souljaehyunn

Meet him.

Coba tebak siapa yang sudah berdiri di depan bangunan tua itu? Ya. Zemira. Berdiri mematung dengan giginya yang sibuk menggigiti ujung kuku ibu jari. Sebenarnya ia tak memiliki keyakinan untuk masuk ke dalam. Beberapa kali ia mencoba untuk berbalik dan meninggalkan jejaknya disana, namun rasa penasarannya tetap saja menginginkan ia agar segera masuk menemui sang pengirim pesan.

Petang. Suara serangga hutan mulai bersahutan. Musnah sudah keberaniannya untuk masuk ke dalam sana.

“Ze?” Suara serak mengagetkan Zemira saat ia membalikkan badannya memunggungi pintu depan bangunan tua. “Kok gak masuk?”

Hampir saja gadis itu berteriak, karena Taeyong yang berada di hadapannya kini. Ia hanya menenangkan dirinya dengan mengusap pelan dadanya.

“Kamu kaget? Maaf ya?”

“Masuk yuk?”

Demi Tuhan, suara lembut ini mengingatkan Zemira pada sosok yang ia cintai. Bukankah saat ini sosok itu sedang bersamanya? Entahlah, ia pun ragu.

Taeyong menuntun gadisnya menuju ke ruang tengah. Ruang dimana seminggu yang lalu Zemira, Mark, juga Jeno, berdebat dan beradu argumen, sebelum pada akhirnya ia meninggalkan Jeno sendiri disini.

“Mm.... T-taeyong?” Getar suara Zemira cukup membuat Taeyong terhenyak.

“Kenapa Ze? Kok suaramu gitu?”

Zemira berdehem. Saking berusahanya untuk tenang, ia sampai merasakan sesak hingga terbatuk-batuk.

“Ze? Kamu sak—”

Gadis itu menepis tangan Taeyong saat lawannya akan menangkup wajah Zemira. Rasa takutnya tak bisa disembunyikan lagi ketika tanpa sengaja kedua bola mata Zemira melihat setangkai bunga mawar ada di saku celana Taeyong.

“Sayang kenap—”

“Mundur....”

“Kamu kenapa, Ze?”

“Gue bilang mundur!” Sentak Zemira dengan kakinya yang sedikit goyah memberi jarak diantara keduanya. “Lo.... lo siapa?!”

Tangan Zemira bergetar saat ia menunjuk Taeyong. Tubuhnya lemas, hingga tak mampu untuk berdiri. Zemira jatuhkan dirinya disana. Terduduk di lantai dingin dan penuh debu, dengan tatapan yang masih menatap tajam lawannya. Ujung matanya mulai membasah.

“Dingin, Ze.” Taeyong berucap tanpa ekspresi.

“L-lo siapa?! Lo bu-kan Tae-yong kan?”

“Ini aku, Taeyong....”

Suara lembut itu lagi. Mata Zemira mulai berkaca-kaca ketika Taeyong mengeluarkan benda dari sakunya. Kalung star moon coin. Pemberian Zemira saat ulang tahun Taeyong kala itu. Perasaan sedih, takut, khawatir, bahkan tak percaya, bercampur aduk jadi satu. Zemira menangis sejadi-jadinya.

“Taeyong? It's you?”

“Beneran kamu?”

“Yong....”

“Aku.... aku kangen kamu.”

“Ze, jangan kesana lagi. Maaf ya.” Ujar Taeyong yang masih berdiri di tempatnya.

Kedua tangan Zemira sengaja ia gunakan untuk menutupi wajahnya. Ia masih menangis sesenggukan mendengar jawaban dari Taeyong. Pikirannya tengah kacau karena sempat berfikir buruk tentang kekasihnya.

“Yong.... kenapa semua ngira kamu ngebunuh Jaehyun? Kenapa semua ngira kamu juga yang ngebunuh Mark? Bukan kan? Itu bukan kamu kan? Kenapa kamu jadi aneh sekarang? Kena—”

Suara dobrakan pintu dan teriakan terdengar, hingga membuat Zemira mengalihkan atensinya.

“Kak! Gue udah nebak lo bakal kesini!”

“Kak Ze!!”

Jeno dan Renjun berlarian dari luar sana. Menghampiri Zemira dan membantunya berdiri. Tentu saja Renjun langsung memeluk kakaknya dengan erat. Membenamkan wajahnya.

“Kan gue udah bilang, Injun ajakin juga kalo kak Ze mau kemana-mana tuh! Tadi ke depan gang aja ceunah? Tapi kenapa bisa sampe sini? Ayo kak pulang.” Rengek Renjun.

“Ngapain kak Ze sendiri disini?” Tanya Jeno.

Zemira bingung. “G-gue gak sendiri, gue sama Tae—” menunjuk ke tempat dimana Taeyong berdiri, namun sosoknya sudah tak ada disana. Lelaki itu tak meninggalkan jejaknya. Seperti daun yang tersapu angin, ia pergi dan hilang begitu saja.

Jeno dan Renjun saling melempar tatapan bingung.

“K-kak mending kita balik.” Ajak Jeno. “Tempat ini sama sekali gak ada penghuninya, gue makin takut.”

“M-maksud lo? Gue tadi sama Taeyong disini. Dia kemana ya?” Zemira pergi mencari, namun Renjun lebih dulu menahannya.

“Kak. Ayo balik, gue takut.” Rengek Renjun lagi sembari menggerak-gerakkan tangan Zemira.

Bisa jadi Taeyong bersembunyi saat mendengar suara langkah kaki mendekat. Bisa jadi Taeyong tak ingin menampakkan diri lagi di depan orang-orang sekitar. Bisa jadi. Itu spekulasi Zemira. Pada kenyataannya, saat ketiganya berjalan keluar, ada dua sosok bayangan yang baru saja datang. Kepala Zemira rasanya akan pecah ketika melihat Taeyong berjalan kearahnya. Ia tak sendiri.

“Teh Irene?” Sahut Renjun.

Taeyong,

bersama dengan Irene.

“Jen, apa yang lo lihat?” Bisik Zemira.

“Kak Taeyong, temen lo, and their army.”

— to be continue —


JANGAN TEGANG IH😂

image

Hidup untuk mati,

atau mati untuk dihidupkan kembali?

“Kak Ze!!”

Suara Renjun menyadarkan Zemira. Mendengar suara adiknya, ia mampu keluar dari dalam air, dan sadar sepenuhnya. Nafasnya masih tersenggal-senggal. Berkali-kali ia mengerjapkan matanya yang terasa perih. Bola matanya menjelajahi tiap sudut ruangan.

Mengernyit.

Zemira tersadar saat melihat cermin di genggamannya. Yakin, bahwa dirinya sudah berada di alam yang berbeda. Bajunya basah kuyup, bukan hanya bajunya saja tapi juga sekujur tubuhnya. Saat ia akan melangkahkan kaki keluar ruangan, ia melihat sebuah mantel hitam tergantung disana. Mau tak mau Zemira memakai mantel itu untuk setidaknya menutupi dirinya yang basah kuyup dan menghangatkan diri.

Terkejut. Banyak sosok makhluk yang langsung memfokuskan pandangannya kearah Zemira. Sosok bayangan hitam nan besar, seorang biarawan berjubah, hingga sosok mengerikan lainnya.

“Tahan, Ze, tahan....”

Ia terus mengingat semua kalimat Mark.

Zemira memberanikan diri menerobos mereka, berjalan seolah itu semua adalah hal yang wajar, seolah ia adalah bagian dari mereka juga. Mereka hanya terus menatap gadis itu.

“Mark! Buruan keburu telat kelas!”

Suara yang tak asing bagi Zemira. Suara lembut yang sangat ia kenali. Mencari darimana datangnya suara itu, ia berlari menghampiri.

Itu Taeyong, kekasihnya. Lelaki itu sudah memakai pakaian casual yang rapi, pergi kearah dapur dan menyambar beberapa potong roti, menjejalkan kedalam mulutnya.

“Mark gue tinggal ya.”

“Tunggu elah lo rajin amat!”

“Kata Zemira gak boleh telat masuk kelas!” Teriaknya sembari menutup pintu rumah.

Zemira tersenyum, bahkan butiran bening sudah membasahi pipi putihnya.

Gadis itu kebingungan, saat berusaha mengikuti kekasihnya untuk keluar dari rumah, ia malah berada di stasiun. Penuh dan sesak. Tidak hanya karena banyaknya manusia disana, tapi juga karena makhluk astral yang tak bisa dilihat dengan panca indera orang biasa. Lagi, ia ditatap tajam oleh mereka.

Duduk termenung seorang diri. Zemira menyipitkan matanya, melihat Taeyong berada di seberang sana. Ia ingin menghampirinya, namun langkahnya terhenti saat melihat seorang lelaki yang Zemira kenal tiba-tiba duduk disampingnya. Itu Mark. Disusul Lucas, juga Winwin yang berjalan tak jauh dari mereka. Wajah Taeyong kini terlihat berbeda, tak se-murung tadi. Zemira masih tak mengerti apa alasan dibalik wajah murungnya.

Mereka pergi ke suatu tempat. Ternyata itu adalah tempat yang sebelumnya sudah diceritakan oleh Mark.

Demi Tuhan, tubuh Zemira melemas saat melihat penginapan yang mereka tempati. Karena di pandangannya saat ini itu bukan tempat penginapan, melainkan sebuah pemakaman, dengan gedung tua disampingnya.

“Zemira?”

Suara itu....

Terkejut. Keduanya sama-sama terkejut.

“Ze?! Lo udah ma—” Mengguncang bahu Zemira, lalu melepaskannya.

“Ah enggak. Gak mungkin!”

Jaehyun. Tepat di depan matanya saat ini. Lelaki yang terbunuh akibat keegoisannya. Entah senang atau sedih mereka berdua bertemu di alam lain. Melihatnya saja sudah membuat air mata Zemira mengalir membasahi pipi putihnya.

“Lo beneran Zemira?” Tanya Jaehyun saat melihat butiran bening lawannya terus menetes.

Zemira hanya mengangguk. “iya Je, ini gue....”

“T-tapi tunggu. Ini lo.... lo belum mati kan?”

Gadis itu menggeleng. Ia sangat ingin tau banyak tentang Jaehyun saat ini. Andai saja ia bisa menuliskan semua pertanyaan, mungkin itu akan menjadi satu buku penuh.

“Lo gegabah!”

Zemira terhenyak saat suara keras Jaehyun memekik gendang telinganya.

“Lo gegabah, Ze! Gimana caranya lo bisa balik ke dunia lo?!”

“Kenapa lo mudah banget percaya sama orang?!”

“Lo itu egois tau gak!”

Bentakan-bentakan itu membuat Zemira tersulut emosinya. Lantas menepis kedua lengan Jaehyun yang masih bersarang di bahunya. Deru nafasnya menggebu, menandakan bahwa gadis itu tengah marah.

“Kenapa lo selalu gak mau belajar dari kesalahan?!”

“Ze, siapa yang ngasih solusi gini ke lo? Siapa yang nyuruh lo buat pergi ke alam lain? Dimana tubuh lo sekarang?”

