CANDLE IN PENTAGRAM CIRCLE.
Zemira POV
-
Bagaimanapun saat ini diriku tengah merasakan kepanikan yang luar biasa. Sesak, tak bisa bernafas, sekalipun aku berusaha menenangkan diri sendiri, berdiam diri di teras, menghirup udara malam, menatap indahnya gemerlap bintang, tetap saja, sesak. Membayangkan bagaimana diriku akan benar-benar masuk dalam dunia yang seharusnya tidak aku jamah, membuatku sangat frustasi.
Di temani Jeno, aku membuka box ini. Mark masih belum juga datang, sudah lebih dari 30 menit, tapi dia belum juga menampakkan batang hidungnya.
Banyak sebuah catatan yang tak aku mengerti. Ada pula buku dengan abjad yunani, juga beberapa botol berisi cairan merah yang sepertinya tak asing bagiku. Benar saja! Itu seperti milikku.
“Kak, lo yakin?” Tanya Jeno sembari membantuku membongkar isi kotak. Namun aku tak menjawabnya.
Jeno terus bergumam, sesekali berdecak, menggeleng-gelengkan kepalanya, lantas menatapku lekat-lekat.
“Kak Ze? Lo gak perlu ngelakuin ini! This is part of a satanic cult, kak.”
Aku terhenyak. Bersamaan dengan itu, mobil Mark masuk ke area pelataran rumah. Ia keluar dari mobilnya dengan tergesa-gesa, menghampiriku.
“Ze, lo harus segera ngelakuin ini, please....”
Menyapa pun tidak. Mark langsung meraih kedua tanganku dan memohon kepadaku. Lantas Jeno menarik genggamannya.
“Lo apa-apaan sih kak? Numbalin orang lain demi nyelametin diri lo sendiri?!” Tukas Jeno dengan nada membentak.
“Mark, lo hutang cerita sama gue dan sekarang lo dateng-dateng nyuruh gue—”
“Iya oke gue cerita.”
—
Liburan akhir pekan, Mark, Taeyong, Winwin dan Lucas tak enak jika hanya berdiam diri di asrama. Bosan. Mereka ingin menjamah negara yang sedang mereka singgahi ini.
Kota Gloucestershire. Adalah sasaran mereka. Kota yang dijuluki sebagai Vaping Hotspot di Inggris. Pasalnya, mereka memiliki jumlah vape store lebih dari dua kali lipat rata-rata nasional. Kota ini termasuk yang teratas dalam hal jumlah toko e-rokok per jumlah penduduk di negara Inggris.
“Ini sih surga dunia.” Celetuk Lucas saat bola matanya menyusuri sudut-sudut kota yang hampir penuh dengan toko vape.
“Hotel?” Tanya Taeyong. “Udah pesen hotel?”
Yang ditanya malah celingukan. Mereka bertiga saling tatap satu sama lain. Mark cengengesan.
“Gue kelupaan Yong, sorry.”
“Emang tau gitu gue aja yang pesen.”
“Jadi belum booking hotel?” Agaknya sel otak Winwin baru saja tersambung.
“Don't worry kita bisa tanya sama orang sini kan? Biar direkomendasiin gitu yang baik.”
Setuju dengan saran dari Lucas, mereka pun akhirnya menikmati dulu setiap sudut kota. Menjajahi toko demi toko dengan tas ransel di punggung mereka. Langit tampak mulai mendung. Musim penghujan, memang tak dapat di prediksi kapan hujan akan turun, padahal seperti baru saja matahari bersinar dengan teriknya.
Lelaki bermantel hitam menjajari keempatnya. Menawarkan untuk menginap di salah satu penginapan miliknya yang tak jauh dari sana. Tak berfikir panjang, mereka berempat mengangguk meng-iya kan ajakannya.
Ancient Ram Inn, namanya. Tampak tak seperti penginapan pada umumnya. Sembari masuk ke dalam rumah, si empunya bercerita tentang penginapan ini. Bangunan ini dibangun pada abad ke-11. Mendengar itu, Lucas ber wah ria. Tampaknya dia kagum dengan rumah yang sampai saat ini masih ada dan berdiri kokoh. Berbeda dengan Taeyong, dia lebih dulu menangkap beberapa keganjalan. Mulai dari tatanan rumah yang cukup bisa dibilang berantakan. Tembok batu bata yang sengaja tidak dirawat untuk menambah nilai keindahan dari sebuah bangunan. Juga banyak patung salip digantung di tiap dinding ruangan. Klasik memang, bahkan rumah ini bisa dibilang terlalu kuno. Hanya saja, bagi Taeyong rumah ini terlalu menyeramkan.
“Gokil banget gak sih kita nginep di tempat ini?” Ujar Lucas yang dari tadi sudah sibuk melihat-lihat isi ruang kamar.
“Gokil pala lo! Ini gue merinding yang ada dari tadi.”
Mendengar pernyataan Mark, Taeyong merasa bahwa dirinya tak salah bila menyebutkan rumah ini menyeramkan.
“Gue sekamar sama siapa?” Tanya Winwin.
