Before you go
Jika saja aku tau ini pertemuan terakhir, aku tak akan menyuruhmu untuk tetap pergi.
Suara osengan wajan di dapur, berpadu menjadi satu dengan gelak tawa yang dihasilkan oleh dua orang kakak beradik. Sesekali mereka beradu mulut membuat malam hari terasa lebih ramai. Mengingat mereka hanya tinggal berdua di rumah tanpa adanya orang tua atau orang dewasa lainnya. Keributan seperti itu sudah menjadi sesuatu yang biasa bagi mereka. Layaknya Kakak-Adik pada umumnya, sangat tidak mungkin bila didalam hubungan tersebut tak ada pertikaian atau adu mulut hanya karena hal-hal kecil. Hal kecil yang nantinya mungkin akan mereka rindukan.
“Kakak itu nugetnya gosong!” teriak Renjun, menunjuk kepulan asap dari wajan yang timbul akibat kurangnya minyak goreng dan suhu yang terlalu panas.
Zemira yang tengah mengacak-acak rambut si bungsu, sontak berlari mendekati kompor. Panik setengah mati karena kejadian ini baru sekali ia alami selama menggoreng nuget kesukaan Renjun. Saking paniknya ia hampir saja menyiram wajan dengan air matang yang ada di teko.
“Zemira!” seseorang datang menahan tangan Zemira.
Renjun yang berteriak heboh seketika mengusap dadanya dan menghela nafas lega. Kekasih Zemira itu datang diwaktu yang tepat. Dengan cekatan Taeyong mematikan kompor, menghentikan proses pemasakan. Mendiamkan wajan diatas kompor beberapa saat sebelum kemudian ia pindahkan benda itu dan membereskan kekacauan yang terjadi.
“Kak gue gak tau deh kalo gak ada Kak Taeyong bakal gimana.” Renjun memijat pelipis, seolah menyudutkan Zemira.
“Ulah lo ini Injun please deh sadar diri.” Sahut Zemira. “Malem-malem minta temenin goreng nuget, ujung-ujungnya gue yang gorengin? Mana ngajak ribut mulu ih.”
“Ya kan Injun laper? Salah kalo Injun laper?” Sulutnya lagi.
Taeyong masih mendengarkan perdebatan mereka, tertawa kecil, lantas angkat bicara. “Dua-duanya salah. Zemira salah karena masak sambil ribut, Renjun juga salah karena gangguin Kakaknya lagi masak. Udah kalau gini adil kan?”
Renjun berdecak. Ia tak menyalahkan atau membenarkan apa yang dikatakan Taeyong. Hanya saja ia bersyukur lelaki yang sudah ia anggap seperti Kakak sendiri itu selalu datang tepat waktu, dan selalu ada disaat apapun. Seseorang yang selalu Renjun andalkan.
Bukan tanpa sebab Taeyong datang ke rumah mereka. Sebelum mengutarakan alasan kedatangannya, ia mengajak Zemira juga Renjun duduk di ruang tengah. Memulai obrolan dengan basa-basi. Saling menanyakan bagaimana hari-hari yang mereka jalani, berbagi cerita tentang Renjun yang hari ini mendapat hukuman berdiri di depan kelas karena tak sengaja tertidur selama pelajaran biologi, dan masih banyak lagi.
Saat kalimat sudah Taeyong susun dengan rapi, ia mengubah obrolan mereka menjadi serius. Melirik gadisnya hingga keduanya bertemu pandang, seolah memberi isyarat agar gadisnya itu beranjak dari sana. Zemira yang sudah lebih dulu tau tentang hal yang akan kekasihnya sampaikan, dengan kepekaannya, ia beranjak pergi menjauh dari mereka berdua tanpa sepatah kata penutup.
Taeyong memang membutuhkan ruang bicara empat mata dengan si bungsu. Membicarakan hal yang harusnya tidak se-mendadak ini ia utarakan.
“Injun gue mau ngomong serius deh.” Ucap Taeyong, memusatkan seluruh pandangannya pada Adik Zemira yang sudah memakai piyama coklat motif beruang.
