souljaehyunn

Upacara penyambutan murid baru tadi pagi berjalan dengan lancar. Arthfel hanya perlu duduk di kursi paling depan, sedang yang lain duduk berjarak di belakang. Suasana yang persis seperti di pengadilan.

Ia hanya akan berbicara kala Thana memberi titah padanya. Wanita yang hampir ia pukul di Dermaga itu bernama Thana. Dan satu yang belum ia ketahui namanya. Seorang perempuan yang membersamai Thana dan Nolan kala menjemput Arthfel.

Tidak hanya saat itu saja, melainkan setiap Thana pergi kemanapun, gadis itu selalu ada bersamanya. Atau memang dirinya sengaja tak diperkenalkan?

Kepulan asap dari benda yang tengah diapit oleh jemari Arthfel menari-nari di udara. Menyesap cerutu sembari duduk di rooftop. Kedua kakinya ia gelantungkan tanpa ada rasa takut akan ketinggian atau hal buruk lainnya.

Dilihat dari atas sana, terlihat jelas bangunan berkedok sekolah kepribadian ini dikelilingi oleh banyaknya pepohonan yang tak bisa disebut hutan juga. Namun sejujurnya Arthfel sendiri tak yakin apa itu hutan atau bukan.

Pikirannya tak bisa tenang perihal ia yang kehilangan semua kelebihannya. Bukan kelebihan fisik, lebih kepada kelebihan yang tersirat, yang tak bisa dideskripsikan oleh kata.

Matanya menyipit saat mendapati segerombol orang tengah menyeret satu orang lelaki secara paksa. Terlihat dari bagaimana lelaki itu berteriak dan terus meronta-ronta.

Arthfel berdecih.

You’ll be sent to heaven, dude.” Ucapnya sedikit keras.

What heaven?

Arthfel yang sejak tadi duduk sendiri tak menyadari bila seseorang tengah memperhatikannya sejak tadi.

Ia menoleh ke belakang. Seorang lelaki berdiri dengan sebuah tongkat di tangan kanannya. Ada sedikit warna merah keunguan di sudut matanya. Arthfel tebak, itu bekas pukulan.

What heaven?” Ia mengulang pertanyaan.

Arthfel menunjuk ke bawah, diikutinya arah pandang itu.

“Lo anak baru, gue yakin kalo Nolan udah kasih semua rules buat dibaca.” Ungkapnya lagi.

“Lo gak buta huruf kan?”

Arthfel mengangguk. “Jadi, aturan yang mana yang lo maksud disini?”

Lelaki itu mengendikkan dagu dan menatap kearah benda kecil memabukkan yang putungnya masih diapit jari Arthfel.

Tersenyum miring. Arthfel tidak bodoh, juga tidak lupa dengan semua aturan, he just wants to break all the rules. Memangnya siapa yang bisa mengatur dan mengendalikan Arthfel?

“Turun. Ikut gue.” Titah lelaki itu sembari membalikkan tubuhnya dan lantas melangkahkan kaki menuruni tangga.

Don’t tell me to obey you.” Ucap Arthfel menghentikan langkah lawannya.

“Turun. Narnia is more interesting dari pada disini. Gue ajak lo, to see heaven.” Ungkap lelaki itu yang hanya sedikit menoleh ke arah Arthfel.

Arthfel tak salah lihat, raut wajahnya berubah kala mengatakan itu.

image

Arthfel POV

I’m too emotional. Sebuah tamparan lagi-lagi mendarat di pipi gue. Beberapa saat sebelum tiga orang itu naik ke sebuah perahu mesin.

Wanita paruh baya, rupanya dia yang bertanggung jawab penuh atas tempat dengan nama Golgotha Safe Zone.

Mereka ngejemput gue karena nggak bisa sembarang orang masuk ke wilayah itu. Jujur gue gak tau itu tempat apa. Yang jelas gue berontak saat tau bahwa gue harus nyebrang lautan untuk sampai disana. Apa gue bilang?

A prison berkedok sekolah kepribadian. Gue gak bisa kontrol diri sendiri saat wanita paruh baya itu melontarkan beberapa kalimat yang gak bisa diterima oleh telinga gue.

“Bapak hanya bisa mengantar dan menjemput putra Bapak saat dia sudah menjadi pribadi yang lebih baik. Dan dengan persetujuan saya, akan saya lepaskan.”

Gue menggaris bawahi kalimat dia yang terakhir. Memangnya dia siapa? Dan memangnya gue apa sampai dia dengan lancangnya bilang akan ngelepasin gue? Harus dengan persetujuan dia? What the fuck?!

Tanpa berpikir, gue seketika meraih dan meremat kerah baju wanita itu. Oh? Kapan juga gue berpikir sebelum melakukan sesuatu? Seorang Arthfel harus berpikir sebelum bertindak? Haha in your dream.

“PERSETAN DENGAN PERSETUJUAN EMANG LO SIAPA NGATUR-NGATUR GUE?!” Ucap gue.

Tangan gue yang lain melayang, dan hampir gue ngerasa seneng bisa mukul wajahnya. Tapi gue kalah cepet sama Ayah yang langsung narik gue dan nampar pipi gue.

Sakit? Gue gak ngerasa sakit. Gue cuma mandang mereka bergantian. Dan mereka terlalu tenang untuk gue yang kesetanan.

Dan sekarang, gue duduk di atas perahu dengan kedua tangan terikat. Ralat. Bahasa gue terlalu baik menyebut ini sebuah ikatan. Nyatanya pergelangan tangan gue dibelenggu benda yang dibuat dari baja tahan karat. Ayah yang bawa borgolnya kemana-mana itu selalu berfungsi kala gue pergi sama dia.

Mata gue gak bisa lepas dari dua orang anak yang terus ngelihat kearah gue. Seorang perempuan, satu lagi laki-laki. Aneh, gue gak bisa ngelihat mereka.

Gue mendengus. “Why are you looking at me like that? Lo ngajakin duel?” Tantang gue.

“Arthfel! Shut up your mouth!”

“Kenapa? Ayah mau pasangin brangus juga?”

Plakkkk!!!

Shit. Gue dapet tamparan lagi. Orang tua satu ini rupanya sudah menjadikan ini sebagai hobi. Hobi menampar gue.

Kali ini gue ngerasa perih di sudut bibir. Rupanya tamparan kali ini made the corners of my lips torn.

Gue pastiin setelah sampai, i’ll destroy the place.

***

Author POV

Kedua bola mata Arthfel bergerak kesana kemari. Kala ia turun dari perahu, dan pertama kalinya menapakkan kaki, ia mulai sibuk menelisik tempat ini.

Sebuah pulau di tengah lautan lepas, dan hanya ada satu perahu mesin yang ia naiki tadi sebagai transportasi menuju dermaga. Sepertinya ia tengah berfikir bagaimana caranya untuk bisa pergi tanpa harus menunggu persetujuan atau apalah itu.

Don’t expect too much. Lo beneran nggak bisa keluar dari sini sebelum waktunya.” Tukas lelaki yang bersama mereka tadi.

Arthfel hanya melempar tatapan tajam, tanda ia tak setuju dengan perkataan lelaki itu.

Berjalan beberapa meter dari bibir pulau, dua buah mobil sudah siap untuk mengantar mereka ke lokasi. Lantas tanpa menunggu perintah, Arthfel mendudukkan diri di mobil Jeep Willys samping kursi sopir.

Melewati jalanan yang sepi tanpa adanya rambu lalu lintas, hutan yang menghiasi sisi kanan dan kiri, juga beberapa rumah ukuran 3x3 yang memiliki jarak cukup jauh antar rumah.

Welcome to the Golgotha safe zone.

Begitu yang Arthfel baca di depan pagar. Dan sampailah mereka di tempat bernama Golgotha ini.

Sebuah sekolah kepribadian yang benar-benar jauh dari perkotaan. Satu-satunya bangunan yang berpenghuni di tengah pulau ini.

“Ayah can you open this shit?” Arthfel yang baru turun dari mobil langsung menghentikan langkah sang Ayah dengan mengangkat kedua tangannya tepat di wajah lelaki berumur 35 tahun itu.

This shit? I’ll open it when you’re.” Ayah mencengkeram borgol itu sembari mengendikkan dagunya. Lantas menurunkan tangannya hingga tangan Arthfel terhempas.

Mungkin maksudnya, Ayah akan membuka benda itu kala Arthfel sudah berada di dalam.

Arthfel mendengus tak percaya. Ia berdiam diri menatap punggung sang Ayah dengan wanita itu. Mereka berdua berjalan menaiki anak tangga untuk sampai ke pintu utama.

Jika bukan Ayahnya, mungkin Arthfel has done something bad pada lelaki itu.

“Masuk.” Titah seorang perempuan yang masih belum Arthfel ketahui nama dan kedudukannya.

Arthfel berdecak sebagai jawaban.

Di benak Arthfel, lumrah kalau ia membayangkan Golgotha adalah bangunan sekolah yang berlorong-lorong dengan ruang kelas yang seragam dan berderet satu sama lain. Gambaran dari sekolah pada umumnya, seperti saat dimana ia menimba ilmu.

Faktanya, Golgotha ini telah dibangun dengan desain interior bak Puri atau Kastel. Persis seperti bangunan pertengahan abad para bangsawan. Jika disamakan lagi, bangunan itu seperti Puri Windsor, kediaman Kerajaan Britania Raya.

