souljaehyunn

Zemirosa

Persetan dengan penjelasan, Zemira masih dengan egonya yang menggebu itu sama sekali tidak bisa ditembus dengan perkataan apapun. Ia terlalu kemakan dengan ego, keras kepala, batu, atau apalah kata yang lebih kasar untuk menggambarkan gadis yang tengah berdiri di balkon depan kelas.

Rasa khawatir sebenarnya terbesit, namun Zemira lebih memilih menepis perasaan itu, ia ingin bersikap egois.

“Ze,” seseorang menjajarinya.

Gadis itu terkejut, lantas memutar badan berniat pergi dari sana. Dengan cepat lengannya ditarik oleh Rosa.

“Gue mau ngomong.”

“Gue gak kenal lo.” Zemira berusaha menghempas genggamannya. “Lepasin gak?!” Ujarnya dingin.

“Sini.”

“Aduhhhh.”

Jika tak bisa mendapatkan perlakuan baik, maka inilah yang Rosa lakukan. Ia menarik Zemira untuk mengikuti dirinya. Rosa semakin mengeratkan tangannya, tak peduli dengan gadis yang tengah meronta dan mengaduh kesakitan.

Hingga sampai di parkiran, Rosa mendorong tubuh Zemira memaksanya untuk masuk ke dalam mobilnya. Tak mudah baginya untuk melemahkan gadis itu. Terjadilah aksi dorong mendorong di dekat pintu mobil, untung saja Rosa pernah mengikuti karate, lebih memudahkannya untuk melumpuhkan lawan.

“Diem gak lo?!”

“Apaan sih lo mau nyulik gue? Sakit anjing dasar cewek bar bar!!!” Teriak Zemira yang kedua tangannya berhasil dikunci oleh Rosa.

“Fiuh.” Rosa meniup poninya, kemudian mendudukkan Zemira dengan sedikit mendorongnya ke dalam mobil. “Gue mohon kerjasama lo. Diem. Dengerin gue, atau lo mau gue culik beneran?!”

Mendengar itu bibir Zemira mengerucut. Pintu mobil pun berhasil Rosa tutup.

Zemira tak menyangka, gadis yang ia anggap lemah lembut ternyata sangat berbeda. Bagaimana bisa kekasihnya—ralat, mantannya bisa jatuh cinta kepada gadis itu dulu?

“Lo mau ngajak gue kemana sih?!” Decak Zemira. “Gak sopan!”

Rosa yang fokus menyetir tak menjawab segala pertanyaan yang dilontarkan Zemira. Ia hanya terus memandang kearah jalanan kota.

Jalanan yang mulai renggang membuat Zemira bertanya-tanya akan dibawa kemana dirinya oleh gadis yang belum ia kenal ini.

“Sebelumnya gue minta maaf karna maksa lo gini tapi kalo gue gak kayak gini, lo pasti gak bakal mau gue ajak ngomong baik-baik.” Rosa menginterupsi.

“Hm.” Zemira hanya berdehem tak tertarik dengan basa-basi gadis disebelahnya.

“Kenalin, gue Rosa, mantannya Taeyong sekaligus—“

“Iya gue tau.”

Rosa menghela nafas ketika dirinya disela. “Sekaligus kakak ipar. Gue tunangan kakak sepupunya Taeyong.”

Zemira tentu saja terkejut, namun ia tak menunjukkannya. Ia hanya terus memandang bahu jalan dengan pipi yang menempel di jendela pintu mobil.

“Jangan salah paham sama posisi gue. Gue gak mau cerita apapun soal gimana Taeyong ke gue, gue cuma bilang kalo Taeyong sayang banget sama lo. Gak ada alesan lo mutusin dia sepihak kayak gini.”

“Tapi dia lebih butuh lo dari pada gue.” Ujar Zemira.

“Siapa bilang? Taeyong butuh lo, tapi dia—“

“Dia apa?”

Pernyataan Rosa yang menggantung membuat Zemira menoleh meminta kejelasan. Tidak. Rosa tidak bisa mengatakan segalanya, karena ia pun menghargai Zemira. Ia tidak akan mengatakan bahwa dirinya sangat tau tentang Taeyong karena itu akan melukai Zemira. Ia pun tidak akan mengatakan bahwa hilangnya Taeyong saat ini karena Zemira.

“Bilang aja. Gue gak akan marah.” Suara Zemira merendah. “Tujuan lo ketemu gue apa kalo gak ngomongin semua ke gue?”

“Sorry karena gue udah kasar nyikapin lo.”

Mendengar permintaan maaf dari Zemira, Rosa menepikan mobilnya.

“Kayaknya emosi lo udah turun. Gue boleh tanya sebenernya lo ke Taeyong tuh kenapa?” Tanya Rosa seraya menyerongkan duduknya sedikit menghadap Zemira.

Zemira mendengus. “Gara-gara lo.”

“Gue?” Tunjuk Rosa dengan telunjuknya. “Lo salah paham sama gue? Lo nganggep Taeyong selingkuh pasti kan?“

Gadis itu mengangguk ragu. “Sebenernya udah dari lama gue ngeraguin Taeyong. Ya karena gue sendiri juga takut.”

“Iya gue ngerti, tapi kenapa bisa?”

Zemira menghela nafas panjang, kemudian ia menceritakan saat dimana Renjun, Adiknya itu tak sengaja melihat Taeyong berjalan berdua dengan perempuan. Hari dimana Ayah dan Ibunya menemuinya. Hari dimana seharusnya Taeyonglah yang pergi kerumahnya kala itu.

Saat itu memang benar Taeyong sedang bersama dengan Rosa. Rosa membenarkannya. Kemudian Zemira menceritakan bagaimana dirinya terbakar api cemburu saat tau bahwa Rosa adalah mantan dari kekasihnya. Pergi bersama, menikmati waktu berdua, hingga mendapat kepercayaan sepenuhnya dari Taeyong, jujur saja Zemira pun menginginkan hal yang Rosa dapatkan namun tak ia dapatkan.

Zemira merasa dirinya menyedihkan ketika Taeyong lebih memilih mencurahkan segala hal kepada orang lain, ketimbang dirinya. Ia merasa menyedihkan karena tak bisa menjadi tempat Taeyong pulang.

Rosa mengangguk paham. Benar dugaannya, memang Zemira akan merasa seperti itu. Dengan berani ia mengusap lengan Zemira, mengubah situasinya lebih nyaman lagi.

Rosa pun akhirnya menceritakan segala hal tentang Taeyong. Bukan bermaksud pamer bahwa ia mengerti semua, tidak. Itu karena Zemira yang mendesaknya. Ia mengatakan segala hal tentang bagaimana Taeyong yang tak pernah absen untuk bercerita terkait Zemira, bagaimana ia pun selalu ingin benar-benar menjadikan Zemira sebagai rumahnya, dan masih banyak lagi.

“Gue gak bisa cerita banyak, biar Taeyong sendiri yang kasih tau alesan kenapa dia sampai sekarang belum berani seterbuka itu sama lo. Yang jelas gue sama lo udah clear nih ya?”

Zemira tersenyum simpul meski sudut matanya membasah. Ia mengangguk. “Lo ternyata gak seperti yang gue bayangin. Makasih, dan maaf sekali lagi.”

“Lo sebenernya mau putusin Taeyong beneran?”

Zemira menggeleng. “Sekarang dia dimana?” Tanyanya mengingat Doyoung mengatakan bahwa Taeyong menghilang.

“Gue gak tau. Dia gak bisa dihubungi sekarang.”

Sesak. Dadanya serasa diremat mendengar itu.

“U-udah berapa lama?”

Rosa menggeleng. “Kalo dugaan gue bener, dia gak balik ke kos dari hari lo putusin dia. Terakhir dia nganter gue pulang, abis gitu udah dia gak ada kabar sampe sekarang.”

“Mendung ini gue anter lo balik, Ze. Rumah lo di daerah mana?” Tanya Rosa sembari menyalakan kembali mesin mobilnya.

Sepanjang perjalanan, Zemira sama sekali tak bisa diam. Kakinya terus mengetuk-ngetuk, sedang ia asik menggigiti kuku jarinya. Paham dengan itu, Rosa mengusap kembali lengan Zemira.

“Coba lo hubungi Taeyong.”

“Gue ngeblock dia.”

“Ya diunblock lah anjir jangan bikin gue marah deh.”

“Gue malu mau chat.”

“Ya elahhhh lo lebih mentingin malu lo apa khawatir lo sih??? Lebih mentingin rasa malu dari pada keberadaan Taeyong?!”

Putus

Bagai disayat belati, hati Zemira sakit bukan main melihat balasan singkat dari lelaki yang ia anggap tak akan menyetujui permintaan darinya.

Zemira saat ini berada di meja kantin bersama ketiga sahabatnya dengan kedua mata yang berkaca-kaca, ia menahan tangisnya. Ketiga sahabatnya hanya mengerjap memandang tak percaya.

“Gue kira Taeyong bucin banget ama lo.” Lirih Lucy, takut-takut melukai Zemira.

“Kan. Gue bilang apa udah ah balik sama Jaehyun, mau dia sibuk banget juga kagak begini-begini bat dah ah.” Irene meluap-luap.

“Ren jangan kompor deh, lo tuh ya begini, dulu waktu Ze masih sama Jaehyun juga lagak lo begini nih.” Jisoo memijat pelipisnya, tangannya yang lain mengusap lengan Zemira menenangkan.

Seseorang tengah berlarian di koridor. Suara sepatunya beradu dengan nafasnya yang terengah-engah. Bayangkan saja ia harus turun dari lantai 5, kemudian pergi ke gedung fakultas lain untuk menaiki anak tangga menuju lantai 2. Namun sayang sekali ia harus berlarian lagi menuju Ruang Laboratorium di gedung yang berbeda.

Tanpa mengeluh, ia menghampiri seorang perempuan yang baru saja keluar dari ruangan itu.

“Rosaaaa!”

