souljaehyunn

Jika saja aku tau ini pertemuan terakhir, aku tak akan menyuruhmu untuk tetap pergi.


Suara osengan wajan di dapur, berpadu menjadi satu dengan gelak tawa yang dihasilkan oleh dua orang kakak beradik. Sesekali mereka beradu mulut membuat malam hari terasa lebih ramai. Mengingat mereka hanya tinggal berdua di rumah tanpa adanya orang tua atau orang dewasa lainnya. Keributan seperti itu sudah menjadi sesuatu yang biasa bagi mereka. Layaknya Kakak-Adik pada umumnya, sangat tidak mungkin bila didalam hubungan tersebut tak ada pertikaian atau adu mulut hanya karena hal-hal kecil. Hal kecil yang nantinya mungkin akan mereka rindukan.

“Kakak itu nugetnya gosong!” teriak Renjun, menunjuk kepulan asap dari wajan yang timbul akibat kurangnya minyak goreng dan suhu yang terlalu panas.

Zemira yang tengah mengacak-acak rambut si bungsu, sontak berlari mendekati kompor. Panik setengah mati karena kejadian ini baru sekali ia alami selama menggoreng nuget kesukaan Renjun. Saking paniknya ia hampir saja menyiram wajan dengan air matang yang ada di teko.

“Zemira!” seseorang datang menahan tangan Zemira.

Renjun yang berteriak heboh seketika mengusap dadanya dan menghela nafas lega. Kekasih Zemira itu datang diwaktu yang tepat. Dengan cekatan Taeyong mematikan kompor, menghentikan proses pemasakan. Mendiamkan wajan diatas kompor beberapa saat sebelum kemudian ia pindahkan benda itu dan membereskan kekacauan yang terjadi.

“Kak gue gak tau deh kalo gak ada Kak Taeyong bakal gimana.” Renjun memijat pelipis, seolah menyudutkan Zemira.

“Ulah lo ini Injun please deh sadar diri.” Sahut Zemira. “Malem-malem minta temenin goreng nuget, ujung-ujungnya gue yang gorengin? Mana ngajak ribut mulu ih.”

“Ya kan Injun laper? Salah kalo Injun laper?” Sulutnya lagi.

Taeyong masih mendengarkan perdebatan mereka, tertawa kecil, lantas angkat bicara. “Dua-duanya salah. Zemira salah karena masak sambil ribut, Renjun juga salah karena gangguin Kakaknya lagi masak. Udah kalau gini adil kan?”

Renjun berdecak. Ia tak menyalahkan atau membenarkan apa yang dikatakan Taeyong. Hanya saja ia bersyukur lelaki yang sudah ia anggap seperti Kakak sendiri itu selalu datang tepat waktu, dan selalu ada disaat apapun. Seseorang yang selalu Renjun andalkan.

Bukan tanpa sebab Taeyong datang ke rumah mereka. Sebelum mengutarakan alasan kedatangannya, ia mengajak Zemira juga Renjun duduk di ruang tengah. Memulai obrolan dengan basa-basi. Saling menanyakan bagaimana hari-hari yang mereka jalani, berbagi cerita tentang Renjun yang hari ini mendapat hukuman berdiri di depan kelas karena tak sengaja tertidur selama pelajaran biologi, dan masih banyak lagi.

Saat kalimat sudah Taeyong susun dengan rapi, ia mengubah obrolan mereka menjadi serius. Melirik gadisnya hingga keduanya bertemu pandang, seolah memberi isyarat agar gadisnya itu beranjak dari sana. Zemira yang sudah lebih dulu tau tentang hal yang akan kekasihnya sampaikan, dengan kepekaannya, ia beranjak pergi menjauh dari mereka berdua tanpa sepatah kata penutup.

Taeyong memang membutuhkan ruang bicara empat mata dengan si bungsu. Membicarakan hal yang harusnya tidak se-mendadak ini ia utarakan.

“Injun gue mau ngomong serius deh.” Ucap Taeyong, memusatkan seluruh pandangannya pada Adik Zemira yang sudah memakai piyama coklat motif beruang.

“Serius? Lah emang dari tadi kita ngobrolnya gak serius? Aya naon Kak?” tanya Renjun merotasikan bola matanya melihat kepergian Zemira. “Gak ngobrol sama Kak Ze juga?”

Taeyong menggeleng. “Sama Zemira udah, sama lo nih yang belum.”

Renjun mengernyit. Pikirannya mulai terbang kesana kemari. Bila sudah serius seperti ini pasti akan ada hal yang mengejutkan dirinya nanti. Beberapa kali ponsel Renjun berbunyi pun tak ia gubris. Renjun mencondongkan badan ke depan, menumpunya dengan kedua sikut tangan yang menempel pada lutut. Jemarinya saling mengait.

“Gue dapet beasiswa leeds international summer school di Inggris.”

“Sebenernya udah lama, cuma gue baru bilang ke lo sekarang. Zemira udah tau, makanya dia ngebiarin gue ngobrol berdua sama lo.”

Kalimat yang keluar tanpa aba-aba itu langsung membuat Renjun bungkam, mematung dengan wajah datarnya. Bahkan penjelasan yang Taeyong katakan setelahnya mungkin hanya Renjun dengar dengan terpaksa. Masih memperhatikan tanpa komentar hingga Taeyong menyelesaikan obrolan.

“Dua minggu lagi gue berangkat, gue pengen banyak ngabisin waktu main sama lo, sama Zemira juga.”

“Lo mau main kemana? Ayo. Banyak tempat yang belum pernah gue datengin juga. Kita kesana bertiga.” Imbuh Taeyong tanpa mengendurkan atensinya.

Renjun mengangguk. “Udah malem Kak, gue mau tidur.” Tukasnya, menghentikan obrolan sepihak. Bukan ia tak ingin menghabiskan dua minggunya bersama Taeyong dan Kakaknya, hanya saja ini terlalu mendadak, Renjun belum siap atas jauhnya jarak Jakarta-Inggris yang akan ia jalani nantinya.

Taeyong tak mencoba menahan Renjun yang sudah beranjak dari duduknya, berjalan menuju kamar tidur. Melihat kepergian si bungsu membuat Taeyong ingat dengan perkataan Zemira bahwa saat Renjun marah atau kecewa dengan seseorang, lelaki berumur 17 tahun itu tidak akan mau berbicara, bertemu pun rasanya tak mungkin.

Menghela nafas, Taeyong membuka ponselnya dan mengetikkan sesuatu di sana.

Renjun hilang dari pandangan, suara pintu tertutup telah terdengar, disusul suara decitan pintu dari ruangan lain. Kepala Zemira mengintip keluar, memperhatikan Taeyong yang duduk sendiri di ruang tengah. Lelaki itu menoleh dan melambai Zemira, menepuk kursi kosong di sebelahnya.

“Gimana?” Zemira berbisik.

“Seperti yang kamu bilang.”

Zemira mengusap punggung Taeyong, menenangkan. Ia tidak pernah mengira jika Renjun dan Taeyong memiliki ikatan yang mungkin lebih dari seorang teman, sahabat, atau yang lainnya. Mereka berdua sangat amat dekat. Hingga membuat si bungsu menyayangkan atas perginya Taeyong nanti.

“Injun beneran ngambek sih sama aku.” ujar Taeyong. “Bakal mau diajak main gak ya? Besok dia masih marah gak kira-kira Ze?”

Zemira tertawa. “Harusnya kamu tuh khawatirin aku, sebagai pacar kamu yang gak bisa jauh-jauh dari kamu! Apa-apaan malah khawatirin Adik aku?” protes Zemira setengah bercanda.

“Nanti aku bisa bujuk Injun, tenang aja, dia udah anggep kamu Kakak sendiri, gak mungkin marahnya bakal selama itu. Nanti aku tanyain deh berapa lama dia mau marah sama kamu.” Imbuhnya.

“Ada gitu ya marah ditanyain mau berapa lama marahnya?” Taeyong mendengus. “Kamu nyindir aku ya?”

“Nah itu tau.”

Keduanya saling melempar tawa, sesaat melupakan bahwa waktu dua minggu sangatlah singkat untuk menghabiskan waktu bersama. Dalam keadaan bahagia, semua akan terasa begitu cepat hingga rasanya waktu sedang berusaha berlari mengejar.


Jika hari pertama tidak berhasil membuat Renjun luluh, maka akan ada hari-hari berikutnya. Taeyong baru saja menghubungi Renjun untuk menunggunya di depan gerbang sekolah, karena Taeyong akan mengajaknya untuk makan siang dan pergi ke supermarket membeli snack kesukaan Renjun tentu saja. Namun Adik dari Zemira menolak, bahkan ia berkata cukup singkat dan lebih seperti tak ingin mengobrol dengannya. Itu cukup menyakiti hati Taeyong, tapi kegigihannya melunturkan perasaan itu.

Hari kedua, ketiga, hingga satu minggu pun tetap sama. Kali ini Taeyong pergi ke hutan pinus bersama Zemira saja. Berjalan di bawah pepohonan yang rimbun membuat suasana hati Zemira yang tadinya bergemuruh akibat kuis dadakan, berubah menjadi sejuk.

“Loh? Kaca aku kemana ya?” Zemira merogoh tas kecilnya, mencari benda yang tak pernah tertinggal dan akan selalu ia bawa. “Ketinggalan di mobil kamu?”

Taeyong menggeleng. “Kamu tadi ngaca di spion mobil bukannya? Kaca yang bulet itu?”

Zemira mengangguk, masih berusaha mencari barangkali terselip diantara buku-buku yang ia bawa.

“Padahal udah aku suruh buang aja, itu bahaya kaca kayak gitu gak ada frame. Bisa goresin tangan kamu, Ze.”

“Better than aku bawa cermin dinding.”

“Udah jangan kebanyakan ngaca, kamu cantik, gak pernah jelek.” Taeyong mengacak rambut Zemira, membuat gadis itu mendengus kesal karena anak-anak rambutnya jatuh menutupi sebagian wajahnya.


Benar apa yang dikatakan semua orang tentang betapa berharganya waktu. Setiap detik, setiap menit harus kita hargai. Karena waktu yang berharga itu tidak akan pernah bisa terulang kembali, mereka hanya akan meninggalkan jejaknya tanpa tau bagaimana caranya kembali.

Hari ke-13 yang artinya 24 jam lagi menuju perginya Taeyong ke Inggris.

Selepas pulang dari kampus, Zemira memutuskan untuk tak menemui Taeyong di hari terakhir. Gadis itu ingin agar kekasihnya bisa bersiap-siap dan mengistirahatkan dirinya. Sangat melelahkan mengingat 13 hari mereka berdua selalu menghabiskan waktu bersama di luar. Kini saatnya Taeyong beristirahat untuk keberangkatannya esok hari.

Di sebuah kamar kos, dua orang lelaki tengah membantu Taeyong mengepak pakaian dan sesuatu lainnya untuk dimasukkan ke dalam koper. Jaehyun dan Doyoung berada di kamar Taeyong. Jaehyun, teman kampus sekaligus teman satu kosnya, sedang Doyoung salah satu teman dekat Taeyong.

“Yong, lo butuh mantel gak? Gue ada kalo lo mau pinjem gue pinjemin.” Ujar Jaehyun, menutup satu koper yang sudah penuh.

“Gak usah gue bisa beli di sana. Lagian gue bentar doang anjir! Kayak yang gue mau selamanya aja di Inggris.” Tukas Taeyong.

“Apa gue bilang Jae? Kagak usah perhatiin ni anak. Gak bakal digubris juga, kecuali lo adalah Zemira.” Sahut Doyoung. “Udah nih kelar, gue besok gak bisa ikut nganter lo ke Bandara, ada kelas.”

“Lo udah bilang ke gue tiga kali ini, Doy. Sekali lagi dapet piring cantik.”

Jaehyun dan Taeyong tertawa.

“Zemira doang yang dateng ke Bandara udah cukup. Taeyong gak ngarepin lo juga.” Ujar Jaehyun yang ia tujukan pada Doyoung.

Pernyataan Jaehyun membuat Taeyong tersenyum kecut. Itu tidak benar, dirinya juga ingin teman-teman yang lain bisa datang ke Bandara untuk mengantarnya karena akan meredakan perasaan buruk yang Taeyong miliki.

Taeyong membaringkan diri di atas kasur setelah selesai mengemas barang dan mengantar Doyoung ke bawah untuk pulang. Ia kembali menghubungi Renjun yang rupanya sudah mulai surut amarahnya, buktinya Renjun sudah mau membalas pesannya dan berjanji untuk ikut bersama Zemira esok hari.

Taeyong semakin lega.


Dua minggu yang terlalui dengan baik bagi Zemira juga Taeyong. Kini saatnya gadis itu harus berpisah dengan kekasihnya. Hanya berbeda negara. Tak akan sulit bila mereka tempuh hubungan jarak jauh dengan baik, dengan rasa saling percaya yang menguat, dan dengan sebuah kejujuran dari masing-masing pihak.

“Kak Ze ngaca dari tadi gak kelar-kelar?!” decak Renjun melihat si sulung yang juga belum selesai berdandan di depan cermin.

Zemira Avyanna, gadis yang setiap kali bertemu dengan cermin dapat dipastikan akan menoleh atau berhenti menyempatkan diri untuk melihat bayangan dirinya. Lagi pula, cermin sangat akrab pada kehidupan. Manusia tak akan pergi keluar tanpa memandang cermin. Bukankah salah satu alasan kita harus bercermin adalah memastikan diri kita baik sebelum pergi dari rumah?

“Gue ke rumah Jeno aja deh kak. Injun gak ikut ke Bandara.”

“Lo beneran gak mau ketemu Taeyong? Jangan gitu lah, gue ceweknya aja gak ada ngambek kayak lo gini. Katanya kemaren mau ikut?”

“Ish ya Kak Ze gak tau aja.” Renjun melengos, membalikkan badan mungilnya kemudian pergi.

Zemira berdecak melihat kelakuan Adiknya yang masih labil itu. Ia berjalan di belakang Renjun, sesekali tertawa dan menggeleng-gelengkan kepala karena si bungsu berjalan dengan menghentak-hentakkan kakinya seolah benar-benar kesal.

Rupanya taxi online yang mereka pesan pun sudah berada di pelataran rumah. Kakak beradik itu memasuki mobil, keduanya duduk di kursi belakang sopir. Di perjalanan menuju Bandara, mereka saling diam, tak memiliki hal untuk disampaikan juga hanyut dengan pikirannya masing-masing.

Sepertinya, pergi ke Bandara dan mengantar kepergian Taeyong adalah ide yang buruk. Kini perasaan Zemira yang labil, melihat Taeyong berdiri dengan koper dan tas ransel, juga senyum yang tak pernah surut membuatnya menghela nafas berat. Rasa sedih kembali menyelimuti dirinya. Rasa rindu pun mendadak muncul begitu saja.

Bertemu pandang dari jauh, lelaki dengan kaos dan outer hitam melambai pada dua orang yang tengah berjalan menujunya.

“Jangan gini, mukanya jelek.” Ujar Taeyong dengan satu tangan mencubit pipi putih kekasihnya.

“Beneran LDR?” tanya Zemira meyakinkan.

“Ya mau gimana lagi?”