Beberapa kali Arthfel tersenyum miring karena banyak pasang mata melihatnya dengan tatapan tidak suka. Sungguh lelaki itu tak peduli. Ia hanya terus berjalan di samping Ayahnya.

Ruangan yang cukup luas dan penuh dengan lemari buku, Arthfel berada saat ini. Ia duduk dengan sang Ayah. Berhadapan langsung dengan wanita itu dan dua anak yang membersamainya.

Arthfel simpulkan, kedua anak ini adalah anak kandung wanita yang duduk dengan aura angkuhnya.

Sama sekali tak tertarik dengan obrolan mereka tentang aturan, perjanjian, dan persetujuan, Arthfel memilih beranjak untuk berkeliling di ruangan.

Melihat beberapa judul buku yang sama sekali tak bisa ia baca. Semua buku lawas itu dicetak dengan Greek alphabet.

Tak membutuhkan waktu yang cukup lama hingga sang Ayah menjajarinya lantas menarik pergelangan tangan Arthfel.

Ceklek.

Pergelangan tangannya bernafas juga.

“Maaf, Ayah pergi.” Hanya kalimat itu yang terdengar sebagai pidato perpisahan.

Lantas Ayahnya pergi ketika melihat Arthfel mengangguk sebagai jawaban. Tanpa berniat mengantar, ia hanya diam menatap kepergian sang Ayah bersama wanita itu dan anak perempuannya.

“Gue Nolan.”

Oh lelaki ini bernama Nolan. batinnya.

“Ayo, gue anter lo ke kamar.” Sambungnya lagi.

Keduanya pergi dari ruangan yang disebut Ruang Kepala Sekolah itu dan pergi menuju kamar yang akan ditempati Arthfel selama ia disana.

About the rules….” Nolan menjeda kalimatnya. “Semua yang tertulis wajib lo patuhi if you don't wanna get punished

No need to scare me with punishment gue gak takut.” Sahut Arthfel.

Nolan dengan wajahnya yang dingin menghentikan langkahnya. Bertemu muka dengan Arthfel.

Are you sure?

“Ya.”

Nolan tersenyum miring. “Prepare yourself.

Arthfel POV

I’m too emotional. Sebuah tamparan lagi-lagi mendarat di pipi gue. Beberapa saat sebelum tiga orang itu naik ke sebuah perahu mesin.

Wanita paruh baya, rupanya dia yang bertanggung jawab penuh atas tempat dengan nama Golgotha Safe Zone.

Mereka ngejemput gue karena nggak bisa sembarang orang masuk ke wilayah itu. Jujur gue gak tau itu tempat apa. Yang jelas gue berontak saat tau bahwa gue harus nyebrang lautan untuk sampai disana. Apa gue bilang?

A prison berkedok sekolah kepribadian. Gue gak bisa kontrol diri sendiri saat wanita paruh baya itu melontarkan beberapa kalimat yang gak bisa diterima oleh telinga gue.

“Bapak hanya bisa mengantar dan menjemput putra Bapak saat dia sudah menjadi pribadi yang lebih baik. Dan dengan persetujuan saya, akan saya lepaskan.”

Gue menggaris bawahi kalimat dia yang terakhir. Memangnya dia siapa? Dan memangnya gue apa sampai dia dengan lancangnya bilang akan ngelepasin gue? Harus dengan persetujuan dia? What the fuck?!

Tanpa berpikir, gue seketika meraih dan meremat kerah baju wanita itu. Oh? Kapan juga gue berpikir sebelum melakukan sesuatu? Seorang Arthfel harus berpikir sebelum bertindak? Haha in your dream.

“PERSETAN DENGAN PERSETUJUAN EMANG LO SIAPA NGATUR-NGATUR GUE?!” Ucap gue.

Tangan gue yang lain melayang, dan hampir gue ngerasa seneng bisa mukul wajahnya. Tapi gue kalah cepet sama Ayah yang langsung narik gue dan nampar pipi gue.

Sakit? Gue gak ngerasa sakit. Gue cuma mandang mereka bergantian. Dan mereka terlalu tenang untuk gue yang kesetanan.

Dan sekarang, gue duduk di atas perahu dengan kedua tangan terikat. Ralat. Bahasa gue terlalu baik menyebut ini sebuah ikatan. Nyatanya pergelangan tangan gue dibelenggu benda yang dibuat dari baja tahan karat. Ayah yang bawa borgolnya kemana-mana itu selalu berfungsi kala gue pergi sama dia.

Mata gue gak bisa lepas dari dua orang anak yang terus ngelihat kearah gue. Seorang perempuan, satu lagi laki-laki. Aneh, gue gak bisa ngelihat mereka.

Gue mendengus. “Why are you looking at me like that? Lo ngajakin duel?” Tantang gue.

“Arthfel! Shut up your mouth!”

“Kenapa? Ayah mau pasangin brangus juga?”

Plakkkk!!!

Shit. Gue dapet tamparan lagi. Orang tua satu ini rupanya sudah menjadikan ini sebagai hobi. Hobi menampar gue.

Kali ini gue ngerasa perih di sudut bibir. Rupanya tamparan kali ini made the corners of my lips torn.

Gue pastiin setelah sampai, i’ll destroy the place.

***

Author POV

Kedua bola mata Arthfel bergerak kesana kemari. Kala ia turun dari perahu, dan pertama kalinya menapakkan kaki, ia mulai sibuk menelisik tempat ini.

Sebuah pulau di tengah lautan lepas, dan hanya ada satu perahu mesin yang ia naiki tadi sebagai transportasi menuju dermaga. Sepertinya ia tengah berfikir bagaimana caranya untuk bisa pergi tanpa harus menunggu persetujuan atau apalah itu.

Don’t expect too much. Lo beneran nggak bisa keluar dari sini sebelum waktunya.” Tukas lelaki yang bersama mereka tadi.

Arthfel hanya melempar tatapan tajam, tanda ia tak setuju dengan perkataan lelaki itu.

Berjalan beberapa meter dari bibir pulau, dua buah mobil sudah siap untuk mengantar mereka ke lokasi. Lantas tanpa menunggu perintah, Arthfel mendudukkan diri di mobil Jeep Willys samping kursi sopir.

Melewati jalanan yang sepi tanpa adanya rambu lalu lintas, hutan yang menghiasi sisi kanan dan kiri, juga beberapa rumah ukuran 3x3 yang memiliki jarak cukup jauh antar rumah.

Welcome to the Golgotha safe zone.

Begitu yang Arthfel baca di depan pagar. Dan sampailah mereka di tempat bernama Golgotha ini.

Sebuah sekolah kepribadian yang benar-benar jauh dari perkotaan. Satu-satunya bangunan yang berpenghuni di tengah pulau ini.

“Ayah can you open this shit?” Arthfel yang baru turun dari mobil langsung menghentikan langkah sang Ayah dengan mengangkat kedua tangannya tepat di wajah lelaki berumur 35 tahun itu.

This shit? I’ll open it when you’re.” Ayah mencengkeram borgol itu sembari mengendikkan dagunya. Lantas menurunkan tangannya hingga tangan Arthfel terhempas.

Mungkin maksudnya, Ayah akan membuka benda itu kala Arthfel sudah berada di dalam.

Arthfel mendengus tak percaya. Ia berdiam diri menatap punggung sang Ayah dengan wanita itu. Mereka berdua berjalan menaiki anak tangga untuk sampai ke pintu utama.

Jika bukan Ayahnya, mungkin Arthfel has done something bad pada lelaki itu.

“Masuk.” Titah seorang perempuan yang masih belum Arthfel ketahui nama dan kedudukannya.

Arthfel berdecak sebagai jawaban.

Di benak Arthfel, lumrah kalau ia membayangkan Golgotha adalah bangunan sekolah yang berlorong-lorong dengan ruang kelas yang seragam dan berderet satu sama lain. Gambaran dari sekolah pada umumnya, seperti saat dimana ia menimba ilmu.

Faktanya, Golgotha ini telah dibangun dengan desain interior bak Puri atau Kastel. Persis seperti bangunan pertengahan abad para bangsawan. Jika disamakan lagi, bangunan itu seperti Puri Windsor, kediaman Kerajaan Britania Raya.

Beberapa kali Arthfel tersenyum miring karena banyak pasang mata melihatnya dengan tatapan tidak suka. Sungguh lelaki itu tak peduli. Ia hanya terus berjalan di samping Ayahnya.

Ruangan yang cukup luas dan penuh dengan lemari buku, Arthfel berada saat ini. Ia duduk dengan sang Ayah. Berhadapan langsung dengan wanita itu dan dua anak yang membersamainya.

Arthfel simpulkan, kedua anak ini adalah anak kandung wanita yang duduk dengan aura angkuhnya.

Sama sekali tak tertarik dengan obrolan mereka tentang aturan, perjanjian, dan persetujuan, Arthfel memilih beranjak untuk berkeliling di ruangan.

Melihat beberapa judul buku yang sama sekali tak bisa ia baca. Semua buku lawas itu dicetak dengan Greek alphabet.

Tak membutuhkan waktu yang cukup lama hingga sang Ayah menjajarinya lantas menarik pergelangan tangan Arthfel.

Ceklek.

Pergelangan tangannya bernafas juga.