“Serius? Lah emang dari tadi kita ngobrolnya gak serius? Aya naon Kak?” tanya Renjun merotasikan bola matanya melihat kepergian Zemira. “Gak ngobrol sama Kak Ze juga?”
Taeyong menggeleng. “Sama Zemira udah, sama lo nih yang belum.”
Renjun mengernyit. Pikirannya mulai terbang kesana kemari. Bila sudah serius seperti ini pasti akan ada hal yang mengejutkan dirinya nanti. Beberapa kali ponsel Renjun berbunyi pun tak ia gubris. Renjun mencondongkan badan ke depan, menumpunya dengan kedua sikut tangan yang menempel pada lutut. Jemarinya saling mengait.
“Gue dapet beasiswa leeds international summer school di Inggris.”
“Sebenernya udah lama, cuma gue baru bilang ke lo sekarang. Zemira udah tau, makanya dia ngebiarin gue ngobrol berdua sama lo.”
Kalimat yang keluar tanpa aba-aba itu langsung membuat Renjun bungkam, mematung dengan wajah datarnya. Bahkan penjelasan yang Taeyong katakan setelahnya mungkin hanya Renjun dengar dengan terpaksa. Masih memperhatikan tanpa komentar hingga Taeyong menyelesaikan obrolan.
“Dua minggu lagi gue berangkat, gue pengen banyak ngabisin waktu main sama lo, sama Zemira juga.”
“Lo mau main kemana? Ayo. Banyak tempat yang belum pernah gue datengin juga. Kita kesana bertiga.” Imbuh Taeyong tanpa mengendurkan atensinya.
Renjun mengangguk. “Udah malem Kak, gue mau tidur.” Tukasnya, menghentikan obrolan sepihak. Bukan ia tak ingin menghabiskan dua minggunya bersama Taeyong dan Kakaknya, hanya saja ini terlalu mendadak, Renjun belum siap atas jauhnya jarak Jakarta-Inggris yang akan ia jalani nantinya.
Taeyong tak mencoba menahan Renjun yang sudah beranjak dari duduknya, berjalan menuju kamar tidur. Melihat kepergian si bungsu membuat Taeyong ingat dengan perkataan Zemira bahwa saat Renjun marah atau kecewa dengan seseorang, lelaki berumur 17 tahun itu tidak akan mau berbicara, bertemu pun rasanya tak mungkin.
Menghela nafas, Taeyong membuka ponselnya dan mengetikkan sesuatu di sana.
Renjun hilang dari pandangan, suara pintu tertutup telah terdengar, disusul suara decitan pintu dari ruangan lain. Kepala Zemira mengintip keluar, memperhatikan Taeyong yang duduk sendiri di ruang tengah. Lelaki itu menoleh dan melambai Zemira, menepuk kursi kosong di sebelahnya.
“Gimana?” Zemira berbisik.
“Seperti yang kamu bilang.”
Zemira mengusap punggung Taeyong, menenangkan. Ia tidak pernah mengira jika Renjun dan Taeyong memiliki ikatan yang mungkin lebih dari seorang teman, sahabat, atau yang lainnya. Mereka berdua sangat amat dekat. Hingga membuat si bungsu menyayangkan atas perginya Taeyong nanti.
“Injun beneran ngambek sih sama aku.” ujar Taeyong. “Bakal mau diajak main gak ya? Besok dia masih marah gak kira-kira Ze?”
Zemira tertawa. “Harusnya kamu tuh khawatirin aku, sebagai pacar kamu yang gak bisa jauh-jauh dari kamu! Apa-apaan malah khawatirin Adik aku?” protes Zemira setengah bercanda.
“Nanti aku bisa bujuk Injun, tenang aja, dia udah anggep kamu Kakak sendiri, gak mungkin marahnya bakal selama itu. Nanti aku tanyain deh berapa lama dia mau marah sama kamu.” Imbuhnya.
“Ada gitu ya marah ditanyain mau berapa lama marahnya?” Taeyong mendengus. “Kamu nyindir aku ya?”
“Nah itu tau.”
Keduanya saling melempar tawa, sesaat melupakan bahwa waktu dua minggu sangatlah singkat untuk menghabiskan waktu bersama. Dalam keadaan bahagia, semua akan terasa begitu cepat hingga rasanya waktu sedang berusaha berlari mengejar.
