkan kepala tanpa sedikitpun bicara.

“Dimana? Bukannya kita butuh bathup?” Tanya Renjun lagi. “Terus cairan merah yang gak tau itu apa.... emang bakal langsung bisa masuk? Kan gak sembarang orang bisa kesana?”

Rentetan pertanyaan dari Renjun hanya dijawab singkat oleh Haechan. “Coba aja.” Dan satu kalimat itu mampu membuat adik dari Zemira itu yakin.

“Ya udah ayo.”

'

“Bersama bintang. Bersama bulan. Bersama langit malam. Cukup dengan melihat alam, kamu merasakan kedamaian.” Suara lembut Kun, yang tengah memetik kalimat indah dari Rohmatikal Maskur.

Semua orang duduk mengelilingi api unggun. Evakuasi korban selesai dilakukan sore tadi dan langsung dipulangkan. Mereka menutup kegiatan diklat tahunan dengan khidmat. Berdoa agar kebersamaan mereka dan tali persaudaraan mereka akan tetap menjadi abadi. Setelah acara penutupan, junior maupun senior memiliki kegiatan bebas, yang artinya mereka sudah boleh melakukan apa yang mereka mau asal tak melewati batasan.

Berbeda dari biasanya, Ghost Hunter sedang tidak baik-baik saja. Chenle, Haechan, dan Renjun memisah diri darisana. Mereka bertiga berjalan menuju ke tengah hutan untuk turun ke sungai hanya dengan berbekal tiga buah senter sebagai penerang jalan. Namun langkah mereka terhenti saat Jeno berdiri dihadapan Renjun.

“Lo mau kemana?” Tanya Jeno sembari tangan kanannya menggenggam bahu Renjun.

“Gue?” Renjun menatap Chenle dan Haechan bergantian. “Jalan-jalan, Jen.” Jawabnya ketika melihat kedua temannya menggeleng pelan di balik punggung Jeno.

“Lo gak takut? Disana banyak—”

“Udah sih Jen sampe kapan lo nakut-nakutin Injun terus?” Haechan menarik lengan Jeno hingga lawannya tersentak. “Di semua tempat juga pasti banyak penunggunya, tinggal Injun aja mau ngelawan rasa takutnya apa enggak.”

“Jangan karena lo bisa ngelihat, lo jadi terus nakut-nakutin temen lo ini.”

“Kenapa nada bicara lo nyolot banget gue rasa-rasa Chan?!” Jeno mendorong bahu Haechan.

“Gue gak ada sedikitpun niat buat nakut-nakutin Renjun! Gue cuma khawatir, anjing!” Saking emosinya, Jeno menarik kerah baju temannya itu.

“Lo berdua kenapa malah gini sih? Udah-udah....” Renjun berusaha melerai.

Haechan tersenyum miring. “Lo khawatir, atau takut mangsa lo gue ambil?”

“Lo ngomong apa anjing!”

Buagghh!!

Satu pukulan berhasil diloloskan Jeno. Tepat mengenai sasaran, Haechan tersungkur, sudut bibirnya sobek.

“Jen!! Chan!!” Suara Renjun memekik telinga. Namun sayang, seperti tertutup oleh tabir, keduanya tak mendengarkan.

“Le, lerai mereka anjir! Lo diem aja?!”

Chenle bersandar pada pohon, dan hanya menyaksikan keduanya baku hantam. Tak berniat untuk melerai, atau ikut campur.

Renjun yang tak bisa diam saja melihat kedua temannya seperti itu, mau tidak mau ia menarik lengan Jeno yang tengah menghajar Haechan habis-habisan.

“Jen! Sumpah lo kenapa sih? Ini temen lo sendiri anjir! Cuma karena lo khawatir ke gue, bukan berarti lo bisa nyakitin temen lo sendiri kayak gini!”

“Bener kata Haechan! Gue tau lo bisa ngelihat dan pasti banyak banget yang nunggu tempat ini. Tapi tinggal guenya aja berani ngelawan rasa takut gue apa enggak.”

“Terserah gue, mau gue jalan-jalan sendiri ke tengah hutan juga terserah gue. Khawatir lo gak ngotak! Seakan gue terus butuh lindungan lo.”

“Gue pengen ngehadapi rasa takut gue, Jen....”

Nafas Jeno terengah-engah. Sesekali ia usap peluh yang menetes membasahi keningnya. Lantas mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Renjun, ia mengangguk paham.

Jeno menepuk bahu kanan Renjun, sebelum akhirnya pergi dari sana dengan langkah gontai.

Renjun dan Chenle membantu Haechan yang masih terlentang diatas tanah. Wajahnya penuh dengan memar akibat perbuatan Jeno. Namun itu tak menghalangi langkah mereka bertiga untuk turun ke dekat sungai.

Adik Zemira itu masih memikirkan perselisihan diantara teman-temannya. Mengapa bisa? Mengapa bisa mereka menjadi seliar ini dan tak bisa mengontrol masing-masing emosinya?

Sampai di pinggiran sungai, Haechan menyeka wajahnya dengan air. Chenle juga Renjun pun membantu temannya. Tapi seketika atensi Renjun teralihkan saat ia menyadari ada seseorang di seberang sana.

“C-Chan....” Ia lingkarkan tangannya di lengan Haechan, sembari mendekatkan dirinya.

“Di..seberang....” suara Renjun semakin bergetar.

Menyadari itu, Chenle tersenyum miring. “Lo bisa ngeliat? Sejak kapan?”

Renjun kebingungan dengan pertanyaannya. Ia hanya terus mengeratkan diri. Hingga pada akhirnya Haechan menarik lengan tangannya.

“Samperin.” Titah Haechan.

“Hah?! M-maksud lo?”

“Lo bisa lihat dia kan? Samperin.” Ulang Haechan.

“Bercanda lo? Dia siapa?”

“She's got a good deal for you.” Jawab Chenle dengan senyum yang tak dapat diartikan lagi.

“Gue temenin.” Haechan menarik tangan Renjun, mengajaknya berdiri lantas berjalan menyeberangi air sungai.

image

Day 02

'

Tengah malam.

“Jun? Gak takut lo? Haechan dengan nada meledek.

“Gak.”