Entah hanya perasaannya saja, atau memang benar kedua bola mata Jaehyun berubah beberapa detik yang lalu. Zemira takut. Lelaki di depannya bukan Jaehyun. Pandangannya beralih kepada Taeyong dan ketiga temannya. Gadis itu menunjuk mereka, lantas Jaehyun paham.

“Jadi, Mark yang ngasih solusi ini?”

Zemira mengangguk.

“Kenapa bisa lo sepenuhnya percaya? Padahal sama gue, lo ga bisa—”

“You're going to break the curse?”

“Iya!” batin Zemira sembari mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Apa lo siap untuk tau kalau....”

Jaehyun menghentikan obrolan, menoleh kearah pemakaman. Zemira pun mengikuti pandangannya, dan kembali terkejut karna banyak sekali bayangan hitam, atau bahkan sosok mengerikan lainnya yang saat ini tengah datang satu per satu mengelilingi Taeyong, juga Mark.

Mereka berdua berjalan mengikuti langkah gadis kecil nan cantik.

“Rosie? Apa dia yang ada dicerita Mark?”

“No.... no.... no!”

Zemira berlari mengikuti mereka berdua yang masuk ke sebuah gedung tua di area pemakaman. Jaehyun menahannya saat knop pintu akan diraihnya.

“Zemira! Gue mohon jangan masuk.”

Ditahan seperti itu, Zemira menolak dan terus meronta. Jaehyun mencengkeram tangannya sangat kuat. Meski begitu ia bisa lepaskan diri dan masuk ke dalam gudang tua itu.

Bau dupa, wewangian bunga, juga bau anyir bercampur jadi satu di ruangan ini. Seperti sedang diadakan sebuah upacara, banyak makhluk yang berkumpul disini. Seakan lupa dengan tujuannya, Zemira memberanikan diri menerobos sosok-sosok mengerikan yang tengah berdiri memunggungi. Berada di baris terdepan, lagi, Zemira harus menahan diri untuk tidak teriak saat melihat Mark yang sudah terduduk berlumuran darah. Ia membungkam mulutnya dengan tangan.

“Hidup untuk mati, atau mati untuk dilahirkan kembali?”

Suara serak dan menggelegar, mengalihkan atensi Zemira. Darah segar keluar dari leher kekasihnya karena cekikan dan goresan kuku tajam. Telinga Zemira berdengung, ia tak dapat mendengarkan suara apapun. Pandangannya masih terus melihat bibir yang samar sedang berucap sesuatu.

“Hey Rose, aku persembahkan jiwaku untukmu.”

“Aku persembahkan jiwaku untukmu,”

“Aku persembahkan jiwaku untukmu,”

Tiba-tiba tubuh Taeyong disandarkan disebuah papan. Tampak wajahnya diselimuti ketakutan, Zemira dapat melihatnya.

“Hey Rose, kini jiwaku adalah milikmu, maka aku memilih mati untuk dihidupkan kembali, dan biarkan—”

“No!!! Taeyong!” Tak sadar Zemira berteriak karena ia mengerti perkataan Taeyong meski telinganya berdengung, tak dapat mendengar.

Zemira mendapatkan semua atensi dari makhluk yang ada disana. Ia berlutut dan menangis, sembari kedua tangan menutupi telinganya.

“Taeyong.... please.... jangan....”

“Zemira....”

Dengan bersandar di papan, Taeyong pun menoleh kearahnya. Kali ini suara Taeyong dapat di dengar oleh Zemira. Suara terakhir Taeyong.

“Dan biarkan Zemira, Mark, juga kedua temanku untuk hidup.”

Sosok perempuan dengan dress hitam itu tersenyum miring melihat Zemira, lantas menancapkan pedang tajam menembus tubuh kekasihnya.

“Noooo!!!!” Zemira berteriak sekencang-kencangnya.

image

“Zemira....”

“Zemira....”

Seseorang memanggil namanya setidaknya 3x terdengar di telinga Zemira. Gadis itu telah lama menunduk dan memejamkan matanya sembari menangis, karena melihat orang yang ia cintai mengorbankan jiwanya kepada wanita itu.

Saat Zemira membuka mata, di depannya sudah ada sosok perempuan dengan kedua bola matanya yang putih, dan tersenyum miring. Dadanya sangat sesak, seperti tak ada lagi oksigen yang masuk ke dalam paru-parunya. Tercekat. Sosok di depannya memangkas jarak hingga tersisa satu jengkal saja. Apakah ini adalah akhir bagi Zemira juga? Apakah ia akan menukar jiwanya juga? Ia sudah pasrah. Ia sudah menyerah. Bahkan ia sudah berfikir bila ia terbunuh, mungkin Renjun, sang adik, akan tinggal bersama kedua orang tuanya. Keputusan yang terbaik bukan?

“What are you doing here?” sosok itu berbisik sembari tangan yang mulai menjamah wajah Zemira.

Zemira merasakan kulit tangannya yang kasar, dan kuku jarinya yang bisa saja mengiris dan menghancurkan wajahnya.

“I miss watching you.”

Kalimat itu pernah ia dengar sebelumnya. Zemira masih saja menangis. Seketika wajahnya dicengkeram keras oleh lawannya.

“Hidup untuk mati atau mati untuk dilahirkan kembali?” Suaranya berubah keras dan menggelegar.

Bila diberi penawaran seperti itu, maka Zemira akan memilih hidup untuk mati. Ia berfikir bahwa setelah ini hanya Tuhan yang mampu memberi takdir kapan ia akan mati.

“Hidup untuk mati.” Jawab Zemira dengan suara gemetar.

Sosok perempuan itu berjalan mundur dan memunggungi Zemira. Beberapa detik ia merasa lega, karena ia terbebas dari penawaran berikutnya. Namun sayang, rasa lega nya tak bisa bertahan lama.

“Hidup untuk mati?” Tersenyum miring. “Kamu sudah hidup sejauh ini, so it's time for you to die now.”

Zemira tercekat. Tanpa basa basi, sosok itu melayangkan pedangnya. Ditancapkannya pedang itu ke tubuh si mangsa. Berkali-kali. Gadis itu merasa bahwa darah segarnya tengah keluar hingga wajahnya pun terkena darahnya sendiri. Namun saat ia mampu membuka matanya, ia dikejutkan oleh Mark dihadapannya. Menyadari bahwa wajahnya yang basah karena cairan merah, itu adalah kepunyaan Mark.

Aroma alkohol dan obat-obatan mampu mengembalikan kesadaran gadis yang sudah satu minggu tak sadarkan diri dan sempat koma.

“Kak Ze? Kak?!” Renjun memeluk Zemira saat mengetahui kakaknya sadar. “Kak, gue gak mau sendiri lagi, jangan tinggalin Injun lagi.”

Renjun menggenggam tangan Zemira, beberapa tetesan air mata jatuh ke tangannya.

Kebingungan. Bahwa hanya ada Renjun di ruangan. Juga, bagaimana bisa Zemira berbaring di Rumah Sakit.

“Gue sama Jeno, dia lagi cari angin di luar, kak.” Mengusap tangan Zemira. “Pokoknya habis ini gue mau marahin kak Ze!”

“M-ma-rk?” Zemira mencoba mengeluarkan suaranya meski kesusahan. “Di-ma-na?”

“T-tae-yong?”

“Ih kak Ze mah yang dicariin malah mereka, padahal Injun ketakutan banget karna kak Ze gak sadar seminggu!” Ungkap Renjun.

“Se-ming-gu?”

“Iya kak, lo gak sadar seminggu.” Jeno baru saja kembali dari luar. “Jun, boleh gue ngobrol sama kakak lo bentar? Berdua.”

Renjun menolak awalnya, hingga Zemira menggenggam tangan Renjun dan meyakinkannya. “5 menit.” Lantas Renjun menginggalkan sang kakak dengan Jeno.

“Kalo kak Ze udah sehat, kita jengukin kak Mark ya?”

Zemira mengernyit.

“Permintaan terakhir, dia minta lo buat bawa bunga yang banyak.”

“Bu-nga?”

“Dia minta maaf gak bisa bantu kak Ze lagi.”

“Dia nyuruh gue buat bantuin lo, padahal gue aja gak ngerti apa-apa. Gimana kalo gue salah? Kalo gue malah memperparah keadaan gimana?”

“Gimana kalo gu—”

“M-mark dimana?!” Tangan Zemira menyentuh kulit tangan Jeno.

“Jen, Mark dimana?!” Kini nadanya pun mulai meninggi. “Bilang sama gue, Mark dima—”

“Dia meninggal, dua hari yang lalu.”

image

Bulan purnama.

a time when humans and animals are just as aggressive, as well as times when some sects perform their offerings.

image

Penampakan purnama yang memesona telah memicu manusia untuk menerawang segala kemungkinan dengan kaidah yang gaib, sejak dahulu kala, dan mewariskan cerita tentangnya melalui lisan atau tulisan.

Salah atau tidak Renjun memilih untuk menghubungi seseorang yang masih menjadi ketakutannya. Tak punya pilihan, sedari tadi ia hanya memandangi luar jendela sembari merapalkan doa entah apa yang sekiranya dapat melindungi dirinya juga kakak satu-satunya. Menangis tersedu di dalam kamar, sendirian. Lantas ia mendengar deru mobil yang baru saja dinyalakan. Terlihat Zemira dan juga Jeno berjalan ke mobil Mark.

“Kak Zemira!!” Teriak Renjun dari balik jendela. “Kak Ze lo mau kemana kak?!”

“Jeno!!”

“Kak Ze bukain gue!!”

Dengan tangan mengepal, Renjun memukul jendela kamarnya berkali-kali. Zemira melihat kearahnya, lelaki itu tertegun melihat bibir kakaknya.

“Sorry.”

“Sebentar aja.”

Renjun semakin menangis sejadi-jadinya saat mobil yang dikendarai Mark keluar dari halaman rumahnya. Ia mencoba menelfon siapapun yang bisa ia mintai pertolongan saat ini, namun tangannya terlalu kaku untuk sekedar memencet tombol di ponselnya. Bagaimana ia bisa menghubungi mereka bila dirinya sendiri tak bisa mengontrol emosi yang sejak tadi keluar tak henti-hentinya. Renjun hanya bisa duduk memeluk kedua kakinya di atas lantai dingin kamarnya. Sendiri.

Sebuah bangunan tak terpakai di dekat makam, Zemira baru mengetahuinya. Padahal ia bisa dibilang sering pergi ke makam, tapi rasanya tak pernah melewati bangunan yang tengah ia masuki kini.

“Kak Ze kalo lo ragu jan—”

“Jen, lo yang buat gue ragu. Buat gue takut.”

Jeno terdiam mendengar jawaban Zemira. Mereka bertiga pergi ke ruang tengah bangunan itu. Mengikuti apa saja yang dikatakan Mark. Lalu Zemira pun membuka beberapa lembar dari buku berabjad yunani.

image

Κάνε μου την προσφορά σου. kane mia then prosphora sou.

Kalimat itu Zemira baca setidaknya tiga kali. Tak ada hal yang terjadi, sama sekali tidak ada. Ia menoleh kearah Mark, lalu kearah Jeno. Berbeda dengan dirinya, sepertinya mereka tampak sangat 'santai'. Jeno pun tak banyak bicara seperti saat dirumahnya.

