Vania lagi-lagi menghela nafas kala dirinya baru saja masuk cabin pesawat. Ia hanya berdua bersama Sungchan, sedang kru yang lain tampaknya sudah berada di Zurich.
Dengan wajah terlipat, gadis itu menghempaskan tubuhnya di kursi dan menatap keluar jendela. Ah tempat duduknya berada di belakang area sayap sehingga ia bisa melihat sayap kiri pesawat Air France, maskapai nasional terbesar di Prancis.
Ya, Vania tuntas dengan konsernya di Paris satu hari yang lalu. Dan di hari lain ia ingin beristirahat dengan memandangi Menara Eiffel dari jarak dekat. Namun itu cukup merepotkan Sungchan, mengingat Vania adalah singer yang sudah memiliki ‘nama’ mengharuskan Sungchan untuk bekerja ekstra dalam menghadapi bermacam fans keponakannya itu.
“Udah gak usah manyun-manyun.” Sungchan menginterupsi.
Mendengus. Melipat kedua tangannya di dada. “Habisnya Om tuh! Vania masih ngerasain jetlag demi apapun pengennya naik bis aja ke sana tapi malah naik pesawat lagi!”
Sungchan malah terkekeh mendengar penuturan Vania yang menggambarkan anak kecil sekali. Padahal keponakannya itu sudah remaja dan beranjak dewasa.
“Et dah elu pikir gua mau gitu naik bis 20 jam?” Sinis Sungchan yang langsung membuat Vania terbelalak.
“Wihhhh Om beneran 11 12 kayak Danial!” Ujar Vania karena takjub Pamannya itu bisa menirukan gaya bicara Danial.
“Yeeee emang gue bapaknya gimana sih.”
“Iya sih.” Manggut-manggut. “Ah tetep aja Vania masih ngambek sama Om!”
Ia kembali menatap keluar jendela dan beberapa saat kemudian pesawat lepas landas.
Tepat pukul 17:40 Waktu Eropa Tengah mereka sampai di Bandara ZRH Zurich, satu jam sebelum matahari terbenam.
Sungchan menghela nafas panjang ketika mereka berjalan menuju pintu keluar. Lelaki itu lagi-lagi harus siap berjaga seorang diri, karena ya, Vania tidak mau ada bodyguard atau apalah itu yang menurutnya malah sangat mengganggu dirinya.
Vania yang supel, ramah, dan welcome pada semua orang lebih memilih meladeni penggemarnya yang ada di sana. Ah mungkin efek dari ia yang tak memiliki banyak teman, karena hanya Danial dan Talitha saja yang ada di sekitarnya.
“Om pokoknya jangan ngebatesin Vania buat chit chat sama fans fans aku.” Peringat Vania.
“Kenapa malah galakan kamu sih? Om ini lebih tua dari kamu loh.” Protes Sungchan.
“Gak usah bawa-bawa umur deh Om. Emang Om mau kalo Vania jadi perawan tua?”
“Kali aja kan dapet orang sini, memperbaiki keturunan.” Gumam Vania lirih yang sedikit terdengar di telinga Sungchan.
Oke, Sungchan tau apa maksud dari keponakannya itu. Tak lain dan tak bukan, oh common! she is the daughter of Kyra, Kakak kandungnya, the offspring of a girl whose eyes can’t blink when she sees a handsome boy. Sudah jelas kan? Buah jatuh tak jauh dari pohonnya!
“Om, nih Vania bilangin ya. Vania tuh cantik gitu kan? Jadi it’s okay lah Om kalo banyak fanboy wanna take selca with me?” Vania mengangkat kedua bahu dengan dramatis disertai rolling eyes.
Sungchan berdecih. “Sangat Kyra sekali.”
Tak lama mereka berjalan, suara sorakan mulai terdengar di telinga Vania. Gadis itu tersenyum senang, ada rasa bahagia kala dirinya bisa bertemu dengan penggemarnya. Terutama fanboy ya oke memang ‘sangat Kyra sekali’.
Benar saja, Sungchan seketika merangkul Vania supaya keponakannya tetap berada dekat dengannya. Namun gadis itu tetap bersih keras untuk memberikan fan service pada mereka.
Berfoto, memberikan tanda tangan. Oh Tuhan rasanya Sungchan ingin menenggelamkan keponakannya saja karena Vania seketika lepas dari jangkauannya sekarang.
Sungchan melihat Vania ditarik kesana kemari. Wow lebih brutal dari pada penggemar di negara lainnya. Ia mencoba menerobos kerumunan penggemar. Padahal tinggal beberapa langkah lagi mereka bisa masuk ke dalam mobil yang sudah bersiap menjemput di pintu keluar.