Kini Taeyong beralih pada Renjun yang berkali-kali merotasikan bola matanya. Seakan tak ingin bertemu tatap dengan Taeyong. Ia terus menghindar, bersikap acuh meski Taeyong mencoba mencuri atensinya. Sikap yang begitu menggambarkan anak-anak sekali. Bukan anak berumur 17 tahun, tapi anak kecil yang merajuk ketika tak dibelikan mainan oleh orang tuanya. Begitulah Renjun saat ini dimata Taeyong.

“Widih jagoan gue masih ngambek.” Taeyong seraya mengacak rambut Renjun. “Padahal udah dua minggu masih tahan gini?”

Renjun berdecih, menepis tangan Taeyong.

“Gue udah nyiapin ini nih biar lo gak ngambek.” Mengeluarkan amplop putih dari ranselnya. “Buat jajan, anggep ganti rugi waktu gue selama gue di sana. Terima ya? Kalo gak mau nerima udah gue sedih beneran ini jadinya gak tega mau pergi.” Taeyong setengah memohon agar Renjun mau menerimanya.

Sebenarnya Renjun tidak mengharapkan diberi uang atau semacamnya. Ia marah karena ia harus jauh dari Kakak keduanya itu. Ia sudah sangat bergantung pada Taeyong, dalam segala hal di kehidupannya.

Renjun mengangguk menerima pemberian Taeyong.

“Jaga diri baik-baik ya?” pinta Taeyong pada Zemira yang hanya dijawab dengan wajah sedih dan anggukan.

“Jangan cemberut gini dong? Kan bentar doang?” imbuhnya.

Mungkin bagi Taeyong waktu satu hingga dua tahun adalah waktu yang sebentar. Tapi menurut Zemira, itu waktu yang cukup lama mengingat ia tidak bisa saling jauh dengan kekasihnya.

“Iya iya, kamu juga jaga diri baik-baik.”

“Adiknya jangan ditakut-takutin mulu.” Pintanya lagi.

Memang tak salah jika Zemira menakut-nakuti Renjun, karena memang pada dasarnya Adeknya itu adalah lelaki penakut. Takut dengan sosok yang tak bisa ia lihat. Renjun semakin menjadi penakut karena ulah Jeno, teman dekat Renjun yang selalu mendeskripsikan teman tak terlihatnya itu.

“Sumpah Kak, gue gak bisa apa ikut Kak Taeyong aja?” Renjun angkat bicara. “Pasti sepi banget dah kagak ada yang mabar sama gue, gak ada yang bantuin Injun ngerjain tugas.”

“Hello? Gue juga sering kali bantuin lo ngerjain tugas!” protes Zemira tak terima.

“Ya tapi Kak Ze gak bisa sesabar Kak Taeyong!” decak Renjun.

Tawa Taeyong seketika merekah melihat kedua kesayangannya saling mengolok di hadapannya. “Ya udah ayo ikut gue, biar Kakak lo sendirian dirumah. Tega?”

Renjun tampak berfikir sembari melihat kearah Kakaknya dengan wajah memelas. “Gak deh Kak. Even tho Kak Ze nyebelin, gak sabaran, tapi gue gak tega ninggalin dia kalo mukanya kaya—Aw!”

Zemira seketika melingkarkan lengannya pada leher Renjun, membuatnya berhenti bicara.

“Nah tuh temen-temen kamu udah dateng, cepet check in gih.” Tunjuk Zemira.

Gadis itu benar. Mark, Winwin, dan Lucas sudah melambai-lambaikan tangannya tak sabar dari pintu masuk. Mereka bertigalah yang akan berangkat bersama Taeyong. Teman yang akan sama-sama berjuang. Taeyong mengangguk pada tiga temannya, lantas bersiap untuk menarik koper. Pandangannya jatuh lagi pada Zemira dan Renjun. Ia tersenyum menatap mereka berdua bergantian.

“I’ll see you at this place.” Kalimat Taeyong terdengar menyesakkan. Tak lupa ia mengusap pucuk kepala Zemira, juga menepuk pelan bahu Renjun.

Buru-buru ia menghampiri ketiga temannya. Tepat di depan pintu keberangkatan, ia kembali membalikkan badannya dan membuka mulutnya tanpa suara. Tangannya pun ia gerak-gerakkan ke udara sebagai pendukung kalimat yang ia ucapkan. Kalimat yang mengudara tanpa suara itu Zemira paham. Gadis itu mengangguk disertai senyum getir.

“Jangan kebanyakan ngaca, kamu selalu cantik.” Ucap Taeyong yang mungkin sedari tadi menyadari kekasihnya selalu mengangkat ponsel hanya untuk merapikan beberapa anak rambut yang jatuh.

Setelah mengungkapkan kalimat itu, senyum kepergian Taeyong merekah lagi. Ia akan selalu mengingat kalimat kekasihnya. Yang bukan sekali atau dua kali lelaki itu ucapkan, tapi setiap kali dirinya bercermin. Air mata Zemira sudah di pelupuk mata, berusaha ia tahan. Ia masih bertahan diposisinya dalam waktu yang cukup lama. Entah mengapa ia menjadi sangat takut. Bermacam-macam perasaan bercampur aduk jadi satu.

“I don’t know what i’m afraid of, to see you again or to never see you again.” Batin Zemira.

Dulu, sebuah pertengkaran pernah berakhir dengan perdamaian di tempat ini. Tapi sekarang, entah, harapannya hanya ingin gadisnya paham dan mengerti.

Sebuah tempat duduk menghadap jalanan kota, Taeyong dan Zemira duduk di sana. Awalnya lelaki itu mengurungkan niat untuk pergi ke Taman Kota karena gadisnya memakai baju yang sedikit terbuka, sedang dirinya tak membawa jaket atau kain penghangat lainnya.

Tak apa, udara Jakarta sedang sejuk-sejuknya, kata Zemira kala Taeyong mencegah keluar dari mobil.

“Gak mau dimakan?” Tanya Taeyong melirik gula kapas yang masih didekap Zemira.

Zemira menggeleng seraya mengusap bungkusannya. “Oh iya katanya kamu mau ngobrolin sesuatu? Apa tuh?” Ujarnya dengan kedua bola mata menatap penuh lawannya.

Taeyong tampak berfikir. Mengolah kalimat yang pas untuk diucapkan.

“Satu bulan lagi aku pergi ke UK.” Tukas Taeyong singkat. Arah pandangnya sama sekali tak lepas dari manik indah Zemira kala keduanya bertemu tatap.

“Kalo kamu sering ngelihat aku sama Rosa kemaren-kemaren itu karena dia juga ikut seleksi beasiswa, tapi yang lolos cuma aku.”

“Enggak sih sama Winwin, Lucas, Mark.”

Zemira diam tak berkomentar. Ia hanya terus menatap Taeyong yang memiringkan tubuhnya untuk lebih leluasa berbicara dengan dirinya.

Beberapa detik tak ada respon, Taeyong mengusap lengan gadisnya.

“Maaf aku baru cerita sekarang.”

Tangan Zemira diam-diam meremat ujung plastik gula kapasnya. Lantas mengalihkan pandangan, ia membuka jajanan yang ia beli di pinggir jalan tadi. Padahal dari tadi ia menahan diri untuk tidak membuka plastiknya, sayang, katanya. Namun yang terjadi sekarang....

Zemira memakannya.

“Zemira….”

Tak ada jawaban, Zemira hanya fokus pada beruang yang lama kelamaan terkikis hampir habis.

Setetes….

Dua tetes….

Hingga tetesan bening berikutnya beradu keluar membasahi pipi putih Zemira. Kekasihnya pun terkejut karena tiba-tiba ia menangis seperti anak kecil.

“Lohhh Ze? Kenapa?” Taeyong beralih berjongkok di depannya. Mengintip wajah Zemira yang sengaja menunduk untuk disembunyikan.

“Zemira?”

Yang dipanggil malah terus menangis dan mengucek matanya.

“Mau pulangggggg.” Merengek tanpa mau menatap mata Taeyong.

“Kenapa? Kenapa nangis?” Taeyong masih mencoba bertanya padahal ia sendiri tau apa alasan Zemira menangis.

“Mau pulanggg. Ayo pulanggg pulangggggggg.”

“Iya iya jangan dikucek terus matanya.” Taeyong menahan tangan Zemira yang terus mengucek mata dengan kasar. “Ayo, ayo pulang.”

Zemira mengangguk kemudian berjalan mendahului Taeyong untuk masuk ke dalam mobil.

Di mobil pun, Zemira menatap keluar jendela. Berkali-kali Taeyong memanggil, ia hanya menjawab sekenanya. Lelaki itu sesekali melihat gadisnya yang terus termenung membelakangi dirinya.

Taeyong teringat perkataan dari Ayah Zemira. Bahwa gadis ini akan ketergantungan pada dirinya karena kurangnya kasih sayang orang tua. Bukan hanya Zemira, tapi Renjun juga.

Rasa bersalah mendominasi pikiran dan hati Taeyong saat ini. Harusnya ia menjaga gadisnya, harusnya ia tak iseng mencoba mengambil beasiswa ini, harusnya....

“Apa aku gak usah berangkat aja—“

“Pergi aja.” Taeyong belum selesai dengan kalimatnya, Zemira sudah memotong lebih dulu. “Pergi nggak papa.”

Zemira mengatakan itu tanpa menoleh kearah lawan bicaranya.

“Ze, serius aku minta maaf karna baru cerita sekarang. Aku pikir aku gak akan dapet beasiswa itu jadi—“

“Aku bukan siapa-siapa yang harus tau semua hal tentang kamu. Jadi wajar kalo aku tau belakangan.”

Kalimat Zemira membuat Taeyong menepikan mobil dan berhenti sejenak padahal rumah Zemira sudah ada di depan sana.

Lelaki itu menarik lengan Zemira agar ia bisa menatap kekasihnya. Ia akan menjelaskan semua, tentang alasan mengapa baru sekarang ia bercerita, dan untuk menghentikan pikiran-pikiran buruk Zemira.

“Lihat aku.”

“Zemira madep aku dulu bentar.”

Taeyong menarik paksa lengan Zemira karena kekasihnya tetap keukeh membelakangi dirinya.

“Gak mauuu!”

“Bentar.” Kedua bahu Zemira berhasil Taeyong genggam. “Maaf maaf aku kasar. Lihat aku dulu, lihat mata aku Ze.”

Zemira terus menundukkan pandangan.

“Jangan bilang kayak gitu lagi ya?”

“Kamu siapa-siapa aku. Maaf emang aku salah karena gak bilang dari awal, karena aku cuma iseng Ze, aku cuma ikut-ikut temen-temen juga, aku cuma ikut kata Rosa yang aku harus pergi jauh aja dari sini.”

“Aku gak tau kalau akhirnya aku dapet. Dan kenapa aku gak cerita dari awal, aku gak mau ngerusak mood kamu yang lagi seneng-senengnya tiap ketemu aku, yang terus nyariin aku, yang gak bisa jauh dari aku.”

“Aku gak cerita karena aku gak berekspetasi tinggi bakal dapet juga, sayang.”

“Madep aku dongggg.” Taeyong menggoyang-goyangkan kedua lengan Zemira.

Jujur saja lelaki itu merasa khawatir dengan hubungannya. Kalimat Zemira yang mengatakan bahwa ia lebih baik putus dari pada menjalani hubungan jarak jauh itu terus terdengar di gendang telinga Taeyong. Ia semakin resah.

Zemira mendongakkan kepala. Kini ia menatap kedua mata Taeyong. Melihat sudut matanya yang membasah, menghela nafas.

“Kamu tau kan aku gak bisa ngejalani hubungan jarak jauh?” Tanya Zemira membuat jantung Taeyong berdebar.

“Kamu tau kan kalau aku lebih milih untuk put—”

“Enggak enggak!” Taeyong menggeleng. “Aku gak mau.”

“Tapi aku gak bisa.” Zemira melepas tangan Taeyong yang masih bertengger di lengannya, namun lelaki itu menggenggamnya lagi. “Serius aku gak bisa.”

Zemira menepis lagi. “Kamu mau anter aku sampe rumah atau biar aku jalan dari sini aja?” Kini suaranya mulai meninggi.

“Aku anter sampe rumah.” Hanya itu yang bisa Taeyong katakan. Ia terlalu takut untuk menyela atau menyangkal, takut malah memperburuk suasana hati Zemira saat ini.

Kedua mata Taeyong sudah berkaca-kaca, hingga masuk ke halaman rumah gadisnya, ia berusaha agar air matanya itu tak jatuh begitu saja.

Setelah mematikan mesin mobil, Zemira sudah berancang untuk melepas seatbeltnya, namun Taeyong lebih dulu meraihnya.

“Aku lepasin.”

Zemira diam, kemudian keluar begitu saja tanpa menunggu Taeyong membukakan pintu. Ia bahkan buru-buru untuk masuk ke dalam rumah, tapi Taeyong berhasil lagi menghentikan langkahnya.

“Kamu boleh marah, lama pun boleh, tapi jangan mutusin aku dong.” Pinta Taeyong dengan wajah memelasnya.

Percuma, jurus yang Taeyong keluarkan saat ini tidak mampu membuat hati Zemira yang sedang bergemuruh itu tiba-tiba luluh.

“Gak tau. Lihat nanti.” Jawabnya ketus dan langsung berjalan masuk meninggalkan Taeyong di sana.

Taeyong hanya bisa menatap kepergian Zemira. Mengusap wajahnya kasar dan beberapa kali menghela nafas. Entah berapa lama Zemira akan marah dan mendiamkannya, Taeyong tak akan tinggal diam begitu saja. Ia tak bisa jika harus merelakan hubungannya, namun bila gadisnya tetap pada pendiriannya, mau tak mau Taeyong pun dengan berat hati harus menerima.

Blouse abu muda dengan wide pants abu tua, flat shoes putih dan rambut hitam lurus dibiarkan terurai indah. Senyumnya mengembang kala seorang lelaki turun dari mobil silver yang baru saja terparkir di halaman rumahnya.

Wajahnya semakin bersinar cerah memperhatikan penampilan kekasihnya dengan pakaian casual, kemeja dan balutan celana jeans. Rambut hitam legam yang baru saja disisir dengan jemarinya ke belakang. Sederhana saja, mampu membuat Zemira kembali jatuh cinta.

Tersenyum, hangat. Dengan tatapan teduhnya.

Gadis itu mematung di teras. Masih saja ia merasa jantungnya berdegup kencang padahal sudah berapa kali ia melihat Taeyong seperti ini, tapi tetap saja.

“Cantik, ayo berangkat.” Ujar Taeyong sembari menjatuhkan tangannya pada pucuk kepala Zemira.

Mengangguk sebagai jawaban. Demi Tuhan Zemira ingin sekali menjerit.

Membukakan pintu, melindungi kepala Zemira ketika masuk mobil agar tak terbentur langit-langit, dan memasangkan seatbelts sudah menjadi kebiasaan Taeyong ketika akan berkendara dengan kekasihnya. Ia akan selalu memastikan Zemira dalam keadaan aman sebelum menyalakan mobilnya. Satu dari ratusan hal yang Zemira suka.

Bisingnya suara klakson kendaraan di malam hari seakan teredam dengan suara sahutan tawa dari dua insan yang tengah saling bertukar cerita-cerita lucu. Mereka tak ragu untuk melempar umpatan, saling menertawai satu sama lain.

Tenang, wajah babak belur Taeyong sudah mereda, tak terlalu terlihat karena dirinya mampu merawat dengan baik. Sudah terbiasa.