Mark mengulurkan tangan kirinya.

“Ikut gue.”

Jeno menahan. “Kemana?!”

“Pindah ruangan. Lo disini aja.” Jawab Mark sembari meraih pergelangan tangan Zemira.

“Kak....”

“It's okay, lo tunggu sini.”

Raut wajah Jeno berubah pucat. Keringat dingin tampak meloloskan dirinya. Zemira berjalan mengikuti Mark, namun saat ia menoleh kebelakang untuk melihat Jeno, sosoknya sudah tak berada disana.

Celingukan.

Secepat apa Jeno bisa pergi dari ruang tengah padahal ia sendiri masih beberapa langkah berjalan membelakangi Jeno.

Mark menuntunnya ke sebuah kamar mandi dengan bathup putih yang sudah tertutup debu dan dedaunan kering. Ia bersihkan benda itu, lantas mengisinya dengan air.

“M-mark lo mau mandi apa gimana sih?” Gurau Zemira di tengah ketakutannya.

“Lo yang mandi.”

“Heh gila aja lo!” Spontan Zemira menutupi dadanya dengan kedua tangan menyilang.

“Ze, it doesn't mean it's like that.” Mark tertawa tidak percaya. “Come on....”

“Ah, oke oke. Then what am i supposed to do?”

“Masuk aja ke bathup. Sambil nunggu air penuh.”

“Ini seriusan? Gue masuk kesini? Gue gak bawa baju ganti yang bener lo.”

“Ze.... just do it.”

Zemira berdecak, namun ia tetap melakukannya. Masuk dan duduk di dalam bathup. Airnya sudah hampir penuh, dadanya sudah tertutup dengan air. Mark mematikan kran, menuangkan beberapa botol berisi cairan merah yang ada di kotak. Gadis itu tidak menahu tentang apa sebenarnya cairan merah ini.

“Zemira, listen to me.”

Mark berjongkok di sebelah bathup. Zemira memperhatikan ucapannya dengan badan yang mulai menggigil karena air dan juga angin malam yang masuk memenuhi ruangan.

“Gue tau lo takut, gue tau lo pengen nangis. Nangis aja.”

Mendengar itu rasanya dada Zemira mulai sesak. Ia hanya meloloskan satu hingga tiga tetes air matanya, namun tak bisa dibendung lagi, Zemira menangis sesenggukan.

“Ze, sebentar lagi lo bakal bisa lihat semua. I mean, semua yang gak pernah lo lihat atau bayangin. Tentang cerita gue, atau bahkan cerita Jaehyun. Satu yang harus bisa lo tahan. Don't talk to anyone there, jangan sampe lo ngeluarin suara. Gue mohon, tahan sebisa mungkin. Remember that you're on the other side.”

“Inget kalo itu bukan dunia lo....”

“Bisa lo lakuin itu, Ze?”

Zemira mengangguk meski merasa ragu apakah bisa ia melakukannya.

“Oke. Lo cuma perlu cari kaca besar yang bentuk dan ukirannya sama kayak punya lo ini.”

“Pecahin kacanya!”

“Karena kaca itu, 'dia' masih terhubung.”

Mark memberikan cermin milik Zemira, pemberian dari kekasihnya. Ia tatap cermin itu lekat-lekat dengan tatapan sedih yang tak bisa diungkapkan.

“Terus habis ini apa? Dingin, Mark.” Tanya Zemira sembari mengusap sisa air matanya.

“Masuk ke dalam air, Ze.”

“Maksudnya ini gue tenggelem?”

Mark mengangguk. “Pegang tangan gue kalo lo mulai kehabisan nafas, gue bakal narik lo.”

“This mirror? Gue bawa?”

“Iya, bawa aja.”

Zemira mulai menenggelamkan dirinya. Kedua tangan Mark menggenggam bahu Zemira. Kedua matanya melihat lelaki itu masih ada disana. Air merah dirasa menjadi sangat keruh dan berbau anyir. Pasokan oksigen di dalam tubuh Zemira mulai menipis, ia terhenyak. Sesak. Tak dapat menahan nafasnya lagi. Gadis itu menggenggam pergelangan tangan Mark, memaksa untuk keluar dari bathup, namun semakin Zemira memaksa keluar, tubuhnya semakin ditahan oleh Mark.

“M-mark!”

Zemira tersedak karena mencoba memanggilnya di dalam air.

Mark berbohong. Ia tidak menarik Zemira keluar dari sana. Ia malah semakin mendorong tubuh mungilnya.

Zemira terlalu lemas untuk menggerakkan tubuhnya.

Pandangannya kabur.

Telinganya berdengung.

Kepalanya mulai terasa berat.

Zemira kehilangan kesadarannya.

Bulan purnama.

a time when humans and animals are just as aggressive, as well as times when some sects perform their offerings.

image

Penampakan purnama yang memesona telah memicu manusia untuk menerawang segala kemungkinan dengan kaidah yang gaib, sejak dahulu kala, dan mewariskan cerita tentangnya melalui lisan atau tulisan.

Salah atau tidak Renjun memilih untuk menghubungi seseorang yang masih menjadi ketakutannya. Tak punya pilihan, sedari tadi ia hanya memandangi luar jendela sembari merapalkan doa entah apa yang sekiranya dapat melindungi dirinya juga kakak satu-satunya. Menangis tersedu di dalam kamar, sendirian. Lantas ia mendengar deru mobil yang baru saja dinyalakan. Terlihat Zemira dan juga Jeno berjalan ke mobil Mark.

“Kak Zemira!!” Teriak Renjun dari balik jendela. “Kak Ze lo mau kemana kak?!”

“Jeno!!”

“Kak Ze bukain gue!!”

Dengan tangan mengepal, Renjun memukul jendela kamarnya berkali-kali. Zemira melihat kearahnya, lelaki itu tertegun melihat bibir kakaknya.

“Sorry.”

“Sebentar aja.”

Renjun semakin menangis sejadi-jadinya saat mobil yang dikendarai Mark keluar dari halaman rumahnya. Ia mencoba menelfon siapapun yang bisa ia mintai pertolongan saat ini, namun tangannya terlalu kaku untuk sekedar memencet tombol di ponselnya. Bagaimana ia bisa menghubungi mereka bila dirinya sendiri tak bisa mengontrol emosi yang sejak tadi keluar tak henti-hentinya. Renjun hanya bisa duduk memeluk kedua kakinya di atas lantai dingin kamarnya. Sendiri.

Sebuah bangunan tak terpakai di dekat makam, Zemira baru mengetahuinya. Padahal ia bisa dibilang sering pergi ke makam, tapi rasanya tak pernah melewati bangunan yang tengah ia masuki kini.

“Kak Ze kalo lo ragu jan—”

“Jen, lo yang buat gue ragu. Buat gue takut.”

Jeno terdiam mendengar jawaban Zemira. Mereka bertiga pergi ke ruang tengah bangunan itu. Mengikuti apa saja yang dikatakan Mark. Lalu Zemira pun membuka beberapa lembar dari buku berabjad yunani.

image

Κάνε μου την προσφορά σου. kane mia then prosphora sou.

Kalimat itu Zemira baca setidaknya tiga kali. Tak ada hal yang terjadi, sama sekali tidak ada. Ia menoleh kearah Mark, lalu kearah Jeno. Berbeda dengan dirinya, sepertinya mereka tampak sangat 'santai'. Jeno pun tak banyak bicara seperti saat dirumahnya.

Mark mengulurkan tangan kirinya.

“Ikut gue.”

Jeno menahan. “Kemana?!”

“Pindah ruangan. Lo disini aja.” Jawab Mark sembari meraih pergelangan tangan Zemira.

“Kak....”

“It's okay, lo tunggu sini.”

Raut wajah Jeno berubah pucat. Keringat dingin tampak meloloskan dirinya. Zemira berjalan mengikuti Mark, namun saat ia menoleh kebelakang untuk melihat Jeno, sosoknya sudah tak berada disana.

Celingukan.

Secepat apa Jeno bisa pergi dari ruang tengah padahal ia sendiri masih beberapa langkah berjalan membelakangi Jeno.

Mark menuntunnya ke sebuah kamar mandi dengan bathup putih yang sudah tertutup debu dan dedaunan kering. Ia bersihkan benda itu, lantas mengisinya dengan air.

“M-mark lo mau mandi apa gimana sih?” Gurau Zemira di tengah ketakutannya.

“Lo yang mandi.”

“Heh gila aja lo!” Spontan Zemira menutupi dadanya dengan kedua tangan menyilang.

“Ze, it doesn't mean it's like that.” Mark tertawa tidak percaya. “Come on....”

“Ah, oke oke. Then what am i supposed to do?”

“Masuk aja ke bathup. Sambil nunggu air penuh.”

“Ini seriusan? Gue masuk kesini? Gue gak bawa baju ganti yang bener lo.”

“Ze.... just do it.”

Zemira berdecak, namun ia tetap melakukannya. Masuk dan duduk di dalam bathup. Airnya sudah hampir penuh, dadanya sudah tertutup dengan air. Mark mematikan kran, menuangkan beberapa botol berisi cairan merah yang ada di kotak. Gadis itu tidak menahu tentang apa sebenarnya cairan merah ini.

“Zemira, listen to me.”

Mark berjongkok di sebelah bathup. Zemira memperhatikan ucapannya dengan badan yang mulai menggigil karena air dan juga angin malam yang masuk memenuhi ruangan.

“Gue tau lo takut, gue tau lo pengen nangis. Nangis aja.”

Mendengar itu rasanya dada Zemira mulai sesak. Ia hanya meloloskan satu hingga tiga tetes air matanya, namun tak bisa dibendung lagi, Zemira menangis sesenggukan.

“Ze, sebentar lagi lo bakal bisa lihat semua. I mean, semua yang gak pernah lo lihat atau bayangin. Tentang cerita gue, atau bahkan cerita Jaehyun. Satu yang harus bisa lo tahan. Don't talk to anyone there, jangan sampe lo ngeluarin suara. Gue mohon, tahan sebisa mungkin. Remember that you're on the other side.”

“Inget kalo itu bukan dunia lo....”

“Bisa lo lakuin itu, Ze?”

Zemira mengangguk meski merasa ragu apakah bisa ia melakukannya.

“Oke. Lo cuma perlu cari kaca besar yang bentuk dan ukirannya sama kayak punya lo ini.”

“Pecahin kacanya!”

“Karena kaca itu, 'dia' masih terhubung.”

Mark memberikan cermin milik Zemira, pemberian dari kekasihnya. Ia tatap cermin itu lekat-lekat dengan tatapan sedih yang tak bisa diungkapkan.

“Terus habis ini apa? Dingin, Mark.” Tanya Zemira sembari mengusap sisa air matanya.

“Masuk ke dalam air, Ze.”

“Maksudnya ini gue tenggelem?”

Mark mengangguk. “Pegang tangan gue kalo lo mulai kehabisan nafas, gue bakal narik lo.”

“This mirror? Gue bawa?”

“Iya, bawa aja.”