“Maaf, Ayah pergi.” Hanya kalimat itu yang terdengar sebagai pidato perpisahan.

Lantas Ayahnya pergi ketika melihat Arthfel mengangguk sebagai jawaban. Tanpa berniat mengantar, ia hanya diam menatap kepergian sang Ayah bersama wanita itu dan anak perempuannya.

“Gue Nolan.”

Oh lelaki ini bernama Nolan. batinnya.

“Ayo, gue anter lo ke kamar.” Sambungnya lagi.

Keduanya pergi dari ruangan yang disebut Ruang Kepala Sekolah itu dan pergi menuju kamar yang akan ditempati Arthfel selama ia disana.

About the rules….” Nolan menjeda kalimatnya. “Semua yang tertulis wajib lo patuhi if you don't wanna get punished

No need to scare me with punishment gue gak takut.” Sahut Arthfel.

Nolan dengan wajahnya yang dingin menghentikan langkahnya. Bertemu muka dengan Arthfel.

Are you sure?

“Ya.”

Nolan tersenyum miring. “Prepare yourself.

##Arthfel POV

I’m too emotional. Sebuah tamparan lagi-lagi mendarat di pipi gue. Beberapa saat sebelum tiga orang itu naik ke sebuah perahu mesin.

Wanita paruh baya, rupanya dia yang bertanggung jawab penuh atas tempat dengan nama Golgotha Safe Zone.

Mereka ngejemput gue karena nggak bisa sembarang orang masuk ke wilayah itu. Jujur gue gak tau itu tempat apa. Yang jelas gue berontak saat tau bahwa gue harus nyebrang lautan untuk sampai disana. Apa gue bilang?

A prison berkedok sekolah kepribadian. Gue gak bisa kontrol diri sendiri saat wanita paruh baya itu melontarkan beberapa kalimat yang gak bisa diterima oleh telinga gue.

“Bapak hanya bisa mengantar dan menjemput putra Bapak saat dia sudah menjadi pribadi yang lebih baik. Dan dengan persetujuan saya, akan saya lepaskan.”

Gue menggaris bawahi kalimat dia yang terakhir. Memangnya dia siapa? Dan memangnya gue apa sampai dia dengan lancangnya bilang akan ngelepasin gue? Harus dengan persetujuan dia? What the fuck?!

Tanpa berpikir, gue seketika meraih dan meremat kerah baju wanita itu. Oh? Kapan juga gue berpikir sebelum melakukan sesuatu? Seorang Arthfel harus berpikir sebelum bertindak? Haha in your dream.

“PERSETAN DENGAN PERSETUJUAN EMANG LO SIAPA NGATUR-NGATUR GUE?!” Ucap gue.

Tangan gue yang lain melayang, dan hampir gue ngerasa seneng bisa mukul wajahnya. Tapi gue kalah cepet sama Ayah yang langsung narik gue dan nampar pipi gue.

Sakit? Gue gak ngerasa sakit. Gue cuma mandang mereka bergantian. Dan mereka terlalu tenang untuk gue yang kesetanan.

Dan sekarang, gue duduk di atas perahu dengan kedua tangan terikat. Ralat. Bahasa gue terlalu baik menyebut ini sebuah ikatan. Nyatanya pergelangan tangan gue dibelenggu benda yang dibuat dari baja tahan karat. Ayah yang bawa borgolnya kemana-mana itu selalu berfungsi kala gue pergi sama dia.

Mata gue gak bisa lepas dari dua orang anak yang terus ngelihat kearah gue. Seorang perempuan, satu lagi laki-laki. Aneh, gue gak bisa ngelihat mereka.

Gue mendengus. “Why are you looking at me like that? Lo ngajakin duel?” Tantang gue.

“Arthfel! Shut up your mouth!”

“Kenapa? Ayah mau pasangin brangus juga?”

Plakkkk!!!

Shit. Gue dapet tamparan lagi. Orang tua satu ini rupanya sudah menjadikan ini sebagai hobi. Hobi menampar gue.

Kali ini gue ngerasa perih di sudut bibir. Rupanya tamparan kali ini made the corners of my lips torn.

Gue pastiin setelah sampai, i’ll destroy the place.

***

##Author POV

Kedua bola mata Arthfel bergerak kesana kemari. Kala ia turun dari perahu, dan pertama kalinya menapakkan kaki, ia mulai sibuk menelisik tempat ini.

Sebuah pulau di tengah lautan lepas, dan hanya ada satu perahu mesin yang ia naiki tadi sebagai transportasi menuju dermaga. Sepertinya ia tengah berfikir bagaimana caranya untuk bisa pergi tanpa harus menunggu persetujuan atau apalah itu.

Don’t expect too much. Lo beneran nggak bisa keluar dari sini sebelum waktunya.” Tukas lelaki yang bersama mereka tadi.

Arthfel hanya melempar tatapan tajam, tanda ia tak setuju dengan perkataan lelaki itu.

Berjalan beberapa meter dari bibir pulau, dua buah mobil sudah siap untuk mengantar mereka ke lokasi. Lantas tanpa menunggu perintah, Arthfel mendudukkan diri di mobil Jeep Willys samping kursi sopir.

Melewati jalanan yang sepi tanpa adanya rambu lalu lintas, hutan yang menghiasi sisi kanan dan kiri, juga beberapa rumah ukuran 3x3 yang memiliki jarak cukup jauh antar rumah.

Welcome to the Golgotha safe zone.

Begitu yang Arthfel baca di depan pagar. Dan sampailah mereka di tempat bernama Golgotha ini.

Sebuah sekolah kepribadian yang benar-benar jauh dari perkotaan. Satu-satunya bangunan yang berpenghuni di tengah pulau ini.

“Ayah can you open this shit?” Arthfel yang baru turun dari mobil langsung menghentikan langkah sang Ayah dengan mengangkat kedua tangannya tepat di wajah lelaki berumur 35 tahun itu.

This shit? I’ll open it when you’re.” Ayah mencengkeram borgol itu sembari mengendikkan dagunya. Lantas menurunkan tangannya hingga tangan Arthfel terhempas.

Mungkin maksudnya, Ayah akan membuka benda itu kala Arthfel sudah berada di dalam.

Arthfel mendengus tak percaya. Ia berdiam diri menatap punggung sang Ayah dengan wanita itu. Mereka berdua berjalan menaiki anak tangga untuk sampai ke pintu utama.

Jika bukan Ayahnya, mungkin Arthfel has done something bad pada lelaki itu.

“Masuk.” Titah seorang perempuan yang masih belum Arthfel ketahui nama dan kedudukannya.

Arthfel berdecak sebagai jawaban.

Di benak Arthfel, lumrah kalau ia membayangkan Golgotha adalah bangunan sekolah yang berlorong-lorong dengan ruang kelas yang seragam dan berderet satu sama lain. Gambaran dari sekolah pada umumnya, seperti saat dimana ia menimba ilmu.

Faktanya, Golgotha ini telah dibangun dengan desain interior bak Puri atau Kastel. Persis seperti bangunan pertengahan abad para bangsawan. Jika disamakan lagi, bangunan itu seperti Puri Windsor, kediaman Kerajaan Britania Raya.

Beberapa kali Arthfel tersenyum miring karena banyak pasang mata melihatnya dengan tatapan tidak suka. Sungguh lelaki itu tak peduli. Ia hanya terus berjalan di samping Ayahnya.

Ruangan yang cukup luas dan penuh dengan lemari buku, Arthfel berada saat ini. Ia duduk dengan sang Ayah. Berhadapan langsung dengan wanita itu dan dua anak yang membersamainya.

Arthfel simpulkan, kedua anak ini adalah anak kandung wanita yang duduk dengan aura angkuhnya.

Sama sekali tak tertarik dengan obrolan mereka tentang aturan, perjanjian, dan persetujuan, Arthfel memilih beranjak untuk berkeliling di ruangan.

Melihat beberapa judul buku yang sama sekali tak bisa ia baca. Semua buku lawas itu dicetak dengan Greek alphabet.

Tak membutuhkan waktu yang cukup lama hingga sang Ayah menjajarinya lantas menarik pergelangan tangan Arthfel.

Ceklek.

Pergelangan tangannya bernafas juga.

“Maaf, Ayah pergi.” Hanya kalimat itu yang terdengar sebagai pidato perpisahan.

Lantas Ayahnya pergi ketika melihat Arthfel mengangguk sebagai jawaban. Tanpa berniat mengantar, ia hanya diam menatap kepergian sang Ayah bersama wanita itu dan anak perempuannya.

“Gue Nolan.”

Oh lelaki ini bernama Nolan. batinnya.

“Ayo, gue anter lo ke kamar.” Sambungnya lagi.

Keduanya pergi dari ruangan yang disebut Ruang Kepala Sekolah itu dan pergi menuju kamar yang akan ditempati Arthfel selama ia disana.

About the rules….” Nolan menjeda kalimatnya. “Semua yang tertulis wajib lo patuhi if you don't wanna get punished

No need to scare me with punishment gue gak takut.” Sahut Arthfel.

Nolan dengan wajahnya yang dingin menghentikan langkahnya. Bertemu muka dengan Arthfel.

Are you sure?

“Ya.”

Nolan tersenyum miring. “Prepare yourself.

“Wahhhhh.” Suara Dery sembari menyibakkan rambutnya ke belakang.

“Gue gak kaget kalo dia anaknya Dejun, karna she has a golden voice.“ Tunjuknya.