Sebuah resto di Jl. Senopati menjadi tempat makan malam mereka berdua. Setelah memarkirkan mobil, Taeyong menggandeng Zemira untuk masuk ke dalam.

“Ini resto mahal gak sih?” Bisik Zemira setelah kedua bola matanya sukses menangkap desain interior yang berkesan mewah. “Pindah aja lah ini mahal pasti.”

“Udah tenang aku punya tuyul.”

“Hush!” Zemira menepuk lengan Taeyong yang masih saja tertawa. “Tapi serius deh pindah aja yuk.”

“Gak mau, udah enggak papa.”

Sambil menyantap makanan, diam-diam Taeyong memperhatikan Zemira yang tengah asik menjelajahi lampu-lampu gantung yang ada disana. Dengan pipinya sedikit penuh karena makanan yang masih ia kunyah.

Gadis yang terlihat sangat cantik diantara indahnya bunga-bunga di atas meja.

“Kamu mau ngobrol ap—ih ngapain ngeliatin gitu?” Zemira terkejut ketika bertemu tatap dengan Taeyong yang tengah lama memperhatikannya dengan senyum mengembang.

Lelaki itu menggeleng cepat. “Kamu makannya belepotan.” Ibu jarinya mengusap saus diujung bibir Zemira.

“Serius kamu mau ngomong apa deh? Aku takut tau.”

“Takut kenapa?”

“Kayak dejavu hehe.”

Dejavu. Kala Jaehyun memutuskan hubungannya saat mereka berdua sedang makan malam seperti ini. Wajar saja jika pikiran gadis itu tak tenang meski dirinya sudah berusaha menghapus pikiran buruknya.

“Kamu tau gak program beasiswa yang gencar banget di kampus tuh?”

Zemira mengangguk. “Iya, yang Jaehyun ikut itu juga kan? Rosa juga bukannya? Dia cerita sih ke aku, dikit.” Sembari melanjutkan mengunyah makanan.

“Temen-temen aku ikut semua.”

Mengangguk lagi. “Kenapa tuh?”

Taeyong bingung bagaimana untuk mengatakan bahwa ia pun juga ikut dan bahkan ia berhasil mendapatkan beasiswanya. Ada sedikit rasa takut bagaimana reaksi gadisnya ketika tau bahwa mereka harus menjalani hubungan jarak jauh.

Putus?

Mungkin pilihan terakhir mengingat Zemira memang lebih memilih putus hubungan dari pada harus menjalani hubungan jarak jauh. Tak bertemu muka, tak bisa menghabiskan waktu berdua, dan banyak hal lainnya.

“Habis ini mau kemana?”

Zemira mengernyit. Bukannya menjawab pertanyaannya, Taeyong malah melemparkan pertanyaan pada dirinya.

“Emang maunya kemana?” Gadis itu terkekeh. “Mampus kan tanya malah balik tanya.”

“Ya udah aku mau culik kamu aja.”

“Culik kemana?”

“Ada orang nyulik ngasih tau mau nyulik kemananya? Ketangkep polisi kali yanggggg.”

“Tapi kamu juga nyulik bilang-bilang tuh? Keburu ke borgol duluan lu ah.”

Taeyong terkekeh. “Udah habisin dulu itu.”

Gadis itu manggut-manggut saja dan melanjutkan makannya. Tak ada pikiran buruk lagi, yang ada hanya perasaannya semakin menghangat karena kekasihnya.

Taeyong melancarkan aksi penculikannya. Lelaki itu mengajak Zemira untuk mengitari jalanan kota yang mulai ramai dan padat.

“Hey.”

“Ya?” Zemira menoleh.

“Beautiful beautiful beautiful beautiful angel, love your imperfections every angle~” Taeyong mengikuti irama lagu yang terputar saat ini dengan senyum jailnya.

Bughh!

Zemira memukul bahu Taeyong dan berdecak sebal. “Kirain manggil gueee luuu ah.”

“Lemes banget ini tangan mukul-mukul.” Taeyong meraih tangan kanan gadisnya untuk digenggam, beberapa kali memberi kecupan kecil di punggung tangannya.

“Ehhhhhh!!!! Taeyong!!! Berhentiiii!!!!”

Taeyong seketika membanting setirnya untuk menepi karena terkejut dengan Zemira yang tiba-tiba meminta berhenti dengan suara naik satu oktaf dan lagi mengetuk-ngetuk jendela mobil.

Untung saja jarak mobil di belakang mereka cukup jauh, sehingga tak terjadi hal yang tidak diinginkan.

“Kenapa?!” Taeyong ikut melihat kearah pandang kedua bola mata Zemira saat ini.

Zemira menoleh, melempar tatap dengan puppy eyes, raut wajah yang persis seperti emoji ‘🥺’

“Apa? Kenapa?” Taeyong bingung.

“Gula kapas.”

Taeyong mengerjap beberapa saat. Ia tak percaya kekasihnya ini membuatnya mendadak berhenti hanya karna gula kapas?

Menangkup wajah Zemira, lantas menekan-nekan pipinya. Lantas mengecup bibirnya singkat sebelum mematikan mesin mobil.

“Udah. Ayo.”

Zemira tersenyum senang, membuka pintu mobil hingga melupakan seatbelts yang belum ia buka.

“Aduhhhh ihhh peaaaa.”

Lagi-lagi Taeyong tertawa terbahak karena itu. Sungguh Zemira sekali. Ia yang sudah hampir menutup pintu mobil masuk kembali untuk membantu kekasihnya melepas seatbelt.

“Pak bisa bentuk beruang gitu gak sih?”

“Bisa nenggg.”

“Aku yang bentuk beruang ya pak.”

“Asiapppp!”

Melihat kekasihnya yang kegirangan itu membuat satu memori masa lalu Taeyong tiba-tiba muncul.

”Mau gulali yang bentuk beruang.”

”Dua pak. Yang satu bentuk… bentuk apa?”

”Ayam aja ya nanti aku cobain punyamu, kamu cobain punyaku.”

Entah ingatan darimana, tapi Taeyong malah tertawa karena Zemira saat ini telah membawa gula kapasnya seperti anak kecil. Memegang tusuknya dengan erat, sedang tangannya yang lain berusaha membenarkan plastik agar tak menempel pada gula kapasnya.

“Lucuuu huhuhu.”

“Gak dimakan?”

“Janganlah ini lucu.”

Taeyong mengernyit. “Terus kamu beli buat apa kalo gak dimakan?”

“Ya dimakan, tapi lucuuuu. Mau dilihatin dulu terus aja kali ya?” Zemira manyun. “Bawa mobilnya hati-hati, pelan-pelan aja jangan ngebut ntar beruangnya rusak.”

Taeyong malah mengacak rambut Zemira saking gemasnya. Kemudian melajukan mobilnya lagi menuju ke taman kota yang kala itu pernah mereka kunjungi.

image

Blouse abu muda dengan wide pants abu tua, flat shoes putih dan rambut hitam lurus dibiarkan terurai indah. Senyumnya mengembang kala seorang lelaki turun dari mobil silver yang baru saja terparkir di halaman rumahnya.

Wajahnya semakin bersinar cerah memperhatikan penampilan kekasihnya dengan pakaian casual, kemeja dan balutan celana jeans. Rambut hitam legam yang baru saja disisir dengan jemarinya ke belakang. Sederhana saja, mampu membuat Zemira kembali jatuh cinta.

Tersenyum, hangat. Dengan tatapan teduhnya.

Gadis itu mematung di teras. Masih saja ia merasa jantungnya berdegup kencang padahal sudah berapa kali ia melihat Taeyong seperti ini, tapi tetap saja.

“Cantik, ayo berangkat.” Ujar Taeyong sembari menjatuhkan tangannya pada pucuk kepala Zemira.

Mengangguk sebagai jawaban. Demi Tuhan Zemira ingin sekali menjerit.

Membukakan pintu, melindungi kepala Zemira ketika masuk mobil agar tak terbentur langit-langit, dan memasangkan seatbelts sudah menjadi kebiasaan Taeyong ketika akan berkendara dengan kekasihnya. Ia akan selalu memastikan Zemira dalam keadaan aman sebelum menyalakan mobilnya. Satu dari ratusan hal yang Zemira suka.

Bisingnya suara klakson kendaraan di malam hari seakan teredam dengan suara sahutan tawa dari dua insan yang tengah saling bertukar cerita-cerita lucu. Mereka tak ragu untuk melempar umpatan, saling menertawai satu sama lain.

Tenang, wajah babak belur Taeyong sudah mereda, tak terlalu terlihat karena dirinya mampu merawat dengan baik. Sudah terbiasa.

Sebuah resto di Jl. Senopati menjadi tempat makan malam mereka berdua. Setelah memarkirkan mobil, Taeyong menggandeng Zemira untuk masuk ke dalam.

“Ini resto mahal gak sih?” Bisik Zemira setelah kedua bola matanya sukses menangkap desain interior yang berkesan mewah. “Pindah aja lah ini mahal pasti.”

“Udah tenang aku punya tuyul.”

“Hush!” Zemira menepuk lengan Taeyong yang masih saja tertawa. “Tapi serius deh pindah aja yuk.”

“Gak mau, udah enggak papa.”

Sambil menyantap makanan, diam-diam Taeyong memperhatikan Zemira yang tengah asik menjelajahi lampu-lampu gantung yang ada disana. Dengan pipinya sedikit penuh karena makanan yang masih ia kunyah.

Gadis yang terlihat sangat cantik diantara indahnya bunga-bunga di atas meja.

“Kamu mau ngobrol ap—ih ngapain ngeliatin gitu?” Zemira terkejut ketika bertemu tatap dengan Taeyong yang tengah lama memperhatikannya dengan senyum mengembang.

Lelaki itu menggeleng cepat. “Kamu makannya belepotan.” Ibu jarinya mengusap saus diujung bibir Zemira.

“Serius kamu mau ngomong apa deh? Aku takut tau.”

“Takut kenapa?”

“Kayak dejavu hehe.”

Dejavu. Kala Jaehyun memutuskan hubungannya saat mereka berdua sedang makan malam seperti ini. Wajar saja jika pikiran gadis itu tak tenang meski dirinya sudah berusaha menghapus pikiran buruknya.

“Kamu tau gak program beasiswa yang gencar banget di kampus tuh?”

Zemira mengangguk. “Iya, yang Jaehyun ikut itu juga kan? Rosa juga bukannya? Dia cerita sih ke aku, dikit.” Sembari melanjutkan mengunyah makanan.

“Temen-temen aku ikut semua.”

Mengangguk lagi. “Kenapa tuh?”

Taeyong bingung bagaimana untuk mengatakan bahwa ia pun juga ikut dan bahkan ia berhasil mendapatkan beasiswanya. Ada sedikit rasa takut bagaimana reaksi gadisnya ketika tau bahwa mereka harus menjalani hubungan jarak jauh.

Putus?

Mungkin pilihan terakhir mengingat Zemira memang lebih memilih putus hubungan dari pada harus menjalani hubungan jarak jauh. Tak bertemu muka, tak bisa menghabiskan waktu berdua, dan banyak hal lainnya.

“Habis ini mau kemana?”

Zemira mengernyit. Bukannya menjawab pertanyaannya, Taeyong malah melemparkan pertanyaan pada dirinya.

“Emang maunya kemana?” Gadis itu terkekeh. “Mampus kan tanya malah balik tanya.”

“Ya udah aku mau culik kamu aja.”

“Culik kemana?”

“Ada orang nyulik ngasih tau mau nyulik kemananya? Ketangkep polisi kali yanggggg.”

“Tapi kamu juga nyulik bilang-bilang tuh? Keburu ke borgol duluan lu ah.”

Taeyong terkekeh. “Udah habisin dulu itu.”

Gadis itu manggut-manggut saja dan melanjutkan makannya. Tak ada pikiran buruk lagi, yang ada hanya perasaannya semakin menghangat karena kekasihnya.

Taeyong melancarkan aksi penculikannya. Lelaki itu mengajak Zemira untuk mengitari jalanan kota yang mulai ramai dan padat.

“Hey.”

“Ya?” Zemira menoleh.

“Beautiful beautiful beautiful beautiful angel, love your imperfections every angle~” Taeyong mengikuti irama lagu yang terputar saat ini dengan senyum jailnya.

Bughh!

Zemira memukul bahu Taeyong dan berdecak sebal. “Kirain manggil gueee luuu ah.”

“Lemes banget ini tangan mukul-mukul.” Taeyong meraih tangan kanan gadisnya untuk digenggam, beberapa kali memberi kecupan kecil di punggung tangannya.

“Ehhhhhh!!!! Taeyong!!! Berhentiiii!!!!”

Taeyong seketika membanting setirnya untuk menepi karena terkejut dengan Zemira yang tiba-tiba meminta berhenti dengan suara naik satu oktaf dan lagi mengetuk-ngetuk jendela mobil.

Untung saja jarak mobil di belakang mereka cukup jauh, sehingga tak terjadi hal yang tidak diinginkan.

“Kenapa?!” Taeyong ikut melihat kearah pandang kedua bola mata Zemira saat ini.

Zemira menoleh, melempar tatap dengan puppy eyes, raut wajah yang persis seperti emoji ‘🥺’

“Apa? Kenapa?” Taeyong bingung.

“Gula kapas.”

Taeyong mengerjap beberapa saat. Ia tak percaya kekasihnya ini membuatnya mendadak berhenti hanya karna gula kapas?

Menangkup wajah Zemira, lantas menekan-nekan pipinya. Lantas mengecup bibirnya singkat sebelum mematikan mesin mobil.

“Udah. Ayo.”

Zemira tersenyum senang, membuka pintu mobil hingga melupakan seatbelts yang belum ia buka.

“Aduhhhh ihhh peaaaa.”

Lagi-lagi Taeyong tertawa terbahak karena itu. Sungguh Zemira sekali. Ia yang sudah hampir menutup pintu mobil masuk kembali untuk membantu kekasihnya melepas seatbelt.

“Pak bisa bentuk beruang gitu gak sih?”

“Bisa nenggg.”

“Aku yang bentuk beruang ya pak.”

“Asiapppp!”

Melihat kekasihnya yang kegirangan itu membuat satu memori masa lalu Taeyong tiba-tiba muncul.

”Mau gulali yang bentuk beruang.”

”Dua pak. Yang satu bentuk… bentuk apa?”

”Ayam aja ya nanti aku cobain punyamu, kamu cobain punyaku.”

Entah ingatan darimana, tapi Taeyong malah tertawa karena Zemira saat ini telah membawa gula kapasnya seperti anak kecil. Memegang tusuknya dengan erat, sedang tangannya yang lain berusaha membenarkan plastik agar tak menempel pada gula kapasnya.

“Lucuuu huhuhu.”

“Gak dimakan?”

“Janganlah ini lucu.”

Taeyong mengernyit. “Terus kamu beli buat apa kalo gak dimakan?”

“Ya dimakan, tapi lucuuuu. Mau dilihatin dulu terus aja kali ya?” Zemira manyun. “Bawa mobilnya hati-hati, pelan-pelan aja jangan ngebut ntar beruangnya rusak.”

Taeyong malah mengacak rambut Zemira saking gemasnya. Kemudian melajukan mobilnya lagi menuju ke taman kota yang kala itu pernah mereka kunjungi.

image

Usai mendapatkan tepuk tangan dari ratusan mahasiswa dari kampus yang berbeda-beda, Taeyong masih duduk di depan Aula menunggu seseorang. Ia yang tengah bersiul dan memutar-mutar ponselnya seketika terbelalak saat sapaan seseorang menghentikan siulannya.