Jika hari pertama tidak berhasil membuat Renjun luluh, maka akan ada hari-hari berikutnya. Taeyong baru saja menghubungi Renjun untuk menunggunya di depan gerbang sekolah, karena Taeyong akan mengajaknya untuk makan siang dan pergi ke supermarket membeli snack kesukaan Renjun tentu saja. Namun Adik dari Zemira menolak, bahkan ia berkata cukup singkat dan lebih seperti tak ingin mengobrol dengannya. Itu cukup menyakiti hati Taeyong, tapi kegigihannya melunturkan perasaan itu.
Hari kedua, ketiga, hingga satu minggu pun tetap sama. Kali ini Taeyong pergi ke hutan pinus bersama Zemira saja. Berjalan di bawah pepohonan yang rimbun membuat suasana hati Zemira yang tadinya bergemuruh akibat kuis dadakan, berubah menjadi sejuk.
“Loh? Kaca aku kemana ya?” Zemira merogoh tas kecilnya, mencari benda yang tak pernah tertinggal dan akan selalu ia bawa. “Ketinggalan di mobil kamu?”
Taeyong menggeleng. “Kamu tadi ngaca di spion mobil bukannya? Kaca yang bulet itu?”
Zemira mengangguk, masih berusaha mencari barangkali terselip diantara buku-buku yang ia bawa.
“Padahal udah aku suruh buang aja, itu bahaya kaca kayak gitu gak ada frame. Bisa goresin tangan kamu, Ze.”
“Better than aku bawa cermin dinding.”
“Udah jangan kebanyakan ngaca, kamu cantik, gak pernah jelek.” Taeyong mengacak rambut Zemira, membuat gadis itu mendengus kesal karena anak-anak rambutnya jatuh menutupi sebagian wajahnya.
Benar apa yang dikatakan semua orang tentang betapa berharganya waktu. Setiap detik, setiap menit harus kita hargai. Karena waktu yang berharga itu tidak akan pernah bisa terulang kembali, mereka hanya akan meninggalkan jejaknya tanpa tau bagaimana caranya kembali.
Hari ke-13 yang artinya 24 jam lagi menuju perginya Taeyong ke Inggris.
Selepas pulang dari kampus, Zemira memutuskan untuk tak menemui Taeyong di hari terakhir. Gadis itu ingin agar kekasihnya bisa bersiap-siap dan mengistirahatkan dirinya. Sangat melelahkan mengingat 13 hari mereka berdua selalu menghabiskan waktu bersama di luar. Kini saatnya Taeyong beristirahat untuk keberangkatannya esok hari.
Di sebuah kamar kos, dua orang lelaki tengah membantu Taeyong mengepak pakaian dan sesuatu lainnya untuk dimasukkan ke dalam koper. Jaehyun dan Doyoung berada di kamar Taeyong. Jaehyun, teman kampus sekaligus teman satu kosnya, sedang Doyoung salah satu teman dekat Taeyong.
“Yong, lo butuh mantel gak? Gue ada kalo lo mau pinjem gue pinjemin.” Ujar Jaehyun, menutup satu koper yang sudah penuh.
“Gak usah gue bisa beli di sana. Lagian gue bentar doang anjir! Kayak yang gue mau selamanya aja di Inggris.” Tukas Taeyong.
“Apa gue bilang Jae? Kagak usah perhatiin ni anak. Gak bakal digubris juga, kecuali lo adalah Zemira.” Sahut Doyoung. “Udah nih kelar, gue besok gak bisa ikut nganter lo ke Bandara, ada kelas.”
“Lo udah bilang ke gue tiga kali ini, Doy. Sekali lagi dapet piring cantik.”
Jaehyun dan Taeyong tertawa.
“Zemira doang yang dateng ke Bandara udah cukup. Taeyong gak ngarepin lo juga.” Ujar Jaehyun yang ia tujukan pada Doyoung.
Pernyataan Jaehyun membuat Taeyong tersenyum kecut. Itu tidak benar, dirinya juga ingin teman-teman yang lain bisa datang ke Bandara untuk mengantarnya karena akan meredakan perasaan buruk yang Taeyong miliki.