Yang dipanggil kebingungan dengan kedatangannya. Taeyong berusaha mengatur mafas, peluhnya sudah menetes, memenuhi dahinya.

“Ikut gue.” Ia menarik lengan Rosa, sontak gadis itu mengikuti langkah Taeyong yang mengajaknya untuk berlarian lagi.

“Yong? Kenapa sih?”

“Taeyong?!”

“Ini gue abis praktek lo ajakin lari-lari begini?!”

Lelaki itu tak mengindahkan satu pun pertanyaan, ia terus berlari dengan menggenggam tangan Rosa. Masuk ke area kantin, gadis itu menghempaskan tangan Taeyong hingga lelaki itu terhenyak dan menghentikan langkahnya.

“Lo kenapa sih?”

Wajah Taeyong tampak kalut, ia menatap Rosa dengan penuh harap. “Ikut gue, bantu gue.”

Rosa mengernyit.

“Zemira—“

Gadis itu menghela nafas, seharusnya ia langsung tau bila ini mengenai kekasih dari mantannya.

“Ayo—“ Taeyong menarik lagi lengan Rosa, namun tertahan.

“Bentar.” Rosa mengeluarkan tisu yang selalu ia bawa di dalam tas. “Seka dulu itu keringet lo.”

“Enggak usah, buru—“

“Ck!”

Rosa menarik paksa lengan Taeyong, menyeka wajahnya dengan beberapa lembar tisu. Kemudian merapikan anak-anak rambut Taeyong, menyibakkannya ke arah belakang. Tolong siapapun ingatkan mereka berdua bahwa mereka sedang berada di area kantin, dimana Zemira dan ketiga sahabatnya ada di sana.

Jangan salahkan Zemira saat ini yang semakin berapi-api melihat pemandangan seperti itu. Tangannya sudah mengepal diatas meja. Satu bulir bening lolos melewati pipi putihnya. Ia menggebrak meja, membuat beberapa orang disana tersentak, termasuk Taeyong yang langsung menoleh kearah sumber suara. Bola matanya membulat.

“Wah gila hebat banget dah kata gue.” Itu suara Irene dengan menepuk tangan dan menggeleng-gelengkan kepala tak percaya.

Zemira menatap Taeyong penuh kekecewaan, terlihat pada kedua matanya yang memerah. Kedua tangannya mengepal disamping, ia beranjak dari mejanya, diikuti ketiga sahabatnya. Ketika gadis itu melewati Taeyong dan Rosa, lelaki itu menahan lengan Zemira, namun langsung dihempaskan oleh empunya.

“Zemira—“ Taeyong menahannya lagi, Zemira tetap keukeh menarik lengannya kemudian kembali berjalan cepat. “Ze, kamu kenapa tiba-tiba minta—“

“JANGAN IKUTIN GUE!”

Jujur saja Taeyong tersentak ketika Zemira berbalik badan dan meneriakinya seperti itu. Wajah yang biasanya Taeyong lihat cerah, kini berubah menjadi mendung, kusut.

“Jangan berani ikutin gue.” Kalimat Zemira penuh penekanan disetiap kata.

Kalah telak, lelaki itu mematung melihat kepergian Zemira. Irene dan Lucy berlari menyusul, melewati Taeyong yang masih terpaku disana. Berbeda dengan Jisoo yang terhenti disamping Taeyong.

“Gue gak tau awal permasalahan kalian, tapi harusnya lo ketemu dulu sebelum nge-iyain.”

Taeyong mengernyit bingung. “Gue gak ngeiyain?”

“Lah lo jelas-jelas jawab ayo.”

Buru-buru ia merogoh saku celana, mengambil ponselnya. Benar saja saking terkejutnya, belum selesai ia mengetik, sudah lebih dulu terkirim. Taeyong mengusap wajahnya kasar.

“Gak gak ini maksud gue ayo ketemu, gitu.” Ia menunjukkan pesannya yang belum selesai. Jisoo menghela nafas.

“Kan apa kata gue pasti salah paham. Udah deh ntar gue bilang sama Zemira.”

“Gue yang harus bilang.” Sela Taeyong.

“Iya tau, maksudnya gue bilang kalo ini cuma salah paham.”

Lelaki itu mengangguk. Jisoo menepuk bahu Taeyong sebelum akhirnya pergi menyusul teman-temannya. Rosa yang dari tadi memperhatikan Taeyong kemudian menjajarinya.

“Lo salah kalo tiba-tiba ajak gue buat ketemu sama Zemira. Harusnya lo dulu yang ngomong, sendiri.”

“Yong.”

“Jangan cari gue lagi.”

Kalimat yang baru saja keluar dari bibir Rosa membuat hati Taeyong berdesir.

“Bukan gue gak mau jadi tempat lo pulang, tapi gue gak mau lo bergantung terus sama gue.”

“Dan kalo lo inget-inget lagi, gue disini orang jahat Yong, gue jahat sama lo. Gue nyakitin lo, gue yang bikin hubungan kita dulu berakhir. Tapi kenapa lo masih mau bersandar ke gue? Lo harus pertanyain itu ke diri lo sendiri.”

“Lo punya Zemira. Lo bisa bebas cerita apapun ke dia. Kalo lo belum bisa terbuka sama dia, ini cuma masalah waktu.”

“Pelan-pelan, gak harus lo ceritain semuanya, masing-masing orang juga punya ruang privasi yang orang lain gak boleh tau.”

“Pasti Zemira salah paham sama hubungan kita, kalo lo gak bisa, biar gue yang jelasin kalo gue bukan siapa-siapa lo. Dan emang ya, gue butuh waktu sendiri buat ngobrol berdua sama Zemira.”

Taeyong diam dan mendengarkan apapun yang Rosa katakan. Bahkan manik hitamnya tak lepas dari gadis cantik yang sedang memberikan ribuan saran padanya.

“Ayo, gue anter pulang.” Final Taeyong setelah Rosa selesai berbicara.

“Lo juga langsung balik kan?”

“Iya.”

“Lo beneran balik ya?”

“Iya Saaaaa.”

Raut wajah sendunya, Rosa tak yakin bila lelaki itu akan pulang. Sepertinya dirinya telah melukai Taeyong lagi dengan kalimat-kalimat yang ia lontarkan. Gadis itu berjalan mengikuti Taeyong dibelakang. Menatap punggung yang bahunya mulai merosot, pandangan lelaki itu sesekali menunduk.

Bagaimanapun, Rosa akan memastikan lelaki itu tidak pergi ke tempat ‘itu’ lagi untuk menyendiri.

at least i can smile when i see u

“Kak Taeyong gak ngantuk? Udah hampir jam 11.” Ujar Renjun yang tengah menguap.

Mereka berdua berada di ruang tengah. Renjun yang sudah berbaring di sofa, dan Taeyong yang masih terjaga sembari memutar-mutar ponselnya.

“Lo tidur aja Injun, besok sekolah. Sana ke kamar.” Titah Taeyong. Ia melihat kedua mata Renjun yang mengantuk namun memaksakan diri untuk menemaninya.

“Kak Taeyong?”

“Kenapa? Gue kenapa?”

“Kakak sendiri gak tidur? Udah malem, kak Ze pasti balik kok tenang aja.” Renjun sudah beranjak dari sofa, berdiri dengan kedua mata yang sayu. “Muka lo muka muka capek kak, ayo tidur di kamar gue gak papa.”

Taeyong menggeleng. “Enggak, udah lo aja tidur. Gue tau Zemira pasti balik, tapi gue mau nunggu dia sampe dia masuk rumah.”

Renjun menghela nafas. Mengapa bisa ada seorang lelaki yang mencintai Kakaknya hingga rela menunggunya seperti ini, bahkan mengkhawatirkan dirinya, pikirnya. Kemudian ia berjalan dengan langkah menyeret dan terkantuk-kantuk.

Ceklek

Pintu kamar Renjun tertutup. Taeyong kembali memandang layar ponselnya, sesekali mengetuk dua kali hanya sekedar melihat jam dan notifikasi. Ia menyandarkan punggungnya, kepalanya menatap ke langit-langit ruang tengah. Tubuhnya terasa lelah, namun tak dapat dipungkiri dirinya tengah khawatir dengan kekasihnya yang hampir tengah malam belum berada di rumah. Tak ada kabar, pesannya pun tak terbalas, ia menerka-nerka apakah gadisnya marah kepadanya?

Tak biasanya Zemira pergi meninggalkan Adiknya sendiri hingga larut malam seperti ini.

“Ze, oy bangun.” Jaehyun menggoyang lengan Zemira pelan.

Gadis itu membuka mata mengumpulkan kesadarannya. Selepas pulang dari makan dan menghabiskan waktu untuk jalan-jalan menikmati udara malam, tak terasa Zemira tertidur pulas di mobil Jaehyun saat perjalanan menuju rumah.

“Udah nyampe rumah, gih dah buka pager. Apa gue anter sampe sini aja?”

Bertemu tatap. Zemira menggeleng. Ia masih mengucek matanya sesekali meregangkan tubuh.

“Masuk aja dulu.” Titahnya sembari keluar dari mobil untuk membuka pagar.

Zemira mengernyit melihat sebuah mobil putih terparkir sedikit menghalangi pagar rumahnya. Berjalan semakin dekat, ia mengenali mobil milik kekasihnya itu. Ia berjalan kembali ke mobil Jaehyun.

Tuk tuk

Gadis itu mengetuk kaca mobil. Jaehyun mematikan mesin, kemudian membuka pintu dan turun dari sana.

“Kenapa?” Tanyanya.

“Itu mobil Taeyong kan?” Tunjuk Zemira.

Jaehyun menyipitkan mata, membaca nomor plat mobil putih itu kemudian mengangguk.

“Ya udah gue anter lo sampe dalem.” Jaehyun menyambar bahu Zemira, mendorongnya untuk berjalan mendahului.

Taeyong beranjak ketika mendengar suara deru mobil yang terparkir di depan sana. Ia berjalan keluar, berharap gadisnya pulang.