“Idih idih entar lagi kalo lagunya diputer tutup kuping dah tuh.”

“Kata kak Ze gak boleh dengerin lagunya! Harus tutup kuping!”

Dengan sabar, Jaemin hanya menyimak pertikaian Renjun dan Haechan. Mereka bertiga sudah bersiap sedia di pos 7, menunggu kelompok selanjutnya sampai di pos. Sejak mereka sampai, kedua bocah itu memang tak bisa diam. Selalu adu mulut, dan berebut seorang Zemira. Besar kepala, semua teman-teman Renjun menginginkan hak sebagai adik dari Zemira.

Tampaknya Jaemin mulai muak karena Renjun terus saja menyebut kakaknya dan membanggakannya. Seakan Renjun adalah adik paling beruntung di seluruh dunia karena memiliki kakak seperti Zemira.

“Lo berdua bisa diem gak sih?! Bosen gue dengerin nama kak Ze disebut mulu!” Jaemin dengan nada menyentak.

Renjun dan Haechan yang tengah beradu mulut seketika diam dan saling pandang.

“Apaan sih lo baperan amat. Bilang aja iri soalnya Renjun punya kakak kayak kak Ze!” Celetuk Haechan.

“Iya gue iri!” Jawab Jaemin sembari berdiri dan berjalan menjauh dari pos.

“Yee pms apa lu?”

“Chan! Sstt diem itu mulut asal nyeplos wae!”

Renjun menyusul Jaemin untuk meminta maaf atas ketidaknyamanannya. Bersandar pada pohon, dengan kedua tangan yang sengaja ia masukkan ke dalam saku jaket, Jaemin tampak murung.

“Na, lo kenapa? Sorry deh kalo gue bikin lo kesinggung.”

“Gak usah dengerin Haechan dah. Itu mulut gak pernah baca Al Quran jadi asal nyeplos aja.”

Jaemin hanya diam mendengarkan.

“Balik yuk? Disini gelap, Na.” Ajak Renjun tak mau meninggalkan temannya sendiri disana.

Lawannya memangkas jarak mereka. Satu tangan kiri Jaemin tiba-tiba menepuk bahu Renjun dan menggenggamnya sedikit erat, hingga sang empunya kebingungan.

“Yuk.” Jaemin tersenyum, dan membalikkan tubuh Renjun sembari merangkulnya.

Rupanya kelompok selanjutnya sudah sampai di depan pos mereka, dengan Jeno sebagai pemandunya.

Hampir setengah jam mereka melakukan kegiatan di Pos 7. Mulai dari mendengarkan lagu lingsir wengi, memarahi hingga menghukum habis-habisan juniornya, dan hampir saja Jaemin melayangkan pukulan kepada salah satu juniornya. Ia terlalu mudah tersulut emosi hari ini, teman-temannya pun bingung, karena tak biasanya Jaemin bersikap seperti ini.

“Lo, turun aja, Na. Biar gue yang disini.” Titah Jeno. “Di pos gue ringan kegiatannya, cuma tebak-tebakan doang gak bikin lo emosi kayak tadi.”

Jaemin hanya melirik Jeno dan yang lain, kemudian menuruti permintaan Jeno. Ia pergi dari Pos 7, berjalan turun menuju Pos 6.

“Kenapa sih?” Tanya Jeno pada Renjun dan Haechan.

“Pms.” Jawab Haechan singkat.

“Moodnya lagi buruk kali Jen?”

“Sumpah pms kata gue mah. Ngapain coba muak dengerin nama kak Ze? Tiba-tiba ngamuk gak jelas dih.”

“Chan lu beneran gak pernah baca Quran apa ya? Mulut lo sekata-kata.” Renjun menepuk lengan Haechan gemas.

“Emang kenapa sama kak Ze?” Tanya Jeno lagi.

“Kagak tau anjir tanya aja sono sama Jaemin si manusia gak jelas sepanjang masa.” Jawab Haechan yang langsung berdiri meregangkan tubuhnya. “Gue mau cari angin alias nyebat, bye.”

Kesempatan bagi Haechan yang masih duduk di bangku SMK, untuk menikmati aroma tembakau. Sepeninggalan Haechan, Renjun dan Jeno hanya saling diam, tak ada obrolan santai. Mereka berdua sangat mengantuk, terlebih Renjun yang bisa dibilang hampir tidak pernah begadang. Sudah berapa kali ia menguap. Matanya sayu-sayu tertiup angin malam yang semakin membuat kelopak matanya ingin menutup.

“K-kak Taeyong....” ujar Jeno lirih.

“Hah? Apa Jen?”

“Enggak enggak.” Jeno menggeleng. Namun bola matanya tertuju pada bayangan yang baru saja ia tangkap di balik pepohonan.

Unholy Trinity

'

Ruangan sederhana dengan cat berwarna putih keabuan, berpadu cantik dengan dekorasi kamar yang klasik. Irene duduk di kursi sejajar dengan ranjang yang ditempati Zemira beristirahat. Tengah memainkan instrumen musik tahun 70 an, dengan setia ia memperhatikan sahabatnya yang masih belum juga sadar.

Layar ponsel Irene terus saja menyala. Menandakan ribuan notifikasi ia terima.

“Ngapain lo chat gue terus?” Dengusnya sembari mematikan ponselnya.

“Ze?”

Zemira baru saja tersadar. Ia memandangi sekitarnya kemudian fokus memandang Irene dengan kedua mata sayu.

“Udah enakan?” Tanya Irene yang dibalas anggukan lemas Zemira.

“Hp gue mana?”

Irene membantu mengambilkan ponsel sahabatnya yang ada di atas meja. “Nih. Sorry Ze, tadi Renjun ngehubungin lo, gue angkat. Dia khawatirin lo.”

“Terus lo bilang apa?”

“Gue bilang lo lagi di kamar mandi gitu biar dia gak makin khawatir.”

Zemira mengangguk dan tersenyum. “Thanks ya!”

Irene memperhatikan Zemira yang sepertinya sudah memiliki kekuatan. Buktinya ia bisa duduk dengan tenang dan mengirim pesan untuk adiknya.

“Terus gimana lo sama adek lo?”