Vania kebingungan. Lama-lama ia pusing sendiri karena banyak dari mereka yang meminta foto dengan menyalakan flash pada kamera. Meski sudah terbiasa, tapi entah mengapa hari ini kepalanya berkunang-kunang ketika mendapati sorotan cahaya kelap kelip dari kamera.
“Excuse me, i have to go, sorry.” Ujarnya dengan benar-benar memohon dan mencoba menghentikan mereka.
Mereka tak mendengar.
“Ommmmm!!!!” Teriak Vania dengan melambai ke arah Sungchan yang masih mencoba menerobos kerumunan.
“Sorry i have to go.” Kini suaranya lebih melengking.
Gosh mereka tidak ada yang mau mendengarkan. Rasanya Vania ingin menangis saja. Tubuhnya semakin terhimpit.
Bunda please tolong Vania please please huhu Ayahhhhh ini gue berasa mau di makan zombie.
Sepertinya kedua orang tua Vania telah bersujud dan memohon pada Tuhan agar mau membantu anaknya keluar dari lautan manusia yang kelaparan. Kelaparan akan fan service maksudnya.
Vania mendengar suara baritone dari belakang. Ia merasa punggungnya menempel pada dada seseorang. Satu lengan tangannya meraih bahu Vania, sedang lengan kiri orang itu sedikit membuka kerumunan.
“Tut mir leid, dass sie gehen muss!” (Maaf, dia harus pergi)
Oh lelaki itu memakai bahasa Jerman yang tak ia mengerti artinya.
“Sorry.” Ucapnya saat Vania menoleh dan terlonjak akibat sikapnya yang tiba-tiba datang meraih bahu Vania.
Vania mengerti. Lelaki ini ingin membantunya untuk pergi dari kerumunan. Terbukti saat lelaki itu melindungi Vania dan berhasil masuk ke dalam mobil jemputan.
Lelaki dengan hoodie hitam dan kepala yang ia lindungi dengan tudung, menarik perhatian Vania. Total. Karena ia seorang lelaki yang lebih mengejutkannya lagi, ia sempat memakai bahasa Indonesia saat Vania hendak masuk ke mobil.
”Hati-hati”
Begitu ucapnya. Vania belum sempat berterima kasih karena ia lebih dulu ditarik oleh Sungchan untuk segera masuk mobil.
Tentu saja Pamannya itu marah, terbukti ketika ia menutup pintu mobil dengan sangat keras.
Vania masih memperhatikan ke belakang, karena lelaki itu melepas hoodienya, berjalan mendekati mobil yang terparkir di sana. Sayang sekali, ia memakai masker, Vania tak bisa melihat wajahnya.

Ctakk!
“Awwwwww!”
Sungchan baru saja menjitak dahi Vania. Tenang saja, itu sudah jadi kebiasaan Sungchan ketika ia kesal pada keponakannya.
“Sakit Ommmmm, ish.” Mengusap dahi. “Dasar Om galak!”
Sungchan hanya mengibas-ngibas tangan ke arah Vania sembari menyamankan posisi duduknya dan memejamkan mata. Seolah berkata yaaaa terserah gue udah capek.
Vania being Vania, yang tiba-tiba tersenyum simpul. Mengingat kejadian di Bandara bersama seorang lelaki yang ia duga memiliki paras yang tampan.
Bagaimana lelaki itu melindungi dirinya, menyelamatkannya dari banyaknya penggemar, dan beruntunglah Vania masih dalam keadaan yang utuh.
“Nggak usah ngarep dehhh.” Celetuk Sungchan. “Ini dunia nyata, bukan sinetron.”
“Jodoh gak ada yang tau Om.”
“Ya. Gak tau aja dibalik masker mukanya burik.”
“Yeee Om sirik aja deh.”
“Mending kamu hubungi Danial sana, Om capek dari tadi dia nelfon tapi sengaja gak Om angkat.”
Vania tersenyum dengan sejuta ide yang terbesit di pikirannya. “Oke.”
***
Lelaki dengan outfit serba hitamnya itu menghela nafas panjang. Meraih botol air mineral yang selalu ia bawa di mobil. Melepas masker, kemudian meneguk botolan air yang ada di genggamannya hingga seluruh dahaga menghilang.
“Hhhhhh.”
Ia merasakan semilir ac mobil menari-nari di permukaan kulit. Mengatur nafasnya yang tidak beraturan dengan sesekali mendengus.