“Taeyong?!”

“Wah beneran ini lo?!”

Lelaki itu memandang Taeyong dari ujung kaki hingga ujung kepala. Jemarinya masih menunjuk dan berdecak tak percaya. Dua lelaki yang bersamanya pun tak kalah terkejut bisa bertemu dengan teman lamanya.

“Eh lo apa kabar?” Lelaki itu menepuk bahu Taeyong seakan mereka berdua adalah teman akrab. Namun Taeyong menepis tangannya.

“Baik.” Jawab singkat yang menandakan bahwa Taeyong sama sekali tak tertarik mengobrol dengan tiga teman lamanya.

Ketiganya tertawa bersamaan.

“Gila lo sekarang keren ya bisa lolos dari ratusan mahasiswa buat dapetin beasiswa di UK?” Tanyanya remeh. “Gue kira tadi salah denger waktu nama lo disebut, dan ternyata beneran Taeyong temen gue!”

‘Temen gue’ membuat Taeyong berdecih dan melengos. Ia benar-benar sedang tak ingin berbicara dengan mereka.

“Gue balik duluan.” Pamit Taeyong melewati tempat mereka berdiri. Namun langkahnya tercekat ketika ia harus mendengar kalimat yang membuat tangannya mengepal.

“Ibu lo masih di Rumah Sakit?”

“Masih di rawat disana?”

“Haha kenapa masih mau ngerawat orang gila sih?”

Ketiganya tertawa. Tangan Taeyong mengepal dan rahangnya mengeras. Luka lamanya, kenapa harus terbuka kembali? Kenapa harus ia merasa sekujur tubuhnya sakit kala memorinya terputar?

Ia membalikkan tubuhnya, langsung mendaratkan pukulan pada lelaki yang dikenal sebagai teman lamanya semasa duduk di bangku SMA. Taeyong menghajarnya habis-habisan. Ia tak bisa mengontrol emosinya setiap kali memori itu terputar.

Lawannya yang tersungkur dan berada dibawah Taeyong itu membalikkan posisi. Kini wajah Taeyong yang jadi sasaran. Keduanya saling melempar pukulan hingga banyak mahasiswa tengah bergerumbul mengerumuni mereka.

“Taeyong!!!” Terlihat seorang perempuan menerobos kerumunan dan berusaha memisahkan mereka berdua.

“UDAAAHHH WOY UDAHHHHH!!!!” Usaha gadis itu membuahkan hasil. Mereka berdua menghentikan aksi saling pukulnya.

Wajah Taeyong babak belur, pun lawannya. Rosa berusaha membantu Taeyong berdiri.

“Lo ngapain sih! Keren lu begitu jadi tukang bully mulu dari SMA?!”

“Kenapa?! Lo iri? Pengen masuk Rumah Sakit Jiwa juga? Sini gue telfonin biar lo diangkut!”

“Anjing!” Lelaki itu menarik kerah baju Rosa. Tangannya sudah melayang untuk memukul gadis itu. Namun kemudian menurunkan lengannya ketika kedua temannya yang lain menariknya.

Rosa memegang lengan Taeyong yang melingkar di bahunya. Ia berusaha membantunya berjalan menuju Ruang Kesehatan, namun lelaki itu menolak karena ia sudah memiliki janji dengan teman-temannya di warung depan kampus.

Permintaan Taeyong yang keukeh itu tak bisa dipatahkan, Rosa tetap mengantarnya.

“Woy anjing muka lo bonyok begitu kenape?” Sahut Lucas kala melihat Taeyong masuk ke dalam warung.

“Gak usah banyak tanya ini temen lo tolongin dulu napa!” Decak Rosa.

“Beneran ini Taeyong abis ribut sama siapa? Ada yang mau ngerebut Zemira?” Tanya Mark yang langsung mendapat jitakan dari Jaehyun.

“Zemira gue rebut aja kita gak babak belur. Gak mungkin gara-gara Zemira lah.” Ujar Jaehyun.

Taeyong tertawa sebal. “Udah lama gue gak nonjok orang, lo mau nyobain gak Jae?” Liriknya.

“Bercandaaaaaa. Tadi pagi aja gue udah lu cekek masa mau lu jotos.”

Taeyong berjalan menuju toilet untuk mencuci wajahnya. Di depan cermin ia melihat wajahnya yang banyak bercak darah itu. Di pelipis, sudut bibir, bahkan ia terbatuk cairan merah. Kedua tangannya meremat wastafel, matanya mulai berkaca-kaca.

Sudah lama ia tak merasa sakit di sekujur tubuh. Sudah lama ia tak merasakan dirinya dipukul. Sudah lama ia tak melihat wajah tampannya yang terkoyak dengan banyaknya bekas luka.

Taeyong mendengus. Ia mengguyur wajahnya dengan air. Membersihkan sendiri lukanya seperti saat ia kecil. Tanpa ada yang membantu, ia bisa membersihkan sendiri. Karena jika ia meminta bantuan orang lain, Ibu akan marah.

“Iya Ibu….”

“Taeyong bersihin sendiri….” Lirihnya.

Semburat senyum tipis menghiasi wajah Taeyong selama perjalanan menuju kos. Ia tak banyak bicara karena Ayah Zemira lebih sering berbicara dengan Jaehyun yang duduk di kursi penumpang sebelah kursi sopir. Kadang ia menyimak, kadang ia meraih ponselnya lagi ketika kekasihnya itu membalas pesannya.

“Kalo kamu Taeyong? Deket banget sama Zemira?”

Taeyong melirik Jaehyun yang tengah tertawa entah karena apa. Apakah ada hal yang lucu dari pertanyaan Ayah atau lelaki itu puas karena merebut posisi Taeyong sebagai kekasih Zemira dimata kedua orang tua gadisnya.

Mengangguk sebagai jawaban, Ayah tersenyum.

Hingga masuk ke pelataran kos, Taeyong masih bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan namun enggan untuk melontarkan.

Jaehyun lebih dulu berpamitan pada Ayah. Bersalaman, lalu meraih gagang pintu dan keluar. Taeyong yang masih bersiap memakai tas ranselnya, langsung dihentikan oleh pernyataan dari Ayah Zemira.

“Jagain anak Ayah ya? Zemira emang suka ngerepotin, dia kurang kasih sayang dari Ayah sama Bunda, jadinya kalo sama pacar tuh selaluuuuu aja begitu.”

Taeyong hanya mengedipkan kelopak matanya. Masih belum mengerti dengan apa yang disampaikan Ayah. Kemudian lelaki itu membalikkan tubuhnya untuk bicara berhadapan dengan Taeyong.

“Ayah tau kalo kamu pacarnya Ze, kenapa gak mau ngaku sih?”

“M-maaf Om tapi saya—“

“Ayah. Panggilnya Ayah. Ayah udah tau dari lama, sebenernya Jaehyun yang bilang. Padahal waktu itu Ayah pengen ketemu sama kamu di rumah, tapi malah Jaehyun yang dateng. Temen kamu itu emang suka ngegoda gitu.” Tunjuk Ayah pada lelaki yang berdiri cengengesan di luar mobil.

“Jadi? Om selama ini—“

“Ayah.”

“Iya jadi Ayah udah tau kalau saya pacarnya Zemira?” Tanya Taeyong meyakinkan.

Ayah menepuk bahu Taeyong. “Bahkan sebelum kamu jadi pacar anak Ayah, saya lebih dulu kenal kamu. Kamu anak baik. Kamu anak kuat.” Sembari terus menepuk bahunya.

Diperlakukan seperti itu, kedua manik Taeyong mulai berkaca-kaca. Rasanya ada sesuatu yang melesak ingin keluar. Lagu dari fourtwnty-nyanyian surau yang terputar di mobil seakan menambah sendu dalam hatinya. Tak kuasa, tiba-tiba saja satu bulir air mata lolos begitu saja.

“Kamu mungkin lupa, tapi terima kasih masih ada hingga saat ini. Terima kasih karena kamu bisa menjaga diri sendiri dan bertahan. Terima kasih.”

Mengakhiri kalimat, tak lupa Ayah tersenyum. Yang senyum itu malah membuat tangis Taeyong pecah. Ia tertawa sembari menyeka kedua pipi yang basah.

Taeyong memang tidak ingat dengan awal pertemuannya dengan Ayah, tapi Ayah mengingat semua kejadiannya. Hal yang terjadi pada Taeyong. Hal yang menimpa lelaki itu, hingga Ayah tak kuasa meninggalkannya dulu.

“Sudah ayo anak kuat! Mau ke kampus katanya? Ke buru telat itu.” Ayah mengusap pucuk kepala Taeyong.

“Sssttt jangan lupa hajar Jaehyun. Dia yang kasih ide buat pura-pura gak tau kalo kamu pacar Zemira.” Bisik Ayah yang membuat Taeyong tertawa.

“Iya Ayah!” Taeyong melayangkan jempolnya dan keluar dari mobil.

Jaehyun yang sedang berdiri dengan satu tangan di saku, dan tangan lainnya menggulir ponsel langsung terpekik kala lengan Taeyong tiba-tiba melingkar di lehernya.

“Anjingggggg. Gue kecekekkkk.” Seraya menepuk lengan Taeyong. Tangan kanannya melambai pada Ayah seakan meminta bantuan.

“Lo sumpah! Pilih rumah sakit apa langsung kuburan?!” Taeyong mengeratkan lengannya.

“Seremmmm aduhh lepasin woy gue kecekek beneran bisa mati ini!!!!”

“Didiemin emang makin ngelunjak lo!”

Taeyong terus menjitak kepala Jaehyun dan tak melepaskan lengannya hingga punggung mereka berdua menghilang di balik pintu.

Ayah tertawa melihat keduanya.

. . . . . .

Zemira selalu bermain sendiri diluar rumah. Menjenuhkan harusnya anak usia 4 tahun itu bisa menikmati masa kecilnya dengan bermain bersama teman. Namun tidak, Zemira malah sedang menunggu datangnya sang Adik ke dunia.

”Aduh!!!” Keluh Zemira saat tubuhnya bertabrakan dengan seorang anak lelaki yang tengah berlarian.

”Ih gimana sih jangan masuk ke rumah orang sembarangan!” Imbuh Zemira.

Lelaki itu membawa Zemira bersembunyi dibalik tembok rumahnya. Dengan jemari telunjuknya menempel pada bibir seolah mengisyaratkan Zemira untuk diam.

”Kamu lagi main petak umpet?!” Tanya Zemira dengan polosnya. “Kan aku gak ikut main kenapa aku sembunyi juga?”

”Ssssttt kalo kamu berisik nanti Ibu aku tau.”

”Kamu sembunyi dari Ibu? Ih gak boleh tau! Kamu pasti anak nakal kan?! Gak nurut sama Ibu ya!”

Zemira berkacak pinggang dan langsung keluar dari persembunyian. Tak sengaja bertatapan dengan Ibu dari anak lelaki itu. Zemira menunjuk ke arah lelaki yang saat ini menggeleng-gelengkan kepalanya cepat.

”Ibu!!! Ibu!!! Disini Ibu!!! Sembunyi disini anak nakalnya!!!”

Kala itu Zemira tak mengerti mengapa Ibu itu membawa tali panjang dengan wajah memerah dan rambut yang acak-acakan. Zemira tak mengerti apa kesalahan anak lelaki itu hingga ia harus dipukul dengan kerasnya. Gadis itu lari ke dalam rumah karena takut melihat apa yang terjadi di balik tembok rumahnya.

. . . .

Baru saja sampai di villa, Zemira sudah menghujani Ayahnya dengan ribuan pertanyaan dan salah satunya mengapa gadis itu tidak dibangunkan ketika Jaehyun dan Taeyong memutuskan untuk pulang lebih dulu.

“Yaaahhhhhh!” Rengek Zemira.

“Aduh bentar ini Ayah baru aja sampe biar Ayah duduk dulu.”

Zemira mengangguk namun tetap mengekori Ayahnya. Ia ingin mengatakan juga bahwa kekasihnya yang sebenarnya itu adalah Taeyong, dan bukan Jaehyun. Ia ingin meluruskan semua.

“Ayah—“

“Iya pacar kamu udah selamat sampai tujuan nenggg tenang aja.” Ujar Ayah dengan merebahkan diri di sofa.

“Tapi Ayah pacar Ze itu—“

“Ayah bersyukur karena bisa ketemu dia lagi Kak.” Tukasnya.

Zemira mengernyit tak mengerti. “Maksud Ayah?”

“Taeyong Kak.”

“Ohhhh.” Zemira ber-oh ria tanpa tau maksudnya.

Renjun yang ada disana terkekeh melihat Kakaknya masih berdiri mematung meminta penjelasan.

“Kakak tuh bloon banget dah.”

“Adekkkk.” Bunda menepuk lengan Renjun.

“Habisnya dia gak sadar tuh apa maksudnya Ayah.” Si bungsu masih terus menatap layar ponsel untuk menuntaskan permainan. “Ayah itu udah tau kalo kak Taeyong pacar Kakak. Ih gitu aja gak paham!”

“JADI AYAH UDAH TAU?” Teriak Zemira.

“Sssttt iya Kak udah. Bentar-bentar Ayah mau merem bentar.”

“Kok bisa???”

“Dari kapan???”

“Ayah ih!!?? Terus kemaren-kemaren kenapa ihhhhh AYAHHHHHHH.”

Kedua orang tua Zemira tak banyak menceritakan kisah mereka berdua semasa kecil, karena mereka tak ingin mengulik luka-luka lama anak-anaknya. Biarkan saja Zemira dan Taeyong bertemu dengan ingatan yang membuat mereka bahagia, bukan karena ingatan masa kecil yang membuat mereka terluka. . . . . . Selama beberapa hari Zemira menunggu anak lelaki itu di depan rumah. Ia menengok kesana kemari namun hari ini belum juga bertemu. Zemira seperti merasa bersalah karena telah memberitahu Ibunya kala itu. Jadilah anak lelaki itu dihajar habis-habisan.

Langkah kecilnya mulai memasuki teras rumah. Hari-hari yang membosankan. Namun ketika tangan kecilnya akan meraih knop pintu, suara anak lelaki membuat langkahnya berhenti.

”Sssttt cantik! Ayah kamu ada di rumah?”

Zemira sedikit terkejut dengan penampilan lelaki itu. Penuh dengan luka di wajahnya, namun senyum cerahnya menutupi segala luka. Di tangan, hingga kaki. Zemira terkejut hingga meringis ngeri.

”Ayah kamu ada gak?” Tanyanya lagi. “Enggak kok aku gak mau ngerebut Ayah kamu, ini aku mau kembaliin sapu tangannya.”

”Ayah di rumah sakit sama Bunda. Itu sakit ya?” Tunjuk Zemira pada kedua kaki yang masih terdapat bekas kemerahan.

Lelaki itu hanya tersenyum. “Sedikitttt.”

”Kamu sih nakal jadi dipukul Ibu kan?!” Tuduh Zemira yang membuat anak lelaki itu tertawa.

”Mau main enggak? Kamu sendirian kan di rumah? Ayo main sama aku sambil nunggu Ayah kamu pulang!”