Irene tersentak ketika pertanyaan itu di lontarkan oleh Zemira.

“Ya gak gimana-gimana.”

“Siapa sih adek lo? Gak pernah cerita lagian.”

Gadis itu mendongakkan kepalanya. Menunjuk ke arah salah satu frame yang ada di atas meja kamarnya. Dengan rasa penasaran, Zemira berjalan mengambil frame itu. Di ruang kamar sederhana ini hanya terdapat satu frame foto Irene bersama dengan adiknya.

“Foto kecil?” Tanya Zemira heran.

“Iya, gue cuma punya foto itu, terus kita pisah. Bisa-bisanya dia ikut papa gue, sedangkan gue disini sendiri.”

Kalau itu Zemira paham karena sahabatnya pernah bercerita bahwa sepeninggalan mamanya, ia ditinggal sendiri oleh sang Ayah. Tapi tak pernah ia ceritakan tentang alasan kenapa bisa Ayahnya meninggalkan sang putri sendirian di rumah mereka. Juga tentang Irene yang memiliki Adik.

“Jadi alesan lo gak nganggep adik lo karena ini? Karena papa lo?”

Irene mengangguk. “Gak adil kalo gue cuma ngebenci papa gue. Dia juga harus gue benci!” Tunjuknya ke foto masa kecil anak laki-laki yang imut itu.

“Papa gue punya alesan ninggalin gue sendiri disini, tapi dia? Dia gak ada alesan ninggalin gue, tapi tetep dia lakuin. Jahat gak?”

Zemira tak tau harus menjawab apa. Tak tau pula harus memberikan nasehat seperti apa. Kepalanya masih berdengung dan belum juga pulih.

“Papa lo yang jahat karena ninggalin lo disini sendiri. Adek lo gak tau apa-apa Ren.” Jawab Zemira singkat.

“Papa ninggalin gue disini karena takut sama gue.”

Kalimat dari Irene mampu menyambar pikiran Zemira. Kebingungan, lantas dengan cepat ia mengalihkan.

“Lo jadi beresin gudang gak?”

“Udah enakan, Ze? Ya ayo aja.”

Overthinking. Sepertinya sudah menjadi makanan Zemira sehari-hari hingga kini ia dapat berfikir bahwa Irene adalah darah daging Rose. Dan jika dihubungkan lagi dengan Taeyong yang mulai dekat dengan Irene, bisa jadi kunci dari semua kejadian ada pada keluarga sahabatnya itu.

Antara yakin dan tidak, mereka berdua membuka rantai gudang. Tampak sangat berdebu, seperti tak pernah dimasuki oleh siapapun. Dan benar saja, Irene pun baru kali ini masuk ke gudang rumahnya sendiri. Bangunan ini letaknya diluar rumah, dekat dengan pohon yang umurnya sudah ratusan tahun, katanya.

Kriettt

Suara pintu kayu yang mulai rapuh menggema di ruangan. Melangkahkan kaki masuk. Di dalam cukup rapi dan tidak berantakan sama sekali. Hanya saja banyak barang yang sengaja ditutupi kain putih untuk menjaganya dari debu dan kotoran. Banyak sarang laba-laba yang membuat Zemira bergidik sedari tadi.

Dengan menutupi hidungnya, Irene dan Zemira membuka satu per satu kain putihnya.

“AAAA!!!” Teriak Zemira ketika ia membuka kain putih dan menampakkan bayangannya sendiri di cermin besar didepannya. “Anjing bisa-bisanya gue kaget sama bayangan gue sendiri!”

“Anjir Ze lo ngagetin gue sumpah.” Protes Irene.

Beberapa barang antik berjajar disana, hingga Irene menemukan satu kotak besi dengan ukiran bunga mawar.

“Ze, lihat deh!” Panggil Irene saat menemukan kotak itu.

“Ap—a....” lagi, Zemira kembali dikejutkan dengan fakta bahwa kotak besi itu mirip dengan kepunyaannya. Ralat, kepunyaan Taeyong yang diberikan kepadanya. Ia hanya terdiam.

“Ini bukanya gimana ya? Kuncinya.... lo nemu kunci gak Ze di meja sana?”

Zemira masih melamun tak percaya.

“Ze? Halo??” Irene melayangkan tangannya di depan wajah Zemira. “Jangan ngelamun lo kesambet entar!”

“I-iya kenapa kenapa?”

“Ada nemu kunci gak? Ini dipakein gembok. Minta tolong deh liatin di meja deket cermin itu kayaknya banyak barang kecil-kecil disana.”

Menuruti perintah Irene, Zemira mencari kunci untuk membuka box itu. Banyak frame yang sepertinya sengaja di tidurkan agar fotonya tak terpampang jelas. Karena rasa penasaran juga, Zemira membuka frame itu dan menegakkannya di meja.

image

Unholy Trinity. Hampir saja Zemira berteriak lagi saking terkejutnya. Ia hanya membungkam mulutnya dan menaruh frame itu kasar. Beberapa foto menyeramkan tercetak di kertas putih berframe kayu.

“Kenapa Ze?” Irene menoleh saat mendengar suara benda terlempar.

“Sorry, sorry Ren, gak sengaja gue banting.”

Irene menghampiri Zemira yang wajahnya berubah pucat. Menjajari sahabatnya, dengan menegakkan frame-frame itu, dirinya mengangguk paham.

“Mama gue....”

“Hah?”

“Ini foto mama gue, Ze....”

Dalam sehari, Zemira sudah dikejutkan dengan banyak fakta dan sesuatu yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Juga, jangan bayangkan mereka berdua pergi ke gudang pada pagi atau siang hari. Nyatanya sudah hampir petang mereka masih berada di dalam gudang.

“Tbh, mama gue meninggal karena kebunuh.”

“Kebunuh? Maksud lo?”

“Mama gue kebunuh waktu mass extermination of satanic cults.”

“Apa Ren?! Are you kiddin me??” Tanya Zemira untuk meyakinkan apa yang ia dengar.

“Gue gak lagi bercanda, Zemira....”

“Pemusnahan mas—sal??? Like....”

“Kalo lo inget, waktu kita masih SMP ada berita dari UK kalo ada pemusnahan massal sekte yang dianggap mengganggu masyarakat. Dan mama....”