“Dan sangat Kyra sekali yang tiap ngeliat cowo cakepan dikit udah….” Ujar Emma, selaku sahabat Kyra.

Hanya Lala yang tak banyak berkomentar sejak tadi. Kini ia merekahkan senyumnya, beranjak kearah Vania dan membuka kedua lengannya.

Memberi pelukan hangat seraya membisikkan kalimat yang mampu membuat Vania berkaca-kaca.

I’m grateful you’re still alive, thank you Vania.”

Vania tidak menangis. Ia malah tersenyum hingga kedua matanya menghilang.

Baik sahabat Dejun atau Kyra, semua berada di sini, duduk berkumpul untuk memastikan apa yang dikatakan Ten melalui panggilan telpon tadi benar adanya.

Dan ya, mereka cukup terkejut dengan kenyataan bahwa anak bernama Vania yang dulu sering bermain bersama mereka saat ia masih kecil, kini tumbuh menjadi gadis yang luar biasa.

Bukan hanya cantik, tapi juga pewaris suara indah dari Dejun.

Vania merasa semakin senang karena bukan hanya bertemu dengan sahabat Bunda dan Ayahnya. Tapi ia juga memiliki satu teman baru yang sejak tadi mengobrol dengannya.

Mahavir Bagaskara. Lelaki itu sudah membuat Vania nyaman karena topik pembicaraan mereka tak membosankan. Dan ya, obrolan mereka terpotong karena kedatangan Taeyong, Dery, beserta anaknya.

Kedatangan mereka menyita atensi Vania. Seorang lelaki dengan hoodie hitam membuat dahinya mengernyit. She thought she had seen it before but where?.

Oh my God ternyata masih melow-melow an disini.” Hafiz tiba-tiba datang, membuat Lala berdecak. “Ma, itu Vania bisa kehabisan napas kalo terus-terusan Mama peluk.”

“Derrrr your son.” Ucap Lala dengan melepas pelukannya pada Vania. Mengendikkan dagu kearah anaknya, Hafiz.

“Enggak, bukan anak gue.” Dery menggeleng cepat.

“Dihhh? Keren kamu begitu Pa?” Hafiz berkacak pinggang. Menyandarkan diri pada dinding ruang tamu berniat untuk menculik Vania dari para orang tua ini.

“Kenapa masih disini?”

“Pa, i’m not in the mood to talk to you.” Melengos. Sama sekali tak peduli dengan tatapan Dery yang kian menajam karena jawaban yang ia beri. “Ini Vania boleh Hafiz pinjem gak?”

“Mau ngapain? Udah kamu main dulu sama Bagas, Barra, hus hus!” Dery mengibas-ngibaskan tangannya.

“Ada yang mau meet and greet tapi private.” Ujar Hafiz cengengesan dengan menaik turunkan satu alisnya.

“Barra maksud kamu Fiz?!” Sahut Taeyong yang sangat mengerti anaknya. Ia terkekeh mendengar penuturan dari Hafiz.

—-

“Gimana? Capek ditanyain para orang tua?” Tanya Bagas kala Hafiz berhasil menculik Vania.

Gadis itu terkekeh dan mengangguk. “Iya tapi gue suka.”

Berada di kamar Bagas, Vania lebih dulu mengexplore setiap sudut ruangan. Dinding berwarna abu dengan beberapa gambar yang katanya hasil karyanya sendiri, dan banyak buku tertata rapi. Ada pintu kaca yang terhubung dengan taman samping rumahnya.

“Wahhh kak ini kamar lo beneran rapi banget.”

Don’t call me Kak.” Protesnya.

“Kan lo lebih tua dari gue?”

“Bagas lebih tua dari kita, tapi gue tetep panggil dia Bagas. Sebutan apa itu?” Tanya Hafiz.

Vania menggaruk pucuk kepalanya sembari mendudukkan diri di lantai beralas karpet halus.

“Mm, itu…. Kalo di Indo gitu, be polite to elders manggil yang lebih tua itu Kak or Kakak, like bro, sist.”

Bagas tertawa. “That rule doesn't apply here, Vania.”

Vania hanya mengendikkan bahu. Kemudian bola matanya berotasi pada lelaki yang dari tadi tak mengeluarkan suara. Ia hanya mendengarkan yang lain berbicara tanpa berniat untuk masuk dalam pembicaraan.

Your name?”

Pertanyaan Vania berhasil membuat Hafiz dan Bagas menoleh kearah Barra yang tengah melepas hoodienya.

Keduanya bertemu tatap. “Barra.” Jawabnya singkat.

Hafiz tak dapat menahan tawanya lagi. Sontak ia tertawa karena sikap dingin Barra yang bertolak belakang dengan dirinya kala memuja Vania dibalik layar.

Barra is your fans.” Tukas Bagas.

“Iya? Wahhhh.” Vania bertepuk tangan sebelum mengulurkan tangannya. “Halo, aku Vania, your idol.” Sembari memamerkan jajaran gigi putihnya.

Barra tersenyum, lantas meraih tangan Vania untuk berjabat tangan.

“Butuh waktu buat berdua gak?” Goda Bagas.

“Kurang peka ni anak. Sini lo!” Hafiz sudah beranjak dari duduknya, menghampiri Bagas untuk membawanya keluar ruangan.

“BARRAAA LO UTANG TERIMA KASIH KE GUE!” Teriak Bagas sebelum pintu kamarnya tertutup.

Kini hanya Vania dan Barra yang ada di dalam kamar. Mereka berdua tampak canggung. Jelas saja? Siapapun yang ada di posisi Barra saat ini juga bingung apa yang harus dilakukan di depan idolanya.

Once again, he’s alone with Vania…. His idol.

Sorry itu temen-temen gue rada—“

“Gak papa!” Potong Vania dengan seulas senyum.

“Berapa lama di Swiss?”

“Satu bulan. Gue cuma punya waktu satu bulan buat liburan disini.”

Barra mengangguk.

“Sewa guide?”

Vania menggeleng. “Hehe enggak. Mau jelajah sendiri aja, ada gmaps kok.”

“Mau gue temenin?”

Vania terhenyak. Kedua manik hitam mereka bertemu. Semakin mencoba menelisik paras Barra, semakin berdegup kencang pula jantungnya.

Ah sudahlah, itu hal biasa bagi Vania.

Tersenyum. “Boleh.” Jawabnya sembari menganggukkan kepala.

Lawannya ikut tersenyum.

“Kalo gitu gue minta nomer lo.” Vania menyerahkan ponselnya pada Barra.

Barra cukup terkejut karena rupanya sesingkat itu Vania bisa mempercayai orang yang masih terbilang asing.

“Barra….” Vania mengetikkan nama kontak usai lelaki itu mengembalikan ponselnya.

“Gue kayak pernah tau nama lo dimana ya?” Menurunkan ponsel seraya melempar tatapan pada Barra.

You DM me Vania.” Barra terkekeh.

“Hah really?”

Kini Barra yang menunjukkan DM room kala Vania tiba-tiba mengiriminya sebuah DM.

Vania masih terbelalak dengan kedua tangan menutup bibirnya. “Ihhh gila sumpahhh? Yah gue jadi malu.”

Berlanjutlah obrolan mereka hingga tak ada lagi kecanggungan diantara keduanya.

“Wahhhhh.” Suara Dery sembari menyibakkan rambutnya ke belakang.

“Gue gak kaget kalo dia anaknya Dejun, karna she has a golden voice.“ Tunjuknya.

“Dan sangat Kyra sekali yang tiap ngeliat cowo cakepan dikit udah….” Ujar Emma, selaku sahabat Kyra.

Hanya Lala yang tak banyak berkomentar sejak tadi. Kini ia merekahkan senyumnya, beranjak kearah Vania dan membuka kedua lengannya.

Memberi pelukan hangat seraya membisikkan kalimat yang mampu membuat Vania berkaca-kaca.

I’m grateful you’re still alive, thank you Vania.”

Vania tidak menangis. Ia malah tersenyum hingga kedua matanya menghilang.

Baik sahabat Dejun atau Kyra, semua berada di sini, duduk berkumpul untuk memastikan apa yang dikatakan Ten melalui panggilan telpon tadi benar adanya.

Dan ya, mereka cukup terkejut dengan kenyataan bahwa anak bernama Vania yang dulu sering bermain bersama mereka saat ia masih kecil, kini tumbuh menjadi gadis yang luar biasa.

Bukan hanya cantik, tapi juga pewaris suara indah dari Dejun.

Vania merasa semakin senang karena bukan hanya bertemu dengan sahabat Bunda dan Ayahnya. Tapi ia juga memiliki satu teman baru yang sejak tadi mengobrol dengannya.

Mahavir Bagaskara. Lelaki itu sudah membuat Vania nyaman karena topik pembicaraan mereka tak membosankan. Dan ya, obrolan mereka terpotong karena kedatangan Taeyong, Dery, beserta anaknya.

Kedatangan mereka menyita atensi Vania. Seorang lelaki dengan hoodie hitam membuat dahinya mengernyit. She thought she had seen it before but where?.

Oh my God ternyata masih melow-melow an disini.” Hafiz tiba-tiba datang, membuat Lala berdecak. “Ma, itu Vania bisa kehabisan napas kalo terus-terusan Mama peluk.”