Zemira mulai menenggelamkan dirinya. Kedua tangan Mark menggenggam bahu Zemira. Kedua matanya melihat lelaki itu masih ada disana. Air merah dirasa menjadi sangat keruh dan berbau anyir. Pasokan oksigen di dalam tubuh Zemira mulai menipis, ia terhenyak. Sesak. Tak dapat menahan nafasnya lagi. Gadis itu menggenggam pergelangan tangan Mark, memaksa untuk keluar dari bathup, namun semakin Zemira memaksa keluar, tubuhnya semakin ditahan oleh Mark.

“M-mark!”

Zemira tersedak karena mencoba memanggilnya di dalam air.

Terlalu lemas untuk menggerakkan tubuhnya.

Pandangannya kabur.

Telinganya berdengung.

Zemira kehilangan kesadarannya.

Bulan purnama.

a time when humans and animals are just as aggressive, as well as times when some sects perform their offerings.

image

Penampakan purnama yang memesona telah memicu manusia untuk menerawang segala kemungkinan dengan kaidah yang gaib, sejak dahulu kala, dan mewariskan cerita tentangnya melalui lisan atau tulisan.

Salah atau tidak Renjun memilih untuk menghubungi seseorang yang masih menjadi ketakutannya. Tak punya pilihan, sedari tadi ia hanya memandangi luar jendela sembari merapalkan doa entah apa yang sekiranya dapat melindungi dirinya juga kakak satu-satunya. Menangis tersedu di dalam kamar, sendirian. Lantas ia mendengar deru mobil yang baru saja dinyalakan. Terlihat Zemira dan juga Jeno berjalan ke mobil Mark.

“Kak Zemira!!” Teriak Renjun dari balik jendela. “Kak Ze lo mau kemana kak?!”

“Jeno!!”

“Kak Ze bukain gue!!”

Dengan tangan mengepal, Renjun memukul jendela kamarnya berkali-kali. Zemira melihat kearahnya, lelaki itu tertegun melihat bibir kakaknya.

“Sorry.”

“Sebentar aja.”

Renjun semakin menangis sejadi-jadinya saat mobil yang dikendarai Mark keluar dari halaman rumahnya. Ia mencoba menelfon siapapun yang bisa ia mintai pertolongan saat ini, namun tangannya terlalu kaku untuk sekedar memencet tombol di ponselnya. Bagaimana ia bisa menghubungi mereka bila dirinya sendiri tak bisa mengontrol emosi yang sejak tadi keluar tak henti-hentinya. Renjun hanya bisa duduk memeluk kedua kakinya di atas lantai dingin kamarnya. Sendiri.

Sebuah bangunan tak terpakai di dekat makam, Zemira baru mengetahuinya. Padahal ia bisa dibilang sering pergi ke makam, tapi rasanya tak pernah melewati bangunan yang tengah ia masuki kini.

“Kak Ze kalo lo ragu jan—”

“Jen, lo yang buat gue ragu. Buat gue takut.”

Jeno terdiam mendengar jawaban Zemira. Mereka bertiga pergi ke ruang tengah bangunan itu. Mengikuti apa saja yang dikatakan Mark. Lalu Zemira pun membuka beberapa lembar dari buku berabjad yunani.

image

Κάνε μου την προσφορά σου. kane mia then prosphora sou.

Kalimat itu Zemira baca setidaknya tiga kali. Tak ada hal yang terjadi, sama sekali tidak ada. Ia menoleh kearah Mark, lalu kearah Jeno. Berbeda dengan dirinya, sepertinya mereka tampak sangat 'santai'. Jeno pun tak banyak bicara seperti saat dirumahnya.

Mark mengulurkan tangan kirinya.

“Ikut gue.”

Jeno menahan. “Kemana?!”

“Pindah ruangan. Lo disini aja.” Jawab Mark sembari meraih pergelangan tangan Zemira.

“Kak....”

“It's okay, lo tunggu sini.”

Raut wajah Jeno berubah pucat. Keringat dingin tampak meloloskan dirinya. Zemira berjalan mengikuti Mark, namun saat ia menoleh kebelakang untuk melihat Jeno, sosoknya sudah tak berada disana.

Celingukan.

Secepat apa Jeno bisa pergi dari ruang tengah padahal ia sendiri masih beberapa langkah berjalan membelakangi Jeno.

Mark menuntunnya ke sebuah kamar mandi dengan bathup putih yang sudah tertutup debu dan dedaunan kering. Ia bersihkan benda itu, lantas mengisinya dengan air.

“M-mark lo mau mandi apa gimana sih?” Gurau Zemira di tengah ketakutannya.

“Lo yang mandi.”

“Heh gila aja lo!” Spontan Zemira menutupi dadanya dengan kedua tangan menyilang.

“Ze, it doesn't mean it's like that.” Mark tertawa tidak percaya. “Come on....”

“Ah, oke oke. Then what am i supposed to do?”

“Masuk aja ke bathup. Sambil nunggu air penuh.”

“Ini seriusan? Gue masuk kesini? Gue gak bawa baju ganti yang bener lo.”

“Ze.... just do it.”

Zemira berdecak, namun ia tetap melakukannya. Masuk dan duduk di dalam bathup. Airnya sudah hampir penuh, dadanya sudah tertutup dengan air. Mark mematikan kran, menuangkan beberapa botol berisi cairan merah yang ada di kotak. Gadis itu tidak menahu tentang apa sebenarnya cairan merah ini.

“Zemira, listen to me.”

Mark berjongkok di sebelah bathup. Zemira memperhatikan ucapannya dengan badan yang mulai menggigil karena air dan juga angin malam yang masuk memenuhi ruangan.

“Gue tau lo takut, gue tau lo pengen nangis. Nangis aja.”

Mendengar itu rasanya dada Zemira mulai sesak. Ia hanya meloloskan satu hingga tiga tetes air matanya, namun tak bisa dibendung lagi, Zemira menangis sesenggukan.

“Ze, sebentar lagi lo bakal bisa lihat semua. I mean, semua yang gak pernah lo lihat atau bayangin. Tentang cerita gue, atau bahkan cerita Jaehyun. Satu yang harus bisa lo tahan. Don't talk to anyone there, jangan sampe lo ngeluarin suara. Gue mohon, tahan sebisa mungkin. Remember that you're on the other side.”

“Inget kalo itu bukan dunia lo....”

“Bisa lo lakuin itu, Ze?”

Zemira mengangguk meski merasa ragu apakah bisa ia melakukannya.

“Oke. Lo cuma perlu cari kaca besar yang bentuk dan ukirannya sama kayak punya lo ini.”

“Pecahin kacanya!”

“Karena kaca itu, 'dia' masih terhubung.”

Mark memberikan cermin milik Zemira, pemberian dari kekasihnya. Ia tatap cermin itu lekat-lekat dengan tatapan sedih yang tak bisa diungkapkan.

“Terus habis ini apa? Dingin, Mark.” Tanya Zemira sembari mengusap sisa air matanya.

“Masuk ke dalam air, Ze.”

“Maksudnya ini gue tenggelem?”

Mark mengangguk. “Pegang tangan gue kalo lo mulai kehabisan nafas, gue bakal narik lo.”

“This mirror? Gue bawa?”

“Iya, bawa aja.”

Zemira mulai menenggelamkan dirinya. Kedua tangan Mark menggenggam bahu Zemira. Kedua matanya melihat lelaki itu masih ada disana. Air merah dirasa menjadi sangat keruh dan berbau anyir. Pasokan oksigen di dalam tubuh Zemira mulai menipis, ia terhenyak. Sesak. Tak dapat menahan nafasnya lagi. Gadis itu menggenggam pergelangan tangan Mark, memaksa untuk keluar dari bathup, namun semakin Zemira memaksa keluar, tubuhnya semakin ditahan oleh Mark.

“M-mark!”

Zemira tersedak karena mencoba memanggilnya di dalam air.

Terlalu lemas untuk menggerakkan tubuhnya.

Pandangannya kabur.

Telinganya berdengung.

Zemira kehilangan kesadarannya.

CANDLE IN PENTAGRAM CIRCLE.

Zemira POV

-

Bagaimanapun saat ini diriku tengah merasakan kepanikan yang luar biasa. Sesak, tak bisa bernafas, sekalipun aku berusaha menenangkan diri sendiri, berdiam diri di teras, menghirup udara malam, menatap indahnya gemerlap bintang, tetap saja, sesak. Membayangkan bagaimana diriku akan benar-benar masuk dalam dunia yang seharusnya tidak aku jamah, membuatku sangat frustasi.

Di temani Jeno, aku membuka box ini. Mark masih belum juga datang, sudah lebih dari 30 menit, tapi dia belum juga menampakkan batang hidungnya.

Banyak sebuah catatan yang tak aku mengerti. Ada pula buku dengan abjad yunani, juga beberapa botol berisi cairan merah yang sepertinya tak asing bagiku. Benar saja! Itu seperti milikku.

“Kak, lo yakin?” Tanya Jeno sembari membantuku membongkar isi kotak. Namun aku tak menjawabnya.

Jeno terus bergumam, sesekali berdecak, menggeleng-gelengkan kepalanya, lantas menatapku lekat-lekat.

“Kak Ze? Lo gak perlu ngelakuin ini! This is part of a satanic cult, kak.”

Aku terhenyak. Bersamaan dengan itu, mobil Mark masuk ke area pelataran rumah. Ia keluar dari mobilnya dengan tergesa-gesa, menghampiriku.

“Ze, lo harus segera ngelakuin ini, please....”

Menyapa pun tidak. Mark langsung meraih kedua tanganku dan memohon kepadaku. Lantas Jeno menarik genggamannya.

“Lo apa-apaan sih kak? Numbalin orang lain demi nyelametin diri lo sendiri?!” Tukas Jeno dengan nada membentak.

“Mark, lo hutang cerita sama gue dan sekarang lo dateng-dateng nyuruh gue—”

“Iya oke gue cerita.”

Liburan akhir pekan, Mark, Taeyong, Winwin dan Lucas tak enak jika hanya berdiam diri di asrama. Bosan. Mereka ingin menjamah negara yang sedang mereka singgahi ini.

Kota Gloucestershire. Adalah sasaran mereka. Kota yang dijuluki sebagai Vaping Hotspot di Inggris. Pasalnya, mereka memiliki jumlah vape store lebih dari dua kali lipat rata-rata nasional. Kota ini termasuk yang teratas dalam hal jumlah toko e-rokok per jumlah penduduk di negara Inggris.

“Ini sih surga dunia.” Celetuk Lucas saat bola matanya menyusuri sudut-sudut kota yang hampir penuh dengan toko vape.

“Hotel?” Tanya Taeyong. “Udah pesen hotel?”

Yang ditanya malah celingukan. Mereka bertiga saling tatap satu sama lain. Mark cengengesan.

“Gue kelupaan Yong, sorry.”

“Emang tau gitu gue aja yang pesen.”

“Jadi belum booking hotel?” Agaknya sel otak Winwin baru saja tersambung.

“Don't worry kita bisa tanya sama orang sini kan? Biar direkomendasiin gitu yang baik.”

Setuju dengan saran dari Lucas, mereka pun akhirnya menikmati dulu setiap sudut kota. Menjajahi toko demi toko dengan tas ransel di punggung mereka. Langit tampak mulai mendung. Musim penghujan, memang tak dapat di prediksi kapan hujan akan turun, padahal seperti baru saja matahari bersinar dengan teriknya.