Di ambang pintu, Taeyong melihat dua orang sedang berjalan berdampingan. Gadisnya, bersama lelaki yang ia kenal. Ada sedikit rasa sakit mengetahui Zemira menghabiskan waktu dengan mantan kekasihnya hingga selarut ini.

“Makasih Jae, gue duluan.” Pamit Zemira pada Jaehyun yang langsung masuk ke dalam rumah melewati Taeyong, tanpa menghiraukan kekasihnya, menatap matanya pun tidak.

“Ze….” Panggil Taeyong mengudara.

Zemira terus berjalan masuk hingga ruang kamarnya. Taeyong melihat punggungnya yang menghilang. Pintunya tertutup.

Taeyong merotasikan bola matanya, mengendarkan pandangan pada Jaehyun yang masih berdiri bersandar pada tembok teras. Kedua tangannya terlipat. Ia menyadari tatapan tajam Taeyong, menghela nafas.

“Kalo kekurangan gue gak punya banyak waktu buat Zemira, kalo lo…. Gak bisa terbuka sama orang baru dihidup lo.”

Taeyong membuang muka.

“Irene ngabarin gue, dia ngeliat lo sama Rosa di bar. Dan gak mungkin seorang Irene diem-diem aja waktu ngeliat lo, kemungkinan besar dia cerita ke Zemira.” Tukas Jaehyun.

Taeyong hanya mengangguk mendengar apa yang dikatakan Jaehyun.

“Makasih.” Hanya satu kata yang terucap dari bibir Taeyong.

“Kalo lo cuma bisa terbuka sama satu orang aja, lo bakal terus bergantung sama dia. Apalagi Rosa—“

“Iya gue tau.” Sela Taeyong.

Jaehyun berdecak. “Ya udah gue balik duluan.” Ia menghampiri Taeyong, menepuk bahunya sebelum akhirnya pergi dari sana.

Setelah memastikan Jaehyun pergi, Taeyong masuk lagi ke dalam rumah. Berjalan menuju ruang kamar Zemira. Ia mengetuk pintu, hanya untuk berpamitan.

“Zemira? Aku pulang ya.”

Tak ada jawaban, Taeyong mengira Zemira sudah tertidur. Lelaki itu memutar tubuhnya, berjalan keluar sembari memijat pelipisnya.

Gerombolan angin malam menerjang anak-anak rambut Taeyong, ia menyibakkan rambut ke belakang. Sesekali menghembuskan nafas kasar.

Kalimat dari Jaehyun, masih terputar dan terdengar jelas.

Ia pun sedang mencoba, untuk tidak menyimpan segalanya sendiri, untuk mulai benar-benar percaya pada orang lain, terutama pada Zemira yang berstatus sebagai kekasihnya.

💬

Setelah obrolannya dengan Zemira tempo hari, Taeyong tampak memikirkan perkataan gadisnya yang mengatakan bahwa dirinya tidak bisa menjalani hubungan jarak jauh. Zemira lebih memilih mengakhiri hubungannya dari pada menjalani hubungan seperti itu.

Taeyong menimang-nimang kembali keputusannya untuk ikut seleksi beasiswa. Tapi toh banyak mahasiswa yang kemampuannya lebih darinya, Jaehyun contohnya. Ia tidak mungkin bisa menyaingi temannya yang pintar melebihi rata-rata itu, kecuali ia mendapatkan lucky card.

Usai pembekalan seleksi beasiswa, Taeyong bersama teman-temannya masih berdiam di Auditorium.

“Eh Rosa tuh.” Winwin mengendikkan dagu hingga kemudian sorot mata mereka beralih pada gadis yang menuruni anak tangga, berjalan kearah mereka.

“Yong, cariin tuh lo.” Lucas dengan tawa merekah.

Taeyong menoleh dan dibalas lambaian tangan Rosa. Gadis itu tersenyum dan menghentikan langkahnya tepat di samping meja mereka. Seperti paham dengan situasi, teman-teman Taeyong beranjak pergi satu per satu hingga menyisahkan Jaehyun, Taeyong dan Rosa.

“Gue nunggu disini ape ikut anak-anak nih?” Tanya Jaehyun.

“Tunggu parkiran be.” Jawab Taeyong yang dibalas dengan anggukan.

“Yodah gue nyebat di parkiran.” Pamit Jaehyun sembari berjalan meninggalkan mereka berdua.

Tanpa aba-aba gadis itu menarik pergelangan tangan Taeyong, membuat empunya terkejut.

“Nih, gue udah nemu bukunya.” Rosa memberikan sebuah buku. “Cuma satu sih tapi lo pake aja dulu.”

Taeyong menerima buku itu, menurunkan tangannya yang masih digenggam oleh Rosa.

“Ya udah ayo, lo mau gue anter pulang dulu?” Tawar Taeyong yang dibalas anggukan.

Keduanya lantas bergegas keluar dari ruangan. Berjalan berdampingan, mereka mengobrol dan tak terasa sudah berada di parkiran. Jaehyun baru saja membuang putung rokok di tong sampah, berjalan menghampiri mereka. Tak ada obrolan setelahnya karena Jaehyun langsung masuk ke dalam mobil Taeyong, lebih tepatnya duduk di kursi belakang supir.

Taeyong membukakan pintu untuk Rosa, sebelum ia sendiri masuk ke dalam mobil.

“Sa, jaket gue ketinggalan di rumah lo gak?”

“Iya gue lupa mau bawa, lo tinggalin di kamar gue.”

Jaehyun yang sedang asik dengan ponselnya seketika merotasikan bola matanya mendengar percakapan mereka berdua. Menghentikan aktivitasnya sembari mencondongkan badannya ke depan.

“Lo pada habis ngapa dah?” Tanya Jaehyun yang kepalanya sudah ada di tengah-tengah mereka.

“Taeyong abis ke rumah gue.”

“Ngapain?”

Rosa menoleh kearah Taeyong yang tak berniat untuk menjawab. “Itu—“

“Tali rambutnya Ze ada di lo? Balikin sini.” Taeyong menyela.

“Yaila tali rambut doang.” Jaehyun menghempaskan tubuhnya, kembali bersandar.

“Tali rambut doang?” Kini Taeyong melirik temannya itu dari spion.

“Alah cemburu?” Tertawa. “Cemburu cemburu amat lo ama gue.”

Jaehyun merogoh saku celananya, mengambil tali rambut milik Zemira yang sejak tadi siang ia simpan.

“Nih.” Menyerahkan pada Taeyong yang tangannya sudah terulur.

“Dulu sama lo, dia begini juga kagak sih? Gue gak inget.”

Itu Jaehyun yang bertanya pada Rosa. Gadis itu membuang muka kearah jalanan, tak ingin menjawab pertanyaan yang Jaehyun lontarkan.

. . . . .

“Kakakkkkk.” Renjun berlari dari arah tengah ketika mendengar suara Taeyong yang baru saja datang. “Ada kak semangka goreng? Injun mau coba juga!!” Imbuhnya sembari tangannya meraih dua kantung plastik yang Taeyong bawa.

“Widihhhh kak beneran nuggetnya udah lo goreng?”

Renjun langsung berlari pergi kearah dapur, mengeluarkan nugget juga semangka goreng titipan Zemira.

“Idih kagak ada akhlak beneran lo Injun!” Teriak Zemira pada si bungsu.

“Udah biarin namanya juga anak-anak.”

Jawaban Taeyong seketika membuat Zemira mengernyit. “No no, jangan bilang kayak gitu.”

Taeyong tertawa. “Emang kenapa?”

“Kayak suami lagi ngebilangin istri.”

“Iyaaaa istri.” Mengacak surai Zemira.

Bugggghhh!

Taeyong meringis saat lengannya dipukul oleh gadisnya. “Jangan sekate-kate luuuu.”

Jam tujuh malam, Taeyong menepati janjinya untuk bermain bersama Renjun. Beberapa kali ronde permainan, kemudian Taeyong menyudahinya. Renjun yang masih betah menatap layar tv, melanjutkan bermain sendiri.

Taeyong naik keatas sofa, merebahkan tubuhnya dengan kepala yang ia jatuhkan pada paha Zemira. Tidur terlentang. Ia memejamkan matanya dengan satu tangan menutupi pandangannya.

“Aku capek.” Ujar Taeyong.

“Kamu mau tidur? Di kamar Injun gih.”

“Enggak, disini aja sebentar.”

“Ya udah.”

Zemira menyisir rambut Taeyong sembari melihat wajahnya yang tertutup sebagian.

“Kamu udah makan, Yong?”

Taeyong mengangguk. “Udah.”

“Mm ya udah tidur.”

“Kamu gak mau ngajak aku ngobrol?” Taeyong menurunkan tangannya, kedua matanya bertemu tatap dengan Zemira.

Zemira yang masih menyisir rambut Taeyong, sontak menutup pandangan lelaki itu dengan tangannya.

“Kayaknya mending gini aja deh.”

Taeyong tertawa. Menyingkirkan tangan Zemira. “Kenapa sih?”

“Bahaya banget ini mata.” Zemira mencoba menutupnya lagi, namun tertahan. “Udahhh katanya capek? Mau tidur?”

“Iya tapi kamu gak mau ngobrol? Gak mau tanya apa gitu?”

“Mau, tapi lupa mau tanya apa.”

“Ya udah apa.”

“Lupa, Taeyong.”

“Ya apa?”

“Orang lupa ish!” Zemira refleks menepuk dahi Taeyong. “Eeeh aduh maaf maaf.”

Taeyong tertawa lagi. “Kasar bener heran.”

“Habisan maksa. Oh iya kamu ada urusan apa di kampus sampe malem gitu?”

“Ya ada.” Jawab Taeyong singkat. Ia masih belum berani mengatakan pada Zemira bahwa dirinya ikut seleksi beasiswa.

“Tuhhhhhhh tadi nanyain mau ngobrol apa engga, sekarang malah jawabnya begitu tuhhhhh.” Omel Zemira.