Zemira terlihat senang karena dirinya memiliki teman. Teman pertamanya, mengingat dirinya tidak memiliki teman.

Keduanya bermain di dalam rumah. Semua mainan barbie-barbie an Zemira keluarkan. Lelaki itu ikut saja ketika ia harus bermain peran dengan gadis cantik di depannya.

Di tengah-tengah mereka bermain, terdengar suara teriakan dari seorang wanita di luar sana. Seperti sedang memanggil nama seseorang. Sontak anak lelaki itu berlari keluar dan meninggalkan Zemira sendiri dengan mainan yang berserakan.

”Taeyong!!! Taeyong!!!”

Anak lelaki itu muncul di balik pintu dengan Zemira berada di belakangnya. “Maaf aku pulang dulu.” Anak lelaki yang bernama Taeyong itu meraih dua tangan Zemira untuk menutup pandang gadis itu. “Jangan dilihat.”

Zemira melihat senyum terakhir Taeyong, kemudian menurut perkataan anak lelaki itu. Kedua matanya tertutup oleh tangan. Namun ia bisa mendengar suara Taeyong yang menjerit kesakitan.

”Iya Ibu maaf Ibu.”

”Kamu temani Ibu di rumah! Jangan keluar rumah!”

Ketika suara mereka mulai menjauh, Zemira menurunkan tangannya. Seketika menangis. “Ibunya jahat…. Kasihan Taeyong….”


Katakanlah Zemira egois.

Ya, itu benar.

Ia terlalu egois.

Bagaimana bisa ia menempatkan dua lelaki di hatinya? Di ruangan berbeda, katanya. Padahal meski dua orang lelaki ditempatkan di ruang berbeda, mereka masih berada di lingkup yang sama bukan? Apakah itu artinya ia masih tidak bisa menghapus perasaannya pada Jaehyun?

Tadi pagi, Zemira sempat marah karena Jaehyun benar-benar ikut ke puncak. Lelaki itu datang bersama dengan Taeyong, menjemput Zemira dan Renjun di rumah. Sedang kedua orang tua Zemira sudah berada di villa yang akan mereka tempati selama tiga hari kedepan.

“Jeee awas be lu usil disana!” Tukas Zemira.

Kini mereka berempat tengah ada di dalam mobil. Hampir 2 jam perjalanan mereka tempuh karena jalanan kota padat merayap. Zemira duduk di bangku belakang supir bersama si bungsu yang sudah terlelap karena dipaksa untuk bangun pagi di hari liburnya.

“Gue usil apa sih beb?” ujar Jaehyun cengengesan. Ia memiringkan tubuhnya sedikit menengok ke belakang. “Gue mah gini gini aja dah perasaan.”

“Ya awas aja lo aneh-aneh ntar beneran gue penggal pala lo.”

“Galak bener ini ama pacar sendiri—”

Bughhh!

Belum sempat Jaehyun menyelesaikan kalimatnya, Taeyong lebih dulu melayangkan pukulan pada kepalanya. Sebenarnya itu bukan terlihat seperti pukulan karena tangan Taeyong hanya menyundu belakang kepala lelaki itu—mm sedikit kencang tapi tenang saja Jaehyun tidak akan terluka hanya karena hal itu.

“Ngelunjak lo dibiarin lama-lama.” Protes Taeyong.

“Lahhhh mang Zemira pacar gue noh didepan bokapnya.”

Baik Taeyong maupun Zemira seketika mengatupkan bibirnya mendengar pernyataan dari Jaehyun. Jika seperti itu Taeyong pun kalah telak. Zemira memanyunkan bibirnya, raut wajahnya berubah sendu, lantas Taeyong yang tengah melihatnya lewat spion itu tersenyum.

“Gak papa pacar aslinya mah tetep gue, Jae. Hak pacar juga gue yang dapet, bukan lo.” Tukas Taeyong.

“Iyeee pacarrr sombong amat dah.” Jaehyun tertawa, mengembalikan pandangannya pada jalanan yang mereka lewati.

. . . . .

“Bundaaaaaa.”

Renjun berlarian ketika mobil Taeyong sudah terparkir di halaman villa. Diikuti dengan Zemira dan dua lelaki tampan di belakangnya. Bunda sedang beranjak dari ayunan coklat, sedang Ayah melanjutkan menyesap secangkir kopinya disana. Sepertinya orang tua Zemira sudah lama menunggu anak-anaknya datang.

“Ehh anak bontot jangan lari-lari Adek.” Bunda melambai. Mengusak surai Renjun ketika anak itu berdiri dengan senyum simpul di depan Bunda.

“Loh? Kakak bawa siapa tuh, Yah? Si ganteng deket Jaehyun.” Bisik Bunda pada Ayah yang baru saja beranjak dari ayunan untuk berdiri sejajar dengan Bunda.

Ayah hanya tersenyum.

Jaehyun menjabat dan mencium tangan Ayah dan Bunda secara bergantian. Menyapa mereka dengan berbasa-basi menanyakan kabar dan kesibukan mereka. Cukup lama mereka mengobrol, hingga akhirnya Zemira menyela.

“Yah, ini Taeyong—“

“Oh kamu ajak temen juga? Apa ini temennya Jaehyun?” Ayah menyela kalimat Zemira sembari mendekati Taeyong dan menjabat tangannya.

Sontak Taeyong mencium tangan Ayah. “Temen Zemira, Om.”

Renjun mendelik kaget. Jaehyun pun menoleh kasar. Apalagi Zemira yang tak percaya dengan jawaban Taeyong, padahal ia akan menjelaskan pada sang Ayah jika lelaki yang sedang beliau rangkul itu adalah kekasihnya saat ini. Lelaki yang menjaga dirinya juga si bungsu. Entah mengapa Taeyong melakukan itu, yang jelas Zemira kecewa dengan tindakan yang diambil oleh kekasihnya.

Tanpa berpamitan, Zemira melengos, berjalan masuk ke dalam villa meninggalkan mereka yang masih berdiri di halaman. Awalnya Bunda menahan anak perempuannya, namun Renjun menyambar lengan sang Kakak dan menjauhkan diri dari Bunda untuk menariknya.

“Kak?”

“Hm.” Zemira berdehem sekenanya.

“Gue kaget kak Taeyong bilang gitu.”

Zemira tak menanggapi. Setelah masuk ke dalam rumah ia langsung menuju ruang makan dengan bar kecil di dalamnya. Kini ia sibuk membuat minuman dan menuangkan ke dalam empat gelas kaca. Renjun duduk di bar kecil dengan mengamati raut wajah Kakaknya. Kedua kakinya mengayun-ayun, kedua tangannya menangkup wajahnya, dan berkali-kali menghela nafas kasar.

“Ih Kakkkk.”

“Apa sih?”

“Mukanya jangan gitu, jelek.”

“Ya gue emang jelek.”

Renjun mendengus. “Kok pasrah dikatain? Ayo dong berantem.”

“Gak mood Injun.”

Ketahuilah bahwa wajah Zemira saat ini datar, tak menampakkan seulas senyum atau bahkan ekspresi lainnya. Pandangannya fokus pada minuman yang tengah diaduk.

“Zemira….”

Ia mengenali suara itu, namun Zemira hanya diam tak menoleh ataupun menyahut sapaannya. Langkah kaki seseorang itu mulai mendekat, bahkan aroma parfumnya dapat Zemira cium saking dekatnya.

Taeyong.

Ia mencekal tangan Zemira. Menghentikan aktivitas gadisnya. “Sini aku bantu.”

Sontak Zemira melepas sendok dan selangkah menjauh dari Taeyong. Lelaki itu sangat peka jika gadisnya marah karena ucapan yang ia lontarkan di depan Ayah juga Bunda.

“Mau kemana?” Kini tubuh Taeyong menghadang Zemira yang akan beranjak meninggalkannya. “Disini aja dulu.”

“Nyamperin pacar aku.” Jawab Zemira penuh penekanan dan menatap lelaki di depannya dengan sorotan mata yang tajam.

Raut wajah Taeyong berubah sendu. Ia raih pergelangan tangan Zemira namun dengan cepat ditepis oleh empunya.

“Sayangggg aku jelasin dulu.”

Saat ini, ada seorang lelaki yang tengah menikmati pertikaian sepasang kekasih itu. Bak menonton drama, Renjun yang masih berada di bar kecil itu asyik mengunyah kue kering miliknya yang hampir habis. Ia bahkan tak bisa menahan tawanya ketika melihat Taeyong merengek seperti itu.

Baiklah lupakan saja Renjun, ia hanya akan pergi dari sana jika salah satu dari mereka menyuruhnya pergi.

“Aku gak mau bikin Ayah sama Bunda bingung. Masa iya kamu ngenalin aku sebagai pacar kamu sedangkan kamu sendiri belum bilang kalo hubunganmu sama Jaehyun udah berakhir.” Jelas Taeyong.

“Ya aku tadinya mau bilang tapi keburu kamu duluan yang bilang ya udah!” Kesal Zemira.

“Kamu tadi mau bilang gimana coba aku tanya.”

“Ya bilang kalo kamu pacar aku lah.” Dengus Zemira.

“Tuhhh kan.”

“Apa?! Ya udah aku salah!”

Sepertinya Zemira masih belum mengerti apa yang kekasihnya maksudkan. Taeyong tersenyum, kemudian menarik pergelangan tangan Zemira dan memeluknya.

Gadis yang masih dikuasai dengan emosi dan rasa kesal, berusaha untuk melepaskan diri dari rengkuhan hangat Taeyong.

“Lepassssssss.”

“Gak mau.”

“Taeyongggg ih!”

Meski Zemira memukul punggungnya pun, Taeyong tak melepaskan. Ia malah mengeratkan kedua lengannya yang kini telah mengunci.

“Cara buat ngilangin emosi tuh gini. Udah diem jangan gerak.” Bisik Taeyong.

“Maaf ya? Baru nyampe udah bikin kamu kesel. Padahal niatnya kesini liburan ya?”

Bahu Zemira merosot, ia sudah tak lagi berusaha melepaskan rengkuhan. Kini ia malah menyandarkan dagunya pada bahu kiri Taeyong. Kemudian membalas pelukan dan menenggelamkan wajahnya pada dada bidang milik kekasihnya. Sebenarnya ia tak bisa marah terlalu lama karena dirinya sudah terlalu dalam menyayangi kekasihnya. Hingga rasanya tak ingin sedetik pun jauh darinya.

“Jangan bilang gituuu, aku gak mau Ayah sama Bunda salah paham terusss.” Gumam Zemira. “Pacar aku kan kamu.”

“Iya iya maaf ya?” Taeyong tersenyum sembari mengusap surai hitam Zemira, beberapa kali mengecup kepalanya. “Udah hilang keselnya? Masih emosi gak?”

Zemira menggeleng namun semakin mengeratkan rengkuhannya. Taeyong terkekeh sadar akan hal itu.

“Udah yuk ke depan. Mau main sama Injun. Tadi Ayah ngajakin duel badmintoon tau.”

Menggeleng. “Gini aja.”

“Jalan ke depan sambil pelukan gini?”

Zemira mengangguk sembari mendongak. “Kamu pake parfum apa eee wangi banget?”

“Gak pernah pake parfum, Ze. Aku gak suka parfum.”

Manggut-manggut. “Mm yaa udah.” Kembali menenggelamkan wajahnya.

Taeyong membiarkan kekasihnya yang sedang dalam mode clingy itu. Ia juga melempar tawa pada Renjun yang saat ini bertepuk tangan di udara dan mengangkat ibu jarinya untuk Taeyong.

“Oyyy hausssss minuman gue—“

Renjun menoleh cepat ke sumber suara, menghentikan kalimat Jaehyun yang baru saja masuk ke dalam untuk pergi mengambil minuman.

“Sssstttt.” Lirih Renjun memperingatkan Jaehyun.

Terlambat, Zemira lebih dulu sadar dan melepaskan pelukannya. Menjauhkan dirinya dari Taeyong ketika bertemu tatap dengan Jaehyun.

“Ganggu dehh.” Sinis Zemira. “Aku ke Ayah sama Bunda dulu deh yaa?”

Taeyong mengangguk. Ia melihat wajah Zemira berubah cerah, lantas mengecup singkat kening gadisnya. Membuat Zemira tersipu malu dan tersenyum saat meninggalkan tiga orang lelaki yang ada disana.

“BONUSSSS BANGET NIH KAK?” Teriak Renjun yang rupanya ikut beranjak dan membuntuti langkah Kakaknya. Seperti Adik pada umumnya, ia membuntuti untuk menggoda si sulung. Renjun memang seperti itu.

Tentu saja, Jaehyun melihat semua dimana mereka berdua berpelukan dan Taeyong yang mengecup kening Zemira diakhir. Apa yang ia lihat seperti reka adegan ketika dirinya pernah merajuk pada Zemira, dulu. Bedanya, Zemira yang akan bertingkah clingy di depan Jaehyun hingga lelaki itu mau angkat bicara. Itu hanya masa lalu—yang sebaiknya ia lupakan bukan?

“Nih, kalo kurang es batunya ambil sendiri.” Taeyong menyodorkan satu gelas minuman yang sudah ia aduk.

Jaehyun yang baru saja duduk di bar, langsung beranjak mengambil es batu di kulkas. Ia benar-benar memasukkan banyak es batu ke dalam gelasnya.

“Modar lu masuk angin ntar.” Tukas Taeyong karena Jaehyun memasukkan banyak es batu ke dalam gelasnya.

“Hauss gue hawanya kagak enak gini pengen minum yang adem-adem.” Ujarnya seraya meneguk minuman dinginnya.

. . . . . .

Renjun, Taeyong, Jaehyun dan Ayah tengah bermain badminton di halaman villa. Sedang Zemira hanya menonton keempat lelaki yang entah bertaruh memperebutkan apa hingga mereka saling mengejar skor dan bermain sengit.

Zemira terus mendengus kasar karena bosan, pasalnya dirinya hanya duduk menonton dan tak bisa ikut bermain.

Bunda? Bunda sendiri heboh meneriaki suaminya. Bersedia menjadi wasit diantara mereka.

“YESSS AYAH MENANGGGGG!!” Teriak Ayah dengan merangkul tubuh Taeyong.

Kedua bola mata Zemira membulat karena Ayah dan kekasihnya itu menang. Ia ikut bersorak dan bertepuk tangan untuk keduanya.

Terlihat Renjun mendengus kesal hingga ia berteriak dan menyungutkan kedua alisnya. Kedua tangan yang terlipat di dada, dengan kaki yang dihentak-hentakkan, membuatnya sangat terlihat menggemaskan. Tak kuasa melihat itu, Zemira berlari menghampirinya.

“Huuuu kalah huuuu.” Bukannya membuat rasa kesal Renjun hilang, Zemira justru mengejek sang Adik. “Yeee jelek banget muka lo.”

“Kakak jangan digituin atuh teh Adiknya.” Ujar Bunda yang ikut menghampiri Renjun. Meski menahan tawa, beliau mencoba menenangkan dengan mengusap punggungnya. “Udah Injun siap-siap gih.”

“GAK MAU!” Jawab Renjun cepat.

“Mau kemana Bun?” Tanya Zemira heran.

“Ituuu Ayah kamu ngide banget bikin taruhan. Yang kalah pergi belanja ke supermarket bawah Kak.” Jelas Bunda. “Padahal tadi Bunda udah bilang mau belanja sendiri aja, biar tau apa yang dibutuhin buat masakan tiga hari ke depan.”