Lelaki bermantel hitam menjajari keempatnya. Menawarkan untuk menginap di salah satu penginapan miliknya yang tak jauh dari sana. Tak berfikir panjang, mereka berempat mengangguk meng-iya kan ajakannya.

Ancient Ram Inn, namanya. Tampak tak seperti penginapan pada umumnya. Sembari masuk ke dalam rumah, si empunya bercerita tentang penginapan ini. Bangunan ini dibangun pada abad ke-11. Mendengar itu, Lucas ber wah ria. Tampaknya dia kagum dengan rumah yang sampai saat ini masih ada dan berdiri kokoh. Berbeda dengan Taeyong, dia lebih dulu menangkap beberapa keganjalan. Mulai dari tatanan rumah yang cukup bisa dibilang berantakan. Tembok batu bata yang sengaja tidak dirawat untuk menambah nilai keindahan dari sebuah bangunan. Juga banyak patung salip digantung di tiap dinding ruangan. Klasik memang, bahkan rumah ini bisa dibilang terlalu kuno. Hanya saja, bagi Taeyong rumah ini terlalu menyeramkan.

“Gokil banget gak sih kita nginep di tempat ini?” Ujar Lucas yang dari tadi sudah sibuk melihat-lihat isi ruang kamar.

“Gokil pala lo! Ini gue merinding yang ada dari tadi.”

Mendengar pernyataan Mark, Taeyong merasa bahwa dirinya tak salah bila menyebutkan rumah ini menyeramkan.

“Gue sekamar sama siapa?” Tanya Winwin.

“Sama gue aja, Mark biar sama Taeyong.” Jawab Lucas.

Mark mengangguk, lantas menyusul Taeyong yang masih berdiri diambang pintu kamar.

“Yok lah kita ke kamar sebelah. Eh Cas, Win, gue tinggal kesebelah.”

“Yoi!”

Mereka berdua pergi dari sana, meninggalkan kamar Lucas dan Winwin. Kamar mereka bersebelahan, hanya saja terdapat etalase berukuran 2x1 meter yang memisahkan ruangan mereka.

“Yong, lo gak ngerasa aneh apa?”

“Ngerasa.... banget malah.”

“Merinding gak sih? Ini bulu gue dari tadi berdiri terus nih lihat.”

Mark menyingkap lengan bajunya. Memperlihatkan bulu-bulu tangannya yang halus, dengan kompaknya berdiri.

“Ah udah lah kita cuma semalem disini. Noh Lucas sama Winwin santai-santai aja.” Taeyong melipat kedua tangannya, menjadikannya tumpu kepalanya, lantas berbaring di kasur.

“I-iya udah bener cuma semalem.”

Taeyong tak bisa mengistirahatkan dirinya, dari tadi ia hanya mengerjapkan mata berkali-kali dan menatap langit-langit kamar. Pandangannya ia arahkan pada ranjang di sampingnya. Mark juga sama sepertinya, sedang asyik memandang langit-langit ruangan.

“Mark?”

“Hm?”

“Bisa merem gak sih lo?”

“Gak bisa sumpah udah gue merem-merem in.”

“Keluar aja gak? Gue juga gak bisa merem.”

“Club aja yok?”

“Haha anjing lo, Mark. Gak mabok ya? Gue udah janji sama Zemira gak minum-minum an disini.”

“Ck elah iye bucin.” Mark berdecak. “Ajakin Lucas, Winwin gak?”

“Iya lah masa mau keluar berduaan doang?”

“Ya udah ayo.”

Taeyong bangun dari rebahannya, disusul oleh Mark. Ia hanya menyambar hoodie yang sengaja ia gantung di belakang pintu. Berbeda dengan Mark yang mengganti pakaiannya untuk pergi keluar.

Rencana untuk pergi keluar berempat pun gagal, pasalnya saat Mark dan Taeyong menyusul kedua temannya, ternyata mereka berdua sudah tertidur dengan pulas.

Menghela nafas.

“We're on a date, dude?” Mark tertawa.

“Haha udah gak papa ayok.” Taeyong merangkul Mark sembari menutup kembali pintu kamar.

Saat mereka berdua akan menuruni tangga, Taeyong terkejut melihat anak perempuan menangis duduk bersandar di salah satu anak tangga. Melihat itu, Taeyong pun menghampirinya.

“Why are you crying?”

Anak itu tidak menjawab.

“Hey dude, kita anter ke kamarnya aja apa? Dicariin orang tuanya entar.”

Taeyong mengangguk.

“Hey, don't cry, don't cry.... let me take you back to your room. Can i?”

“Yeah.” Jawabnya singkat.

“What is your name? Why are you crying?” Tanya Taeyong sembari mengusap pelan rambut anak perempuan itu.

“Rosie.”

“You have a pretty name, Rosie. I'm Taeyong.”

“Hi Rosie, i'm Mark. Why are you crying? Don't cry okay? Your beauty will be gone.”

Mereka berdua mengantarkan Rosie kembali ke ruangannya. Menuruni anak tangga, lalu anak tangga lagi. Lantai bawah tanah? Ternyata ada juga kamar di bawah sana. Dengan lampu kuning sebagai penerang.

Berdiri di depan pintu ruangan, Rosie mempersilahkan mereka untuk masuk menemui orang tuanya. Awalnya mereka berdua menolak, sampai akhirnya sosok perempuan cantik membukakan pintu kamarnya.

“I'm sorry, i met Rosie, she was crying and we drove them here. Umm.... i'm Taeyong, and he's Mark.”

“I'm Rose.”

“Oh hey Rose.”

Rose tersenyum miring. Lantas menyuruh mereka berdua untuk masuk. Mereka berdua tak bisa menolak.

Tampaknya Mark tidak nyaman disana, melihat Taeyong yang tengah asyik mengobrol dengan Rose, membuatnya menyadari kejanggalan lainnya. Jika diperhatikan lagi, Rose seperti memakai gaun pernikahan, berwarna hitam, dengan corak bunga mawar. Yang kedua, Mark menyadari bahwa Rosie sudah tidak ada di dalam ruangan, kemana perginya anak itu? Dan, Mark menyadari bahwa bola mata Rose sesekali berganti.

Saat sang penghuni kamar berpamitan sebentar untuk pergi keluar mengambil minuman, Mark mendekat kearah Taeyong. Ia melotot kaget, ritme jantungnya pun mulai berderu cepat.

“What the fuck?!”

image

Taeyong duduk bersila memunggungi Mark sedari tadi, dan di depan Taeyong, tempat dimana Rose duduk, terdapat lilin menyala di lingkaran pentagram.

“Satanic cult?” batin Mark.

“Hey du-de, g-gue pikir ada yang gak beres deh?” Dengan suara berbisik, tangannya pun meraih bahu Taeyong.

Tak disangka, padahal Mark hanya menyentuh pundaknya, tapi tubuh Taeyong seketika jatuh ke belakang. Ia tak sadarkan diri.

“What the hell Yong?! Yong bangun!!”

“Taeyong? Please lo denger suara gue?”

“Please bangun yong bangun!!”

Mark masih berusaha membangunkan Taeyong. Tubuhnya ia guncang ke kanan dan ke kiri, dengan sesekali menepuk kedua pipinya. Benar saja dugaan Mark. Memang ada yang aneh. Terpaksa ia bopong lelaki yang tak sadarkan diri itu untuk pergi dari sana, namun sayang, bersamaan dengan itu Rose lebih dulu masuk ke dalam ruangan.

Seperti merapalkan mantra, tangannya menggenggam beberapa bunga mawar, juga ada botolan kecil disana. Mark merogoh ponselnya, namun sengaja tak ia keluarkan, ia menekan-nekan tombol angka untuk meminta bantuan kepada Lucas atau Winwin, siapapun.

Rose berjalan kearah Mark. Ia tak bisa lari, akan sangat kesusahan jika ia lari dengan Taeyong yang sedang ia bopong. Bibir wanita itu masih saja bergerak, kini bergerak dengan cepat.

“Flowers for you.” Rose mendekatkan dirinya, memberikan setangkai bunga mawar untuk Mark. Namun Mark menolak.

“Take this.” Kini suaranya berubah, tak seramah tadi.

“Don't want to?”

Keringatnya mulai bercucuran. Mark takut, sangat takut melihat wajah Rose yang berubah mengerikan, tak lagi cantik, bahkan bola matanya berubah keputihan.

“Hey Rose.”

“Hey Rose.”

Ia memanggil namanya sendiri. Dengan hati-hati ia meraih lengan Mark, turun ke telapak tangannya, lantas menjejalkan tangkaian bunga mawar ke dalam genggaman Mark. Seperti tersihir, lelaki itu tak bisa berontak. Durinya sangat tajam hingga mampu merobek kulitnya. Mark melihat darahnya sendiri bercucuran, ia menjatuhkan tubuhnya, lemas. Matanya mulai melihat ada banyak sosok disana. Banyak anak kecil, juga orang seumurannya. Berdiri mematung dibelakang Rose.

Pandangan Mark mulai kabur, tapi ia masih bisa melihat temannya yang sedang di tidurkan di atas papan. Kedua tangannya terikat, Taeyong masih belum sadar. Air matanya mulai menetes satu per satu, dan semakin deras saat melihat Taeyong dipersembahkan untuk tuannya.

Aku terkejut setengah mati mendengar cerita singkat dari Mark. Tubuhku seperti lemas, dan hampir saja aku terjatuh jika Jeno tak menahanku.

“T-terus kenapa lo bilang kalo Taeyong udah mening—”

“Karena gue lihat dengan mata kepala gue sendiri, kalo waktu itu Taeyong udah gak bernafas, Ze.”

“Terus kenapa lo bisa selamat?! Kenapa lo bisa selamat sedangkan Taeyong enggak?! Kenapa?” Tanpa aku sadari, emosiku mulai meluap. Tanganku mengguncang bahu Mark, masa bodo dengan air mata yang sudah lepas terlebih dahulu.

“Ze, gue pikir gue gak akan selamat. Gue yakin, i could have died. Lo lihat scars yang ada di deket mata gue, ini sama kayak punya Taeyong. Gue pikir gue udah jadi sesembahan jug—”

“Iya tapi kenapa cuma Taeyong?! Kenapa cuma cowok gue anjir!”

“Kak Ze, keep calm, lo lupa kalo Renjun lagi istirahat di dalem?”

Jeno menenangkanku. Lantas Mark melanjutkan ceritanya lagi, bahwa kehidupannya mulai berubah selepas kejadian itu. Dia hidup, namun kadang ia juga merasa mati, tak mengetahui apa saja yang telah ia perbuat. Taeyong pun sama seperti itu. Disana, Mark memiliki seorang kekasih yang posisinya sama sepertiku. Ia meminta bantuan kepada kekasihnya untuk menariknya kembali dari sana. Mark sadar jika ia sudah dijadikan tumbal.

“Terus?”

“Ya ini gue Ze, sepenuhnya gue udah balik jadi diri gue.”

“Oke gue mau.”

“Kak?! Gak mau dipikirin dulu? Informasi dari dia belum sepenuhnya lengkap! Lo gak bis—”

“Jen, gue cuma mau bawa Taeyong balik. Even if he can't come back, gue mau ketemu Taeyong. I mean, Taeyong yang gue kenal.”