Oh God. Jantungnya saja serasa akan loncat keluar. Bisa-bisanya ia baru sekarang merasa jantungnya berdegup sangat kencang. Padahal tadi saat merangkul gadis itu, ia biasa saja dan kejadian itu sama sekali tak pernah terpikir sebelumnya. Ia sangat nekat mengambil keputusan.
“Barra sadar Barr….” Gumamnya.
“Ohhhh common!!! Tapi itu Vania?!”
Barra menjatuhkan kepalanya dan membenturkan pelan di setir mobil yang ia genggam dengan erat.
Ya, lelaki yang menyelamatkan Vania dari kerumunan penggemar tadi adalah Barra. Tunggu! Jangan berfikiran jika ia adalah sasaeng fans. Kalian salah.
Barra kebetulan pergi ke Bandara untuk mengantar teman kampusnya itu pulang ke China. Temannya banyak dari penjuru dunia, karena Barra saja mengenyam pendidikan di kampus elit dan ternama. Jangan heran juga jika ia mampu menguasai beberapa bahasa.
Oke cukup sampai disini.
Kala Barra kembali ke tempat dimana ia memarkirkan mobil, tanpa sengaja pandangannya berpendar pada banyaknya manusia di sekitar pintu keluar.
Awalnya ia tak peduli, don't care at all sebelum akhirnya salah satu dari mereka meneriaki nama Vania. Barra yang tadinya ingin segera pulang, mengurungkan niatnya untuk menunggu apakah benar Vania yang dimaksud mereka adalah Vanianya.
(Vanianya).
Benar saja tak lama gadis dengan turtleneck black sweater menampakkan diri. Dengan wajah berseri dan senyum cerah, Barra merasa darahnya berdesir merangkak naik di wajahnya.
Cantik.
Atau sangat cantik.
Apapun yang melebihi kata ‘cantik’.
Vania yang selalu ia lihat di tv, yang selalu Barra agungkan kemerduan suaranya, yang selalu menjadi one and only light of his life. Terdengar berlebihan, tapi itu yang Barra rasa.
Lelaki itu mematung cukup lama hanya dengan memperhatikan Vania dari jauh. Sebelum akhirnya ia melihat gadis itu semakin terhimpit dengan wajah menegang. Seperti terlukis rasa takut.
Tanpa berpikir panjang, dengan susah payah Barra menerobos kerumunan itu dari arah belakang Vania. Tak lupa pula tudung hoodienya ia pakai untuk melindungi dirinya sendiri dari kamera.
“Aarrrhhhh driving me crazy!!”
Barra yang masih sibuk merutuki diri tak sadar bila ponselnya berdering sejak tadi. Atau memang sengaja ia membiarkan ponselnya berdering nyaring.
“Sekarang apalagi….”
Barra meraih ponsel yang ia geletakkan di kursi penumpang.
“Hai Pa?”
”You’ve been gone for so long, Barra Rafeyfa Zayan.”
Barra menghela. “Ini mau pulang Paaaaa lagian Barra gak kemana-mana.”
”Gak kemana-mana apanya?! Hampir 10 jam kamu diluar rumah Barra.”
Suara Taeyong terdengar cukup melengking hingga Barra sedikit menjauhkan ponselnya.
“Iya Pa iya ini Barra pulang, kepalaku sakit Pa.”
”Why?!?!!! Don’t drive then! Kamu dimana? Papa jemput.”
“Nggak Pa, Barra—“
”Papa bilang jangan nyetir kalo kepala kamu sakit! Jangan ngedahuluin ajal lu ah! Shareloc cepet.”
“Bukan sakit itu Pa maksudnya—bukan beneran sakit.”
”Huh? What do you mean?”
“Barra pusing, abis ketemu bidadari. Barra kayak lagi ngelihat surga.”
Terdengar suara Taeyong menghela di seberang sana.
”Kamu kayaknya bukan anak Papa deh, Papa gak pernah se-hiperbola gitu.”
“Nyawa Barra masih ngapung Pa.”
”Astaga cepat pulang Barra anakku.”
“Pa…. Cantik banget, Mama aja kalah can—“
Tutttttt
Tutttttt
Tutttttt
Belum selesai Barra berbicara, Taeyong sudah memutus panggilan. Ya gimana? Taeyong sepertinya lelah mendengar kalimat hiperbola dari Anaknya.
“Ya elah harusnya tanya dong Pa siapa gitu yang gue temuin?”
“Bangga lu ah pasti.”
Kini Barra tertawa. “Ya kali gak bangga? Anakmu ini penyelamat one of the hundred greatest singers of all time in 2021 Papa!”