Zemira manggut-manggut, melempar arah pandangnya pada Renjun yang masih memanyun-manyunkan bibirnya.

“Ck! Gue comot juga nih bibir.” Tangan Zemira sudah ingin menguncit bibir Renjun, namun lelaki itu lebih dulu menjauh. “Heh anak pecinta alam! Yang supportive dongg kalo main tuh. Kalah ya terima aja hukuman.”

“Buuuuunnnn.....” Renjun merengek.

“Dah lah Jaehyun pergi sendiri gak papa, mana listnya Bun?”

“Ehhh kagak kagak nih laki atu ini ikut juga gak lo?! Lu main kalo kalah begini dih.” Zemira menarik-narik lengan Renjun.

“Gak mauu ih kak, Injun capekkkkkkk.”

“Ikut gak luuu cepetan!”

“Orang kak Jaehyun gak papa sendirian, ya kan kak?”

Jaehyun tertawa dan menganggukkan kepala. Ayah dan Taeyong pun ikut tertawa.

“Udah ah kak jangan dipaksa Adiknya, mending kamu aja sana temenin pacarnya.” Ucap Ayah mengejutkan Zemira.

“Gih kak, sekalian pacaran sana.” Sambung Bunda.

Zemira menghela nafas. “Ya udah ayo sama Taeyong juga.” Ia sudah menggandeng lengan Taeyong dan akan membawanya pergi, namun....

“Taeyong biar bantu Ayah disini, nyiapin buat manggang daging ntar malem.”

“BBQ Ayahhhh.” Sahut Renjun.

“Iya gitu maksud Ayah. Udah kamu berdua aja sama Jaehyun keburu makin sore nih.”

Taeyong melepas tangan Zemira yang masih menggenggam lengannya. Lelaki itu menganggukkan kepala dan menyuruh gadisny untuk pergi menemani Jaehyun. Tidak apa, katanya. Namun itu hanya ucapan dibibirnya, tak ada yang tau bagaimana isi hatinya ketika kalimat itu ia lontarkan.

. . . . . .

Tak dapat dipungkiri bila Jaehyun merasa senang ketika harus berduaan bersama Zemira. Sudah cukup lama ia tak memiliki waktu seperti ini. Ia pun tak bisa membohongi hatinya bila sebenarnya masih ada perasaan yang sengaja ia simpan dengan baik untuk perempuan yang saat ini bersamanya.

Mengobrol di mobil, bersenandung ketika musik favorit tak sengaja terputar, pergi belanja berdua, memilih barang dan bahan yang mereka butuhkan, dan tak lupa untuk memasukkan ice cream ke dalam keranjang belanjaan. Semua kegiatan yang Jaehyun rindukan, kini bisa ia rasakan lagi.

“Awassss!!”

Jaehyun menarik lengan Zemira yang hampir saja tertabrak oleh motor. Pasalnya gadis itu fokus menunduk menggulir layar ponsel.

“Taruh dulu kenapa sih! Hampir aja lo ketabrak itu motor!”

Zemira mengerjap beberapa kali karena tatapan Jaehyun yang penuh dengan kekhawatiran. Ia menarik lengannya yang masih digenggam, kemudian menjauhkan tubuhnya.

“Ya kan gue gak kenapa-kenapa.”

“Lo gak kenapa-kenapa tapi coba kalo gue gak ngelihat lo tadi gimana?!” Jaehyun mengusap wajahnya kasar. Berjalan menuju mobil, mendahului Zemira.

Setelah kejadian yang hampir saja membuat Zemira celaka tadi, Jaehyun hanya diam saja di mobil. Tak berniat mengajak gadis itu mengobrol.

“Jae.” Panggil Zemira. “Thanks ya.”

“Mmmm maaf juga deh.”

Jaehyun masih sibuk menyetir, tak menanggapi obrolan Zemira.

“Ish awas ya lu ngajak ngobrol gue gak gue tanggepin.” Tukas Zemira sembari melipat kedua tangannya di dada.

Lelaki itu menoleh, mengambil tangan kanan Zemira untuk digenggamnya. Tak ada penolakan darinya ketika Jaehyun mengisi sela jari Zemira dengan jemarinya.

“Kenapa?” Tanya Zemira.

“Gak papa. Pinjem tangan lo bentar, sebelum sampe villa gue lepas kok.”

Zemira mengangguk. Membiarkan tangan kanannya diusap lembut oleh ibu jari Jaehyun.

Entah lupa atau mereka berdua sama-sama tak ingin melepas genggaman, hingga sampai di villa dan mobil terparkir di halaman, Jaehyun tak kunjung melepaskan tangan Zemira.

“Ini gak mau dilepas?”

“Kenapa gak lo tarik dari tadi?” Goda Jaehyun.

“Dih?” Zemira melotot dan mencoba menarik tangannya.

Sebelum tangannya berhasil terlepas, hatinya lebih dulu berdesir kala Jaehyun mengecup punggung tangannya. Tersenyum menunjukkan kedua dimplesnya.

Tolong siapapun ingatkan Zemira bila kaca mobilnya itu tembus pandang, sehingga siapa saja bisa melihat keduanya saling melepar tatap kini.

Pun Taeyong yang sejak tadi duduk di ayunan, menunggu kekasihnya datang, dapat melihat apa yang telah terjadi di dalam mobil.

KUN · HONNE – Free Love(Cover by KUN/CHENLE)

Bukan tanpa sebab Zemira mengurungkan niatnya untuk menghampiri kekasihnya yang tengah lama menunggu di kantin. Setelah Taeyong menghitung sampai tiga, gadis itu benar-benar menghilang.

Tenang, menghilang bukan dalam artian sesungguhnya, melainkan ia menunggu lelaki itu di parkiran.

Seulas senyum terukir di wajah Zemira ketika melihat kekasihnya berjalan mendekat.

“Tuh kan pea kan.” Olok Taeyong. “But it’s ok sih sulapnya keren.”

Lelaki dengan baju denim lengan panjang itu mengacak rambut Zemira. Kemudian turun menekan-nekan kedua pipinya.

“Utututu lucunya bayi atu ini.” Sembari terus menekan kedua pipi Zemira. “Kenapa gak nyamperin ke kantin? Aku makan sendirian. Segala main sulap-sulapan.”

“Ada kucinggggggg.” Rengek Zemira.

“Eh? Takut kucing?”

Taeyong yang sejak tadi berdiri kemudian berjongkok di depan Zemira, agar gadisnya tak mendongakkan kepala saat berbicara dengannya. Membuat dirinya sejajar dengan gadisnya.

Zemira duduk di trotoar, sedang Taeyong berjongkok di depannya. Gadis itu menepuk ruang kosong di sebelahnya, mengisyaratkan agar Taeyong duduk bersebelahan dengannya.

“Duduk sini, jangan jongkok, capek.” Titah Zemira yang dibalas gelengan cepat.

“Kenapa kenapa? Kamu takut sama kucing? Pantesan waktu itu di kos kamunya lari ngeliat temen aku bawa kucing.”

“Bukan takut, aku ada alergi jadi ya gitu padahal aku suka kucing.”

Taeyong mengangguk. “Ya udah mulai besok kalo aku ketemu kucing mau aku kasih tau biar gak deket-deket sama kamu.”

Zemira terkekeh mendengar perkataan Taeyong. “Emang bakal nurut?”

“Bakal lah kalo gak nurut ntar aku cubit.”

“Ish!” Reflek, Zemira mendaratkan pukulannya pada lengan Taeyong. “Kasihan peaaa.”

“Haha ya enggak lah, cantik. Ini kamu suka mukulin aku kenapa sih sakit tau.”

Taeyong mengeluh sembari mengusap-usap lengan kirinya, berpura-pura meringis kesakitan dan mendramatisir keadaan.

“Ini nih merah nih ntar.”

“Serius? Gak keras kok aku mukulnyaaa.” Seolah percaya dengan itu, Zemira ikut mengusap lengan yang ia pukul.

“Tiuppppp.”

Zemira berdecak.

“Kan bisa sulap siapa tau abis ditiup terus gak sakit.” Taeyong mengeluarkan jurus andalannya. Melengkungkan bibir, memasang wajah sedih.

Terlihat sangat lucu dan menggemaskan dengan boba eyesnya itu.

“Iya iya sini fuuuuuuhhhh.”

Senyum Taeyong mengembang. “Sini sebelah sini.” Ia menunjuk lengan atasnya.

“Fuuuuuhh udah udah sembuh.”

“Sini sini.” Kini Taeyong menunjuk bibirnya, memanyun-manyunkan.

Zemira langsung meraup wajah Taeyong. “Hihhhhhh gue comot juga lu. Udah ayo balik keburu sore.”

Mereka berdua beranjak disertai dengan gelak tawa.

“Oh iya minggu depan aku beneran mau main sulapan lagi.” Ujar Zemira menghentikan langkahnya.

“Mau ngilang? Beneran ilang?”

Mengangguk.

“Ayah sama Bunda ngajakin ke puncak.”

“Terus aku?”

“Kenapa?”

“Aku gak diajakin?“

“Kamu mau?”

“Mau dong.“ Jawab Taeyong meyakinkan.

“Ya udah nanti aku bilang Ayah kalo kamu mau ikut.”

“Jangan deh ntar Ayah bingung kan pacar kamu Jaehyun, bukan aku.”

“Ihhhhhhhhh masih ajaaaaa!” Zemira mencubit perut kekasihnya.

Sontak Taeyong berlari menghindar dengan Zemira yang berusaha mengejar untuk menangkapnya.

Bughhhh

“Ee copot copot.”

“Bhahahah lo udah kayak emak-emak di kompleks gue.”

Itu Cakra yang baru saja datang bersama Rajendra, menoyor kepala Haikal dengan kantung berisi bungkusan nasi padang. Haikal yang tengah asik ngudud sembari melamun itu terkejut atas apa yang Cakra lakukan.

“Uanjinggggg.” Umpatnya. “Ck mau gue bales noyor, tapi ngancem lo nusuk kekayaan!” Haikal seraya beranjak dan sudah berancang-ancang membalas, lantas ia kembali berjongkok.

“Wessseeh lo bawa paan tuh.” Seru Naja yang baru saja keluar dari basecamp.

“Pada nitip nasi padang cenah, gimana sih?” Cakra ikut berjongkok di samping Haikal.

Jadilah mereka berempat sama-sama menyesap cerutu sembari berjongkok dan mengobrol santai, menunggu ketiga temannya yang lain datang. Kepulan asap yang mereka hasilkan menari-nari ke udara. Sesekali Haikal terbatuk.

“Uhukk uhukk—setannn ngapa gue batuk-batuk begini.” Keluh Haikal membuat ketiga temannya tertawa terbahak bahkan mengolok-olok dirinya.

“Nyebut lo, udah bau tanah si Aki.” Olok Jendra.

“Udah gue bilang juga kurang-kurangin tuh rokok, orang lo kena asepnya be dah uhuk uhuk.” Naja seraya meniru suara batuk Haikal.

“Stttt berisik.” Haikal menutup kedua telinganya.

Disela mereka saling melempar olokan, terdengar langkah kaki seseorang mendekat. Lelaki dengan tas ransel dan baju flanel kotaknya itu telihat sumringah saat berjalan mendekati teman-temannya.

“Yo dude!” Sapa Maren dengan tangan melambai. “Oh my gosh lo berempat udah ngudud be?”

“Nih gue masih ada banyak kalo lo mau.” Tawar Haikal. Tangannya sudah mengayun memberikan sekotak cerutu miliknya.

“Hhhh i’ll never smoke.” Maren mendengus. Memang dari keenam temannya, hanya dirinya yang bersih dari tembakau yang membuat candu.” Itu bibir lo udah ngitem kayak gitu Kal, kurang-kurangin dah.”

Haikal tertawa dengan cibiran Maren. Belum ada satu jam ia mendengar Naja mengomel karena ia terbatuk-batuk, kini ia mendengar kalimat itu lagi dari Maren. “Ya elah, bisa ntar balik merah kalo udah kena jatah.”

Rajendra melotot kaget dengan ucapan temannya. Ia langsung melayangkan pukulan pada kepala Haikal.

“Toyorrr aja toyor ini kepala gue ampe copot.” Protesnya pada Jendra yang membuat dirinya terhuyung ke depan.

“Jatah jatah mulu pikiran lo? Kuliah ngulang kelas be masih bisa mikir begituan. Ya bener sini gue toyor aja sampe pala lo ilang.” Jendra sudah mengepalkan tangannya dan berancang melayangkan pukulan.

Haikal hanya mengerjap sembari menggeser dirinya untuk menjauh dari Jendra. “Ngeri deh gue ama lo.” Menatap tak percaya karena Jendra sama sekali tak menunjukkan bila ia sedang bercanda.

Tak lama kemudian barulah Randika juga Aji datang. Aji yang datang dengan cengengesan langsung membaur pada teman-temannya, berbeda dengan Randika yang raut wajahnya terlipat, tertekuk, kusut, apalah semua kata yang tepat untuk menggambarkan wajahnya saat ini. Sesekali Randika menyibak rambutnya ke belakang.

“Nah ni dia berdua udah dateng, yok udah masuk ke dalem. Nasi padang keburu gak enak tuh.” Ujar Cakra, beranjak untuk masuk ke dalam diikuti teman-temannya.

Naja yang melihat Randika berjalan dengan memijat pelipis, langsung merangkul dan menjajari lelaki itu. “Ngapa lo? Muka ditekuk-tekuk gitu.”

“Gue abis kena semprot pak Jefri hhhh udah kagak usah dibahas gedek juga gue.” Menepuk punggung Naja, lantas duduk diantara teman-temannya.

Meski begitu, Naja selaku teman terdekat Randika merasa khawatir dengan temannya yang terlihat kacau itu. Mungkin setelah ini ia akan menanyakan atau lebih tepatnya memaksa agar lelaki itu berbagi cerita dengannya. Mengingat Randika adalah pribadi yang tertutup dan susah untuk sekedar berkata 'gue capek'. Naja paham akan itu. Menghela nafas kasar, lantas duduk di kursi seberang Randika.

Tujuh lelaki itu kini tengah makan bersama di basecamp mereka. Nasi padang yang Cakra bawa tadi sudah dingin karena dibiarkan terlalu lama. Mereka melahap habis makanannya hingga tak tersisa. Bungkus coklat mereka kumpulkan jadi satu dan membuangnya ke tempat sampah yang ada di depan.

Usai makan, mereka malah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Sama-sama mengeluarkan ponsel, dan fokus menggulir layar kecuali dua orang yang tengah saling melempar tatapan, kemudian memandang teman-temannya bergantian.

“Gue baru inget Charlie Charlie Challenge apaan dah?!” Seru Jendra mengantungi ponsel, mengalihkan atensi teman-temannya.

“Kagak tau gue, Naja noh. Gue juga baru denger.” Sahut Aji. “Tapi perasaan gue gak enak dan gak akan pernah enak kalo Naja ngajakin challenge beginian.”

Satu per satu dari mereka mulai menatap Naja lekat. Ketika semua atensi sudah ia dapatkan, barulah lelaki itu mengeluarkan satu lembar kertas dengan dua pensil tumpul dari tas ranselnya. Ia belum menjelaskan permainan apa yang akan mereka mainkan, namun Naja tengah menuliskan tulisan 'Yes' dan 'No'.