Benar kata Jeno, cerita dari Mark belum sepenuhnya tuntas tapi aku sudah memberanikan diriku untuk menjamah dunianya.

“Ze, sorry....”

CANDLE IN PENTAGRAM CIRCLE.

Zemira POV

-

Bagaimanapun saat ini diriku tengah merasakan kepanikan yang luar biasa. Sesak, tak bisa bernafas, sekalipun aku berusaha menenangkan diri sendiri, berdiam diri di teras, menghirup udara malam, menatap indahnya gemerlap bintang, tetap saja, sesak. Membayangkan bagaimana diriku akan benar-benar masuk dalam dunia yang seharusnya tidak aku jamah, membuatku sangat frustasi.

Di temani Jeno, aku membuka box ini. Mark masih belum juga datang, sudah lebih dari 30 menit, tapi dia belum juga menampakkan batang hidungnya.

Banyak sebuah catatan yang tak aku mengerti. Ada pula buku dengan abjad yunani, juga beberapa botol berisi cairan merah yang sepertinya tak asing bagiku. Benar saja! Itu seperti milikku.

“Kak, lo yakin?” Tanya Jeno sembari membantuku membongkar isi kotak. Namun aku tak menjawabnya.

Jeno terus bergumam, sesekali berdecak, menggeleng-gelengkan kepalanya, lantas menatapku lekat-lekat.

“Kak Ze? Lo gak perlu ngelakuin ini! This is part of a satanic cult, kak.”

Aku terhenyak. Bersamaan dengan itu, mobil Mark masuk ke area pelataran rumah. Ia keluar dari mobilnya dengan tergesa-gesa, menghampiriku.

“Ze, lo harus segera ngelakuin ini, please....”

Menyapa pun tidak. Mark langsung meraih kedua tanganku dan memohon kepadaku. Lantas Jeno menarik genggamannya.

“Lo apa-apaan sih kak? Numbalin orang lain demi nyelametin diri lo sendiri?!” Tukas Jeno dengan nada membentak.

“Mark, lo hutang cerita sama gue dan sekarang lo dateng-dateng nyuruh gue—”

“Iya oke gue cerita.”

Liburan akhir pekan, Mark, Taeyong, Winwin dan Lucas tak enak jika hanya berdiam diri di asrama. Bosan. Mereka ingin menjamah negara yang sedang mereka singgahi ini.

Kota Gloucestershire. Adalah sasaran mereka. Kota yang dijuluki sebagai Vaping Hotspot di Inggris. Pasalnya, mereka memiliki jumlah vape store lebih dari dua kali lipat rata-rata nasional. Kota ini termasuk yang teratas dalam hal jumlah toko e-rokok per jumlah penduduk di negara Inggris.

“Ini sih surga dunia.” Celetuk Lucas saat bola matanya menyusuri sudut-sudut kota yang hampir penuh dengan toko vape.

“Hotel?” Tanya Taeyong. “Udah pesen hotel?”

Yang ditanya malah celingukan. Mereka bertiga saling tatap satu sama lain. Mark cengengesan.

“Gue kelupaan Yong, sorry.”

“Emang tau gitu gue aja yang pesen.”

“Jadi belum booking hotel?” Agaknya sel otak Winwin baru saja tersambung.

“Don't worry kita bisa tanya sama orang sini kan? Biar direkomendasiin gitu yang baik.”

Setuju dengan saran dari Lucas, mereka pun akhirnya menikmati dulu setiap sudut kota. Menjajahi toko demi toko dengan tas ransel di punggung mereka. Langit tampak mulai mendung. Musim penghujan, memang tak dapat di prediksi kapan hujan akan turun, padahal seperti baru saja matahari bersinar dengan teriknya.

Lelaki bermantel hitam menjajari keempatnya. Menawarkan untuk menginap di salah satu penginapan miliknya yang tak jauh dari sana. Tak berfikir panjang, mereka berempat mengangguk meng-iya kan ajakannya.

Ancient Ram Inn, namanya. Tampak tak seperti penginapan pada umumnya. Sembari masuk ke dalam rumah, si empunya bercerita tentang penginapan ini. Bangunan ini dibangun pada abad ke-11. Mendengar itu, Lucas ber wah ria. Tampaknya dia kagum dengan rumah yang sampai saat ini masih ada dan berdiri kokoh. Berbeda dengan Taeyong, dia lebih dulu menangkap beberapa keganjalan. Mulai dari tatanan rumah yang cukup bisa dibilang berantakan. Tembok batu bata yang sengaja tidak dirawat untuk menambah nilai keindahan dari sebuah bangunan. Juga banyak patung salip digantung di tiap dinding ruangan. Klasik memang, bahkan rumah ini bisa dibilang terlalu kuno. Hanya saja, bagi Taeyong rumah ini terlalu menyeramkan.

“Gokil banget gak sih kita nginep di tempat ini?” Ujar Lucas yang dari tadi sudah sibuk melihat-lihat isi ruang kamar.

“Gokil pala lo! Ini gue merinding yang ada dari tadi.”

Mendengar pernyataan Mark, Taeyong merasa bahwa dirinya tak salah bila menyebutkan rumah ini menyeramkan.

“Gue sekamar sama siapa?” Tanya Winwin.

“Sama gue aja, Mark biar sama Taeyong.” Jawab Lucas.

Mark mengangguk, lantas menyusul Taeyong yang masih berdiri diambang pintu kamar.

“Yok lah kita ke kamar sebelah. Eh Cas, Win, gue tinggal kesebelah.”

“Yoi!”

Mereka berdua pergi dari sana, meninggalkan kamar Lucas dan Winwin. Kamar mereka bersebelahan, hanya saja terdapat etalase berukuran 2x1 meter yang memisahkan ruangan mereka.

“Yong, lo gak ngerasa aneh apa?”

“Ngerasa.... banget malah.”

“Merinding gak sih? Ini bulu gue dari tadi berdiri terus nih lihat.”

Mark menyingkap lengan bajunya. Memperlihatkan bulu-bulu tangannya yang halus, dengan kompaknya berdiri.

“Ah udah lah kita cuma semalem disini. Noh Lucas sama Winwin santai-santai aja.” Taeyong melipat kedua tangannya, menjadikannya tumpu kepalanya, lantas berbaring di kasur.

“I-iya udah bener cuma semalem.”

Taeyong tak bisa mengistirahatkan dirinya, dari tadi ia hanya mengerjapkan mata berkali-kali dan menatap langit-langit kamar. Pandangannya ia arahkan pada ranjang di sampingnya. Mark juga sama sepertinya, sedang asyik memandang langit-langit ruangan.

“Mark?”

“Hm?”

“Bisa merem gak sih lo?”

“Gak bisa sumpah udah gue merem-merem in.”

“Keluar aja gak? Gue juga gak bisa merem.”

“Club aja yok?”

“Haha anjing lo, Mark. Gak mabok ya? Gue udah janji sama Zemira gak minum-minum an disini.”

“Ck elah iye bucin.” Mark berdecak. “Ajakin Lucas, Winwin gak?”

“Iya lah masa mau keluar berduaan doang?”

“Ya udah ayo.”

Taeyong bangun dari rebahannya, disusul oleh Mark. Ia hanya menyambar hoodie yang sengaja ia gantung di belakang pintu. Berbeda dengan Mark yang mengganti pakaiannya untuk pergi keluar.

Rencana untuk pergi keluar berempat pun gagal, pasalnya saat Mark dan Taeyong menyusul kedua temannya, ternyata mereka berdua sudah tertidur dengan pulas.

Menghela nafas.

“We're on a date, dude?” Mark tertawa.

“Haha udah gak papa ayok.” Taeyong merangkul Mark sembari menutup kembali pintu kamar.

Saat mereka berdua akan menuruni tangga, Taeyong terkejut melihat anak perempuan menangis duduk bersandar di salah satu anak tangga. Melihat itu, Taeyong pun menghampirinya.

“Why are you crying?”

Anak itu tidak menjawab.

“Hey dude, kita anter ke kamarnya aja apa? Dicariin orang tuanya entar.”

Taeyong mengangguk.

“Hey, don't cry, don't cry.... let me take you back to your room. Can i?”

“Yeah.” Jawabnya singkat.

“What is your name? Why are you crying?” Tanya Taeyong sembari mengusap pelan rambut anak perempuan itu.

“Rosie.”

“You have a pretty name, Rosie. I'm Taeyong.”

“Hi Rosie, i'm Mark. Why are you crying? Don't cry okay? Your beauty will be gone.”

Mereka berdua mengantarkan Rosie kembali ke ruangannya. Menuruni anak tangga, lalu anak tangga lagi. Lantai bawah tanah? Ternyata ada juga kamar di bawah sana. Dengan lampu kuning sebagai penerang.

Berdiri di depan pintu ruangan, Rosie mempersilahkan mereka untuk masuk menemui orang tuanya. Awalnya mereka berdua menolak, sampai akhirnya sosok perempuan cantik membukakan pintu kamarnya.

“I'm sorry, i met Rosie, she was crying and we drove them here. Umm.... i'm Taeyong, and he's Mark.”

“I'm Rose.”

“Oh hey Rose.”

Rose tersenyum miring. Lantas menyuruh mereka berdua untuk masuk. Mereka berdua tak bisa menolak.

Tampaknya Mark tidak nyaman disana, melihat Taeyong yang tengah asyik mengobrol dengan Rose, membuatnya menyadari kejanggalan lainnya. Jika diperhatikan lagi, Rose seperti memakai gaun pernikahan, berwarna hitam, dengan corak bunga mawar. Yang kedua, Mark menyadari bahwa Rosie sudah tidak ada di dalam ruangan, kemana perginya anak itu? Dan, Mark menyadari bahwa bola mata Rose sesekali berganti.

Saat sang penghuni kamar berpamitan sebentar untuk pergi keluar mengambil minuman, Mark mendekat kearah Taeyong. Ia melotot kaget, ritme jantungnya pun mulai berderu cepat.

“What the fuck?!”

image

Taeyong duduk bersila memunggungi Mark sedari tadi, dan di depan Taeyong, tempat dimana Rose duduk, terdapat lilin menyala di lingkaran pentagram.

“Satanic cult?” batin Mark.

“Hey du-de, g-gue pikir ada yang gak beres deh?” Dengan suara berbisik, tangannya pun meraih bahu Taeyong.

Tak disangka, padahal Mark hanya menyentuh pundaknya, tapi tubuh Taeyong seketika jatuh ke belakang. Ia tak sadarkan diri.

“What the hell Yong?! Yong bangun!!”

“Taeyong? Please lo denger suara gue?”

“Please bangun yong bangun!!”

Mark masih berusaha membangunkan Taeyong. Tubuhnya ia guncang ke kanan dan ke kiri, dengan sesekali menepuk kedua pipinya. Benar saja dugaan Mark. Memang ada yang aneh. Terpaksa ia bopong lelaki yang tak sadarkan diri itu untuk pergi dari sana, namun sayang, bersamaan dengan itu Rose lebih dulu masuk ke dalam ruangan.