Irene terdiam sesaat. Mungkin ia bingung bagaimana harus menceritakan kepada Zemira yang saat ini tengah mengarahkan seluruh atensinya pada Irene. Kejutan apalagi yang akan diterima Zemira setelah ini?

“Mama adalah salah satu orang paling berpengaruh. Tragis karena jasad mama gak dikuburin dengan baik, mereka malah ngurung jiwanya dimana gue gak tau.” Suara Irene terdengar frustasi.

“Makam mama disini, itu makam buatan gue dan adek gue, Ze. Dulu gue ngajak dia buat bikin dari tumpukan batu. Tapi besoknya dia malah ikut papa gue pergi.”

“Gue dianggep sebagai pewarisnya mama.”

Penjelasan dari Irene membuat Zemira menggeleng tak percaya.

“Kaget ya? Hehe.”

Masih sempatnya dia tertawa diatas kepenatan Zemira. “Parah si anjir gue speechless Ren demi!”

“Terus gue seneng waktu Taeyong ngasih kalung mama.”

“Tunggu.... Taeyong.... Ren, mama lo namanya siapa?” Tanya Zemira kebingungan.

Bingung. Jika soal Taeyong, dia akan bisa menemukan semua faktanya jika melihat diary daily life kekasihnya yang sidah disusun oleh teman-teman Renjun. Tapi soal mama Irene, hanya ini waktu yang tepat untuk menanyakan.

“Lo kan tau, Ze? Irena.”

“Nama panjangnya....”

“Irena Jeyrose. Nama gue turun dari mama, nama adek gue juga.” Jelasnya.

“Nama adek lo?”

“J— Ze!!” Irene terjingkat kaget ketika suara petir menggelegar. “Cepet-cepet bawa box nya ke dalem rumah! Udah besok aja kita beres-beres lagi, udah jam tujuh juga.”

Mereka berdua berlarian membawa box juga beberapa barang peninggalan mama Irene.

Jeyrose? Rose? Kalo bener dia itu mama lo....

Berarti mama lo secara gak langsung ngebunuh Taeyong, Mark, juga Jaehyun....

Mama lo ada disekitar lo, Ren....

Lo.... termasuk dari bagian mama lo gak?

Then, are you devil or angel?

How are you?

'

Kak, selama tiga hari jangan kemana-mana sendirian, tahan ya kak, please.

Begitulah pesan yang Zemira dapat dari adiknya. Terlambat. Bahkan sekarang gadis itu tengah berada di samping makam Jaehyun sendirian. Ia baru saja mengunjungi makam Mark juga. Pemakaman tampak tak seperti biasanya. Cukup ramai, apa karena memang ini hari yang tepat untuk pergi ke makam? Zemira tak tau pasti. Awalnya ia akan pergi bersama Irene, tapi temannya itu sedang menunggu seseorang datang kerumahnya.

“Jangan berantem kalian berdua disana.” Ucap Zemira sendu.

Setelah kejadian kapan hari, dan menyadari bahwa kekasihnya benar-benar pergi, Zemira membuat tempat untuk menyuarakan rindunya kepada Taeyong. Tepat di samping batu nisan Jaehyun, terdapat papan dengan tulisan tangan Zemira. My day one, Taeyong.

Gadis itu tersenyum pada kedua nama yang berdampingan. Dua orang yang ia sayang dan memiliki ruang masing-masing dihatinya lebih dulu pergi meninggalkannya.

“Yong, tau gak sih gue rasanya pengen meluk tubuh lo, disisi lain gue pengen ngehancurin tubuh itu karena si pemilik tubuhnya udah gak ada disana.” Protesnya sembari mengusap kasar kedua pipinya.

Cukup lama Zemira berada disana hingga tak sadar bila waktu sore pun segera tiba. Tangannya menepuk-nepuk celana bekas tanah yang menempel. Ia raih totebagnya yang masih berada diatas tanah. Dua tangkai bunga mawar ia taruh di sebelah batu nisan Jaehyun, juga papan kayu kepunyaan Taeyong. Lantas dengan berat hati dirinya berjalan mundur dan meninggalkan dua orang terkasihnya.

Berjalan keluar pemakaman dengan langkah yang gusar. Tiba-tiba saja tubuhnya terasa lemah. Kepalanya berat, hingga ia harus mendudukkan dirinya sebelum terjadi sesuatu. Duduk di depan pos, dengan pandangan yang mulai kabur, ada seorang lelaki sedang berjalan kearahnya. Mungkin karena melihat Zemira seperti butuh pertolongan, lelaki itu mendekat.

Semakin dekat, seperti tau postur tubuh lelaki itu, Zemira mengerjapkan mata berulang kali hingga dirinya mampu melihat dengan jernih lagi. Ia terkejut setengah mati dengan sosok yang tengah berdiri dihadapannya kini.

image

Taeyong. Dengan tatapan yang tak dapat dijelaskan lagi. Namun tiba-tiba ia tersenyum ketika Zemira menatapnya.

“Ze?”

Zemira tak menjawab. Ia hanya berusaha menyembunyikan rasa takutnya.

“How are you?” Tanya Taeyong lagi dengan senyum yang masih sama. “Its been a long time, right?”

“Ayo balik.”

Gadis itu menepis tangan Taeyong yang akan menggenggam tangannya. Dejavu? Suasana seperti ini tampak tak asing bagi Zemira.

“L-lo siapa?!” Zemira dengan nada bergetar.

Pertanyaan yang ia lontarkan sepertinya membuat lawannya tak bisa menjawab, hingga ia menghilangkan senyumnya, merubah mimik wajahnya.

“Irene udah nunggu di mobil, ayo balik.” Tanpa basa basi, Taeyong memutar tubuhnya dan berjalan pergi memunggungi Zemira.

“I-rene?”

Kalimat dari Taeyong berhasil membuat Zemira khawatir dan langsung berlari menyusul untuk menjajari langkah lelaki itu. Atau bahkan lebih dulu pergi ke tempat parkiran untuk meyakinkan dirinya jika sahabatnya masih dalam keadaan baik-baik saja.