Melihat rambut Zemira yang terurai, Taeyong baru ingat tali rambut yang Jaehyun ambil. Ia mendudukkan diri, mengambil tali rambut dari sakunya. Menyibakkan rambut Zemira ke belakang. Mengumpulkan semua rambut menjadi satu. Zemira terkejut hingga sedikit memundurkan kepalanya karena jarak mereka berdua cukup dekat. Taeyong masih sibuk merapikan rambut Zemira, bola matanya berotasi ke kanan dan ke kiri.

“Udah.” Ucap Taeyong usai mengikat rapi rambut Zemira. “Ini bukan tali rambut punyamu, tadi aku mampir beli di pasar malem.”

“Yang ini jangan dipake lagi.” Seraya menyerahkan tali rambut hitam yang ia ambil dari Jaehyun.

Zemira mengangguk cepat, jantungnya sudah tak beraturan akibat bertatap mata sedekat ini. Ia berkali-kali mengedipkan kedua matanya cepat.

Cuppp

Satu kecupan mendarat di bibir Zemira. Kedua pipi putihnya memanas. Ia mematung. Oknum yang telah mendaratkan kecupan itu kembali merebahkan diri, dengan kepala diatas paha Zemira.

“Aku istirahat sebentar.” Tukasnya seraya menutup sebagian wajahnya dengan lengan tangannya.

“I-iya…”

Zemira ingin menjerit rasanya. Ia menepuk-nepuk kedua pipinya, senyumnya pun mengembang. Taeyong benar-benar membuat gadis itu salah tingkah. Tanpa ia sadari, Taeyong mengintip dan merekahkan senyumnya melihat Zemira yang seperti orang gila mengusap wajahnya kasar sembari menahan jeritan. . . . . . . -zemira pov🥲-

image

Ceklek….

Renjun menoleh ketika pintu kamarnya terbuka. Terlihat kepala Zemira yang menyundul mengintipnya. Lelaki yang asik merebahkan diri dengan bermain ponsel itu menunggu si sulung mengatakan sesuatu, karena ia hanya diam memperhatikan Renjun.

“Aya naon Kak?” Tanya Renjun.

Zemira menggeleng. “Lo ngapain?”

“Gak ada, ini main hp doang, kenapa sih?”

Lantas Zemira menggeleng lagi dengan ber-oh ria, menutup kembali pintu kamar Renjun. Lelaki itu hanya menghela nafas, ia sudah kebal dengan kebiasaan si sulung yang seperti itu. Pergi ke kamar, sekedar bertanya yang tidak jelas, kemudian pergi begitu saja. Itu masih normal, yang tak Renjun mengerti adalah ketika Zemira hanya ke kamarnya untuk melihatnya, kemudian pergi begitu saja dengan pintu yang sengaja dibuka lebar. Uh itu sungguh membuat Renjun kehabisan kesabaran, karena ia harus turun dari ranjang hanya untuk menutup pintu.

Ceklek…. lagi, pintu kamarnya terbuka.

“Dekkkk….”

“Allahhh apa lagi? Kalo jawab gak papa gue gigit lo kak.”

Zemira cengengesan.

“Apa kak apa bilang cepet!” Renjun mulai tampak kesal, ia mendudukkan diri dan mengesampingkan ponselnya.

“Gue udah rapi belum?” Zemira melangkah masuk ke kamar, memutar tubuhnya.

“Hhh kak, Injun yakin sih kalo lo udah ngaca berkali-kali buat dapetin jawaban dari pertanyaan lo. Tapi kenapa masih gangguin Injunnnn?!!!” Bukan Renjun namanya bila ia berbicara santai. “Udah rapi, udah ah keluar sana gue mau rebahan , capek kak.”

“Capek apa lo orang dari tadi ngepes sama Jeno, Echan?”

“Ya mata gue capek abis ngepes, energi gue kekuras. Udah sono keluarrrrr.”

Zemira berdecak. Renjun kembali pada posisinya, merebahkan diri dengan ponsel yang ada digenggaman.

“Lo gak mau ikut? Gue mau keluar.”

“Gak tertarik.” Jawab Renjun singkat. Bola matanya masih menatap layar ponsel, jemarinya menggulir dengan nikmatnya. “Pintu ditutup!”

Gadis itu masih memperhatikan sang Adik. Ia berjalan mendekat, mengacak surai Renjun lantas berlari keluar begitu saja tanpa menutup pintu dengan meninggalkan jejak tawanya.

“KAKAKKKKKKK AWAS AJA GUE PUNYA HUTANG GIGIT LO!” Teriak Renjun kesal.

Setelah dua hari, akhirnya mereka berdua bertemu lagi. Setelah dua hari tak bertegur sapa, setelah dua hari Zemira maupun Taeyong sama-sama tak saling menghubungi, dan setelah dua hari Taeyong menepati janjinya.

Sore hari, di alun-alun kota. Hembusan angin cukup kencang, aroma tanah basah masih tercium pekat tanda hujan usai menjamah. Suasananya cukup tenang, tak banyak orang mengunjungi tempat ini karena langit yang masih putih dengan awan keabuan.

Mereka berdua pun sama tenangnya, berjalan tanpa ada inisiatif untuk angkat bicara. Amarah yang meletup-letup masih bisa Zemira rasakan. Selama di mobil tadi pun, netra hitamnya selalu menjauh dari sosok yang ada di sampingnya.

“Duduk situ yuk.” Taeyong bukan menunjuk kursi kosong, melainkan dua ayunan di dekat pohon yang masih basah bekas guyuran hujan.

Zemira menyetujui dengan menganggukkan kepalanya. Langkah Taeyong mendahuluinya, membuat gadis itu bisa memandang punggung kekasihnya.

Sisa-sisa air hujan yang masih menggenang di ayunan Taeyong sapu dengan kedua tangan kosongnya, sebelum Zemira duduk disana.

“Masih agak basah,” ujarnya seraya melepas hoodie, berniat meletakkannya di atas ayunan.

Zemira menahannya. “Gak papa, gak terlalu basah.” Ayunannya berdecit ketika ia duduk.

Taeyong menutupi lutut gadisnya dengan white hoodienya tadi, untuk membuatnya lebih hangat. Diperlakukan seperti itu, Zemira hanya diam dan memandang kekasihnya yang sedang mengusap ayunan penuh air.

“Mau aku apa kamu dulu yang ngomong?” Zemira menginterupsi.

“Aku dulu, sebentar.” Taeyong beranjak, berdiri di depan Zemira dan menghentikan ayunannya.

“Ihh kenapa?” Protes Zemira.

“Kan mau ngomong.”

“Ya duduk aja kamu disitu.”

Taeyong menggeleng. “Gak baik ngejelasin sesuatu kalo gak natap orangnya.”

“Kalo gini juga gak nyaman, Taeyong. Kamu berdiri, akunya jadi ngedangak.”

Mengusap kepala Zemira, Taeyong berjongkok. “Siapa juga yang mau berdiri? Capek.” Ia tertawa.

“Boleh pinjem tangannya?” Ijin Taeyong seraya mengulurkan tangan kirinya.

Zemira menurunkan tangannya, lantas Taeyong meraihnya.

“Maaf, pertama kali ngeliat aku marah kan? Aku nyakitin kamu, padahal aku gak mau.”

“Iya aku yang minta.”

Mengangguk. “Aku marah Ze, ke diri aku sendiri, ke situasi yang ngebuat aku jadi marah. Haha aneh ya didengernya? Bukan aku gak nepatin janji hari itu, aku udah mau nyamperin ke rumah kamu, tapi keduluan Jaehyun.”

“Nggak keduluan sih, karna emang dia disuruh sama Ayah kamu. Jaehyun bilang waktu itu, dia mau ke rumah kamu karna Ayah kamu yang nyuruh, terus dia bilang juga kalo—“

Taeyong yang dari tadi terus menatap bola mata Zemira selama berbicara, kini memalingkan muka sejenak.

“Kalo apa?” Tanya Zemira.

“Kalo Ayah kamu masih anggep hubungan kalian berdua baik-baik aja, dan belum berakhir.”

Deggg

Dada Zemira nyeri mendengar itu. Ia menunduk, tak sanggup bertemu tatap lagi dengan netra hitam kekasihnya. Pandangannya malah tertuju pada tangan kanan yang diusap lembut oleh ibu jari Taeyong.

“Aku marah karna aku cemburu? Tapi kayaknya lebih ke nggak terima kalau kamu belum anggep aku. Padahal hubungan kita udah berjalan lama, tapi kenapa bisa?”

“Waktu aku minta dua hari, aku mau ngeredain marahnya aku, aku gak mau kamu tau gimana aku marah, aku gak mau nyakitin kamu. Tapi karna kamu ke kos malam itu, dan denger kamu nyebut nama Jaehyun, bikin aku kehilangan akal dan tiba-tiba ngebentak kamu.”

“Aku minta maaf,”

“Aku gak biasa ngomong kalo lagi marah, ya gitu, aku bakal minta waktu buat ngeredam amarahku dulu, kalo udah ya aku bakal ngejelasin kayak gini.”

“Karena apapun yang diseleseiin pas emosi lagi meledak tuh dampaknya buruk.”

Taeyong merasakan Zemira semakin erat menggenggam tangannya. Gadis itu masih menunduk. Kemudian terdengar suara isakan yang tertahan lirih.

“Loh? Kamu nangis? Sini liat aku.” Taeyong berusaha menangkup wajah gadisnya. “Kok nangis? Kenapa?”

Bibir Zemira mengerucut, sisa air matanya sudah ia hapus.

“Kamu kalo marah serem.” Ujarnya dengan suara yang hampir tak terdengar.

Taeyong tertawa. “Iyaaaa maaf.”

“A-aku juga mau bi-lang ini….” Zemira menunduk lagi.

“Madepnya kesini, Zemiraku.”

“Jangan marah ya?”

“Iya enggak.”

Antara iya dan tidak, Zemira masih bingung haruskah ia mengatakan yang sejujurnya pada Taeyong? Tapi ia takut bila menimbulkan kesalahpahaman.