Taeyong membaringkan diri di atas kasur setelah selesai mengemas barang dan mengantar Doyoung ke bawah untuk pulang. Ia kembali menghubungi Renjun yang rupanya sudah mulai surut amarahnya, buktinya Renjun sudah mau membalas pesannya dan berjanji untuk ikut bersama Zemira esok hari.
Taeyong semakin lega.
Dua minggu yang terlalui dengan baik bagi Zemira juga Taeyong. Kini saatnya gadis itu harus berpisah dengan kekasihnya. Hanya berbeda negara. Tak akan sulit bila mereka tempuh hubungan jarak jauh dengan baik, dengan rasa saling percaya yang menguat, dan dengan sebuah kejujuran dari masing-masing pihak.
“Kak Ze ngaca dari tadi gak kelar-kelar?!” decak Renjun melihat si sulung yang juga belum selesai berdandan di depan cermin.
Zemira Avyanna, gadis yang setiap kali bertemu dengan cermin dapat dipastikan akan menoleh atau berhenti menyempatkan diri untuk melihat bayangan dirinya. Lagi pula, cermin sangat akrab pada kehidupan. Manusia tak akan pergi keluar tanpa memandang cermin. Bukankah salah satu alasan kita harus bercermin adalah memastikan diri kita baik sebelum pergi dari rumah?
“Gue ke rumah Jeno aja deh kak. Injun gak ikut ke Bandara.”
“Lo beneran gak mau ketemu Taeyong? Jangan gitu lah, gue ceweknya aja gak ada ngambek kayak lo gini. Katanya kemaren mau ikut?”
“Ish ya Kak Ze gak tau aja.” Renjun melengos, membalikkan badan mungilnya kemudian pergi.
Zemira berdecak melihat kelakuan Adiknya yang masih labil itu. Ia berjalan di belakang Renjun, sesekali tertawa dan menggeleng-gelengkan kepala karena si bungsu berjalan dengan menghentak-hentakkan kakinya seolah benar-benar kesal.
Rupanya taxi online yang mereka pesan pun sudah berada di pelataran rumah. Kakak beradik itu memasuki mobil, keduanya duduk di kursi belakang sopir. Di perjalanan menuju Bandara, mereka saling diam, tak memiliki hal untuk disampaikan juga hanyut dengan pikirannya masing-masing.
Sepertinya, pergi ke Bandara dan mengantar kepergian Taeyong adalah ide yang buruk. Kini perasaan Zemira yang labil, melihat Taeyong berdiri dengan koper dan tas ransel, juga senyum yang tak pernah surut membuatnya menghela nafas berat. Rasa sedih kembali menyelimuti dirinya. Rasa rindu pun mendadak muncul begitu saja.
Bertemu pandang dari jauh, lelaki dengan kaos dan outer hitam melambai pada dua orang yang tengah berjalan menujunya.
“Jangan gini, mukanya jelek.” Ujar Taeyong dengan satu tangan mencubit pipi putih kekasihnya.
“Beneran LDR?” tanya Zemira meyakinkan.
“Ya mau gimana lagi?”
Kini Taeyong beralih pada Renjun yang berkali-kali merotasikan bola matanya. Seakan tak ingin bertemu tatap dengan Taeyong. Ia terus menghindar, bersikap acuh meski Taeyong mencoba mencuri atensinya. Sikap yang begitu menggambarkan anak-anak sekali. Bukan anak berumur 17 tahun, tapi anak kecil yang merajuk ketika tak dibelikan mainan oleh orang tuanya. Begitulah Renjun saat ini dimata Taeyong.
“Widih jagoan gue masih ngambek.” Taeyong seraya mengacak rambut Renjun. “Padahal udah dua minggu masih tahan gini?”
Renjun berdecih, menepis tangan Taeyong.
“Gue udah nyiapin ini nih biar lo gak ngambek.” Mengeluarkan amplop putih dari ranselnya. “Buat jajan, anggep ganti rugi waktu gue selama gue di sana. Terima ya? Kalo gak mau nerima udah gue sedih beneran ini jadinya gak tega mau pergi.” Taeyong setengah memohon agar Renjun mau menerimanya.