Mata Cakra memicing melihat apa yang dituliskan Naja. “Ini kayak ouija bukan sih?”

Mendengar kata 'Ouija' membuat teman-temannya yang lain melotot. Terutama Haikal yang langsung melongo tak paham dengan temannya itu. “Lo mau main-main ama arwah lagi ngapa dah? Kurang kerjaan bat kata gue.” Protes Haikal.

Jendra mendengus. “Lagaknye lo mau setor nyawa Na? Minggu-minggu kemaren lo ngajakin kita main paan dah yang boneka kemasukan arwah tuh.”

“Jailangkung? Yang mana? Saking banyaknya yang kita mainin ampe lupa.” Tukas Aji.

“Lo gabut apa begimana? Ayo dah sekali-kali kita liburan, gue bayarin dari pada temen gue ada yang begini.” Cakra menunjuk Naja. “Kasian gue lama-lama.”

“Ck! Udah lah yok gimana cara mainnya ini.” Tembak Randika yang sejak tadi memijat pelipisnya. Semakin pusing bila ia mendengar teman-temannya mulai berisik.

Mereka hanya geleng-geleng kepala semakin tak percaya karena satu temannya itu malah menyetujui apa yang akan dilakukan Naja. Padahal mereka ingin menghentikan kebiasaan buruk dari Naja yang setiap kali mereka berkumpul, selalu saja melakukan hal seperti ini. Tak punya pilihan lain, mereka pun ikut mengiyakan dan berusaha menyimak cara bermain dan peraturan yang akan Naja ungkapkan.

“Na, sumpah ini terakhir ya? Gue gak mau ah gini-ginian lagi.” Dengus Aji yang hanya dibalas dengan anggukan.

“Cara mainnya sama kayak papan Ouija bener kata Cakra. Lo pada udah pernah nonton filmnya kan? Ya udah gitu doang.” Jelas Naja singkat. “Cuma ya tetep aja beda.”

“Maksud lo beda?” Jendra memicing. Namun tak ada jawaban, Naja hanya diam, tak mempedulikan pertanyaan yang dilontarkan Jendra.

Lelaki itu sibuk mempersiapkan permainan, ia menyalakan lilin pula. Naja meletakkannya di samping kertas. Lantas memposisikan dirinya duduk dengan senyaman mungkin.

Haikal mengernyit. “Gitu doang? Alah udah ayo buru.” Sembari memegang pensil yang sudah berada di atas kertas.

Naja menepis tangan Haikal. “Kagak usah dipegang. Udah biarin gini aja.”

“Lah kalo Ouija kan dipegang? Ini kagak usah?” Tanya Haikal.

Naja menggeleng. Ia merapikan lagi posisi kedua pensil dengan posisi menyilang, meletakkannya persis di tengah-tengah kertas. Kemudian ia memberikan arahan pada teman-temannya. Apa yang harus diucapkan, bagaimana memulai, dan pertanyaan apa saja yang boleh ditanyakan. Setelah semuanya mengerti dengan penjelasan Naja, barulah permainan mereka mulai.

Seperti sebelum-sebelumnya, tak ada perasaan tegang atau takut karena mereka terlalu sering bermain dengan arwah. Membahayakan? Tentu saja ada resikonya, tergantung bagaimana mereka bermain dan mengakhiri permainannya.

“Charlie Charlie, are you here?”

“Charlie Charlie, are you here?”

“Charlie Charlie, are you here?”

Mereka bertujuh duduk mengitari meja, memulai permainan, dengan merapal sebanyak tiga kali sembari saling menautkan tangan. Semua mata terpusat pada pensil dan secarik kertas yang ada di tengah meja.

Tak ada pergerakan.

“Charlie Charlie, are you here?”

“Charlie Charlie, are you here?”

“Charlie Charlie, are you here?”

Sudah kedua kalinya tapi pensil itu sama sekali tak bergerak membuat Jendra dan Haikal saling menatap kemudian tertawa.

“Udah lah kayak bocah aja gue nurutin Naja.” Ujar Jendra yang sudah memakai tas ransel dan berniat untuk pergi.

“Na, Na. Kurang-kurangin deh lo main beginian. Inget umur weeeee.” Ejek Haikal. Ia mengikuti Jendra yang tengah beranjak.

Suara pergesakan kursi kayu milik Jendra dan Haikal terdengar. Belum sempat mereka berdua pamit dengan yang lain, juga belum sempat melangkahkan kaki terlalu jauh dari kursi, Naja menghentikan mereka dengan merapal lagi.

“Charlie Charlie, are you here?”

“Charlie Charlie, are you here?”

“Charlie Charlie, are you here?”

Tanpa disangka satu pensil itu bergerak dengan sendirinya, bergeser menunjuk pada tulisan 'Yes' membuat Jendra dan Haikal yang masih berdiri melotot tak percaya. Naja menatap keduanya bergantian.

“Lo berdua boleh ngasih pertanyaan dulu sebelum cabut.”

Keduanya kembali duduk seketika mendengar suara bariton Naja. Haikal melirik Naja yang tengah memperhatikan dirinya.

“Charlie Charlie, gue dapet jatah gak hari ini?” Tanya Haikal sembari cengengesan.

Pensil bergeser. Yes.

“Weh gilaa keren! Beneran ya lu awas aja bohong.” Seru Haikal membuat tangan Jendra kembali gatal.

Bugghh satu pukulan mendarat kini di punggung Haikal. Ia hanya meringis dan cengengesan tak peduli.

“Gue gue sekarang.” Sela Aji ketika Jendra akan mengudarakan suaranya. “Charlie Charlie—”

“Nooooo! Lo pasti wanna ask him to show himself right?! Gak ya Ji udah ah gue tau ini masih siang bolong dan gak mungkin he will emerge, but—” Maren menyela, namun dirinya yang belum sempat menyelesaikan perkataannya pun disela.

“Charlie Charlie, can you show yourself?”

“Dude?!!!!” sontak Maren berdiri dan tak terima dengan Randika yang tiba-tiba melempar pertanyaan seperti itu.

Seperti biasa, Randika yang tanpa ekspresi itu hanya memperhatikan Maren di depannya yang tengah menatapnya tak terima. Kedua lelaki itu saling melempar tatap.

“Lo punya masalah apa sih anjir? Duduk lagi dah gak capek apa lo berdiri sambil melototin gue?” Tukas Randika dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

“Lo! Lo yang ada masalah apa? Do you know who we're playing with? Come on lahhhh lo pada gak belajar dari yang udah-udah? The risk bro! Resiko yang bakal kita hadepin setelahnya!”

Mereka semua menghela nafas, terutama Jendra yang memang sejak awal ingin menghentikan Naja. Ia mengangguk-anggukkan kepala ketika Maren berkata seperti itu. Seperti menyetujui apa yang dikatakan.

“I'm out.” Final Maren. Menggeser kursinya dan meraih tas ranselnya. Tanpa berpamitan dengan yang lain, ia keluar dari basecamp dengan langkah kesal.

“Oy oy jangan gini dong?!” Teriak Cakra.

“Maren? Woyyy buleeeeeee!” Suara Haikal melengking.

Maren benar-benar kesal dan tak mendengarkan meski teman-temannya berteriak memanggil, sekalipun menyuruhnya untuk tetap tinggal, ia tidak akan mengubah keputusannya.

“Pensilnya gerak.” Lirih Aji yang suaranya masih dapat didengar.

Hanya Aji yang menyadari benda itu bergerak.

Yes.

Mereka yang berada di dalam ruangan saling melempar tatap. Mereka sama-sama menunggu apakah 'dia' benar akan menunjukkan dirinya atau tidak.

Jujur saja dalam keadaan seperti ini Haikal mulai bergerak gelisah. Mengendarkan pandangan kesana kemari takut-takut ia mendadak terlonjak akibat terkejut. Bukan hanya Haikal, namun Jendra juga Cakra. Berbeda dengan Naja, Randika, juga Aji yang sangat tenang.

“Mana nih?” Tanya Haikal. “Gue nungguin juga.”

“Bener kan kata Maren, dia gak bakal munculin dirinya di siang bolong begini.” Decih Jendra sembari melirik Randika.

Sadar dengan sindiran yang ditujukan padanya, tanpa ucap Randika beranjak pergi dari sana.

“Hah lah apaan lo Dik? Gak jelas tetiba cabut?” Teriak Cakra. “Padahal lo tadi yang nyangkal Maren?!”

“Tapiiiii gue ikuuuuttt woy tungguuu!” Seru Cakra yang langsung lari mengikuti langkah Randika.

Melihat tiga temannya yang sudah pergi, Haikal mengusap wajahnya kasar. “Udah lah gue gak tertarik main lagi mending lo akhirin aja Na.” Ujarnya pada Naja yang dari tadi hanya diam saja.

“Yah padahal gue masih pengen ngelanjutin.” Ucap Aji sembari mendekap tas ranselnya.

“Ya udah lo disini aja main berdua dah tuh ama si Charlie.”

“Berdua doang ya kagak mau lah!

“Dasar cupu.”

“Lo juga cupu Jen, anying.”

“Udah ayo buru lo berdua jangan adu mulut be. Capek gue.” Keluh Haikal.

Mereka berempat saling berpegangan tangan lagi. Kemudian mulai mengikuti Naja yang tengah merapal.

“Charlie Charlie, can we stop?”

“Charlie Charlie, can we stop?”

“Charlie Charlie, can we stop?”

Pensil itu tak bergerak. Haikal dan Jendra menoleh pada Naja. Seperti bisa membaca kondisi, lelaki itu merapalkan sendiri.

“Charlie Charlie, can we stop?”

Tetap saja. Tak ada yang berubah dari pensil itu. Haikal mendengus kesal, ia sudah menunggu beberapa menit namun tak ada pergerakan dari pensil itu. Sontak ia beranjak dan meniup lilin yang masih menyala.

“Cut!” sembari tangan Haikal menepuk. “Udah ini kelar ye, gue kagak mau suruh nunggu itu pensil geser. Charlienya udah pergi duluan noh.”

Jendra tertawa. “Pinter juga lo? Charlienya abis pamitan ama lo agaknye.” Menepuk punggung Haikal.

“Aya aya wae. Yok cabut cabut.” Sahut Aji.

Haikal, Jendra, dan Aji lebih dulu beranjak dari sana. Mereka tak mempedulikan Naja yang tak beranjak sedikit pun. Namun ketika Aji menyadari bahwa satu temannya itu tak ikut keluar dari basecamp, ia kembali masuk.

“Na? Gak cabut?” Tanya Aji di ambang pintu.

Lamunannya terpecah karena suara Aji. Ia menggelengkan kepalanya cepat. “Iya ini mau.”

“Ayo dah gue tunggu.” Melihat raut wajah Naja yang berubah, Aji kembali melangkahkan kaki masuk. “Pensilnya gerak ya?”

“Enggak. Udah ayo.”

Dengan cepat Naja merangkul Aji untuk segera keluar dari basecamp tanpa merapikan kertas, pensil, dan juga lilin yang masih berada di atas meja dengan posisi yang tetap sama.

image

Taman Langit

Tempat yang cukup asing bagi orang yang tak pernah pergi ke tempat-tempat seperti ini. Siapapun harus melewati jalur yang berliku dan tidak biasa. Jalan yang menanjak, juga jarangnya ada rumah-rumah warga.

Zemira hampir saja mengurungkan diri ketika ia melewati jalanan yang gelap tanpa ada penerangan jalan. Jam 8 malam, ia meninggalkan si bungsu di rumah Jeno sejak kemaren.

Ponselnya beberapa kali berdering. Panggilan masuk dari Renjun yang sudah dapat dipastikan akan meledakkan amarah ketika Zemira mengangkat telfonnya. Gadis itu hanya terus menyetir dan tak mempedulikan ponsel yang terus berdering.

Sampai di pintu masuk taman, Zemira memarkirkan mobilnya. Benar apa yang dikatakan Rosa bila tempat ini adalah tempat dimana orang-orang menikmati waktu untuk berbaur dengan alam, camping, terbukti parkiran itu cukup ramai meski hanya ada penjaga parkir disana. Tapi dilihat dari sisi manapun mobil Taeyong tidak ada disana.

“Neng? Sendirian?” Tanya penjaga parkir ketika Zemira keluar dari mobil.

“Iya aa’ ini keatas masih jauh jalannya?”

Yang ditanya hanya mengangguk dan memandang heran. “Beneran mau keatas sendiri malem-malem begini? Gak takut tetiba ada jurig?”

Zemira tertawa. “Yeee itu mah Adik saya aa’ yang takut jurig. Kalo gitu saya keatas ya.”

“Ati-ati neng!”

Sejauh mata memandang, jalan yang akan gadis itu lewati terlihat sedikit terang akibat semburan cahaya rembulan. Tapi berbeda ketika harus menempuhnya seorang diri dan tanpa penyinaran lampu.

Zemira mulai berjalan tanpa ragu, ia mulai mengeluarkan ponsel dan menyalakan flash. Setidaknya ia bisa melihat jalannya dengan benar. Tidak terpeleset ataupun tersandung bebatuan.

Menengok ke kanan dan ke kiri, hanya pohon-pohon tinggi yang menemani. Sesekali ia juga membalikkan tubuhnya ke belakang untuk melihat barangkali ada orang lain berjalan di belakangnya. Jujur saja Zemira mulai merasa takut ketika suara-suara hewan malam membuat bising telinga.

“Gusti nu Agung, please please jagain gue. Gak lucu kalo belum ketemu Taeyong guenya mati duluan—amit amit!” Zemira bergumam sendiri.

Sekitar 20 menit ia berjalan cepat. Sedikit lagi, ia sudah melihat gemerlap lampu kuning, tanda ia akan sampai. Mulai terdengar pula keramaian disana. Beberapa tenda juga sudah ia lewati. Kini ia hanya perlu mencari keberadaan Taeyong.

“Lucunya nih, kalo Taeyong kagak ada beneran dimari. Udahlah masa gue ngikut mereka aja camping disini? Dari pada gue harus turun sendiri malem-malem? Hhh.”

Flash ponsel yang masih menyala itu ia sorotkan pada sekelilingnya, meski lampu-lampu yang tergantung diantara pepohonan tengah menerangi taman langit.

Celingukan. Zemira tak menemukan seseorang yang ia cari. Hingga sampai pada ujung bukit yang hanya ada satu tenda diujung sana. Ia menghela nafas panjang. Meski begitu lelahnya terbayar dengan pemandangan yang luar biasa indahnya. Ia bisa melihat perkotaan yang terlihat kecil dibawah sana.

“Gue harus cari lo dimana lagi?” Gumamnya dengan mata menyorot pada keindahan malam.

Zemira memejamkan mata, merasakan angin yang menerbangkan rambutnya. Angin yang semakin lama ia rasakan semakin menyesakkan dada. Matanya membasah ketika wajah Taeyong terlintas dalam pejaman matanya.

“Maaffffff….”

“Maaffff….”

“Gue mau ketemu lo. Lo dimana?”

Zemira terus bergumam dengan mata yang masih terpejam. Beberapa bulir air mata lolos dari kelopaknya. Setelah ini ia tak tau harus mencari lelaki itu kemana.

. . . .

Banyaknya notifikasi yang masuk sama sekali tidak menggoyahkan pendiriannya. Tempat ini, Taeyong merindukannya. Cara ia lari dari segala hal adalah menyatukan diri dengan alam. Salah satu healing terbaik baginya, dari pada harus mengurung diri di dalam kamar kos.