“Ze!” Irene memanggil Zemira dari dalam mobil. “Loh? Mana cowok lo?”

“Lo! Katanya nunggu tamu dirumah? Kenapa bisa lo kesini sama Taeyong?” Tanya Zemira dengan nafas yang masih tersenggal-senggal.

“Taeyong yang gue maksud.”

“Lo nunggu Taeyong?!”

“Iya. Jangan salah paham dulu Ze, gue cum—”

“Gak ada salah paham – salah pahaman disini! Ngapain lo ketemu sama dia? Dia tuh bukan pacar gue! Dia bukan makhluk hidup Ren.”

“Maksud lo apa sih?”

“Lo masih gak tau aja maksud gue apa? Dia tuh bahaya banget Ren, dia yang ngebunuh—”

“Ze, asal lo tau aja, Taeyong ketemu sama mama gue, dia bisa ngeliat mama gue, dan ngasih ini ke gue.” Irene mengangkat kalung rose pendant. “Nih, ini punya mama gue.”

Zemira terdiam membeku ketika melihat pendant yang tergantung disana.

“Kenapa? Kenapa lo diem? Salah paham kan?”

Bunga mawar? Rose? Mamanya Irene?

Terus Taeyong?

Kepalanya sangat sesak dan penuh dengan ratusan hingga ribuan pertanyaan. Membuat dirinya hampir saja terjatuh jika Taeyong tak menahannya.

“Hati-hati.” Ujarnya.

Zemira berjalan masuk ke dalam mobil dibantu oleh sosok Taeyong. Pasrah. Gadis itu menggenggam lengan lawannya, ia tak dapat menahan tubuhnya lagi hingga kesadarannya mulai hilang.

Dingin, Yong...

Tangan lo, dingin banget...

Day 01

'

Tiba di tempat diklat, para senior, juga peserta diklat berkumpul di titik kumpul setelah seharian mereka hanya mendirikan tenda dan merapikan barang bawaannya.

Di hari pertama, tak begitu berat. Mereka hanya diberi waktu untuk mengenal para senior mereka. Mengingat dan menghafalkan, lantas mereka akan ditanyai satu per satu. Renjun ingat betul bagaimana dulu ia juga harus menghafalkan nama para senior yang lebih dari 30 orang ini. Mengingat saat dirinya dijatuhi hukuman untuk memeluk pohon selama 10 menit lamanya. Memikirkan dirinya memeluk pohon saja membuat ia bergidik dan merinding.

“Baik-baik tau seniornya.” Obrolan salah satu peserta diklat terdengar oleh Jeno yang langsung menyambar obrolan mereka.

“Masih hari pertama dek.” Jeno dengan senyum yang merekah, membuat kedua matanya menyipit dan menghilang.

Kelima temannya tertawa melihat keusilan Jeno sedari tadi. Entah hanya perasaan Renjun saja, atau memang Jeno yang terlihat sangat aktif hari ini. Moodnya sedang baik, atau bisa dibilang sangat baik.

Setelah menyelesaikan rangkaian upacara pembukaan dan acara yang lainnya, semua dipersilahkan untuk kembali ke tenda dan beristirahat. Hanya para senior yang saat ini berkumpul mengelilingi api unggun. Mereka membagi kelompok untuk kegiatan di hari berikutnya.

“Renjun, Jaemin, Haechan, lo ikut jaga di pos 7 ya?”

“Jeno, Chenle, Jisung jaga di pos 6.”

Setidaknya ada 10 pos dengan tiga senior di dalamnya. Renjun sempat ingin menolak karena ia berharap bisa bersama dengan Jeno, agar dirinya merasa sedikit aman. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana harus berjaga dengan Haechan yang berisik dan usil, juga Jaemin si pendiam dan tak banyak bicara.

“Jun, lo inget gak dulu di pos 7 kita suruh ngapain?” Bisik Haechan.

Renjun menggeleng. “Gue gak inget kan matanya ditutup.”

“Seinget gue di pos 7 banyak yang kesurupan karna seniornya pada ngawur.” Sahut Jaemin.

“Weh iya gue inget. Di pos 7 yang kita disuruh dengerin lagu lingsir wengi eta?”

Renjun hanya menelan ludah kasar, mendengar Haechan yang sedikit ingat tentang masa diklatnya.

“Bebas kan mau ngapain? Kan yang jaga kita.” Sela Renjun.

“Besok gue bagi tugas masing-masing pos, kalo ada yang gak jelas bisa ditanyain. Sekalian inget-inget masa diklat kalian pernah diapain aja sama senior di masing-masing pos!” Suara lantang Kun selaku senior juga pembina mereka. “Rapat kita akhiri disini, kalian boleh masuk ke tenda masing-masing.”

'

Di dalam tenda, Renjun dan kelima temannya belum juga tidur, pasalnya mereka berusaha mengingat masa diklat mereka.

“Gue ingetnya di pos terakhir, naik tebing terus suruh nyebur ke air yang demi Tuhan baunya kek kotoran manusia.” Jelas Chenle yang hampir muntah ketika disuruh mengingat.

“Di pos 6 dulu disuruh ngapain ya? Disuruh nyanyi apa dah auk ah lupa.” Tukas Jeno. “Yang jelas di pos 7 gue suruh dengerin lagu lingsir wengi sambil madep ke pohon.”

Renjun, Jaemin, dan Haechan saling melempar tatapan. Ketiganya cukup takut karena mereka ditugaskan menjaga pos 7. Terlebih Renjun yang sudah terlihat tidak nyaman. Tangannya ia lingkarkan di lengan Jaemin yang duduk disebelahnya.

“Tenang Jun, banyak temennya.” Jaemin mengusap punggung tangan Renjun.

“Chan lo mau tuker sama gue gak?” Tawar Jeno.

Haechan menggeleng cepat dan langsung memeluk Renjun. “Gak mau! Gue mau sama kakak.”

Renjun dengan cepat melepaskan dirinya dari Haechan. “Idih idih sono lu jauhan dari gue elah!”

“Kak Injunnnn!!!” Rengek Haechan.