Sebenarnya Renjun tidak mengharapkan diberi uang atau semacamnya. Ia marah karena ia harus jauh dari Kakak keduanya itu. Ia sudah sangat bergantung pada Taeyong, dalam segala hal di kehidupannya.
Renjun mengangguk menerima pemberian Taeyong.
“Jaga diri baik-baik ya?” pinta Taeyong pada Zemira yang hanya dijawab dengan wajah sedih dan anggukan.
“Jangan cemberut gini dong? Kan bentar doang?” imbuhnya.
Mungkin bagi Taeyong waktu satu hingga dua tahun adalah waktu yang sebentar. Tapi menurut Zemira, itu waktu yang cukup lama mengingat ia tidak bisa saling jauh dengan kekasihnya.
“Iya iya, kamu juga jaga diri baik-baik.”
“Adiknya jangan ditakut-takutin mulu.” Pintanya lagi.
Memang tak salah jika Zemira menakut-nakuti Renjun, karena memang pada dasarnya Adeknya itu adalah lelaki penakut. Takut dengan sosok yang tak bisa ia lihat. Renjun semakin menjadi penakut karena ulah Jeno, teman dekat Renjun yang selalu mendeskripsikan teman tak terlihatnya itu.
“Sumpah Kak, gue gak bisa apa ikut Kak Taeyong aja?” Renjun angkat bicara. “Pasti sepi banget dah kagak ada yang mabar sama gue, gak ada yang bantuin Injun ngerjain tugas.”
“Hello? Gue juga sering kali bantuin lo ngerjain tugas!” protes Zemira tak terima.
“Ya tapi Kak Ze gak bisa sesabar Kak Taeyong!” decak Renjun.
Tawa Taeyong seketika merekah melihat kedua kesayangannya saling mengolok di hadapannya. “Ya udah ayo ikut gue, biar Kakak lo sendirian dirumah. Tega?”
Renjun tampak berfikir sembari melihat kearah Kakaknya dengan wajah memelas. “Gak deh Kak. Even tho Kak Ze nyebelin, gak sabaran, tapi gue gak tega ninggalin dia kalo mukanya kaya—Aw!”
Zemira seketika melingkarkan lengannya pada leher Renjun, membuatnya berhenti bicara.
“Nah tuh temen-temen kamu udah dateng, cepet check in gih.” Tunjuk Zemira.
Gadis itu benar. Mark, Winwin, dan Lucas sudah melambai-lambaikan tangannya tak sabar dari pintu masuk. Mereka bertigalah yang akan berangkat bersama Taeyong. Teman yang akan sama-sama berjuang. Taeyong mengangguk pada tiga temannya, lantas bersiap untuk menarik koper. Pandangannya jatuh lagi pada Zemira dan Renjun. Ia tersenyum menatap mereka berdua bergantian.
“I’ll see you at this place.” Kalimat Taeyong terdengar menyesakkan. Tak lupa ia mengusap pucuk kepala Zemira, juga menepuk pelan bahu Renjun.
Buru-buru ia menghampiri ketiga temannya. Tepat di depan pintu keberangkatan, ia kembali membalikkan badannya dan membuka mulutnya tanpa suara. Tangannya pun ia gerak-gerakkan ke udara sebagai pendukung kalimat yang ia ucapkan. Kalimat yang mengudara tanpa suara itu Zemira paham. Gadis itu mengangguk disertai senyum getir.
“Jangan kebanyakan ngaca, kamu selalu cantik.” Ucap Taeyong yang mungkin sedari tadi menyadari kekasihnya selalu mengangkat ponsel hanya untuk merapikan beberapa anak rambut yang jatuh.
Setelah mengungkapkan kalimat itu, senyum kepergian Taeyong merekah lagi. Ia akan selalu mengingat kalimat kekasihnya. Yang bukan sekali atau dua kali lelaki itu ucapkan, tapi setiap kali dirinya bercermin. Air mata Zemira sudah di pelupuk mata, berusaha ia tahan. Ia masih bertahan diposisinya dalam waktu yang cukup lama. Entah mengapa ia menjadi sangat takut. Bermacam-macam perasaan bercampur aduk jadi satu.
“I don’t know what i’m afraid of, to see you again or to never see you again.” Batin Zemira.