“Sama gue aja, Mark biar sama Taeyong.” Jawab Lucas.
Mark mengangguk, lantas menyusul Taeyong yang masih berdiri diambang pintu kamar.
“Yok lah kita ke kamar sebelah.
Eh Cas, Win, gue tinggal kesebelah.”
“Yoi!”
Mereka berdua pergi dari sana, meninggalkan kamar Lucas dan Winwin. Kamar mereka bersebelahan, hanya saja terdapat etalase berukuran 2x1 meter yang memisahkan ruangan mereka.
“Yong, lo gak ngerasa aneh apa?”
“Ngerasa.... banget malah.”
“Merinding gak sih? Ini bulu gue dari tadi berdiri terus nih lihat.”
Mark menyingkap lengan bajunya. Memperlihatkan bulu-bulu tangannya yang halus, dengan kompaknya berdiri.
“Ah udah lah kita cuma semalem disini. Noh Lucas sama Winwin santai-santai aja.” Taeyong melipat kedua tangannya, menjadikannya tumpu kepalanya, lantas berbaring di kasur.
“I-iya udah bener cuma semalem.”
Taeyong tak bisa mengistirahatkan dirinya, dari tadi ia hanya mengerjapkan mata berkali-kali dan menatap langit-langit kamar. Pandangannya ia arahkan pada ranjang di sampingnya. Mark juga sama sepertinya, sedang asyik memandang langit-langit ruangan.
“Mark?”
“Hm?”
“Bisa merem gak sih lo?”
“Gak bisa sumpah udah gue merem-merem in.”
“Keluar aja gak? Gue juga gak bisa merem.”
“Club aja yok?”
“Haha anjing lo, Mark. Gak mabok ya? Gue udah janji sama Zemira gak minum-minum an disini.”
“Ck elah iye bucin.” Mark berdecak. “Ajakin Lucas, Winwin gak?”
“Iya lah masa mau keluar berduaan doang?”
“Ya udah ayo.”
Taeyong bangun dari rebahannya, disusul oleh Mark. Ia hanya menyambar hoodie yang sengaja ia gantung di belakang pintu. Berbeda dengan Mark yang mengganti pakaiannya untuk pergi keluar.
Rencana untuk pergi keluar berempat pun gagal, pasalnya saat Mark dan Taeyong menyusul kedua temannya, ternyata mereka berdua sudah tertidur dengan pulas.
Menghela nafas.
“We're on a date, dude?” Mark tertawa.
“Haha udah gak papa ayok.” Taeyong merangkul Mark sembari menutup kembali pintu kamar.
Saat mereka berdua akan menuruni tangga, Taeyong terkejut melihat anak perempuan menangis duduk bersandar di salah satu anak tangga. Melihat itu, Taeyong pun menghampirinya.
“Why are you crying?”
Anak itu tidak menjawab.
“Hey dude, kita anter ke kamarnya aja apa? Dicariin orang tuanya entar.”
Taeyong mengangguk.
“Hey, don't cry, don't cry.... let me take you back to your room. Can i?”
“Yeah.” Jawabnya singkat.
“What is your name? Why are you crying?” Tanya Taeyong sembari mengusap pelan rambut anak perempuan itu.
“Rosie.”
“You have a pretty name, Rosie. I'm Taeyong.”
“Hi Rosie, i'm Mark. Why are you crying? Don't cry okay? Your beauty will be gone.”
Mereka berdua mengantarkan Rosie kembali ke ruangannya. Menuruni anak tangga, lalu anak tangga lagi. Lantai bawah tanah? Ternyata ada juga kamar di bawah sana. Dengan lampu kuning sebagai penerang.
Berdiri di depan pintu ruangan, Rosie mempersilahkan mereka untuk masuk menemui orang tuanya. Awalnya mereka berdua menolak, sampai akhirnya sosok perempuan cantik membukakan pintu kamarnya.
“I'm sorry, i met Rosie, she was crying and we drove them here. Umm.... i'm Taeyong, and he's Mark.”
“I'm Rose.”
“Oh hey Rose.”
Rose tersenyum miring. Lantas menyuruh mereka berdua untuk masuk. Mereka berdua tak bisa menolak.
Tampaknya Mark tidak nyaman disana, melihat Taeyong yang tengah asyik mengobrol dengan Rose, membuatnya menyadari kejanggalan lainnya. Jika diperhatikan lagi, Rose seperti memakai gaun pernikahan, berwarna hitam, dengan corak bunga mawar. Yang kedua, Mark menyadari bahwa Rosie sudah tidak ada di dalam ruangan, kemana perginya anak itu? Dan, Mark menyadari bahwa bola mata Rose sesekali berganti.
Saat sang penghuni kamar berpamitan sebentar untuk pergi keluar mengambil minuman, Mark mendekat kearah Taeyong. Ia melotot kaget, ritme jantungnya pun mulai berderu cepat.
“What the fuck?!”

Taeyong duduk bersila memunggungi Mark sedari tadi, dan di depan Taeyong, tempat dimana Rose duduk, terdapat lilin menyala di lingkaran pentagram.