“Aku mau kasih tau Ayah sama Bunda waktu itu kalo kamu dateng, aku mau kasih tau mereka kalo pacarku tuh kamu. Biar mereka berdua tau juga, biar ketemu kamu juga.”

“Aku salah, karena belum bilang kalo hubunganku sama Jaehyun udah berakhir. Aku minta maaf, bukan karena aku gak nganggep kamu tuh enggaaaa.”

“Kamu boleh marah, gak ada yang ngelarang, tapi tolong kasih tau aku dulu alesan kamu marah, biar aku gak perang sama pikiran-pikiran aku. Kalo kamu diem, tiba-tiba gak ada kabar, aku mikirnya jelek mulu.”

“Ada juga yang mau aku sampein, tapi janji kamu gak akan marah?”

Taeyong tersenyum simpul, ia mengangkat jari kelingkingnya. “Iya janji.”

Setelah Zemira mengaitkan kelingkingnya, barulah ia berbicara tentang sesuatu yang ada dihatinya.

“Maaf aku nggak bisa tiba-tiba ngehapus Jaehyun dari hati aku. Sebentar, maksud aku bukan karna aku belum move on. Semua perasaan udah hilang gitu buat dia, tapi aku gak tau kenapa dia punya ruang sendiri buat aku.”

“Ruang yang cuma bisa dimasukin sama dia gitu, kamu paham maksud aku?”

Taeyong mengangguk. “Hati kamu ada berapa ruang Ze?”

“Ih maksudnya enggak gitu. Ini tuh kayak apa aku nganggep Jaehyun udah bukan mantan, apa ya?” Zemira panik.

“Haha iya iya jangan panik gitu mukanya. Aku paham, yang penting kamu udah gak naruh perasaan lagi ke dia.”

“Enggak kok enggak beneran deh.”

“Makasih ya, udah mau bilang jujur. Aku gak akan masuk ke ruangnya Jaehyun, cukup kunci aja ruangannya jangan sampe ngebiarin dia lepas dan ngerecohin ruangan kepunyaanku.”

Zemira mengangguk dan tersenyum. Ia lega, juga beruntung, Taeyong bisa sangat mengerti. Entah bahkan rasanya dirinya ingin menangis.

“Udah dimaafin juga kok.”

“Haha telat banget Ze?”

“Bangun ih gak capek apa jongkok mulu? Aku mau main ayunan jugaaa, gih sana minggirrrrr.”

“Didorong nggaaa?”

“Gak lahh bisa sendiri, mang gue anak kecil??”

Taeyong tertawa dengan jawaban Zemira. Ia kembali duduk di ayunannya. Usai sudah kesalahpahaman yang terjadi. Kini mereka berdua menikmati udara sore dengan berayun-ayun di alun-alun kota. Saling melempar gelak tawa.

———————————————

Terima kasih Zemira, dan maaf aku belum bisa seterbuka itu. Banyak hal yang sepertinya perlu aku simpan sendiri.

Taeyong sedang berjalan menghirup udara pagi yang segar, mengisi penuh paru-parunya. Salah satu tangannya memegang kantong plastik penuh belanjaan. Ia baru saja pergi ke toserba yang tidak jauh dari kosnya. Doyoung berjalan di samping Taeyong sambil turut menggerak-gerakkan kedua lengannya.

“Doy.” Taeyong menyenggol lengan Doyoung.

Doyoung menoleh.

“Gak jadi.” Taeyong menggeleng-gelengkan kepalanya.

Bughhh!!

“Aduh sakit anjir!” Meringis sembari mengusap lengan kirinya.

“Lo kalo mau cerita mah cerita aja, gak usah kayak cewek lagak lo.”

Taeyong tertawa, kembali mengingat dan berusaha meronce kata-kata untuk dijadikannya kalimat penjelas yang akan ia sampaikan pada temannya.

Hingga sampai di depan pagar kos, lelaki itu belum juga angkat bicara. Tak setahun atau dua tahun Doyoung berteman dengannya, ia mengerti bila Taeyong sedang tidak baik-baik saja, ia dengan sabarnya menunggu.

“Gue tunggu sini dah, mau nyebat.”

Taeyong mengangguk, berjalan masuk untuk meletakkan belanjaannya.

Perkampungan yang sepi, hanya ditemani suara angin berhembus dan gesekan ranting pohon, Doyoung berjongkok di depan pagar. Menikmati cerutu yang sudah menyala diapit jemarinya.

“Bagi, Doy.”

Taeyong datang, ikut berjongkok di sebelah temannya itu. Menerima korek api dan cerutu yang Doyoung bagi. Tangannya meraih tudung hoodie hitamnya, ia kenakan agar rambutnya tak berantakan karena angin yang berhembus kencang.

“Udah kelar nyusun kalimat belum lo?” Tanya Doyoung.

“Hm.”

“Zemira?”

“Iya.”

Cukup lama sejak jawaban singkat Taeyong, mereka berdua diam. Hingga habis satu batang cerutu, pandangan keduanya masih mengendar ke depan. Melamun nikmat bersama hembusan angin dengan langit yang mulai redup, tanda akan turun hujan.

“Bokap nyokapnya Zemira kemaren dateng ke rumahnya.” Taeyong mulai bercerita.

“Iya lo udah cerita. Lo jadi kesana? Bantuin dia?”

Menggeleng. Doyoung menunggu alasan dan penjelasan dari Taeyong.

“Jaehyun yang kesana, karena dia ditelfon sama bokapnya Ze.”

“Jaehyun gak nolak?”

Menggeleng.

“Terus lo gak jadi kesana karna Jaehyun?”

Kali ini Taeyong mengangguk. Bukan tanpa alasan ia melakukan itu, bahkan saat ini ia sedang marah. Marah dengan keadaan, marah dengan dirinya sendiri, juga marah pada kekasihnya.

“Bokapnya ngira kalo Jaehyun sama Zemira masih pacaran. Jaehyun bilang ke gue kalo Zemira belum bilang sama bokapnya, tentang hubungan mereka berdua yang udah putus.” Jelas Taeyong, meraih kotak cerutu milik Doyoung.

“Tunggu,” Doy merampas kotak cerutu dari tangan Taeyong.

“Lo sama Zemira udah berapa lama pacaran?”

Taeyong tak menjawab, ia hanya menghela nafas mengingat sejauh apa hubungannya dengan Zemira.

“Gue gak maksud ngomporin, tapi kenapa dia belum juga bilang kalo hubungannya sama Jaehyun udah kelar gitu. Artinya dia masih anggep Jaehyun—“

“Zemira lupa kali.”

“Lupa atau emang dari awal sebenernya dia masih ngarepin Jaehyun? Lo kenapa sih marah ya marah aja, jangan melempem gini. Ini lo masih kontakan sama Ze?”

Taeyong menggeleng. “Gue marah, tapi gue mending diem. Lo tau sendiri kalo gue marah gimana, gue cuma butuh waktu buat ngeredain. Udah.”

Marahnya orang sabar, Doyoung ingat betul bagaimana temannya itu ketika marah. Selagi Taeyong bisa meredam, memang itu lebih baik dari pada harus meledakkan amarahnya.

“Tapi lo harus minta kejelasan sama Zemira. Gue takutnya lo cuma jadi pelampiasan.” Tegas Doyoung. “Berapa lama lo bakal marah? Kasih tau cewek lo biar dia gak mikir macem-macem.”

Mengangguk. Taeyong berdiri dari tempatnya, merogoh ponsel di sakunya. Ia sudah mengetikkan sesuatu disana, namun seseorang datang sebelum Taeyong sempat mengirimkan pesan itu.

“KAKAKKKKKK!!!”

Ckiiittttt

Suara gesekan rem sepeda dengan roda terdengar memekik telinga. Renjun yang sempat berpegangan erat pada Jeno, mengendurkan lengannya.

“Thanks Jen! Ati-ati lo.” Tukas Renjun menepuk bahu Jeno.

Jeno menyapa dua orang itu dengan sedikit membungkukkan badan dan tersenyum, lantas mulai mengayuh sepeda dan melambai pada Renjun.

“Dari mana?” Tanya Taeyong singkat.

Tatapan Taeyong berbeda, Renjun menyadarinya. “Dari rumah kak.”

“Ngapain kesini?”

Pertanyaan seperti itu tak pernah Renjun dapati, karena Taeyong selalu menyuruhnya masuk tanpa bertanya alasan datang. Ia terhenyak, sesaat menatap Taeyong tak percaya.

Taeyong mengusap wajahnya kasar, ia sadar dengan sikapnya. Doyoung menepuk punggung Taeyong, lantas dirinya berpamitan untuk pulang.

Setelah Doyoung pergi, barulah Taeyong mengajak Renjun untuk masuk ke dalam rumah. Berjalan mendahului, pelan-pelan ia menaiki anak tangga menuju kamarnya.

Di dalam kamar yang rapi, barulah Renjun melempar banyak pertanyaan pada Taeyong. Seketika raut wajahnya berubah ketika mendengar semua itu.

“Kak Taeyong kemana aja?”

“Kemaren gue nungguin lo, Kak Ze juga nungguin.”

“Kak Ze ngarepin lo dateng, dia nunggu lo di depan rumah udah kayak orang gak ada nyawa.”

“Kak Taeyong kemana?”

“Kak Taeyong janji mau ke rumah waktu Ayah sama Bunda dateng, tapi ngingkarin janji—“

“Gue anter lo pulang.” Sahut Taeyong menyela rentetan pertanyaan. Ia meraih kunci mobil yang tergantung, kemudian menunggu Renjun di ambang pintu. “Ayo.”

Bahu Renjun merosot melihat sorot mata Taeyong yang tajam namun sudut bibirnya memaksa tersenyum. Ia terus bertanya dalam hati mengapa tiba-tiba sikap Taeyong berubah.