Kengerian pikiran Renjun pun teralihkan akibat tingkah Haechan. Mereka sibuk bercanda satu sama lain, sebelum akhirnya Renjun melihat notif yang masuk di ponsel salah satu dari teman. Sebuah panggilan tak terjawab dari 'Kak Irene'. Melihat itu, Renjun memandangi teman-temannya satu per satu.

“Hp nya siapa ini?” Renjun mengangkat ponsel itu dan bertanya mengarah pada teman-temannya.

“Gue.” Jaemin bersuara, lantas mengambil ponsel dari genggaman tangan Renjun.

“Teh Irene habis nelfon lo.” Tukas Renjun yang langsung membuat keempat pasang mata lainnya melihat kearah Jaemin.

“Sejak kapan lo—” Sahut Jeno.

“Katanya mau bantu Kak Ze sama Renjun? Tapi kalian masih stuck disini aja? Ya gue cari cara buat deketin Kak Irene.” Jelas Jaemin yang hanya dibalas anggukan oleh teman-temannya.

“Terus?” Tanya Jeno lagi.

“Terus? Ya udah.... ini udah hampir tengah malem dan besok kita ada kegiatan lagi. Nanti kalo diklat selesai baru dibahas lagi.”

Jaemin memasukkan ponselnya ke dalam tas, kemudian menidurkan dirinya. Disusul oleh teman-temannya yang menyadari bahwa jam sudah hampir menunjukkan pukul 12 malam. Berbeda dengan kedua 'adik' yang mengirim chat terlebih dahulu kepada sang kakak sebelum mereka berdua pergi tidur.

Take care!

'

Masih terlalu pagi, Zemira sudah diributkan oleh Renjun juga teman-temannya. Selepas subuh harusnya Zemira bisa tidur lagi dengan nyenyak, tapi kali ini waktu tidurnya ia dedikasikan untuk adik satu-satunya yang akan pergi diklat tahunan.

“Kan lo disuruh kak Kun buat bantu konsumsi?!”

“Dia aja gak bilang ke gue? Bilangnya ke lo kan Cung? Ya berarti lo aja yang bantu konsumsi.” Tukas Chenle pada Jisung.

“Kemaren udah gue bilangin di grup kan? Ih lo mah!”

Jisung dan Chenle tengah ribut perkara konsumsi. Di sisi lain ada Haechan dan Jeno yang adu umpatan karena Jeno tak sengaja membuat Haechan terjatuh saat mengemasi barangnya. Berbeda dengan Nana, ia cukup tenang duduk berdampingan dengan Zemira dan melihat keributan yang ada.

“Lo gak ikut ribut juga?” Tanya Zemira dengan menunjuk mereka.

Nana tersenyum. “Enggak kak, gue udah bosen ribut sama mereka.”

“Gue baru ngerasa deket banget sama kalian aja udah capek duluan.”

Zemira memijat pelipisnya sebelum akhirnya ia berdiri menghampiri mereka untuk menghentikan pertikaian.

'

Tepat pukul 05.30 para senior yang berbaik hati menjemput mereka berenam di depan rumah Zemira. Senior dari angkatan pertama, umur mereka setara dengan Zemira, setidaknya ia bisa berbicara santai kepada para seniornya.

“Titip adek gue ya!” Pinta Zemira.

“Adek lo yang mana?” Tanya salah satu senior bernama Kun.

Zemira menunjuk Renjun awalnya, lantas telunjuknya bergantian menunjuk kelima lainnya.

“Semua! Hehe.”

“Ih kak adek lo kan cuma gue aja?” Protes Renjun yang sudah berada di atas motor.

“Udah sih sekarang berbagi, karena mereka juga udah gue anggep adek.” Zemira mendekati Renjun dan mengacak rambutnya.

“Akhirnya kak Ze jadi kakak gue!!” Teriak Haechan bersemangat, disusul yang lain.

Nana. Memang dia yang paling berbeda. Ia hanya melayangkan senyum saat yang lain senang dan bersemangat karena diakui sebagai adik dari Zemira.

Tak berlama-lama, para senior pun menyalakan mesin motornya masing-masing dan berjalan meninggalkan pelataran rumah.

“Take care!!” Teriak Zemira ketika motor terakhir mulai melaju.

Ghost hunter genk.

Mari kita ingat kembali kejadian dimana Zemira memutuskan masuk menjamah alam lain. Malam itu, semua yang dilihat Zemira adalah potongan kejadian yang sudah terjadi. Tapi mengapa bisa Mark yang sudah terkapar lemah bisa menyelamatkan Zemira? Mengapa bisa Taeyong pun memanggil nama Zemira padahal kejadian itu sudah terjadi?

Begini, bukankah Mark sudah memberi peringatan pada Zemira untuk tidak berbicara pada siapapun? Untuk tidak bersuara? Karena saat ia berada di alam lain, dirinya akan dianggap telah meninggal, atau bisa dikatakan dia sudah menjadi arwah di alam lain.

Di tempat lain, Jeno sibuk beradu argument dengan Mark. Bahkan Jeno melayangkan pukulan yang tepat sasaran hingga pucuk bibir Mark mengeluarkan darah.

“Orang yang berhasil masuk pun belum tentu dapat keluar dari sana.”

Kalimat itulah yang membuat Jeno melayangkan pukulan. Tanpa melanjutkan kalimatnya pun Jeno sudah tau apa maksud dari perkataan Mark. Lantas ia meminta agar segera mengembalikan kesadaran Zemira sebelum semuanya terlambat.

“Lo gak tau kan kak Ze itu gimana orangnya?! Dia orangnya gegabah! Even lo peringatin dia! Dia gak bisa kontrol dirinya sendiri apalagi itu soal orang yang dia sayang!” Jelas Jeno.

“Tapi dia di alam lain gak mungkin dia bakal—”

“Gak ada yang gak mungkin kalo kak Ze udah nekat! Gue berani taruhan kalo dia lupa sama tujuan dia kesana. Karna yang dia mau cuma ketemu sama Taeyong.”

Jeno sangat frustasi malam itu, semua penjelasan dari Mark yang tak masuk akal pun mau tak mau harus ia dengarkan. Hingga akhirnya Mark memutuskan untuk menyusul Zemira kesana.

Jangan lupa bahwa mereka melakukannya saat bulan purnama, dimana manusia dan hewan sama agresifnya, serta ketika beberapa sekte melakukan persembahan mereka.