Pernah ia mencoba untuk mengakhiri hidupnya di tempat ini, namun tertahan oleh gadis yang sudah berstatus menjadi mantan kekasihnya. Sudahlah jangan ungkit masa lalu si manusia lemah ini.

Dua hari terhitung dirinya jauh dari keramaian kota. Tidur di tenda, hanya dengan beralaskan matras, juga hoodie kesayangannya sebagai tumpu kepalanya. Ponsel yang dayanya telah terkuras, ia tinggalkan di dalam tenda, sedang dirinya berjalan untuk mencari lebih banyak angin malam.

Mengakhiri hubungan dengan Zemira? Sama sekali tak pernah ia pikirkan. Menyakiti gadisnya pun ia tak mampu. Namun wajah terakhir yang ia lihat adalah wajah kekecewaan dari Zemira. Masih terpampang jelas bagaimana gadis itu menatapnya dengan tatapan yang tak pernah Taeyong lihat.

Dengan menikmati hembusan angin malam, ia membuka satu botol alkohol yang sengaja ia bawa untuk menemaninya. Meneguk habis minuman pahit itu hingga tenggorokannya terasa hangat. Satu botol saja tak membuat dirinya mabuk, hanya sedikit pusing. Taeyong putuskan untuk kembali ke tenda dan beristirahat.

Setelah berhasil berjalan hingga tanjakan terakhir, kedua bola matanya membulat. Melihat gadis yang berdiri tak jauh dari tendanya. Perawakan yang sangat ia kenali.

“Gak, gak. Masa gue mabuk?” Taeyong menggeleng cepat menyadarkan dirinya.

Karena penasaran, ia berjalan mendekati gadis itu. Berdiri tepat di belakangnya, rupanya gadis dihadapannya itu tak menyadari bila ada seseorang datang.

. . . .

Tak ingin membuang waktu terlalu lama, Zemira menyeka wajahnya. Menghapus matanya yang membasah. Kemudian beranjak dari sana. Membalikkan tubuhnya.

Brukkkk

“Aaa!!”

Tubuhnya menabrak seseorang ketika Zemira membalikkan badan. Ponselnya pun terjatuh ke tanah. Ia sudah berdecak dan hampir mengomel ketika berjongkok untuk mengambil ponsel.

“Ck! Gimana sih lo—“ Kepala Zemira mendongak untuk melihat siapa yang sengaja berdiri di belakangnya hingga mengakibatkan ponselnya jatuh.

“Zemira?”

Benar. Itu gadis yang sejak kemaren memenuhi ruang pikir.

“Kamu sama siapa?” Ia meraih kedua bahu lawannya. Menelisik setiap sudut tubuh dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Kamu sendirian? Kok disini malem-malem?”

Kedua mata Zemira berkaca-kaca. Bibirnya pun mulai bergetar.

“Taeyonggggg.”

Gadis itu seketika menabrakkan dirinya lagi. Merengkuh tubuh lelaki yang ia cintai. Menenggelamkan wajahnya di dada Taeyong dan menangis disana. Suaranya ia redam meski air matanya keluar sangat deras. Untungnya Taeyong memakai kaos hitam yang meski basah tidak terlalu terlihat.

“Sshhh hei kamu kenapa? Kok nangis?” Taeyong mencoba melepas rengkuhannya untuk melihat gadisnya, namun Zemira memeluk sangat erat. “Loh loh kok makin nangis? Shh shhh cup cup.”

“Maaffff, Taeyong kamu tuhhhhh kemana ajaaa.” Isak Zemira.

Taeyong terdiam. Ia hanya mengusap punggung Zemira dan membalas pelukannya. Percuma saja bila ia bertanya atau berbicara apapun, akan membuat gadis itu semakin banyak mengeluarkan air mata. Hatinya menghangat melihat gadis itu berada didekapannya saat ini.

“Ke tenda aku aja yuk, disini dingin.” Bisik Taeyong.

Zemira mengangguk namun tak kunjung melepas pelukan membuat Taeyong tertawa.

“Ini gak mau dilepas dulu?”

Zemira menggeleng.

“Ya udah jalan pelan-pelan.”

Taeyong berusaha membawa Zemira ke tenda. Beruntungnya ia sedikit jauh dari remaja-remaja lain yang sedang camping. Bagaimana jadinya bila ia berjalan menuju tenda dengan posisi berpelukan seperti ini? Sudah pasti mereka yang melihat akan memandang aneh.

Duduk di ujung tenda yang terbuka, Zemira sudah melepas pelukan. Wajahnya kian memerah, kedua matanya sedikit membengkak dan hidungnya tersumbat.

“Tuh sampe kayak gini kalo nangis.” Taeyong menangkup wajah Zemira. “Kenapa?”

Baru saja gadis itu akan menjawab, namun air matanya lebih dulu lolos lagi.

“Yahhhh kok nangis lagi ya udah enggak enggak aku gak tanya.” Taeyong menghapus air mata Zemira.

Keduanya duduk berdampingan di tenda dengan pandangan yang sama-sama mengendar ke depan. Memandang lampu-lampu kota dari taman langit. Sama-sama memilih diam sejenak untuk menetralkan emosi mereka.

“Ze, maaf aku belum bisa terbuka sama kamu. Maaf kalo aku nyakitin kamu, maaf kalo selama ini aku masih ngejadiin Rosa tempatku pulang.”

“Aku sama Rosa—dia tunangannya kakak sepupuku. Dulu aku sama dia—“

“Jangan cerita kalo kamu belum siap.” Sela Zemira. “Aku yang minta maaf karena aku terlalu maksain kamu terbuka ke aku. Aku yang terburu-buru pengen tau kamu lebih dalem.”

Taeyong menggeleng. “Aku mau cerita semua sekarang.”

“Pelan-pelan Yong. Gak perlu sekarang.”

“Sekarang.”

“Taeyonggggg.”

“Zemiraaaaa. Kapan lagi? Aku maunya cerita sekarang.”

Gadis itu menghela nafas. “Besok yaa? Aku mau kamu jawab ini yang lebih penting. Kamu kemana aja sih? Ilang gitu aja?! Semua nyariin kamu! Terus mana hp kamu kenapa gak aktif?! Dari kemaren-kemaren kamu diem disini? Makannya gimana? Terus gak mau balik gitu? Mau disini aja?!”

Omelan Zemira membuat Taeyong tersenyum. Senang karena dikhawatirkan seperti ini. Ia mengacak rambut gadisnya, kemudian merebahkan diri di matras yang sudah tergelar di tenda selama beberapa hari.

“Malah rebahan lagi? Jawabbbbb.” Zemira mencubit kecil pinggang Taeyong. “Kamu gak tau apa aku nyariin kamu keliling kota. Nih terus kesini malem-malem sendirian!”

Taeyong tertawa, mendudukkan dirinya. Menarik lengan Zemira untuk masuk ke dalam tenda.

“Aku tutup ya, dingin.” Ia menutup tenda itu dan kembali merebahkan diri.

“Ish jawab gaaaaak?! Kamu mau pulang apa disini? Aku mau pulang.”

“Nyaman disini Ze, aku lebih suka disini dari pada harus balik kos.”

“Aku kangen kamu tau.” Gumam Zemira, namun sedikit terdengar oleh Taeyong.

Lelaki itu mendudukkan dirinya lagi dengan senyum yang merekah. “Ngomong apa tadi aku gak denger.”

Zemira menggeleng cepat. “Enggak aku gak ngomong apa-apa.”

Taeyong terus menatap manik Zemira membuat gadis itu kelabakan karena salah tingkah. Ia memangkas jarak, mendekatkan wajahnya dan membisikkan satu kalimat sebelum ia mengecup bibir ranum Zemira.

“I miss you too.”

Hanya sebuah kecupan singkat, namun Zemira memerah. Membuatnya semakin tersipu malu.

“Aku… gak mau putus…” Zemira memainkan jemari tangan Taeyong.

Cuppp

Mengecup bibir Zemira lagi.

“Ihhhhhh apa sih?!” Protesnya.

“Emang aku ngeiyain? Siapa juga yang mau putus?”

“Kan kan kannnn padahal kamu balesnya iya gitu?!”

Taeyong tertawa melihat ekspresi wajah Zemira yang menggemaskan menurutnya. “Aku belum selesai bales sayanggggg. Itu aku mau bales ayo ketemu dulu, tapi udah keburu tremor duluan jadi ya kepencet kirim.”

“Terus terusss?” Zemira malah excited dengan apa yang diceritakan Taeyong. “Terus abis gitu? Ngapain dateng sama Rosa cobaaa?”

Tersenyum. Ia mengusap kedua tangan Zemira dengan ibu jarinya. “Kamu tau gak aku lari-larian dari kelas, nyari Rosa ke kelasnya ternyata dia ada praktek di Lab. Bayangin dari lantai berapa ke lantai berapa, terus harus ke gedung lain naik turun tangga.”

“Maunya bawa Rosa sekalian ngejelasin biar kamu percaya gitu. Jaehyun sama Doy yang bilang ke aku kalo kamu salah paham sama aku karena deket sama Rosa.”

“Disamperin ke kantin, tau-tau ini nihhh udah meledak aja.” Mencubit hidung Zemira. “Mana aku dibentak, kaget banget beneran.”

“Ya habisan?! Kamu aku ajak putus malah di kantin itu Rosa ngelap-ngelap keringet segala. Kalo aku diem aja itu baru aneh!” Omel Zemira.

“Iya iya maaf yaa.” Taeyong mengusap pipi dan rahang Zemira. Menatapnya lamat. “Jangan gampang mutusin orang, apalagi bilang putus ke aku. Jangan ya? Aku gak mau.”

Zemira tertawa mendengarnya.

“Dasar bucin.” Ejeknya. “Kamu bucin banget sama aku ya?”

“Iyaaa bucinnnnn banget nget nget.”

Sontak Taeyong menarik tubuh Zemira untuk masuk ke dalam dekapannya. Keduanya sama-sama merekahkan senyum.

Aroma tubuh Zemira menguar membuat lelaki itu mengendusi ceruk leher gadisnya. Nafas hangat Taeyong menusuk kulit leher.

“Taeyong geli.” Ujar Zemira sembari berusaha melepaskan diri.

“I miss you.” Taeyong memberi kecupan-kecupan kecil di leher, naik ke rahang, kemudian berhenti di depan wajah Zemira.

“Kamu clingy gini kenapa sih?” Senyum Zemira kembali terukir. Jantungnya berdebar ketika ibu jari Taeyong mengusap bibirnya.

Demi Tuhan Zemira mendadak kaku ketika tubuhnya dikunci oleh lengan Taeyong yang melingkar dipinggangnya seraya mendekatkan diri. Dan entah setan mana yang menuntun tangan Zemira untuk mengusap lembut pipi lelakinya, kemudian rahan, turun ke leher dan menuju tengkuk kepala. Gadis itu tak sadar bila menyentuh area-area sensitif Taeyong.

Lama saling melempar tatap. Pandangan Taeyong turun pada bibir Zemira. Ia mengecup bibir ranum gadisnya. Memberikan lumatan lembut yang cukup lama. Tangannya yang bebas mengusap punggung hingga perut Zemira, membuat gadis itu melenguh kelepasan.

“Y-yonggg.”

Zemira menyudahi ciuman mereka, namun dengan agresifnya lelaki itu meraup lagi bibir Zemira. Mendesak tubuh gadis itu hingga dirinya tak bisa mengimbangi. Tak pernah terbayangkan sebelumnya jika ia bisa berada diposisi seperti ini.

“Bau alkohol, kamu mabuk?!” Gadis itu benar-benar berusaha menahan tubuh kekasihnya, meski ia sendiri terus terdesak.

“Enggak.” Paraunya.

Tubuh Zemira berhasil ia jatuhkan. Kedua tangannya pun telah terkunci di samping kepalanya. Taeyong tersenyum, Zemira dapat melihat senyum itu dari bawah.

“Cantik. Kenapa bisa kamu cantik terus gini?”

Blushhh hati Zemira berdesir, ia tersenyum simpul namun seketika wajahnya berubah cemberut.

“Kenapa?” Tanya Taeyong sembari mengusap pipi putih gadisnya.

“Habis berapa botol? Kamu kayak gini efek mabuk kan pasti?”

Taeyong menggeleng cepat. “Aku 100% sadar Ze, i just…. Miss you so badly.” Ia menegakkan tubuhnya, namun tertahan.

Zemira lebih dulu meraih tengkuknya, melanjutkan aktivitas mereka yang sempat terhenti. Gadis itu mencium bibir Taeyong, melumatnya, lelaki itu tersenyum di sela-sela ciuman mereka.

Suara decakan akibat pertukaran saliva membuat deru nafas mereka menggebu. Taeyong semakin agresif melesakkan lidahnya. Zemira hampir kehabisan nafas mengimbangi permainannya.

Usai menjamah bibir ranum itu, Taeyong dengan gencar mengendus leher Zemira. Memberi kecupan di perpotongan leher, hingga meninggalkan bekas kemerahan disana.

“Tae-yong….” Suara Zemira mulai menggila. Tak dapat dipungkiri bila ia menikmati setiap sentuhan kekasihnya.

Lenguhan yang dihasilkan oleh Zemira membuat Taeyong menggeram. Tshirt V-neck lengan panjang yang Zemira pakai menyingkap tak karuan. Sentuhan tangan di perutnya membuat dirinya terbang.

“Boleh?” Tanya Taeyong yang hampir melesakkan tangannya di celana jeans gadisnya.

Zemira menggeleng dan tertawa. “Injun gak mau dipanggil om.” Sembari mengusap lembut rahang Taeyong.

Lantas Taeyong tertawa, merapikan baju Zemira yang tersingkap akibat serangannya. Ia jatuhkan dirinya disamping Zemira. Menjadikan lengan kanannya untuk menumpu kepala kekasihnya, namun ditolak. Zemira lebih memilih menaikkan kepalanya diatas dada bidang Taeyong, dengan melingkarkan kedua lengannya.

“Makasihhhh.” Ucap Zemira sembari mendongakkan kepala menatap manik hitam milik Taeyong.

“Untuk?”

“Untuk nahan nafsu kamuuu.” Seraya mencubit pipi Taeyong.

Tersenyum. Mengusap kepala Zemira. “Kamu sihhh.”

“Kok aku?!”

“Kamu harus tau area sensitif aku itu dimana. Coba kalo aku gak bisa nahan? Udah jadi ini Taeyong junior.” Jawabnya sembari mengeratkan pelukannya.

Zemira tersenyum jail kearahnya. Seakan mengerti area sensitif kekasihnya, ia malah menempatkan kepalanya di ceruk leher Taeyong, dengan mengendus dan sesekali mengecupnya.

“Zeeeeeee?!”

“Apaa? Aku mau tidur capek habis nyari kamu keliling kota.”

“Ya tapi gak gini ah.”

“Hmmmm.” Zemira semakin menempel.

“Ze? Gak tau ya nanti kalo jadi Taeyong junior?”

“Gapapa jadi aja.” Jawabnya santai.

Meski begitu, Taeyong membiarkan gadisnya tertidur dalam posisi seperti itu. Dengan berat hati dan mati-matian terus menahan diri agar dirinya tidak ‘turn on’ kembali.

image

image