Dengan terpaksa, Renjun menuruti perintah Taeyong. Kini ia sudah berada di perjalanan menuju rumah. Keduanya tidak saling bicara. Renjun pun tak ingin mengajak Taeyong mengobrol, karena dari awal ia sadar bila suasana lelaki itu sedang tidak baik.

Mobilnya berhenti di depan rumah. Lebih tepatnya di depan pagar rumah. Taeyong sengaja tak sampai masuk ke pelataran.

“Kak Taeyong gak—mm makasih.” Renjun mengurungkan niatnya untuk bertanya. Membuka pintu mobil, melangkahkan kakinya keluar.

“Maaf ya, dua hari lagi gue bakal kesini dengan keadaan baik.” Ujar Taeyong sebelum Renjun menutup pintu.

Renjun hanya diam dan mengangguk sembari menutup pintu. Masih berdiri diposisinya, menatap mobil Taeyong melaju semakin jauh.

Menghela nafas. Ia berjalan tak bersemangat masuk melewati pagar rumah. Berjalan menunduk, membuatnya tak mengetahui bila si sulung tengah berdiri tak jauh darinya.

“Itu tadi Taeyong?”

Renjun terkejut. “Iya kak.”

Zemira mengangguk lantas membalikkan tubuhnya, berjalan masuk ke dalam rumah dengan langkah kaki yang cepat.

“KAKKK KATA KAK TAEYONG DUA HARI LAGI DIA BAKAL KE—“

Bruakkkk!!

Suara pintu depan yang Zemira tutup dengan sekuat tenaga, hingga si bungsu terjingkat.

“NAHA SIH KALIAN BERDUAAAAAAAA!” Teriak Renjun kesal.

image

Selepas sholat jum’at, Renjun buru-buru melipat sajadah dan bergegas meninggalkan masjid sekolah. Kelima temannya pun mengekor di belakang Renjun yang tengah menerobos barisan siswa lain.

“Jun! Woy! Kenapa dah temen lo atu itu.” Keluh Haechan.

“Lo lupa kalo bokap nyokapnya hari ini ngejemput dia pindah?” Sahut Jeno yang kini memakai sepatu dengan berdiri, berusaha mengejar Renjun.

“Cepet napa Chan elah!” Saking gemasnya, Jaemin menyambar lengan Haechan untuk segera berlari.

Berada di depan gerbang sekolah, Renjun menoleh kesana kemari mencari lelaki yang harusnya ada di sana saat ini.

“Kak Taeyong gak jadi jemput gue ya?” Gumamnya sembari mengecek ponsel, menyambungkan panggilan.

“Halo Kakak udah balik?”

“…”

“Oh gue balik sendiri? Gue ke kampus Kak Ze dulu deh balik bareng Kak tunggu gue!”

Tuttt

Tak seperti biasa, selepas kelas berakhir Zemira dengan cepat bergegas keluar dari ruangan. Padahal biasanya ia akan berlama-lama hingga semua mahasiswa beranjak dari bangku mereka, barulah ia mau keluar dari kelas.

“Halo? Belum ini gue baru kelar kelas Jun. Lo balik sendiri aja Bunda sama Ayah udah deket ceunah.”

“…”

“Kenapa harus kesini sih? Ya udah buruan.”

Tuttt

“Zemira.”

“Anjir kaget gue.”

Entah sejak kapan seseorang datang dan kini berada di samping Zemira. Gadis itu sedikit terlonjak karena terkejut dengan kehadiran Jaehyun, mantan kekasihnya itu.

“Apa? Kenapa?” Tanya Zemira.

“Pulang bareng yuk.” Ajaknya.

Zemira mengernyit, menampakkan wajah kebingungan dengan apa yang ia dengar. Tangan Zemira terulur, menempelkan pada dahi Jaehyun takut-takut lelaki itu sedang demam.

“Lo sakit?”

Punggung tangan Zemira masih menyentuh kulit dahi Jaehyun yang sedang menggeleng.

Jangan salahkan Zemira yang masih tak percaya dan tak juga menurunkan tangannya, hingga banyak mata melihat.

“KAKAKKKKK!!”

Teriakan seseorang membuat Zemira menarik lengannya dan menoleh kearah sumber suara. Renjun dengan tas ransel dan seragam batik berlari kearahnya.

“Kok cepet?” Tanya Zemira heran.

“Gue sama Jeno Jaemin Kak, di bonceng Jaemin pake sepeda ieu pantat Injun masih sakit duduk di besi depan sepeda.” Mengusap peluh yang menetes. “Loh Kak Jaehyun?”

“Hai.” Jaehyun melambai.

“Ayo Kak buruan sebelum Ayah sampe rumah duluan, ntar baju kita tiba-tiba dah rapi di koper. Ayo Kak!!”

Renjun menarik lengan Zemira tanpa memperdulikan Jaehyun. Mereka berdua berlarian menuju tepi jalan raya. Menunggu mobil taxi tanpa penumpang lewat.

Tak cukup lama mereka menunggu, mobil biru muda berhenti di depan mereka. Keduanya bergegas masuk dengan nafas yang hampir habis.

Di persimpangan sebuah jalan, Renjun melihat perawakan lelaki yang ia kenal berjalan menuju jembatan penyeberangan. Ia sampai menyipitkan kedua mata untuk memperjelas penglihatannya.

“Kak itu—“

“Jun kira-kira Taeyong bantuin ngomong gimana ya? Gila gue takut banget kalo Ayah udah kasih keputusan gitu. Gue takut gak bisa ngelak.”

Kekhawatiran Zemira membuat Renjun mengurungkan niat untuk memberi tau apa yang baru saja ia lihat.

“Kak udah sih gue jadi ikut takut kalo lo gini mulu. Tenang dikit kek Kak Ze mah malah bikin Injun deg-deg an lagi kan!” Omel Renjun.

Mungkin ini hari keberuntungan bagi mereka yang sudah sampai lebih dulu di rumah. Tak ada mobil lain terparkir, hanya satu sepeda motor milik Mbak.

Dengan berlarian, baik Zemira maupun Renjun bergegas memasuki rumah. Masuk ke kamar masing-masing dengan sepatu yang masih mereka kenakan. Seperti saudara kembar yang memiliki insting kuat, mereka berdua keluar dari kamar bersamaan, pun sama-sama menghela nafas lega.

“Aman, koper gue masih kosong, lemari gue masih rapi.” Ujar Zemira dengan tangan mengipas-ngipas.

“Sama Kak…. Gila ini kita harus nyembunyiin koper gak?”

Zemira menggeleng, merangkul bahu si bungsu dan membawanya duduk di ruang tengah.

Saling meraup oksigen dengan serakah, hingga mereka tidak mendengar deru mobil memasuki pekarangan.

“Assalamualaikum anak-anak Bunda!”

Suara lembut nan lantang membuat keduanya menoleh, seperkian detik saling menatap. Melonjak dari sofa ruang tengah, berlarian ke arah depan.

“Bundaaaaaa!” Keduanya menghamburkan pelukan pada sang Bunda yang masih berusaha melepas heels.

“Aduh aduh bentar ini Bunda lagi ngelepas sendal, nak.” Tukasnya menjauhkan tubuh anak-anaknya.

“Buruan ih kangen, buru mau peluk Injunnyaaaaa.” Rengek Renjun yang sudah tak sabar ingin memeluk.

Ketika sudah berhasil melepas heels, Renjun langsung memeluk sang Bunda lagi. Melingkarkan kedua lengan dari belakang, membawa masuk Bunda.

Berbeda dengan Zemira yang masih terdiam di depan, menunggu Ayah mengunci mobil.

“Sudah ayo masuk.” Ajak Ayah sembari menepuk bahu Zemira.

Gadis itu mengangguk, langkahnya berat mengikut di balik punggung Ayah. Netra hitamnya berotasi kearah luar pagar, menunggu seseorang yang telah berjanji akan datang, namun tak kunjung terlihat kedatangannya.

Seperti orang sibuk pada umumnya, kedua orang tua Zemira duduk di ruang tamu dan langsung mengajak mereka berdua untuk segera bersiap.

“Ih Ayah gak lucu! Zemira maunya di sini.”

“Ayah juga gak lagi ngelucu Kak, ayo sudah kalian berdua kalau di sini gak ada yang ngurusin.” Ujar Ayah.

“Ada kok, Injun diurusin tau sama Kak Tae—“

“Jaehyun jadi kesini, Yah?” Itu Bunda yang tiba-tiba memotong pernyataan Renjun. “Kamu hubungi tadi gimana?”

Zemira mengernyit, merasakan tangan Renjun menyikut lengannya. Ia menoleh, mengendikkan bahu.

“Kak Jaehyun mantan lo ieu maksudnya Kak?” Bisik Renjun.

Belum sempat Zemira menjawab, atensinya lebih dulu terpusat pada suara mobil yang memasuki area rumah. Dengan cepat ia beranjak keluar dan melihat apakah ia seseorang yang sedang Zemira tunggu atau bukan.

Langkah Zemira terhenti di depan pintu. Dari mobilnya saja ia tau siapa si empunya.

Nampak seseorang dengan gaya casual keluar dari sana. Tersenyum. Tangannya menenteng kantung plastik penuh dengan makanan. Belum sampai teras, Zemira lebih dulu menghampirinya dan menahannya. Menyambar lengannya, lantas membawa lelaki itu kembali di dekat mobil.

“Lo ngapain kesini?!” Tanya Zemira bingung. Tangannya masih menggenggam pergelangan tangan lawan bicaranya.

“Ketemu lo—“

“Serius dikit napa Jae!”

“Ya gue serius, Zemira.” Jaehyun, tersenyum. “Emang kenapa sih? Gue gak boleh kesini?”

Zemira menggeleng. “Waktu lo gak tepat, udah sana balik!” Ia mendorong tubuh Jaehyun untuk kembali masuk ke dalam mobil dan pergi.

Zemira berhenti mendorong Jaehyun ketika suara lantang Ayah memanggil nama Jaehyun dari jauh.

“Gue kesini disuruh bokap lo.” Dagu Jaehyun menunjuk, sembari berjalan melewati Zemira.