Di ruangan lain Jeno menunggu keduanya kembali dan sadar. Ia berharap agar keduanya bisa segera kembali ke dunianya.

'

Benar yang dikatakan Jeno. Zemira lupa akan tujuannya menjamah alam lain. Tentu saja Mark berusaha mencarinya. Ia ingat bahwa malam ini kejadian itu terjadi, kejadian dimana Taeyong menyerahkan jiwanya untuk membiarkan Mark tetap hidup. Pada akhirnya, ia hidup atau mati pun, ia tetap menjadi part of the sect. Ia yang memilih mati untuk dihidupkan kembali, nyatanya hanya raganya saja yang hidup, namun jiwanya berkeliaran entah dimana. Mereka tidak benar-benar mati, buktinya mereka masih bisa berinteraksi dengan manusia meski hanya suara saja yang terdengar dan tak memiliki wujud. Dan mereka yang memilih hidup untuk mati, mereka pun tak benar-benar hidup, karena separuh jiwanya sudah ia gadaikan dulu, menunggu jiwanya yang lain menghadapi kematian yang sesungguhnya. Memang seperti itu perputarannya.

Kesalahan pertama, Zemira melupakan tujuannya. Kedua, ia melanggar larangan dari Mark. Karena kesalahan keduanya ini, Zemira mengubah jalan kejadian yang sudah terjadi.

Mark melihat Zemira ada di upacara persembahan. Lelaki itu menghampiri Zemira dan akan membawanya kembali. Namun ia belum sampai setengah jalan, Zemira sudah berteriak melihat Taeyong. Dari sana, ia merubah jalan kejadiannya. Taeyong sadar bila ada Zemira disana, pun sebaliknya. Disisi lain, harapan gadis itu telah terpenuhi. Bertemu dengan sosok yang ia rindukan. Di satu sisi, ia menjemput ajalnya sendiri.

“What the fuck?!” di dalam hatinya, Mark banyak mengumpat. Ia seperti kehilangan akal sehatnya saat mendengar Zemira menjawab tawaran dari sosok jahat itu.

Tanpa pikir panjang, ia sendiri yang akan mengakhiri perputaran miliknya. Mark sudah menjalani sisa hidupnya dengan baik bukan? Ia sudah memberikan box itu kepada Zemira, juga menceritakan sebagian kejadiannya kepada Jeno. Lelaki itu sangat berharap banyak pada Zemira, untuk menepati janjinya, juga mencari siapa itu Rose, dan apa yang sebenarnya dicari. Bertepatan dengan ditancapkannya pedang ke tubuh Mark berkali-kali, bertepatan dengan itulah Taeyong membunuh Mark di dunia nyata.

Taeyong telah mempersembahkan Mark kepada tuannya, di bulan purnama.

'

Mari kita ulang lagi. Kesalahan pertama, Zemira melupakan tujuannya. Kedua, ia melanggar larangan dari Mark. Karena kesalahan keduanya ini, Zemira mengubah jalan kejadian yang sudah terjadi.

Dan kesalahan ketiga, karena kesalahan keduanya, tanpa sadar ia sudah merenggut nyawa kekasihnya sendiri. Taeyong benar-benar terbunuh, jiwanya pun telah tiada. Mimpinya buruknya semalam pun nyata, saat Zemira bertemu dengan Taeyong. Sosok itu benar-benar Taeyong, ia melarang gadisnya untuk pergi kesana lagi, dan meminta maaf atas segala kejadian yang sudah terjadi.

Zemira hampir kehilangan kesadarannya. Air matanya masih deras mengucur membasahi wajahnya. Renjun sedari tadi memeluk kakaknya pun ikut menangis mengetahui orang yang sudah ia anggap sebagai 'Abang' telah pergi dan tak akan pernah kembali.

Jeno dan keempat temannya hanya menatap sedih kakak adik yang tengah saling melindungi.

“Jadi setelah apa yang gue baca disini, cerminnya emang harus dipecahin. Karena benda itu jadi penghubung.” Jelas Chenle sembari mengeluarkan bukunya.

“Gue nemuin buku lain di box nya kak Ze, gue gak bisa baca karena semua pake abjad yunani.” Jeno menyela. “Gue nemu diary nya kak Taeyong tapi ini udah disobek-sobek jadi ya harus disusun lagi biar kebaca.”

“Kak Ze? Kak gue bakal bantu lo kok.” Haechan menghampiri Zemira dan menepuk lembut bahunya. “Maksudnya kita. Gue, Jeno, Nana, Icung, Chenle, disini buat kak Ze sama Injun. Udah jangan nangis kak. Takdirnya begini gimana lagi.”

Sepertinya perkataan Haechan tak mempan untuk membuat Zemira lebih tenang. Gadis itu malah menangis dengan kencangnya. Jisung sudah memberikan isyarat agar lebih baik Haechan diam saja dari pada memperkeruh suasana. Lantas ia kembali duduk di tempatnya.

“Gak sembarang orang dijadiin sesembahan. Kalo yang gue tangkep sih ya. Buktinya Jeno udah sering ketemu kak Taeyong juga dia gak di apa-apain tuh?” Tunjuk Nana.

Kalimat dari Nana membuat seisi ruangan berfikir. Jeno yang sibuk membolak-balikkan buku pun seketika terdiam dan berfikir. Cukup lama mereka hanya saling melempar pandang satu sama lain. Kondisi Zemira yang sudah sedikit tenang akhirnya membuka suara.

“Taeyong.... ah maksud gue, dia, sekarang lagi deketin sahabat gue.”

“Sahabat kak Ze?” Tanya Renjun kaget. “Saha kak?”

“Irene.”

“Itu mah lagi PDKT! Aw!!” Haechan meringis kesakitan saat lengannya di cubit oleh Chenle. “Naon sih asu!”

“Karburator supra diem lo! Sekali lagi ngejokes, berantem aja lah kita.” Ancam Chenle yang langsung membuat Haechan kembali membungkam.