“Derrrr your son.” Ucap Lala dengan melepas pelukannya pada Vania. Mengendikkan dagu kearah anaknya, Hafiz.

“Enggak, bukan anak gue.” Dery menggeleng cepat.

“Dihhh? Keren kamu begitu Pa?” Hafiz berkacak pinggang. Menyandarkan diri pada dinding ruang tamu berniat untuk menculik Vania dari para orang tua ini.

“Kenapa masih disini?”

“Pa, i’m not in the mood to talk to you.” Melengos. Sama sekali tak peduli dengan tatapan Dery yang kian menajam karena jawaban yang ia beri. “Ini Vania boleh Hafiz pinjem gak?”

“Mau ngapain? Udah kamu main dulu sama Bagas, Barra, hus hus!” Dery mengibas-ngibaskan tangannya.

“Ada yang mau meet and greet tapi private.” Ujar Hafiz cengengesan dengan menaik turunkan satu alisnya.

“Barra maksud kamu Fiz?!” Sahut Taeyong yang sangat mengerti anaknya. Ia terkekeh mendengar penuturan dari Hafiz.

—-

“Gimana? Capek ditanyain para orang tua?” Tanya Bagas kala Hafiz berhasil menculik Vania.

Gadis itu terkekeh dan mengangguk. “Iya tapi gue suka.”

Berada di kamar Bagas, Vania lebih dulu mengexplore setiap sudut ruangan. Dinding berwarna abu dengan beberapa gambar yang katanya hasil karyanya sendiri, dan banyak buku tertata rapi. Ada pintu kaca yang terhubung dengan taman samping rumahnya.

“Wahhh kak ini kamar lo beneran rapi banget.”

Don’t call me Kak.” Protesnya.

“Kan lo lebih tua dari gue?”

“Bagas lebih tua dari kita, tapi gue tetep panggil dia Bagas. Sebutan apa itu?” Tanya Hafiz.

Vania menggaruk pucuk kepalanya sembari mendudukkan diri di lantai beralas karpet halus.

“Mm, itu…. Kalo di Indo gitu, be polite to elders manggil yang lebih tua itu Kak or Kakak, like bro, sist.”

Bagas tertawa. “That rule doesn't apply here_, Vania.”

Vania hanya mengendikkan bahu. Kemudian bola matanya berotasi pada lelaki yang dari tadi tak mengeluarkan suara. Ia hanya mendengarkan yang lain berbicara tanpa berniat untuk masuk dalam pembicaraan.

Your name?”

Pertanyaan Vania berhasil membuat Hafiz dan Bagas menoleh kearah Barra yang tengah melepas hoodienya.

Keduanya bertemu tatap. “Barra.” Jawabnya singkat.

Hafiz tak dapat menahan tawanya lagi. Sontak ia tertawa karena sikap dingin Barra yang bertolak belakang dengan dirinya kala memuja Vania dibalik layar.

Barra is your fans.” Tukas Bagas.

“Iya? Wahhhh.” Vania bertepuk tangan sebelum mengulurkan tangannya. “Halo, aku Vania, your idol.” Sembari memamerkan jajaran gigi putihnya.

Barra tersenyum, lantas meraih tangan Vania untuk berjabat tangan.

“Butuh waktu buat berdua gak?” Goda Bagas.

“Kurang peka ni anak. Sini lo!” Hafiz sudah beranjak dari duduknya, menghampiri Bagas untuk membawanya keluar ruangan.

“BARRAAA LO UTANG TERIMA KASIH KE GUE!” Teriak Bagas sebelum pintu kamarnya tertutup.

Kini hanya Vania dan Barra yang ada di dalam kamar. Mereka berdua tampak canggung. Jelas saja? Siapapun yang ada di posisi Barra saat ini juga bingung apa yang harus dilakukan di depan idolanya.

Once again, he’s alone with Vania…. His idol.

Sorry itu temen-temen gue rada—“

“Gak papa!” Potong Vania dengan seulas senyum.

“Berapa lama di Swiss?”

“Satu bulan. Gue cuma punya waktu satu bulan buat liburan disini.”

Barra mengangguk.

“Sewa guide?”

Vania menggeleng. “Hehe enggak. Mau jelajah sendiri aja, ada gmaps kok.”

“Mau gue temenin?”

Vania terhenyak. Kedua manik hitam mereka bertemu. Semakin mencoba menelisik paras Barra, semakin berdegup kencang pula jantungnya.

Ah sudahlah, itu hal biasa bagi Vania.

Tersenyum. “Boleh.” Jawabnya sembari menganggukkan kepala.

Lawannya ikut tersenyum.

“Kalo gitu gue minta nomer lo.” Vania menyerahkan ponselnya pada Barra.

Barra cukup terkejut karena rupanya sesingkat itu Vania bisa mempercayai orang yang masih terbilang asing.

“Barra….” Vania mengetikkan nama kontak usai lelaki itu mengembalikan ponselnya.

“Gue kayak pernah tau nama lo dimana ya?” Menurunkan ponsel seraya melempar tatapan pada Barra.

You DM me Vania.” Barra terkekeh.

“Hah really?”

Kini Barra yang menunjukkan DM room kala Vania tiba-tiba mengiriminya sebuah DM.

Vania masih terbelalak dengan kedua tangan menutup bibirnya. “Ihhh gila sumpahhh? Yah gue jadi malu.”

Berlanjutlah obrolan mereka hingga tak ada lagi kecanggungan diantara keduanya.

“Sini.” Ujar Sungchan seraya menepuk kursi di sebelahnya kala Vania berjalan mendekat.

Beberapa makanan sudah siap di meja makan, namun tetap saja minuman yang ada di atas meja hanya infus water.

Vania yang sudah duduk di samping Sungchan itu nyalinya langsung menciut karena takut tak diberi ijin oleh Pamannya.

Membayangkan ia sudah membuat list rapi untuk tempat-tempat yang ingin ia kunjungi. Wahana yang ingin ia coba, makanan dan minuman yang ingin ia cicipi. Ah, memang tidak baik berharap berlebihan.

Padahal Vania jauh-jauh hari sudah percaya diri akan tetap memaksa jikalau Sungchan tak mengijinkan. Tapi apa ini? Tiba-tiba saja rasa percaya dirinya menghilang.

“Sambil makan Nya.” Titah Sungchan karena Vania hanya memandangi piringnya.

“Iya Om.” Jawabnya sembari meraih sendok dan garpu.

Selama mereka sarapan, tak ada pembicaraan, mereka berdua diam dan fokus menghabiskan makanan. Setelah piring mereka kosong, barulah Sungchan memberikan banyak sekali pertanyaan.

“Mau liburan berapa lama?”

“Sebulan Om.”

“Kemana aja?”

“Ya Vania udah bikin list, mau ke Basel, Lugano, Ticino, Zermatt.” Vania hanya menyebutkan itu saja padahal di dalam list banyak sekali tempat yang akan ia kunjungi selama sebulan.

Sungchan mengangguk. “Villanya daerah mana?”

Kini Vania membuka ponsel dan menggulirnya. Mencari bukti transaksi dan pemesanan Villa yang akan ia tempati. Lantas menunjukkan pada Sungchan.

Sungchan tercengang. “Badrutt’s Palace….” Kedua bola matanya membulat.

“500 juta hanya untuk penginapan Nya? Yang bener aja kamu.”

“Namanya aja sebulan Om. Kalo sehari dua hari harganya sama kayak villa ini.”

Lelaki itu memijat pelipisnya serta meletakkan ponsel milik Vania di atas meja. Matanya terpejam, tanda ia sedang berfikir untuk memberi keputusan pada keponakan yang sudah ia anggap anak sendiri itu.

“Vania janji bisa jaga diri. Kalo perlu 24 jam bakal kasih kabar ke Om, sering-sering nelpon Om juga. Sering kasih kabar ke Danial juga deh.”

“Serius Vania cuma pengen liburan disini, ya itung-itung Vania disini karena Bunda sama Ayah yang pengen liburan kesini lagi bareng Vania, tapi semesta….”

Ucapan Vania terpotong karena Sungchan menyela.

“Iya Om ijinin. Om gak bisa ngelarang kamu apalagi udah book villa yang harganya….” Sungchan menghela.

“SERIUS?????” Saking terkejutnya, Vania sampai beranjak dengan senyumnya yang tengah merekah.

“Iya serius, tapi—“

Sungchan terkejut karena Vania tiba-tiba menabrakkan tubuhnya untuk memberikan pelukan.

“Om makasihhhhh.” Ujar Vania yang semakin mengeratkan diri.

Sungchan tersenyum. Tangan kirinya menepuk pelan punggung Vania, sedang tangan yang lain mengusap surai hitamnya.

“Iya sama-sama.”

Vania menjauhkan diri. “Vania janji bakal jaga diri baik-baik!” Melayangkan jari kelingking pada Sungchan.

Terkekeh. “Awas aja ye lu Nya kalo berulah.” Menautkan jari kelingking.

Senyum yang terpampang jelas di wajah Vania membuat Sungchan seperti melihat sang Kakak pada diri Vania. Ia selalu saja berhasil mengingatkan Sungchan pada Kyra.

Pada Kakak yang selalu tersenyum seperti ini, persis seperti Vania.

“Terus kalo kamu sendirian disini, gimana mau jalan-jalan? Sewa tour guide?”

Vania menggeleng.