Seperti merapalkan mantra, tangannya menggenggam beberapa bunga mawar, juga ada botolan kecil disana. Mark merogoh ponselnya, namun sengaja tak ia keluarkan, ia menekan-nekan tombol angka untuk meminta bantuan kepada Lucas atau Winwin, siapapun.

Rose berjalan kearah Mark. Ia tak bisa lari, akan sangat kesusahan jika ia lari dengan Taeyong yang sedang ia bopong. Bibir wanita itu masih saja bergerak, kini bergerak dengan cepat.

“Flowers for you.” Rose mendekatkan dirinya, memberikan setangkai bunga mawar untuk Mark. Namun Mark menolak.

“Take this.” Kini suaranya berubah, tak seramah tadi.

“Don't want to?”

Keringatnya mulai bercucuran. Mark takut, sangat takut melihat wajah Rose yang berubah mengerikan, tak lagi cantik, bahkan bola matanya berubah keputihan.

“Hey Rose.”

“Hey Rose.”

Ia memanggil namanya sendiri. Dengan hati-hati ia meraih lengan Mark, turun ke telapak tangannya, lantas menjejalkan tangkaian bunga mawar ke dalam genggaman Mark. Seperti tersihir, lelaki itu tak bisa berontak. Durinya sangat tajam hingga mampu merobek kulitnya. Mark melihat darahnya sendiri bercucuran, ia menjatuhkan tubuhnya, lemas. Matanya mulai melihat ada banyak sosok disana. Banyak anak kecil, juga orang seumurannya. Berdiri mematung dibelakang Rose.

Pandangan Mark mulai kabur, tapi ia masih bisa melihat temannya yang sedang di tidurkan di atas papan. Kedua tangannya terikat, Taeyong masih belum sadar. Air matanya mulai menetes satu per satu, dan semakin deras saat melihat Taeyong dipersembahkan untuk tuannya.

Aku terkejut setengah mati mendengar cerita singkat dari Mark. Tubuhku seperti lemas, dan hampir saja aku terjatuh jika Jeno tak menahanku.

“T-terus kenapa lo bilang kalo Taeyong udah mening—”

“Karena gue lihat dengan mata kepala gue sendiri, kalo waktu itu Taeyong udah gak bernafas, Ze.”

“Terus kenapa lo bisa selamat?! Kenapa lo bisa selamat sedangkan Taeyong enggak?! Kenapa?” Tanpa aku sadari, emosiku mulai meluap. Tanganku mengguncang bahu Mark, masa bodo dengan air mata yang sudah lepas terlebih dahulu.

“Ze, gue pikir gue gak akan selamat. Gue yakin, i could have died. Lo lihat scars yang ada di deket mata gue, ini sama kayak punya Taeyong. Gue pikir gue udah jadi sesembahan jug—”

“Iya tapi kenapa cuma Taeyong?! Kenapa cuma cowok gue anjir!”

“Kak Ze, keep calm, lo lupa kalo Renjun lagi istirahat di dalem?”

Jeno menenangkanku. Lantas Mark melanjutkan ceritanya lagi, bahwa kehidupannya mulai berubah selepas kejadian itu. Dia hidup, namun kadang ia juga merasa mati, tak mengetahui apa saja yang telah ia perbuat. Taeyong pun sama seperti itu. Disana, Mark memiliki seorang kekasih yang posisinya sama sepertiku. Ia meminta bantuan kepada kekasihnya untuk menariknya kembali dari sana. Mark sadar jika ia sudah dijadikan tumbal.

“Terus?”

“Ya ini gue Ze, sepenuhnya gue udah balik jadi diri gue.”

“Oke gue mau.”

“Kak?! Gak mau dipikirin dulu? Informasi dari dia belum sepenuhnya lengkap! Lo gak bis—”

“Jen, gue cuma mau bawa Taeyong balik. Even if he can't come back, gue mau ketemu Taeyong. I mean, Taeyong yang gue kenal.”

Benar kata Jeno, cerita dari Mark belum sepenuhnya tuntas tapi aku sudah memberanikan diriku untuk menjamah dunianya.

“Ze, sorry....”

I'll tell you, later.

'

Tak pernah sekalipun terpikir jika kekasihnya bisa saja memangsa teman-temannya juga. Zemira yang sedang berada di kamar Renjun gagal fokus karena pikirannya sendiri. Raut wajahnya yang sendu dan penuh dengan kekhawatiran itu tertangkap jelas di bola mata sang adik.

“Kak.. mikir apa?” Tanya Renjun yang tengah berbaring setelah meminum obatnya.

Zemira terbangun dari lamunan, lantas menjawabnya dengan gelengan dan lengkungan tipis di bibirnya.

“Mikir lo yang gak sembuh-sembuh ini.”

“Maaf kak.... habis ini gue sembuh kok.” Renjun melayangkan jari kelingkingnya ke arah Zemira. “Tapi janji dulu sama Injun, kalo gue udah sembuh, boleh ikut kak Ze kemana-mana.”

Gadis itu tertawa, lantas mengaitkan jari kelingkingnya. “Iya, boleh ikut kemana-mana.”

“Udah lo istirahat lagi aja, gue ke depan ya? Mark kasihan sendirian di teras.”

“Gak diajak masuk kak?”

“Enggak mau, he needs some fresh air, ceunah.”

Renjun mengangguk sembari memejamkan matanya. Selimutnya ia tarik sampai menutupi dadanya, lalu mencari posisi yang nyaman untuknya kembali tidur.

'

Menghela nafas kasar, serta berusaha memijit pelipisnya yang sedari tadi terasa berdenyut tanpa henti. Zemira langsung duduk menemani Mark di teras.

“Kenapa, Ze?”

“Mark.... waktu itu lo jadi nyamperin Taeyong gak?” Tanya Zemira.

Kedua mata Mark mengerjap cepat. Ia mengangguk. “Jadi....”

“Terus?”

“Tapi nihil, dia gak ada di kos waktu itu. Gue cuma ketemu ibu kos.” Sembari bersandar di kursi kayu, kini ia menengadahkan kepalanya. “Gue belum ketemu sama Doyoung, Jungwoo apalagi. Mereka sama-sama gak bisa dihubungi. I hope they're still in good shape.”

Suara Mark terdengar sangat putus asa. Sesekali lelaki itu memejamkan matanya. Zemira tau, pasti sangat frustasi hanya dengan memikirkannya, karena saat ini pun pikirannya tengah dipenuhi oleh teman-temannya. Perselingkuhan, atau sesuatu tentang mengkhianati suatu hubungan? Bukan itu. Saat membaca balasan dari Irene, ia langsung terhenyak. Takut jika sahabatnya dijadikan mangsa selanjutnya. Jika itu benar, kenapa harus sahabatnya?

“Mark....”

“Hm.”

“Taeyong deketin temen gue.”

“W-what?!” Mark seketika terbangun dan menegakkan dirinya. “Deketin? What do you mean? Is that like PDKT? Or....”

“Gue gak tau, Mark.... gue gak tau.”

Zemira mengusap wajahnya kasar, dengan sesekali merengek. Kepalanya terasa pusing, sangat pusing.

“Wait, lo udah buka box yang gue kasih?”

Menggeleng.

“OMG Ze?! Im asking you for help dan lo belum juga ngebuka?”

“Gue takut. Dan kenapa harus gue?” Zemira menunjuk dirinya. “Why should i break the curse? Why aren't you? Kenapa? Kenapa bukan lo aja? Atau Taeyong?”

“I can't.... Ze, please.”

Mark memohon lagi dihadapan Zemira. Gadis itu tidak mengerti mengapa harus dirinya? Padahal ia sendiri ingin mengakhiri hal-hal diluar nalarnya.

“Gue bakal buka boxnya sekarang, but can you tell me? Kenapa semua bisa jadi serumit ini? Apa aja yang gue lewatin selama kalian di UK? Selama Taeyong disana, apa yang gue lewatin?” Tanya Zemira menuntut.

“Okey, i'll tell you, but later. I have to go now. Nanti sore gue kerumah lo lagi, dan tepatin janji lo.”

Killing curse

He's a boy who has no choice.

Hanya karna tak ingin dicurigai oleh sang adik, Zemira memutuskan untuk pergi lebih awal. Jam menunjukkan pukul 1 siang. Sudah hampir satu jam lamanya ia berada di Stonebucks. Ia menunggu jarum jam menunjuk angka 7. Mungkin akan sangat membosankan menunggu seorang diri.

Duduk di dekat jendela, menghadap ke arah jalanan kota, adalah tempat terfavoritnya. Ia bisa melihat ramainya jalanan, melihat siapa saja orang yang akan berkunjung. Tapi Zemira tak sempat melihat Renjun dan teman-temannya masuk. Mereka pun berada disana sejak gadis itu memilih duduk di dekat jendela. Menyaksikan dan menunggu hingga bosan.

Haechan mulai kelelahan, lantas ia memilih untuk menidurkan kepalanya dan tidur disana, sedangkan yang lain melanjutkan aktivitas mereka berburu Chicken Dinner.

“Kan insting gue emang bener.” Bisik Renjun.

“Kak Ze lagi nunggu siapa sih?” Tanya Haechan dengan suaranya yang serak. “Pake topi, udah gitu pake masker, kakak lo gak lagi nguntit kan?”

“Gue gak tau udah sih tunggu aja.”

'

Hampir saja keenamnya tertidur disana. Mereka sama-sama meregangkan badannya. Sesekali berdiri untuk meluruskan kaki yang tengah kesemutan. Sudah berapa banyak uang mereka keluarkan untuk menambah pesanan. Belasan cup gelas berada di meja mereka.

“Kakak lo betah bener duduk disa—”

“Woy woy tutupin muka lo!” Bisik Chenle yang langsung memalingkan diri saat Zemira tiba-tiba berdiri melihat kearah pintu masuk.

Sontak mereka pun menuruti apa kata Chenle untuk menyembunyikan wajah mereka, karena mereka duduk tak jauh dari pintu masuk.

Tepat pukul tujuh malam. Zemira pun bosan menunggu berjam-jam lamanya disana. Saat ia melihat jam di ponsel, saat itu pula pandangannya beralih pada sosok lelaki yang ia kenal.

Itu Mark! Yang tengah masuk dan melambai ke arah Zemira. Dandanan Mark tak jauh berbeda dengannya. Celana jeans, dengan kaos hitam polos, memakai masker, juga bertopi hitam. Ia membawa box besi dengan ukiran bunga mawar.

“On time, huh?” Sapa Mark sembari membuka maskernya.

“Yeah, that's who i'm.”

Tanpa basa-basi, Mark duduk di depan Zemira, meletakkan barang yang ia bawa di meja.

“Ze, langsung aja ya? Ini buat lo.” Menggeser box yang dibawa tepat di depan Zemira.

“I-ini apa?” Tanya gadis itu kebingungan.

“To kill the curse.”

Wajah Mark sangat serius, kedua bola matanya tak beralih dari Zemira. Lantas tangannya meraih punggung tangan Zemira. Si empunya terkejut saat tiba-tiba Mark menggenggamnya.

“Ze, Taeyong....”

“Kenapa? Taeyong kenapa?”