“Kenapa malah deketin temen kak Ze? Tunggu ini maksudnya dia cari mangsa baru? Tapi kalo apa kata Nana bener, bisa jadi temen kak Ze ada hubungannya sama mereka. Balik lagi, karena mereka pun cari mangsa nya nggak yang sembarang orang.” Tukas Jisung yang langsung dibenarkan oleh Renjun.

“Bener! Kak Taeyong bahkan gak pernah nyakitin gue. Bahkan dia tetep ngebantu gue sama kak Ze.”

“Dia bukan Taeyong, Dek....” ucap Zemira lemas. “Gue gak mau kehilangan siapa-siapa lagi.”

Suasana ruang tengah semakin serius dan menegangkan. Terlebih saat Jeno mengatakan beberapa kalimat yang membuat itu masuk akal.

“Kak Ze, temen lo pernah gak cerita tentang keluarganya?”

“Dia cuma cerita kalo mamanya meninggal waktu dia SMP.”

“Ada lagi?”

“Gue gak inget sih Jen, udah lama dan emang hampir gak pernah dia cerita soal keluarganya.”

“Kak, boleh gak gue berasumsi buruk ke kak Irene?”

“Kenapa Jen?”

“Kata temen gue, i mean temen yang gak bisa kalian lihat disini, kak Irene pemegang kuncinya. Dia bisa ngebuka dan bisa ngunci.”

“Jadi maksud lo— kak Irene buah hatinya Rose?!” Desak Jisung.

“I don't know. Yang jelas asumsi gue, kak Irene si pemegang kunci.” Tukas Jeno yang berhasil membuat teman-temannya mengarahkan atensi mereka. Juga Zemira yang tengah menyimak sembari memijat pelipisnya.

“Mau cari tau gak?” Tawar Haechan.

“Gimana caranya? Kita aja gak tau kak Irene yang mana.” Jisung kebingungan.

“Nyewa detektif aja apa? Kita tinggal nunggu hasil.” Chenle yang masih saja mengandalkan harta yang ia miliki.

“Mana ada serunya? Ya kita yang maju lah. Mereka gak bakal nyakitin kita kan? Karna gak sembarang orang jadi kandidat mangsanya!” Jawab Nana dengan bijak.

Semua setuju dengan Nana. Ghost hunter genk siap membantu dan memecahkan masalah yang dihadapi Renjun, juga Zemira. Pasalnya, gadis itu sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi setelah bertubi-tubi kenyataan pahit harus ia terima.

image

Nightmare.

Sinar matahari memaksa masuk melewati celah jendela kamar Zemira pagi ini. Membuat penghuni kamar terbangun dan mendapati keberadaan Jeno dan Renjun tertidur di lantai kamarnya. Matanya masih berusaha mengerjap berkali-kali, dan menelisik ingatan akan mimpi buruknya semalam.

“Bodoh mampus mimpi gue makin ngaco!” Zemira menepuk kedua pipinya.

Mengingat bahwa semalam ia akan pergi menemui Taeyong, namun ia urungkan niatnya.

Mendudukkan dirinya, lantas pergi ke depan meja rias. Wajah yang entah bagaimana bisa terlihat sangat lelah, pucuk matanya yang basah, juga semburan hitam di sekitar kelopak matanya. Sambil memperhatikan cermin itu, ia ingat akan tugasnya yang belum terlaksana, memecahkan cermin. Tapi tunggu, Zemira akan menunggu cerita dari Jeno, baru ia akan memutuskan.

Layar ponselnya menyala, menampilkan foto Zemira bersama Taeyong di Waterpark kala itu. Gadis itu tersenyum getir.

“Gue, kangen sama lo. Lo.... dimana?” Sambil menatap layar ponselnya, ia ingat di mimpi Taeyong meminta maaf kepadanya. Menunjukkan kalung star moon coin pemberian Zemira. Tanpa sadar ia menitikkan air mata.

Suara gesekan kursi membangunkan Renjun, dan tak lama setelahnya Jeno ikut terbangun. Mereka berdua masih meregangkan tubuh, sesekali memijit pinggang mereka. Bagaimana bisa keduanya tertidur di lantai tak beralas?

“Kak Ze? Gak bangunin gue sih?” Tanya Renjun sembari meluap. “Lo tidur udah kayak simulasi meninggal anjir nyenyak bener gak kebangun sama sekali.” Protesnya.

Zemira mengernyit. “Emang iya?”

“Iya kak, kenapa tiba-tiba tidur? Padahal udah janjian sama gue.” Jeno tak kalah protesnya. “Lain kali jangan tidur dulu napa orang ada janji sama orang.”

“Ck, iya iya sorry. Gue juga gak tau kenapa bisa ketiduran. Gak inget.”

Jeno melihat ponselnya yang berdering, lalu ia meminta izin mengangkat telfon dari seseorang dan berlalu pergi keluar dari kamar.

“Oh iya teh Lucy semalem kesini tau.” Ujar Renjun.

“Hah? Kok gak bilang?!”

“Gimana sih kak orang lo dibangunin kagak bangun-bangun. Tanya Jeno tuh.”

Tak ada satu pesan pun yang masuk dari Lucy, Irene, atau bahkan Taeyong. Ponselnya benar-benar tak bernotif saat ini. Padahal biasanya di hari libur, teman-temannya sudah sibuk mengajaknya pergi keluar, tapi ini sama sekali tak ada kabar apapun dari mereka.

“Kak, temen-temen gue mau kesini habis ini. Lo siap-siap beberes dulu deh.” Jeno berada di ambang pintu kamar usai menerima telfon.

“Jadi?” Sahut Renjun.

“Iya. Gue balik dulu aja mau man—”

“Gak usah Jen! Mandi disini aja, pake baju gue dulu aja gak papa kali ah.” Lantas Renjun mengajak Jeno pergi dari kamar kakaknya. “Kak, gue beberes dulu ya! Dahhh.”

“Kakkk....”

Renjun kembali lagi dan menghamburkan pelukannya kepada Zemira. Ia menenggelamkan wajahnya, dengan sesekali mengusap lembut punggung kakaknya.

“Lah? Apa nih tiba-tiba lo peluk gue, Dek?” Zemira yang kaget pun membalas pelukannya.

“Hehe gak papa. Udah gue ke kamar dahhh.” Pamitnya lagi.

image