“YA TERUS?!”

“Tenang Om, Vania punya kenalan.” Dengan bangganya ia menyombongkan diri. “Tau gak drummer Vania kemaren? Ternyata dia temennya Bunda sama Ayah.”

“SIAPA?!”

“Eh kok Vania lupa tanya nama ya…. Om mau ketemu?”

Sungchan mengangguk. “Iya boleh.”

“Vania coba hubungi dulu.”

Apakah ada kata lain dari ‘indah’ yang melebihi kata itu sendiri? Sungguh Barra lagi-lagi ingin memuji perempuan yang saat ini tengah mengalunkan lagu ma chérie sebagai lagu penutup.

Netra hitamnya tak lepas dari makhluk ciptaan Tuhan yang indah itu. Dari tadi rasanya ia tak ingin mengerjapkan mata hanya karna takut melewatkan sedetik rupa indah Vania.

Sorakan dari penonton dan tepuk tangan meriah seketika menggema. Tak terkecuali Bagas dan Hafiz yang sampai memberikan standing applause di bangku VVIP.

Ketika Vania akan turun panggung, ia berjalan mengitari panggung untuk sekedar membungkukkan badan dan memberi senyumannya yang cerah sebagai tanda penghormatan dan terima kasih atas antusias para penggemarnya.

Barra terkesiap kala perempuan itu berada tepat di hadapannya. Demi Tuhan rasanya jantung Barra siap untuk melompat keluar, hanya saja ia masih bisa mempertahankan sikapnya yang tenang meski di dalam hatinya ia sedikit berlebihan.

Kedua netra hitam mereka bertemu. Barra membeku tak mengerjap beberapa saat. Tubuhnya semakin terdorong ke depan akibat penonton yang berebutan ingin menjabat tangan penyanyi itu. Menyadarkannya, dan dengan percaya diri, Barra mengulurkan tangan. Berharap ia pun bisa berjabat tangan dengan sang idola.

And dang! Barra’s wish came true.

Vania meraih tangan kiri Barra dengan tangan kanannya. Seperkian detik melempar seulas senyum hingga kemudian ia meninggalkan panggung.

Pretty as hell.” ucap seorang Barra yang masih tertegun.

Terlihat kedua temannya menyoraki dirinya dari bangku VVIP. Tak kalah heboh Ayahnya pun bersiul kearah Barra, hingga sang Anak tersenyum memamerkan jajaran gigi rapinya.

Mungkin setelah ini Barra akan menjadi bahan bercandaan oleh Bagas dan Hafiz. Tentu saja jangan lupakan orang tua mereka yang akan berpartisipasi untuk itu.

Vania lagi-lagi menghela nafas kala dirinya baru saja masuk cabin pesawat. Ia hanya berdua bersama Sungchan, sedang kru yang lain tampaknya sudah berada di Zurich.

Dengan wajah terlipat, gadis itu menghempaskan tubuhnya di kursi dan menatap keluar jendela. Ah tempat duduknya berada di belakang area sayap sehingga ia bisa melihat sayap kiri pesawat Air France, maskapai nasional terbesar di Prancis.

Ya, Vania tuntas dengan konsernya di Paris satu hari yang lalu. Dan di hari lain ia ingin beristirahat dengan memandangi Menara Eiffel dari jarak dekat. Namun itu cukup merepotkan Sungchan, mengingat Vania adalah singer yang sudah memiliki ‘nama’ mengharuskan Sungchan untuk bekerja ekstra dalam menghadapi bermacam fans keponakannya itu.

“Udah gak usah manyun-manyun.” Sungchan menginterupsi.

Mendengus. Melipat kedua tangannya di dada. “Habisnya Om tuh! Vania masih ngerasain jetlag demi apapun pengennya naik bis aja ke sana tapi malah naik pesawat lagi!”

Sungchan malah terkekeh mendengar penuturan Vania yang menggambarkan anak kecil sekali. Padahal keponakannya itu sudah remaja dan beranjak dewasa.

“Et dah elu pikir gua mau gitu naik bis 20 jam?” Sinis Sungchan yang langsung membuat Vania terbelalak.

“Wihhhh Om beneran 11 12 kayak Danial!” Ujar Vania karena takjub Pamannya itu bisa menirukan gaya bicara Danial.

“Yeeee emang gue bapaknya gimana sih.”

“Iya sih.” Manggut-manggut. “Ah tetep aja Vania masih ngambek sama Om!”

Ia kembali menatap keluar jendela dan beberapa saat kemudian pesawat lepas landas.

Tepat pukul 17:40 Waktu Eropa Tengah mereka sampai di Bandara ZRH Zurich, satu jam sebelum matahari terbenam.

Sungchan menghela nafas panjang ketika mereka berjalan menuju pintu keluar. Lelaki itu lagi-lagi harus siap berjaga seorang diri, karena ya, Vania tidak mau ada bodyguard atau apalah itu yang menurutnya malah sangat mengganggu dirinya.

Vania yang supel, ramah, dan welcome pada semua orang lebih memilih meladeni penggemarnya yang ada di sana. Ah mungkin efek dari ia yang tak memiliki banyak teman, karena hanya Danial dan Talitha saja yang ada di sekitarnya.

“Om pokoknya jangan ngebatesin Vania buat chit chat sama fans fans aku.” Peringat Vania.

“Kenapa malah galakan kamu sih? Om ini lebih tua dari kamu loh.” Protes Sungchan.

“Gak usah bawa-bawa umur deh Om. Emang Om mau kalo Vania jadi perawan tua?”

“Kali aja kan dapet orang sini, memperbaiki keturunan.” Gumam Vania lirih yang sedikit terdengar di telinga Sungchan.

Oke, Sungchan tau apa maksud dari keponakannya itu. Tak lain dan tak bukan, oh common! she is the daughter of Kyra, Kakak kandungnya, the offspring of a girl whose eyes can’t blink when she sees a handsome boy. Sudah jelas kan? Buah jatuh tak jauh dari pohonnya!

“Om, nih Vania bilangin ya. Vania tuh cantik gitu kan? Jadi it’s okay lah Om kalo banyak fanboy wanna take selca with me?” Vania mengangkat kedua bahu dengan dramatis disertai rolling eyes.

Sungchan berdecih. “Sangat Kyra sekali.”

Tak lama mereka berjalan, suara sorakan mulai terdengar di telinga Vania. Gadis itu tersenyum senang, ada rasa bahagia kala dirinya bisa bertemu dengan penggemarnya. Terutama fanboy ya oke memang ‘sangat Kyra sekali’.

Benar saja, Sungchan seketika merangkul Vania supaya keponakannya tetap berada dekat dengannya. Namun gadis itu tetap bersih keras untuk memberikan fan service pada mereka.

Berfoto, memberikan tanda tangan. Oh Tuhan rasanya Sungchan ingin menenggelamkan keponakannya saja karena Vania seketika lepas dari jangkauannya sekarang.

Sungchan melihat Vania ditarik kesana kemari. Wow lebih brutal dari pada penggemar di negara lainnya. Ia mencoba menerobos kerumunan penggemar. Padahal tinggal beberapa langkah lagi mereka bisa masuk ke dalam mobil yang sudah bersiap menjemput di pintu keluar.

Vania kebingungan. Lama-lama ia pusing sendiri karena banyak dari mereka yang meminta foto dengan menyalakan flash pada kamera. Meski sudah terbiasa, tapi entah mengapa hari ini kepalanya berkunang-kunang ketika mendapati sorotan cahaya kelap kelip dari kamera.

Excuse me, i have to go, sorry.” Ujarnya dengan benar-benar memohon dan mencoba menghentikan mereka.

Mereka tak mendengar.

“Ommmmm!!!!” Teriak Vania dengan melambai ke arah Sungchan yang masih mencoba menerobos kerumunan.

Sorry i have to go.” Kini suaranya lebih melengking.

Gosh mereka tidak ada yang mau mendengarkan. Rasanya Vania ingin menangis saja. Tubuhnya semakin terhimpit.

Bunda please tolong Vania please please huhu Ayahhhhh ini gue berasa mau di makan zombie.

Sepertinya kedua orang tua Vania telah bersujud dan memohon pada Tuhan agar mau membantu anaknya keluar dari lautan manusia yang kelaparan. Kelaparan akan fan service maksudnya.

Vania mendengar suara baritone dari belakang. Ia merasa punggungnya menempel pada dada seseorang. Satu lengan tangannya meraih bahu Vania, sedang lengan kiri orang itu sedikit membuka kerumunan.

Tut mir leid, dass sie gehen muss!” (Maaf, dia harus pergi)

Oh lelaki itu memakai bahasa Jerman yang tak ia mengerti artinya.

Sorry.” Ucapnya saat Vania menoleh dan terlonjak akibat sikapnya yang tiba-tiba datang meraih bahu Vania.

Vania mengerti. Lelaki ini ingin membantunya untuk pergi dari kerumunan. Terbukti saat lelaki itu melindungi Vania dan berhasil masuk ke dalam mobil jemputan.

Lelaki dengan hoodie hitam dan kepala yang ia lindungi dengan tudung, menarik perhatian Vania. Total. Karena ia seorang lelaki yang lebih mengejutkannya lagi, ia sempat memakai bahasa Indonesia saat Vania hendak masuk ke mobil.