Bibir Zemira mengerucut seketika, bahunya merosot, hatinya hanya terus memanggil nama Taeyong. Dan mengapa hingga detik ini kekasihnya itu belum juga datang atau sekedar memberi kabar pada Zemira.

Suara hewan malam berbaur dengan helaan nafas panjang dari kedua insan. Terpaan angin kencang tak menurunkan suhu tubuh mereka. Berteman dengan sepi dan fokus pada pikiran masing-masing.

Sebuah mobil dengan lampu sen yang menyorot mata, masuk ke dalam pekarangan rumah. Empunya baru saja mematikan mesin dan keluar dari sana.

Menenteng kantung plastik berisi makanan, Taeyong berjalan sembari menyipitkan kedua matanya. Ia tertawa tanpa suara, langkahnya mendekati dua orang yang tengah duduk mematung di teras.

“Assalamu’alaikum….” Sapanya.

Tak ada jawaban.

Zemira menghela nafas lagi, disusul helaan nafas panjang dari si bungsu.

“Ini kalian berdua lagi lomba diem-dieman? Apa lomba ngelamun? Dapet apa sih kalo menang?” Taeyong melambaikan tangan di depan wajah Zemira dan Renjun bergantian, sesekali tertawa melihat mereka berdua.

“Ssttttt kak diem.” Renjun bersuara.

“Kenapa sih yanggggg?” Kedua tangan Taeyong menangkup wajah Zemira, menekan pipinya. “Heh kenapa?”

“Jun? Kenapa?” Kini Taeyong menggoyang-goyangkan badan Renjun.

“Kak bentar ini lagi fokus.”

Pandangan mereka berdua fokus ke depan. Sama sekali tidak goyah meski beberapa kali Taeyong mencoba untuk mengambil atensi mereka.

Pegal berdiri, Taeyong akhirnya berjongkok menghadap mereka berdua. Memandang mereka bergantian dengan kedua tangannya yang menangkup wajah. Ia ikut menghela karena pasalnya makanan yang ia bawa tak hangat lagi bila dibiarkan semakin lama.

“Kak….”

“Ya?” Taeyong menjawab cepat sembari berdiri, membuat dirinya terhuyung karena darah yang tiba-tiba merosot.

“Bukan, bukan kak Taeyong—kak Ze?”

Bibir Taeyong mengerucut.

“Hmm.”

“Lo hamil, udah paling bener.”

Siapa yang tidak terkejut mendengar perkataan Renjun barusan? Terlebih seseorang yang tak tahu menahu dengan keadaan yang tengah dialami kedua kakak beradik itu.

“H-hamil?”

Kedua tangan Taeyong mengepal, manik hitamnya pun membulat. Terkejut dan tak percaya. Ia menelan ludah kasar.

“Ze. Jelasin.” Ucap Taeyong penuh penekanan.

Suara yang dihasilkan terdengar seperti gelombang kekecewaan, kelukaan hati, amarah, dan ketidak tauan beradu jadi satu. Intonasi yang mampu memecahkan lamunan Zemira dan Renjun.

Tatapan yang berkilat tajam, sempat membuat Zemira takut.

“Tunggu tunggu, jangan salah paham, aku enggak—hamil….”

Zemira membuka suara pun, tatapan Taeyong belum belum berubah. Masih menatapnya dengan penuh kekecewaan.

“Ih maafffff, jangan gitu ngeliatnya, takuttttt.” Beranjak, merengek dengan menggoyangkan lengan Taeyong.

Sepertinya Taeyong tak akan berhenti menatap Zemira tajam, sebelum ia mendapat penjelasan dari kekasihnya.

“Ini aku sama Injun tuh dari tadi lagi cari-cari alesan biar tetep tinggal disini. Tiba-tiba Bunda bilang kalau kita berdua harus ikut mereka ke luar pulau Jawa. Maksudnya ikut pindah gitu. Ayah mau kesini hari Jum’at.”

“Ini nih tuyul satu ini ngide katanya aku hamil, m-maksudnya…. Bilang aku hamil biar Ayah sama Bunda gak maksa kita buat ikut mereka….”

Zemira menjelaskan dengan pandangan menunduk. Ia benar-benar takut dengan tatapan tajam Taeyong. Jemarinya masih bermain di genggaman.

Terdengar helaan nafas lega dan suara gesekan telapak tangan dengan baju. Bahu Taeyong merosot. Satu tangannya yang terbebas ia gunakan untuk menggosok dadanya.

Taeyong mengeratkan genggaman Zemira.

“Aku kira Kakakmu ini beneran hamil tau gak.” Suara Taeyong yang lembut kembali. Ia membuang pandangan pada Renjun.

“Sorry kak….” Sesal Renjun, ikut berdiri mendekati Taeyong.

“Ayah pindah dinas?”

Keduanya kompak mengangguk membuat Taeyong tersenyum.

“Maksa kalian buat ikut? Kenapa gak ikut aja?”

“Ih kamu mau LDR sama aku? Gak ketemu lagi sama aku, mau?”

“Gak masalah kok.” Goda Taeyong.

“Kok….”

“Kak, gue udah nyaman disini pokoknya mah kalo maksa mulu guenya kabur!” Tegas Renjun.

LDR? Tak bertemu dengan Zemira satu hari saja, hati Taeyong terasa ditusuk jarum. Ada hasrat yang mendorongnya untuk selalu bertemu atau bahkan dekat dengan gadisnya.

Renjun yang ia anggap sebagai Adiknya, mana mungkin harus dipaksa jauh darinya.

“Gue bantu bilang, mau? Biar gue yang ngomong sama Ayah sama Bunda.” Mengusap kepala Renjun.

“KAK SERIUS??!” Teriak Renjun tak percaya.

Taeyong mengangguk, tersenyum. Hal itu membuat si bungsu menghambur ke dalam pelukannya. Renjun memeluk Taeyong dengan merapalkan kalimat terima kasih. Lelaki itu semakin merekahkan senyumnya, mengusap punggung Renjun dengan satu tangan, sebab tangannya yang lain tengah berada di genggaman kekasihnya.

Tak kalah, Zemira pun menyerobot masuk untuk memeluk sisi lain Taeyong.

“Kak Ze ih!”

“Ya lo apa-apan!”

Kakak beradik itu saling menyiku satu sama lain, membuat tubuh Taeyong terhuyung kesana kemari, ia tertawa.

“Udah ini udah adil peluknya, di kanan Zemira, di kiri Injun…. Jangan rebutan—aduh.”

Mereka berdua masih saja saling dorong.

“Kakak ngalah ajaaaaaaaa!!”

Sialnya dorongan dari Renjun sangat kuat hingga Zemira terlepas dari pelukan dan terdorong ke belakang.

“Ngalah dulu ya?” Kalimat Taeyong mengudara.

Zemira mendengus sebal. Ia meninggalkan mereka berdua di teras, pergi memasuki rumah.

“INJUN JANGAN DEKET-DEKET GUE. NUGGETNYA GUE MAKAN.”

Kalimat yang membuat Renjun melepaskan pelukan dan berlari mengejar si sulung.

“KAKAK! JANGAN NYENTUH NUGGET GUEEEEEE.”

Taeyong pun melangkah mengikuti mereka berdua dengan gelak tawa yang tak kunjung reda. Rasanya seperti….

Kenapa gue berasa punya keluarga kecil gini?

batin Taeyong.

his eyes glow golden in the sun

“Ze mau beli coklat gak?”

“…”

“Ze mau ice cream?”

“…”

“Martabak manis deh mau?”

“…”

“Jalan-jalan deh ayo ya?”

“…”

“Ze mau ke supermarket beli jajan?”

Sudah hampir 30 menit Taeyong berjongkok di depan Zemira, berusaha menyita perhatiannya. Dengan tas ransel yang masih bergantung di punggungnya, dan surai hitam sedikit basah akibat keringatnya sendiri.

Sejak semalam pesan dari Zemira tak mendapatkan balasan, sampai keesokan harinya di kampus pun tak ia temui sosok kekasihnya itu. Mendadak situasi berubah menjadi Zemira yang merajuk pada Taeyong. Sedang Taeyong, berusaha mati-matian agar gadisnya angkat bicara.

Bibir Taeyong mengerucut. Kedua tangannya ia lipat di depan dada, menirukan posisi Zemira yang duduk bersila di sofa, sesekali melirik.

Tak lama, Taeyong merengek lagi.

“Zemira? Iya maaf atuh.”

“Ayo dong ngomong.”

“…”

“Ini kenapa kamu betah gak ngomong sih?”

“Gimana dong biar kamu mau ngomong?”

“Jangan diem aja.”

Lelaki itu beranjak dan menghentak-hentakkan kakinya seperti yang biasa Renjun lakukan. Membuat Jeno juga Renjun yang asik bermain PS di ruang tengah mengalihkan atensinya pada Taeyong. Menghentikan sejenak aktivitas mereka, tertawa.

“Kak lo ngapain sih? Biarin aja lagi kak Ze emang gitu kalo ngambek kagak bakal mau ngomong.” Jelas Renjun.

“Ya gue yang susah kalo Zemira gak ngomong.”

“Sini kak gue bisikin cara ampuh biar dia mau ngomong.” Renjun melambai, dahi Zemira mengernyit menajamkan tatapannya pada si bungsu.

“Apa?”

“Sini dulu makanya gue bisikin.”

Taeyong sudah kehabisan cara untuk membujuk Zemira. Yang ada dipikirannya saat ini adalah bagaimana gadisnya itu luluh atau setidaknya berbicara agar dirinya bisa meminta maaf dan memperbaiki hubungannya.

Ia hanya tak ingin karena masalah sepele dapat memperkeruh hubungan yang baru beberapa bulan mereka jalin.

Renjun membisikkan sesuatu pada Taeyong. Cara agar sang Kakak angkat bicara. Cara yang biasa ia lakukan pula saat Zemira marah kepadanya. Ia tak sepenuhnya berbisik, nyatanya Jeno bisa mendengar itu dan melepas tawa.