“Satanic cult?” batin Mark.
“Hey du-de, g-gue pikir ada yang gak beres deh?” Dengan suara berbisik, tangannya pun meraih bahu Taeyong.
Tak disangka, padahal Mark hanya menyentuh pundaknya, tapi tubuh Taeyong seketika jatuh ke belakang. Ia tak sadarkan diri.
“What the hell Yong?! Yong bangun!!”
“Taeyong? Please lo denger suara gue?”
“Please bangun yong bangun!!”
Mark masih berusaha membangunkan Taeyong. Tubuhnya ia guncang ke kanan dan ke kiri, dengan sesekali menepuk kedua pipinya. Benar saja dugaan Mark. Memang ada yang aneh. Terpaksa ia bopong lelaki yang tak sadarkan diri itu untuk pergi dari sana, namun sayang, bersamaan dengan itu Rose lebih dulu masuk ke dalam ruangan.
Seperti merapalkan mantra, tangannya menggenggam beberapa bunga mawar, juga ada botolan kecil disana. Mark merogoh ponselnya, namun sengaja tak ia keluarkan, ia menekan-nekan tombol angka untuk meminta bantuan kepada Lucas atau Winwin, siapapun.
Rose berjalan kearah Mark. Ia tak bisa lari, akan sangat kesusahan jika ia lari dengan Taeyong yang sedang ia bopong. Bibir wanita itu masih saja bergerak, kini bergerak dengan cepat.
“Flowers for you.” Rose mendekatkan dirinya, memberikan setangkai bunga mawar untuk Mark. Namun Mark menolak.
“Take this.” Kini suaranya berubah, tak seramah tadi.
“Don't want to?”
Keringatnya mulai bercucuran. Mark takut, sangat takut melihat wajah Rose yang berubah mengerikan, tak lagi cantik, bahkan bola matanya berubah keputihan.
“Hey Rose.”
“Hey Rose.”
Ia memanggil namanya sendiri. Dengan hati-hati ia meraih lengan Mark, turun ke telapak tangannya, lantas menjejalkan tangkaian bunga mawar ke dalam genggaman Mark. Seperti tersihir, lelaki itu tak bisa berontak. Durinya sangat tajam hingga mampu merobek kulitnya. Mark melihat darahnya sendiri bercucuran, ia menjatuhkan tubuhnya, lemas. Matanya mulai melihat ada banyak sosok disana. Banyak anak kecil, juga orang seumurannya. Berdiri mematung dibelakang Rose.
Pandangan Mark mulai kabur, tapi ia masih bisa melihat temannya yang sedang di tidurkan di atas papan. Kedua tangannya terikat, Taeyong masih belum sadar. Air matanya mulai menetes satu per satu, dan semakin deras saat melihat Taeyong dipersembahkan untuk tuannya.
—
Aku terkejut setengah mati mendengar cerita singkat dari Mark. Tubuhku seperti lemas, dan hampir saja aku terjatuh jika Jeno tak menahanku.
“T-terus kenapa lo bilang kalo Taeyong udah mening—”
“Karena gue lihat dengan mata kepala gue sendiri, kalo waktu itu Taeyong udah gak bernafas, Ze.”
“Terus kenapa lo bisa selamat?! Kenapa lo bisa selamat sedangkan Taeyong enggak?! Kenapa?” Tanpa aku sadari, emosiku mulai meluap. Tanganku mengguncang bahu Mark, masa bodo dengan air mata yang sudah lepas terlebih dahulu.
“Ze, gue pikir gue gak akan selamat. Gue yakin, i could have died. Lo lihat scars yang ada di deket mata gue, ini sama kayak punya Taeyong. Gue pikir gue udah jadi sesembahan jug—”
“Iya tapi kenapa cuma Taeyong?! Kenapa cuma cowok gue anjir!”
“Kak Ze, keep calm, lo lupa kalo Renjun lagi istirahat di dalem?”
Jeno menenangkanku. Lantas Mark melanjutkan ceritanya lagi, bahwa kehidupannya mulai berubah selepas kejadian itu. Dia hidup, namun kadang ia juga merasa mati, tak mengetahui apa saja yang telah ia perbuat. Taeyong pun sama seperti itu. Disana, Mark memiliki seorang kekasih yang posisinya sama sepertiku. Ia meminta bantuan kepada kekasihnya untuk menariknya kembali dari sana. Mark sadar jika ia sudah dijadikan tumbal.
“Terus?”
“Ya ini gue Ze, sepenuhnya gue udah balik jadi diri gue.”
“Oke gue mau.”
“Kak?! Gak mau dipikirin dulu? Informasi dari dia belum sepenuhnya lengkap! Lo gak bis—”
“Jen, gue cuma mau bawa Taeyong balik. Even if he can't come back, gue mau ketemu Taeyong. I mean, Taeyong yang gue kenal.”
Benar kata Jeno, cerita dari Mark belum sepenuhnya tuntas tapi aku sudah memberanikan diriku untuk menjamah dunianya.
—
“Ze, sorry....”