”Hati-hati”

Begitu ucapnya. Vania belum sempat berterima kasih karena ia lebih dulu ditarik oleh Sungchan untuk segera masuk mobil.

Tentu saja Pamannya itu marah, terbukti ketika ia menutup pintu mobil dengan sangat keras.

Vania masih memperhatikan ke belakang, karena lelaki itu melepas hoodienya, berjalan mendekati mobil yang terparkir di sana. Sayang sekali, ia memakai masker, Vania tak bisa melihat wajahnya.

image

Ctakk!

“Awwwwww!”

Sungchan baru saja menjitak dahi Vania. Tenang saja, itu sudah jadi kebiasaan Sungchan ketika ia kesal pada keponakannya.

“Sakit Ommmmm, ish.” Mengusap dahi. “Dasar Om galak!”

Sungchan hanya mengibas-ngibas tangan ke arah Vania sembari menyamankan posisi duduknya dan memejamkan mata. Seolah berkata yaaaa terserah gue udah capek.

Vania being Vania, yang tiba-tiba tersenyum simpul. Mengingat kejadian di Bandara bersama seorang lelaki yang ia duga memiliki paras yang tampan.

Bagaimana lelaki itu melindungi dirinya, menyelamatkannya dari banyaknya penggemar, dan beruntunglah Vania masih dalam keadaan yang utuh.

“Nggak usah ngarep dehhh.” Celetuk Sungchan. “Ini dunia nyata, bukan sinetron.”

“Jodoh gak ada yang tau Om.”

“Ya. Gak tau aja dibalik masker mukanya burik.”

“Yeee Om sirik aja deh.”

“Mending kamu hubungi Danial sana, Om capek dari tadi dia nelfon tapi sengaja gak Om angkat.”

Vania tersenyum dengan sejuta ide yang terbesit di pikirannya. “Oke.”

***

Lelaki dengan outfit serba hitamnya itu menghela nafas panjang. Meraih botol air mineral yang selalu ia bawa di mobil. Melepas masker, kemudian meneguk botolan air yang ada di genggamannya hingga seluruh dahaga menghilang.

“Hhhhhh.”

Ia merasakan semilir ac mobil menari-nari di permukaan kulit. Mengatur nafasnya yang tidak beraturan dengan sesekali mendengus.

Oh God. Jantungnya saja serasa akan loncat keluar. Bisa-bisanya ia baru sekarang merasa jantungnya berdegup sangat kencang. Padahal tadi saat merangkul gadis itu, ia biasa saja dan kejadian itu sama sekali tak pernah terpikir sebelumnya. Ia sangat nekat mengambil keputusan.

“Barra sadar Barr….” Gumamnya.

Ohhhh common!!! Tapi itu Vania?!”

Barra menjatuhkan kepalanya dan membenturkan pelan di setir mobil yang ia genggam dengan erat.

Ya, lelaki yang menyelamatkan Vania dari kerumunan penggemar tadi adalah Barra. Tunggu! Jangan berfikiran jika ia adalah sasaeng fans. Kalian salah.

Barra kebetulan pergi ke Bandara untuk mengantar teman kampusnya itu pulang ke China. Temannya banyak dari penjuru dunia, karena Barra saja mengenyam pendidikan di kampus elit dan ternama. Jangan heran juga jika ia mampu menguasai beberapa bahasa.

Oke cukup sampai disini.

Kala Barra kembali ke tempat dimana ia memarkirkan mobil, tanpa sengaja pandangannya berpendar pada banyaknya manusia di sekitar pintu keluar.

Awalnya ia tak peduli, don't care at all sebelum akhirnya salah satu dari mereka meneriaki nama Vania. Barra yang tadinya ingin segera pulang, mengurungkan niatnya untuk menunggu apakah benar Vania yang dimaksud mereka adalah Vanianya.

(Vanianya).

Benar saja tak lama gadis dengan turtleneck black sweater menampakkan diri. Dengan wajah berseri dan senyum cerah, Barra merasa darahnya berdesir merangkak naik di wajahnya.

Cantik.

Atau sangat cantik.

Apapun yang melebihi kata ‘cantik’.

Vania yang selalu ia lihat di tv, yang selalu Barra agungkan kemerduan suaranya, yang selalu menjadi one and only light of his life. Terdengar berlebihan, tapi itu yang Barra rasa.

Lelaki itu mematung cukup lama hanya dengan memperhatikan Vania dari jauh. Sebelum akhirnya ia melihat gadis itu semakin terhimpit dengan wajah menegang. Seperti terlukis rasa takut.

Tanpa berpikir panjang, dengan susah payah Barra menerobos kerumunan itu dari arah belakang Vania. Tak lupa pula tudung hoodienya ia pakai untuk melindungi dirinya sendiri dari kamera.

“Aarrrhhhh driving me crazy!!”

Barra yang masih sibuk merutuki diri tak sadar bila ponselnya berdering sejak tadi. Atau memang sengaja ia membiarkan ponselnya berdering nyaring.

“Sekarang apalagi….”

Barra meraih ponsel yang ia geletakkan di kursi penumpang.

“Hai Pa?”

”You’ve been gone for so long, Barra Rafeyfa Zayan.”

Barra menghela. “Ini mau pulang Paaaaa lagian Barra gak kemana-mana.”

”Gak kemana-mana apanya?! Hampir 10 jam kamu diluar rumah Barra.”

Suara Taeyong terdengar cukup melengking hingga Barra sedikit menjauhkan ponselnya.

“Iya Pa iya ini Barra pulang, kepalaku sakit Pa.”

”Why?!?!!! Don’t drive then! Kamu dimana? Papa jemput.”

“Nggak Pa, Barra—“

”Papa bilang jangan nyetir kalo kepala kamu sakit! Jangan ngedahuluin ajal lu ah! Shareloc cepet.”

“Bukan sakit itu Pa maksudnya—bukan beneran sakit.”

”Huh? What do you mean?”

“Barra pusing, abis ketemu bidadari. Barra kayak lagi ngelihat surga.”

Terdengar suara Taeyong menghela di seberang sana.

”Kamu kayaknya bukan anak Papa deh, Papa gak pernah se-hiperbola gitu.”

“Nyawa Barra masih ngapung Pa.”

”Astaga cepat pulang Barra anakku.”

“Pa…. Cantik banget, Mama aja kalah can—“

Tutttttt

Tutttttt

Tutttttt

Belum selesai Barra berbicara, Taeyong sudah memutus panggilan. Ya gimana? Taeyong sepertinya lelah mendengar kalimat hiperbola dari Anaknya.

“Ya elah harusnya tanya dong Pa siapa gitu yang gue temuin?”

“Bangga lu ah pasti.”

Kini Barra tertawa. “Ya kali gak bangga? Anakmu ini penyelamat one of the hundred greatest singers of all time in 2021 Papa!”

Jakarta, Februari 2022

Sinar mentari tadi pagi berhasil tertutupi oleh awan keabuan di langit yang kian gelap. Gemuruh lirih terdengar sahut menyahut di atas sana. Angin bergerak beraturan menerpa sisa dedaunan kering.

Berpakaian serba hitam, seorang gadis tengah menaburi bunga mawar, bougenvile, dan rajangan daun pandan di dua gundukan tanah menghadap arah timur.

Duduk tanpa alas di atas tanah, ia melipat kedua kakinya untuk memposisikan diri dengan nyaman. Tak berhenti menatap kedua gundukan tanah segar dengan selimut abadi mereka.

Vania menurunkan masker hitamnya, tersenyum kearah mereka.

“Bunda…. Ayah….”

“Gimana kabar kalian?”

“Barusan om Sungchan cerita apa ke kalian? Beneran Vania nggak nyusahin om kok….”

“Danial juga gak cerita macem-macem kan Bun? Yah? Kalo sama dia emang sering berantem sih, tapi ya Danial itu ngeselin Bun.”

Gadis itu menggerutu di depan makam kedua orang tuanya. Parasnya yang cantik tak berubah meski saat ini beberapa buliran air mata jatuh tiba-tiba. Kedua matanya mulai memerah kala air matanya tumpah.

Senyumnya sirna mengingat ia seorang diri diberi kehidupan kedua oleh Tuhan. Tepat 19 tahun yang lalu kejadian tragis yang merenggut nyawa kedua orang tuanya. Dan selalu di hari ini gadis itu menangis ketika mengunjungi makam Dejun dan Kyra.

“Tuhan baik Yah, Bun, bisa kasih aku kehidupan kedua.”

“Eyyy tenang, Vania tetep ada yang jaga kan, ada om Sungchan sama Danial, Kakek juga masih hidup.”

“Kata om Sungchan, Vania itu artinya hadiah dari Tuhan ya? Pantes aja Tuhan baik karena kasih kesempatan buat Vania biar bisa ceritain cerita kalian berdua yang….”

Mendengus. Pandangannya turun ke bawah sembari mengusap pipinya yang basah. Menyibakkan anak-anak rambutnya yang tertiup-tiup angin.

“Yah kamu harus bangga sama Vania karena bikin lagu yang menceritakan kalian berdua.”

“Kisah cinta dua insan yang saling mencinta hingga akhir hidup.”

Vania sesenggukan memamerkan bakatnya. Meski kedua mata indahnya tak henti mengeluarkan air mata, bibir ceri Vania tetap melengkungkan senyum hingga terlihat sangat cantik meski ia sedang menangis.