“Kak Ze butuh gue rekam gak abis ini?” Tawar Jeno sembari menyipitkan kedua mata akibat tawanya.

Taeyong menatap Renjun, yang kemudian hanya dibalas dengan diangkatnya ibu jari.

“Lo yakin?”

“Yakin 100% kak ampuh!” Renjun menaik turunkan alisnya, tersenyum jail.

Kemudian pandangannya beralih pada gadis yang duduk di sofa, menatap keduanya bergantian. Taeyong berdehem sembari berjalan dan duduk kembali di sofa kosong samping Zemira.

Renjun dan Jeno menatap keduanya, sesekali melepas tawa yang tak dapat mereka tahan.

Sebenarnya ide dari si bungsu sudah sering kali Taeyong lakukan, dulu. Namun entah mengapa rasanya jantungnya berdetak lebih cepat, hingga ia harus mengusap dadanya.

Dan jujur saja, Zemira merasa ada yang tidak beres mengingat memang ada satu cara yang biasa Renjun lakukan agar dirinya mau memaafkan sang Adik.

Ah gak mungkin batin Zemira.

Taeyong mah bukan tipe orang yang kayak—

Cuppp

“AAAAICNEICHEIWJDO HAHAHA.” Itu suara Renjun dan Jeno yang berteriak heboh.

Zemira terkejut, sontak menutup pipi kanannya. Dan….

Bugghh!

Bughh!!

“AAAA TAEYONG APAAN SIH?!”

“Aduh iya ampun ampun.” Berusaha menangkap kedua tangan Zemira yang memukuli lengannya. “Sakit Zemira iya iya ampun.”

“Stop dulu stop duluuuuuuu.”

Dengan nafas terengah, Zemira menyandarkan tubuhnya pada sofa, satu lengannya menutupi matanya.

“Kamu ke club sama siapa aja? Sering kesana? Kenapa gak ngabarin aku? Kenapa diemin aku? Boleh gak sih kalo aku ngelarang kamu pergi ke club?”

Rentetan pertanyaan akhirnya terucap dari bibirnya. Taeyong menurunkan lengan Zemira, ia genggam keduanya.

“Sini kalo ngomong tuh ngehadep orang yang diajak ngomong.”

“Gak mau kan aku lagi gak mau ngomong sama kamu, harusnya.” Masih bersandar dengan mata tertutup meski kedua pergelangan tangan sudah tergenggam oleh tangan Taeyong. “Udah jawab aja.”

Menghela nafas. “Aku sama temen-temen, ya itu itu aja Ze. Aku gak sering kok.”

“Terus apa tadi? Aku ngediemin kamunya? Aku gak ngediem—“

“Gak usah bohong.” Sela Zemira.

“Iya iya aku cemburu.”

“Tuh kan bilang gitu kek kenapa diem coba? Dikira aku bisa baca pikiran kamu apa?!” Membuka mata, menatap kedua netra lawannya. “Maaf aku emosi.”

“Iya maaf.” Genggamannya turun, mengusap punggung tangan Zemira dengan kedua ibu jarinya.

“Terus kenapa diem aja?”

“Bentar aku jawab pertanyaan kamu yang terakhir tadi. Kamu boleh ngelarang, tapi kasih tau aku apa alesan kamu ngelarang aku pergi ke club.”

Taeyong tak pernah mengalihkan atensinya ketika berbicara dengan seseorang. Entah itu kekasihnya, atau orang lain. Ia akan terus menatap bola mata lawannya, itu salah satu alasan yang membuat Zemira tak ingin bila kekasihnya berada dalam ruangan atau kondisi yang tidak bisa ia jangkau.

Dirinya saja bisa dengan mudahnya jatuh cinta hanya karena tatapan mata, bagaimana dengan orang lain?

Namun ada satu alasan yang hingga saat ini masih sering membuatnya terluka. Tak ada yang mengetahui hal ini selain dirinya sendiri.

“Alasan? Aku gak suka sama orang mabuk. Ucapan jujurnya tanpa sadar bisa nyakitin orang lain.” Pandangannya turun. “Aku cuma gak mau kamu gitu. Jujur yang berdampak pada kehidupan orang lain. Terlebih hati.”

“Iya aku gak pergi ke club lagi.”

Jawaban Taeyong membuat wajah Zemira kembali cerah. Ia dapat melihat dari sudut bibirnya.

“Masih pengen tau kenapa aku diem?”

Zemira mengangguk.

“Aku cuma gak mau nyakitin kamu.”

“Lah kenapa? Kan cuma bilang kalo kamu cemburu, gitu doang.”

“Ya kamu gak tau aja.” Senyum Taeyong merekah. “Udah nih masih marah gak?”

“Enggak kalo besok kamu mau main sama aku.”

Taeyong mengangguk cepat. “YA MAU DONG!”

“KAKAK INJUN IKUTTTTTT.” Seru Renjun yang masih sibuk dengan PS nya.

“Iy—“

“Gak! Lo jaga rumah.”

“Ihhh kak Taeyong ya??? Gue ikut kan??”

“Iy—“

“Kagak kagak besok gue sama Taeyong mau main berdua. Jen Adik gue besok gue rentalin dah bebas lo bawa kemana juga.”

“Siap kak!” Sahut Jeno.

“ISH KAK ZE MAHHHHHH.”

Baik Zemira atau Taeyong, mereka berdua sama-sama memiliki sesuatu yang belum ingin mereka ceritakan. Yang masih mereka pendam.

Sesuatu yang melekat, tak bisa lepas dari diri atau bahkan puing-puing kehancuran yang belum bisa mereka susun kembali dengan rapi menjadi sebuah proses untuk mendewasakan diri.

Mereka berdua sama-sama memaksa untuk mengubur luka, namun enggan berbagi cerita. Padahal bisa saja luka keduanya dapat mereka sembuhkan bersama.

Tunggu, bila mereka benar saling percaya, akan ada satu harapan untuk akhir bahagia.

Gadis dengan setelan hitam, mengekspos bahu juga lengannya itu mengernyit mendapati pesan yang ia baca dari kekasihnya. Banyak asumsi yang terlintas di benaknya.

“Kenapa Ze?” Tanya Lucy.

Zemira menggeleng dan mengendikkan bahunya. “Taeyong nih gak tau, tiba-tiba minta maaf.”

“Lagi berantem? Atau dia ngelakuin sesuatu yang bikin lo marah?” Asumsi Irene yang tengah sibuk mengunyah makanan.

“Enggak, gak tau deh ini dia mau kesini.”

Ketiga teman Zemira mengangguk, kemudian kembali pada ponsel mereka masing-masing.

“Eh gue fotoin kayak gini dong Ren! Ah lu mah motoin gue jelek semua.” Tunjuk Jisoo pada hasil foto Zemira.

Seperti orang pada umumnya, mereka baru saja selesai mengabadikan diri mereka masing-masing, guna mempercantik feed instagram atau hanya sekedar membuat instagram story yang mereka bagikan pada pengikut di media sosial mereka.

Irene tertawa. “Lo kebanyakan gerak dah jelek semua tuh foto lo.”

Jisoo mendengus sebal namun tetap menggeser hasil fotonya sesekali berdecak. Memilih foto untuk di unggah ke akunnya. Atensinya berubah ketika bola matanya menangkap sosok lelaki dari belakang Zemira tengah berjalan mendekat. Ia mencolek lengan temannya itu.

“Itu, laki lo.” Tunjuk Jisoo.

Membalikkan tubuh, Zemira melihat Taeyong berjalan kearahnya. Melambaikan tangan, namun lelaki itu tak membalas dan hanya menatapnya dengan wajah yang tak seperti biasanya.

Teman-teman Zemira seketika menahan tawa, meski tawa diantaranya masih terdengar. Tak memberitahu apa yang sedang mereka tertawakan. Ketiganya hanya menepuk bahu Zemira kemudian pergi dari sana, memberi isyarat padanya, dengan Zemira yang kebingungan.

Gadis yang masih mengernyit dan celingukan itu mengusap tengkuknya, bermaksud untuk membuka obrolan. Tiba-tiba ia sedikit tersentak ketika Taeyong menarik blazer coklat yang masih Zemira genggam.

“Maaf ya, lain kali jangan lupa di logout.” Taeyong menutupi bahu Zemira yang terbuka, dengan blazer.

“Logout?”

“Kemaren kamu habis pinjem hpku kan? Gak sengaja itu ada notif, jadi ya aku bales.” Bibir Taeyong mengerucut, membuat Zemira tertawa, karena menurutnya lucu—ah tidak apa lebih tepatnya imut? Yang jelas sangat menggemaskan.

“Oh iya instagram aku belum ke logout.” Menepuk dahi, lantas membuka ponsel yang ia yakini bahwa, ada sesuatu yang mampu membuat ketiga temannya tadi tertawa.

Benar saja. Taeyong membalas salah satu jawaban dari pengikutnya. Tangan kiri Zemira mendadak menutupi mulutnya sendiri, sebab ia tersipu malu. Kekasihnya ini sungguh….

“Kamu kesini gara-gara ini?” Ponsel Zemira ia hadapkan pada Taeyong. Layar yang menjukkan dimana seorang lelaki membalas QnA Zemira.

Taeyong mengangguk. Semakin mengerucutkan bibirnya. Dan kenapa tiba-tiba tingkahnya seperti anak kecil yang tengah merajuk karena tak dibelikan mainan oleh ibunya?

Zemira tertawa, meraih lengan Taeyong, ia goyang-goyangkan. “Jangan gini ah, gemesin tau!”

“Masuk angin, Ze. Baju yang lain banyak kenapa pake baju ini?”

“Iyaaaaa.” Tersenyum.

“Kalo bikin QnA lebih spesifik gitu.”

Tertawa. “Haha gimana atuh bikin QnA yang spesifik?”

“Ya yang gak ngundang orang lain buat jawab gitu.”

“Iya iya iya.” Zemira mengangguk.