Lelaki itu agaknya ragu untuk bersuara. Ia hanya semakin menggenggam tangan Zemira. Matanya mulai berkaca-kaca saat Zemira menelusuri bagian-bagian tubuh lawannya. Ada bekas jahitan di pelipis Mark, beberapa bekas luka cakar atau entah apa yang bersarang di lengannya, juga tanda yang sama di dekat matanya. Bekas luka berbentuk bunga mawar, Mark pun punya, namun berbeda dengan Taeyong, kepunyaan Mark seperti luka yang sudah mulai pudar.

“Lo....” ujung jemari Zemira menyentuh luka menyerupai bunga mawar itu. Mark membiarkannya.

“Ze, buka kotaknya di rumah aja ya? Apapun isinya jangan kaget, dan gue minta tolong sama lo buat terima kenyataan.”

“But wait, gue sebelumnya mau tanya sama lo, kenapa waktu itu lo dikabarin meninggal sih? Terus maksudnya gue harus nerima kenyataan apa? Kenyataan apa yang harus gue terima?”

Mark menghela nafas. Memberikan jeda untuk merangkai kata yang tepat agar bisa dimengerti oleh Zemira.

“Taeyong, yang bikin gue mening—”

“LAGI?!”

Suara Zemira terlalu keras, hingga enam lelaki yang tengah menyimak obrolan mereka berdua pun terjingkat kaget. Mereka ber-enam saling tatap tak mengerti. Mereka hanya mengandalkan sepasang mata untuk melihat gerak bibir Zemira, juga Mark, karena sebelumnya mereka tak bisa mendengar percakapan Zemira dan Mark.

“Lagi?” Tanya Mark heran.

“Jaehyun....”

“What?! Jangan bilang....”

Zemira mengusap wajahnya dengan kasar. Beberapa tetes lolos dari matanya.

“Ze?! Bilang sama gue kalo Jaehyun masih hidup!” Mark mengguncang tubuh kecil Zemira dengan menggenggam kedua bahunya. “Ze?? Bilang sama gue!!”

“Jaehyun meninggal.... Jaehyun udah gak ada, Mark!”

Tubuh Mark melemas. Ia hempaskan dirinya di kursi. Terlihat penyesalan pada raut wajahnya yang mulai memerah. Lantas keluar sudah semua air mata yang sempat ia tahan beberapa saat. Lagi, Zemira menyalahkan dirinya atas kematian Jaehyun.

“Semua salah gue. Jaehyun meninggal karena gue.”

Mark menggeleng. “Doyoung? Jungwoo? Mereka berdua gimana?” Tanyanya sembari mengusap pipinya yang basah.

“Gue gak tau. Udah jarang ketemu Doy, then Jungwoo gue gak pernah ketemu dia sama sekali.”

“Taeyong masih di kos lama?”

“Iya masih.”

“Lo mau kemana?” Zemira menarik lengan Mark saat ia beranjak pergi dari sana.

“Lepasin, Ze. Gue mau nyamperin Taeyong.”

Zemira menggeleng cepat. “Gak gak! Please jangan....”

“I have no choice, Taeyong pun.... kita berdua sama-sama gak punya pilihan lain. Ze, sebelum terlambat, please kill the curse.” Pinta Mark sembari melepas tangan Zemira dari lengannya.

“What curse do you mean?”

“The curse of the sect.”

The curse of the sect. Kalimat itu terngiang di kepalanya. Berakhir sudah obrolan singkat mereka berdua. Harapan dari segala jawaban yang Zemira pikir akan ia pecahkan kali ini pun pupus sudah. Gadis itu malah lebih dihadapkan dengan hal-hal yang semakin tidak ia mengerti.

Satu hal yang ia pikirkan lagi saat ini. Sebelum kematian Jaehyun, ia lebih dulu menemukan makamnya, lantas Jaehyun terbunuh setelahnya. Itu artinya makam itu telah dipersiapkan sebelum empunya meninggal. Bagaimana jika, makam Mark pun dipersiapkan sebelum....

Menyadari itu, Zemira buru-buru pergi dari sana untuk menyusul Mark. Renjun dan kelima temannya pun ikut beranjak dan mengikuti Zemira.

'

“I promised to keep him safe.” -Zemira.

Killing curse

He's a boy who has no choice.

Hanya karna tak ingin dicurigai oleh sang adik, Zemira memutuskan untuk pergi lebih awal. Jam menunjukkan pukul 1 siang. Sudah hampir satu jam lamanya ia berada di Stonebucks. Ia menunggu jarum jam menunjuk angka 7. Mungkin akan sangat membosankan menunggu seorang diri.

Duduk di dekat jendela, menghadap ke arah jalanan kota, adalah tempat terfavoritnya. Ia bisa melihat ramainya jalanan, melihat siapa saja orang yang akan berkunjung. Tapi Zemira tak sempat melihat Renjun dan teman-temannya masuk. Mereka pun berada disana sejak gadis itu memilih duduk di dekat jendela. Menyaksikan dan menunggu hingga bosan.

Haechan mulai kelelahan, lantas ia memilih untuk menidurkan kepalanya dan tidur disana, sedangkan yang lain melanjutkan aktivitas mereka berburu Chicken Dinner.

“Kan insting gue emang bener.” Bisik Renjun.

“Kak Ze lagi nunggu siapa sih?” Tanya Haechan dengan suaranya yang serak. “Pake topi, udah gitu pake masker, kakak lo gak lagi nguntit kan?”

“Gue gak tau udah sih tunggu aja.”

'

Hampir saja keenamnya tertidur disana. Mereka sama-sama meregangkan badannya. Sesekali berdiri untuk meluruskan kaki yang tengah kesemutan. Sudah berapa banyak uang mereka keluarkan untuk menambah pesanan. Belasan cup gelas berada di meja mereka.

“Kakak lo betah bener duduk disa—”

“Woy woy tutupin muka lo!” Bisik Chenle yang langsung memalingkan diri saat Zemira tiba-tiba berdiri melihat kearah pintu masuk.

Sontak mereka pun menuruti apa kata Chenle untuk menyembunyikan wajah mereka, karena mereka duduk tak jauh dari pintu masuk.

Tepat pukul tujuh malam. Zemira pun bosan menunggu berjam-jam lamanya disana. Saat ia melihat jam di ponsel, saat itu pula pandangannya beralih pada sosok lelaki yang ia kenal.

Itu Mark! Yang tengah masuk dan melambai ke arah Zemira. Dandanan Mark tak jauh berbeda dengannya. Celana jeans, dengan kaos hitam polos, memakai masker, juga bertopi hitam. Ia membawa box besi yang dengan ukiran bunga mawar.

“On time, huh?” Sapa Mark sembari membuka maskernya.

“Yeah, that's who i'm.”

Tanpa basa-basi, Mark duduk disamping Zemira, meletakkan barang yang ia bawa di meja.

“Ze, langsung aja ya? Ini buat lo.” Menggeser box yang dibawa tepat di depan Zemira.

“I-ini apa?” Tanya gadis itu kebingungan.

“To kill the curse.”

Wajah Mark sangat serius, kedua bola matanya tak beralih dari Zemira. Lantas tangannya meraih punggung tangan Zemira. Si empunya terkejut saat tiba-tiba Mark menggenggamnya.

“Ze, Taeyong....”

“Kenapa? Taeyong kenapa?”

Lelaki itu agaknya ragu untuk bersuara. Ia hanya semakin menggenggam tangan Zemira. Matanya mulai berkaca-kaca saat Zemira menelusuri bagian-bagian tubuh lawannya. Ada bekas jahitan di pelipis Mark, beberapa bekas luka cakar atau entah apa yang bersarang di lengannya, juga tanda yang sama di dekat matanya. Bekas luka berbentuk bunga mawar, Mark pun punya, namun berbeda dengan Taeyong, kepunyaan Mark seperti luka yang sudah mulai pudar.

“Lo....” ujung jemari Zemira menyentuh luka menyerupai bunga mawar itu. Mark membiarkannya.

“Ze, buka kotaknya di rumah aja ya? Apapun isinya jangan kaget, dan gue minta tolong sama lo buat terima kenyataan.”

“But wait, gue sebelumnya mau tanya sama lo, kenapa waktu itu lo dikabarin meninggal sih? Terus maksudnya gue harus nerima kenyataan apa? Kenyataan apa yang harus gue terima?”

Mark menghela nafas. Memberikan jeda untuk merangkai kata yang tepat agar bisa dimengerti oleh Zemira.

“Taeyong, yang bikin gue mening—”

“LAGI?!”

Suara Zemira terlalu keras, hingga enam lelaki yang tengah menyimak obrolan mereka berdua pun terjingkat kaget. Mereka ber-enam saling tatap tak mengerti. Mereka hanya mengandalkan sepasang mata untuk melihat gerak bibir Zemira, juga Mark, karena sebelumnya mereka tak bisa mendengar percakapan Zemira dan Mark.

“Lagi?” Tanya Mark heran.

“Jaehyun....”

“What?! Jangan bilang....”

Zemira mengusap wajahnya dengan kasar. Beberapa tetes lolos dari matanya.

“Ze?! Bilang sama gue kalo Jaehyun masih hidup!” Mark mengguncang tubuh kecil Zemira dengan menggenggam kedua bahunya. “Ze?? Bilang sama gue!!”

“Jaehyun meninggal.... Jaehyun udah gak ada, Mark!”

Tubuh Mark melemas. Ia hempaskan dirinya di kursi. Terlihat penyesalan pada raut wajahnya yang mulai memerah. Lantas keluar sudah semua air mata yang sempat ia tahan beberapa saat. Lagi, Zemira menyalahkan dirinya atas kematian Jaehyun.

“Semua salah gue. Jaehyun meninggal karena gue.”

Mark menggeleng. “Doyoung? Jungwoo? Mereka berdua gimana?” Tanyanya sembari mengusap pipinya yang basah.

“Gue gak tau. Udah jarang ketemu Doy, then Jungwoo gue gak pernah ketemu dia sama sekali.”

“Taeyong masih di kos lama?”

“Iya masih.”

“Lo mau kemana?” Zemira menarik lengan Mark saat ia beranjak pergi dari sana.

“Lepasin, Ze. Gue mau nyamperin Taeyong.”

Zemira menggeleng cepat. “Gak gak! Please jangan....”

“I have no choice, Taeyong pun.... kita berdua sama-sama gak punya pilihan lain. Ze, sebelum terlambat, please kill the curse.” Pinta Mark sembari melepas tangan Zemira dari lengannya.

“What curse do you mean?”

“The curse of the sect.”

Berakhir sudah obrolan singkat mereka berdua. Harapan dari segala jawaban yang Zemira pikir akan ia pecahkan kali ini pun pupus sudah. Gadis itu malah lebih dihadapkan dengan hal-hal yang semakin tidak ia mengerti.

Satu hal yang ia pikirkan saat ini. Sebelum kematian Jaehyun, ia lebih dulu menemukan makamnya, lantas Jaehyun terbunuh setelahnya. Itu artinya makam itu telah dipersiapkan sebelum empunya terbunuh. Bagaimana jika, makam Mark pun dipersiapkan sebelum....

Menyadari itu, Zemira buru-buru pergi dari sana untuk menyusul Mark. Renjun dan kelima temannya pun ikut beranjak dan mengikuti Zemira.

'

“I promised to keep him safe.” -Zemira.