“Ayah sama Bunda mau denger lagu Vania?”

Gadis itu merogoh ponsel yang ada di saku jaketnya. Mengeluarkan untuk kemudian memutar lagunya yang berjudul _ ma chérie_.

Alunan musik piano dan gitar, menyatu dengan suara indah yang dimiliki Vania. Gadis itu memejamkan mata, mendengarkan sembari membayangkan bagaimana Ayah dan Bundanya dulu menjalin kasih.

Ia hanya mendengar cerita dari Sungchan, namun dari cerita Pamannya saja ia sudah bisa merasakan betapa besar perasaan keduanya.

Sayang, Vania tak bisa mengingat sedikit kenangan yang mereka rajut dalam Semesta kecil mereka.

Musik berhenti. Vania membuka mata perlahan, kemudian kembali mengantungi ponselnya.

“Terus Yah, Bun, Vania punya konser tunggal loh! Ini pertama kalinya! Di lima negara.” Sembari melayangkan kelima jarinya yang terbuka.

“Wahhhhh andai aja Ayah sama Bunda masih hidup dan bisa ikut Vania keliling lima negara, seru kayaknya ya?”

Lantas Vania menggeleng cepat. “Gak boleh Vania, ini udah takdir. Gak boleh ada kata ‘andai’.”

Ia menggeser duduknya mendekati batu nisan. Kedua tangannya mengusap bersamaan batu nisan milik Dejun juga Kyra. Lantas memeluk satu per satu bergantian.

“Vania harus bersyukur Tuhan kasih kesempatan kedua, meskipun Ayah sama Bunda gak disini.”

“Tau gak tau gak.” Vania menyeka wajahnya yang basah. “Vania bakal ke Swiss lohhhhhh. Kata om Sungchan, itu tempat Ayah sama Bunda ngebikin aku ya?”

Vania tertawa.

“Aku juga baca buku kuningnya Ayah. Maaf ya Ayah Vania gak ijin dulu.”

“Tulisan Ayah indah, Vania tau negara yang diimpikan Bunda tuh di Swiss karena buku Ayah juga. Apa aku pindah kesana aja ya?”

“Kayaknya kalo aku pindah ke Swiss si Danial itu bakal kangen sama aku deh.” Ucapnya sembari tertawa lagi.

“Apaan? Gak ada!”

Tak terdengar suara langkah kaki, namun tiba-tiba lelaki yang baru saja menjadi topik pembicaraan Vania itu muncul hingga membuat lawannya terjingkat kaget. Pasalnya Danial datang dari belakang tubuh Vania.

“Bunda, Ayah, jangan dengerin Kakak. Danial gak bakal kangen sama dia lah.” Ujar Danial sembari menjongkokkan diri.

Vania yang sudah berbalik badan itu mengernyit kala mendengar Danial memanggilnya dengan sebutan ‘Kakak’. Dimana ia selalu menolak saat Sungchan mnyuruhnya memanggil Vania dengan sebutan itu.

“Tuh Bun, Yah, dia caper banget kan. Gak pernah dia panggil Vania pakek Kakak.” Tunjuknya.

Danial menggeleng. “Fitnah Bun fitnah.”

Baiklah kini mereka berdua malah bertengkar dan tak mau kalah di depan makam Dejun dan Kyra.

Vania memandangi kembali dua gundukan tanah itu beberapa saat. Jari telunjuknya menggores-gores tanah membuat tulisan yang selalu ia tinggalkan sebelum ia beranjak pergi.

Vania rindu.

Hanya dua kata saja. Danial pun meninggalkan jejaknya juga yang selalu berhasil membuat gadis itu kembali menangis dengan setengah tertawa.

We miss you too.

Bukan tanpa alasan Danial meninggalkan kalimat itu. Beberapa tahun lalu, lelaki itu menenangkan tangis Vania dengan caranya.

”Vania tulis aja kalo lagi rindu, pasti Bunda sama Ayah bakal bales tulisan Vania deh!

Vania yang berumur enam tahun itu percaya-percaya saja pada Danial yang kala itu masih berumur empat tahun. Vania menuliskan tulisan, kemudian Danial yang diam-diam membalas tulisan Vania.

“Ayo Kak, Ayah udah nunggu di mobil. Keburu fans lo tau kalo lo lagi disini. Lo gak mau kan kalo tetiba gelar meet and greet di makam.” Danial beranjak dan menguluran tangan pada Vania.

Vania hanya tertawa. “Ayah, Bunda, Vania pulang ya? Kayaknya beberapa bulan gak bisa jenguk kalian deh. Vania mau keliling dunia. Hehe.” Ia menerima uluran tangan Danial dan ikut berdiri.

“Maskernya Kak.”

“Bentar mau lap ingus dulu, lo ada tisu gak?”

Danial menggeleng.

“Ya udah pake baju lo aja.”

“GAK MAU LAH! Liat Bun, Yah! Vania jorok banget—eh Kakak.”

“Lo kan pake kaos, siniin kaos lo. Mau usap ingus.” Vania menarik ujung baju Danial, namun lelaki itu menariknya lantas berlari menjauh.

“Dasar jorok!!!!” Ucapnya sedikit teriak.

Vania yang masih berdiri di antara makam Dejun dan Kyra terus tertawa sembari mengusap kedua matanya yang sembab. Kemudian ia memakai kembali maskernya dan berjalan meninggalkan rumah abadi kedua orang tuanya.

Meski berat, ia harus pergi dari sana karena rintikan hujan mulai jatuh keroyokan. Dan lagi ia harus segera pulang karena harus berlatih vokal bersama rekan-rekannya.

Gadis itu berjalan mundur sambil memandangi kedua gundukan yang sudah cantik dengan bunga. Ia melambaikan tangan.

“Dahhhh Ayah….”

“Dahhhh Bunda….”

—————————————————

Münsterbrücke Zürich, Februari 2022

Sisa-sisa salju di jalan sudah terlihat menipis sebab musim semi akan datang. Beberapa orang mulai berlalu lalang melewati sebuah jembatan di atas sungai Limmat.

Tak terkecuali tiga keluarga, orang tua serta anak-anaknya yang baru saja berdiam diri di jembatan Münsterbrücke. Kini mereka berjalan ke cafe yang ada di dekat sana.

Willkommen!” Sapa salah satu pegawai, yang artinya selamat datang.

Mereka duduk di meja yang berbeda, namun masih berdekatan.

“Ahh kenapa kalo habis dari sana suasana jadi sendu gini?” Celetuk lelaki berkulit tan.

“Hafiz i can here you sayang.” Lala menoleh kearah sang anak.

Sorry Mom.

Bagas dan Barra terkekeh karena bahu Hafiz merosot, baru saja mendapat tatapan tajam dari sang Ibu.

Jika kalian ingin tau siapa saja tiga keluarga itu, mereka adalah para sahabat Dejun dan Kyra.

Ten yang berhasil menikahi Emma, Dery dengan Lala, dan Taeyong dengan seorang perempuan cantik yang ia temui kala merantau.

Mereka mengurungkan niat untuk pergi ke Indonesia, karena Ten memiliki sebuah pekerjaan yang mengharuskannya untuk tetap tinggal. Sedang Barra tengah mengikuti sebuah perlombaan yang tak bisa ia tinggalkan juga.

Hari peringatan Dejun dan Kyra, mereka selalu mengunjungi sebuah jembatan yang terletak di kota tua Zurich, Altstadt. Jembatan yang dulunya pernah menjadi saksi bisu kebahagiaan Dejun dan Kyra. Mereka semua masih mengingatnya.

Masih terbayang pula wajah bahagia Dejun saat menceritakan kegiatan mereka selama ada di Swiss.

“Udah berapa tahun kita gak balik ke negara asal?” Tanya Taeyong.

Dery menghela. “Belasan tahun.”

“Sorry kita gak jadi ke Indo gara-gara gue. Padahal udah planning dari jauh hari.” Ucap Ten menyesal.

“Gak lah, anak gue juga ada kontes noh.” Taeyong seraya mengendikkan dagunya pada Barra.

“Kangen Kyra, gue.” Decak Emma yang matanya sembab akibat dirinya yang tak bisa menahan air matanya.

Lala tiba-tiba tertawa kala mengingat sahabatnya itu. “Kyra pasti bakal kaget gak sih sama produk kita?” Sembari menatap tiga lelaki remaja yang tengah duduk di meja samping mereka.

Dery yang satu pemikiran dengan istrinya itu ikut tertawa. Disusul tawa yang lain.

“Pa!” Teriak Barra dengan kedua bola mata yang membulat menatap layar ponselnya. “Barra pulang duluan boleh?!” Serunya lagi.

“Kebiasaan kamu ini kalo ngomong hadap Papa dong!” Dengus Taeyong.

Barra tak mengindahkan titah Taeyong. Ia terus asik menggulir layar ponsel. “Pa serius Barra harus pulang sekarang!”

Kini lelaki itu beranjak, membuat dua lelaki lainnya ikut berdiri.

“Hafiz juga ngikut Barra.”

“Me too!”

Hafiz juga Bagas yang tak tau alasan apa yang membuat Barra harus pulang itu ikut-ikut saja karena mereka berdua pun mulai jenuh disana.

Orang tua mereka hanya mengangguk pasrah. Mengijinkan anak-anaknya untuk pulang lebih dulu mengingat mereka masih betah mengobol disana.